BAB II
PEMBAHASAN
A.
Periode tua memiliki potensi untuk mengalami kebahagiaan pribadi. Pada masa
ini, waktu senggang lebih banyak, dan tanggung jawab terhadap pekerjaan
sehari-hari makin berkurang. Elida Prayitno (2006) mengemukakan bahwa ada 2
(dua) hal yang mempengaruhi kepribadian yaitu tipe kepribadian dan konsep
diri.
1.
Tipe Kepribadian
Sifat kepribadian seseorang sewaktu muda akan lebih nampak jelas setelah
memasuki lansia sehingga masa muda diartikan sebagai karikatur kepribadian
lansia. Dengan memahami kepribadian lansia tentu akan lebih memudahkan
masyarakat secara umum dan anggota keluarga lansia tersebut secara khusus,
dalam memperlakukan lansia dan sangat berguna bagi kita dalam
mempersiapkan diri jika suatu hari nanti memasuki masa lansia.
Tipe konstruktif
Model kepribadian tipe ini sejak muda umumnya mudah menyesuaikan diri
dengan baik terhadap perubahan dan pola kehidupannya. Sejak muda
perilakunya positif dan konstruktif serta hampir tidak pernah bermasalah, baik di
rumah, di sekolah maupun dalam pergaulan sosial. Perilakunya baik, adaptif,
aktif, dinamis, sehingga setelah selesai mengikuti studi ia mendapatkan
pekerjaan juga dengan mudah dan dalam bekerjapun tidak bermasalah.
Karier dalam pekerjaan juga lancar begitu juga dalam kehidupan berkeluarga;
tenang dan damai semua berjalan dengan normatif dan lancar. Dapat dikatakan
bahwa tipe kepribadian model ini adalah tipe ideal, seolah-olah orang tidak
Sifatnya pada masa dewasa adalah mempunyai rasa toleransi yang tinggi,
sabar, bertanggung jawab dan fleksibel, sehingga dalam menghadapi tantangan
dan gejolak selalu dihadapi dengan kepala dingin dan sikap yang mantap.
Pada masa lanjut usia model kepribadian ini dapat menerima kenyataan,
sehingga pada saat memasuki usia pensiun ia dapat menerima dengan suka rela
dan tidak menjadikannya sebagai suatu masalah, karena itu post power
sindrome juga tidak dialami. Pada umumnya karena orang-orang dengan
kepribadian semacam ini sangat produktif dan selalu aktif, walaupun mereka
sudah pensiun akan banyak yang menawari pekerjaan sehingga mereka tetap
aktif bekerja di bidang lain ataupun ditempat lain. Itulah gambaran tipe
kepribadian konstruktif yang sangat ideal, sehingga mantap sampai lansia dan
tetap eksis di hari tua.
b.
Model kepribadian tipe ini sejak masa muda dikenal sebagai orang yang aktif dan
dinamis dalam pergaulan sosial, senang menolong orang lain, memiliki
penyesuaian diri yang cepat dan baik, banyak memiliki kawan dekat namun
sering menolak pertolongan atau bantuan orang lain. Tipe kepribadian ini seolaholah pada dirinya memiliki prinsip "jangan menyusahkan orang lain" tetapi
menolong orang lain itu penting. Jika mungkin segala keperluannya diurus
sendiri, baik keperluan sekolah, pakaian sampai mencari pekerjaan dan mencari
pasangan adalah urusan sendiri. Begitu juga setelah bekerja, dalam dunia kerja
ia sangat mandiri dan sering menjadi pimpinan karena aktif dan dominan.
Perilakunya yang akif dan tidak memiliki pamrih, justru memudahkan gerak
langkahnya, biasanya ia mudah memperoleh fasilitas atau kemudahankemudahan lainnya sehingga kariernya cukup menanjak, apalagi jika ditunjang
pendidikan yang baik, maka akan mengantarkan model kepribadian yang
mandiri menjadi pimpinan atau manajer yang tangguh.
Pada saat memasuki masa tuanya, disinilah mulai timbul gejolak, timbul
perasaan khawatir kehilangan anak buah, teman, kelompok, jabatan, status dan
kedudukan sehingga cenderung ia menunda untuk pensiun atau takut pensiun
atau takut menghadapi kenyataan. Termasuk dalam kelompok kepribadian model
ini adalah mereka yang sering mengalami post power sindrome setelah
menjalani masa pensiun. Sedangkan tipe kepribadian ini yang selamat dari
sindrome adalah mereka yang biasanya telah menyiapkan diri untuk memiliki
pekerjaan baru sebelum pensiun, misalnya wira swasta atau punya kantor
sendiri atau praktek pribadi sesuai dengan profesinya masing-masing dan
umumnya tidak tertarik lagi bekerja disuatu lembaga baru kecuali diserahi penuh
sebagai pimpinan.
c.
