Anda di halaman 1dari 15

TUGAS

SISTEM REFERENSI DAN PENENTUAN POSISI

“SEJARAH SISTEM REFERENSI NEGARA

INDONESIA DAN SISTEM REFERENSI NEGARA

AUSTRALIA”

Disusun oleh :

Muhammad Muas Ramadhani

PROGRAM STUDI MAGISTER TEKNIK GEOMATIKA


DEPARTEMEN TEKNIK GEODESI
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2024
SEJARAH SISTEM REFERENSI NEGARA INDONESIA

Zaman dahulu, bahkan sejak zaman pendudukan Belanda di Indoensia, sudah banyak
dilakukan usaha untuk melakukan pendefinisian datum geodetic atau sistem referensi geospasial
sebagai acuan dalam kegiatan survey dan pemetaan. Pihak Belanda ingin memetakan Indonesia
agar potensi alam dapat di maksimalkan hasilnya. Potensi alam Indonesia yang besar menjadi
motivasi Belanda untuk dipetakan.
Penentuan posisi dengan triangulasi dimulai pada tahun 1862 yaitu jaring utama
triangulasi di Pulau.Jawa, dan selesai pada tahun 1880 yang terdiri dari 114 titik, ditempatkan di
puncak-puncak gunung, dengan tiga basis (Tanah, 2023). Triangulasi adalah proses mencari
koordinat dan jarak sebuah titik dengan mengukur sudut antara titik tersebut dan dua titik
referensi lainnya yang sudah diketahui posisi dan jarak antara keduanya. Koordinat dan jarak
ditentukan dengan menggunakan hukum sinus.
Sistem koordinat triangulasi Jawa dihitung mengacu kepada elipsoid Bessel 1841, dengan
lintang dan azimuth ditentukan titik triangulasi di Genoek, dan untuk hitungan bujur, Batavia
(sekarang Jakarta) sebagai meridian nol. Selanjutnya pada tahun 1883 jaring utama triangulasi
Jawa diperluas ke Sumatera, sedemikian rupa hingga triangulasi Sumatera membentuk satu
sistem dengan triangulasi Jawa.
Pada periode tahun 1912-1918 jaring utama triangulasi Jawa diperluas sampai ke Bali
dan Lombok. kemudian pada tahun 1911 pengukuran jaring utama triangulasi di Celebes
(sekarang Sulawesi) dimulai. Sistem koordinat yang digunakan adalah Bessel 1841 ellipsoid,
dengan lintang dan azimuth ditentukan di titik triangulasi di Gunung Moncong Lowe, sedangkan
dalam penentuan bujur, Makasar dijadikan sebagai meridian nol.
Pada saat itu teknologi yang digunakan belumlah secanggih yang digunakan pada era
modern seperti sekarang. Pengukuran pada masa itu masih menggunakan peralatan optis
sehingga penyatuan sistem datum geodetic tidak memungkinkan. Alhasil, jaring utama
triangulasi Jawa – Sumatera – Bali – Lombok tidak berada pada satu sistem dengan jaring utama
Sulawesi dan masing masing jaring memiliki ketelitian yang berbeda-beda. Begitu juga
dengan jaring utama triangulasi di Kalimantan yang pada waktu itu dilaksanakan oleh
perusahaan eksplorasi minyak-bumi juga tidak berada dalam satu sistem yang sama. Ketelitian
relatif yang dicapai dari jaring utama triangulasi tersebut sekitar 1 : 100.000.
Pada awal tahun 1970-an penentuan posisi dilakukan dengan memanfaatkan teknologi
Transit Navy Navigation Satellite System atau lebih dikenal dengan satelit Doppler, kegiatan
pengukuran pertama kali bertujuan untuk keperluan pemetaan rupabumi pulau Sumatera. Untuk
keperluan tersebut dibutuhkan kerangka acuan geodesi yang baru, maka Indonesia (dalam hal ini
Bakosurtanal, sebelum sekarang berubah menjadi BIG) menetapkan suatu ellipsoid referensi
yang mempunyai parameter sama dengan parameter elipsoid GRS-67 (Geodetic Reference
System 1967), yang diberi nama SNI (Sferiod Nasional Indonesia). Untuk menentukan orientasi
SNI dalam ruang, ditetapkan suatu datum relatif, yaitu dengan titik eksentris (stasiun Doppler)
BP-A (1884) di Padang sebagai titik datum SNI.
