Anda di halaman 1dari 10

LAPORAN PRAKTIKUM TEKNOLOGI PRODUKSI

PERTANIAN
ACARA 7. PENANGANAN PASCA PANEN PADI

Disusun Oleh :

Pendhi Tri Widodo 20200220047

PROGRAM STUDI AGRIBISNIS


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2021
BAB I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kegiatan pascapanen merupakan upaya pada penanganan hasil
tanaman pertanian setelah pemanenan. Upaya ini dapat menentukan kualitas
hasil pertanian secara garis besar dan untuk menentukan tahap pengolahan
berikutnya. Penanganan pascapanen (postharvest) dapat disebut juga sebagai
pengolahan primer (primary processing). Pengolahan primer adalah tindakan
mulai dari panen sampai produksi hasil pertanian tersebut dapat dikonsumsi
“segar” atau untuk pengolahan berikutnya.
Dalam kegiatan pascapanen padi meliputi proses pembersihan,
pengeringan, penggilingan, pengemasan, penyimpanan, dan baku mutu.
Kegiatan pascapanen padi bertujuan untuk menekan kehilanggan hasil,
memperoleh hasil dengan kuantitas yang baik dan bekualitas, menyiapkan
hasil, serta mengatasi kesenjangan waktu dan jarak konsumen dan produsen..
Penanganan pascapanen memiliki konstribusi yang cukup besar. Penanganan
pascapanen yang baik akan berdampak positif terhadap kualitas gabah
konsumsi, benih, dan beras.
Setelah dipanen, padi perlu dipisahkan antara gabah dan malainya
dengan cara dirontokkan. Masalah yang sering dihadapi dalam kegiatan
pascapanen padi adalah tingginya susut (loses). Tingginya kehilangan hasil
disebabkan oleh:
1. Terbatasnya alat dan mesin panen dan pascapanen
2. Alat dan mesin pascapanen yang tersedia di tingkat petani belum
dimanfaatkan secara optimal
3. Penempatan dan penggunaan alat dan mesin pascapanen yang
tidak tepat sasaran dan tidak sesuai standar operasional prosedur
(SOP)
4. Kemampuan dan pengetahuan petani di bidang penanganan
pascapanen terbatas
5. Waktu panen yang kurang tepat
6. Kelembagaan pascapanen belum mantap.
Akibat dari faktor buruknya penanganan pasca panen dapat merugikan
petani. Ketidaktepatan pada tahap perontokan dapat mengakibatkan
kehilangan hasil mencapai 5% lebih. Namun, seiring dengan perkembangan
teknologi, proses perontokan semakin berkembang dan secara garis besar
terbagi menjadi tiga kategori yaitu secara manual dengan menggunakan alat
pedal threser serta manual (gebot).
B. Tujuan
Tujuan dari praktikum ini adalah untuk mengetahui teknik trasher padi.
BAB II. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Teknik pasca panen padi

Proses pascapanen padi diawali dengan pemanenan padi yang penentuan


pelaksanaanya didasarkan pada umur tanam dan dipengaruhi oleh beberapa faktor
yaitu varietas, iklim, dan tinggi tempat sehingga umur panen padi bervariasi dan
bperbedaannya berkisar 5-10 hari. Ciri – ciri padi yang siap dipanen yaitu ketika 90-
95% dari bulir padi sudah bernas atau sudah berubah warna dari kuning hingga
kuning keemasan. Umur panen adalah 30-35 hari setelah berbunga merata atau
setelah 135-145 hari setelah tanam, dengan kadar air bulir padi pada musim panas
berkisar 22-23% dan 24-26% di musim hujan. Ketika tiba masa panen, petani akan
menggunakan alat dan mesin pertanian yang di kategorikan menjadi konvensional
dan modern. Alat dan mesin pemanen padi konvensional meliputi ani-ani dan sabit.
Sedangkan alat dan mesin pemanen padi modern meliputi reaper, reaper
binder dan combine harvester.

