FAKULTAS TEKNIK
JURUSAN TEKNIK GEODESI
Jl. Grafika 2, Kampus UGM, Yogyakarta, Tel/Fax. 0274-520226
RKPM
(Rencana Kegiatan Pembelajaran Mingguan)
GEODESI SATELIT
Semester Genap/3 SKS/TKGD 2405
Oleh:
Ir.Djawahir, M.Sc.
Bilal Ma’ruf, ST, MT.
Dedi Atunggal, ST, M.Sc.
Nopember 2013
BAB I
SISTEM TATASURYA
A. PENDAHULUAN
A.2. Manfaat/Relevansi
Materi Bab I ini memberikan pemahaman mahasiswa tentang keluasan alam semesta, susunan
benda-benda langit dalam alam semesta, dan orbit benda-benda langit terutama dalam sistem
tatasurya matahari sehingga berkembanglah apresiasi mahasiswa terhadap hukum-hukum gerak
benda langit yang dirumuskan dalam teori ilmiah, seperti hukum gravitasi Newton dan teori
Kepler. Secara substansial, materi dalam Bab I ini berkaitan dengan seluruh materi kuliah dalam
bab-bab selanjutnya. Sementara itu matakuliah lain yang berkaitan dengan Bab I ini terutama
ialah Sistem Acuan Geodesi (TGD2402).
B. PENYAJIAN
1
partikel embrio alam semesta yang menyebar menjauh satu sama lain. Menurut teori ini, sebelum
peristiwa bigbang tidak ada ruang. Pertanyaannya, apa atau siapakah yang menjadi penyebab
singularitas? Apakah kekuatan yang ada di luar singularitas? Tuhan? Sampai saat ini ilmu
pengetahuan nampaknya tidak mampu menemukan jawabannya karena memang diluar
jangkaunnya.
Ada beberapa spekulasi tentang teori atau model alam semesta pada fase awal setelah
peristiwa bigbang. Salah satunya secara umum menggambarkan bahwa segera setelah ledakan,
alam semesta mengembang dengan cepat, terisi secara homogen dan isotropik oleh energi
berkerapatan tinggi. Pada 10-43 sekon setelah bigbang (epok Planck) suhu mulai turun dan
partikel-partikel materi dan antimateri mulai terbentuk. Kira-kira 10-37 sekon setelah bigbang,
alam semesta memasuki fase transisi yang berlangsung dalam waktu yang sangat singkat. Dalam
fase ini alam semesta menjalani suatu proses yang disebut cosmic inflation yaitu mengembang
cepat secara eksponensial, dalam bentang waktu kurang dari 1/1000 sekon mengembang dua kali
lipat sebanyak seratus kali. Pada akhir cosmic inflation alam semesta berwujud plasma partikel-
partikel quark dan gluon, disamping partikel-partikel lain. Pada saat tersebut suhu alam semesta
masih sangat tinggi, pasangan partikel-antipartikel terus-menerus terbentuk, saling bertumbukan
dan saling memusnahkan.
Pada 10-32 sekon setelah bigbang suhu alam semesta turun sampai 1027 oK. Alam semesta
terus mengembang dan mendingin dengan cepat. Ketika suhu turun sampai 1013 oK pada 10-6
sekon setelah bigbang, quark dan gluon bergabung membentuk partikel-partikel baryon, yang
meliputi proton, neutron, dan elektron. Kelebihan jumlah quark terhadap antiquark menghasilkan
jumlah partikel baryon lebih banyak daripada partikel antibaryon. Ketika suhu alam semesta
turun sampai titik tertentu, pasangan partikel baryon-antibaryon tidak lagi terbentuk sehingga
setelah proses saling memusnahkan antara partikel dan antipartikel yang tinggal hanyalah partikel
tanpa antipartikel. Pada akhir fase ini alam semesta didominasi oleh partikel-partikel proton dan
neutron disamping partikel-partikel lepton yang meliputi elektron, neutrino, dan foton.
Satu sekon setelah bigbang suhu alam semesta turun sampai sekitar 1010 oK. Alam
semesta berisi plasma yang terdiri dari pertikel-partikel foton, elektron, neutrino, proton, dan
neutron. Ketika suhu turun sampai 109 oK, kira-kira 100 sekon setelah bigbang, alam semesta
2
memasuki proses nukleusintesis yang dimulai dengan reaksi penggabungan proton dengan
neutron yang menghasilkan isotop hidrogen deuterium H-2 (satu proton dan satu neutro). Proses
pembentukan deuterium ini berlangsung secara tiba-tiba dan dalam skala besar. Segera setelah
tebentuk, deuterium mengikat proton dan neutron yang lain sehingga terbentuk inti helium He-4
(dua proton dan dua neutron) dan sejumlah kecil tritium H-3 (satu proton dan dua neutron).
Selanjutnya satu tritium bergabung dengan dua deuterium membentuk inti lithium Li-7. Hampir
semua neutron di alam semesta bereaksi membentuk inti helium, sementara proton masih tersisa
sangat banyak karena jumlahnya (lipat tujuh) lebih banyak daripada neutron. Setelah suhu turun
sampai titik tertentu, proton-proton bereaksi dengan elektron membentuk hidrogen H-1 (satu
proton dan satu elektron). Nukleusintesis bigbang berlangsung hanya sekitar tiga menit, mulai
dari sekon ke-100 sampai sekon ke-300 setelah bigbang, menghasilkan sekitar 75% hidrogen,
sekitar 25% helium, sekitar 0,01% deuterium, dan sedikit lithium, tanpa elemen yang lebih berat
daripada lithium.
Alam semesta terus mengembang dan setelah lewat 300 tahun sejak peristiwa bigbang,
suhu turun sampai 10.000oK. Ketika umurnya mencapai sekitar 400.000 tahun, suhu turun
sampai sekitar 3.000oK. Pada suhu ini elektron-elektron mulai bergabung dengan inti helium dan
inti-inti lainnya, membentuk atom netral. Proses bergabungnya elektron dengn inti atom ini
disebut recombination. Sementara itu partikel-partikel foton (radiasi) tidak lagi berinteraksi
dengan materi sehingga mereka berada bebas di alam semesta dan menghasilkan cahaya yang
mengakibatkan alam semesta menjadi transparan. Proses terbebasnya foton dari materi ini disebut
decoupling. Sejak saat tersebut radiasi menyebar di seantero alam semesta, makin lama makin
lemah karena jumlah foton yang sama mengisi ruang alam semesta yang semakin mengembang.
Radiasi ini dikenal sebagai radiasi gelombang kosmis yang kemudian disebut Cosmic
Background Microwave Radiation disingkat CBMR atau Cosmic Background Radiation
disingkat CBR.
Susunan benda-benda langit, mulai dari yang terdekat ke Matahari, berturut-turut ialah
Merkurius, Venus, Bumi(+ satu satelit), Mars (+ dua satelit), Sabuk asteroid, Jupiter (+ 63
satelit), Saturnus (+ 60 satelit), Uranus (+ 27 satelit), Neptunus (+13 satelit), Sabuk Kuiper. Di
luar Sabuk Kuiper masih terdapat benda-benda langit yang terhimpun dalam Scattered Disk dan
Awan Oort. Data lebih rinci tentang orbit delapan planet dan lima planet katai disajikan dalam
Tabel-1. Menurut hukum Kepler, benda-benda langit tersebut bergerak mengelilingi matahari
dalam lintasan berbentuk elips dengan matahari berada pada salah atu titik apinya. Demikian pula
satelit atau bulan, mereka bergerak mengelilingi planet induknya dalam lintasan berbentuk elips
dengan planet induk berada pada salah satu titik apinya.
5
Tabel 1. Data orbit planet
(Sumber: http://www.solarviews.com/eng/dan http://en.wikipedia.org/wiki/Planet
Jejari
Periode Inklinasi Periode
Nama Diameter Masa orbit Jumlah
rotasi orbit [a] orbit
(Bumi) (Bumi) [b] satelit
(hari) (derajat) (tahun)
(AU)
Matahari 109 322,8 25 - 36 -- -- -- --
Merkurius 0,382 0,06 58,64 7,005 0,39 0,24 --
Venus 0,949 0,82 243,02 3,395 0,72 0,62 --
Bumi 1,00 1,00 1,00 0,000 1,00 1,00 1
Mars 0,532 0,11 1,03 1,850 1,52 1,88 2
Jupiter 11,209 317,8 0,41 1,305 5,20 11,86 63
Saturnus 9,449 95,2 0,43 2,485 9,54 29,46 60
Uranus 4,007 14,6 0,72 0,773 19,22 84,01 27
Neptunus 3,883 17,2 0,67 1,768 30,06 164,8 13
Ceres 0,08 0,0002 0,38 10,585 2,5 –3,0 4,60 --
Pluto 0.19 0,0022 6,39 17,142 29,7– 248,09 3
49,3
Haumea 0,059 0,0007 0,16 28.22 35,2– 285,38 2
51,5
Makemake ~ 0,12 0,0007 ? 28,96 38,5– 309,88 --
53,1
Eris 0,19 0,0025 ~ 0,3 44,187 37,8– ~ 557 1
97,6
[a] Kemiringan (bidang) orbit terhadap (bidang) ekliptika,
[b] Jarak rerata ke pusat Matahari (Merkurius s/d Neptunus) atau kisaran jarak ke pusat
Matahari (Ceres s/d Eris); AU (Astronomical Unit) = 150.000.000 km
C. PENUTUP
Tes Formatif
1. Jelaskan yang dimaksud dengan kondisi singularitas sesaat sebelum peristiwa Bigbang !
2. Apakah yang mebedakan antara Bigbang dengan ledakan bom biasa ?
3. Menyusul Bigbang, proses apakah yang berturut-turut terjadi dalam alam semesta pada
sekon ke 10-43, sekon ke 10-37, sekon ke 10-32, sekon ke 10-6 , sekon ke 1, dari sekon ke
100 sampai ke 300, dan setelah lewat 300 tahun !
4. Sebutkan fakta empiris yang dipandang mendukung teori Bigbang !
5. Jelaskan proses terbentuknya galaksi dan apakah yang disebut Quasars ?
6. Apabila satu AU=150.000.000 km, maka berapa AU luasan (diameter) alam semesta ?
7. Jelaskan proses terbentuknya bintang !
6
8. Uraikan struktur benda-benda langit di dalam keluarga matahari kita, mulai dari yang
terdekat ke matahari sampai yang terjauh dari matahari !
9. Jelaskan tentang geometri orbit satelit mengelilingi planet menurut hukum Kepler !
Catatan :
Jawaban soal nomor 1-9 didiskusikan dalam kelas
7
BAB II
BOLA LANGIT DAN SISTEM KOORDINAT LANGIT
A. PENDAHULUAN
A.2. Manfaat/Relevansi
Materi Bab II ini memberikan pemahaman mahasiswa tentang kosep bola langit dan berbagai
sistem koordinat langit yang umum diterapkan untuk merekonstruksi dan menghitung posisi
benda-benda langit. Matakuliah lain yang berkaitan dengan Bab II ini terutama ialah Sistem dan
Transfomasi Koordinat (TGD2304), Sistem Acuan Geodesi (TGD2402), dan Survey GNSS
(TGD3501).
B. PENYAJIAN
II.1. Bola Langit
Konsep bola langit merupakan bagian dari materi pembahasan dalam astronomi sferis yakni salah
satu cabang ilmu astronomi yang mempelajari posisi benda-benda langit dilihat pada waktu dan
lokasi tertentu di permukaan bumi. Dalam hubungannya dengan bola bumi maka pengetian bola
langit dan unsur-unsurnya dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Bola langit merupakan bola dengan jejari r = 1 (satu satuan) yang berpusat di titik
pengamatan. Apabila titik pengamatan berada di pusat bumi maka disebut geosentrik dan
apabila titik pengamatan berada di permukaan bumi maka disebut toposentrik.
2. Sumbu langit adalah garis yang melalui pusat bola langit, berimpit atau sejajar dengan
sumbu rotasi bumi, dan menembus bola langit di kutub utara langit (KuL) dan kutub
selatan langit (KsL). Untuk bola langit geosentrik sumbu langit berimpit dengan sumbu
rotasi bumi sedangkan untuk bola langit toposentrik sumbu langit sejajar dengan sumbu
rotasi bumi.
3. Ekuator langit adalah busur lingkaran besar yang membagi bola langit menjadi dua
bagian sama besar, yaitu belahan langit utara dan belahan langit selatan. Dapat pula
8
dikatakan bahwa ekuator langit merupakan busur perpotongan bola langit dengan bidang
datar yang melalui pusat bola langit dan tegak lurus sumbu langit.
4. Paralel langit adalah busur lingkaran kecil pada bola langit yang sejajar dengan Ekuator
langit. Dapat pula dikatakan bahwa paralel langit merupakan busur perpotongan bola
langit dengan bidang datar yang sejajar bidang ekuator langit.
5. Lingkaran waktu adalah busur lingkaran besar pada bola langit yang menghubungkan
kutub utara langit dan kutub selatan langit. Lingkaran waktu berpotongan tegak lurus
dengan ekuator langit dan paralel langit.
6. Ekliptika ialah busur lingkaran besar pada bola langit yang merupakan lintasan orbit semu
tahunan matahari. Disebut orbit semu tahunan karena sebenarnya busur lintasan ini
terbentuk sebagai efek orbit bumi mengelilingi matahari dalam periode satu tahun.
Ekliptika membentuk sudut sekitar 23,5o terhadap ekuator langit. Besaran sudut ini
disebut kemiringan ekliptika dan sering ditandai dengan simbol ε.
7. Sumbu ekliptika adalah garis yang melalui pusat bola langit dan tegak lurus bidang
ekliptika. Sumbu ekliptika menembus bola langit di kutub utara ekliptika (KuE) dan
kutub selatan ekliptika (KsE) masing-masing di belahan langit utara dan belahan langit
selatan. Karena (bidang) ekliptika membentuk sudut sekitar 23,5o terhadap (bidang)
ekuator langit, maka sumbu ekliptika membentuk sudut sekitar 23,5o terhadap sumbu
langit.
8. Meridian ekliptika adalah busur lingkaran besar pada bola langit yang menghubung-kan
kutub utara ekliptika dan kutub selatan ekliptika.
9. Titik musim semi atau Vernal Equinox (VE) dan titik musim gugur atau Autumnal
Equinox (AE) adalah dua titik perpotongan ekliptika dengan ekuator langit.
10. Titik musim panas atau Summer Soltice (SS) dan titik musim dingin atau Winter Soltice
(WS) adalah dua titik pada ekliptika yang jaraknya paling jauh dari ekuator langit,
masing-masing di belahan langit utara dan belahan langit selatan. Pada saat matahari
mencapai SS (sekitar tanggal 23 Juni) maka ia berada pada kedudukan paling utara dan
pada saat ia mencapai WS (sekitar tanggal 22 Desember) maka ia berada pada kedudukan
paling selatan.
Dengan pengertian unsur-unsur bola langit seperti di atas, maka model bola langit dapat
dikatakan sebagai pengembangan model bola bumi dengan unsur-unsur sumbu langit, kutub
langit, ekuator langit, paralel langit, dan lingkaran waktu besesuaian masing-masing dengan
sumbu bumi, kutub bumi, ekuator, paralel, dan meridian. Unsur-unsur bola langit butir-1 sampai
dengan butir-10 tersebut terikat hanya pada titik pusat bola langit (geosentrik atau toposentrik)
dan sumbu langit, tidak tergantung pada kedudukan lintang geografik (ϕ) titik pengamatan.
Selanjutnya berkaitan dengan kedudukan geografik titik pengamatan, maka didefinisikan unsur-
unsur bola langit sebagai berikut:
1. Zenit (Z) dan nadir (N) adalah titik-titik perpotongan bola langit dengan garis vertikal
atau garis unting-unting (plumb line) yang melalui titik pengamatan, masing-masing di
bagian atas dan bawah pengamat. Tiap lokasi pengamatan memiliki zenit dan nadir
tersendiri (unik).
2. Lingkaran vertikal adalah busur lingkaran besar pada bola langit yang menghubung- kan
zenit dan nadir
3. Horizon atau ufuk ialah busur lingkaran besar pada bola langit yang merupakan
perpotongan bola langit dengan bidang datar yang melalui pusat bola langit dan tegak
lurus arah zenit-nadir. Horizon berpotongan tegak lurus dengan lingkaran vertikal. Ufuk
9
pada bola langit geosentrik disebut ufuk hakiki sedangkan ufuk pada bola langit
toposentrik disebut ufuk hissi. Tiap titik pengamatan memiliki horizon tersendiri.
4. Almukantar ialah busur lingkaran kecil pada bola langit yang sejajar dengan horizon dan
berptongan tegak lurus dengan lingkaran vertikal. Almukantar merupakan perpotongan
bola langit dengan bidang datar yang tegak lurus arah zenit-nadir tetapi tidak melalui
pusat bola langit.
Unsur-unsur bola langit butir-11 s/d butir-14 tersebut terikat pada pusat bola langit dan
garis vertikal yang melalui titik pengamatan. Hubungan unsur-unsur bola langit butir-11 sd. butir-
14 dengan unsur-unsur bola langit butir-1 sd. butir-10 dapat direkonstruksi melalui hubungan
geometrik antara sumbu langit dengan garis vertikal, yaitu bahwa sumbu langit membentuk sudut
(90o– φ) terhadap garis vertikal sehingga jarak busur pada bola langit dari Zenit/Nadir ke kutub
KuL/KsL ialah (90o– φ). Selanjutnya didefiniskan unsur-unsur bola langit sebagai berikut:
1. Meridian langit adalah lingkaran waktu yang melalui zenit. Meridian langit ini berimpit
dengan lingkaran vertikal yang melalui kutub. Salah satu kutub langit, KuL atau KsL,
terletak pada meridian langit, berjarak busur (90o– φ) dari Zenit. Kutub langit tersebut
adalah KuL untuk titik pengamatan di belahan bumi utara dan KsL untuk titik
pengamatan di belahan bumi selatan.