Dengan menetapkan SNI bersinggungan dengan sistem NWL9D (sumbu koordinat kedua
elipsoid didefinisikan paralel) di titik datum, maka koordinat BP-A Ecc pada sistem SNI diatas
dikonversi atau ditransformasikan ke koordinat kartesian (3 dimensi) dengan memakai parameter
SNI, sehingga dapat ditentukan pula pergeseran pusat sistem INS terhadap pusat sistem NWL9D
dan pergeseran pusat sistem NWL9D terhadap pusat sistem INS. Selanjutnya pergeseran pusat
kedua sistem tersebut satu sama lain, perdefinisi, ditetapkan berlaku untuk seluruh wilayah
Indonesia, bertujuan untuk penetapan datum tunggal geodesi di Indonesia, dan diberi nama
Indonesian Datum 1974 atau Datum Indonesia 1974.
Pada realisasinya jaring kontrol geodesi yang titik-titiknya ditentukan dengan
memanfaatkan satelit doppler sudah berada dalam satu sistem, akan tetapi belum homogen dalam
hal ketelitian, disebabkan metoda pengukuran (penentuan posisi absolut, translokasi) dan metoda
hitungan (‘multistation mode, short arc mode’) yang dipakai berbeda. Walaupun demikian
koordinat titik-titik pada jaring kontrol geodesi tersebut, secara teknis cukup memenuhi untuk
keperluan pemetaan rupabumi pada skala 1 : 50.000.
Gambar 1 – Sebaran Jaring Kontrol Horizontal Untuk Mendefiniskan DGN 95

Seiring dengan perkembangan teknologi GPS, maka pada tahun 1996 Bakosurtanal
mendefinisikan datum baru untuk keperluan survei dan pemetaan menggantikan ID74, yang
disebut dengan Datum Geodesi Nasional 1995 atau disingkat dengan DGN 95.
Baca Juga: Pengenalan GNSS dan Aplikasinya
DGN95 merupakan sistem referensi geospasial yang bersifat statis, dimana perubahan
nilai koordinat terhadap waktu sebagai akibat dari pergerakan lempeng tektonik dan deformasi
kerak bumi, tidak diperhitungkan. Perubahan nilai koordinat terhadap waktu perlu
diperhitungkan dalam mendefinisikan suatu sistem referensi geospasial untuk wilayah Indonesia.
Hal ini dikarenakan wilayah Indonesia terletak diantara pertemuan beberapa lempeng tektonik
yang sangat dinamis dan aktif, diantaranya lempeng Euroasia, Australia, Pacific dan Philipine.
Wilayah Indonesia yang terletak pada pertemuan beberapa lempeng inilah yang menyebabkan
seluruh objek-objek geospasial yang ada diatasnya termasuk titik-titik kontrol geodesi yang
membentuk Jaring Kontrol Geodesi Nasional, juga bergerak akibat pergerakan lempeng tektonik
dan deformasi kerak bumi.
Teknologi penentuan posisi berbasis satelit seperti GNSS (Global Navigation Satelite
System) saat ini telah berkembang dengan pesat sehingga memungkinkan untuk digunakan
dalam penyelenggaraan kerangka referensi geodetik nasional yang terintegrasi dengan sistem
referensi global, serta mampu memberikan ketelitian yang memadai untuk memantau pergerakan
lempeng tektonik dan deformasi kerak bumi yang berpengaruh terhadap nilai-nilai koordinat.
Gambar 2 – Jaring Kontrol Geodesi (horizontal) yang dipakai pada SRGI 2013

Gambar 3 – Sebaran Jaring Kontrol Geodesi (Vertikal) yang dipakai pada SRGI 2013
Pada 17 Oktober 2013, diluncurkannya Sistem Referensi Geospasial Indonesia 2013
(SRGI 2013). SRGI adalah suatu terminologi modern yang sama dengan terminologi Datum
Geodesi Nasional (DGN) yang lebih dulu didefinisikan, yaitu suatu sistem koordinat nasional
yang konsisten dan kompatibel dengan sistem koordinat global. SRGI mempertimbangkan
perubahan koordinat berdasarkan fungsi waktu, karena adanya dinamika bumi. Secara spesifik,
SRGI 2013 adalah sistem koordinat kartesian 3-dimensi (X, Y,Z) yang geosentrik. Implementasi
praktis di permukaan bumi dinyatakan dalam koordinat Geodetik lintang, bujur, tinggi, skala,
gayaberat, dan orientasinya beserta nilai laju kecepatan dalam koordinat planimetrik
(toposentrik).
