MADA
PROGRAM STUDI
FISIKA FMIPA
Bahan Ajar 5:
Gelombang Elektromagnetik dan
Optika
(Minggu ke 8 dan 9)
FISIKA DASAR II
Semester 2/3 sks/MFF 1012
Oleh
Muhammad Farchani Rosyid
Dengan dana BOPTN P3-UGM tahun
anggaran 2013
Nopember 2013
1
BAB 5: GELOMBANG
ELEKTROMAGNETIK DAN
OPTIKA
Jejak kajian tentang cahaya secara mendalam bisa kita lacak sejak peradaban
Yunani kuno bahkan jauh sebelumnya. Ilmuwan kunci dalam kajian ini ialah Euclid yang
amat masyhur dengan pendapatnya, manusia dapat melihat karena mata mengirimkan
cahaya kepada benda. Pendapat Euclid bertahan cukup lama sampai kemudian muncul
Alhazen yang bernama asli Ibnu al-Haitham (965-1038). Al Hazen berhasil membuktikan
kekeliruan pendapat Euclid. Menurutnya, yang benar adalah justru sebaliknya. Kita dapat
melihat karena ada cahaya dari benda yang sampai ke mata kita. Bukti untuk
menyanggah pendapat Euclid sangatlah sederhana. Dapatkah kita melihat dalam
kegelapan malam yang begitu pekat? Jika kita bisa melihat karena mata kita yang
mengirimkan cahaya, maka tentu dalam keadaan yang bagaimanapun kita akan dapat
melihat. Oleh karena kita hanya dapat melihat dalam suasana yang terang cahaya, maka
tentulah kita dapat melihat karena benda mengirimkan cahaya ke mata kita.
Dalam perkembangan selanjutnya, beberapa fisikawan tertarik untuk mengetahui
cepat rambat cahaya ini. Fisikawan pertama yang dianggap berhasil melakukan
pengukuran terhadap cepat rambat cahaya ialah Ole Roemer (1644 -1710) meskipun
hasilnya tidak setepat hasil pengukuran sekarang. Menurut pengukuran Roemer pada
tahun 1675, cahaya mempunyai laju sebesar 200 ribu km per detik. Fisikawan
sebelumnya, Galileo Galilei, hanya menyebutkan secara kualitatif bahwa cahaya
mempunyai kecepatan yang luar biasa.
Perkembangan berikutnya tentang kajian cahaya ditengarai dengan terbitnya teori
korpuskular cahaya yang diusulkan oleh begawan fisika klasik Isaac Newton (16421727). Dalam teori ini, Newton mengganggap cahaya sebagai aliran partikel (butir-butir
cahaya) yang menyebabkan timbulnya gangguan pada eter di dalam ruang. Eter
merupakan zat hipotetis (artinya masih perlu diuji) yang dipercaya mengisi seluruh ruang
jagad raya. Teori korpuskular cahaya dipercaya oleh fisikawan-fisikawan berikutnya
sampai penghujung abad ke-18.
Pada awal abad ke-19, tepatnya tahun 1801, Thomas Young (1773-1829)
menemukan adanya peristiwa interferensi pada cahaya. Peristiwa ini merupakan pertanda
bahwa teori gelombang diperlukan untuk menjelaskan hakikat cahaya. Usulan Young
diperkuat oleh James Clerk Maxwell (1831-1879) yang menyatakan bahwa cahaya
merupakan bagian dari gelombang elektromagnetik. Saat itu, Maxwell masih yakin
bahwa gelombang elektromagnetik membutuhkan medium khusus untuk dapat merambat
dan ia menamakan medium tersebut sebagai eter bercahaya.
Sayang sekali, keyakinan Maxwell bahwa gelombang elektromagnetik
memerlukan medium eter dalam perambatannya dipatahkan oleh fisikawan Michelson
dan Morley melalui sebuah percobaan pada tahun 1887. Hasil percobaan Michelson2
Morley menegaskan bahwa eter sesungguhnya tidak ada. Sehingga cahaya (sebagai salah
satu gelombang elektromagnetik) tidak memerlukan medium untuk merambat.
Upaya penyingkapan rahasia cahaya terus berkembang. Pada tahun 1905 Einstein
(1879-1955) menunjukkan bahwa efek fotolistrik hanya dapat dijelaskan dengan
menganggap bahwa cahaya terdiri dari aliran diskrit (tidak kontinyu) foton energi
elektromagnetik
Sampai pada tahap ini, kita melihat bahwa ada dua paham besar dalam teori
cahaya, yakni paham yang percaya bahwa cahaya dapat dijelaskan dengan
menganggapnya sebagai partikel (teori korpuskular) dan paham kedua yang percaya
bahwa cahaya hanya dapat dijelaskan jika kita menganggapnya sebagai gelombang (teori
undulasi). Kedua paham itu silih berganti merebut pengaruh dengan argumentasi yang
meyakinkan.
