Anda di halaman 1dari 28

Makalah

Sistem Referensi dan Penentuan Posisi

Oleh:
Made Ditha Ary Sanjaya
Mahasiswa Fast Track 2015

Dosen Pengampu:
T. Aris Sunantyo

PASCA SARJANA TEKNIK GEOMATIKA


FAKULTAS TEKNIKSistem Referensi dan Penentuan Posisi
UNIVERSITAS GADJAH MADA
2016
0

Daftar Isi

Daftar Isi

Daftar Tabel ii
Daftar Gambar

iii

Daftar Diagram

iv

I.

UNDANG-UNDANG INFORMASI GEOSPASIAL


I.1 Tujuan

I.2 Peristilahan

iv

I.3 Korelasi antara UU No.4 Tahun 2011 dan Sistem Referensi dan Penentuan Posisi 6

SISTEM REFERENSI DAN PENENTUAN POSISI


Matakuliah Sistem Referensi dan Penentuan Posisi adalah matakuliah yang mempelajari
konsep-konsep dari sebuah sistem referensi dimana sistem tersebut adalah pedoman dalam kegiatankegiatan yang berhubungan dengan penentuan posisi yang presisi, maupun kegiatan-kegiatan lain
yang terkait.
Pada matakuliah ini, dibahas secara detail dan holistik hal-hal penting diantaranya payung
hukum sistem referensi dan standar-standar yang mengatur jaring kontrol yang berlaku. Materimateri terkait dasar-dasar sistem referensi seperti model-model bumi, transformasi datum, layanan
situs SRGI (Sistem Referensi Geospasial Indonesia) 2013, dan teknologi penentuan posisi juga
menjadi hal-hal yang harus dapat dipahami sebagai kompetensi dasar lulusan Pascasarjana Teknik
Geomatika.
I.

UNDANG-UNDANG INFORMASI GEOSPASIAL


Wilayah Indonesia yang sangat luas berbanding lurus dengan kebutuhan mengenai
informasi spasial yang sangat dibutuhkan untuk berbagai keperluan. Informasi spasial
dibutuhkan hampir dalam setiap aspek dalam sebuah negara, baik itu aspek sosial, budaya,
dan ekonomi. Banyaknya kegiatan-kegiatan pembangunan infrastruktur yang telah dan
sedang dilakukan juga akan membutuhkan beragam informasi spasial. Perkembangan
kebutuhan akan informasi spasial atau juga biasa disebut geospasial mengakibatkan perlunya
payung hukum berupa perundangan yang mengatur tentang informasi geospasial di
Indonesia.
I.1 Tujuan
Undang-undang No. 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial menjadi jawaban atas
kebutuhan peraturan terkait informasi geospasial. Adapun tujuan dari adanya perundangan ini
adalah:
a. Untuk menjamin ketersediaan dan akses terhadap IG (Informasi Geospasial) yang
dapat dipertanggungjawabkan.
b. Untuk mewujudkan penyelenggaraan IG yang berdaya guna dan berhasil guna
melalui keerja sama, koordinasi, integrasi, dan sinkronisasi, dan
c. Untuk mendorong penggunaan IG dalam penyelenggaraan pemerintahan dan dalam
berbagai aspek kehidupan masyarakat.
I.2

Peristilahan
Dalam UU No.4 Tahun 2011, terdapat peristilahan yang terkait dengan sistem referensi

dan penentuan posisi yang harus dipahami. Berikut adalah beberapa istilah dan definisinya:

a.Spasial adalah aspek keruangan suatu objek atau kejadian yang mencakup lokasi,
letak, dan posisinya.
b.Geospasial atau ruang kebumian adalah aspek keruangan yang menunjukkan lokasi,
letak, dan posisi suatu objek atau kejadian yang berada di bawah, pada, atau di atas
permukaan bumi yang dinyatakan dalam sistem koordinat tertentu.
c.Titik Kontrol Geodesi adalah posisi di muka bumi yang ditandai dengan bentuk
fisik tertentu yang dijadikan sebagai kerangka acuan posisi untuk IG.
d.Jaring Kontrol Horizontal Nasional adalah sebaran titik kontrol geodesi horizontal
yang terhubung satu sama lain dalam satu kerangka referensi.
e.Jaring Kontrol Vertikal Nasional adalah sebaran titik kontrol geodesi verikal yang
terhubung satu sama lain dalam satu kerangka referensi.
f.Jaring Kontrol Gayaberat Nasional adalah sebaran titik kontrol geodesi gayaberat
yang terhubung satu sama lain dalam satu kerangka referensi.
g. Metode pengukuran geodetik tertentu adalah cara pengukuran untuk
memperoleh posisi horizontal dengan ketelitian yang diperlukan, pemanfaatkan
teknologi penentuan posisi geodetik horizontal, baik secara diam (statis) maupun
bergerak (kinematis/dinamis), secara sporadis maupun terus menerus (kontinyu),
dan secara pasif maupun aktif.
h. Sistem referensi koordinat tertentu adalah sistem untuk menggambarkan
koordinat dari titik kontrol geodetik horizontal.
i. Sistem referensi geospasial adalah datum geodesi, sistem referensi koordinat,
dan sistem proyeksi.
I.3

Korelasi antara UU No.4 Tahun 2011 dan Sistem Referensi dan Penentuan Posisi
Sistem referensi geospasial di Indonesia digunakan sebagai acuan dalam kegiatan

survei dan pemetaan maupun penyelenggaraan informasi geospasial. Metode yang digunakan
untuk penentuan posisi sangat beragam diantarana adalah metode triangulasi dengan jarring
utama yang ada di pulau Jawa. Dalam matakuliah ini, sistem referensi berkaitan erat dengan
pembahasan mengenai kerangka acuan, akuisisi data dan metodenya, koordinat, serta
kehandalan data. Pembahasan mengenai metode, koordinat, serta kehandalan data selalu
mengacu pada UU IG.
Data yang diperoleh pada sistem referensi harus memperhatikan aspek nilai,
kehandalan, berkaitan dengan toleransi, tingkat kepercayaan, kepresisian, keakurasian, dan
redundansi. Aspek redundansi diperoleh melalui pengukuran yang dilakukan lebih dari satu
kali pengukuran. Sistem referensi melingkupi tiga buah jaring kontrol yang digunakan di

Indonesia. Jaring kontrol tersebut antara lain Jaring Kontrol Horizontal Nasional (JKHN),
Jaring Kontrol Vertikal Nasional (JKVN), dan jaring Kontrol Gayaberat Nasional (JKGN).
II.

