Anda di halaman 1dari 17

GERAKAN NASIONAL PENURUNAN SUSUT PASCAPANEN,

SUATU UPAYA MENANGGULANGI KRISIS PANGAN


Oleh:
Dr.Ir. Rokhani Hasbullah, M.Si1
PENDAHULUAN
Masalah utama yang dihadapi dalam penanganan pascapanen padi adalah tingginya susut
(losses) baik secara kuantitatif maupun kualitatif.

Permasalahan tersebut berakibat

adanya kecenderungan tidak memberikan insentif kepada petani untuk memperbaiki


tingkat pendapatannya. Padi/gabah yang kadar airnya tinggi mempunyai sifat mudah
rusak dan akan mengalami susut pada saat penanganan pascapanen dan pengolahan.
Angka produksi gabah sebesar 52 juta ton GKG sesungguhnya dapat lebih tinggi lagi
apabila dilakukan penanganan yang baik pada saat panen, penanganan pasca panen dan
pengolahan/penggilingan. Pada saat panen, perontokan, transportasi, pengeringan,
penyimpanan, dan penggilingan terjadi susut dan kehilangan yang cukup besar
persentasenya. Hasil survey Badan Pusat Statistik (BPS, 1996) menunjukkan bahwa susut
hasil panen padi di Indonesia saat ini masih cukup tinggi, yaitu sebesar 20,42 %, yang
terjadi pada saat panen (9,5 %), perontokan (4,8 %), pengeringan (2,1 %), penggilingan
(2,2 %), penyimpanan (1,6 %), dan pengangkutan (0,2 %). Penanganan pascapanen yang
baik dan tepat dapat menekan susut dan menghasilkan kualitas gabah/beras yang tinggi
sehingga dapat meningkatkan harga jual gabah/beras petani.
Saat ini pemerintah sedang meluncurkan program Peningkatan Produksi Beras Nasional
(P2BN) dengan target menghasilkan tambahan produksi dua juta ton beras atau setara 3,6
juta ton GKG (gabah kering giling). Dalam kegiatan pascapanen upaya tersebut
ditempuh melalui pengadaan dan rehabilitasi alat mesin pascapanen (sabit bergerigi,
terpal, pedal thresher dan power thresher) dan revitalisasi penggilingan padi kecil (PPK)
atau rice milling unit (RMU) dengan tujuan utama menekan susut pascapanen dan
meningkatkan rendemen giling. Jika dalam penanganan pascapanen dapat ditekan susut
sebesar 1,5 % saja maka usaha tersebut dapat meningkatkan produksi gabah sebesar 0,83
juta ton GKG atau setara 0,50 juta ton beras. Di lain pihak, dalam penggilingan jika
dapat meningkatkan rendemen sebesar 3 % akan dapat meningkatkan ketersediaan beras
nasional sekitar 1,66 juta ton beras. Dengan demikian sekitar 2,16 juta ton beras dapat
1

Dosen Departemen Teknik Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor
(Alumni The United Graduate School of Agricultural Sciences, Kagoshima University, Jepang.
Major Chairs of Agricultural Engineering)

diselamatkan dengan menekan susut dan meningkatkan rendemen giling. Makalah ini
membahas besarnya susut pada setiap tahapan penanganan pascapanen dan memberikan
gambaran pengaruh penerapan sistem dan teknik penanganan terhadap besarnya susut.
Informasi tersebut diharapkan dapat memberikan pemahaman dan menumbuhkan
kesadaran bagi petani/buruh tani maupun para penyuluh di lapangan akan pentingnya
perbaikan cara penanganan pascapanen untuk meningkatkan produksi.

SUSUT SELAMA PENANGANAN PASCAPANEN


Penanganan pascapanen padi bertujuan untuk meningkatkan efisiensi, menekan tingginya
susut hasil dan mempertahankan mutu gabah/beras.

Tahapan kegiatan pascapanen

meliputi panen, pengumpulan/penumpukan, perontokan, pengangkutan, pengeringan,


penyimpanan, dan penggilingan. Pada Gambar 1 diperlihatkan tahapan proses kegiatan
penanganan pascapanen padi.

Setiap proses pada masing-masing tahapan kegiatan

pascapanen tersebut menimbulkan susut hasil. Besarnya susut pada setiap tahapan proses
cukup beragam.

Faktor-faktor yang mempengaruhi besarnya susut antara lain: (1)

varietas padi, (2) kondisi tanaman dan tingkat kematangan padi, (3) sistem pemanenan
dan jumlah pemanen, (4) alat mesin pascapanen, dan (5) sistem penggilingan. Susut hasil
selama penanganan pascapanen mencapai 20,4 % dan yang terbesar terjadi pada tahapan
pemanenan yaitu sekitar 9,5 % dan perontokan sekitar 4,8 % (BPS, 1996).