Pertentangan dua pendapat ini memang sangat pelik. Pada beberapa gejala,
cahaya menunjukkan wataknya sebagai partikel. Tetapi pada beberapa gejala yang lain
cahaya tampil sebagai gelombang. Dan tentu saja, betapa tidak mudah untuk
menyelesaikan perselisihan ilmiah ini dengan menyusun suatu model yang secara
kompak bisa memaparkan watak gelombang dan partikel yang dimiliki oleh cahaya.
Pertentangan-pertentangan ini perlahan-lahan menjadi reda seiring berkembangnya teori
kuantum sejak 1900-an. Teori ini sejatinya cenderung pada paham korpuskular. Teori
ini menganggap bahwa cahaya adalah partikel (foton) yang memiliki aspek gelombang.
Aspek gelombang ini menuntun kita menentukan keadaan foton-foton itu secara statistik.
Dalam perkembangan selanjutnya, juga tampak nyata bahwa elektron dan partikelpartikel elementer menunjukkan perilaku yang serupa.
(5.1)
didapat nilai cepat rambat gelombang elektromagnetik di ruang hampa sebesar c = 3 108
m/dt.
Untuk medium lain, nilai permitivitas listriknya menjadi r 0 dan
permeabilitas magnetiknya r 0 sehingga laju rambat gelombangnya menjadi
v
r r
c
n
( 5.2)
Indeks bias
1,33
1,36
1,63
1,003
1,74
1,46
1,52
1,66
1,53
Telah dijelaskan dalam bab optika geometrik bahwa perpindahan berkas cahaya
dari satu medium ke medium yang lain akan disertai adanya pemantulan dan pembiasan.
Dalam bagian ini kita akan menyaksikan gejala lain yang menyangkut aspek gelombang
cahaya, yakni perubahan fase. Telah dijelaskan pula bahwa dalam perpindahan cahaya
dari satu medium ke medium yang lain besaran yang tidak berubah adalah ferkuensi.
Sekarang, bila seberkas sinar memiliki panjang gelombang dalam ruang hampa, maka
anda dapat membuktikan sendiri bahwa sinar itu dalam suatu medium berindeks bias n,
akan memiliki panjang gelombang
n =
.
n
( 5.2)
Jadi, panjang gelombang sinar itu berubah dengan faktor 1/n. Semakin rapat suatu
medium, maka panjang gelombang sinar yang melaluinya semakin pendek. Ini berarti
jumlah gelombang (lebih tepatnya kalau disebut sebagai jumlah getaran) yang melalui
4
medium itu menjadi lebih banyak dibandingkan di ruang hampa atau di medium lain
yang kurang rapat untuk jarak tempuh yang sama. Marilah kita lihat hal ini lebih
seksama. Andaikan seberkas sinar yang diceritakan di atas menempuh jarak sejauh L
dalam medium itu, maka jumlah gelombang yang ada adalam rentang jarak L itu adalah
Nn =
nL
=n
L
= nN,
dengan N adalah jumlah gelombang dalam rentang jarak yang sama di ruang hampa.
Karena n > 1, maka Nn > N. Ini menegaskan pernyataan di atas. Satu istilah lagi, lintasan
optis adalah hasil kali antara indek bias dengan panjang lintasan geometrik yang dilalui
oleh cahaya. Dalan kasus di atas lintasan optis bagi berkas sinar tersebut adalah nL.
Sekarang ambilah dua kaca plan paralel dengan ukuran yang sama tetapi terbuat
dari bahan yang berbeda. Masing-masing memiliki indeks bias n1 dan n 5. Letakkanlah
kedua kaca itu berdampingan seperti diperlihatkan pada gambar 5.1. Kemudian pada
kedua kaca plan paralel itu dilewatkan dua berkas sinar dengan frekuensi yang sama
(dengan kata lain, kedua berkas itu koheren). Andaikan 1 fase sinar yang melalui kaca
pertama tepat sebelum masuk ke kaca plan paralel pertama dan 2 fase sinar yang melalui
kaca plan paralel kedua tepat sebelum masuk ke kaca itu. Jadi, sebelum memasuki kaca
plan paralel terdapat beda fase sebesar 2 1. Untuk jarak tempuh sejauh L, yakni
panjang kedua kaca plan paralel, kedua berkas sinar itu memiliki jumlah gelombang yang
berbeda, yakni
N1 = n1
N2 = n2
L
,
n1
Dan
n2
L
Gambar 5.1
L
.
