Anda di halaman 1dari 97

UNIVERSITAS GADJAH MADA

FAKULTAS TEKNIK
JURUSAN TEKNIK GEODESI
Jl. Grafika 2, Kampus UGM, Yogyakarta, Tel/Fax. 0274-520226

RKPM
(Rencana Kegiatan Pembelajaran Mingguan)

GEODESI SATELIT
Semester Genap/3 SKS/TKGD 2405
Oleh:
Ir.Djawahir, M.Sc.
Bilal Ma’ruf, ST, MT.
Dedi Atunggal, ST, M.Sc.

Nopember 2013
BAB I

SISTEM TATASURYA

A. PENDAHULUAN

A.1. Deskripsi Singkat


Bab pendahuluan ini membahas proses pembentukan alam semesta menurut teori Bigbang yang
meliputi proses awal setelah peristiwa Bigbang sampai peristiwa decoupling atau recombination,
diikuti dengan pembahasan tentang proses pembentukan galaksi dan bintang sehingga terbentuk
susunan benda-benda langit dalam alam semesta dan sistem tatasurya matahari. Pelaksanaan
perkuliahan dilengkapi dengan latihan-latihan di kelas dan/atau pekerjaan rumah.

A.2. Manfaat/Relevansi
Materi Bab I ini memberikan pemahaman mahasiswa tentang keluasan alam semesta, susunan
benda-benda langit dalam alam semesta, dan orbit benda-benda langit terutama dalam sistem
tatasurya matahari sehingga berkembanglah apresiasi mahasiswa terhadap hukum-hukum gerak
benda langit yang dirumuskan dalam teori ilmiah, seperti hukum gravitasi Newton dan teori
Kepler. Secara substansial, materi dalam Bab I ini berkaitan dengan seluruh materi kuliah dalam
bab-bab selanjutnya. Sementara itu matakuliah lain yang berkaitan dengan Bab I ini terutama
ialah Sistem Acuan Geodesi (TGD2402).

A.3. Tujuan Instruksional Khusus (Learning Outcomes)


Kognitif : mahasiswa mampu menjelaskan proses kejadian alam semesta menurut teori
Bigbang, jenis-jenis benda langit, dan struktur tata surya matahari.
Psikomotorik : membuat gambar sketsa posisi relatif benda-benda langit di dalam sistem
tatasurya matahari.
Afektif : berkembang sikap rendah hati yang dilandasi oleh kesadaran terhadap kekasaan
Pencipta alam semesta.

B. PENYAJIAN

I.1. Teori Kejadian Alam Semesta (Bigbang)


Teori bigbang (big = besar, bang = ledakan, dentuman) mendeskripsikan bahwa alam
semesta bermula dari suatu ledakan atau dentuman dahsyat kira-kira 13.700.000.000 tahun (=
13,7 milyar tahun) yang lalu dan terus mengembang hingga sekarang. Bigbang terjadi pada suatu
kondisi tertentu dimasa lalu ketika seluruh materi dan energi alam semesta menyatu dalam
kerapatan dan suhu yang sangat tinggi. Kondisi alam semesta sebelum terjadinya bigbang tidak
diketahui, namun teori relativitas umum memperkirakan terjadinya kondisi singularitas
mendahului peristiwa bigbang. Kondisi singularitas yang dimaksud ialah kondisi tekanan yang
tak berhingga sehingga materi mengalami kerapatan tak berhingga dengan volume kecil tak
berhinga dan suhu tak berhingga pula. Peristiwa bigbang menjadi titik awal ruang dan waktu bagi
alam semesta. Bigbang bukan seperti ledakan bom yang melemparkan serpihan materi bom ke
ruang kosong, akan tetapi meledaknya atau mengembangnya ruang itu sendiri dengan semua

1
partikel embrio alam semesta yang menyebar menjauh satu sama lain. Menurut teori ini, sebelum
peristiwa bigbang tidak ada ruang. Pertanyaannya, apa atau siapakah yang menjadi penyebab
singularitas? Apakah kekuatan yang ada di luar singularitas? Tuhan? Sampai saat ini ilmu
pengetahuan nampaknya tidak mampu menemukan jawabannya karena memang diluar
jangkaunnya.
Ada beberapa spekulasi tentang teori atau model alam semesta pada fase awal setelah
peristiwa bigbang. Salah satunya secara umum menggambarkan bahwa segera setelah ledakan,
alam semesta mengembang dengan cepat, terisi secara homogen dan isotropik oleh energi
berkerapatan tinggi. Pada 10-43 sekon setelah bigbang (epok Planck) suhu mulai turun dan
partikel-partikel materi dan antimateri mulai terbentuk. Kira-kira 10-37 sekon setelah bigbang,
alam semesta memasuki fase transisi yang berlangsung dalam waktu yang sangat singkat. Dalam
fase ini alam semesta menjalani suatu proses yang disebut cosmic inflation yaitu mengembang
cepat secara eksponensial, dalam bentang waktu kurang dari 1/1000 sekon mengembang dua kali
lipat sebanyak seratus kali. Pada akhir cosmic inflation alam semesta berwujud plasma partikel-
partikel quark dan gluon, disamping partikel-partikel lain. Pada saat tersebut suhu alam semesta
masih sangat tinggi, pasangan partikel-antipartikel terus-menerus terbentuk, saling bertumbukan
dan saling memusnahkan.

Gambar I.1. Alam semesta yang mengembang


(Sumber: http://en.wikipedia.org/wiki/Big_bang)

Pada 10-32 sekon setelah bigbang suhu alam semesta turun sampai 1027 oK. Alam semesta
terus mengembang dan mendingin dengan cepat. Ketika suhu turun sampai 1013 oK pada 10-6
sekon setelah bigbang, quark dan gluon bergabung membentuk partikel-partikel baryon, yang
meliputi proton, neutron, dan elektron. Kelebihan jumlah quark terhadap antiquark menghasilkan
jumlah partikel baryon lebih banyak daripada partikel antibaryon. Ketika suhu alam semesta
turun sampai titik tertentu, pasangan partikel baryon-antibaryon tidak lagi terbentuk sehingga
setelah proses saling memusnahkan antara partikel dan antipartikel yang tinggal hanyalah partikel
tanpa antipartikel. Pada akhir fase ini alam semesta didominasi oleh partikel-partikel proton dan
neutron disamping partikel-partikel lepton yang meliputi elektron, neutrino, dan foton.
Satu sekon setelah bigbang suhu alam semesta turun sampai sekitar 1010 oK. Alam
semesta berisi plasma yang terdiri dari pertikel-partikel foton, elektron, neutrino, proton, dan
neutron. Ketika suhu turun sampai 109 oK, kira-kira 100 sekon setelah bigbang, alam semesta
2
memasuki proses nukleusintesis yang dimulai dengan reaksi penggabungan proton dengan
neutron yang menghasilkan isotop hidrogen deuterium H-2 (satu proton dan satu neutro). Proses
pembentukan deuterium ini berlangsung secara tiba-tiba dan dalam skala besar. Segera setelah
tebentuk, deuterium mengikat proton dan neutron yang lain sehingga terbentuk inti helium He-4
(dua proton dan dua neutron) dan sejumlah kecil tritium H-3 (satu proton dan dua neutron).
Selanjutnya satu tritium bergabung dengan dua deuterium membentuk inti lithium Li-7. Hampir
semua neutron di alam semesta bereaksi membentuk inti helium, sementara proton masih tersisa
sangat banyak karena jumlahnya (lipat tujuh) lebih banyak daripada neutron. Setelah suhu turun
sampai titik tertentu, proton-proton bereaksi dengan elektron membentuk hidrogen H-1 (satu
proton dan satu elektron). Nukleusintesis bigbang berlangsung hanya sekitar tiga menit, mulai
dari sekon ke-100 sampai sekon ke-300 setelah bigbang, menghasilkan sekitar 75% hidrogen,
sekitar 25% helium, sekitar 0,01% deuterium, dan sedikit lithium, tanpa elemen yang lebih berat
daripada lithium.
Alam semesta terus mengembang dan setelah lewat 300 tahun sejak peristiwa bigbang,
suhu turun sampai 10.000oK. Ketika umurnya mencapai sekitar 400.000 tahun, suhu turun
sampai sekitar 3.000oK. Pada suhu ini elektron-elektron mulai bergabung dengan inti helium dan
inti-inti lainnya, membentuk atom netral. Proses bergabungnya elektron dengn inti atom ini
disebut recombination. Sementara itu partikel-partikel foton (radiasi) tidak lagi berinteraksi
dengan materi sehingga mereka berada bebas di alam semesta dan menghasilkan cahaya yang
mengakibatkan alam semesta menjadi transparan. Proses terbebasnya foton dari materi ini disebut
decoupling. Sejak saat tersebut radiasi menyebar di seantero alam semesta, makin lama makin
lemah karena jumlah foton yang sama mengisi ruang alam semesta yang semakin mengembang.
Radiasi ini dikenal sebagai radiasi gelombang kosmis yang kemudian disebut Cosmic
Background Microwave Radiation disingkat CBMR atau Cosmic Background Radiation
disingkat CBR.

I.2. Benda-benda Langit dan Susunannya


Alam semesta yang terus mengembang berakibat kerapatannya semakin menurun dan
dalam perjalanan waktu terbentuk wilayah atau bagian-bagian alam semesta yang kerapatannya
sedikit lebih tinggi daripada kerapatan rata-rata. Di bagian-bagian tersebut pengembangan
berlangsung sedikit lebih lambat sehingga kerapatannya juga menurun lebih lambat. Bersamaan
dengan itu, gravitasi memperlambat pengembangan wilayah yang kerapatannya lebih tinggi
daripada wilayah yang kerapatannya lebih rendah. Demikian proses berlangsung sehingga
tebentuk wilayah-wilayah dengan kerapatan yang makin tinggi dan pada suatu saat berhenti
mengembang dan runtuh (collaps) menjadi gumpalan-gumpalan awan atau kabut gas calon
galaksi yang disebut protogalaxy. Setelah alam semesta berumur 500 juta tahun galaksi-galaksi
mulai terbentuk melalui proses fisika yang sangat rumit, melibatkan interaksi gravitasional materi
(bintang-bintang) di dalamnya, termodinamika gas, dan energi yang dihasilkan oleh bintang-
bintang. Ukuran dan bentuk galaksi yang bervariasi (spiral, piringan tipis, eliptikal), terbentuk
melalui mekanisme yang berbeda-beda.
Galaksi-galaksi terus menjalani evolusinya seiring dengan alam semesta yang terus
mengembang. Salah satu fenomena yang diduga terkait dengan galaksi dan dapat diamati ialah
QUASARS. Disebut quasars (akronim dari quasi-stellar radio source) karena mereka merupakan
sumber radiasi gelombang elektromagnetik yang sangat kuat, paling kuat diantara sumber radiasi
yang lain, dengan spektrum gelombang cahaya mulai dari sinar-X sampai infra merah. Diduga
bahwa sumber radiasi tersebut adalah galaksi aktif yang letaknya sangat jauh dari kita, terbentuk
di masa lalu ketika alam semesta berumur sekitar sepersepuluh dari umurnya sekarang. Galaksi
3
aktif tersebut diduga karena di tengahnya terdapat lubang hitam super massif yang berputar dan
menelan material di sekitarnya. Material yang ditelan setara dengan 10 bintang per tahun atau
sekitar 600 bumi per jam. Kemungkinan galaksi aktif tersebut adalah galaksi yang sedang
berinteraksi (berbenturan) dengan galaksi lain. Apabila material di sekitarnya telah habis
dikonsumsi maka galaksi aktif tersebut akan menjadi galaksi biasa.
Sementara galaksi menjalani evolusinya, demikian pula bintang-bintang yang berada di
dalamnya. Pembentukan bintang generasi pertama di dalam galaksi dimulai dengan terbentuknya
kabut molekul (sebagian besar CO dan H2) berkerapatan relatif lebih tinggi dibandingkan dengan
kerapatan materi disekitarnya. Kabut molekul ini terdiri dari gas dan debu yang disebut nebula.
Karena gravitasi, nebula tersebut runtuh, bagian dalam (tengah) yang lebih rapat runtuh lebih
dulu daripada bagian luarnya menjadi gumpalan kabut calon bintang yang disebut protostar.
Segera setelah itu gas mengalir masuk ke pusat protostar karena tarikan gravitasi dan melepaskan
energi kinetiknya dalam bentuk panas sehingga suhu dan tekanan di pusat protostar meningkat.
Pada saat suhu mendekati ribuan derajat, protostar mulai memancarkan radiasi infra merah.
Protostar mencapai kondisi stabil setelah tekanan di dalamnya mencapai tingkat sedemikian
sehingga tidak ada lagi aliran gas yang masuk ke pusat protostar. Masa protostar terus-menerus
bertambah dengan material yang jatuh dan bergabung di permukaan bintang. Setelah proses
berlangsung beberapa juta tahun, fusi nuklir mulai berproses di pusat protostar, sementara
fenomena angin bintang (star wind) menghentikan penambahan material baru di permukaan dan
akhirnya lahirlah bintang generasi pertama. Bintang dapat diibaratkan sebagai “tungku
pembakaran nuklir” tempat hidrogen dan helium difusikan, menghasilkan energi, radiasi, dan
elemen–elemen yang lebih berat. Produk nukleusintesis bintang ini disebarkan ke sekitarnya
antara lain oleh angin bintang atau ledakan bintang ketika bintang-bintang bermasa besar
meledak sebagai supernova. Dalam evolusinya bintang-bintang menjalani proses penuaan seiring
dengan makin berkurangnya hidrogen dan helium yang berfusi untuk menghasilkan energi. Para
pakar astronomi memperkirakan bahwa, sebagai bintang, matahari kita terbentuk sekitar 4,6
milyar tahun yang lalu dan akan kehabisan bahan bakar hidrogen dan helium dalam jangka waktu
5 milyar tahun dari sekarang.

Gambar 1.2. Superklaster – grup lokal (klaster) – galaksi – sistem tatasurya

Pembentukan bintang-bintang di dalam galaksi diikuti oleh pembentukan benda-benda


langit di dalam keluarga bintang (matahari) seperti planet dan benda-benda langit lain yang lebih
kecil. Benda-benda langit di dalam keluarga bintang ini bergerak mengorbit bintang induknya
dan bersama-sama dengan bintang induknya bergerak mengorbit pusat galaksi, sementara
4
galaksi-galaksi bergerak saling menjauh satu sama lain. Alam semesta ini terdiri dari galaksi-
galaksi. Galaksi-galaksi dikelompokan ke dalam klaster-klaster galaksi atau grup-grup lokal dan
klaster-klaster dikelompokan ke dalam superklaster-superklaster. Gambar I.2 menyajikan skema
susunan sebagian kecil wilayah alam semesta tempat tatasurya kita berada. Skema ini
dimaksudkan untuk memberikan ilustrasi tentang skala tatasurya kita di alam semesta yang
membentang tidak kurang dari 93 milyar tahun cahaya. Dengan demikian, alam semesta ini
terdiri dari galaksi-galaksi yang terus berevolusi dan tiap galaksi terdiri dari bintang-bintang yang
juga terus berevolusi. Tiap bintang memiliki “keluarga” yang terdiri dari sejumlah planet dan
benda-benda langit yang lebih kecil, seperti satelit (bulan), asteroid, komet, dan sebagainya.

I.3. Keluarga Matahari


Matahari merupakan salah satu bintang diantara sekitar 200 milyar bintang di dalam
galaksi Bimasakti yang berbentuk spiral dengan diameter sekitar 100.000 tahun cahaya. Matahari
kita terletak sekitar 24.000 sampai 26.000 tahun cahaya dari pusat galaksi, bergerak mengorbit
pusat galaksi dengan kecepatan sekitar 220 kilometer persekon sehingga untuk menyempurakan
satu periode putaran memerlukan waktu sekitar 225 – 250 juta tahun. Tatasurya kita terdiri dari
Matahari di pusatnya, dikelilingi oleh benda-benda langit yang terikat oleh gravitasi matahari.
Ditilik dari jenisnya, benda-benda langit tersebut terdiri dari planet, planet katai, satelit atau
bulan, asteroid, komet dan (mungkin) benda-benda langit lainnya yang belum teridentifikasi
sampai sekarang.

Gambar 1.3. Susunan tatasurya


(Sumber:http://www.thejubileeacademy.org/marketing/media/solar_system1.jpg)

Susunan benda-benda langit, mulai dari yang terdekat ke Matahari, berturut-turut ialah
Merkurius, Venus, Bumi(+ satu satelit), Mars (+ dua satelit), Sabuk asteroid, Jupiter (+ 63
satelit), Saturnus (+ 60 satelit), Uranus (+ 27 satelit), Neptunus (+13 satelit), Sabuk Kuiper. Di
luar Sabuk Kuiper masih terdapat benda-benda langit yang terhimpun dalam Scattered Disk dan
Awan Oort. Data lebih rinci tentang orbit delapan planet dan lima planet katai disajikan dalam
Tabel-1. Menurut hukum Kepler, benda-benda langit tersebut bergerak mengelilingi matahari
dalam lintasan berbentuk elips dengan matahari berada pada salah atu titik apinya. Demikian pula
satelit atau bulan, mereka bergerak mengelilingi planet induknya dalam lintasan berbentuk elips
dengan planet induk berada pada salah satu titik apinya.

5
Tabel 1. Data orbit planet
(Sumber: http://www.solarviews.com/eng/dan http://en.wikipedia.org/wiki/Planet

Jejari
Periode Inklinasi Periode
Nama Diameter Masa orbit Jumlah
rotasi orbit [a] orbit
(Bumi) (Bumi) [b] satelit
(hari) (derajat) (tahun)
(AU)
Matahari 109 322,8 25 - 36 -- -- -- --
Merkurius 0,382 0,06 58,64 7,005 0,39 0,24 --
Venus 0,949 0,82 243,02 3,395 0,72 0,62 --
Bumi 1,00 1,00 1,00 0,000 1,00 1,00 1
Mars 0,532 0,11 1,03 1,850 1,52 1,88 2
Jupiter 11,209 317,8 0,41 1,305 5,20 11,86 63
Saturnus 9,449 95,2 0,43 2,485 9,54 29,46 60
Uranus 4,007 14,6 0,72 0,773 19,22 84,01 27
Neptunus 3,883 17,2 0,67 1,768 30,06 164,8 13
Ceres 0,08 0,0002 0,38 10,585 2,5 –3,0 4,60 --
Pluto 0.19 0,0022 6,39 17,142 29,7– 248,09 3
49,3
Haumea 0,059 0,0007 0,16 28.22 35,2– 285,38 2
51,5
Makemake ~ 0,12 0,0007 ? 28,96 38,5– 309,88 --
53,1
Eris 0,19 0,0025 ~ 0,3 44,187 37,8– ~ 557 1
97,6
[a] Kemiringan (bidang) orbit terhadap (bidang) ekliptika,
[b] Jarak rerata ke pusat Matahari (Merkurius s/d Neptunus) atau kisaran jarak ke pusat
Matahari (Ceres s/d Eris); AU (Astronomical Unit) = 150.000.000 km

C. PENUTUP

Tes Formatif
1. Jelaskan yang dimaksud dengan kondisi singularitas sesaat sebelum peristiwa Bigbang !
2. Apakah yang mebedakan antara Bigbang dengan ledakan bom biasa ?
3. Menyusul Bigbang, proses apakah yang berturut-turut terjadi dalam alam semesta pada
sekon ke 10-43, sekon ke 10-37, sekon ke 10-32, sekon ke 10-6 , sekon ke 1, dari sekon ke
100 sampai ke 300, dan setelah lewat 300 tahun !
4. Sebutkan fakta empiris yang dipandang mendukung teori Bigbang !
5. Jelaskan proses terbentuknya galaksi dan apakah yang disebut Quasars ?
6. Apabila satu AU=150.000.000 km, maka berapa AU luasan (diameter) alam semesta ?
7. Jelaskan proses terbentuknya bintang !

6
8. Uraikan struktur benda-benda langit di dalam keluarga matahari kita, mulai dari yang
terdekat ke matahari sampai yang terjauh dari matahari !
9. Jelaskan tentang geometri orbit satelit mengelilingi planet menurut hukum Kepler !

Catatan :
 Jawaban soal nomor 1-9 didiskusikan dalam kelas

7
BAB II
BOLA LANGIT DAN SISTEM KOORDINAT LANGIT

A. PENDAHULUAN

A.1. Deskripsi Singkat


Bab II ini membahas konsep dan model bola langit serta sistem koordinat langit (SKL) untuk
menentukan kedudukan benda-benda langit relatif terhadap pengamat di bumi yang meliputi
Sistem Koordinat Horizon (SKH), Sistem Koordinat Sudut Waktu (SKSW), Sistem Koordinat
Asensio Rekta (SKAR), dan Sistem Koordinat Ekliptika (SKE). Pelaksanaan perkuliahan
dilengkapi dengan latihan-latihan di kelas dan/atau pekerjaan rumah.

A.2. Manfaat/Relevansi
Materi Bab II ini memberikan pemahaman mahasiswa tentang kosep bola langit dan berbagai
sistem koordinat langit yang umum diterapkan untuk merekonstruksi dan menghitung posisi
benda-benda langit. Matakuliah lain yang berkaitan dengan Bab II ini terutama ialah Sistem dan
Transfomasi Koordinat (TGD2304), Sistem Acuan Geodesi (TGD2402), dan Survey GNSS
(TGD3501).

A.3. Tujuan Instruksional Khusus (Learning Outcomes)


Kognitif : mahasiswa mampu menjelaskan konsep dan model bola langit, unsur-unsur bola
langit, dan sistem koordinat langit.
Psikomotorik : mahasiswa trampil menggambar dan mengidentifikasi posisi benda langit dalam
sistem koordinat langit serta menghitung transformasi koordinat antar sistem
koordinat langit.

B. PENYAJIAN
II.1. Bola Langit
Konsep bola langit merupakan bagian dari materi pembahasan dalam astronomi sferis yakni salah
satu cabang ilmu astronomi yang mempelajari posisi benda-benda langit dilihat pada waktu dan
lokasi tertentu di permukaan bumi. Dalam hubungannya dengan bola bumi maka pengetian bola
langit dan unsur-unsurnya dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Bola langit merupakan bola dengan jejari r = 1 (satu satuan) yang berpusat di titik
pengamatan. Apabila titik pengamatan berada di pusat bumi maka disebut geosentrik dan
apabila titik pengamatan berada di permukaan bumi maka disebut toposentrik.
2. Sumbu langit adalah garis yang melalui pusat bola langit, berimpit atau sejajar dengan
sumbu rotasi bumi, dan menembus bola langit di kutub utara langit (KuL) dan kutub
selatan langit (KsL). Untuk bola langit geosentrik sumbu langit berimpit dengan sumbu
rotasi bumi sedangkan untuk bola langit toposentrik sumbu langit sejajar dengan sumbu
rotasi bumi.
3. Ekuator langit adalah busur lingkaran besar yang membagi bola langit menjadi dua
bagian sama besar, yaitu belahan langit utara dan belahan langit selatan. Dapat pula

8
dikatakan bahwa ekuator langit merupakan busur perpotongan bola langit dengan bidang
datar yang melalui pusat bola langit dan tegak lurus sumbu langit.
4. Paralel langit adalah busur lingkaran kecil pada bola langit yang sejajar dengan Ekuator
langit. Dapat pula dikatakan bahwa paralel langit merupakan busur perpotongan bola
langit dengan bidang datar yang sejajar bidang ekuator langit.
5. Lingkaran waktu adalah busur lingkaran besar pada bola langit yang menghubungkan
kutub utara langit dan kutub selatan langit. Lingkaran waktu berpotongan tegak lurus
dengan ekuator langit dan paralel langit.
6. Ekliptika ialah busur lingkaran besar pada bola langit yang merupakan lintasan orbit semu
tahunan matahari. Disebut orbit semu tahunan karena sebenarnya busur lintasan ini
terbentuk sebagai efek orbit bumi mengelilingi matahari dalam periode satu tahun.
Ekliptika membentuk sudut sekitar 23,5o terhadap ekuator langit. Besaran sudut ini
disebut kemiringan ekliptika dan sering ditandai dengan simbol ε.
7. Sumbu ekliptika adalah garis yang melalui pusat bola langit dan tegak lurus bidang
ekliptika. Sumbu ekliptika menembus bola langit di kutub utara ekliptika (KuE) dan
kutub selatan ekliptika (KsE) masing-masing di belahan langit utara dan belahan langit
selatan. Karena (bidang) ekliptika membentuk sudut sekitar 23,5o terhadap (bidang)
ekuator langit, maka sumbu ekliptika membentuk sudut sekitar 23,5o terhadap sumbu
langit.
8. Meridian ekliptika adalah busur lingkaran besar pada bola langit yang menghubung-kan
kutub utara ekliptika dan kutub selatan ekliptika.
9. Titik musim semi atau Vernal Equinox (VE) dan titik musim gugur atau Autumnal
Equinox (AE) adalah dua titik perpotongan ekliptika dengan ekuator langit.
10. Titik musim panas atau Summer Soltice (SS) dan titik musim dingin atau Winter Soltice
(WS) adalah dua titik pada ekliptika yang jaraknya paling jauh dari ekuator langit,
masing-masing di belahan langit utara dan belahan langit selatan. Pada saat matahari
mencapai SS (sekitar tanggal 23 Juni) maka ia berada pada kedudukan paling utara dan
pada saat ia mencapai WS (sekitar tanggal 22 Desember) maka ia berada pada kedudukan
paling selatan.

Dengan pengertian unsur-unsur bola langit seperti di atas, maka model bola langit dapat
dikatakan sebagai pengembangan model bola bumi dengan unsur-unsur sumbu langit, kutub
langit, ekuator langit, paralel langit, dan lingkaran waktu besesuaian masing-masing dengan
sumbu bumi, kutub bumi, ekuator, paralel, dan meridian. Unsur-unsur bola langit butir-1 sampai
dengan butir-10 tersebut terikat hanya pada titik pusat bola langit (geosentrik atau toposentrik)
dan sumbu langit, tidak tergantung pada kedudukan lintang geografik (ϕ) titik pengamatan.
Selanjutnya berkaitan dengan kedudukan geografik titik pengamatan, maka didefinisikan unsur-
unsur bola langit sebagai berikut:
1. Zenit (Z) dan nadir (N) adalah titik-titik perpotongan bola langit dengan garis vertikal
atau garis unting-unting (plumb line) yang melalui titik pengamatan, masing-masing di
bagian atas dan bawah pengamat. Tiap lokasi pengamatan memiliki zenit dan nadir
tersendiri (unik).
2. Lingkaran vertikal adalah busur lingkaran besar pada bola langit yang menghubung- kan
zenit dan nadir
3. Horizon atau ufuk ialah busur lingkaran besar pada bola langit yang merupakan
perpotongan bola langit dengan bidang datar yang melalui pusat bola langit dan tegak
lurus arah zenit-nadir. Horizon berpotongan tegak lurus dengan lingkaran vertikal. Ufuk
9
pada bola langit geosentrik disebut ufuk hakiki sedangkan ufuk pada bola langit
toposentrik disebut ufuk hissi. Tiap titik pengamatan memiliki horizon tersendiri.
4. Almukantar ialah busur lingkaran kecil pada bola langit yang sejajar dengan horizon dan
berptongan tegak lurus dengan lingkaran vertikal. Almukantar merupakan perpotongan
bola langit dengan bidang datar yang tegak lurus arah zenit-nadir tetapi tidak melalui
pusat bola langit.

Unsur-unsur bola langit butir-11 s/d butir-14 tersebut terikat pada pusat bola langit dan
garis vertikal yang melalui titik pengamatan. Hubungan unsur-unsur bola langit butir-11 sd. butir-
14 dengan unsur-unsur bola langit butir-1 sd. butir-10 dapat direkonstruksi melalui hubungan
geometrik antara sumbu langit dengan garis vertikal, yaitu bahwa sumbu langit membentuk sudut
(90o– φ) terhadap garis vertikal sehingga jarak busur pada bola langit dari Zenit/Nadir ke kutub
KuL/KsL ialah (90o– φ). Selanjutnya didefiniskan unsur-unsur bola langit sebagai berikut:
1. Meridian langit adalah lingkaran waktu yang melalui zenit. Meridian langit ini berimpit
dengan lingkaran vertikal yang melalui kutub. Salah satu kutub langit, KuL atau KsL,
terletak pada meridian langit, berjarak busur (90o– φ) dari Zenit. Kutub langit tersebut
adalah KuL untuk titik pengamatan di belahan bumi utara dan KsL untuk titik
pengamatan di belahan bumi selatan.
2. Titik utara (U) dan titik selatan (S) adalah dua titik perpotongan meridian langit dengan
horizon. Untuk titik pengamatan di belahan bumi utara KuL terletak di atas titik Utara,
sedangkan untuk titik pengamatan di belahan bumi selatan KsL terletak di atas titik
Selatan. Dalilnya ialah tinggi kutub = lintang geografik titik pengamatan.
3. Titik timur (T) dan titik barat (B) adalah dua titik perpotongan ekuator langit dengan
horizon.
4. Segitiga astronomi ialah segitiga bola yang terbentuk oleh lingkaran besar pada bola
langit yang menghubungkan Zenit, Kutub langit, dan benda langit.

II.2. Sistem Koordinat Horizon (SKH)


Z

Zenit
meridian langit

B
aC
ZC X
S O U
YC
XC AC
Co
T
horizon
Y
lingkaran vertikal C

Gambar II.1. Sistem koordinat horizon

10
Unsur-unsur bola langit dalam sistem koordinat horizon meliputi:
1. Zenit (Z) dan nadir (N),
2. Lingkaran vertikal,
3. Horizon,
4. Meridian langit (lokal),
5. Titik utara (U) dan titik selatan (S),
6. Titik timur (T) dan titik barat (B).

Unsur-unsur bola langit tersebut terikat oleh kedudukan lintang geografik titik pengamatan
sehingga sistem koordinat horizon terikat oleh kedudukan lintang geografik titik pengamatan
yang berarti tiap titik di permukaan bumi mempunyai sistem koordinat horizon tersendiri.

Dua busur lingkaran besar yang saling tegak lurus dan menjadi acuan bagi komponen
koordinat horizon ialah horizon dan meridian langit (bagian yang memuat Z). Dengan acuan
tersebut komponen koordinat horizon terdiri dari:
a) Azimut (sering ditandai symbol huruf A, singkatan dari azimut), dan
b) Tinggi (sering ditandai simbul huruf a, singkatan dari altitude ).

Azimut A ialah jarak busur pada horizon, diukur mulai dari meridian langit (titik utara) ke arah
timur sampai perpotongannya dengan lingkaran vertikal yang melewati benda langit yang
bersangkutan. Harga azimut berkisar dari 0o sampai 360o. Pada Gambar II.1, azimut benda langit
C (= Ac ) ialah jarak busur horizon mulai dari titik utara sampai Co. Azimut titik T ialah 90o,
azimut titik S ialah 180o, dan azimut titik B ialah 270o.

Tinggi a ialah jarak busur lingkaran vertikal yang melalui benda langit, diukur mulai dari horizon
ke arah zenit (positif) atau ke arah nadir (negatif) sampai ke benda langit yang bersangkutan.
Harga tinggi benda langit berkisar dari 0o sampai +90o untuk benda langit yang berada di atas
horizon dan dari 0o sampai –90o untuk benda langit yang berada di bawah horizon. Pada Gambar
II.1, tinggi benda langit C (= ac ) ialah jarak busur lingkaran vertikal mulai dari Co sampai C.
Jarak zenit benda langit ialah zc = 90o – ac. Pada saat terbit dan terbenam (melintas horizon),
tinggi benda langit ialah 0o atau jarak zenit 90o.

Origin dan orientasi sumbu koordinat kartesian 3D dalam sistem koordinat horizon
didefinisikan sebagai berikut:
1. Origin berimpit dengan pusat bola langit,
2. Sumbu–Z positif ke arah zenit,
3. Sumbu–X positif ke arah titik utara, dan
4. Sumbu–Y positif ke arah titik Timur (T), melengkapi sumbu–X dan sumbu–Z sehingga
membentuk sistem tangan kiri (LHS = Left Handed System).
Adapun komponen koordinat kartesian (X, Y, Z) dan transformasinya kembali ke komponen
koordinat (A, a) ialah sebagai berikut:

( *

11
II.3. Sistem Koordinat Sudut Waktu (SKSW)
Unsur-unsur bola langit yang dalam sistem koordinat sudut waktu meliputi:
1. Kutub utara langit (KuL) dan kutub selatan langit (KsL),
2. Ekuator langit,
3. Lingkaran waktu,
4. Meridian langit (lokal),
5. Horizon, titik barat (B), dan titik timur (T),
Karena unsur-unsur bola angit dalam butir-4 dan butir-5 tersebut terikat oleh kedudukan lintang
geografik titik pengamatan maka sistem koordinat sudut waktu terikat oleh kedudukan lintang
geografik titik pengamatan yang berarti tiap titik di permukaan mempunyai sistem koordinat
sudut waktu tersendiri. Gambar II.2 menyajikan tampilan perspektif sistem koordinat sudut
waktu untuk kedudukan titik pengamatan pada belahan bumi utara dengan lintang geografik
sekitar +30o.
Dua busur lingkaran besar yang saling tegak lurus dan menjadi acuan bagi komponen
koordinat sudut waktu ialah dan ekuator langit dan lingkaran waktu yang melewati zenit. Dengan
acuan tersebut komponen koordinat sudut waktu terdiri dari:
a) Sudut waktu (sering ditandai symbol huruf t atau h), dan
b) Deklinasi (sering ditandai dengan simbol δ ).

X
Zenit meridian langit
ekuator langit

Z
Y
KuL
B

S O U

horizon C
T
XC
KsL YC ZC δC

Co tC
lingkaran waktu C
N

Gambar II.2 Sistem koordinat sudut waktu

Sudut Waktu t ialah jarak busur ekuator langit, diukur mulai dari lingkaran waktu yang melewati
zenit ke arah titik barat (positif) atau ke arah titik timur (negatif) sampai lingkaran waktu yang
melewati benda langit yang bersangkutan. Harga sudut waktu berkisar dari 0o (0 jam) sampai
360o (24 jam). Pada Gambar II.2, sudut waktu benda langit C (= tc ) ialah jarak busur ekuator
langit terukur dari meridian lokal sampai Co. Pada saat kulminasi atas atau melintas meridian
langit (lingkaran waktu yang lewat Zenit) sudut waktu benda langit ialah 0o dan pada saat
kulminasi bawah atau melintas lingkaran waktu yang lewat Nadir, sudut waktu benda langit ialah
180o.

12
Deklinasi  ialah jarak busur lingkaran waktu yang melalui benda langit, diukur mulai dari
ekuator langit ke arah Kutub utara langit (positif) atau ke arah Kutub selatan langit (negatif)
sampai benda langit yang bersangkutan. Harga deklinasi berkisar dari 0 o sampai +90o untuk
benda langit di belahan langit utara dan dari 0o sampai –90o untuk benda langit di belahan langit
selatan. Pada Gambar II.2, deklinasi benda langit C (= δc ) ialah jarak busur lingkaran waktu dari
Co sampai C. Pada saat kulminasi atas, jarak zenit benda langit ialah │φ – δc│.

Origin dan orientasi sumbu koordinat kartesian 3D dalam sistem koordinat sudut waktu
didefinisikan sebagai berikut:
1. Origin berimpit dengan pusat bola langit,
2. Sumbu-Z positif ke arah kutub utara langit,
3. Sumbu-X positif ke arah titik perpotongan meridian langit dengan ekuator langit, dan
4. Sumbu-Y positif ke arah titik barat (B), melengkapi sumbu-X dan sumbu-Z sehingga
membentuk sistem tangan kiri (LHS = Left Handed System).
Adapun komponen koordinat kartesian (X, Y, Z) dan transformasinya kembali ke komponen
koordinat (t, ) ialah sebagai berikut:

( *

II.4. Sistem Koordinat Asensio Rekta (SKAR)


Unsur-unsur bola langit dalam sistem koordinat asensio rekta meliputi:
1. Kutub utara langit (KuL) dan kutub selatan langit (KsL),
2. Ekuator langit,
3. Titik musim semi (VE) dan titik musim gugur (AE), dan
4. Lingkaran waktu,

Z
lingkaran waktu C
KuL

AE δc
ZC
O Y
XC
VE YC Co
ekuator langit αc
X
ekliptika

KsL

Gambar II.3. Sistem koordinat asensio rekta


13
Unsur-unsur bola langit tersebut tidak terikat oleh kedudukan lintang geografik titik pengamatan
sehingga sistem koordinat asensio rekta tidak terikat oleh kedudukan lintang geografik titik
pengamatan. Titik musim semi merupakan titik lintas matahari pada ekuator langit ketika ia
bergeser dari belahan langit selatan ke belahan langit utara (sekitar tanggal 21 Maret) dan titik
musim gugur merupakan titik lintas matahari pada ekuator langit ketika ia bergeser dari belahan
langit utara ke belahan langit selatan (sekitar tanggal 23 September).
Dua busur lingkaran besar yang saling tegak lurus dan menjadi acuan bagi komponen
koordinat asensio rekta ialah ekuator langit dan lingkaran waktu yang melalui VE. Dengan acuan
tersebut komponen koordinat asensio rekta terdiri dari:
a) Asensio rekta (sering ditandai dengan singkatan “AR” atau simbol  ), dan
b) Deklinasi (sering ditandai dengan simbol  ).

Asensio rekta  jarak busur ekuator langit, diukur mulai dari VE searah dengan arah rotasi bumi
sampai perpotongannya dengan lingkaran waktu yang melalui benda langit yang bersangkutan.
Harga asensio rekta berkisar dari 0o (0 jam) sampai 360o (24 jam). Pada Gambar II.3, Asensio
Rekta benda langit C (= c ) ialah jarak busur ekuator langit dari VE sampai Co.

Deklinasi  ialah jarak busur lingkaran waktu yang melalui benda langit, diukur mulai dari
ekuator langit ke arah KuL (positif) atau ke arah KsL (negatif) sampai benda langit yang
bersangkutan. Harga deklinasi berkisar dari 0o sampai +90o untuk benda langit di belahan langit
utara dan dari 0o sampai –90o untuk benda langit di belahan langit selatan. Pada Gambar II.3,
deklinasi benda langit C (= c ) ialah jarak busur lingkaran waktu dari Co sampai C.

Origin dan orientasi sumbu koordinat kartesian 3D dalam sistem koordinat asensio rekta
didefinisikan sebagai berikut:
1. Origin berimpit dengan pusat bola langit,
2. Sumbu–Z positif ke arah kutub utara langit (KuL),
3. Sumbu–X positif ke arah titik musim semi (VE), dan
4. Sumbu–Y melengkapi sumbu–X dan sumbu–Z sehingga membentuk sistem tangan kanan
(RHS= Right Handed System).

Adapun komponen koordinat kartesian (X, Y, Z) dan transformasinya kembali ke komponen


koordinat (, ) ialah sebagai berikut:
 
 

( *

II.5. Sistem Koordinat Ekliptika (SKE)


Unsur-unsur bola langit dalam sistem koordinat ekliptika meliputi:
1. Kutub utara ekliptika (KuE) dan kutub selatan ekliptika (KsE),
2. Ekliptika,
3. Titik musim semi (VE) dan titik musin gugur (AE), titik musim panas (SS), dan titik
musim dingin (WS), dan
4. Meridian eklptika.
14
Unsur-unsur bola langit tersebut tidak terikat oleh kedudukan lintang geografik titik pengamatan
sehingga sistem koordinat ekliptika tidak terikat oleh kedudukan lintang geografik titik
pengamatan. Perlu kiranya dicatat disini bahwa titik-titik KuE, KuL, SS, KsE, KsL, dan KsL
terletak pada satu busur lingkaran di bola langit yang tegak lurus ekliptika dan ekuator langit.

Dua busur lingkaran besar yang saling tegak lurus dan menjadi acuan bagi komponen
koordinat ekliptika ialah ekliptika dan meridian ekliptika yang melalui VE. Dengan acuan
tersebut komponen koordinat ekliptika terdiri dari:
a) Bujur ekliptika (sering ditandai dengan simbol λ), dan
b) Lintang ekliptika (sering ditandai dengan simbol β).

Bujur ekliptika λ ialah jarak busur ekliptika, diukur mulai dari VE searah dengan arah rotasi bumi
sampai perpotongannya dengan meridian ekliptika yang melalui benda langit yang bersangkutan.
Harga bujur ekliptika berkisar dari 0o (0 jam) sampai 360o (24 jam). Pada Gambar II.4, bujur
ekliptika benda langit C (= λc ) ialah jarak busur ekliptika dari VE sampai Co. Bujur ekliptika dan
asensio rekta SS ialah 90o, bujur ekliptika dan asensio rekta AE ialah 180o, bujur ekliptika dan
asensio rekta WS ialah 270o.
Z
KuL
KuE
C
βC Y
ZC
AE SS

XC
O Co
YC
λC
VE
ekuator langit ε
WS
X meridian ekliptika C
ekliptika
KsE
KsL

Gambar II.4. Sistem koordinat ekliptika

Lintang ekliptika β ialah jarak busur meridian ekliptika yang melalui benda langit, diukur mulai
dari ekliptika ke arah kutub utara ekliptika (positif) atau ke arah kutub selatan ekliptika (negatif)
sampai benda langit yang bersangkutan. Harga lintang ekliptika berkisar dari 0 o sampai +90o
untuk benda langit di sebelah utara ekliptika dan dari 0o sampai −90o untuk benda langit di
sebelah selatan ekliptika. Pada Gambar II.4, lintang ekliptika benda langit C (= βc) ialah jarak
busur meridian ekliptika dari Co sampai C.

Origin dan orientasi sumbu koordinat kartesian 3D dalam sistem koordinat ekliptika
didefinisikan sebagai berikut:
1. Origin berimpit dengan pusat bola langit,
2. Sumbu–Z positif ke arah kutub utara ekliptika (KuE),
15
3. Sumbu–X positif ke arah titik musim semi (VE), dan
4. Sumbu–Y positif ke arah titik musim panas (SS), melengkapi sumbu–X dan sumbu–Z
sehingga membentuk sistem tangan kanan.
Adapun komponen koordinat kartesian (X, Y, Z) dan transformasinya kembali ke komponen
koordinat (λ, β) ialah sebagai berikut:

β λ
β
( * β

C. PENUTUP

Tes Formatif
1. Identifikasikan busur lingkaran dengan garis penuh dan putus-putus dan beri lah tanda
titik untuk busur-busur yang saling berpotongan

2. Jelaskan pengertian unsur-unsur bola langit (disertai gambar):


a. sumbu langit, KuL, KsL, ekuator langit, paralel langit, lingkaran waktu
b. sumbu ekliptika, KuE, KsE, ekliptika, meridian ekliptika, ekuinoks (VE dan AE),
sumer soltice, dan winter soltice
c. Zenit, nadir, horizon, lingkaran vertikal, almukantar, titik Utara, titik Selatan, titik
Timur, dan titik Barat
3. Jelaskan apakah segitiga astronomi itu ?
4. Tuliskan susunan matriks rotasi menurut konvensi untuk transformasi koordinat dalam
sistem katresian 3D, masing-masing rotasi terhadap sumbu-X, sumbu-Y, dan sumbu-Z !

16
5. Gambarkan kedudukan benda langit dalam SKH apabila diketahui Azimut A= 45o dan
tinggi a = 45o. Hitung komponen koordinat kartesi (X,Y,Z) dan tunjukkan dalam gambar,
komponen koordinat (A, a) dan (X,Y,Z) !
6. Gambarkan kedudukan benda langit dalam SKSW untuk titik pengamatan dengan lintang
geografik φ = 30o LU apabila diketahui sudut waktu t = 315o dan deklinasi = +30o.
Hitung komponen koordinat kartesi (X,Y,Z) dan tunjukkan dalam gambar, komponen
koordinat (t, ) dan (X,Y,Z) !
7. Gambarkan kedudukan benda langit dalam SKAR untuk titik pengamatan dengan lintang
geografik 30o LU pada saat LST = 15 jam, apabila diketahui asensio rekta = 270o dan
deklinasi = +30o. Hitung komponen koordinat kartesi (X,Y,Z) dan tunjukkan dalam
gambar, komponen koordinat ( , ) dan (X,Y,Z) !
8. Gambarkan kedudukan benda langit dalam SKE untuk titik pengamatan dengan lintang
geografik 30o LU pada saat LST = 15 jam, apabila diketahui asensio rekta bujur ekliptika
λ = 270o dan lintang ekliptika β = +30o. Hitung komponen koordinat kartesi (X,Y,Z) dan
tunjukkan dalam gambar, komponen koordinat (λ, β) dan (X,Y,Z) !

Catatan :
 Jawaban soal nomor 1-4 didiskusikan dalam kelas
 Soal nomor 5-8 dikerjakan mahasiswa di rumah (PR)

17
BAB III
TRANSFORMASI KOORDINAT LANGIT

A. PENDAHULUAN

A.1. Deskripsi Singkat


Bab III ini membahas model transformasi antar sistem koordinat langit (SKL), meliputi berturut-
turut transformasi antara SKH dengan SKSW, SKSW dengan SKAR, dan SKAR dengan SKE.
Pelaksanaan perkuliahan dilengkapi dengan latihan di kelas dan/atau pekerjaan rumah.

A.2. Manfaat/Relevansi
Materi Bab III ini memberikan pemahaman mahasiswa tentang model transformasi koordinat
benda langit dari satu sistem koordinat ke sistem koordinat yang lain. Lebih lanjut mahasiswa
memperoleh ketrampilan melakukan perhitungan transformasi koordinat benda langit antar
sistem koordinat yang ada. Matakuliah lain yang berkaitan dengan Bab III ini terutama ialah
Sistem dan Transfomasi Koordinat (TGD2304), Sistem Acuan Geodesi (TGD2402), dan Survey
GNSS (TGD3501).

A.3. Tujuan Instruksional Khusus (Learning Outcomes)


Kognitif : mahasiswa mampu menjelaskan konsep dan model bola langit, unsur-unsur bola
langit, dan sistem koordinat langit.
Psikomotorik : mahasiswa trampil menggambar dan mengidentifikasi posisi benda langit dalam
sistem koordinat langit serta menghitung transformasi koordinat antar sistem
koordinat langit.

B. PENYAJIAN
III.1. Transformasi antara SKH dan SKSW

Z
R3(180o ) X
R3(−180o)
Zenit
Zenit
Y Z
KuL
B B KuL
O φ X φ
O
S U S U

T T
KsL KsL
R2[-(90o −φ)]
Y R2(90o −φ)
N N
Gambar III.1. Transformasi antara SKH dan SKSW
18
Gambar III.1 menampilkan perspektif kedudukan sumbu kartesian sistem koordinat horizon
(SKH) di sebelah kiri dan sistem koordinat sudut waktu (SKSW) di sebelah kanan untuk titik
pengamatan dengan lintang geografik φ LU. Transformasi dari SKH ke SKSW dilaksanakan
dalam dua langkah rotasi. Langkah pertama ialah rotasi dengan poros sumbu-Z berlawanan arah
putaran jarum jam sebesar 180o dan langkah kedua ialah rotasi dengan poros sumbu-Y searah
putaran jarum jam sebesar (90o – φ). Hasil transformasinya ialah kedudukan sumbu koordinat (X,
Y, Z) seperti gambar di sebelah kanan. Rumus transformsinya ialah sebagai berikut:

[ ] φ [ ]

[ ] φ [ ]

Contoh perhitungan
Komponen koordinat apparent (geosentrik) benda langit X pada suatu epok dalam SKH untuk
lintang tempat pengamatan φ = 7o30′00″ LS ialah A = 135o dan a = 45o. Transformasikan
koordinat tersebut ke komponen SKSW !

Perhitungan:
Transformasi dari SKH ke SKSW

[ ] [ ] [ ]

φ [ ][ ]

[ ]

[ ] φ [ ] [ ]

( *

Transformasi dari SKSW ke SKH

19
[ ] * + [ ]

φ [ ][ ]

[ ]

[ ] φ [ ] [ ]

( *

III.2. Transformasi antara SKSW dan SKAR

Gambar III.2 menampilkan perspektif kedudukan sumbu kartesian sistem koordinat sudut
waktu (SKSW) di sebelah kiri dan sistem koordinat asensio rekta (SKAR) di sebelah kanan untuk
titik pengamatan dengan lintang geografik φ LU. Karena fenomena rotasi bumi, titik musim semi
VE menjalani gerak semu harian sehingga kedudukannya senantiasa berubah relatif terhadap titik
pengamatan di bumi. Oleh karena itu untuk mentransformasikan koordinat benda langit dari
SKSW ke SKAR diperlukan informasi tentang kedudukan VE di titik pengamatan yaitu besaran
sudut waktu VE (= tVE) yang harganya berkisar dari 0o sampai 360o. Besaran tVE untuk
sembarang titik pengamatan di bumi disebut Local Sidereal Time (LST) atau Waktu Sideris
Lokal dan untuk titik pengamatan di meridian Greenwich disebut Greenwich Sidereal Time atau
GST.
X
Zenit Zenit
R3(−LST ) R3(LST )
Y AE
Z Z
B KuL B KuL
φ φ
O O
S U S U
T T
KsL KsL
VE tVE VE
tVE
Y
N N
X

Gambar III.2. Transformasi antara SKSW dan SKAR 20


Transformasi dari SKSW ke SKAR dilaksanakan dalam dua langkah rotasi. Langkah
pertama ialah memutar sumbu-Y positif sedemikian sehingga arahnya menjadi berlawanan
dengan arah semula dan terbentuklah sistem tangan kanan. Langkah kedua ialah rotasi dengan
poros sumbu-Z searah putaran jarum jam sebesar LST. Hasil transformasinya ialah kedudukan
sumbu koordinat (X, Y, Z) seperti gambar di sebelah kanan. Rumus transformsinya ialah sebagai
berikut:

[ ] [ ][ ]

[ ] [ ] [ ]

Contoh perhitungan
Dalam perhitungan transformasi koordinat dari SKH ke SKSW di depan, diperoleh data
komponen koordinat benda langit X dalam SKSW untuk lintang tempat pengamatan φ =
7o30′00″ LS ialah t = 321o49′04,3″ dan = –36o00′59,4″. Apabila diketahui bahwa pada epok
tersebut LST = tVE = 16J 00m 00S = 240o00′00″, maka transformasikan koordinat tersebut ke
komponen SKAR !

Perhitungan:
Transformasi dari SKSW ke SKAR

[ ] * + [ ]

[ ] [ ][ ]

[ ]

[ ] [ ][ ] [ ]

( *

Transformasi dari SKAR ke SKSW

[ ] * + [ ]

21
[ ] [ ][ ]

[ ]

[ ] [ ] [ ] [ ]

( *

III.3. Transformasi antara SKAR dan SKE


Gambar III.3 menampilkan perspektif kedudukan sumbu kartesian sistem koordinat
asensio rekta (SKAR) di sebelah kiri dan sistem koordinat ekliptika (SKE) di sebelah kanan
untuk titik pengamatan dengan lintang geografik φ LU pada saat tertentu (dalam gambar, LST
sekitar 245o). Transformasi dari SKAR ke SKE dilaksanakan dalam satu kali rotasi dengan poros
sumbu-X berlawanan arah putaran jarum jam sebesar kemiringan ekliptika ε ≈ 23,5o. Hasil
transformasinya ialah kedudukan sumbu koordinat (X, Y, Z) seperti gambar di sebelah kanan.
Rumus transformsinya ialah sebagai berikut:

[ ] [ ]

[ ] [ ]

Zenit Zenit
Z

AE Z KuE
AE
WS
B KuL KuL
B
φ O φ
S O U S U

KsL T KsL T SS
VE VE
KsE
Y

N Y N
R1(ε )
R1(−ε )
X X
22
Gambar III.3. Transformasi antara SKAR dan SKE
Contoh perhitungan
Dalam perhitungan transformasi koordinat dari SKSW ke SKAR di depan, diperoleh data
komponen koordinat benda langit X dalam SKAR: = 278o 10′ 55,7″ dan = –36o 00′ 59,4″.
Apabila diketahui bahwa pada epok tersebut kemiringan ekliptika ε = 23,5 o maka
transformasikan koordinat tersebut ke komponen SKE!

Perhitungan:
Transformasi dari SKAR ke SKE

[ ] * + [ ]

[ ] [ ] [ ][ ]

[ ]

( *

Transformasi dari SKE ke SKAR

[ ] * + [ ]
λβ

[ ] ε [ ] [ ][ ]
λβ

[ ]

( *

C. PENUTUP

Tes Formatif
1. Transformasikan koordinat benda langit dari SKH ke SKSW, apabila diketahui koordinat-
nya dalam SKH (A=45o, a=45o) untuk lintang geografik titik pengamatan φ = 30o LU

23
2. Transformasikan koordinat benda langit hasil hitungan soal no.1 di atas dari SKSW ke
SKAR apabila diketahui LST = 15 jam !
3. Transformasikan koordinat benda langit hasil hitungan soal no.2 di atas dari SKAR ke
SKE apabila diketahui kemiringan ekliptika ε = 23,5o !
4. Gambarkan kedudukan benda langit untuk masing-masing sistem koordinat SKH, SKSW,
SKAR, dan SKE untuk jawaban soal-soal no1, 2, dan 3 di atas dan tunjukkan komponen
koordinatnya !

Catatan :
 Soal nomor 1-4 dikerjakan mahasiswa di rumah (PR)

24
BAB IV
SISTEM WAKTU

A. PENDAHULUAN
A.1. Deskripsi Singkat
Bab IV ini membahas sistem waktu yang umum diterapkan baik untuk keperluan umum (bisnis),
penelitian ilmiah, maupun penerapan teknologi, meliputi sistem waktu sideral, sistem waktu
matahari, sistem waktu universal, sistem waktu koordinat, dan sistem waktu atom. Pelaksanaan
perkuliahan dilengkapi dengan latihan di kelas dan/atau pekerjaan rumah.

A.2. Manfaat/Relevansi
Materi Bab IV ini memberikan pemahaman mahasiswa tentang berbagai sistem waktu yang
dikembangkan berdasarkan fenomena alam (rotasi bumi, revolusi bumi, radiasi atom) yang
terjadi secara berulang/periodik dengan tingkat keajegannya masing-masing. Materi ini juga
memberikan ketrampilan mahasiswa untuk melakukan perhitungan transformasi waktu dari satu
sistem ke sistem yang lain. Matakuliah lain yang berkaitan dengan Bab IV ini terutama ialah
Sistem Acuan Geodesi (TGD2402), dan Survey GNSS (TGD3501).

A.3. Tujuan Instruksional Khusus (Learning Outcomes)


Kognitif : mahasiswa mampu menjelaskan konsep skala dan epok waktu untuk berbagai
sistem waktu, kalender, dan aplikasinya
Psikomotorik : mahasiswa trampil menghitung transformasi waktu antar Sistem Waktu Sideris
dan Sistem Waktu Universal

B. PENYAJIAN
IV.1. Sistem Waktu Sideris
Sistem waktu sideris didasarkan pada fenomena rotasi bumi atau gerak semu harian benda
langit yang berulang dan periodik; Dalam hal ini “benda langit” yang dimaksud ialah ekuinoks
atau titik musim semi atau Vernal Equinox (VE) yang dikonsepkan sebagai titik perpotongan
antara ekuator langit dengan ekliptika. Posisi VE sejati (= true equinox) di langit bervariasi
karena efek fenomena presesi dan nutasi, sementara posisi VE rerata (= mean equinox) di langit
bervariasi karena efek presesi saja. Skala waktu sideris ditetapkan berdasarkan interval waktu
antara dua pelintasan ekuinoks berturut-turut di atas meridian yang sama yang durasi reratanya
24 jam (S) dan disebut hari sideris (sidereal day). Satu jam (S) = 24 x 60 menit (S) = 60 x 60
sekon (S). Sementara itu Epok waktu sideris ditetapkan berdasarkan kedudukan sudut waktu VE
terhadap meridian lokasi pengamatan yang bersangkutan; Dengan perkataan lain, jam 00 waktu
sideris bertepatan dengan saat VE kulminasi atas pada meridian lokasi pengamatan. Untuk lokasi
pengamatan sembarang, maka dikenal dua macam waktu sideris lokal, yaitu LMST (Local Mean
Sidereal Time) dan LAST (Local Apparent Sidereal Time). Demikian pula untuk meridian
Greenwich dikenal GMST (Greenwich Mean Sidereal Time) dan GAST (Greenwich Apparent
Sidereal Time). LMST dan GMST menunjuk ke VE rerata, sementara LAST dan GAST
menunjuk ke VE sejati. Dengan demikian maka dapat dikatakan bahwa sistem waktu sideris

25
berbasis pada fenomena rotasi bumi dan Vernal Equinox yang mengalami variasi kecil karena
fenomena presesi dan nutasi disamping variasi kecepatan rotasi bumi sendiri.

meridian lokal

λL
LAST
ekuator langit
LMST
KuL

meridian Greenwich
VS GMST

Vm
EE
GAST

Gambar IV.1. Waktu sideris


VS = Ekuinoks sejati (sesaat), Vm= Ekuinoks rerata

Hubungan antara LMST, GMST, LAST, dan GAST adalan sebagai berikut:
LMST = tVm ……………………… (IV.1)
LAST = tVs ....…………………… (IV.2)
Besaran-besaran tVm dan tVs adalah masing-masing sudut waktu ekuinoks rerata dan sudut waktu
ekuinoks sejati pada meridian lokal. Hubungan waktu sideris dengan kedudukan benda langit X
sembarang ialah:
LAST = X + tX ……………………… (IV.3)
Dalam rumus di atas, X ialah masing-masing asensio rekta benda langit X dan tX ialah sudut
waktu benda langit X pada meridian lokal. Untuk LAST, besaran X mengacu pada ekuinoks
sejati dan untuk LMST besaran X mengacu pada ekuinoks rerata. Pada saat benda langit X
berkulminasi atas pada meridian lokal maka tX = 0, sehingga LAST = X.

Selisih antara waktu sideris lokal dengan waktu sideris Greenwich ialah bujur geografik lokal
(λL), sedangkan selisih antara waktu sideris sejati dengan waktu sideris rerata ialah Equation of
Equinox (EE).

LMST – GMST = LAST – GAST = λL ..……………… (IV.4)

EE = GAST – GMST = LAST – LMST = Δψ cos (ε + Δε) ………………. (IV.5)

Dalam rumus di atas, Δψ ialah nutasi dalam bujur ekliptika, ε ialah kemiringan ekliptika rerata,
dan Δε ialah nutasi dalam kemiringan ekliptika.

26
IV.2. Sistem Waktu Matahari
Sistem waktu matahari didasarkan pada fenomena rotasi bumi atau gerak semu harian
matahari di langit relatif terhadap pengamat di bumi. Apabila sistem waktu sideris menggunakan
VE sebagai benda langit acuan, maka sistem waktu matahari menggunakan matahari sebagai
benda langit acuan. Apabila dalam sistem waktu sideris dikembangkan konsep VE sejati dan VE
rerata, maka dalam sistem waktu matahari dikembangkan konsep matahari sejati dan matahari
rerata. Matahari sejati ialah matahari seperti yang kita saksikan (apparent) yang bergerak semu
tahunan sepanjang ekliptika dengan kecepatan yang bervariasi karena (1) efek kemiringan
ekliptika terhadap ekuator dan (2) orbit elips sesuai hukum Kepler. Sementara itu matahari rerata
dikonsepkan sebagai matahari fiktif yang bergerak semu tahunan sepanjang ekuator langit (bukan
ekliptika) dengan kecepatan konstan. Skala waktu matahari ditetapkan berdasarkan interval
waktu antara dua pelintasan matahari rerata berturut-turut di atas meridian yang sama yang
durasi reratanya 24 jam (M) dan disebut hari matahari (solar day). Satu jam (M) = 24 x 60
menit (M) = 60 x 60 sekon (M). Sementara itu Epok waktu matahari ditetapkan berdasarkan
kedudukan sudut waktu matahari terhadap meridian lokasi pengamatan yang bersangkutan
ditambah 12 jam. Dengan demikian maka jan 00 waktu matahari bertepatan dengan saat matahari
kulminasi bawah. Untuk lokasi pengamatan sembarang, maka dikenal dua macam waktu
matahari lokal, yaitu LMT (Local Mean Time) dan LAT (Local Apparent Time). Demikian pula
untuk meridian Greenwich dikenal GMT (Greenwich Mean Time) dan GAT (Greenwich
Apparent Time). LMT dan GMT menunjuk ke matahari rerata sementara LAT dan GAT
menunjuk ke matahari sejati. Dengan demikian maka dapat dikatakan bahwa sistem waktu
matahari berbasis pada fenomena rotasi bumi dan posisi matahari (sejati dan rerata) yang
bervariasi sepanjang tahun.
KuL

AE SS
S2
ε
SS′
S1
S2′
S1′
WS S VE ekuator langit

ekliptika

KsL
Gambar IV.2. Orbit semu tahunan matahari S

Durasi sidereal day lebih pendek daripada solar day sehingga skala waktu sideris lebih
pendek daripada skala waktu matahari dengan persamaan sbb:
1 hari(S) = 23j 56m 04,09053s (M), 1 hari(M) = 24j 03m 56,55537s (S)
1 jam(S) = 59m 50,17044s (M), 1 jam(M) = 1j 00m 09,85647s (S)
27
1 menit(S) = 00m 59,83617s (M), 1 menit(M) = 01m 00,16427s (S)
1 sekon(S) = 00,99727s (M), 1 sekon(M) = 01,00274s (S)

Hubungan antara LMT, GMT, LAT, dan GAT adalan sebagai berikut:
LMT = tM + 12j ……………………… (IV.6)
LAT = tS + 12j ……………………… (IV.7)

meridianlokal

λL
GMT
GAT
ekuator langit KuL
LAT
LMT
meridian Greenwich

S
M ET

Gambar IV.3. Waktu matahari


M = mean sun , S = proyeksi matahari sejati pada ekuator langit

Besaran-besaran tM dan tS adalah masing-masing sudut waktu matahari rerata dan sudut waktu
matahari sejati pada meridian lokal. Selisih antara waktu matahari lokal dengan waktu matahari
Greenwich sama dengan bujur geografik lokal (λL), sedangkan selisih antara waktu matahari
sejati dengan waktu matahari rerata disebut Equation of Time (ET).
LAT – GAT = LMT – GMT = λL ..…….……………… (IV.8)
ET = LAT – LMT = GAT – GMT ………….…………. (IV.9)
Harga Equation of Time berada pada kisaran –14 menit < ET < 17 menit. Tanda negatif berarti
waktu sejati lebih lambat daripada waktu rerata, dan tanda positif berarti waktu sejati lebih awal
daripada waktu rerata.
Dalam praktek kehidupan sehari-hari, masyarakat dalam suatu wilayah atau zona tertentu
pada umumnya menggunakan sistem waktu matahari berdasarkan bujur geografik meridian acuan
standar tertentu. Dengan demikian seluruh wilayah permukaan bumi terbagi menjadi zona-zona
waktu tertentu. Sebagai contoh, wilayah Indonesia dibagi menjadi tiga zona waktu yaitu Wilayah
Indonesia Barat (WIB), Wilayah Indonesia Tengah (WITA), dan Wilayah Indonesia Timur
(WIT), masing-masing dengan bujur geografik meridian acuan standar λWIB = 105o BT, λWITA =
120o BT, dan λWIT = 135o BT. Selisih waktu zona terhadap GMT masing-masing ialah +7 jam
untuk WIB, +8 jam untk WITA, dan +9 jam untuk WIT, ketiganya lebih awal daripada GMT. Di
dalam satu zona waktu, beda LMT terhadap waktu standar zona ialah Δλ = (λL – λST) sehingga
28
LMT = Waktu Zona + Δλ ……………………. (IV.10)
Besaran-besaran λST dan λL ialah masing-masing bujur geografik meridian acuan standar dan
meridian lokal. Untuk lokasi di sebelah barat meridian acuan standar maka Δλ bertanda negatif
dan untuk lokasi di sebelah timur meridian acuan standar Δλ bertanda positif.

IV.3. Sistem Waktu Universal


Waktu universal (UT) dikembangkan dari GMT pada tahun 1928 dengan pengertian
bahwa hari matahari berawal dan berakhir pada tengah malam, saat mean sun berkulminasi
bawah pada meridian Greenwich. Dalam kosep astronomi, UT diklasifikasikan menjadi UT0,
UT1, dan UT2. UT0 ialah UT sesuai dengan hasil pengamatan astronomi (observatorium) yang
belum dikoreksi dari efek gerakan kutub sehingga pengamatan di lokasi yang berbeda
menghasilkan UT0 yang berbeda. Selanjutnya UT1 didefinisikan sebagai UT0 yang telah
dikoreksi dari efek gerakan kutub.
UT1 = UT0 – (xp sin λ + yp cos λ) tan φ …………………….. (IV.11)
Dalam rumus di atas (xP , yP) ialah koordinat kutub dan (φ λ) ialah koordinat geografik titik
pengamatan. Untuk keperluan praktis sehari-hari, UT1 dianggap sama dengan GMT meskipun
pada dasarnya UT1 dikembangkan berdasarkan waktu sideris rerata Greenwich (GMST) seperti
dirumuskan dalam persamaan:
GMST (jam) = 18,697374558 + 24,06570982441908 D ...…………….. (IV.12)
Dalam rumus di atas, D = JD(UT1) – 2451545,0. Besaran 2451545,0 ialah Julian Date (JD) pada
epok acuan standar 1 Januari 2000 pukul 12:00 UT1. Versi lain dari UT1 ialah UT1R yang
merupakan UT1 yang telah diperhalus dengan mengoreksikan variasi periodik akibat fenomena
pasang-surut. Selanjutnya UT2 didefinisikan sebagai UT1 yang telah dikoreksi dari variasi
musiman.
Universal Time terikat pada rotasi bumi atau solar day yang mengandung variasi kecil
yang tidak teratur dalam orde milisekon disamping durasi reratanya yang semakin panjang sekitar
2,3 milisekon per 100 tahun. Untuk keperluan time keeping yang akurat maka pada tahun 1961
didefinisikan Coordinated Universal Time (UTC) dengan spesifikasi:
a. beroperasi dengan skala sekon SI yang direalisasikan dengan menggunakan jam atom.
b. selisih terhadap UT1 tidak melampaui 0,9 sekon:
−0,9s < DUT1=UT1–UTC < +0,9s ...………………….. (IV.13)
Kondisi ini dipelihara dengan cara memberikan koreksi satu sekon “leap second” pada
UTC bilamana diperlukan, kira-kira sekali dalam kurun waktu 1 sampai 1,5 tahun.
c. diikatkan ke sistem waktu atom internasional TAI (International Atomic Time) dengan
kondisi:
UTC = TAI – n(1s) .…………………… (IV.14)
Dalam hal ini n ialah bilangan bulat integer. Epok acuan standar untuk UTC didefinisikan
pada 1 Januari 1972, pukul 00:00:00 UTC = pukul 00:00:10 TAI

29
Gambar IV.4. Leap seconds
Pada tahun 2009 waktu UTC telah 34 sekon di belakang TAI setelah dilakukan 24 kali koreksi
leap second sejak tahun 1972 (lihat Gambar IV.4). UTC menjadi standar internasional sistem
waktu yang diterapkan sehari-hari oleh masyarakat Sipil. Melalui stasiun radio seperti WWV,
WWVH, dan JJY sinyal detak jam atom yang menandai sekon-sekon waktu UTC disiarkan
secara terus-menerus. Waktu UTC juga dapat diakses melalui sistem satelit navigasi GNSS
(Global Navigation Satellite System) dengan menggunakan receiver satelit yang sesuai.

IV.4. Sistem Waktu Koordinat


Skala waktu matahari yang didasarkan pada periode rotasi bumi dengan durasi 24 jam =
86400 sekon (M) dipandang tidak lagi memenuhi syarat untuk acuan bagi pengukuran-
pengukuran astronomi karena durasi hari matahari rerata semakin panjang sekitar 1,5 – 2,3
milisekon dalam waktu 100 tahun, atau dengan perkataan lain laju rotasi bumi rerata makin
lambat sehingga skala sekonnya semakin panjang. Melambatnya laju rotasi rerata ini disebabkan
terutama oleh fenomena pasang surut yang diakibatkan oleh interaksi gravitasional antara bumi
dengan bulan dan karena faktor-faktor yang tidak dapat diduga, seperti variasi iklim dan gerakan
lempeng tektonik. Oleh karena itu kemudian dikembangkan skala sekon efemeris yang benar-
benar uniform, didasarkan pada periode orbit bumi mengelilingi matahari dengan model:
λs = 279° 41′ 48,04″ + 129602768,13″ tE +1,089″ tE2 …..…………… (IV.15)

Besaran λs ialah bujur geometrik matahari yang mengacu pada ekuinoks rerata dan tE ialah waktu
dalam satuan 36525 hari efemeris terhitung sejak epok acuan standar 0 Januari 1900 pukul 12:00
waktu efemeris (ET). Selanjutnya skala sekon efemeris didefinisikan sbb:
“Satu sekon ialah 1/31556925,9747 panjang tahun tropis pada epok 0 Januari 1900
pukul 12:00 waktu efemeris”
Epok 0 Januari 1900 (= 31 Desember 1899) pukul 12:00 Ephemeris Time (ET) adalah epok acuan
standar bagi sistem waktu efemeris. Epok acuan standar ini dekat dengan awal tahun kalender
1900, bertepatan dengan saat matahari mencapai kedudukan bujur geometrik 279°41′48,04″.
Dengan perkataan lain koordinat waktu efemeris ET (tanggal, bulan, tahun) disesuaikan dengan
tanggal dan tahun kalender Gregorian dan Julian.
30
Meskipun skala waktu efemeris seragam namun ia didasarkan pada waktu bumi subyektif
(terikat pada kerangka acuan bumi) sehingga apabila dibandingkan dengan variabel waktu yang
benar-benar independen di dalam sistem tatasurya, laju sekon waktu bumi berkurang ketika orbit
bumi mendekati perihelion dan bertambah ketika mendekati aphelion. Sementara itu dari aspek
basis teoritiknya, waktu efemeris ET dipandang tidak gayut dengan teori relativitas umum. Oleh
karena itu maka pada tahun 1976 IAU mendefinisikan waktu dinamis dengan skala waktu
efemeris (SI second) sebagai pengganti dan penerus ET. Waktu dinamis tersebut terdiri dari
Terrestrial Dynamical Time (TDT) dan Barycentric Dynamical Time (TDB), masing-masing
untuk waktu di bumi dan di pusat sistem tatasurya matahari.
TDT = TAI + 32,184s ……………………. (IV.16)
s
TDB = TDT + (0,001568 sin (g) + 0,000014 sin (2g)) ……………………. (IV.17)
g = 357,53o + 0,9856003o(JD – 2451545,0)

Dalam kerangka merumuskan hubungan antara berbagai sistem waktu yang belum
terdefinisi dengan jelas, maka pada tahun 1991 IAU merekomendasikan penerapan waktu
koordinat untuk acuan bagi pengamatan fenomena astronomi di dalam sistem acuan ruang-waktu
4D. Dalam kerangka kerja relativitas umum Einstein, sistem acuan ruang-waktu 4D dinyatakan
dengan empat komponen koordinat, tiga diantaranya ialah komponen koordinat spasial dan yang
keempat ialah waktu koordinat dalam sistem waktu acuan. Waktu koordinat yang
direkomendasikan oleh IAU ialah Terrestrial Time (TT), Geocentric Coordinate Time (TCG),
dan Barycentric Coordinate Time (TCB), masing-masing waktu koordinat di permukaan bumi, di
pusat bumi, dan di pusat tatasurya matahari.
TT = TAI + 32,184s ……………………. (IV.18)
s
TCG – TT = LG (JD – 24431445,5)×86400 .…………………… (IV.19)
LG = 6,969290134x10-10.
TCB – TT = LB (JD – 2443144,5)×86400s .…………………… (IV.20)
estimasi besaran LB = 1,55051976772×10-8
Ketiga waktu kordinat ini didefinisikan berimpit dengan sistem waktu atom TAI pada epok acuan
standar 1 Januari 1977, 00:00:32,184 (TT/TCG/TCB) yang bertepatan dengan 1 Januari 1977,
00:00:00 TAI. Untuk keperluan praktis, koreksi relativitas antara waktu dinamis (TDT, TDB) dan
waktu koordinat (TT, TCG, TCB) tidak memiliki arti signifikan sehingga skala waktu efemeris
dapat dianggap sama dengan skala waktu dinamis dan waktu koordinat.

IV.5. Sistem Waktu Atom


Pada tahun 1955 para pakar astronomi dan fisika berhasil mengembankan teknologi jam
atom yang memungkinkan skala sekon dapat ditentukan berdasarkan sifat-sifat fundamental alam
dalam ranah fisika kuantum. Dengan fenomena jam atom yang sangat stabil maka General
Conference on Weights and Measures pada tahun 1967 mendefinisikan SI second berdasarkan
jumlah fase gelombang radiasi yang dipancarkan oleh atom Caesium-133 pada saat transisi antara
dua aras “hyperfine” dalam kondisi medan magnetik nol dan suhu 0o Kelvin. Definisi tersebut
mengatakan:

31
“The second is the duration of 9 192 631 770 periods of the radiation corresponding to
the transition between the two hyperfine levels of the ground state of the caesium-133
atom”
Skala SI second yang baru ini berbeda hanya dalam orde 1×10-10 terhadap skala sekon waktu
efemeris. Sementara itu apabila hari matahari rerata (UT) yang durasinya 86400 sekon (M)
diskalakan dengan SI second maka akan diperoleh bilangan yang berbeda dari 86400. Dari hasil
analisis berdasarkan data pengamatan tahun 1750–1892, disimpulkan bahwa pada tahun 1820
panjang hari matahari rerata ialah 86400 sekon SI, pada abad sebelumnya lebih pendek dari
86400 sekon SI, dan pada akhir abad 20 mendekati 86400,002 sekon SI. Akumulasi perbedaan
antara SI day dengan hari matahari rerata terus meningkat dari waktu ke waktu.
Menurut sejarahnya, jam atom yang beroperasi dengan atom Caesium diperkenalkan
pertama kali pada tahun 1955 oleh National Physical Laboratory (NPL) Inggris. Adapun secara
formal waktu atom pertama kali (1959) didefinisikan sebagai sistem A1 oleh United States Naval
Observatory (USNO) dengan epok acuan standar 1 Januari 1958 pukul 00:00:00 A1 bertepatan
dengan 1 Januari 1958 pukul 00:00:00 UT2 atau Julian Date 2436204,5. Pada tahun 1961 Bureau
International de l’Hure (BIH) mengembangkan waktu atom yang disebut sistem AM yang
didukung oleh tiga buah jam atom. Waktu atom BIH ini disinkronkan dengan epok A1 dan
namanya diubah menjadi sistem A3. Pada tahun 1961 didefinisikan pula UTC (Coordinated
Universal Time) yang beroperasi dengan skala waktu atom namun senantiasa didekatkan ke UT1
dengan cara menambah/mengurangi leap second pada waktu yang diperlukan. Pada tahun 1967
skala waktu atom didefinisikan sebagai SI second dan sejak waktu itu jumlah jam atom yang
berpartisipasi dalam pemeliharaan sistem waktu atom terus bertambah dan segera sistem A3
diubah namanya menjadi sistem TA dan akhirnya pada tahun 1971 menjadi TAI (International
Atomic Time). Pada tahun 2010, jam atom yang ikut berpartisipasi merealisasikan TAI meliputi
tidak kurang dari 200 jam atom yang dipelihara oleh lebih dari 30 laboratoria yang tersebar di
seluruh dunia. TAI merupakan waktu standar yang diperoleh dengan merata-ratakan waktu atom
yang direalisasikan oleh jam atom partisipan. Sampai saat ini sistem waktu TAI merupakan
sarana time keeping yang paling stabil dan akurat. Tanpa jam atom dan sistem waktu atom maka
penentuan posisi dengan satelit GNSS tidak mungkin direalisasikan dan posisi planet-planet tidak
mungkin diketahui dengan ketelitian yang memadai untuk maksud peluncuran, pendaratan, dan
pemantauan kendaran ruang angkasa.

IV.6. Kalender
Kalender diartikan sebagai sistem penentuan awal, panjang, dan pembagian tahun serta
pengaturannya dalam susunan bulan, minggu, dan hari/tanggal. Awal dan panjang tahun
umumnya disesuaikan dengan fenomena alam, misalnya periode orbit semu tahunan matahari
untuk kalender matahari atau 12 kali periode orbit bulan mengelilingi bumi untuk kalender bulan.
Untuk kalender bulan, awal dan panjang bulan disesuaikan dengan periode orbit bulan
mengelilingi bumi. Diantara berbagai sistem kalender yang ada, kalender Gregorian merupakan
kalender yang paling banyak digunakan pada masa sekarang. Kalender ini sebenarnya ialah
kalender Julian yang telah disempurnakan, sementara kalender Julian sendiri adalah kalender
Romawi versi Julius Caesar (46 Sebelum Masehi). Sebutan “Julian” diambil dari nama Julius
Caesar. Epok atau koordinat waktu umumnya diikatkan ke sistem kalender. Dalam hal ini selain
ke kalender Julian atau Gregorian, epok juga sering diikatkan ke kalender atau sejenis kalender
yang lain, seperti Besselian Calendar, Julian Day Number (JDN), Julian Date (JD), dan
Modified Julian Date (MJD).

32
Kalender Julian dan Gregorian
Kalender Julian merupakan bentuk pembaharuan kalender Romawi yang dilakukan oleh
Julius Caesar pada tahun 46 Sebelum Masehi. Kalender ini berbasiskan pada fenomena orbit
semu tahunan matahari dengan periode rerata satu tahun kalender 365,25 hari, mendekati panjang
rerata tahun tropis 365,242189 hari. Skala hari disini ialah 24 jam (M) yang dimulai pada tengah
malam, saat mean sun berkulminasi bawah pada meridian lokal. Kalender ini membagi tahun
menjadi 12 bulan dengan umur bervariasi. Tiap siklus empat tahun, kalender Julian terdiri dari
tiga kali tahun normal dengan durasi masing-masing 365 hari dan satu kali tahun panjang dengan
durasi 366 hari, sehingga durasi siklus empat tahun kalender ialah 1461 hari sementara durasi
empat tahun tropis ialah sekitar 1460,968756 hari. Selisihnya sekitar 0,031244 hari atau sekitar
45 menit yang berarti durasi empat tahun kalender Julian lebih panjang (lebih lambat) sekitar 45
menit dibandingkan dengan durasi empat periode rerata orbit semu tahunan matahari. Dalam 400
tahun selisih tersebut menjadi sekitar 3,125 hari.
Pada tahun 1582, Paus Gregorius XIII melakukan pembaharuan terhadap kalender Julian
dengan menetapkan koreksi: tahun-tahun centinium (ratusan) yang tidak habis dibagi 400 bukan
sebagai tahun panjang. Dengan koreksi ini maka durasi 400 tahun kalender hanya berselisih
sekitar 0,125 hari (= 3 jam) terhadap durasi 400 tahun tropis. Disamping itu Paus Gregorius XIII
juga melakukan koreksi pengurangan 10 hari pada kalender yang sedang berjalan dengan
menghapuskan tanggal 5 – 14 Oktober 1582 sehingga hari Kamis tanggal 4 Oktober 1582 diikuti
hari berikutnya Jumat tanggal 15 Oktober 1582. Kalender ini kemudian dikenal dengan kalender
Gregorian.

Kalender Hijriyah

Kalender hijriyah digunakan oleh umat Islam terutama dalam kaitannya dengan ritual dan
tradisi keagamaan seperti puasa ramadhan, idul fitri, ibadah hajji, dan sebagainya. Kalender ini
adalah kalender bulan yang di dasarkan pada siklus orbit bulan mengelilingi bumi dengan periode
sideris rerata 27,32 hari (putaran 360o) dan periode sinodik rerata 29,53 hari (dari konyungsi ke
konyungsi). Kalender ini disebut kalender Hijriyah sesuai dengan peristiwa hijrah Nabi
Muhammad SAW dari Makkah ke Madinah pada tahun 622, yang kemudian ditetapkan sebagai
epok acuan standar dimulainya kalender. Epok acuan standar kalender Hijriyah didefinisikan
pada tanggal 1 Muharram tahun 1 Hijriyah, bertepatan dengan hari Jumat 16 Juli 622 menurut
kalender Julian (sebagian yang lain berpendapat hari Kamis 15 Juli 622).
Perhitungan kalender Hijriyah didasarkan pada periode rerata orbit bulan mengelilingi
bumi selama kurun waktu 30 tahun. Dalam kurun waktu tersebut ditetapkan 11 tahun kabisat
dengan umur 355 hari (untuk tahun-tahun ke: 2, 5, 7, 10, 13, 15, 18, 21, 24, 26, dan 29) dan 19
tahun lainnya adalah tahun basithah dengan umur 354 hari. Jumlah bulan dalam satu tahun ialah
12 bulan, dengan umur 30 hari untuk bulan-bulan ganjil dan 29 hari untuk bulan-bulan genap,
kecuali untuk tahun kabisat umur bulan ke-12 ditetapkan 30 hari. Bulan-bulan tersebut dimulai
dari Muharram (30 hari), dilanjutkan berturut-turut Shafar (29 hari), Rab’iul Awal (30 hari),
Rabiul Akhir (29 hari), Jumadil Ula (30 hari), Jumadis Saniah (29 hari), Rajab (30 hari), Sya’ban
(29 hari), Ramadhan (30 hari), Syawal (29 hari), Dzul Qa’dah (30 hari), dan Dzul Hijjah (29 hari
untuk tahun basithah dan 30 hari untuk tahun kabisat).
Pergantian hari/tanggal dalam kalender hijriyah didefinisikan saat matahari terbenam.
Misalnya, hari Jumat dimulai pada saat matahari terbenam pada hari Kamis sore dan berakhir saat
matahari terbenam pada Jumat sore. Sementara itu awal bulan (tanggal 1) ditetapkan setelah
terjadi ijtimak (konyungsi bumi–bulan–matahari). Untuk aplikasi sipil non keagamaan, awal
33
bulan dan tanggal-tanggal dalam bulan mengikuti kalender yang telah dibakukan. Untuk tujuan
ritual keagamaan Islam, awal bulan pada mulanya ditetapkan berdasarkan rukyatul hilal yakni
terlihatnya hilal (bulan sabit) untuk yang pertama kali setelah terjadi ijtimak. Belakangan,
sebagian orang tidak lagi menunggu terlihatnya hilal untuk menetapkan awal bulan, akan tetapi
mengikuti hasil perhitungan (hisab) prediksi posisi bulan setelah terjadi ijtimak. Pada level ini
terdapat perbedaan mendasar tentang pengertian hilal; Satu pihak berpendapat bahwa hilal adalah
bagian permukaan bulan yang tersinari oleh matahari dan menghadap ke bumi, tidak peduli
apakah bagian permukaan bulan tersebut dapat terlihat atau tidak oleh penduduk bumi;
Sementara pihak yang lain berpendapat bahwa hilal adalah visibilitas bulan sabit pertama kali
setelah terjadi ijtimak. Sementara itu dikalangan umat yang menggunakan metode hisab terdapat
beberapa prinsip pendekatan yang berbeda-beda, yaitu ijtimak qablal fajar, ijtimak qablal
ghurub, wujudul hilal, dan imkanur-rukyah.

JDN, JD, MJD


Julian Day Number (JDN) adalah sistem penomoran hari yang dihitung mulai epok
acuan standar yang didefinisikan pada tengah hari (Greenwich) tanggal 1 Januari 4713 Sebelum
Masehi. JDN dinyatakan dengan bilangan bulat (integer) yang merepresentasikan jumlah hari
yang telah lewat sejak epok acuan standar tersebut. Sementara itu Julian Date (JD) adalah
bilangan yang menunjukkan interval waktu dalam satuan hari, meliputi jumlah integer dan fraksi
hari, terhitung mulai epok acuan standar yang sama dengan epok acuan standar JDN. Contoh,
epok 1 Januari 2000 pukul 12:00:00 UT1 bersesuaian dengan JDN2451545 dan JD2451545,00
dan 1 Januari 2000 pukul 18:00:00 UT1 besesuaian dengan JDN2451545 dan JD2451545,25.
Berikut ini adalah rumus untuk menghitung JD dari kalender Gregorian:

JD = 367Y − INT{7(Y+ INT((M+9)/12))/4} + INT{275(M/9)} + D + 1721013,5 + UT/24


....................... (IV.21)
Dalam rumus di atas,
Y : bilangan tahun kalender Gregorian,
M : bilangan bulan ( 1 s/d 12),
D : bilangan tanggal (1 s/d 31), dan
UT : Uuniversal Time (≈ GMT) dalam satuan jam.

Modifikasi terhadap JD (dan JDN) dilakukan dengan cara mengurangkan JD dengan


bilangan 2400000,5. Hasilnya ialah MJD yang berarti Modified Julian Date (atau Modified
Julian Day number).
MJD = JD – 2400000,5 …………………..... (IV.22)
Dengan demikian maka MJD0 bertepatan dengan JD2400000,5 atau 17 November 1858 pukul
00:00:00 UT1. Berbeda dengan JDN dan JD yang dimulai pada tengah hari, MJD dimulai pada
tengah malam. Contoh, epok 1 Januari 2000 pukul 12:00:00 UT1 bersesuaian dengan
JD2451545,00 dan MJD51544,5. Julian Date dan Modified Julian Date selalu dikaitkan dengan
sistem waktu, biasanya Universal Time.

34
C. PENUTUP
Tes Formatif
1. Jelaskan konsep skala waktu dan epok waktu untuk sistem waktu sideris !
2. Ada dua ekuinoks, yaitu Vernal Equinox (VE) dan Autumnal Equinox (AE); manakah
yang digunakan untuk acuan waktu sideris ?
3. Jelaskan perbedaan antara VE rerata dengan VE sejati !
4. Apakah arti persamaan LAST = X + tX dan LAST = LMST + EE; Jelaskan !
5. Jelaskan konsep skala waktu dan epok waktu untuk sistem waktu matahari !
6. Skala waktu manakah yang lebih panjang, antara sistem waktu sideris dan sistem waktu
matahari ?
7. Jelaskan perbedaan antara matahari rerata dengan matahari sejati !
8. Apakah arti persamaan LAT = tS + 12 jam, LMT = tM + 12 jam, dan LAT = LMT + ET;
Jelaskan !
9. Jelaskan waktu zona yang diterapkan di Indonesia !
10. Jelaskan konsep waktu universal (UT = Universal Time): UT0, UT1, dan UT2 !
11. Jelaskan sistem waktu UTC dan hubungannya dengan UT1 !
12. Di suatu lokasi pengamatan dengan bujur geografik lokal (λL) diketahui waktu zona
dengan bujur geografik standar (λST ); Susunlah langkah-langkah untuk menghitung GMT
(=UT1), LMT, LAT , GMST, dan GAST !
13. Jelaskan konsep skala waktu efemaris !
14. Kemukakan fakta-fakta atau konsep yang menjadi dasar bagi
a. pengembangan skala waktu efemeris (ET),
b. pendefinisian waktu dinamis (menggantikan ET),
c. pendefinisian waktu koordinat (mengganti waktu dinamis).
15. Jelaskan konsep skala waktu atom !
16. Uraikan sejarah pengembangan sistem waktu atom, mulai dari sistem A1 sampai TAI !
17. Jelaskan koreksi-koreksi yang diterapkan oleh Paus Gregorius XIII terhadap kalender
Julian sehingga menjadi kalender Gregorian !
18. Apakan perbedaan dasar antara kalender Hijriyah dengan kalender Gregorian ?
19. Jelaskan konsep Julian Date (JD) !
20. Hitung JD, JDN, dan MJD untuk suatu epok tertentu (waktu zona) !

Catatan :
 Jawaban soal nomor 1-20 didiskusikan dalam kelas

35
BAB V
VARIASI KOORDINAT LANGIT DAN TERESTRIAL

A. PENDAHULUAN
A.1. Deskripsi Singkat
Bab V ini membahas fenomena presesi dan nutasi yang mengakibatkan salib sumbu koordinat
langit (SKL) mengalami variasi dari waktu ke waktu, diikuti dengan pembahasan model presesi
dan nutasi serta transformasi koordinat langit dari satu epok ke epok yang lain. Pelaksanaan
perkuliahan dilengkapi dengan latihan di kelas dan/atau pekerjaan rumah.

A.2. Manfaat/Relevansi
Materi Bab V ini memberikan pemahaman mahasiswa tentang variasi koordinat benda-benda
langit karena salib sumbu koordinat SKL yang berubah/bervariasi sebagai akibat fenomena
presesi dan nutasi. Materi bab ini juga memberikan ketrampilan mahasiswa untuk melakukan
perhitungan transformasi koordinat benda langit karena efek presesi dan nutasi dari satu epok ke
epok lain. Matakuliah lain yang berkaitan dengan Bab V ini terutama ialah Sistem dan
Transformasi Koordinat (TGD2304), Sistem Acuan Geodesi (TGD2402), dan Survey GNSS
(TGD3501).

A.3. Tujuan Instruksional Khusus (Learning Outcomes)


Kognitif : mahasiswa mampu menjelaskan variasi SKL karena efek presesi dan nutasi
Psikomotorik : mahasiswa trampil menghitung transformasi koordinat langit karena efek presesi
dan nutasi (diketahui besaran presesi dan nutasi)

PENYAJIAN
V.1. Presesi

Gambar V.1. Gaya pembangkit presesi dan nutasi

Presesi disebabkan oleh tarikan gravitasi bulan dan matahari terhadap bumi dalam kondisi
posisi bidang ekuator membentuk sudut terhadap bidang ekliptika dan bidang orbit bulan. Dalam
36
posisi bumi yang demikian (Gambar V.1), komponen gaya tarik bulan dan matahari yang tegak
lurus bidang ekuator (F1) cenderung menarik bidang ekuator ke arah bidang ekliptika.
Kombinasi gaya F1 dengan momentum putar bumi membangkitkan gerak presesi sumbu rotasi
bumi sedemikian sehingga kutub langit bergeser mengelilingi kutub ekliptika dengan amplitudo
sama dengan kemiringan bidang ekliptika (sekitar 23,5o) dan periode sekitar 25.800 tahun
(Gambar V.2).
Posisi kutub langit yang bervariasi karena presesi bulan-matahari disebut kutub langit
rerata dan ekuator langit yang sesuai dengan kutub langit rerata disebut ekuator langit rerata.
Karena posisi kutub langit rerata bervariasi relatif terhadap kutub ekliptika, maka posisi ekuator
langit rerata bervariasi sedemikian sehingga posisi ekuinoks rerata γo (VE rerata) bergeser
mundur kearah barat (ke γ1) dengan laju sekitar 50,3″ per tahun sepanjang ekliptika (Gambar
V.3). Presesi ini disebut presesi bulan-matahari (lunisolar precession). Apabila presesi bulan-
matahari mengakibatkan variasi posisi ekuator langit rerata, maka presesi planetari (planetary
precession), yang disebabkan oleh tarikan gravitasi planet-planet, mengakibatkan variasi posisi
ekliptika sedemikian sehingga posisi ekuinok rerata γ1 mengalami variasi (bergeser ke γm).

Gambar V.2. Presesi dan nutasi

εo KuLo
KuEo ε1
εA KuL
KuE o
90 − δA

90o+ zA
θA
ekliptika (to)
O
ekliptika (ti)

ekuator langit rerata (to) γo εo Q


θA
γ1 ε1 εA

ekuator langit rerata (ti)


γm

Gambar V.3. Presesi ekuator dan presesi ekliptika 37


Gambar V.3. menyajikan sketsa bola langit dengan posisi kutub langit rerata (KuLo) dan
kutub ekliptika (KuEo) pada epok to=J2000 serta kutub langit rerata (KuL) dan kutub ekliptika
(KuE) pada epok pengamatan ti. Pergeseran KuLo ke KuL ini disebabkan oleh presesi ekuator
sedangkan pergeseran KuEo ke KuE disebabkan oleh presesi ekliptika. Akibat dari presesi
ekuator ialah ekuinoks rerata bergeser dari γo ke γ1 dan akibat dari presesi ekliptika ialah posisi
ekuinoks rerata bergeser dari γ1 ke γm. Unsur-unsur presesi ekuator dari epok to ke epok
pengamatan ti terdiri dari besaran-besaran θA, δA, dan zA yang dapat dihitung menurut model
IAU-2000A sebagai berikut:

θA = 2004,1917476″ t – 0,4269353″ t 2 – 0,0418251″ t 3


– 0,0000601″ t 4 – 0,0000001″ t 5
δA = 2,5976176″ + 2306,0809506″ t + 0,3019015″ t 2 + 0,0179663″ t 3
– 0,0000327″ t 4 – 0,0000002″ t 5 .......... (V.1)
2 3
zA = – 2,5976176″ + 2306,0803226″ t + 1,0947790″ t + 0,0182273″ t
+ 0,0000470″ t 4 – 0,0000003″ t 5
εA = εo – 46,836769″ t – 0,0001831″ t 2 + 0,00200340″ t 3 – 0,000000576″ t 4
+ 0,0000000434″ t 5
(εo = 84381,406″)
t = [JD(ti=TT) – 2451545,0] /36525 .................................. (V.2)

Dalam rumus-rumus di atas, t ialah interval waktu dalam satuan abad Julian (36525 hari)
terhitung dari epok J2000 (1 Januari 2000 pukul 12:00 TT = JD2451545,0 TT) sampai epok
pengamatan ti dalam sistem waktu koordinat Terrestrial Time (TT). Dalam hal ini TT ialah
sistem waktu koordinat di permukaan bumi yang merupakan pengembangan sistem waktu
dinamis TDT (Terrestrial Dynamical Time), sementara TDT merupakan kelanjutan dari sistem
waktu ET (Ephemeris Time). Penerapan sistem waktu koordinat TT ini selaras dengan
implementasi teori presesi-nutasi IAU-2000A. Pada tahun 2009 selisih antara TT dengan UT1
atau GMT ialah sekitar 66 sekon. Penggunaan sistem waktu koordinat TT ini konsisten dengan
implementasi konsep ruang-waktu 4 dimensional yang berbasis pada teori relativitas umum
Einstein. Adapun JD (Julian Date) ialah jumlah hari yang telah lewat sejak epok acuan 1 Januari
4713 (Sebelum Masehi), pukul 12:00 TT. Untuk menghitung JD (mulai 15 Oktober 1582 dan
seterusnya) dapat menggunakan rumus:

JD = 367Y – INT{7(Y + INT((M + 9)/12))/4} + INT{(275(M/9))} + D


+ 1721013,5 + TT/24 ........................................... (V.3)

Transformasi berbasis ekuinoks untuk koordinat benda langit dari SKL rerata epok
pengamatan ti ke SKL rerata epok to=J2000 dilakukan dengan merotasikan sumbu koordinat
SKL dengan urutan: pertama, rotasi dengan poros sumbu-Z berlawanan arah putaran jarum jam
sebesar zA sehingga sumbu-Y melalui Q; kedua, rotasi dengan poros sumbu-Y searah putaran
jarum jam sebesar θA sehingga sumbu-Z melewati KuLo; ketiga, rotasi dengan poros sumbu-Z

38
berlawanan arah putaran jarum jam sebesar (δA) sehingga sumbu-X melewati γo (Gambar V.4).
Rumus transformasinya ialah:

[ ] [ ][ ] ................................... (V.4)

[ ] ................................... (V.5)

Z(to)
Z(ti)
R3( δA)
R3(zA) KuLO
KuL o
90 − δA

90o+ zA
θA

O
R2(−θA)
γo Q
θA

γm
X(ti) X(to)

Gambar V.4. Transformasi SKL karena presesi

Rumus transformasi baliknya ialah:

[ ] [ ] [ ] ................................... (V.6)

[ ] θ ( δ ) ................................... (V.7)

Untuk transformasi koordinat benda langit dari epok pengamatan (ti) ke epok pengamatan yang
lain (tk) maka proses transformasinya dilakukakan dari epok ti ke epok J2000 dengan matriks
[P(ti,to], kemudian diikuti dengan transformasi dari epok J2000 ke epok tk dengan matriks
[P(tk,to]T.

V.2. Nutasi
Gerak nutasi berkaitan dengan fenomena pasang-surut lautan, sementara pasang surut
lautan ditimbulkan oleh kombinasi gaya tarik bulan, matahari, dan planet-planet. Pola gerak
nutasi ini sangat rumit karena posisi bulan, matahari, dan planet-planet relatif terhadap bumi
senantiasa bervariasi karena (a) periode orbit bulan mengelilingi bumi berbeda dengan periode
39
orbit bumi mengelilingi matahari (b) bidang orbit bulan tidak berimpit dengan bidang ekliptika,
(c) laju orbit bumi dan bulan bervariasi menurut hukum Kepler. Dengan kompleksitas faktor
penyebab pasang-surut bumi, maka dapat dimengeri apabila gerak nutasi merupakan
penjumlahan dari berbagai komponen gerak dengan amplitudo dan periode yang beragam. Dari
berbagai komponen gerak tersebut, yang paling dominan ialah komponen gerak periode 18,6
tahun, selaras dengan periode presesi titik nodal orbit bulan. Dalam gerak nutasi ini sumbu rotasi
bumi menjalani gerak sedemikian sehingga kutub langit sesaat bervariasi relatif terhadap kutub
langit rerata dengan periode 18,6 tahun dengan amplitudo maksimum 9″. Karena posisi kutub
langit sesaat (epok pengamatan ti) bervariasi relatif terhadap kutub langit rerata maka ekuator
langit sesaat bervariasi relatif terhadap ekuator langit rerata sehingga posisi ekuinoks sejati atau
ekuinoks sesaat (s), yang merupakan perpotongan antara ekuator langit sesaat dengan ekliptika,
juga bervariasi terhadap posisi ekuinoks rerata (m). Gambar V.5 menampilkan sketsa posisi
ekuinoks sesaat (s) yang berjarak Δψ dari posisi ekuinoks rerata (m), sementara ekliptika sendiri
membentuk sudut (εA+Δε) terhadap ekuator sesaat. Besaran Δψ dan Δε ialah komponen nutasi
epok ti.

ekuator rerata (to) o


εo 90o - δA
ψA θA Q
ekuator rerata (ti) 1 ωA  m εA 90o + zA
Δψ1 χA
Δψ
1′ ωA+Δε1 εA+Δε
χA+Δχ s Δε
ekuator sesaat (ti)

ekliptika (t)
ekliptika (to)
Gambar V.5. Unsur-unsur presesi dan nutasi
Besaran Δψ dan Δε yang dihitung dengan rumus/model masih perlu ditambah dengan
besaran koreksi dψ dan dε yang merupakan offset kutub langit sesaat terhadap kutub langit
menurut model presesi-nutasi, sehingga:

(Δψ, Δε) = (Δψ, Δε)model + (dψ, dε) ........................................ (V.8)

Besaran koreksi (dψ, dε) atau (dPsi, dEpsilon) ini diturunkan dari data pengamatan dan dapat
diperoleh dalam Bulletin-A atau Bulletin-B yang dipublikasikan oleh IERS dan dapat diakses
melalui website http://hpiers.obspm.fr/eoppc/bul/bulb/.
Transformasi berbasis ekuinoks untuk koordinat benda langit dari SKL sesaat epok ti ke
SKL rerata epok ti dilakukan dengan cara merotasikan sumbu koordinat SKL dengan urutan:
pertama, rotasi dengan poros sumbu-X berlawanan arah putaran jarum jam sebesar (εA+Δε)
sehingga bidang XY berimpit dengan bidang ekliptika; kedua, rotasi dengan poros sumbu-Z
berlawanan arah putaran jarum jam sebesar Δψ sehingga sumbu-X melewati ekuinoks rerata (m);
ketiga, rotasi dengan poros sumbu-X searah putaran jarum jam sebesar εA sehingga bidang XY
berimpit dengan bidang ekuator langit rerata (Gambar V.5). Rumus transformasinya ialah:

40
[ ] [ ][ ] ................................... (V.9)

[ ] ε Δψ ε Δε .................................. (V.10)

Indeks “s” menandai posisi sesaat atau sejati. Rumus transformsi baliknya ialah:

[ ] [ ] [ ] ................................. (V.11)

[ ] ................................. (V.12)

C. PENUTUP

Tes Formatif
1. Jelaskan mekanisme presesi bulan-matahari yang dialami oleh bumi !
2. Bagaimana pola pergeseran ekuinoks (VE) karena gerak presesi bulan-matahari dan
presesi planetari ?
3. a. Hitung besaran presesi dari epok to = J2000 ke epok ti = 30 Nopember 2013, 12:00 TT
b. Transformasikan koordinat benda langi X dari epok to ke epok ti apabila diketahui
koordinat (mean) pada epok to : = 63o 20’ 35.56”, = - 25o 55’ 33.7”
4. Sebutkan faktor-faktor pembangkit gerak nutasi yang dialami oleh bumi !
5. Berikan penjelasan mengenai periode nutasi 18,6 tahun dalam kaitannya dengan orbit
bulan mengelilingi bumi !
6. a. Berikan penjelasan (disertai gambar sketsa), pergeseran posisi VE sejati di bola langit
reltif terhadap VE rerata akibat gerak nutasi dan tunjukkan komponen nutasi (Δψ, Δε) !
b. Jelaskan, pada arah/kedudukan VE sejati mana masing-masing komponen nutasi
tersebut betanda positif/negatif !
7. Apabia diketahui besaran nutasi pada epok ti (Δψ = ...., Δε = ..... ), hitung koordinat sejati
benda langit X pada soal no.3 di atas !

Catatan :
 Jawaban soal nomor 1, 2, 4,dan 5 didiskusikan dalam kelas
 Soal nomor 3, 6 dan 7 dikerjakan mahasiswa di rumah (PR)

41
BAB VI
SISTEM KOORDINAT TERESTRIAL DAN VARIASINYA

A. PENDAHULUAN
A.1. Deskripsi Singkat
Bab VI ini membahas konsep dan pendefinisian Sistem Koordinat Terestrial (SKT acuan) yang
meliputi origin dan orientasi sumbu koordinat. Pembahasan lebih lanjut meliputi variasi SKL
sesaat relatif terhadap SKT acuan karena fenomena gerakan kutub dan variasi kecepatan rotasi
bumi yang direalisasikan dalam besaran GAST. Pelaksanaan perkuliahan dilengkapi dengan
latihan di kelas dan/atau pekerjaan rumah.

A.2. Manfaat/Relevansi
Materi Bab VI ini memberikan pemahaman mahasiswa tentang konsep dan pendefinisian SKT
acuan yang umum diterapkan sebagai basis penentuan koordinat titik-titik di bumi. Materi dalam
bab ini juga memberikan ketrampilan mahasiswa untuk melakukan perhitungan transformasi
koordinat antara SKL sesaat dan SKT acuan. Matakuliah lain yang berkaitan dengan Bab VI ini
terutama ialah Sistem dan Transformasi Koordinat (TGD2304), Sistem Acuan Geodesi
(TGD2402), dan Survey GNSS (TGD3501).

A.3. Tujuan Instruksional Khusus (Learning Outcomes)


Kognitif : mahasiswa mampu menjelaskan konsep Sistem Koordinat Terestrial dan
variasinya.
Psikomotorik : mahasiswa trampil melakukan perhitungan transformasi koordinat antara SKT
acuan dan SKL sesaat (diketahui data koordinat kutub).

B. PENYAJIAN
VI.1. Pendefinisian SKT Acuan
Sistem koordinat terestrial acuan global didefinisikan terikat pada fisik bumi (ECEF =
Earth Centered Earth Fixed) dengan origin geosetrik, sumbu-Z melewati kutub yang
diperjanjikan (CTP = Conventional Terrestrial Pole), sumbu-X melewati meridian acuan
(Greenwich), dan sumbu-Y melengkapi sistem tangan kanan. IERS menyebut meridian acuan ini
dengan sebutan IRM (IERS Reference Meridian). Salah satu contoh SKT acuan global ialah
WGS84. Sementara itu, SKL sesaat didefinisikan geosentrik dengan sumbu-Z melalui kutub
langit (CEP = Celestian Ephemeris Pole), sumbu-X melalui VE sesaat, dan sumbu-Y melengkapi
sistem tangan kanan. Gambar VI.1 menyajikan sketsa posisi kutub bumi sesaat (P) yang
bervariasi terhadap CTP sehingga posisi CEP (orientasi sumbu-Z SKL sesaat) bervariasi relatif
terhadap CTP (orientasi sumbu-Z SKT acuan). Variasi posisi kutub bumi sesaat (P) relatif
terhadap CTP dinyatakan dengan koordinat kutub (xp, yp). Sementara itu rotasi bumi
mengakibatkan VE sesaat (orientasi sumbu-X SKL sesaat) bervariasi harian relatif terhadap IRM
(orientasi sumbu-X SKT acuan). Variasi posisi ekuinoks sesaat relatif terhadap IRM dinyatakan
dengan besaran GAST (Greenwich Apparent sidereal Time). Dengan demikian maka besaran
koordinat kutub dan GAST merupakan parameter transformasi koordinat antar SKT acuan dan
SKL sesaat.
42
ZS ≈ CEP

ZSKT y(+) CTP


o
R3(−GAST) λ=270
xP
CTP yP
P
meridian acuan (λ=0o) P x(+)
λ=0o

O GAST

XSKT YS
R1(yP) YSKT
R2(xP)

XS

Gambar VI.1. Transformasi dari SKTacuan ke SKL sesaat

VI.2. Earth Orientation Parameter


Orientasi (sumbu rotasi) bumi sesaat atau posisi kutub bumi sesaat dinyatakan dalam
besaran koordinat kutub (xp, yp) dan durasi rotasi bumi harian (LoD = length of day). Besaran-
besaran tersebut dinamai EOP (Earth Orientation Parameter). Oleh IERS, besaran-besaran
tersebut diamati secara terus-menerus dan hasilnya dipulikasikan secara periodik dalam Bulletin-
A dan Bulletin-B. Besaran EOP bervariasi dari waktu ke waktu oleh karena proses geofisis dan
meteorologis yang berlangsung cepat dan terus-menerus seperti perpindahan masa baik di dalam
bumi maupun di berbagai tempat pada permukaan bumi, arus lautan, dan sistem angin.
Disamping itu juga disebabkan oleh faktor-faktor yang tidak dapat diprakirakan sehingga harus
diturunkan dari data pengamatan space geodesy. Karena sebab-sebab tersebut maka (posisi)
sumbu rotasi bumi mengalami variasi sehingga kutub bumi sesaat mengalami variasi kecil dari
waktu ke waktu dengan amplitudo jarang melampaui 10 meter terhadap posisi reratanya. Variasi
ini disebut gerakan kutub yang sebagian besar terdiri dari komponen gerak eliptikal tahunan dan
komponen gerak melingkar periode 435 hari yang disebut periode Chandler. Gambar VI.2
menampilkan sketsa gerakan kutub, titik-titik menunjukkan rangkaian jejak posisi kutub sesaat
dari tahun 1996 sampai tahun 2000, sedangkan garis penuh menujukkan jejak pergeseran kutub
rerata mulai dari tahun 1890 sampai 2000.
Faktor-faktor penyebab variasi sumbu rotasi bumi juga mengakibatkan variasi kecepatan
rotasi bumi. Rotasi bumi sendiri mengakibatkan variasi harian orientasi arah dari pusat bumi ke
meridian acuan Greenwich, relatif terhadap arah dari pusat bumi ke ekuinoks (γs ) dan ke mean
sun (Gambar VI.3). Variasi kecepatan rotasi bumi atau LoD ini berakibat pada variasi yang
berpola tidak teratur dari Universal Time UT1 dan GAST (Greenwich Apparent Sideral Time).
Karena sulit dimodelkan maka variasi UT1 dan GAST harus diturunkan dari data pengamatan
space geodesy. Dalam aplikasi praktis UT1 sering disamakan dengan GMT (Greenwich Mean

43
Time). UT1 merupakan salah satu parameter orientasi bumi EOP yang merepresentasikan
orientasi meridian acuan Greenwich relatif terhadap mean sun (Gambar VI.3).

Gambar VI.2. Gerakan kutub


(Sumber: http://www.geod.nrcan.gc.ca/edu/geod/vlbi/vlbi04_e.php)

kutub bumi sesaat

meridian Greenwich

O
GAST UT1≈ GMT

mean sun
γs sumbu rotasi bumi

Gambar VI.3. Rotasi bumi, UT1, dan GAST

Apabila besaran koordinat kutub (xp, yp) dapat diperoleh dari publikasi IERS, maka
besaran GAST pada epok pengamatan (ti) harus ditentukan/dihitung, namun tetap juga
memerlukan data nutasi (Δψ, Δε) yang dapat diperoleh dari publikasi IERS. Apabila tidak
memerlukan ketelitian tinggi maka besaran nutasi dapat hitungan sendiri atau diperoleh melalui
website (online) yang melayani perhitungan-perhitungan besaran astronomis. Rumus-rumus
berikut ini dapat diterapkan untuk menghitung GAST:
GMST (jam) = 18,697374558 + 24,06570982441908 D .................................... (VI.1)
GAST = GMST + Δψ cos (εA + Δε) .................................... (VI.2)
44
Dalam rumus di atas, D =JD(ti=TT ≈ UT1) – 2451545,0 dan Δψ cos (εA + Δε) adalah equation of
equinox. Untuk menghitung εA, lihat rumus (V.1) dalam Bab V.

VI.3. Transformasi SKT- SKL


Karena gerakan kutub, rotasi bumi dan variasinya (LoD), maka SKL sesaat mengalami
variasi relatif terhadap SKT acuan. Transformasi koordinat benda langit dari SKT acuan ke SKL
sesaat dapat dilakukan dengan cara merotasikan sumbu koordinat SKT acuan dengan urutan
(Gambar VI.1): pertama, rotasi dengan poros sumbu-X sebesar yp; kedua, rotasi dengan poros
sumbu-Y sebesar xp; ketiga, rotasi dengan poros sumbu-Z sebesar GAST. Rumus
transformasinya ialah:

[ ] [ ][ ][ ] ........................ (VI.3)

[ ]
[ ] ........................ (VI.4)
Rumus transformsi baliknya ialah

[ ] [ ] [ ] [ ] ........................ (VI.5)

[ ]
[ ] ........................ (VI.6)

C. PENUTUP
Tes Formatif
1. Jelaskan pendefinisian SKT acuan global dan berikan contohnya !
2. Berikan penjelasan bahwa sumbu rotasi bumi sesaat didefinisikan berimpit dengan
sumbu-Z SKL sesaat !
3. Faktor-faktor dinamika alam apakah yang mengakibatkan fenomena gerakan kutub dan
variasi LoD ?
4. Apakah yang saudara ketahui tentang CTP ?
5. Gambarkan sketsa kedudukan dan orientasi salib sumbu koordinat SKT acuan dan SKL
sesaat apabila diketahui xp = +0.3”, yp =+0.4” dan GAST = 10 jam !
6. Jelaskan (disertai gambar sketsa) hubungan antara besaran UT1 dengan GAST !
7. a. Hitung GAST pada epok ti = 17 Agustus 2013, 10:00 WIB (diberikan data Δψ dan Δε) !
b. Hitung transformasi koordinat benda langit S dari SKL sesaat ke SKT acuan, apabila
diketahui koordinat S dalam SKL sesaat epok ti (diberikan data koordinat S dan
koordint kutub xp , yp) !

45
Catatan :
 Jawaban soal nomor 1-4 didiskusikan dalam kelas
 Soal nomor 5-7 dikerjakan mahasiswa di rumah (PR)

46
BAB VII

SISTEM DAN KERANGKA ACUAN

A. PENDAHULUAN
A.1. Deskripsi Singkat
Bab VII ini membahas konsep Sistem Acuan Langit (SKL) dan Sistem Acuan Terestrial (SKT)
serta realisasinya masing-masing dalam Kerangka Acuan Langit dan Kerangka Acuan Terestrial
Pembahasan difokuskan pada sistem dan kerangka acuan yang dikembangkan dan dipelihara oleh
IERS, yaitu ICRS dan ITRS serta realisasinya masing-masing dalam ICRF dan ITRF.
Pelaksanaan perkuliahan dilengkapi dengan latihan di kelas dan/atau pekerjaan rumah.

A.2. Manfaat/Relevansi
Materi Bab VII ini memberikan pemahaman mahasiswa tentang konsep sistem (datum) geodetik
acuan dan kerangka acuan geodetik yang umum diterapkan dalam pengembangan ilmu dan
teknologi geodesi. Latihan dan/atau pekerjaan rumah memberikan ketrampilan mahasiswa untuk
melakukan perhitungan transformasi datum geodetik. Matakuliah lain yang berkaitan dengan
Bab VII ini terutama ialah Sistem dan Transformasi Koordinat (TGD2304), Sistem Acuan
Geodesi (TGD2402), dan Survey GNSS (TGD3501).

A.3. Tujuan Instruksional Khusus (Learning Outcomes)


Kognitif : mahasiswa mampu menjelaskan konsep sistem dan kerangka acuan geodetik dan
aplikasinya dalam geodesi dan geomatika.
Psikomotorik : mahasiswa trampil melakukan perhitungan transformasi datum geodetik.

B. PENYAJIAN
VII.1. Sistem dan Kerangka Acuan Langit
Pendefinisian sistem koordinat acuan, baik SKL maupun SKT, serta pemeliharaan
selanjutnya memerlukan basis teoritik dan model yang handal untuk landasan bagi pemantauan
dan analisis variasi kedudukan dan orientasi sumbu rotasi bumi karena fenomena presesi, nutasi,
dan gerakan kutub. Dalam hal ini diperlukan seperangkat preskripsi (teori, model, konstanta)
serta konvensi untuk pembakuan sistem. Dengan demikian maka dapat dikatakan bahwa sistem
acuan langit adalah seperangkat preskripsi dan konvensi yang dibakukan untuk menentukan
setiap saat kedudukan salib sumbu koordinat langit (SKL). Salah satu sistem langit acuan ialah
ICRS (International Celestial Reference System) yang dikembangkan dan dipelihara oleh IERS
(International Earth Rotation and Reference System).
IERS merupakan lembaga internasional yang didirikan pada tahun 1987 oleh IAU
(International Astronomical Union) dan IUGG (International Union of Geodesy and Geophysics)
untuk menggantikan IPMS (International Polar Motion Service) dan Seksi Rotasi Bumi dari BIH
(Bureau International de l’Hure). Misi utama IERS ialah memberikan pelayanan kepada
masyarakat astronomi, geodesi dan geofisika dengan menyediakan antara lain:

47
1. Sistem acuan langit ICRS (International Celestial Refernce System) yang direalisasikan
melalui kerangka acuan langit ICRF (International Celestial Refernce Frame) dalam
bentuk daftar koordinat sejumlah sumber radio astronomi yang sebagian besar adalah
Quasars (Quasi Stellar Radio Source),
2. Sistem acuan terestrial ITRS (International Terrestrial Refernce System) yang
direalisasikan melalui kerangka acuan terestrial ITRF (International Terrestrial Refernce
Frame) dalam bentuk koordinat sejumlah titik kontrol bumi beserta data kecepatan
pergeserannya,
3. Parameter orientasi bumi EOP (Earth Orientation Parameters) yang diperlukan untuk
mengkaji variasi rotasi bumi dan transformasi antara ICRF dan ITRF (lihat Bab V).

Gambar VII.1. Sebaran ICRF


(Sumber: http://ivs.nict.go.jp/mirror/program/iya09/ICRF2def.jpg)

Seperti disebutkan di atas, ICRS direalisasikan dalam bentuk koordinat sejumlah “titik
kontrol langit” yang disebut ICRF (International Celestial Reference Frame). ICRF tersusun
dari sumber radio astronomi (Quasars) yang letaknya sangat jauh dari Bumi dan posisinya sangat
stabil sehingga koordinatnya dianggap tetap. Koordinat ICRF mengimplikasikan kedudukan
origin dan orientasi salib sumbu koordinat ICRS pada epok standar J2000. Pada tahun 2010
daftar ICRF meliputi tidak kurang dari 3119 sumber radio astronomi dengan sebaran seperti
disajikan pada Gambar VII.1. ICRF menjadi obyek pengamatan VLBI sebagai salah satu metode
space geodesy untuk mengontrol dan memantau variasi gerak sumbu rotasi bumi.

VII.2. Sistem dan Kerangka Acuan Terestrial


Selaras dengan pengertian sistem acuan langit yang telah diuraikan di muka maka sistem
acuan terestrial dapat diartikan sebagai seperangkat preskripsi dan konvensi yang dibakukan
untuk menentukan setiap saat kedudukan salib sumbu koordinat terestrial (SKT). Adapun sistem
acuan terestrial yang dikembangkan dan dipelihara oleh IERS ialah ITRS (International
Terrestrial Refernce System). Sebagai suatu sistem/datum geodetik salib sumbu koordinat ITRS
dipandang sebagai suatu sistem kuasi-inersial yang terikat pada fisik bumi dan berotasi bersama-
sama dengan bumi dengan pendefinisian sebagi berikut:
a. Origin pada pusat masa bumi (termasuk masa lautan dan atmosfer),
b. Satuan panjang ialah SI meter (panjang yang ditempuh oleh cahaya di dalam medium
hampa udara dalam waktu 1/299 792 458 sekon),
c. Orientasi sumbu koordinat sesuai dengan orientasi menurut definisi BIH-1984,0

48
d. Dalam kaitannya dengan gerak horizontal lempeng tektonik global, evolusi orientasi
sumbu koordinat diasumsikan tidak mengalami gerak memutar (no-net rotation).
Menurut definisi BIH-1984,0 sumbu-Z sistem terestrial diorientasikan melalui kutub rerata 1900-
1905 yang disebut CTP (Conventional Terrestrial Pole), sumbu-X merupakan perpotongan
antara bidang meridian nol BIH dengan bidang yang melalui origin dan tegak-lurus sumbu-Z,
sumbu-Y tegak lurus sumbu-Z dan sumbu-X sedemikian sehingga melengkapi sistem tangan
kanan. ITRS direalisasikan melalui koordinat sejumlah titik kontrol bumi yang disebut ITRF
(International Terrestrial Refernce Frame). Sebaran titik stasiun ITRF beserta data koordinat
dan vektor kecepatan pergeserannya pertahun terhitung pada epok acuan dapat diakses melalui
website IERS: http://itrf.ensg.ign.fr (Gambar VII.2).

Gambar VII.2. Tampilan peta sebaran stasiun ITRF dalam website IERS

Gambar VII.3. Peta sebaran stasiun IGS

49
Stasiun ITRF merupakan stasiun bumi tempat dilakukannya pengamatan-pengamatan
space geodesy dengan teknik-teknik VLBI (Very Long Base Interferometry), LLR (Lunar Laser
Ranging), SLR (Satellite Laser ranging), GNSS (Global Navigation Satellite System), dan
DORIS (Doppler Orbit Determination and Radiopositioning Integrated on Satellite). Teknik
pengamatan VLBI dan LLR digunakan terutama untuk menentukan parameter EOP yang
merepresentasikan variasi kecepatan rotasi bumi atau variasi UT1, gerakan kutub, dan variasi
posisi kutub karena presesi dan nutasi. Sementara itu metode geodesi satelit (SLR, GNSS,
DORIS) digunakan terutama untuk menentukan gerakan kutub dan variasi kecepatan rotasi bumi.
Pengamatan dilaksanakan secara berkelanjutan (time series) dan data yang peroleh kemudian
diolah dan dikombinasikan untuk medapatkan solusi parameter yang diperlukan, seperti
koordinat dan vektor laju pergeseran titik-titik jaring ITRF, parameter orientasi bumi EOP, dan
sebagainya. Sebagian dari stasiun ITRF menggunakan lebih dari satu teknik (dua, tiga atau
empat teknik) dan sebagian lainnya menggunakan salah satu dari teknik-teknik pengamatan.
Sebagian dari stasiun ITRF tersebut merupakan stasiun yang dikelola oleh IGS (International
GNSS Service) yang melakukan pengamatan dengan teknologi GNSS (Gambar VII.3). IGS
merupakan kontributor yang cukup penting dalam pemeliharaan ITRS dan relisasinya.

VII.3. Datum Geodetik dan Transformasi Datum Geodetik


Di masa lalu, sebelum era teknologi space geodesy berkembang seperti saat ini,
pengembangan sistem/datum geodetik masih bersifat lokal dan direalisasikan melalui teknologi
geodesi konvensional (astronomi dan geodesi). Dalam hal ini, pendefinisian sistem/datum
geodetik dilakukan dengan memilih dimensi elipsoid acuan tertentu, kemudian elipsoid acuan ini
didefinisikan posisinya terhadap geoid lokal. Realisasi sistem/datum geodetik lokal ini dilakukan
dengan bantuan pengamatan astronomi dan pengukuran geodetik pada suatu titik acuan di
permukaan bumi. Titik acuan ini kemudian disebut titik datum. Pengamatan astronomi dilakukan
untuk menentukan koordinat astronomik titik datum (lintang, bujur, dan azimut) sedangkan
pengukuran geodetik dilakukan untuk menentukan tinggi titik datum terhadap muka muka laut
rerata (tinggi ortometrik). Koordinat astronomik titik datum kemudian ditransformasikan
menjadi koordinat geodetik dengan menerapkan koreksi defleksi vertikal dan undulasi geoid.
Apabila defleksi vertikal dan undulasi geoid didefinisikan sama dengan nol, maka berarti elipsoid
acuan diimpitkan atau disinggungkan dengan geoid di titik datum.
Orientasi elipsoid acuan terhadap geoid lokal dengan teknologi astronomi-geodetik
tersebut pada dasarnya adalah proses realisasi sistem/datum geodetik yang meliputi penetapan
posisi origin (pusat elipsoid acuan mendekati pusat bumi) dan orientasi sumbu koordinat (sumbu
pendek elipsoid acuan sejajar sumbu rotasi bumi dan meridian nol standar elipsoid acuan sejajar
meridian Greenwich). Adapaun skala sistem/datum geodetik lokal tersebut direalisasikan melalui
pengukuran jarak basis jaring triangulasi. Dari titik datum geodetik kemudian dikembangkan
jaring kontrol horizontal (JKH) dengan teknologi konvensional seperti triangulasi, trilaterasi, dan
traverse.
Berbeda dengan sistem/datum geodetik lokal, sistem/datum geodetik global (geosentrik)
yang direalisasikan dengan teknologi spasce geodesy modern tidak menempatkan pemilihan
elipsoid acuan secara langsung sebagai langkah awal pendefinisian sistem/datum geodetik.
Namun pada dasarnya pendefisian sistem/datum geodetik global ini tidak berbeda dengan
pendefinisian sistem/datum geodetik lokal, yaitu meliputi pendefinisian origin dan orientasi salib
sumbu koordinat (Kartesian 3D), dan skala sistem. Realisasi sistem/datum geodetik global dapat
dilaksanakan dengan salah satu atau gabungan dari teknologi space geodesy seperti VLBI dan
geodesi satelit (GNSS, SLR, LLR, DORIS). Umumnya, pengembangan sistem/datum geodetik
50
global pada era sekarang ini sebenarnya merupakan “proses iteratif” yang berawal pada
sistem/datum geodetik lokal. Mula-mula, dengan teknologi konvensiona dikembangkanlah jaring
kontrol horizontal (JKH) yang mengacu pada sistem/datum geodetik lokal. Berikutnya, karena
tuntutan untuk memiliki sistem/datum geodetik yang lebih handal, dirancang dan didefinisikanlah
sistem/datum geodetik global untuk menggantikan sistem/datum geodetik lokal. Sistem/datum
geodetik global ini kemudian direalisasikan dengan menggunakann teknologi space geodesy yang
dilakukan pada (sebagian) titik-titik kontrol JKH yang ada. Pengukuran geodetik ini
menghasilkan data koordinat geodetik yang mengacu pada sistem/datum geodetik yang
direncanakan. Titik-titik kontrol JKH yang lain kemudian ditransformasikan ke sistem/datum
geodetik yang baru. Beberapa contoh sistem/datum global: ITRS, North American Datum
(NAD27, NAD83), Ordnance Survey of Great Britain (OSGB36), Europian Datum (ED50),
Geocentric Datum of Australia 2000 (GDA2000), World Geodetic System 1984 (WGS84),
DGN95 (Datum Geodesi Nasional Indonesia-1995),
Diantara sistem/datum geodetik global yang ada, WGS84 nampaknya paling populer,
antara lain karena digunakan oleh sistem satelit GPS yang dimanfaatkan untuk berbagai aplikasi
penentuan posisi spasial oleh banyak pihak. Origin datum geodetik WGS84 didefinisikan
geosentrik dengan orientasi sumbu koordinat mengikuti definisi BIH-1984,0. Pada awalnya
WGS84 direalisasikan melalui koordinat sejumlah titik kontrol bumi yang ditentukan melalui
pengamatan satelit Doppler. Realisasi WGS84 tersebut identik dengan ITRF pada level 1 meter.
Selanjutnya melalui pengamatan GPS, WGS84 direalisakan berturut-turut dengan koordinat
jaring titik kontrol G730, G87, G1150, G1674. Dalam realisasinya dengan G1674, origin WGS84
berimpit dengan ITRF2008 (epok 2005.0) dengan ketelitian + 6 mm.
Fenomena deformasi kerak bumi mengakibatkan posisi titik-titik kontrol geodetik
mengalami perubahan dari waktu ke waktu dengan laju pergeseran yang bervariasi sesuai dengan
laju pergeseran lempeng tektonik tempat titik kontrol yang bersangkutan dipancangkan. Kondisi
ini ditanggapi oleh IERS dengan mengembangkan sistem/datum geodetik dinamik yang
direalisasikan secara berkala dalam ITRF. Tiap versi ITRF memuat data koordinat titik-titik
stasiun ITRF beserta vektor laju pergeserannya pertahun terhitung pada epok acuan tertentu.
Sebagai contoh, ITRF2008 memuat koordinat stasiun ITRF beserta laju pergeserannya pertahun
pada epok acuan 2005.0. Sampai dengan tahun 2010, IERS telah mempublikasikan 12 versi
ITRF, dimulai dengan ITRF88 dan disusul berturut-turut dengan ITRF89, ITRF90, ITRF91,
ITRF92, ITRF93, ITRF94, ITRF96, ITRF97, ITRF2000, ITRF2005, dan ITRF2008. Dalam
ITRF2008 tergabung tidak kurang dari 700 titik stasiun kontrol. Versi ITRF yang berbeda-beda
ini mengimplikasikan datum geodetik (origin, orientasi sumbu koordinat, dan skala) yang
berbeda.
Dengan pergantian versi ITRF maka kebutuhan yang mengiringinya ialah transformasi
datum geodetik untuk menghubungkan koordinat titik-titik yang mengacu pada sistem/datum
yang berbeda, misal karena pengamatan dilakukan pada epok yang berbeda dengan titik ikat
yang berbeda. Transformasi datum geodetik dinamik melibatkan 14 parameter: 3 parameter
translasi + 3 parameter perubahannnya, 3 parameter rotasi + 3 parameter perubahannnya, 1
parameter skala + 1 parameter perubahannya. Contoh model transformasi datum geodetik 14
parameter:

* + , * +- * +

51
̇ ̇ ̇ ̇
[ ̇ ̇ ̇ ]* + * + * ̇ +
̇ ̇ ̇ ̇

.................................................................... (VII.1)

D. PENUTUP
Tes Formatif
1. Jelaskan pengertian sistem acuan dan kerangka acuan geodetik !
2. Sebutkan tiga misi utama IERS !
3. Apa yang saudara ketahui tentang ICRS dan ICRF ? Jelaskan !
4. Apa yang saudara ketahui tentang ITRS dan ITRF ? Jelaskan !
5. Bagaimana ITRS didefinisikan ?
6. Jelaskan hubungan antara IGS dengan IERS !
7. Uraikan langkah-langkah realisasi datum geodetik lokal !
8. Perlukah elipsoid acuan didefinisikan dalam mengembangkan datum geodetik global
dengan teknologi GNSS ?
9. Jelaskan pengertian sistem/datum geodetik dinamis !
10. Diketahui koordinat dan laju pergeseran titik stasiun GPS Medan dalam ITRF2008
untuk epok tX = 2005,0 sebagai berikut:
X /Vx Y/Vy Z/Vz
Koordinat −964464,824 m 6291997,236 m 400195,680 m
Laju pergeseran −0,0013 m/tahun −0,0265 m/tahun −0,0258 m/tahun

Transformasikan koordinat kartesian satasiun GPS dalam ITRF2008 epok tX ke


ITRF2005 epok t = 2009,0 menggunakan data parameter transformasi yang tersedia

Catatan :
 Jawaban soal nomor 1-9 didiskusikan dalam kelas
 Soal nomor 10 dikerjakan mahasiswa di rumah (PR)

52
BAB VIII
GEODESI SATELIT DALAM MISI GEODESI

A. PENDAHULUAN

A.1. Deskripsi Singkat


Bab VIII ini membahas misi ilmiah dan praktis disiplin ilmu geodesi, sejarah perkembangan
ilmu, kontribusi geodesi satelit terhadap misi geodesi, dan konsep dasar serta aplikasi geodesi
satelit. Pelaksanaan perkuliahan dilengkapi dengan latihan-latihan di kelas dan/atau pekerjaan
rumah.

A.2. Manfaat/Relevansi
Materi kuliah Geodesi Satelit dalam Misi Geodesi memberikan pemahaman (apresiasi)
mahasiswa terhadap orbit satelit bumi buatan sebagaimana mereka mengapresiasi orbit bulan
mengelilingi bumi beserta hukum-hukum gerak orbitnya. Secara substansial, materi dalam bab
ini berkaitan dengan kelanjutan materi kuliah dalam bab-bab selanjutnya. Sementara itu
matakuliah lain yang berkaitan dengan bab ini terutama ialah Pengantar Geodesi Geomatika
(TKD1105), dan Survey GNSS TKD3501).

A.3. Learning Outcomes


Setelah menyelesaikan matakuliah Bab ini mahasiswa akan memahami peran geodesi satelit
dalam pengembangan misi ilmiah dan praktis geodesi, konsep dasar metode geodesi satelit
(dinamik dan geometrik), dan lingkup aplikasi geodesi satelit.

B. PENYAJIAN

VIII.1. Misi Geodesi


Pada tahun 1880 F.R.Helmert mendefinisikan geodesi sebagai ilmu tentang pengukuran
dan pemetaan permukaan bumi, termasuk penentuan medan gayaberat bumi. Sementara itu
Vanicek dan Krakiwsky (1982) mengatakan bahwa geodesi adalah basis teoritik daripada praktek
penentuan posisi atau surveying. Ungkapan-ungkapan tersebut menyiratkan dengan jelas aspek-
aspek ilmiah dan praktis daripada geodesi. Dari aspek ilmiah, geodesi mengembangkan misinya
untuk menentukan bentuk dan dimensi bumi, termasuk medan gaya berat bumi, sementara dari
aspek praktis, geodesi mengemban misi untuk menentukan posisi titik-titik atau obyek-obyek
fisik di permukaan bumi berlandaskan pada bentuk dan dimensi bumi yang telah dirumuskan
oleh misi ilmiah geodesi. Sampai saat ini, media yang umum dipakai untuk menyatakan posisi
titik-titik di permukaan bumi ialah peta. Oleh karena itu F.R.Helmert pada tahun 1880 telah
mengemukakan definisi bahwa geodesi adalah ilmu tentang pengukuran dan pemetaan
permukaan bumi.

53
Hasrat ingin tahu telah mendorong manusia untuk berupaya mencari kejelasan tentang
fenomena sosok planet bumi tempat tinggalnya. Salah satu obyek kajian ilmiahnya ialah
fenomena fisik bumi dan dinamikanya dengan penekanan pada aspek geometrik atau bentuk dan
dimensi fisik bumi. Dalam perkembangannya, upaya ilmiah ini kemudian mengidentifikasikan
diri sebagai disiplin ilmu geodesi. Kajian ilmiah terhadap aspek geometrik bumi ini secara
langsung didorong oleh kebutuhan praktis manusia akan informasi tentang posisi geografik titik-
titik di permukaan bumi yang disajikan melalui media peta. Sudah selayaknya apabila peta yang
baik (benar) harus dibuat berdasarkan model geometrik bumi yang akurat. Seperti diketahui
kemudian bahwa peta menjadi sarana yang efektif dalam berbagai lapangan pekerjaan, sehingga
pekerjaan survei geodetik dan pemetaan menjadi suatu profesi yang dibutuhkan oleh
masyarakat.

Perkembangan disiplin ilmu geodesi ditandai oleh perkembangan teori tentang model
bumi dan dinamikanya, seiring dengan perkembangan metode dan teknologi survei geodetik dan
pemetaan. Pada dasarnya, perkembangan metode dan teknologi survei geodetik dan pemetaan
senantiasa memberikan kontribusi pada perkembangan disiplin ilmu geodesi disamping manfaat
bagi pemenuhan kebutuhan praktis. Sampai dengan pertengahan abad-20, misi ilmiah dan praktis
geodesi didukung oleh metode dan teknologi survei konvensional seperti gravimetri, astronomi
geodetik, dan geodesi geometrik (triangulasi, trilaterasi, traverse, leveling). Metode konvensional
tersebut masih terbatas kapabilitas ketelitian dan jangkauan operasionalnya untuk mendukung
studi geodesi secara global dan komprehensif. Kondisi alam seperti cuaca dan topografi masih
merupakan kendala yang membatasi kapabilitas metode konvensional, sehingga penggabungan
jaring kontrol geodetik dua wilayah daratan yang terpisah oleh lautan masih belum dapat diatasi.
Dengan kondisi tersebut, maka di seluruh permukaan planet bumi ini sampai dengan pertengahan
abad-20 terdapat banyak sistem geodetik (datum geodetik, jaring kontrol geodetik) yang belum
dapat dihubungkan satu dengan lainnya.

VIII.2. Sejarah Perkembangan Geodesi Satelit

Pada tanggal 4 Oktober 1957 satelit bumi buatan yang pertama SPUTNIK-1 diluncurkan
ke antariksa oleh Rusia, dan pada tahun berikutnya, 1958, Amerika Serkat meluncurkan
EXPLORER-1. Analisis terhadap hasil pengamatan orbit satelit Sputnik dan Explorer oleh King-
Hele dan Merson (1958) menghasilkan kesimpulan tentang penggepengan bumi f=1/298.3. Pada
tahun 1960 satelit TRANSIT-1B dan ECHO-1 berhasil diluncurkan. Teori tentang orbit satelit
bumi buatan dipublikasikan oleh Prof. Brouwer pada tahun 1959 dan Prof. Kaula pada tahun
1960. Pada tahun 1962, satelit ANNA-1B diluncurkan dan dengan pengamatan Doppler (satelit
TRANSIT) berhasil di rangkaikan jaring kontrol geodetik Perancis dengan Algeria. Sejarah
perkembangan geodesi satelit, menurut Seeber (1993), dibagi dalam tiga fase, yaitu:

(1) 1958-1970: fase pengembangan metode dasar untuk pengamatan satelit dan
perhitungan serta analisis orbit satelit.

(2) 1970-1980: fase uji coba atau proyek ilmiah.


54
(3) 1980 - : fase penerapan teknologi satelit untuk geodesi, geodinamik, dan surveying.

Pada fase pertama (1958-1970), pengamatan satelit masih dilaksanakan secara fotografi-
optik dengan kamera untuk mengamati lintasan atau arah orbit satelit dengan latar belakang
benda-benda langit (bintang). Hasil-hasil penelitian yang signifikan ialah dapat ditentukannya
koefisien harmonik potensial bumi dan dipublikasikannya model-model bumi SE-1 sampai SE-3
(Standard Earth models) oleh Smithsonian Astrophysical Observatory dan GEM (Goddard Earth
Models) oleh NASA.

Pada fase kedua (1970-1980) dikembangkan teknik-teknik pengamatan laser ranging


(pengukuran jarak dengan laser) ke satelit dan ke bulan dan satellite altimetry (pengukuran
tinggi orbit satelit). Sementara itu sistem satelit TRASIT dikembangkan untuk penentuan posisi
dengan cara mengukur efek doppler terhadap sinyal gelombang elektromagnetik yang
dipancarkan ke bumi oleh satelit. Analisis terhadap data pengamatan satelit (laser, altimetri,
doppler) menghasilkan parameter-parameter model bumi yang lebih sempurna, yaitu GEM-10.
Dalam fase ini teknologi satelit doppler diaplikasikan untuk survei geodetik di hampir seluruh
permukaan bumi guna mengembangkan dan memperbaiki jaring kontrol geodetik, seperti
unifikasi jaring kontrol geodetik yang terpisah-pisah.

Pada fase ketiga (1980 - seterusnya), metode satelit semakin luas diterapkan untuk survei
geodetik dan pemetaan menggantikan sebagian metode survei-pemetaan konvensional, terutama
setelah NAvigation Satellite Timing And Ranging Global Positioning System (NAVSTAR GPS)
menunjukkan kinerja yang benar-benar handal. Sementara itu karena kemudahan operasi dan
meningkatnya ketelitian hasil pengamatan, metode geodesi satelit nampaknya akan dapat
menggantikan metode space geodesy yang lain untuk memantau gerakan kutub dan rotasi bumi.
Di masa yang akan datang, metode satelit nampaknya akan sangat efektif untuk pengukuran dan
pemantauan berbagai deformasi yang terjadi pada kerak bumi dan struktur yang lain.

VIII.3. Konsep Dasar Geodesi Satelit

Misi geodesi mengalami kemajuan yang signifikan dengan dikembangkannya metode dan
teknologi satelit bumi buatan untuk survei geodetik dan geofisik seperti penentuan posisi teliti 3D
dan satellite altimetry untuk penentuan geoid. Kemajuan yang signifikan tersebut dicapai oleh
karena kapabilitas metode dan teknologi satelit yang sangat tinggi, terutama dalam aspek
jangkauan wilayah operasi (dari jarak puluhan meter sampai ratusan bahkan ribuan kilimeter),
ketelitian hasil survei, dan kemudahan serta kecepatan operasi. Kendala cuaca dan waktu
pengamatan malam hari tidak lagi menjadi masalah karena pengamatan dan pengukuran ke/dari
satelit menggunakan gelombang elektro- magnetik. Disamping itu karena ketinggian orbit satelit
maka cakupan wilayah survei menjadi sangat luas sehingga titik-titik di permukaan bumi yang
terpisah jauh dimungkinkan untuk mengamati satelit dalam waktu bersamaan tanpa terkendala
oleh syarat saling dapat melihat antar stasiun pengamatan.

55
Penerapan teknologi satelit bumi buatan untuk survei geodetik dan geofisik telah
medorong studi geodesi global secara komprehensif. Kenyataan ini kemudian mengangkat
satellite geodesy (geodesi satelit) menjadi salah satu subyek dalam pengembangan ilmu geodesi
dan penerapannya. Apakah gerangan geodesi satelit itu ? Seeber (1993) mengungkapkan bahwa
geodesi satelit mencakup teknik-teknik pengamatan dan perhitungan yang memungkinkan
pemecahan masalah-masalah geodesi dengan mengguna-kan pengukuran teliti ke, dari, atau antar
satelit bumi buatan. Sementara itu Seeber juga mengidentifikasi tiga masalah dasar geodesi
sebagai berikut:

1) penentuan posisi teliti tiga dimensi secara global (pengembangan jaring kontrol
geodetik).
2) penentuan medan gayaberat bumi atau geoid secara teliti
3) pengukuran dan pemodelan fenomena geodinamik seperti gerakan kutub, rotasi bumi,
dan deformasi kerak bumi.
Tiga masalah dasar geodesi di atas memiliki substansi yang sama dengan misi geodesi seperti
telah diuraikan di depan.

Penerapan teknologi satelit bumi buatan dalam geodesi mensyaratkan (a) pengetahuan
komprehensif tentang gerak orbit satelit bumi buatan dibawah berbagai gaya percepatan yang
berpengaruh terhadap satelit, dan (b) sistem koordinat acuan untuk menyatakan posisi satelit dan
titik-titik stasiun pengamatan di permukaan bumi. Dalam geodesi satelit dikenal pengamatan
dengan metode geometrik dan metode dinamik. Dalam metode geometrik, satelit-satelit
dianggap sebagai target pengamatan dengan posisi “fixed” atau sebagai titik-titik kontrol,
sementara titik-titik pengamatan di bumi secara bersamaan mengamat dan mengukur jarak
(ranging) ke satelit-satelit tersebut. Posisi satelit-satelit (fixed) dan titik-titik pengamatan serta
jarak terukur membentuk jaringan segitiga dalam ruang dalam sistem koordinat global tiga
dimensi. Solusi perhitungan jaring segitiga dalam ruang tersebut memberikan informasi posisi
dan jarak antar titik-titik pengamatan.

Dalam metode dinamik, satelit-satelit dipandang atau difungsikan sebagai sensor di


dalam medan gayaberat bumi. Pengamatan dilakukan di titik-titik kontrol di bumi terhadap
lintasan orbit satelit yang hasilnya kemudian dianalisis untuk menentukan parameter-parameter
orbit satelit dan variasinya. Jenis dan besar gaya-gaya atau percepatan yang bekerja pada satelit
diinterpretasi dari parameter-parameter orbit satelit dan variasinya tersebut. Salah satu fokus
analisis ialah hubungan antara realitas medan gayaberat bumi dengan penyimpangan orbit satelit
yang sesungguhnya terhadap orbit normal menurut teori Kepler. Dengan metode dinamik ini
dikaji perilaku orbit satelit dalam sistem acuan (koordinat) geosentrik. Dalam analisis perilaku
orbit satelit untuk menyimpulkan gaya-gaya yang bekerja mempengaruhi gerak satelit, selain
dihitung parameter medan gayaberat bumi, dapat pula dihitung parameter rotasi bumi (gerakan
kutub, variasi kecepatan rotasi) dan parameter-parameter yang lain, seperti parameter-parameter
geofisik/geodinamik dan atmosfer.

56
VIII.4. Aplikasi Geodesi Satelit

Geodesi satelit (terjemahan dari “satellite geodesy”) merupakan konsep dan aplikasi
satelit di bidang geodesi. Selain di bidang geodesi, teknologi satelit juga diaplikasikan di bidang
komunikasi, iklim dan cuaca, inderaja, dsb. Pada awal perkembangannya, geodesi satelit
diterapkan untuk misi ilmiah seperti studi tentang bentuk dan dimensi bumi, medan gayaberat
bumi, unifikasi datum geodetik, pengukuran tinggi permukaan laut (altimetri), dan sebagainya.
Dalam fase ini dilaksanakan uji coba melalui proyek-proyek EXPLORER-1, ECHO-1, ANNA-
1B, TRANSIT-1B, GEOS-3, STARLETTE, dan LAGEOS. Dalam perkembangan selanjutnya
geodesi satelit dikembangkan, disamping untuk penyelenggara-an misi geodesi ilmiah, juga
untuk penyelenggaraan misi praktis. Diawali dengan proyek TRANSIT (satelit Doppler) yang
kemudian dilanjutkan dengan NAVSTAR GPS, GLONASS, TOPEX/POSEIDON, misi geodesi
ilmiah dan praktis diselenggarakan secara lebih intensif. Dalam kerangka misi ilmiah, geodesi
satelit diterapkan antara lain untuk studi tentang dinamika orbit dan rotasi bumi, medan gayaberat
bumi dan geoid, dan dinamika kerak bumi. Sementara itu dalam kerangka misi praktis, geodesi
satelit diterapkan terutama untuk mendukung kegiatan-kegiatan survei-pemetaan dan navigasi,
baik di darat, laut, maupun udara, melalui perannya sebagai penyedia dan pengontrol posisi
spasial.

C. PENUTUP

Rangkuman
Misi ilmiah geodesi ialah menentukan bentuk dan dimensi bumi, termasuk medan gaya
berat bumi, sementara misi praktisnya ialah menentukan posisi titik-titik atau obyek-obyek fisik
di permukaan bumi berlandaskan pada bentuk dan dimensi bumi yang telah dirumuskan. Dengan
supermasinya (terhadap metode konvensional), penerapan metode geodesi satelit telah
memberikan kontribusi yang cukup signifikan terhadap pengembangan misi geodesi, baik dalam
aspek ilmiah maupun praktis. Saat ini, aplikasi geodesi satelit telah merambah ke berbagai bidang
kegiatan, ilmiah dan teknis/praktis, yang terkait dengan posisi spasial di permukaan bumi.

Latihan
1. Jelaskan misi ilmiah dan praktis geodesi !
2. Sebutkan kendala-kendala dalam penerapan metode konvensional yang dapat diatasi oleh
metode geodesi satelit !
3. Identifikasikan tiga masalah dasar geodesi !
4. Jelaskan konsep dasar metode geometrik dan dinamik dalam geodesi satelit !
5. Uraikan tiga fase pengembangan teknologi geodesi satelit !
6. Sebutkan sistem dan aplikasi satelit geodesi yang telah dioperasikan !

Catatan :
 Jawaban soal nomor 1-6 didiskusikan dalam kelas

57
BAB IX

HUKUM-HUKUM DASAR ORBIT SATELIT

A. PENDAHULUAN

A.1. Deskripsi Singkat


Bab ini membahas hukum-hukum dasar orbit satelit dalam bidang datar yang meliputi hukum
Kepler dan Newton, N-Body Problem dan 2-Body Problem, energi mekanik dan momentum
putar, dan pembuktian hukum kepler. Pelaksanaan perkuliahan dilengkapi dengan latihan-latihan
di kelas dan/atau pekerjaan rumah.

A.2. Manfaat/Relevansi
Materi kuliah Bab ini memberikan kepada mahasiswa pemahaman (apresiasi) terhadap orbit
satelit bumi buatan (dalam bidang datar) sebagaimana mereka memahami hukum-hukum gerak
orbit planet mengelilingi matahari dan bulan mengelilingi bumi. Sementara itu matakuliah lain
yang berkaitan dengan Bab ini terutama ialah Fisika Dasar (MGF1202), dan Geodesi Fisis
(TKD3506).

A.3. Learning Outcomes


Setelah menyelesaikan matakuliah Bab ini mahasiswa akan dapat menjelaskan konsep dasar
gaya-gaya yang bekerja pada satelit bumi buatan, energi mekanik dan momentum putar dalam
orbit normal, membuktikan hukum Kepler secara analitik dalam orbit normal.

B. PENYAJIAN

IX.1. Hukum Kepler dan Newton


Beberapa hukum dasar yang dapat diterapkan untuk menjelaskan perilaku orbit satelit
bumi buatan ialah hukum Kepler dan Newton tentang gerak benda dan gravitasi. Pada mulanya,
hukum Kepler di rumuskan untuk menjelaskan perilaku orbit planet mengelilingi matahari.
Dalam penerapannya, hukum Kepler bersama dengan hukum Newton digunakan untuk
mempelajari perilaku orbit satelit bumi buatan.

Gambar IX.1. Elips orbit satelit


58
Keterangan gambar :
F : titik api elips
a : setengah sumbu panjang elips
b : setengah sumbu pendek elips
Perigee: titik terdekat satelit ke bumi
Apogee : titik terjauh satelit ke bumi

Hukum Kepler untuk menjelaskan gerak orbit satelit bumi buatan dapat dirumuskan
sebagai berikut:
1) Orbit satelit berbentuk elips dengan bumi berada pada salah satu titik apinya.
2) Untuk selang waktu yang sama, garis hubung satelit ke pusat bumi menyapu luasan yang
sama pada bidang orbit elips.
3) Pangkat dua periode orbit satelit sebanding dengan pangkat tiga jarak rerata satelit ke
pusat bumi.
Apabila:
A12 : luasan yang disapu oleh garis hubung satelit-pusat bumi dari waktu t1 ke t2
A34 : luasan yang disapu oleh garis hubung satelit-pusat bumi dari waktu t3 ke t4
(t 2 - t 1 ) = (t 4 - t 3 )
maka : A12 sama dengan A34

Apabila:
T1 dan T2 adalah masing-masing periode orbit satelit S1 dan S2
r1 dan r2 adalah masing-masing jarak rerata satelit S1 dan S2 ke pusat bumi
maka: (T1 )2 : (r1 )3 = (T2 )2 : (r2 )3

Hukum Newton tentang gerak benda adalah sebagai berikut:


1) Tiap benda akan tetap berada dalam keadaan diam atau bergerak dengan
kecepatan tetap pada arah garis lurus sampai ada gaya yang memaksa merubah
kedudukan tersebut.
2) ̅ ̅ ̅̈ .............................................................. (IX.1)
̅ : vektor gaya yang bekerja terhadap massa m
̅̈ : vektor percepatan, diukur relatif terhadap suatu kerangka acuan inersial tertentu yang
tidak mengalami percepatan maupun perputaran.
3) Setiap aksi senantiasa ada reaksi (sama tetapi dengan arah yang berlawanan).

59
Gambar IX.2. Hukum Newton tentang gravitasi

Hukum Newton tentang gravitasi: Dua benda saling tarik-menarik dengan gaya yang
sebanding dengan hasil kali massa kedua benda dan berbanding terbalik dengan pangkat dua
jarak antara kedua benda yang bersangkutan.

̅
̅ ( ) ̅ ..................................... (IX.2)
......................................................
(IX.3)
G= konstanta gravitasi Newton, M = masa bumi, m= masa satelit
(G = 6,673 × 10−11m3kg−1s−2, GM = 3,986004418 × 1014m3s−2)

Hukum Newton tentang gravitasi ini diterapkan untuk benda-benda yang dapat dianggap sebagai
titik atau diwakili oleh titik massa.

IX.2. N-body Problem dan Two Body Problem


Yang dimaksud dengan N-body problems disini ialah penentuan persamaan gerak benda
(satelit) di dalam suatu sistem yang terdiri dari banyak (n) benda, m1 , m2 , ... , mn. Jumlah vektor
dari semua gaya yang bekerja, baik yang gravitasional maupun non-gravitasional, diperhitungkan
untuk menentukan persamaan gerak benda tersebut. Untuk satelit bumi buatan, gaya yang
berpengaruh terhadap gerak satelit meliputi:
(a) Yang bersifat gravitasional: gaya tarik bumi, bulan, matahari, dan planet.
(b) Yang bersifat non-gravitasional: gesekan atmosfer, radiasi matahari, albedo, dan
satellite thrusting.
Dengan hukum gravitasi Newton, n-body problem dapat disajikan dengan persamaan sebagai
berikut:
̅ ∑( )̅

*( )̅ ( )̅ ( )̅ +

m1= masa satelit; mj= masa bumi, bulan, matahari, planet-planet.

60
̅ ̅ ̅
Sementara itu dengan Hukum Newton ke-2 dapat diturunkan persamaan sebagai berikut:
̅ ̅
̅
̅ ̅̈ ̅̇ ̇ ̅̈ ̅
̅ ̅ ̅
̅̈

Persamaan (IX.6) di atas adalah bentuk solusi n-body problem yang dirumuskan dalam
persamaan diferensial orde-2. Suku pertama ruas kanan merupakan bagian gaya yang bersifat
gravitasional dan sisanya adalah gaya atau percepatan yang bersifat non-gravitasional. Untuk
solusi two body problem (satelit dan bumi), maka persamaan (IX.6) dapat dituliskan sebagai
berikut:

̅̈ ( )̅ ̅̈ sebagian unsur ̅ masuk ̅̈ .................................. (IX.7)


Suku pertama ruas kanan adalah gaya gravitasional yang bekerja sepanjang garis hubung antara
(pusat gayaberat) bumi - satelit. Gaya gravitasional seperti ini menganggap bumi sebagai titik
massa, yang berarti memandang bumi sebagai bola dengan masa homogen. Dengan demikian
efek penggepengan bumi tidak tercakup di dalam suku pertama namun dimasukkan dalam suku
kedua ( ̅̈ ) bersama-sama dengan gaya non-gravitasional. Persamaan gerak satelit bumi buatan
dengan anggapan tidak ada gaya luar yang berpengaruh kecuali gaya tarik bumi yang bekerja
sepanjang garis hubung antara pusat massa bumi - satelit kemudian dapat dituliskan:

̅̈ ( )̅ ............................................................ (IX.8)
Dalam uraian selanjutnya akan ditunjukkan bahwa persamaan (IX.8) adalah persamaan gerak
orbit satelit yang sesuai dengan hukum Kepler atau orbit normal.

IX.3. Pembuktian Hukum Kepler

Energi mekanik dan momen putar


Sebelum membuktikan hukum Kepler, maka lebih dulu akan diuraikan the specific mechanical
energy dan the specific angular momentum yang bersifat konstan. The specific mechanical energy
merupakan penjumlahan dari energi kinetik dan energi potensial. Sifat konstan atau conservative
energi mekanik spesifik ini dapat dibuktikan mengalikan secara “dot pruduct” persamaan (IX.8)
dengan vektor ̅.
̅̇ ̅̈ ̅̇ ( *̅

̅ ̅̇ ( * ̅ ̅̇

̇ ( * ̇ ( )

61
( )

Besaran disbut the specific mechanical energy atau energi mekanik yang terdiri dari energi
kinetik (v2/2) dan energi potensial(GM/r). Sifat konstan energi mekanik ini mengimplikasi-kan
bahwa obyek yang bergerak dibawah pengaruh gayaberat bumi (di dalam medan gayaberat bumi)
tidak berkurang atau bertambah energi mekaniknya.
Selanjutnya sifat konstan the specific angular momentum dapat dibuktikan dengan mengalikan
secara “cross product” persamaan (IX.8) dengan vektor ̅.

̅ ̅̈ ̅ ( *̅ ̅

̅ ̅ ̅
̅ ̅̈ ̅ ̅ ̅
̅ ̅ ̅
Vektor ̅ disebut the specific angular momentum atau momen putar. Sifat konstan momen putar
mengimplikasikan bahwa vektor ̅ dan ̅ senantiasa berada pada satu bidang datar yang sama.
Oleh karena itu persamaan (IX.8) dapat dikatakan sebagai persamaan gerak dua dimensional.

Pembuktian hukum Kepler-2


Untuk maksud pembuktian ini maka diperkenalkan Sistem Koordinat Bidang Orbit (SKO)
dengan pendefinisian sebagai berikut:
Origin : pusat (gayaberat) bumi (= titik api elips orbit satelit)
Sumbu-z : positif, tegak lurus bidang orbit, ke arah belahan langit utara
Sumbu-x : positif, ke arah Perigee
Sumbu-y : membentuk sistem tangan dengan sumbu-x dan sumbu-z.
y
vf
v β vy

f
S
vx vr

f
F x
P
Gambar IX.3. Vektor posisi dan kecepatan satelit dalam SKO

62
Keterangan gambar:
S : satelit; F = titik api orbit Kepler
f : anomali sejati
̅ : vektor posisi satelit ( r = | ̅ | = jarak satelit ke titik pusat massa bumi )
̅ : vektor kecepatan satelit ̅ (̅ ̅ ) (̅ ̅ )
̅ , ̅ : proyeksi ̅ masing-masing pada arah sumbu-x dan sumbu-y
̅ , ̅ : proyeksi ̅ masing-masing pada arah ̅ dan tegak lurus ̅

Komponen koordinat satelit dalam SKO (lihat Gambar IX.3):


................................................ (IX.11)
Komponen kecepatan satelit dalam SKO:
̇ ̇ ̇ ̇ ̇ ̇ ̇ ....................... (IX.12)
̅ ̅ (̅ ̅ ) (̅ ̅ ) ̅ ̅ ̅ ̅
̇ ( ̇ ̇ ) ( ̇ ̇ ) ̇ ̇

|̅| |̅ ̅| ̇ ̇

( *
Δt→0 maka r1≈r2 dan sinΔf≈Δf (rad) sehingga {(sin Δf)/Δf}≈1

( * ( *
Persamaan (IX.15) di atas membuktikan bahwa perubahan luas per satuan waktu adalah konstan
sehingga dengan demikian hukum Kepler-2 terbukti.

Pembuktian hukum Kepler-1 dan Kepler-3


Untuk pembuktian Hukum Kepler-1, maka pertama-tama persamaan (IX.8) dikalikan secara
“cross product” dengan vektor ̅ :

̅̈ ̅ ( ) (̅ ̅) ( ) (̅ ̅) .................... (i)
̅̈ ̅ ( ̅̇ ̅ ) .............................................................. (ii)

(i): ( ) (̅ ̅) ( ){ ̅ ̅ ̅}
( ) {̅ ̅ ̅ ̅ ̅ ̅ }
( ) {̅ ̅ ̇ } ( )̅ ( ) ̇̅
̅ ̇̅ ̅
= ( ) ( )
63
̅ ̅
(ii)=(i): ( ̅̇ ̅) ( ) ̅̇ ̅ ( ) ̅
̅
̅ ̅̇ ̅ ̅ ( * ̅ ̅
̅ ̅
̅ ̅̇ ̅ ( *

̅ ̅ ̅ ( )
̅ ̅

( *

( *

( )
Persamaan (IX.16) adalah persamaan irisan kerucut. Dalam persamaan tersebut, p adalah semi-
lotus rectum, e adalah eksentrisitas, dan  adalah sudut antara r dengan titik pada irisan kerucut
terdekat ke titik api (origin pada titik api). Ada empat kemungkinan bentuk irisan kerucut, yaitu
elips (0 < e <1), bola (e = 0), parabola (e =1), dan hiperbola (e >1). Apabila irisan kerucut
berbentuk elips, maka:

........................................................................ (IX.17)

Dari persamaan-persamaan (IX.16) dan (IX.17) diperoleh:

p = h 2 / GM = a (1 − e2 )
h 2 = GM a (1 − e2 ) ........................................................................ (IX.18)

Dengan integral persamaan (IX.15) diperoleh:

∫ ∫

( )
[ ]

( )

Persamaan (IX.19) menunjukkan bahwa pangkat dua periode orbit T sebanding dengan pangkat
tiga setengah sumbu panjang elips orbitnya; Makin panjang a, makin lama periode orbitnya.
Persamaan tersebut mengimplikasikan bukti hukum Kepler-3. Evaluasi di Perigee dan Apogee

64
akan memberikan rumusan harga energi mekanik spesifik E, setengah sumbu panjang (a) dan
eksentrisitas (e) elips orbit satelit. Di Perigee  = 0o dan di Apogee  = 270o sehingga dari
persamaan (IX.14) diperoleh:
h = r v ................................................................................. (IX.20)

dan dari persamaan (IX.17) dan (IX.18) diperoleh:


r = a ( 1- e2 ) ............. di Perigee ................................................. (IX.21a)
r = a ( 1+ e2 ) ............ di Apogee ................................................. (IX.21b)

Dari persamaan-persamaan (IX.9) dan (9.20) kemudian diperoleh:

= v 2 / 2 − GM/ r = h 2 / 2 r 2 −GM /r ................................................... (IX.22)

Dari persamaan-persamaan (IX.22), (IX.19), dan (IX.21a) diperoleh:

( )

( *

Substitusi persamaan (IX.23) ke persamaan (IX.18) diperoleh:

( )

( ) ( )

Dari persamaan (IX.23) dapat disimpulkan bahwa harga setengah sumbu panjang elips orbit
satelit tergantung pada energi mekanik yang ditentukan oleh r dan v pada titik-titik di sepanjang
orbitnya.
65
C. PENUTUP

Rangkuman
Hukum Newton dan Kepler merupakan teori dasar yang dapat diterapkan untuk memahami
secara umum (pendekatan) orbit satelit bumi buatan. Selanjutnya 2-body problem diterapkan
untuk mempelajari orbit satelit bumi buatan secara pendekatan dengan asumsi bumi berbentuk
bola dengan massa homogen dan tidak ada gaya yang bekerja pada satelit kecuali gaya tarik bumi
yang bekerja sepanjang garis yang menghubungkan satelit ke pusat bumi. Orbit satelit yang
demikian disebut orbit normal atau orbit kepler. Sifat-sifat orbit normal ialah energi mekanik
konstan, momentum putar konstan, dan gerak dua dimensional dengan mengikuti pola irisan
kerucut.
Orbit satelit sebenarnya dipengaruhi oleh berbagai gaya (N-body problem), dan gaya-gaya ini
diperhitungkan kemudian sebagai faktor-faktor yang mengakibatkan orbit normal mengalami
perturbasi. Dengan perkataan lain, orbit satelit secara umum mengikuti hukum Newton dan
Kepler tetapi mengalami variasi yang disebabkan oleh gaya-gaya lain selain yang ditimbulkan
oleh model bumi bola bermasa homogen. Tiga elemen orbit elips yakni setengah sumbu panjang
elips (a), eksentrisitas elips (e), dan anomali menengah (M) merupakan bagian dari enam elemen
kepler.

Latihan
1. Dari hukum Kepler manakah orang dapat berkesimpulan bahwa orbit satelit berada pada
bidang datar ?
2. Dari hukum Kepler manakah orang dapat berkesimpulan bahwa makin tinggi orbit satelit
makin panjang periode orbitnya ?
3. Dalam two-body problem (bumi sebenarnya & satelit) unsur-unsur gaya atau percepatan
apa yang diabaikan sehingga model orbit normal dirumuskan seperti persamaan (3.8) ?
4. Jelaskan bahwa energi kinetik dan potensial bervariasi (mengikuti variasi tinggi orbit)
tetapi jumlah energi mekanik konservatif.
5. Jelaskan bahwa harga setengah sumbu panjang elips orbit satelit tergantung pada energi
mekanik, dengan demikian juga energi kinetik dan potensialnya !

Catatan :
 Jawaban soal nomor 1-5 didiskusikan dalam kelas

66
BAB X

POSISI DAN KECEPATAN ORBIT SATELIT

A. PENDAHULUAN
A.1. Deskripsi Singkat
Bab X ini membahas orbit normal satelit bumi buatan yang meliputi posisi dan kecepatan orbit
satelit dalam SKO, persamaan Kepler, elemen Kepler, transformasi posisi dan kecepatan satelit
dari SKO ke SKL, dan transformasi elemen Kepler ke SKL. Pelaksanaan perkuliahan dilengkapi
dengan latihan-latihan di kelas dan/atau pekerjaan rumah.

A.2. Manfaat/Relevansi
Materi kuliah dalam Bab X ini memberikan kepada mahasiswa pemahaman terhadap gerak orbit
satelit bumi buatan dalam ruang tiga dimensional (dalam SKL) sebagaimana mereka
mengapresiasi gerak orbit benda-benda langit di angkasa. Matakuliah lain yang berkaitan dengan
Bab ini adalah Sistem dan Transformasi Koordinat (TKD2304), dan Sistem Acuan Geodesi
(TKD2402)

A.3.Learning Outcomes
Setelah menyelesaikan matakuliah Bab ini mahasiswa akan dapat menghitung vektor posisi dan
kecepatan satelit dalam SKO, SKL dan SKT.

B. PENYAJIAN

X.1. Vektor Posisi dan Kecepatan Orbit Satelit dalam SKO


Sistem Koordinat Bidang Orbit (SKO) adalah sistem koordinat kartesi dengan origin pada salah
satu titik api elips orbit satelit (geosentrik), sumbu-x positif kearah Perigee, sumbu-z tegaklurus
bidang orbit, dan sumbu-y melengkapinya menjadi sistem tangan kanan. Dalam geometri orbit
bidang datar dikenal tiga jenis anomali, yaitu anomali sejati f, anomali menengah M, dan
anomali eksentrik E (lihat Gambar X.1).

Gambar X.1. Geometri orbit keplerian


67
Pada Gambar X.1, S = satelit, F = titik api elips, O = pusat elips, P = Perigee, A = Apogee, a =
setengah sumbu panjang elips, b = setengah sumbu pendek elips, E = anomali eksentrik, dan f =
anomali sejati. Besaran anomali menengah M tidak dapat dilukiskan karena anomali ini
merupakan anomali fiktif daripada anomali f dengan anggapan satelit bergerak dengan
kecepatan sudut konstan. Apabila waktu saat satelit melintas Perigee ditandai dengan tO, maka
rumus-rumus berikut diturunkan untuk menghitung kecepatan sudut rerata n dan anomali
menengah M:

( *
Pada rumus di atas, T adalah periode orbit satelit, M adalah anomali menengah pada epoch t, dan
MO adalah anomali menegah pada epoch tO. Karena tO adalah epoch saat satelit melintas Perigee
maka MO = 0, sehingga

Hubungan antara anomali eksentrik E dengan anomali menengah M kemudian dapat dijabarkan
sebagai berikut (lihat Gambar X.1):

( )

(epok to = saat satelit melintas Perigee)


Persamaan (X.3) disebut persamaan Kepler yang digunakan untuk menghitung anomali eksentrik
dari anomali menengah M dengan cara iteratif. Selanjutnya, vektor posisi dan kecepatan satelit
dapat diturunkan dengan menggunakan besaran anomali eksentrik E atau anomali sejati f sebagai
berikut:

Vektor posisi satelit


Vektor posisi satelit dalam SKO sebagai fungsi anomali eksentrik (lihat Gambar X.1):

̅ ( ) ( +

[ ]
[ ]
68
[ ]
[ ]
[ ]

( )

Vektor posisi satelit sebagai fungsi anomali sejati (lihat Gambar X.1):

̅ ( ) ( +

Vektor kecepatan Orbit ̇ ̅


Dari rumus (X.4) dapat diturunkan komponen vektor kecepatan orbit satelit pada arah sumbu-x
dan sumbu-y sebagai berikut:
̇ ( *

̇ ( *

Vektor kecepatan orbit satelit sebagai fungsi anomali eksentrik:


̇
̅̇ ( ̇ + ( +
̇
Dari rumus (X.12) dapat dijabarkan komponen vektor kecepatan orbit satelit, pada sumbu-x dan
sumbu-y, sebagai fungsi anomali sejati sebagai berikut:
̇ ( *( * ( *

Lihat Gambar (X.1):


(

̇ ( )( *

( )( )

69
( )( )

( )( )

( )( )

( )( *
̇
̅̇ ( ̇+ ( +
̇

Enam Elemen Keplerian:


a = setengah sumbu panjang elips orbit
e = eksentrisitas elips orbit
i = inklinasi orbit
 = asensio rekta Ascending Node
 = argumen Perigee
M atau E atau f = anomali rerata atau anomali eksentrik atau anomali sejati

X.2. Vektor Posisi dan Kecepatan Orbit Satelit dalam SKL

Gambar X.2. Orientasi SKO terhadap SKL


(F = pusat massa bumi , AN = Ascending Node, dan DN = Descending Node)

Sistem Koordinat Langit (SKL) berorigin pada pusat massa bumi (geosentrik) dengan orientasi
sumbu-X positif ke arah Vernal Equinox (VE), sumbu-Z positif ke arah kutub utara langit (kutub
70
utara sesaat), dan sumbu-Y positif melengkapinya menjadi sistem tangan kanan koordinat kartesi
3D. Posisi VE di langit mengalami variasi karena fenomena precessi dan nutasi. Apabila hanya
diperhitungkan precessi saja maka diperoleh posisi VE menengah dan sistem koordinatnya
disebut Conventional Celestial Reference System (CCRS) atau SKL menengah, sedangkan
apabila diperhitungkan precessi dan nutasi, maka diperoleh posisi VE sejati dan sistem
koordinatnya disebut True Celestial Reference System (TCRS) atau SKL sejati. SKO terorientasi
terhadap SKL oleh tiga besaran, yaitu Asensio Rekta Ascending Node (), kemiringan bidang
orbit ( i ), dan argumen perigee (). Ascending Node adalah titik lintas orbit satelit pada bidang
ekuator langit dalam manuvernya dari belahan langit selatan ke belahan langit utara, sedangkan
Descending Node adalah titik lintasnya pada bidang ekuator langit dalam manuvernya dari
belahan langit utara ke belahan langit selatan.
Vektor posisi dan kecepatan orbit satelit dalam SKL dapat diperoleh dengan mentransformasikan
vektor posisi dan kecepatan orbit satelit dalam SKO sebagai berikut:

( +   ( )

̇ ̇
( ̇+   ( ̇+
̇ ̇
̇ ( ̇ ̇ ̇ ) ̇ ̇ ̇
Apabila besaran-besaran  , i , dan  mengacu pada SKL menengah, maka [ ] dan [ ̇ ]
mengacu pada SKL menegah. Demikian juga apabila besaran-besaran tersebut mengacu pada
SKL sejati, maka [ ] dan [ ̇ ] mengacu pada SKL sejati. Karena dari waktu ke waktu
baik SKL menengah maupun SKL sejati senantiasa mengalami variasai karena presesi dan nutasi
maka penerapan SKL perlu menunjuk kepada epoch tertentu.

X.3. Transformasi State Vector ke Elemen Kepler


Transformasi state vector (vektor posisi dan kecepatan orbit) ke elemen Kepler biasanya
diperlukan dalam proses hitungan pembaruan atau updating koordinat satelit. Elemen Kepler
terdiri dari enam besaran, yaitu :
a = setengah sumbu panjang elips orbit
e = eksentrisitas elips orbit
M = anomali menengah (atau anomali eksentrik E)
 = Asensio rekta Ascending Node
i = kemiringan bidang orbit terhadap bidang ekuator langit
 = argumen perigee
Dalam proses hitungan pembaruan koordinat satelit tersebut, state vector satelit epoch t
ditransformasikan ke elemen Kepler, kemudian dilakukan pembaruan elemen Kepler dari epoch t
ke epoch t + t , selanjutnya elemen Kepler epoch t + t ditransformasikan ke state vector
epoch t + t. Dalam pembaruan elemen Kepler diperhitungkan perubahan- perubahan harga
elemen Kepler karena berbagai gaya atau percepatan yang berpengaruh pada orbit satelit seperti
perlambatan oleh atmosfer, gaya tarik bumi yang dihasilkan oleh penggelembungan massa bumi
pada ekuator, radiasi matahari, dan sebagainya. Karena berbagai gaya atau percepatan tersebut

71
orbit satelit mengalami variasi yang disbut perturbasi (perturbation). Transformasi state vector
ke elemen Kepler satu persatu diuraikan sebagai berikut:

Gambar X.3. Komponen vektor h

Menghitung komponen vektor ̅ :

̅ [( ̇ ̇)( ̇ ̇) ( ̇ ̇ )]
Menghitung elemen-elemen , i, a, dan e :
 ( *

[{ } ]

( ) ( )

Selanjutnya untuk menghitung argumen perigee  dan anomali menengah M dilakukan


transformasi koordinat sebagai berikut (lihat Gambar X.3):

( +  ( +

72
 ( *

( )

Selanjutnya anomali menengah M dapat dihitung dengan menggunakan persamaan Kepler


.

C. PENUTUP

Rangkuman
Masih dalam orbit normal, vektor posisi dan kecepatan satelit dalam SKO merupakan
fungsi elemen kepler a, e, dan anomali (f, E, atau M). Sistem koordinat bidang orbit (SKO)
diorientasikan (dengan origin tetap di pusat massa bumi) terhadap sistem koordinat langit SKL
melalui tiga elemen kepler, yaitu kemiringan bidang orbit (i), asensio rekta Ascending Node (),
dan argumen perigee ().
Vektor posisi dan kecepatan satelit dalam SKL ditransformasikan dari SKO dengan
merotasikan sumbu-sumbu koordinat SKO dengan besaran-besaran elemen kepler , , dan i.
Dengan perkataan lain, vektor posisi dan kecepatan satelit dalam SKL pada suatu epoch
ditentukan oleh keenam elemen kepler pada epoch yang sesuai. Sebaliknya, vektor posisi dan
kecepatan satelit dalam SKL pada suatu epoch dapat ditransformasikan ke elemen kepler pada
epoch yang sesuai. Updating vektor posisi dan kecepatan satelit dalam SKL dilakukan dengan
cara updating elemen kepler kemudian mentransformasi kannya ke vektor posisi dan kecepatan
satelit dalam SKL.

Tes Formatif
1. Apakah yang dimaksud dengan elemen kepler dan sebutkan unsur-unsurnya !
2. Hitung harga anomali eksentrik E dan anomali sejati f pada orbit elips dengan eksentrisitas
e=0.002 untuk kedudukan anomali menengah 0o sampai 360 o dengan interval 30 o !
3. Hitung vektor posisi dan kecepatan satelit dalam SKO pada kedudukan-kedudukan satelit
yang sesuai dengan harga anomali diatas (soal no.3) bila harga setengah sumbu panjang elips
orbit a=27000 km.
4. Transformasikan vektor posisi dan kecepatan satelit dari SKO ke SKL bila diketahui
kemiringan bidang orbit 55 o, asensio rekta Ascending Node 45 o, dan argumen perigee 30 o.
5. Transformasikan vektor posisi dan kecepatan dalam SKL ke elemen kepler !
6. Hitung posisi satelit dalam SKT (saat satelit di perigee dan apogee ) bila pada epoch tersebut
diketahui GAST = 3j 30m 33s dan koordinat kutub Xp = - 0.140”, Yp = +0.329”.

Catatan :
 Jawaban soal nomor 1 didiskusikan dalam kelas
 Soal 2-6 dikerjakan mahasiswa di rumah (PR)

73
BAB XI

VISIBILITAS SATELIT

A. PENDAHULUAN

A.1. Deskripsi Singkat


Bab XI ini membahas posisi satelit dalam sistem koordinat toposentrik. Unsur-unsur pembahasan
meliputi transformasi posisi dan kecepatan satelit dari SKL ke SKT geosentrik, transformasi
posisi dan kecepatan satelit dari SKT geosentrik ke sistem koordinat toposentrik, dan visibilitas
satelit. Pelaksanaan perkuliahan dilengkapi dengan latihan-latihan di kelas dan/atau pekerjaan
rumah.

A.2. Manfaat/Relevansi
Materi kuliah Bab ini memberikan kepada mahasiswa pemahaman terhadap gerak orbit satelit
dalam SKT dan visibilitas satelit. Matakuliah lain yang berkaitan dengan Bab ini adalah Sistem
dan Transformasi Koordinat (TKD2304), Sistem Acuan Geodesi (TKD2402)

A.3. Learning Outcomes


Setelah menyelesaikan matakuliah Bab ini mahasiswa memahami konsep posisi satelit dalam
SKT dan Sistem Koordinat Topoisentrik serta dapat menghitung visibilitas satelit dalam sistem
koordinat toposentrik.

B. PENYAJIAN

XI.1. Posisi dan Kecepatan Satelit dalam SKT Geosentrik


Posisi dan kecepatan sateliat dalam SKT Geosentrik dihitung dari posisi dan kecepatan
satelit dalam SKL dengan model transformasi sebagai berikut (Gambar XI.1):

Gambar XI.1. Transformasi dari SKL ke SKT

74
( + ( +

̇ ̇
( ̇ ) ̇
( + ̇ ( +
̇ ̇

̇ ( +

;
Koordinat subsatellite point:

( ) ( *

( )
( )( )

φo diiterasikan ke persamaan:

( )

Dalam rumus di atas, ae dan ee ialah masing-masing setengah sumbu panjang dan eksentrisitas
elipsoid acuan, βS ialah lintang geosentrik, λS ialah bujur geodetik, dan φS ialah lintang geodetik

XI.2. Visibilitas Satelit


Sistem Koordinat Toposentrik merupakan sistem koordinat kartesi 3D yang berorigin
pada titik pengamat (di permukaan bumi) dan mengacu pada normal elipsoid atau garis arah
unting-unting (plumb line) di titik origin. Orientasi sumbu-sumbu sistem koordinat toposentrik
yang mengacu pada normal elipsoid didefinisikan sebagai berikut:
1. sumbu-w (sumbu ke-3) berimpit dengan normal elipsoid, positif kearah zenit.
2. sumbu-u (sumbu ke-1) positif ke arah utara geografik.
3. sumbu-v (sumbu ke-2) positif kearah timur, melengkapi sistem tangan kiri.
Definisi di atas juga diterapkan untuk sistem koordinat toposentrik yang mengacu pada garis arah
unting-unting; Perbedaan dasarnya ialah sumbu-w (sumbu ke-3) berimpit dengan garis arah
unting-unting yang melewati origin. Dengan demikian maka perbedaan (relatif) orientasi sumbu-
sumbu koordinat kartersi kedua sistem koordinat toposentrik tersebut ialah disebabkan karena
fenomena defleksi vertikal yang harganya bervariasi dari satu titik ke titik yang lain. Untuk
menghitung vektor posisi satelit dalam sistem koordinat topsentrik, maka terlebih dahulu dihitung
vektor posisi satelit relatif terhadap titik pengamatan dalam SKT yang merupakan selisih vektor
posisi satelit dengan vektor posisi titik pengamatan.
75
Vektor posisi titik pengamatan [ XA , YA , ZA ]SKT dihitung dari koordinat geodetik titik
pengamatan (A,  A, hA):

Gambar XI.2. Posisi satelit dalam sistem koordinat toposentrik


( + (  )
[ ] 

(  )

Dalam rumus di atas, NA adalah jejari kelengkungan vertikal utama di titik pengamatan yang
berkoordinat geodetik (A , A , hA ), sedangkan ae dan ee adalah masing-masing setengah
sumbu panjang dan eksentrisitas elipssoid acuan. Selanjutnya vektor posisi satelit dalam Sistem
Koordinat Toposentrik diperoleh dengan mentransformasikan selisih vektor posisi satelit dengan
vektor posisi titik pengamatan dalam SKT sebagai berikut:

( ) ( ) [( + ( +]

Visibility atau kenampakan satelit dari titik pengamatan P dapat diketahui dari azimut dan elevasi
satelit yang dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:

76
( )

( *

Apabila harga elevasi bertanda positif maka satelit berada di atas horison dan kemungkinan
dapat diamat.

C. PENUTUP

Rangkuman
Posisi satelit dalam SKT Geosentrik ditransformasikan ke posisi satelit dalam sistem koordinat
toposentrik. Dari posisi dalam sistem koordinat toposentrk diturunkan asimut dan elevasi satelit.

Tes Formatif (PR)


Hitung visibilitas satelit pada epok tX (dari data PR sebelumnya) untuk lokasi pengamatan di
Yogyakarta (datum WGS84: lintang ϕA =07o48’00” LS, bujur λA=110o22’00”BT, tinggi hA=150
meter) dan hitung subsatellite point (ϕS, λS) ! Buatlah gambar sketsa posisi satelit di bola langit
pada epok tx , tunjukkan lintasan orbit satelit dan orientasi sumbu-sumbu koordinat SKL dan
SKT serta posisi titik zenit pengamat !

Petunjuk:
 Besaran nutasi diabaikan (Δψ ≈ 0 dan Δε ≈ 0) sehingga GAST ≈ GMST (lihat rumus 4.27
dalam buku Sistem Acuan Geodetik )
 Koordinat kutub diabaikan (xp = 0 dan yp = 0)
 Data elipsoid acuan WGS: a = 6378137,0 meter, f = 298,257223563

77
BAB XII

ORBIT PERTURBASI

A. PENDAHULUAN
A.1. Deskripsi Singkat
Bab XII ini berisi bahan ajar tentang model orbit Keplerian yang mengalami perturbasi oleh
berbagai gaya atau percepatan, baik yang bersifat gravitasional (gravitasi bumi, bulan, matahari,
dan planet) maupun non gravitasional (radiasi matahari, pergeseran atmosfer). Pelaksanaan
perkuliahan dilengkapi dengan latihan-latihan di kelas dan/atau pekerjaan rumah.

A.2. Manfaat/Relevansi
Materi kuliah Bab ini memberikan kepada mahasiswa pemahaman tentang perilaku orbit satelit
bumi buatan yang sebenarnya. Matakuliah lain yang berkaitan dengan Bab ini adalah Sistem dan
Transformasi Koordinat (TKD2304), Survey GNSS (TKD3501), GNSS Terapan (TKD3616),
Geodesi Fisis(TKD3506).

A.3. Learning Outcomes


Setelah menyelesaikan matakuliah Bab ini mahasiswa akan mampu menjelaskan perilaku orbit
satelit bumi buatan sebenarnya, yaitu orbit keplerian yang mengalami perturbasi oleh berbagai
percepatan baik gravitasional maupun non gravitasional.

B. PENYAJIAN
XII. 1. Gaya Penyebab Perturbasi
Orbit normal atau Keplerian mengalami perturbasi oleh berbagai gaya atau percepatan yang dapat
di nyatakan melalui persamaan:

r̈d r̈a
satelit
r̈sp
r̈s

r̈E Matahari
r̈e r̈m

orbit Bulan

Bumi

Gambar XII.1. Percepatan penyebab perturbasi

̅̈ ( *̅ ̅̈ ̅̈ ̅̈ ̅̈ ̅̈ ̅̈ ̅̈ ̅̈

78
̅̈ ( *̅ ̅̈ ( *

Indeks: E = earth, m = moon, s = solar, e = earth tide, o = ocean tide, d = atmospheric drag, sp
= solar pressure, a = albedo

R adalah disturbing potential, meliputi semua komponen diluar central term GM/r.
GM/r sendiri menimbulkan efek orbit keplerian sebagaimana efek yang dihasilkan oleh bola
bumi dengan masa homogen. Disturbing potential R mengakibatkan orbit keplerian mengalami
perturbasi. Grad V merupakan percepatan atau gaya yang dialami oleh (satuan masa) satelit.

KZ

KX KY

O ω+f
Ω

Y
X i
AN
Gambar XII.2. Komponen percepatan perturbasi Kx, Ky, Kz

( * ( *
̅̈ ̅̈ ̅̈ ̅̈ ̅̈ ̅̈ ̅̈ ̅̈
( ̈ ̈ ̈) ( ̈ ̈ ̈) ( ̈ ̈ ̈) ( ̈ ̈ ̈) ( ̈ ̈ ̈) ( ̈ ̈ ̈)
( ̈ ̈ ̈) ( ̈ ̈ ̈)
Model disturbing potential untuk komponen anomali gravitasi bumi yang menghasilkan
percepatan ̅̈ :

(∑ ∑ ( ) )

∑∑

79
∑ ∑ 

ae : ½ sumbu panjang elipsoid acuan


a, i, e, , M, , : elemen orbit
ϑ : GAST

Faktor dominan dalam disturbing potential oleh anomali gravitasi bumi ialah efek penggepengan
bumi; Perturbasi yang ditimbulkan terutama ialah (Seeber, 1993):
1. pergeseran bidang orbit satelit (AN dan DN) ke arah Barat untuk “orbit langsung”
(orbit searah rotasi bumi) dan ke arah Timur untuk “orbit tidak langsung” (orbit
berlawanan arah rotasi bumi),
2. pergeseran titik perigee searah dengan gerak satelit untuk i<63,4o dan i>116,6o dan
berlawanan arah dengan gerak satelit utuk 63,4o < i <116,6o.

Rangkuman perturbasi oleh medan gayaberat bumi (seeber, 1993):


Elemen Sekuler Periode Periode
orbit panjang pendek
a -- -- 
e --  
i --  
   
   
M   

Model untuk komponen perturbasi yang lain:


1. Percepatan yang diakibatkan oleh gravitasi Bulan:
̅ ̅ ̅
̅̈ ( )
2. Percepatan yang diakibatkan oleh gravitasi Matahari:
̅ ̅ ̅
̅̈ ( ) )
3. Percepatan yang diakibatkan oleh pasang-surut daratan:
̅ ̅
̅̈

k2= elastisitas tubuh bumi; md: masa benda penyebab perturbasi; rd =vektor posisi
geosentrik benda penyebeb perturbasi; = sudut antara vektor posisi rd dengan vektor
posisi satelit r
4. Percepatan yang diakibatkan oleh pergeseran atmosfer (atmospheric drag):
̅̈ (̅ ̅̇ )| ̅ ̅̇ |
Cd = koefisien drag ; ρ(r,t)= densitas atmosfer di sekitar satelit; A= luasan efektif
permukaan satelit; mst= masa satelit; ̅̇ =kecepatan atmosfer di sekitar satelit
5. Percepatan yang diakibatkan oleh radiasi Matahari:
̅ ̅
̅̈
|̅ ̅ |
80
υ=fungsi bayangan (0≤ υ ≤1); Ps=konstanta matahari (flux per kecepatan cahaya);
Cr=reflektivitas permukaan satelit (aluminium, 1,95); O/m=rasio permukaan dengan masa
satelit ; AU=astronomical unit (150 juta km).

gravitasi bulan J2
km gravitasi bumi
geostasioner

GPS
104
gravitasi matahari

LAGEOS

5⋅ 103 TRANSIT atmospheric drag


permukaan bumi
10 1 10-1 10-2 10-3 10-4 10-5 10-6 10-7 m/s2

Gambar XII.3. Grafik intensitas perturbasi oleh beberapa sumber


Penyebab perturbasi yang lain: partikel-partikel bermuatan listrik dalam atmosfer, radiasi panas
yang berasal dari satelit, pemanasan pada wilayah batas bayangan bumi, interaksi
elektromagnetik dalam medan magnit bumi, dan debu antar planet

XII.2. Penentuan orbit:


Penentuan orbit dilakukan dengan menentukan elemen-elemen orbit atau parameter orbit satelit
dari data pengamatan atau data apriori yang diketahui. Penentuan orbit satelit umumnya
dilakukan dalam dua tahap, yaitu
1. Penentuan nilai awal orbit (initial orbit determination)
2. Orbit improvement
Dalam initial orbit determination dilakukan pengamatan ke satelit (di stasiun yang diketahui
koordinatnya) untuk beberapa epok guna mendapatkan data vektor posisi dan kecepatan satelit
yang daripadanya kemudian diturunkan elemen-elemen orbit keplerian dengan mengabaikan
perturbasi. Dengan nilai awal ini maka orbit keplerian ditentukan sebagai orbit acuan. Dengan
mengacu pada orbit keplerian acuan, orbit improvement dilakukan untuk menentukan orbit yang
sebenarnya (perturbed orbit). Penentuan orbit dapat dilakukan dengan metode analitik atau
numerik. Dalam metode analitik, semua gaya atau percepatan yang bekerja pada satelit
dirumuskan dalam model persamaan (dengan elemen keplerian sebagai parameter), kemudian
diintegralkan.

Ei(t) = Eio(t) + ΔEi(t) .......................................... (XII.12)

Eio(t) : Elemen keplerian rerata pada epok t


ΔEi(t): perturbasi elemen Ei pada epok t

81
Dalam metode numerik, semua gaya atau percepatan yang bekerja pada posisi atau epok tertentu
secara eksplisit dihitung kemudian digunakan sebagai kondisi awal untuk mengintegralkan secara
numerik vektor deviasi antara orbit sebenarnya dengan orbit acuan.

𝑟̅ 𝑟𝑟 𝑟𝑟̅ 𝑟
𝑟̅ 𝑟

𝑟̅ 𝑟 orbit sebenarnya
orbit acuan
O

Gambar IX. 4. Skema orbit acuan dan sebenarnya

̅̈ ( *̅ ̅̈

̅̈ ( *̅ ̅

Kondisi awal: ̅ ̅ ̅ ̅̇

̅ ̅ ̅ dan ̅̈ ̅̈ ̅̈ .............................................. (XII.16)

C. PENUTUP

Tes Formatif
1. Sebutkan percepatan penyebab perturbasi pada orbit (normal) satelit bumi buatan !
2. Jelaskan efek perturbasi pada orbit satelit bumi buatan oleh fenomena penggepengan
bumi !
3. Sebutkan elemen kepler apa yang mengalami perturbasi, baik pada periode pendek,
penjang, maupun sekuler !
4. Jelaskan, mengapa efek pergeseran atmosfer dapat diabaikan dalam penentuan orbit satelit
GPS dan satelit geostasionar ?
5. Jelaskan prosedur yang umum diterapkan dalam penentuan orbit satelit bumi buatan !

Catatan :
 Jawaban tes formatif didiskusikan di dalam kelas

82
BAB XIIII

SISTEM DAN APLIKASI GEODESI SATELIT

A. PENDAHULUAN

A.1. Deskripsi Singkat


Bab XIII ini membahas tentang sistem, teknik pengamatan dan aplikasi yang masuk dalam
kategori geodesi satelit. Sistem dan teknik pengamatan yang dibahas meliputi Satellite Laser
Ranging (SLR), Lunar Laser Ranging (LLR), Very Long Baseline Interferometry (VLBI), GPS,
DOPPLER dan Satelit Altimetri. Pembahasan dititikberatkan pada konsep dasar pengamatan dan
aplikasinya. Pelaksanaan perkuliahan dilengkapi dengan latihan-latihan di kelas dan/atau
pekerjaan rumah.

A.2. Manfaat
Setelah menyelesaikan matakuliah Bab XIII ini mahasiswa dapat menjelaskan konsep dasar
pengamatan dari sistem SLR, LLR, VLBI, GPS, DOPPLER dan Satelit Altimetri.

A.3. Relevansi
Materi kuliah Bab XIII memberikan pemahaman (apresiasi) mahasiswa mengenai berbagai
sistem dan teknik pengamatan yang ada dalam geodesi satelit. Materi dalam Bab XIII ini
berkaitan dengan materi kuliah dalam bab-bab sebelumnya. Sementara itu matakuliah lain yang
berkaitan dengan Bab XIII ini adalah Survei GNSS (TKD3501), Geodesi Fisis (TKD3506),
Penginderaan Jauh (TKD2403) dan Survei Deformasi (TKD4706).

A.4. Learning Outcomes


Setelah mengikuti materi pada Bab XIII ini mahasiswa memahami sistem dan aplikasi teknologi
yang terkait dengan geodesi satelit. Dengan memahami sistem dan aplikasi tersebut mahasiswa
akan lebih siap dalam mempelajari mata kuliah lain yang berbasis geodesi satelit.

B. PENYAJIAN
Sistem penentuan posisi dalam geodesi satelit merupakan sistem penentuan posisi yang dilakukan
dengan menggunakan bantuan obyek atau benda langit seperti bintang, planet, bulan, quasar,
ataupun satelit bumi buatan. Sistem ini biasanya memanfaatkan radiasi gelombang
elektromagnetik yang digunakan untuk mengukur jarak atau arah ke obyek di langit. Konsep
dasarnya yaitu dengan menggunakan hubungan antara vektor posisi pusat bumi ke obyek yang
diamat, pusat bumi ke stasion pengamat, dan stasion pengamat ke obyek yang diamat, seperti
tersaji pada gambar XIII.1.

83
Gambar XIII.1. Konsep Penentuan Posisi dalam Geodesi Satelit

Persamaan dasarnya adalah :


̅ ̅ ̅ .……….………….………………………………… (XIII.1)

Untuk memenuhi persamaan di atas, besaran yang mungkin dapat diukur adalah arah (direction),
jarak (ranges/pseudoranges) dan beda jarak. Jika yang diukur arah, sistem penentuan posisinya
adalah Satelit Fotografi, jika yang diukur jarak sistem penentuan posisinya sistem laser atau GPS,
sedangkan jika perbedaan jarak yang diukur sistem penentuan posisinya DOPPLER. Pada Bab
XIII akan diulas tentang penentuan posisi berbasis pengukuran jarak (ranging) dan
pembahasannya lebih ditekankan pada jarak yang diukur berdasarkan waktu rambat sinyal, fase
sinyal pembawa dan efek doppler.

Pada persamaan XIIII.1 besaran yang diukur adalah besaran jarak (magnitude) atau Rs,
sedangkan besaran yang diketahui atau dihitung adalah ̅ = (XS, YS, ZS) dan ̅ =(XP, YP, ZP).

……… (XIII.2)
……… (XIII.3)

Nilai RSP dihitung secara iteratif berdasarkan rumus XIII.4 dengan menggunakan koordinat
pendekatan pengguna (RSP0) sebagai nilai awal perhitungan.

√ ……… (XIII.4)
√ ……… (XIII.5)

Linierisasi dan persamaan koreksi setelah koreksi bias serta perhitungan dan
solusi kuadrat terkecil tersaji pada rumus XIII.6 hingga XIII.
( ) ( ) ( ) … (XIII.6)

84
( ) ( ) ( ) (XIII.7)

.………….…………….……….………………………………… (XIII.8)

( ) ( ) ( )

( ) ( ) ( )
( , …………………… (XIII.9)

(( ) ( ) ( ) )

( , ( , …………………… (XIII.10)

( , ………………………………………… (XIII.11)

Solusi kuadrat terkecil:

( , ( , ( , ( ) ……… (XIII.12)

̂ ∑ ̂ ………………………………………… (XIII.13)

XIII.1. Ranging dengan Waktu Rambat Sinyal

XIII.1.1. Satelit Laser Ranging (SLR)


SLR merupakan salah satu sistem penentuan posisi yang memanfaatkan laser untuk menentukan
jarak antara satelit dan pengamat di bumi. Sistem ini menggunakan lama waktu antara pulsa laser
yang dipancarkan oleh pengamat di bumi, kemudian diterima oleh reflektor di satelit dan
selanjutnya pulsa laser tersebut dipantulkan kembali ke stasion pengamatan di bumi. Prinsip
ranging ke satelit dijelaskan pada gambar XIII.2.

85
Sinar laser ditransmisikan ke teleskop, kemudian dipancarkan ke satelit yang telah dilengkapi
reflektor. Sinar laser yang telah dipancarkan dideteksi oleh fotodioda dan diubah menjadi arus
listrik yang digunakan untuk menghitung waktu pemancaran. Pulsa yang ditransmisikan ke satelit
dipantulkan kembali oleh reflektor satelit dan diterima kembali oleh teleskop penerima dan
selanjutnya oleh fotodioda dihentikan perhitungan interval waktunya. Besarnya jarak antara
teleskop di station pengamatan dan reflektor yang ada di satelit dirumuskan sebagai berikut :
t
d c ………………………………………………. (XIII.14)
2
d : jarak antara stasion pengamatan (teleskop) ke reflektor satelit
Δt : waktu yang dibutuhkan antara pulsa laser yang dipancarkan dan yang
diterima oleh stasion pengamatan di bumi
c : cepat rambat gelombang cahaya
Pada kenyataannya, proses pengukuran tidak sesederhana yang dijelaskan di atas, tetapi hasil
pengukuran yang diperoleh perlu koreksi refraksi, eksentrisitas satelit, eksentrisitas permukaan
bumi, kesalahan pengamatan, baik acak maupun sistematik, sehingga persamaannya menjadi :
t
d  c  d o  d s  d b  d r   ………………………… (XIII.15)
2
d o : koreksi eksentrisitas di permukaan bumi

86
d s : koreksi eksentrisitas satelit

d b : delai sinyal sistem permukaan bumi

d r : koreksi refraksi
 : kesalahan pengamatan (acak dan sistematik)
Jarak sebenarnya antara stasion pengamatan dan satelit merupakan fungsi koordinat antara
stasion pengamatan dan satelit sebagai berikut :

 
1
d   X S  X P   YS  YP   Z S  Z P 
2 2 2 2
…………………… (XIII.16)
Dengan mensubstitusikan persamaan …. Ke dalam persamaan ….., maka persamaan
pengamatannya adalah :

 
 X S  X P 2  YS  YP 2  Z S  Z P 2 2  t  c  d o  d s  d b  d r   (XIII.17)
1

2
Dari persamaan di atas terdapat 3 parameter yaitu  X P , YP , Z P  , sehingga diperlukan minimal 3
pengamatan jarak. Jika dilakukan lebih dari 3 maka penyelesainnya dengan menggunakan
perataan.

XIII.1.2. Lunar Laser Ranging (LLR)


LLR merupakan teknik laser ranging yang memungkinkan untuk menentukan jarak antara
bumi dan bulan secara teliti. Teknik ini dikembangkan oleh Amerika Serikat sejak tahun 1969.
Pada prinsipnya, LLR sama dengan SLR, perbedaannya adalah obyek yang diamat. Pada SLR
yang diamat adalah satelit buatan yang mengorbit mengelilingi bumi, sedangkan LLR yang
diamat adalah reflektor yang ditempatkan di bulan. Prinsip ranging dari stasion pengamatan yang
berada di permukaan bumi ke reflektor yang di tempatkan di bulan dilakukan dengan
memancarkan sinar laser (sinyal) dari stasion di bumi ke reflektor di bulan, kemudian oleh
reflektor dipantulkan kembali dan diterima oleh stasion pengamatan di bumi. Besarnya jarak
dapat dihitung dengan mengukur waktu tempuh sinyal mulai dipancarkan sampai diterima
kembali oleh stasion pengamatan di bumi. Geometri pengamatan LLR dapat dilihat pada gambar
XIII.3.

87
Gambar XIII.3. Geometri Pengamatan LLR [Seeber, 1993]

Besarnya jarak tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut :


rO  mR   …………………………….………………………….. (XIII.18)

1
  c  t …………………………….……………………….. (XIII.19)
2

 
1
rO   X O  X P   YO  YP   Z O  Z P 
2 2 2 2
…………………… (XIII.20)

 
1
mR   X O  X B   YO  YB   Z O  Z B 
2 2 2 2
…………………… (XIII.21)

 : besarnya jarak yang diukur dari stasion di bumi ke reflektor di bulan


c : cepat rambat gelombang cahaya
t : lama waktu sinyal mulai dipancarkan dan diterima kembali oleh stasion
pengamatan.

Dalam kondisi yang sebenarnya, persamaan (XIII.19) dipengaruhi oleh refraksi atmosfer,
ionosfer pasang surut bumi, aberasi, efek relatifistik, precesi, nutasi, gerakan kutub dan fenomena
lainnya, sehingga persamaannya menjadi
1
rO  mR  c  t   trop   ion   abr  koreksilain  noise ………….….…. (XIII.22)
2
atau
X  X 
1 1
 X P   YO  YP   Z O  Z P    X B   YO  YB   Z O  Z B 
2 2 2 2 2 2 2 2
O O =
1
c  t   trop   ion   abr  koreksilain  noise ………………..…..... (XIII.23)
2

Dalam persamaan (XIII.23) koordinat stasion pengamat  X P , YP , Z P  merupakan parameter,


sedangkan posisi reflektor  X B , YB , Z B  dapat digunakan sebagai parameter maupun besaran
yang sudah terdefinisi, oleh karena itu sangat bermanfaat untuk studi bulan. Posisi bulan dapat
88
diketahui dari Astronomical Almanac atau didapat secara bersama-sama dengan koordinat stasion
pengamatan jika posisi bulan dijadikan sebagi parameter dalam perhitungan. Mengingat
persamaan (XIII.23) dalam sistem koordinat barisentrik, maka koordinat yang dihasilkan juga
dalam sistem koordinat barisentrik. Untuk mendapatkan koordinat stasion pengamatan dalam
sistem koordinat terestris maka perlu dilakukan transformasi ke sistem terestris yaitu dengan
melibatkan koreksi-koreksi precesi, nutasi, gerakan kutub dan rotasi bumi.

5.1.3. Very Long Baseline Interverometry (VLBI)


Teknik VLBI dikembangkan di dalam radio astronomi dengan frekuensi 0,5 – 22 GHz (75 cm –
1,3 cm) yang disebut sebagai radio window dari atmosfer terestrial. Obyek yang diamat dalam
teknik ini adalah sumber gelombang radio ekstragalaktik yang terletak sangat jauh yaitu melebihi
4 milyar tahun cahaya dari bumi. Sumber gelombang radio ekstragalaktik ini disebut Quasar.
Menginat jaraknya yang sangat jauh, maka letak atau posisi Quasar seolah-olah berada
ditakterhingga, sehingga sumber sinyal yang mencapai permukaan bumi dapat dianggap sejajar.
Hubungan geometri dan prinsip VLBI dijelaskan pada gambar XIII.4

Sinyal-sinyal yang dipancarkan dari sumber radio (S) akan diterima oleh stasion-stasion
dipermukaan bumi (1, 2) pada waktu yang berbeda-beda sehingga ada selisih waktu antara
stasion yang satu dengan stasion yang lain. Hal ini disebabkan karena jarak stasion yang satu
dengan yang lainnya berbeda-beda terhadap sumber radio (S) . Selisih beda waktu kemudian
dikonversikan ke unit panjang.

S
sumber Z

radio
S

τt
2
b
r2
1 r1

λ1 λ2

ekuator Y
X
Gambar XIII.4. Hubungan Geometri dan Prinsip Dasar VLBI
VLBI

Persamaan pengamatan dasarnya adalah

89
1
 t    b  S t    abrt    atmt    instrt  …………………………... (XIII.24)
c
Dengan  abrt  adalah koreksi aberasi diurnal yang dirumuskan sebagai berikut :

 abrt   
1
r2  S  t  …………………………………………... (XIII.25)
c
dan  instrt  adalah koreksi untuk bias dan drift dari jam stasion pengamatan.

 instrt   a1  a2 t ……………………………….………….………….. (XIII.26)

Sedangkan  atmt  adalah koreksi refraksi troposfer. Koreksi ini dimodelkan sesuai keadaan.
Perkalian dot b  S t  dari persamaan (XIII.24) dapat ditulis dalam fungsi vektor basis yang
mengacu pada sistem koordinat terestrial sebagai berikut :

b  S t   bX cos  S cosh S  bY cos  S sinh S  bZ sin  S ………….…… (XIII.27)

dalam hal ini :


bX , bY , bZ : komponen-komponen vektor basis
 S , S : koordinat sumber radio (S) dalam sistem koordinat asensiorekta
hS  GST   S : sudut waktu sumber radio S
sehingga persamaan (XIII.24) dapat ditulis sebagai berikut :

 t   
1
bX cos  S cosh S  bY cos  S sinh S  bZ sin  S    abrt    atmt    instrt  (XIII.28)
c
Menurut persamaan diatas, ada 5 parameter yaitu 3 komponen vektor basis dan 2 koordinat untuk
setiap sumber radio. Dengan melakukan pengamatan minimal 5 kali maka parameter-parameter
tersebut dapat dihitung.
Prinsip penentuan posisi VLBI ini biasanya digunakan untuk penentuan posisi secara relatif. Jika
posisi salah satu stasion diketahui serta fix terhadap sistem koordinat terestrial, maka posisi
stasion yang lain dapat diketahui posisinya setelah diketahui besarnya vektor basis antara kedua
stasion tersebut. Persamaan matematiknya adalah :

 X 2   X 1  b X 
 Y    Y   b  ………………………….……….………. (XIII.29)
 2  1  Y
 Z 2   Z 1   bZ 

XIII.1.4. Global Positioning System (GPS)


GPS merupakan sistem radio navigasi satelit yang dikembangkan oleh Departemen Pertahanan
Amerika Serikat untuk keperluan navigasi global segala cuaca dimuka bumi pada sembarang
waktu. Prinsip dasar dari penentuan posisi dengan GPS adalah dengan mengukur jarak dari
stasion pengamat ke satelit. Ada 2 data yang digunakan untuk mendapatkan jarak dari stasion ke
satelit yaitu waktu rambat sinyal yang digunakan untuk mendapatkan pseudorange dan fase
90
gelombang pembawa. Sub bab ibi akan menjelaskan konsep dasar penentuan posisi GPS dengan
menggunakan waktu rambat sinyal. Pseudorange adalah jarak hasil hitungan oleh receiver GPS
dari data ukuran waktu rambat sinyal dari satelit ke receiver. Waktu rambat sinyal ini diukur
dengan teknik korelasi kode C/A dan P. Istilah pseudo diberikan karena jarak tersebut masih
mengandung kesalahan akibat bias antara jam receiver dan jam satelit. Besarnya pseudorange
dapat dirumuskan sebagai berikut :

R '  c  t ……………………………………………….………. (XIII.30)


c : kecepatan cahaya
t : lama waktu antara sinyal yang dipancarkan satelit ke receiver
R' : pseudorange
Apabila pseudorange terukur adalah R ' , maka jarak dari receiver ke satelit adalah :
R *  R '  R …………………………………….……….. (XIII.31)
R : koreksi jarak karena bias antara jam receiver dengan jam satelit
Jarak R * ini sebenarnya masih mengandung kesalahan karena refraksi ionosfer, troposfer,
kesalahan orbit, multipath dan noise-noise lainnya. Sehingga apabila diperhitungkan, maka jarak
dari receiver ke satelit adalah :

 
R  R '  Rion  Rtrop  multipath  noise  R …………………… (XIII.32)

Dengan mengganti R dalam fungsi posisi maka persamaan (5.17) dapat ditulis menjadi :

X   R  R 
1
 X S   YP  YS   Z P  Z S   Rtrop  multipath  noise  R (XIII.33)
2 2 2 2 '
P ion

Dalam persamaan (XIII.33) terdapat 4 parameter, yaitu 3 komponen koordinat stasion pengamat
 X P , YP , Z P  dan satu parameter koreksi jarak karena adanya bias jam satelit dengan jam receiver
R . Dengan menggunakan minimal 4 data pseudorange dan data efemeris ke-4 satelit yang diamati
maka dapat dihitung parameter-parameter tersebut.

XIII.2.Ranging dengan Fase Sinyal


Salah satu sistem ranging yang menggunakan data fase sinyal adalah GPS. Ada 3 macam cara
pengamatan GPS dalam penentuan posisi yaitu pseudorange, carrier beat phase dan integrasi
dopler. Teknik Pseudorange dengan mengamati kode C/A maupun kode P yang dipancarkan
satelit GPS guna menentukan jarak antara satelit dan receiver. Metode pseudorange secara umum
digunakan untuk navigasi, sedangkan penentuan posisi teliti cenderung digunakan teknik Carrier
beat phase (Leick,1990). Sebelum dilaksanakan hitungan penentuan posisi dengan metode
Relative Positioning, apabila stasiun awal belum diketahui maka stasiun awal ini dapat dilakukan
pengamatan awal dengan Pseudorange.
Besaran yang dapat diukur (observables) pada sinyal yang dipancarakan oleh satelit GPS adalah
pseudo range, fase gelombang pembawa L1 dan L2, fase gelombang transisi P-Codes, dan
doppler sift. Dengan demikian suatu tipe receiver GPS tentu dirancang untuk mengukur
91
sekurang-kurangnya satu dari observables tersebut. Tiap besaran observables tersebut dapat
dikaitkan secara fungsional dengan koordinat satelit dan receiver, serta besaran-besaran tetap dan
variable yang lain seperti refraksi ionosfer dan troposfer, variasi frekuensi oscilator. Hubungan
fungsional besaran-besaran tersebut dapat diformulasikan ke dalam bentuk model matematik.
Bertolak dari model matematik ini kemudian disusun software penyelesaian kuadrat terkecil
untuk data ukuran yang dikumpulkan guna mendapatkan solusi parameter posisi receiver.
Software kuadrat terkecil ini merupakan bagian dari keseluruhan software receiver GPS yang
dirancang untuk dapat beroperasi secara real-time positining.

Carrier phase diperoleh dengan cara pengurangan antara sinyal pembawa yang dibangkitkan oleh
receiver pada saat penerimaan sinyal, dan sinyal pembawa yang dibangkitkan oleh satelit pada
waktu pemancaran sinyal. Hanya fase pembawa yang tidak penuh yang dapat diukur ketika sinyal
satelit diterima, jumlah integer gelombang penuh N tidak diketahui. N disebut ambiguitas fase.
Berbagai macam algoritma ditentukan nilai ambiguitas fase sehingga dapat diketahui jarak antara
receiver dengan satelit. Penentuan jarak dengan carrier beat phase lebih teliti dari pada
pseudorange. Jika jarak antara receiver ke satelit telah diketahui, kemudian dengan suatu
algoritma dihitung posisi receiver.

Carrier phase merupakan suatu metode dengan prinsip pembedaan fase antara vektor posisi
satelit ke titik pengamat yang merupakan fungsi dari perbedaan fase sinyal sejak dipancarkan
oleh satelit hingga diterima oleh receiver. Metode ini juga dikenal dengan metode interferometri.
Receiver-receiver GPS yang melakukan pengamatan dengan menggunakan metode carrier beat
phase memiliki suatu mekanisme yang dapat menghilangkan modulasi-modulasi kode dan pesan
dari sinyal yang diterima. Bila fase dari gelombang pembawa (L1 dan L2) yang diterima oleh
receiver dikurangi (diselisihkan) dengan fase dari sinyal-sinyal yang dibentuk oleh osilator
receiver tersebut, maka akan diperoleh fase beat dari gelombang pembawa.

Persamaan pengamatan carrier phase (Teunissen, 1996) :


   
ik (t )  f 0  ik  d i (t )  dt k (t   ik )  i (t 0 )   k (t 0 )  N ik   ik ……. (XIII.34)
dalam hal ini :
kI : pengurangan antara I dan k.
I : sinyal pembawa yang dibangkitkan oleh receiver saat waktu penerimaan.
k : sinyal pembawa yang dibangkitkan oleh satelit saat pemancaran.
f0 : frekuensi sinyal.
ii : waktu perambatan sinyal.
d : waktu tunda.
N : ambiguitas fase pembawa.
ik : kesalahan pengukuran carrier phase
Untuk mengubah persamaan ini menjadi unit jarak, selanjutnya dikalikan dengan panjang
gelombang sinyal pembawa, menghasilkan :

 ik (t )  c. ik  c.[dt i (t )  dt k (t   ik )]  .[i (t 0 )   k (t 0 )]  N ik   ik …(XIII.35)


dalam hal ini :
λ : panjang gelombang sinyal pembawa.
92
c : kecepatan perambatan sinyal.
Model matematik untuk pengukuran dengan carrier phase juga dapat ditulis dengan persamaan
(Wellenhof, dkk,1992) :
1
Qi j (t )   ij (t )  N i j  f j  i j (t ) ……………………………………… (XIII.36)

Disini, Qi j (t ) adalah data pengukuran carrier phase dalam cycle,  adalah panjang gelombang,
 ij (t ) adalah jarak geometri antara satelit dengan titik pengamatan, ambiguitas fase yang tidak
bergantung pada waktu N i j (t ) adalah bulat, dan oleh karena itu, sering kali disebut ambiguitas
bulat atau integer yang belum diketahui, f j adalah frekuensi sinyal satelit dalam cycle per detik,
dan  i j (t ) adalah selisih antara bias jam satelit dengan bias jam receiver.

Jarak geometri antara satelit dengan receiver  ij (t ) dapat dihitung dengan persamaan berikut
 ij (t )  ( X j (t )  X i ) 2  (Y j (t )  Yi ) 2  (Z j (t )  Z i ) 2 …………..….. (XIII.37)

X j (t ), Y j (t ), Z j (t ) adalah komponen dari vektor posisi geosentrik satelit untuk epok t, X i , Yi , Z i


adalah tiga parameter koordinat ECEF (Earth-Centered-Earth-Fixed) dari titik pengamatan.

XIII.3. Ranging dengan Efek doppler


Sistem penentuan posisi dengan Doppler dikembangkan oleh Departemen Pertahanan Amerika
Serikat. Pada awalnya, Doppler dibuat untuk tujuan militer, tetapi sejak tahun 1967 sudah
digunakan untuk kepentungan sipil. Sistem ini sering disebut dengan sistem TRANSIT. Prinsip
dasar dari sistem ini adalah memanfaatkan perbedaan antara frekuensi radiasi yang diterima pada
titik dan frekuensi radiasi pada sumbernya. Efek Doppler atau persamaan Doppler ini untuk
sebuah panjang gelombang dapat ditulis sebagai berikut :
v
1  cos 
fr c
 ……………………………………………… (XIII.38)
fs  v2 
1  2 
 c 
fr : frekuensi yang diterima pengamat
fs : frekuensi yang dikirimkan satelit
c : kecepatan cahaya
v : kecepatan satelit
θ : sudut antara vektor kecepatan satelit dan garis penglihatan pengamat
Kecepatan relatifnya adalah :
dr
r  v cos  …………………………………….……….………. (XIII.39)
dt
menggunakan persamaan (XIII.38) didapat :

93
 r  v2 v4 
f r  f s 1  1  2  2      ………………………..……….…… (XIII.40)
 c  2c 8c 
karena besarnya kecepatan satelit v jauh lebih kecil dibanding kecepatan cahaya c (v<<<c), maka
persamaan (XIII.40) menjadi :
 1 dr 
f r  f s 1   …………………………………………………… (XIII.41)
 c dt 
Didalam praktek, perubahan perbedaan antara frekuensi yang diterima f r dan frekuensi acuan
f g di dalam receiver diukur selama interval waktu yang diberikan, sebab besarnya frekuensi
tidak dapat diukur secara langsung.

f  f r dT
Tk
N jk  g ………………………….………………… (XIII.42)
Tj

fg : frekuensi acuan stabil yang diturunkan didalam receiver


fr : frekuensi yang diterima
Tk, Tj : tanda waktu untuk mulai dan mengakhiri perhitungan
N jk : perhitungan Doppler yang digabungkan antara Tj dan Tk

rij rij
Jika T j  t j  dan Tk  t k  maka persamaan (XIII.42) menjadi :
c c
rik
tk 

f  f r dT
c
N jk  g ……………………….…………………... (XIII.43)
rij
tj
c

Konsep pemakaian efek Doppler untuk penentuan posisi dapat dijelaskan pada Gambar XIII.5.

Sj(X,Y,Z)j

Z
rij
Sk(X,Y,Z)k
rik
Pj(X,Y,Z)i

ri
Zi
0 Y

Xi

Yi
X
Gambar XIII.5. Konsep Penentuan Posisi dengan Doppler
94
Besarnya putaran atau lintasan antara tanda waktu Tj dan Tk sama dengan besarnya putaran tj
dan tk sehingga :
rik
tk 
tk c

 f dt   f dt
tj
s
rij
r ………………………….…………………………. (XIII.44)
tj
c

Dengan mensubstitusikan persamaan (XIII.44) ke persamaan (XIII.43) maka :

N jk   f g  f s t k  t j   r  rij  ……………….……………….…. (XIII.45)


fg
ik
c
Dengan menulis persamaan (XIII.45) dalam bentuk posisi atau koordinat maka dapat diperoleh
persamaan koordinat.

N jk   f g  f s t k  t j  
fg 
         2 2
1 1

 k i
X  X 2
 Yk  Yi 2
 Z k  Z i 2 2
 X j  X i
2
 Y j  Yi
2
 Z j  Z i  (XIII.46)
c  
dalam hal ini :

 
1
rik2   X k  X i   Yk  Yi   Z k  Zi 
2 2 2 2


rij2  X j  X i   Y j  Yi   Z j  Zi  
1
2 2 2 2

Dari persamaan (XIII.46) terlihat bahwa hanya ada 4 parameter yaitu koordinat stasion
pengamatan  X i , Yi , Zi  dan perbedaan frekuensi  f g  f s  . Dengan menggunakan penyelesaian

secara kuadrat terkecil maka koordinat stasion pengamatan dapat diketahui.

XIII.4 Aplikasi dalam Geodesi, Geofisika dan Geomatika


Aplikasi sistem penentuan posisi ekstra terestrial mempunyai manfaat yang sangat luas yaitu
dapat digunakan untuk studi ilmiah maupun praktis. Di bidang geodesi, permasalahan yang
mendasar seperti :
1. penentuan posisi 3-dimensi yang teliti secara global, regional, maupun lokal
2. penentuan medan gayaberat bumi dan fungsi-fungsi linearnya (seperti geoid yang teliti)
dalam skala global, regional maupun lokal, dan
3. pengukuran dan pemodelan dari fenomena geodinamika, seperti pergerakan kutub, rotasi
bumi, dan deformasi kerak bumi
dapat diselesaikan.

C. PENUTUP

95
Rangkuman

Sistem penentuan posisi dalam geodesi satelit merupakan sistem penentuan posisi yang dilakukan
dengan menggunakan bantuan obyek atau benda langit seperti bintang, planet, bulan, quasar,
ataupun satelit bumi buatan. Sistem ini biasanya memanfaatkan radiasi gelombang
elektromagnetik yang digunakan untuk mengukur jarak atau arah ke obyek di langit. Konsep
dasarnya yaitu dengan menggunakan hubungan antara vektor posisi pusat bumi ke obyek yang
diamat, pusat bumi ke stasion pengamat, dan stasion pengamat ke obyek yang diamat.

Jarak (ranging) yang diukur dari satelit sampai ke pengamat dapat dilakukan dengan beberapa
cara antara lain ranging dengan Waktu Rambat Sinyal, Satelit Laser Ranging (SLR), Lunar
Laser Ranging (LLR), Very Long Base Line (VLBI), Global Positioning (GPS), dan Ranging
dengan efek Doppler

Tes Formatif

1). Apakah yang dimaksud dengan ranging


2). Bagaimanakah cara mendapatkan ranging dengan metode SLR, LLR, VLBI, GPS dan efek
Doppler
3). Jelaskan cara memperoleh ranging dengan menggunakan metode pseudo range, fase sinyal
dan efek Doppler
4). Jelaskan prinsip perbedaan antara penentuan ranging dengan metode pseudo range dan fase
sinyal
5). Jelaskan prinsip perbedaan antara penentuan ranging metode fase sinyal dan efek Doppler

Catatan :
 Jawaban soal nomor 1-5 didiskusikan dalam kelas

96

Anda mungkin juga menyukai