Anda di halaman 1dari 24

PENGARUH INFLASI , SUKU BUNGA SBI DAN KURS DOLAR

AMERIKA SERIKAT TERHADAP PERUBAHAN INDEKS


HARGA SAHAM GABUNGAN DI BURSA EFEK JAKARTA
(Periode Januari 2000 Mei 2008)

I.

Latar Belakang Masalah

Pasar saham memprediksi semua dari lima resesi terakhir, pernyataan terkenal Paul
Samuelson ini menunjukkan reliabilitas pasar saham sebagai indikator ekonomi.
Ketika pasar saham mengalami penurunan yang berarti, ada alasan untuk khawatir
bahwa resesi akan muncul. Walaupun pasar saham dalam kenyataannya cukup
berubah-ubah, dan dapat memberi kita tanda-tanda yang salah tentang masa depan
perekonomian. Meskipun demikian, kita seharusnya tidak mengabaikan keterkaitan
antara pasar saham dan perekonomian (Mankiw, 2007).
Penurunan suku bunga, membuat investor memindahkan uangnya dari tabungan ke
investasi, karena investasi dianggap lebih menguntungkan. Para investor berinvestasi
ke pasar modal sehingga terjadi peningkatan pembelian saham yang berarti kenaikan
pada IHSG.
Inflasi merupakan kecenderungan terjadinya kenaikan harga produk secara
keseluruhan, sehingga menaikkan pendapatan dan biaya perusahaan. Kenaikan biaya
produksi yang lebih besar daripada kenaikan harga akan mengakibatkan keuntungan
investor dan return investasi menurun sehingga investasi kurang menarik akibatnya

harga saham akan menurun. Melemahnya kurs akan berakibat mengalirnya dana ke
pasar valas yang dapat bersumber dari pasar uang maupun pasar modal, pengalihan
dana dari pasar uang akan mengakibatkan likuiditas rupiah ketat sehingga suku bunga
meningkat yang mengakibatkan penurunan harga saham pada pasar modal karena
aksi jual.
Dalam sistem keuangan, pasar uang (money market) dan pasar modal (capital market)
merupakan bagian dari pasar keuangan (financial markets). Pasar uang dan pasar
modal sering diartikan sama, padahal kedua jenis pasar tersebut memiliki
karakteristik yang berbeda. Pasar uang adalah pasar yang menyediakan sarana
pengalokasian dan pinjaman jangka pendek, karena itu pasar uang merupakan pasar
likuiditas primer. Sebaliknya, pasar modal berkaitan dengan surat-surat berharga yang
berjangka panjang dengan dana yang diperjualbelikan bersifat permanen atau semi
permanen. Persamaan kedua pasar tersebut adalah kedua pasar merupakan sarana
bagi investor dalam melakukan investasi disamping sebagai sarana mobilisasi dana
bagi pihak yang membutuhkan dana.
Pasar modal dalam arti sempit adalah suatu tempat yang terorganisasi dimana efekefek diperdagangkan yang disebut bursa efek. Bursa efek atau stock exchange adalah
suatu sistem yang terorganisasi yang mempertemukan penjual dan pembeli efek yang
dilakukan baik secara langsung maupun dengan melalui wakil-wakilnya. Fungsi
bursa efek antara lain adalah menjaga komunitas pasar dan menciptakan harga efek
yang wajar melalui mekanisme permintaan dan penawaran.

Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sebagai salah satu instrumen pasar modal
pertama kali diperkenalkan pada 1 April 1983 sebagai indikator pergerakan harga
saham yang tercatat di Bursa Efek Jakarta (BEJ), baik saham biasa maupun saham
preferen. IHSG menggunakan semua saham yang tercatat di BEJ sebagai komponen
penghitungan indeks. IHSG dihitung dengan menggunakan rata-rata tertimbang dari
nilai pasar. Setelah dilakukan deregulasi tersebut minat emiten maupun investor
dalam memanfaatkan pasar modal sebagai sumber pembiayaan bagi perusahaan di
satu pihak dan sarana investasi bagi pemodal meningkat secara drastis yang tercermin
dari banyaknya perusahaan yang melakukan emisi saham dan obligasi serta naiknya
kapitalisasi dana. Naiknya minat investor tercermin pula dari peningkatan volume
perdagangan serta indeks harga saham gabungan (IHSG). Sebagai ilustrasi IHSG
pada awal tahun 1977, sebelum dilakukan deregulasi adalah 93,87 poin dan saat ini
berfluktuasi pada level diatas 2000 poin.
Krisis moneter yang berkembang menjadi krisis ekonomi yang berkepanjangan
semenjak pertengahan tahun 1997, telah membawa dampak yang kurang
menguntungkan bagi perekonomian dan perkembangan moneter Indonesia. Gejolak
kurs yang terjadi sejak pertengahan tahun tersebut telah berdampak luas terhadap
kegiatan perekonomian Indonesia. Pada akhir tahun anggaran 1997/1998 jumlah uang
yang beredar dan laju inflasi meningkat tajam, serta kurs terhadap Dolar Amerika
Serikat (US $) melemah. Angka pertumbuhan ekonomi
dari rata-rata sekitar 7 persen selama sekurang-kurangnya dua dekade menjadi minus
lebih dari 13 persen di tahun 1998, Rupiah terdepresiasi lebih dari 70 persen ketika

