Dosen Departemen Teknik Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor
(Alumni The United Graduate School of Agricultural Sciences, Kagoshima University, Jepang.
Major Chairs of Agricultural Engineering)
diselamatkan dengan menekan susut dan meningkatkan rendemen giling. Makalah ini
membahas besarnya susut pada setiap tahapan penanganan pascapanen dan memberikan
gambaran pengaruh penerapan sistem dan teknik penanganan terhadap besarnya susut.
Informasi tersebut diharapkan dapat memberikan pemahaman dan menumbuhkan
kesadaran bagi petani/buruh tani maupun para penyuluh di lapangan akan pentingnya
perbaikan cara penanganan pascapanen untuk meningkatkan produksi.
pascapanen tersebut menimbulkan susut hasil. Besarnya susut pada setiap tahapan proses
cukup beragam.
varietas padi, (2) kondisi tanaman dan tingkat kematangan padi, (3) sistem pemanenan
dan jumlah pemanen, (4) alat mesin pascapanen, dan (5) sistem penggilingan. Susut hasil
selama penanganan pascapanen mencapai 20,4 % dan yang terbesar terjadi pada tahapan
pemanenan yaitu sekitar 9,5 % dan perontokan sekitar 4,8 % (BPS, 1996).
Pengumpulan
Pemanenan
GKP, KA 25 %
Terpal
Perontokan
Karung
Pengangkutan
Terpal
Pengeringan
sepeda,
Pembersihan
Kering Simpan
GKS, KA 18%
Kering Giling
GKG, KA 14 %
Penyimpanan
Penggilingan
padi membutuhkan tenaga kerja dan biaya cukup besar setelah kegiatan
pengolahan tanah dan tanam. Di Indonesia dikenal tiga sistem pemanenan padi yang
berkembang di tingkat petani, sebagai berikut:
(1) Sistem ceblokan, adalah pemanenan dengan jumlah pemanen yang terbatas dimana
pemanen adalah orang yang menanam dan merawat tanaman tanpa mendapatkan
upah dari petani pemilik sawah, orang lain tidak boleh ikut memanen tanpa seijin
penceblok.
(2) Sistem individu/keroyokan, yaitu pemanenan dengan jumlah pemanen yang tidak
terbatas (150-200 orang per hektar), dimana siapa saja boleh ikut memanen tanpa
adanya ikatan kerja. Mereka berebut memotong padi dan secepatmya mengumpulkan
potongan padi, agar dapat segera pindah ke tempat yang lain.
(3) Sistem kelompok, yaitu pemanenan secara beregu dengan jumlah pemanen yang
terbatas (20-30 orang per hektar), dimana pembagian tugasnya jelas dan perontokan
menggunakan pedal thresher atau power thresher. Pembagian tugasnya adalah
sebanyak 22 orang melakukan pemotongan padi, lima orang melakukan pengumpulan
dan tiga orang lagi merontok padi dan memasukkan gabah ke dalam karung. Tabel 1
menunjukkan kehilangan hasil pada sistem keroyokan, ceblokan dan kelompok
dimana sistem kelompok merupakan cara terbaik dalam menekan susut pascapanen.
Tabel 1. Tingkat Susut Hasil Pada Berbagai Sistem Pemanenan
Sistem pemanenan
Susut panen dan perontokan (%)
Keroyokan
18,6
Ceblokan
14,3
Kelompok
5,9
Sumber : Setyono, et al. (1993)
Pemanenan dapat dilakukan menggunakan ani-ani, sabit atau mesin pemanen (reaper).
Pada daerah yang masih cukup tersedia tenaga kerja, pemanenan dilakukan secara manual
menggunakan alat sederhana yaitu ani-ani dan sabit. Berkembangnya kegiatan diluar
sektor pertanian mengakibatkan makin berkurangnya tenaga kerja di pedesaan, khususnya
tenaga muda yang sudah dan pernah mengenyam pendidikan. Oleh sebab itu diperlukan
bantuan mesin pemanen seperti reaper, thresher, stripper atau combine harvester.
Penggunaan ani-ani cocok untuk pemanenan padi varietas lokal yang mempunyai
kematangan tidak serentak dan tanamannya tinggi.
merupakan padi yang pendek sehingga penggunaan ani-ani akan menyulitkan. Alternatif
lain yang umum digunakan adalah dengan menggunakan sabit. Sabit yang digunakan
untuk pemanenan padi ada dua macam, yaitu sabit rata dan sabit bergerigi. Penggunaan
sabit bergerigi dengan bahan baja yang sangat tajam dapat menekan susut sebesar 3%
(Damardjati et al., 1989; Nugraha et al., 1990). Tabel 2 menunjukkan pengaruh
penggunaan sabit terhadap tingkat kehilangan hasil.
Tabel 2. Pengaruh Jenis Sabit terhadap Susut Panen Padi Varietas IR-64 dan
Cisadane
Perlakuan
Sabit biasa
Sabit gerigi tani
Sabit gerigi maros
IR-64
4,07
3,52
3,20
Spesifikasi sabit bergerigi adalah: (1) Gagang terbuat dari kayu atau plastik bulat
berdiameter 2 cm dan panjang lebih kurang 15 cm, (2) Mata pisau terbuat dari baja keras
yang satu sisinya bergerigi antara 12 16 gerigi sepanjang 1 inchi, dan (3) Memiliki SNI
atau test report (Ditjen P2HP Deptan, 2007). Gambar 2 berikut menunjukkan contoh
sabit bergerigi yang diproduksi di daerah Jawa Tengah.
Gabah
Hampa (%)
Gebot
Pedal thresher
Power thresher
Sumber: Rachmat et al. (1993)
3,52
2,17
1,67
Kapasitas
Perontokan
( kg/jam)
41,8
81,8
526,2
Gabah Tidak
Terontok
(%)
2,84
1,54
0,65
Kehilangan
(%)
3,11
2,37
1,20
Perontokan
gabah kering yang seragam, faktor ketebalan gabah sangat besar pengaruhnya. Jika
lapisan gabah terlalu tebal maka kadar air gabah menjadi tidak seragam dan waktu
pengeringan lama. Sebaliknya, jika terlalu tipis dapat menyebabkan beras pecah pada
waktu proses penggilingan. Penjemuran pada lampisan semen yang dilakukan dengan
ketebalan kurang dari 1 cm dapat mengakibatkan persentase beras pecah lebih dari 70%
dengan rendemen giling yang rendah. Penjemuran gabah sebaiknya dilakukan di atas
terpal dengan ukuran dan spesifikasi yang telah ditetapkan. Ketebalan gabah pada saat
dijemur adalah 3-5 cm. Untuk mempercepat proses pengeringan dan meratakan kadar air
maka perlu dilakukan proses pembalikan setiap dua jam.
penjemuran akan selesai 1-2 hari, sedangkan apabila cuaca mendung, maka penjemuran
dapat selesai sampai 3-4 hari. Gambar 4 memperlihatkan pengeringan gabah secara alami
pada lantai jemur.
memerlukan tempat yang luas, (2) sangat tergantung pada cuaca, (3) susut hasil relatif
tinggi baik karena tercecer maupun dimakan burung/ayam, (4) memungkinkan gabah
tercampur benda asing, (5) suhu pengeringan tidak dapat dikendalikan, dan (6) hasil
pengeringan tidak seragam.
Pengeringan gabah dengan penjemuran tidak dapat dilakukan apabila pemanenan
dilakukan pada musim hujan. Penundaan pengeringan akan menyebabkan turunnya mutu
gabah dan beras giling, seperti butir kuning dan gabah berkecambah. Tabel 4
memperlihatkan persentase butir kuning akibat pengeringan gabah yang tertunda. Pada
berbagai kadar air gabah, butir kuning relatif lebih tinggi jika penundaan pengeringan
terjadi pada musim hujan (MH) dan semakin tinggi kadar air gabah maka penundaan
pengeringan akan menghasilkan butir kuning yang lebih tinggi.
Tabel 4. Pengaruh Kadar Air Gabah dan Lama Penundaan Pengeringan terhadap
Persentase Butir Kuning.
Kadar air gabah
(%)
Waktu penundaan
(hari)
> 25
22 24
19 21
1
3
5
1
3
5
1
3
5
MK
0,25
1,18
0,28
1,19
0,55
0,62
9,02
0,48
1,32
Pemanenan padi tidak seluruhnya dilakukan pada musim kemarau, oleh karena itu untuk
menghindari terjadinya penundaan, perlu dilakukan pengeringan dengan pengering
buatan (dryer). Pengeringan gabah dengan alat mesin pengering (dryer) memiliki susut
lebih rendah (2,30%) dari pada penjemuran (2,98%) karena gabah terlokalisasi pada suatu
tempat yang terbatas (Damardjati, et al., 1989).
Meskipun penggunaan alat mesin pengering dapat menekan susut dan meningkatkan
mutu, tetapi pengembangan alat mesin pengering masih menghadapi masalah, antara
lain : (a) harga alat mesin pengering mahal sehingga biaya operasi tinggi dan kurang
layak untuk diusahakan; (b) waktu kerja per hari operasi terbatas, bahkan dalam kondisi
tidak hujan kebutuhan akan alat mesin pengering kurang dirasakan petani; (c) masalah
mutu beras belum menjadi perhatian karena tidak ada insentif bagi mutu gabah/beras
yang baik; dan (d) petani merasa enggan untuk mengeluarkan biaya pengeringan,
termasuk biaya angkutan gabah ke dan dari lokasi pengeringan.
penggunaan dryer sebaiknya diintegrasikan dan menyatu dengan usaha penggilingan padi
agar pengoperasiannnya lebih efektif. Petani cukup sekali mengangkut gabah ke tempat
pengeringan untuk langsung digiling atau bahkan langsung dapat menjual gabah kering
panen (Hadiutomo, 2006).
Pengering buatan (dryer) pada dasarnya terdiri dari tiga komponen utama, yaitu (1) bak
pengering, (2) pemanas (heater) dan (3) kipas/blower. Beberapa jenis alat pengering
antara lain flat bed dryer, deep bed dryer, continuous dryer, dan lain-lain. Penggilingan
padi kecil dan industri benih memakai flat bed dryer atau box dryer dengan kapasitas 310 ton/proses yang umumnya sudah dibuat industri lokal. Penggilingan padi besar dan
industri benih menggunakan pula recirculation dryer berkapasitas 10-15 ton/jam dan
cross flow dryer berkapasitas 15 ton/jam (Gambar 5). Mesin pengering lain yang dipakai
di Indonesia adalah in-store dryer dan fluidized bed dryer dengan kapasitas 15-20 ton/jam
pada penggilingan padi besar.
Disamping
itu
perlu
dipertimbangkan pemakaian in-store dryer yang mengeringkan gabah dari kadar air 18%
menjadi 14% dengan sekaligus penyimpanan secara curah dalam gudang semi permanen
setengah terbuka. In-store dryer hanya menggunakan kipas untuk aerasi yang dijalankan
sekitar 6 jam/hari tetapi dapat menurunkan kadar air gabah dari 18% menjadi 14% dalam
waktu satu bulan.
10
(lahan kering/pasang surut), sistem sanitasi penggilingan dan kondisi serta tipe alat mesin
penggilingan. Sanitasi pabrik penggilingan yang kurang baik menyebabkan gabah yang
tercecer sulit untuk dikumpulkan kembali.
Gabah kering giling (GKG) pada kadar air sekitar 13-15 % selama proses penggilingan
akan mengalami susut.
ditunjukkan pada diagram Sankey (Gambar 6). Nilai-nilai numerik di dalam diagram
Sankey berbeda-beda tergantung varietas dan sistem penggilingan. Nilai-nilai yang
ditunjukkan pada diagram tersebut adalah untuk gabah yang berasal dari Amerika yang
berbutir panjang (long grain).
Gabah Kering Panen (GKP)
KA 20 %
Susut 7 %
Benda asing 3 %
Pemecahan Kulit
Sekam 20 %
Katul & lembaga 10 %
2% 5%
Beras Patah
8%
52 %
Beras Kepala
gabahnya, varietasnya, derajat kematangan dan cara penanganan awal (pre handling)
serta tipe dan konfigurasi mesin penggiling (Damardjati et al., 1981).
11
Sedangkan pada
penggilingan padi besar dengan konfigurasi dryer-cleaner-husker-separator-polishergrader (D-C-S-P-G) menghasilkan rendemen 61.48% dengan kualitas beras kepala
82.45% dan beras patah 11.97% (Hadiutomo, 2006).
Penggilingan padi terpadu (PPT) adalah unit penggilingan padi berkapasitas besar yang
merupakan gabungan dari unit proses pembersihan awal, pengeringan, penyimpanan,
penggilingan dan pengepakan yang satu sama lain dihubungkan dengan elevator. Unit
proses pembersihan awal terdiri dari beberapa perlatan meliputi intake hopper, pre
cleaner, moisture tester dan hopper scale. Unit pengeringan meliputi dryer dan cleaner.
Unit penyimpanan meliputi square bin, drying and storage silo dan grain cooler. Unit
penggilingan terdiri dari destoner, auto weigher, husker, closed circuit chaff blower,
paddy separator, brown rice conditioner, immature separator, polishing machine, rotary
shifter, cleaning machine, color sorter, vibration separator, dan length grader. Unit
pengepakan terdiri dari hopper dan packing machine untuk kemasan berbagai ukuran (5
kg, 10 kg atau 20 kg).
12
Salah satu penggilingan padi modern di Indonesia adalah penggilingan padi PT Alam
Makmur Sembada di Kabupaten Bekasi. Tahapan proses pengolahan padi menjadi beras
pecah kulit (brown rice) meliputi pre-cleaner, pengeringan dengan pengering tipe
fluidized bed dryer, pengeringan dengan pengering tipe LSU dryer, pembersihan
menggunakan air screen cleaner, pengupasan kulit menggunakan auto husker, pemisahan
kulit menggunakan husk aspirator dan rotary shifter, dan pemisahan gabah yang belum
terkupas menggunakan paddy separator. Perpindahan bahan dari tahapan proses yang
satu ke tahapan proses berikutnya menggunakan bucket elevator dan pipa-pipa
penyaluran.
menggunakan silo (Gambar 7). Beras pecah kulit selanjutnya diolah menjadi beras pada
ruangan yang terpisah.
13
Susut
Hasil
dengan
14
Berupaya menekan susut merupakan salah satu bentuk syukur atas nikmat rizki yang
telah dikaruniakan Allah SWT. Dalam adab makan, ada sebuah hadits Riwayat Muslim
yang menyatakan bahwa Rasulullah SAW memerintahkan untuk menjilati jari-jemari dan
wadah makanan (jika selesai makan) seraya beliau bersabda Sungguh kalian tidak tahu
dalam makanan mana yang terdapat berkah (Sumber: Riyadhush Sholihin, karya Imam
Nawawi). Oleh karena itu ketika hendak makan, perlu memperhitungkan takaran porsi
makan kita agar tidak menyisakan makanan di piring (Gambar 9).
15
Sebagian masyarakat seperti di Kabupaten Cirebon telah melakukan tindakan yang terpuji
dimana sisa nasi tidak dibuang mubazir melainkan diolah menjadi nasi aking (Ilham,
2007). Nasi aking adalah nasi sisa makanan yang telah dikeringkan dan disimpan untuk
digunakan di kemudian hari. Bagi masyarakat yang belum pernah mengkonsumsi nasi
aking akan menganggap janggal, seperti pada sebuah lagu yang dilantunkan penyanyi
Alda Risma (alm) Aku Tak Biasa. Tetapi bagi yang sering/pernah menikmatinya, hal
ini sepertinya Biasa-biasa Saja.
menjadi bagian suatu kepercayaan mitos untuk memenuhi kebutuhan unsur syarat
dalam melakukan acara-acara ritual adat dan budaya. Sejak beberapa tahun lalu nasi
aking juga sengaja dibuat sebagai bahan baku yang disebut Intip (sisa kerak nasi)
untuk pembuatan makanan jajanan khas Cirebon yang dikemas dalam berbagai bentuk
dan aneka cita rasa yang kini dipasarkan baik di pasar umum maupun pasar
swalayan/super market.
Terlepas percaya/tidak percaya mitos, memanfaatkan sisa-sisa makanan adalah tindakan
terpuji sebagaimana adab makan yang telah diajarkan nabi. Ketika ada sisa makanan
tidak sepantasnya kita membuang begitu saja, akan lebih bijak seandainya diberikan ke
hewan piaraan atau diolah menjadi sesuatu yang bermanfaat agar dapat dikonsumsi atau
diberikan kepada fakir miskin yang membutuhkan.
Melalui gerakan penurunan susut pascapanen, diharapkan tidak akan lagi terjadi impor
beras dan busung lapar di negeri yang subur makmur ini.
DAFTAR PUSTAKA
Biro Pusat Statistik. 1996. Survei susut pascapanen MT1994/95 dan MT 1995. Kerjasama
BPS, Ditjen Tanaman Pangan, Badan Pengendali Bimas, Bulog, Bappenas, IPB,
dan Badan Litbang Pertanian.
Damardjati, D.S., H. Suseno dan S. Wijandi. 1981. Penentuan umur panen optimum padi
sawah ( Oryza Sativa. L.) Penelitian Pertanian 1:19:26
Ditjen P2HP Reptan. 2007. Pedoman Teknis Penanganan Pascapanen dan Pemasaran
Gabah. Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian,
Departemen Pertanian.
Hadiutomo, Kusno. 2006. Kumpulan beberapa kajian/penelitian tentang kehilangan
hasil pada berbagai tahapan kegiatan pascapanen padi.
http://agribisnis.deptan.go.id/index.php?files=Berita_Detail&id=216
Hamlin Ilham. 2007. Makan Nasi Aking bukan sebuah kenistaan. Warta Intra Bulog
Edisi No 1/Th.XXXIII/Januari 2007.
16
Nugraha, S., A. Setyono dan D.S. Damardjati. 1990. Pengaruh keterlambatan perontokan
padi terhadap kehilangan hasil dan mutu. Laporan Hasil Penelitian 1988/89.
Balai Penelitian Tanaman Padi Sukamandi
Patiwiri, A.W. 2006. Teknologi Penggilingan Padi. Penerbit PT Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta.
Purwadaria, H.K. 2004. Teknologi Panen Dan Pasca Panen Padi. Disampaikan pada
Lokakarya Nasional Upaya Peningkatan Nilai Tambah Pengolahan Padi, Jakarta
20-21 Juli 2004
Rachmat, R., A. Setyono dan S. Nugraha. 1993. Evaluasi system pemanenan beregu
menggunakan beberapa mesin perontok. Agrimek. Vol 4 dan 5 No.1
(1992/1993)
Rokhani, H. 2007. Teknik penanganan pascapanen padi untuk menekan susut hasil.
Modul pelatihan Tenaga Pendamping Program Pengawalan Penanganan
Pascapanen dan Pemasaran Gabah oleh Perguruan Tinggi. Kerjasama Lembaga
Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat Institut Pertanian Bogor dengan
Dirjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian, Departemen Pertanian.
Setyono, A., R. Thahir, Soeharmadi dan S. Nugraha. 1993. Perbaikan system pemanenan
padi untuk meningkatkan mutu dan mengurangi kehilangan hasil. Media
Penelitian. Sukamandi. No. 13 Hal 1-4.
Wisnu Broto, Sigit Nugraha dan Suismono. 2006. Hasil-hasil penelitian BB-Pascapanen
berkenaan dengan kehilangan hasil padi pada saat panen dan pascapanen.
Workshop pengukuran kehilangan hasil padi, Jakarta 19-20 September.
17