Anda di halaman 1dari 27

II.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pantai
Pantai adalah daerah tepi perairan yang dipengaruhi oleh air pasang tertinggi
dan air surut terendah, sedangkan pesisir adalah daerah darat di tepi laut yang masih
mendapat pengaruh laut seperti pasang surut, angin laut dan perembesan air laut.
Daerah daratan adalah daerah yang terletak di atas dan di bawah permukaan daratan
yang dimulai dari batas garis pasang tertinggi. Daerah lautan adalah daerah yang
terletak di atas dan di bawah permukaan laut dimulai dari sisi laut pada garis surut
terendah, termasuk dasar laut dan bagian bumi di bawahnya. Garis pantai adalah garis
batas pertemuan antara daratan dan air laut, dimana posisinya tidak tetap dan dapat
berpindah sesuai dengan pasang surut air laut dan erosi pantai yang terjadi. Lihat
Gambar 2 (Triatmodjo, 1999).

Gambar 2. Definisi dan Batasan Pantai.

Ditinjau dari profil pantai, Triatmodjo (1999) membagi daerah pantai dan dasar
laut dekat pantai menjadi empat wilayah yang berurutan dari darat ke laut yaitu
backshore, foreshore, inshore, dan offshore dapat dilihat dalam Gambar 3. Backshore
adalah salah satu bagian dari pantai yang berada pada perbatasan daratan dan laut,
daerah ini tidak terendam air laut kecuali pada saat muka air tinggi, foreshore
merupakan bagian pantai yang terletak di antara daerah garis pantai pada saat air
surut terendah dan daerah batas atas dari uprush pada saat air pasang tinggi, inshore
merupakan daerah dimana terjadinya gelombang pecah, memanjang dari surut
terendah sampai ke garis gelombang pecah, perbatasan daerah inshore dan forshore
adalah batas antara air laut muka air rendah dan permukaan pantai. Sedangkan
offshore adalah bagian laut yang terletak sangat jauh dari pantai (lepas pantai), yaitu
daerah dari garis gelombang pecah ke arah laut.

Gambar 3. Pembagian Daerah Pantai (Sumber : Triatmodjo, 1999).

2.2. Pemanfaatan pantai Indonesia


Indonesia memiliki lebih dari 3.700 pulau dan wilayah pantai sepanjang 80.000
km. Wilayah pantai tersebut dimanfaatkan untuk kegiatan manusia, seperti sebagai
pusat pemerintahan, pemukiman, industri, pelabuhan, pertambakan, pertanian
perikanan atau pariwisata dan lain sebagainya. Kegiatan-kegatan tersebut seringkali
menimbulkan tingkat kebutuhan lahan dan prasarana meningkat. Hal ini yang
mengakibatkan adanya masalah-masalah baru yang sangat merusak lingkungan,
seperti :
1. Erosi pantai, adalah mundurnya garis pantai yang dapat terjadi
dikarenakan secara alami oleh serangan gelombang dan juga dapat
disebabkan oleh adanya kegiatan manusia seperti penebangan pohon
mangrove, pengambilan karang, pembangunan pelabuhan dan lain
sebagainya.
2. Sedimentasi pantai, adalah majunya garis pantai yang disebabkan adanya
endapan sedimen yang terendap di pantai. Sedimentasi ini di satu pihak
merupakan keuntungan dikarenakan dapat menimbulkan lahan baru tetapi
di lain pihak dapat menyebabkan masalah lain yaitu masalah drainase
perkotaan di daerah pantai.
3. Pendangkalan atau pembelokan muara sungai, hal ini dapat menyebabkan
aliran sungai tersumbat dan pada akhirnya mengakibatkan bencana banjir
di daerah hulu.
4. Pencemaran lingkungan yang diakibatkan oleh limbah industri atau
pemukiman yang dapat merusak lingkungan.
5. Penurunan tanah dan intrusi air laut yang diakibatkan oleh pemompaan air
tanah yang berlebihan.