Sedangkan fase gelombang cahaya tepat setelah keluar dari kaca plan paralel kedua
adalah
L
.
Beda fase kedua berkas itu tepat setelah keluar dari kaca plan paralel adalah
2 + 2N2 = 2 + 2 n2
2 1 + 2(n2 n1)
L
.
L
.
( 5.3)
Khususnya, bila kedua berkas itu memiliki fase yang sama tepat sebelum memasuki
masing-masing kaca plan paralel, maka timbul beda fase senilai yang ditunjukkan oleh
ungkapan (5.3). Kesimpulannya adalah : Perbedaan fase antara dua berkas sinar yang
koheren dapat berubah manakala kedua berkas sinar itu melalui dua bahan yang
mempunyai indeks bias (kerapatan) berbeda.
Sebagaimana telah dijelaskan pada bab 1 bahwa superposisi dua gelombang yang
koheren menghasilkan penguatan pada beberapa tempat dan pelemahan di beberapa
tempat yang lain tergantung dari beda fase kedua gelombang itu. Gejala ini disebut
interferensi gelombang. Superposisi dua gelombang koheren beramplitudo sama
menghasilkan interferensi dengan penghapusan di beberapa tempat yang memiliki beda
fase n (dengan n ganjil). Dengan adanya perubahan beda fase akibat perubahan indeks
bias, maka orang dapat menghasilkan gejala interferensi dari dua berkas cahaya koheren
yang memiliki fase yang sama.
1.2
Karena Pemantulan
2. Dispersi
Cahaya matahari adalah bersifat polikromatik, artinya terdiri dari banyak
frekuensi. Di ruang hampa seluruh frekuensi yang dimiliki cahaya merambat dengan
6
kecepatan yang sama. Tetapi begitu ia memasuki medium, kerapatan medium itu
besarnya berlainan untuk tiap-tiap frekuensi, sehingga masing-masing frekuensi
merambat dengan kecepatan yang berbeda satu dari yang lain. Dengan suatu teknik
tertentu (memakai prisma, misalnya), cahaya akan terurai menjadi komponenkomponenya, mulai dari warna merah dengan frekuensi paling rendah sampai dengan
warna ungu dengan frekuensi paling tinggi. Kita menyebut spektrum cahaya matahari ini
dengan istilah pelangi.
Gejala seperti ini dikenal sebagai peristiwa penguaraian cahaya atau dispersi,
yaitu peristiwa penguraian gelombang elektromagnetik berfrekuensi banyak
(polikromatik) atas komponen-kompnennya yang berfrekuensi tunggal (monokromatik).
Salah satu gejala alamiah yang terjadi sebagai akibat dispersi adalah pelangi.
Gejala ini tentu sangat kita kenali, tetapi belum tentu kita pahami dengan baik. Medium
pengurainya adalah titik-titik air di angkasa setelah hujan turun. Kita bisa menemukan
gejala yang serupa dengan pelangi pada saat bertamasya di sekitar air terjun pada siang
hari. Semenatara di dalam laboratorium, anda dapat menampilkan dispersi dengan
menggunakan prisma atau kekisi penghambur (difraksi) atau melalui interferensi. Pada
saat cahaya berada di dalam bahan prisma, warna-warna cahaya akan terpecah. Pecahan
warna-warna ini akan keluar sebagai spektrum pelangi karena memiliki sudut
pembelokan yang berbeda-beda.
Indeks bias untuk warna merah dan ungu dari beberapa bahan bening dapat kita
lihat dalam tabel 5.2. Tampak bahwa indeks bias untuk warna ungu lebih besar daripada
indeks bias untuk warna merah. Sebab itulah, urutan pelangi adalah warna merah dulu di
sebelah atas kemudian berturut-turut sampai dengan ungu, persis yang ditampilkan oleh
dispersi pada prisma. Lebar spektrum pelangi diukur dengan sudut dispersi. Secara
geometri sudut dispersi tergantung pada sudut atap prisma dan dapat dihitung dengan
menerapkan hukum Snellius.
Tabel 5. 2 Indeks bias warna merah dan ungu
dalam beberapa bahan
Bahan
Udara
Air
Es
Alkohol
Kaca flinta
Kaca krona
Quartz
Intan
Indeks warna
merah
1,0002914
1,331
1,3060
1,360
1,5850
1,5200
1,5420
2,4100
Indeks warna
ungu
1,0002957
1,340
1,3170
1,370
1,6040
1,5380
1,5570
2,4580
Apabila seberkas sinar berfrekuensi f jatuh dari udara dengan sudut datang pada
permukaan sebuah prisma yang memiliki sudut atap dan indeks bias terhadap sinar itu
nf, maka sinar itu akan dibelokkan dari arah semula dengan sudut pembelokan sebesar
( 5.4)
Dispersi juga bisa terjadi pada lensa. Namun, seringkali dispersi seperti ini
bersifat merugikan sehingga kehadirannya tidak diinginkan, misalnya pada lensa kamera.