Pengumpulan
Pemanenan
GKP, KA 25 %
Terpal

Perontokan

Karung

Pengangkutan

Terpal

Pengeringan

Ani-ani, sabit, reaper


Digebot, pedal thresher, power thresher
Karung,
mobil

sepeda,

Lantai jemur, dryer

Pembersihan

Kering Simpan
GKS, KA 18%

Kering Giling
GKG, KA 14 %

Penyimpanan

Penggilingan

Gambar 1. Tahapan Proses Kegiatan Penanganan Pascapanen Padi (Rokhani, 2007)


Pemanenan
Pemanenan merupakan salah satu tahapan pascapanen padi yang di dalam sistem
usahatani

padi membutuhkan tenaga kerja dan biaya cukup besar setelah kegiatan

pengolahan tanah dan tanam. Di Indonesia dikenal tiga sistem pemanenan padi yang
berkembang di tingkat petani, sebagai berikut:
(1) Sistem ceblokan, adalah pemanenan dengan jumlah pemanen yang terbatas dimana
pemanen adalah orang yang menanam dan merawat tanaman tanpa mendapatkan
upah dari petani pemilik sawah, orang lain tidak boleh ikut memanen tanpa seijin
penceblok.
(2) Sistem individu/keroyokan, yaitu pemanenan dengan jumlah pemanen yang tidak
terbatas (150-200 orang per hektar), dimana siapa saja boleh ikut memanen tanpa
adanya ikatan kerja. Mereka berebut memotong padi dan secepatmya mengumpulkan
potongan padi, agar dapat segera pindah ke tempat yang lain.

(3) Sistem kelompok, yaitu pemanenan secara beregu dengan jumlah pemanen yang
terbatas (20-30 orang per hektar), dimana pembagian tugasnya jelas dan perontokan
menggunakan pedal thresher atau power thresher. Pembagian tugasnya adalah
sebanyak 22 orang melakukan pemotongan padi, lima orang melakukan pengumpulan
dan tiga orang lagi merontok padi dan memasukkan gabah ke dalam karung. Tabel 1
menunjukkan kehilangan hasil pada sistem keroyokan, ceblokan dan kelompok
dimana sistem kelompok merupakan cara terbaik dalam menekan susut pascapanen.
Tabel 1. Tingkat Susut Hasil Pada Berbagai Sistem Pemanenan
Sistem pemanenan
Susut panen dan perontokan (%)
Keroyokan
18,6
Ceblokan
14,3
Kelompok
5,9
Sumber : Setyono, et al. (1993)

Pemanenan dapat dilakukan menggunakan ani-ani, sabit atau mesin pemanen (reaper).
Pada daerah yang masih cukup tersedia tenaga kerja, pemanenan dilakukan secara manual
menggunakan alat sederhana yaitu ani-ani dan sabit. Berkembangnya kegiatan diluar
sektor pertanian mengakibatkan makin berkurangnya tenaga kerja di pedesaan, khususnya
tenaga muda yang sudah dan pernah mengenyam pendidikan. Oleh sebab itu diperlukan
bantuan mesin pemanen seperti reaper, thresher, stripper atau combine harvester.
Penggunaan ani-ani cocok untuk pemanenan padi varietas lokal yang mempunyai
kematangan tidak serentak dan tanamannya tinggi.

Umumnya padi varietas baru

merupakan padi yang pendek sehingga penggunaan ani-ani akan menyulitkan. Alternatif
lain yang umum digunakan adalah dengan menggunakan sabit. Sabit yang digunakan
untuk pemanenan padi ada dua macam, yaitu sabit rata dan sabit bergerigi. Penggunaan
sabit bergerigi dengan bahan baja yang sangat tajam dapat menekan susut sebesar 3%
(Damardjati et al., 1989; Nugraha et al., 1990). Tabel 2 menunjukkan pengaruh
penggunaan sabit terhadap tingkat kehilangan hasil.
Tabel 2. Pengaruh Jenis Sabit terhadap Susut Panen Padi Varietas IR-64 dan
Cisadane
Perlakuan
Sabit biasa
Sabit gerigi tani
Sabit gerigi maros

IR-64
4,07
3,52
3,20

Susut hasil (%)


Cisadane
5,11
3,41
2,31

Sumber: Lubis et al. ( 1990)

Spesifikasi sabit bergerigi adalah: (1) Gagang terbuat dari kayu atau plastik bulat
berdiameter 2 cm dan panjang lebih kurang 15 cm, (2) Mata pisau terbuat dari baja keras
yang satu sisinya bergerigi antara 12 16 gerigi sepanjang 1 inchi, dan (3) Memiliki SNI
atau test report (Ditjen P2HP Deptan, 2007). Gambar 2 berikut menunjukkan contoh
sabit bergerigi yang diproduksi di daerah Jawa Tengah.