2.3. Pasang Surut Air Laut


Pasang surut adalah fenomena pergerakan naik turunnya permukaan air laut
secara berkala yang disebabkan oleh gaya gravitasi dan gaya tarik benda-benda
astronomi terutama oleh bumi, bulan dan matahari. Pengaruh benda angkasa lainnya
dapat diabaikan karena jaraknya lebih jauh dan ukurannya lebih kecil. Faktor non
astronomi yang mempengaruhi pasang surut terutama di perairan semi tertutup seperti
teluk adalah bentuk garis pantai dan topografi dasar perairan (Musrifin, 2011).
Triatmodjo (1999) mengatakan bahwa pasang surut adalah perubahan muka air
laut yang dikarenakan adaya gaya taraik benda-benda di langit, terutama matahari dan
bulan terhadap air laut bumi.
Menurut Musrifin (2011), puncak gelombang disebut pasang tinggi dan lembah
gelombang disebut pasang rendah. Perbedaan vertikal antara pasang tinggi dan
pasang rendah disebut rentang pasang surut (tidal range). Pasang surut adalah
gerakan naik turunnya permukaan air laut secara berirama yang disebabkan oleh gaya
tarik bulan dan matahari, dimana matahari mempunyai massa 27 juta kali lebih besar
dibandingkan dengan bulan, tetapi jaraknya sangat jauh dari bumi (149,6 juta km)
sedangkan bulan sebagai satelit bumi berjarak (381.160 km). Dalam mekanika alam
semesta jarak sangat menentukan dibandingkan dengan massa, oleh sebab itu bulan
lebih mempunyai peran besar dibandingkan matahari dalam menentukan pasut.
Secara perhitungan matematis daya tarik bulan kurang lebih sekitar 2,25 kali lebih
kuat dibandingkan matahari. Periode pasang surut adalah waktu antara puncak atau
lembah gelombang ke puncak atau lembah gelombang berikutnya.

Pengetahuan mengenai pasang surut sangat penting digunakan dalam perencaan


bangunan pantai dan pelabuhan, elevasi air pasang dan surut sangat digunakan dalam
pembangunan bangunan tersebut (Triatmodjo,1999).
Pasang yang mempunyai tinggi maksimum disebut spring tide dan mempunyai
tinggi minimum disebut neap tide. Biasanya dalam satu bulan terjadi dua siklus
lengkap berhubungan dengan fase bulan (lihat Gambar 4). Spring tide terjadi pada
bulan baru (new moon) dan pada bulan penuh (full moon), sedangkan nipe tide terjadi
pada perempatan bulan pertama dan perempatan bulan ketiga. (Hutabarat dan Evans,
1985).

Gambar 4. Variasi Pasang Surut Karena Perubahan Posisi Bumi-Bulan-Matahari


(Triatmodjo, 1999).
Tipe pasang surut ditentukan oleh frekuensi air pasang dengan surut setiap
harinya (lihat Gambar 5). Suatu perairan mengalami satu kali pasang dan satu kali
surut dalam satu hari, kawasan tersebut dikatakan bertipe pasang surut harian tunggal
(diurnal tides), namun jika terjadi dua kali pasang dan dua kali surut dalam sehari,

maka tipe pasang surutnya disebut tipe harian ganda (semi diurnal tides). Tipe pasang
surut lainnya merupakan peralihan antara tipe tunggal dan ganda disebut dengan tipe
campuran (mixed tides) dan tipe pasang surut ini digolongkan menjadi dua bagian
yaitu tipe campuran dominasi ganda dan tipe campuran dominasi tunggal. Selain
dengan melihat data pasang surut yang diplot dalam bentuk grafik, tipe pasang surut
juga dapat ditentukan berdasarkan bilangan formzahl (F) (Musrifin,2011).

Gambar 5. Tipe Pasang Surut (Sumber : Triatmodjo,1999).


Menurut Triatmodjo (1999) tipe pasang surut dapat dibedakan menjadi 3 (tiga)
bentuk dasar berdasarkan pada nilai Formzahl (F) yang diperoleh dari persamaan:

F = K1+O1/M2+S2
Keterangan:

(2.1)

: nilai formzahl

K1 dan O1

: konstanta pasang surut harian utama

M2 dan S2

: konstanta pasang surut ganda utama

Setelah mengetahui nilai Formzahl, maka tipe pasang surut dapat diklasifikasikan
sebagai berikut:
1. Pasang surut ganda (semi diurnal tides): F 0,25
2. Pasang surut campuran: 0,25 < F 3,00
a). Pasang surut campuran dominan ganda (mixed dominant semi diurnal) untuk
0,25 < F 0,50
b). Pasang surut campuran dominan tunggal (mixed dominant diurnal) untuk 0,50
< F 3,00
3. Pasang surut diurnal: F > 3,00

2.4.

Batimetri
Pipkins, 1987 dalam Nugraha, 2013 mengatakan bahwa

istilah

batimetri

bahasa Yunani, yaitu bathos yang berarti kedalaman dan metry yang berarti ilmu
pengukuran. Sedangkan menurut Poerbandono dan Djunarsjah (2005) batimetri
merupakan kegiatan pengumpulan data kedalaman dasar laut dengan metode
penginderaan atau rekaman dari permukaan dasar perairan yang akan diolah untuk
menghasilkan relief dasar perairan, sehingga dapat digambarkan susunan dari garisgaris kedalaman (kontur).