Sistem Referensi koordinat yang beragam mengakibatkan ambiguitas karena munculnya
nilai koordinat yang berbeda pada titik yang sama di atas permukaan bumi. Dalam hal ini ada
peran yang penting dalam lingkup Geodesi dan Geomatika yaitu dalam bidang posisi maupun
koordinat. Posisi didefinisikan secara sederhana sebagai keberadaan relatif suatu objek bisa
berupa titik, garis ataupun bidang terhadap suatu objek lainnya. Sementara koordinat
didefinisikan sebagai suatu besaran untuk menyatakan letak atau posisi suatu titik di lapangan.
Untuk menjamin adanya konsistensi dan standardisasi dari suatu koordinat, yang berlaku untuk
sistem lokal sampai global, maka diperlukan adanya suatu sistem yang menyatakan sebuah
koordinat. Dalam sistem ini disebut yaitu Sistem Referensi Koordinat dengan berbagai unsur-
unsur atau parameter berupa Sistem Referensi dan Kerangka Referensi Koordinat pada sistem
bumi statis, dan Sistem Referensi, Kerangka Referensi Koordinat serta Datum Koordinat pada
sistem bumi dinamis. Datum Koordinat selanjutnya terbagi menjadi beberapa jenis yaitu Datum
Statik, Semi Dinamik, Dinamik, Semi Kinematik, dan Kinematik. 
Menurut peraturan BIG Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2021, Sistem Referensi
Geospasial adalah suatu sistem referensi yang digunakan dalam pendefinisian dan penentuan
posisi suatu entitas geospasial mencakup posisi horizontal, posisi vertikal, dan nilai gaya berat
berikut perubahannya sebagai fungsi waktu. Sistem Referensi Geospasial (SRGI) adalah Sistem
Referensi Geospasial yang digunakan secara nasional dan konsisten untuk seluruh wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia serta kompatibel dengan sistem referensi geospasial global
(BIG, 2013). Upaya untuk melakukan pendefinisian datum geodetik atau sistem referensi
geospasial sebagai acuan utama sistem referensi geospasial berbagai acuan utama dalam kegiatan
survei dan acuan utama dalam kegiatan survei dan penyelenggaraan Informasi Geospasial
semakin berkembang seiring berkembangnya teknologi. Pada 17 Oktober 2013, diberlakukan
suatu sistem referensi geospasial baru di Indonesia yang dikenal dengan Sistem Referensi
Geospasial dikenal dengan Sistem Referensi Geospasial (SRGI) 2013. Pemberlakuan sistem
referensi geospasial baru ini menutut pembeharuan produksi peta maupun informasi spasial yang
ada dari sistem referensi yang lama salah satunya DGN 95 menuju SRGI 2013 merupakan sistem
koordinat kartesian geosentris dimana pusat sumbu koordinat terletak pada pusat massa bumi.
Oleh karena itu model transformasi koordinat yang dilakukan adalah transformasi koordinat
kartesian 3 Dimensi (3D). Transformasi koordinat 3D meliputi komponen horizontal dan juga
vertical. Menurut Peraturan Kepala Badan Informasi Geospasial (BIG) nomor 13 tahun 2021
tentang Sistem Informasi Geospasial Indonesia (SRGI), geoid digunakan sebagai sistem referensi
geospasial vertikal nasional. Berbagai model geoid baik global maupun lokal telah dibangun
sebagai upaya pendefinisian komponen vertikal. Badan informasi Geospasial mengembangkan
model geoid baik global maupun lokal telah dibangun sebagai upaya pendefinisian komponen
vertikal. Badan Informasi Geospasial mengembangkan geoid Indonesia yang mengombinasikan
berbagai komponen data antara lain data gayaberat, model geoid global, dan data ketinggian.