Gambar 2. Sabit Bergerigi yang Diproduksi di Jawa Tengah


Perontokan
Perontokan merupakan kegiatan untuk memisahkan butir gabah dari malainya yang dapat
dilakukan secara manual (digebot), semi mekanis menggunakan perontok tipe pedal
(pedal thresher) atau secara mekanis menggunakan mesin perontok (power thresher).
Kinerja alat perontok akan menentukan tingkat kehilangan hasil. Kecepatan putaran
silinder perontok menentukan hasil perontokan, kehilangan hasil dan gabah yang tidak
terontok (masih menempel pada malai padi). Alat perontok pedal thresher disarankan
berputar pada kecepatan 100-150 rpm, sedangkan power thresher disarankan pada 400450 rpm. Tabel 3 menunjukkan pengaruh alat perontok padi terhadap mutu dan
kehilangan hasil.
Tabel 3. Pengaruh Alat Perontok Padi terhadap Mutu dan Kehilangan Hasil
Alat perontok

Gabah
Hampa (%)

Gebot
Pedal thresher
Power thresher
Sumber: Rachmat et al. (1993)

3,52
2,17
1,67

Kapasitas
Perontokan
( kg/jam)
41,8
81,8
526,2

Gabah Tidak
Terontok
(%)
2,84
1,54
0,65

Kehilangan
(%)
3,11
2,37
1,20

Pada Gambar 3 diperlihatkan praktek perontokan dengan cara digebot.

Perontokan

sebaiknya dilakukan segera setelah pemanenan. Penundaan perontokan padi di sawah


menjadi masalah besar karena dapat mengakibatkan tingginya susut hasil dan turunnya
mutu gabah. Apabila terjadi penundaan perontokan maka sebaiknya dilakukan dengan
cara: (1) menggunakan alas terpal pada saat penumpukan, dan (2) lama penundaan tidak
boleh lebih dari satu malam dengan tinggi tumpukan padi tidak lebih dari 1 m.

Gambar 3. Perontokan Padi dengan Cara Digebot


Penyebab utama kehilangan pada perontokan padi adalah : (1) perilaku petani yang
bekerja kurang hati-hati , (2) cara penggebotan dan frekuensi pembalikan padi, (3)
kecepatan putaran silinder perontok, dan (4) luasan alas plastik/terpal yang digunakan
pada saat merontok. Oleh karena itu selama perontokan hendaknya digunakan alas terpal
dengan spesifikasi yang sesuai. Terpal juga sekaligus dapat digunakan sebagai alas
untuk penjemuran dan untuk menutupi/melindungi dari guyuran air hujan. Penggunaan
alas terpal selama perontokan bertujuan agar gabah yang sudah dirontokkan mudah untuk
dikumpulkan kembali.
Fungsi terpal dalam penanganan pascapanen padi antara lain: (1) mengurangi/menekan
kehilangan butiran gabah pada saat perontokan dan pengeringan, (2) sebagai dinding dan
alas dalam upaya mencegah bercampurnya kotoran dengan gabah, (3) memudahkan
pengumpulan gabah dan sebagai penutup gabah pada waktu hujan turun, (4) untuk
menghasilkan penyebaran panas yang merata pada saat penjemuran/pengeringan.

Keuntungan penggunaan terpal dalam penanganan pascapanen padi adalah: (1)


memudahkan penyelamatan gabah bila dalam masa penjemuran/pengeringan hujan turun
secara tibatiba, misalnya dengan cara memasang tali pengikat untuk memudahkan
menggulung terpal/lembaran plastik kemudian menutup/melindungi gabah dari hujan
dengan cepat, (2) memudahkan pengumpulan untuk pengarungan gabah pada akhir
perontokan dan penjemuran, (3) dapat mengurangi tenaga kerja buruh tani dilapangan.
Spesifikasi terpal adalah sebagai berikut: (1) terbuat dari bahan plastik lapis tunggal
berukuran 8 m x 8 m, ada jahitan pinggir dengan diberi lubang yang dilengkapi dengan
ring besi di bagian sudut dengan interval dua meter sehingga terdapat lebih kurang 16
lubang, dan (2) dianjurkan terpal berwarna gelap seperti biru, coklat atau hitam (Ditjen
P2HP, 2007).
Pengeringan Gabah
Pengeringan dapat dilakukan secara alami (penjemuran) maupun dengan pengering
buatan (dryer). Pengeringan secara alami harus memperhatikan intensitas sinar, suhu
pengeringan,

ketebalan penjemuran dan frekuensi pembalikan. Untuk menghasilkan

gabah kering yang seragam, faktor ketebalan gabah sangat besar pengaruhnya. Jika
lapisan gabah terlalu tebal maka kadar air gabah menjadi tidak seragam dan waktu
pengeringan lama. Sebaliknya, jika terlalu tipis dapat menyebabkan beras pecah pada
waktu proses penggilingan. Penjemuran pada lampisan semen yang dilakukan dengan
ketebalan kurang dari 1 cm dapat mengakibatkan persentase beras pecah lebih dari 70%
dengan rendemen giling yang rendah. Penjemuran gabah sebaiknya dilakukan di atas
terpal dengan ukuran dan spesifikasi yang telah ditetapkan. Ketebalan gabah pada saat
dijemur adalah 3-5 cm. Untuk mempercepat proses pengeringan dan meratakan kadar air
maka perlu dilakukan proses pembalikan setiap dua jam.