Gambar 6. Tipe-tipe Pasang Surut Air Laut di Indonesia


(Wyrtky, 1961 dalam Triatmodjo, 1999).
Survei batimetri merupakan bagian dari survei hidrogra yang meliputi semua
kegiatan yang bertujuan untuk memberikan informasi berupa gambaran dan
keterangan yang jelas tentang perairan - perairan dan pantai sekitamya. Pengetahuan
mengenai akustik bawah laut merupakan suatu hal yang sangat penting bagi surveyor
hidrogra. Sifat-sifat dari perambatan akustik di bawah air yang sering digunakan
untuk mengukur kedalaman laut, ketebalan lapisan laut. Setiyono, 1996 dalam
Nugraha, 2013 menambahkan, batimetri adalah ilmu yang mempelajari pengukuran
kedalaman lautan, laut atau tubuh perairan lainnya.
Menurut Standar Nasional Indonesia (SNI) yang dijelaskan pada SNI
7646:2010 mengenai Survei Hidrografi Menggunakan Single Beam (2010) batimetri
adalah teknik atau metode yang digunakan dalam penentuan kedalaman laut atau
profil dasar laut dari hasil analisa data kedalaman. Standar Nasional Indonesia (SNI)

7646:2010 mengenai Survei Hidrografi Menggunakan Single beam adalah pedoman


bagi para pelaksana survei hidrografi untuk keperluan pemetaan dasar agar
didapatkan data yang terjamin kualitasnya. Unsur utama pembuatan batimetri adalah
pengukuran jarak dan kedalaman.
Survei batimetri adalah proses penggambaran dasar perairan, proses tersebut
dimulai dari pengukuran, pengolahan, hingga visualisasi dasar perairan. Pengukuran
kedalaman dilakukan pada titik-titik yang dipilih untuk mewakili keseluruhan daerah
yang akan dipetakan, selanjutnya pembuatan garis kontur kedalaman diperoleh
dengan menginterpolasi titik-titik yang telah dilakukan pengukuran kedalaman
(Poerbandono dan Djunarsjah, 2005). Survei batimetri merupakan suatu proses
kegiatan pengukuran kedalaman yang ditujukan untuk memperoleh suatu gambaran
(model) dan bentuk permukaan dasar perairan (seabed surface) (Yanto,2007).
2.4.1. Pemetaan Batimetri
Pengukuran kedalaman dilakukan pada titik-titik yang dipilih untuk mewakili
keseluruhan daerah yang akan dipetakan. Pada titik-titik tersebut juga dilakukan
pengukuran untuk penentuan posisi. Titik-titik tempat dilakukannya pengukuran
untuk penentuan posisi dan kcdalaman disebut sebagai titik ks perum. Pada setiap
titik-titik ks perum harus juga dilakukan pencatatan waktu pengukuran untuk
reduksi hasil pengukuran karena pasang surut (Poerbandono dan Djunarsjah, 2005)
Menurut Poerbandono dan Djunarsjah (2005) pemeruman adalah proses dan
aktivitas yang ditujukan untuk memperoleh gambaran (model) bentuk permukaan
(topografi) dasar perairan (seabed surface). Gambaran dasar perairan dapat disajikan
dalam garis-garis kontur atau model permukaan digital. Menurut SNI 7646:2010
mengenai Survei Hidrografi Menggunakan Single Beam (2010) pemeruman adalah

kegiatan untuk menentukan kedalaman permukaan dasar laut atau benda-benda di


atasnya terhadap permukaan laut. Pengukuran kedalaman laut (batimetri) dilakukan
dengan dua metode, yaitu sebagai berikut :
1. Metode Mekanik
Metode mekanik merupakan metode yang paling awal yang pernah dilakukan
oleh manusia untuk mengukur kedalaman suatu peraitran (Poerbandono dan
Djunarsjah, 2005). Metode ini juga sering disebut dengan petode pengukuran
pengukuran kedalaman secara langsung. Peralatan yang dipakai untuk melakukan
pengukuran kedalaman dengan metode ini adalah tongkat ukur atau rantai ukur yang
dilakukan dengan bantuan wahana apung.
a. Menggunakan Tongkat Ukur
Bentuk dan penampilan tongkat ukur tidak jauh berbeda dengan rambu
ukur yang digunakan untuk pengukuran sipat datar. Pada tongkat ukur terdapat
garis-garis dan angka-angka tanda skala bacaan ukuran. Pengukuran
kedalaman dilakukan dengan menenggelamkan alat hingga menyentuh dasar
perairan. Kedudukan alat diusahakan tegak lurus terhadap permukaan air
(Gambar 7). Pengukuran menggunakan tongkat ukur terkadang mengharuskan
pengukur turun ke dalam air untuk melakukan pengukuran menggunakan
tongkat ukur (Poerbandono dan Djunarsjah, 2005).