Padi yang telah dipanen kemudian perlu dipisahkan antara gabah dan malainya
dengan cara dirontokkan menggunakan beberapa metode yaitu diinjak/iles,
pukul/gedig, banting/gebot, pedal thresher, dan mesin perontok. Thresher sebagai
salah satu alat perontok padi modern terdiri dari 2 tipe berdasarkan posisi
pemotongan, apabila dipotong bawah menggunakan pedal thresher dan apabila
dipotong tengah atau atas menggunakan power thresher.Setelah didapatkan gabah
dari proses perontokan, proses pascapanen selanjutnya adalah pembersihan
padi/penampian dari kotoran. Proses penampian dapat dilakukan sebelum atau
sesudah proses pengeringan, apabila proses pascapanen dari padi
menggunakan combine harvester maka proses penampian tidak perlu dilakukan
karena produk dari mesin combine harvester sudah dalam kondisi bersih dari kotoran
dan gabah hampa, namun bila tidak menggunakan combine harvester maka proses
pembersihan padi perlu dilakukan untuk memperoleh gabah bersih. Prinsip
penampian adalah menggunakan hembusan angin baik secara alami maupun dengan
aliran angin buatan(artificial wind).

Pengeringan diperlukan untuk mengurangi kadar air dari gabah, hal ini
dikarenakan standar kadar air maksimum gabah untuk disimpan adalah 14%. Air
yang berada pada gabah sangat beresiko menyebabkan pertumbuhan mikroorganisme
yang dapat merusak kualitas gabah. Terdapat dua cara pengerigan yaitu pengeringan
alami (paparan sinar matahari langsung) dan pengeringan buatan (mekanis).
Pengeringan alami biasanya dilakukan dengan cara menyebarkan gabah diatas terpal
dan ditempatkan di areal terbuka. Cara ini memiliki kekurangan yaitu intensitas
cahaya matahari yang tidak dapat dikontrol, losses karena faktor cuaca maupun
hewan disekitar dan rentan terkena kotoran disekitar areal penjemuran sehingga cara
ini mulai ditinggalkan dan berpindah ke cara pengeringan mekanis yang lebih
terkontrol, bersih dan losses dapat dikurangi. Tipe pengering mekanis bermacam-
macam bergantung terhadap kebutuhan, contoh batch dryer, recirculated dryer,
continuous dryer, dan lain sebagainya.

Gabah yang bersih dan kering kemudian disimpan baik dalam keadaan curah
(tanpa dikemas) atau di kemas. Penyimpanan gabah dalam keadaan curah
memerlukan sebuah bangunan khusus yang berfungsi sebagai penampung gabah
dengan karakteristik dan rancangbangun yang telah diperhitungkan sesuai dengan
kebutuhan penyimpanan, secara garis besar bangunan simpan curah dibedakan
menjadi dua yaitu bunker dan silo. Sedangkan untuk penyimpanan dengan
pengemasan, gabah dapat dikemas dengan mengunakan pengemas berbahan goni atau
plastik. Terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam memilih kemasan yaitu
kemasan harus dapat melindungi gabah dari efek pengangkutan dan penyimpanan,
kemasan tidak boleh mengandung bahan kimia berbahaya yang dapat mencemari
gabah dan tidak boleh membawa organisme penganggu (hama), kemasan harus
berasal dari material yang kuat dan mampu menahan beban tumpukan, dan mampu
mempertahankan keseragaman dari kualitas gabah.

Gabah digiling untuk memisahkan sekam padi dari beras. Jika hanya sekam yang
dihilangkan, hasilnya adalah beras merah. Jika bekatul ikut dihilangkan bersama
sekam, hasilnya adalah beras putih. Dalam proses penggilingan gabah modern, ada
dua jenis proses. Proses pertama adalah penggilingan satu tahap, yakni menggiling
padi hingga sekam dan bekatul terpisah bersamaan. Proses kedua adalah penggilingan
dua tahap, yakni menggiling padi hingga sekam terpisah, kemudian menggilingnya
lagi hingga bekatul terpisah. 

