Anda di halaman 1dari 12

InfoPOM

BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA

BADAN POM RI

Volume 10, No.5


November 2009

ISSN 1829-9334

KERJA SAMA DOKTER


DAN AHLI FARMASI
PADA LAYANAN INFORMASI KESEHATAN
Dalam Rangka Peningkatan Keselamatan Pasien

DAFTAR ISI

IPendahuluan
Komunikasi adalah tulang punggung dalam pelaksanaan sebuah
program di institusi mana pun. Dalam pelayanan kesehatan, komunikasi
menjadi lebih penting karena menyangkut kelangsungan hidup serta hak
sehat manusia. Komunikasi antar dokter dan antara dokter dengan
profesi lain sudah banyak dibahas, walau pun masalah yang ada belum
sepenuhnya teratasi. Komunikasi antara dokter dengan ahli farmasi
menjadi semakin penting mengingat aktivitas pemberian obat kepada
pasien ternyata bukan sekedar penyerahan obat dari penyedia obat
kepada pasien. Berbagai aspek layak disimak mengenai komunikasi
(dapat juga disebut kerja sama atau kolaborasi) antara dokter dengan ahli
farmasi.
Peran saling melengkapi
Kamus Oxford English Dictionary menyebutkan definisi collaborate
sebagai: bekerja sama pada sebuah kegiatan atau proyek; pengertian
lain adalah: bekerja sama dengan lawan (dengan kecurigaan/
traitorously). Dalam kenyataan sehari-hari, pengertian yang kedua lebih
sering mengemuka (disadari atau tidak) terutama jika pihak yang bekerja
sama bukan berasal dari induk disiplin ilmu yang sama. Dengan
kompleksnya permasalahan kesehatan maka kerja sama yang lebih baik
antar profesi menjadi terasa semakin kebutuhan. Mahasiswa kedokteran
diminta ikut dalam rotasi perawat agar dapat lebih memahami peran
perawat dalam pengelolaan pasien; perawat diajak bekerja sama dengan
fisioterapis dalam berbagai tindakan rehabilitasi untuk mempercepat
tercapainya target pengobatan jasmani. Kerja sama antara ahli farmasi
dengan dokter belum banyak dibahas dan dilaksanakan dalam praktek
pelayanan kesehatan sehari-hari di rumah sakit baik di rawat inap mau
pun di rawat jalan. Manfaat yang dapat diperoleh setidaknya dalam hal
efisiensi pengobatan mau pun peningkatan keselamatan pasien.

Editorial
Pembaca yang terhormat,
Komunikasi yang baik antara dokter
dengan apoteker sebagai tenaga
kefarmasian dapat memberikan
banyak manfaat terutama dalam hal
keamanan dan keselamatan pasien.
Tetapi sangat disayangkan jalur
komunikasi ini sangatlah minim.
Komunikasi yang terjalin ketika
masalah muncul seringkali terjadi
secara informal dan bersifat insidentil.
Agar komunikasi terjalin dengan
efisien, komunikasi tersebut harus
masuk dalam sebuah sistem sehingga
baik dokter maupun ahli farmasi dapat
berdiskusi tentang pengelolaan
pasien tersebut. Sehubungan dengan
hal tersebut pada kesempatan kali ini
kami sajikan artikel tentang
Kerjasama Antara Dokter dan Ahli
Farmasi Pada Layanan Informasi
Kesehatan Dalam Rangka
Peningkatan Keselamatan Pasien.
Artikel ini merupakan makalah DR.,
Dr., Czeresna Heriawan Soejono,
SpPD-Kger., MEpid., FACP yang
disampaikan pada Launching IONI
2008 pada tanggal 26 Oktober 2009.
Artikel berikutnya adalah
Penatalaksanaan Keracunan Akibat
Gigitan Ular Berbisa. Ular merupakan
jenis hewan melata yang banyak
terdapat di Indonesia. Untuk itu
diharapkan penatalaksanaan
keracunan akibat gigitan ular berbisa
dapat diketahui oleh masyarakat luas
sehingga apabila ada korban gigitan
ular, dapat dilakukan langkah-langkah
yang tepat untuk mengatasi dampak
racunnya.
Sebagai institusi pemerintah yang
berwenang dalam pengawasan obat
dan makanan, Badan POM berupaya
memperkuat Sistem Pengawasan
Obat dan Makanan yang
komprehensif dan menyeluruh. Untuk
itu kami sajikan artikel Pengawasan
Pasca Pemasaran oleh Badan POM
RI agar pembaca lebih memahami
tugas pengawasan yang dilakukan
oleh Badan POM.
Edisi kali ini ditutup dengan artikel
mengenai Profil Balai Besar POM di
Surabaya.
Semoga InfoPOM edisi November ini
dapat memberikan manfaat kepada
pembaca semua.
Selamat membaca.