MODEL BUMI
Menurut Vanicek dan Krawiwsky (1986), tiga bidang kajian utama dalam ilmu geodesi
adalah:
a. penentuan posisi,
b. penentuan medan gaya berat, dan
c. variasi temporal dari posisi dan medan gaya berat
Dari klasifikasi kajian tersebut, harus dipahami mengenai model-model bumi yang
digunakan. Dalam makalah ini akan dibahas mengenai tiga model bumi yang utama antara
lain model bumi fisik, model bumi geoid, dan model bumi ellipsoid.

Gambar 1. Ilustrasi model-model bumi

II.1

Model Bumi Fisik


Bumi fisik adalah gambaran nyata dari permukaan bumi. Bumi fisik adalah model

bumi yang dapat diamati dan dirasakan dengan indera manusia. Pada model bumi ini, bentuk
bumi sangat tidak beraturan dengan kenampakan-kenampakan di permukaannya. Aktivitasaktivitas pengukuran dapat dilakukan di atas model bumi fisik, akan tetapi hampir tidak dapat
diturunkan model matematisnya yang digunakan untuk keperluan perhitungan secara teoritis.
II.2

Model Bumi Geoid

Konsep geoid pertama kali digagas oleh C.F. Gauss. Geoid adalah bidang
ekipotensial gaya berat Bumi yang menyinggung muka laut. Namun permukaan
laut tidaklah stabil dan banyak dipengaruhi oleh angin, cuaca, dan lain-lain.
Karena itu digunakanlah muka laut rata-rata (Mean Sea Level, MSL) sebagai
pendekatan dari geoid.

Menurut Heiskanen dan Moritz (1967), geoid adalah Suatu bidang equipotensial
yang berimpit dengan permukaan laut rata-rata atau MSL yang tidak terganggu
(Heiskanen dan Moritz, 1967).

Selanjutnya geoid Merupakan gambaran bumi yang subsurface yang tidak dapat
dilihat secara kasat mata yang diwujudakan melalui fiture ruang dengan syarat sifat dari
bidang equipotensialnya sama, baik geometris maupun gravimetris. Bidang equipotensial dari
geoid ini dalam praktek penentuan tinggi digunakan sebagai bidang referensi.
Penentuan bentuk dan besar geoid pada dasarnya menentukan penyimpangan bentuk
dan penyimpangan jarak geoid terhadap ellipsoid sebagai bumi acuan, dimana ellipsoid harus
ditetapkan terlebih dahulu.
II.2.1 Sistem Tinggi
Tinggi adalah jarak vertikal suatu titik terhadap suatu bidang referensi. Tinggi
yang bereferensi terhadap bidang geoid disebut tinggi orthometrik (h), sedangkan
tinggi yang bereferensi terhadap elipsoid disebut dengan tinggi geometrik (H).
Hubungan antara nilai tinggi orthometrik dengan tinggi geometrik adalah nilai
undulasi yang dinotasikan N. Berikut hubungan antara tinggi orthometrik, tinggi
geometrik, dan nilai undulasi:
N= h H ....................................................................................................
(II.1)
Sistem tinggi pada geoid merupakan sistem tinggi fisis, yaitu sistem tinggi
yang didasarkan pada perbedaaan bilangan geopotensial di geoid, dengan bilangan
potensial titik di permukaan bumi.
Apabila potensial gayaberat geoid adalah W0 sedangkan potensial gayaberat di
titik P adalah Wp maka dapat ditentukan besar nilai bilangan geopotensial (C) dengan
persamaan:
W 0=g . H .....................................................................................(II.2)
C=g . H ..................................................................................................(II.3)

Sehingga dapat ditentukan bahwa besarnya tinggi orthometrik (H) di titik P


seperti berikut:
H=

C
g

....................................................................................................

(II.4)

Gambar II.1. Elipsoid, geoid, dan topografi


(Kahar, 2002)

II.3

Model Bumi Elipsoid


Bentuk geoid yang tidak beraturan tidak memungkinkan kita untuk

melakukan perhitungan matematis. Karena itu, sebagai representasi matematis


dari bentuk fisik Bumi, digunakanlah ellipsoid. Ellipsoid adalah ellips yang diputar
pada sumbu pendeknya. Perbedaan antara geoid dan ellipsoid tidak lebih dari
200 m.

Sesuai dengan teori Newton, bahwa gaya sentrifugal menyebabkan Bumi mengalamai
pemampatan, jari-jari kutub pada ellipsoid lebih pendek daripada jari-jari ekuatornya.
Pemampatan ini dinyatakan dengan:
6

f=

(ab)
a

....................................................................................................(II.5)

dalam hal ini:


f = penggepengan elipsoid
a = sumbu panjang elipsoid
b = sumbu pendek elipsoid

Gambar 2.1. Posisi titik P pada elipsoid WGS 84 dan sistem koordinat kartesi 3 dimensi
Ellipsoid yang mempunyai ukuran dan bentuk tertentu untuk hitungan geodesi dan
sebagai permukaan rujukan dinamakan ellipsoid referensi. Ada banyak sekali ellipsoid
referensi, mulai dari Airy, Bessel, hingga WGS 84. Yang paling umum digunakan adalah
WGS 84 (World Geodetic System 1984). Meski pada pengukuran terestris digunakan geoid
sebagai referensi tinggi, tapi satelit posisi (seperti GNSS, VLBI, SLR) menggunakan ellipsoid
sebagai referensinya.

III.