2.1 Spesifikasi Sistem Referensi Geospasial
Berdasarkan Amanah UU No 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial, BIG (badan
Informasi Geospasial) sebagai salah satu instansi pemerintah memiliki tugas untuk menyediakan
Titik Kontrol memiliki tugas untuk menyediakan Titik Kontrol Geodesi yang akan dilengkapi
dan ditingkatkan akurasinya. Sistem Referensi Geospasial adalah suatu sistem referensi yang
digunakan dalam pendefinisian dan penentuan posisi suatu entitas geospasial mencakup posisi
horizontal, posisi vertikal dan nilai gayaberat berikut perubahannya sebagai fungsi waktu. Jadi
dari kesimpulan diatas Indonesia menggunakan ITRF (Internasonal Terrestrial Reference Frame)
untuk menjadi acuan sistem koordinat sebagai titik X, Y dan Z yang akan dijadikan kerangka
acuan di Indonesia.
Pada setiap negara di dunia memiliki sistem referensi geospasial masing-masing dengan
berbagai spesifikasi komponen yang berbeda pada antar Negara yang satu dengan lainnya. pada
sistem referensi di negara Indonesia terdapat Sistem referensi Geospasial Indonesia (SRGI
2013). Hal tersebut terdapat pada peraturan Badan Informasi Geospasial (BIG) No. 13 Tahun
2021, Sistem referensi Geospasial Indonesia dipakai secara nasional dan konsisten untuk seluruh
wilayah NKRI.
Pada beberapa negara di dunia seperti Australia juga memiliki sistem referensi dengan
tetep berperdoman kepada sistem referensi global. Di Australia dikenal DGA2020 sebagai datum
stastisnya dan pada saat ini berlaku sampai saat ini. Untuk beberapa negara di bagian Uni Eropa
menggunakan Inspire dimana merupakan sebuah hasil dari berbagai referensi-referensi pada
sebelumnya.
 Indonesia
Di negara kita penggunaan datum telah ditetepkan berdasarkan Surat Keputusan Kepala
Bakosurtanal Nomor : HK.02.04/II/KA/96 tanggal 12 Febuari 1996 untuk menggunakan Datum
Geodesi Nasional 1995 (DGN-95) yang merupakan referensi tunggal dalam pengolaan data
geospasial. DGN-95 adalah datum geodesi yang geosentris untuk keperluan survei dan pemetaan
di seluruh wilayah NKRI. DGN-95 menggantikan datum yang telah ada seperti Datum Indonesia
1974 (Mundakir, 2016). Pada DGN-95 perubahan nilai koordinat terhadap waktu sebagai akibat
dari pergerakan lempeng tektonik dan deformasi kerak bumi tidak diperhitungkan, sehingga
sistem ini merupakan sistem referensi geospasial yang bersifat statis.
Pada 17 Oktober 2013, diluncurkannya SRGI 2913. Berdasarkan Peraturan Kepala BIG
No. 15 Tahun 2013. Sistem Referensi Geospasial adalah suatu sistem referensi koordinat, yang
digunakan dalam pendefinisian dan penentuan posisi geospasial mencakup posisi horizontal,
posisi vertikal maupun ilia gayaberat serta perubahannya sebagai fungsi waktu. Sistem ini
digunakan secara nasional dan konsisten untuk wilayah NKRI serta kompatibel dengan sistem
referensi geospasial global. SRGI 2013 digunakan sebagai sistem referensi geospasial tunggal
dalam penyelanggaraan nasional. SRGI 2013 terdiri atas Sistem Referensi Geospasial Horizontal
dan Sistem Referensi Geospasial Vertikal.

Tabel 1
Gambar Perbedaan antara SRGI 2013 dengan DGN 1995
Berdasarkan Tabel 1 gambar diatas diketahui ciri-ciri SRGI 2013 (Cecep, 2013).
 Datum semi dinamik/kinematic
 Mengacu ke kerangka referensi global ITRF 2014.
 Epok referensi : 1 Januari 2020.
 Ellipsoid referensi : WGS 1984
 Kalau ada versi terbaru ITRF tersedia, SRGI 2013 akan otomatis diperbaruhi
 Perubahan nilai koordinat dalam bentuk model deformasi (pergerakan lempeng tektonik
dan gempa bumi)
 Sistem akses dan layanan bersifat terbuka atau self service.
