Anda di halaman 1dari 14

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Cedera Medulla Spinalis (CMS) atau Spinal Cord Injury (SCI) didefinisikan sebagai
cedera atau kerusakan pada medulla spinalis yang menyebabkan perubahan fungsional,
baik secara sementara maupun permanen, pada fungsi motorik, sensorik, atau
otonom.6,9 Beberapa literatur membedakan SCI sebagai traumatic spinal cord injury
(TSCI) dan nontraumatic, sedangkan pada literatur lainnya menggunakan istilah SCI
sebagai TSCI.
B. Epidemiologi
Tingkat insidensi di Amerika Serikat per tahun mencapai 40 kasus baru per 1 juta
penduduk setiap tahunnya atau diperkirakan sekitar 12.000 kasus baru per
tahun.2Sekarang ini, diperkirakan terdapat sekitar 183.000-230.000 pasien dengan cedera
medulla spinalis yang masih bertahan hidup di Amerika Serikat.10
Cedera ini umumnya melibatkan pria dewasa muda dengan rentang usia rata-rata 28
tahun (terutama antara 16-30 tahun).2,10 Hampir seluruh pasien cedera medulla spinalis
(80,6%) adalah pria (perbandingan rasio pria: wanita yaitu 4:1) karena resiko yang lebih
tinggi terhadap kecelakaan lalu lintas, kekerasan, jatuh, dan cedera yang berhubungan
dengan rekreasi (seperti diving).2,10 Tingkat mortalitas yang tinggi (50%) pada cedera
medula spinalis umumnya terjadi pada saat kondisi kecelakaan awal, sedangkan tingkat
mortalitas bagi pasien yang masih bertahan hidup dan dilarikan ke rumah sakit adalah
16%.1 Tingkat harapan hidup pada pasien dengan cedera medulla spinalis menurun
secara drastis apabila dibandingkan pada populasi normal dan tingkat mortalitas jauh
lebih tinggi tahun pertama, apabila dibandingkan di tahun-tahun berikutnya.2
C. Etiologi
Sejak tahun 2005 etiologi utama CMS antara lain kecelakaan lalu lintas (39,2%), jatuh
(28,3%), kekerasan (luka tembak, 14,6%), olah raga (terutama diving, 8,2%), akibat
lainnya dari mencakup 9,7%.2 Beberapa literatur mendokumentasikan etiologi yang
serupa, namun dengan sedikit variasi pada proporsinya.6,10,11 Etiologi nontraumatik,
antara lain gangguan vaskular, autoimun, degeneratif, infeksi, iatrogenik, dan lesi
onkogenik.6,7,11
D. Patofisiologi
1. Mekanisme Cedera
Lokasi SCI berturut-turut dari yang paling umum, antara lain daerah servikal (level
C5-C6), thoracolumbar junction, thorakalis, dan lumbalis.11 Mekanisme cedera
umumnya merupakan aspek utama yang menentukan lokasi cedera medulla
spinalis,11contohnya motor vehicle accident (MVA) atau kecelakaan lalu lintas
umumnya melibatkan cedera daerah servikal (akibat hiperekstensi dan hiperfleksi),
jatuh melibatkan beberapa daerah lokasi tergantung bagian yang terjatuh menumpu ke
tanah terlebih dahulu (jatuh dengan kaki menumpu melibatkan daerah thoracolumbar
akibat fraktur kompresi atau burst fracture, jatuh di tangga dimana leher menumpu
tangga melibatkan hiperekstensi leher dan cedera servikal), jatuh dengan bokong
menumpu tanah melibatkan daerah lumbar).7

Frekuensi Traumatic Spinal Cord Injury (TSCI) berdasarkan tingkat


cederaTabel dikutip dari: Derwenskus J, Zaidat OO. Chapter 23. Spinal Cord Injury