2. Titik utara (U) dan titik selatan (S) adalah dua titik perpotongan meridian langit dengan
horizon. Untuk titik pengamatan di belahan bumi utara KuL terletak di atas titik Utara,
sedangkan untuk titik pengamatan di belahan bumi selatan KsL terletak di atas titik
Selatan. Dalilnya ialah tinggi kutub = lintang geografik titik pengamatan.
3. Titik timur (T) dan titik barat (B) adalah dua titik perpotongan ekuator langit dengan
horizon.
4. Segitiga astronomi ialah segitiga bola yang terbentuk oleh lingkaran besar pada bola
langit yang menghubungkan Zenit, Kutub langit, dan benda langit.
Zenit
meridian langit
B
aC
ZC X
S O U
YC
XC AC
Co
T
horizon
Y
lingkaran vertikal C
10
Unsur-unsur bola langit dalam sistem koordinat horizon meliputi:
1. Zenit (Z) dan nadir (N),
2. Lingkaran vertikal,
3. Horizon,
4. Meridian langit (lokal),
5. Titik utara (U) dan titik selatan (S),
6. Titik timur (T) dan titik barat (B).
Unsur-unsur bola langit tersebut terikat oleh kedudukan lintang geografik titik pengamatan
sehingga sistem koordinat horizon terikat oleh kedudukan lintang geografik titik pengamatan
yang berarti tiap titik di permukaan bumi mempunyai sistem koordinat horizon tersendiri.
Dua busur lingkaran besar yang saling tegak lurus dan menjadi acuan bagi komponen
koordinat horizon ialah horizon dan meridian langit (bagian yang memuat Z). Dengan acuan
tersebut komponen koordinat horizon terdiri dari:
a) Azimut (sering ditandai symbol huruf A, singkatan dari azimut), dan
b) Tinggi (sering ditandai simbul huruf a, singkatan dari altitude ).
Azimut A ialah jarak busur pada horizon, diukur mulai dari meridian langit (titik utara) ke arah
timur sampai perpotongannya dengan lingkaran vertikal yang melewati benda langit yang
bersangkutan. Harga azimut berkisar dari 0o sampai 360o. Pada Gambar II.1, azimut benda langit
C (= Ac ) ialah jarak busur horizon mulai dari titik utara sampai Co. Azimut titik T ialah 90o,
azimut titik S ialah 180o, dan azimut titik B ialah 270o.
Tinggi a ialah jarak busur lingkaran vertikal yang melalui benda langit, diukur mulai dari horizon
ke arah zenit (positif) atau ke arah nadir (negatif) sampai ke benda langit yang bersangkutan.
Harga tinggi benda langit berkisar dari 0o sampai +90o untuk benda langit yang berada di atas
horizon dan dari 0o sampai –90o untuk benda langit yang berada di bawah horizon. Pada Gambar
II.1, tinggi benda langit C (= ac ) ialah jarak busur lingkaran vertikal mulai dari Co sampai C.
Jarak zenit benda langit ialah zc = 90o – ac. Pada saat terbit dan terbenam (melintas horizon),
tinggi benda langit ialah 0o atau jarak zenit 90o.
Origin dan orientasi sumbu koordinat kartesian 3D dalam sistem koordinat horizon
didefinisikan sebagai berikut:
1. Origin berimpit dengan pusat bola langit,
2. Sumbu–Z positif ke arah zenit,
3. Sumbu–X positif ke arah titik utara, dan
4. Sumbu–Y positif ke arah titik Timur (T), melengkapi sumbu–X dan sumbu–Z sehingga
membentuk sistem tangan kiri (LHS = Left Handed System).
Adapun komponen koordinat kartesian (X, Y, Z) dan transformasinya kembali ke komponen
koordinat (A, a) ialah sebagai berikut:
( *
11
II.3. Sistem Koordinat Sudut Waktu (SKSW)
Unsur-unsur bola langit yang dalam sistem koordinat sudut waktu meliputi:
1. Kutub utara langit (KuL) dan kutub selatan langit (KsL),
2. Ekuator langit,
3. Lingkaran waktu,
4. Meridian langit (lokal),
5. Horizon, titik barat (B), dan titik timur (T),
Karena unsur-unsur bola angit dalam butir-4 dan butir-5 tersebut terikat oleh kedudukan lintang
geografik titik pengamatan maka sistem koordinat sudut waktu terikat oleh kedudukan lintang
geografik titik pengamatan yang berarti tiap titik di permukaan mempunyai sistem koordinat
sudut waktu tersendiri. Gambar II.2 menyajikan tampilan perspektif sistem koordinat sudut
waktu untuk kedudukan titik pengamatan pada belahan bumi utara dengan lintang geografik
sekitar +30o.
Dua busur lingkaran besar yang saling tegak lurus dan menjadi acuan bagi komponen
koordinat sudut waktu ialah dan ekuator langit dan lingkaran waktu yang melewati zenit. Dengan
acuan tersebut komponen koordinat sudut waktu terdiri dari:
a) Sudut waktu (sering ditandai symbol huruf t atau h), dan
b) Deklinasi (sering ditandai dengan simbol δ ).
X
Zenit meridian langit
ekuator langit
Z
Y
KuL
B
S O U
horizon C
T
XC
KsL YC ZC δC
Co tC
lingkaran waktu C
N
Sudut Waktu t ialah jarak busur ekuator langit, diukur mulai dari lingkaran waktu yang melewati
zenit ke arah titik barat (positif) atau ke arah titik timur (negatif) sampai lingkaran waktu yang
melewati benda langit yang bersangkutan. Harga sudut waktu berkisar dari 0o (0 jam) sampai
360o (24 jam). Pada Gambar II.2, sudut waktu benda langit C (= tc ) ialah jarak busur ekuator
langit terukur dari meridian lokal sampai Co. Pada saat kulminasi atas atau melintas meridian
langit (lingkaran waktu yang lewat Zenit) sudut waktu benda langit ialah 0o dan pada saat
kulminasi bawah atau melintas lingkaran waktu yang lewat Nadir, sudut waktu benda langit ialah
180o.
12
Deklinasi ialah jarak busur lingkaran waktu yang melalui benda langit, diukur mulai dari
ekuator langit ke arah Kutub utara langit (positif) atau ke arah Kutub selatan langit (negatif)
sampai benda langit yang bersangkutan. Harga deklinasi berkisar dari 0 o sampai +90o untuk
benda langit di belahan langit utara dan dari 0o sampai –90o untuk benda langit di belahan langit
selatan. Pada Gambar II.2, deklinasi benda langit C (= δc ) ialah jarak busur lingkaran waktu dari
Co sampai C. Pada saat kulminasi atas, jarak zenit benda langit ialah │φ – δc│.
Origin dan orientasi sumbu koordinat kartesian 3D dalam sistem koordinat sudut waktu
didefinisikan sebagai berikut:
1. Origin berimpit dengan pusat bola langit,
2. Sumbu-Z positif ke arah kutub utara langit,
3. Sumbu-X positif ke arah titik perpotongan meridian langit dengan ekuator langit, dan
4. Sumbu-Y positif ke arah titik barat (B), melengkapi sumbu-X dan sumbu-Z sehingga
membentuk sistem tangan kiri (LHS = Left Handed System).
Adapun komponen koordinat kartesian (X, Y, Z) dan transformasinya kembali ke komponen
koordinat (t, ) ialah sebagai berikut:
( *
Z
lingkaran waktu C
KuL
AE δc
ZC
O Y
XC
VE YC Co
ekuator langit αc
X
ekliptika
KsL
Asensio rekta jarak busur ekuator langit, diukur mulai dari VE searah dengan arah rotasi bumi
sampai perpotongannya dengan lingkaran waktu yang melalui benda langit yang bersangkutan.
Harga asensio rekta berkisar dari 0o (0 jam) sampai 360o (24 jam). Pada Gambar II.3, Asensio
Rekta benda langit C (= c ) ialah jarak busur ekuator langit dari VE sampai Co.
Deklinasi ialah jarak busur lingkaran waktu yang melalui benda langit, diukur mulai dari
ekuator langit ke arah KuL (positif) atau ke arah KsL (negatif) sampai benda langit yang
bersangkutan. Harga deklinasi berkisar dari 0o sampai +90o untuk benda langit di belahan langit
utara dan dari 0o sampai –90o untuk benda langit di belahan langit selatan. Pada Gambar II.3,
deklinasi benda langit C (= c ) ialah jarak busur lingkaran waktu dari Co sampai C.
Origin dan orientasi sumbu koordinat kartesian 3D dalam sistem koordinat asensio rekta
didefinisikan sebagai berikut:
1. Origin berimpit dengan pusat bola langit,
2. Sumbu–Z positif ke arah kutub utara langit (KuL),
3. Sumbu–X positif ke arah titik musim semi (VE), dan
4. Sumbu–Y melengkapi sumbu–X dan sumbu–Z sehingga membentuk sistem tangan kanan
(RHS= Right Handed System).
Dua busur lingkaran besar yang saling tegak lurus dan menjadi acuan bagi komponen
koordinat ekliptika ialah ekliptika dan meridian ekliptika yang melalui VE. Dengan acuan
tersebut komponen koordinat ekliptika terdiri dari:
a) Bujur ekliptika (sering ditandai dengan simbol λ), dan
b) Lintang ekliptika (sering ditandai dengan simbol β).
Bujur ekliptika λ ialah jarak busur ekliptika, diukur mulai dari VE searah dengan arah rotasi bumi
sampai perpotongannya dengan meridian ekliptika yang melalui benda langit yang bersangkutan.
Harga bujur ekliptika berkisar dari 0o (0 jam) sampai 360o (24 jam). Pada Gambar II.4, bujur
ekliptika benda langit C (= λc ) ialah jarak busur ekliptika dari VE sampai Co. Bujur ekliptika dan
asensio rekta SS ialah 90o, bujur ekliptika dan asensio rekta AE ialah 180o, bujur ekliptika dan
asensio rekta WS ialah 270o.
Z
KuL
KuE
C
βC Y
ZC
AE SS
XC
O Co
YC
λC
VE
ekuator langit ε
WS
X meridian ekliptika C
ekliptika
KsE
KsL
Lintang ekliptika β ialah jarak busur meridian ekliptika yang melalui benda langit, diukur mulai
dari ekliptika ke arah kutub utara ekliptika (positif) atau ke arah kutub selatan ekliptika (negatif)
sampai benda langit yang bersangkutan. Harga lintang ekliptika berkisar dari 0 o sampai +90o
untuk benda langit di sebelah utara ekliptika dan dari 0o sampai −90o untuk benda langit di
sebelah selatan ekliptika. Pada Gambar II.4, lintang ekliptika benda langit C (= βc) ialah jarak
busur meridian ekliptika dari Co sampai C.
Origin dan orientasi sumbu koordinat kartesian 3D dalam sistem koordinat ekliptika
didefinisikan sebagai berikut:
1. Origin berimpit dengan pusat bola langit,
2. Sumbu–Z positif ke arah kutub utara ekliptika (KuE),
15
3. Sumbu–X positif ke arah titik musim semi (VE), dan
4. Sumbu–Y positif ke arah titik musim panas (SS), melengkapi sumbu–X dan sumbu–Z
sehingga membentuk sistem tangan kanan.
Adapun komponen koordinat kartesian (X, Y, Z) dan transformasinya kembali ke komponen
koordinat (λ, β) ialah sebagai berikut:
β λ
β
( * β
C. PENUTUP
Tes Formatif
1. Identifikasikan busur lingkaran dengan garis penuh dan putus-putus dan beri lah tanda
titik untuk busur-busur yang saling berpotongan
16
5. Gambarkan kedudukan benda langit dalam SKH apabila diketahui Azimut A= 45o dan
tinggi a = 45o. Hitung komponen koordinat kartesi (X,Y,Z) dan tunjukkan dalam gambar,
komponen koordinat (A, a) dan (X,Y,Z) !
6. Gambarkan kedudukan benda langit dalam SKSW untuk titik pengamatan dengan lintang
geografik φ = 30o LU apabila diketahui sudut waktu t = 315o dan deklinasi = +30o.
Hitung komponen koordinat kartesi (X,Y,Z) dan tunjukkan dalam gambar, komponen
koordinat (t, ) dan (X,Y,Z) !
7. Gambarkan kedudukan benda langit dalam SKAR untuk titik pengamatan dengan lintang
geografik 30o LU pada saat LST = 15 jam, apabila diketahui asensio rekta = 270o dan
deklinasi = +30o. Hitung komponen koordinat kartesi (X,Y,Z) dan tunjukkan dalam
gambar, komponen koordinat ( , ) dan (X,Y,Z) !
8. Gambarkan kedudukan benda langit dalam SKE untuk titik pengamatan dengan lintang
geografik 30o LU pada saat LST = 15 jam, apabila diketahui asensio rekta bujur ekliptika
λ = 270o dan lintang ekliptika β = +30o. Hitung komponen koordinat kartesi (X,Y,Z) dan
tunjukkan dalam gambar, komponen koordinat (λ, β) dan (X,Y,Z) !
Catatan :
Jawaban soal nomor 1-4 didiskusikan dalam kelas
Soal nomor 5-8 dikerjakan mahasiswa di rumah (PR)
17
BAB III
TRANSFORMASI KOORDINAT LANGIT
A. PENDAHULUAN
A.2. Manfaat/Relevansi
Materi Bab III ini memberikan pemahaman mahasiswa tentang model transformasi koordinat
benda langit dari satu sistem koordinat ke sistem koordinat yang lain. Lebih lanjut mahasiswa
memperoleh ketrampilan melakukan perhitungan transformasi koordinat benda langit antar
sistem koordinat yang ada. Matakuliah lain yang berkaitan dengan Bab III ini terutama ialah
Sistem dan Transfomasi Koordinat (TGD2304), Sistem Acuan Geodesi (TGD2402), dan Survey
GNSS (TGD3501).
B. PENYAJIAN
III.1. Transformasi antara SKH dan SKSW
Z
R3(180o ) X
R3(−180o)
Zenit
Zenit
Y Z
KuL
B B KuL
O φ X φ
O
S U S U
T T
KsL KsL
R2[-(90o −φ)]
Y R2(90o −φ)
N N
Gambar III.1. Transformasi antara SKH dan SKSW
18
Gambar III.1 menampilkan perspektif kedudukan sumbu kartesian sistem koordinat horizon
(SKH) di sebelah kiri dan sistem koordinat sudut waktu (SKSW) di sebelah kanan untuk titik
pengamatan dengan lintang geografik φ LU. Transformasi dari SKH ke SKSW dilaksanakan
dalam dua langkah rotasi. Langkah pertama ialah rotasi dengan poros sumbu-Z berlawanan arah
putaran jarum jam sebesar 180o dan langkah kedua ialah rotasi dengan poros sumbu-Y searah
putaran jarum jam sebesar (90o – φ). Hasil transformasinya ialah kedudukan sumbu koordinat (X,
Y, Z) seperti gambar di sebelah kanan. Rumus transformsinya ialah sebagai berikut:
[ ] φ [ ]
[ ] φ [ ]
Contoh perhitungan
Komponen koordinat apparent (geosentrik) benda langit X pada suatu epok dalam SKH untuk
lintang tempat pengamatan φ = 7o30′00″ LS ialah A = 135o dan a = 45o. Transformasikan
koordinat tersebut ke komponen SKSW !
Perhitungan:
Transformasi dari SKH ke SKSW
[ ] [ ] [ ]
φ [ ][ ]
[ ]
[ ] φ [ ] [ ]
( *
19
[ ] * + [ ]
φ [ ][ ]
[ ]
[ ] φ [ ] [ ]
( *
Gambar III.2 menampilkan perspektif kedudukan sumbu kartesian sistem koordinat sudut
waktu (SKSW) di sebelah kiri dan sistem koordinat asensio rekta (SKAR) di sebelah kanan untuk
titik pengamatan dengan lintang geografik φ LU. Karena fenomena rotasi bumi, titik musim semi
VE menjalani gerak semu harian sehingga kedudukannya senantiasa berubah relatif terhadap titik
pengamatan di bumi. Oleh karena itu untuk mentransformasikan koordinat benda langit dari
SKSW ke SKAR diperlukan informasi tentang kedudukan VE di titik pengamatan yaitu besaran
sudut waktu VE (= tVE) yang harganya berkisar dari 0o sampai 360o. Besaran tVE untuk
sembarang titik pengamatan di bumi disebut Local Sidereal Time (LST) atau Waktu Sideris
Lokal dan untuk titik pengamatan di meridian Greenwich disebut Greenwich Sidereal Time atau
GST.
X
Zenit Zenit
R3(−LST ) R3(LST )
Y AE
Z Z
B KuL B KuL
φ φ
O O
S U S U
T T
KsL KsL
VE tVE VE
tVE
Y
N N
X
[ ] [ ][ ]
[ ] [ ] [ ]
Contoh perhitungan
Dalam perhitungan transformasi koordinat dari SKH ke SKSW di depan, diperoleh data
komponen koordinat benda langit X dalam SKSW untuk lintang tempat pengamatan φ =
7o30′00″ LS ialah t = 321o49′04,3″ dan = –36o00′59,4″. Apabila diketahui bahwa pada epok
tersebut LST = tVE = 16J 00m 00S = 240o00′00″, maka transformasikan koordinat tersebut ke
komponen SKAR !