kurs rata-rata hariannya mencapai Rp. 16.700 per US$, inflasi meroket menjadi 77,6
persen dan tingkat suku bunga Sertifikat Bank Indonesia satu bulan mencapai 70
persen.
Penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Sakhowi (2004), menganalisis pengaruh
kurs Rupiah terhadap Dolar AS, inflasi dan tingkat bunga terhadap kinerja saham di
BEJ dengan model autoregresif hasilnya kurs dan inflasi berpengaruh secara
signifikan sedangkan tingkat bunga riil tidak berpengaruh. Syaifuddin (2005),
menganalisis pengaruh perubahan suku bunga, inflasi dan kurs terhadap perubahan
IHSG dengan metode analisis deskriptif dan analisis regresi linear berganda dan
hasilnya hanya kurs yang berpengaruh cukup signifikan. Oktanindya (2007),
menganalisis pengaruh indeks harga saham, kurs mata uang dan tingkat suku bunga
dari negara di kawasan Asia Pasifik terhadap IHSG dengan metode Vector
Autoregression (VAR) dan hasilnya IHSG dipengaruhi secara signifikan oleh indeks
harga saham, kurs mata uang dan tingkat suku bunga dari negara di kawasan Asia
Pasifik, kecuali indeks harga saham Jepang dan Amerika Serikat, mata uang Australia
dan suku bunga Indonesia. Direja (2004), meneliti pengaruh variabel makro ekonomi
terhadap harga saham (IHSG) dari Mei 1998-maret 2004 (secara triwulanan),
hasilnya tingkat bunga dan kurs berpengaruh negatif sedangkan inflasi tidak
berpengaruh secara signifikan. Manurung (1996) dalam Syaifuddin (2005), meneliti
pengaruh variabel makro ekonomi terhadap IHSG dengan menggunakan model
ekonometrik dari tahun 1989-1995 (77 observasi), hasilnya tingkat bunga dan kurs
rupiah berpengaruh negatif serta inflasi berpengaruh positif.

Kinerja Bursa Efek Indonesia yang terlihat mengalami pertumbuhan fantastis


sebelum pertengahan 1997 kemudian mengalami penurunan terus-menerus setelah
krisis tersebut. Hal ini berdampak terhadap investasi di pasar modal sebab dengan
beralihnya investor ke pasar uang, investasi yang ditanamkan menjadi berkurang dan
kaitannya dengan pasar modal, IHSG menjadi turun karena kondisi pasar sekuritas
yang mengalami kelesuan dan penurunan. Dari gambaran tersebut pelaku pasar atau
investor perlu memperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi saham, instrumen
pasar keuangan serta faktor makroekonomi maupun mikroekonomi.

II.

Pokok Masalah

Investasi pemodal yang dituangkan dalam bentuk saham mempunyai banyak resiko.
Seperti bila ada perubahan instrumen pasar keuangan yang menjadi indicator
makroekonomi seperti pergerakan kurs terhadap Dolar Amerika Serikat, tingkat suku
bunga SBI, dan tingkat inflasi serta variabel lain seperti faktor sosial, politik, luar
negeri dan keamanan.
Perubahan pada indikator makro seperti pergerakan kurs terhadap Dolar Amerika
Serikat, tingkat suku bunga SBI, dan tingkat inflasi dapat mempengaruhi indeks harga
saham gabungan. Terjadinya aliran dana dari pasar uang ke pasar modal, akan
mempengaruhi nilai IHSG.
Dari latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas dapat diidentifikasikan
masalah apakah terdapat pengaruh perubahan variabel makro dalam sistem pasar

keuangan seperti pergerakan kurs Dolar Amerika, tingkat suku bunga SBI, dan
tingkat inflasi terhadap perubahan indeks harga saham gabungan (IHSG). Karena
keterbatasan waktu serta minat penulis penelitian ini dibatasi pada masalah apakah
dalam sistem pasar keuangan di Indonesia; pasar valas, pasar uang, dan pasar
riil/barang mempunyai pengaruh (positif ataupun negatif) terhadap pasar modal.
Sedangkan instrumen yang diambil hanya satu instrument dari setiap bagian pasar
keuangan yaitu kurs terhadap Dolar Amerika dari pasar valuta asing, tingkat suku
bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) 1 bulan dari pasar uang, dan indeks harga
saham gabungan (IHSG) untuk pasar modal serta dari sektor/pasar riil diambil tingkat
inflasi bulanan month to month. Alasan
pemilihan setiap instrumen dikarenakan peranan masing-masing instrumen yang
sangat penting di dalam mencirikan atau menjelaskan masing-masing pasar.
III.