Apabila cuaca cerah,

penjemuran akan selesai 1-2 hari, sedangkan apabila cuaca mendung, maka penjemuran
dapat selesai sampai 3-4 hari. Gambar 4 memperlihatkan pengeringan gabah secara alami
pada lantai jemur.

Gambar 4. Pengringan Secara Alami pada Lantai Jemur


Pengeringan secara alami mempunyai beberapa keuntungan antara lain (1) biaya
pengeringan relatif murah, (2) cara pelaksanaannya mudah, dan (3) kualitas gabah relatif
lebih baik karena adanya karakteristik sinar infra merah yang berperanan dominan dalam
pengeringan gabah.

Namun demikian terdapat beberapa kelemahan, yaitu (1)

memerlukan tempat yang luas, (2) sangat tergantung pada cuaca, (3) susut hasil relatif
tinggi baik karena tercecer maupun dimakan burung/ayam, (4) memungkinkan gabah
tercampur benda asing, (5) suhu pengeringan tidak dapat dikendalikan, dan (6) hasil
pengeringan tidak seragam.
Pengeringan gabah dengan penjemuran tidak dapat dilakukan apabila pemanenan
dilakukan pada musim hujan. Penundaan pengeringan akan menyebabkan turunnya mutu
gabah dan beras giling, seperti butir kuning dan gabah berkecambah. Tabel 4
memperlihatkan persentase butir kuning akibat pengeringan gabah yang tertunda. Pada
berbagai kadar air gabah, butir kuning relatif lebih tinggi jika penundaan pengeringan
terjadi pada musim hujan (MH) dan semakin tinggi kadar air gabah maka penundaan
pengeringan akan menghasilkan butir kuning yang lebih tinggi.

Tabel 4. Pengaruh Kadar Air Gabah dan Lama Penundaan Pengeringan terhadap
Persentase Butir Kuning.
Kadar air gabah
(%)

Waktu penundaan
(hari)

> 25
22 24

19 21

1
3
5
1
3
5
1
3
5

MK
0,25
1,18
0,28
1,19
0,55
0,62
9,02
0,48
1,32

Butir kuning (%)


MH
Rata-Rata
0,21
0,36
1,21
1,19
3,38
2,10
0,36
0,60
0,75
0,65
1,25
0,93
0,09
0,05
0,40
0,44
0,19
0,75

Sumber : Purwadaria et al. (1994)

Pemanenan padi tidak seluruhnya dilakukan pada musim kemarau, oleh karena itu untuk
menghindari terjadinya penundaan, perlu dilakukan pengeringan dengan pengering
buatan (dryer). Pengeringan gabah dengan alat mesin pengering (dryer) memiliki susut
lebih rendah (2,30%) dari pada penjemuran (2,98%) karena gabah terlokalisasi pada suatu
tempat yang terbatas (Damardjati, et al., 1989).
Meskipun penggunaan alat mesin pengering dapat menekan susut dan meningkatkan
mutu, tetapi pengembangan alat mesin pengering masih menghadapi masalah, antara
lain : (a) harga alat mesin pengering mahal sehingga biaya operasi tinggi dan kurang
layak untuk diusahakan; (b) waktu kerja per hari operasi terbatas, bahkan dalam kondisi
tidak hujan kebutuhan akan alat mesin pengering kurang dirasakan petani; (c) masalah
mutu beras belum menjadi perhatian karena tidak ada insentif bagi mutu gabah/beras
yang baik; dan (d) petani merasa enggan untuk mengeluarkan biaya pengeringan,
termasuk biaya angkutan gabah ke dan dari lokasi pengeringan.

