Anda di halaman 1dari 11

TUGAS TERSTRUKTUR

TEKNOLOGI SEDIAAN FARMASI


RESEARCH AND DEVELOPMENT (R & D)

Disusun oleh :
Dwani Yuliasih

(G1F013005)

Swastika Dwi Ariasti

(G1F0130)

Asyha Aulika Rinanti

(G1F013041)

Hertian Pratiwi

(G1F013043)

Laela Khanipatunnisa

(G1F013051)

Yessy Gladiani Sutrisno

(G1F013063)

Yat Rosfia Harja

(G1F013075)

Kelas A 2013

KEMENTERIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN
JURUSAN FARMASI
PURWOKERTO
2015

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Industri farmasi adalah industri obat jadi dan industri bahan baku
obat. Industri farmasi sebagai industri penghasil obat, dituntut untuk dapat
menghasilkan obat yang memenuhi persyaratan khasiat, keamanan dan mutu
dalam dosis yang digunakan untuk tujuan pengobatan. Karena menyangkut
soal nyawa manusia, industri farmasi dan produknya diatur secara ketat.
Industri farmasi di Indonesia diberlakukan persyaratan yang diatur dalam
CPOB (Priyambodo, 2007).
Bagian penelitian

dan

pengembangan

produk

di

industri

farmasi merupakan departemen atau divisi yang bertugas dalam melakukan


penelitian pencarian obat baru/bahan obat baru, pengembangan formula obat,
pengembangan kemasan, maupun modifikasi aspek teknis lainnya serta
mengurus registrasi/ijin edar produk obat dll. Latar belakang pengembangan
produk sebagai peningkatan kualitas mutu produk berkelanjutan, efisiensi
biaya, perlunya perubahan kemasan untuk menarik perhatian konsumen, dan
perkembangan teknologi.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian research and development dalam industri farmasi?
2. Bagaimana pembagian dalam research and development?
3. Bagaimana tahap dalam penelitian dan pengembangan suatu obat?
4. Bagaimana research and development sebagai Inti Industri Farmasi
C. Tujuan
1. Mengetahui pengertian research and development
2. Mengetahui bagian research and development
3. Mengetahui tahap dalam penelitian dan pengembangan suatu obat
4. Mengetahui research and development sebagai Inti Industri Farmasi.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Penelitian dan Pengembangan (Research and Development, R&D)
telah menjadi inti (core) dari industri farmasi. Beberapa argumentasi

menyatakan bahwa rahasia keberhasilan dari R&D industri farmasi terletak


pada kompetensi organisasional termasuk tim kerja, knowledge management
dan hubungan yang kuat dengan opinion leader (Holland dan Lazo, 2004).
Kapabilitas teknologi dan R&D merupakan determinan yang sangat esensial
bagi daya saing industri farmasi. Perusahaan farmasi yang memiliki
kapabilitas teknologi dan R&D akan dapat menghasilkan produk-produk
inovasi yang unggul dengan pasar yang sangat luas (Sampurno, 2007).
Penelitian dan Pengembangan (Research and Development) adalah
suatu proses atau langkah-langkah untuk mengembangkan suatu produk baru
atau

menyempurnakan

produk

yang

telah

ada,

yang

dapat

dipertanggungjawabkan (Sukmadinata, 2005). Ciri-Ciri Research And


Development menurut Borg and Gall, 1983 yaitu:
1) Melakukan studi atau penelitian awal untuk mencari temuan-temuan
penelitian terkait dengan produk yang akan dikembangkan.
2) Mengembangkan produk berdasarkan temuan penelitian tersebut).
3) Dilakukannya uji lapangan dalam seting atau situasi senyatanya dimana
produk tersebut nantinya digunakan.
4) Melakukan revisi untuk memperbaiki kelemahan-kelemahan yang
ditemukan dalam tahap-tahap uji lapangan.
Jadi, ciri utama R & D adalah adanya langkah penelitian awal terkait
dengan produk yang akan dikembangkan. Jika tidak ada langkah penelitian
awal, tiba tiba mendesain dan mengembangkan produk, maka R & D-nya
dipertanyakan, atau bisa dikatakan bukan R & D. Berdasarkan hasil penelitian
itulah kemudian produk pendidikan dirancang dan dikembangkan untuk
kemudian diuji dan diperbaiki (revisi).
B. Bagian Research and Development
Bagian ini dipimpin oleh seorang Asisten Manajer yang membawahi
dua supervisor yaitu Spv. Pengembangan Formula Produk dan Spv.
Pengembangan Bahan Pengemas.
1. Pengembangan Formula Produk
Fungsi bagian Pengembangan Formula Produk sebagai berikut:
a. Penanganan bahan baku alternative
Meliputi pencarian sumber terhadap supplier lain

untuk

mengantisipasi ketersediaan bahan baku di pasaran habis dan sebagai


efisiensi biaya. Pengembangan Produk akan bekerjasama dengan bagian
Pengadaan.