Untuk melenyapkan gejala dispersi pada lensa kamera kita dapat membuat susunan lensa
yang akromatik. Cahaya putih akan masuk ke lensa pertama dan terjadi dispersi.
Spektrum hasil dispersi lensa pertama akan masuk ke lensa kedua dan dikeluarkan
sebagai cahaya putih lagi.
3. Interferensi
Christian Huygens, fisikawan Belanda, pada tahun 1678 mengusulkan suatu teori
undulasi tentang cahaya secara meyakinkan. Dibandingkan dengan teori yang diusulkan
oleh Maxwell kira-kira dua abad setelahnya teori Huygens secara matematis tampak jauh
lebih sederhana. Walaupun demikian teori Huygens masih cukup bermanfaat hingga kini.
Berikut adalah prinsip Huygen tentang perambatan gelombang cahaya : Semua titik
pada muka gelombang bertindak sebagai sumber bagi gelombang sekunder dengan muka
gelombang berupa permukaan bola (gelombang semacam ini disebut gelombang seferis).
Dalam selang waktu t setelah itu, muka gelombang utama (primer) ditentukan sebagai
garis singgung pada masing-masing muka gelombang seferis tadi. Prinsip ini secara
grafis diperlihatkan oleh gambar 5.3.
muka gelombang
setelah selang
waktu t
Gambar 5.3
Titik-titik pada muka
gelombang berperan
sebagai sumber gelombang sekunder
dengan muka seferis
ct
Sekarang kita lihat masalah ini lebih seksama. Untuk itu perhatikan titik P yang
berada pada layar (gambar 5.4). Kedua sinar yang berasal dari celah S1 dan S2 yang tiba
di P, mempunyai fase yang sama saat masih di celah sumber. Hal ini disebabkan
keduanya berasal dari satu gelombang yang sama dari gelombang datang. Karena panjang
y
berkas sinar
S2
d a
S1
O
D
Gambar 5.4 Sinar dari S1 dan S2 bergabung di titik P. Berkas cahaya yang datang
di layar B dianggap sejajar. Dalam kenyataan, jarak antara layar B dan C >> jarak
antara 2 celah (D >> d). Gambar ini dibuat untuk memudahkan penggambaran
lintasan optis kedua sinar untuk sampai di P tidak sama, maka di titik ini fase keduanya
pun berbeda. Keadaan interferensi di titik P (yakni terang gelapnya titik P) ditentukan
oleh banyaknya panjang gelombang yang termuat dalam segmen S1b, yaitu beda
lintasannya.
Garis-Garis Terang
Garis-garis terang adalah hasil perpaduan yang saling menguatkan secara
maksimum. Garis-garis terang terjadi apabila kedua cahaya sampai di layar dengan fase
yang sama. Agar terjadi maksimum di titk P, maka S1b (= d sin ) haruslah merupakan
kelipatan bulat panjang gelombang, yaitu
S1b m ,
m = ...,4, 3, 2, 1, 0 , 1, 2, 3,....
m = ...,4, 3, 2, 1, 0 , 1, 2, 3,....
( 5.5)
Letak maksimum di atas titik O dalam gambar 5.10 simetris dengan letak maksimum di
bawah O. Maksimum yang terletak di pusat dinyatakan dengan nilai m = 0.
Garis-Garis Gelap
10
Garis-garis gelap adalah hasil perpaduan yang melemahkan. Garis-garis gelap terjadi
apabila kedua cahaya sampai di layar dengan fase yang berlawanan. Sehingga, untuk
keadaan minimum di P, penggal S1b (= d sin ) harus sama dengan hasil kali antara
bilangan bulat ganjil dengan setengah panjang gelombang, yaitu
d sin m( 12 ) ,
m = ...,3, 1, 1, 3, 5....
atau
d sin (m 12 ) ,
m = ...,4, 3, 2, 1, 0 , 1, 2, 3,....
( 5.6)
Contoh: Susunan celah seperti pada gambar 5.4 disinari dengan cahaya lampu gas air
raksa (lampu merkuri) yang mengalami penyaringan sehingga boleh dikatakan hanya
garis hijau saja ( = 546 nm atau 5460 ) yang terpancar jatuh pada celah ganda. Jarak
antar celah 0,10 mm dan jarak layar (tempat terlihatnya pola interferensi) dari celah
adalah 20 m. Berapakah posisi sudut dari minimum pertama dan maksimum ke sepuluh?