Perhitungan:
Transformasi dari SKSW ke SKAR
[ ] * + [ ]
[ ] [ ][ ]
[ ]
[ ] [ ][ ] [ ]
( *
[ ] * + [ ]
21
[ ] [ ][ ]
[ ]
[ ] [ ] [ ] [ ]
( *
[ ] [ ]
[ ] [ ]
Zenit Zenit
Z
AE Z KuE
AE
WS
B KuL KuL
B
φ O φ
S O U S U
KsL T KsL T SS
VE VE
KsE
Y
N Y N
R1(ε )
R1(−ε )
X X
22
Gambar III.3. Transformasi antara SKAR dan SKE
Contoh perhitungan
Dalam perhitungan transformasi koordinat dari SKSW ke SKAR di depan, diperoleh data
komponen koordinat benda langit X dalam SKAR: = 278o 10′ 55,7″ dan = –36o 00′ 59,4″.
Apabila diketahui bahwa pada epok tersebut kemiringan ekliptika ε = 23,5 o maka
transformasikan koordinat tersebut ke komponen SKE!
Perhitungan:
Transformasi dari SKAR ke SKE
[ ] * + [ ]
[ ] [ ] [ ][ ]
[ ]
( *
[ ] * + [ ]
λβ
[ ] ε [ ] [ ][ ]
λβ
[ ]
( *
C. PENUTUP
Tes Formatif
1. Transformasikan koordinat benda langit dari SKH ke SKSW, apabila diketahui koordinat-
nya dalam SKH (A=45o, a=45o) untuk lintang geografik titik pengamatan φ = 30o LU
23
2. Transformasikan koordinat benda langit hasil hitungan soal no.1 di atas dari SKSW ke
SKAR apabila diketahui LST = 15 jam !
3. Transformasikan koordinat benda langit hasil hitungan soal no.2 di atas dari SKAR ke
SKE apabila diketahui kemiringan ekliptika ε = 23,5o !
4. Gambarkan kedudukan benda langit untuk masing-masing sistem koordinat SKH, SKSW,
SKAR, dan SKE untuk jawaban soal-soal no1, 2, dan 3 di atas dan tunjukkan komponen
koordinatnya !
Catatan :
Soal nomor 1-4 dikerjakan mahasiswa di rumah (PR)
24
BAB IV
SISTEM WAKTU
A. PENDAHULUAN
A.1. Deskripsi Singkat
Bab IV ini membahas sistem waktu yang umum diterapkan baik untuk keperluan umum (bisnis),
penelitian ilmiah, maupun penerapan teknologi, meliputi sistem waktu sideral, sistem waktu
matahari, sistem waktu universal, sistem waktu koordinat, dan sistem waktu atom. Pelaksanaan
perkuliahan dilengkapi dengan latihan di kelas dan/atau pekerjaan rumah.
A.2. Manfaat/Relevansi
Materi Bab IV ini memberikan pemahaman mahasiswa tentang berbagai sistem waktu yang
dikembangkan berdasarkan fenomena alam (rotasi bumi, revolusi bumi, radiasi atom) yang
terjadi secara berulang/periodik dengan tingkat keajegannya masing-masing. Materi ini juga
memberikan ketrampilan mahasiswa untuk melakukan perhitungan transformasi waktu dari satu
sistem ke sistem yang lain. Matakuliah lain yang berkaitan dengan Bab IV ini terutama ialah
Sistem Acuan Geodesi (TGD2402), dan Survey GNSS (TGD3501).
B. PENYAJIAN
IV.1. Sistem Waktu Sideris
Sistem waktu sideris didasarkan pada fenomena rotasi bumi atau gerak semu harian benda
langit yang berulang dan periodik; Dalam hal ini “benda langit” yang dimaksud ialah ekuinoks
atau titik musim semi atau Vernal Equinox (VE) yang dikonsepkan sebagai titik perpotongan
antara ekuator langit dengan ekliptika. Posisi VE sejati (= true equinox) di langit bervariasi
karena efek fenomena presesi dan nutasi, sementara posisi VE rerata (= mean equinox) di langit
bervariasi karena efek presesi saja. Skala waktu sideris ditetapkan berdasarkan interval waktu
antara dua pelintasan ekuinoks berturut-turut di atas meridian yang sama yang durasi reratanya
24 jam (S) dan disebut hari sideris (sidereal day). Satu jam (S) = 24 x 60 menit (S) = 60 x 60
sekon (S). Sementara itu Epok waktu sideris ditetapkan berdasarkan kedudukan sudut waktu VE
terhadap meridian lokasi pengamatan yang bersangkutan; Dengan perkataan lain, jam 00 waktu
sideris bertepatan dengan saat VE kulminasi atas pada meridian lokasi pengamatan. Untuk lokasi
pengamatan sembarang, maka dikenal dua macam waktu sideris lokal, yaitu LMST (Local Mean
Sidereal Time) dan LAST (Local Apparent Sidereal Time). Demikian pula untuk meridian
Greenwich dikenal GMST (Greenwich Mean Sidereal Time) dan GAST (Greenwich Apparent
Sidereal Time). LMST dan GMST menunjuk ke VE rerata, sementara LAST dan GAST
menunjuk ke VE sejati. Dengan demikian maka dapat dikatakan bahwa sistem waktu sideris
25
berbasis pada fenomena rotasi bumi dan Vernal Equinox yang mengalami variasi kecil karena
fenomena presesi dan nutasi disamping variasi kecepatan rotasi bumi sendiri.
meridian lokal
λL
LAST
ekuator langit
LMST
KuL
meridian Greenwich
VS GMST
Vm
EE
GAST
Hubungan antara LMST, GMST, LAST, dan GAST adalan sebagai berikut:
LMST = tVm ……………………… (IV.1)
LAST = tVs ....…………………… (IV.2)
Besaran-besaran tVm dan tVs adalah masing-masing sudut waktu ekuinoks rerata dan sudut waktu
ekuinoks sejati pada meridian lokal. Hubungan waktu sideris dengan kedudukan benda langit X
sembarang ialah:
LAST = X + tX ……………………… (IV.3)
Dalam rumus di atas, X ialah masing-masing asensio rekta benda langit X dan tX ialah sudut
waktu benda langit X pada meridian lokal. Untuk LAST, besaran X mengacu pada ekuinoks
sejati dan untuk LMST besaran X mengacu pada ekuinoks rerata. Pada saat benda langit X
berkulminasi atas pada meridian lokal maka tX = 0, sehingga LAST = X.
Selisih antara waktu sideris lokal dengan waktu sideris Greenwich ialah bujur geografik lokal
(λL), sedangkan selisih antara waktu sideris sejati dengan waktu sideris rerata ialah Equation of
Equinox (EE).
Dalam rumus di atas, Δψ ialah nutasi dalam bujur ekliptika, ε ialah kemiringan ekliptika rerata,
dan Δε ialah nutasi dalam kemiringan ekliptika.
26
IV.2. Sistem Waktu Matahari
Sistem waktu matahari didasarkan pada fenomena rotasi bumi atau gerak semu harian
matahari di langit relatif terhadap pengamat di bumi. Apabila sistem waktu sideris menggunakan
VE sebagai benda langit acuan, maka sistem waktu matahari menggunakan matahari sebagai
benda langit acuan. Apabila dalam sistem waktu sideris dikembangkan konsep VE sejati dan VE
rerata, maka dalam sistem waktu matahari dikembangkan konsep matahari sejati dan matahari
rerata. Matahari sejati ialah matahari seperti yang kita saksikan (apparent) yang bergerak semu
tahunan sepanjang ekliptika dengan kecepatan yang bervariasi karena (1) efek kemiringan
ekliptika terhadap ekuator dan (2) orbit elips sesuai hukum Kepler. Sementara itu matahari rerata
dikonsepkan sebagai matahari fiktif yang bergerak semu tahunan sepanjang ekuator langit (bukan
ekliptika) dengan kecepatan konstan. Skala waktu matahari ditetapkan berdasarkan interval
waktu antara dua pelintasan matahari rerata berturut-turut di atas meridian yang sama yang
durasi reratanya 24 jam (M) dan disebut hari matahari (solar day). Satu jam (M) = 24 x 60
menit (M) = 60 x 60 sekon (M). Sementara itu Epok waktu matahari ditetapkan berdasarkan
kedudukan sudut waktu matahari terhadap meridian lokasi pengamatan yang bersangkutan
ditambah 12 jam. Dengan demikian maka jan 00 waktu matahari bertepatan dengan saat matahari
kulminasi bawah. Untuk lokasi pengamatan sembarang, maka dikenal dua macam waktu
matahari lokal, yaitu LMT (Local Mean Time) dan LAT (Local Apparent Time). Demikian pula
untuk meridian Greenwich dikenal GMT (Greenwich Mean Time) dan GAT (Greenwich
Apparent Time). LMT dan GMT menunjuk ke matahari rerata sementara LAT dan GAT
menunjuk ke matahari sejati. Dengan demikian maka dapat dikatakan bahwa sistem waktu
matahari berbasis pada fenomena rotasi bumi dan posisi matahari (sejati dan rerata) yang
bervariasi sepanjang tahun.
KuL
AE SS
S2
ε
SS′
S1
S2′
S1′
WS S VE ekuator langit
ekliptika
KsL
Gambar IV.2. Orbit semu tahunan matahari S
Durasi sidereal day lebih pendek daripada solar day sehingga skala waktu sideris lebih
pendek daripada skala waktu matahari dengan persamaan sbb:
1 hari(S) = 23j 56m 04,09053s (M), 1 hari(M) = 24j 03m 56,55537s (S)
1 jam(S) = 59m 50,17044s (M), 1 jam(M) = 1j 00m 09,85647s (S)
27
1 menit(S) = 00m 59,83617s (M), 1 menit(M) = 01m 00,16427s (S)
1 sekon(S) = 00,99727s (M), 1 sekon(M) = 01,00274s (S)
Hubungan antara LMT, GMT, LAT, dan GAT adalan sebagai berikut:
LMT = tM + 12j ……………………… (IV.6)
LAT = tS + 12j ……………………… (IV.7)
meridianlokal
λL
GMT
GAT
ekuator langit KuL
LAT
LMT
meridian Greenwich
S
M ET
Besaran-besaran tM dan tS adalah masing-masing sudut waktu matahari rerata dan sudut waktu
matahari sejati pada meridian lokal. Selisih antara waktu matahari lokal dengan waktu matahari
Greenwich sama dengan bujur geografik lokal (λL), sedangkan selisih antara waktu matahari
sejati dengan waktu matahari rerata disebut Equation of Time (ET).
LAT – GAT = LMT – GMT = λL ..…….……………… (IV.8)
ET = LAT – LMT = GAT – GMT ………….…………. (IV.9)
Harga Equation of Time berada pada kisaran –14 menit < ET < 17 menit. Tanda negatif berarti
waktu sejati lebih lambat daripada waktu rerata, dan tanda positif berarti waktu sejati lebih awal
daripada waktu rerata.
Dalam praktek kehidupan sehari-hari, masyarakat dalam suatu wilayah atau zona tertentu
pada umumnya menggunakan sistem waktu matahari berdasarkan bujur geografik meridian acuan
standar tertentu. Dengan demikian seluruh wilayah permukaan bumi terbagi menjadi zona-zona
waktu tertentu. Sebagai contoh, wilayah Indonesia dibagi menjadi tiga zona waktu yaitu Wilayah
Indonesia Barat (WIB), Wilayah Indonesia Tengah (WITA), dan Wilayah Indonesia Timur
(WIT), masing-masing dengan bujur geografik meridian acuan standar λWIB = 105o BT, λWITA =
120o BT, dan λWIT = 135o BT. Selisih waktu zona terhadap GMT masing-masing ialah +7 jam
untuk WIB, +8 jam untk WITA, dan +9 jam untuk WIT, ketiganya lebih awal daripada GMT. Di
dalam satu zona waktu, beda LMT terhadap waktu standar zona ialah Δλ = (λL – λST) sehingga
28
LMT = Waktu Zona + Δλ ……………………. (IV.10)
Besaran-besaran λST dan λL ialah masing-masing bujur geografik meridian acuan standar dan
meridian lokal. Untuk lokasi di sebelah barat meridian acuan standar maka Δλ bertanda negatif
dan untuk lokasi di sebelah timur meridian acuan standar Δλ bertanda positif.
29
Gambar IV.4. Leap seconds
Pada tahun 2009 waktu UTC telah 34 sekon di belakang TAI setelah dilakukan 24 kali koreksi
leap second sejak tahun 1972 (lihat Gambar IV.4). UTC menjadi standar internasional sistem
waktu yang diterapkan sehari-hari oleh masyarakat Sipil. Melalui stasiun radio seperti WWV,
WWVH, dan JJY sinyal detak jam atom yang menandai sekon-sekon waktu UTC disiarkan
secara terus-menerus. Waktu UTC juga dapat diakses melalui sistem satelit navigasi GNSS
(Global Navigation Satellite System) dengan menggunakan receiver satelit yang sesuai.
Besaran λs ialah bujur geometrik matahari yang mengacu pada ekuinoks rerata dan tE ialah waktu
dalam satuan 36525 hari efemeris terhitung sejak epok acuan standar 0 Januari 1900 pukul 12:00
waktu efemeris (ET). Selanjutnya skala sekon efemeris didefinisikan sbb:
“Satu sekon ialah 1/31556925,9747 panjang tahun tropis pada epok 0 Januari 1900
pukul 12:00 waktu efemeris”
Epok 0 Januari 1900 (= 31 Desember 1899) pukul 12:00 Ephemeris Time (ET) adalah epok acuan
standar bagi sistem waktu efemeris. Epok acuan standar ini dekat dengan awal tahun kalender
1900, bertepatan dengan saat matahari mencapai kedudukan bujur geometrik 279°41′48,04″.
Dengan perkataan lain koordinat waktu efemeris ET (tanggal, bulan, tahun) disesuaikan dengan
tanggal dan tahun kalender Gregorian dan Julian.
30
Meskipun skala waktu efemeris seragam namun ia didasarkan pada waktu bumi subyektif
(terikat pada kerangka acuan bumi) sehingga apabila dibandingkan dengan variabel waktu yang
benar-benar independen di dalam sistem tatasurya, laju sekon waktu bumi berkurang ketika orbit
bumi mendekati perihelion dan bertambah ketika mendekati aphelion. Sementara itu dari aspek
basis teoritiknya, waktu efemeris ET dipandang tidak gayut dengan teori relativitas umum. Oleh
karena itu maka pada tahun 1976 IAU mendefinisikan waktu dinamis dengan skala waktu
efemeris (SI second) sebagai pengganti dan penerus ET. Waktu dinamis tersebut terdiri dari
Terrestrial Dynamical Time (TDT) dan Barycentric Dynamical Time (TDB), masing-masing
untuk waktu di bumi dan di pusat sistem tatasurya matahari.
TDT = TAI + 32,184s ……………………. (IV.16)
s
TDB = TDT + (0,001568 sin (g) + 0,000014 sin (2g)) ……………………. (IV.17)
g = 357,53o + 0,9856003o(JD – 2451545,0)
Dalam kerangka merumuskan hubungan antara berbagai sistem waktu yang belum
terdefinisi dengan jelas, maka pada tahun 1991 IAU merekomendasikan penerapan waktu
koordinat untuk acuan bagi pengamatan fenomena astronomi di dalam sistem acuan ruang-waktu
4D. Dalam kerangka kerja relativitas umum Einstein, sistem acuan ruang-waktu 4D dinyatakan
dengan empat komponen koordinat, tiga diantaranya ialah komponen koordinat spasial dan yang
keempat ialah waktu koordinat dalam sistem waktu acuan. Waktu koordinat yang
direkomendasikan oleh IAU ialah Terrestrial Time (TT), Geocentric Coordinate Time (TCG),
dan Barycentric Coordinate Time (TCB), masing-masing waktu koordinat di permukaan bumi, di
pusat bumi, dan di pusat tatasurya matahari.
TT = TAI + 32,184s ……………………. (IV.18)
s
TCG – TT = LG (JD – 24431445,5)×86400 .…………………… (IV.19)
LG = 6,969290134x10-10.
TCB – TT = LB (JD – 2443144,5)×86400s .…………………… (IV.20)
estimasi besaran LB = 1,55051976772×10-8
Ketiga waktu kordinat ini didefinisikan berimpit dengan sistem waktu atom TAI pada epok acuan
standar 1 Januari 1977, 00:00:32,184 (TT/TCG/TCB) yang bertepatan dengan 1 Januari 1977,
00:00:00 TAI. Untuk keperluan praktis, koreksi relativitas antara waktu dinamis (TDT, TDB) dan
waktu koordinat (TT, TCG, TCB) tidak memiliki arti signifikan sehingga skala waktu efemeris
dapat dianggap sama dengan skala waktu dinamis dan waktu koordinat.
31
“The second is the duration of 9 192 631 770 periods of the radiation corresponding to
the transition between the two hyperfine levels of the ground state of the caesium-133
atom”
Skala SI second yang baru ini berbeda hanya dalam orde 1×10-10 terhadap skala sekon waktu
efemeris. Sementara itu apabila hari matahari rerata (UT) yang durasinya 86400 sekon (M)
diskalakan dengan SI second maka akan diperoleh bilangan yang berbeda dari 86400. Dari hasil
analisis berdasarkan data pengamatan tahun 1750–1892, disimpulkan bahwa pada tahun 1820
panjang hari matahari rerata ialah 86400 sekon SI, pada abad sebelumnya lebih pendek dari
86400 sekon SI, dan pada akhir abad 20 mendekati 86400,002 sekon SI. Akumulasi perbedaan
antara SI day dengan hari matahari rerata terus meningkat dari waktu ke waktu.