B. Teknik Trasher

Pada awal kegiatan perontokan padi, petani merontok dengan cara menginjak-
injak (iles) padi, membanting (gebot) dan memukul. Bahkan ada petani yang
menggunakan sepeda motor dengan menjalankannya diatas hamparan padi yang akan
dirontok. Cara perontokan tersebut mempunyai kapasitas kerja yang sangat rendah,
yaitu hanya 25-30 kg/jam. Seiring dengan perkembangan teknologi, proses
perontokan semakin berkembang dan secara garis besar terbagi menjadi tiga kategori
yaitu secara manual dengan menggunakan alat pedal threser serta manual (gebot)

1. Power threser
Power threser model pedal atau sering disebut dengan pedal threser yaitu alat
perontok yang menggunakan mekanisme perontokan dengan menggunakan gigi
berputar sebagaimana mekanisme pada mesin power threser, akan tetapi dengan
menggunakan tenaga manual dengan cara dikayuh menggunakan pedal. Sistem
perontokan dengan menggunakan power threser tipe pedal mulai ditinggalkan karena
kapasitas produksinya hampir sama dengan cara dibanting atau digebot. Pedal threser
biasanya dibuat dari bahan kayu untuk efisiensi harga alat tersebut. Namun dalam
pelaksanaan di lapangan, alat pedal threser belum optimal untuk dapat diaplikasikan
di lapangan terutama terkait dengan perbandingan antara kemampuan serta daya
kayuh alat. Dalam hal ini, seringkali terjadi modifikasi alat pedal threser kurang
sesuai dengan ergonimis pengguna yang mengakibatkan alat kurang maksimal untuk
diaplikasikan di lapangan. Pada akhirnya tenaga perontok lebih memilih
menggunakan alat gebot daripada menggunakan pedal threser.

2. Manual (gebot)

Perontokan padi dengan cara gebot yaitu perontokan padi dengan membantingkan
segenggam batang padi pada alat gebot yang terbuat dari kayu atau besi. Dalam
proses perontokan dengan cara gebot tersebut perlu diperhatikan mengenai
penggunaan alas terpal untuk menghindari banyaknya gabah yang tercecer akibat
ayunan serta terpaan angina pada saat perontokan. Untuk menghindari adanya
kehilangan hasil yang berlebihan, plastik yang berisi tumpukan padi yang masih
dialasi plastik atau karung untuk menghindari tercecernya gabah dibawa ke tempat
perontokan yang telah dialasi plastik terpal dengan ukuran 6 x 6 m yang dilengkapi
dengan tirai. Penggebotan dilakukan dengan cara membanting atau memukulkan
genggaman padi ke alat gebot sebanyak 6 sampai 8 kali. Pembersihan sisa gabah
yang masih menempel pada jerami dapat dilakukan secara manual. Pemindahan
gabah hasil panen dapat menggunakan karung plastik yang bersih serta dijahit atau
diikat agar tidak tercecer.

Kapasitas perontokan dengan cara gebot sangat bervariasi, tergantung kepada


kekuatan orang, yaitu berkisar antara 41,8 kg/jam/orang sampai 89,79 kg/jam/orang.
Kemampuan kerja pemanen di Kabupaten Bantul, DI Yogyakarta untuk merontok
padi dengan cara gebot berkisar antara 58,8 kg/jam/orang (Herawati, 2008) sampai
62,73 kg/jam/orang Perontokan padi dengan cara gebot banyak gabah yang tidak
terontok berkisar antara 6,4 % - 8,9 %

Perontokan dengan cara dibanting atau gebot, jika alas penampung gabah tidak
luas dan tanpa tirai atau dinding maka banyak gabah yang terlempar keluar wadah
perontokan. Jika bantingan kurang kuat, banyak gabah yang tidak terontok dan
tertinggal dimalai. Proses perontokan secara manual dengan cara gebot memiliki
kelemahan diantaranya yaitu adanya keterlambatan dalam proses perontokan atau
padi tertumpuk di sawah serta sangat bergantung pada kemampuan dan kemauan
tenaga penggebot.

