Disusun oleh :
Dwani Yuliasih
(G1F013005)
(G1F0130)
(G1F013041)
Hertian Pratiwi
(G1F013043)
Laela Khanipatunnisa
(G1F013051)
(G1F013063)
(G1F013075)
Kelas A 2013
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Industri farmasi adalah industri obat jadi dan industri bahan baku
obat. Industri farmasi sebagai industri penghasil obat, dituntut untuk dapat
menghasilkan obat yang memenuhi persyaratan khasiat, keamanan dan mutu
dalam dosis yang digunakan untuk tujuan pengobatan. Karena menyangkut
soal nyawa manusia, industri farmasi dan produknya diatur secara ketat.
Industri farmasi di Indonesia diberlakukan persyaratan yang diatur dalam
CPOB (Priyambodo, 2007).
Bagian penelitian
dan
pengembangan
produk
di
industri
menyempurnakan
produk
yang
telah
ada,
yang
dapat
untuk
Pengadaan
akan
menghubungi
supplier/manufacturer.
hewan ini sangat berjasa bagi pengembangan obat. Karena hanya dengan
menggunakan hewan utuh dapat diketahui apakah obat menimbulkan efek
toksik pada dosis pengobatan atau tidak. Penelitian toksisitas merupakan
cara potensial untuk mengevaluasi :
a. Toksisitas yang berhubungan dengan pemberian obat akut atau
kronis.
b. Kerusakan genetik (genotoksisitas atau mutagenisitas).
c. Pertumbuhan tumor (onkogenisitas atau karsinogenisitas).
d. Kejadian cacat waktu lahir (teratogenisitas).
Selain toksisitasnya, uji pada hewan dapat mempelajari sifat
farmakokinetik obat meliputi absorpsi, distribusi, metabolisme dan
eliminasi obat. Semua hasil pengamatan pada hewan tersebut menentukan
apakah calon obat tersebut dapat diteruskan dengan uji pada manusia atau
tidak. Ahli farmakologi bekerja sama dengan ahli teknologi farmasi dalam
pembuatan formula obat untuk menghasilkan bentuk-bentuk sediaan obat
yang akan diuji pada manusia.
Di samping uji pada hewan, untuk mengurangi penggunaan hewan
percobaan telah dikembangkan pula berbagai uji in vitro untuk
menentukan khasiat obat contohnya uji aktivitas enzim, uji antikanker
menggunakan cell line, uji anti mikroba pada perbenihan mikroba, uji
antioksidan, uji antiinflamasi dan lain-lain untuk menggantikan uji khasiat
pada hewan. Akan tetapi belum semua uji dapat dilakukan secara in vitro.
Uji toksisitas sampai saat ini masih tetap dilakukan pada hewan
percobaan, belum ada metode lain yang menjamin hasil yang dapat
menggambarkan toksisitas pada manusia.
Disamping itu, uji pada hewan percobaan ini juga dirancang
dengan perhatian khusus pada kemungkinan pengujian obat itu lebih lanjut
pada manusia atau uji klinis. Oleh karena itu, pada uji pra-klinis ini
dirancang dengan pertimbangan :
a. Lamanya pemberian obat itu menurut dugaan kepada manusia.
b. Kelompok umur dan kondisi fisik manusia yang dituju,
dengan pertimbangan khusus untuk anak-anak, wanita hamil
atau orang lanjut usia.
c. Efek obat menurut dugaan pada manusia.
Setelah melewati uji pra klinis, maka senyawa atau molekul calon
obat tersebut menjadi IND (Investigational New Drug) atau obat baru
etik mengikuti Deklarasi Helsinki. Uji klinik terdiri dari 4 fase yaitu :
a. Fase I, calon obat diuji pada sukarelawan sehat untuk mengetahui
apakah sifat yang diamati pada hewan percobaan juga terlihat pada
manusia. Pada fase ini ditentukan hubungan dosis dengan efek yang
ditimbulkannya dan profil farmakokinetik obat pada manusia.
b. Fase II, calon obat diuji pada pasien tertentu, diamati efficacy pada
penyakit yang diobati. Yang diharapkan dari obat adalah
mempunyai efek yang potensial dengan efek samping rendah atau
tidak toksik. Pada fase ini mulai dilakukan pengembangan dan uji
stabilitas bentuk sediaan obat.
c. Fase III melibatkan kelompok besar pasien, di sini obat baru
dibandingkan efek dan keamanannya terhadap obat pembanding
yang sudah diketahui. Selama uji klinik banyak senyawa calon obat
dinyatakan tidak dapat digunakan. Akhirnya obat baru hanya lolos 1
dari lebih kurang 10.000 senyawa yang disintesis karena risikonya
lebih besar dari manfaatnya atau kemanfaatannya lebih kecil dari
obat yang sudah ada. Keputusan untuk mengakui obat baru
dilakukan oleh badan pengatur nasional, di Indonesia oleh Badan
Pengawas Obat dan Makanan, di Amerika Serikat oleh FDA (Food
and Drug Administration), di Kanada oleh Health Canada, di
Inggris oleh MHRA (Medicine and Healthcare Product Regulatory
Agency), di negara Eropa lain oleh EMEA (European Agency for
the Evaluation of Medicinal Product) dan di Australia oleh TGA
(Therapeutics Good Administration). Untuk dapat dinilai oleh badan
tersebut, industri pengusul harus menyerahkan data dokumen uji
praklinik
dan
klinik
yang
sesuai
dengan
indikasi
yang
perusahaan
berfokus pada penyakit kronik dan degeratif dengan biaya yang lebih mahal; (4)
persyaratan regulatori yang lebih ketat.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Di bagian penelitian dan pengembangan, baik untuk obat baru ataupun me
too product, farmasis atau apoteker berperan dalam menentukan formula,
teknik pembuatan, menentukan spesifikasi bahan baku yang digunakan untuk
membuat produk antara dan produk jadi, dan mengurus ijin edar produk.
Pengembangan produk ini dilakukan mulai dari skala laboratorium, skala
pilot, hingga skala produksi.
DAFTAR PUSTAKA
Borg, W.R., and Gall, M.D. 1983. Educational research: An introduction 4th ed.
New York & London: Longman.
Holland dan Lazo. 2004. The Global Pharmaceutical Industry. Manchester:
Manchester Business School.
Lacetera, N., 2001, Corporate Governance and Innovation in the Pharmaceutical
Industry: Some Further Evidence. Cespri, Universita Bocconi, Italia.
Priyambodo, B. 2007. Manajemen Farmasi Industri Edisi I. Yogyakarta: Global
Pustaka Utama.
Sampurno. 2007. Kapabilitas Teknologi dan Penguatan R&D: Tantangan Industri
Farmasi Indonesia. Majalah Farmasi Indonesia. 18(4) : 199 209.
Sukmadinata dan Nana Syaodih. 2005. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung:
PT. Remaja Rosdakarya.