Menurut sejarahnya, jam atom yang beroperasi dengan atom Caesium diperkenalkan
pertama kali pada tahun 1955 oleh National Physical Laboratory (NPL) Inggris. Adapun secara
formal waktu atom pertama kali (1959) didefinisikan sebagai sistem A1 oleh United States Naval
Observatory (USNO) dengan epok acuan standar 1 Januari 1958 pukul 00:00:00 A1 bertepatan
dengan 1 Januari 1958 pukul 00:00:00 UT2 atau Julian Date 2436204,5. Pada tahun 1961 Bureau
International de l’Hure (BIH) mengembangkan waktu atom yang disebut sistem AM yang
didukung oleh tiga buah jam atom. Waktu atom BIH ini disinkronkan dengan epok A1 dan
namanya diubah menjadi sistem A3. Pada tahun 1961 didefinisikan pula UTC (Coordinated
Universal Time) yang beroperasi dengan skala waktu atom namun senantiasa didekatkan ke UT1
dengan cara menambah/mengurangi leap second pada waktu yang diperlukan. Pada tahun 1967
skala waktu atom didefinisikan sebagai SI second dan sejak waktu itu jumlah jam atom yang
berpartisipasi dalam pemeliharaan sistem waktu atom terus bertambah dan segera sistem A3
diubah namanya menjadi sistem TA dan akhirnya pada tahun 1971 menjadi TAI (International
Atomic Time). Pada tahun 2010, jam atom yang ikut berpartisipasi merealisasikan TAI meliputi
tidak kurang dari 200 jam atom yang dipelihara oleh lebih dari 30 laboratoria yang tersebar di
seluruh dunia. TAI merupakan waktu standar yang diperoleh dengan merata-ratakan waktu atom
yang direalisasikan oleh jam atom partisipan. Sampai saat ini sistem waktu TAI merupakan
sarana time keeping yang paling stabil dan akurat. Tanpa jam atom dan sistem waktu atom maka
penentuan posisi dengan satelit GNSS tidak mungkin direalisasikan dan posisi planet-planet tidak
mungkin diketahui dengan ketelitian yang memadai untuk maksud peluncuran, pendaratan, dan
pemantauan kendaran ruang angkasa.
IV.6. Kalender
Kalender diartikan sebagai sistem penentuan awal, panjang, dan pembagian tahun serta
pengaturannya dalam susunan bulan, minggu, dan hari/tanggal. Awal dan panjang tahun
umumnya disesuaikan dengan fenomena alam, misalnya periode orbit semu tahunan matahari
untuk kalender matahari atau 12 kali periode orbit bulan mengelilingi bumi untuk kalender bulan.
Untuk kalender bulan, awal dan panjang bulan disesuaikan dengan periode orbit bulan
mengelilingi bumi. Diantara berbagai sistem kalender yang ada, kalender Gregorian merupakan
kalender yang paling banyak digunakan pada masa sekarang. Kalender ini sebenarnya ialah
kalender Julian yang telah disempurnakan, sementara kalender Julian sendiri adalah kalender
Romawi versi Julius Caesar (46 Sebelum Masehi). Sebutan “Julian” diambil dari nama Julius
Caesar. Epok atau koordinat waktu umumnya diikatkan ke sistem kalender. Dalam hal ini selain
ke kalender Julian atau Gregorian, epok juga sering diikatkan ke kalender atau sejenis kalender
yang lain, seperti Besselian Calendar, Julian Day Number (JDN), Julian Date (JD), dan
Modified Julian Date (MJD).
32
Kalender Julian dan Gregorian
Kalender Julian merupakan bentuk pembaharuan kalender Romawi yang dilakukan oleh
Julius Caesar pada tahun 46 Sebelum Masehi. Kalender ini berbasiskan pada fenomena orbit
semu tahunan matahari dengan periode rerata satu tahun kalender 365,25 hari, mendekati panjang
rerata tahun tropis 365,242189 hari. Skala hari disini ialah 24 jam (M) yang dimulai pada tengah
malam, saat mean sun berkulminasi bawah pada meridian lokal. Kalender ini membagi tahun
menjadi 12 bulan dengan umur bervariasi. Tiap siklus empat tahun, kalender Julian terdiri dari
tiga kali tahun normal dengan durasi masing-masing 365 hari dan satu kali tahun panjang dengan
durasi 366 hari, sehingga durasi siklus empat tahun kalender ialah 1461 hari sementara durasi
empat tahun tropis ialah sekitar 1460,968756 hari. Selisihnya sekitar 0,031244 hari atau sekitar
45 menit yang berarti durasi empat tahun kalender Julian lebih panjang (lebih lambat) sekitar 45
menit dibandingkan dengan durasi empat periode rerata orbit semu tahunan matahari. Dalam 400
tahun selisih tersebut menjadi sekitar 3,125 hari.
Pada tahun 1582, Paus Gregorius XIII melakukan pembaharuan terhadap kalender Julian
dengan menetapkan koreksi: tahun-tahun centinium (ratusan) yang tidak habis dibagi 400 bukan
sebagai tahun panjang. Dengan koreksi ini maka durasi 400 tahun kalender hanya berselisih
sekitar 0,125 hari (= 3 jam) terhadap durasi 400 tahun tropis. Disamping itu Paus Gregorius XIII
juga melakukan koreksi pengurangan 10 hari pada kalender yang sedang berjalan dengan
menghapuskan tanggal 5 – 14 Oktober 1582 sehingga hari Kamis tanggal 4 Oktober 1582 diikuti
hari berikutnya Jumat tanggal 15 Oktober 1582. Kalender ini kemudian dikenal dengan kalender
Gregorian.
Kalender Hijriyah
Kalender hijriyah digunakan oleh umat Islam terutama dalam kaitannya dengan ritual dan
tradisi keagamaan seperti puasa ramadhan, idul fitri, ibadah hajji, dan sebagainya. Kalender ini
adalah kalender bulan yang di dasarkan pada siklus orbit bulan mengelilingi bumi dengan periode
sideris rerata 27,32 hari (putaran 360o) dan periode sinodik rerata 29,53 hari (dari konyungsi ke
konyungsi). Kalender ini disebut kalender Hijriyah sesuai dengan peristiwa hijrah Nabi
Muhammad SAW dari Makkah ke Madinah pada tahun 622, yang kemudian ditetapkan sebagai
epok acuan standar dimulainya kalender. Epok acuan standar kalender Hijriyah didefinisikan
pada tanggal 1 Muharram tahun 1 Hijriyah, bertepatan dengan hari Jumat 16 Juli 622 menurut
kalender Julian (sebagian yang lain berpendapat hari Kamis 15 Juli 622).
Perhitungan kalender Hijriyah didasarkan pada periode rerata orbit bulan mengelilingi
bumi selama kurun waktu 30 tahun. Dalam kurun waktu tersebut ditetapkan 11 tahun kabisat
dengan umur 355 hari (untuk tahun-tahun ke: 2, 5, 7, 10, 13, 15, 18, 21, 24, 26, dan 29) dan 19
tahun lainnya adalah tahun basithah dengan umur 354 hari. Jumlah bulan dalam satu tahun ialah
12 bulan, dengan umur 30 hari untuk bulan-bulan ganjil dan 29 hari untuk bulan-bulan genap,
kecuali untuk tahun kabisat umur bulan ke-12 ditetapkan 30 hari. Bulan-bulan tersebut dimulai
dari Muharram (30 hari), dilanjutkan berturut-turut Shafar (29 hari), Rab’iul Awal (30 hari),
Rabiul Akhir (29 hari), Jumadil Ula (30 hari), Jumadis Saniah (29 hari), Rajab (30 hari), Sya’ban
(29 hari), Ramadhan (30 hari), Syawal (29 hari), Dzul Qa’dah (30 hari), dan Dzul Hijjah (29 hari
untuk tahun basithah dan 30 hari untuk tahun kabisat).
Pergantian hari/tanggal dalam kalender hijriyah didefinisikan saat matahari terbenam.
Misalnya, hari Jumat dimulai pada saat matahari terbenam pada hari Kamis sore dan berakhir saat
matahari terbenam pada Jumat sore. Sementara itu awal bulan (tanggal 1) ditetapkan setelah
terjadi ijtimak (konyungsi bumi–bulan–matahari). Untuk aplikasi sipil non keagamaan, awal
33
bulan dan tanggal-tanggal dalam bulan mengikuti kalender yang telah dibakukan. Untuk tujuan
ritual keagamaan Islam, awal bulan pada mulanya ditetapkan berdasarkan rukyatul hilal yakni
terlihatnya hilal (bulan sabit) untuk yang pertama kali setelah terjadi ijtimak. Belakangan,
sebagian orang tidak lagi menunggu terlihatnya hilal untuk menetapkan awal bulan, akan tetapi
mengikuti hasil perhitungan (hisab) prediksi posisi bulan setelah terjadi ijtimak. Pada level ini
terdapat perbedaan mendasar tentang pengertian hilal; Satu pihak berpendapat bahwa hilal adalah
bagian permukaan bulan yang tersinari oleh matahari dan menghadap ke bumi, tidak peduli
apakah bagian permukaan bulan tersebut dapat terlihat atau tidak oleh penduduk bumi;
Sementara pihak yang lain berpendapat bahwa hilal adalah visibilitas bulan sabit pertama kali
setelah terjadi ijtimak. Sementara itu dikalangan umat yang menggunakan metode hisab terdapat
beberapa prinsip pendekatan yang berbeda-beda, yaitu ijtimak qablal fajar, ijtimak qablal
ghurub, wujudul hilal, dan imkanur-rukyah.
34
C. PENUTUP
Tes Formatif
1. Jelaskan konsep skala waktu dan epok waktu untuk sistem waktu sideris !
2. Ada dua ekuinoks, yaitu Vernal Equinox (VE) dan Autumnal Equinox (AE); manakah
yang digunakan untuk acuan waktu sideris ?
3. Jelaskan perbedaan antara VE rerata dengan VE sejati !
4. Apakah arti persamaan LAST = X + tX dan LAST = LMST + EE; Jelaskan !
5. Jelaskan konsep skala waktu dan epok waktu untuk sistem waktu matahari !
6. Skala waktu manakah yang lebih panjang, antara sistem waktu sideris dan sistem waktu
matahari ?
7. Jelaskan perbedaan antara matahari rerata dengan matahari sejati !
8. Apakah arti persamaan LAT = tS + 12 jam, LMT = tM + 12 jam, dan LAT = LMT + ET;
Jelaskan !
9. Jelaskan waktu zona yang diterapkan di Indonesia !
10. Jelaskan konsep waktu universal (UT = Universal Time): UT0, UT1, dan UT2 !
11. Jelaskan sistem waktu UTC dan hubungannya dengan UT1 !
12. Di suatu lokasi pengamatan dengan bujur geografik lokal (λL) diketahui waktu zona
dengan bujur geografik standar (λST ); Susunlah langkah-langkah untuk menghitung GMT
(=UT1), LMT, LAT , GMST, dan GAST !
13. Jelaskan konsep skala waktu efemaris !
14. Kemukakan fakta-fakta atau konsep yang menjadi dasar bagi
a. pengembangan skala waktu efemeris (ET),
b. pendefinisian waktu dinamis (menggantikan ET),
c. pendefinisian waktu koordinat (mengganti waktu dinamis).
15. Jelaskan konsep skala waktu atom !
16. Uraikan sejarah pengembangan sistem waktu atom, mulai dari sistem A1 sampai TAI !
17. Jelaskan koreksi-koreksi yang diterapkan oleh Paus Gregorius XIII terhadap kalender
Julian sehingga menjadi kalender Gregorian !
18. Apakan perbedaan dasar antara kalender Hijriyah dengan kalender Gregorian ?
19. Jelaskan konsep Julian Date (JD) !
20. Hitung JD, JDN, dan MJD untuk suatu epok tertentu (waktu zona) !
Catatan :
Jawaban soal nomor 1-20 didiskusikan dalam kelas
35
BAB V
VARIASI KOORDINAT LANGIT DAN TERESTRIAL
A. PENDAHULUAN
A.1. Deskripsi Singkat
Bab V ini membahas fenomena presesi dan nutasi yang mengakibatkan salib sumbu koordinat
langit (SKL) mengalami variasi dari waktu ke waktu, diikuti dengan pembahasan model presesi
dan nutasi serta transformasi koordinat langit dari satu epok ke epok yang lain. Pelaksanaan
perkuliahan dilengkapi dengan latihan di kelas dan/atau pekerjaan rumah.
A.2. Manfaat/Relevansi
Materi Bab V ini memberikan pemahaman mahasiswa tentang variasi koordinat benda-benda
langit karena salib sumbu koordinat SKL yang berubah/bervariasi sebagai akibat fenomena
presesi dan nutasi. Materi bab ini juga memberikan ketrampilan mahasiswa untuk melakukan
perhitungan transformasi koordinat benda langit karena efek presesi dan nutasi dari satu epok ke
epok lain. Matakuliah lain yang berkaitan dengan Bab V ini terutama ialah Sistem dan
Transformasi Koordinat (TGD2304), Sistem Acuan Geodesi (TGD2402), dan Survey GNSS
(TGD3501).
PENYAJIAN
V.1. Presesi
Presesi disebabkan oleh tarikan gravitasi bulan dan matahari terhadap bumi dalam kondisi
posisi bidang ekuator membentuk sudut terhadap bidang ekliptika dan bidang orbit bulan. Dalam
36
posisi bumi yang demikian (Gambar V.1), komponen gaya tarik bulan dan matahari yang tegak
lurus bidang ekuator (F1) cenderung menarik bidang ekuator ke arah bidang ekliptika.
Kombinasi gaya F1 dengan momentum putar bumi membangkitkan gerak presesi sumbu rotasi
bumi sedemikian sehingga kutub langit bergeser mengelilingi kutub ekliptika dengan amplitudo
sama dengan kemiringan bidang ekliptika (sekitar 23,5o) dan periode sekitar 25.800 tahun
(Gambar V.2).
Posisi kutub langit yang bervariasi karena presesi bulan-matahari disebut kutub langit
rerata dan ekuator langit yang sesuai dengan kutub langit rerata disebut ekuator langit rerata.
Karena posisi kutub langit rerata bervariasi relatif terhadap kutub ekliptika, maka posisi ekuator
langit rerata bervariasi sedemikian sehingga posisi ekuinoks rerata γo (VE rerata) bergeser
mundur kearah barat (ke γ1) dengan laju sekitar 50,3″ per tahun sepanjang ekliptika (Gambar
V.3). Presesi ini disebut presesi bulan-matahari (lunisolar precession). Apabila presesi bulan-
matahari mengakibatkan variasi posisi ekuator langit rerata, maka presesi planetari (planetary
precession), yang disebabkan oleh tarikan gravitasi planet-planet, mengakibatkan variasi posisi
ekliptika sedemikian sehingga posisi ekuinok rerata γ1 mengalami variasi (bergeser ke γm).
εo KuLo
KuEo ε1
εA KuL
KuE o
90 − δA
90o+ zA
θA
ekliptika (to)
O
ekliptika (ti)
Dalam rumus-rumus di atas, t ialah interval waktu dalam satuan abad Julian (36525 hari)
terhitung dari epok J2000 (1 Januari 2000 pukul 12:00 TT = JD2451545,0 TT) sampai epok
pengamatan ti dalam sistem waktu koordinat Terrestrial Time (TT). Dalam hal ini TT ialah
sistem waktu koordinat di permukaan bumi yang merupakan pengembangan sistem waktu
dinamis TDT (Terrestrial Dynamical Time), sementara TDT merupakan kelanjutan dari sistem
waktu ET (Ephemeris Time). Penerapan sistem waktu koordinat TT ini selaras dengan
implementasi teori presesi-nutasi IAU-2000A. Pada tahun 2009 selisih antara TT dengan UT1
atau GMT ialah sekitar 66 sekon. Penggunaan sistem waktu koordinat TT ini konsisten dengan
implementasi konsep ruang-waktu 4 dimensional yang berbasis pada teori relativitas umum
Einstein. Adapun JD (Julian Date) ialah jumlah hari yang telah lewat sejak epok acuan 1 Januari
4713 (Sebelum Masehi), pukul 12:00 TT. Untuk menghitung JD (mulai 15 Oktober 1582 dan
seterusnya) dapat menggunakan rumus:
Transformasi berbasis ekuinoks untuk koordinat benda langit dari SKL rerata epok
pengamatan ti ke SKL rerata epok to=J2000 dilakukan dengan merotasikan sumbu koordinat
SKL dengan urutan: pertama, rotasi dengan poros sumbu-Z berlawanan arah putaran jarum jam
sebesar zA sehingga sumbu-Y melalui Q; kedua, rotasi dengan poros sumbu-Y searah putaran
jarum jam sebesar θA sehingga sumbu-Z melewati KuLo; ketiga, rotasi dengan poros sumbu-Z
38
berlawanan arah putaran jarum jam sebesar (δA) sehingga sumbu-X melewati γo (Gambar V.4).
Rumus transformasinya ialah:
[ ] [ ][ ] ................................... (V.4)
[ ] ................................... (V.5)
Z(to)
Z(ti)
R3( δA)
R3(zA) KuLO
KuL o
90 − δA
90o+ zA
θA
O
R2(−θA)
γo Q
θA
γm
X(ti) X(to)
[ ] [ ] [ ] ................................... (V.6)
[ ] θ ( δ ) ................................... (V.7)
Untuk transformasi koordinat benda langit dari epok pengamatan (ti) ke epok pengamatan yang
lain (tk) maka proses transformasinya dilakukakan dari epok ti ke epok J2000 dengan matriks
[P(ti,to], kemudian diikuti dengan transformasi dari epok J2000 ke epok tk dengan matriks
[P(tk,to]T.