Tipe kepribadian tergantung ditandai dengan perilaku yang pasif dan tidak
berambisi sejak anak-anak, remaja dan masa muda. Kegiatan yang dilakukannya
cenderung didasari oleh ikut-ikutan karena diajak oleh temannya atau orang lain.
Karena pasif dan tergantung, maka jika tidak ada teman yang mengajak, timbul
pikiran yang optimistik, namun sukar melaksanakan kehendaknya, karena
kurang memiliki inisiatif dan kreativitas untuk menghadapi hal-hal yang nyata.
Pada waktu sekolah mereka biasanya dikenal sebagai siswa yang pasif, tidak
menonjol, banyak menyendiri, pergaulannya terbatas sehingga hampir-hampir
tidak dikenal kawan sekelasnya. Begitu juga saat menjadi mahasiswa, biasanya
serba lambat karena pasif sehingga masa studinya juga lambat. Dalam mencari
pekerjaan orang tipe ini biasanya tergantung pada orang lain, sehingga masuk
usia kerja juga lambat dan kariernya tidak menyolok. Dalam bekerja lebih senang
jika diperintah, dipimpin dan diperhatikan oleh orang lain atau atasan, namun
jika tidak ada perintah cenderung pasif seolah-olah tidak tahu apa yang harus
dilakukan. Dalam pergaulan sehari-hari mereka cenderung menunggu ajakan
teman namun sesudah akrab sulit melupakan jasa baik temannya.
d.
Model kepribadian bermusuhan ini juga takut menghadapi masa tua, sehingga
mereka berusaha minum segala jenis jamu atau obat agar terlihat tetap awet
muda, mereka juga takut kehilangan power, takut pensiun dan paling takut akan
kematian. Biasanya pada masa lansia ornag-orang dengan tipe ini terlihat
menjadi rakus, tamak, emosional dan tidak puas dengan kehidupannya, seolaholah ingin hidup seribu tahun lagi.
e.
Tipe kepribadian kritik diri ditandai adanya sifat-sifat yang sering menyesali diri
dan mengkritik dirinya sendiri. Misalnya merasa bodoh, pendek, kurus, terlalu
tinggi, terlalu gemuk dan sebagainya, yang menggambarkan bahwa mereka
tidak puas dengan keberadaan dirinya. Sejak menjadi siswa mereka tidak
memiliki ambisi namun kritik terhadap dirinya banyak dilontarkan. Kalau dapat
nilai jelek, selalu mengkritik dirinya dengan kata dasar orang bodoh maka malas
belajar. Begitu juga setelah dewasa dalam mencari pekerjaan dan bekerja juga
tidak berambisi yang penting bekerja namun karier tidak begitu diperhatikan.
Keadaan itu biasanya juga mengakibatkan kondisi sosial ekonominya juga
menjadi pas-pasan, karena sulit diajak kerja keras.
Dalam kehidupan berkeluarga juga tidak berambisi, syukur kalau dapat jodoh,
namun setelah nikah hubungan suami istripun tidak mesra karena selalu
mengkritik dirinya dengan segala kekuangannya. Karena kurang akrab
berkomunikasi dengan suami atau istri, maka mudah terjadi salah faham, salah
pengertian dan mudah tersinggung. Kehidupan dalam keluarga kurang hangat
dan kurang membahagiakan dirinya. Dalam menghadapi masa pensiun mereka
akan menerima dengan rasa berat, karena merasa lebih tidak berharga lagi dan
tidak terpakai. Model kepribadian inilah yang sering terlihat pada lansia yang
antara suami dan istri menjadi tidak akur, sehingga masing-masing mengurusi
kebutuhan sendiri-sendiri, tidak saling menegur dan saling mengacuhkan
walaupun hidup dalam satu atap.
2.
Penelitian yang dilakukan oleh Gutman (1964) dalam Elida Prayitno (2006)
menunjukkan hasil bahwa konsep diri orang lansia tidak berbeda dan tidak
berubah secara signifikan dari masa mudanya. Namun pada penelitian lainnya
ditemukan bahwa konsep diri orang berubah dari aktif (masa mudanya) menjadi
pasif (masa tua). Hal ini berbeda karena konsep diri sangat tergantung kepada
sikap sosial orang-orang di sekitar terhadap orang lansia.