JARING KONTROL HORIZONTAL NASIONAL

Berbicara mengenai penentuan posisi, tidak terlepas dari jaring-jaring kontrol salah
satunya adalah jaring kontrol horizontal. Di Indonesia, ketentuan mengenai jaring kontrol
horizontal secara nasional diatur dalam SNI (Standar Nasional Indonesia) Jaring Kontrol
Horizontal.
Standar ini melingkupi peristilahan dan definisi teknis dalam hal pembangunan dan
pengembangan jaring kontrol geodetik horizontal nasional.
II.1 Peristilahan dan definisi
Berikut adalah istilah-istilah terkait JKHN dan definisinya:
a. Jaring kontrol horizontal adalah sekumpulan titik kontrol horizontal yang satu
sama lainnya dikaitkan dengan data ukuran jarak dan atau sudut, dan koordinatnya
ditentukan dengan metode pengukuran/pengamatan tertentu dalam sistem referensi
koordinat horizontal tertentu.
b. Kerangka referensi koordinat adalah realisasi praktis dari sistem referensi
koordinat sehingga sistem tersebut dapat digunakan untuk pendeskripsian secara
kuantitatif posisi dan pergerakan titik-titik, baik di permukaan bumi (kerangka
terestris) maupun di luar bumi (kerengka selestial atau ekstra-terestris).
c. ITRS (International Terrestrial Reference System) adalah sistem referensi
koordinat global CTS yang didefinisikan, direalisasikan dan dipantau oleh IERS
(International Earth Orientation System).
d. ITRF (International Terrestrial Reference Frame) kerangka referensi koordinat
global yang merupakan realisasi dari ITRS.
e. GPS (Global Positioning System) sistem satelit navigasi dan penentuan posisi yang
dimiliki dan dikelola oleh Amerika Serikat yang didesain untuk memberikan posisi
dan kecepatan tiga dimensi serta informasi mengenai waktu, secara kontinu di
seluruh dunia kepada banyak orang secara simultan tanpa bergantung pada waktu
dan cuaca
f. Survei GPS adalah survei penentuan posisi dengan pengamatan satelit GPS, yang
merupakan proses penentuan koordinat dari sejumlah titik terhadap beberapa buah
titik yang telah diketahui koordinatnya dengan menggunakan metode penentuan
posisi diferensial (differential positioning) serta data pengamatan fase (carrier
phase) dari sinyal GPS.
g. Sistem elipsoid adalah sistem koordinat yang mempunyai karakteristik sebagai
berikut : titik nol sistem koordinat adalah pusat elipsoid; sumbu-X berada dalam
bidang meridian nol dan terletak pada bidang ekuator elipsoid; sumbu-Z berimpit
dengan sumbu pendek elipsoid; sumbu-Y tegak lurus sumbu-sumbu X dan Z, dan
membentuk sistem koordinat tangan-kanan.
8

h. Sistem koordinat adalah sistem untuk mendefinisikan koordinat dari suatu titik,
yang sistem koordinat itu sendiri didefinisikan dengan menspesifikasi tiga
parameter berikut, yaitu lokasi titik asal (titik nol) dari sistem koordinat, orientasi
dari sumbu-sumbu koordinat, dan besaran (jarak dan/atau sudut) yang digunakan
untuk mendefiniskan posisi suatu titik dalam sistem koordinat Tersebut
i. Sistem koordinat adalah geosentrik sistem koordinat yang lokasi titik asalnya
berada di (sekitar) pusat bumi
j. Sistem koordinat toposentrik adalah sistem koordinat yang lokasi titik asalnya
berada di permukaan bumi
k. Sistem referensi koordinat adalah sistem (termasuk teori, konsep, deskripsi fisis
dan geometris, serta standar dan parameter) yang digunakan dalam pendefinisian
koordinat.
II.2

Klasifikasi jaring titik kontrol horizontal


Klasifikasi jaring dilakukan berdasarkan kepresisian dan keakuratan. Tingkat presisi

diklasifikasikan berdasarkan kelas, dan tingkat akurasi diklasifikasikan berdasarkan orde.


Tabel 1. Kelas (pengukuran) jaring kontrol horizontal (SNI JKHN, 2002)
Kelas

c (ppm)

Aplikasi tipikal

3A

0.01

jaring tetap (kontinu) GPS

2A

0.1

survei geodetik berskala nasional

survei geodetik berskala regional

10

survei geodetik berskala lokal

30

survei geodetik untuk perapatan

50

survei pemetaan

Tabel 2. Orde jaring kontrol horizontal (SNI JKHN, 2002)


Jarak

Orde

Jaring kontrol

00

0.01

jaring tetap (kontinu) GPS

1000

3A

0.1

survei geodetik berskala nasional

500

2A

survei geodetik berskala regional

100

10

survei geodetik berskala lokal

10

Kelas

30

survei geodetik untuk perapatan

50

survei pemetaan

0.1

* jarak tipikal antar titik yang berdampingan dalam jaringan (dalam km)

II.3

Spesifikasi teknis
Dalam SNI JKHN diatur mengenai ketentuan-ketentuan dari pengukuran suatu jaring

horizontal. Ketentuan ini dirangkum dalam spesifikasi teknis diantaranya mengatur:


a. Sistem Referensi Koordinat menggunakan WGS 84 yang mengacu pada elipsoid
referensi WGS 84 yang berorientasi tangan kanan.
Tabel 3. Parameter utama ellipsoid WGS 84 (SNI JKHN, 2002)
Notasi

Nilai

6378137.0 m

Penggepengan

1/f

298.257223563

Kecepatan sudut bumi

7292115.0 x 10-11 rad s-1

Parameter

Sumbu panjang

Konstanta gravitasi
bumi (termasuk massa
atmosfir)

GM

3986004.418 x 108 m3 s2

b. Kerangka referensi koordinat


Tabel 4. Spesifikasi teknis kerangka referensi koordinat (SNI JKHN, 2002)

Orde jaring referensi


(minimal)
Jumlah minimum titik
dalam jaring referensi yang
dipakai sebagai titik ikat

c.

