Anda di halaman 1dari 3

Tanri Abeng | TokohIndonesia.

com | rpr

Tanri Abeng, seorang manajer handal Indonesia. Ia adalah ikon majaner profesional Indonesia.
Pada masanya, ia dijuluki Manajer Satu Milyar. Jumlah nilai 'transfernya' dari Multi Bintang
Indonesia (MBI) ke Bakrie Group. Ia sukses menakhodai kedua perusahaan itu. Salah satu
resepnya adalah keberaniannya mengambil tantangan dan risiko. Setelah mencapai puncak karir
sebagai CEO, ia pun dipercaya menjabat Menteri Negara Pemberdayaan BUMN Kabinet
Pembangunan IV dan Kabinet Reformasi.
Suami Farida Nasution ini lahir di pelosok desa Pulau Selayar, Sulawesi Selatan tanggal 7 Maret
1942, dari sebuah keluarga miskin. Sejak kecil ia telah memperlihatkan keuletan dan kemauan
bekerja keras. Ia sangat rajin belajar, seraya bekerja mencari uang untuk menopang kebutuhan
sehari-harinya. Ia memberi les dan menstensil catatan-catatan sekolah dan kuliah untuk dijual
kepada peserta les dan pelajar atau mahasiswa lain yang membutuhkan.
Kesungguhannya balajar membuatnya terpilih sebagai peserta program pertukaran pelajar
American Field Service. Ketika di Amerika itu, ia pun menemukan orangtua asuh, yakni
keluarga Gibson. Selepas itu, ia kembali ke tanah air dan melanjutkan kuliah di Universitas
Hasanudin. Semasa kulia itu, ia pun sambil bekerja paruh waktu di sebuah perusahaan eksportir
dan mengajar bahasa Inggris di sebuah SMA.
Kemudian, ia memperoleh beasiswa untuk mengambil Master of Business Administration dari
State University, New York. Gelar yang masih langka di Indonesia pada masa itu. Setelah lulus
MBA itu, ia bergabung dengan Union Carbide. Dimulai dari management trainee di Amerika
Serikat. Ketika masih berusia 29 tahun, ia pun sudah menduduki jabatan
Direktur keuangan dan Corporate Secretary di perusahaan multinasional tersebut.
Kemudian, lima tahun berikutnya, ia dialihtugaskan ke Singapura dan bertanggungjawab atas
pemasaran di Eropa, Asia dan Afrika. Ketika karirnya tengah menanjak di Union Carbide itu,
pria berkumis ini malah hengkang, memilih masuk ke PT Perusahaan Bir Indonesia (sekarang
Multi Bintang Indonesia). Padahal di Union Carbide, ia pun diiming-iming gaji dan fasilitas
sebagai presiden

Direktur. Tapi ia tak bergeming. Ia berani dan kukuh dalam pilihannya.


Tahun 1979, ia resmi pindah, menjadi CEO (Chief Executive Officer) di Multi Bintang. Di sini ia
berhasil menaklukkan tantangan kerja sehari-hari. Tangan dinginnya berhasil mengangkat
perusahaan multinasional ini menjadi bintang pasar minuman di Indonesia. Saat itu, sejalan
perkembangan pesat perusahaan ini, namanya berganti dari PBI (Perusahaan Bir Indonesia)
menjadi PT MBI (Multi Bintang Indonesia).
Saat mencapai keberhasilan puncak di MBI, tahun 1991, ia pun mendapat tantangan baru
menjadi CEO di Bakrie Brothers. Tantangan itu ditangkapnya dengan nilai transfer satu milyar
rupiah. Sejak itu ia digelari Manajer Satu Milyar. Manajer dengan nilai tertinggi pada masa itu.
Namun pihak MBI tetap memintanya menjadi Non Executive Chairman di perusahaan itu. Di
Bakrie ia kembali membuktikan kemampuannya sebagai manajer nomor wahid. Di sini ia
melakukan turn around dengan melakukan restrukturisasi, profitisasi, dan akhirnya menjadi
perusahaan publik. Dalam setahun ia telah berhasil meningkatkan keuntungan kelompok usaha
Bakrie hingga 30%.
Di tengah kesibukannya sebagai CEO, ia juga memegang banyak posisi senior non eksekutif di
banyak organisasi kepemerintahan dan LSM seperti Komisi Pendidikan Nasional, Badan
Promosi Pariwisata, Dana Mitra Lingkungan, Asosiasi Indonesia Imggris, Institut Asia-Australia,
Yayasan Mitra Mandiri dan sebagainya.
Lalu ketika pemerintah berniat melakukan pendayagunaan (restrukturisasi dan privatisasi
BUMN), ia pun menjadi orang yang dinilai paling pantas (kompeten) untuk itu. Ia pun diangkat
menjabat
Menteri Negara Pendayagunaan BUMN (Badan Usaha Milik Negara)
Kabinet Pembangunan VII, kebinet terakhir pemerintahan
Soeharto (1998). Di sini ia menakhodai 164 BUMN dengan 1.300 anak perusahaan yang
bergerak di berbagai bidang dengan nilai total mencapai kisaran Rp 500 triliun.
Ia merasa enjoy dan sekaligus tertantang. "Selain merupakan sesuatu yang berat, tugas itu
merupakan suatu kehormatan luar biasa karena saya termasuk dalam kabinet penuh tantangan,"
ujarnya kepada pers ketika itu.
Setelah
Presiden Soeharto lengser, digantikan
BJ Habibie, ia pun tetap dipercaya di posisi yang sama dalam Kabinet Reformasi (25 Mei sampai
dengan 13 Oktober 1999). Secara konseptual ia telah menggariskan langkah-langkah
pendayagunaan BUMN demikian baiknya. Namun di titik ini garis nasibnya mulai bergeser.
Tampaknya semangat profesionalismenya, sadar atau tidak, terkontaminasi ambisi politik

pribadi, atau sekedar solidaritas politik. Ketika itu, ia mulai memasuki wilayah politik yang
sebelumnya tidak pernah ia sentuh.
Ia pun diisukan ikut menjadi anggota Tim Sukses Habibie dalam Pemilu 1999. Konon, ia ikut
terlibat dalam intrik-intrik kotor untuk menggolkan Habibie. Salah satunya, dengan menyikat
rupiah dari pundi-pundi Bank Bali. Akibatnya, ia sempat mesti sibuk berurusan dengan aparat
penegak hukum dan DPR.
Skandal Bank Bali, boleh dibilang, telah membuatnya terpuruk dalam lilitan persoalan. Untuk
bisa keluar ia harus membuktikan bahwa ia tidak bersalah. Ia harus mengklarifikasi tuduhan ikut
hadir dan terlibat dalam pertemuan tanggal 11 Februari dan 26 Mei 1999 di hatel Mulia. Sebuah
pertemuan yang menggagas "perampokan" Bank Bali tersebut. Ia memang menyangkal pernah
hadir. Bahkan mengatakan pertemuan semacam itu tidak pernah ada. Dan, mungkin karena
'kekuatan politik' kasus ini, hingga kini belum pernah tuntas.
Kini ia lebih banyak mencurahkan waktunya untuk mengembangkan pemikiran dan pendidikan
manajemen, termasuk penulisan buku manajemen. Tahun 2000, ia meluncurkan buku "Dari Meja
Tanri Abeng: Managing atau Chaos", yang diterbitkan Pustaka Sinar Harapan. TI, dari berbagai
sumber
ENSIKONESIA - ENSIKLOPEDI TOKOH INDONESIA

Anda mungkin juga menyukai