Trimaks dan Nicolay (1974) dalam Elida Orayitno (2006) menyatakan bahwa
konsep diri orang tua cenderung tetap atau stabil sampai tua, dalam arti tidak
mengalami perubahan yang dramatis pada masa tua sesorang. Orang yang
memiliki konsep diri yang positif dimasa mudanya akan memiliki konsep diri
yang positif pula di masa tuanya, begitu pula sebaliknya. Kemudian Emmet dan
Echman (1973) dalam Elida Prayitno (2006) juga menambahkan bahwa
kebanyakan orang lansia tidak ingin menjadi muda lagi. Mereka ingin menjadi
orang tua yang sehat dan bahagia.
B.
1.
Skizofrenia
Gangguan jiwa skizofrenia merupakan gangguan jiwa yang berat dan gawat yang
dapat dialami manusia sejak muda dan dapat berlanjut menjadi kronis dan lebih
gawat ketika muncul pada lanjut usia (lansia) karena menyangkut perubahan
pada segi fisik, psikologis dan sosial-budaya (Depkes, 1992 dalam Zainuddin Sri
Kuntjoro, 2002).
Gangguan skizofrenia pada lanjut usia (lansia) ditandai oleh gangguan pada
alam pikiran sehingga penderita memiliki pikiran yang kacau. Hal tersebut juga
menyebabkan gangguan emosi sehingga emosi menjadi labil misalnya cemas,
bingung, mudah marah, mudah salah faham dan sebagainya. Terjadi juga
gangguan perilaku, yang disertai halusinasi, waham dan gangguan kemampuan
dalam menilai realita, sehingga penderita menjadi tak tahu waktu, tempat
maupun orang.
Skizofrenia katatonik (seperti patung, tidak mau makan, tidak mau minum,
dsb)
Pada umumya, gangguan skizofrenia yang terjadi pada lansia adalah skizofrenia
paranoid, simplek dan latent. Sulitnya dalam pelayanan keluarga, para lansia
dengan gangguan kejiwaan tersebut menjadi kurang terurus karena perangainya
dan tingkahlakunya yang tidak menyenangkan orang lain, seperti curiga
berlebihan, galak, bersikap bermusuhan, dan kadang-kadang baik pria maupun
wanita perilaku seksualnya sangat menonjol walaupun dalam bentuk perkataan
yang konotasinya jorok dan porno (walaupun tidak selalu).
2.
Parafrenia
Parafrenia merupkan gangguan jiwa yang gawat yang pertama kali timbul pada
lanjut usia (lansia), (misalnya pada waktu menopause pada wanita). Gangguan
ini sering dianggap sebagai kondisi diantara Skizofrenia paranoid di satu pihak
dan gangguan depresif di pihak lain. Lebih sering terjadi pada wanita dengan
kepribadian pramorbidnya (keadaan sebelum sakit) dengan ciri-ciri paranoid
(curiga, bermusuhan) dan skizoid (aneh, bizar). Mereka biasanya tidak menikah
atau hidup perkawinan dan sexual yang kurang bahagia, jika punya sedikit
itupun sulit mengasuhnya sehingga anaknyapun tak bahagia dan biasanya
secara khronik terdapat gangguan pendengaran. Umumnya banyak terjadi pada
wanita dari kelas sosial rendah atau lebih rendah.
3.
Zainuddin Sri Kuntjoro (2002) menyatakan bahwa Gangguan jiwa afektif adalah
gangguan jiwa yang ditandai dengan adanya gangguan emosi (afektif) sehingga
segala perilaku diwarnai oleh ketergangguan keadan emosi. Gangguan afektif ini
antara lain:
Gangguan ini terjadi relatif cepat dalam beberapa bulan. Faktor penyebabnya
dapat disebabkan oleh kehilangan atau kematian pasangan hidup atau
seseorang yang sangat dekat atau oleh sebab penyakit fisik yang berat atau
lama mengalami penderitaan.
Gejala gangguan afektif tipe depresif adalah sedih, sukar tidur, sulit
berkonsentrasi, merasa dirinya tak berharga, bosan hidup dan kadang-kadang
ingin bunuh diri. Beberapa pandangan menganggap bahwa terdapat 2 jenis
depresi yaitu Depresi tipe Neurotik dan Psikotik. Pada tipe neurotik kesadaran
pasien tetap baik, namun memiliki dorongan yang kuat untuk sedih dan tersisih.