Orde Jaringan
00
0
1
ITRF
2000
00
0

Ketelitian
Tabel 5. Spesifikasi ketelitian jaringan titik kontrol (SNI JKHN, 2002)

Kelas minimal jaringan


(pengukuran)
Jumlah minimum titik
dalam jaring referensi yang

Orde Jaringan
00
0
1

3A

2A

ITRF
2000

00

3
10

dipakai sebagai titik ikat

d. Konfigurasi jaring
Tabel 6. Spesifikasi konfigurasi jaringan titik kontrol (SNI JKHN, 2002)

Jarak tipikal antar titik


yang berdampingan (km)
Jumlah minimum titik ikat
berorde lebih tinggi
Koneksi titik ke titik-titik
lainnya dalam jaring
(jumlah minimum)
Jumlah baseline minimum
yang diamati 2 kali
(common baseline)
Jumlah baseline dalam
suatu loop (maks.)

e.

Orde Jaringan
00
0
1

1000

500

100

10

0.1

Semu
a

100%

20%

10%

5%

5%

5%

Sistem peralatan
Tabel 7. Spesifikasi sistem peralatan (SNI JKHN, 2002)
Orde Jaringan
00
0
Tipe receiver GPS

Geodetik 2 frekuensi

Pengukur suhu,
temperatur, dan
kelembaban

Ya

3
4 (GPS)
Geodetik 1
frekuensi

Tidak

Tabel 7. Spesifikasi sistem peralatan (SNI JKHN, 2002)


Pengukur sudut
Pengukur jarak

IV.

Orde 4 (Poligon)
Alat ukur theodolit 1
Alat ukur EDM (Electronic Distance
Measurement)

JARING KONTROL VERTIKAL NASIONAL


SNI Jaring Kontrol Vertikal Nasional mengatur tentang definisi, klasifikasi, penetapan
datum vertikal, ketelitian, konfigurasi, spesifikasi teknis, hingga pedoman teknis tentang
pendefinisian datum, penerapan kelas dan orde, yang berhubungan dengan pembangunan dan
pengembangan jaring kontrol vertikal dengan metode sipat datar.
IV.1

Peristilahan dan definisi


11

Berikut beberapa peristilahan yang harus dipahami dalam membahas sistem referensi
dan penentuan posisi:
a. Datum vertikal adalah bidang referensi untuk sistem tinggi orthometrik yaitu
geoid.
b. Geoid adalah bidang ekipotensial gayaberat bumi yang paling mendekati muka
laut rerata
c. Jaring Kontrol Vertikal Nasional adalah serangkaian titik kontrol vertikal yang
satu sama lainnya dikaitkan dengan ukuran beda tinggi.
d. Subjaring Kontrol vertikal adalah jaring kontrol vertikal yang meliputi sebagian
wilayah nasional dengan datum vertikal lokal (independen).
e. Slag adalah jalur pengukuran antara dua titik berdiri rambu ukur dengan sekali
berdiri instrumen
f. Seksi adalah jalur pengukuran antara dua Tanda Tinggi Geodesi (TTG) atau
Bench Mark (BM) yang berurutan
g. Kring adalah jalur pengukuran yang membentuk rangkaian tertutup (berawal dan
berakhir pada titik kontrol vertikal yang sama)
IV.2

Klasifikasi
Jaring kontrol vertikal diklasifikasikan berdasarkan tingkat kepresisian dan

keakurasian hasil survei. Fakta empiris yang diterapkan untuk dasar klasifikasi ialah bahwa
ketelitian pengukuran beda tinggi dengan metode sipatdatar memanjang sebanding dengan
akar jarak pengukuran.
Kelas JKV ditentukan oleh faktor-faktor desain jaringan, pelaksanaan pengukuran,
peralatan yang digunakan, teknik reduksi dan hasil hitung perataan terkendala minimal
(minimally constraint). Penempatan kelas JKV pada akhirnya didasarkan pada hasil hitung
perataan jaring terkendala minimal. Kriteria untuk penempatan kelas adalah besarnya
kesalahan maksimal
r=c d

............................................................................................................(IV.1)

dengan harga c sebagai berikut:

Tabel 4.1. Penjenjangan kelas (SNI JKVN, 2004)


Sipatdatar memanjang
r (mm)=c d (km)

12

Kelas
LAA
LA
LB
LC
LD

C (untuk 1)
2
4
8
12
18

Hubungan antara kelas dan orde ditunjukkan dengan tabel berikut:


Tabel 4.2. Hubungan kelas dan orde (SNI JKVN, 2004)
Sipatdatar memanjang
Kelas
LAA
LA
LB
LC
LD

Orde tertinggi
L0
L1
L2
L3
L4

Orde menunjukkan ketepatan pengukuran terhadap titik kontrol pengikat. Penetapan


orde suatu jaring baru dilakukan dengan membandingkan ketelitian (1s) hasil perataan jaring
terkendala penuh dengan standar kesalahan maksimum yang diperkenankan, sebagai berikut.
Tabel 4.3. Penjenjangan orde (SNI JKVN, 2004)
Sipatdatar memanjang
r (mm)=c d (km )
Kelas
L0
L1
L2
L3
L4

C (untuk 1)
2
4
8
12
18

IV. 3 Penetapan datum vertikal


Sabelum dilakukan pengembangan JKV, datum vertikal harus didefinisikan melalui
penetapan tinggi ortometrik suatu titik tinggi geodesi (TTG) yang berfungsi sebagai titik
datum sistem JKV yang akan dikembangkan. Penetapan tinggi ortometrik ini harus diikatkan
dengan stasiun pasut yang idealnya diamati selama 18,6 tahun.
Hingga saat ini, penyatuan datum vertikal untuk seluruh wilayah indonesia masih
belum dapat diwujudkan, sehingga JKVN orde nol belum dapat dilaksanakan.
13

