Anda di halaman 1dari 20

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
1. Definisi ISPA
Infeksi Saluran Pernafasan Akut, disingkat ISPA, merupakan infeksi
saluran pernafasan yang bersifat akut yang mengenai sistem pernafasan
bagian atas dan bawah. Penyakit infeksi akut yang menyerang salah satu atau
lebih bagian dari saluran nafas mulai dari hidung (saluran nafas bagian atas)
hingga jaringan di dalam paru-paru (saluran bagian bawah).1,2,8
Istilah ISPA meliputi tiga unsur yakni infeksi, saluran pernafasan, dan
akut, dimana pengertiannya adalah sebagai berikut:
1) Infeksi
Adalah masuknya kuman atau mikroorganisme ke dalam tubuh manusia
dan berkembang biak sehingga menimbulkan gejala penyakit.
2) Saluran pernafasan
Yang dimaksud dengan saluran pernafasan adalah organ mulai dari
hidung sampai alveoli, termasuk adneksanya yaitu sinus, rongga telinga
tengah, dan pleura.
3) Akut
Adalah infeksi yang berlangsung sampai dengan 14 hari. Batas 14 hari
diambil untuk menunjukkan proses akut.9
2. Definisi Pneumonia
Pneumonia adalah penyakit infeksi akut yang mengenai jaringan paru
(alveoli)

yang

disebabkan

terutama

oleh

bakteri

dan

merupakan

penyakit saluran pernafasan akut yang sering menyebabkan kematian.


Penyebab p neumonia adalah infeksi bakteri, virus maupun jamur. Pneumonia
mengakibatkan jaringan paru mengalami peradangan. Pada penderita
pneumonia, alveoli terisi nanah dan cairan menyebabkan kesulitan
penyerapan oksigen sehingga terjadi kesulitan bernafas. Anak dengan
pneumonia menyebabkan kemampuan paru mengembang berkurang sehingga
tubuh bereaksi dengan bernafas cepat agar tidak terjadi hipoksia. Apabila
pneumonia bertambah parah, paru akan menjadi kaku dan timbul tarikan
dinding bawah ke dalam. Anak dengan pneumonia dapat meninggal karena
hipoksia dan sepsis. Akibatnya kemampuan paru untuk menyerap oksigen
menjadi berkurang. Kekurangan oksigen membuat sel sel tidak bisa
bekerja.1,2,10
5

Infeksi pernafasan akut yang berlanjut dapat menjadi pneumonia dimana


sering terjadi pada balita terutama apabila mengalami gizi kurang atau gizi
buruk dan dikombinasi dengan keadaan lingkungan yang tidak higienis.8
3. Klasifikasi ISPA dan Pneumonia
Program Pemberantasan Penyakit (P2) ISPA membagi penyakit ISPA
dalam 2 golongan yaitu pneumonia dan bukan pneumonia. Pneumonia
dibagi atas derajat beratnya yaitu pneumonia berat dan pneumonia tidak
berat. Penyakit batuk pilek seperti rinitis, faringitis, tonsilitis, dan penyakit
jalan napas bagian atas lainnya digolongkan sebagai bukan pneumonia.
Etiologi dari sebagian besar penyakit jalan napas bagian atas ini ialah virus
dan tidak dibutuhkan terapi antibiotik. Faringitis oleh kuman Streptococcus
jarang ditemukan pada Balita. Bila ditemukan harus diobati dengan
antibiotik

penisilin.

Semua

radang

telinga

akut

harus

mendapat

antibiotik.8,10,11
Klasifikasi berdasarkan frekuensi nafas, tarikan dinding dada bagian
bawah, bunyi nafas (stridor):8
a)

Pneumonia
Batuk, demam lebih dari 380 C disertai sesak nafas. Frekuensi nafas
lebih dari 40 x / menit, ada tarikan dinding dada bagian bawah.

Pada auskultasi didapati bunyi stridor pada paru


b) Non Pneumonia
Bila bayi dan Balita batuk, demam 380 C tidak disertai nafas cepat
lebih dari 40 x / menit, tidak ada tarikan dinding dada bagian bawah
dan tidak ada bunyi stridor pada paru
Tabel 2.1. Frekuensi Nafas Sesuai Umur
No

Umur

Nafas Normal

Nafas Cepat (tachypnoe)

0 2 bulan

30 50 x / menit

60 x / menit

2 12 bulan

25 40 x / menit

50 x / menit

1 5 tahun

20 30 x / menit

40 / menit

Sumber: Pedoman Perhitungan Frekuensi Nafas 11

Program P2ISPA mengklasifikasi penderita keadaan ke dalam 2

kelompok usia: dibawah 2 bulan (Pneumonia berat dan bukan


Pneumonia). Usia 2 bulan sampai kurang dari 5 tahun menjadi pneumonia
berat dengan tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam, pneumonia
dan bukan pneumonia.
Tabel 2.2. Klasifikasi ISPA menurut kelompok umur 10,11
Kelompok
Umur

Kriteria
Batuk bukan pneumonia

2 bulan
<5 tahun

Pneumonia
Pneumonia berat
Bukan pneumonia

< 2 bulan
Pneumonia berat

Gejala Klinis
Tidak ada napas cepat dan tidak ada
tarikan dinding dada bagian bawah
Adanya nafas cepat dan tidak ada
tarikan dinding dada bagian bawah ke
dalam
Adanya tarikan dinding dada bagian
bawah ke dalam
Tidak ada napas cepat dan tidak ada
tarikan dinding dada bagian bawah ke
dalam yang kuat
Adanya napas cepat dan tarikan
dinding dada bagian bawah ke dalam
yang kuat

4. Patogenesis
Terjadinya kuman yang masuk bersama sekret bronkus ke dalam alveoli
menyebabkan reaksi radang berupa sembab seluruh alveoli yang terkena
disusul dengan infiltrasi sel-sel radang. Sebagai awal pertahanan tubuh,
terjadi fagositosis kuman penyakit oleh sel-sel radang melalui proses
psedopisitoplasmik yang mengelilingi dan memfagosit bakteri tersebut.12
Pada waktu terjadi proses infeksi, akan tampak empat zona pada
daerah peradangan tersebut, adapun zona tersebut adalah sebagai berikut:

1. Zona luar
Alveoli yang terisi kuman pneumokokus (Streptococcus pneumonia) dan
cairan sembab.
2. Zona permukaan konsolidasi
Terdiri dari PMN dan beberapa eksudasi sel darah merah.
3. Zona konsolidasi yang luas

Daerah terjadinya fagositosis, yang aktif dengan jumlah PMN yang


banyak.
4. Zona resolusi
Daerah terjadinya resolusi dengn banyak bakteri yang mati, leukosit dan
makrofag alveolar. 16

5. Gambaran Klinis
Gambar 2.1. Patogenesis Pneumonia12
Sebagian besar gambaran klinis pneumonia anakbalita berkisar antara
ringan sampai sedang hingga dapat berobat jalan saja. Hanya sebagian kecil
berupa penyakit berat mengancam kehidupan dan perlu rawat-inap. Secara
umum gambaran klinis pneumonia diklasifikasi menjadi 2 kelompok.
Pertama, gejala umum misalnya demam, sakit kepala, maleise, nafsu makan
kurang, gejala gastrointestinal seperti mual, muntah dan diare. Kedua, gejala
respiratorik seperti batuk, napas cepat (tachypnoe/ fast breathing), napas
sesak (retraksi dada/chest indrawing), napas cuping hidung, air hunger dan
sianosis. Hipoksia merupakan tanda klinis pneumonia berat. Anak pneumonia
dengan hipoksemia 5 kali lebih sering meninggal dibandingkan dengan
pneumonia tanpa hipoksemia. Pada foto thorak menunjukkan infiltrasi
melebar.8,10,12
6. Cara Penularan Penyakit Pneumonia
Pada umumnya pneumonia termasuk kedalam penyakit menular yang
ditularkan melalui udara. Sumber penularan adalah penderita pneumonia yang
menyebarkan kuman ke udara pada saat batuk atau bersin dalam bentuk
droplet. Inhalasi merupakan cara terpenting masuknya kuman penyebab
pneumonia kedalam saluran pernapasan yaitu bersama udara yang dihirup, di
samping itu terdapat juga cara penularan langsung yaitu melalui percikan
droplet yang dikeluarkan oleh penderita saat batuk, bersin dan berbicara
kepada orang di sekitar penderita, transmisi langsung dapat juga melalui
ciuman, memegang dan menggunakan benda yang telah terkena sekresi
saluran pernapasan penderita.1,11

10

7. Sumber dan Penyebab Terjadinya Pneumonia


Sebagian besar penyebab pneumonia adalah mikroorganisme (virus,
bakteri dan sebagian kecil oleh penyebab lain hidrokarbon (minyak
tanah, bensin, atau sejenisnya) dan masuknya makanan, minuman, susu, isi
lambung kedalam saluran pernafasan. Berbagai penyebab pneumonia
tersebut dikelompokkan berdasarkan golongan umur, berat ringannya
penyakit dan penyakit yang menyertainya.10
Penyebab Pneumonia adalah sebagai berikut : 1,12
1) Mikroorganisme
Mikroorganisme paling sering sebagai penyebab pneumonia adalah
virus, terutama Respiratory Synsial Virus (RSV) yang mencapai 40%.
Golongan

bakteri

yang ikut

berperan

terutama

Streptococcus

pneumonia dan Haemofillus influenza type B (HIB). Awalnya


mikroorganisme masuk ke dalam percikan ludah (droplet) kemudian
terjadi penyebaran mikroorganisme dari saluran nafas bagian atas
jaringan (parenkim paru) dan sebagian lagi karena penyebaran melalui
aliran darah.1
Tabel 2.3. Etiologi Pneumonia berdasarkan Usia 1,13
Umur
Neonatus

Bakteri Patogen
E. Coli, Streptococcus group B, Listeria
monocytogenes

1-3 bulan

Klebsiella sp, Enterobacteriaceae


Chlamydia trachomatis

Usia prasekolah

Chlamydia pneumoniae, Mycoplasma pneumoniae


Haemophillus influenzae B, Streptococcus
pneumoniae

Usia sekolah

Staphylococcus aureus
Chlamydia pneumoniae, Mycoplasma pneumoniae
Streptococcus pneumoniae

2) Faktor intrinsik

11

Faktor intrinsik yang dapat meningkatkan risiko kejadian dan risiko


kematian akibat pneumonia pada balita adalah:

a. Umur
Umur mempengaruhi mekanisme pertahanan tubuh seseorang.
Bayi dan Balita mempunyai mekanisme pertahanan tubuh yang
masih lemah dibanding dengan orang dewasa sehingga Balita
masuk ke dalam kelompok yang rawan terkena infeksi, misalnya
diare, ISPA dan pneumonia.
b. Status gizi
Status gizi sangat berpengaruh terhadap daya tahan tubuh.
Balita yang mempunyai status gizi baik maka akan mempunyai
daya tahan tubuh yang lebih baik dibandingkan dengan anak yang
mempunyai status gizi kurang maupun buruk. Keadaan gizi yang
buruk

muncul sebagai bagian dari faktor risiko kejadian

pneumonia.8
c. Status imunisasi
Cakupan imunisasi

akan

berperan

besar

dalam

upaya

pemberantasan pneumonia. Cara yang paling efektif saat ini


adalah dengan pemberian imunisasi DPT (Difteri, Pertusis, dan
Tetanus) dan Campak. Pemberian imunisasi Campak dapat
mencegah kematian pneumonia sekitar 11%, sedangkan imunisasi
DPT dapat mencegah kematian pneumonia sekitar 6%.8
d. Jenis kelamin
Di dalam buku pedoman P2 ISPA, disebutkan bahwa anak lakilaki adalah faktor risiko yang mempengaruhi kesakitan pneumonia.
Penelitian di Srilanka memperlihatkan bahwa balita berjenis
kelamin laki-laki mempunyai risiko 2,19 kali lebih tinggi
dibandingkan perempuan. Menurut penelitian yang dilakukan oleh
Koblinski

(1997)

bahwa

sesungguhnya

anak

perempuan

mempunyai kebutuhan biologis dan pada lingkungan yang


optimal mempunyai keuntungan yang diperkirakan sebesar 0,151
kali lebih di atas anak laki laki dalam hal tingkat kematian.14

12

e. ASI eksklusif
Kolustrum mengandung zat kekebalan 1017 kali lebih banyak
dari susu buatan. Zat kekebalan pada ASI melindungi bayi dari
diare, alergi dan infeksi saluran nafas terutama pneumonia. Bayi
yang diberi ASI eksklusif akan lebih sehat dan jarang sakit
dibandingkan dengan bayi yang tidak mendapat ASI ekslusif.8
f. Defisiensi vitamin A
Pada kasus kekurangan vitamin A, fungsi kekebalan tubuh
menurun sehingga m udah terserang infeksi. Lapisan sel yang
menutupi trakea dan paru mengalami keratinisasi sehingga mudah
dimasuki oleh kuman dan virus yang menyebabkan infeksi saluran
nafas terutama pneumonia.14
g. Berat badan lahir rendah ( BBLR )
Berat badan lahir rendah menentukan pertumbuhan dan
perkembangan fisik dan mental pada masa Balita. Bayi dengan
BBLR

mempunyai

risiko

kematian

yang

lebih

besar

dibandingkan dengan bayi dengan berat lahir normal terutama


pada bulanbulan pertama kelahiran karena pembentukan zat
kekebalan kurang sempurna

sehingga lebih mudah terkena

penyakit infeksi terutama pneumonia dan

infeksi saluran

pernafasan lainnya.14
3) Faktor ektrinsik
Faktor ektrinsik yang dapat meningkatkan risiko kejadian dan
risiko kematian akibat pneumonia pada balita adalah:
a. Kondisi fisik rumah
Kondisi

rumah

yang

berhubungan

dengan

kejadian

pneumonia:
1. Kelembaban
Kelembaban adalah banyaknya uap air yang terkandung
dalam udara yang biasanya dinyatakan dalam persen.
Faktorfaktor kelembaban udara meliputi :
a) Dinding
Air hujan masuk dan meresap melalui poripori

13

dinding sehingga akan mengakibatkan kelembaban


udara dalam ruangan.
b ) Iklim dan Cuaca
Kelembaban udara secara menyeluruh dipengaruhi
oleh iklim dan cuaca.
Syaratsyarat

kelembaban

yang

memenuhi

standar

kesehatan adalah sebagai berikut:


a) Lantai dan dinding harus kering
b) Kelembaban udara berkisar antara 40% sampai 70%
Keterkaitan

antara

kelembaban

dan

penyakit

pneumonia adalah saling berpengaruh terhadap


kejadian pneumonia. Kelembaban ini sangat erat
kaitannya dengan pertumbuhan etiologi pneumonia
yang berupa virus, bakteri dan jamur. Faktor etiologi
tersebut dapat tumbuh dengan baik jika kondisi
optimal. Penghuni ruangan biasanya akan mudah
menderita sakit infeksi saluran nafas karena situasi
tersebut.8
2. Ventilasi
Ventilasi adalah proses penyediaan udara segar dan
pengeluaran udara kotor secara alamiah atau mekanis harus
cukup.

Berdasarkan

keputusan

menteri

Kesehatan

No.829/Menkes/SK/VII/1999 tentang persyaratan kesehatan


perumahan, luas penghawaan atau ventilasi alamiah yang
permanen minimal 10% dari luas lantai.
Pada penelitian Herman (2002), diketahui bahwa balita yang
tinggal di rumah dengan ventilasi yang tidak sehat akan
memiliki risiko 4,2 kali lebih besar untuk terkena pneumonia
dibandingkan yang tinggal di rumah dengan ventilasi sehat.
3. Kepadatan Hunian
Kepadatan hunian adalah banyaknya penghuni yang tinggal
di

dalam

rumah

dibandingkan

dengan

luas

ruangan.

14

Berdasarkan

keputusan

829/Menkes/SK/VII/1999

menteri

Kesehatan

RI

No.

tentang persyaratan kesehatan

perumahan, luas ruang tidur minimal 8 meter, dan tidak


dianjurkan digunakan lebih dari 2 orang tidur dalam satu
ruangan tidur kecuali anak umur dibawah 5 tahun.
Foster menjelaskan bahwa kepadatan orang dalam rumah
berhubungan dengan kejadian pneumonia pada balita. Herman
(2002) juga mendapatkan hubungan yang bermakna antara
kepadatan hunian dengan insidens pneumonia.8
4. Polusi Udara
Pencemaran udara yang terjadi di dalam rumah umumnya
disebabkan oleh polusi di dalam dapur. Asap dari bahan bakar
kayu merupakan faktor risiko terhadap kejadian pneumonia
pada balita. Polusi udara di dalam rumah juga dapat disebabkan
oleh karena asap rokok, kompor gas, alat pemanas ruangan dan
juga akibat pembakaran yang tidak sempurna dari kendaraan
bermotor. Anak-anak yang lebih sering berada di dapur atau
kamar tidur yang berdekatan dengan dapur lebih berisiko untuk
mengalami gangguan pernapasan.8
Hasil penelitian menunjukkan bahwa balita yang terpajan
asap pembakaran berisiko 1,27 kali lebih besar untuk terkena
pneumonia dibandingkan dengan yang tidak terpajan. Selain
itu, balita dengan adanya perokok di dalam rumah berisiko 2,9
kali lebih besar untuk terkena pneumonia.15
b. Pendidikan ibu
Pendidikan ibu mempunyai pengaruh besar dalam tumbuh
kembang bayi dan Balita, karena pada umumnya pola asuh anak di
tentukan oleh ibu. Tingginya mortalitas dan morbiditas pneumonia
lebih disebabkan oleh kurangnya informasi dan pemahaman yang
diperoleh dari seorang ibu.8
c. Tingkat jangkauan pelayanan kesehatan yang rendah
Rendahnya tingkat jangkauan pelayanaan kesehatan sangat

15

mempengaruhi risiko morbiditas dan mortalitas pneumonia,


karena akan terlambat memperoleh diagnosa sehingga akan
mempengaruhi upaya pertolongan yang dibutuhkan.8
8. Pemeriksaan Penunjang Pneumonia
1) Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan darah pada pneumonia umumnya didapatkan
Lekositosis hingga > 15.000/mm3 seringkali dijumpai dengan
dominasi netrofil pada hitung jenis. Lekosit > 30.000/mm3 dengan
dominasi

netrofil

Trombositosis

>

mengarah
500.000

khas

ke

pneumonia

untuk

streptokokus.

pneumonia

bakterial.

Trombositopenia lebih mengarah kepada infeksi virus. Biakan darah


merupakan cara yang spesifik namun hanya positif pada 10-15%
kasus terutama pada anak- anak kecil.1,13
2) Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan radiologis
Foto rontgen toraks pada pneumonia ringan tidak rutin
dilakukan, hanya direkomendasikan pada pneumonia berat yang
dirawat. Kelainan foto rontgen toraks pada pneumonia tidak selalu
berhubungan dengan gambaran klinis. Umumnya pemeriksaan
yang diperlukan untuk menunjang diagnosis pneumonia hanyalah
pemeriksaan posisi AP. Lynch dkk mendapatkan bahwa tambahan
posisi lateral pada foto rontgen toraks tidak meningkatkan
sensitivitas dan spesifisitas penegakkan diagnosis. Pemeriksaan
foto dada follow up hanya dilakukan bila didapatkan adanya kolaps
lobus, kecurigaan terjadinya komplikasi, pneumonia berat, gejala
yang menetap atau memburuk, atau tidak respon terhadap
antibiotic. Pemeriksaan foto dada tidak dapat mengidentifikasi agen
penyebab.1,16

16

Gambar 2.2. Foto toraks PA pada


pneumonia lobaris: tampak bercak-bercak
infiltrat pada paru kanan 17

Gambar 2.3. Foto toraks PA pada


bronkopneumonia 17

Secara umum gambaran foto toraks terdiri dari:


-

Infiltrat

interstisial,

ditandai

dengan

peningkatan

bronkovaskular, peribronchial cuffing dan hiperaerasi

corakan

17

Infiltrat

alveolar,

merupakan

konsolidasi

paru

dengan

air

bronchogram. Konsolidasi dapat mengenai satu lobus disebut dengan


pneumonia lobaris atau terlihat sebagai lesi tunggal yang biasanya
cukup besar, berbentuk sferis, berbatas yang tidak terlalu tegas dan
menyerupai lesi tumor paru disebut sebagai round pneumonia
-

Bronkopneumonia ditandai dengan gambaran difus merata pada kedua


paru berupa bercak-bercak infiltrat yang dapat meluas hingga daerah
perifer paru disertai dengan peningkatan corakan peribronkial.1,17

2. C-Reactive Protein
Adalah suatu protein fase akut yang disintesis oleh hepatosit. Sebagai
respon infeksi atau inflamasi jaringan, produksi CRP distimulai oleh
sitokin, terutama interleukin 6 (IL-6), IL-1 dan tumor necrosis factor
(TNF). Secara klinis CRP digunakan sebagai diagnostik untuk
membedakan antara faktor infeksi dan non infeksi, infeksi virus dan
bakteri, atau infeksi superfisialis dan profunda. Kadar CRP biasanya lebih
rendah pada infeksi virus dan bakteri. CRP kadang-kadang digunakan
untuk evaluasi respon terapi antibiotik.17
3. Uji Serologis
Uji serologis digunakan untuk mendeteksi antigen dan antibodi pada
infeksi bakteri atipik. Peningkatan IgM dan IgG dapat mengkonfirmasi
diagnosis.17
4. Pemeriksaan mikrobiologi
Pemeriksaan ini untuk diagnosis pneumonia anak tidak rutin dilakukan
kecuali pada pneumonia berat yang dirawat di Rumah Sakit. Untuk
pemeriksaan mikrobiolgik, spesimen dapat berasal dari usap tenggorok,
sekret nasofaring, bilasan bronkus, darah, pungsi pleura, atau aspirasi
paru. Diagnosis dikatakan definitif bila kuman ditemukan dari darah,
cairan pleura, atau aspirasi paru. Kecuali pada masa neonatus, kejadian
bakterimia sangat rendah sehingga kultur darah jarang yang positif. Pada
pneumonia anak dilaporkan hanya 10-30% ditemukan bakteri pada kultur
darah.17

18

5. Acute Respiratory Infection Soundtimer (ARI Soundtimer). Digunakan


untuk menghitung frekuensi napas dalam 1 menit. Alat ini memiliki masa
pakai maksimal 2 tahun (10.000 kali pemakaian).18
6. Oksimeter denyut (Pulseoxymetry), yaitu sebagai alat pengukur saturasi
oksigen dalam darah diperuntukan bagi fasilitas pelayanan kesehatan
yang memiliki oksigen konsentrator.
9.

Komplikasi

Pneumonia bisa menyebabkan kematian pada bayi dan anak balita.


Pneumonia sering kali dimulai dengan batuk pilek biasa, tetapi karena
daya tahan tubuh anak lemah, hygiene sanitasinya rendah dan terlambat
mendapatan pertolongan maka resiko kematian akibat pneumonia menjadi
meningkat.1,8
10. Penanggulangan Pneumonia
1. Tatalaksana Umum
Pasien dengan saturasi oksigen 92% pada saat bernapas dengan udara
kamar harus diberikan terapi oksigen dengan nasal kanul, head box, atau
sungkup untuk mempertahankan saturasi oksigen > 92%
a. Pada pneumonia berat atau asupan per oral kurang, diberikan cairan
intravena dan dilakukan balans cairan ketat.
b. Fisioterapi dada tidak bermanfaat dan tidak direkomendasikan
untuk anak dengan pneumonia.
c. Antipiretik dan analgetik dapat

diberikan

untuk

menjaga

kenyamanan pasien dan mengontrol batuk.


d. Nebulisasi dengan 2 agonis dan/atau NaCl dapat diberikan untuk
memperbaiki mucociliary clearance
e. Pasien yang mendapatkan terapi oksigen harus diobservasi
setidaknya setiap 4 jam sekali, termasuk pemeriksaan saturasi
oksigen
2. Pemberian Antibiotik
a. Amoksisilin merupakan pilihan pertama untuk antibiotik oral pada
anak < 5 tahun karena efektif melawan sebagian besar pathogen
yang menyebabkan pneumonia pada anak, ditoleransi dengan baik,

19

dan

murah.

Alternatifnya

adalah

co-amoxiclav,

ceflacor,

eritromisin, claritromisin, dan azitromisin.


b. M. pneumoniae lebih sering terjadi pada anak yang lebih tua maka
antibiotic golongan makrolid diberikan sebagai pilihan pertama
secara empiris pada anak 5 tahun.
c. Makrolid diberikan jika M. pneumoniae

atau C. pneumoniae

dicurigai sebagai agen penyebab.


d. Amoksisilin diberikan sebagai pilihan pertama jika S. pneumoniae
sangat mungkin sebagai penyebab.
e. Jika S. aureus dicurigai sebagai penyebab, diberikan makrolid atau
kombinasi flucloxacillin dengan amoksisillin.
f. Antibiotik intravena diberikan pada pasien pneumonia yang tidak
dapat menerima obat per oral (misal karena muntah) atau termasuk
dalam derajat pneumonia berat.
g. Antibiotik intravena yang dianjurkan adalah ampisilin dan
kloramfenikol,

co-amoxiclav,

ceftriaxone,

cefuroxime,

dan

cefotaxime.
h. Pemberian antibiotic oral harus dipertimbangkan jika terdapat
perbaikan setelah mendapat antibiotic intravena.16
Antibiotik untuk community acquired pneumonia:
a. Neonates < 2 bulan : Ampisilin + gentamisin
b. > 2 bulan :
Lini pertama Ampisilin bila dalam 3 hari tidak ada perbaikan

dapat ditambahkan kloramfenikol.


Lini kedua Ceftriaxone.

Bila terdapat perbaikan klinis, antibiotik intravena dapat diganti preparat


oral dengan antibiotik golongan yang sama dengan antibiotik intravena
sebelumnya.14
3. Nutrisi
a. Pada anak dengan distress pernapasan berat, pemberian makanan
per oral harus dihindari. Makanan dapat diberikan lewat NGT atau
intravena. Tetapi harus diingat bahwa pemasangan NGT dapat
menekan pernapasan, khususnya pada bayi/anak dengan ukuran
lubang hidung kecil. Jika memang dibutuhkan, sebaiknya
menggunakan ukuran yang terkecil.

20

b. Perlu dilakukan pemantauan balans cairan ketat agar anak tidak


mengalami overhidrasi karena pada pneumonia berat terjadi
peningkatan sekresi ADH.16
11. Program P2ISPA
Program P2ISPA adalah suatu program pemberantasan penyakit
menular yang ditujukan untuk menurunkan angka kesakitan dan angka
kematian akibat infeksi saluran pernapasan akut, terutama pneumonia
(infeksi paru akut) pada usia dibawah lima tahun.
Program P2ISPA dikembangkan dengan mengacu pada konsep
menajemen terpadu pemberantasan penyakit menular dan penyehatan
lingkungan berbasis wilayah. Konsep terpadu meliputi penanganan pada
sumber penyakit, faktor risiko lingkungan, faktor risiko perilaku dan
kejadian penyakit dengan memperhatikan kondisi lokal.
Tugas pemberantasan penyakit ISPA merupakan tanggung jawab
bersama. Kepala Puskesmas bertanggung jawab bagi keberhasilan
pemberantasan di wilayah kerjanya.
Dokter puskesmas mempunyai tugas sebagai berikut :

Membuat rencana aktifitas pemberantasan ISPA sesuai dengan dana

atau sarana dan tenaga yang tersedia.


Melakukan supervisi dan memberikan bimbingan penatalaksanaan

standar kasus-kasus ISPA kepada perawat atau paramedis.


Melakukan pemeriksaan pengobatan kasus-kasus pneumonia berat /
penyakit dengan tanda-tanda bahaya yang dirujuk oleh perawat /

paramedis dan merujuknya ke rumah sakit bila dianggap perlu.


Memberikan pengobatan kasus pneumonia berat yang tidak bisa

dirujuk ke rumah sakit.


Bersama dengan staf puskesmas memberikan penyuluhan kepada
ibu-ibu yang mempunyai anak balita perihal pengenalan tanda-

tanda penyakit pneumonia serta tindakan penunjang di rumah,


Melatih semua petugas kesehatan di wilayah puskesmas yang
diberi wewenang mengobati penderita penyakit ISPA,

21

Melatih kader untuk bisa, mengenal kasus pneumonia serta dapat

memberikan penyuluhan terhadap ibu-ibu tentang penyakit ISPA,


Memantau aktifitas pemberantasan dan melakukan evaluasi

keberhasilan pemberantasan penyakit ISPA.


Mendeteksi hambatan yang ada serta menanggulanginya termasuk
aktifitas pencatatan dan pelaporan serta pencapaian target.

Paramedis Puskesmas Puskesmas pembantu mempunyai tugas sebagai


berikut:

Melakukan penatalaksanaan standar kasus-kasus ISPA sesuai

petunjuk yang ada.


Melakukan konsultasi kepada dokter Puskesmas untuk kasus-kasus
ISPA tertentu seperti pneumonia berat, penderita dengan wheezing

dan stridor.
Bersama dokter atau dibawah petunjuk dokter melatih kader.
Memberi penyuluhan terutama kepada ibu-ibu.
Melakukan tugas-tugas lain yang diberikan oleh pimpinan
Puskesmas

sehubungan

dengan

pelaksanaan

program

pemberantasan penyakit ISPA.


Kader kesehatan mempunyai tugas sebagai berikut:

Dilatih untuk bisa membedakan kasus pneumonia (pneumonia


berat dan pneumonia tidak berat) dari kasus-kasus bukan

pneumonia.
Memberikan penjelasan dan komunikasi perihal penyakit batuk
pilek biasa (bukan pneumonia) serta penyakit pneumonia kepada
ibu-ibu serta perihal tindakan yang perlu dilakukan oleh ibu yang

anaknya menderita penyakit


Merujuk kasus pneumonia berat ke Puskesmas / rumah sakit

terdekat.
Mencatat kasus yang ditolong dan dirujuk.14

12. Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS)


Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) dalam bahasa Inggris yaitu
Integrated Management of Childhood Illness (IMCI) adalah suatu
manajemen melalui pendekatan terintegrasi/terpadu dalam tatalaksana
balita sakit yang datang di pelayanan kesehatan, baik mengenai beberapa

22

klasifikasi penyakit, status gizi, status imunisasi maupun penanganan


balita sakit tersebut dan konseling yang diberikan.8,10,19,20
Materi MTBS terdiri dari langkah penilaian, klasifikasi penyakit,
identifikasi tindakan, pengobatan, konseling, perawatan di rumah dan
kapan kembali untuk tindak lanjut. MTBS bukan merupakan suatu
program kesehatan tetapi suatu pendekatan/cara menatalaksana balita
sakit. Sasaran MTBS adalah anak umur 0-5 tahun dan dibagi menjadi dua
kelompok sasaran yaitu kelompok usia 1 hari sampai 2 bulan dan
kelompok usia 2 bulan sampai 5 tahun. Kegiatan MTBS merupakan upaya
yang ditujukan untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian sekaligus
meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan di unit rawat jalan kesehatan
dasar seperti puskesmas. World Health Organization (WHO) telah
mengakui bahwa pendekatan MTBS sangat cocok diterapkan negaranegara berkembang dalam upaya menurunkan kematian, kesakitan dan
kecacatan pada bayi dan balita. MTBS telah digunakan di lebih dari 100
negara dan terbukti dapat:
1. Menurunkan angka kematian balita,
2. Memperbaiki status gizi,
3. Meningkatkan pemanfaatan pelayanan kesehatan,
4. Memperbaiki kinerja petugas kesehatan,
5. Memperbaiki kualitas pelayanan dengan biaya
lebih murah.20
Materi MTBS terdiri dari langkah penilaian, klasifikasi penyakit,
identifikasi tindakan, pengobatan,konseling, perawatan di rumah dan
kapan kembali. Bagan penilaian anak sakit terdiri dari petunjuk langkah
untuk mencari riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik. Klasifikasi dalam
MTBS merupakan suatu keputusan penilaian untuk penggolongan derajat
keparahan penyakit. Klasifikasi bukan merupakan diagnosis penyakit yang
spesifik. Setiap klasifikasi penyakit mempunyai nilai suatu tindakan sesuai
dengan klasifikasi tersebut. Tiap klasifikasi mempunyai warna dasar, yaitu
merah (penanganan segera atau perlu dirujuk), kuning (pengobatan

23

spesifik di pelayanan kesehatan), dan hijau (perawatan di rumah) sesuai


dengan urutan keparahan penyakit.10,19
Tiap klasifikasi menentukan karakteristik pengelolaan balita sakit.
Bagan pengobatan terdiri dari petunjuk cara komunikasi yang baik dan
efektif dengan ibu untuk memberikan obat dan dosis pemberian obat, baik
yang harus diberikan di klinik maupun obat yang harus diteruskan di
rumah. Alur konseling merupakan nasihat perawatan termasuk pemberian
makan dan cairan di rumah dan nasihat kapan harus kembali segera
maupun kembali untuk tindak lanjut.19

Berikut adalah pedoman MTBS untuk diagnosis pneumonia.9,21

Gambar 2 4. Alur Diagnosis Pnumonia berdasarkan pedoman MTBS

24

Gambar 2.5. Tindak lanjut penanganan Pneumonia

Anda mungkin juga menyukai