Tujuan

Untuk mengetahui perkembangan indeks harga saham gabungan, kurs terhadap Dolar
Amerika Serikat, tingkat suku bunga SBI dan tingkat inflasi dan mengetahui
pengaruh masing-masing variabel tersebut baik secara simultan maupun secara
parsial terhadap perkembangan indeks harga saham gabungan (IHSG).
IV.

Kegunaan

Bagi peneliti, untuk memperdalam pengetahuan tentang pasar keuangan khususnya


pergerakan harga saham di pasar modal dan faktor-faktor yang mempengaruhinya.
Bagi khalayak umum semoga penelitian ini dapat mempertajam analisis dan
memberikan manfaat tentang pasar modal.

V.

Hipotesis

Hipotesis yang disusun dalam penelitian ini adalah:


a. H 0 : inflasi tidak berpengaruh negatif terhadap pergerakan indeks harga harga
saham gabungan (IHSG).
H a :

inflasi berpengaruh negatif terhadap pergerakan indeks harga saham

gabungan (IHSG).
b. H 0 : tingkat suku bunga SBI tidak berpengaruh negatif terhadap pergerakan indeks
harga saham gabungan (IHSG).
H a : tingkat suku bunga SBI berpengaruh negatif terhadap pergerakan indeks
harga saham gabungan (IHSG).
c. H 0 : Kurs tidak berpengaruh negatif terhadap pergerakan indeks harga saham
gabungan (IHSG).
H a

Kurs berpengaruh negatif terhadap pergerakan indeks harga saham

gabungan (IHSG).
d. H 0 : tingkat inflasi, tingkat suku bunga SBI dan kurs tidak berpengaruh negatif
terhadap pergerakan indeks harga saham gabungan (IHSG).
H a : tingkat inflasi, tingkat suku bunga SBI dan kurs berpengaruh negatif
terhadap pergerakan indeks harga harga saham gabungan (IHSG).

VI.
Garis Besar Hubungan Teori dan Empiris
1. Pengertian Inflasi
Inflasi selalu dan dimanapun merupakan fenomena moneter (Friedman dalam
Mankiw, 2007). Inflasi pada dasarnya merupakan suatu kecenderungan dari hargaharga untuk menaik secara umum dan terus-menerus. Jika harga cenderung turun
disebut deflasi. Inflasi dihitung dari Indeks harga Konsumen (IHK).
Inf

(t)

[ IHK
=

(t)

IHK

(t-1)

]
X 100

IHK

(t-1)

dimana :
Inf (t) = Inflasi bulan t
IHK (t) = Indeks Harga Konsumen bulan t
IHK (t-1) = Indeks Harga Konsumen bulan t-1
Penyebab inflasi dapat dikategorikan sebagai berikut:
a.

Demand pull inflation, inflasi yang disebabkan oleh adanya peningkatan


permintaan sehingga terjadi inflation gap.

b. Wage cost-push inflation yaitu inflasi yang disebabkan oleh kenaikan upah buruh
atau harga barang.
c. Import cost-push inflation yaitu inflasi yang disebabkan oleh kenaikan harga
impor sehingga mendorong kenaikan harga domestik.
d. Expectional inflation yaitu inflasi yang disebabkan oleh upah dan harga yang naik
akibat adanya dugaan bahwa inflasi akan terus berlangsung.

e. Inertial inflation yaitu inflasi yang disebabkan oleh para penentu upah dan harga
yang mengacu pada pesaingnya dan bersikap hati-hati dalam mengurangi upah
dan harga yang ditentukan.
Sedangkan Tambunan (1996) dalam Syaifuddin (2005), mengatakan bahwa penyebab
inflasi di Indonesia adalah ongkos produksi yang tinggi (cost-push inflation) dan atau
permintaan agregat yang tinggi (demand-pull inflation).
2.

Pengertian Tingkat Suku bunga SBI

Sertifikat Bank Indonesia atau SBI pada prinsipnya adalah surat berharga atas unjuk
dalam Rupiah yang diterbitkan dengan sistem diskonto oleh Bank Indonesia sebagai
pengakuan utang berjangka waktu pendek. SBI pertama kali diterbitkan pada tahun
1970 dengan sasaran utama untuk menciptakan suatu instrumen pasar uang yang
hanya diperdagangkan antara bank-bank. Namun setelah dikeluarkan kebijaksanaan
yang memperkenankan bank-bank menerbitkan sertifikat deposito pada tahun 1971,
dengan terlebih dahulu memperoleh ijin dari Bank Indonesia, maka SBI tidak lagi
diterbitkan karena sertifikat deposito dianggap akan dapat menggantikan SBI. Oleh
karena itu, SBI sebenarnya hanya sempat beredar kurang lebih satu tahun. Namun
sejalan dengan berubahnya pendekatan kebijaksanaan moneter pemerintah terutama
setelah deregulasi perbankan 1 Juni 1983, maka Bank Indonesia kembali menerbitkan
SBI sebagai instrumen dalam melakukan kebijaksananan operasi pasar terbuka,
terutama untuk tujuan kontraksi moneter.
Ada beberapa istilah yang berkaitan dengan instrumen SBI, yaitu:

a. SBI lelang yaitu SBI yang dijual secara lelang kepada bank dan atau pialang, yang
didasarkan

atas

target

kuantitas

dalam

rangka pelaksanaan

kebijakan

pengendalian moneter.
b.