V.2. Nutasi
Gerak nutasi berkaitan dengan fenomena pasang-surut lautan, sementara pasang surut
lautan ditimbulkan oleh kombinasi gaya tarik bulan, matahari, dan planet-planet. Pola gerak
nutasi ini sangat rumit karena posisi bulan, matahari, dan planet-planet relatif terhadap bumi
senantiasa bervariasi karena (a) periode orbit bulan mengelilingi bumi berbeda dengan periode
39
orbit bumi mengelilingi matahari (b) bidang orbit bulan tidak berimpit dengan bidang ekliptika,
(c) laju orbit bumi dan bulan bervariasi menurut hukum Kepler. Dengan kompleksitas faktor
penyebab pasang-surut bumi, maka dapat dimengeri apabila gerak nutasi merupakan
penjumlahan dari berbagai komponen gerak dengan amplitudo dan periode yang beragam. Dari
berbagai komponen gerak tersebut, yang paling dominan ialah komponen gerak periode 18,6
tahun, selaras dengan periode presesi titik nodal orbit bulan. Dalam gerak nutasi ini sumbu rotasi
bumi menjalani gerak sedemikian sehingga kutub langit sesaat bervariasi relatif terhadap kutub
langit rerata dengan periode 18,6 tahun dengan amplitudo maksimum 9″. Karena posisi kutub
langit sesaat (epok pengamatan ti) bervariasi relatif terhadap kutub langit rerata maka ekuator
langit sesaat bervariasi relatif terhadap ekuator langit rerata sehingga posisi ekuinoks sejati atau
ekuinoks sesaat (s), yang merupakan perpotongan antara ekuator langit sesaat dengan ekliptika,
juga bervariasi terhadap posisi ekuinoks rerata (m). Gambar V.5 menampilkan sketsa posisi
ekuinoks sesaat (s) yang berjarak Δψ dari posisi ekuinoks rerata (m), sementara ekliptika sendiri
membentuk sudut (εA+Δε) terhadap ekuator sesaat. Besaran Δψ dan Δε ialah komponen nutasi
epok ti.
ekliptika (t)
ekliptika (to)
Gambar V.5. Unsur-unsur presesi dan nutasi
Besaran Δψ dan Δε yang dihitung dengan rumus/model masih perlu ditambah dengan
besaran koreksi dψ dan dε yang merupakan offset kutub langit sesaat terhadap kutub langit
menurut model presesi-nutasi, sehingga:
Besaran koreksi (dψ, dε) atau (dPsi, dEpsilon) ini diturunkan dari data pengamatan dan dapat
diperoleh dalam Bulletin-A atau Bulletin-B yang dipublikasikan oleh IERS dan dapat diakses
melalui website http://hpiers.obspm.fr/eoppc/bul/bulb/.
Transformasi berbasis ekuinoks untuk koordinat benda langit dari SKL sesaat epok ti ke
SKL rerata epok ti dilakukan dengan cara merotasikan sumbu koordinat SKL dengan urutan:
pertama, rotasi dengan poros sumbu-X berlawanan arah putaran jarum jam sebesar (εA+Δε)
sehingga bidang XY berimpit dengan bidang ekliptika; kedua, rotasi dengan poros sumbu-Z
berlawanan arah putaran jarum jam sebesar Δψ sehingga sumbu-X melewati ekuinoks rerata (m);
ketiga, rotasi dengan poros sumbu-X searah putaran jarum jam sebesar εA sehingga bidang XY
berimpit dengan bidang ekuator langit rerata (Gambar V.5). Rumus transformasinya ialah:
40
[ ] [ ][ ] ................................... (V.9)
[ ] ε Δψ ε Δε .................................. (V.10)
Indeks “s” menandai posisi sesaat atau sejati. Rumus transformsi baliknya ialah:
[ ] [ ] [ ] ................................. (V.11)
[ ] ................................. (V.12)
C. PENUTUP
Tes Formatif
1. Jelaskan mekanisme presesi bulan-matahari yang dialami oleh bumi !
2. Bagaimana pola pergeseran ekuinoks (VE) karena gerak presesi bulan-matahari dan
presesi planetari ?
3. a. Hitung besaran presesi dari epok to = J2000 ke epok ti = 30 Nopember 2013, 12:00 TT
b. Transformasikan koordinat benda langi X dari epok to ke epok ti apabila diketahui
koordinat (mean) pada epok to : = 63o 20’ 35.56”, = - 25o 55’ 33.7”
4. Sebutkan faktor-faktor pembangkit gerak nutasi yang dialami oleh bumi !
5. Berikan penjelasan mengenai periode nutasi 18,6 tahun dalam kaitannya dengan orbit
bulan mengelilingi bumi !
6. a. Berikan penjelasan (disertai gambar sketsa), pergeseran posisi VE sejati di bola langit
reltif terhadap VE rerata akibat gerak nutasi dan tunjukkan komponen nutasi (Δψ, Δε) !
b. Jelaskan, pada arah/kedudukan VE sejati mana masing-masing komponen nutasi
tersebut betanda positif/negatif !
7. Apabia diketahui besaran nutasi pada epok ti (Δψ = ...., Δε = ..... ), hitung koordinat sejati
benda langit X pada soal no.3 di atas !
Catatan :
Jawaban soal nomor 1, 2, 4,dan 5 didiskusikan dalam kelas
Soal nomor 3, 6 dan 7 dikerjakan mahasiswa di rumah (PR)
41
BAB VI
SISTEM KOORDINAT TERESTRIAL DAN VARIASINYA
A. PENDAHULUAN
A.1. Deskripsi Singkat
Bab VI ini membahas konsep dan pendefinisian Sistem Koordinat Terestrial (SKT acuan) yang
meliputi origin dan orientasi sumbu koordinat. Pembahasan lebih lanjut meliputi variasi SKL
sesaat relatif terhadap SKT acuan karena fenomena gerakan kutub dan variasi kecepatan rotasi
bumi yang direalisasikan dalam besaran GAST. Pelaksanaan perkuliahan dilengkapi dengan
latihan di kelas dan/atau pekerjaan rumah.
A.2. Manfaat/Relevansi
Materi Bab VI ini memberikan pemahaman mahasiswa tentang konsep dan pendefinisian SKT
acuan yang umum diterapkan sebagai basis penentuan koordinat titik-titik di bumi. Materi dalam
bab ini juga memberikan ketrampilan mahasiswa untuk melakukan perhitungan transformasi
koordinat antara SKL sesaat dan SKT acuan. Matakuliah lain yang berkaitan dengan Bab VI ini
terutama ialah Sistem dan Transformasi Koordinat (TGD2304), Sistem Acuan Geodesi
(TGD2402), dan Survey GNSS (TGD3501).
B. PENYAJIAN
VI.1. Pendefinisian SKT Acuan
Sistem koordinat terestrial acuan global didefinisikan terikat pada fisik bumi (ECEF =
Earth Centered Earth Fixed) dengan origin geosetrik, sumbu-Z melewati kutub yang
diperjanjikan (CTP = Conventional Terrestrial Pole), sumbu-X melewati meridian acuan
(Greenwich), dan sumbu-Y melengkapi sistem tangan kanan. IERS menyebut meridian acuan ini
dengan sebutan IRM (IERS Reference Meridian). Salah satu contoh SKT acuan global ialah
WGS84. Sementara itu, SKL sesaat didefinisikan geosentrik dengan sumbu-Z melalui kutub
langit (CEP = Celestian Ephemeris Pole), sumbu-X melalui VE sesaat, dan sumbu-Y melengkapi
sistem tangan kanan. Gambar VI.1 menyajikan sketsa posisi kutub bumi sesaat (P) yang
bervariasi terhadap CTP sehingga posisi CEP (orientasi sumbu-Z SKL sesaat) bervariasi relatif
terhadap CTP (orientasi sumbu-Z SKT acuan). Variasi posisi kutub bumi sesaat (P) relatif
terhadap CTP dinyatakan dengan koordinat kutub (xp, yp). Sementara itu rotasi bumi
mengakibatkan VE sesaat (orientasi sumbu-X SKL sesaat) bervariasi harian relatif terhadap IRM
(orientasi sumbu-X SKT acuan). Variasi posisi ekuinoks sesaat relatif terhadap IRM dinyatakan
dengan besaran GAST (Greenwich Apparent sidereal Time). Dengan demikian maka besaran
koordinat kutub dan GAST merupakan parameter transformasi koordinat antar SKT acuan dan
SKL sesaat.
42
ZS ≈ CEP
O GAST
XSKT YS
R1(yP) YSKT
R2(xP)
XS
43
Time). UT1 merupakan salah satu parameter orientasi bumi EOP yang merepresentasikan
orientasi meridian acuan Greenwich relatif terhadap mean sun (Gambar VI.3).
meridian Greenwich
O
GAST UT1≈ GMT
mean sun
γs sumbu rotasi bumi
Apabila besaran koordinat kutub (xp, yp) dapat diperoleh dari publikasi IERS, maka
besaran GAST pada epok pengamatan (ti) harus ditentukan/dihitung, namun tetap juga
memerlukan data nutasi (Δψ, Δε) yang dapat diperoleh dari publikasi IERS. Apabila tidak
memerlukan ketelitian tinggi maka besaran nutasi dapat hitungan sendiri atau diperoleh melalui
website (online) yang melayani perhitungan-perhitungan besaran astronomis. Rumus-rumus
berikut ini dapat diterapkan untuk menghitung GAST:
GMST (jam) = 18,697374558 + 24,06570982441908 D .................................... (VI.1)
GAST = GMST + Δψ cos (εA + Δε) .................................... (VI.2)
44
Dalam rumus di atas, D =JD(ti=TT ≈ UT1) – 2451545,0 dan Δψ cos (εA + Δε) adalah equation of
equinox. Untuk menghitung εA, lihat rumus (V.1) dalam Bab V.
[ ] [ ][ ][ ] ........................ (VI.3)
[ ]
[ ] ........................ (VI.4)
Rumus transformsi baliknya ialah
[ ] [ ] [ ] [ ] ........................ (VI.5)
[ ]
[ ] ........................ (VI.6)
C. PENUTUP
Tes Formatif
1. Jelaskan pendefinisian SKT acuan global dan berikan contohnya !
2. Berikan penjelasan bahwa sumbu rotasi bumi sesaat didefinisikan berimpit dengan
sumbu-Z SKL sesaat !
3. Faktor-faktor dinamika alam apakah yang mengakibatkan fenomena gerakan kutub dan
variasi LoD ?
4. Apakah yang saudara ketahui tentang CTP ?
5. Gambarkan sketsa kedudukan dan orientasi salib sumbu koordinat SKT acuan dan SKL
sesaat apabila diketahui xp = +0.3”, yp =+0.4” dan GAST = 10 jam !
6. Jelaskan (disertai gambar sketsa) hubungan antara besaran UT1 dengan GAST !
7. a. Hitung GAST pada epok ti = 17 Agustus 2013, 10:00 WIB (diberikan data Δψ dan Δε) !
b. Hitung transformasi koordinat benda langit S dari SKL sesaat ke SKT acuan, apabila
diketahui koordinat S dalam SKL sesaat epok ti (diberikan data koordinat S dan
koordint kutub xp , yp) !
45
Catatan :
Jawaban soal nomor 1-4 didiskusikan dalam kelas
Soal nomor 5-7 dikerjakan mahasiswa di rumah (PR)
46
BAB VII
A. PENDAHULUAN
A.1. Deskripsi Singkat
Bab VII ini membahas konsep Sistem Acuan Langit (SKL) dan Sistem Acuan Terestrial (SKT)
serta realisasinya masing-masing dalam Kerangka Acuan Langit dan Kerangka Acuan Terestrial
Pembahasan difokuskan pada sistem dan kerangka acuan yang dikembangkan dan dipelihara oleh
IERS, yaitu ICRS dan ITRS serta realisasinya masing-masing dalam ICRF dan ITRF.
Pelaksanaan perkuliahan dilengkapi dengan latihan di kelas dan/atau pekerjaan rumah.
A.2. Manfaat/Relevansi
Materi Bab VII ini memberikan pemahaman mahasiswa tentang konsep sistem (datum) geodetik
acuan dan kerangka acuan geodetik yang umum diterapkan dalam pengembangan ilmu dan
teknologi geodesi. Latihan dan/atau pekerjaan rumah memberikan ketrampilan mahasiswa untuk
melakukan perhitungan transformasi datum geodetik. Matakuliah lain yang berkaitan dengan
Bab VII ini terutama ialah Sistem dan Transformasi Koordinat (TGD2304), Sistem Acuan
Geodesi (TGD2402), dan Survey GNSS (TGD3501).
B. PENYAJIAN
VII.1. Sistem dan Kerangka Acuan Langit
Pendefinisian sistem koordinat acuan, baik SKL maupun SKT, serta pemeliharaan
selanjutnya memerlukan basis teoritik dan model yang handal untuk landasan bagi pemantauan
dan analisis variasi kedudukan dan orientasi sumbu rotasi bumi karena fenomena presesi, nutasi,
dan gerakan kutub. Dalam hal ini diperlukan seperangkat preskripsi (teori, model, konstanta)
serta konvensi untuk pembakuan sistem. Dengan demikian maka dapat dikatakan bahwa sistem
acuan langit adalah seperangkat preskripsi dan konvensi yang dibakukan untuk menentukan
setiap saat kedudukan salib sumbu koordinat langit (SKL). Salah satu sistem langit acuan ialah
ICRS (International Celestial Reference System) yang dikembangkan dan dipelihara oleh IERS
(International Earth Rotation and Reference System).
IERS merupakan lembaga internasional yang didirikan pada tahun 1987 oleh IAU
(International Astronomical Union) dan IUGG (International Union of Geodesy and Geophysics)
untuk menggantikan IPMS (International Polar Motion Service) dan Seksi Rotasi Bumi dari BIH
(Bureau International de l’Hure). Misi utama IERS ialah memberikan pelayanan kepada
masyarakat astronomi, geodesi dan geofisika dengan menyediakan antara lain:
47
1. Sistem acuan langit ICRS (International Celestial Refernce System) yang direalisasikan
melalui kerangka acuan langit ICRF (International Celestial Refernce Frame) dalam
bentuk daftar koordinat sejumlah sumber radio astronomi yang sebagian besar adalah
Quasars (Quasi Stellar Radio Source),
2. Sistem acuan terestrial ITRS (International Terrestrial Refernce System) yang
direalisasikan melalui kerangka acuan terestrial ITRF (International Terrestrial Refernce
Frame) dalam bentuk koordinat sejumlah titik kontrol bumi beserta data kecepatan
pergeserannya,
3. Parameter orientasi bumi EOP (Earth Orientation Parameters) yang diperlukan untuk
mengkaji variasi rotasi bumi dan transformasi antara ICRF dan ITRF (lihat Bab V).
Seperti disebutkan di atas, ICRS direalisasikan dalam bentuk koordinat sejumlah “titik
kontrol langit” yang disebut ICRF (International Celestial Reference Frame). ICRF tersusun
dari sumber radio astronomi (Quasars) yang letaknya sangat jauh dari Bumi dan posisinya sangat
stabil sehingga koordinatnya dianggap tetap. Koordinat ICRF mengimplikasikan kedudukan
origin dan orientasi salib sumbu koordinat ICRS pada epok standar J2000. Pada tahun 2010
daftar ICRF meliputi tidak kurang dari 3119 sumber radio astronomi dengan sebaran seperti
disajikan pada Gambar VII.1. ICRF menjadi obyek pengamatan VLBI sebagai salah satu metode
space geodesy untuk mengontrol dan memantau variasi gerak sumbu rotasi bumi.
48
d. Dalam kaitannya dengan gerak horizontal lempeng tektonik global, evolusi orientasi
sumbu koordinat diasumsikan tidak mengalami gerak memutar (no-net rotation).
Menurut definisi BIH-1984,0 sumbu-Z sistem terestrial diorientasikan melalui kutub rerata 1900-
1905 yang disebut CTP (Conventional Terrestrial Pole), sumbu-X merupakan perpotongan
antara bidang meridian nol BIH dengan bidang yang melalui origin dan tegak-lurus sumbu-Z,
sumbu-Y tegak lurus sumbu-Z dan sumbu-X sedemikian sehingga melengkapi sistem tangan
kanan. ITRS direalisasikan melalui koordinat sejumlah titik kontrol bumi yang disebut ITRF
(International Terrestrial Refernce Frame). Sebaran titik stasiun ITRF beserta data koordinat
dan vektor kecepatan pergeserannya pertahun terhitung pada epok acuan dapat diakses melalui
website IERS: http://itrf.ensg.ign.fr (Gambar VII.2).
Gambar VII.2. Tampilan peta sebaran stasiun ITRF dalam website IERS
49
Stasiun ITRF merupakan stasiun bumi tempat dilakukannya pengamatan-pengamatan
space geodesy dengan teknik-teknik VLBI (Very Long Base Interferometry), LLR (Lunar Laser
Ranging), SLR (Satellite Laser ranging), GNSS (Global Navigation Satellite System), dan
DORIS (Doppler Orbit Determination and Radiopositioning Integrated on Satellite). Teknik
pengamatan VLBI dan LLR digunakan terutama untuk menentukan parameter EOP yang
merepresentasikan variasi kecepatan rotasi bumi atau variasi UT1, gerakan kutub, dan variasi
posisi kutub karena presesi dan nutasi. Sementara itu metode geodesi satelit (SLR, GNSS,
DORIS) digunakan terutama untuk menentukan gerakan kutub dan variasi kecepatan rotasi bumi.
Pengamatan dilaksanakan secara berkelanjutan (time series) dan data yang peroleh kemudian
diolah dan dikombinasikan untuk medapatkan solusi parameter yang diperlukan, seperti
koordinat dan vektor laju pergeseran titik-titik jaring ITRF, parameter orientasi bumi EOP, dan
sebagainya. Sebagian dari stasiun ITRF menggunakan lebih dari satu teknik (dua, tiga atau
empat teknik) dan sebagian lainnya menggunakan salah satu dari teknik-teknik pengamatan.
Sebagian dari stasiun ITRF tersebut merupakan stasiun yang dikelola oleh IGS (International
GNSS Service) yang melakukan pengamatan dengan teknologi GNSS (Gambar VII.3). IGS
merupakan kontributor yang cukup penting dalam pemeliharaan ITRS dan relisasinya.