Pengadaan

akan

menghubungi

supplier/manufacturer.

Supplier/pemasok akan mengirim sampel untuk dilakukan pemeriksaan


oleh bagian QC dan dilakukan trial skala produksi untuk melihat stabilitas
dan mutu bahan. Setelah hasil pemeriksaan selesai, baru mengkonfirmasi
supplier kembali.
b. Evaluasi formula dan proses produksi
Setiap ada perubahan dalam produksi termasuk perubahan
eksipien, maka dilakukan evaluasi terhadap perubahan tersebut.
c. Penanganan produk baru
Bagian pengembangan produk mempersiapkan segala kebutuhan
mulai dari proses, metode, teknologi yang dibutuhkan.
d. Monitoring dan evaluasi nomor izin edar
Mempersiapkan data dan informasi yang dibutuhkan bagian
regulatori dalam proses izin edar serta menginformasikan produk yang
2.

perlu dilakukan registrasi variasi.


Pengembangan Bahan Pengemas
Fungsi bagian Pengembangan Bahan Pengemas sebagai berikut:
a. Penanganan bahan pengemas alternative
Meliputi pencarian alternatif sumber pemasok bahan pengemas
untuk tujuan efisiensi biaya dan mencegah ketersediaan bahan pengemas
di pasaran habis.
b. Desain bahan pengemas
Bagian pengembangan produk akan mendesain kemasan yang
akan digunakan untuk produk-produk yang sudah ada dan produk baru.
c. Evaluasi bahan pengemas
Setiap ada perubahan dalam bahan pengemas akan dilakukan
evaluasi terhadap perubahan tersebut.
d. Standarisasi bahan pengemas
Standarisasi bahan kemas supaya dapat berlaku secara general.
Standarisasi ukuran master box dan menyesuaikan kapasitasnya untuk

efisiensi biaya danmempermudah penyimpanan.


C. Tahap Penelitian dan Pengembangan Obat
Menurut Priyambodo, 2007 Proses penemuan obat baru merupakan
sebuah rangkaian langkah yang sangat panjang dan melibatkan berbagai
disiplin ilmu. Secara garis besar, penelitian dan pengembangan suatu obat
dapat dibagi menjadi beberapa tahap sebagai berikut :
1. Sintesis dan screening molekul
Sintesis dan screening molekul merupakan tahap awal dari
rangkaian penemuan suatu obat. Pada tahap ini berbagai molekul atau
senyawa yang berpotensi sebagai obat disintesis, dimodifikasi atau bahkan

direkayasa untuk mendapatkan senyawa atau molekul obat yang


diinginkan. Oleh karena penelitian obat biasanya ditargetkan untuk suatu
daerah terapeutik yang khas, potensi relatif pada produk saingan dan
bentuk-bentuk sediaan untuk manusia bisa diketahui. Serupa dengan hal
tersebut, ahli kimia medisinal mungkin mendalami kelemahan molekul
tersebut sebagai hasil usaha untuk mensintesis senyawa tersebut. Selain
itu, penelusuran literatur juga harus dilakukan untuk memberikan
pengertian tentang mekanisme pelapukan yang mungkin terjadi dan
kondisi-kondisi yang dapat meningkatkan peruraian obat. Informasi ini
dapat menyarankan suatu cara stablilisasi, kunci uji stabilitas atau senyawa
acuan stabilitas. Informasi tentang cara atau motode yang diusulkan dari
pemberian obat, juga melihat kembali literatur tentang formulasi,
bioavailabilitas, dan farmakokinetika dari obat-obat yang serupa,
seringkali berguna bila menentukan bagaimana mengoptimumkan
bioavailabilitas suatu kandidat obat baru.
Jika suatu senyawa atau molekul aktif telah dibuktikan secara
farmakologis, maka senyawa tersebut selanjutnya memasuki tahap
pengembangan dalam bentuk molekul optimumnya. Setelah sintesis, suatu
senyawa atau molekul melalui proses screening, yang melibatkan
pengujian awal obat pada sejumlah kecil hewan dari jenis yang berbeda
(biasanya 3 jenis hewan) ditambah uji mikrobiologi untuk menemukan
adanya efek senyawa kimia yang menguntungkan. Pada tahap ini sering
kali dilakukan pengujian yang melibatkan teratogenitas, mutagenitas dan
karsinogenitas, disamping pemeriksaan LD50 dan toksisitas akut dan
kronik.
2. Studi pada hewan percobaan
Uji praklinik merupakan persyaratan uji untuk calon obat. Dari uji
ini diperoleh informasi tentang efficacy (efek farmakologi), profil
farmakokinetik dan toksisitas calon obat. Pada mulanya yang dilakukan
pada uji praklinik adalah pengujian ikatan obat pada reseptor dengan
kultur sel terisolasi atau organ terisolasi, selanjutnya perlu diuji pada
hewan utuh. Hewan yang baku digunakan adalah galur tertentu dari
mencit, tikus, kelinci, marmot, hamster, anjing atau primata. Hewan-