Pekerjaan yang dilakukan dokter


dan ahli farmasi sebenarnya
bersifat saling melengkapi
(komplementer); secara
hipotetikal dapat dikatakan bahwa
kerja sama tersebut dapat
memberikan pengaruh positif
terhadap keluaran pasien (patient
outcome). Wujud kolaborasi
antara dokter dan ahli farmasi
antara lain misalnya:
penelusuranan informasi riwayat
obat yang lengkap dan akurat;
penyediaan informasi obat yang
lege artis; pemanfaatan evidencebased prescribing; deteksi dini
kesalahan peresepan obat;
pemantauan obat (meningkatkan
keamanan obat); meningkatkan
cost-effectiveness dalam
peresepan obat; meningkatkan
pengetahuan dan ketrampilan
masing-masing pihak demi
kepuasan pasien. Kolaborasi yang
tidak optimal dapat merugikan
pasien. Pemberian obat oral yang
tidak disesuaikan dengan sifat
farmakokinetik obat yang
bersangkutan potensial
menurunkan efektivitas obat dan
bahkan dapat meningkatkan risiko
interaksi obat.
Komunikasi

Dengan komunikasi
yang baik antara dokter
dengan ahli farmasi sebenarnya
banyak manfaat yang dapat
diperoleh terutama dalam hal
keamanan dan keselamatan
(pengobatan) pasien.
Namun dalam praktek sehari-hari
baik di rumah sakit (rawat inap)
mau pun rawat jalan, jalur untuk

membina komunikasi ini sangatlah


minim atau tidak ada sama sekali.
Jalur komunikasi yang tertata
dalam sistem tidak pernah terjalin.
Komunikasi yang terjalin ketika
masalah muncul sering kali terjadi
secara informal dan bersifat
insidentil. Komunikasi informal ini
memang dapat membantu; namun
ada beberapa komponen dalam
berkomunikasi yang hilang
sehingga belum memadai untuk
sebuah kolaborasi. Komunikasi
informal (melalui telepon
misalnya) sering kali waktunya
(timing-nya) tidak tepat; saat
dokter menerima telepon belum
tentu ia langsung dapat mengingat
pasien mana yang sedang
dibicarakan. Jika seorang ahli
farmasi harus menyampaikan
pesan temannya yang kebetulan
sudah lewat waktu tugasnya
namun belum sempat berjumpa
dengan dokter yang merawat,
maka belum tentu ahli farmasi
tersebut memahami betul
keadaan klinis pasien sehingga
hasil akhir pembicaraan/
konsultasi tidak optimal.
Agar komunikasi terjalin dengan
efisien, interaksi/ komunikasi
harus masuk dalam sebuah sistem
(tim terpadu misalnya); akan ada
k e s e m p a t a n u n t u k
memperkenalkan diri dan
menjelaskan peran ahli farmasi
pada pengelolaan pasien yang
bersangkutan. Selanjutnya, baik
dokter mau pun ahli farmasi dapat
saling berbagi (dari sudut pandang
masing-masing) dan berdiskusi
tentang pengelolaan pasien
tersebut. Dengan sistem yang
dibangun seperti di atas maka

Nopember 2009

k e s a l a h a n a k i b a t
misscommunication dapat
dihindari.
Kerja sama tim multidisiplin
secara interdisiplin
Dalam hubungan kerja sama
antara dokter dengan ahli farmasi
setidaknya terdapat dua disiplin
ilmu dan dua profesi yang
berhubungan. Hubungan kerja
sama tersebut tentu merupakan
hubungan multidisiplin yang
p e n d ekatannya seharusnya
bersifat interdisiplin dan bukan
bersifat multidisiplin. Pendekatan
yang bersifat multidisiplin paling
sering keliru diinterpretasikan
sebagai model interdisiplin. Pada
pendekatan yang bersifat
multidisiplin ini disiplin atau bidang
ilmu terkait
berupaya untuk
mengintegrasikan pelayanan demi
kepentingan pasien. Mereka
bertemu, saling berbagi informasi,
merencanakan dan menetapkan
siapa yang akan ikut berperan/
berkontribusi dan jenis keahlian
apa yang dapat diperankan.
Namun demikian, setiap bidang
ilmu mengembangkan
pengalaman di bidang masingmasing kecuali untuk keahlian
yang memang berada pada area
'abu-abu' pada saat mereka
melakukan koordinasi. Tugas dan
tanggung jawab diterapkan pada
setiap bidang ilmu dengan
batasan yang tegas sesuai disiplin
masing-masing. Setiap bidang
melaksanakan (mempraktekkan)
pekerjaan mereka secara
independen, sangat berhati-hati
untuk tidak 'memasuki wilayah'