SBI repo (repurchase agreement) adalah SBI yang dibeli kembali oleh Bank
Indonesia dalam rangka memenuhi kebutuhan likuiditas bank dengan perjanjian
bank akan membeli kembali sesuai jangka waktu repo yang diperjanjikan.

3.

Pengertian Kurs (Valuta Asing/Valas)

Kurs Nominal adalah harga relatif dari mata uang dua negara (Mankiw, 2007). Pasar
valas adalah lembaga atau pasar dimana orang memperoleh fasilitasfasilitas untuk
melaksanakan pembayaran kepada penduduk negara lain atau menerima pembayaran
dari penduduk negara lain. Di dalam pasar valas terjadi permintaan dan penawaran
valuta asing. Sistem kurs valuta asing adalah:
a.

Sistem kurs yang berubah-ubah yaitu perubahan kurs tergantung pada beberapa
faktor yang mempengaruhi permintaan dan penawaran valas.

b. Sistem kurs stabil, sistem ini dilakukan pemerintah untuk menstabilkan kurs, dapat
timbul secara aktif (pemerintah menyediakan dana untuk tujuan stabilisasi kurs)
maupun pasif (pemerintah dalam suatu Negara menggunakan standar emas).
Untuk bahasan ini, kurs dibatasi pada kurs Rupiah terhadap Dolar Amerika.
4. Pengertian Saham
Seperti telah dijelaskan pada bagian diawal bahwa dalam pasar modal, tempat dimana
efek-efek yang diperdagangkan disebut juga dengan Bursa Efek atau stock exchange
salah satu instrumennya adalah saham. Saham atau stocks adalah surat bukti atau

tanda kepemilikan bagian modal pada suatu perseroan terbatas. Dalam transaksi jualbeli di Bursa Efek, saham yang sering pula disebut shares merupakan instrumen yang
paling dominan diperdagangkan. Saham dapat dibedakan antara saham biasa dan
saham preferen. Pada saham biasa deviden dibagikan sepanjang perusahaan
memperoleh laba, memiliki hak suara dan hak memperoleh pembagian kekayaan
perusahaan apabila bangkrut. Jenis saham biasa antara lain saham unggul (blue
chips), growth stocks, emerging growth stocks. Sedangkan dalam saham preferen
memiliki hak paling dahulu memperoleh deviden, dapat mempengaruhi manajemen
namun tidak memiliki hak suara, memiliki hak pembayaran sebesar nominal saham,
dan ada kemungkinan memperoleh tambahan dari pembagian laba perusahaaan
disamping yang tetap.
5.

Pengertian IHSG

Suatu perkembangan variabel dari waktu ke waktu banyak dianalisis dengan


menggunakan angka indeks. Indeks merupakan suatu angka yang dibuat sedemikian
rupa sehingga dapat dipergunakan untuk melakukan perbandingan antara kegiatan
yang sama (Supranto;1994). Dalam keputusan direksi PT. Bursa Efek Jakarta, Indeks
dapat berupa satu saham, sekumpulan saham dalam suatu industri tertentu atau semua
saham gabungan (IHSG). Indeks harga saham terdiri dari :
a. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dimana semua saham tercatat sebagai
komponen penghitungan indeks.
b.

Indeks Sektoral dimana saham yang termasuk dalam masing-masing sektor


(primer, sekunder dan tersier) tercatat.

c.

Indeks LQ-45 yaitu indeks yang menggunakan 45 saham terpilih setelah

dilakukan seleksi.
d. Indeks Individual yaitu harga masing-masing saham terhadap harga dasarnya.
IHSG yang dihitung di Bursa Efek Jakarta adalah indeks rata-rata tertimbang dari
nilai pasar (market value weighted average price index). Rumus dasar
penghitungannya adalah:
Nilai Pasar
IHSG =

X 100
Nilai Dasar

dimana :
Nilai Pasar = jumlah saham hari ini x harga pasar hari ini/penutupan regular
(kapitalisasi pasar).
Nilai Dasar = jumlah saham pada hari dasar x harga pasar hari dasar.
Dengan melihat kesederhanaan penghitungannya dan variasi perdagangan efek di
bursa, penghitungan IHSG ini mempunyai beberapa kelemahan:
1. IHSG memasukkan semua saham yang tercatat di BEJ, sehingga beberapa saham
yang tidak aktif diperdagangkan tetap ikut mempengaruhi penghitungan indeks
tersebut.
2. IHSG sangat sensitif terhadap perubahan harga saham dari perusahaaan besar.
3. IHSG dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor bukan harga.