Pada depresi psikotik, kesadarannya terganggu sehingga kemampuan uji realitas
(reality testing ability) ikut terganggu dan berakibat bahwa kadang-kadang
pasien tidak dapat mengenali orang, tempat, maupun waktu atau menjadi
seseorang yang tak tahu malu, tak ada rasa takut, dsb.
Gangguan ini sering timbul secara bergantian pada pasien yang mengalami
gangguan afektif tipe depresi sehingga terjadi suatu siklus yang disebut
gangguan afektif tipe Manik Depresif. Dalam keadaan Manik, pasien
menunjukkan keadaan gembira yang tinggi, cenderung berlebihan sehingga
mendorong pasien berbuat sesuatu yang melampaui batas kemampuannya,
pembicaraan menjadi tidak sopan dan membuat orang lain menjadi tidak enak.
Kondisi ini lebih jarang terjadi dari pada tipe depresi. Kondisi semacam ini
kadang-kadang silih berganti, suatu ketika pasien menjadi eforia, aktif, riang
gembira, pidato berapi-api, marah-marah, namun tak lama kemudia menjadi
sedih, murung, menangis tersedu-sedu yang sulit dimengerti.
4.
Neurosis
Gangguan neurosis dialami sekitar 10-20% kelompok lanjut usia (lansia). Sering
sukar untuk mengenali gangguan ini pada lanjut usia (lansia) karena disangka
sebagai gejala ketuaan. Hampir separuhnya merupakan gangguan yang ada
sejak masa mudanya, sedangkan separuhnya lagi adalah gangguan yang
didapatkannya pada masa memasuki lanjut usia (lansia). Gangguan neurosis
pada lanjut usia (lansia) berhubungan erat dengan masalah psikososial dalam
memasuki tahap lanjut usia (lansia).
Gangguan ini ditandai oleh kecemasan sebagai gejala utama dengan daya tilikan
(insight) serta daya menilai realitasnya yang baik. Kepribadiannya tetap utuh,
secara kualitas perilaku orang neurosis tetap baik, namun secara kuantitas
perilakunya menjadi irrasional. Sebagai contoh : mandi adalah hal yang biasa
dilakukan oleh orang normal sehari 2 kali, namun bagi orang neurosis obsesive
untuk mandi, ia akan mandi berkali-kali dalam satu hari dengan alasan tidak
puas-puas untuk mandi
5.
Gangguan Somatoform
Pasien dengan keadaan ini sering mengeluh bahwa dirinya sakit, serta tidak
dapat diobati. Keluhannya sering menyangkut alat tubuh seperti alat
pencernaan, jantung dan pembuluh darah, alat kemih/kelamin, dan lainnya. Pada
lansia yang menderita hipokondriasis penyakit yang menjadi keluhannya sering
berganti-ganti, bila satu keluhannya diobati yang mungkin segera hilang, ia
mengeluh sakit yang lain. Kondisi ini jika dituruti terus maka ia akan terusmenerus minta diperiksa dokter; belum habis obat untuk penyakit yang satu
sudah minta diperiksa dokter untuk penyakit yang lain.
C.
Kuhler dalam Elida Prayitno (2006) berpendapat bahwa sikap orang tua yang
sakit dan dalam keadaan sekarat adalah sebagai berikut:
a.
Menolak; Mereka belum ingin meninggal. Karena mereka tidak mampu
menolak, maka mereka menjadi marah.
b.
Marah; Marah mengikuti penolakan yang tidak mungkin terjadi. Mereka
marah kepada dokter atau orang lain yang ingin menolong mereka.
c.
Tawar-menawar dengan maut; Meeka tawar menawar dengan Tuhan,
memohon agar waku hidup mereka sedikit lagi diperpanjang.
d.
Depresi; Orang yang menghadapi maut mengalami depresi karena
kesedihan yang mendalam, an akhirnya pasrah.
e.
Menerima; mereka menyadari bahwa mereka pasti mati dan waktunya
sudak sanagat dekat.
Pada usia lanjut, kematian pasangan merupakan hal yang sangat mungkin
terjadi dan merupakan suatu keniscayaan. Elida Prayitno (2006) menyatakan
bahwa peristiwa kematian pasangan memerlukan penyesuaian, dan penyesuaian
tersebut sangat dipengaruhi oleh pergaulan orang tersebut sewaktu menjadi
pasangan suami-istri dan kepribadiannya.