Jawab : Untuk minimum pertama kita ambil m = 0 dalam persamaan ( 5.6) atau
sin
m 12 12 546 10 9 m
0,10 10 3 m
0,0027 .
Nilai sin ini sangatlah kecil, sehingga dapat kita anggap sebagai sudut itu sendiri.
Namun sudut di atas masih dalam radian dan jika kita ubah menjadi derajat akan menjadi
0,16.
Pada maksimum ke-10 (garis terang ke-10) (tidak termasuk maksimum pusat),
kita mengambil nilai m = 10. Dengan cara serupa seperti sebelumnya, maka kita akan
memperoleh posisi sudut 3,8. Perhitungan-perhitungan ini menunjukkan bahwa
penyebaran sudut sepuluhan garis interferensi pertama yang paling dekat dengan pusat
sangatlah kecil.
Contoh: Dalam contoh di atas, berapakah jarak linier pada layar C antara dua maksimum
(garis terang) yang berturutan?
Untuk sudut yang cukup kecil, maka dapat digunakan pendekatan
sin tan .
Dari gambar 5.8 kita melihat bahwa
tg =
y
.
D
Bentuk ini kemudian kita sebstitusikan ke dalam persamaan persamaan untuk garis
terang dengan menggantikan sin , maka kita akan peroleh
11
ym m
( 5.7)
dan
y m1 m 1
D
d
Jarak antara keduanya merupakan selisih dari dua persamaan di atas, sehingga
y y m1 y m
546 10
( 5.8)
m 20 10 2 m
1,09 mm .
0,10 10 -2 m
Selama sudut dalam gambar 5.4 cukup kecil, maka jarak pisah antara garis interferensi
tidak tergantung kepada m, jadi garis-garis tersebut berjarak sama. Jika cahaya yang
datang mengandung lebih dari satu panjang gelombang, maka masing-masing panjang
gelombang akan memiliki jarak pisahnya sendiri, yang berbeda satu dengan yang lain,
dan semua pola interfrensinya akan saling bertumpuk.
Pola interferensi yang dibuat oleh sinar-sinar yang koheren yang dipantulkan oleh
sebuah benda dapat direkam dalam sebuah emulsi fotografis. Jika pola ini kemudian
disinari dengan sinar koheren yang sama dengan sinar koheren perekamnya, maka
terbentuklah citra 3 dimensi benda tadi. Mekanisme seperti ini merupakan dasar kerja
holografi. Sinar koheren yang dipakai adalah laser, sebuah sinar koheren yang kuat dan
monokromatik (ekawarna).
Intensitas Cahaya Pada Layar. Sekarang hendak dihitung intensitas cahaya yang jatuh
pada layar sebagai fungsi sudut . Perhatikan kembali titik P dalam gambar 5.4.
Gelombang cahaya yang datang dari kedua celah dan jatuh di titik P awalnya sefase tepat
ketika meninggalkan kedua celah tersebut. Sekali lagi, karena keduanya menempuh jarak
optis yang berbeda maka kedua berkas itu mungkin tidak sefase lagi. Beda fase kedua
gelombang itu di berikan oleh
=
S1 b
2 d
sin .
( 5.9)
E1 = E0 sin t
E2 = E0 sin (t + )
( 5.10)
( 5.11)
dengan adalah frekuensi sudut gelombang-gelombang cahaya itu dan dan E0 adalah
amplitudo getaran listrik di titik P. Perpaduan kedua getaran di atas menghasilkan
E1 + E2 = E0 sin t + E0 sin (t + )
= E0 [sin t + sin (t + )]
= 2 E0sin (t + t + )cos (t t )
= 2 E0 cos(/2) sin (t +
)
2
Jadi, kita dapatkan sebuah getaran dengan amplitudo 2 E0 cos(/2). Intensitas cahaya
terkait dengan energi yang ditransmisikan oleh gelombang cahaya. Sedangkan energi
yang ditransmisikan sebanding dengan kuadrat amplitudo getaran yang dijalarkan. Oleh
karena itu intensitas cahaya di titik P diberikan oleh
IP = [2 E0 cos(/2)]2
= 4(E0)2 cos2(/2)
1
= 4I0 cos2( ),
2
( 5.12)
n1
n1
selama dibiaskan dan dipantulkan kembali
n2
oleh kedua permukaannya.