Untuk mengatasi kelemahan-kelemahan, mulai tanggal 14 Agustus 1989 BEJ


memberlakukan cara penghitungan indeks harga saham baru. Caranya dengan
membuat nilai dasar baru, yaitu:

NPS + NP
Nilai Dasar Baru =

X NDS
NPS

dimana :
NPS = Nilai Pasar Sebelumnya
NP = Nilai Pasar Perdana
NDS = Nilai Dasar Sebelumnya
VII. Metode Penelitian
1. Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder. Data Indeks
Harga Saham Gabungan (IHSG), tingkat suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI)
dan kurs terhadap Dolar Amerika (kurs tengah) diperoleh dari Publikasi Statistik
Ekonomi dan Keuangan Indonesia yang diterbitkan oleh Bank Indonesia, sedangkan
data tingkat inflasi diperoleh dari Publikasi Indikator Ekonomi yang diterbitkan oleh
Badan Pusat Statistik (BPS). Data yang diambil berupa data runtun waktu (time
series) bulanan mulai Januari 2000 sampai dengan Mei 2008. Alasan pengambilan
periode ini adalah untuk menghilangkan pengaruh krisis ekonomi.
2. Metode Analisis

Metode analisis yang digunakan untuk mendukung dan mencapai tujuan penelitian
adalah analisis deskriptif dan model AutoRegressive Conditional Heteroscedasticity
(ARCH) dan Generalized AutoRegressive Conditional Heteroscedasticity (GARCH).
a. Analisis Deskritif
Metode analisis deskriptif dilakukan untuk memberikan gambaran tentang uraian dan
perilaku data setiap variabel yang akan diteliti. Variabel yang diteliti dalam penelitian
ini adalah Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), kurs Rupiah terhadap Dollar
Amerika, tingkat suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan tingkat inflasi
selama periode Januari 2000 sampai dengan Mei 2008.
b.

Model

AutoRegressive

Conditional

Heteroscedasticity

(ARCH)

danGeneralized AutoRegressive Conditional Heteroscedasticity (GARCH)


Metode dalam penelitian ini menggunakan model AutoRegressive Conditional
Heteroscedasticity

(ARCH)

dan

Generalized

AutoRegressive

Conditional

Heteroscedasticity (GARCH), yaitu suatu analisis yang digunakan untuk mengetahui


pengaruh suatu variabel yang disebut variabel independen terhadap satu atau
beberapa variabel dependen. Kelebihan model ini dibandingkan dengan analisis
regresi linear berganda adalah model ini tidak memandang heteroskedastisitas sebagai
suatu permasalahan, tetapi justru memanfaatkan kondisi tersebut untuk membuat
model, bahkan dengan memanfaatkan heteroskedastisitas dalam error yang tepat,
maka akan diperoleh estimator yang lebih efisien (Nachrowi dan Usman, 2006).
Ada berbagai bentuk ARCH dan GARCH, antara lain:
1. ARCH in Mean (M-ARCH)
2. Treshold ARCH (TARCH)

3. Eksponential ARCH/GARCH (E-(G)ARCH)


4. Simple asymmetric ARCH (SAARCH)
5. Power ARCH (PARCH)
6. dan sebagainya.
c.

Penyusunan Persamaan Regresi

Model persamaan regresi linear ber ganda adalah


Yt = 0 + i Xit + t
dimana :
Yt = variabel dependen pada akhir bulan ke-t
Xit = variabel independen i pada akhir bulan ke-t (i = 1,2,3, ...)
i = koefesien regresi berganda
t = error term ke-t
Sedangkan model persamaan regresi yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
yt = b0 + b1 x1t + b2 x2t + b3 x3t
dimana :
yt = IHSG pada akhir bulan ke-t
bi = koefesien masing-masing variabel independen (i = 1,2,3, ...)
x1t = tingkat suku bunga SBI pada akhir bulan ke-t
x2t = tingkat inflasi pada akhir bulan ke-t
x3t = kurs Rupiah terhadap Dolar Amerika (kurs tengah) pada akhir bulan ke-t.
VIII. Pengujian Terhadap Data
1.
Pengujian Asumsi Regresi

Suatu model regresi dapat dikatakan sebagai model regresi terbaik apabila memenuhi
asumsi asumsi regresi berikut:
a. Normalitas
Analisis regresi linier klasik mengasumsikan bahwa setiap sisaan berdistribusi normal
dengan kriteria sebagai berikut:
Mean : E(i ) = 0
Varian : E(i2) = 2
Covarian : E(i , j ) = 0
Pengujian asumsi normalitas ini dilakukan dengan melihat nilai Jarque-Berranya
yang dibandingkan dengan nilai tabel Chi-Square ( 2 ) dengan besarnya v adalah
sesuai dengan jumlah lag-nya. Jika nilai Jarque-Berra-nya lebih kecil dari nilai kritis
tabelnya maka lolos dari adanya ketidaknormalan distribusi residual.
b.
Asumsi Nonmultikolinieritas
Uji multikolinieritas adalah pengujian bahwa tidak ada hubungan yang eksak/linier
antar

variabel

independen.

Metode

yang

digunakan

untuk

mendeteksi

multikolinieritas adalah dengan melihat nilai R2otokorelasi (AC) tidak melebihi 0,5
baik + atau -.
c.
Asumsi Homoskedastisitas
Asumsi homoskedastisitas atau nonheteroskedastisitas yaitu bahwa varians tiap
unsur gangguan i , tergantung pada nilai yang dipilih dari variabel yang
menjelaskan (suatu angka konstan yang sama dengan 2). Heteroskedastisitas
dideteksi dengan melihat probabilitas Obs*R-Squared pada Uji ARCH LM Test.
d.

Asumsi Nonotokorelasi

Artinya tidak ada korelasi antara anggota serangkaian observasi yang diurutkan
menurut waktu atau ruang, atau kovarian antara i dan X i , nol.
Untukmendeteksinya digunakan korelogram.
IX.
Pembuktian Terhadap Data
a. Pengujian Nilai Koefesien Determinasi ( R2 )
Koefesien determinasi adalah rasio dari jumlah kuadrat regresi dengan jumlah
kuadrat total. Kelayakan suatu model regresi dapat dilihat dari koefesien determinasi
(R2) yang menunjukkan proporsi variasi dalam variabel dependen yang dijelaskan
oleh variabel-variabel independen secara bersam-sama. R2 sangat dipengaruhi oleh
penambahan jumlah variabel penjelas, maka untuk menyesuaikannya digunakan
adjusted R2 (R2 adj), yang dirumuskan sebagai berikut:
ESS
R2 =

=
Jumlah kuadrat total

TSS

Atau
ei2

RSS
R

2=1-

=1-

yi2

TSS
(n 1)
R2 adj = 1 (1 R2 )
(n p)
dimana :
0 < R2, R2 adj < 1

Residual Sum of Square = RSS = ei 2 = ( i )2


Explained Sum of Square = ESS = ( yi i)2
Total Sum of Square = TSS = yi 2

Jumlah kuadrat regresi

b. Pengujian Koefesien Regresi Secara Simultan


Pengujian koefesien regresi secara simultan dilakukan dengan
menggunakan tabel ANOVA atau tabel Estimate Equation pada
Eviews dengan hipotessis sebagai berikut:
Ho : bi = 0 , untuk semua i
Ha : sekurang-kurangnya satu bi 0 , i = banyak parameter
Statistiki uji F yang digunakan dalam pengujian koefesien regresi
secara simultan adalah :

ESS

RSS
:

Fobs =

(p 1) (n p)
Ho ditolak jika Fobs > F;(p-1)(n-p) yang berarti ada pengaruh dari variabel
independen
terhadap variabel dependen yaitu indeks harga saham gabungan.

c. Pengujian Koefesien Regresi Secara Parsial


Pengujian koefesien regresi secara parsial menggunakan statistik uji t, dengan
hipotesis sebagai berikut:
Ho : bi = 0 , (tidak ada pengaruh variabel X terhadap variabel Y)
Ha : bi 0 , (ada pengaruh variabel X terhadap variabel Y)
Statistik uji
bi
tobs =
SE( bi )

Ho ditolak jikatobs > t/2;(n-p) yang berarti ada pengaruh dari variabel independen
terhadap variabel dependen yaitu indeks harga saham gabungan.

X.
Pembahasan
1.
Analisis Deskriptif
a.
Indeks Harga Saham Gabungan
Pada periode pengamatan, yaitu Januari 2000 hingga Mei 2008, Indeks Harga Saham
Gabungan (IHSG) cenderung mengalami kenaikan. Pada bulan Januari 2000 berada
pada level 636,37 poin, kemudian berfluktuasi tetapi cenderung naik hingga pada
bulan Mei 2008 IHSG berada pada level 2.444,349. Pada Januari 2000 hingga Januari
2001 IHSG mengalami penurunan dari 636,37 menjadi 392,03 poin, bahkan penah
menyentuh angka 380,31 pada November 2001. IHSG terus mengalami fluktuasi
hingga akhirnya pada pertengahan tahun 2003 IHSG mencapai level 505. Faktor
keamanan juga sangat mempengaruhi IHSG. Bulan Agustus 2000, terjadi ledakan
bom di Bursa Efek Jakarta (BEJ), akibatnya IHSG turun sangat tajam dari 492,19
menjadi 466,38. Tidak adanya langkah pemerintah yang baik untuk mendorong iklim
investasi

di

Indonesia

dan

kembali

memanasnya

iklim

politik

dengan

diberhentikannya Gus Dur dari kursi kepresidenan dan digantikan Megawati


menyebabkan rupiah mengalami depresiasi sehingga untuk mengatasinya SBI
kembali dinaikkan akibatnya indeks mengalami penurunan. Indeks sempat naik
menjadi 444,08 poin pada Juli 2001. Runtuhnya menara kembar World Trade Center
(WTC) di Amerika Serikat pada bulan September 2001 juga berdampak buruk
terhadap IHSG sehingga melemah dan berada pada level 380,31 poin pada bulan