* + , * +- * +
51
̇ ̇ ̇ ̇
[ ̇ ̇ ̇ ]* + * + * ̇ +
̇ ̇ ̇ ̇
.................................................................... (VII.1)
D. PENUTUP
Tes Formatif
1. Jelaskan pengertian sistem acuan dan kerangka acuan geodetik !
2. Sebutkan tiga misi utama IERS !
3. Apa yang saudara ketahui tentang ICRS dan ICRF ? Jelaskan !
4. Apa yang saudara ketahui tentang ITRS dan ITRF ? Jelaskan !
5. Bagaimana ITRS didefinisikan ?
6. Jelaskan hubungan antara IGS dengan IERS !
7. Uraikan langkah-langkah realisasi datum geodetik lokal !
8. Perlukah elipsoid acuan didefinisikan dalam mengembangkan datum geodetik global
dengan teknologi GNSS ?
9. Jelaskan pengertian sistem/datum geodetik dinamis !
10. Diketahui koordinat dan laju pergeseran titik stasiun GPS Medan dalam ITRF2008
untuk epok tX = 2005,0 sebagai berikut:
X /Vx Y/Vy Z/Vz
Koordinat −964464,824 m 6291997,236 m 400195,680 m
Laju pergeseran −0,0013 m/tahun −0,0265 m/tahun −0,0258 m/tahun
Catatan :
Jawaban soal nomor 1-9 didiskusikan dalam kelas
Soal nomor 10 dikerjakan mahasiswa di rumah (PR)
52
BAB VIII
GEODESI SATELIT DALAM MISI GEODESI
A. PENDAHULUAN
A.2. Manfaat/Relevansi
Materi kuliah Geodesi Satelit dalam Misi Geodesi memberikan pemahaman (apresiasi)
mahasiswa terhadap orbit satelit bumi buatan sebagaimana mereka mengapresiasi orbit bulan
mengelilingi bumi beserta hukum-hukum gerak orbitnya. Secara substansial, materi dalam bab
ini berkaitan dengan kelanjutan materi kuliah dalam bab-bab selanjutnya. Sementara itu
matakuliah lain yang berkaitan dengan bab ini terutama ialah Pengantar Geodesi Geomatika
(TKD1105), dan Survey GNSS TKD3501).
B. PENYAJIAN
53
Hasrat ingin tahu telah mendorong manusia untuk berupaya mencari kejelasan tentang
fenomena sosok planet bumi tempat tinggalnya. Salah satu obyek kajian ilmiahnya ialah
fenomena fisik bumi dan dinamikanya dengan penekanan pada aspek geometrik atau bentuk dan
dimensi fisik bumi. Dalam perkembangannya, upaya ilmiah ini kemudian mengidentifikasikan
diri sebagai disiplin ilmu geodesi. Kajian ilmiah terhadap aspek geometrik bumi ini secara
langsung didorong oleh kebutuhan praktis manusia akan informasi tentang posisi geografik titik-
titik di permukaan bumi yang disajikan melalui media peta. Sudah selayaknya apabila peta yang
baik (benar) harus dibuat berdasarkan model geometrik bumi yang akurat. Seperti diketahui
kemudian bahwa peta menjadi sarana yang efektif dalam berbagai lapangan pekerjaan, sehingga
pekerjaan survei geodetik dan pemetaan menjadi suatu profesi yang dibutuhkan oleh
masyarakat.
Perkembangan disiplin ilmu geodesi ditandai oleh perkembangan teori tentang model
bumi dan dinamikanya, seiring dengan perkembangan metode dan teknologi survei geodetik dan
pemetaan. Pada dasarnya, perkembangan metode dan teknologi survei geodetik dan pemetaan
senantiasa memberikan kontribusi pada perkembangan disiplin ilmu geodesi disamping manfaat
bagi pemenuhan kebutuhan praktis. Sampai dengan pertengahan abad-20, misi ilmiah dan praktis
geodesi didukung oleh metode dan teknologi survei konvensional seperti gravimetri, astronomi
geodetik, dan geodesi geometrik (triangulasi, trilaterasi, traverse, leveling). Metode konvensional
tersebut masih terbatas kapabilitas ketelitian dan jangkauan operasionalnya untuk mendukung
studi geodesi secara global dan komprehensif. Kondisi alam seperti cuaca dan topografi masih
merupakan kendala yang membatasi kapabilitas metode konvensional, sehingga penggabungan
jaring kontrol geodetik dua wilayah daratan yang terpisah oleh lautan masih belum dapat diatasi.
Dengan kondisi tersebut, maka di seluruh permukaan planet bumi ini sampai dengan pertengahan
abad-20 terdapat banyak sistem geodetik (datum geodetik, jaring kontrol geodetik) yang belum
dapat dihubungkan satu dengan lainnya.
Pada tanggal 4 Oktober 1957 satelit bumi buatan yang pertama SPUTNIK-1 diluncurkan
ke antariksa oleh Rusia, dan pada tahun berikutnya, 1958, Amerika Serkat meluncurkan
EXPLORER-1. Analisis terhadap hasil pengamatan orbit satelit Sputnik dan Explorer oleh King-
Hele dan Merson (1958) menghasilkan kesimpulan tentang penggepengan bumi f=1/298.3. Pada
tahun 1960 satelit TRANSIT-1B dan ECHO-1 berhasil diluncurkan. Teori tentang orbit satelit
bumi buatan dipublikasikan oleh Prof. Brouwer pada tahun 1959 dan Prof. Kaula pada tahun
1960. Pada tahun 1962, satelit ANNA-1B diluncurkan dan dengan pengamatan Doppler (satelit
TRANSIT) berhasil di rangkaikan jaring kontrol geodetik Perancis dengan Algeria. Sejarah
perkembangan geodesi satelit, menurut Seeber (1993), dibagi dalam tiga fase, yaitu:
(1) 1958-1970: fase pengembangan metode dasar untuk pengamatan satelit dan
perhitungan serta analisis orbit satelit.
Pada fase pertama (1958-1970), pengamatan satelit masih dilaksanakan secara fotografi-
optik dengan kamera untuk mengamati lintasan atau arah orbit satelit dengan latar belakang
benda-benda langit (bintang). Hasil-hasil penelitian yang signifikan ialah dapat ditentukannya
koefisien harmonik potensial bumi dan dipublikasikannya model-model bumi SE-1 sampai SE-3
(Standard Earth models) oleh Smithsonian Astrophysical Observatory dan GEM (Goddard Earth
Models) oleh NASA.
Pada fase ketiga (1980 - seterusnya), metode satelit semakin luas diterapkan untuk survei
geodetik dan pemetaan menggantikan sebagian metode survei-pemetaan konvensional, terutama
setelah NAvigation Satellite Timing And Ranging Global Positioning System (NAVSTAR GPS)
menunjukkan kinerja yang benar-benar handal. Sementara itu karena kemudahan operasi dan
meningkatnya ketelitian hasil pengamatan, metode geodesi satelit nampaknya akan dapat
menggantikan metode space geodesy yang lain untuk memantau gerakan kutub dan rotasi bumi.
Di masa yang akan datang, metode satelit nampaknya akan sangat efektif untuk pengukuran dan
pemantauan berbagai deformasi yang terjadi pada kerak bumi dan struktur yang lain.
Misi geodesi mengalami kemajuan yang signifikan dengan dikembangkannya metode dan
teknologi satelit bumi buatan untuk survei geodetik dan geofisik seperti penentuan posisi teliti 3D
dan satellite altimetry untuk penentuan geoid. Kemajuan yang signifikan tersebut dicapai oleh
karena kapabilitas metode dan teknologi satelit yang sangat tinggi, terutama dalam aspek
jangkauan wilayah operasi (dari jarak puluhan meter sampai ratusan bahkan ribuan kilimeter),
ketelitian hasil survei, dan kemudahan serta kecepatan operasi. Kendala cuaca dan waktu
pengamatan malam hari tidak lagi menjadi masalah karena pengamatan dan pengukuran ke/dari
satelit menggunakan gelombang elektro- magnetik. Disamping itu karena ketinggian orbit satelit
maka cakupan wilayah survei menjadi sangat luas sehingga titik-titik di permukaan bumi yang
terpisah jauh dimungkinkan untuk mengamati satelit dalam waktu bersamaan tanpa terkendala
oleh syarat saling dapat melihat antar stasiun pengamatan.
55
Penerapan teknologi satelit bumi buatan untuk survei geodetik dan geofisik telah
medorong studi geodesi global secara komprehensif. Kenyataan ini kemudian mengangkat
satellite geodesy (geodesi satelit) menjadi salah satu subyek dalam pengembangan ilmu geodesi
dan penerapannya. Apakah gerangan geodesi satelit itu ? Seeber (1993) mengungkapkan bahwa
geodesi satelit mencakup teknik-teknik pengamatan dan perhitungan yang memungkinkan
pemecahan masalah-masalah geodesi dengan mengguna-kan pengukuran teliti ke, dari, atau antar
satelit bumi buatan. Sementara itu Seeber juga mengidentifikasi tiga masalah dasar geodesi
sebagai berikut:
1) penentuan posisi teliti tiga dimensi secara global (pengembangan jaring kontrol
geodetik).
2) penentuan medan gayaberat bumi atau geoid secara teliti
3) pengukuran dan pemodelan fenomena geodinamik seperti gerakan kutub, rotasi bumi,
dan deformasi kerak bumi.
Tiga masalah dasar geodesi di atas memiliki substansi yang sama dengan misi geodesi seperti
telah diuraikan di depan.
Penerapan teknologi satelit bumi buatan dalam geodesi mensyaratkan (a) pengetahuan
komprehensif tentang gerak orbit satelit bumi buatan dibawah berbagai gaya percepatan yang
berpengaruh terhadap satelit, dan (b) sistem koordinat acuan untuk menyatakan posisi satelit dan
titik-titik stasiun pengamatan di permukaan bumi. Dalam geodesi satelit dikenal pengamatan
dengan metode geometrik dan metode dinamik. Dalam metode geometrik, satelit-satelit
dianggap sebagai target pengamatan dengan posisi “fixed” atau sebagai titik-titik kontrol,
sementara titik-titik pengamatan di bumi secara bersamaan mengamat dan mengukur jarak
(ranging) ke satelit-satelit tersebut. Posisi satelit-satelit (fixed) dan titik-titik pengamatan serta
jarak terukur membentuk jaringan segitiga dalam ruang dalam sistem koordinat global tiga
dimensi. Solusi perhitungan jaring segitiga dalam ruang tersebut memberikan informasi posisi
dan jarak antar titik-titik pengamatan.
56
VIII.4. Aplikasi Geodesi Satelit
Geodesi satelit (terjemahan dari “satellite geodesy”) merupakan konsep dan aplikasi
satelit di bidang geodesi. Selain di bidang geodesi, teknologi satelit juga diaplikasikan di bidang
komunikasi, iklim dan cuaca, inderaja, dsb. Pada awal perkembangannya, geodesi satelit
diterapkan untuk misi ilmiah seperti studi tentang bentuk dan dimensi bumi, medan gayaberat
bumi, unifikasi datum geodetik, pengukuran tinggi permukaan laut (altimetri), dan sebagainya.
Dalam fase ini dilaksanakan uji coba melalui proyek-proyek EXPLORER-1, ECHO-1, ANNA-
1B, TRANSIT-1B, GEOS-3, STARLETTE, dan LAGEOS. Dalam perkembangan selanjutnya
geodesi satelit dikembangkan, disamping untuk penyelenggara-an misi geodesi ilmiah, juga
untuk penyelenggaraan misi praktis. Diawali dengan proyek TRANSIT (satelit Doppler) yang
kemudian dilanjutkan dengan NAVSTAR GPS, GLONASS, TOPEX/POSEIDON, misi geodesi
ilmiah dan praktis diselenggarakan secara lebih intensif. Dalam kerangka misi ilmiah, geodesi
satelit diterapkan antara lain untuk studi tentang dinamika orbit dan rotasi bumi, medan gayaberat
bumi dan geoid, dan dinamika kerak bumi. Sementara itu dalam kerangka misi praktis, geodesi
satelit diterapkan terutama untuk mendukung kegiatan-kegiatan survei-pemetaan dan navigasi,
baik di darat, laut, maupun udara, melalui perannya sebagai penyedia dan pengontrol posisi
spasial.
C. PENUTUP
Rangkuman
Misi ilmiah geodesi ialah menentukan bentuk dan dimensi bumi, termasuk medan gaya
berat bumi, sementara misi praktisnya ialah menentukan posisi titik-titik atau obyek-obyek fisik
di permukaan bumi berlandaskan pada bentuk dan dimensi bumi yang telah dirumuskan. Dengan
supermasinya (terhadap metode konvensional), penerapan metode geodesi satelit telah
memberikan kontribusi yang cukup signifikan terhadap pengembangan misi geodesi, baik dalam
aspek ilmiah maupun praktis. Saat ini, aplikasi geodesi satelit telah merambah ke berbagai bidang
kegiatan, ilmiah dan teknis/praktis, yang terkait dengan posisi spasial di permukaan bumi.
Latihan
1. Jelaskan misi ilmiah dan praktis geodesi !
2. Sebutkan kendala-kendala dalam penerapan metode konvensional yang dapat diatasi oleh
metode geodesi satelit !
3. Identifikasikan tiga masalah dasar geodesi !
4. Jelaskan konsep dasar metode geometrik dan dinamik dalam geodesi satelit !
5. Uraikan tiga fase pengembangan teknologi geodesi satelit !
6. Sebutkan sistem dan aplikasi satelit geodesi yang telah dioperasikan !
Catatan :
Jawaban soal nomor 1-6 didiskusikan dalam kelas
57
BAB IX
A. PENDAHULUAN
A.2. Manfaat/Relevansi
Materi kuliah Bab ini memberikan kepada mahasiswa pemahaman (apresiasi) terhadap orbit
satelit bumi buatan (dalam bidang datar) sebagaimana mereka memahami hukum-hukum gerak
orbit planet mengelilingi matahari dan bulan mengelilingi bumi. Sementara itu matakuliah lain
yang berkaitan dengan Bab ini terutama ialah Fisika Dasar (MGF1202), dan Geodesi Fisis
(TKD3506).
B. PENYAJIAN
Hukum Kepler untuk menjelaskan gerak orbit satelit bumi buatan dapat dirumuskan
sebagai berikut:
1) Orbit satelit berbentuk elips dengan bumi berada pada salah satu titik apinya.
2) Untuk selang waktu yang sama, garis hubung satelit ke pusat bumi menyapu luasan yang
sama pada bidang orbit elips.
3) Pangkat dua periode orbit satelit sebanding dengan pangkat tiga jarak rerata satelit ke
pusat bumi.
Apabila:
A12 : luasan yang disapu oleh garis hubung satelit-pusat bumi dari waktu t1 ke t2
A34 : luasan yang disapu oleh garis hubung satelit-pusat bumi dari waktu t3 ke t4
(t 2 - t 1 ) = (t 4 - t 3 )
maka : A12 sama dengan A34
Apabila:
T1 dan T2 adalah masing-masing periode orbit satelit S1 dan S2
r1 dan r2 adalah masing-masing jarak rerata satelit S1 dan S2 ke pusat bumi
maka: (T1 )2 : (r1 )3 = (T2 )2 : (r2 )3
59
Gambar IX.2. Hukum Newton tentang gravitasi
Hukum Newton tentang gravitasi: Dua benda saling tarik-menarik dengan gaya yang
sebanding dengan hasil kali massa kedua benda dan berbanding terbalik dengan pangkat dua
jarak antara kedua benda yang bersangkutan.
̅
̅ ( ) ̅ ..................................... (IX.2)
......................................................
(IX.3)
G= konstanta gravitasi Newton, M = masa bumi, m= masa satelit
(G = 6,673 × 10−11m3kg−1s−2, GM = 3,986004418 × 1014m3s−2)
Hukum Newton tentang gravitasi ini diterapkan untuk benda-benda yang dapat dianggap sebagai
titik atau diwakili oleh titik massa.
*( )̅ ( )̅ ( )̅ +
60
̅ ̅ ̅
Sementara itu dengan Hukum Newton ke-2 dapat diturunkan persamaan sebagai berikut:
̅ ̅
̅
̅ ̅̈ ̅̇ ̇ ̅̈ ̅
̅ ̅ ̅
̅̈
Persamaan (IX.6) di atas adalah bentuk solusi n-body problem yang dirumuskan dalam
persamaan diferensial orde-2. Suku pertama ruas kanan merupakan bagian gaya yang bersifat
gravitasional dan sisanya adalah gaya atau percepatan yang bersifat non-gravitasional. Untuk
solusi two body problem (satelit dan bumi), maka persamaan (IX.6) dapat dituliskan sebagai
berikut:
̅̈ ( )̅ ............................................................ (IX.8)
Dalam uraian selanjutnya akan ditunjukkan bahwa persamaan (IX.8) adalah persamaan gerak
orbit satelit yang sesuai dengan hukum Kepler atau orbit normal.
̅ ̅̇ ( * ̅ ̅̇
̇ ( * ̇ ( )
61
( )
Besaran disbut the specific mechanical energy atau energi mekanik yang terdiri dari energi
kinetik (v2/2) dan energi potensial(GM/r). Sifat konstan energi mekanik ini mengimplikasi-kan
bahwa obyek yang bergerak dibawah pengaruh gayaberat bumi (di dalam medan gayaberat bumi)
tidak berkurang atau bertambah energi mekaniknya.
Selanjutnya sifat konstan the specific angular momentum dapat dibuktikan dengan mengalikan
secara “cross product” persamaan (IX.8) dengan vektor ̅.
̅ ̅̈ ̅ ( *̅ ̅
̅ ̅ ̅
̅ ̅̈ ̅ ̅ ̅
̅ ̅ ̅
Vektor ̅ disebut the specific angular momentum atau momen putar. Sifat konstan momen putar
mengimplikasikan bahwa vektor ̅ dan ̅ senantiasa berada pada satu bidang datar yang sama.