Saat ini Indonesia masih menerapkan datum semi dinamik dikarenakan Indonesia
menerapkan Fully Dinamik atau Fully Kinematic datum, maka akan sulit untuk diterapkan
didunia praktis, seperti mengintegrasikan peta-peta, stacking out dan industry informasi
geospasial lainnya ke dalam satu kerangka referensi. Oleh karena itu, perlu jembatan supaya
tetap mengakomadasi perubahan koordinat terhadap fungsi waktu dan memudahkan aplikasi
praktis dalam bidang IG, maka Indonesia mengacu pada sistem semi dinamik (semi kinematic)
datum dengan menerapkan sistem semi dinamik ini, maka diperlukan model deformasi
Indonesia.
Datum adalah suatu framework yang bisa mendefinisikan suatu sistem koordinat yang
mencakup ellipsoid dan parameter lainnya. ada dua cara untuk menentukan datum dengan cara
tradisional yaitu dengan menggunakan dua datum teridri dari datum vertikal dan datum
horizontal dan dangan cara modern yang berdasarkan pada beberapa titik yang sudah terdefinisi.
Sedangkan datum lokal adalah datum geodesi yang paling sesuai dengan bentuk geoid pada
daerah yang tidak terlalu luas. Di Indonesia pada umumnya menggunakan Datum WGS 84
sebagai referensi penentuan posisinya dan menggunakan proyek UTM dan TM 3 untuk beberapa
instansi yang ada di Indonesia. TM 3 instansi seperti BPN dan umumnya untuk UTM digunakan
pekerjaan seperti perusahaan-perusahaan. Dan negara Indonesia menggunakan ITRF acuan
sistem referensi koordinat sebagai kerangka acuan internasional dan negara Indonesia sudah
menguptade ITRF sebanyak 2 kali yaitu pada tahun 2008 dan 2014. Dikarenakan lempeng bumi
terus bergerak seiring berjalannya waktu, stasiun ITRF perlu di-uptade secara periodik.
 Australia
Di Australia, pemosisian dan navigasi yang akurat dan andal diaktifkan oleh Sistem
Referensi Geospasial Australia (AGRS). AGRS adalah kumpulan dari Datum seperti Geosentris
Australia 2020, kerangka acuan seperti Kerangka Referensi Terestrial Australia 2014. Model
seperti AUSGeoid 2020. Sistem Referensi Geospasial Australia (AGRS) biasanya diterapkan
untuk menentukan lintang, bujur, tinggi, orientasi dan gravitasi, model dinamis, proses geofisika
yang memengaruhi pengukuran spasial. Bisa juga digunakan mengubah dan mengonversi data
dan memastikan informasi pemosisian dapat ditemukan, dapat diakses, dapat dioperasikan, dan
dapat digunakan kembali.
Lembaga yang menaungi dan melakukan kontrol kualitas pemosisian dan navigasi di
Australia yaitu ANZLIC dan ICSM. ANZLIC – Dewan Informasi Tata Ruang adalah kelompok
puncak pejabat senior antar pemerintah dari Australia dan Selandia Baru yang memberikan
kepemimpinan dalam penyampaian layanan dan informasi tata ruang. Intergovernmental
Committee on Survey and Mapping (ICSM) adalah lengan implementasi ANZLIC dengan
anggotanya dari lembaga survei dan pemetaan pemerintah. Visi ANZLIC dan ICSM adalah
memimpin pengembangan dan penerapan kemampuan spasial dan kecerdasan berbasis tempat
untuk mendorong manfaat sosial, ekonomi, dan lingkungan di seluruh Australia dan Selandia
Baru.
Meningkatnya penggunaan pada teknologi penentuan posisi yang tepat, selama dekade
terakhir, ICSM GWG merencanakan, mengembangkan, dan menerapkan berbagai pemutakhiran
penentuan posisi ke AGRS termasuk mengubah datum statis australia dari datum geosentris
australia 1994 menjadi datum geosentris australia 2020. Memperkenalkan kerangka referensi
terestrial australia 2014 – versi kerangka referensi terestrial internasional 2014 yang dipadatkan
secara nasional. Mengubah pengukuran nasional (standar pengukuran posisi nilai yang diakui)
penetapan untuk mengakui GDA2020 dan ATRF2014 sebagai kerangka acuan Australia.