Dalam kondisi tidak memungkinkan penetapan datum vertikal dengan metode ideal,
maka penetapan datum vertikal dapat ditempuh melalui pendekatan dengan teknik tertentu
sedemikian rupa sehingga diperoleh tinggi titik datum sedekat mungkin dengan tinggi
terhadap geoid. Datum vertikal pendekatan dapat ditetapkan dengan cara-cara prioritas
sebagai berikut.
a. penetapan datum vertikal dengan data pasut minimal 1 tahun;
b. penggunaan peil pelabuhan laut atau sungai yang memiliki informasi tentang tinggi
c. terhadap MLR;
d. kombinasi GPS dengan model geoid global;
e. interpolasi tinggi pada peta topografi;
f. penentuan tinggi barometrik.
IV.4

Ketelitian jaringan
Ketelitian hasil pengukuran tinggi JKV dapat dilihat dari kesalahan penutup hasil

ukuran pergi-pulang dalam seksi, satu jalur pengukuran, dan kring, deviasi standar hasil
perataan jaring terkendala minimal, dan deviasi standar hasil perataan jaring terkendala
penuh.
Penjenjangan kelas pengukuran berdasarkan pada batas maksimum kesalahan penutup
pergi-pulang, sebagai berikut.

Tabel 4.4. Standar kesalahan penutup pergi-pulang (SNI JKVN, 2004)


Kelas pengukuran
LAA
LA
LB
LC
LD

V.

Toleransi per-seksi
(mm/km)
2d
4d
8d
12d
18d

Toleransi per-jalur
(mm/km)
2D
4D
8D
12D
18D

Toleransi per-kring
3D
5D
8D
12D
18D

JARING KONTROL GAYABERAT NASIONAL


Pada SNI JKGN diatur mengenai ketentian jaring kontrol gayaberat yang meliputi
peristilahan, klasifikasi, sistem referensi, konfigurasi, dan sistem peralatan. SNI JKGN masih
mengacu secara normatif terhadap SNI 13-4686-1998, tentang penyusunan anomali
gayaberat, SNI 19-6724-2002, tentang jaring kontrol horizontal (JKHN), dan SNI 19-69882004, tentang jaring kontrol vertikal dengan metode sipat datar (JKVN).
V.1

Peristilahan dan definisi


a. Jaring kontrol gayaberat (JKG) adalah sebaran titik-titik gayaberat dengan
nilainya saling terikat dengan ketelitian tertentu dan mencakup daerah tertentu.
14

b. JKG berskala lokal adalah sebaran titik-titik gayaberat hasil perapatan dari JKG
regional dengan satu atau lebih titik pangkal.
c. JKG berskala nasional adalah sebaran titik-titik pangkal gayaberat secara teratur
yang mencakup wilayah nasional.
d. JKG berskala regional adalah sebaran titik-titik gayaberat hasil perapatan dari
JKG nasional.
e. Gayaberat pengamatan adalah nilai gayaberat hasil pengukuran di lapangan
setelah melalui konversi ke miligal (mgal) dan telah dikoreksi dari pengaruh
pasang surut dan/atau apungan.
f. Apungan (drift) adalah kesalahan yang disebabkan alat atau pegas tidak kembali
pada kedudukan semula
V.2

Sistem referensi
Sistem referensi yang digunakan untuk JKGN adalah IGSN71 (International Gravity

Standardization Network 1971) yang ditentukan oleh International Union on Geodesy and
Geophysics (IUGG).
V.3

Klasifikasi jaring kontrol gayaberat


Sama halnya dengan JKH dan JKV, klasifikasi JKG didasarkan pada kepresisian dan

keakurasian hasil survei. Klasifikasi kelas JKG diantaranya kelas A0, A, B, dan C. Sedangkan
klasifikasi ordenya adalah orde 0, 1, 2, dan 3.
Tabel 5.1 Klasifikasi lingkup sebaran JKG berdasarkan kelas (SNI JKGN, 2005)
Kelas
Gravimeter
Multivoltmete
r
Kaca
Alat

Bacaan

pembesar
Jam
GPS
Altimeter
Termometer
Demper
Jumlah bacaan
Interval
bacaan

Pengukuran

A0
Tidak perlu

A
>3

B
2

C
2

Tidak perlu

>3

Tidak perlu

>3

Tidak perlu
Tidak perlu
Tidak perlu
Tidak perlu
Tidak perlu
Tidak perlu

2
1
2
2
>3
5 kali

2
1
1
1
2
4 kali

1
1
1
1
2
3 kali

Tidak perlu

< 3

<4

<4

Tidak perlu

Alat harus

Alat harus

Alat boleh

dipayungi

dipayungi

tidak
15

dipayungi
(tergantung
cuaca)
Tabel 5.2. Klasifikasi lingkup sebaran JKG berdasarkan orde (SNI JKGN, 2005)
Orde
0
1
2
3

V.4

Penjelasan
IGSN 71
JKG berskala nasional
JKG berskala regional
JKG berskala lokal

Perhitungan
Perhitungan JKG menggunakan metode kuadrat terkecil. Untuk memperoleh

ketepatan pengukuran gayaberat ditentukan berdasarkan nilai standar deviasi aposteriori yang
ditentukan sebagai berikut.
0 =

VT PV
nu

................................................................................................(V.1)

Dalam hal ini:


0 = standar deviasi aposteriori
P = matriks bobot
V = matriks residu
n = jumlah pengamatan
u = jumlah parameter

VI.