and Related Diseases. In: Suarez JI. Critical Care Neurology and Neurosurgery. New
Jersey. Humana Press. 2004. p.417-32
Cedera pada medulla spinalis dan kolumna vertebralis dapat diklasifikasikan
menjadi fraktur-dislokasi, fraktur murni, dan dislokasi murni (dengan frekuensi relatif
3:1:1).12 Ketiga tipe dari cedera tersebut terjadi melalui mekanisme yang serupa,
antara lain kompresi vertikal dengan anterofleksi (cedera fleksi) atau dengan
retrofleksi (cedera hiperekstensi). Pada cedera fleksi, kepala tertunduk secara tajam
ketika gaya diberikan. Kedua vertebra servikal yang bersangkutan akan mengalami
stres maksimum dan batas anteroinferior dari korpus vertebra yang berada diatas akan
terdorong kebawah (kadang terbelah menjadi dua). Fragmen posterior dari korpus
vertebra yang mengalami fraktur akan terdorong kebelakang dan memberikan
kompresi pada medulla spinalis (tear drop fracture). Mekanisme cedera ini
merupakan jenis yang paling sering pada daerah servikal dan umumnya melibatkan
daerah C5/C6 (terjadi subluksasi/dislokasi).13 Seringkali, terdapat robekan
dari interspinous dan posterior longitudinal ligaments sehingga menyebabkan cedera
ini tidak stabil.12,13 Cedera yang lebih ringan dari mekanisme fleksi hanya
menyebabkan dislokasi.12 Cedera medulla spinalis terjadi akibat kompresi atau traksi
dan menyebabkan adanya kerusakan langsung atau vaskular.13
Pada cedera hiperekstensi terjadi kompresi vertikal dengan posisi kepala ekstensi
(retrofleksi).12 Stres utama terjadi pada daerah posterior (lamina dan pedikel) dari
vertebra servikalis bagian tengah (C4-C6), dimana dapat terjadi fraktur unilateral,
bilateral, dan robekan dari ligamen anterior.12 Cedera hiperekstensi dari medulla
spinalis umumnya terjadi tanpa terlihat adanya kerusakan vertebra
atau misalignment dari vertebra, walaupun begitu, cedera medulla spinalis yang
terjadi dapat menjadi serius dan permanen. Cedera tersebut dapat terjadi akibat
penonjolan ligamentum flavum atau dislokasi vertebra yang sementara karena
robekan ligamen (ketika di-xray atau CT-scan alignment sudah kembali normal).
Walaupun, penggunaan CT-scan dan x-ray tulang belakang lateral dapat digunakan
untuk melihat cedera tulang belakang (perlu dilakukan fleksi dan ekstensi dari leher),
adanya robekan dan penonjolan ligamen dari dislokasi vertebra dapat dilihat dengan
menggunakan MRI.12 Selain itu, cedera medulla spinalis yang terjadi dapat
diakibatkan oleh central cervical cord syndrome. Cedera dengan mekanisme ini
umumnya melibatkan orang tua dan pasien dengan spinal canal stenosis.
Mekanisme cedera lainnya yaitu cedera kompresi.13 Pada cedera dengan
mekanisme ini, korpus vertebra mengalami pemendekkan dan mungkin terjadi wedge
compression fracture atau burst fracture dengan aspek posterior dari korpus masuk ke
dalam kanal spinalis.1,7,13 Wedge fracture umumnya stabil karena ligamentum intak,
namun apabila terdapat fragmen yang masuk kedalam kanal spinalis dan biasanya
terdapat kerusakan ligamen sehingga tergolong tidak stabil. Apabila terjadi kombinasi
gaya rotasi, dapat terjadi tear drop fracture (digolongkan tidak stabil).