hewan ini sangat berjasa bagi pengembangan obat. Karena hanya dengan
menggunakan hewan utuh dapat diketahui apakah obat menimbulkan efek
toksik pada dosis pengobatan atau tidak. Penelitian toksisitas merupakan
cara potensial untuk mengevaluasi :
a. Toksisitas yang berhubungan dengan pemberian obat akut atau
kronis.
b. Kerusakan genetik (genotoksisitas atau mutagenisitas).
c. Pertumbuhan tumor (onkogenisitas atau karsinogenisitas).
d. Kejadian cacat waktu lahir (teratogenisitas).
Selain toksisitasnya, uji pada hewan dapat mempelajari sifat
farmakokinetik obat meliputi absorpsi, distribusi, metabolisme dan
eliminasi obat. Semua hasil pengamatan pada hewan tersebut menentukan
apakah calon obat tersebut dapat diteruskan dengan uji pada manusia atau
tidak. Ahli farmakologi bekerja sama dengan ahli teknologi farmasi dalam
pembuatan formula obat untuk menghasilkan bentuk-bentuk sediaan obat
yang akan diuji pada manusia.
Di samping uji pada hewan, untuk mengurangi penggunaan hewan
percobaan telah dikembangkan pula berbagai uji in vitro untuk
menentukan khasiat obat contohnya uji aktivitas enzim, uji antikanker
menggunakan cell line, uji anti mikroba pada perbenihan mikroba, uji
antioksidan, uji antiinflamasi dan lain-lain untuk menggantikan uji khasiat
pada hewan. Akan tetapi belum semua uji dapat dilakukan secara in vitro.
Uji toksisitas sampai saat ini masih tetap dilakukan pada hewan
percobaan, belum ada metode lain yang menjamin hasil yang dapat
menggambarkan toksisitas pada manusia.
Disamping itu, uji pada hewan percobaan ini juga dirancang
dengan perhatian khusus pada kemungkinan pengujian obat itu lebih lanjut
pada manusia atau uji klinis. Oleh karena itu, pada uji pra-klinis ini
dirancang dengan pertimbangan :
a. Lamanya pemberian obat itu menurut dugaan kepada manusia.
b. Kelompok umur dan kondisi fisik manusia yang dituju,
dengan pertimbangan khusus untuk anak-anak, wanita hamil
atau orang lanjut usia.
c. Efek obat menurut dugaan pada manusia.
Setelah melewati uji pra klinis, maka senyawa atau molekul calon
obat tersebut menjadi IND (Investigational New Drug) atau obat baru

dalam penelitian. Setelah calon obat dinyatakan mempunyai kemanfaatan


dan aman pada hewan percobaan maka selanjutnya diuji pada manusia (uji
klinik).
3. Studi pada manusia yang sehat (healthy volunteers)
Uji klinis pada manusia harus diteliti dulu kelayakannya oleh komite

etik mengikuti Deklarasi Helsinki. Uji klinik terdiri dari 4 fase yaitu :
a. Fase I, calon obat diuji pada sukarelawan sehat untuk mengetahui
apakah sifat yang diamati pada hewan percobaan juga terlihat pada
manusia. Pada fase ini ditentukan hubungan dosis dengan efek yang
ditimbulkannya dan profil farmakokinetik obat pada manusia.
b. Fase II, calon obat diuji pada pasien tertentu, diamati efficacy pada
penyakit yang diobati. Yang diharapkan dari obat adalah
mempunyai efek yang potensial dengan efek samping rendah atau
tidak toksik. Pada fase ini mulai dilakukan pengembangan dan uji
stabilitas bentuk sediaan obat.
c. Fase III melibatkan kelompok besar pasien, di sini obat baru
dibandingkan efek dan keamanannya terhadap obat pembanding
yang sudah diketahui. Selama uji klinik banyak senyawa calon obat
dinyatakan tidak dapat digunakan. Akhirnya obat baru hanya lolos 1
dari lebih kurang 10.000 senyawa yang disintesis karena risikonya
lebih besar dari manfaatnya atau kemanfaatannya lebih kecil dari
obat yang sudah ada. Keputusan untuk mengakui obat baru
dilakukan oleh badan pengatur nasional, di Indonesia oleh Badan
Pengawas Obat dan Makanan, di Amerika Serikat oleh FDA (Food
and Drug Administration), di Kanada oleh Health Canada, di
Inggris oleh MHRA (Medicine and Healthcare Product Regulatory
Agency), di negara Eropa lain oleh EMEA (European Agency for
the Evaluation of Medicinal Product) dan di Australia oleh TGA
(Therapeutics Good Administration). Untuk dapat dinilai oleh badan
tersebut, industri pengusul harus menyerahkan data dokumen uji
praklinik