Tongkat Ukur

Muka Air Laut

Dasar Perairan

Gambar 7. Pengkuran Kedalaman Laut Menggunakan Tongkat Ukur.


Dari pengukuran menggunakan tongkat ukur ini maka akan didapatkan
nilai kedalaman yang belum terkoreksi dengan nilai pasang surut di daerah
tersebut, sehingga dengan menggunakan kurva pasang surut yang telah
diketahui sebelumnya di kurangi dengan nilai kedalaman yang telah diukur,
sehingga semua titik kedalaman memiliki nilai referensi yang sama.
hmsl=h(ItideIref )

(2-2)

Keterangan :
hmsl : kedalaman yang telah dikoreksi dengan nilai pasang surut
h

: kedalaman hasil pengukuran

Itide : titik referensi pengukuran


Iref

: referensi kedalaman terhadap nilai MSL

: nilai elevasi pasang surut

b. Menggunakan Rantai Ukur


Karena fleksibilitas bentuknya pengukuran kedalaman menggunakan
rantai ukur biasanya dipakai untuk melakukan pengukuran kedalaman perairan
yang rata-rata lebih dalam dari tongkat ukur (Gambar 8). Pada rantai ukur
terdapat tanda-tanda skala bacaan dengan warna warna tertentu. Bacaan warna-

warna kadang-kadang ditempatkan juga pada silinder penggulung rantai. Pada


ujung rantai (nol skala bacaan) diberi pemberat untuk menghindari sapuan arus
perairan dan menjaga agar rantai senantiasa relatif tegak. Pengukuran
kedalaman dilakukan dengan menenggelamkan alat hingga menyentuh dasar
perairan. Kedudukan alat diusahakan tegak lurus terhadap permukaan air
(Poerbandono dan Djunarsjah, 2005).
2. Metode Akustik (Perum Gema)
Untuk melakukan pengkuran kedalaman digunakan echosounder atau perum
gema yang pertama kali dikembangkan di Jerman tahun 1920 (Lurton, 2002). Perum
gema (echosounder) adalah peralatan yang digunakan untuk menentukan kedalaman
air dengan cara mengukur interval waktu antara pemancaran gelombang suara dengan
penerimaan pantulannya (gema) dari dasar air (Standar Nasional Indonesia, 2010).
Alat

perum

gema

menggunakan

prinsip

pengukuran

jarak

dengan

memanfaatkan gelombang akustik yang dipancarkan dari transduser. Transduser


adalah bagian dari alat perum gema yang mengubah energi listrik menjadi mekanik
untuk membangkitkan gelombang suara dan sebaliknya (Gambar 9). Gelombang
akustik tersebut merambat pada medium air dengan cepat rambat yang diketahui atau
dapat diprediksi hingga menyentuh dasar perairan dan dipantulkan kembali ke
transduser (Poerbandono dan Djunarsjah, 2005).

Muka Air Laut

Rantai Ukur

Pemberat

Dasar Laut

Gambar 8. Pengkuran Kedalaman Laut Menggunakan Rantai Ukur.


Menurut Poerbandono dan Djunarsjah (2005), perum gema menghitung selang
waktu sejak gelombang dipancarkan dan diterima kembali (t), sehingga jarak
perairan relatif terhadap transduser adalah:
du = . (v . t)

(2-3)

Keterangan:
du : kedalaman hasil ukuran dan
v

: kecepatan gelombang akustik pada medium air

Besarnya koreksi pasang surut adalah nilai kedalaman yang telah terkoreksi
transducer dikoreksi dengan nilai reduksi yang sesuai kedudukan permukaan laut
pada waktu pengukuran. Reduksi (koreksi) pasng surut laut dirumuskan sebagai
berikut:
r t =TWLt ( MSL+ Z 0)

Keterangan:

(2-4)

rt

: besarnya reduksi yang diberikan kepada hasil pengukuran


kedalaman pada waktu t.

TWLt

: kedudukan permukaan laut sebenarnya pada waktu t

MSL

: muka air laut rata-rata

Z0

: kedalaman muka air surutan di bawah MS

Gambar 9. Pemeruman Metode Akustik (Poerbandono dan Djunarsjah, 2005).


