Diagnosis Dan Penatalaksanaan Rinosinusitis Kronik Tanpa Polip Nasi Pada Orang Dewasa Jurnal THT-KL
Diagnosis Dan Penatalaksanaan Rinosinusitis Kronik Tanpa Polip Nasi Pada Orang Dewasa Jurnal THT-KL
PENDAHULUAN
Rinosinusitis, istilah bagi suatu proses
inflamasi yang melibatkan mukosa
hidung dan sinus paranasal, merupakan
salah satu masalah kesehatan yang
mengalami peningkatan secara nyata
dan memberikan dampak bagi
pengeluaran finansial masyarakat.1,2
Rinitis dan sinusitis umumnya terjadi
bersamaan, sehingga terminologi saat
ini yang lebih diterima adalah
rinosinusitis.1,2 Rinosinusitis dibagi
menjadi kelompok akut, subakut dan
kronik.2
Berdasarkan data dari National
Health Interview Survey 1995, sekitar
17,4 % penduduk dewasa Amerika
Serikat (AS) pernah mengidap sinusitis
dalam jangka waktu 12 bulan.3 Dari
survei yang dilakukan, diperkirakan
angka prevalensi rinosinusitis kronik
pada penduduk dewasa AS berkisar
antara 13-16 %, dengan kata lain,
sekitar 30 juta penduduk dewasa AS
mengidap
rinosinusitis
kronik.1-4
Dengan demikian rinosinusitis kronik
menjadi salah satu penyakit kronik
yang paling populer di AS melebihi
penyakit asma, penyakit jantung,
diabetes dan sefalgia.2,4 Kennedy
melaporkan pada tahun 1994 adanya
peningkatan jumlah kunjungan pasien
sinusitis kronik sebanyak 8 juta
menjadi total 24 juta pertahun antara
tahun 1989 dan 1992.5 Dari Kanada
tahun 2003 diperoleh angka prevalensi
Gambar 1.
dengan
inflamasi
dalam
sinus
7
paranasal. Secara histologi, mukosa
kavum nasi dan mukosa sinus
mempunyai
sejumlah
kesamaan;
mucous blanket sinus senantiasa
berhubungan dengan kavum nasi dan
pada studi dengan CT-Scan untuk
common cold ditunjukkan bahwa
mukosa kavum nasi dan sinus secara
simultan mengalami proses inflamasi
bersama-sama.8 Alasan lainnya karena
sebagian besar penderita sinusitis juga
menderita rinitis, jarang sinusitis tanpa
disertai rinitis, gejala pilek, buntu
hidung dan berkurangnya penciuman
ditemukan baik pada sinusitis maupun
rinitis.9 Fakta tersebut menunjukkan
bahwa sinusitis merupakan kelanjutan
dari rinitis, yang mendukung konsep
one airway disease yaitu bahwa
penyakit di salah satu bagian saluran
napas akan cenderung berkembang ke
bagian yang lain.9 Sejumlah kelompok
konsensus menyetujui pernyataan
tersebut sehingga terminologi yang
lebih diterima hingga kini adalah
rinosinusitis daripada sinusitis.7-11
Hubungan antara sinus paranasal dan
kavum nasi secara lebih jelas dapat
dilihat pada gambar 1 dibawah ini.
Headache
Fever
(all nonacute)
Halitosis
Fatigue
Dental pain
Cough
Ear pain/pressure/
fullness
8.
Pembahasan
pada
makalah
ini
akan
dikhususkan pada rinosinusitis
kronik tanpa disertai polip nasi
yang terjadi pada orang
dewasa.
9.
10.
11. ETIOLOGI,
PATOFISIOLOGI
DAN
HISTOPATOLOGI
12.
Senior dan Kennedy
(1996) menyatakan bahwa:
Kesehatan sinus setiap orang
bergantung pada sekresi mukus
yang normal baik dari segi
viskositas,
volume
dan
komposisi; transport mukosiliar
yang normal untuk mencegah
stasis mukus dan kemungkinan
infeksi; serta patensi kompleks
ostiomeatal
untuk
mempertahankan drainase dan
aerasi. 13,14
13.
Kompleks ostiomeatal
(KOM) merupakan tempat
drainase bagi kelompok sinus
anterior (frontalis, ethmoid
anterior dan maksilaris) dan
berperan penting bagi transport
mukus dan debris serta
mempertahankan
tekanan
oksigen yang cukup untuk
mencegah
pertumbuhan
bakteri. Obstruksi ostium sinus
pada KOM merupakan faktor
predisposisi
yang
sangat
berperan
bagi
terjadinya
rinosinusitis kronik.14 Namun
demikian, kedua faktor yang
lainnya juga sangat berperan
bagi terjadinya rinosinusitis
kronik. Interupsi pada satu atau
lebih faktor diatas akan
mempengaruhi faktor lainnya
dan
kemudian
memicu
terjadinya
kaskade
yang
berkembang
menjadi
rinosinusitis kronik dengan
perubahan
patologis
pada
mukosa sinus dan juga mukosa
14.
15.
17. Gambar 2.
18.
19.
16.
Siklus patologis rinosinusitis kronik, perubahan pada salah satu
faktor akan mengakibatkan terjadinya proses yang berkelanjutan
dengan hasil akhirnya adalah rinosinusitis kronik.14
20.
21. Etiologi rinosinusitis akut dan
rinosinusitis kronik berbeda
secara
mendalam.
Pada
rinosinusitis akut, infeksi virus
dan bakteri patogen telah
ditetapkan sebagai penyebab
utama.2,14 Namun sebaliknya,
etiologi
dan
patofisiologi
rinosinusitis kronik bersifat
multifaktorial
dan
belum
sepenuhnya
diketahui;
rinosinusitis kronik merupakan
sindrom yang terjadi karena
kombinasi
etiologi
yang
multipel.
Ada
beberapa
pendapat
dalam
mengkategorikan
etiologi
rinosinusitis
kronik.
Berdasarkan EP3OS 2007,
faktor
yang
dihubungkan
dengan kejadian rinosinusitis
kronik tanpa polip nasi yaitu
ciliary impairment, alergi,
asma,
keadaan
immunocompromised,
faktor
genetik,
kehamilan
dan
endokrin,
faktor
lokal,
mikroorganisme,
jamur,
osteitis, faktor lingkungan,
faktor iatrogenik, H.pylori dan
refluks laringofaringeal.1
22.
30.
34.
31.
35.
32.
36.
33.
37.
38.
39.
40.
Tabel 2.
masing
Faktor etiologi rinosinusitis kronik, dikelompokkan masingberdasarkan faktor genetik/fisiologik, lingkungan dan struktural. 2
41. Genetic/PhysiologicF
actors
42. Environmental
Factors
44.
47.
Airway hyperreactivity
Immunodeficiency
45.
48.
Allergy
Smoking
46.
49.
50.
Aspirin sensitivity
51.
Irritants/pollution
53.
Ciliary dysfunction
54.
Viruses
56.
Cystic fibrosis
57.
Bacteria
58.
Frontal cells
59.
Autoimmune disease
60.
Fungi
61.
Scarring
63.
Stress
62.
Granulomatous
disorders
Septal deviation
Concha bullosa
terapi.1,2,16
Garcia-Rodriques
dkk
(1999) melaporkan adanya korelasi
kuat antara jumlah sel CD4+ dengan
probabilitas
rinosinusitis.1
Juga
disebutkan bahwa organisme atipikal
seperti Aspergilus spp, Pseudomonas
aeruginosa dan mikrosporidia sering
diisolasi dari sinus penderita dan
neoplasma seperti Limfoma Non
Hodgkin dan sarkoma Kaposi dapat
menjadi faktor penyebab gangguan
sinonasal
pasien
HIV-AIDS.1,16
Keadaan hiperimun seperti pada
sindroma vaskulitis Churg-Strauss dan
sindroma Job dapat juga menjadi
predisposisi
bagi
rinosinusitis
kronik.2,14
68.
Keadaan autoimun lain
yang juga berhubungan dengan
rinosinusitis kronik adalah sistemik
lupus eritematosus, polikondritis relaps
dan sindroma Sjogren. Sindroma
Samter dimana terdapat polip nasi,
asma bronkial dan intoleransi aspirin
merupakan suatu kondisi dengan
82.
83.
84.
85.
86.
87.
94.
Ponikau
dkk
(1999)
mendapatkan 96 % kultur jamur positif
pada 210 pasien rinosinusitis kronik.1,2
Beberapa penelitian yang dilakukan
menunjukkan bahwa spesies jamur
memberikan bentuk yang bervariasi
pada rinosinusitis kronik, dari yang
non invasif sampai yang invasif.1,12,14,16
Bentuk rinosinusitis karena jamur
antara lain: sinusitis fungal invasif baik
dalam bentuk acute-fulminant maupun
chronic-indolent (biasanya terjadi pada
penderita
immunocompromized),
fungal ball (pembentukan massa
berbentuk bola) dan rinosinusitis alergi
fungal / AFS (allergic fungal
rhinosinusitis) sebagai bentuk reaksi
hipersensitivitas terhadap antigen
fungal.1,12,14,16,17 AFS ditandai dengan
pembentukan musin, reaksi inflamasi
tanpa diperantarai IgE, eosinofilia
disertai peningkatan IL-5 dan IL13.1,2,12,14,16,17
95.
88.
89.
90.
91.
92.
93.
histologik.8
Beberapa
studi
menunjukkan
bahwa
perubahan
osteitis dimulai dari meningkatnya
vaskularisasi,
infiltrasi
proses
inflamasi dan selanjutnya terjadi
fibrosis
pada
sistem
kanal
1,2,8,13,14
Haversian.
Histomorfometri
menunjukkan peningkatan jumlah sel
inflamatori dan turnover tulang, seperti
yang terdapat pada osteomielitis. Pada
CT-scan terlihat adanya peningkatan
densitas tulang dan penebalan tulang
iregular. Penebalan tulang iregular
yang terjadi merupakan tanda adanya
proses inflamasi pada tulang yang
berpengaruh
pada
inflamasi
mukosa.1,2,8,13,14
99.
Inflamasi
memegang
peranan penting dalam patogenesis
rinosinusitis kronik.13 Fase inisial yang
paling
penting
bagi
terjadinya
rinosinusitis kronik adalah iritasi
mukosa.17
Gambaran
skematik
dibawah (gambar 3) menunjukkan
alterasi potensial pada mukosa nasal
yang terjadi setelah terpapar oleh
bakteri, virus, alergen, polusi udara,
superantigen maupun jamur. Semua itu
mengakibatkan peningkatan ICAM-1
(intercellullar adhesion molecule 1)
dan sitokin lainnya. Molekul HLA-DR
(human leukocyte antigen DR) pada
permukaan epitelial ikut meningkat,
selanjutnya memegang peranan pada
respon imun spesifik melalui sel TH1
dan TH2 untuk kemudian melepaskan
berbagai sitokin spesifik. GM-CSF
(granulocyte-macrophage-colony
stimulating factor), IL-8 dan TNF-
(tumor necrosing factor alpha) ikut
dilepaskan
yang
kemudian
memberikan efek kepada sel makrofag,
mastosit, eosinofil dan neutrofil.
Interferon gamma yang dilepaskan sel
TH1 juga ikut meningkatkan produksi
5. Neutrofil
116. Peningkatan neutrofil
terjadi melalui pengaktifan IL-8
pada
proses
inflamasi
rinosinusitis kronik.
122.
123.
124.
125.
126.
127.
128.
129.
Mediator inflamasi rinosinusitis kronik :1,8,13,14,17
a. Sitokin
h.
Terdapat peningkatan:
b.
IL-3, IL-5, IL-6, IL-8
COX-2 mRNA, PGE2, 15menunjukkan peningkatan pada
Lipooksigenase,
LipoksinA,
rinosinusitis kronik tanpa polip
LTC4
sintase,
5nasi.
Kadar
IL-5
pada
Lipooksigenase
mRNA,
kelompok tanpa polip nasi
peptida-LT, EP1 dan EP3.
masih lebih rendah bila
i. Metaloproteinase dan TGF-
dibandingkan
dengan
j.
Level
TGF-1
kelompok dengan polip nasi.
meningkat signifikan dibanding
Rinosinusitis tanpa polip nasi
dengan kelompok polip nasi,
mempunyai karakteristik yaitu
disertai dengan peningkatan
polarisasi TH1 dengan level
MMP-9 dan TIMP-1.
IFN- dan TGF- yang tinggi;
k. Imunoglobulin
sedangkan pada rinosinusitis
l.
IgE meningkat pada
kronik dengan polip nasi
pasien rinosinusitis kronik
menunjukkan polarisasi TH2
alergik, fungal dan eosinofilik.
dengan level IL-5 dan IgE yang
IgG antibodi terhadap golongan
meningkat. Peningkatan TLR2
fungal
juga
menunjukkan
(toll-like receptor 2) dan sitokin
peningkatan.
IgG
spesifik
proinflamatori (RANTES /
fungal
(IgG3)
dan
IgA
Regulated
on
Activation,
menunjukkan peningkatan pada
normal T-cell expressed and
kondisi
sinusitis
alergik
secreted dan GM-CSF /
fungal.
granulocyte-monocyte colony
m. Nitrit oksida (NO)
stimulating
factor)
juga
n.
Sel
epitel
pada
ditemukan pada keadaan ini.
rinosinusitis
kronik
c. Kemokin
menunjukkan ekspresi TLR-4
d.
Ekspresi
kemokin
dan
iNOS
yang
kuat
berbeda pada rinosinusitis
dibandingkan
kontrol,
kronik atopi (peningkatan sel
sedangkan pada kelompok
CCR4+ dan EG2+) dan yang
rinosinusitis kronik yang telah
non atopi (penurunan sel
mendapat terapi kortikosteroid
CCR5+). Kemokin lain yang
nasal
menunjukkan
meningkat
yaitu
GRO-
peningkatan nNO.
(growth-related
oncogene
o. Neuropeptida
alpha) dan GCP-2 (granulocyte
p.
Inflamasi
neurogenik
chemotactic protein-2).
memegang
peranan
bagi
e. Molekul adhesi
manifestasi klinis rinosinusitis
f.
Meningkatnya ligan Lkronik. Level CGRP (sensoris
selektin endotelial berkorelasi
trigeminal)
dan
VIP
dengan
tingkat
keparahan
(parasimpatis) pada saliva
inflamasi yang terjadi.
meningkat signifikan pada
g. Eicosanoid
pasien rinosinusitis
alergik.
kronik
q.
r.
s.
t.
u.
ab. Musin
ac.
Musin
merupakan
komponen utama dari mukus,
jenis musin yang meningkat
pada rinosinusitis kronik antara
lain MUC5AC, MUC5B dan
MUC8.
ad. Mediator lain :
1. VEGF
(vascular
endothelial-cell growth
factor), diproduksi oleh
mukosa hidung dan
sinus
paranasal,
berkaitan
dengan
kondisi hipoksia yang
terjadi
pada
rinosinusitis.
2. SP-A
(surfactant
protein
A),
juga
meningkat pada mukosa
v.
w.
x.
y.
z.
aa.
pasien
kronik..
rinosinusitis
ae.
af. DIAGNOSIS
ag.
Berdasarkan
definisi
rinosinusitis kronik tanpa polip nasi
menurut TFR 1996, terdapat faktor
klinis/ gejala mayor dan minor yang
diperlukan untuk diagnosis.1,2,12,17,18
Selanjutnya menurut Task Force on
Rhinosinusitis (TFR) 2003, ada tiga
kriteria yang dibutuhkan untuk
mendiagnosis rinosinusitis kronik,
berdasarkan
penemuan
pada
pemeriksaan fisik seperti ditampilkan
pada tabel 3.2 Diagnosis klinik
ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang meliputi transiluminasi,
pemeriksaan radiologi, endoskopi
nasal, CT-scan dan lainnya.
ah.
ai.
aj.
ak.
al.
am.Tabel 3.
Kriteria diagnosis rinosinusitis kronik terdiri dari durasi dan
pemeriksaan
an.
fisik. Bila hanya ditemukan gambaran radiologis namun tanpa klinis
ao.
lainnya maka diagnosis tidak dapat ditegakkan.2
a. REQUIREMENTS FOR DIAGNOSIS OF CHRONIC RHINOSINUSITIS
b. (2003 TASK FORCE)
c. Duration
d. Physical findings (on of the following must be
present)
e. >12 weeks of
continuous
symptoms (as
described by 1996
Task Force) or
physical findings
1.
2.
3.
4.
ap.
aq.
ar.
as.
at.
au.
av.
aw.
ax.
Diagnosis rinosinusitis
kronik tanpa polip nasi (pada dewasa)
berdasarkan EP3OS 2007 ditegakkan
berdasarkan
penilaian
subyektif,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang lainnya.1 Penilaian subyektif
berdasarkan pada keluhan, berlangsung
lebih dari 12 minggu:1
1) Buntu hidung, kongesti
atau sesak
2) Sekret hidung / post
nasal drip, umumnya
mukopurulen
3) Nyeri wajah / tekanan,
nyeri kepala dan
4) Penurunan / hilangnya
penciuman
ay. Pemeriksaan
fisik
yang
dilakukan mencakup rinoskopi
anterior dan posterior.1 Yang
menjadi
pembeda
antara
kelompok rinosinusitis kronik
tanpa dan dengan nasal polip
adalah ditemukannya jaringan
polip / jaringan polipoid pada
pemeriksaan
rinoskopi
anterior.Pemeriksaan
penunjang yang dilakukan
antara lain endoskopi nasal,
sitologi dan bakteriologi nasal,
pencitraan (foto polos sinus,
transiluminasi, CT-scan dan
MRI), pemeriksaan fungsi
mukosiliar, penilaian nasal
airway, fungsi penciuman dan
pemeriksaan laboratorium.1
az.
ba. Anamnesis
bb.
Anamnesis yang cermat
dan teliti sangat diperlukan terutama
dalam menilai gejala-gejala yang ada
pada kriteria
diatas, mengingat
patofisiologi rinosinusitis kronik yang
Selain
untuk
mendapatkan
riwayat
penyakit,
anamnesis juga dapat digunakan untuk
menentukan berat ringannya keluhan
yang dialami penderita. Ini berguna
bagi penilaian kualitas hidup penderita.
Ada beberapa metode/test yang dapat
digunakan untuk menilai tingkat
keparahan penyakit yang dialami
penderita,
namun
lebih
sering
digunakan bagi kepentingan penelitian,
antara
lain
dengan
SNOT-20
(sinonasal outcome test), CSS (chronic
sinusitis survey) dan RSOM-31
(rhinosinusitis outcome measure)1,2,11
bp.
bq. Pemeriksaan Fisik
Rinoskopi
posterior
bila
diperlukan
untuk
melihat
patologi di belakang rongga
hidung.18
br. Pemeriksaan Penunjang
Transiluminasi,
merupakan
pemeriksaan
sederhana
terutama untuk menilai kondisi
sinus maksila. Pemeriksaan
dianggap
bermakna
bila
terdapat
perbedaan
transiluminasi antara sinus
kanan dan kiri.18
Endoskopi nasal, dapat menilai
kondisi rongga hidung, adanya
sekret,
patensi
kompleks
ostiomeatal, ukuran konka nasi,
udem disekitar orifisium tuba,
hipertrofi
adenoid
dan
penampakan mukosa sinus.1,13
Indikasi endoskopi nasal yaitu
evaluasi
bila
pengobatan
konservatif
mengalami
kegagalan.18 Untuk rinosinusitis
kronik,
endoskopi
nasal
mempunyai tingkat sensitivitas
sebesar 46 % dan spesifisitas
86 %.18
Radiologi,
merupakan
pemeriksaan tambahan yang
umum dilakukan, meliputi Xfoto posisi Water, CT-scan,
MRI dan USG. CT-scan
merupakan modalitas pilihan
dalam menilai proses patologi
dan anatomi sinus, serta untuk
evaluasi rinosinusitis lanjut bila
pengobatan
medikamentosa
tidak memberikan respon.1,18 Ini
mutlak
diperlukan
pada
rinosinusitis kronik yang akan
dilakukan
pembedahan.1,2,18
Contoh gambaran CT-scan
rinosinusitis kronik tanpa polip
nasi pada orang dewasa dapat
dilihat pada gambar 4.
Pemeriksaan penunjang lain
yang dapat dilakukan antara
lain:1,2,13,18
1. Sitologi
nasal,
biopsi,
pungsi
aspirasi
dan
bakteriologi
2. Tes alergi
3. Tes fungsi mukosiliar :
kliren mukosiliar, frekuensi
getar siliar, mikroskop
elektron dan nitrit oksida
4. Penilaian aliran udara nasal
(nasal
airflow):
nasal
bs.
inspiratory
peakflow,
rinomanometri, rinometri
akustik dan rinostereometri
5. Tes
fungsi
olfaktori:
threshold testing
6. Laboratorium
:
pemeriksaan CRP ( Creactive protein)
bt.
bu.
Gambar 4.
CT-scan penampang koronal menunjukkan
rinosinusitis kronik akibat konka bulosa sehingga
mengakibatkan penyempitan KOM.19
bv.
bw.PENATALAKSANAAN
bx.
Prinsip penatalaksanaan
rinosinusitis kronik tanpa polip nasi
pada orang dewasa dibedakan menjadi
dua
yaitu
penatalaksanaan
medikamentosa dan pembedahan. Pada
rinosinusitis kronik (tanpa polip nasi),
terapi pembedahan mungkin menjadi
pilihan yang lebih baik dibanding
terapi medikamentosa. Adanya latar
belakang seperti alergi, infeksi dan
kelainan anatomi rongga hidung
memerlukan terapi yang berlainan
juga.20
by.
bz. Terapi Medikamentosa
ca.
Terapi medikamentosa
memegang peranan dalam penanganan
rinosinusitis kronik yakni berguna
dalam mengurangi gejala dan keluhan
penderita, membantu dalam diagnosis
rinosinusitis kronik (apabila terapi
medikamentosa gagal maka cenderung
b. Sefalosporin:
cefuroxime,
cefaclor, cefixime
c.
Florokuinolon
:
ciprofloksasin
d. Makrolid
:
eritromisin,
klaritromisin, azitromisin
cd.
Kortikost
eroid topikal :
beklometason,
flutikason,
mometason
a.
Kortikosteroid
sistemik, banyak bermanfaat
pada rinosinusitis kronik
dengan polip nasi dan
rinosinusitis fungal alergi.
ce.
3.
Terapi penunjang lainnya
meliputi:
a. Dekongestan oral/topikal yaitu
golongan agonis -adrenergik
b.
Antihistamin
c.
Stabilizer
sel
mast, sodium kromoglikat,
sodium nedokromil
d.
Mukolitik
e.
Antagonis
leukotrien
f.
Imunoterapi
g.
Lainnya:
humidifikasi, irigasi dengan
salin, olahraga, avoidance
terhadap iritan dan nutrisi yang
cukup
cf. Terapi Pembedahan
cg.
Terapi bedah yang
dilakukan bervariasi dimulai dengan
tindakan sederhana dengan peralatan
yang sederhana sampai operasi
menggunakan
peralatan
canggih
endoskopi.23 Beberapa jenis tindakan
pembedahan yang dilakukan untuk
rinosinusitis kronik tanpa polip nasi
ialah:1,23
ch.
ci. KOMPLIKASI
cj.
Pada era pra antibiotika,
komplikasi merupakan hal yang sering
terjadi dan seringkali membahayakan
nyawa penderita, namun seiring
berkembangnya teknologi diagnostik
e.
f.
Klindamisin
Metronidazole
2.
Antiinflamatori dengan
menggunakan
kortikosteroid
topikal atau sistemik.
cc.
1.
Sinus maksila:
Irigasi sinus (antrum lavage)
Nasal antrostomi
Operasi Caldwell-Luc
2.
Sinus etmoid:
a. Etmoidektomi
intranasal,
eksternal dan transantral
3.
Sinus frontal:
Intranasal, ekstranasal
Frontal sinus septoplasty
Fronto-etmoidektomi
4.
Sinus sfenoid :
Trans nasal
Trans sfenoidal
5.
FESS
(functional
endoscopic
sinus
surgery),
dipublikasikan pertama kali oleh
Messerklinger tahun 1978. Indikasi
tindakan FESS adalah:
a. Sinusitis
(semua
sinus
paranasal) akut rekuren atau
kronis
Poliposis nasi
Mukokel sinus paranasal
Mikosis sinus paranasal
Benda asing
Osteoma kecil
g. Tumor (terutama jinak, atau
pada beberapa tumor ganas)
Dekompresi orbita / n.optikus
i. Fistula likuor serebrospinalis
dan meningo ensefalokel
Atresia koanae
Dakriosistorinotomi
Kontrol epistaksis
m. Tumor pituitari, ANJ, tumor
pada skull base
a)
b)
c)
d)
e)
oseus/tulang,
endokranial
dan
1
komplikasi lainnya.
129.1.
Komplikasi orbita :
a) Selulitis periorbita
b) Selulitis orbita
c) Abses
subperiosteal
d) Abses orbita
129.2.
Komplikasi
oseus/tulang : Osteomielitis
(maksila dan frontal)
129.3.
Komplikasi
endokranial:
Abses epidural / subdural
Abses otak
Meningitis
Serebritis
Trombosis sinus kavernosus
129.4.
Komplikasi lain yang
sangat jarang terjadi : abses
glandula lakrimalis, perforasi
septum
nasi,
hilangnya
lapangan
pandang,
mukokel/mukopiokel,
septikemia.
ck.
cl.
cp.
cq.
cr.
cs.
ct. DAFTAR PUSTAKA
cm.
cn. RINGKASAN
co.
Rinosinusitis
kronik
tanpa polip nasi pada orang
dewasa merupakan salah satu
masalah kesehatan yang sering
didapatkan dan memberikan
dampak bagi kualitas hidup
penderita.
Patofisiologi
rinosinusitis kronik tanpa polip
nasi pada orang dewasa bersifat
multifaktorial
dan
faktor
predisposisi terjadinya dapat
dibedakan
menjadi
faktor
fisiologik/genetik,
faktor
lingkungan
dan
faktor
struktural. Diagnosis ditetapkan
berdasarkan kombinasi kriteria
obyektif dan subyektif serta
ditunjang oleh pemeriksaan
endoskopi nasal dan CT-scan
(bila diperlukan). Modalitas
terapi rinosinusitis kronik tanpa
polip nasi pada orang dewasa
dibedakan
menjadi
terapi
medikamentosa dan terapi
pembedahan.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
24.