Anda di halaman 1dari 9

SISTEM REFERENSI GEODESI

“Perbandingan Sistem Referensi Indonesia dengan Papua New Guinea


Serta Konsekuensi Adanya Perubahan Sistem Referensi”

Oleh :

Rossa Purnama Dewi 16/395042/TK/44334


Siskasari Satoto 16/395046/TK/44338
Tri Hadi Warsono Sitanggang 16/395050/TK/44342
Anes Anggraeni 16/399972/TK/44986
Mayang Lumongga 16/400002/TK/45016

DEPARTEMEN TEKNIK GEODESI


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS GADJAH MADA
2018
Abstrak
Dua hal penting di dalam lingkup rekayasa Geodesi dan Geomatika adalah posisi dan koordinat. Untuk
menjamin adanya konsistensi dan standardisasi dari suatu koordinat, yang berlaku untuk sistem lokal
bahkan sampai global (dunia), maka perlu adanya suatu sistem yang menyatakan koordinat yang disebut
Sistem Referensi Koordinat atau Sistem Referensi Geodesi, dengan parameter penyusunnya berupa Sistem
Referensi dan Kerangka Referensi Koordinat pada sistem bumi statis, dan Sistem Referensi, Kerangka
Referensi Koordinat serta Datum Koordinat pada sistem bumi dinamis. Datum Koordinat terbagi menjadi
Datum Statik, Semi Dinamik, Dinamik, Semi Kinematik, dan Kinematik. Harapan penulisan tema ini agar
dapat mengetahui perbedaan Sistem Referensi Geodesi di Indonesia dengan di negara lain.

Kata kunci : Posisi, Koordinat, Sistem Referensi Geodesi (global), Datum Koordinat.

Pendahuluan
Posisi dalam definisi sederhana dapat diartikan sebagai keberadaan relatif suatu objek (bisa berupa titik,
garis, atau bidang) terhadap objek lainnya, atau keberadaan kita terhadap lingkungan sekitar kita. Koordinat
adalah suatu besaran (numeris) untuk menyatakan letak atau posisi suatu titik di lapangan. Koordinat secara
nilai atau besarannya dapat dinyatakan dalam sistem geodetik, sistem toposentrik, koordinat sistem
proyeksi, geosentrik, dan lainlain. Untuk menjamin adanya konsistensi dan standardisasi, perlu adanya
suatu sistem yang menyatakan koordinat. Sistem ini disebut Sistem Referensi Koordinat atau Sistem
Referensi Geodesi dengan unsur-unsur atau parameter penyusunnya berupa Sistem Referensi, Kerangka
Referensi Koordinat dan Datum Koordinat. Datum Koordinat terbagi menjadi beberapa jenis yaitu Datum
Statik, Semi Dinamik, Dinamik, Semi Kinematik, dan Kinematik.
Dalam pendekatan geodetik, ada 3 parameter yang mendefinisikan Sistem Referensi, yaitu:
 Lokasi titik asal (titik nol) dari Sistem Koordinat
 Orientasi sumbu koordinat
 Besaran yang digunakan dalam mendefinisikan posisi suatu titik dalam Sistem Koordinat tersebut
Datum Statik didefinisikan ketika set (kumpulan) koordinat dari titik-titik bench mark jaring Kerangka
koordinat, masing-masing memiliki satu nilai yang definitif dan bersifat tetap dalam semua fungsi waktu.
Datum Statik ini digunakan biasanya berdasarkan asumsi bumi yang bersifat tetap, atau pengaruh dinamika
bumi diasumsikan tidak akan mempengaruhi nilai koordinat yang telah ditetapkan.
Datum Dinamik : Didefinisikan ketika set (kumpulan) koordinat dari titik-titik bench mark jaring Kerangka
Koordinat, masing-masing memiliki nilai yang berubah-ubah dalam fungsi waktu, mengikuti perubahan
fisis bench mark akibat efek geodinamika dan deformasi. Penerapan Datum Dinamik ini berdasarkan
kenyataan bumi yang Benchmark (x,y,z) bersifat dinamis, yang jelas akan mempengaruhi nilai koordinat
yang ditetapkan.
Datum Semi Dinamik : Didefinisikan ketika set (kumpulan) koordinat dari titik-titik bench mark jaring
Kerangka Koordinat, masing-masing memiliki satu nilai yang ditetapkan pada epoch reference tertentu
(freeze coordinates). Sebagai contoh kita tentukan epoch reference-nya ke 1 januari 2000 (epoch 2000.0).
Dengan adanya epoch reference tersebut kita dapat mengadopsi pengaruh geodinamika dan deformasi
terhadap set (kumpulan) koordinat dengan pendekatan Model Deformasi, yang disusun dari pemodelan
geodinamika dan deformasi.
Pengamatan Terkait
A. Sejarah Sistem Referensi Geodesi di Indonesia