Oleh sebab itu

penggunaan dryer sebaiknya diintegrasikan dan menyatu dengan usaha penggilingan padi
agar pengoperasiannnya lebih efektif. Petani cukup sekali mengangkut gabah ke tempat
pengeringan untuk langsung digiling atau bahkan langsung dapat menjual gabah kering
panen (Hadiutomo, 2006).
Pengering buatan (dryer) pada dasarnya terdiri dari tiga komponen utama, yaitu (1) bak
pengering, (2) pemanas (heater) dan (3) kipas/blower. Beberapa jenis alat pengering
antara lain flat bed dryer, deep bed dryer, continuous dryer, dan lain-lain. Penggilingan
padi kecil dan industri benih memakai flat bed dryer atau box dryer dengan kapasitas 310 ton/proses yang umumnya sudah dibuat industri lokal. Penggilingan padi besar dan
industri benih menggunakan pula recirculation dryer berkapasitas 10-15 ton/jam dan

cross flow dryer berkapasitas 15 ton/jam (Gambar 5). Mesin pengering lain yang dipakai
di Indonesia adalah in-store dryer dan fluidized bed dryer dengan kapasitas 15-20 ton/jam
pada penggilingan padi besar.

Gambar 5. Alat Pengering Tipe Recirculation Dryer


Pengeringan biasanya dilakukan dalam dua tahapan yaitu pengeringan tahap pertama dari
kadar air gabah di atas 20% sampai kadar air 18%, dan pengeringan tahap kedua dari
kadar air gabah 18% menjadi kadar air 14%. Pemilihan jenis dan tipe mesin pengering
perlu diperhatikan berdasarkan proses ini, seperti fluidized bed dryer lebih tepat
digunakan untuk pengeringan tahap pertama (Purwadaria, 2004). Pada penggilingan padi
kecil dengan kapasitas kurang dari 5 ton/hari, lantai jemur perlu ditambah dengan flat bed
dryer, sedangkan untuk penggilingan padi skala besar (lebih dari 5 ton/hari), penggunaan
mesin pengering lain disarankan bersama lantai jemur.

Disamping

itu

perlu

dipertimbangkan pemakaian in-store dryer yang mengeringkan gabah dari kadar air 18%
menjadi 14% dengan sekaligus penyimpanan secara curah dalam gudang semi permanen
setengah terbuka. In-store dryer hanya menggunakan kipas untuk aerasi yang dijalankan
sekitar 6 jam/hari tetapi dapat menurunkan kadar air gabah dari 18% menjadi 14% dalam
waktu satu bulan.

SUSUT SELAMA PENGGILINGAN


Penggilingan padi adalah rangkaian alat/mesin yang berfungsi melakukan proses
pengolahan GKG menjadi beras putih siap konsumsi. Proses penggilingan padi terdiri
dari dua tahapan pokok, yaitu dehusking (pengupasan gabah) dan whitening (pemutihan).
Kehilangan hasil di pabrik penggilingan tergantung pada penanganan gabah dari sejak
dipanen sampai pengeringan (mutu gabah dan kadar air gabah), kondisi lingkungan

10

(lahan kering/pasang surut), sistem sanitasi penggilingan dan kondisi serta tipe alat mesin
penggilingan. Sanitasi pabrik penggilingan yang kurang baik menyebabkan gabah yang
tercecer sulit untuk dikumpulkan kembali.
Gabah kering giling (GKG) pada kadar air sekitar 13-15 % selama proses penggilingan
akan mengalami susut.

Secara umum, neraca bahan selama proses penggilingan

ditunjukkan pada diagram Sankey (Gambar 6). Nilai-nilai numerik di dalam diagram
Sankey berbeda-beda tergantung varietas dan sistem penggilingan. Nilai-nilai yang
ditunjukkan pada diagram tersebut adalah untuk gabah yang berasal dari Amerika yang
berbutir panjang (long grain).
Gabah Kering Panen (GKP)
KA 20 %

Susut 7 %

Pengeringan & Penyimpanan


KA 14 %
Gabah Kering Giling (GKG)
100 %
Pembersihan Awal

Benda asing 3 %
Pemecahan Kulit
Sekam 20 %
Katul & lembaga 10 %

Beras Pecah Kulit


77 %
Pemutihan
Beras Putih
67 %

2% 5%
Beras Patah

8%

52 %
Beras Kepala

Gambar 6. Diagram Sankey pada Pengolahan Gabah/Beras (Patiwiri, 2006)


Mutu beras giling yang dihasilkan selain tergantung pada alat dehusking dan whitening
juga sangat tergatung pada peralatan pembersihan dan pemisahan seperti pemisah batu
(destoner), pemisahan butir mengapur (color sorter) dan pemisahan beras kepala dan
beras patah (length grader).

Rendemen giling sangat tergantung pada bahan baku

gabahnya, varietasnya, derajat kematangan dan cara penanganan awal (pre handling)
serta tipe dan konfigurasi mesin penggiling (Damardjati et al., 1981).