Kita perhatikan sekarang sebuah
lapisan tipis yang berada pada lingkungan
Gambar 5.5
dengan indeks bias n1. Diandaikan lapisan
13
tipis itu memiliki indeks bias n2, dengan n2 < n1. Seberkas sinar jatuh dengan sudut
datang pada salah satu permukaan lapisan tipis itu. Seberkas sinar itu sebagian
dipantulkan dan sebagian lagi dibiaskan. Yang dibiaskan pun pada akhirnya juga
dipantulakan dan dibiaskan keluar oleh permukaan yang lain lapisan tipis itu. Yang
dipantulkan oleh permukaan kedua tidak mengalami pembalikan mengingat pemantulan
dilakukan oleh permukaan medium yang lebih renggang. Sebaliknya, berkas yang
dipantulkan oleh permukaan pertama mengalami pembalikan fase. Oleh karena itu beda
fase antara berkas sinar yang dipantulkan oleh permukaan pertama dan permukaan kedua
adalah 180 ditambah dengan beda fase akibat adanya beda lintasan optik. Bila sudut
datang cukup kecil, maka beda lintasan optik yang dimaksud adalah 2dn 5. Beda lintasan
optik senilai ini mengakibatkan perbedaan fase sebesar
2dn2
4dn2
+ = 4dn2 .
Penguatan maksimum terjadi apabila beda fase total ini senilai m2, dengan m bilangan
asli (1, 2, 3, dst.), yakni
4dn2
= m2
1
).
2
(m = 1, 2, 3, dst.)
( 5.12)
4dn2
= m,
(m = 1, 2, 3, dst.)
( 5.13)
Terlihat bahwa pemadaman dan penguatan sangat tergantung pada panjang gelombang.
Hal ini mengakibatkan pemadaman dan penguatan beberapa warna. Semuanya selain
tergantung pada panjang gelombang juga tergantung pada ketebalan lapisan tipis.Warnawarna yang padam jelas tak akan terlihat pada lapisan itu. Hanya warna-warna yang
mengalami penguatanlah yang akan terlihat.
14
4. Difraksi
Apa yang sebenarnya terjadi jika seberkas sinar dilewatkan pada sebuah celah? Apabila
ukuran celah itu cukup lebar, ukuran bayangan celah yang jatuh pada layar boleh
dikatakan sama dengan ukuran celahnya. Hal ini dengan mudah dapat dijelaskan secara
geometri akibat lintasan lurus yang ditempuh oleh cahaya. Tetapi, yang terjadi akan
berbeda sama sekali jika ukuran celah kita buat sekecil mungkin (gambar 5.11 (b))
sampai ukurannya sama dengan panjang gelombang cahaya yang kita lewatkan. Gejala
gelombang (cahaya) seperti ini disebut difraksi atau lenturan gelombang. Yang terlihat
pada layar disebut pola difraksi. Secara umum difraksi terjadi bilamana sebuah benda
yang tak tembus pandang (kedap) diletakkan di antara sumber cahaya dan layar
sedemikian rupa sehingga benda itu menyisakan tempat untuk dilewati oleh cahaya dari
sumber sehingga jatuh ke layar (lihat gambar 5.6)
layar
Sumber
cahaya
benda kedap
cahaya
Gambar 2.6
15
Gambar 5.7 Muka gelombang pada gejala pelenturan cahaya pada celah
tunggal untuk celah yang makin sempit
Gambar 5.7 menunjukkan bahwa cahaya yang melewati sebuah dinding dengan
celah tunggal sebagian akan mengalami pelenturan ke belakang dinding dan sebagian lagi
yang lolos akan masuk ke celah. Cahaya yang masuk ke dalam celah ternyata
menunjukkan perilaku yang berbeda. Ketika ukuran celah cukup lebar pola terang-gelap
tidak kelihatan, namun begitu ukuran celah disempitkan, cahaya yang menerobos celah
dan ditangkap layar akan menampilkan pola terang-gelap.
Dalam buku ini kita hanya akan mempelajari difraksi Fraunhofer, yakni difraksi
yang terjadi sedemikian rupa sehingga sinar-sinar hasil difraksi boleh dikatakan saling
sejajar satu dengan yang lain. Ini dapat kita capai dengan jalan menjauhkan layar dari
celah.