Setelah itu ditentukan kedalaman sebenarnya :
D=dTrt

Keterangan:
D

: Kedalaman sebenarnya

dT

: Kedalaman terkoreksi tranducer

rt

: reduksi pasang surut air laut

(2-5)

2.5. Single Beam Echosounder


Menurut SNI 7646:2010 mengenai Survei Hidrografi Menggunakan Single
Beam (2010) Single Beam Echosounder adalah alat ukur kedalaman perairan yang
menggunakan pancaran tunggal sebagai pengirim dan penerima sinyal gelombang
suara. Teknologi single beam echosounder sangat cocok untuk menampilkan profil
dasar laut dan banyak digunakan untuk pengukuran kedalaman dengan cepat pada
bawah kapal untuk membantu navigasi secara real-time. Sistem pada single beam
dibuat untuk mengumpulkan sampel kedalaman dari dasar laut pada salah satu pola
teratur dan tidak teratur (Timothy, 2010).
Menurut Kschaefer (2004) beberapa keuntungan pengukuran kedalaman laut
menggunakan single beam echosounder yaitu sebagai berikut :
1. Dataset berupa titik di sepanjang lintasan.
2. Biasa dugunakan oleh kalangan umum, penggunaan dan prosesnya sederhana serta
murah.
3. Akurat dalam pengukurannya.
4. Besar frekuensi rata-rata antara 20-400 kHz.
5. Memberikan jangkauan data relatif jarang sehingga memerlukan derajat yang lebih
besar dari interpolasi.
Menurut Soeprapto (2001) terdapat bermacam-macam jenis single beam
echosounder, namun pada umumnya echosounder memiliki komposisi dasar susunan
peralatan yang sama. Susunan komponen echosounder ditunjukkan pada Gambar 10
sebagai berikut:

UNIT PEREKAM

PEMBANGKIT
PULSA

SWITCHING

PENGUAT
PENERIMA
TRANSDUCER
PENERIMA

TRANSDUCER
PEMANCAR

Gambar 10. Komposisi Dasar Echosounder (Soeprapto, 2001).


Keterangan Gambar :
a. Unit perekam (recorder) berfungsi mengontrol pengiriman pulsa energi listrik
dari perangkat pulsa ke transducer pemancar dan menyajikan data hasil
pengukuran.
b. Pembangkit pulsa berfungsi sebagai pembangkit pulsa energi listrik.
c. Switching unit berfungsi melewatkan pulsa energi dalam jumlah yang
diperlukan dari pemebangkit pulsa ke transducer pemancar.
d. Transducer pemancar (Transmitting transducer) berfungsi mengubah pulsa
energi listrik yang diperoleh dari switching unit menjadi energi akustik,
kemudian memancarkannya ke dasar laut dalam bentuk pulsa gelombang
suara.
e. Transducer penerima (receiving transducer) berfungsi menerima pulsa-pulsa
gelombang suara yang dipantulkan oleh dasar laut, kemudian mengubahnya
menjadi sinyal-sinyal listrik.

f. Penguat penerima (receiving amplifier) berfungsi sebagai penguat sinyalsinyal listrik lemah yang diterima oleh transducer.
Karaktersitik echosounder bergantung pada frekuensi, bentuk, dan durasi serta
lebar sudut pemancar dari pulsa gelombang suara yang digunakannya. Echosounder
bekerja menggunakan sifat-sifat perambatan gelombang akustik yang biasa disebut
SONAR (Sound Navigatian and Ranging) yang dipancarkan dengan arah vertikal dari
permukaan laut ke dasar laut. Pulsa yang dipancarkan oleh echosounder menjalar
dalam air dalam bentuk gelombang suara atau gelombang tekanan (compression
wave). Frekuensi gelombang yang biasa digunakan pada echosounder yaitu berkisar
antara 1-300 kHz. Secara umum frekuensi pulsa gelombang yang digunakan pada
echosounder dibedakan atas frekuensi rendah (lebih kecil dari 15 kHz), frekuensi
menengah (15-50 kHz), dan frekuensi tinggi (lebih besar dari 50 kHz). Pulsa dengan
frekuensi rendah dapat mentransmisikan energi secara efisien dalam jarang yang jauh,
selain itu energi transmisinya tidak mudah terganggu oleh objek-objek padat di dalam
air. Karena sifat-sifatnya tersebut, frekuensi rendah ini umumnya digunakan untuk
pengambilan kedalaman laut dalam. Pulsa dengan frekuensi menengah umumnya
digunakan pada echosounder untuk perairan yang berkedalaman lebih dari 300 fm (1
fathom atau 1 fm = 1,828 m) (Sjamsir, 1989).
Pulsa gelombang berfrekuensi tinggi, energi transmisinya mudah terganggu di
dalam air, sehingga memiliki jarak rambat yang relatif lebih pendek. Pulsa
gelombang berfrekuensi tinggi umumnya digunakan untuk pengambilan data
kedalaman pada perairan dangkal, atau untuk keperluan usaha-usaha perikanan dan
pemanfaatan rumput laut. Echo-sounding banyak juaga digunakan oleh nelayan