Oleh karena itu persamaan (IX.8) dapat dikatakan sebagai persamaan gerak dua dimensional.
f
F x
P
Gambar IX.3. Vektor posisi dan kecepatan satelit dalam SKO
62
Keterangan gambar:
S : satelit; F = titik api orbit Kepler
f : anomali sejati
̅ : vektor posisi satelit ( r = | ̅ | = jarak satelit ke titik pusat massa bumi )
̅ : vektor kecepatan satelit ̅ (̅ ̅ ) (̅ ̅ )
̅ , ̅ : proyeksi ̅ masing-masing pada arah sumbu-x dan sumbu-y
̅ , ̅ : proyeksi ̅ masing-masing pada arah ̅ dan tegak lurus ̅
|̅| |̅ ̅| ̇ ̇
( *
Δt→0 maka r1≈r2 dan sinΔf≈Δf (rad) sehingga {(sin Δf)/Δf}≈1
( * ( *
Persamaan (IX.15) di atas membuktikan bahwa perubahan luas per satuan waktu adalah konstan
sehingga dengan demikian hukum Kepler-2 terbukti.
̅̈ ̅ ( ) (̅ ̅) ( ) (̅ ̅) .................... (i)
̅̈ ̅ ( ̅̇ ̅ ) .............................................................. (ii)
(i): ( ) (̅ ̅) ( ){ ̅ ̅ ̅}
( ) {̅ ̅ ̅ ̅ ̅ ̅ }
( ) {̅ ̅ ̇ } ( )̅ ( ) ̇̅
̅ ̇̅ ̅
= ( ) ( )
63
̅ ̅
(ii)=(i): ( ̅̇ ̅) ( ) ̅̇ ̅ ( ) ̅
̅
̅ ̅̇ ̅ ̅ ( * ̅ ̅
̅ ̅
̅ ̅̇ ̅ ( *
̅ ̅ ̅ ( )
̅ ̅
( *
( *
( )
Persamaan (IX.16) adalah persamaan irisan kerucut. Dalam persamaan tersebut, p adalah semi-
lotus rectum, e adalah eksentrisitas, dan adalah sudut antara r dengan titik pada irisan kerucut
terdekat ke titik api (origin pada titik api). Ada empat kemungkinan bentuk irisan kerucut, yaitu
elips (0 < e <1), bola (e = 0), parabola (e =1), dan hiperbola (e >1). Apabila irisan kerucut
berbentuk elips, maka:
........................................................................ (IX.17)
p = h 2 / GM = a (1 − e2 )
h 2 = GM a (1 − e2 ) ........................................................................ (IX.18)
∫ ∫
( )
[ ]
( )
Persamaan (IX.19) menunjukkan bahwa pangkat dua periode orbit T sebanding dengan pangkat
tiga setengah sumbu panjang elips orbitnya; Makin panjang a, makin lama periode orbitnya.
Persamaan tersebut mengimplikasikan bukti hukum Kepler-3. Evaluasi di Perigee dan Apogee
64
akan memberikan rumusan harga energi mekanik spesifik E, setengah sumbu panjang (a) dan
eksentrisitas (e) elips orbit satelit. Di Perigee = 0o dan di Apogee = 270o sehingga dari
persamaan (IX.14) diperoleh:
h = r v ................................................................................. (IX.20)
( )
( *
( )
( ) ( )
Dari persamaan (IX.23) dapat disimpulkan bahwa harga setengah sumbu panjang elips orbit
satelit tergantung pada energi mekanik yang ditentukan oleh r dan v pada titik-titik di sepanjang
orbitnya.
65
C. PENUTUP
Rangkuman
Hukum Newton dan Kepler merupakan teori dasar yang dapat diterapkan untuk memahami
secara umum (pendekatan) orbit satelit bumi buatan. Selanjutnya 2-body problem diterapkan
untuk mempelajari orbit satelit bumi buatan secara pendekatan dengan asumsi bumi berbentuk
bola dengan massa homogen dan tidak ada gaya yang bekerja pada satelit kecuali gaya tarik bumi
yang bekerja sepanjang garis yang menghubungkan satelit ke pusat bumi. Orbit satelit yang
demikian disebut orbit normal atau orbit kepler. Sifat-sifat orbit normal ialah energi mekanik
konstan, momentum putar konstan, dan gerak dua dimensional dengan mengikuti pola irisan
kerucut.
Orbit satelit sebenarnya dipengaruhi oleh berbagai gaya (N-body problem), dan gaya-gaya ini
diperhitungkan kemudian sebagai faktor-faktor yang mengakibatkan orbit normal mengalami
perturbasi. Dengan perkataan lain, orbit satelit secara umum mengikuti hukum Newton dan
Kepler tetapi mengalami variasi yang disebabkan oleh gaya-gaya lain selain yang ditimbulkan
oleh model bumi bola bermasa homogen. Tiga elemen orbit elips yakni setengah sumbu panjang
elips (a), eksentrisitas elips (e), dan anomali menengah (M) merupakan bagian dari enam elemen
kepler.
Latihan
1. Dari hukum Kepler manakah orang dapat berkesimpulan bahwa orbit satelit berada pada
bidang datar ?
2. Dari hukum Kepler manakah orang dapat berkesimpulan bahwa makin tinggi orbit satelit
makin panjang periode orbitnya ?
3. Dalam two-body problem (bumi sebenarnya & satelit) unsur-unsur gaya atau percepatan
apa yang diabaikan sehingga model orbit normal dirumuskan seperti persamaan (3.8) ?
4. Jelaskan bahwa energi kinetik dan potensial bervariasi (mengikuti variasi tinggi orbit)
tetapi jumlah energi mekanik konservatif.
5. Jelaskan bahwa harga setengah sumbu panjang elips orbit satelit tergantung pada energi
mekanik, dengan demikian juga energi kinetik dan potensialnya !
Catatan :
Jawaban soal nomor 1-5 didiskusikan dalam kelas
66
BAB X
A. PENDAHULUAN
A.1. Deskripsi Singkat
Bab X ini membahas orbit normal satelit bumi buatan yang meliputi posisi dan kecepatan orbit
satelit dalam SKO, persamaan Kepler, elemen Kepler, transformasi posisi dan kecepatan satelit
dari SKO ke SKL, dan transformasi elemen Kepler ke SKL. Pelaksanaan perkuliahan dilengkapi
dengan latihan-latihan di kelas dan/atau pekerjaan rumah.
A.2. Manfaat/Relevansi
Materi kuliah dalam Bab X ini memberikan kepada mahasiswa pemahaman terhadap gerak orbit
satelit bumi buatan dalam ruang tiga dimensional (dalam SKL) sebagaimana mereka
mengapresiasi gerak orbit benda-benda langit di angkasa. Matakuliah lain yang berkaitan dengan
Bab ini adalah Sistem dan Transformasi Koordinat (TKD2304), dan Sistem Acuan Geodesi
(TKD2402)
A.3.Learning Outcomes
Setelah menyelesaikan matakuliah Bab ini mahasiswa akan dapat menghitung vektor posisi dan
kecepatan satelit dalam SKO, SKL dan SKT.
B. PENYAJIAN
( *
Pada rumus di atas, T adalah periode orbit satelit, M adalah anomali menengah pada epoch t, dan
MO adalah anomali menegah pada epoch tO. Karena tO adalah epoch saat satelit melintas Perigee
maka MO = 0, sehingga
Hubungan antara anomali eksentrik E dengan anomali menengah M kemudian dapat dijabarkan
sebagai berikut (lihat Gambar X.1):
( )
̅ ( ) ( +
[ ]
[ ]
68
[ ]
[ ]
[ ]
( )
Vektor posisi satelit sebagai fungsi anomali sejati (lihat Gambar X.1):
̅ ( ) ( +
̇ ( *
̇ ( )( *
( )( )
69
( )( )
( )( )
( )( )
( )( *
̇
̅̇ ( ̇+ ( +
̇
Sistem Koordinat Langit (SKL) berorigin pada pusat massa bumi (geosentrik) dengan orientasi
sumbu-X positif ke arah Vernal Equinox (VE), sumbu-Z positif ke arah kutub utara langit (kutub
70
utara sesaat), dan sumbu-Y positif melengkapinya menjadi sistem tangan kanan koordinat kartesi
3D. Posisi VE di langit mengalami variasi karena fenomena precessi dan nutasi. Apabila hanya
diperhitungkan precessi saja maka diperoleh posisi VE menengah dan sistem koordinatnya
disebut Conventional Celestial Reference System (CCRS) atau SKL menengah, sedangkan
apabila diperhitungkan precessi dan nutasi, maka diperoleh posisi VE sejati dan sistem
koordinatnya disebut True Celestial Reference System (TCRS) atau SKL sejati. SKO terorientasi
terhadap SKL oleh tiga besaran, yaitu Asensio Rekta Ascending Node (), kemiringan bidang
orbit ( i ), dan argumen perigee (). Ascending Node adalah titik lintas orbit satelit pada bidang
ekuator langit dalam manuvernya dari belahan langit selatan ke belahan langit utara, sedangkan
Descending Node adalah titik lintasnya pada bidang ekuator langit dalam manuvernya dari
belahan langit utara ke belahan langit selatan.
Vektor posisi dan kecepatan orbit satelit dalam SKL dapat diperoleh dengan mentransformasikan
vektor posisi dan kecepatan orbit satelit dalam SKO sebagai berikut:
( + ( )
̇ ̇
( ̇+ ( ̇+
̇ ̇
̇ ( ̇ ̇ ̇ ) ̇ ̇ ̇
Apabila besaran-besaran , i , dan mengacu pada SKL menengah, maka [ ] dan [ ̇ ]
mengacu pada SKL menegah. Demikian juga apabila besaran-besaran tersebut mengacu pada
SKL sejati, maka [ ] dan [ ̇ ] mengacu pada SKL sejati. Karena dari waktu ke waktu
baik SKL menengah maupun SKL sejati senantiasa mengalami variasai karena presesi dan nutasi
maka penerapan SKL perlu menunjuk kepada epoch tertentu.
71
orbit satelit mengalami variasi yang disbut perturbasi (perturbation). Transformasi state vector
ke elemen Kepler satu persatu diuraikan sebagai berikut:
̅ [( ̇ ̇)( ̇ ̇) ( ̇ ̇ )]
Menghitung elemen-elemen , i, a, dan e :
( *
[{ } ]
( ) ( )
( + ( +
72
( *
( )
C. PENUTUP
Rangkuman
Masih dalam orbit normal, vektor posisi dan kecepatan satelit dalam SKO merupakan
fungsi elemen kepler a, e, dan anomali (f, E, atau M). Sistem koordinat bidang orbit (SKO)
diorientasikan (dengan origin tetap di pusat massa bumi) terhadap sistem koordinat langit SKL
melalui tiga elemen kepler, yaitu kemiringan bidang orbit (i), asensio rekta Ascending Node (),
dan argumen perigee ().
Vektor posisi dan kecepatan satelit dalam SKL ditransformasikan dari SKO dengan
merotasikan sumbu-sumbu koordinat SKO dengan besaran-besaran elemen kepler , , dan i.
Dengan perkataan lain, vektor posisi dan kecepatan satelit dalam SKL pada suatu epoch
ditentukan oleh keenam elemen kepler pada epoch yang sesuai. Sebaliknya, vektor posisi dan
kecepatan satelit dalam SKL pada suatu epoch dapat ditransformasikan ke elemen kepler pada
epoch yang sesuai. Updating vektor posisi dan kecepatan satelit dalam SKL dilakukan dengan
cara updating elemen kepler kemudian mentransformasi kannya ke vektor posisi dan kecepatan
satelit dalam SKL.
Tes Formatif
1. Apakah yang dimaksud dengan elemen kepler dan sebutkan unsur-unsurnya !
2. Hitung harga anomali eksentrik E dan anomali sejati f pada orbit elips dengan eksentrisitas
e=0.002 untuk kedudukan anomali menengah 0o sampai 360 o dengan interval 30 o !
3. Hitung vektor posisi dan kecepatan satelit dalam SKO pada kedudukan-kedudukan satelit
yang sesuai dengan harga anomali diatas (soal no.3) bila harga setengah sumbu panjang elips
orbit a=27000 km.
4. Transformasikan vektor posisi dan kecepatan satelit dari SKO ke SKL bila diketahui
kemiringan bidang orbit 55 o, asensio rekta Ascending Node 45 o, dan argumen perigee 30 o.
5. Transformasikan vektor posisi dan kecepatan dalam SKL ke elemen kepler !
6. Hitung posisi satelit dalam SKT (saat satelit di perigee dan apogee ) bila pada epoch tersebut
diketahui GAST = 3j 30m 33s dan koordinat kutub Xp = - 0.140”, Yp = +0.329”.
Catatan :
Jawaban soal nomor 1 didiskusikan dalam kelas
Soal 2-6 dikerjakan mahasiswa di rumah (PR)
73
BAB XI
VISIBILITAS SATELIT
A. PENDAHULUAN
A.2. Manfaat/Relevansi
Materi kuliah Bab ini memberikan kepada mahasiswa pemahaman terhadap gerak orbit satelit
dalam SKT dan visibilitas satelit. Matakuliah lain yang berkaitan dengan Bab ini adalah Sistem
dan Transformasi Koordinat (TKD2304), Sistem Acuan Geodesi (TKD2402)
B. PENYAJIAN
74
( + ( +
̇ ̇
( ̇ ) ̇
( + ̇ ( +
̇ ̇
̇ ( +
;
Koordinat subsatellite point:
( ) ( *
( )
( )( )
φo diiterasikan ke persamaan:
( )
Dalam rumus di atas, ae dan ee ialah masing-masing setengah sumbu panjang dan eksentrisitas
elipsoid acuan, βS ialah lintang geosentrik, λS ialah bujur geodetik, dan φS ialah lintang geodetik
( + ( )
[ ]
( )
Dalam rumus di atas, NA adalah jejari kelengkungan vertikal utama di titik pengamatan yang
berkoordinat geodetik (A , A , hA ), sedangkan ae dan ee adalah masing-masing setengah
sumbu panjang dan eksentrisitas elipssoid acuan. Selanjutnya vektor posisi satelit dalam Sistem
Koordinat Toposentrik diperoleh dengan mentransformasikan selisih vektor posisi satelit dengan
vektor posisi titik pengamatan dalam SKT sebagai berikut:
( ) ( ) [( + ( +]
Visibility atau kenampakan satelit dari titik pengamatan P dapat diketahui dari azimut dan elevasi
satelit yang dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:
76
( )
( *
Apabila harga elevasi bertanda positif maka satelit berada di atas horison dan kemungkinan
dapat diamat.
C. PENUTUP
Rangkuman
Posisi satelit dalam SKT Geosentrik ditransformasikan ke posisi satelit dalam sistem koordinat
toposentrik. Dari posisi dalam sistem koordinat toposentrk diturunkan asimut dan elevasi satelit.
Petunjuk:
Besaran nutasi diabaikan (Δψ ≈ 0 dan Δε ≈ 0) sehingga GAST ≈ GMST (lihat rumus 4.27
dalam buku Sistem Acuan Geodetik )
Koordinat kutub diabaikan (xp = 0 dan yp = 0)
Data elipsoid acuan WGS: a = 6378137,0 meter, f = 298,257223563
77
BAB XII
ORBIT PERTURBASI
A. PENDAHULUAN
A.1. Deskripsi Singkat
Bab XII ini berisi bahan ajar tentang model orbit Keplerian yang mengalami perturbasi oleh
berbagai gaya atau percepatan, baik yang bersifat gravitasional (gravitasi bumi, bulan, matahari,
dan planet) maupun non gravitasional (radiasi matahari, pergeseran atmosfer). Pelaksanaan
perkuliahan dilengkapi dengan latihan-latihan di kelas dan/atau pekerjaan rumah.
A.2. Manfaat/Relevansi
Materi kuliah Bab ini memberikan kepada mahasiswa pemahaman tentang perilaku orbit satelit
bumi buatan yang sebenarnya. Matakuliah lain yang berkaitan dengan Bab ini adalah Sistem dan
Transformasi Koordinat (TKD2304), Survey GNSS (TKD3501), GNSS Terapan (TKD3616),
Geodesi Fisis(TKD3506).
B. PENYAJIAN
XII. 1. Gaya Penyebab Perturbasi
Orbit normal atau Keplerian mengalami perturbasi oleh berbagai gaya atau percepatan yang dapat
di nyatakan melalui persamaan:
r̈d r̈a
satelit
r̈sp
r̈s
r̈E Matahari
r̈e r̈m
orbit Bulan
Bumi
̅̈ ( *̅ ̅̈ ̅̈ ̅̈ ̅̈ ̅̈ ̅̈ ̅̈ ̅̈
78
̅̈ ( *̅ ̅̈ ( *
Indeks: E = earth, m = moon, s = solar, e = earth tide, o = ocean tide, d = atmospheric drag, sp
= solar pressure, a = albedo
R adalah disturbing potential, meliputi semua komponen diluar central term GM/r.
GM/r sendiri menimbulkan efek orbit keplerian sebagaimana efek yang dihasilkan oleh bola
bumi dengan masa homogen. Disturbing potential R mengakibatkan orbit keplerian mengalami
perturbasi. Grad V merupakan percepatan atau gaya yang dialami oleh (satuan masa) satelit.