Australia mengakomodasi dua pendekatan kerangka acuan dalam melakukan penentuan
posisi. Hal ini dibuat untuk menyesuaikan kebutuhan pengguna dalam melakukan penentuan
nilai koordinat. Ada pengguna yang lebih suka menggunakan datum statis, sementara itu juga
ada yang membutuhkan kerangka referensi yang mengakomodasi perubahan yang sedang
berlangsung di Bumi. Pada tahun 2020, Australia mengadopsi pendekatan dua kerangka, yang
memungkinkan pengguna untuk bekerja dengan datum statis, Geocentric Datum of Australia
2020 (GDA2020), atau dengan kerangka referensi yang bergantung pada waktu yang dikenal
sebagai Australian Terrestrial Reference Frame 2014 (ATRF2014). GDA2020 dan ATRF2014
setara pada tanggal 1 Januari 2020. Mengingat beragamnya kebutuhan pengguna di Australia,
pengguna dapat menyebarkan koordinat antara GDA2020 dan ATRF2014 menggunakan
Australian Plate Motion Model.
Sebelum menggunakan ITRF 2014 sebagai kerangka acuan dengan GRS80 sebagai elipsoid
acuan, Dewan Pemetaan Nasional (NMC), pada pertemuannya yang ke-23 pada bulan April
1965, mengadopsi ellipsoid Sistem Referensi Geodesi 1967 (GRS 1967), yang kemudian
direkomendasikan untuk penggunaan umum oleh Persatuan Internasional Geodesi dan Geofisika,
dengan istilah perataan diambil menjadi dua desimal tempat. NMC memutuskan untuk menyebut
ellipsoid ini Australian National Spheroid (ANS) (Dewan Pemetaan Nasional, 1966). Adapun
datum yang menggunakan ellipsoid GRS 1967 yaitu Datum Geodesi Australia 1966, Datum
Geodetik Australia 1984. Mulai digunakan ellipsoid GRS 80 (Geodetic Reference System 1980)
saat membuat Datum Geosentris Australia 1994 guna menyelaraskan datum Australia dengan
kerangka referensi global, Australia mengadopsi Geocentric Datum of Australia 1994 (GDA94)
dan proyeksi UTM Map Grid of Australia 1994 (MGA94).
Dalam membuat kerangka acuan local suatu negara perlu adanya kerangka acuan
internasional yang dijasikan sebagai acuan. ITRF 2014 digunakan sebagai kerangka sabagai
kerangka acuan yang digunakan untuk menentukan datum GDA2020. GDA2020 menjadikan
ITRF2014 sebagai acuan (Altamimi et al., 2016) pada epoch 2020.0.sedangkan GDA94
didasarkan pada realisasi ITRF1992 pada epoch 1994.0.
Sistem koordinat yang digunakan di Australia yaitu sistem koordinat kartesi 3D, Sistem
koordinat geografis, Sistem koordinat lokal.
 Sistem koordinat Cartesian adalah sistem tiga dimensi dengan posisi 𝑝 direferensikan ke
sumbu ortogonal 𝑋 𝑌 𝑍 dengan titik asal di pusat ellipsoid referensi (Gambar 5). Sumbu
𝑍 berada dalam arah sumbu rotasi elipsoid revolusi, bidang 𝑋 − 𝑍, dengan konvensi,
adalah bidang meridian utama (asal bujur) dan bidang 𝑋 − 𝑌 adalah bidang ekuator dari
ellipsoid (asal garis lintang) (Gerdan & Deakin, 1999).
 Sistem koordinat geodesi adalah sistem tiga dimensi dengan posisi 𝑝 direferensikan
menggunakan lintang geodesi 𝜙, bujur geodesi 𝜆 dan tinggi ellipsoidal ℎ (Gambar 5).
Lintang dan bujur geodesi, berdasarkan konvensi, besaran sudut diukur relatif terhadap
ekuator dan meridian utama pesawat masing-masing.
 Sistem koordinat lokal adalah sistem tiga dimensi dengan posisi yang direferensikan
menggunakan sumbu ortogonal 𝑒 𝑛 𝑢𝑝 dengan titik asal pada atau di atas titik pada
ellipsoid, dan orientasi terhadap meridian geodetik lokal (Fraser, et. al., 2017).
Datum acuan untuk penentuan posisi secara horizontal dapat menggunakan dua datum yang
ada di Australia, jika kebutuhan untuk monitoring pergerakan lempeng dalam upaya mitigasi
bencana maka cocok menggunakan ATRF 2014 sebagai datum dinamis acuan secara horizontal.
Namun ketika keperluan untuk membuat data base inventarisasi data biasa yang tidak
memerlukan perubahan koordinat setiap waktu maka sebaiknya menggunakan DGA2020 sebagai
datum pasif.
Selain datum acuan horizontal negara Australia mempunyai datum acuan vertikal sendiri
bernama Australian Height Datum(AHD). Australian Height Datum (AHD) adalah datum
vertikal nasional resmi untuk Australia dan mengacu pada Australian Height Datum 1971
(AHD71; Australian daratan) dan Australian Height Datum (Tasmania) 1983 (AHD–TAS83).
Sebelum AHD, banyak datum ketinggian lokal digunakan di negara bagian dan teritori. AHD
diadopsi oleh NMC pada pertemuannya yang ke-29 pada bulan Mei 1971 sebagai datum yang
menjadi rujukan semua kontrol vertikal untuk pemetaan. Permukaan datum melewati mean sea
level (MSL) yang terjadi antara tahun 1966 – 1968 pada 30 tide gauges di sekitar daratan
Ketinggian AHD diturunkan di seluruh Australia melalui penyesuaian kuadrat terkecil 97.320
km dari leveling 'primer' (digunakan dalam penyesuaian asli) dan 80.000 km dari leveling
'tambahan' (diterapkan dalam penyesuaian berikutnya) (Roelse et al., 1971). Selain itu ada
AUSGeoid2020 telah dikembangkan untuk mendukung peningkatan penentuan perkiraan
perkiraan ketinggian AHD 𝐻𝐴𝐻𝐷 dari pengamatan GNSS. AUSGeoid2020 memberikan nilai
pemisahan ellipsoid ke AHD 𝜁𝐴𝐻𝐷 darat disertai dengan perkiraan ketidakpastian statistik.
𝐻𝐴𝐻𝐷= ℎ − 𝜁𝐴𝐻𝐷 (116)
Mengingat bahwa AHD hanyalah data darat, model AUSGeoid2020 hanya boleh
digunakan di darat dan di pulau-pulau dekat pantai di mana koneksi ke AHD diketahui ada.
Pulau Christmas, Pulau Cocos, dan beberapa pulau di lepas pantai Queensland utara merupakan
pengecualian dari aturan ini di mana AUSGeoid2020 memberikan ellipsoid ke permukaan laut
rata-rata lokal sebagaimana ditentukan oleh pengamatan pasang surut.
Geoscience Australia memimpin pengembangan dan implementasi Australian Vertical Working
Surface (AVWS), sebagai alternatif AHD. Ketinggian AVWS diwujudkan dengan
mengurangkan nilai pemisahan geoid - ellipsoid dari Gravimetri Australia Model Quasigeoid
(AGQG) di mana AGQG adalah komponen gravimetri AUSGeoid2020. Dibandingkan dengan
AHD, AVWS adalah:
 Konsisten secara internal, didefinisikan hanya dari pengukuran medan gravitasi yaitu
tidak terkontaminasi dengan artefak non-gravimetrik karena rata-rata topografi dinamis
dan distorsi lokal dalam jaringan leveling.
 Tidak bergantung pada ketinggian patokan.
 Didefinisikan dengan mulus di dalam dan lepas pantai.
Australia sudah melakukan perubahan penggunan kerangka acuan internasional (ITRF)
selama dua kali yaitu ITRF 2008 dirubah menjadi ITRF 2014. Hal tersebut dilakukan sebagai
langkah awal antisipasi untuk memenuhi kebetuhan Geoscience Australia seperti departemen
survei tanah negara bagian dan teritori dan melalui mitra di Pusat Penelitian. Perubahan yang
dilakukan guna meningkatkan pengembangan mengenai geo-hazard di Australia karena benua
Australia adalah lempeng tektonik Australia bergerak sekitar 7 cm/tahun ke utara timur laut
(Nicholas et al., 2022).