d
sin
2
seperti terlihat pada gambar, berhubung indeks bias udara dianggap 1. Nilai ini didapat
karena kita menganggap D, yakni jarak layar dari celah, begitu besar sehingga kedua
sinar itu boleh dikatakan sejajar (pelenturan Fraunhofer). Jika selisih jarak ooptik ini
sama dengan kelipatan ganjil setengah panajng gelombang, maka kedua sinar itu akan
saling menghapus. Hal ini juga terjadi untuk sinar-sinar yang berasal dari sembarang dua
titik pada celah yang jaraknya d/ 5. Sebagai latihan dapat dibuktikan bahwa untuk D yang
16
besar sekali dua sinar yang jatuh pada titik P dan berasal dari dua titik pada celah yang
berjarak d/2 memiliki beda lintasan optik sejauh (d/2)sin. Dapat pula dibuktikan bahwa
setiap titik yang berada pada separo celah bagian atas mempunyai pasangan sebuah titik
pada separo celah bagian bawah yang jaraknya d/2 sehingga selisih optik sinar-sinar yang
berasal dari pasangan itu dan jatuh di titik P adalah (d/2)sin. Jadi, bila
d
sin =
2
2
atau
sin =
1
2
3
d
d
sin
2
Gambar 5.8
maka pasangan-pasangan sinar tersebut saling menghapus. Dan titik P merupakan titik
yang berada di garis gelap. Bila celah itu dibagi menjadi empat wilayah, maka dengan
alasan serupa didapatlah kesimpulan bahwa titik P berada pada garis gelap bila
sin =
4
2
atau
sin = 2
Pembagian celah menjadi enam wilayah memberi kesimpulan bahwa titik P berada di
garis pemadaman bila
sin =
6
2
atau
sin = 3
Dan seterusnya... Secera umum, titik P terlatak pada garis gelap bila sudut memenuhi
persamaan
17
sin = m
,
d
( 5.14)
Mengingat jarak dari celah ke layar D, maka lebar terang pusat adalah
D2 sin 1(/d) = 2D sin 1(/d).
Bila <<d, maka lebar terang pusat adalah 2D/d. Semakin sempit celah yang dipakai,
maka terang pusat semakin lebar. Hal ini sebenarnya sudah dapat disimpulkan dari
Gambar 5.13.
18
Gambar 5.10
Gambar 5.10 merupakan gambar difraksi fraunhofer pada kekisi secara skematis.
Cahaya yang melalui celah kekisi dilenturkan dan memiliki fase sama. Masing-masing
berkas memiliki beda lintasan sebesar dsin. Jika perbedaan lintasan ini, merupakan
kelipatan panjang gelombang ketika masing-masing berkas berinterferensi pada saat
mencapai layar sehingga menghasilkan garis terang. Karena itu, kedaan yang dibutuhkan
untuk menghasilkan garis terang adalah
d sin m , m = 0, 1, 2, ...
( 5.16)
Patut dicatat bahwa ini merupakan keadaan yang sama dengan interferensi celah ganda.
Efek meningkatnya jumlah celah akan membentuk ketajaman pola interferensi. Jika
tetapan kekisi diberi simbul K, maka
d=
1
.
K
( 5.16)
19
dengan = (1 + 2)/2 dan = (1 2). Dapat dibuktikan bahwa daya urai sebuah kekisi
pada orde ke m dapat dihitung menurut persamaan
R = Nm,
( 5.17)
5. Polarisasi
Telah diketahui bahwa gelombang elektromagnetik adalah gelombang transversal.
Getaran yang dijalarkan sebagai gelombang elektromagnetik adalah medan listrik dan
medan magnet yang berubah-ubah secara periodik baik arahnya maupun besarnya.
Seberkas cahaya biasa terdiri dari sejumlah gelombang dengan arah getar yang berbedabeda. Jika getaran yang merambat sebagai gelombang cahaya ini memiliki arah yang
mengikuti pola teratur, maka cahaya yang demikian ini disebut sebagai cahaya yang
terpolarisasi. Jika ujung vektor medan listrik dan meda magnet bergerak dalam lintasan
berbentuk elips maka dikatakan bahwa gelombang elektromagnetik (cahaya) tersebut
terpolarisasi elips. Bila ujung vektor medan listrik dan medan magnet bergerak dalam
lintasan berupa lingkaran maka gelombang elektromagnetik tersebut dikatakan
terpolarisasi lingkaran. Bila arah vektor medan listrik hanya bolak-balik dalam satu
sumbu saja, maka gelombang elektromagnetik tersebut dikatakan terpolarisasi bidang.
Dikatakan terpolarisasi bidang karena sepanjang penjalarannya, medan listrik bergetar
pada bidak yang sama demikian pula dengan medan magnet. Untuk lebih jelasnya,
lihatlah gambar penjalaran gelombang elektromagnetik berikut.
Istilah polarisasi sebenarnya memiliki lebih dari satu makna. Polarisasi bisa kita temukan
pada saat mempelajari muatan listrik, reaksi kimiawi maupun gelombang. Dalam
kaitannya dengan kajian gelombang, istilah polarisasi memiliki arti sebagai pembatasan
arah getaran gelombang transversal pada satu arah getar tertentu. Dalam suatu radiasi
gelombang elektromagnetik yang tidak terpolarisasi, vektor medan listrik dan juga medan
magnet bergetar ke segala arah tegak lurus arah penjalarannya.