11

Berdasarkan kapasitasnya, sistem penggilingan padi di Indonesia secara umum


dikelompokkan menjadi penggilingan padi sederhana (PPS) dengan kapasitas 0,5-1,0
ton/jam, penggilingan padi kecil (PPK) dengan kapasitas 1-3 ton/jam, penggilingan padi
besar (PPB) dengan kapasitas 3-5 ton/jam, dan penggilingan padi terpadu (PPT) dengan
kapasitas di atas 10 ton/jam (Divisi Pengadaan Perum Bulog, 2005). Sebagian besar
perusahaan penggilingan padi di Indonesia merupakan penggilingan padi sederhana dan
kecil. Karakteristik PPS dan PPK secara umum menghasilkan beras berkualitas rendah,
skala ekonominya kecil dan jangkauan pemasaran lokal atau terbatas pada pasar
tradisional.
Susunan komponen mesin penggilingan padi (konfigurasi) berpengaruh terhadap
rendemen beras giling dan kualitas beras giling. Konfigurasi mesin pada PPS umumnya
husker-polisher (H-P) atau husker-separator-polisher (H-S-P). Sedangkan konfigurasi
mesin pada PPK adalah H-S-P untuk tipe sederhana (disebut juga tipe one pass) atau
cleaner-husker-separator-polisher (C-H-S-P) untuk tipe lengkap. Rendemen giling yang
dihasilkan oleh penggilingan padi kecil yang berkonfigurasi H-P adalah rata-rata hanya
mencapai 55.71% dengan kualitas beras kepala 74.25% dan beras patah 14.99%. Pada
penggilingan padi besar dengan konfigurasi (C-H-S-P) menghasilkan rendemen 59.69%
dengan kualitas beras kepala 75.73% dan beras patah 12.52%.

Sedangkan pada

penggilingan padi besar dengan konfigurasi dryer-cleaner-husker-separator-polishergrader (D-C-S-P-G) menghasilkan rendemen 61.48% dengan kualitas beras kepala
82.45% dan beras patah 11.97% (Hadiutomo, 2006).
Penggilingan padi terpadu (PPT) adalah unit penggilingan padi berkapasitas besar yang
merupakan gabungan dari unit proses pembersihan awal, pengeringan, penyimpanan,
penggilingan dan pengepakan yang satu sama lain dihubungkan dengan elevator. Unit
proses pembersihan awal terdiri dari beberapa perlatan meliputi intake hopper, pre
cleaner, moisture tester dan hopper scale. Unit pengeringan meliputi dryer dan cleaner.
Unit penyimpanan meliputi square bin, drying and storage silo dan grain cooler. Unit
penggilingan terdiri dari destoner, auto weigher, husker, closed circuit chaff blower,
paddy separator, brown rice conditioner, immature separator, polishing machine, rotary
shifter, cleaning machine, color sorter, vibration separator, dan length grader. Unit
pengepakan terdiri dari hopper dan packing machine untuk kemasan berbagai ukuran (5
kg, 10 kg atau 20 kg).

12

Salah satu penggilingan padi modern di Indonesia adalah penggilingan padi PT Alam
Makmur Sembada di Kabupaten Bekasi. Tahapan proses pengolahan padi menjadi beras
pecah kulit (brown rice) meliputi pre-cleaner, pengeringan dengan pengering tipe
fluidized bed dryer, pengeringan dengan pengering tipe LSU dryer, pembersihan
menggunakan air screen cleaner, pengupasan kulit menggunakan auto husker, pemisahan
kulit menggunakan husk aspirator dan rotary shifter, dan pemisahan gabah yang belum
terkupas menggunakan paddy separator. Perpindahan bahan dari tahapan proses yang
satu ke tahapan proses berikutnya menggunakan bucket elevator dan pipa-pipa
penyaluran.

Penyimpanan gabah dilakukan dengan sistem curah (bulk storage)

menggunakan silo (Gambar 7). Beras pecah kulit selanjutnya diolah menjadi beras pada
ruangan yang terpisah.

Gambar 7. Sistem Penyimpanan Gabah Secara Curah Menggunakan Silo di


PT Alam Makmur Sembada
Pengolahan beras pecah kulit menjadi beras sosoh meliputi tahapan sebagai berikut:
pembersihan menggunakan air screen cleaner, pemisahan batu menggunakan de-stonner,
pemisahan gabah menggunakan paddy separator, penyosohan menggunakan whitening
machine, pembersihan dedak menggunakan rotary shifter, pengkilapan menggunakan
shinning machine, pengayakan menggunakan rotary shifter, pemisahan berdasarkan
panjang butiran beras menggunakan length grader dan pengepakan menggunakan auto
weigher scale dan sewing machine.

Sistem pengolahan gabah menjadi beras pada

perusahaan ini menghasilkan rendemen 67 % dengan kualitas beras kepala 53 %, big


broken 8 %, small broken 4 % dan menir 2 % (PT Alam Makmur Sembada, 2006;
komunikasi pribadi pada saat kunjungan). Unit pengolahan padi menjadi beras pecah
kulit memiliki kapasitas 40 ton/jam, sedangkan unit pengolahan beras pecah kulit menjadi
beras siap dikonsumsi memiliki kapasitas 20 ton/jam.