C. Kehilangan Hasil padi

Kelompok Ulangan Bruto Netto Gabah


1 3,1 1,457 1,002
5 2 3,9 2,535 2,102
3 3,1 0,992 0,12 Berdasarkan
tabel di atas, dapat diketahui
:

 Nilai kehilangan hasil (loses)


Loses = netto - serasah
1. 1,457 - 1,002 = 0,455
2. 2,535 - 2,102 = 0,433
3. 0,992 - 0,12 = 0,872

 Berat serasah
Berat serasah = bruto - netto
1. 3,1 - 1,457 = 1,643
2. 3,9 – 2,535 = 1,365
3. 3,1 – 0,992 = 2,108

 Persentase gabah yang dihasilkan dari hasil panen padi


Bobot serasah
×100 %
bobot panen

1,075
×100 %=65 %
1,661

D. Kualitas Bulir Padi

Kelompo Sebelum dikeringkan Setelah dikeringkan


k Ulangan Kadar air bobot 1000 bulir bobot 1000 bulir kadar air
1 17,9 38 31,16 22,0
5 2 22,8 34,4 31,99 7,5
3 11,7 26,7 24,30 9,9
Dari tabel di atas pada saat pelaksanaan pratikum dapat dijelaskan bahwa
kadar air pada saat panen sebelum dikeringkan ulangan satu yaitu sebanyak 17,9 dan
memiliki bobot 38 pada 1000 butir padi. Kemudia pada ulangan kedua memiliki
kadar air sebanyak 22,8 dan memiliki bobot 34,4. Dan terakhir ulangan ketiga
memiliki kadar air sebanyak 11,7 serta bobotnya sebanyak 26,7 pada setiap 1000
butir padi. Sedangkan pada saat dikeringkan kadar air ulangan 1 sebanyak 22,0 dan
bobotnya 31,16, kemudian ulangan kedua memiliki kadar air 7,5 dan bobotnya 31,99
dan terakhir pada ulangan ketiga memiliki kadar air 9,9 serta bobotnya sebanyak
24,30.

Dan syarat untuk memenuhi kreteria penyimpanan padi pada presentase yaitu
kadar air pada saat pengeringan harus di bawah 14%. Dari data di atas, hasil
presentase kadar air saat dikeringkan untuk proses penyimpanan selanjutnya, 22,0 ,
7,5 dan 9,9 presentasenya adalah 10%. Itu artinya padi memenuhi kreteria
penyimpanan.
BAB II. KESIMPULAN

Dari tujuan laporan ini dapat disimpulkan pemanenan menggunakan traser


dan manual dan dapat membadingkan gabah yang belum dikeringkan dan sesudah
bisa dikeringkan. Mengetahu kadar berapa persen gabah siap untuk disimpan.
DAFTAR PUSTAKA

Dr. Ir. Mubiar Purwasasmita, I. A. S. (2014). Padi Sri Organik Indonesia (Edisi
Revisi).
Fadila Ariyani, F. (2019). Laporan Tugas Akhir Laporan Tugas Akhir Laporan Tugas
Akhir. ASUHAN KEBIDANAN KOMPREHENSIF PADA NY “LD” DENGAN
KEHAMILAN NORMAL DI PMB LILIS SURYA WATI, S.ST., M.Kes DESA
SAMBONG DUKUH, 7. http://ecampus.poltekkes-
medan.ac.id/jspui/handle/123456789/1726
Herawati, H. (2008). Mekanisme dan Kinerja Pada Sistem Perontokan Padi. Jurnal
Litbang Provinsi Jawa Barat, 6(2), 195–203.
Koes, S. (2007). “Buku Alat dan Mesin (alsin) Panen dan Perontokan Padi di
Indonesia.” Balai Besar Pengembangan Mekanisasi Pertanian, Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian.

Anda mungkin juga menyukai