karena ikan menghasilkan echo dan kawasan ikan atau hewan lain dapat dikenali
sebagai lapisan-lapisan sebaran dalam kolom air (Supangat, 2003). Echosounder
memancarkan pulsa gelombang ke segala arah di dalam air dengan energi yang sama.
Karena pantulan gelombang suara dalam pemeruman dalah gelombang suara yang
dipentulkan oleh dasar laut, maka tepat setiap transducer pada echosounder
dilengkapi dengan reflektor yang didesain sedemikian rupa sehingga pancaran pulsa
gelombangnya mempunyai bentuk dan lebar sudut pemancar (beam width) tertentu
(Soeprapto, 2001).
2.4.3. Lajur Perum
Menurut Standar Nasional Indonesia (SNI) yang dijelaskan pada SNI
7646:2010 mengenai Survei Hidrografi Menggunakan Single Beam (2010) lajur
perum adalah garis yang menggambarkan alur kegiatan kapal dalam pemeruman.
Pemeruman dilakukan dengan membuat profil (potongan) pengukuran kedalaman.
SNI 7646:2010 mengenai Survei Hidrografi Menggunakan Single Beam (2010) juga
menjelaskan bahwa sebelum pelaksanaan pemeruman harus dibuat lajur utama dan
lajur silang, lajur utama adalah lajur perum yang digunakan sebagai alur utama dalam
pemeruman, lajur silang adalah lajur perum yang berfungsi sebagai alur cek silang
dalam validasi data perum (Gambar 11). Lajur-lajur silang (cross sounding)
digunakan untuk memeriksa hasil pengukuran lajur-lajur utama. Lajur perum dapat
berupa garis-garis lurus, lingkaran-lingkaran konsentrik atau lainnya (Poerbandono
dan Djunarsjah, 2005).

Daratan

Lajur Perum Utama


Perairan

Lajur Perum Silang


Daratan

Gambar 11. Contoh Lajur Perum (Poerbandono dan Djunarsjah, 2005).

2.4.4. Garis Kontur


Garis kontur adalah garis khayal di lapangan yang menghubungkan titik dengan
ketinggian atau kedalaman yang sama atau garis kontinyu di atas peta yang
memperlihatkan titik-titik di atas peta dengan ketinggian atau kedalaman yang sama.
Aplikasi lain dari garis kontur yaitu untuk memberikan informasi slope rata-rata
(kemiringan lereng rata-rata), irisan profil memanjang atau melintang permukaan
bumi (Santoso, 1998 dalam Nugraha, 2013). Garis kontur dapat dibentuk dengan
membuat proyeksi tegak garis-garis perpotongan bidang mendatar dengan permukaan
bumi ke bidang mendatar peta. Karena peta pada umumnya dibuat dengan skala
tertentu, maka untuk garis kontur ini juga akan menyesuaikan dengan skala peta
(Soeprapto, 1999 dalam Nugraha, 2013).
Menurut Poerbandono dan Djunarsjah (2005) gambaran dasar perairan dapat
disajikan dalam garis-garis kontur atau model permukaan digital. Garis kontur juga
memiliki sifat-sifat, yaitu sebagai berikut :

1. Bentuk kurva tertutup


2. Tidak bercabang
3. Tidak berpotongan
4. Menjorok ke arah hulu jika melewati sungai
5. Menjorok ke arah jalan menurun jika melewati permukaan jalan
6. Tidak tergambar jika melewati bangunan
7. Penyajian interval garis kontur tergantung pada skala peta yang disajikan, jika
adatar maka interval garis kontur adalah 1/1000 dikalikan dengan nilai skala
peta, jika berbukit interval garis kontur adalah 1/500 dikalikan dengan skala peta,
jika bergunung maka interval garis kontur garis kontur adalah 1/200 dikalikan
dengan nilai skala peta.
8. Satu garis kontur mewakili satu ketinggian tertentu
9. Garis kontur bernilai lebih rendah mengelilingi garis kontur yang bernilai lebih
tinggi
10. Garis kontur yang berbentuk huruf U menandakan punggung gunung
11. Rangkaian garis kontur yang berbentuk huruf V menandakan suatu
lembah/jurang.
2.4.5. Pembuatan Garis Kontur Batimetri
Menurut Poerbandono dan Djunarsjah (2005) garis-garis kontur kedalaman atau
model batimetri diperoleh dengan menginterpolasi titik-titik pengukuran kedalaman
pada lokasi yang dikaji. Teknik yang paling sederhana untuk membuat garis kontur
adalah dengan teknik triangulasi menggunakan interpolasi linier, yaitu dengan
menghitung nilai kedalaman di suatu titik dari tiga titik kedalaman yang terdekat

dengan titik tersebut dengan pembobotan menurut jarak. Dari angka-angka


kedalaman di setiap titik-titik grid, dapat dihubungkan dari titik-titik yang
mempunyai nilai kedalaman yang sama, ilustarasi teknik triangulasi menggunakan
interpolasi linier ditunjukkan pada Gambar 12.