2. Defisit neurologis pada cedera medulla spinalis
Seperti yang telah disinggung sebelumnya, shok spinal atau fase tidak adanya
aktivitas medulla spinalis (penurunan fungsi motorik, sensorik, refleks dan otonom)
terjadi pasca-cedera hebat pada medulla spinalis.12,13 Durasi shok spinal bervariasi
dari periode 48 jam sampai 6-8 minggu.13 Pada fase shok spinal, tidak mungkin
seorang tenaga kesehatan dapat menilai status neurologis sesungguhnya (akibat
cedera) dari pasien tersebut. Status neurologis hanya dapat dinilai setelah fase tersebut
selesai dimana diagnosis dari cedera komplit atau inkomplit dari medulla spinalis
dapat ditegakkan.7
E. Diagnosis
1. Evaluasi klinis
Evaluasi klinis pada pasien dengan CMS membutuhkan penilaian status neurologis
lengkap, namun serupa dengan pasien trauma lainnya evaluasi klinis awal dilakukan
observasi primer. Pada observasi primer, ABC (Airway, Breathing,
Circulation) dinilai terlebih dahulu. Setelah ketiga aspek tersebut dinilai stabil, maka
penilaian status neurologis baru dilaksanakan (Disability).
Dugaan terhadap adanya CMS didapatkan melalui anamnesis yang menyeluruh
baik mengenai mekanisme trauma dan gejala yang berhubungan dengan trauma pada
daerah spinal (umumnya nyeri) dan adanya defisit motorik atau sensorik.6 Selain itu,
CMS akut harus diduga apabila ditemukan adanya gejala otonom (retensio urin,
konstipasi, ileus, hipotermia, hipotensi, bradikardia), defisit motorik (hemiplegia,
tetraplegia, paraplegia), dan sensorik (hemianestesia, hemihipestesia).5,6 Penggunaan
Kriteria NEXUS (the National Emergency X-Radiography Utilization Study) Low-
Risk Criteria atau CCR (The Canadian C-Spine Rule) digunakan untuk
mengidentifikasikan resiko rendah kemungkinan terjadinya cedera servikal pada
pasien trauma.17 NEXUS Low-Risk Criteria meliputi, tidak adanya nyeri tekan pada
daerah garis tengah posterior (posterior midline cervical-spine tenderness), tidak
adanya tanda-tanda intoksikasi (alkohol), kesadaran normal (GCS 14 kebawah
dianggap tidak normal), tidak ada defisit neurologis fokal (setelah pemeriksaan
neurologis lengkap), dan tidak ada cedera yang nyeri dan mendistraksi (fraktur, nyeri
visceral, crush injury, luka bakar, dan nyeri lainnya), sedangkan kriteria CCR dapat
dilihat pada Gambar berikut.17
The Canadian C-Spine Rule
Gambar dikutip dari: Stiell et al. The Canadian C-Spine Rule versus the NEXUS
Low-Risk Criteria in Patients with Trauma. N Eng J Med 2003;349:2510-8

Pemeriksaan klinis neurologis lengkap dan detil (fungsi motorik, sensorik, dan
fungsi sfingter) diperlukan untuk melihat perjalanan klinis dari CMS. Praktik klinik
yang umum dilakukan adalah mendefinisikan CMS sesuai dengan International
standards for neurological classification of spinal cord injury yang dikeluarkan oleh
ASIA (Gambar 24).12,14 Langkah-langkah dalam penilaian status neurologis berturut-
turut, antara lain menentukan level sensorik untuk sisi kanan dan kiri dengan key
sensory points, menentukan level motorik dengan key motor muscles,
menentukan single neurological level, menentukan apakah cedera komplit atau
inkomplit berdasarkan ada-tidaknya sacral sparing, dan terakhir menentukan ASIA
impairment scale.14 Level sensorik didefinisikan sebagai dermatom intak yang paling
kaudal untuk fungsi nyeri dan raba kasar (memiliki nilai 2/normal/intak), fungsi
sensorik pada level dibawahnya tidak normal. Nilai level sensorik pada kanan dan kiri
mungkin memiliki perbedaan, sehingga nilai keduanya harus ditentukan. Level
motorik ditentukan dengan mengevaluasi key muscle paling rendah dengan kekuatan
minimal 3 (dalam posisi telentang), dengan fungsi motorik pada segmen diatas level
tersebut memiliki kekuatan 5. Single Neurological Level ditentukan dengan level
neurologik paling rostral (paling atas) diantara 4 level yang ditemukan (level sensorik
dan motorik kanan, level sensorik dan motorik kiri).
