Anda di halaman 1dari 12

The Influence of Macroeconomic Factors on the Volatility of Composite Price

Stock Index: A Study on the Indonesia Stock Exchange


Abstract
Gejolak indeks harga saham gabungan mengalami pasang surut dalam beberapa
periode terakhir akibat faktor internal dan eksternal beberapa perusahaan. Hal
tersebut berdampak pada tingkat perekonomian nasional dan penurunan iklim
investasi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh faktor
makroekonomi terhadap volatilitas indeks harga saham gabungan di Bursa Efek
Indonesia periode 2013-2017. Metode penelitian yang digunakan adalah purposive
sampling dengan jumlah data 300 sampel. Analisis regresi berganda pada taraf
signifikansi 5% melalui penerapan program view ditambah beberapa bentuk
pengujian untuk menghasilkan rekomendasi yang sesuai. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa faktor pertumbuhan ekonomi, nilai tukar dan harga emas
berpengaruh signifikan terhadap volatilitas indeks harga saham gabungan,
sedangkan faktor inflasi tidak berpengaruh signifikan terhadap volatilitas indeks
harga saham gabungan.

Introduction
Pergerakan indeks harga saham gabungan di beberapa perusahaan di Indonesia
relatif fluktuatif setiap tahunnya. Hal tersebut dapat disebabkan oleh perubahan
elemen makroekonomi dan tingkat harga logam mulia (emas). Perubahan level
indeks harga saham gabungan menunjukkan geliat ekonomi yang dilakukan
investor dalam menanamkan modalnya. Namun menurut ekonom, pergerakan
IHSG bisa dipengaruhi oleh berbagai faktor; baik internal maupun eksternal
(Jogiyanto [1]). Faktor internal dapat dipengaruhi oleh peristiwa yang terjadi di
dalam negeri yang meliputi beberapa variabel makro, seperti: pertumbuhan
ekonomi, inflasi dan nilai tukar.

Sedangkan suku bunga dan harga logam mulia (emas) cenderung berasal dari
faktor eksternal perekonomian nasional. Berikut adalah grafik volatilitas indeks
harga saham gabungan beberapa perusahaan di Bursa Efek Indonesia selama
periode penelitian: Penggambaran pergerakan indeks harga saham gabungan
berdasarkan grafik 1 menunjukkan adanya perubahan tingkat volatilitas IHSG yang
cenderung berfluktuasi setiap tahunnya. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa tren
pergerakan nilai IHSG tidak stabil yang dapat disebabkan oleh beberapa faktor
makroekonomi. Variabel-variabel yang menjadi permasalahan mengenai pengaruh
faktor internal dan eksternal dari perkembangan volatilitas indeks harga saham
gabungan pada perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia selama periode
penelitian akan dijelaskan secara rinci beserta tren pergerakan dan
permasalahannya. Variabel-variabel berikut akan menjadi trending topic untuk
setiap masalah yang muncul dalam penelitian ini. Kecenderungan pertumbuhan
ekonomi menunjukkan perubahan tingkat pertumbuhan ekonomi yang berfluktuasi.
Kondisi ini menunjukkan bahwa masalah tersebut dapat dilihat sebagai masalah
tingkat makro jangka panjang. Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu
indikator penting dalam menganalisis perkembangan ekonomi suatu negara.

Pertumbuhan ekonomi dapat diartikan sebagai perkembangan kegiatan


perekonomian yang menyebabkan barang & jasa yang akan diproduksi di
masyarakat meningkat (Sukirno [2]). Menurut analis, kenaikan Produk Domestik
Bruto (PDB) merupakan sinyal positif bagi investasi dan sebaliknya (Kewal [3]).
Peningkatan PDB berpengaruh positif terhadap daya beli masyarakat. Oleh karena
itu akan dapat meningkatkan permintaan produk. Peningkatan permintaan produk
perusahaan akan berdampak pada peningkatan laba perusahaan yang pada akhirnya
dapat meningkatkan harga saham.

Sedangkan trend inflasi yang terjadi selama periode penelitian ini mengalami
peningkatan dan penurunan setiap tahunnya. Inflasi menyebabkan fluktuasi
perubahan harga suatu produk secara keseluruhan di masyarakat yang dapat
berdampak pada lemahnya daya beli produk tersebut. Alokasi sumber daya yang
tidak memadai akan mengakibatkan rendahnya tingkat pertumbuhan ekonomi yang
dapat mempengaruhi distribusi pendapatan dan faktor produksi produksi nasional.
Pergerakan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika (USD) juga diperkirakan
akan berdampak pada indeks harga saham gabungan.
Depresiasi nilai rupiah terhadap dolar akan mengakibatkan kenaikan harga barang
impor. Hal tersebut berdampak pada kenaikan biaya produksi yang berakibat pada
penurunan keuntungan perusahaan dalam penggunaan barang impor sebagai bahan
baku produksi. Penurunan laba perusahaan mengakibatkan berkurangnya minat
investor untuk berinvestasi. Hal tersebut akan mempengaruhi pergerakan indeks
harga saham gabungan. Fluktuasi harga emas dari tahun ke tahun dan tingkat risiko
yang kecil diperkirakan akan mempengaruhi pergerakan indeks harga saham
gabungan. Hal ini menyebabkan investor mempertimbangkan untuk mengalihkan
investasinya ke emas daripada investasi pasar modal. Rendahnya minat
berinvestasi di pasar modal serta aksi jual oleh investor akan berdampak pada
penurunan harga saham gabungan di bursa.
Beberapa penelitian dijadikan acuan dalam pengembangan penelitian ini dengan
menganalisis kondisi makro ekonomi dan harga emas yang mempengaruhi indeks
harga saham. Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa terdapat gap
penelitian antar peneliti. Nilai Produk Domestik Bruto (PDB) yang mengukur
pendapatan suatu negara dapat digunakan sebagai indikator pertumbuhan ekonomi
yang mempengaruhi indeks saham. Beberapa hasil penelitian yang dilakukan oleh
para ekonom menunjukkan bahwa GDP berpengaruh signifikan terhadap volatilitas
indeks harga saham (Pujoalwanto [4]). Sedangkan hasil penelitian yang dilakukan
oleh (Kewal [3]) menunjukkan sebaliknya, bahwa nilai GDP tidak berpengaruh
signifikan terhadap pergerakan indeks harga saham.
Jika harga jual suatu produk tetap maka tentunya akan meningkatkan biaya
produksi yang berdampak pada penurunan keuntungan. Gejala penurunan laba
akan direspon negatif oleh investor, sehingga terjadi penurunan harga saham akibat
ketidakmampuan perusahaan dalam menghasilkan dividen yang optimal. Hal ini
sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh (Komariah et al [5]) yang
menyatakan bahwa inflasi berpengaruh signifikan terhadap volatilitas IHSG.
Penelitian yang dilakukan oleh (Amin dan Herawati [6]) mengungkapkan bahwa
nilai tukar rupiah berpengaruh signifikan terhadap pergerakan IHSG.
Maksud dan tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis pergerakan faktor
ekonomi makro yang ditandai dengan fluktuasi pertumbuhan ekonomi, inflasi, nilai
tukar dan harga emas dalam mempengaruhi volatilitas indeks harga saham
gabungan baik secara simultan maupun parsial (masing-masing variabel) selama
periode penelitian.
Macroeconomic Factors and LQ45 Stock Price Index: Evidence from
Indonesia
Abstrak
Makalah ini menyajikan hubungan antara variabel makroekonomi, termasuk nilai
tukar, BI rate dan inflasi, dan kinerja saham, khususnya saham bluechip yang
terdaftar dalam indeks LQ45 di Bursa Efek Indonesia. Studi tersebut secara khusus
memberikan wawasan pada saham bluechip yang tercatat di indeks harga saham
LQ45 di Bursa Efek Indonesia antara tahun 2015-2017. Data tersebut diperoleh
dari berbagai sumber selama periode tersebut, antara lain Bursa Efek Indonesia
(BEI), Bank Sentral Indonesia (BI), dan Kementerian. Perdagangan. Penelitian ini
mengikuti Vector Error Correction Model (VECM) yang mencoba mengestimasi
hubungan antar variabel baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa dalam jangka panjang nilai tukar, BI rate dan
inflasi berpengaruh negatif terhadap kinerja pasar saham, khususnya indeks LQ45
di Bursa Efek Indonesia. Artinya, peningkatan variabel makroekonomi
mengakibatkan penurunan kinerja pasar saham. Sedangkan dalam jangka pendek,
dua variabel yaitu nilai tukar dan inflasi berpengaruh positif terhadap kinerja pasar
saham di Indonesia. Sebaliknya, hubungan antara BI rate dan kinerja pasar saham
menunjukkan korelasi negatif. Temuan ini memiliki implikasi yang signifikan
untuk pemahaman tentang bagaimana variabel makroekonomi mempengaruhi
kinerja pasar saham, khususnya indeks harga LQ45 di Bursa Efek Indonesia.
Introduction
Kehadiran sektor keuangan memainkan peran penting dalam perekonomian dengan
menyediakan permintaan dan penawaran uang, serta pemberi pinjaman dan
peminjam. Saham, misalnya, merupakan salah satu instrumen yang paling penting
bagi investor. Dari sisi perusahaan, hal ini membantu perusahaan untuk
memperbesar perusahaannya dengan menerima dana yang lebih besar secara
langsung dari investor daripada mengumpulkan uang dari lembaga perantara
seperti bank dan lembaga keuangan lainnya. Sebaliknya dari sisi investor
memberikan peluang untuk memperoleh return yang lebih tinggi, namun justru
memiliki risiko yang lebih besar.
Valuasi saham menjadi tantangan sekaligus peluang bagi investor. Karena
informasi asimetris ada, sulit bagi individu untuk menentukan perusahaan yang
baik dengan harga saham yang dihargai dan perusahaan yang buruk dengan harga
saham yang terlalu rendah. Di Indonesia, keberadaan pasar saham yang tercatat
oleh beberapa kategori membantu investor dalam mengurangi masalah informasi
asimetris. Saham Bluechip adalah yang paling layak bagi investor untuk menaruh
uangnya, yang tercatat di indeks saham LQ45. Saham bluechip yang memiliki
kapitalisasi pasar tinggi, dinilai sangat cocok bagi investor pemula (Budiarti,
Ratnaningsih, & Penangsang, 2017). Ini wajar, karena saham dengan kapitalisasi
pasar yang tinggi tidak mudah terpengaruh oleh harga sahamnya. Dari indeks
harga saham LQ45 tersebut penting bagi para investor pemula, karena indeks harga
saham LQ45 itu mencakup 45 emiten dengan likuiditas sangat tinggi sahamnya.
Dalam indeks harga saham LQ45, investor dapat menentukan seberapa besar
pergerakan saham dari 45 perusahaan tersebut dinilai dari kapitalisasi pasar.
Karena itu, harga saham tidak selalu akan terus naik, tapi bisa juga turun nilainya,
tak terkecuali 45 emiten di LQ45. Melihat naik turunnya harga saham di sini,
dalam 6 bulan, untuk 45 emiten, indeks harga saham LQ45 mengalami perubahan
sesuai dengan kriteria penilaian sahamnya (Hermuningsih, 2012).
Faktor makro ekonomi seperti nilai tukar, BI rate, dan inflasi memiliki hubungan
dengan kinerja perusahaan dan harga saham. Studi penting tentang ekonomi makro
dan dampaknya terhadap harga saham telah diteliti di beberapa negara seperti
Malaysia, Pakistan, Kenya, Iran, Indonesia, India dan sebagainya (Rad, 2011;
Jawaid & Haq, 2012; Ouma & Muriu, 2014; Tripathi & Seth, 2014; Nordin et al.,
2014; Khalid & Khan, 2017; Sutrisno, 2017; Mumo, 2017; Gursida, 2018). Nordin
dkk. (2014) menemukan korelasi negatif antara suku bunga, nilai tukar, dan harga
saham di Malaysia.
Sementara itu, Jawaid dan Haq (2012) menyatakan bahwa terdapat hubungan
jangka panjang antara nilai tukar dan tingkat suku bunga terhadap harga saham di
Pakistan.
Demikian pula, beberapa variabel makroekonomi, termasuk jumlah uang beredar,
nilai tukar, dan inflasi, mempengaruhi return pasar saham di Kenya (Mumo, 2017).
Memang, Khalid dan Khan (2017) menunjukkan bahwa nilai tukar dan inflasi
secara positif mempengaruhi volatilitas pasar saham dalam jangka panjang.
Sebaliknya, Rad (2011) menyebutkan bahwa variabel makroekonomi seperti
indeks harga konsumen, nilai tukar pasar bebas tidak berperan penting dalam
fluktuasi harga saham di Iran.
Dalam konteks India, Tripathi dan Seth (2014) mengungkapkan adanya korelasi
antara indikator pasar saham dan faktor makroekonomi.
Sementara itu, Sutrisno (2017) menyebutkan bahwa inflasi dan nilai tukar
berdampak negatif pada semua industri di Indonesia.
Namun berdasarkan penelitian sebelumnya yang disebutkan, masih terdapat
ketidakpastian apakah variabel makroekonomi berdampak pada kinerja pasar
saham. Anehnya, hingga saat ini, hanya sedikit penelitian yang meneliti hubungan
antara faktor makroekonomi dan kinerja pasar saham di Indonesia. Oleh karena itu,
penelitian ini membahas hubungan antara faktor makroekonomi dengan kinerja
pasar saham, khususnya pada indeks saham LQ45 di Indonesia.
Makalah ini telah dibagi menjadi lima bagian. Bagian Pendahuluan membahas
masalah makroekonomi yang ada di Indonesia saat ini dan dampaknya terhadap
kinerja pasar saham. Bagian satu dimulai dengan memaparkan dimensi teoritis dari
penelitian dan melihat hubungan antara variabel makroekonomi dan harga saham
di beberapa negara. Selain itu, bagian dua akan membahas metodologi yang
digunakan untuk penelitian ini. Bagian ketiga menyajikan hasil dan diskusi. Bagian
terakhir memaparkan hasil penelitian dan berfokus pada tiga faktor makroekonomi
utama, yaitu nilai tukar, BI rate dan inflasi.
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KINERJA DANA
EKUITAS:
BUKTI DARI INDONESIA
Abstract
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi
kinerja reksa dana saham pada perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia
(BEI) selama tahun 2015–2018. Penelitian ini bersifat kuantitatif. Kinerja masa
lalu, keterampilan pemilihan saham, kemampuan market timing, besaran dana,
umur dana merupakan variabel independen, sedangkan kinerja dana adalah
variabel dependen. Populasi dalam penelitian ini adalah 73 reksa dana saham.
Sebanyak 21 reksa dana ekuitas dipilih sebagai sampel dengan metode purposive
sampling. Metode analisis yang digunakan adalah analisis regresi data panel
dengan menggunakan program EViews. Pengujian hipotesis menggunakan uji-t
dengan tingkat signifikansi alpha 0,05. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
kinerja reksa dana ekuitas masa lalu, keterampilan pemilihan saham, kemampuan
waktu pasar, ukuran dana, umur dana dan indeks komposit BEI secara simultan
berpengaruh signifikan terhadap kinerja reksa dana saham. Keterampilan
pemilihan saham dan indeks komposit BEI secara parsial berpengaruh positif dan
signifikan terhadap kinerja reksa dana saham. Namun kinerja masa lalu,
kemampuan market timing, besaran dana dan umur dana tidak berpengaruh positif
dan signifikan terhadap kinerja reksa dana saham.
Introduction
Investasi di reksa dana merupakan langkah tepat bagi masyarakat yang
menginginkannya mulailah berinvestasi di pasar modal karena lebih mudah dan
murah.
Namun, reksa dana tidak selalu efisien (Khorana, Servaes, & Tufano, 2005). Reksa
dana merupakan peluang untuk mengelola dana bagi masyarakat untuk berinvestasi
pada instrumen investasi yang tersedia di pasar modal dengan membeli unit
penyertaan. Dana tersebut kemudian dikelola oleh manajer investasi (IM) menjadi
portofolio investasi, baik dalam bentuk saham, obligasi, pasar uang, maupun surat
berharga lainnya.
Data Otoritas Jasa Keuangan mengenai perkembangan reksa dana di Indonesia
selalu mengalami pertumbuhan dari tahun ke tahun mulai tahun 2014-2018.
Pertumbuhan tersebut meliputi jumlah produk reksa dana, Nilai Aktiva Bersih
(NAB) reksa dana, dan unit penyertaan reksa dana. Pada 2014, terdapat 894 produk
reksa dana dengan NAB Rp 241,571 triliun dan unit penyertaan 142,73 miliar,
sedangkan pada 2018 terdapat 2.099 total produk reksa dana, NAB Rp505,390
triliun, dan unit penyertaan Rp 373,75 miliar. Namun, jika kita perhatikan imbal
hasil reksa dana, justru terjadi penurunan.
Reksa dana mengalami penurunan cukup tajam di tahun 2018. Tingkat
pengembalian mencapai titik tertinggi di tahun 2017 sebesar Rp35,06 triliun dalam
lima tahun terakhir. Namun pada tahun berikutnya tingkat pengembalian
mengalami penurunan dan mencapai titik terendah sebesar Rp10,47 triliun dalam
lima tahun terakhir. Hal ini menunjukkan adanya ketimpangan antara
perkembangan pengelolaan reksa dana dan return. Kenaikan Net Asset Value
(NAV) atau Asset Under Management (AUM) tidak dibarengi dengan peningkatan
return. Hal ini disebabkan kurangnya kemampuan investor dalam memilih reksa
dana yang tepat. Di sisi lain, penilaian kinerja reksa dana belum memberikan
manfaat yang optimal. Investor seolah hanya melakukan penilaian atau perjudian
semena-mena dalam berinvestasi.
Menariknya, penelitian sebelumnya oleh Cuthbertson, Nitzsche, dan O'Sullivan
(2008) menemukan beberapa bukti bahwa return dari reksa dana tidak disebabkan
oleh keterampilan pemilihan saham manajer investasi (IM); Namun, ada faktor
keberuntungan.
Ada lima jenis reksa dana yang ada di Bursa Efek Indonesia (BEI): reksa dana
saham, reksa dana terproteksi modal, reksa dana pendapatan tetap, reksa dana
pasar uang, dan reksa dana discretionary. Sebagian besar investor yang memilih
reksa dana saham, namun investor kurang dapat menganalisis reksa dana yang
memiliki prospek baik, serta kurangnya informasi yang diperoleh mengenai
analisis faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja reksa dana. Untuk mengetahui
faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja reksa dana ekuitas, dalam penelitian ini
digunakan variabel kinerja ekuitas masa lalu, keterampilan pemilihan saham,
kemampuan market timing, besaran dana, umur dana, dan indeks komposit BEI.
Hal ini dikarenakan pada pemetaan penelitian sebelumnya didapatkan fenomena
gap dari hasil penelitian.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa keterampilan pemilihan saham memiliki
peran penting dalam kinerja reksa dana. Keahlian manajer dalam pemilihan saham
sangat menentukan keberlangsungan reksa dana itu sendiri. Meningkatnya indeks
komposit BEI berarti pasar modal yang permintaan sahamnya tinggi. Keduanya
dapat memberikan dana pengembalian yang tinggi dan juga mengurangi risiko
gagal bayar.

Literature Review
Kinerja suatu portofolio tidak cukup hanya dengan memperhatikan tingkat
pengembalian yang dihasilkan portofolio tersebut, tetapi juga harus memperhatikan
faktor lain seperti tingkat risiko dari portofolio tersebut. Beberapa penelitian
sebelumnya telah meneliti faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja reksa dana.
Grinblatt dan Titman (1992), Hendricks, Patel, dan Zeckhauser (1993), Goetzmann
dan Ibbotson (1994), Ben dan Hellara (2011) telah meneliti hubungan antara
kinerja reksa dana dan kinerja masa lalu. Da, Gao, dan Jagannathan (2010) dan
Nallareddy dan Ogneva (2017) telah meneliti kinerja reksa dana dan keterampilan
pemilihan saham. Cuthbertson, Nitzsche, dan O’Sullivan (2010), Sherman,
O’Sullivan, dan Gao (2017), serta Tchamyou dan Asongu (2017) telah meneliti
hubungan antara kinerja reksa dana dan kemampuan market timing.
Beberapa ukuran kinerja portofolio telah memasukkan faktor pengembalian dan
risiko dalam perhitungan mereka, misalnya, rasio Sharpe (Sharpe, 1966), ukuran
Treynor-Mazuy (Treynor & Mazuy, 1966), dan rasio Jensen (Jensen, 1968). Rasio
Sharpe digunakan untuk mengukur kinerja reksa dana ekuitas dalam penelitian ini.
Rasio Sharpe memberikan ukuran yang lebih tepat untuk pengembalian tinggi dan
semua portofolio dibandingkan yang lain (Scholz & Wilkens, 2005). Rasio Sharpe
portofolio yang lebih tinggi menunjukkan kinerja yang lebih baik daripada yang
lain. Metode Sharpe dirumuskan sebagai berikut:
Kinerja masa lalu reksa dana ekuitas akan mempengaruhi kinerja masa depan
karena manajer investasi memperoleh data dan informasi kemudian melakukan
beberapa tindakan untuk meningkatkan kinerja reksa dana ekuitas di masa depan
(Grinblatt & Titman, 1992; Hendricks et al., 1993; Goetzmann & Ibbotson, 1994;
Ben & Hellara, 2011). Memiliki lebih banyak peristiwa informasi dan perdagangan
saham yang unggul di masa lalu dan kemampuan untuk memperkirakan
probabilitas perdagangan informasi (PIN) cenderung menjadi indikasi kinerja masa
depan bagi manajer investasi (Da et al., 2010). Menariknya, penelitian sebelumnya
oleh Berk dan Green (2004) menyatakan bahwa kinerja masa lalu tidak dapat
memprediksi keuntungan di masa depan, dan mengumpulkan informasi tentang
kinerja tidak diperlukan. Dana ekuitas masa lalu kinerja dapat dirumuskan sebagai
berikut:
Skill seleksi saham merupakan kemampuan IM untuk memilih saham yang tepat
untuk dimasukkan ke dalam portofolionya dan berpotensi menghasilkan return
seperti yang diharapkan investor. Komponen keterampilan pemilihan saham
memainkan peran penting dalam dana berorientasi pertumbuhan dan dana
berorientasi pendapatan (Da et al., 2010). Penelitian sebelumnya oleh Nallareddy
dan Ogneva (2017) menunjukkan bahwa manajer investasi yang terampil dapat
menghindari berinvestasi pada perusahaan fundamental kelas rendah.
Menariknya, penelitian sebelumnya oleh Hsu, Kalesnik, dan Myers (2010)
menemukan hubungan antara kinerja positif dan keterampilan memilih saham
terhadap pendapatan ekuitas peringkat atas, sedangkan tidak ada hubungan.
ditemukan di antara dana ekuitas kecil. Model keterampilan pemilihan saham
dikembangkan oleh Trenor dan Mazuy (1966), kemudian, Henrikson dan Merton
(1981) mengembangkan model lain. Dalam penelitian ini keterampilan pemilihan
saham dihitung dengan menggunakan metode TreynorMazuy (Treynor & Mazuy,
1966). Untuk mengukur kemampuan peramalan mikro (pemilihan saham) manajer
investasi, hal ini dapat dilihat melalui nilai α. Jika manajer investasi memiliki () α>
0, berarti manajer investasi memiliki kemampuan seleksi yang superior, begitu
pula sebaliknya jika () α <0 berarti kemampuan pemilihan saham yang rendah.
Model ini juga menjelaskan kemampuan waktu pasar manajer. Studi sebelumnya
oleh Cuthbertson et al. (2010) menunjukkan bahwa hanya sedikit yang berhasil
mengimplementasikan kemampuan market timing antar ekuitas pendapatan di
Inggris. Hasil penelitian ini sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Sherman
et al. (2017) dengan reksa dana China sebagai objek penelitian. Dalam studi ini,
kami tidak hanya mengukur kemampuan market timing tetapi juga menguji
hubungannya dengan kinerja. Studi sebelumnya oleh Ferson dan Mo (2016)
menyatakan bahwa kinerja IM bergantung pada market timing, volatility timing,
dan security selection. Tchamyou dan Asongu (2017) menemukan bukti ambang
positif yang konsisten dari volatilitas pasar dan pengembalian dalam waktu pasar.
Simbol γ merepresentasikan kemampuan manajer investasi dalam melakukan
market timing dan dikategorikan memiliki kemampuan tersebut jika γ bernilai
positif, hal ini menandakan bahwa manajer investasi menghasilkan excess return
atas portofolio reksa dana investasi yang lebih tinggi dari market excess return
yang diformulasikan sebagai berikut:
Total aset perusahaan umumnya menunjukkan skala ekonomi. Besarnya reksa dana
akan ditampilkan dalam total kapitalisasi pasar dari reksa dana. Reksa dana harus
mencapai ukuran dana minimum untuk memperoleh pengembalian yang cukup
atas biaya transaksinya (Indro, Jiang, Hu, & Lee, 1999). Penelitian sebelumnya
oleh Othman, Asutay, dan Jamilan (2018) menemukan bahwa besaran dana
memiliki hubungan dengan aliran dana sebagai ukuran kinerja. Menariknya,
penelitian sebelumnya oleh Chen, Hong, Huang, dan Kubik (2004) menunjukkan
besaran dana dan aset yang dikelola mengikis kinerja reksa dana. Elton (2012)
menemukan bahwa pertumbuhan ukuran dana mengikis prediktabilitas, tetapi
lambat. Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Varamini dan Kalash (2008)
menunjukkan bahwa reksa dana dengan kapitalisasi kecil memberikan return yang
disesuaikan dengan risiko tertinggi untuk seluruh periode, sedangkan reksa dana
dengan kapitalisasi lebih tinggi menunjukkan return yang lebih rendah.

Penelitian sebelumnya oleh Zhu (2018) menemukan bahwa fund size berpengaruh
negatif dan signifikan terhadap kinerja. Kekayaan dana investasi diperoleh dari
Nilai Aktiva Bersih (NAB) Setelah Nilai Aktiva Bersih diperoleh, diubah menjadi
logaritma natural sehingga nilai yang diperoleh tidak terlalu tinggi jika
dibandingkan dengan variabel lain.

Banyak investor yang tidak setuju bahwa usia reksa dana mencerminkan
kinerjanya. Semakin lama umur reksa dana ekuitas, semakin baik kinerja reksa
dana. Produk reksa dana lama biasanya juga sudah teruji kinerjanya bahkan di
masa-masa sulit. Beberapa penelitian sebelumnya menunjukkan umur dana
berpengaruh signifikan terhadap kinerja reksa dana (Makni, Benouda, &
Delhoumi, 2016; Agnesens, 2013; Nguyen, 2018). Namun, beberapa penelitian
sebelumnya oleh Ferreira, Keswani, Miguel, dan Ramos (2013), Othman et al.
(2018) menunjukkan umur reksa dana tidak berpengaruh signifikan terhadap
kinerja reksa dana di luar reksa dana AS dan Malaysia. Studi sebelumnya oleh
Jones (2007) menyatakan bahwa dana yang lebih muda dapat memberikan
pengembalian yang lebih tinggi daripada dana yang lebih besar, sedangkan dana
yang lebih besar lebih baik dalam hal memaksimalkan pemeliharaan modal. Umur
reksa dana ekuitas dihitung dari tanggal peluncuran reksa dana saham di pasar
sampai dengan tanggal penelitian dilakukan.

Di Indonesia sebagai negara berkembang, pemerintah telah membuka lebar-lebar


investasi asing selama beberapa tahun terakhir. Hasil ini berdampak pada
peningkatan jumlah perusahaan dan kapitalisasi pasar di Bursa Efek Indonesia
(BEI). Penelitian sebelumnya oleh Beaumont, van Daele, Frijns, Lehnert, dan
Muller (2008) menemukan hubungan yang kuat antara aliran reksa dana dan return
pasar untuk semua indeks di AS. Peningkatan nilai indeks komposit BEI
mencerminkan peningkatan pembelian saham di pasar modal. Hal ini akan
berdampak positif pada reksa dana saham, sebaliknya jika kondisi pasar yang
negatif akan menurunkan kinerja reksa dana ekuitas (Maria Caporale, Philippas, &
Pittis, 2004; Akbas, Armstrong, Sorescu, & Subrahmanyam, 2016). Manajer
investasi dapat memanfaatkan kondisi pasar yang bearish atau bullish untuk
mengambil keputusan dalam menjual atau membeli saham. Namun penelitian Dah,
Hoque, dan Wang (2015) sebelumnya menemukan bahwa reksa dana syariah di
Arab Saudi, AS, Malaysia, dan Kuwait tidak menunjukkan kinerja yang lebih
rendah dari benchmark indeks pasar. Indeks komposit BEI akan dihitung sejak
penutupan harga setiap bulan selama 2015–2018.

Anda mungkin juga menyukai