Gambar 12. Interpolasi dengan Teknik Triangulasi


(Poerbandono dan Djunarsjah, 2005)
Krigging merupakan metode interpolasi yang paling sering digunakan pada
berbagai bidang ilmu. Menurut Van Beers dan Kleijnen (2004) hasil prediksi
menggunakan metode Krigging lebih akurat dari pada metode regresi. Menurut
Larguache (2006) metode Krigging memiliki beberapa keunggulan, yaitu sebagai
berikut :
1. Metode Krigging memadukan korelasi spasial antar data yang mana tidak
dilakukan oleh prosedur statistik klasik.
2. Memiliki kemampuan menguantifikasi variansi dari nilai yang diestimasi sehingga
tingkat presisinya dapat diketahui.
3. Metode Krigging tetap bisa digunakan meskipun tidak diketahui korelasi spasial
antar data.

Menurut Pramono (2008) tahapan dalam menggunakan Krigging yaitu: analisa


statistik dari data, pemodelan variogram, membuat hasil interpolasi dan menganalisa
nilai variance. Metode Krigging sangat tepat digunakan bila diketahui korelasi spasial
jarak dan orientasi dari data. Oleh sebab itu, metode ini sering digunakan dalam
bidang ketanahan dan geologi.
Metode Inverse Distance to a Power (IDP) merupakan interpolator yang
menggunakan pembobotan jarak dari titik. Asumsi yang digunakan pada metode ini
adalah bahwa nilai suatu titik yang lebih dekat dengan titik tersebut daripada titiktitik yang letaknya jauh. Salah satu ciri dari metode IDP adalah munculnya efek
mata sapi di sekitar posisi pengamatan. Metode Minimum Curvature digunakan
secara luas di bidang ilmu kebumian. Metode ini menganalogikan permukaan yang
diinterpolasi sebagai bidang elastis yang dihamparkan ke seluruh titik data
sedemikian sehingga hanya sedikit lekukan yang terjadi. Metode Minimum Curvature
membuat permukaan sehalus mungkin untuk data yang diinterpolasi sehingga bukan
merupakan interpolator yang eksak (Keckler, 1994).
Metode Inverse Distance Weighted (IDW) adalah metode deterministik yang
sederhana dengan mempertimbangkan titik disekitarnya. Asumsi dari metode ini
adalah nilai interpolasi akan lebih mirip dengan data yang dekat daripada yang lebih
jauh. Bobot (weight) akan berubah secara linear sesuai dengan jaraknya dengan titik
pengambilan data. Bobot ini tidak akan dipengaruhi oleh letak dari titik pengambilan
data (NCGIA, 1997 dalam Pramono, 2008). Menurut Pramono (2008) metode IDW
biasanya digunakan dalam industri pertambangan karena mudah untuk digunakan.
Untuk mendapatkan hasil yang baik, data yang digunakan harus rapat yang

berhubungan dengan variasi lokal. Jika titik pengambilan data tidak rapat dan tidak
merata, hasilnya kemungkinan besar tidak sesuai dengan yang diinginkan. Setelah
melakukan interpolasi terhadap titik-titik pengukuran data (batimetri) maka akan
tebentuk garis-garis kontur.

2.4. Bangunan Pantai


Salah satu masalah utama yang terjadi di daerah pantai adalah erosi pantai.
Erosi pantai dapat mengakibatkan kerugian yang besar dikarenakan rusaknya
pemukiman dan fasilitas-fasilitas yang terdapat pada kawasan tersebut.untuk
mengurangi dampak dari erosi tersebut maka hal yang perlu dilakukan adalah
mencari penyebabnya dengan mengetahui penyebabnya selanjutnya dapat dilakukan
cara penanggulanganya yang sering dilakukan adalah dengan membuat bangunan
pelindung atau menambah suplai sedimen (Triatmodjo, 1999).
Menurut Triatmodjo (1999) bangunan pantai berguna untuk melindungi daerah
pantai terhadap kerusakan yang diakibatkan oleh kekuatan gelombang dan arus laut.
Ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk melindunmgi pantai, antara lain
adalah:
1.
2.
3.
4.