KZ
KX KY
O ω+f
Ω
Y
X i
AN
Gambar XII.2. Komponen percepatan perturbasi Kx, Ky, Kz
( * ( *
̅̈ ̅̈ ̅̈ ̅̈ ̅̈ ̅̈ ̅̈ ̅̈
( ̈ ̈ ̈) ( ̈ ̈ ̈) ( ̈ ̈ ̈) ( ̈ ̈ ̈) ( ̈ ̈ ̈) ( ̈ ̈ ̈)
( ̈ ̈ ̈) ( ̈ ̈ ̈)
Model disturbing potential untuk komponen anomali gravitasi bumi yang menghasilkan
percepatan ̅̈ :
(∑ ∑ ( ) )
∑∑
79
∑ ∑
Faktor dominan dalam disturbing potential oleh anomali gravitasi bumi ialah efek penggepengan
bumi; Perturbasi yang ditimbulkan terutama ialah (Seeber, 1993):
1. pergeseran bidang orbit satelit (AN dan DN) ke arah Barat untuk “orbit langsung”
(orbit searah rotasi bumi) dan ke arah Timur untuk “orbit tidak langsung” (orbit
berlawanan arah rotasi bumi),
2. pergeseran titik perigee searah dengan gerak satelit untuk i<63,4o dan i>116,6o dan
berlawanan arah dengan gerak satelit utuk 63,4o < i <116,6o.
k2= elastisitas tubuh bumi; md: masa benda penyebab perturbasi; rd =vektor posisi
geosentrik benda penyebeb perturbasi; = sudut antara vektor posisi rd dengan vektor
posisi satelit r
4. Percepatan yang diakibatkan oleh pergeseran atmosfer (atmospheric drag):
̅̈ (̅ ̅̇ )| ̅ ̅̇ |
Cd = koefisien drag ; ρ(r,t)= densitas atmosfer di sekitar satelit; A= luasan efektif
permukaan satelit; mst= masa satelit; ̅̇ =kecepatan atmosfer di sekitar satelit
5. Percepatan yang diakibatkan oleh radiasi Matahari:
̅ ̅
̅̈
|̅ ̅ |
80
υ=fungsi bayangan (0≤ υ ≤1); Ps=konstanta matahari (flux per kecepatan cahaya);
Cr=reflektivitas permukaan satelit (aluminium, 1,95); O/m=rasio permukaan dengan masa
satelit ; AU=astronomical unit (150 juta km).
gravitasi bulan J2
km gravitasi bumi
geostasioner
GPS
104
gravitasi matahari
LAGEOS
81
Dalam metode numerik, semua gaya atau percepatan yang bekerja pada posisi atau epok tertentu
secara eksplisit dihitung kemudian digunakan sebagai kondisi awal untuk mengintegralkan secara
numerik vektor deviasi antara orbit sebenarnya dengan orbit acuan.
𝑟̅ 𝑟𝑟 𝑟𝑟̅ 𝑟
𝑟̅ 𝑟
𝑟̅ 𝑟 orbit sebenarnya
orbit acuan
O
̅̈ ( *̅ ̅̈
̅̈ ( *̅ ̅
Kondisi awal: ̅ ̅ ̅ ̅̇
C. PENUTUP
Tes Formatif
1. Sebutkan percepatan penyebab perturbasi pada orbit (normal) satelit bumi buatan !
2. Jelaskan efek perturbasi pada orbit satelit bumi buatan oleh fenomena penggepengan
bumi !
3. Sebutkan elemen kepler apa yang mengalami perturbasi, baik pada periode pendek,
penjang, maupun sekuler !
4. Jelaskan, mengapa efek pergeseran atmosfer dapat diabaikan dalam penentuan orbit satelit
GPS dan satelit geostasionar ?
5. Jelaskan prosedur yang umum diterapkan dalam penentuan orbit satelit bumi buatan !
Catatan :
Jawaban tes formatif didiskusikan di dalam kelas
82
BAB XIIII
A. PENDAHULUAN
A.2. Manfaat
Setelah menyelesaikan matakuliah Bab XIII ini mahasiswa dapat menjelaskan konsep dasar
pengamatan dari sistem SLR, LLR, VLBI, GPS, DOPPLER dan Satelit Altimetri.
A.3. Relevansi
Materi kuliah Bab XIII memberikan pemahaman (apresiasi) mahasiswa mengenai berbagai
sistem dan teknik pengamatan yang ada dalam geodesi satelit. Materi dalam Bab XIII ini
berkaitan dengan materi kuliah dalam bab-bab sebelumnya. Sementara itu matakuliah lain yang
berkaitan dengan Bab XIII ini adalah Survei GNSS (TKD3501), Geodesi Fisis (TKD3506),
Penginderaan Jauh (TKD2403) dan Survei Deformasi (TKD4706).
B. PENYAJIAN
Sistem penentuan posisi dalam geodesi satelit merupakan sistem penentuan posisi yang dilakukan
dengan menggunakan bantuan obyek atau benda langit seperti bintang, planet, bulan, quasar,
ataupun satelit bumi buatan. Sistem ini biasanya memanfaatkan radiasi gelombang
elektromagnetik yang digunakan untuk mengukur jarak atau arah ke obyek di langit. Konsep
dasarnya yaitu dengan menggunakan hubungan antara vektor posisi pusat bumi ke obyek yang
diamat, pusat bumi ke stasion pengamat, dan stasion pengamat ke obyek yang diamat, seperti
tersaji pada gambar XIII.1.
83
Gambar XIII.1. Konsep Penentuan Posisi dalam Geodesi Satelit
Untuk memenuhi persamaan di atas, besaran yang mungkin dapat diukur adalah arah (direction),
jarak (ranges/pseudoranges) dan beda jarak. Jika yang diukur arah, sistem penentuan posisinya
adalah Satelit Fotografi, jika yang diukur jarak sistem penentuan posisinya sistem laser atau GPS,
sedangkan jika perbedaan jarak yang diukur sistem penentuan posisinya DOPPLER. Pada Bab
XIII akan diulas tentang penentuan posisi berbasis pengukuran jarak (ranging) dan
pembahasannya lebih ditekankan pada jarak yang diukur berdasarkan waktu rambat sinyal, fase
sinyal pembawa dan efek doppler.
Pada persamaan XIIII.1 besaran yang diukur adalah besaran jarak (magnitude) atau Rs,
sedangkan besaran yang diketahui atau dihitung adalah ̅ = (XS, YS, ZS) dan ̅ =(XP, YP, ZP).
……… (XIII.2)
……… (XIII.3)
Nilai RSP dihitung secara iteratif berdasarkan rumus XIII.4 dengan menggunakan koordinat
pendekatan pengguna (RSP0) sebagai nilai awal perhitungan.
√ ……… (XIII.4)
√ ……… (XIII.5)
Linierisasi dan persamaan koreksi setelah koreksi bias serta perhitungan dan
solusi kuadrat terkecil tersaji pada rumus XIII.6 hingga XIII.
( ) ( ) ( ) … (XIII.6)
84
( ) ( ) ( ) (XIII.7)
.………….…………….……….………………………………… (XIII.8)
( ) ( ) ( )
( ) ( ) ( )
( , …………………… (XIII.9)
(( ) ( ) ( ) )
( , ( , …………………… (XIII.10)
( , ………………………………………… (XIII.11)
( , ( , ( , ( ) ……… (XIII.12)
̂ ∑ ̂ ………………………………………… (XIII.13)
85
Sinar laser ditransmisikan ke teleskop, kemudian dipancarkan ke satelit yang telah dilengkapi
reflektor. Sinar laser yang telah dipancarkan dideteksi oleh fotodioda dan diubah menjadi arus
listrik yang digunakan untuk menghitung waktu pemancaran. Pulsa yang ditransmisikan ke satelit
dipantulkan kembali oleh reflektor satelit dan diterima kembali oleh teleskop penerima dan
selanjutnya oleh fotodioda dihentikan perhitungan interval waktunya. Besarnya jarak antara
teleskop di station pengamatan dan reflektor yang ada di satelit dirumuskan sebagai berikut :
t
d c ………………………………………………. (XIII.14)
2
d : jarak antara stasion pengamatan (teleskop) ke reflektor satelit
Δt : waktu yang dibutuhkan antara pulsa laser yang dipancarkan dan yang
diterima oleh stasion pengamatan di bumi
c : cepat rambat gelombang cahaya
Pada kenyataannya, proses pengukuran tidak sesederhana yang dijelaskan di atas, tetapi hasil
pengukuran yang diperoleh perlu koreksi refraksi, eksentrisitas satelit, eksentrisitas permukaan
bumi, kesalahan pengamatan, baik acak maupun sistematik, sehingga persamaannya menjadi :
t
d c d o d s d b d r ………………………… (XIII.15)
2
d o : koreksi eksentrisitas di permukaan bumi
86
d s : koreksi eksentrisitas satelit
d r : koreksi refraksi
: kesalahan pengamatan (acak dan sistematik)
Jarak sebenarnya antara stasion pengamatan dan satelit merupakan fungsi koordinat antara
stasion pengamatan dan satelit sebagai berikut :
1
d X S X P YS YP Z S Z P
2 2 2 2
…………………… (XIII.16)
Dengan mensubstitusikan persamaan …. Ke dalam persamaan ….., maka persamaan
pengamatannya adalah :
X S X P 2 YS YP 2 Z S Z P 2 2 t c d o d s d b d r (XIII.17)
1
2
Dari persamaan di atas terdapat 3 parameter yaitu X P , YP , Z P , sehingga diperlukan minimal 3
pengamatan jarak. Jika dilakukan lebih dari 3 maka penyelesainnya dengan menggunakan
perataan.
87
Gambar XIII.3. Geometri Pengamatan LLR [Seeber, 1993]
1
c t …………………………….……………………….. (XIII.19)
2
1
rO X O X P YO YP Z O Z P
2 2 2 2
…………………… (XIII.20)
1
mR X O X B YO YB Z O Z B
2 2 2 2
…………………… (XIII.21)
Dalam kondisi yang sebenarnya, persamaan (XIII.19) dipengaruhi oleh refraksi atmosfer,
ionosfer pasang surut bumi, aberasi, efek relatifistik, precesi, nutasi, gerakan kutub dan fenomena
lainnya, sehingga persamaannya menjadi
1
rO mR c t trop ion abr koreksilain noise ………….….…. (XIII.22)
2
atau
X X
1 1
X P YO YP Z O Z P X B YO YB Z O Z B
2 2 2 2 2 2 2 2
O O =
1
c t trop ion abr koreksilain noise ………………..…..... (XIII.23)
2
Sinyal-sinyal yang dipancarkan dari sumber radio (S) akan diterima oleh stasion-stasion
dipermukaan bumi (1, 2) pada waktu yang berbeda-beda sehingga ada selisih waktu antara
stasion yang satu dengan stasion yang lain. Hal ini disebabkan karena jarak stasion yang satu
dengan yang lainnya berbeda-beda terhadap sumber radio (S) . Selisih beda waktu kemudian
dikonversikan ke unit panjang.
S
sumber Z
radio
S
τt
2
b
r2
1 r1
λ1 λ2
ekuator Y
X
Gambar XIII.4. Hubungan Geometri dan Prinsip Dasar VLBI
VLBI
89
1
t b S t abrt atmt instrt …………………………... (XIII.24)
c
Dengan abrt adalah koreksi aberasi diurnal yang dirumuskan sebagai berikut :
abrt
1
r2 S t …………………………………………... (XIII.25)
c
dan instrt adalah koreksi untuk bias dan drift dari jam stasion pengamatan.
Sedangkan atmt adalah koreksi refraksi troposfer. Koreksi ini dimodelkan sesuai keadaan.
Perkalian dot b S t dari persamaan (XIII.24) dapat ditulis dalam fungsi vektor basis yang
mengacu pada sistem koordinat terestrial sebagai berikut :
t
1
bX cos S cosh S bY cos S sinh S bZ sin S abrt atmt instrt (XIII.28)
c
Menurut persamaan diatas, ada 5 parameter yaitu 3 komponen vektor basis dan 2 koordinat untuk
setiap sumber radio. Dengan melakukan pengamatan minimal 5 kali maka parameter-parameter
tersebut dapat dihitung.
Prinsip penentuan posisi VLBI ini biasanya digunakan untuk penentuan posisi secara relatif. Jika
posisi salah satu stasion diketahui serta fix terhadap sistem koordinat terestrial, maka posisi
stasion yang lain dapat diketahui posisinya setelah diketahui besarnya vektor basis antara kedua
stasion tersebut. Persamaan matematiknya adalah :
X 2 X 1 b X
Y Y b ………………………….……….………. (XIII.29)
2 1 Y
Z 2 Z 1 bZ
R R ' Rion Rtrop multipath noise R …………………… (XIII.32)
Dengan mengganti R dalam fungsi posisi maka persamaan (5.17) dapat ditulis menjadi :
X R R
1
X S YP YS Z P Z S Rtrop multipath noise R (XIII.33)
2 2 2 2 '
P ion
Dalam persamaan (XIII.33) terdapat 4 parameter, yaitu 3 komponen koordinat stasion pengamat
X P , YP , Z P dan satu parameter koreksi jarak karena adanya bias jam satelit dengan jam receiver
R . Dengan menggunakan minimal 4 data pseudorange dan data efemeris ke-4 satelit yang diamati
maka dapat dihitung parameter-parameter tersebut.
Carrier phase diperoleh dengan cara pengurangan antara sinyal pembawa yang dibangkitkan oleh
receiver pada saat penerimaan sinyal, dan sinyal pembawa yang dibangkitkan oleh satelit pada
waktu pemancaran sinyal. Hanya fase pembawa yang tidak penuh yang dapat diukur ketika sinyal
satelit diterima, jumlah integer gelombang penuh N tidak diketahui. N disebut ambiguitas fase.
Berbagai macam algoritma ditentukan nilai ambiguitas fase sehingga dapat diketahui jarak antara
receiver dengan satelit. Penentuan jarak dengan carrier beat phase lebih teliti dari pada
pseudorange. Jika jarak antara receiver ke satelit telah diketahui, kemudian dengan suatu
algoritma dihitung posisi receiver.
Carrier phase merupakan suatu metode dengan prinsip pembedaan fase antara vektor posisi
satelit ke titik pengamat yang merupakan fungsi dari perbedaan fase sinyal sejak dipancarkan
oleh satelit hingga diterima oleh receiver. Metode ini juga dikenal dengan metode interferometri.
Receiver-receiver GPS yang melakukan pengamatan dengan menggunakan metode carrier beat
phase memiliki suatu mekanisme yang dapat menghilangkan modulasi-modulasi kode dan pesan
dari sinyal yang diterima. Bila fase dari gelombang pembawa (L1 dan L2) yang diterima oleh
receiver dikurangi (diselisihkan) dengan fase dari sinyal-sinyal yang dibentuk oleh osilator
receiver tersebut, maka akan diperoleh fase beat dari gelombang pembawa.
Jarak geometri antara satelit dengan receiver ij (t ) dapat dihitung dengan persamaan berikut
ij (t ) ( X j (t ) X i ) 2 (Y j (t ) Yi ) 2 (Z j (t ) Z i ) 2 …………..….. (XIII.37)
93
r v2 v4
f r f s 1 1 2 2 ………………………..……….…… (XIII.40)
c 2c 8c
karena besarnya kecepatan satelit v jauh lebih kecil dibanding kecepatan cahaya c (v<<<c), maka
persamaan (XIII.40) menjadi :
1 dr
f r f s 1 …………………………………………………… (XIII.41)
c dt
Didalam praktek, perubahan perbedaan antara frekuensi yang diterima f r dan frekuensi acuan
f g di dalam receiver diukur selama interval waktu yang diberikan, sebab besarnya frekuensi
tidak dapat diukur secara langsung.
f f r dT
Tk
N jk g ………………………….………………… (XIII.42)
Tj
rij rij
Jika T j t j dan Tk t k maka persamaan (XIII.42) menjadi :
c c
rik
tk
f f r dT
c
N jk g ……………………….…………………... (XIII.43)
rij
tj
c
Konsep pemakaian efek Doppler untuk penentuan posisi dapat dijelaskan pada Gambar XIII.5.
Sj(X,Y,Z)j
Z
rij
Sk(X,Y,Z)k
rik
Pj(X,Y,Z)i
ri
Zi
0 Y
Xi
Yi
X
Gambar XIII.5. Konsep Penentuan Posisi dengan Doppler
94
Besarnya putaran atau lintasan antara tanda waktu Tj dan Tk sama dengan besarnya putaran tj
dan tk sehingga :
rik
tk
tk c
f dt f dt
tj
s
rij
r ………………………….…………………………. (XIII.44)
tj
c
N jk f g f s t k t j
fg
2 2
1 1
k i
X X 2
Yk Yi 2
Z k Z i 2 2
X j X i
2
Y j Yi
2
Z j Z i (XIII.46)
c
dalam hal ini :
1
rik2 X k X i Yk Yi Z k Zi
2 2 2 2
rij2 X j X i Y j Yi Z j Zi
1
2 2 2 2
Dari persamaan (XIII.46) terlihat bahwa hanya ada 4 parameter yaitu koordinat stasion
pengamatan X i , Yi , Zi dan perbedaan frekuensi f g f s . Dengan menggunakan penyelesaian
C. PENUTUP
95
Rangkuman
Sistem penentuan posisi dalam geodesi satelit merupakan sistem penentuan posisi yang dilakukan
dengan menggunakan bantuan obyek atau benda langit seperti bintang, planet, bulan, quasar,
ataupun satelit bumi buatan. Sistem ini biasanya memanfaatkan radiasi gelombang
elektromagnetik yang digunakan untuk mengukur jarak atau arah ke obyek di langit. Konsep
dasarnya yaitu dengan menggunakan hubungan antara vektor posisi pusat bumi ke obyek yang
diamat, pusat bumi ke stasion pengamat, dan stasion pengamat ke obyek yang diamat.
Jarak (ranging) yang diukur dari satelit sampai ke pengamat dapat dilakukan dengan beberapa
cara antara lain ranging dengan Waktu Rambat Sinyal, Satelit Laser Ranging (SLR), Lunar
Laser Ranging (LLR), Very Long Base Line (VLBI), Global Positioning (GPS), dan Ranging
dengan efek Doppler
Tes Formatif
Catatan :
Jawaban soal nomor 1-5 didiskusikan dalam kelas
96