SEJARAH
SEJARAH
Selaras dengan renaissance IPNU, juga karena pertimbangan the lost generation
(terputusnya kader ) selama lebih kurang 15 tahun lalu dari lembaga pendidikan tersebut.
Termasuk untuk penataan kader-kader NU di berbagai tempat itu. Hal ini penting, untuk
masa depan, demi pengembangan dan pembaharuan warga NU sebagai kader khalifah
organisasi NU sendiri. Khittah NU 1926 bagi IPNU berfungsi dalam konteks ini dan era
pasca transisi menuju demokrasi negeri ini.
Arus deras globalisasi merupakan kenyataan yang harus dihadapi dan tidak dapat
dielakkan. Baik dalam wacana global (baca: konsep, pemikiran) ataupun ilmu
pengetahuan, teknologi dan informasi. Keberadaan IPNU jika tidak ingin ditinggal dunia
global pun demikian. Maka, ini adalah tantangan lain yang mesti dipecahkan bersama
dengan warga dunia lainya. Rincianya, antara lain terwujud nilai-nilai universal, seperti
kebebasan berpendapat, menghormati kemajemukan, berfikir dan bertindak inklusif
(mengakui kelompok lain dan bersedia bekerja sama), demokratisasi dan seterusnya.
Semua itu, jika tidak mampu diterima dan dijalankan, dapat pula sebagai tantangan
IPNU.
Sebenarnya, untuk menghadapi dunia global tersebut, IPNU sebagai organisasi
berhaluan ahlusunnah wal jamaah (Aswaja), telah mempunyai nilai-nilai dasar untuk hal
tersebut. Seperti lima prinsip dasar Aswaja (asal al khomsah); tasamuh (toleransi)
tawasuth (tengah-tengah) tawazun (seimbang) dan Itidal (konsisten). IPNU,
sebagaimana NU penting untuk memegang dan mengendalikan prinsip tersebut,
khususnya dalam menghadapi globalisasi dalam segala bentuknya.
Dengan demikian, diharapkan pendirian IPNU di berbagai komisariat, baik yang
sebelumnya sudah ada lalu mati, atau belum pernah ada, dapat mengembalikan jati diri
perjuanganya (khittah) secara pas, sehingga dapat meneruskan garis perjuangan NU,
dengan menjadi lokomotif kehidupan demokrasi bagi masyarakat, bangsa dan negara
Indonesia. Khususnya, bagi kemunculan kader-kader NU diberbagai tempat yang secara
cultural (kebiasaan beribadah) menggunakan tradisi NU. Sekaligus, dapat menjadi kader
yang dapat mengantisipasi perkembanganya zamanya.
biasanya hanya para pengurus yang duduk di struktur IPNU. Karena itu, kader cultural
leboh memilih aktif di tempat-tempat yang seringkali sesuai dengan potensi, kemampuan
yang dimilikinya. Umpamanya, aktif diskusi diberbagai kelompok diskusi sekolah,
mushola, aktif diperkumpulan remaja masjid, aktif di pramuka, OSIS, KIR (Kelompok
Ilmiah Remaja), PMR, Pencak Silat, PII, dll.
Kegiatan-kegiatan yang disebut tadi, dalam tubuh IPNU selama ini, seringkali
ditinggalkan dan dijauhi, jika tidak dimasukkan dalam program IPNU. Namun demikian,
hal itu bukan semata-mata kesalahan IPNU secara organisatoris saja. Tapi juga, karena
telah munculnya Undang-Undang pemerintahan yang dianggap telah memasung
kreatifitas para siswa, dan remaja pada umumnya, untuk tidak aktif pada organisasi yang
tidak bentukan pemerintah seperti, OSIS, Senat , Karang Taruna, Pramuka dll. Maka,
kader kutural mengambil posisi untuk tidak aktif dalam organisasi formal terebut,
termasuk IPNU di dalamnya.
Zaman telah berubah dengan cepat di Indonesia ini. Pemerintah yang telah
memasung kreativitas masyarakat selama 30-an tahun lebih telah berakhir, lalu muncul
presiden RI ke 4, KH Abdurrahman Wahid, mantan ketua Umum PBNU, yang
memberikan kebebasan masyarakatnya, juga telah dipaksa mundur. Terlepas dari
kepentingan politik kelompok, semua itu kerena bangsa ini masih dalam masa transisi
atau lebih enak disebut era reformasi.
Menyemangati positive thingking kondisi tersebut, maka pimpinan pusat IPNU
periode 2003-2006 atau era khittah IPNU 1954, telah berketetapan hati untuk menjadi
IPNU sebagai organisasi kader yang sebenarnya. Maksudnya, coba menggali dan
mengembangkan warga NU yang muda-muda untuk berkiprah di IPNU sesuai dengan
kemampuanya, dan IPNU telah menyiapkan wadahnya. Misalnya, bagi para siswa yang
inggin aktif di kepanduan (baca: pramuka) IPNU, Kepalangmerahan IPNU, KIR IPNU,
dapat masuk dalam wadah CBP (Corp Brigade Pembangunan) sebagai lembaga semi
otonom IPNU yang mengembangkan potensi warga NU sesuai dengan kualitas dan
keinginan untuk ahli dalam bidang-bidang tertentu. Sementara itu IPNU sendiri menjadi
wadah berhimpun semua komponen yang ada, tidak membeda-bedakan kemampuanya.
Adapun pengembangan IPNU secara organisasi melalui pembentukan komisariat,
dapat juga memberikan kesempatan pada semua lembaga pendidikan dan pesantren milik
NU untuk menjadikan IPNU sebagai organissi resmi dalam lembaga itu. Sekalipun, tidak
menutup kemungkinan untuk didirikanya IPNU di luar lembaga tersebut, seperti SMU
Negeri, MA Negeri.
Dengan program dan orentasi IPNU yang demikian, bukan berarti menafikan
adanya kader cultural untuk menghilangkanya. Justru, sebaliknya, yaitu antara kader
cultural dan structural tidak adanya saling bersitegang dan saling menyalahkan.
Diharapkan, dapat menjadi sinergi antara dua kader tersebut. Ikhtiar IPNU, melalui
mengembalikan IPNU sebagai organisasi kader formal NU, kiranya dapat terwujud
dengan baik. Sehingga, tidak ada lagi kesan IPNU eksklusif atau pengurus IPNU yang
elitis, dan kurang bersentuhan dengan keinginan warganya.
Jika demikan halnya, maka soal apakah system pengkaderan IPNU masih relevan
atau tidak, dapat dilihat setelah pelaksanaan khittah IPNU tersebut. Begitu juga dengan
para aktivis IPNU, dituntut untuk selalu dekat dengan masyarakatnya. Jadi,
mengembalikan IPNU pada khittahnya, sama dengan menjadikan IPNU jauh dari
negative thingking yang selama ini ditujukan pada IPNU, termasuk para aktivisnya.
Termasuk dengan pembentukan komisariat-komisariat IPNU di lembaga pendidikan
pesantren.
Dengan membentuk komisariat IPNU di tempat startegis itu, ditinjau dari
pembentukan masyakat warga (civic society) yang demokratis, adil, dan beradab, maka
IPNU telah meletakakn sendi-sendi masyarakat yang benar-benar tepat. Seperti, tidak
memaksakan kehendak dan bebas menentukan pilihanya. Apalagi, NU adalah entitas
(bagian dari lingkungan) civil islam dan civil society yang cukup signifikan
(menentukan) di Indonesia, saat ini.
Sekali lagi, IPNU adalah organisasi kader NU. Apakah memilih menjadi kader
kultufral atau structural, adalah hak setiap warga NU. Tapi, akan lebih efektif bila
dilakukan secara kolektif dan organisasional sebagaimana yang tengah berjalan selama
ini. Karena itu, auto kritik dan korelasi kontruksi internal bagi IPNU sangat penting.
Akhirnya, berkhidmat dengan IPNU sama dengan khidmat dengan NU. Mencintai
IPNU juga berarti mencintai NU. Saat ini masuk di IPNU, besok masuk di NU. Dulu
kader cultural, tiba saatnya menjadi kader structural. Semua itu, tentu demi tegaknya
islam (aswaja yang dipegangi NU) dan masa depan pemimpin bangsa in Indonesia yang
tercerahkan.
Diharapkan, dengan paparan diatas, IPNU telah menanam banih dan tunas-tunas
kader. Karena itu, semoga benar-benar menjadi kader yang handal dan mumpuni.
SUSUNAN PENGURUS
IKATAN PELAJAR NAHDLATUL ULAMA (IPNU)
KOMISARIAT YPP. DARUL MAARIF
MASA KHIDMAT 2010 2011
Pelindung
Pembina
Ketua
Wakil Ketua
Sekretaris
Wakil Sekretaris
Bendahara
Wakil Bendahara
Departemen-Departemen :
1. Pengembangan Kader dan Organisasi
2. Minat dan Bakat
3. Hubungan Masyarakat ( HUMAS )
4. Keagamaan
5. Penelitian dan Pengembangan ( LITBANG )
6. Departemen Pers dan Penerbitan