Memperkuat pantai agar dapat menahan serangan gelombang,


Mengubah laju transport sedimen sepanjang pantai,
Mengurangi energi gelombang yang sampai ke pantai,
Reklamasi dengan menambah suplai sedimen ke pantai

Sesuai dengan fungsinya Triatmodjo (1999) mengklasifikasikan bangunan


pantai dalam tiga kelompok yaitu (Gambar 13) :
1. Konstruksi yang dibangun di pantai, sejajar dengan garis pantai.

Contoh dari bangunan pantai yang masuk dalam kategori ini adalah
revetment atau dinding pantai. Bangunan ini dibangun pada garis pantai
yang berfungsi untuk melindungi pantai langsung dari gelombang
2. Konstruksi yang dibangun tegak lurus pantai dan menyambung ke pantai
Contoh dari bangunan pantai yang masuk dalam kategori ini adalah
bangunan jetty dan groin. Groin adalah salah satu jenis bangunan pantai
yang dibangun menjorok dari pantai ke arah laut, yang berfungsi untuk
menangkap sedimen sepanjang pantai, sehingga transport sedimen
sepanjang pantai berkurang. Biasanya groin dibangun secara seri, yaitu
beberapa groin dibangun dengan jarak atara groin tertentu di sepanjang
pantai. Sedangkan Jetty adalah bangunan tegak lurus garis pantai yang
dibangun di sisi muara sungai. Bangunan ini berfungsi untuk menahan
sedimen yang bergerak sepanjang pantai dan mengendap di mulut sungai.
3. Konstruksi yang dibangundi lepas pantaidan kira-kira sejajar dengan garis
pantai.
Contoh bangunan pantai yang termasuk dalam kategori ini adalah
breakwater atau bangunan pemecah gelombang. Bangunan pemecah pantai
dibedakan menjadi dua macam, yaitu pemecah gelombang sambung pantai
dan lepas pantai. Bangunan pemecah gelombang lepas pantaibanyak
digunakan sebagai pelindung pantai terhadap erosi dengan menghancurkan
energi gelombang sebelum mencapai pantai, sehingga perairan di belakang
bangunan menjadi lebih tenang dan akhirnya terjadi pengendapan sedimen
di daerah tersebut. Sedangkan bangunan pemecah gelombang sambung

pantai biasanya digunakan untuk melindungi daerah pelabuhan dari


gangguan gelombang sehingga kapal-kapal dapat merapat ke dermaga.

Gambar 13. Beberapa Tipe Bangunan Pantai (Triatmodjo, 1999).

2.5.

Semi Permeable Dam Hybrid Engineering


Pembangunan bangunan pantai Hybrid Engineering (Gambar 14) merupakan

salah satu solusi yang bersahabat dengan alam dengan tujuan untuk mendapatkan
keseimbangan sedimen pada daerah yang terjadi erosi pantai. Ide pembangunan ini
adalah kecilnya tingkat kelulus hidupan tanaman mangrove di daerah yang sudah
tererosi dan terkena pengaruh gelombang.

Gambar 14. Bangunan Pantai Hybrid Engineering


Ekosistem mangrove memiliki fungsi yang banyak dan merupakan salah satu
mata rantai kehidupan pesisir yang sangat penting dalam menjaga keseimbangan
siklus Biologi di perairan (Rusila, 2006). Komunitas mangrove tumbuh di daerah
pasang surut, memiliki tolerasnsi dengan salinitas air laut, akar mangrove dapat
mengikat dan menstabilkan substrat lumpur sehingga dapat mempertahankan struktur
pantai dari erosi pantai (Davies dan Claridge, 1993 dalam Rusila, 2006).
Fungsi akar mangrove tersebut maka diupayakanlah dam yang tidak kedap air
yang dapat memerangkap sedimen sehingga mampu memberikan tambahan lahan
yang cocok untuk pertumbuhan mangrove, maka Hybrid Engineering merupakan
solusi yang memenuhi persyaratan tersebut, yaitu dam tidak kedap air dan dapat
memerangkap sedimen.

Gambar 15. Ilustrasi Pengaruh Gelombang dan Arus Terhadap Hard structure
Pada Pantai Berlumpur ( Puspitasari, 2014)
Pembangunan bangunan pantai Hybrid Engineering di pantai berlumpur yang
telah tererosi sangat tepat, dikarenakan apabila menggunakan bangunan pantai Hard
Structure di daerah tersebut maka yang terjadi adalah ketika gelombang dan arus
datang dari arah laut pada saat terjadi air pasang dan menabrak struktur bangunan
kemudian kembali kearah laut dengan mengerosi lumpur, mengakibatkan Hard
Structure menjadi tidak stabil dan miring, jika diteruskan maka Hard Structure akan
rusak dan erosi pantai akan terjadi kembali (Verschare, 2013 dalam Puspitasari,
2014).

Anda mungkin juga menyukai