TRANSFORMASI DATUM
Datum adalah sekumpulan parameter yang mendefinisikan suatu sistem koordinat
dan menyatakan posisinya terhadap permukaan bumi. Datum horizontal digunakan sebagai
referensi koordinat peta. Datum ini juga dikenal dengan datum geodesi, yang merupakan
model matematika bumi untuk referensi perhitungan koordinat. Salah satu datum yang telah

16

di adopsi secara internasional dan diterima sebagai datum paling popular adalah World
Geodetic System 1984 atau WGS 84. (Permatahati dkk, 2012).
World Geodetic System 1984 (WGS84) merupakan sistem (datum) geodetik global
yang didefinisikan dengan origin geosentrik, orientasi sumbu-sumbu koordinat kartesian
mengikuti definisi BIH-1984,0 (Fahrurrazi, 2011). Kemudian yang dimaksud dengan
transformasi datum geodetik ialah transformasi koordinat titik yang mengacu pada satu
datum geodetik tertentu ke datum geodetik yang lain. Berikut merupakan rumus perhitungan
transformasi datum.
VI.1

Rumus Transformasi Koordinat Geografik ke Kartesi 3D


X =( R + H ) cos cos ......................................................................................(VI.1)
Y =( R+ H ) cos sin

.......................................................................................(VI.2)

Z =( R + H ) sin ...............................................................................................(VI.3)

=sin

H=

( R +Z H )=tan ( X Z+ Y )
1

( sinZ )R

=tan 1

( YX )

.................................................................(VI.4)

................................................................................................(VI.5)

....................................................................................................(VI.6)

Dalam hal ini:


X = Nilai koordinat sumbu kartesi X
Y = Nilai koordinat sumbu kartesi Y
Z = Nilai koordinat sumbu kartesi Z
R = jari-jari model bumi geografik
H = nilai tinggi di atas topografi
= lintang geografik

17

= bujur geografik

VI.1

Rumus Transformasi Koordinat Geodetik ke Kartesi 3D


X =( N A +h ) cos cos

.....................................................................................(VI.7)

Y =( N A +h A ) cos sin ....................................................................................(VI.8)


Z =( N ( 1e2 ) +h a ) sin ....................................................................................(VI.9)
a. Lintang pendekatan
A =tan1

{(

1
( 1e2 )

)(

ZA
X 2A +Y 2A

)}

..................................................................(VI.10)

b. Na
a

Na=

( 1e2 sin2 A ) 2

......................................................................................(VI.11)

c. Lintang
A =tan1

Z A +e 2 N A sin A

2
A

+Y 2A

........................................................................(VI.12)

d. Bujur
A =tan1

( YX )

...............................................................................................(VI.13)

e. Tinggi
X 2+Y 2
hA=
N
cos A

..........................................................................................(VI.14)

Dalam hal ini:


X = Nilai koordinat sumbu kartesi X
18

Y = Nilai koordinat sumbu kartesi Y


Z = Nilai koordinat sumbu kartesi Z
R = jari-jari model bumi geografik
H = nilai tinggi di atas elipsoid
= lintang geodetik
= bujur geodetik

Langkah langkah b dan langkah-c diulangi sampai perbedaan harga A


tidak signifikan
Transformasi datum dapat digambarkan sebagai berikut.

Gambar 6.1. Transformasi koordinat dari datum WGS 84 ke Bessel 41

VII.

LAYANAN SRGI
SRGI (Sistem Referensi Geospasial Indonesia) merupakan sistem referensi yang
menggunakan 4 buah sistem salib sumbu. Empat buah sistem salib sumbu tersebut terdiri dari
spasial (X,Y, Z) dan waktu. Di dalam situs SRGI yang dikelola oleh BIG dijelaskan

19

pengertian mengenai Sistem Referensi Geospasial yaitu suatu sistem koordinat nasional yang
konsisten dan kompatibel dengan sistem koordinat global, yang secara spesifik menentukan
lintang, bujur, tinggi, skala, gayaberat, dan orientasinya mencakup seluruh wilayah NKRI,
termasuk bagaimana nilai-nilai koordinat tersebut berubah terhadap waktu. Dalam
realisasinya sistem referensi geospasial ini dinyatakan dalam bentuk Jaring Kontrol Geodesi
Nasional dimana setiap titik kontrol geodesi akan memiliki nilai koordinat yang teliti baik
nilai koordinat horisontal, vertikal maupun gayaberat.
SRGI 2013 akan mendefinisikan beberapa hal, yaitu:
a. Sistem Referensi Koordinat, yang mendefinisikan titik pusat sumbu koordinat,
skala dan orientasinya.
b. Kerangka Referensi Koordinat, sebagai realisasi dari sistem referensi koordinat
c.
d.
e.
f.
g.
h.

berupa Jaring Kontrol Geodesi Nasional;


Ellipsoid Referensi yang digunakan;
Perubahan nilai koordinat terhadap waktu sebagai akibat dari pengaruh pergerekan
lempeng tektonik dan deformasi kerak bumi di Wilayah Indonesia;
Sistem Referensi Tinggi;
Garis pantai nasional yang akurat dan terkini, yang dipublikasi secara resmi;
Sistem dan layanan berbasis web untuk mengakses SRGI 2013.

.
VII.1 SRG Horizontal
a. Sistem Referensi Koordinat
Sistem Referensi Koordinat digunakan untuk mendefinisikan titik pusat
sumbu koordinat, skala dan orientasinya. System referensi koordinat yang
dimaksud merupakan system koordinat geosentrik 3 dimensi dengan
ketentuan:
1) Titik pusat system koordinat berimpit dengan pusat massa bumi
sebagaimanadigunakan dalam ITRS.
2) Satuan dari sistem koordinat berdasarkan Sistem Satuan Internasional
(SI).
3) Orientasi sistem koordinat bersifat equatorial, dimana sumbu Z searah
dengan sumbu rotasi bumi, sumbu X adalah perpotongan bidang
equator

dengan garis bujur yang melalui greenwich(greenwich

meridian), dan sumbu Y berpotongan tegak lurus terhadap sumbu X dan

20

Z pada bidang equator sesuai dengan kaidah sistem koordinat tangan


kanan, sebagaimana digunakan dalam ITRS.
b. Kerangka Referensi Koordinat
Kerangka Referensi Koordinat sebagai realisasi dari sistem referensi
koordinat berupa Jaring Kontrol Geodesi Nasional. Kerangka referensi yang
dimaksud merupakan realisasi dari Sistem Referensi Koordinat, yaitu berupa
JKG dengan nilai koordinat awal yang didefinisikan pada epoch 2010.0
tanggal 1 Januari 2012, yang terikat kepada kerangka referensi global
ITRF2008 atau hasil pemutakhirannya. JKG sendiri merupakan sebaran titik
kontrol geodesi yang terintegrasi dalam satu kerangka referensi. JKG yang
dimaksud terdiri atas:
1)
Sebaran stasiun pengamatan geodetik tetap/kontinu;
2)

Sebarantitikpengamatan geodetik periodik; dan

3)

Sebaran titik kontrol geodetik lainnya.


Kerangka referensi koordinat yang digunakan untuk menentukan SRGI
2013 adalah kombinasi antara stasiun observasi geodesi permanen dan pilar
observasi geodesi periodik yang terhubung ke jaringan global. Jumlah stasiun
dan pilar di Indonesia yang digunakan untuk menghitung sebanyak 954 stasiun
dan pilar lokal.

VII.2 SRG Vertikal


Sistem referensi geospasial vertikal adalah sistem referensi kordinat yang digunakan
untuk penentuan tinggi. Sebagai negara kepulauan, akan sangat sulit untuk mencapai
unifikasi sistem tinggi secara nasional. Solusi dari permasalahan ini aadalah penggunaan
Geoid sebagai SRG Vertikal. Geoid adalah permukaan/bidang ekuipotensial yang berimpit
dengan Mean Sea Level (MSL) pada kuadrat terkecil. Geoid adalah model bumi yang
menggambarkan bentuk permukaan bumi yang nyata dengan variasi gayaberat. Geoid
diturunkan dari pengukuran gayaberat yang mengacu pada jaring kontrol geodesi.
Saat ini model geoid yang ada di Indonesia sudah mencakup pulau Sulawesi dan
Kalimantan, dengan menggunakan pengukuran gayaberat melalui wahana udara. Hasil uji

21

menunjukan tingkat akurasi model geoid di Sulawesi sebesar 0.21 meter, sedangkan di
Kalimantan sebesar 0.36 meter.

Ada beberapa hal yang perlu dikritisi berkaitan dengan tampilan layanan SRGI yang
dikelola oleh Badan Informasi Geospasial (BIG). Terdapat beberapa base map yang dapat
ditampilkan oleh situs layanan SRGI tersebut, seperti misalnya base map berbasis vektor dan
base map berbasis data raster (citra).

Gambar 7.1 Tampilan layanan SRGI dengan basemap vektor (srgi.big.go.id)

Gambar 7.1 Tampilan layanan SRGI dengan basemap vektor (srgi.big.go.id)


Dari situs layanan SRGI tersebut dapat dikritisi mengenai kaitannya dengan sistem
22

referensi yang terkandung pada JKHN (Jaring Kontrol Horizontal Nasional), situs layanan
SRGI tersebut tidak menjelaskan mengenai datum yang digunakan (datum global atau datum
lokal). Kemudian nilai lintang dan bujur tidak dijelaskan nilai itu berdasarkan datum global
atau lokal, sehingga tidak diketahui apakah berhimpit atau tidak berhimpit dengan pusat masa
bumi (PMB). Karena jika berhimpit dengan PMB tentu menggunakan datum global. Jika
datum global maka dapat digunakan sebagai referensi untuk negara di sekitar Indonesia.
Hubungannya dengan JKVN yang ada pada web tersebut, tidak bisa digunakan untuk
menghitung JKVN, karena masih menggunakan tinggi geopotensial global. Seharusnya geoid
menggunakan gravimetri (menggunakan frekuensi gelombang tinggi). Ketika berbicara
tentang geoid maka yg akan tertuang adalah geoid global yang menggunakan gelombang
panjang. Tetapi jika dikaitkan dengan JKVN kurang pas, karena tidak ada pengukuran
gravimetri yang berdasarkan pengukuran gaya berat, baik terestris maupun ekstraterestrial.
Seharusnya menggunakan frekuensi tinggi sehingga nilai tinggi orthometris dapat diketahui.
Sedangkan dalam layanan situs ini masih pseudo karena hanya menggunakan frekuensi
gelombang panjang. Data yang diperleh dari situs tersebut tidak bisa dilakukan koreksi nilai
tinggi karena nilainya berasal dari nilai frekuensi panjang gelombang, sehingga dari data
tersebut tidak dapat dibangun JKVN. Dalam situs layanan SRGI tersebut ditampilkan lintang
dan bujur, tetapi koordinat lintang dan bujur tersebut tidak jelas darimana mendapatkannya
(dari hasil digitasi peta RBI atau yang lainnya). Jika menggunakan peta RBI yang didigitasi
seharusnya disertakan parameter transformasinya. Penentuan koordinat lintang dan bujur
yang paling teliti saat ini adalah dengan menggunakan teknologi ekstraterestrial dengan
GNSS.
Terkait dengan JKGN, dalam JKGN gaya berat dihitung dengan menggunakan
gravimetri, Namun pada situs layanan SRGI tersebut, pendefinisian sistem tinggi
geopotensial global (menggunakan frekuensi gelombang panjang) telihat pada tulisan
EGM2008, hubungannya dengan RUTR (Rencana Undang-Undang Tata Ruang), informasi
yang terdapat dalam situs layanan SRGI tersebut tidak dapat dijadikan acuan.
Secara visual, tampilan situs layanan SRGI tersebut masih perlu banyak perbaikan.
Jika situs layanan SRGI tersebut masih under construction seharusnya terdapat catatan yang
menyatakan bahwa situs tersebut masih under construction, dan seharusnya situs layanan
tersebut hanya boleh dilihat saja, sedangkan informasi di dalamnya tidak boleh digunakan
untuk dijadikan acuan. Selain itu, pada tampilan situs yang menampilkan base map berbasis
raster, citra yang digunakan tidak dijelaskan menggunakan citra jenis apa (tidak disebutkan
mengenai spesifikasi dan resolusi dari citra tersebut).
VIII. TEKNOLOGI POSITIONING
I.1 Teknologi positioning data vektor
23

4
D
3
T
E
a
e
k
D
t
r
s
a
o
=
r
t
e
r
iv
2
s
a
e
g
D
t
ik
r
t
t
n
i+
e
o
a
r
r
l1
e
D
s
t
r
i
a
l
Diagram 8.1 Teknologi positioning data vektor
Data vektor berupa 3 Dimensi original merupakan data 3 dimensi yang semua datanya
muncul benar-benar dalam bentuk 3 dimensi. Instrumen pengukuran bisa menggunakan Total
Station dan Robotik Total Station dengan Sistem Koordinat Toposentrik.
Untuk Sistem Koordinat Geosentrik bisa digunakan jika menggunakan pengukuran
ekstraterestrial, yaitu dengan menggunakan receiver GNSS. Pengukuran ekstraterestrial
menggunakan metode absolut dan relatif.

