BAB I
PENDAHULUAN
JRSP merupakan sebuah teknologi handal dan layak yang memberikan ketelitian
tinggi untuk penentuan posisi di permukaan bumi. JRSP dibangun dengan tujuan
mempermudah dan mempercepat tercapainya tertib pertanahan, meningkatkan
produktifitas dan akurasi data, serta meningkatkan kualitas pelayanan kepada
masyarakat di bidang survei dan pemetaan. Dalam pelaksanaannya, GNSS CORS
dengan metode statik digunakan oleh BPN untuk pengukuran koordinat TDT.
Metode lain yang digunakan untuk pengukuran TDT adalah aplikasi teknologi satelit
GNSS memanfaatkan CORS sebagai base station dengan metode RTK-NTRIP (Real
Time Kinematic-Networked Transport Internet Protocol).
Pengukuran koordinat dengan menggunakan GNSS CORS RTK NTRIP ini
juga lebih efisien dengan ketelitian yang mencapai fraksi sentimeter dan waktu
pengukuran juga relatif cepat dibandingkan metode GPS statik. Oleh karena itu,
aplikasi GNSS CORS ini diharapkan bisa menjadi metode alternatif dalam
pemeliharaan TDT yang telah ada. Pada penelitian ini dilakukan evaluasi terhadap
koordinat TDT yang tersebar di Kabupaten Bantul hasil pengukuran menggunakan
receiver GNSS CORS. Metode yang digunakan adalah RTK NTRIP. Hasil
pengukuran dengan GNSS CORS RTK NTRIP dibandingkan dengan koordinat pada
buku tugu.
pendaftaran tanah menuju tertib administrasi pertanahan ke arah yang lebih baik
(Sunantyo, 2010)
Penentuan posisi titik dengan GPS secara diferensial direkomendasikan dapat
mencapai ketelitian yang lebih baik bila dibandingkan dengan penentuan posisi
secara absolut dan untuk beberapa kasus dapat lebih baik daripada metode
konvensional (Djawahir, 1992). Oleh karena itu diharapkan bahwa penggunaan GPS
untuk penentuan TDT kedepan lebih dominan dibandingkan dengan pengukuran
menggunakan metode konvensional.
Dammalage (2006) melakukan penelitian tentang teknologi NTRIP
menggunakan receiver double frequency di Thailand. Pengukuran dilakukan dengan
metode RTK NTRIP dan RTK with radio communication menghasilkan nilai akurasi
sebesar 0,158 m dan 0,16 m dengan jarak baseline antara 5 sampai 30 km. Selain itu,
teknologi NTRIP juga mampu meningkatkan akurasi hasil pengamatan dengan
berbagai variasi jarak baseline antara base dengan rover dibandingkan dengan
metode GPS konvensional.
Penelitian terhadap deformasi akibat gempa Yogyakarta tahun 2006 yang
dilakukan oleh Abidin (2006) menyebutkan bahwa besarnya deformasi koseismik
gempa Yogyakarta 2006 berkisar antara 10 sampai 15 cm dan deformasi
pascaseismik dalam arah horisontal berkisar antara 0,3 sampai 9,1 cm. kemungkinan
besar deformasi pascaseismik tersebut akan terus berlanjut untuk beberapa tahun ke
depan.
Sahroni (2008) menyebutkan bahwa terkait pencapaian target pemerintah yang
ingin memetakan seluruh bidang tanah di Indonesia, CORS diharapkan dapat
menjadi titik dasar yang dapat digunakan dalam bidang tanah secara cepat, murah,
dan memberikan kualitas data posisi yang baik. Dengan memanfaatkan CORS
sebagai kerangka referensi diharapkan dapat menangani berbagai permasalahan yang
timbul dari pelaksanaan pengukuran dengan titik-titik dasar sebelumnya. Selain itu
CORS juga dapat memberikan posisi bidang tanah yang terdefinisi dalam kerangka
referensi global, sehingga setiap bidang tanah yang terdaftar memiliki satu sistem
referensi yang sama.