Pemeriksaan bulbocavernous reflex (BCR) atau Osinski reflex merupakan
pemeriksaan refleks yang penting untuk menentukan muncul dan selesainya periode
dari shok spinal. Reflex ini melibatkan level S2-S4 medulla spinalis. Tidak adanya
BCR tanpa adanya CMS pada bagian sakral mengindikasikan adanya shok spinal, dan
umumnya refleks ini akan kembali pertama kali setelah periode shok spinal berakhir.
Tidak adanya sacral sparingsetelah BCR kembali mengindikasikan bahwa cedera
komplit dari CMS. Di sisi lain tidak adanya BCR pada keadaan dimana diduga tidak
terjadi shok spinal, mengindikasikan adanya lesi pada cedera pada conus medullaris
atau cauda equina.
2. Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan radiologi dengan standar yang tinggi merupakan aspek krusial dalam
mendiagnosis cedera spinal.18 Plain x-ray posisi lateral dan anteroposterior
merupakan pemeriksaan yang fundamental untuk mendiagnosis cedera spinal,
sedangkan pemeriksaan CT dan MRI dapat digunakan untuk evaluasi lebih lanjut.
Pemeriksaan CT-Scan jauh lebih superior dibandingkan plain x-ray karena dapat
melihat dari potongan sagittal, koronal, atau potongan lainnya sesuai dengan
keinginan. Namun, apabila CT-Scan tidak tersedia, plain x-ray tetap memberikan
gambaran penting untuk screening dari fraktur dan dislokasi. Pemeriksaan MRI yang
normal memperbolehkan dilepasnya collar support dan mobilisasi dini, hal ini
dikarenakan MRI servikal dapat memperlihatkan setiap cedera pada daerah servikal
dari medulla spinalis, kompresi dari radiks, herniasi diskus, dan cedera pada ligamen
dan jaringan lunak.1,18
Pemeriksaan foto x-ray pada daerah servikal harus melibatkan seluruh tulang dari
servikal (C1-C7) dan bagian atas dari T1 untuk menghindari tidak teridentifikasinya
cedera pada segmen bawah servikal, apabila masih tidak dapat melibat bagian
cervico-thoracic junction (CTJ) dapat digunakan swimmers view atau traksi
lengan. 18 Interpretasi dari gambaran radiologi x-ray servikal dapat dilakukan dengan
ABCs, alignment, bones, cartilages, dan soft tissues.18 Alignment ditelusuri
menggunakan 4 garis utama seperti pada Gambar 25 (perbedaan >3,5 mm antara
vertebra satu dengan yang lainnya dianggap abnormal, dibawah <5mm unilateral facet
dislocation dan diatasnya bilateral), bone dilihat apakah adanya fraktur atau tidak (tipe
fraktur), cartilage dinilai adanya displacement dari facet joints dan pelebaran diskus
intervertebralis, dan soft tissues dinilai adanya pelebaran anterior dari tulang belakang
F. Tatalaksana
Kerusakan medulla spinalis akibat dari cedera primer umumnya tidak dapat diperbaiki
sehingga seluruh usaha dikerahkan untuk mencegah terjadinya kerusakan lebih lanjut
yang belum terjadi (sekunder) dan komplikasi-komplikasi dari cedera tersebut.13 Prinsip
utama dari tatalaksana CMS, antara lain mencegah kerusakan sekunder dari CMS,
reduksi dan stabilisasi dari cedera (tulang dan ligamen), mencegah dan menangani
komplikasi dari CMS, dan rehabilitasi.13 Berdasarkan waktu penanganannya tatalaksana
CMS dibagi menjadi dua fase, antara lain fase pra-rumah sakit dan fase di rumah sakit.
1. Penanganan pra-rumah sakit
Prinsip penanganan awal pada umumnya serupa pada pra-rumah sakit maupun di
rumah sakit yaitu prinsip Advance Trauma Life Support yang mengutamakan survei
primer ABCD (Airway, Breathing, Circulation, dan Disability) untuk merestorasi
tanda-tanda vital dan survei sekunder.13,19,20 Diperkirakan sampai 25% dari CMS
mengalami perburukan setelah trauma terjadi, baik ketika dalam perjalanan ke rumah
sakit atau dalam penanganan awal (4% diakibatkan karena tidak adanya tindakan
imobilisasi yang adekuat).19,20 Posisi netral (anatomis), stabilisasi dengan rigid
collar ditambah dengan karung pasir (sandbags) atau bolster di kedua sisi leher dan
wajah, spinal board, penggunaan metode log-roll dan spinal lift untuk memindahkan
pasien dengan minimum 4 penolong merupakan teknik-teknik untuk imobilisasi
tulang belakang agar tidak mengalami cedera lebih lanjut.20 Tindakan imobilisasi
terus dipertahankan sampai pasien terbukti tidak mengalami CMS. Dalam literatur,
umumnya apabila MRI sudah menyatakan tidak ada kelainan pada daerah tulang
belakang maka penggunaan collar sudah dapat dilepas.1,18
2. Penanganan di rumah sakit
Penanganan di rumah sakit mencakup seluruh sistem yang mungkin mengalami
komplikasi dari CMS, yaitu mulai dari sistem respiratorik, kardiovaskular, urologi,
gastrointestinal, kulit, sampai tindakan reduksi baik non-operatif maupun operatif.
a. Sistem respiratorik
Komplikasi pada traktus respirasi merupakan penyebab morbiditas dan mortailitas
utama pada pasien CMS.21 Lesi yang berkatian langsung dengan fungsi pernapasan
adalah lesi setingkat C5 keatas, sedangkan lesi pada tingkat torakal hanya
mengganggu fungsi batuk dan lesi di lumbal tidak mempengaruhi sama sekali. Pasien
dengan lesi diatas C5 sebaiknya diintubasi dan menggunakan ventilasi mekanik
karena penurunan fungsi respirasi secara gradual dapat terjadi. Fungsi respirasi harus
dimonitor secara ketat dengan memeriksa saturasi oksigen, kapasitas vital (vital
capacity/VC) paru, dan analisa gas darah berkala.20 Retensi sputum umumnya terjadi
dalam beberapa hari setelah cedera diakibatkan gangguan pada fungsi batuk yang
efektif, hal ini akan menyebabkan atelectasis dan pneumonia.20,21 Chest
physiotherapy, assisted cough dan latihan nafas secara reguler dapat mencegah
atelektasis dan infeksi paru.20
b. Sistem kardiovaskuler
Komplikasi utama yang krusial pada sistem kardiovaskuler akibat CMS adalah
syok neurogenik akibat dari syok spinal. Pada umumnya syok neurogenik terjadi pada
lesi diatas T6 akibat hilangnya dari tonus simpatis. Hilangnya tonus tersebut
menyebabkan vasodilasi dan bradikardia yang menyebabkan hipotensi dan syok. Syok
pada CMS harus dibedakan antara hipovolemik dan neurogenik karena apabila pada
syok neurogenik diberikan terlalu banyak cairan maka akan terjadi edema
paru.20,22 Tatalaksana syok neurogenik, antara lain pemberian cairan
IV, vasopressor dengan karakteristik alpha dan beta adrenergik (seperti norepinefrin,
epinefrin, dan dopamine), atropine untuk meningkatkan nadi, dan hindari hipotermia
akibat vasodilasi.22 Mean Arterial Pressure (MAP) harus ditargetkan diatas 70
mmHg, waaupun beberapa studi menunjukan MAP > 85 mmHg memberikan
prognosis yang lebih baik.
Tromboemboli merupakan salah satu komplikasi yang juga mungkin terjadi pada
pasien paraplegia/tetraplegia akibat CMS.20 Insiden emboli paru paling tinggi terjadi
pada minggu ke-3 setelah cedera dan merupakan penyebab kematian paling umum
pada pasien CMS yang berhasil selamat setelah tejadinya trauma. Apabila tidak ada
kontraindikasi seperti trauma kapitis atau toraks, stocking antiembolism digunakan
selama 2 minggu pertama setelah trauma dan penggunaan antikoagulan dimulai dalam
72 jam setelah trauma selama 8-12 minggu (Low molecular weight heparin lebih baik
daripada warfarin).20,21,22
c. Sistem urologi
Setelah terjadinya CMS berat, buli-buli tidak dapat mengeluarkan urin secara
spontan, dan pasien yang tidak ditangani lebih lanjut akan menyebabkan retensio urin
yang berlanjut pada refluks urin dan gagal ginjal.20,21 Segera setibanya pasien di RS
harus dilakukan pemasangan kateter Foley. Waktu pulihnya refleks berkemih
bervariasi, umumnya 6-8 minggu, tetapi bisa sampai 1 tahun (ada literatur yang
mengatakan bisa tidak kembali).11
Program kateterisasi intermiten dimulai saat fase subakut,
ketika intake dan output cairan mulai stabil. Hal ini dilakukan untuk mencegah
terjadinya infeksi saluran kemih. Namun bila kateter Foley dilepas terlalu dini, dapat
terjadi kerusakan otot detrusor dan refluks karena tekanan pengisian buli-buli yang
tinggi.
d. Sistem gastrointestinal
Pasien dengan CMS setidaknya harus menerima cairan secara intravena selama 48
jam karena umumnya terjadi ileus paralitik pada CMS berat.20 Pada kondisi
tersebut, nasogastric tube dipasang (NGT) dan nil per oral (NPO) dilakukan sampai
bising usus kembali normal. Total parenteral nutrition sebaiknya diberikan.11 Apabila
ileus paralitik terjadi lama, distensi abdomen terjadi dan dapat menyebabkan
gangguan pergerakan diafragma. Ulkus peptikum akut dapat terjadi dengan
perdarahan atau perforasi, walaupun tidak umum terjadi, namun komplikasi ini
berbahaya. Oleh karena itu, pemberian antagonis reseptor H2 atau proton pump
inhibitor (PPI) harus dimulai secepatnya dan diberikan minimal 3 minggu setelah
trauma.20,21
Evaluasi fungsi defekasi harus dilakukan sejak dini dan penatalaksanaan dimulai
secara agresif segera setelah timbul bising usus dan motilitas usus normal. Ketinggian
lesi menentukan fungsi defekasi, antara lain lesi diatas T12 menyebabkan
hiperrefleksia dan spastic dari sfingter ani, sedangkan lesi dibawahnya menyebabkan
arrefleksia dan flaccid dari sfingter tersebut.11 Metode pengosongan usus dengan
kombinasi supositoria dan stimulasi anorektal, merangsang pola evakuasi pada kolon
distal.21
e. Kulit
Ulkus dikubitus akan selalu menjadi komplikasi CMS, oleh karena itu pencegahan
perlu dilakukan sejak dini.21 Pada fase akut, pasien diposisikan miring kiri-miring
kanan setiap 2 jam untuk mencegah ulkus. Penggunaan matras busa atau air bisa
membantu mengurangi tekanan pada tonjolan tulang, namun posisi pasien harus tetap
diubah tiap 2 jam.
f. Penggunaan kortikosteroid
Penggunaan kortikosteroid (terutama metilprednisolon dosis tinggi) sekarang ini
mengalami kontroversi.11 Studi yang dilaksanakan oleh NASCIS 2 (National Acute
Spinal Cord Injury Study) menunjukan pemberian metilprednisolon dosis tinggi
(bolus 30 mg/kgBB dalam 15 menit kemudian dilanjutkan 5,4 mg/kgBB dalam 23
jam) yang dimulai dalam 8 jam setelah CMS tertutup meningkatkan prognosis
neurologis pasien.11,20 Studi NASCIS 3 kemudian menambahkan bahwa terapi
metilprednisolon yang dimulai dalam 3 jam setelah trauma harus dilanjutkan selama
24 jam, sedangkan yang dimulai antara 3-8 jam pasca trauma harus dilanjutkan
selama 48 jam.11,20 Consortium for Spinal Cord Medicine tidak merekomendasikan
penggunaan neuroprotektan jenis apapun (steroid, ganglioside GM-1, gacyclidine,
tirilazad dan naloxone) karena bukti klinis peningkatan prognosis akhir belum
didapatkan secara definit.22
g. Terapi reduksi non-operatif dan operatif
Setelah parameter sistemik sudah stabil, maka perhatian diarahkan pada stabilisasi
dan alignment dari tulang belakang dan medulla spinalis.13 Setiap CMS yang tidak
stabil harus distabilkan untuk mencegah adanya kerusakan lebih lanjut akibat
pergerakan dan juga melepaskan kompresi medulla spinalis.23 Pasien dengan CMS
daerah servikal dapat ditangani dengan menggunakan skeletal traction untuk
mereduksi dislokasi, melepaskan kompresi pada medulla spinalis pada burst
fracture, dan splint tulang belakang.23 Skeletal traction untuk mengembalikan atau
mempertahankan alignment yang normal merupakan metode yang cepat dan efektif.13
Beban yang digunakan tergantung adanya dislokasi atau tidak. Pada fraktur tanpa
dislokasi, beban yang digunakan umumnya 3-5 kg, sedangkan pada dislokasi
digunakan peningkatan berat 4 kg setiap 30 menit (sampai total 25 kg) dalam posisi
leher dalam keadaan fleksi.23 Pasien harus diperiksa status neurologisnya setiap
peningkatan beban, dan beban traksi harus dikurangi secepatnya bila terjadi
perburukan status neurologis.
Banyak kontroversi mengenai penanganan secara operatif pada pasien CMS.13
Kerusakan pada medulla spinalis umumnya terjadi sewaktu terjadinya trauma
sehingga tidak mengherankan bahwa tidak banyak bukti perubahan fungsi neurologis
yang bermakna terjadi setelah penanganan operatif dekompresi akut dari tulang
belakang. Indikasi umum dilakukan intervensi operatif, antara lain perburukan dari
defisit neurologis (indikasi absolut) yang ditunjukan dari adanya lesi kompresi dengan
menggunakan CT-Scan atau MRI, pasien dengan CMS inkomplit yang tidak
mengalami perbaikan dan hasil pencitraan menunjukan adanya lesi kompresi
(dipertimbangkan), luka terbuka akibat luka tembak atau tusuk untuk mengeluarkan
benda asing, dan untuk kepentingan stabilisasi (terutama karena instabilitas hebat
dengan lesi inkomplit, tidak bisa dilakukannya closed reduction, dan agar tirah baring
tidak terlalu lama).13

Gardner-Wells tongs
Gambar dikutip dari: Gambar dikutip dari: Freidberg SR, Magge SN. Chapter
60. Trauma to the Spine and Spinal Cord. In: Jones HR, Srinivasan J, Allam GJ,
Baker RA. Netters Neurology. 2nd edition. Elsevier, Saunders. 2012. p.562-71
DAFTAR PUSTAKA

1. Freidberg SR, Magge SN. Chapter 60. Trauma to the Spine and Spinal Cord. In: Jones
HR, Srinivasan J, Allam GJ, Baker RA. Netters Neurology. 2nd edition. Elsevier,
Saunders. 2012. p.562-71
2. National Spinal Cord Injury Statistical Center. Spinal Cord Injury Facts and
Figures at a Glance. Birmingham, Alabama. 2012. Downloaded
from: https://www.nsisc.uab.edu
3. Baron BJ, McSherry KJ, Larson, Jr. JL, Scalea TM. Chapter 255. Spine and
Spinal Cord Trauma. In: Tintinalli JE, Stapczynski JS, Cline DM, Ma OJ,
Cydulka RK, Meckler GD, eds.Tintinallis Emergency Medicine: A
Comprehensive Study Guide. 7th ed. New York: McGraw-Hill; 2011.
http://www.accessmedicine.com/content.aspx?aID=6389092. Accessed
September 30, 2013
4. Snell RS. Chapter 4. The Spinal Cord and the Ascending and Descending Tracts.
In: Snell RS. Clinical Neuroanatomy. 7th Edition. Lippincott Williams & Wilkins,
Philadelphia. 2010. p. 133-84
5. Gondim FAA, Gest TR. Topographic and Functional Anatomy of the Spinal Cord.
Emedicine Medscape 2013. http://emedicine.medscape/article/1148570-
overview#showall
6. Chin LS. Spinal Cord Injuries. Emedicine Medscape
2013. http://emedicine.medscape.com/article/793582-overview#showall
7. Sheerin F. Spinal Cord Injury: Causation and Pathophysiology. Emerg
Nurse 2005; 12(9):29-38
8. Waxman SG. Chapter 6. The Vertebral Column and Other Structures Surrounding
the Spinal Cord. In: Waxman SG, ed.Clinical Neuroanatomy. 26th ed. New York:
McGraw-Hill; 2010. http://www.accessmedicine.com/content.aspx?aID=5272198.
Accessed October 1, 2013.
9. Dumont et al. Acute Spinal Cord Injury, Part I: Pathophysiologic
Mechanisms. Clin Neuropharmacol 2001;24(5):254-64
10. Gondim FAA. Spinal Cord Trauma and Related Diseases. Emedicine Medscape
2013. http://emedicine.medscape.com/article/1149070-overview#a0199
11. Derwenskus J, Zaidat OO. Chapter 23. Spinal Cord Injury and Related Diseases.
In: Suarez JI. Critical Care Neurology and Neurosurgery. New Jersey. Humana
Press. 2004. p.417-32
12. Ropper AH, Samuels MA. Chapter 44. Diseases of the Spinal Cord. In: Ropper
AH, Samuels MA, eds.Adams and Victors Principles of Neurology. 9th ed. New
York: McGraw-Hill; 2009.
http://www.accessmedicine.com/content.aspx?aID=3640625. Accessed October 3,
2013.
13. Kaye AH. Chapter 16. Spinal Injuries. In: Kaye AH. Essential Neurosurgery.
3rdEdition. Victoria, Blackwell Publishing. 2005. p. 225-33
14. Kirshblum et al. International standards for neurological classification of spinal
cord injury (Revised 2011). J Spinal Cord Med 2011;34(6):535-46
15. Gruener G, Biller J. Spinal Cord Anatomy, Localization, and Overview of Spinal
Cord Syndromes. Continuum: Lifelong Learning Neurol 2008;14(3):11
16. Bill II CH, Harkins VL. Chapter 29. Spinal Cord Injuries. In:Shah SM, Kelly KM.
Principles and Practice of Emergency Neurology. Cambridge University Press,
New York. 2003 p.286-303
17. Stiell et al. The Canadian C-Spine Rule versus the NEXUS Low-Risk Criteria in
Patients with Trauma. N Eng J Med 2003;349:2510-8
18. Grundy D, Swain A, Morris A. Chapter 3. Radiological Investigations. In: Grundy
D, Swain A. ABC of Spinal Cord Injury. 4th edition. BMJ Publishing Group,
London. 2002. p. 11-6
19. Castellano JM. Prehospital Management of Spinal Cord
Injuries. Emergencias2007; 19:25-31
20. Swain A, Grundy D. Chapter 4. Early Management and Complications I In:
Grundy D, Swain A. ABC of Spinal Cord Injury. 4th edition. BMJ Publishing
Group, London. 2002. p. 17-20
21. Wahjoepramono EJ. Medula Spinalis dan Tulang Belakang. Fakultas Kedokteran
Universitas Pelita Harapan, Lippo Karawaci. 2007. p. 131-56
22. Consortium for Spinal Cord Medicine. Early Acute Management in Adults with
Spinal Cord Injury: A Clinical Practice Guideline for Health-Care Providers. J
Spinal Cord Med 2008;31(4):408-79
23. Grundy D, Swain A. Chapter 5. Early Management and Complications II. In:
Grundy D, Swain A. ABC of Spinal Cord Injury. 4th edition. BMJ Publishing
Group, London. 2002. p. 21-4

Anda mungkin juga menyukai