Nopember 2009

bidang lain. Pengembangan


profesionalisme terjadi di dalam
bidang masing-masing (Satin,
1996).
Pada pendekatan yang bersifat
interdisiplin, semua perencanaan,
pengembangan pengalaman, dan
pelaksanaan pelayanan
dikerjakan dengan penuh
pemahaman bahwa terdapat
tumpang tindih dalam hal
kompetensi; dipahami pula bahwa
masalah-masalah pasien dapat
saling terkait. Setiap bidang
mampu mengembangkan diri
bersama. Mereka bertemu untuk
mengevaluasi masalah yang
sedang dihadapi, membicarakan
tujuan spesifik yang harus dicapai
serta mendiskusikan berbagai
intervensi yang harus diambil
untuk mencapai tujuan tadi.
Pekerjaan, tugas dan tanggung
jawab diterapkan tidak sematamata berdasarkan disiplin atau
bidang terkait namun juga
berdasarkan kompetensi atau
kemampuan individu, mau pun
atas dasar kebutuhan dan situasi
masalah yang sedang dihadapi.
Peran dan tanggung jawab setiap
disiplin tidaklah kaku namun
dapat beralih sesuai
perkembangan masalah yang ada
saat itu. Pada model ini, identitas
dan praktik setiap bidang tidak
terikat pada disiplin terkait,
melainkan dapat tumbuh dan
berkembang sesuai dengan
paparan dengan disiplin lain saat
bekerja, juga dengan pengalaman
yang didapat serta sejalan
dengan perkembangan
kebutuhan profesional yang

semakin mendalam; yang lebih


penting adalah sesuai pula
dengan kemampuan dan
k e t e r t a r i k a n u n t u k
mengembangkan profesinya
masing-masing (Satin, 1996;
Siegler, 2006).
Proses Kolaborasi
Proses koordinasi untuk
mendapatkan kolaborasi yang
dapat bekerja secara optimal
memang tidaklah mudah;
diperlukan serangkaian proses
yang harus dilalui baik secara
formal mau pun informal. Pertama,
masing-masing pihak harus
sepakat untuk membangun
kolaborasi ini. Kedua belah pihak
seyogyanya duduk bersama dan
menuangkan seluruh pemikiran,
impian, dan keinginan masingmasing. Kedua pihak harus
memahami buah pikiran masingmasing dan menyatakan
pentingnya kerja sama ini serta
setuju untuk berkolaborasi.
Langkah berikutnya adalah
menetapkan peran dan fungsi
masing-masing dalam
pengelolaan pasien. Batasan
kegiatan masing-masing pihak
perlu dielaborasi secara rinci
dan disepakati dengan
berpatokan pada kesepakatan
pemikiran yang telah dicapai
sebelumnya (bahwasanya
keselamatan dan kepuasan
pasien adalah yang utama serta
merupakan tujuan bersama).
Kemungkinan terdapatnya
tumpang tindih dari berbagai
peran yang ada akan terlihat
sehingga konflik dapat

dihindari. Konflik masih


potensial timbul karena setiap
disiplin merasa paling memiliki
kompetensi (atau setidaknya
lebih kompeten daripada disiplin
l a i n n y a ) . Te r j a d i n y a k o n f l i k
bukanlah satu-satunya
ancaman; tidak tercapainya apa
yang disebut sebagai tujuan
bersama juga merupakan hal
yang perlu diantisipasi.
Perbedaan latar belakang
pendidikan/ pelatihan dan
k u r a n g l a n c a r n y a
komunikasi disadari

karena masing-masing
pihak ternyata mempunyai
visi yang s a m a .
Setelah kesepakatan
bersama ditaati, masingmasing pihak akan
menegaskan kembali
pengertian pendekatan
interdisiplin yang harus
diterapkan -yang berbeda
dari multidisiplin,
paradisiplin maupun
pandisiplin. Selain itu,
perbedaan yang ada dapat
disikapi dengan tingkat
toleransi yang tinggi dan
dianggap sebagai aset
positif. Setiap anggota
s a l i n g m e m b a n t u d a n saling
mendukung; mereka
berpartisipasi aktif dan selfinitiated.
Dengan pelaksanaan kolaborasi
yang secara sadar
mengedepankan pemahaman
akan peran masing-masing

September 2009

Ular Berbisa di Indonesia


Racun adalah zat atau senyawa yang masuk ke dalam
tubuh dengan berbagai cara yang menghambat respons
pada sistem biologis dan dapat menyebabkan gangguan
kesehatan, penyakit, bahkan kematian. Keracunan
sering dihubungkan dengan pangan atau bahan kimia.
Pada kenyataannya bukan hanya pangan atau bahan
kimia saja yang dapat menyebabkan keracunan. Di
sekeliling kita ada racun alam yang terdapat pada
beberapa tumbuhan dan hewan. Salah satunya adalah
gigitan ular berbisa yang sering terjadi di daerah tropis
dan subtropis. Mengingat masih sering terjadi keracunan
akibat gigitan ular maka untuk dapat menambah
pengetahuan masyarakat kami menyampaikan
informasi mengenai bahaya dan pertolongan terhadap
gigitan ular berbisa.
Ular merupakan jenis hewan melata yang banyak
terdapat di Indonesia. Spesies ular dapat dibedakan atas
ular berbisa dan ular tidak berbisa. Ular berbisa memiliki
sepasang taring pada bagian rahang atas. Pada taring

Bagaimana Mengenali Ular


Berbisa?
Tidak ada cara sederhana untuk
mengidentifikasi ular berbisa.
Beberapa spesies ular tidak berbisa
dapat tampak menyerupai ular
berbisa. Namun, beberapa ular
berbisa dapat dikenali melalui ukuran,
bentuk, warna, kebiasaan dan suara
yang dikeluarkan saat merasa
terancam. Beberapa ciri ular berbisa
adalah bentuk kepala segitiga, ukuran
gigi taring kecil, dan pada luka bekas
gigitan terdapat bekas taring.
Sifat Bisa, Gejala, dan Tanda Gigitan
Ular
Berdasarkan sifatnya pada tubuh
mangsa, bisa ular dapat dibedakan
menjadi bisa hemotoksik, yaitu bisa
yang mempengaruhi jantung dan
sistem pembuluh darah; bisa
neurotoksik, yaitu bisa yang
mempengaruhi sistem saraf dan otak;
dan bisa sitotoksik, yaitu bisa yang
hanya bekerja pada lokasi gigitan.
Tidak semua ular berbisa pada waktu
menggigit menginjeksikan bisa pada
korbannya. Orang yang digigit ular,
meskipun tidak ada bisa yang

meningkatkan penyerapan bisa


dan menimbulkan pendarahan
lokal.
2. Korban harus segera dibawa ke
rumah sakit secepatnya, dengan
cara yang aman dan senyaman
mungkin. Hindari pergerakan atau
kontraksi otot untuk mencegah
peningkatan penyerapan bisa.
3. Pengobatan gigitan ular
Pada umumnya terjadi salah
pengertian mengenai pengelolaan
gigitan ular. Metode penggunaan
torniket (diikat dengan keras
sehingga menghambat peredaran
darah), insisi (pengirisan dengan
alat tajam), pengisapan tempat
gigitan, pendinginan daerah yang
digigit, pemberian antihistamin
dan kortikosteroid harus dihindari
karena tidak terbukti manfaatnya.
4. Terapi yang dianjurkan meliputi:
a. Bersihkan bagian yang terluka
dengan cairan faal atau air
steril.
b. Untuk efek lokal dianjurkan
imobilisasi menggunakan
perban katun elastis dengan
lebar + 10 cm, panjang 45 m,
yang dibalutkan kuat di
sekeliling bagian tubuh yang
tergigit, mulai dari ujung jari
kaki sampai bagian yang
terdekat dengan gigitan.
Bungkus rapat dengan perban
seperti membungkus kaki yang
terkilir, tetapi ikatan jangan
terlalu kencang agar aliang 85E42(p)-

Pengawasan Obat dan Makanan di Indonesia yang


merupakan bagian integral dari pembangunan
kesehatan secara umum harus dapat mengantisipasi
perubahan lingkungan strategis yang senantiasa
berubah secara dinamik. Perubahan-perubahan
tersebut, baik yang berpengaruh secara langsung
maupun tidak langsung pada sistem pengawasan obat
dan makanan, harus dapat diantisipasi secara cepat
dan tepat. Dalam upaya meningkatkan perlindungan
kesehatan masyarakat dari risiko produk obat dan
makanan yang berisiko terhadap kesehatan termasuk

Nopember 2009

penggunaan produk yang tepat dan


aman.
Seluruh rangkaian evaluasi yang
dilakukan sebelum produk diedarkan ke
masyarakat merupakan langkahlangkah pengawasan pre-market (prapemasaran).
Selain melakukan pengawasan melalui
evaluasi pre-market, Badan POM juga
melakukan post-market surveilans
dengan melakukan sampling dan
pengujian laboratorium atas produk yang
beredar.
Untuk pemantauan keamanan obat
sesudah beredar dilakukan melalui
program Monitoring Efek Samping Obat
(MESO). Untuk melaksanakan program
ini, Pusat MESO Nasional bekerjasama
dan berkomunikasi dengan mitra kerja
antara lain tenaga kesehatan (dokter,
apoteker, bidan), Rumah Sakit,
Akademisi, Organisasi Profesi di bidang
kesehatan, WHO dan Drug Regulatory
Authority Negara lain. Melalui program
ini Badan POM menerbitkan dan
mengirimkan buletin Berita MESO serta
menyebarkan formulir MESO yang
dikenal dengan form kuning MESO ke
seluruh Rumah Sakit dan Puskesmas di
seluruh Indonesia, 2 (dua) kali dalam
setahun. Metode pelaporan dalam
program MESO adalah pelaporan
secara sukarela dari tenaga kesehatan.
Terhadap laporan Efek Samping Obat
(ESO) yang diterima akan dilakukan
pengkajian mengenai validitas laporan,
validitas efek samping dan hubungan
kausal antara ESO dengan obat yang
digunakan. Pengkajian dilakukan
bersama Tim ahli MESO dari FKUI dan
selanjutnya hasil pembahasan ini

Nopember 2009

dilaporkan ke WHO. Selain itu juga


dilakukan pengkajian isu global terkait
keamanan obat yang berkembang di
negara lain. Bila diperlukan akan
ditetapkan suatu rekomendasi tindak
lanjut regulatori. Untuk produk lain
seperti obat tradisional, suplemen
makanan dan kosmetik juga dilakukan
Monitoring Efek Samping Obat
Tradisional (MESOT), Monitoring Efek
Samping Suplemen Makanan (MESM)
dan Monitoring Efek Samping Kosmetik
(MESK).
Selain itu, untuk memantau peredaran
dan mencegah penyimpangan dalam
distribusi obat impor perlu dilakukan
pengawasan sejak di entry point,
demikian juga untuk mencegah
penyalahgunaan bahan baku obat
untuk kepentingan ilegal, Untuk
memantau peredaran dan mencegah

penyimpangan dalam distribusi obat


impor perlu dilakukan pengawasan sejak
di entry point, demikian juga untuk
mencegah penyalahgunaan bahan baku
obat untuk kepentingan ilegal,
dipandang perlu dilakukan pengawasan
sejak pemasukannya ke wilayah
Indonesia. Oleh karena itu pada tanggal
10 Juli 2005 diterbitkan peraturan Kepala
Badan POM
No. HK.00.05.1.3459
tentang Pengawasan Pemasukan Obat
Impor dan No. HK.00.05.1.3460 tentang
Pengawasan Pemasukan Bahan Baku
Obat.
Salah satu hasil pengawasan post
market surveilans yang dilakukan oleh
Badan POM dipaparkan dalam text-box.
Dra. Tri Asti, Mpharm
Pusat Informasi Obat Nasional

PROFIL

Jawa Timur adalah sebesar 807 jiwa perkilometer persegi,


dengan angka kematian bayi di Jawa Timur pada 2007
32,93% dan angka harapan hidup 68,90.

Laju pertumbuhan

ekonomi Jawa Timur pada tahun 2006 adalah 5,80%.

Balai Besar POM

Jumlah sarana yang termasuk dalam ruang lingkup


pengawasan Balai Besar POM di Surabaya meliputi 42
Industri Farmasi, 5 Industri Obat Tradisional, 245 Industri Kecil

Di Surabaya

Obat Tradisional, 128 Industri Kosmetika, 77 Industri PKRT,

Balai Besar POM di Surabaya merupakan salah satu Unit

Khusus, 909 Puskesmas, 1.706 Apotek, 338 Toko Obat, 38

345 Industri Pangan, 17.063 Industri Rumah Tangga Pangan,


346 Pedagang Besar Farmasi, 161 Rumah Sakit Umum dan

Pelaksana Teknis (UPT) Badan POM yang dibentuk

Gudang Farmasi, 140 sarana distribusi obat tradisional, 497

berdasarkan SK Kepala Badan POM No. 05018/SK/KBPOM

sarana distribusi kosmetika, 1.150 saran distribusi pangan,

tanggal 17 Mei 2001 tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit

130 sarana distribusi suplemen makanan, sarana distribusi

Pelaksana Teknis di Lingkungan Badan Pengawas Obat dan

bahan berbahaya dan 116 sarana penjualan parcel.

Makanan. Sebagai UPT, tentunya Balai Besar POM di


Surabaya mempunyai tugas dan fungsi pengawasan obat dan

B. Lingkungan Internal

makanan di wilayah Propinsi Jawa Timur dalam rangka

Jumlah pegawai Balai Besar POM di Surabaya seluruhnya

memberikan perlindungan kepada masyarakat terhadap risiko

adalah 143 orang. Terdiri dari 54 pegawai laki-laki dan 89

yang berdampak pada kesehatan akibat penggunaan dan

pegawai perempuan (data per 31 Desember 2008) orang. Dari

penyalahgunaan obat, narkotika, psikotropika dan zat adiktif

jumlah tersebut 24 orang pegawai golongan IV, Golongan III

(NAPZA), obat tradisional, pangan, suplemen makanan,

100 orang dan 19 orang golongan II. Pejabat struktural

kosmetik dan perbekalan kesehatan rumah tangga (PKRT)

berjumlah 11 orang, pejabat fungsional PFM golongan IV

yang tidak memenuhi persyaratan keamanan, kemanfaatan

berjumlah 5 orang, PFM golongan III berjumlah 43 orang dan

dan mutu.

pejabat fungsional PFM golongan II 2 orang. Jumlah total

KEADAAN UMUM DAN LINGKUNGAN

Pemeriksaan dan Penyidikan 30 orang, Bidang Pengujian

pegawai di Sub. Bag. TU adalah 30 orang, Bidang


A. Lingkungan Eksternal

Pangan dan Bahan Berbahaya 15 orang, Bidang Pengujian

Wilayah kerja (catchment area) Balai Besar POM di Surabaya

Mikrobiologi 9 orang, Bidang Pengujian Produk Terapetik, OT,

adalah 29 kabupaten dan 9 kota di Jawa Timur. Luas wilayah

Kosmetik dan Produk Komplemen 36 orang dan Bidang

kerja 46.428,38 km2 dan wilayah terjauh dari Ibukota adalah

Sertifikasi dan Layanan Informasi Konsumen 13 orang.

Kabupaten Banyuwangi dan Pacitan. Terdapat 4 Kabupaten

Balai Besar POM di Surabaya beralamat di Jalan

berada di pulau Madura. Untuk mencapai wilayah kerja Balai

Karangmenjangan No.20/22 Surabaya. Terdapat 4 saluran

Besar POM di Surabaya, bisa ditempuh dengan jalan darat

telepon, 1 menggunakan sistem PABX kapasitas 36

menggunakan mobil, dan beberapa daerah bisa

ekstension untuk menghubungi Balai Besar POM di Surabaya

menggunakan kereta api, sedangkan untuk ke Pulau Madura

yaitu (031) 5022815, 5020575, 5048833, 5015486 dan

dapat ditempuh menggunakan kapal selain darat. Rata-rata

terdapat 5 saluran faximili.Sedangkan alamat e-mail yang

waktu perjalanan ke wilayah kerja ditempuh selama 4 jam

dapat dihubungi adalah bpom_surabaya@pom.go.id serta

dimana paling lama perjalanan ditempuh selama 6 jam dan

bbpom_surabaya@yahoo.co.id

paling cepat 2 jam. Sedangkan waktu perjalanan di satu


wilayah kerja rata-rata 3 jam dimana paling lama 4 jam dan

HASIL KEGIATAN PENGAWASAN OBAT DAN MAKANAN

paling singkat 2 jam.

TAHUN 2008

Jumlah penduduk di wilayah kerja Balai Besar POM di

Pada tahun 2008 telah dilakukan pemeriksaan terhadap

Surabaya adalah 37.478.737 jiwa (Badan Pusat Statistik Jawa

sarana produksi dan distribusi obat, NAPZA, obat tradisional,

Timur, Desember 2008). Kota Surabaya mempunyai jumlah

kosmetika, suplemen makanan, pangan dan bahan

penduduk yang paling besar, yaitu 2.720.156 jiwa, diikuti

berbahaya serta dilakukan pengambilan contoh komoditi

Kabupaten Malang sebesar 2.442.422 jiwa dan Kabupaten

produk-produk tersebut untuk diuji di Laboratorium Balai

Jember yaitu 2.293.740 jiwa. Tingkat kepadatan penduduk

Besar POM di Surabaya.