Menurut Hersanto (2010), ketelitian pengukuran TDT orde 4 menggunakan
GPS CORS metode RTK NTRIP dapat mencapai ketelitian yang disyaratkan untuk
5
BPN telah membuat TDT dengan klasifikasi orde 2, orde 3, dan orde 4 guna
membantu pengikatan bidang tanah sesuai Petunjuk Teknis PMNA/Ka.BPN Nomor
3 Tahun 1997. TDT tersebut membentuk suatu Kerangka Dasar Kadastral Nasional
(KDKN). Dalam memperoleh hasil ukuran TDT dapat dilakukan dengan metode
terestris ataupun metode ekstra-terestris.
Dengan semakin berkembangnya teknologi, maka pengukuran metode ekstra-
terestris dapat dilakukan dengan receiver GNSS metode RTK NTRIP. Dalam metode
RTK NTRIP, streaming data dilakukan secara real time melalui internet protocol.
Ketelitian dari metode ini dapat diketahui dari nilai HRMS hasil pengukuran.
6
jumlah lembar, bagian pengesahan, instansi pelaksana. Selain itu, pembuatan peta
dasar teknik dibuat sesuai dengan ketentuan yang tertulis pada PMNA/Ka. BPN No 3
Tahun 1997 sebagai berikut:
1. Penomoran TDT :
a. TDT orde 2 diberi nomor yang unik sebanyak 5 digit yang terdiri atas 2
digit kode propinsi dan 3 digit nomer urut. Contoh : 13.xxx untuk propinsi
DIY.
b. TDT orde 3 diberi nomor yang unik sebanyak 7 digit yang terdiri atas 2
digit kode propinsi, 2 digit kode kabupaten/kotamadya dan 3 digit nomer
urut. Contoh : 13.01.xxx untuk kodya Yogyakarta.
c. TDT orde 4 diberi nomer yang unik berdasarkan wilayah desa/kelurahan
yang sebanyak 3 digit.
2. Persebaran TDT dapat dipetakan dalam peta topografi atau peta lainnya yang
ada.
3. Untuk TDT lokal, persebarannya dipetakan dalam skala besar meliputi satu
wilayah desa/kelurahan.
4. Nomer lembar peta yang digunakan untuk peta dasar teknik mengikuti nomer
lembar peta asalnya.
5. Simbol-simbol TDT:
a. TDT orde 0 dan orde 1 dipetakan dengan simbol segiempat dengan
panjang sisi 3 mm, dan diberi warna hitam.
b. TDT orde 2 dipetakan dengan simbol segitiga dengan panjang sisi 3 mm,
dan diberi warna hitam.
c. TDT orde 3 dipetakan dengan simbol segitiga dengan panjang sisi 3 mm.
d. TDT orde 4 Nasional dipetakan dengan simbol lingkaran yang bergaris
tengah 3 mm, sedangkan TDT Lokal dipetakan dengan simbol lingkaran
yang bergaris tengah 3 mm yang diberi warna hitam.
e. TDT orde perapatan dipetakan dengan simbol segiempat dengan panjang
sisi 3 mm.
8
I.7.2. GNSS
Menurut Roberts (2004) mengatakan bahwa GNSS (Global Navigation
Satellite System) merupakan suatu sistem navigasi dan penentuan posisi geospasial
(bujur, lintang, dan ketinggian) dan waktu dengan cakupan dan referensi global yang
menyediakan informasi posisi dengan ketelitian yang bervariasi, yang diperoleh dari
waktu tempuh sinyal radio yang dipancarkan dari satelit ke receiver. Beberapa satelit
navigasi yang merupakan bagian dari GNSS dimiliki dan dikelola oleh beberapa
negara, seperti GPS (Global Positioning System) milik Amerika, GLONASS milik
Rusia, GALILEO milik Uni Eropa, COMPASS milik China, IRNSS (Indian
Regional Navigation Satellite System) milik India, dan QZSS (Quasi-Zenith Satellite
System) milik Jepang (Rizos, 2000). Penjelasan satelit GNSS dari berbagai negara
dapat dilihat pada Tabel I.1.
Tabel I.1. Perbandingan sistem satelit orbital pada GNSS (Sunantyo, 2011)
Sistem GPS GLONASS GALILEO COMPASS
Negara United States Russia European Union China
Coding CDMA FDMA/ DMA CDMA CDMA
Tinggi 20,200 km 19,100 km 23,222 km 21,150 km
Orbit dan 12,0 jam 11,3 jam 14,1 jam 12,6 jam
Periode
Jumlah ≥24 24 2 test bed 35
Satelit (30 ketika sinyal
satellites,
CDMA 22 operational
diluncurkan) satellites
budgeted
Frekuensi 1.57542 GHz Sekitar 1.602 1.164 s.d 1.215 B1: 1.56098 GHz
(L1 signal) GHz (L1) GHz (E5a and B1-2: 1.589742
1.2276 GHz Sekitar 1.246 E5b) GHz
(L2 signal) GH (L2) 1.300 GHz (E6) B2: 1.20714 GHz
1.559 s.d 1.592 B3: 1.26852 GHz
GHz (E2-L1-
E1)
Status Operational Operational In preparation 5 operational
with restriction, satellites, 30
CDMA in additional
preparation satellites planned
9
GPS (Global Positioning System) adalah sistem navigasi dan penentuan posisi
berbasis satelit yang dapat digunakan oleh banyak orang sekaligus dalam segala
cuaca. GPS didesain untuk memberikan posisi dan kecepatan tiga dimensi yang teliti
dan juga informasi waktu secara kontinyu di seluruh dunia (Abidin, 2007). GPS
pertama kali dikembangkan oleh Departemen Pertahanan Amerika Serikat. Satelit-
satelit GPS beredar mengelilingi bumi jauh di atas permukaan bumi yaitu pada
ketinggian sekitar 20.200 km dimana satelit tersebut berputar mengelilingi bumi
dengan periode 11 jam 58 menit. GPS telah banyak dimanfaatkan dalam berbagai
bidang aplikasi, termasuk untuk keperluan survei dan pemetaan. Mengingat GPS
cukup baik untuk membuktikan kepemilikan hak atas tanah, GPS memiliki prospek
yang baik untuk pengembalian batas bidang tanah, baik dari segi ketelitian maupun
dalam pelaksanaan kegiatannya, dan dapat dipertimbangkan sebagai metode altenatif
untuk keperluan tersebut.
I.5.3.1. Sinyal satelit GPS. Menurut Sunantyo (2003), pada dasarnya sinyal
GPS dapat dibagi menjadi 3 komponen, yaitu:
1. Penginformasian jarak (kode) yang berupa kode C/A (clear access atau course
acquisition) dan kode P (Private atau Precise). Kode C/A mewakili ephemeris
standar dari satelit dan memiliki frekuensi yang sama 10,23 MHz, sedangkan
kode P mewakili ephimeris yang teliti dan hanya memiliki 1/10 dari frekuensi
yaitu 1,023 MHz (Weston dan Schweiger).
2. Penginformasian posisi satelit (navigation message) yang direpresentasikan
dalam bentuk modulasi L1 dan L2. Penginformasi posisi satelit menjadi pesan
navigasi yang terdiri dari prediksi satelit ephimeris, koreksi parameter jam
satelit, dan informasi status sistem GPS.
3. Gelombang pembawa (carrier wave) L1 dan L2. Gelombang L1 memiliki
frekuensi 154 kali frekuensi dasar yaitu 1575,42 MHz dengan panjang
gelombang 19 cm dan menggunakan kode P, C/A, dan D. Sedangkan
gelombang L2 memiliki frekuensi 120 kali frekuensi dasar yaitu 1227,6 GHz
dengan panjang gelombang 24 cm dan menggunakan kode P.
Ada dua besaran yang diperoleh dalam pengamatan satelit GPS, yaitu pseudo
range dan carrier beat phase yang dapat digunakan untuk menghitung jarak dari
10
penentuan posisi teliti cenderung menggunakan data carrier beat phase (Leick,
1995).
Penentuan posisi GPS metode relatif memiliki ketelitian yang relatif tinggi
karena data yang digunakan berupa data pseudorange dan/atau data fase dengan
pengurangan data yang diamat oleh dua receiver GPS secara bersamaan. Dengan
adanya proses pengurangan data, kesalahan jam receiver dan satelit dapat
dihilangkan, serta kesalahan dan bias troposfer, ionosfer, atau ephemeris dapat
direduksi.
Sunantyo (1999) menyebutkan bahwa tujuan dari penentuan posisi dengan
metode relatif adalah untuk menentukan koordinat sebuah titik yang belum diketahui
dari sebuah titik yang sudah diketahui koordinatnya. Penentuan posisi relatif
diarahkan pada penentuan vektor antara kedua titik yang sering kali disebut sebagai
baseline. Perbedaan antara penentuan posisi metode absolut dengan metode relatif
dapat dilihat pada Tabel I.2.
Tabel I.2. Perbedaan penentuan posisi metode absolut dan metode relatif
(Abidin, 2002)
Parameter Pembeda Penentuan Posisi Absolut Penentuan Posisi Relatif
Posisi titik Ditentukan terhadap pusat Ditentukan relatif terhadap
massa bumi monitor stasiun
Prinsip penentuan Reseksi dengan jarak ke Differencing process yang
posisi beberapa satelit sekaligus dapat mereduksi efek dari
kesalahan dan bias
Jumlah receiver Satu receiver Minimal dua receiver
Data yang digunakan Biasanya data pseudorange Bisa menggunakan data
dan data fase digunakan pseudorange dan/atau data
apabila ambiguitas fase fase
sudah diketahui/diestimasi
bersama dengan posisinya
Ketelitian Bergantung pada tingkat Bervariasi dari titik
ketelitian data serta menengah sampai tinggi
geometri satelit
Aplikasi utama Untuk navigasi Survei pemetaan, survei
geodesi, maupun navigasi
ketelitian tinggi
12
Survei Navigasi
Statik
Kinematik
Stop and go
Statik singkat
Gambar I.1. Metode penentuan posisi dengan GPS (dimodifikasi dari Langley, 1998)
deformasi. Penggunaan datum ITRF didasarkan pada bentuk muka bumi yang
berubah-ubah terhadap waktu. Parameter transformasi dari WGS84 ke ITRF dapat
dilihat pada Tabe I.4.
I.7.4. CORS
CORS merupakan salah satu teknologi berbasis GNSS yang berwujud sebagai
suatu jaring kerangka geodetik. Pada setiap titik jaringnya terdapat receiver yang
berguna untuk menangkap sinyal dari satelit-satelit GNSS yang mampu beroperasi
secara kontinyu setiap hari. Stasiun referensi GPS beroperasi aktif selama 24 jam non
stop, sehingga pengguna dapat memanfaatkan data untuk penentuan posisi baik
secara real time maupun post processing. CORS dalam pertanahan sering disebut
dengan JRSP, yaitu sebuah teknologi yang handal dan layak digunakan untuk
kegiatan pengelolaan administrasi pertanahan termasuk kegiatan pendaftaran tanah
yang diselenggarakan BPN RI.
Stasiun-stasiun referensi CORS dibangun secara permanen di beberapa kantor
pertanahan yang ada di Indonesia dengan jarak antar stasiun referensi sekitar 30 s.d
70 km. Stasiun referensi CORS digunakan oleh rover sebagai referensi dalam
penentuan posisi atau koordinat suatu titik pada suatu cakupan atau area secara real
17
time menggunakan receiver GNSS. Jaringan stasiun CORS dikontrol dari jarak jauh
dan diawasi menggunakan sistem otomatis, serta dilakukan pemantauan posisi yang
diperbarui secara periodik. Sistem CORS terintegrasi dengan International Earth
Rotation and Reference SystemService (IERSS), sehingga memberikan posisi yang
bereferensi global dan datanya dapat diakses lewat internet oleh pengguna (Yustia
2008).
Prinsip kerja JRSP secara umum, stasiun-stasiun referensi merekam data dari
satelit GNSS secara kontinyu yang kemudian disimpan dan/atau dikirim ke server
atau pusat kontrol JRSP melalui jaringan internet secara serempak. Tanpa adanya
jaringan referensi satelit, hasil koordinat yang dihasilkan rover adalah posisi absolut
dengan ketelitian 5 s.d 20 meter. Dengan adanya jaringan satelit ini, hasil koordinat
dari receiver GNSS yang berperan sebagai rover akan dikoreksi dengan hasil
hitungan yang didapat melalui sistem algoritma dari data JRSP. Metode pengukuran
Network Real Time Kinematic (NRTK) dapat dihasilkan ketelitian yang memadai
untuk kegiatan pengukuran dan pemetaan pertanahan.
Data yang dikirim oleh stasiun referensi adalah data dalam format raw data
atau data mentah. Data mentah dari stasiun referensi digunakan oleh server atau
pusat kontrol JRSP sebagai bahan untuk koreksi data yang dapat digunakan oleh
rover. Data raw tersebut dikirimkan secara kontinyu dalam interval tertentu kepada
server JRSP. Data raw dikirim melaui jaringan internet untuk disimpan dan diolah
dalam bentuk Receiver Independent Exchange Format (RINEX) yang dapat
digunakan untuk post-processing, ataupun dalam bentuk Radio Technical
Commission for Maritime Services (RTCM) yang dikirimkan kepada rover yang
membutuhkan koreksi data dari stasiun referensi secara real time. Data yang diamat
menggunakan rover dapat diatur sesuai dengan keperluan, dengan sampling rate per
1 detik, 5 detik, 10 detik, 15 detik, dan 30 detik.
I.7.5. NTRIP
NTRIP (Networked Transportation of RTCM via Internet Protocol) merupakan
koreksi data melalui internet secara real time. Sistem ini menggunakan internet untuk
streaming dan sharing data koreksi DGPS untuk memperoleh posisi yang teliti. Hal
ini memungkinkan pengguna DGPS atau RTK melakukan koreksi data melalui
18
koneksi sebuah modem (via internet) melalui GPRS atau teknologi komunikasi yang
lainnya dan mengambil data pengukuran untuk meningkatkan akurasi (Lenz, 2004).
Teknologi komunikasi lain yang dimaksud adalah GSM, GPRS (2,5G), EDGE
(2,75G), dan UMTS (3G).
Menurut Pedoman dan Petunjuk Teknis JRSP (2009), GSM merupakan
jaringan seluler publik yang menggunakan teknik untuk multi plexing dan
menggunakan transmisi band 900 MHz. GSM merupakan standar yang diakui dunia
dan dapat menyediakan jasa selain telepon, yaitu komunikasi data di dalam sirkuit
dan/atau package mode. Sedangkan GPRS (General Packet Radio Service) adalah
sistem komunikasi global yang dapat melakukan komunikasi data dengan kecepatan
akses antara 9.600 hingga 14.400 bits per second (bps) dengan menambah kompresi
data. Dengan GPRS, transmisi data secara mobile dapat dilakukan dengan cepat
hingga 115 kbps dengan menggunakan infrastruktur base station GSM yang ada.
Enhanced Datarate for Global Evolution (EDGE) adalah skema modulasi baru
yang menggunakan bandwidth yang lebih efisien dari standar yang digunakan oleh
jaringan GSM (Lenz, 2004). EDGE memiliki kecepatan data sebesar 384 kbps atau
tiga kali kecepatan GPRS. Sementara UMTS (Universal Mobile Telephone System)
merupakan generasi ketiga Eropa dari sistem komunikasi seluler yang memiliki
spektrum antara 1900 s.d 2025 MHz dan 2110 s.d 2200 MHz. UMTS memiliki
kecepatan data maksimum mencapai 2 mbps (megabits per second).
NTRIP menggunakan basis protokol HyperText Transfer Protocol (HTTP).
HTTP dapat digunakan untuk memperluas streaming data GPS. Sistem NTRIP
menerapkan tiga aplikasi di dalamnya, yaitu NTRIP client, NTRIP server, dan
NTRIP caster (Lenz, 2004).
1. NTRIP client. Menerima aliran data RTCM. Dalam menerima data RTCM,
client memerlukan pengiriman parameter akses (user ID dan password) ke
NTRIP caster.
2. NTRIP server. Mengirim data RTCM ke NTRIP caster menggunakan koneksi
TCP/IP. NTRIP server mengharuskan diterima pertama oleh NTRIP caster dan
jika diizinkan dapat meneruskan data RTCM ke NTRIP caster.
3. NTRIP caster. NTRIP caster adalah sebuah server internet yang menangani
aliran data yang berbeda dari NTRIP server. NTRIP caster mengecek pesan
19
permintaan yang diterima dari NTRIP client dan server untuk melihat apakah
client dan server tersebut didaftarkan dan diijinkan untuk menerima dan
menyediakan aliran data RTCM.
I.7.6. HRMS
Sickle (2001) menyebutkan bahwa HRMS (Horizontal Root Mean Square)
adalah nilai yang merepresentasikan ketelitian posisi horisontal suatu titik. Semakin
kecil HRMS maka semakin teliti suatu pengukuran yang dilakukan. HRMS
dirumuskan dengan persamaan I.1 berikut:
σ +σ Y
2 2
HRMS = X
........................................................................... (I.1)
I.7.7. PDOP
PDOP (Position Dilution of Precision) adalah ketelitian posisi pada koordinat
3D ditinjau dari kekuatan geometri satelit. PDOP membantu untuk mengetahui
akurasi relatif koordinat yang diberikan GPS. Ketika receiver telah melakukan
kalkulasi posisinya dari sekurang-kurangnya empat satelit, receiver tersebut
mengkalkulasi estimasi akurasi menurut geometri satelit pada saat pembacaan.
Karena posisi satelit senantiasa berubah terhadap waktu maka nilai DOP berubah
terhadap waktu. Semakin kecil nilai DOP, maka ketelitian pengukuran semakin teliti
(Sunantyo, 1999).
dL =
∑ dL i
.............................................................................................. (I.6)
n
Dalam hal ini:
(Xi , Yi) : koordinat TDT orde 3 dengan metode RTK NTRIP ke-i
(xi , yi) : koordinat TDT orde 3 buku tugu ke-i
dLi : besarnya pergeseran horisontal ke-i
dL : nilai pergeseran rata-rata
Jika besarnya pergeseran horisontal untuk masing-masing titik dan pergeseran
horisontal rata-rata sudah diketahui, maka nilai simpangan baku ( σ ) dapat
ditentukan dengan rumus I.7 berikut ini:
Σ(dLi − dL) 2
σ = ................................................................................ (I.7)
n −1
Dalam hal ini:
σ : nilai simpangan baku
n : jumlah data
dLi : besarnya pergeseran horisontal ke-i
dL : nilai pergeseran horisontal rata-rata
Tahap selanjutnya adalah menghitung nilai toleransi pergeseran ukuran. Untuk
mengetahui interval nilai toleransi pergeseran ukuran, dapat digunakan tabel
observasi distribusi normal (tabel Z). Pada penelitian ini digunakan taraf signifikansi
5%. Untuk menentukan interval kepercayaan, terlebih dahulu dicari nilai Zα/2,
dimana α = 0,05. Nilai α disebut dengan tingkat nyata atau taraf signifikansi, yaitu
suatu nilai yang ditolerir di dalam membuat keputusan atau kesimpulan. Perhitungan
toleransi pengukuran dilakukan dengan membuat suatu interval kepercayaan dengan
21
derajat kepercayaan tertentu. Nilai simpangan baku yang diperoleh dari rumus I.8
digunakan untuk perhitungan nilai toleransi pergeseran TDT (Zhit) dengan
menggunakan rumus I.8 berikut ini:
dLi − dL
Zhit = ......................................................................................... (I.8)
σ
Dengan menggunakan tabel Z (observasi distribusi normal), interval nilai toleransi
pergeseran ukuran dapat diketahui (Sugiyono, 2007). Setelah nilai Zhit diperoleh,
maka Zhit dibandingkan dengan Ztabel dengan tingkat kepercayaan yang ditentukan.
Apabila Zhit masuk dalam interval –Ztabel ≤ Zhit ≤ +Ztabel maka nilai pergeseran
masing-masing TDT orde 3 masih dalam batas toleransi.
H0 diterima berarti tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara koordinat ukuran
GNSS CORS dengan koordinat buku tugu.
H0 ditolak berarti terdapat perbedaan yang signifikan antara koordinat ukuran GNSS
CORS dengan koordinat buku tugu.
I.8. Hipotesis