DD P
fe
f t Pn
P gm
ku k
k
o k( u

aa
e
o
r

or
ba
n
a
b

ra a ne t
dc a
iu
a s o s e re
b
o I s nG i n p S t
o a e s
ni t
di
oo n
r i e n n
e
gs
i
sr
bP i
Pi t
)
r
i t

t
u
P

d
n

fi

a
t

r
t

i
k

s
o

u
t

Diagram 8.2 Pengukuran ekstraterestrial metode absolut

24

SK
F
it e
una e
et kn
umi
ak e
nt
i s
k (
R
a
de

PF

r e
n
g
u

k
s

i
k

S
M

a i
n
R
P

N
T

I
l

a i
o

i
f

Diagram 8.3 Pengukuran ekstraterestrial metode relatif


Pengukuran ekstraterestrial menggunakan metode absolut dibedakan menjadi 2 yaitu
data kode fase tanpa koreksi orbit dan data kode fase dengan koreksi orbit. Sedangkan untuk
pengukuran ekstraterestrial metode relatif dibedakan menjadi metode relatif statik dan
relatif kinematik.
I.2 Teknologi positioning data Raster
Positioning dibedakan menjadi dua yaitu raster dan vektor. Dari dua teknologi
positioning tersebut, tidak terlepas dari empat buah proses yaitu akuisisi data, prosesing data,
analisis data, dan visualisasi data. Untuk data raster, dapat dijelaskan sebagai berikut :
a. Akuisisi data
Diperoleh melalui satelit, foto udara, ultralite, dan drone. Data-data tersebut bergantung
pada nilai fokus kamera, moving kamera, dan kestabilan sistem penerbangan.
Persoalan :
Fokus kamera
fokus kamera berbanding terbalik dengan tinggi terbang. Semakin tinggi terbang

pesawatnya, distorsi akan semakin besar dan akan sulit untuk dibuat model 3D.
Moving kamera
kamera akan bergerak sesuai dengan pergerakan pesawat. Kestabilan kamera
akan sulit didapatkan jika terbang rendah (ingin mendapat fokus besar) karena

akan terjadi goncangan. Harus ada perhitungan omega, phi, dan kappa.
b. Processing
Khusus untuk foto udara, pada jaman dahulu prosesing data dilakukan menggunakan
filmnamun saat ini prosesing data dilakukan secara digital. Tetapi prinsip dari kedua
caratersebut sebenarnya sama.
Persoalan:
25

Bagaimana mengubah sistem koordinat sentral ke sistem koordinat orthogonal?


Bila digunakan teknologi UAV juga menimbulkan permasalahan, yaitu apabila

tinggi terbangnya rendah maka akan semakin rentan dengan pusaran angin.
Maka perlu menggunakan alat receiver dalam positioning baik dengan receiver

navigasi atau geodetik?


Jika menginginkan peralatan yang handal, sulit mendesain peralatan pemotretan
udara ringan yang mencakup semua teknologi. Jika peralatan berat, maka manuver
akan sulit dilakukan sehingga raw data yang didapatkan buruk dan prosesing akan

sulit dilakukan
c. Analisis
Bisa dilakukan dengan perhitungan RMS berdasarkan nilai pixel (raster).
d. Visualisasi data : Peta Foto

Referensi

Abidin, HA. (2001). Geodesi Satelit. Jakarta: PT. Pradnya Paramita.


SNI 19-6724-2002, Jaring Kontrol Horizontal, Badan Standardisasi Nasional 2002, ICS 13.180.30
SNI 19-6988-2004, Jaring Kontrol Vertikal dengan metode sipatdatar, Badan Standardisasi
Nasional 2004, ICS 35.240.70
SNI_19-7149-2005, Jaring Kontrol Gaya Berat, Badan Standardisasi Nasional 2005, ICS
35.240.70
Clynch, J.R. (2006). Introduction to Datums.
Fahrurrazi, D. (2011). Sistem Acuan Geodetik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Heiskanen, W. A. Moritz, H. (1967). Physical Geodesy. United State of America: W.H. Freeman and
Company.
Kahar, J. (2002 ). Unifikasi Datum Vertikal Indonesia dalam Rangka Pembangunan IDSN. Jurnal Ilmiah
Geomatika, Vol.8 No.2, Desember 2002, Hal : 11-21.
Pahlevi, A.M., Pangastuti, D. (2014). Indonesian Geospatial Reference System 2013 and Its Implementation
On Positioning. Kuala Lumpur, Malaysia: FIG Congress.
Permatahati, A.D., Kahar, S., Sabri, L.M. (2012). Transformasi Koordinat pada Peta Lingkungan Laut
Nasional. Jurnal Geodesi Undip. Vol.1, No.1 .
Republik Indonesia. (2011). Undang-Undang No. 4 Tahun 2011 Tentang Informasi Geospasial.
Torge, W. (2001). Geodesy. Walter de Gruyter.
26

Triarahmadhana, B. (2013). Evaluasi Model Geopotensial Global GOCE terhadap Ketelitian Geoid Lokal.
Yogyakarta: Skripsi. Teknik Geodesi Universitas Gadjah Mada.
Vanicek, P., Krakiwsky, E.J. (2015). Geodesy: The Concepts. Elsevier.
http://srgi.big.go.id/ diakses pada 29 Maret 2016 pukul 21.00 WIB

27

Anda mungkin juga menyukai