Koordinat merupakan deskripsi kuantitatif posisi suatu titik dalam ruang. Dalam
menjamin adanya konsistensi dan standarisasi objek/titik tersebut, digunakan sistem referensi
koordinat untuk menyatakan koordinat dan akan direalisasikan dalam kerangka referensi
koordinat. Sistem referensi koordinat adalah suatu sistem (teori, konsep, deskripsi fisis-
geometris, standar, dan parameter) yang digunakan dalam pendefinisian koordinat dari suatu
atau beberapa titik dalam ruang. Spesifikasi tiga parameter yang didefinisikan oleh sistem
koordinat, yaitu : lokasi titik nol dari sistem koordinat, orientasi dari sumbu-sumbu koordinat,
dan besaran yang digunakan untuk mendefinisikan posisi suatu titik dalam sistem koordinat
tersebut.
Sistem Referensi Geodesi di beberapa negara terlihat cukup beragam. Namun secara
umum sistem yang dipilih mengadopsi atau menyesuaikan dengan Sistem Referensi Geodesi
yang bersifat global (contohnya rata-rata terikat pada Kerangka Referensi ITRF). Datum
Koordinat yang dipilih di masing-masing negara terlihat menyesuaikan dengan sistem dinamika
bumi di masing-masing negara bersangkutan. Untuk daerah dynamic region seperti New
Zealand, Jepang, Turki, Papua New Guinea, South Korea, Israel terlihat memilih Datum
Koordinat Semi Dinamik. Sementara itu untuk daerah yang stabil secara geodinamik, seperti
Indonesia, Australia, Malaysia, Brunei terlihat memilih Datum Koordinat Statik.
Di Indonesia, Sistem Referensi Geospasial Indonesia 2013 (SRGI 2013) diluncurkan
pada 17 Oktober 2013. SRGI merupakan suatu sistem koordinat nasional yang konsisten dan
kompatibel dengan sistem koordinat global. SRGI mempertimbangkan perubahan koordinat
berdasarkan fungsi waktu, karena adanya dinamika bumi. Secara spesifik, SRGI 2013 adalah
sistem koordinat kartesian 3D (X,Y,Z) yang geosentrik. Implementasi praktis di permukaan bumi
dinyatakan dalam koordinat Geodetik lintang, bujur, tinggi, skala, gaya berat, dan orientasinya
beserta nilai laju kecepatan dalam koordinat planimetrik (toposentrik).
SRGI (Sistem Referensi Geospasial Indonesia) tunggal sangat dibutuhkan untuk
mendukung kebijakan Satu Peta (One Map) bagi Indonesia. Kebijakan Satu Peta akan membantu
pelaksanaan pembangunan di Indonesia berjalan serentak tanpa tumpang tindih kepentingan.
Sistem referensi geospasial ini dinyatakan dalam bentuk Jaring Kontrol Geodesi Nasional
dimana setiap titik kontrol geodesi akan memiliki nilai koordinat yang teliti baik nilai koordinat
horizontal, vertikal maupun gaya berat.
DAFTAR PUSAKA
BIG. (2013). Peraturan Kepala Badan Informasi Geospasial Nomor 15 Tahun 2013 Tentang
Sistem Referensi Geospasial Indonesia 2013. Badan Informasi Geospasial, 1995(Dgn 95).
Mundakir, I. A. (2016). Benchmarking Aplikasi Web SRGI sebagai Salah Satu Sistem Informasi
Benchmarking Aplikasi Web SRGI sebagai Salah Satu Sistem Informasi Referensi
Geospasial berbasis Internet di Indonesia. Fit-Isi & Cgise, January 2016, 1–7.
Nicholas, B., Jack, M., Harrison, C., & Woods, A. (2022). Australian Geospatial Reference
System Compendium. August, 1–148.
Tanah, J. U. (2023). Berasal dari web site yang membahas Sejarah Sistem Referensi Indonesia :
http://www.jasaukurtanah.com/sejarah-sistem-referensi-geospasial-di-indonesia.html

Anda mungkin juga menyukai