dan

klinik

yang

sesuai

dengan

indikasi

yang

diajukan, efficacy dan keamanannya harus sudah ditentukan dari


bentuk produknya (tablet, kapsul dan lain-lain) yang telah
memenuhi persyaratan produk melalui kontrol kualitas. Setelah
calon obat dapat dibuktikan berkhasiat sekurang-kurangnya sama
dengan obat yang sudah ada dan menunjukkan keamanan bagi si
pemakai maka obat baru diizinkan untuk diproduksi oleh industri

sebagai legal drug dan dipasarkan dengan nama dagang tertentu


serta dapat diresepkan oleh dokter.

d. Fase IV, setelah obat dipasarkan masih dilakukan studi pasca


pemasaran (post marketing surveillance) yang diamati pada pasien
dengan berbagai kondisi, berbagai usia dan ras. Studi ini dilakukan
dalam jangka waktu lama untuk melihat nilai terapeutik dan pengalaman
jangka panjang dalam menggunakan obat. Setelah hasil studi fase IV
dievaluasi masih memungkinkan obat ditarik dari perdagangan jika
membahayakan.

4. Studi pada manusia yang sakit (pasien)


5. Studi pada manusia yang sakit dengan populasi diperbesar
6. Studi lanjutan (post marketing surveillance)
D. Research and Development Sebagai Inti Industri Farmasi
Dalam konteks signifikansi R&D ini yang perlu mendapat perhatian
adalah peran stratejik dari human capital. Perusahaan perlu merekrut skilled
scientist dan mengupayakan agar mereka berada dalam perusahaan untuk jangka
yang panjang (Lacetera, 2001). Hal ini dapat dimengerti karena kapabilitas human
capital tersebut akan sangat menentukan kekuatan R&D suatu

perusahaan

farmasi dalam melakukan inovasi sebagai sumber keunggulan kompetitifnya.


Perusahaan perlu mengintegrasikan ilmuwan (scientist) dalam organisasi untuk
mentrasformasikan ilmu pengetahuan mereka dalam proses pembelajaran kolektif.
Scientific knowledge mempunyai peran penting dalam aktivitas perusahaan dan
ini dihasilkan dari penguatan organisasi risetnya. Organisasi dan intensitas riset
pada gilirannya akan menjadi determinan keberhasilan perusahaan. Dengan kata
lain aktivitas laboratorium R&D dan personil yang bekerja disana mempunyai
pengaruh strategis pada perusahaan dan memainkan peran implisit dalam
corporate governance.
Perusahaan farmasi menghadapi kondisi demanding dalam R&D dan harus
melakukan investasi dalam jumlah yang besar. Untuk menemukan obat baru
new chemical entity (NCE) sampai menjualnya di pasar diperlukan biaya yang
besar dan terus meningkat. Faktor yang menyebabkan meningkatnya biaya inovasi
antara lain ialah: (1) teknologi; (2) bahan aktif baru yang lebih kompleks; (3) riset

berfokus pada penyakit kronik dan degeratif dengan biaya yang lebih mahal; (4)
persyaratan regulatori yang lebih ketat.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Di bagian penelitian dan pengembangan, baik untuk obat baru ataupun me
too product, farmasis atau apoteker berperan dalam menentukan formula,
teknik pembuatan, menentukan spesifikasi bahan baku yang digunakan untuk
membuat produk antara dan produk jadi, dan mengurus ijin edar produk.
Pengembangan produk ini dilakukan mulai dari skala laboratorium, skala
pilot, hingga skala produksi.

DAFTAR PUSTAKA

Borg, W.R., and Gall, M.D. 1983. Educational research: An introduction 4th ed.
New York & London: Longman.
Holland dan Lazo. 2004. The Global Pharmaceutical Industry. Manchester:
Manchester Business School.
Lacetera, N., 2001, Corporate Governance and Innovation in the Pharmaceutical
Industry: Some Further Evidence. Cespri, Universita Bocconi, Italia.
Priyambodo, B. 2007. Manajemen Farmasi Industri Edisi I. Yogyakarta: Global
Pustaka Utama.
Sampurno. 2007. Kapabilitas Teknologi dan Penguatan R&D: Tantangan Industri
Farmasi Indonesia. Majalah Farmasi Indonesia. 18(4) : 199 209.
Sukmadinata dan Nana Syaodih. 2005. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung:
PT. Remaja Rosdakarya.

Anda mungkin juga menyukai