Clayton (1971), Parker & Brown (1972) dalam Elida Prayitno (2006) memaparkan
bahwa reaksi terhadap kematian pasanagan ada yang bersifat sementara seperti
menangis, tertekan, sukar tidur, ketajaman perhatian menurun, kurang selera
makan, kurus, hilangnya keinginan untuk melakukan kegiatan , menyalahkan diri
sendiri, cemas, pemarah kepada kenyataan.
.Elida Prayino sendiri juga mengemukakan sendiri bahwa rekasi perasaan
terhadap kehilangan pasangan berlangsung lama atau segera hilang, tergantung
pada kekuatan perasaan dalam diri indiidu yang bersangkutan. Adapun usaha
yang dapat dilakukan demi menyembuhkan kesedihan pasca kematian pasangan
pada lansia ialah seperti menikah kembali, melakukan aktivitas baru yang
bermanfaat bagi pengembangan diri sendiri atau menunjang kehidupan ekonomi
(terutama wanita.
Lopata (1973) dalam Elida Prayitno (2006) menyebutkan bahwa menikah
kembali atau tidak, tergantung pada ketahanan untuk hidup sendiri, ketahanan
menjadi janda atau duda tidak terkait dengan kebutuhan seks, tetapi itu
tegantung pada system sosial yan berlaku dalam kehidupan pasanagan itu.
Namun pada faktanya kecendrungan untuk menikah lagi tergantung pada
kondisi ekonomi, latar belakang agama, jumlah perkawinan sebelumnya, umur,
sejarah keluarga, dan tingkat trauma yang dirasa.
D.
Lanjut usia juga mengalami perubahan dalam minat. Pertama minat terhadap
diri makin bertambah. Kedua minat terhadap penampilan semakin berkurang.
Ketiga minat terhadap uang semakin meningkat, terakhir minta terhadap
kegiatan rekreasi tak berubah hanya cenderung menyempit. Untuk itu diperlukan
motivasi yang tinggi pada diri lansia untuk selalu menjaga kebugaran fisiknya
agar tetap sehat secara fisik. Motivasi tersebut diperlikan untuk melakukan
latihan fisik secara benar dan teratur untuk meningkatkan kebugaran fisiknya.
Berkaitan dengan perubahan, kemudian Hurlock (1990) mengatakan bahwa
perubahan yang dialami oleh setiap orang akan mempengaruhi minatnya
terhadap perubahan tersebut dan akhirnya mempengaruhi pola hidupnya.
Bagaimana sikap yang ditunjukan apakah memuaskan atau tidak memuaskan,
hal ini tergantung dari pengaruh perubahan terhadap peran dan pengalaman
pribadinya. Perubahan yang diminati oleh para lanjut usia adalah perubahan
Dilain pihak ciri penyesuaian diri lanjut usia yang baik antara lain adalah : Minat
yang kuat, ketidaktergantungan secara ekonomi, kontak sosial luas, menikmati
kerja dan hasil kerja, menikmati kegiatan yang dilakukan saat ini dan memiliki
kekuatiran minimal terhadap diri dan orang lain.
BAB III
KESIMPULAN
Kepribadian masa lansia dipengaruhi oleh dua hal yaitu; tipe kepribadian dan
konsep diri. Tipe kepribadian lansia diantaranya ialah tipe konstruktif, tipe
mandiri, tipe tergantung, tipe bermusuhan, dan tipe kritik diri. Konsep diri lansia
ditentukan oleh bagaimana konsep dirinya ketika muda.
Masa lansia tidak terlepas dari adanya gangguan mental, sperti skizofrenia,
parafrenia, depresi, manic, neurosis, stomaform, dll. Kematian pada masa lansia
merupakan suatu keniscayaan, adapun reaksi yang timbul ketika menghadapi
kematian diri sendiri ialah ada yang menolak dan menerima. Sedangkan untuk
kematian pasangan, orang lansia ada yang meilih untuk hidup sendiri dan ada
yang menikah lagi, tergantung dari ketahanan hidup sendiri dan system sosial
yang berlaku.
Orang lansia juga mengalami perubahan minat seperti,minat terhadap rekreasi
yang menyempit, dll.
DAFTAR PUSTAKA
Elida Prayitno. 2006. Psikologi Orang Dewasa. Padang: Angkasa Raya
Zainuddin Sri Kunjoro. 2002. Memahami Kepribadian Lansia. Jakarta.
------------------------.2002. Mengenal Gangguan Jiwa Pada Lansia . Jakarta
http://muhamadrezapahlevi.blogspot.com/2012/05/perubahan-yang-terjadi-padalansia.html