20
(a)
(b)
21
( 5.18)
dengan Imax adalah intensitas berkas cahaya ketika memasuki polarisator kedua.
Persamaan ( 5.18) disebut Hukum Malus.
terpolarisasi sebagian. Bila sudut datang divariasi, maka pada suatu saat sinar pantul dan
sinar bias membentuk sudut 90. Pada saat itulah terjadi polarisasi sempurna. Berkas
yang dipantulkan merupakan komponen yang bergetar sejajar dengan dengan bidang
pantul. Oleh karena itu polarisasi sempurna terjadi bila
p + b + 90 = 180,
dengan p dan b berturut-turut sudut datang dan sudut bias. Jadi, p + b = 90 atau b =
90 p. Karena sudut datang sama dengan sudut pantul, maka b = 90 d. Dari hukum
Snellius didapat
n1sin d = n2 sin 90 d.
dengan n1 indeks bias medium pertama dan n2 indeks bias medium kedua. Karena sin
90 d = cos d, maka
tg d =
n2
,
n1
( 5.19)
karena tg a = sin a/cos a. Jadi, polarisasi sempurna terjadi bila sudut datang sama dengan
tg1(n2/n1). Inilah hukum Brewster.
6. Efek Doppler
Sejauh ini, efek Doppler yang kita tinjau adalah efek Doppler untuk gelombang
bunyi. Apakah efek Doppler juga berlaku untuk gejala gelombang yang lain? Bagaimana
efek Doppler yang terjadi pada gelombang elektromagnetik seperti misalnya cahaya?
Bunyi memang merupakan contoh paling umum untuk efek Doppler. Namun
sebenarnya, efek ini diusulkan oleh fisikawan Austria C.J. Doppler (1803-1853) untuk
mencoba menerangkan keadaan warna bintang-bintang.
Pada cahaya-tampak frekuensi akan menentukan warna. Warna merah memiliki
frekuensi yang lebih kecil dibandingkan frekuensi warna ungu. Berdasarkan pengamatan
Edwin Hubble (1889-1953), garis-garis pada spektrum galaksi menunjukkan pergeseran
ke arah ujung merah spektrum tampak. Peristiwa ini dikenal sebagai pergeseran merah
(red shift) pada spektrum bintang-bintang. Adanya pergeseran merah yang mendominasi
spektrum bintang-bintang ini telah meyakinkan para ilmuwan bahwa alam semesta kita
sedang mengembang atau memuai, karena ini menunjukkan bahwa hampir semua bintang
bergerak saling menjauh. Teori yang membahas hal ini dikenal sebagai teori big bang
(teori dentuman dahsyat). Cobalah untuk melihat bab tentang jagad raya dalam buku ini.
Meskipun sifat efek Doppler pada cahaya kelihatan sama dengan efek Doppler
pada bunyi, tetapi secara prinsip kedua hal ini berbeda. Pada cahaya dan juga gelombang
elektromagnetik yang lain, laju perambatan gelombang tidak dihitung relatif terhadap
suatu medium, karena memang gelombang elektromagnetik tidak membutuhkan medium
apapun untuk merambat. Dari postulat teori relativitas khusus Einstein kita mengetahui
bahwa laju cahaya di ruang hampa c adalah invarian, artinya besar c tidak bergantung
pada gerak relatif antara sumber cahaya dan pengamat. Orang yang bergerak searah
23
maupun berlawanan arah dengan arah perambatan cahaya akan mengamati laju cahaya
itu sebesar c. Jika anda merasa tertantang dan ingin memperkaya pengetahuan tentang
sifat istimewa dari cahaya ini, anda dapat membuka buku-buku teori relativitas. Di sini
kita hanya akan mengutip persamaan akhirnya yaitu
1
c u 2
=
f
c u
fp
dengan u adalah kecepatan relatif sumber cahaya terhadap pengamat. Nilai u akan
berniali positif jika keduanya saling menjauh dan negatif jika keduanya saling mendekat.
Persamaan di atas hanya berlaku jika gerakan terjadi di sepanjang garis hubung antara
sumber dan pengamat. Di dalam teori relativitas hal ini dikenal sebagai efek Doppler
longitudinal. Adakah efek dopler transversal? Ada namun, kita tidak pada posisi
membahas masalah itu di sini.
Daftar Pustaka
1. El Ghrari, H., 2003, Para Pelopor Peradaban Islam (judul asli: Architects of The
Scientific Thought in Islamic Civilization), