Anda di halaman 1dari 7

Gaya Kepemimpinan Masa Orde Baru (Rezim Soeharto)

Biografi Singkat H.M. SOEHARTO


Jenderal Besar Purnawirawan Haji Muhammad Soeharto, (lahir di Kemusuk,
Argomulyo, Yogyakarta, 8 Juni, 1921 Jakarta, 27 Januari 2008) adalah Presiden Indonesia
yang kedua, menggantikan Soekarno. Setelah dirawat selama sekitar 24 hari di rumah sakit, ia
meninggal akibat kegagalan multifungsi organ di RS Pusat Pertamina, Jakarta Selatan pukul
13.10 WIB. Secara informal, "Pak Harto" juga dipakai untuk menyapanya.
Ia mulai menjabat sejak keluarnya Supersemar pada tanggal 12 Maret 1967 sebagai
Penjabat Presiden, dan setahun kemudian dilantik sebagai Presiden pada tanggal 27 Maret
1968 oleh MPRS.
Soeharto dipilih kembali oleh MPR pada tahun 1973, 1978, 1983, 1988, 1993, dan
1998. Pada tahun 1998, masa jabatannya berakhir setelah mengundurkan diri pada tanggal 21
Mei tahun tersebut, menyusul terjadinya Kerusuhan Mei 1998 dan pendudukan gedung
DPR/MPR oleh ribuan mahasiswa. Ia merupakan orang Indonesia terlama dalam jabatannya
sebagai presiden.
Soeharto menikah dengan Siti Hartinah ("Tien") dan dikaruniai enam anak, yaitu Siti
Hardijanti Rukmana (Tutut), Sigit Harjojudanto, Bambang Trihatmodjo, Siti Hediati Hariyadi
(Titiek), Hutomo Mandala Putra (Tommy), dan Siti Hutami Endang Adiningsih (Mamiek).[1]
Gaya Kepemimpinan Soeharto
Diawali dengan Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) pada tahun 1966 kepada
Letnan Jenderal Soeharto, maka Era Orde Lama berakhir diganti dengan pemerintahan Era
Orde Baru. Pada awalnya sifat-sifat kepemimpinan yang baik dan menonjol dari Presiden
Soeharto adalah kesederhanaan, keberanian dan kemampuan dalam mengambil inisiatif dan
keputusan, tahan menderita dengan kualitas mental yang sanggup menghadapi bahaya serta
konsisten dengan segala keputusan yang ditetapkan.
Gaya Kepemimpinan Presiden Soeharto merupakan gabungan dari gaya kepemimpinan
Proaktif-Ekstraktif dengan Adaptif-Antisipatif, yaitu gaya kepemimpinan yang mampu
menangkap peluang dan melihat tantangan sebagai sesuatu yang berdampak positif serta
mempunyal visi yang jauh ke depan dan sadar akan perlunya langkah-langkah penyesuaian.
Tahun-tahun pemerintahan Suharto diwarnai dengan praktik otoritarian di mana
tentara memiliki peran dominan di dalamnya. Kebijakan dwifungsi ABRI memberikan
kesempatan kepada militer untuk berperan dalam bidang politik di samping perannya sebagai
alat pertahanan negara. Demokrasi telah ditindas selama hampir lebih dari 30 tahun dengan
mengatasnamakan kepentingan keamanan dalam negeri dengan cara pembatasan jumlah
partai politik, penerapan sensor dan penahanan lawan-lawan politik. Sejumlah besar kursi
pada dua lembaga perwakilan rakyat di Indonesia diberikan kepada militer, dan semua tentara
serta pegawai negeri hanya dapat memberikan suara kepada satu partai penguasa Golkar.[2]
Bila melihat dari penjelasan singkat di atas maka jelas sekali terlihat bahwa mantan
Presiden Soeharto memiliki gaya kepemimpinan yang otoriter, dominan, dan sentralistis.
Sebenarnya gaya kepemimpinan otoriter yang dimiliki oleh Almarhum merupakan suatu gaya
kepemimpinan yang tepat pada masa awal terpilihnya Soeharto sebagai Presiden Republik
Indonesia. Hal ini dikarenakan pada masa itu tingkat pergolakan dan situasi yang selalu tidak
menentu dan juga tingkat pendidikan di Indonesia masih sangat rendah. Namun, dirasa pada
awal tahun 1980-an dirasa cara memimpin Soeharto yang bersifat otoriter ini kurang tepat,
karena keadaan yang terjadi di Indonesia sudah banyak berubah. Masyarakat semakin cerdas
dan semakin paham tentang hakikat negara demokratis. Dengan sendirinya model
kepemimpinan Soeharto tertolak oleh kultur atau masyarakat. Untuk tetap mempertahkan
kekuasaannya Soeharto menggunakan cara-cara represif pada semua pihak yang melawannya.
Pada masa Orde baru, gaya kepemimpinannya adalah Otoriter/militeristik. Seorang
pemimpinan yang otoriter akan menunjukan sikap yang menonjolkan keakuannya, antara
lain dengan ciri-ciri :

1.
Kecendurangan memperlakukan para bawahannya sama dengan alat-alat lain dalam
organisasi, seperti mesin, dan dengan demikian kurang menghargai harkat dan maratabat
mereka.
2.
Pengutamaan orientasi terhadap pelaksanaan dan penyelesaian tugas tanpa
mengaitkan pelaksanaan tugas itu dengan kepentingan dan kebutuhan para bawahannya.
3.
Pengabaian peranan para bawahan dalam proses pengambilan keputusan.
Sesuai dengan masalah dan tujuan yang penulis angkat, pengukuran gaya
kepemimpinan Presiden Soeharto di sini diukur dari aspek-aspek: (1) Status kepemimpinan
dan kekuasaan; (2) Orientasi pada hubungan; (3) Orientasi pada tugas; (4) Cara
mempengaruhi orang lain, dan (5) Kepribadian. Maka hasil analisis menunjukkan
kecenderungan-kecenderungan sebagai berikut.

Status kepemimpinan dan kekuasaan


Presiden Soeharto digambarkan sebagai seorang Kepala Negara dibanding sebagai
pemimpinan organisasi lainnya. Di media ia hampir tidak pernah ditampilkan sebagai seorang
individu atau pribadi[3]. Kecenderungan ini secara jelas terlihat dari frekuensi kemunculan
berita yang menunjukkan status Presiden Soeharto ketika menyampaikan pesan-pesan politik
adalah sebagai Kepala Negara. Posisi berikutnya menunjukkan status Presiden Soeharto
sebagai Kepala Pemerintahan, pemimpin dan juga sebagai Ketua Dewan Pembina Golkar.
Presiden Soeharto cenderung digambarkan sebagai seorang pemimpin yang menjadi
pusat kekuasaan pemerintah dan negara. Media cenderung menggambarkan Presiden Soeharto
sebagai pemimpin yang lebih suka berada di lokasi pusat kekuasaan, di Jakarta sebagai
ibukota negara. Meskipun ia sering melakukan perjalanan dinas dan pribadi/keluarga, baik di
dalam maupun di luar negeri, media lebih sering menyajikan liputan tentang aktivitas
komunikasi yang dilakukan Presiden Soeharto di Jakarta.
Penggambaran media yang demikian diperkuat dengan penggambaran bahwa ketika di
Jakarta Presiden Soeharto lebih sering berada di Istana Negara atau Istana Merdeka dibanding
tempat-tempat lainnya yang dapat berfungsi sebagai simbol kekuasaan dirinya sebagai
pemimpin tertinggi dalam organisasi pemerintahan, negara, dan organisasi-organisasi lainnya.
Bahkan, ia juga digambarkan sebagai pemimpin yang lebih sering berada di Istana dibanding
di Bina Graha, kantor atau tempat ia biasanya bekerja.
Orientasi pada hubungan
Dilihat dari orientasinya pada pemeliharaan hubungan, Presiden Soeharto cenderung
ditampilkan sebagai seorang pemimpin yang otoriter, atau dalam istilah Likert (1961) disebut
exploitative-authoritative, kurang demokratis. Hasil analisis menunjukkan, dari periode ke
periode berita yang beredar menunjukkan isi pesan Presiden Soeharto berfungsi menghibur,
memberikan dorongan dan bimbingan serta mengundang kritik konstruktif sebagaimana
umumnya pemimpin yang demokratis jumlahnya relatif kecil.
Kecuali pada periode awal kekuasaannya, Presiden Soeharto dalam berita suratkabar
juga cenderung ditampilkan sebagai pemimpin yang mengutamakan hubungan dengan
lembaga pemerintah yang dipimpinnya dibanding dengan lembaga-lembaga politik lainnya.
Beliau lebih sering menyampaikan pesan-pesan politik kepada para pejabat pemerintah,
seperti menteri, gubernur, bupati, walikota, dan pegawai negeri, dibanding kepada ketua dan
anggota DPR / MPR, ketua MA, Hakim Agung, pimpinan dan anggota ABRI, ketua dan
anggota Parpol, serta pimpinan dan wartawan media massa. Proporsi berita yang
menunjukkan Presiden Soeharto menyampaikan pesan-pesan kepada masyarakat (termasuk
para tokoh dan kalangan perguruan tinggi), dan kepada mereka yang duduk di lembaga
eksekutif lebih besar dibanding proporsi berita yang menunjukkan ia menyampaikan pesanpesan kepada pihak lainnya.
Presiden Soeharto juga cenderung ditampilkan sebagai seorang pemimpin yang lebih
reaktif dibanding proaktif. Ia lebih sering memberikan tanggapan atau respon terhadap

pernyataan orang lain dibanding menunjukkan gagasan/pemikirannya sendiri. Pesan-pesan


verbal sebagaimana tercakup dalam ucapan atau pernyataan yang disampaikan Presiden
Soeharto kepada berbagai pihak lebih banyak berisi tanggapan dirinya terhadap pertanyaan,
opini, sikap, dan perilaku para pejabat dan masyarakat yang dipimpinnya
Selain itu juga Presiden Soeharto digambarkan sebagai pemimpin yang memiliki
fleksibelitas dalam melaksanakan tugas dan fungsi kepemimpinannya. Isi pesan-pesan
politiknya dari periode ke periode mengalami pasang-surut. Pada periode awal
kepemimpinannya, yakni selama masa jabatan pertama 1968-1973, dominasi gagasangagasan sendiri lebih menonjol dalam pesan-pesan politik Presiden Soeharto. Namun, pada
periode pengamalan dan pematangan kepemimpinan, yakni selama masa jabatan kedua
sampai kelima 1973-1993, dominasi gagasan-gagasan sendiri semakin menurun, dan
kecenderungan ini diimbangi dengan meningkatnya tanggapan atau respon yang ia berikan
terhadap gagasan, ucapan, dan tindakan-tindakan orang lain. Sedangkan pada periode puncak
dan akhir kepemimpinannya, yakni selama masa jabatan keenam dan ketujuh 1993-1998, isi
pesan-pesan politik Presiden Soeharto semakin didominasi oleh tanggapan atau respon yang
ia berikan terhadap gagasan, ucapan, dan tindakan-tindakan orang lain.
Orientasi pada tugas
Potret Presiden Soeharto cenderung menunjukkan dirinya sebagai pemimpin yang lebih
sering memberikan perhatian sangat umum terhadap lingkup pembangunan nasional. Dalam
setiap periode kekuasaannya, ia digambarkan jarang memberi perhatian khusus pada lingkup
pembangunan lokal saja atau regional saja. Dilihat dari isi pesan-pesan politiknya,
pembangunan yang paling sering dibicarakan oleh Presiden Soeharto adalah pembangunan
dalam lingkup nasional. Pembangunan lokal Daerah Tingkat II Kabupaten / Kotamadya dan
pembangunan regional Daerah Tingkat I Propinsi relatif jarang dibicarakan oleh pemimpin
Orde Baru itu.
Surat kabar juga menggambarkan Presiden Soeharto sebagai pemimpin yang
memberikan perhatian pada pembangunan daerah pedesaan dan perkotaan tanpa membedakan
diantara keduanya. Presiden Soeharto jarang membicarakan pembangunan yang orientasinya
hanya daerah perkotaan atau hanya daerah perdesaan. Dalam media massa ia lebih sering
ditampilkan sebagai pemimpin yang membicarakan tentang pembangunan secara keseluruhan,
baik daerah perkotaan maupun daerah perdesaan. Selain itu, ia juga digambarkan sebagai
pemimpin yang memberi perhatian umum terhadap pelaksanaan pembangunan wilayah. Ia
jarang digambarkan sebagai pemimpin yang memberi perhatian khusus pada pembangunan
wilayah Barat saja atau wilayah Timur saja.
Hasil analisis juga menunjukkan, Presiden Soeharto cenderung direpresentasikan
sebagai seorang pemimpin yang lebih mementingkan pembangunan ekonomi dibanding
pembangunan sektor-sektor lainnya. Baik pada periode awal, periode pengamalan dan
pematangan, maupun pada periode puncak dan akhir kepemimpinannya, topik pembangunan
yang paling sering dibicarakan oleh Presiden Soeharto adalah ekonomi. Dari sektor-sektor
pembangunan yang pernah dibicarakannya, dua sektor yang paling sering dibicarakan
Presiden Soeharto adalah sektor Hankam, dan sektor Politik, Aparatur Negara, Penerangan,
Komunikasi, dan Media Massa. Topik yang paling jarang dibicarakan pemimpin tersebut
adalah topik pembangunan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK).
Cara mempengaruhi orang lain
Presiden Soeharto digambarkan sebagai seorang pemimpin yang otoriter, yang
menerapkan gaya kepemimpinan coercive, yang selalu menginginkan agar perintah dan
instruksinya dipatuhi orang lain dengan segera. Dalam berita surat kabar Presiden Soeharto
cenderung ditampilkan lebih mementingkan keselamatan dan kelangsungan pembangunan
nasional. Demikian pentingnya hal itu sehingga bagian besar perintah dan instruksi yang
disampaikan Presiden Soeharto kepada orang lain berisi permintaan agar keselamatan dan
kelangsungan pembangunan nasional selalu diprioritaskan.

Selain itu, alasan yang juga sering dijadikan landasan argumentasi Presiden Soeharto
ketika meminta orang lain untuk mematuhi pesan-pesannya adalah perlunya memelihara
persatuan dan kesatuan bangsa, upaya mempertahankan stabilitas politik, upaya menciptakan
masyarakat adil dan makmur, upaya membangun kehidupan demokrasi, dan upaya lainnya.
Ketika ia meminta orang lain agar mau mematuhi pesan-pesannya, Presiden Soeharto
biasanya memilih kata-kata atau kalimat tertentu. Ia lebih sering menggunakan kata-kata atau
kalimat netral dibanding membujuk (persuasive) atau memerintah (instructive atau coercive).
Kesan yang dapat ditimbulkan dari cara menyampaikan perintah atau instruksi yang demikian
adalah bahwa pada akhirnya perintah atau instruksi Presiden Soeharto diserahkan kepada
masing-masing orang untuk menentukan sikap; apakah mematuhi atau tidak mematuhi pesanpesan itu[4].
Meskipun demikian, penjelasan yang disampaikan Presiden Soeharto umumnya hanya
berupa penjelasan tentang arti kata / istilah, ungkapan, dan kalimat-kalimat yang
diucapkannya. Ia jarang sekali memberikan penjelasan yang bersifat mendorong penggunaan
logika agar orang lain secara sadar dan sukarela mau menerima pesan-pesan yang
disampaikannya. Kepada orang-orang yang menjadi sasaran pesan-pesannya, ia jarang
memberikan contoh-contoh penerapan pesan, menjelaskan manfaat apabila pesan itu diikuti,
atau menjelaskan akibat apabila pesan itu tidak diikuti. Tujuan komunikasi yang dilakukan
Presiden Soeharto tampaknya hanya agar orang lain menjadi mengetahui, tetapi tidak sampai
pada taraf memahami, mencoba, dan memutuskan untuk melakukan tindakan-tindakan
tertentu.
Kepribadian
Menurut penulis Presiden Soeharto adalah seorang pemimpin yang sederhana, tidak
suka menonjolkan diri di hadapan orang lain. Ketika berbicara dengan orang lain atau
menyampaikan pesan-pesan kepada bawahan atau orang-orang yang dipimpinnya dalam
berbagai organisasi, ia tidak suka menunjukkan keberhasilan atau jasa-jasa yang dimilikinya.
Apabila ia berusaha menonjolkan diri sendiri, cara yang digunakan Presiden Soeharto
biasanya adalah mengemukakan pengalaman atau jasa-jasa yang pernah diberikannya kepada
bangsa dan negara pada masa lalu. Dalam menyampaikan pesan-pesan kepada bawahan dan
orang-orang yang dipimpinnya, Presiden Soeharto berusaha menunjukkan jasanya yang besar
dalam membela bangsa dan negara Indonesia, berani melawan musuh-musuh negara baik
pada masa perjuangan kemerdekaan maupun pada masa pemberontakan G30S/PKI, dan
keberhasilannya dalam penyelenggaraan pembangunan nasional.
Keberhasilan dan Kegagalan yang Dihasilkan Dari Gaya kepemimpinan Soeharto
Orde Baru berlangsung dari tahun 1968 hingga 1998. Dalam jangka waktu tersebut,
kepemimpinan mantan Presiden Soeharto telah memberikan berbagaai kemajuan dan juga
kemundurun. Hal ini dikarenakan kebijakan yang beliau ambil tergantung kepada gaya
kepemimpinan yang beliau anut. Kekurangan dan kelebihan dari gaya kepemimpinan
Soeharto yaitu:
B. Keberhasilan yang Dihasilkan Dari Gaya Kepemimpinan Soeharto
Walaupun terdapat berbagai kekurangan dari pemerintahan Soeharto tapi tidak dapat
dipungkiri bahwa pada masa pemerintahan Soeharto Indonesia menjadi salah satu negara kaya
dan disegani negara lain. kelebihan
1. Kelebihan sistem Pemerintahan Orde Baru perkembangan GDP per kapita Indonesia
yang pada tahun 1968 hanya AS$70 dan pada 1996 telah mencapai lebih dari AS$1.000
2. Kemajuan sektor migas
Puncaknya adalah penghasilan dari migas yang memiliki nilai sama dengan
80% ekspor Indonesia. Dengan kebijakan itu, Indonesia di bawah Orde Baru, bisa dihitung
sebagai kasus sukses pembangunan ekonomi.
Keberhasilan Pak Harto membenahi bidang ekonomi sehingga Indonesia
mampu berswasembada pangan pada tahun 1980-an, menurut Emil Salim, diawali dengan

pembenahan di bidang politik. Kebijakan perampingan partai dan penerapan azas tunggal
ditempuh pemerintah Orde Baru, dilatari pengalaman masa Orde Lama ketika politik multi
partai menyebabkan energi terkuras untuk bertikai.
Gaya kepemimpinan tegas seperti yang dijalankan Suharto pada masa Orde Baru
memang dibutuhkan untuk membenahi perekonomian Indonesia yang berantakan di akhir
tahun 1960. Namun, dengan menstabilkan politik demi pertumbuhan ekonomi, yang sempat
dapat dipertahankan antara 6%-7% per tahun, semua kekuatan yang berseberangan dengan
Orde Baru kemudian tidak diberi tempat.
3. Swasembada beras
Seperti pepatah From Zero to Hero itulah kebijakan yang dilakukan oleh HM.
Soeharto pada masa pemerintahannya. Saat itu Indonesia menjadi pengimpor beras terbesar
didunia, namun oleh Soeharto ini dijadikan motivasi untuk menjadikan Indonesia sebagai
lumbung beras dunia. Puncaknya adalah ketika pada 1984 Indonesia dinyatakan mampu
mandiri dalam memenuhi kebutuhan beras atau mencapai swasembada pangan. Prestasi itu
membalik kenyataan, dari negara agraria yang mengimpor beras, kini Indonesia mampu
mencukupi kebutuhan pangan di dalam negeri. Pada tahun 1969 Indonesia memproduksi
beras sekitar 12,2 juta ton beras tetapi tahun 1984 bisa mencapai 25,8 juta ton.
4. Sukses transmigrasi
5. Sukses Program KB
6. Sukses memerangi buta huruf
7. Sukses swasembada pangan
8. Pengangguran minimum
9. Sukses REPELITA (Rencana Pembangunan Lima Tahun)
10. Sukses Gerakan Wajib Belajar
11. Sukses Gerakan Nasional Orang-Tua Asuh
12. Sukses keamanan dalam negeri
13. Investor asing mau menanamkan modal di Indonesia.
14. Sukses menumbuhkan rasa nasionalisme dan cinta produk dalam negeri
C. Kegagalan Dari Gaya Kepemimpinan Soeharto
Politik
Presiden Soeharto memulai "Orde Baru" dalam dunia politik Indonesia dan secara
dramatis mengubah kebijakan luar negeri dan dalam negeri dari jalan yang ditempuh
Soekarno pada akhir masa jabatannya. Salah satu kebijakan pertama yang dilakukannya
adalah mendaftarkan Indonesia menjadi anggota PBB lagi. Indonesia pada tanggal 19
September 1966 mengumumkan bahwa Indonesia "bermaksud untuk melanjutkan kerjasama
dengan PBB dan melanjutkan partisipasi dalam kegiatan-kegiatan PBB", dan menjadi anggota
PBB kembali pada tanggal 28 September 1966, tepat 16 tahun setelah Indonesia diterima
pertama kalinya. Ini merupakan langkah awal dari ketergantungan Indonesia terhadapa modal
asing.
Pada tahap awal, Soeharto menarik garis yang sangat tegas. Orde Lama atau Orde
Baru. Pengucilan politik - di Eropa Timur sering disebut lustrasi - dilakukan terhadap orangorang yang terkait dengan Partai Komunis Indonesia. Sanksi kriminal dilakukan dengan
menggelar Mahkamah Militer Luar Biasa untuk mengadili pihak yang dikonstruksikan
Soeharto sebagai pemberontak. Pengadilan digelar dan sebagian dari mereka yang terlibat
"dibuang" ke Pulau Buru.
Sanksi nonkriminal diberlakukan dengan pengucilan politik melalui pembuatan
aturan administratif. Instrumen penelitian khusus diterapkan untuk menyeleksi kekuatan lama
ikut dalam gerbong Orde Baru. KTP ditandai ET (eks tapol). Orde Baru memilih perbaikan
dan perkembangan ekonomi sebagai tujuan utamanya dan menempuh kebijakannya melalui
struktur administratif yang didominasi militer namun dengan nasehat dari ahli ekonomi
didikan Barat. DPR dan MPR tidak berfungsi secara efektif. Anggotanya bahkan seringkali
dipilih dari kalangan militer, khususnya mereka yang dekat dengan Cendana. Hal ini

mengakibatkan aspirasi rakyat sering kurang didengar oleh pusat. Pembagian PAD juga
kurang adil karena 70% dari PAD tiap provinsi tiap tahunnya harus disetor kepada Jakarta,
sehingga melebarkan jurang pembangunan antara pusat dan daerah.
Soeharto siap dengan konsep pembangunan yang diadopsi dari seminar Seskoad II
1966 dan konsep akselerasi pembangunan II yang diusung Ali Moertopo. Soeharto
merestrukturisasi politik dan ekonomi dengan dwitujuan, bisa tercapainya stabilitas politik
pada satu sisi dan pertumbuhan ekonomi di pihak lain. Dengan ditopang kekuatan Golkar,
TNI, dan lembaga pemikir serta dukungan kapital internasional, Soeharto mampu
menciptakan sistem politik dengan tingkat kestabilan politik yang tinggi.
Eksploitasi sumber daya
Selama masa pemerintahannya, kebijakan-kebijakan ini, dan pengeksploitasian
sumber daya alam secara besar-besaran menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang besar
namun tidak merata di Indonesia. Contohnya, jumlah orang yang kelaparan dikurangi dengan
besar pada tahun 1970-an dan 1980-an.
Diskriminasi terhadap Warga Tionghoa
Warga keturunan Tionghoa juga dilarang berekspresi. Sejak tahun 1967, warga
keturunan dianggap sebagai warga negara asing di Indonesia dan kedudukannya berada di
bawah warga pribumi, yang secara tidak langsung juga menghapus hak-hak asasi mereka.
Kesenian barongsai secara terbuka, perayaan hari raya Imlek, dan pemakaian Bahasa
Mandarin dilarang, meski kemudian hal ini diperjuangkan oleh komunitas Tionghoa Indonesia
terutama dari komunitas pengobatan Tionghoa tradisional karena pelarangan sama sekali akan
berdampak pada resep obat yang mereka buat yang hanya bisa ditulis dengan bahasa
Mandarin. Mereka pergi hingga ke Mahkamah Agung dan akhirnya Jaksa Agung Indonesia
waktu itu memberi izin dengan catatan bahwa Tionghoa Indonesia berjanji tidak menghimpun
kekuatan untuk memberontak dan menggulingkan pemerintahan Indonesia.
Satu-satunya surat kabar berbahasa Mandarin yang diizinkan terbit adalah Harian
Indonesia yang sebagian artikelnya ditulis dalam bahasa Indonesia. Harian ini dikelola dan
diawasi oleh militer Indonesia dalam hal ini adalah ABRI meski beberapa orang Tionghoa
Indonesia bekerja juga di sana. Agama tradisional Tionghoa dilarang. Akibatnya agama
Konghucu kehilangan pengakuan pemerintah.
Pemerintah Orde Baru berdalih bahwa warga Tionghoa yang populasinya ketika itu
mencapai kurang lebih 5 juta dari keseluruhan rakyat Indonesia dikhawatirkan akan
menyebarkan pengaruh komunisme di Tanah Air. Padahal, kenyataan berkata bahwa
kebanyakan dari mereka berprofesi sebagai pedagang, yang tentu bertolak belakang dengan
apa yang diajarkan oleh komunisme, yang sangat mengharamkan perdagangan dilakukan.
Orang Tionghoa dijauhkan dari kehidupan politik praktis. Sebagian lagi memilih untuk
menghindari dunia politik karena khawatir akan keselamatan dirinya.
Perpecahan bangsa
Di masa Orde Baru pemerintah sangat mengutamakan persatuan bangsa Indonesia.
Setiap hari media massa seperti radio dan televisi mendengungkan slogan "persatuan dan
kesatuan bangsa". Salah satu cara yang dilakukan oleh pemerintah adalah meningkatkan
transmigrasi dari daerah yang padat penduduknya seperti Jawa, Bali dan Madura ke luar Jawa,
terutama ke Kalimantan, Sulawesi, Timor Timur, dan Irian Jaya. Namun dampak negatif yang
tidak diperhitungkan dari program ini adalah terjadinya marjinalisasi terhadap penduduk
setempat dan kecemburuan terhadap penduduk pendatang yang banyak mendapatkan bantuan
pemerintah. Muncul tuduhan bahwa program transmigrasi sama dengan jawanisasi yang
disertai sentimen anti-Jawa di berbagai daerah, meskipun tidak semua transmigran itu orang
Jawa.
Pada awal Era Reformasi konflik laten ini meledak menjadi terbuka antara lain
dalam bentuk konflik Ambon dan konflik Madura-Dayak di Kalimantan. Sementara itu
gejolak di Papua yang dipicu oleh rasa diperlakukan tidak adil dalam pembagian keuntungan
pengelolaan sumber alamnya, juga diperkuat oleh ketidaksukaan terhadap para transmigra
Semaraknya korupsi, kolusi, nepotisme

Pembangunan Indonesia yang tidak merata dan timbulnya kesenjangan


pembangunan antara pusat dan daerah, sebagian disebabkan karena kekayaan daerah sebagian
besar disedot ke pusat munculnya rasa ketidakpuasan di sejumlah daerah karena kesenjangan
pembangunan, terutama di Aceh dan Papua kecemburuan antara penduduk setempat dengan
para transmigran yang memperoleh tunjangan pemerintah yang cukup besar pada tahun-tahun
pertamanya
Bertambahnya kesenjangan sosial (perbedaan pendapatan yang tidak merata bagi
si kaya dan si miskin)
Kritik dibungkam dan oposisi diharamkan kebebasan pers sangat terbatas,
diwarnai oleh banyak koran dan majalah yang dibreidel penggunaan kekerasan untuk
menciptakan keamanan, antara lain dengan program "Penembakan Misterius" (petrus)
Tidak ada rencana suksesi (penurunan kekuasaan ke pemerintah/presiden selanjutnya.

Anda mungkin juga menyukai