Nopember 2001. Setelah itu indeks terus mengalami fluktuasi di kisaran 400-500
poin. Pada bulan Oktober 2003 indeks menembus level 600-an kembali dan terus
meningkat sampai akhir periode pengamatan. Semakin kondusifnya iklim investasi di
Indonesia yang ditandai dengan tingkat suku bunga SBI dibawah 10 persen, inflasi
dibawah 2 persen dan relatif stabilnya kurs Dolar Amerika membuat indeks
mengalami kenaikan terus menerus. Penyelenggaraan Pemilu 2004 yang dianggap
banyak kalangan berhasil, dengan terpilihnya wakil rakyat dan Susilo Bambang
Yudoyono sebagai Presiden yang dipilih secara langsung oleh rakyat yang membuat
kondisi sosial politik stabil sehingga investor percaya akan kondisi makro Indonesia
yang stabil juga memicu kenaikan IHSG sehingga dapat menembus level 1000-an.
IHSG terus berfluktuasi dan terus menembus level baru diatas 1000 poin pada akhir
tahun 2004. Tahun 2005 hingga bulan April 2007 IHSG berada pada level 1000-an,
bahkan pada Mei 2007 IHSG menembus level 2000-an. IHSG terus berfluktuasi
diatas level 2000-an hingga akhir periode pengamatan.
b.
Inflasi
Inflasi merupakan salah satu alat untuk melihat kondisi perkembangan perekonomian
suatu negara. Selama tahun 2000, inflasi terus berfluktuasi pada level dibawah 2
persen. Hal ini terus berlangsung hingga tahun 2005, walaupun sempat mencapai
puncak tertinggi pada bulan Juli 2001 sebesar 2,12 persen kemudian bergerak stabil
karena kebijakan BI yang menerapkan aturan moneter yang ketat. Inflasi mengalami
kenaikan hingga di atas satu persen terjadi hanya pada saat perayaan hari besar Idul
Fitri ataupun perayaan Natal dan Tahun Baru.

c.
Suku Bunga SBI
Pada awal periode penelitian tingkat suku bunga SBI sebesar 11,16 persen. Tetapi
terus naik hingga akhir tahun 2000 mencapai 14,53 persen. Kurangnya kemampuan
pemerintah dalam mempertahankan iklim investasi yang baik dan semakin
memanasnya iklim politik membuat kurs terus merosot. Untuk mengatasi masalah
tersebut BI mulai menaikkan kembali tingkat suku bunga SBI hingga pada bulan
Agustus 2001 berada titik tertinggi setelah mengalami penurunan pada tahun
sebelumnya yaitu pada tingkat 17,67 persen. Tingkat suku bunga SBI terus berada
diatas tingkat 10 persen sampai bulan Mei 2003, hal ini dinilai masih terlalu tinggi
oleh sektor usaha. Hingga akhirnya BI menurunkan tingkat suku bunga SBI menjadi
lebih rendah dibawah 10 persen yang merupakan tingkat bunga yang cukup ideal
untuk mendorong berkembangnya sektor riil ekonomi di Indonesia. Keadaan
Indonesia yang semakin kondusif selama tahun 2004 karena pemilu secaralangsung
berjalan lancar dan aman membuat SBI stabil hingga awal 2005 berada pada tingkat 7
persen. Bulan Juni hingga Agustus 2005, suku bunga SBI kembali naik, bahkan pada
September mencapai 10 persen. Suku bunga SBI terus berada diatas 10 persen hingga
akhir tahun 2006, sebelum akhirnya turun kembali menjadi 9,75 persen pada bulan
Desember 2006. Kondisi perekonomian Indonesia yang stabil, membuat suku bunga
SBI terus stabil berada di bawah 10 persen. Mulai 9,5 persen pada Januari 2007
menjadi 8 persen pada Desember 2007. Tingkat suku bunga SBI sempat turu menjadi

7 persen pada awal 2008 dan berada pada posisi 8,31 persen pada akhir periode
penelitian.
d.
Kurs
Keberhasilan pelaksanaan Pemilu 1999 dengan aman membuat Rupiah terapresiasi
kembali dan berada pada level Rp. 7.000-an. Pada bulan januari 2000 Rupiah berada
pada level 7.425 per Dolar. Suhu politik yang memanas ditandai dengan turunnya
Gus Dur dari kursi kepresidenan dan digantikan oleh Megawati serta cenderung
meningkatnya permintaan Dolar dalam rangka pembayaran utang luar negeri yang
mulai jatuh tempo membuat Rupiah kembali terdepresiasi hingga pada puncaknya
sebesar Rp. 11.675 per Dolar pada bulan April 2001. Pada bulan Juli hingga
September 2001 Rupiah terapresiasi, namun kembali melemah pada Oktober hingga
Februari tahun berikutnya. Tragedi runtuhnya menara WTC di Amerika secara tidak
langsung berdampak negatif terhadap Rupiah. Memasuki tahun 2002 dan semakin
membaiknya kondisi sosial politik membuat kurs menjadi lebih stabil dan inflasi
cenderung menurun cukup tajam. Rupiah terus berada pada level Rp. 8000-9000-an.
Hal ini disebabkan keberhasilan BI menerapkan kebijakan moneter yang ketat serta
iklim ekonomi dan politik Indonesia yang berjalan lancar dan cukup stabil. Bulan
Agustus hingga November 2005, rupiah kembali terdepresiasi hingga berada pada
level diatas Rp. 10.000 per Dolar. Tetapi hal ini tidak berlangsung lama, mulai
Desember 2005 hingga akhir periode penelitian rupiah berfluktuasi dan berada pada
level Rp. 9.000-an per Dolar Amerika.
XI.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan sebelumnya baik analisis deskriptif
maupun analisis inferensia dapat diambil kesimpulan:

1. Perkembangan nilai indeks harga saham gabungan (IHSG) dipengaruhi oleh


beberapa faktor dalam sistem pasar keuangan di Indonesia. IHSG selama periode
penelitian mengalami fluktuasi namun secara umum mengalami kenaikan. Suku
bunga SBI dan tingkat inflasi selama periode penelitian mengalami fluktuasi. Kurs
Rupiah terhadap Dolar Amerika juga berfluktuasi namun pergerakannya cukup
stabil.
2. Perkembangan nilai indeks harga saham gabungan (IHSG) secara simultan
dipengaruhi oleh instrumen pasar keuangan seperti suku bunga SBI, inflasi dan
kurs Rupiah terhadap Dolar AS. Kurs berpengaruh negatif dan signifikan secara
statistik terhadap IHSG sedangkan suku bunga SBI dan inflasi juga berpengaruh
negatif tetapi tidak signifikan secara statistik. Hal ini menunjukkan bahwa investor
selama periode penelitian tidak terlalu memperhatikan pergerakan SBI dan inflasi
namun cenderung lebih memperhatikan pergerakan Rupiah terhadap Dolar AS.
3. Perubahan dalam IHSG dapat dijelaskan oleh kurs Dolar Amerika, suku bunga SBI
dan inflasi sebesar 26,5 persen. Kecilnya pengaruh faktor-faktor pasar keuangan di
atas dalam mempengaruhi nilai IHSG karena banyak informasi dan faktor-faktor
lain yang juga dijadikan bahan pertimbangan oleh para investor dalam
menanamkan investasinya di bursa saham.

DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik [BPS]. (berbagai terbitan). Indikator Ekonomi. Jakarta: BPS.
Bank Indonesia [BI]. (berbagai terbitan). Laporan Keuangan dan Moneter
Indonesia [Laporan Tahunan], Jakarta: BI.
Boediono. 2001. Ekonomi Moneter. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi
Universitas Indonesia.
Direja, S. 2004. Pengaruh Variabel Makroekonomi Terhadap Indeks Harga Saham
Gabungan di Bursa Efek Jakarta Periode riwulan IV Tahun 1998 Triwulan I Tahun 2004 [Skripsi]. Jakarta: Sekolah Tinggi Ilmu Statistik.
Enders,W. 2004. Applied Economic Times Series. New York: John Wiley and Son.
Gujarati, D. 1995. Basic Econometric. New York: McGraw-Hill.
Hadi, H. 1999. Ekonomi internasional: Teori dan Kebijakan Keuangan
Internasional buku II. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Mankiw, N. Gregory. 2007. Teori Makroekonomi. Jakarta: Erlangga.
Nachrowi, D Nachrowi dan Usman, Hardius. 2006. Pendekatan Populer dan Praktis
Ekonometrika Untuk Analisis Ekonomi dan Keuangan. Jakarta: Lembaga
Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Syaifuddin. 2005. Pengaruh Perubahan Suku Bunga, Inflasi dan Kurs Dolar
terhadap Perubahan Indeks Harga Saham Gabungan di Bursa Efek
Jakarta (Periode Januari 1999 April 2005) [Skripsi]. Jakarta: Sekolah
Tinggi Ilmu Statistik.
Sakhowi, A. 2004. Analisis Perubahan Kurs Rupiah, inflasi dan suku bunga
Terhadap Kinerja Saham, Jurnal Ekonomi dan Bisnis Vol. 2. No.1.
Maret 2004:1-16.
Supranto, J. 1995. Ekonometrik buku II. Jakarta: Lembaga Penerbit
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Urusan Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter. 1999. Tinjauan Kebijakan Moneter.
Jakarta: Bank Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai