Anda di halaman 1dari 19

PATOFISIOLOGI, DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN

RINOSINUSITIS KRONIK TANPA POLIP NASI


PADA ORANG DEWASA
Selvianti, Irwan Kristyono
Dep/SMF Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok
Bedah Kepala dan Leher
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga/RSUD Dr. Soetomo Surabaya

PENDAHULUAN
Rinosinusitis, istilah bagi suatu proses
inflamasi yang melibatkan mukosa
hidung dan sinus paranasal, merupakan
salah satu masalah kesehatan yang
mengalami peningkatan secara nyata
dan memberikan dampak bagi
pengeluaran finansial masyarakat.1,2
Rinitis dan sinusitis umumnya terjadi
bersamaan, sehingga terminologi saat
ini yang lebih diterima adalah
rinosinusitis.1,2 Rinosinusitis dibagi
menjadi kelompok akut, subakut dan
kronik.2
Berdasarkan data dari National
Health Interview Survey 1995, sekitar
17,4 % penduduk dewasa Amerika
Serikat (AS) pernah mengidap sinusitis
dalam jangka waktu 12 bulan.3 Dari
survei yang dilakukan, diperkirakan
angka prevalensi rinosinusitis kronik
pada penduduk dewasa AS berkisar
antara 13-16 %, dengan kata lain,
sekitar 30 juta penduduk dewasa AS
mengidap
rinosinusitis
kronik.1-4
Dengan demikian rinosinusitis kronik
menjadi salah satu penyakit kronik
yang paling populer di AS melebihi
penyakit asma, penyakit jantung,
diabetes dan sefalgia.2,4 Kennedy
melaporkan pada tahun 1994 adanya
peningkatan jumlah kunjungan pasien
sinusitis kronik sebanyak 8 juta
menjadi total 24 juta pertahun antara
tahun 1989 dan 1992.5 Dari Kanada
tahun 2003 diperoleh angka prevalensi

rinosinusitis kronik sekitar 5 % dengan


rasio wanita berbanding pria yaitu 6
berbanding 4 (lebih tinggi pada
kelompok wanita).1,3 Berdasarkan
penelitian divisi Rinologi Departemen
THT-KL FKUI tahun 1996, dari 496
pasien rawat jalan ditemukan 50 %
penderita sinusitis kronik.6 Dampak
yang diakibatkan rinosinusitis kronik
meliputi berbagai aspek, antara lain
aspek kualitas hidup ( Quality of Life /
QOL ) dan aspek sosioekonomi.1-4
Sejumlah
konsensus,
guidelines dan position papers yang
mencakup epidemiologi, diagnosis dan
penatalaksanaan rinosinusitis kronik
mulai berkembang pada dekade ini.1
Pada tahun 2005 European Position
Paper on Rhinosinusitis and Nasal
Polyps
(EP3OS)
pertama
kali
dipublikasikan,
dipelopori
oleh
European Academy of Allergology and
Clinical Immunology (EAACI) dan
diterima oleh European Rhinology
Society.1 Pada tahun 2007, EPOS
mengalami revisi seiring dengan
meningkatnya perkembangan baru
pada patofisiologi, diagnosis dan
penatalaksanaan rinosinusitis dan polip
nasi.1

Diagnosis rinosinusitis kronik dibuat


oleh berbagai bidang ilmu terkait
termasuk didalamnya antara lain
allergologist,
otolaryngologist,
pulmonologist, dokter umum dan
lainnya, namun keseragaman definisi
dan standar diagnosis rinosinusitis
kronik belum tercapai.1 Mengingat
luasnya cakupan ilmu terkait dengan
rinosinusitis kronik, besarnya dampak
kesehatan yang diakibatkan terutama
bagi kelompok penduduk dewasa usia
produktif namun disertai keterbatasan
data yang ada, maka perlu dipelajari
lebih jauh tentang rinosinusitis kronik
tanpa polip nasi. Tujuan makalah ini
dibuat adalah untuk menguraikan
tentang patofisiologi, diagnosis dan
penatalaksanaan rinosinusitis kronik
tanpa polip nasi khususnya pada orang
dewasa dengan berdasarkan pada
makalah EP3OS 2007.
DEFINISI
Johnson dan Ferguson (1998)
menyatakan bahwa karena mukosa
kavum nasi dan sinus paranasal saling
berhubungan sebagai satu kesatuan
maka inflamasi yang terjadi pada
kavum nasi biasanya berhubungan

Gambar 1.

dengan
inflamasi
dalam
sinus
7
paranasal. Secara histologi, mukosa
kavum nasi dan mukosa sinus
mempunyai
sejumlah
kesamaan;
mucous blanket sinus senantiasa
berhubungan dengan kavum nasi dan
pada studi dengan CT-Scan untuk
common cold ditunjukkan bahwa
mukosa kavum nasi dan sinus secara
simultan mengalami proses inflamasi
bersama-sama.8 Alasan lainnya karena
sebagian besar penderita sinusitis juga
menderita rinitis, jarang sinusitis tanpa
disertai rinitis, gejala pilek, buntu
hidung dan berkurangnya penciuman
ditemukan baik pada sinusitis maupun
rinitis.9 Fakta tersebut menunjukkan
bahwa sinusitis merupakan kelanjutan
dari rinitis, yang mendukung konsep
one airway disease yaitu bahwa
penyakit di salah satu bagian saluran
napas akan cenderung berkembang ke
bagian yang lain.9 Sejumlah kelompok
konsensus menyetujui pernyataan
tersebut sehingga terminologi yang
lebih diterima hingga kini adalah
rinosinusitis daripada sinusitis.7-11
Hubungan antara sinus paranasal dan
kavum nasi secara lebih jelas dapat
dilihat pada gambar 1 dibawah ini.

Hubungan antara sinus paranasal dan kavum nasi dan struktur


yang terdapat pada kompleks ostiomeatal meatus medius.12

Sejak tahun 1984 sampai saat


ini telah banyak dikemukakan definisi
rinosinusitis kronik tanpa polip nasi
oleh para ahli, masing-masing dengan
kriterianya, antara lain :5,7
1. Menurut Kennedy tahun 1993
(pada Konferensi Internasional
Penyakit Sinus, Princeton New
Jersey), sinusitis kronik adalah
sinusitis persisten yang tidak
dapat disembuhkan hanya
dengan terapi medikamentosa,
disertai adanya hiperplasia
mukosa dan dibuktikan secara
radiografik.
Pada
orang
dewasa, keluhan dan gejala
berlangsung persisten selama
delapan minggu atau terdapat
empat episode atau lebih
sinusitis akut rekuren, masingmasing berlangsung minimal
sepuluh hari, berkaitan dengan
perubahan persisten pada CTscan setelah terapi selama
empat minggu tanpa ada
pengaruh infeksi akut
Tabel 1.

2. Menurut Task Force on


Rhinosinusitis (TFR) 1996
disponsori oleh American
Academy of Otolaryngology /
Head and Neck Surgery (AAOHNS), disebut rinosinusitis
kronik
bila
rinosinusitis
berlangsung lebih dari dua
belas minggu dan diagnosa
dikonfirmasi dengan kompleks
faktor klinis mayor dan minor
dengan atau tanpa adanya hasil
pada pemeriksaan fisik. Tabel 1
menunjukkan faktor klinis
mayor dan minor yang
berkaitan dengan diagnosis
rinosinusitis kronik. Bila ada
dua atau lebih faktor mayor
atau satu faktor mayor disertai
dua atau lebih faktor minor
maka
kemungkinan
besar
rinosinusitis kronik. Bila hanya
satu faktor mayor atau hanya
dua faktor minor maka
rinosinusitis perlu menjadi
diferensial diagnosa.

Faktor-faktor yang berkaitan dengan diagnosis rinosinusitis kronik,


terdiri dari faktor mayor (utama) dan faktor minor (pelengkap).7
Major factors
Minor factors

Facial pain, pressure (alone does not constitute a suggestive


history for rhinosinusitis in absence of another major
symptom)
Facial congestion, fullness
Nasal obstruction/blockage
Nasal discharge/ purulence/ discolored nasal drainage
Hyposmia/anosmia
Purulence in nasal cavity on examination
Fever (acute rhinosinusitis only) in acute sinusitis alone
does not constitute a strongly supportive history for acute in
the absence of another major nasal symptom or sign

Headache
Fever
(all nonacute)
Halitosis
Fatigue
Dental pain
Cough
Ear pain/pressure/
fullness

3. Definisi rinosinusitis kronik


terbaru
dinyatakan
dalam
makalah EP3OS tahun 2007
yaitu suatu inflamasi pada
(mukosa) hidung dan sinus
paranasal, berlangsung selama
dua belas minggu atau lebih
disertai dua atau lebih gejala
dimana salah satunya adalah
buntu hidung (nasal blockage /
obstruction / congestion) atau
nasal discharge (anterior /
posterior nasal drip) :1
4.
nyeri fasial /
pressure
5.
penurunan /
hilangnya daya penciuman
6.
dan dapat di dukung
oleh pemeriksaan penunjang
antara lain
6.1.
Endoskopik,
dimana
terdapat : polip atau sekret
mukopurulen yang berasal dari
meatus medius dan atau udem
mukosa primer pada meatus
medius
6.2.
CT scan : perubahan
mukosa
pada
kompleks
ostiomeatal dan atau sinus
paranasal.
7.
Berdasarkan
definisi yang terakhir, dapat
dilihat bahwa rinosinusitis
dapat dibedakan lagi menjadi
kelompok dengan polip nasi
dan kelompok tanpa polip nasi.
EP3OS
2007
menyatakan
bahwa rinosinusitis kronik
merupakan kelompok primer
sedangkan
polip
nasi
merupakan subkategori dari
rinosinusitis kronik.5,7,11 Alasan
rasional rinosinusitis kronik
dibedakan antara dengan polip
dan
tanpa
polip
nasi
berdasarkan pada beberapa
studi
yang
menunjukkan
adanya gambaran patologi
jaringan sinus dan konka media
yang berbeda pada kedua
kelompok tersebut.11

8.
Pembahasan
pada
makalah
ini
akan
dikhususkan pada rinosinusitis
kronik tanpa disertai polip nasi
yang terjadi pada orang
dewasa.
9.
10.
11. ETIOLOGI,
PATOFISIOLOGI
DAN
HISTOPATOLOGI
12.
Senior dan Kennedy
(1996) menyatakan bahwa:
Kesehatan sinus setiap orang
bergantung pada sekresi mukus
yang normal baik dari segi
viskositas,
volume
dan
komposisi; transport mukosiliar
yang normal untuk mencegah
stasis mukus dan kemungkinan
infeksi; serta patensi kompleks
ostiomeatal
untuk
mempertahankan drainase dan
aerasi. 13,14
13.
Kompleks ostiomeatal
(KOM) merupakan tempat
drainase bagi kelompok sinus
anterior (frontalis, ethmoid
anterior dan maksilaris) dan
berperan penting bagi transport
mukus dan debris serta
mempertahankan
tekanan
oksigen yang cukup untuk
mencegah
pertumbuhan
bakteri. Obstruksi ostium sinus
pada KOM merupakan faktor
predisposisi
yang
sangat
berperan
bagi
terjadinya
rinosinusitis kronik.14 Namun
demikian, kedua faktor yang
lainnya juga sangat berperan
bagi terjadinya rinosinusitis
kronik. Interupsi pada satu atau
lebih faktor diatas akan
mempengaruhi faktor lainnya
dan
kemudian
memicu
terjadinya
kaskade
yang
berkembang
menjadi
rinosinusitis kronik dengan
perubahan
patologis
pada
mukosa sinus dan juga mukosa

nasal, seperti yang tergambar


pada gambar 2 dibawah ini.14

14.

15.

17. Gambar 2.
18.
19.

16.
Siklus patologis rinosinusitis kronik, perubahan pada salah satu
faktor akan mengakibatkan terjadinya proses yang berkelanjutan
dengan hasil akhirnya adalah rinosinusitis kronik.14

20.
21. Etiologi rinosinusitis akut dan
rinosinusitis kronik berbeda
secara
mendalam.
Pada
rinosinusitis akut, infeksi virus
dan bakteri patogen telah
ditetapkan sebagai penyebab
utama.2,14 Namun sebaliknya,
etiologi
dan
patofisiologi
rinosinusitis kronik bersifat
multifaktorial
dan
belum
sepenuhnya
diketahui;
rinosinusitis kronik merupakan
sindrom yang terjadi karena
kombinasi
etiologi
yang
multipel.
Ada
beberapa
pendapat
dalam
mengkategorikan
etiologi
rinosinusitis
kronik.
Berdasarkan EP3OS 2007,
faktor
yang
dihubungkan
dengan kejadian rinosinusitis
kronik tanpa polip nasi yaitu
ciliary impairment, alergi,
asma,
keadaan
immunocompromised,
faktor
genetik,
kehamilan
dan
endokrin,
faktor
lokal,
mikroorganisme,
jamur,
osteitis, faktor lingkungan,
faktor iatrogenik, H.pylori dan
refluks laringofaringeal.1

22.

Publikasi Task Force


(2003) menyatakan bahwa rinosinusitis
kronik merupakan hasil akhir dari
proses inflamatori dengan kontribusi
beberapa faktor yaitu faktor sistemik,
faktor lokal dan faktor lingkungan. 2,14
Berdasarkan ketiga kelompok tersebut,
maka faktor etiologi rinosinusitis
kronik dapat dibagi lagi menjadi
berbagai penyebab secara spesifik, ini
dapat dilihat pada tabel 2 berikut.2,14
James
Baraniuk
(2002)
mengklasifikasikan
bermacam
kemungkinan patofisiologi penyebab
rinosinusitis
kronik
menjadi
rinosinusitis inflamatori (berdasarkan
tipe infiltrat selular yang predominan)
dan rinosinusitis non inflamatori
(termasuk disfungsi neural dan
penyebab lainnya seperti hormonal dan
obat).15
Rinosinusitis
inflamatori
kemudian dibagi lagi berdasarkan tipe
infiltrasi
selular
menjadi
jenis
eosinofilik, neutrofilik dan kelompok
lain.15
23.
24.
25.
26.
27.
28.
29.

30.

34.

31.

35.

32.

36.

33.

37.
38.

39.
40.

Tabel 2.
masing

Faktor etiologi rinosinusitis kronik, dikelompokkan masingberdasarkan faktor genetik/fisiologik, lingkungan dan struktural. 2

41. Genetic/PhysiologicF
actors

42. Environmental
Factors

43. Structural Factors

44.
47.

Airway hyperreactivity
Immunodeficiency

45.
48.

Allergy
Smoking

46.
49.

50.

Aspirin sensitivity

51.

Irritants/pollution

53.

Ciliary dysfunction

54.

Viruses

52. Paradoxic middle


turbinate
55. Haller cells

56.

Cystic fibrosis

57.

Bacteria

58.

Frontal cells

59.

Autoimmune disease

60.

Fungi

61.

Scarring

63.

Stress

64. Bone inflammation


Craniofacial anomalies
Foreign bodies
Dental disease
Mechanical trauma
Barotrauma

62.
Granulomatous
disorders

65. Faktor Genetik / Fisiologik


66.
Hipereaktivitas saluran
napas (asma) merupakan faktor yang
berperan bagi rinosinusitis kronik,
banyak penelitian menemukan ada
asosiasi yang kuat antara asma dengan
rinosinusitis kronik.1,2 Identifikasi gen
ADAM-33
(disintegrin
dan
metaloprotease 33) pada pasien asma
semakin memperkuat kemungkinan
adanya hubungan tersebut.2
67.
Imunodefisiensi
(bawaan atau dapatan) juga berperan
terhadap
rinosinusitis
kronik.
Penelitian
Chee
dkk
(2001)
menunjukkan bahwa pada keadaan
level imunoglobulin (IgG, IgA, IgM)
yang rendah dan kurangnya fungsi sel
limfosit T, maka kejadian sinusitis
yang refrakter cenderung meningkat.1,2
Defisiensi IgG adalah yang paling
sering
menjadi
penyebab
bagi
rinosinusitis kronik.2,14 Pada individu
dengan HIV, rinosinusitis sering terjadi
(38-68 %) dengan klinis yang lebih
berat
namun
resisten
terhadap

Septal deviation
Concha bullosa

terapi.1,2,16
Garcia-Rodriques
dkk
(1999) melaporkan adanya korelasi
kuat antara jumlah sel CD4+ dengan
probabilitas
rinosinusitis.1
Juga
disebutkan bahwa organisme atipikal
seperti Aspergilus spp, Pseudomonas
aeruginosa dan mikrosporidia sering
diisolasi dari sinus penderita dan
neoplasma seperti Limfoma Non
Hodgkin dan sarkoma Kaposi dapat
menjadi faktor penyebab gangguan
sinonasal
pasien
HIV-AIDS.1,16
Keadaan hiperimun seperti pada
sindroma vaskulitis Churg-Strauss dan
sindroma Job dapat juga menjadi
predisposisi
bagi
rinosinusitis
kronik.2,14
68.
Keadaan autoimun lain
yang juga berhubungan dengan
rinosinusitis kronik adalah sistemik
lupus eritematosus, polikondritis relaps
dan sindroma Sjogren. Sindroma
Samter dimana terdapat polip nasi,
asma bronkial dan intoleransi aspirin
merupakan suatu kondisi dengan

etiologi yang tidak jelas namun


mempunyai
hubungan
dengan
rinosinusitis onset dini.1,2,14 Kelainan
bawaan
seperti
kistik
fibrosis,
sindroma Young, sindroma Kartagener
atau diskinesia siliar primer, berkaitan
dengan klirens mukosiliar sinus yang
abnormal sehingga menyebabkan
69.
Rinosinusitis
juga
sering
ditemukan
pada
kelainan
granulomatosis seperti sarkoidosis dan
granulomatosis
Wegener.
Pada
keadaan ini, terjadi respon inflamasi
kronik diikuti dengan perubahan
jaringan lokal yang bervariasi tingkat
berat ringannya dari destruksi silia dan
kelenjar mukus sampai destruksi
jaringan lokal.1,2,14
70.
71. Faktor Lingkungan
72.
Hubungan antara rinitis
alergi dengan rinosinusitis telah
banyak
dipelajari
dan
tercatat
walaupun hubungan kausal belum
dapat ditegakkan secara pasti.2 Pada
pasien dengan rinosinusitis kronik,
prevalensi rinitis alergi berkisar antara
25-50 %.2 Pada pasien yang menjalani
operasi sinus, prevalensi hasil test kulit
positif berkisar antara 50-84 %,
mayoritas (60%) dengan sensitivitas
multipel.1,2,14 Namun bagaimana alergi
bisa
mengakibatkan
rinosinusitis
kronik, hingga hari ini belum diketahui
secara jelas. Stammberger 1991
menyatakan bahwa: udem mukosa
nasal pada pasien rinitis alergi yang
terjadi pada ostium sinus dapat
mengurangi
ventilasi
bahkan
mengakibatkan obstruksi ostium sinus
sehingga mengakibatkan retensi mukus
dan infeksi.1 Namun hal ini lebih
mengarah kepada rinosinusitis akut
sedangkan sejauh mana perkembangan
dan
persistensi
keadaan
ini
memberikan
pengaruh
bagi
rinosinusitis kronik, hingga kini belum
dapat dijelaskan.1,16
73.
Faktor
iritan
dan
polutan banyak memberikan implikasi
bagi
perkembangan
rinosinusitis

timbulnya rinosinusitis kronik. Wang


dkk (2000) menemukan adanya mutasi
gen pada pasien kistik fibrosis yang
mengarah pada terjadinya rinosinusitis
kronik.2 Pada diskinesia siliar primer
dan sindroma Kartagener, terjadi
disfungsi siliar yang menjadi faktor
penyebab rinosinusitis. 1,2,14,16
kronik, antara lain : asap rokok, debu,
ozon, sulfur dioksida, komponen
volatil organik, dll.1,2,14 Bahan polutan
ini bertindak sebagai iritan nasal
mengakibatkan
kekeringan
dan
inflamasi lokal diikuti influks neutrofil.
Sebagai tambahan, asap rokok juga
menyebabkan kelainan siliar sekunder
dengan defek mikrotubular primer.14
74.
Peranan virus dalam
menyebabkan rinosinusitis kronik
belum sepenuhnya jelas. Pada studi
epidemiologik skala besar, Gable dkk
(1994)
menemukan
peningkatan
insiden rinosinusitis kronik selama
musim infeksi saluran pernapasan atas.
Sedangkan studi yang melibatkan
manusia dan hewan, menunjukkan
bahwa virus menyebabkan perubahan
morfologis dan fungsional multipel
pada sel epitel nasal, termasuk
peningkatan pelepasan sel epitel,
pemendekan
silia,
berkurangnya
frekuensi gerakan silia serta penurunan
klirens mukosiliar.2 Adenovirus dan
RSV (respiratory syncytial virus)
didapatkan pada pasien rinosinusitis
kronik yang menjalani operasi sinus
endoskopik.16,17
75.
Walau ada hipotesis
bahwa rinosinusitis kronik berkembang
dari rinosinusitis akut, namun sejauh
ini hal tersebut belum dapat
dibuktikan.1 Gambaran bakteriologi
rinosinusitis kronik pada kenyataannya
berbeda dengan rinosinusitis akut.2,13
Pada rinosinusitis kronik, kuman yang
predominan
adalah
S.aureus,
Stafilokakus koagulase negatif, bakteri
anaerob dan gram negatif. Sedangkan
pada rinosinusitis akut, kuman
predominan antara lain S.pneumoniae,
H.influenzae dan M.catarrhalis.1,13,15

Beberapa penelitian retrospektif dan


prospektif telah dilakukan untuk
menilai bakteri penyebab rinosinusitis
kronik baik pada orang dewasa
maupun anak.14 Pada orang dewasa,
gambaran
kuman
umumnya
polimikrobial baik gram positif
76.
Bakteri
biofilm
diperkirakan juga menjadi salah satu
penyebab persistensi rinosinusitis
kronik.2,14 Biofilm merupakan suatu
matriks kompleks polisakarida yang
disintesis oleh bakteri dan bertindak
sebagai protektor lingkungan mikro
bagi koloni bakteri. Keberadaan
biofilm membantu menjelaskan adanya
bentuk rinosinusitis kronik yang
refrakter walaupun telah diberi terapi
antimikroba poten.2,14 Cryer dkk (2004)
berhasil
mengidentifikasi
bakteri
biofilm dari mukosa sinus yang
terinfeksi Pseudomonas aeruginosa,
dengan mikroskop elektron.2,14 Biofilm
juga ditemukan pada otitis media,
kolesteatoma dan tonsilitis.1
77.
Peranan bakteri anaerob
pada rinosinusitis
kronik telah
ditunjukkan pada berbagai studi yang
dilakukan
oleh
Nord
(1995).17
Kemampuan potensial bakteri aerob
dan anaerob memproduksi beta
laktamase untuk melindungi organisme
yang suseptibel terhadap penisilin
ditunjukkan oleh Brook dkk (1996).13,17
Resistensi
kuman
Streptocossus
pneumoniae penghasil protein pengikat
penisilin berkisar antara 28 hingga 44
%.9,13
78.
Para
peneliti
berpendapat bahwa bakteri dapat
secara
langsung
bertindak
mengaktifkan kaskade inflamatori,
disamping fungsi tradisional mereka
yang
berlaku
sebagai
agen
infeksius.2,8,14 Pada individu yang
suseptibel, bakteri superantigen seperti
staphylococcal
enterotoxin
dapat
langsung mengaktifkan sel limfosit T
melalui jalur aktivasi sel T dengan
mekanisme antigen presenting cell.2,8,14
Istilah superantigen digunakan untuk

maupun gram negatif, aerob dan


anaerob.1,14,17 Kuman aerob yang
terisolasi berkisar antara 50-100 %
sedangkan kuman anaerob berkisar
antara 0-100 %.1,17 Kuman anaerob
banyak terdapat pada infeksi sekunder
akibat masalah gigi.1
menjelaskan
kemampuan
bakteri
(S.aureus
dan
S.pyogenes)
memproduksi partikel yang dapat
mengaktifkan
sejumlah
besar
suppopulasi sel T (berkisar antara 530
%) yang kontras dengan antigen
topikal konvensional (kurang dari 0,01
%).8,14 Pada jalur tradisional, antigen
difagosit oleh APC (antigen presenting
cell), terdegradasi menjadi sejumlah
fragmen peptida yang kemudian
diproses pada permukaan sel setelah
berikatan dengan reseptor MHC
(major histocompatibility complex)
kelas II, selanjutnya akan dikenal oleh
sel limfosit T yang kompatibel dan
dimulailah
respon
inflamasi.8,14
Superantigen mempunyai kemampuan
memintas proses diatas, langsung
berikatan dengan permukaan domain
HLA-DR alpha pada MHC kelas II
dan domain V beta pada reseptor sel T.
Selanjutnya terjadi stimulasi ekspresi
masif
IL-2,
kemudian
IL-2
menstimulasi produksi sitokin lainnya
seperti TNF-, IL-1, IL-8 dan PAF
(platelet activating factor) yang
memicu terjadinya respon inflamasi.14
Selain itu, superantigen juga bertindak
sebagai antigen tradisional yang
menstimulasi
produksi
antibodi
superantigen.8,14 Hipotesis Schubert
(2001) menyatakan bahwa potensi
bakteri superantigen disertai persistensi
mikroba, produksi superantigen dan
respon sel limfosit T merupakan
komponen
fundamental
yang
menyatukan berbagai kelainan kronik
mukosa respiratorik tipe eosinofiliklimfositik
pada
patogenesis
rinosinusitis kronik.8
79.
80.
81.

82.
83.
84.
85.
86.
87.
94.
Ponikau
dkk
(1999)
mendapatkan 96 % kultur jamur positif
pada 210 pasien rinosinusitis kronik.1,2
Beberapa penelitian yang dilakukan
menunjukkan bahwa spesies jamur
memberikan bentuk yang bervariasi
pada rinosinusitis kronik, dari yang
non invasif sampai yang invasif.1,12,14,16
Bentuk rinosinusitis karena jamur
antara lain: sinusitis fungal invasif baik
dalam bentuk acute-fulminant maupun
chronic-indolent (biasanya terjadi pada
penderita
immunocompromized),
fungal ball (pembentukan massa
berbentuk bola) dan rinosinusitis alergi
fungal / AFS (allergic fungal
rhinosinusitis) sebagai bentuk reaksi
hipersensitivitas terhadap antigen
fungal.1,12,14,16,17 AFS ditandai dengan
pembentukan musin, reaksi inflamasi
tanpa diperantarai IgE, eosinofilia
disertai peningkatan IL-5 dan IL13.1,2,12,14,16,17
95.

96. Faktor Struktural


97.
Mukosa cavum nasi dan
sinus paranasal memproduksi sekitar
satu liter mukus per hari, yang
dibersihkan oleh transport mukosiliar.
Obstruksi ostium sinus KOM akan
mengakibatkan akumulasi dan stagnasi
cairan, membentuk lingkungan yang
lembab dan suasana hipoksia yang
ideal bagi pertumbuhan kuman
patogen.1,2 Obstruksi KOM dapat
disebabkan oleh berbagai kelainan
anatomis seperti deviasi septum, konka
bulosa,
sel
Haier
(ethmoidal
infraorbital),
prosesus
unsinatus
horizontal, skar akibat bekas operasi
dan anomali kraniofasial.1,2,9,13,14,16
98.
Perubahan
tulang
(ethmoid dan maksila) yang terjadi
pada rinosinusitis kronik telah lama
diamati secara klinis, radiografik dan

88.
89.
90.
91.
92.
93.
histologik.8
Beberapa
studi
menunjukkan
bahwa
perubahan
osteitis dimulai dari meningkatnya
vaskularisasi,
infiltrasi
proses
inflamasi dan selanjutnya terjadi
fibrosis
pada
sistem
kanal
1,2,8,13,14
Haversian.
Histomorfometri
menunjukkan peningkatan jumlah sel
inflamatori dan turnover tulang, seperti
yang terdapat pada osteomielitis. Pada
CT-scan terlihat adanya peningkatan
densitas tulang dan penebalan tulang
iregular. Penebalan tulang iregular
yang terjadi merupakan tanda adanya
proses inflamasi pada tulang yang
berpengaruh
pada
inflamasi
mukosa.1,2,8,13,14
99.
Inflamasi
memegang
peranan penting dalam patogenesis
rinosinusitis kronik.13 Fase inisial yang
paling
penting
bagi
terjadinya
rinosinusitis kronik adalah iritasi
mukosa.17
Gambaran
skematik
dibawah (gambar 3) menunjukkan
alterasi potensial pada mukosa nasal
yang terjadi setelah terpapar oleh
bakteri, virus, alergen, polusi udara,
superantigen maupun jamur. Semua itu
mengakibatkan peningkatan ICAM-1
(intercellullar adhesion molecule 1)
dan sitokin lainnya. Molekul HLA-DR
(human leukocyte antigen DR) pada
permukaan epitelial ikut meningkat,
selanjutnya memegang peranan pada
respon imun spesifik melalui sel TH1
dan TH2 untuk kemudian melepaskan
berbagai sitokin spesifik. GM-CSF
(granulocyte-macrophage-colony
stimulating factor), IL-8 dan TNF-
(tumor necrosing factor alpha) ikut
dilepaskan
yang
kemudian
memberikan efek kepada sel makrofag,
mastosit, eosinofil dan neutrofil.
Interferon gamma yang dilepaskan sel
TH1 juga ikut meningkatkan produksi

ICAM-1 pada permukaan sel epitel


respiratorik.17
100.
101.
102.
103.
104.
Gambaran histopatologi
mukosa
rinosinusitis
kronik
menunjukkan adanya penebalan dasar
membran sel, hiperplasia sel goblet,
udem subepitelial dan infiltrasi sel
mononuklear.1,13 Proses inflamasi pada
rinosinusitis dibagi menjadi golongan
inflamasi infeksius dan golongan
inflamasi noninfeksius.13 Inflamasi
infeksius umumnya terjadi pada
rinosinusitis akut sedangkan pada
rinosinusitis kronik terjadi inflamasi
noninfeksius.13
105.
Pada
berbagai
penelitian yang dilakukan ditemukan
sel-sel
inflamatori dan mediator
rinosinusitis kronik.1,9,13 Dibawah ini
akan dijabarkan berbagai sel inflamasi
dan mediator yang ditemukan pada
rinosinusitis kronik.
106.
107.
Gambar 3. Skema
perubahan
sel
epitel
respiratorik yang terjadi setelah
terpapar benda asing, diikuti
berbagai
proses
yang
melibatkan sel limfosit
108.
TH1 dan TH2,
menghasilkan pelepasan sitokin
dan mempengaruhi
109.
sel-sel fagosit.17
110.
111.
Sel
inflamasi
rinosinusitis kronik :1,13,17
1. Limfosit
112. Sel T terutama CD4+ sel
T helper, berperan pada proses
inisiasi dan regulasi inflamasi
2. Eosinofil
117.
118.
119.
120.
121.

113. Level eosinofil marker


(eosinofil, eotaksin, eosinofil
kationik protein / ECP) pada
rinosinusitis kronik tanpa polip
nasi
lebih
rendah
bila
dibandingkan dengan pada
polip nasi, juga infiltrasi sel
eosinofil dan sel plasma pada
rinosinusitis kronik tanpa polip
nasi berbeda dengan pada polip
nasi.
3. Makrofag (sel CD68+)
114. Peningkatan makrofag
pada rinosinusitis dengan polip
nasi dan tanpa polip nasi
menunjukkan perbedaan dalam
bentuk fenotip yang ada.
4. Mastosit
115. Peningkatan
mastosit
berhubungan dengan proses
inflamasi yang terjadi pada
rinosinusitis kronik.

5. Neutrofil
116. Peningkatan neutrofil
terjadi melalui pengaktifan IL-8
pada
proses
inflamasi
rinosinusitis kronik.

122.
123.
124.
125.
126.
127.
128.
129.
Mediator inflamasi rinosinusitis kronik :1,8,13,14,17
a. Sitokin
h.
Terdapat peningkatan:
b.
IL-3, IL-5, IL-6, IL-8
COX-2 mRNA, PGE2, 15menunjukkan peningkatan pada
Lipooksigenase,
LipoksinA,
rinosinusitis kronik tanpa polip
LTC4
sintase,
5nasi.
Kadar
IL-5
pada
Lipooksigenase
mRNA,
kelompok tanpa polip nasi
peptida-LT, EP1 dan EP3.
masih lebih rendah bila
i. Metaloproteinase dan TGF-
dibandingkan
dengan
j.
Level
TGF-1
kelompok dengan polip nasi.
meningkat signifikan dibanding
Rinosinusitis tanpa polip nasi
dengan kelompok polip nasi,
mempunyai karakteristik yaitu
disertai dengan peningkatan
polarisasi TH1 dengan level
MMP-9 dan TIMP-1.
IFN- dan TGF- yang tinggi;
k. Imunoglobulin
sedangkan pada rinosinusitis
l.
IgE meningkat pada
kronik dengan polip nasi
pasien rinosinusitis kronik
menunjukkan polarisasi TH2
alergik, fungal dan eosinofilik.
dengan level IL-5 dan IgE yang
IgG antibodi terhadap golongan
meningkat. Peningkatan TLR2
fungal
juga
menunjukkan
(toll-like receptor 2) dan sitokin
peningkatan.
IgG
spesifik
proinflamatori (RANTES /
fungal
(IgG3)
dan
IgA
Regulated
on
Activation,
menunjukkan peningkatan pada
normal T-cell expressed and
kondisi
sinusitis
alergik
secreted dan GM-CSF /
fungal.
granulocyte-monocyte colony
m. Nitrit oksida (NO)
stimulating
factor)
juga
n.
Sel
epitel
pada
ditemukan pada keadaan ini.
rinosinusitis
kronik
c. Kemokin
menunjukkan ekspresi TLR-4
d.
Ekspresi
kemokin
dan
iNOS
yang
kuat
berbeda pada rinosinusitis
dibandingkan
kontrol,
kronik atopi (peningkatan sel
sedangkan pada kelompok
CCR4+ dan EG2+) dan yang
rinosinusitis kronik yang telah
non atopi (penurunan sel
mendapat terapi kortikosteroid
CCR5+). Kemokin lain yang
nasal
menunjukkan
meningkat
yaitu
GRO-
peningkatan nNO.
(growth-related
oncogene
o. Neuropeptida
alpha) dan GCP-2 (granulocyte
p.
Inflamasi
neurogenik
chemotactic protein-2).
memegang
peranan
bagi
e. Molekul adhesi
manifestasi klinis rinosinusitis
f.
Meningkatnya ligan Lkronik. Level CGRP (sensoris
selektin endotelial berkorelasi
trigeminal)
dan
VIP
dengan
tingkat
keparahan
(parasimpatis) pada saliva
inflamasi yang terjadi.
meningkat signifikan pada
g. Eicosanoid

pasien rinosinusitis
alergik.

kronik

q.
r.
s.
t.
u.
ab. Musin
ac.
Musin
merupakan
komponen utama dari mukus,
jenis musin yang meningkat
pada rinosinusitis kronik antara
lain MUC5AC, MUC5B dan
MUC8.
ad. Mediator lain :
1. VEGF
(vascular
endothelial-cell growth
factor), diproduksi oleh
mukosa hidung dan
sinus
paranasal,
berkaitan
dengan
kondisi hipoksia yang
terjadi
pada
rinosinusitis.
2. SP-A
(surfactant
protein
A),
juga
meningkat pada mukosa

v.
w.
x.
y.
z.
aa.
pasien
kronik..

rinosinusitis

ae.
af. DIAGNOSIS
ag.
Berdasarkan
definisi
rinosinusitis kronik tanpa polip nasi
menurut TFR 1996, terdapat faktor
klinis/ gejala mayor dan minor yang
diperlukan untuk diagnosis.1,2,12,17,18
Selanjutnya menurut Task Force on
Rhinosinusitis (TFR) 2003, ada tiga
kriteria yang dibutuhkan untuk
mendiagnosis rinosinusitis kronik,
berdasarkan
penemuan
pada
pemeriksaan fisik seperti ditampilkan
pada tabel 3.2 Diagnosis klinik
ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang meliputi transiluminasi,
pemeriksaan radiologi, endoskopi
nasal, CT-scan dan lainnya.

ah.
ai.
aj.
ak.
al.
am.Tabel 3.
Kriteria diagnosis rinosinusitis kronik terdiri dari durasi dan
pemeriksaan
an.
fisik. Bila hanya ditemukan gambaran radiologis namun tanpa klinis
ao.
lainnya maka diagnosis tidak dapat ditegakkan.2
a. REQUIREMENTS FOR DIAGNOSIS OF CHRONIC RHINOSINUSITIS
b. (2003 TASK FORCE)
c. Duration
d. Physical findings (on of the following must be
present)

e. >12 weeks of
continuous
symptoms (as
described by 1996
Task Force) or
physical findings

1.

Discolored nasal discharge, polyps, or polypoid


swelling on anterior rhinoscopy (with decongestion)
or nasal endoscopy

2.

Edema or erythema in middle meatus on nasal


endoscopy

3.

Generalized or localized edema, erythema, or


granulation tissue in nasal cavity. If it does not involve
the middle meatus, imaging is required for diagnosis

4.

Imaging confirming diagnosis (plain filmsa or


computerized tomography)b

ap.
aq.
ar.
as.
at.
au.
av.
aw.
ax.
Diagnosis rinosinusitis
kronik tanpa polip nasi (pada dewasa)
berdasarkan EP3OS 2007 ditegakkan
berdasarkan
penilaian
subyektif,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang lainnya.1 Penilaian subyektif
berdasarkan pada keluhan, berlangsung
lebih dari 12 minggu:1
1) Buntu hidung, kongesti
atau sesak
2) Sekret hidung / post
nasal drip, umumnya
mukopurulen
3) Nyeri wajah / tekanan,
nyeri kepala dan
4) Penurunan / hilangnya
penciuman
ay. Pemeriksaan
fisik
yang
dilakukan mencakup rinoskopi
anterior dan posterior.1 Yang
menjadi
pembeda
antara
kelompok rinosinusitis kronik
tanpa dan dengan nasal polip
adalah ditemukannya jaringan
polip / jaringan polipoid pada
pemeriksaan
rinoskopi
anterior.Pemeriksaan
penunjang yang dilakukan
antara lain endoskopi nasal,
sitologi dan bakteriologi nasal,
pencitraan (foto polos sinus,
transiluminasi, CT-scan dan
MRI), pemeriksaan fungsi
mukosiliar, penilaian nasal
airway, fungsi penciuman dan
pemeriksaan laboratorium.1
az.
ba. Anamnesis
bb.
Anamnesis yang cermat
dan teliti sangat diperlukan terutama
dalam menilai gejala-gejala yang ada
pada kriteria
diatas, mengingat
patofisiologi rinosinusitis kronik yang

kompleks. Adanya penyebab infeksi


baik bakteri maupun virus, adanya
latar belakang alergi atau kemungkinan
kelainan anatomis rongga hidung dapat
dipertimbangkan dari riwayat penyakit
yang lengkap.18 Informasi lain yang
perlu berkaitan dengan keluhan yang
dialami penderita mencakup durasi
keluhan,
lokasi,
faktor
yang
memperingan atau memperberat serta
riwayat pengobatan yang sudah
dilakukan.2 Beberapa keluhan/gejala
yang
dapat
diperoleh
melalui
anamnesis dapat dilihat pada tabel 1
pada bagian depan. Menurut EP3OS
2007, keluhan subyektif yang dapat
menjadi dasar rinosinusitis kronik
adalah:
1) Obstruksi nasal
bc. Keluhan buntu hidung
pasien biasanya bervariasi
dari obstruksi aliran udara
mekanis sampai dengan
sensasi terasa penuh daerah
hidung dan sekitarnya
2) Sekret / discharge nasal
bd. Dapat berupa anterior
atau posterior nasal drip
3) Abnormalitas penciuman
be. Fluktuasi
penciuman
berhubungan
dengan
rinosinusitis kronik yang
mungkin disebabkan karena
obstruksi mukosa fisura
olfaktorius dengan / tanpa
alterasi degeneratif pada
mukosa olfaktorius
4) Nyeri / tekanan fasial
bf. Lebih
nyata
dan
terlokalisir pada pasien
dengan rinosinusitis akut,
pada rinosinusitis kronik

keluhan lebih difus dan


fluktuatif.
bg.
bh.
bi.
bj.
bk.
bl.
bm.
bn.
bo.

Selain
untuk
mendapatkan
riwayat
penyakit,
anamnesis juga dapat digunakan untuk
menentukan berat ringannya keluhan
yang dialami penderita. Ini berguna
bagi penilaian kualitas hidup penderita.
Ada beberapa metode/test yang dapat
digunakan untuk menilai tingkat
keparahan penyakit yang dialami
penderita,
namun
lebih
sering
digunakan bagi kepentingan penelitian,
antara
lain
dengan
SNOT-20
(sinonasal outcome test), CSS (chronic
sinusitis survey) dan RSOM-31
(rhinosinusitis outcome measure)1,2,11
bp.
bq. Pemeriksaan Fisik

Rinoskopi anterior dengan


cahaya lampu kepala yang
adekuat dan kondisi rongga
hidung yang lapang (sudah
diberi topikal dekongestan
sebelumnya)1,2,18
Dengan
rinoskopi anterior dapat dilihat
kelainan rongga hidung yang
berkaitan dengan rinosinusitis
kronik seperti udem konka,
hiperemi, sekret (nasal drip),
krusta, deviasi septum, tumor
atau polip.18

Rinoskopi
posterior
bila
diperlukan
untuk
melihat
patologi di belakang rongga
hidung.18
br. Pemeriksaan Penunjang

Transiluminasi,
merupakan
pemeriksaan
sederhana
terutama untuk menilai kondisi
sinus maksila. Pemeriksaan
dianggap
bermakna
bila

terdapat
perbedaan
transiluminasi antara sinus
kanan dan kiri.18
Endoskopi nasal, dapat menilai
kondisi rongga hidung, adanya
sekret,
patensi
kompleks
ostiomeatal, ukuran konka nasi,
udem disekitar orifisium tuba,
hipertrofi
adenoid
dan
penampakan mukosa sinus.1,13
Indikasi endoskopi nasal yaitu
evaluasi
bila
pengobatan
konservatif
mengalami
kegagalan.18 Untuk rinosinusitis
kronik,
endoskopi
nasal
mempunyai tingkat sensitivitas
sebesar 46 % dan spesifisitas
86 %.18
Radiologi,
merupakan
pemeriksaan tambahan yang
umum dilakukan, meliputi Xfoto posisi Water, CT-scan,
MRI dan USG. CT-scan
merupakan modalitas pilihan
dalam menilai proses patologi
dan anatomi sinus, serta untuk
evaluasi rinosinusitis lanjut bila
pengobatan
medikamentosa
tidak memberikan respon.1,18 Ini
mutlak
diperlukan
pada
rinosinusitis kronik yang akan
dilakukan
pembedahan.1,2,18
Contoh gambaran CT-scan
rinosinusitis kronik tanpa polip
nasi pada orang dewasa dapat
dilihat pada gambar 4.
Pemeriksaan penunjang lain
yang dapat dilakukan antara
lain:1,2,13,18

1. Sitologi
nasal,
biopsi,
pungsi
aspirasi
dan
bakteriologi
2. Tes alergi
3. Tes fungsi mukosiliar :
kliren mukosiliar, frekuensi
getar siliar, mikroskop
elektron dan nitrit oksida
4. Penilaian aliran udara nasal
(nasal
airflow):
nasal
bs.

inspiratory
peakflow,
rinomanometri, rinometri
akustik dan rinostereometri
5. Tes
fungsi
olfaktori:
threshold testing
6. Laboratorium
:
pemeriksaan CRP ( Creactive protein)

bt.
bu.

Gambar 4.
CT-scan penampang koronal menunjukkan
rinosinusitis kronik akibat konka bulosa sehingga
mengakibatkan penyempitan KOM.19

bv.
bw.PENATALAKSANAAN
bx.
Prinsip penatalaksanaan
rinosinusitis kronik tanpa polip nasi
pada orang dewasa dibedakan menjadi
dua
yaitu
penatalaksanaan
medikamentosa dan pembedahan. Pada
rinosinusitis kronik (tanpa polip nasi),
terapi pembedahan mungkin menjadi
pilihan yang lebih baik dibanding
terapi medikamentosa. Adanya latar
belakang seperti alergi, infeksi dan
kelainan anatomi rongga hidung
memerlukan terapi yang berlainan
juga.20
by.
bz. Terapi Medikamentosa
ca.
Terapi medikamentosa
memegang peranan dalam penanganan
rinosinusitis kronik yakni berguna
dalam mengurangi gejala dan keluhan
penderita, membantu dalam diagnosis
rinosinusitis kronik (apabila terapi
medikamentosa gagal maka cenderung

digolongkan menjadi rinosinusitis


kronik) dan membantu memperlancar
kesuksesan
operasi
yang
dilakukan.20,21,22 Pada dasarnya yang
ingin
dicapai
melalui
terapi
medikamentosa adalah kembalinya
fungsi drainase ostium sinus dengan
mengembalikan kondisi normal rongga
hidung.20,21
cb.
Jenis
terapi
medikamentosa yang digunakan untuk
rinosinusitis kronik tanpa polip nasi
pada orang dewasa antara lain:1,2,20,21,22
1.
Antibiotika, merupakan
modalitas
tambahan
pada
rinosinusitis kronik mengingat
terapi utama adalah pembedahan.
Jenis antibiotika yang digunakan
adalah antibiotika spektrum luas
antara lain:
a. Amoksisilin
+
asam
klavulanat

b. Sefalosporin:
cefuroxime,
cefaclor, cefixime
c.
Florokuinolon
:
ciprofloksasin
d. Makrolid
:
eritromisin,
klaritromisin, azitromisin
cd.
Kortikost
eroid topikal :
beklometason,
flutikason,
mometason
a.
Kortikosteroid
sistemik, banyak bermanfaat
pada rinosinusitis kronik
dengan polip nasi dan
rinosinusitis fungal alergi.
ce.
3.
Terapi penunjang lainnya
meliputi:
a. Dekongestan oral/topikal yaitu
golongan agonis -adrenergik
b.
Antihistamin
c.
Stabilizer
sel
mast, sodium kromoglikat,
sodium nedokromil
d.
Mukolitik
e.
Antagonis
leukotrien
f.
Imunoterapi
g.
Lainnya:
humidifikasi, irigasi dengan
salin, olahraga, avoidance
terhadap iritan dan nutrisi yang
cukup
cf. Terapi Pembedahan
cg.
Terapi bedah yang
dilakukan bervariasi dimulai dengan
tindakan sederhana dengan peralatan
yang sederhana sampai operasi
menggunakan
peralatan
canggih
endoskopi.23 Beberapa jenis tindakan
pembedahan yang dilakukan untuk
rinosinusitis kronik tanpa polip nasi
ialah:1,23
ch.
ci. KOMPLIKASI
cj.
Pada era pra antibiotika,
komplikasi merupakan hal yang sering
terjadi dan seringkali membahayakan
nyawa penderita, namun seiring
berkembangnya teknologi diagnostik

e.
f.

Klindamisin
Metronidazole
2.
Antiinflamatori dengan
menggunakan
kortikosteroid
topikal atau sistemik.
cc.
1.
Sinus maksila:
Irigasi sinus (antrum lavage)
Nasal antrostomi
Operasi Caldwell-Luc
2.
Sinus etmoid:
a. Etmoidektomi
intranasal,
eksternal dan transantral
3.
Sinus frontal:
Intranasal, ekstranasal
Frontal sinus septoplasty
Fronto-etmoidektomi
4.
Sinus sfenoid :
Trans nasal
Trans sfenoidal
5.
FESS
(functional
endoscopic
sinus
surgery),
dipublikasikan pertama kali oleh
Messerklinger tahun 1978. Indikasi
tindakan FESS adalah:
a. Sinusitis
(semua
sinus
paranasal) akut rekuren atau
kronis
Poliposis nasi
Mukokel sinus paranasal
Mikosis sinus paranasal
Benda asing
Osteoma kecil
g. Tumor (terutama jinak, atau
pada beberapa tumor ganas)
Dekompresi orbita / n.optikus
i. Fistula likuor serebrospinalis
dan meningo ensefalokel
Atresia koanae
Dakriosistorinotomi
Kontrol epistaksis
m. Tumor pituitari, ANJ, tumor
pada skull base

dan antibiotika, maka hal tersebut


dapat
dihindari.1
Komplikasi
rinosinusitis kronik tanpa polip nasi
dibedakan menjadi komplikasi orbita,

a)
b)
c)
d)
e)

oseus/tulang,
endokranial
dan
1
komplikasi lainnya.
129.1.
Komplikasi orbita :
a) Selulitis periorbita
b) Selulitis orbita
c) Abses
subperiosteal
d) Abses orbita
129.2.
Komplikasi
oseus/tulang : Osteomielitis
(maksila dan frontal)
129.3.
Komplikasi
endokranial:
Abses epidural / subdural
Abses otak
Meningitis
Serebritis
Trombosis sinus kavernosus
129.4.
Komplikasi lain yang
sangat jarang terjadi : abses
glandula lakrimalis, perforasi
septum
nasi,
hilangnya
lapangan
pandang,
mukokel/mukopiokel,
septikemia.
ck.
cl.
cp.
cq.
cr.
cs.
ct. DAFTAR PUSTAKA

cm.
cn. RINGKASAN
co.
Rinosinusitis
kronik
tanpa polip nasi pada orang
dewasa merupakan salah satu
masalah kesehatan yang sering
didapatkan dan memberikan
dampak bagi kualitas hidup
penderita.
Patofisiologi
rinosinusitis kronik tanpa polip
nasi pada orang dewasa bersifat
multifaktorial
dan
faktor
predisposisi terjadinya dapat
dibedakan
menjadi
faktor
fisiologik/genetik,
faktor
lingkungan
dan
faktor
struktural. Diagnosis ditetapkan
berdasarkan kombinasi kriteria
obyektif dan subyektif serta
ditunjang oleh pemeriksaan
endoskopi nasal dan CT-scan
(bila diperlukan). Modalitas
terapi rinosinusitis kronik tanpa
polip nasi pada orang dewasa
dibedakan
menjadi
terapi
medikamentosa dan terapi
pembedahan.

1. Fokkens W, Lund V, Mullol J, et al.


European
position
paper
on
rhinosinusitis and nasal polyps.
Rhinology, 2007; 45(suppl 20): 1139.
2. Busquets
JM,
Hwang
PH.
Nonpolypoid
rhinosinusitis:
Classification,
diagnosis
and
treatment. In Bailey BJ, Johnson JT,
Newlands SD, eds. Head & Neck
Surgery Otolaryngology. 4th ed. Vol
1. Philadelphia: Lippincott Williams
& Wilkins, 2006; 406-416.
3. Jr File. Sinusitis: Epidemiology. In
Brook I, eds. Sinusitis from
microbiology to management. New
York: Taylor & Francis,2006; 1-13.
4. Lund VJ. Impact of chronic
rhinosinusitis on quality of life and
health care expenditure. In Hamilos

DL, Baroody FM, eds. Chronis


rhinosinusitis
pathogenesis
and
medical management. New York:
Informa,2007; 15-21.
Gosepath J, Mann WJ. Current
concepts in therapy of chronic
rhinosinusitis and nasal polyposis.
ORL,2005; 67: 125-136.
NN. Sinusitis termasuk penyakit
mahal. Waspada Online.2007 Agustus
9.
http://www.waspada.co.id.
Accessed at 20th September 2008.
Clement PAR. Classification of
rhinosinusitis. In Brook I, eds.
Sinusitis from microbiology to
management. New York: Taylor &
Francis, 2006; 15-34.
Pawankar R, Nonaka M, Yamagishi
S,
et
al.
Pathophysiologic
mechanisms of chronic rhinosinusitis.

5.

6.

7.

8.

9.

10.
11.

12.

13.

14.

15.

16.

Immunol Allergy Clin N Am, 2004;


24:75-85.
Kentjono WA. Rinosinusitis: etiologi
dan patofisiologi. In Mulyarjo,
Soedjak S, Kentjono WA, Harmadji
S, JPB Herawati S, eds. Naskah
lengkap
perkembangan
terkini
diagnosis
dan
penatalaksanaan
rinosinusitis. Surabaya: Dep./SMF
THT-KL Univ.Airlangga,2004; 1-16.
Osguthorpe JD. Adult rhinosinusitis :
diagnosis and management. American
Family Physician, 2001; 63:69-74.
Hamilos DL. Chronic rhinosinusitis
pattern of illness. In Hamilos DL,
Baroody
FM,
eds.
Chronis
rhinosinusitis
pathogenesis
and
medical management. New York:
Informa, 2007;1-12.
Shah DR, Salamone FN, Tami TA.
Acute & chronic rhinosinusitis. In
Lalwani AK, eds. Current diagnosis
and treatment in otolaryngology
head and neck surgery. New York: Mc
Graw Hill, 2008; 273-281.
Hamilos DL. Chronic sinusitis.
Current reviews of allergy and
clinical immunology, 2000; 106: 213226.
Jackman
AH,
Kennedy
DW.
Pathophysiology of sinusitis.In Brook
I, eds. Sinusitis from microbiology to
management. New York: Taylor &
Francis, 2006;109-129.
Ferguson BJ, Johnson JT. Chronic
sinusitis. In Cummings CW, Flint
PW,et
al
eds.
Cummings:
otolaryngology - head & neck
surgery. 4th ed. Philadelphia: Elsevier
Mosby, 2005; 1-4.
Naclerio RM, Gungor A. Etiologic
factors in inflammatory sinus disease.
In Kennedy DW, Bolger WE,
Zinreich SJ, eds. Diseases of the
sinuses diagnosis and management.
Hamilton: BC Decker Inc, 2001;4753.

17. Bernstein JM. Chronic rhinosinusitis


with and without nasal polyposis. In
Brook I, eds. Sinusitis from
microbiology to management. New
York: Taylor & Francis, 2006;371398.
18. Mulyarjo.
Diagnosis
klinik
rinosinusitis. In Mulyarjo, Soedjak S,
Kentjono WA, Harmadji S, JPB
Herawati S, eds. Naskah lengkap
perkembangan terkini diagnosis dan
penatalaksanaan
rinosinusitis.
Surabaya:
Dep./SMF
THT-KL
Univ.Airlangga,2004; 17-23.
19. Farina D, Tomenzoli D, et al.
Inflammatory lessions. In Leuven
ALB, Heidelberg KS, eds. Imaging in
treatment planning for sinonasal
diseases. New York : Springer, 2005;
68.
20. Mulyarjo. Terapi medikamentosa
pada rinosinusitis. In Mulyarjo,
Soedjak S, Kentjono WA, Harmadji
S, JPB Herawati S, eds. Naskah
lengkap
perkembangan
terkini
diagnosis
dan
penatalaksanaan
rinosinusitis. Surabaya: Dep./SMF
THT-KL Univ.Airlangga,2004; 59-65.
21. Clerico DM. Medical treatment of
chronic sinus disease. In Kennedy
DW, Bolger WE, Zinreich SJ, eds.
Diseases of the sinuses diagnosis and
management. Hamilton: BC Decker
Inc,2001;155-165.
22. Chiu AG, Becker DG. Medical
management
of
chronic
rhinosinusitis. In Brook I, eds.
Sinusitis from microbiology to
management. New York: Taylor &
Francis, 2006; 219-229.
23. Siswantoro. Tatalaksana bedah pada
rinosinusitis. In Mulyarjo, Soedjak S,
Kentjono WA, Harmadji S, JPB
Herawati S, eds. Naskah lengkap
perkembangan terkini diagnosis dan
penatalaksanaan
rinosinusitis.
Surabaya:
Dep./SMF
THT-KL
Univ.Airlangga,2004; 67-74.

24.

Anda mungkin juga menyukai