13

GERAKAN PENURUNAN SUSUT PASCAPANEN


Penerapan teknologi pascapanen yang tepat diiringi tumbuhnya kesadaran pentingnya
menghindari krisis pangan, sangat memungkinkan untuk dapat menekan angka susut
yang saat ini besarnya sekitar 20,42 %. Upaya yang dilakukan pemerintah melalui
Departemen Pertanian adalah melakukan pengadaan dan rehabilitasi sabit bergerigi,
terpal, pedal thresher dan power thresher serta merevitalisasi penggilingan padi kecil
dengan menambahkan alat mesin penggilingan berupa cleaner, separator maupun
perbaikan polisher yang rusak. Pengadaan alat mesin tersebut dilakukan melalui sistem
penguatan modal usaha kelompok (PUMK) maupun bantuan langsung kepada gabungan
kelompok tani (Gapoktan) (Ditjen P2HP Deptan, 2007).
Pelaku utama yang berperan dalam penurunan susut pascapanen adalah petani, pengusaha
penggilingan dan buruh tani atau kita sebut pihak produsen. Bagaimana dengan kita
sebagai konsumen yang bukan petani, pengusaha penggilingan dan buruh tani. Adakah
tanggungjawab kita dalam menekan susut pascapanen? Kita semua baik sebagai produsen
maupun konsumen bertanggungjawab dan mempunyai peran dalam menekan susut.
Gerakan penurunan susut pascapanen secara nasional perlu dimunculkan untuk
menumbuhkan kesadaran (awareness) petani, pengusaha penggilingan, buruh tani dan
orang-orang yang terkait dalam proses produksi maupun kita semua sebagai
konsumen. Gambar 8 memperlihatkan para tenaga pendamping melakukan praktek
perontokan padi menggunakan alas terpal sesuai ukuran yang direkomendasikan untuk
menekan susut perontokan.

Gambar 8. Praktek Merontok Padi untuk Menekan


Menggunakan Terpal Berukuran 8x8 m

Susut

Hasil

dengan

14

Berupaya menekan susut merupakan salah satu bentuk syukur atas nikmat rizki yang
telah dikaruniakan Allah SWT. Dalam adab makan, ada sebuah hadits Riwayat Muslim
yang menyatakan bahwa Rasulullah SAW memerintahkan untuk menjilati jari-jemari dan
wadah makanan (jika selesai makan) seraya beliau bersabda Sungguh kalian tidak tahu
dalam makanan mana yang terdapat berkah (Sumber: Riyadhush Sholihin, karya Imam
Nawawi). Oleh karena itu ketika hendak makan, perlu memperhitungkan takaran porsi
makan kita agar tidak menyisakan makanan di piring (Gambar 9).

Gambar 9. Makan Sesuai Takaran untuk Menghindari Sisa Makanan


Belajar dari adab makan, jika kita tarik ke belakang hingga ke sawah dimana Allah telah
menumbuhkan padi dari sebulir gabah (yang menumbuhkan padi bukanlah petani, buruh
tani ataupun menteri pertanian), maka tidak sepantasnya membiarkan dengan sengaja
bulir-bulir gabah (ratusan bahkan ribuan bulir) tercecer pada saat panen dan pascapanen
termasuk pada saat mengkonsumsi. Praktek penanganan pascapanen yang baik (Good
Handling Practices, GHP) dan cara mengkonsumsi yang baik (Good Catering Practices,
GCP) perlu disosialisasikan dan dijalankan agar rizki yang kita nikmati membawa berkah
dan terhindar dari kelompok orang-orang yang kufur nikmat. Sangatlah mudah bagi yang
Maha Kuasa untuk mengambil secara paksa nikmat yang sudah berada di depan mata.
Padi yang siap dipanen dapat lenyap melalui tiupan angin, banjir, longsor dan lain lain.
Susut pascapanen tidak hanya terjadi di sawah dan petani/buruh tani sebagai pelakunya,
akan tetapi bisa saja terjadi pada saat mengkonsumsi nasi dan pelakunya adalah kita
semua yang sehari-harinya makan nasi beras sebagai makanan pokoknya. Sisa-sisa nasi
yang lebih banyak lagi dapat dijumpai di warung/kedai, restoran atau pada saat kita
mengadakan pesta atau hajatan. Apakah nasi-nasi sisa tersebut dibuang ke bak sampah,
diberikan ke hewan piaraan atau diolah lebih lanjut menjadi pakan atau bahan pangan
lainnya?

15

Sebagian masyarakat seperti di Kabupaten Cirebon telah melakukan tindakan yang terpuji
dimana sisa nasi tidak dibuang mubazir melainkan diolah menjadi nasi aking (Ilham,
2007). Nasi aking adalah nasi sisa makanan yang telah dikeringkan dan disimpan untuk
digunakan di kemudian hari. Bagi masyarakat yang belum pernah mengkonsumsi nasi
aking akan menganggap janggal, seperti pada sebuah lagu yang dilantunkan penyanyi
Alda Risma (alm) Aku Tak Biasa. Tetapi bagi yang sering/pernah menikmatinya, hal
ini sepertinya Biasa-biasa Saja.

Bagi masyarakat Cirebon, keberadaan nasi aking

menjadi bagian suatu kepercayaan mitos untuk memenuhi kebutuhan unsur syarat
dalam melakukan acara-acara ritual adat dan budaya. Sejak beberapa tahun lalu nasi
aking juga sengaja dibuat sebagai bahan baku yang disebut Intip (sisa kerak nasi)
untuk pembuatan makanan jajanan khas Cirebon yang dikemas dalam berbagai bentuk
dan aneka cita rasa yang kini dipasarkan baik di pasar umum maupun pasar
swalayan/super market.
Terlepas percaya/tidak percaya mitos, memanfaatkan sisa-sisa makanan adalah tindakan
terpuji sebagaimana adab makan yang telah diajarkan nabi. Ketika ada sisa makanan
tidak sepantasnya kita membuang begitu saja, akan lebih bijak seandainya diberikan ke
hewan piaraan atau diolah menjadi sesuatu yang bermanfaat agar dapat dikonsumsi atau
diberikan kepada fakir miskin yang membutuhkan.
Melalui gerakan penurunan susut pascapanen, diharapkan tidak akan lagi terjadi impor
beras dan busung lapar di negeri yang subur makmur ini.

Semoga Allah SWT

mengabulkan doa kita bersama.

DAFTAR PUSTAKA
Biro Pusat Statistik. 1996. Survei susut pascapanen MT1994/95 dan MT 1995. Kerjasama
BPS, Ditjen Tanaman Pangan, Badan Pengendali Bimas, Bulog, Bappenas, IPB,
dan Badan Litbang Pertanian.
Damardjati, D.S., H. Suseno dan S. Wijandi. 1981. Penentuan umur panen optimum padi
sawah ( Oryza Sativa. L.) Penelitian Pertanian 1:19:26
Ditjen P2HP Reptan. 2007. Pedoman Teknis Penanganan Pascapanen dan Pemasaran
Gabah. Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian,
Departemen Pertanian.
Hadiutomo, Kusno. 2006. Kumpulan beberapa kajian/penelitian tentang kehilangan
hasil pada berbagai tahapan kegiatan pascapanen padi.
http://agribisnis.deptan.go.id/index.php?files=Berita_Detail&id=216
Hamlin Ilham. 2007. Makan Nasi Aking bukan sebuah kenistaan. Warta Intra Bulog
Edisi No 1/Th.XXXIII/Januari 2007.

16

Nugraha, S., A. Setyono dan D.S. Damardjati. 1990. Pengaruh keterlambatan perontokan
padi terhadap kehilangan hasil dan mutu. Laporan Hasil Penelitian 1988/89.
Balai Penelitian Tanaman Padi Sukamandi
Patiwiri, A.W. 2006. Teknologi Penggilingan Padi. Penerbit PT Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta.
Purwadaria, H.K. 2004. Teknologi Panen Dan Pasca Panen Padi. Disampaikan pada
Lokakarya Nasional Upaya Peningkatan Nilai Tambah Pengolahan Padi, Jakarta
20-21 Juli 2004
Rachmat, R., A. Setyono dan S. Nugraha. 1993. Evaluasi system pemanenan beregu
menggunakan beberapa mesin perontok. Agrimek. Vol 4 dan 5 No.1
(1992/1993)
Rokhani, H. 2007. Teknik penanganan pascapanen padi untuk menekan susut hasil.
Modul pelatihan Tenaga Pendamping Program Pengawalan Penanganan
Pascapanen dan Pemasaran Gabah oleh Perguruan Tinggi. Kerjasama Lembaga
Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat Institut Pertanian Bogor dengan
Dirjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian, Departemen Pertanian.
Setyono, A., R. Thahir, Soeharmadi dan S. Nugraha. 1993. Perbaikan system pemanenan
padi untuk meningkatkan mutu dan mengurangi kehilangan hasil. Media
Penelitian. Sukamandi. No. 13 Hal 1-4.
Wisnu Broto, Sigit Nugraha dan Suismono. 2006. Hasil-hasil penelitian BB-Pascapanen
berkenaan dengan kehilangan hasil padi pada saat panen dan pascapanen.
Workshop pengukuran kehilangan hasil padi, Jakarta 19-20 September.

17

Anda mungkin juga menyukai