Sejarah Sistem Referensi Geospasial – Masa Pendudukan Belanda


Sejak jaman pendudukan Belanda, sudah banyak dilakukan usaha untuk melakukan pendefinisian datum
geodetic atau sistem referensi geospasial sebagai acuan dalam kegiatan survey dan pemetaan. Penentuan
posisi dengan triangulasi dimulai pada tahun 1862 yaitu jaring utama triangulasi di P.Jawa, dan selesai pada
tahun 1880 yang terdiri dari 114 titik, ditempatkan di puncak-puncak gunung, dengan tiga basis.
Sistem koordinat triangulasi Jawa dihitung mengacu kepada elipsoid Bessel 1841, dengan lintang dan
azimuth ditentukan titik triangulasi di Genoek, dan untuk hitungan bujur, Batavia (sekarang Jakarta) sebagai
meridian nol. Selanjutnya pada tahun 1883 jaring utama triangulasi Jawa diperluas ke Sumatera, sedemikian
rupa hingga triangulasi Sumatera membentuk satu sistem dengan triangulasi Jawa.
Pada periode tahun 1912-1918 jaring utama triangulasi Jawa diperluas sampai ke Bali dan Lombok. Tahun
1911 pengukuran jaring utama triangulasi di Celebes (sekarang Sulawesi) dimulai. Sistem koordinat yang
digunakan adalah Bessel 1841 ellipsoid, dengan lintang dan azimuth ditentukan di titik triangulasi di
Gunung Moncong Lowe, sedangkan dalam penentuan bujur, Makasar dijadikan sebagai meridian nol.
Pengukuran pada masa itu masih menggunakan peralatan optis sehingga penyatuan sistem datum geodetic
tidak memungkinkan. Alhasil, jaring utama triangulasi Jawa – Sumatera – Bali – Lombok tidak berada pada
satu sistem dengan jaring utama Sulawesi dan masing masing jaring memiliki ketelitian yang berbeda-beda.
Begitu juga dengan jaring utama triangulasi di Kalimantan yang pada waktu itu dilaksanakan oleh
perusahaan eksplorasi minyak-bumi juga tidak berada dalam satu sistem yang sama. Ketelitian relatif yang
dicapai dari jaring utama triangulasi tersebut sekitar 1 : 100.000.

Sejarah Sistem Referensi Geospasial Indonesia – Era 1970 sampai 1990 an


Pada awal tahun 1970-an penentuan posisi dilakukan dengan memanfaatkan teknologi TRANSIT Navy
Navigation Satellite System (satelit Doppler), kegiatan pengukuran pertama kali bertujuan untuk keperluan
pemetaan rupabumi pulau Sumatera. Untuk keperluan tersebut dibutuhkan kerangka acuan geodesi yang
baru, maka Indonesia (dalam hal ini Bakosurtanal, sebelum sekarang berubah menjadi BIG) menetapkan
suatu ellipsoid referensi yang mempunyai parameter sama dengan parameter elipsoid GRS-67 (Geodetic
Reference System 1967), yang diberi nama SNI (Sferiod Nasional Indonesia). Untuk menentukan orientasi
SNI dalam ruang, ditetapkan suatu datum relatif, yaitu dengan titik eksentris (stasiun Doppler) BP-A (1884)
di Padang sebagai titik datum SNI.
Dengan menetapkan SNI bersinggungan dengan sistem NWL9D (sumbu koordinat kedua elipsoid
didefinisikan paralel) di titik datum, maka koordinat BP-A Ecc pada sistem SNI diatas dikonversi atau
ditransformasikan ke koordinat kartesian (3 dimensi) dengan memakai parameter SNI, sehingga dapat
ditentukan pula pergeseran pusat sistem INS terhadap pusat sistem NWL9D dan pergeseran pusat sistem
NWL9D terhadap pusat sistem INS. Selanjutnya pergeseran pusat kedua sistem tersebut satu sama lain,
perdefinisi, ditetapkan berlaku untuk seluruh wilayah Indonesia, bertujuan untuk penetapan datum tunggal
geodesi di Indonesia, dan diberi nama Indonesian Datum 1974 atau Datum Indonesia 1974.
Pada realisasinya jaring kontrol geodesi yang titik-titiknya ditentukan dengan memanfaatkan satelit doppler
sudah berada dalam satu sistem, akan tetapi belum homogen dalam hal ketelitian, disebabkan metoda
pengukuran (penentuan posisi absolut, translokasi) dan metoda hitungan (‘multistation mode, short arc
mode’) yang dipakai berbeda. Walaupun demikian koordinat titik-titik pada jaring kontrol geodesi tersebut,
secara teknis cukup memenuhi untuk keperluan pemetaan rupabumi pada skala 1 : 50.000.
Gambar 1 – Sebaran Jaring Kontrol Horizontal Untuk Mendefiniskan DGN 95
Seiring dengan perkembangan teknologi GPS, maka pada tahun 1996 Bakosurtanal mendefinisikan datum
baru untuk keperluan survei dan pemetaan menggantikan ID74, yang disebut dengan Datum Geodesi
Nasional 1995 atau disingkat dengan DGN 95.

Sejarah Sistem Referensi Geospasial – Era 2000 an


DGN95 merupakan sistem referensi geospasial yang bersifat statis, dimana perubahan nilai koordinat
terhadap waktu sebagai akibat dari pergerakan lempeng tektonik dan deformasi kerak bumi, tidak
diperhitungkan. Perubahan nilai koordinat terhadap waktu perlu diperhitungkan dalam mendefinisikan
suatu sistem referensi geospasial untuk wilayah Indonesia. Hal ini dikarenakan wilayah Indonesia terletak
diantara pertemuan beberapa lempeng tektonik yang sangat dinamis dan aktif, diantaranya lempeng
Euroasia, Australia, Pacific dan Philipine. Wilayah Indonesia yang terletak pada pertemuan beberapa
lempeng inilah yang menyebabkan seluruh objek-objek geospasial yang ada diatasnya termasuk titik-titik
kontrol geodesi yang membentuk Jaring Kontrol Geodesi Nasional, juga bergerak akibat pergerakan
lempeng tektonik dan deformasi kerak bumi.
Teknologi penentuan posisi berbasis satelit seperti GNSS (Global Navigation Satelite System) saat ini telah
berkembang dengan pesat sehingga memungkinkan untuk digunakan dalam penyelenggaraan kerangka
referensi geodetik nasional yang terintegrasi dengan sistem referensi global, serta mampu memberikan
ketelitian yang memadai untuk memantau pergerakan lempeng tektonik dan deformasi kerak bumi yang
berpengaruh terhadap nilai-nilai koordinat.

Gambar 2 – Jaring Kontrol Geodesi (horizontal) yang dipakai pada SRGI 2013
Gambar 3 – Sebaran Jaring Kontrol Geodesi (Vertikal) yang dipakai pada SRGI 2013
Pada 17 Oktober 2013, diluncurkannya Sistem Referensi Geospasial Indonesia 2013 (SRGI 2013). SRGI
adalah suatu terminologi modern yang sama dengan terminologi Datum Geodesi Nasional (DGN) yang
lebih dulu didefinisikan, yaitu suatu sistem koordinat nasional yang konsisten dan kompatibel dengan
sistem koordinat global. SRGI mempertimbangkan perubahan koordinat berdasarkan fungsi waktu, karena
adanya dinamika bumi. Secara spesifik, SRGI 2013 adalah sistem koordinat kartesian 3-dimensi (X, Y,Z)
yang geosentrik. Implementasi praktis di permukaan bumi dinyatakan dalam koordinat Geodetik lintang,
bujur, tinggi, skala, gayaberat, dan orientasinya beserta nilai laju kecepatan dalam koordinat planimetrik
(toposentrik).

B. Sistem Referensi Geodesi di Papua New Guinea

Datum geodetik Papua Nugini saat ini, PNG94, diwujudkan pada saat yang sama dengan GDA94 di
Australia. Koordinat GDA94 dan PNG94 adalah "snapshot" dari Dynamic International Terrestrial
Reference Frame 1992 (ITRF92) pada 1 Januari 1994 (Epoch 1994.0). ITRF (dan WGS84) koordinat
stasiun tetap di mana saja di planet berubah hingga 100mm / tahun karena gerakan lempeng tektonik yang
tak terhindarkan. Tidak seperti Australia, bagaimanapun, PNG adalah sangat aktif secara tektonik, karena
lokasinya di tepi lempeng Australia dan Pasifik yang bertabrakan. Intern deformasi terjadi dalam PNG pada
tingkat hingga 120 mm / tahun dan deformasi coseismik sering beberapa meter di besarnya. Dengan ini
tubrukan zona di PNG ada juga beberapa lempeng kecil dan zona deformasi difus, yang menambah
kompleksitas pengaturan tektonik (Figure 1).

Deformasi interseisme (antara gempa bumi) melintasi batas lempeng dalam PNG berlangsung cepat (hingga
120 mm / tahun) dan deformasi cosesimic dan postseismic yang dihasilkan dari dangkal besar gempa bumi
bisa sampai beberapa meter dalam besarnya. Sejak awal tahun 1994, di sana telah hampir 1.500 gempa
bumi di atas Magnitude 5 di PNG, termasuk 20 di atas besarnya 7 (NEIC database). 14 tahun deformasi
tektonik dan seismik mengalami deformasi menghasilkan perubahan awal hingga enam meter di antara
banyak stasiun geodetik PNG94.
Deformasi internal yang signifikan dari jaringan geodetik membuatnya praktis tidak mungkin untuk
pengguna posisi titik tepat (PPP) GNSS dan sistem statis untuk memperoleh makna apa pun presisi dalam
PNG, kecuali deformasi ini dimodelkan dan zaman referensi tetap diformalkan. Di banyak area tektonik
aktif lainnya, mis. Selandia Baru (Blick et al., 2003) dan California, kecepatan situs dan model deformasi
telah diimplementasikan dalam datum geodetik memastikan bahwa infrastruktur geodetik tidak
terdegradasi oleh deformasi yang tidak dimodifikasi. Penggunaan model kecepatan memungkinkan gerakan
situs antara tanggal (zaman) pengukuran dan referensi zaman untuk dihitung. Dengan cara ini, koordinat
yang dikomputasi dapat dikaitkan dengan referensi zaman untuk memastikan bahwa koordinat dataset
spasial tetap "statis" dalam dinamis lingkungan Hidup. Terus berubah koordinat yang terkait dengan zaman
sembarang tidak memiliki nilai nyata dalam sistem spasial dan bahkan menurunkannya. Datum tempat
koordinat dinamis berada diregresikan ke epos tertentu tetap disebut sebagai datum semi-dinamis. Saat ini
ada tidak ada strategi di dalam PNG untuk menghadapi deformasi tektonik sedemikian rupa.
Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik tentang pengaturan tektonik di PNG, para peneliti telah
membangun jaringan luas situs pemantauan geodinamika yang stabil di PNG, terutama, Australian national
University's Research School of Earth Sciences (ANU RSES). Penting kolaborator sudah termasuk: The
PNG National Mapping Bureau (NMB), The Department of Surveying and Land Studies at UniTech, The
Rabaul Volcanological Observatory (RVO), and the University of California Santa Cruz (UCSC). Beberapa
kampanye pengukuran ulang stasiun-stasiun ini telah mengaktifkan koordinat ITRF akurat sub-sentimeter
dan kecepatan situs, euler tiang dari lempeng, dan parameter penguncian kesalahan untuk diperkirakan.
Jaringan luas dari stasiun dan hasil dari studi ini dapat membentuk dasar perbaikan yang sangat signifikan
Datum geodetik PNG (Figure 2).

Mengapa PNG harus memiliki datum semi-dinamis dan akurasi apa yang diperlukan?
Penggunaan data spasial di PNG semakin beragam: Survei kadaster (termasuk adat survei tanah dan
DCDB), eksplorasi dan penambangan, teknik (jembatan, bendungan, listrik, jalan, saluran pipa), pemetaan,
navigasi (udara, darat dan laut), pemantauan bahaya (gunung berapi,
gempa bumi, tanah longsor, perubahan permukaan laut), dan semua membutuhkan referensi spasial yang
homogen sistem atau datum. PNG94 memiliki kesalahan beberapa meter yang ditampung di dalamnya.
Untuk beberapa pengguna data spasial, akurasi absolut atau ketidakpastian posisional sebesar ini mungkin
dapat diterima, meskipun ketidakpastian relatif lebih kecil biasanya diperlukan, mis. untuk deformasi
pemantauan, survei rekayasa dan survei kadaster. Integrasi terpisah dan berdampingan survei,
bagaimanapun, biasanya membutuhkan akurasi mutlak 10 cm atau lebih baik. PNG94 dalam bentuknya
formulir saat ini tidak cukup akurat untuk tujuan ini. Datum geodetik akurat sentimeter semakin mendukung
ekonomi modern yang sukses. Dalam kasus PNG, ini akurat datum sangat penting untuk proyek rekayasa
skala besar seperti proyek LNG, yang kini memasuki tahap desain dan rekayasa front-end (FEED).
Keberhasilan ini proyek, yang akan membawa sekitar US $ 8 miliar ke dalam ekonomi PNG, bergantung
pada konstruksi dalam datum survei akurat sentimeter.

Hasil

1. Perbandingan 2 negara di atas


Indonesia menggunakan Sistem Referensi Geospasial Statis yaitu SRGI 2013 dengan
datum geodetic DGN95 dengan epok referensi yaitu tahun 1992 yang hingga saat ini
dikembangkan menjadi datum SRGI 2013 dengan epok referensi yakni 1 Januari 2012
Papua New Guinea menggunakan Sistem Referensi Geodesi semi dinamis dengan nama
datum geodetic PNG94 mengggunkan epok referensi tahun 1994

Berikut ini adalah fungsi atau rumus yang digunakan untuk menghitung koordinat datum
PNG94/PNGMG dari acuan koordinat ITRF UTM pada epok yang berbeda

Easting(PNG94) = Easting(t) + Velocity(E) * (1994 - t) + qe


Northing(PNG94) = Northing(t) + Velocity(N) * (1994 - t) +qn
Where;
 t = Epoch of measurement in decimal years
(e.g. 31st July (day of year 213) 2008 is 2008 + 213/366 = 2008.582)
 Easting(t) is the ITRF2000/WGS84 Easting at the epoch of measurement (at time
t)
 Northing(t) is the ITRF2000/WGS84 Northing at the epoch of measurement (at
time t)
 qe and qn are the total coseismic and postseismic displacements (East and North
components) between epoch t and 1994
 Velocity(E) and Velocity(N) are the site velocity components in Easting &
Northing, in metres per year

Contoh :
Didapatkan data RAW yang dilakukan pengukuran pada stasiun PSM 1768 antara
wilayah Hides dan Moran di negara PNG pada 2 Juli 2008, adalah sebagai berikut :
1768 -6°14’12.1512” 143°02’03.1876”

Untuk mengkonversi koordinat tersebut menjadi PNG94;


1. Melakuakn konversi koordinat tersebut ke dalam koordinat UTM
(WGS84/GRS80 ellipsoid):
= Zone 54 E 725073.31 N 9310194.84
2. Menghitung epok yang digunakan saat menghitung koordinat tersebut
2nd July 2008 = day of year 184, 2008 = epoch 2008 + 184/366 = 2008.503
3. Menghitung “site velocity” dari 1768 dengan mengambil sampel interpolasi
terdekat pada stasiun MORA dimana, velocitynya mempunyai perbedaan 0.032
m/tahun pada Easting and -0.054 m/tahun pada Northing
4. Menghitung perbedaan antara kedua epok yang digunakan dalam pengukuran
tersebut (2008.503) dengan epok baku yang digunakan oleh datum PNG
(1994.0)
Perbedaan pada Eastings = (1994.0-2008.503)*0.032 = -0.464
Perbedaan pada Northings = (1994.0-2008.503)*0.054 = -0.783
5. Menghitung persamaan ekuivalen dari koordinat tersebut
PNGMG94 Zone 54 Easting = 725073.31 -0.464 = 725072.85
PNGMG94 Zone 54 Northing = 9310194.84 -0.783 = 9310194.06

2. Konsekuensi apabila ada perubahan system referensi


Perubahan sistem referensi juga akan berpengaruh pada penentuan posisi di suatu wilayah.

Contoh kasus di Indonesia:


Sebelum BIG menetapkan SRGI sebagai datum referensi, Indonesia telah menggunakan Datum
Geodesi Nasional 1995. Perubahan penggunaan datum ini juga berpengaruh pada penentuan
posisi di Indonesia. Berdasarkan hal tersebut perlu dilakukan penelitian pada Titik Jaring Kontrol
Horizontal agar mengetahui perbedaan koordinat dalam sistem tetap (DGN-95) dan SRGI 2013
serta mendapatkan tujuh parameter yang di gunakan dalam transformasi koordinat.

Proses penentuan posisi dalam koordinat SRGI memperhitungkan nilai velocity rate sebagai
fungsi waktu akibat pergerakan lempeng dan deformasi kerak bumi. Dalam beberapa hal, jika
vektor perubahan nilai koordinat sebagai fungsi waktu (velocity rate) tidak dapat ditentukan
berdasarkan pengamatan geodetik maka digunakan suatu nilai model deformasi kerak bumi
yang diturunkan dari pengamatan geodetik di sekitarnya. Sedangkan proses penentuan posisi
dalam koordinat DGN-95 perubahan nilai koordinat terhadap waktu sebagai akibat dari
pergerakan lempeng tektonik dan deformasi kerak bumi tidak diperhitungkan, sehingga sistem
ini merupakan sistem referensi geospasial yang bersifat statis. SRGI 2013 dengan DGN-95
memiliki sistem referensi/saling sumbu titik koordinat (0,0), elipsoid referensi, dan datum
geodetik yang sama. Yang membedakan adalah kerangka referensinya, dimana DGN-95
menggunakan ITRF 2000 sedangkan SRGI 2013 menggunakan ITRF 2008 serta memiliki epoch
referensi pada tahun 2012.

Referensi

 Allman, J., Geodetic Datum & Geodetic Adjustment for Papua New Guinea (PNG94),
ACLMP report, 1996.
 Blick G., Crook, C., Grant D., Beavan, J., Implementation of a Semi-Dynamic Datum for
NewnZealand, International Association of Geodesy Symposia, Volume 128, Springer, 2005.
 Stanaway, R., Implementation of a Dynamic Geodetic Datum in Papua New Guinea: A case
study, MPhil thesis, The Australian National University, 2004

Anda mungkin juga menyukai