Nopember 2009

Kepala Balai Besar POM Surabaya


Drs.Sudiyanto, Apt.
Kepala Bidang Pengujian Teranokoko
Dra. Retno Chatulistiani P, Apt
Kepala Bidang Pengujian Pangan dan BB
Drs. Muhammad Muchtar, Apt., MH
Kepala Bidang Mikrobiologi
Dra. Puryani
Kepala Bidang Sertifikasi dan Layanan informasi Konsumen
Dra. Endang Widowati, Apt
Kepala Bidang Pemeriksaan dan Penyidikan
Dra. Harlina Samadi, Apt
Ka Sub Bag TU
Dra. Retno Kurpaningsih, Apt
Ka Sie Layanan Informasi Konsumen
Drs. Suprihadi, Apt.
Ka Sie Sertifikasi
Dra. Lindawati, Apt
Ka Sie Pemeriksaan
Drs. Kotot Munarto, Apt
Ka Sie Penyidikan
Dra. Trikoranti Mustikawati, Apt

semua sarana industri farmasi yang diperiksa belum menerapkan


CPOB dengan baik.

PBF yang ada 346 sarana, yang diperiksa 175 PBF


(50,58%) dan ditemukan 19 sarana PBF yang tidak
memenuhi ketentuan.

Produsen pangan jumlah 13.345 sarana, diperiksa 246


sarana (1,8%) tidak memenuhi ketentuan 59 sarana
(23,98%). Produsen IRTP diperiksa 297 sarana, tidak
memenuhi ketentuan 63 sarana (21,2%), perlu diketahui
bahwa pengawasan IRTP menjadi tanggung jawab
Kabupaten/Kota sehingga pengawasan rutin oleh Balai
POM sangat dikurangi. Pengawasan distribusi makanan
dilakukan terhadap 274 sarana, sedang pada kegiatan
pengamanan parcel Lebaran, Natal dan tahun Baru
diperiksa 111 sarana dan ditemukan 182 produk yang tidak
memenuhi syarat

Sarana distribusi NAPZA meliputi 3 sarana PBF Narkotika


dan 52 sarana Psikotropika. Dari 3 sarana PBF Narkotika
diperiksa 2 sarana (66,67%) yang hasilnya satu sarana
tidak memenihi ketentuan. Dan dari 52 PBF sarana
Psikotropika diperiksa 14 sarana (26,92 %) yang hasilnya

Pengawasan Produk Beredar

3 saran tidak memenuhi ketentuan.

Pada tahun 2008 produk terapetik/Obat, NAPZA dan PKRT yang


diuji berjumlah 3.833 sampel. Sampel terdiri dari Obat (1866

Jumlah sarana produksi kosmetika di Jawa Timur

sampel), NAPZA (114 sampel), Alkes (18 sampel), PKRT (117

sebanyak 128 sarana. Diperiksa dalam rangka

sampel) sedangkan rokok tidak dilakukan sampling karena belum

pengawasan rutin: 75 (60%) sarana dan ditemukan 3 (4%)


sarana tidak memenuhi ketentuan.

berfungsinya alat uji yang ada di BBPOM di Surabaya. Sampling


pangan dilakukan pada 204 sampel jajanan anak sekolah, 382

Cakupan pengawasan industri obat tradisional sebanyak

sampling seri, 66 sampel garam beryodium, 941 sampel produk

94 (38,37%) dari sarana yang ada, hasil pemeriksaan

pangan sesuai prioritas sampling. Obat Tradisional (875 sampel),

menunjukkan 16 (17,02%) sarana tidak memenuhi


ketentuan.

Kosmetika (697 sampel), Suplemen (101 sampel). Hasil uji


menunjukkan 0,59% sampel obat; 9,49% obat tradisional; 15,1%

Tahun 2008 iklan yang diawasi dan dinilai sebanyak 4.350

kosmetika tidak memenuhi syarat. Jajanan anak perlu sangat

iklan dan 1.731 (39,79%) diantaranya tidak memenuhi

diperhatian karena jumlah yang tidak memenuhi syarat cukup

ketentuan.

tinggi yaitu 60,8% dari 204 sampel MAJS yang diuji, utamanya

Penyidikan

karena mengandung cemaran mikrobiologi dan boraks. Hasil uji

Penyidikan kasus tindak pidana bidang obat dan makanan berhasil

Obat Tradisional menunjukkan 11,2% sampel tidak memenuhi

menjaring 20 kasus, semua pemberkasan dilakukan oleh PPNS

syarat. Pelanggaran terbanyak pada produk obat tradisional

Balai Besar POM Surabaya. Adapun sarana-sarana yang

adalah adanya kandungan Bahan Kimia Obat (BKO). Jenis BKO

melakukan pelanggaran tersebut terdiri dari sarana distribusi (toko,

yang paling banyak ditemukan adalah parasetamol. Pada sediaan

toko jamu), sarana produksi kosmetika dan rumah tinggal tersebar

kosmetika, yang terbanyak adalah pelanggaran pada label, yaitu

di beberapa kabupaten/ kota di Propinsi Jawa Timur.

tidak mencantumkan nomor batch, nama pabrik atau keduanya.

Pelayanan dan Pemberdayaan Masyarakat

Kosmetika beredar masih juga ditemukan mengandung bahan

Dalam rangka pelayanan dan pemberdayaan masyarakat telah

berbahaya merkuri (1 sampel), pewarna yang dilarang (7 sampel),

diterima dan ditindaklanjuti 779 pengaduan, serta telah

dan penetapan kadar zat aktif yang melampaui batas yang

dilaksanakan penyebaran informasi ke berbagai instansi dan media

diperbolehkan.

sebanyak 48 kali. Dan untuk meningkatkan pengetahuan petugas

Pemeriksaan Sarana Produksi Dan Distribusi Farmasi dan

Balai Besar POM di Surabaya, Dinas Kesehatan Kab/Kota dan

Alat Kesehatan (Farmakes)

produsen telah dilatih tentang Distric Food Inspector sebanyak 38

Cakupan pemeriksaan pada sarana produksi dan distribusi

orang dari perwakilan 38 Kab/Kota wilayah kerja Balai Besar POM

farmakes masih kecil dibanding sarana yang ada.

di Surabaya.

Sarana Industri Farmasi yang ada 42 diperiksa 20 (47,62%),

Nopember 2009

11

InfoPOM
Penasehat : Kepala Badan
Pengawas Obat dan Makanan;
Penanggung jawab : Sekretaris
Utama Badan Pengawas Obat dan
Makanan; Pimpinan Redaksi :
Kepala Pusat Informasi Obat dan
Makanan; Sekretaris Redaksi:
Budi Djanu Purwanto, SH, MH;
Tim Editor : Dra. Hardaningsih,
MHSM, Dra. Sri Mulyani, Apt, Dra.
Dyah Nugraheni, Apt, Suyanto, SP,
MSi, Yustina Muliani, SSi, Apt,
Yusra Egayanti, SSi, Apt, Yuli
Hijrah Saputri, SSi, Apt, Ellen
Simanjuntak, SE, Dra. Tri Asti I,
Apt, Mpharm, Dra. Muti Hadiyani,
Rohyanih, SKom, Dewi Sofiah,
SSi, Apt; Redaksi Pelaksana :
Yulinar, SKM, Indah
Widiyaningrum, Ssi, Apt, Eriana
Kartika Asri, Ssi, Apt, Denik
Prasetiawati, SFarm, Apt, Arlinda
Wibiayu, Ssi, Apt; Sekretariat :
Sandhyani ED, Ssi, Apt, Tanti
Kuspriyanto, Ssi, Msi, Anis Siti
Annisa, SKom;
Sirkulasi :
Surtiningsih, Netty Sirait.
Alamat Redaksi : Pusat Informasi
Obat dan Makanan Badan
Pengawas Obat dan Makanan, Jl.
Percetakan Negara No. 23, Jakarta
Pusat, Telp. 021-4259945, Fax. 0214 2 8 8 9 1 1 7 ,

e - m a i l :

informasi@pom.go.id
Redaksi menerima naskah yang
berisi informasi yang terkait
dengan obat, kosmetika, obat
tradisional, produk komplemen,
zat adiktif dan bahan berbahaya.
Kirimkan melalui alamat redaksi
dengan format minimal MS. Word
97,

spasi ganda maksimal 4

halaman A4.

LABORATORIUM TERANOKOKO
BALAI BESAR POM DI SURABAYA

Anda mungkin juga menyukai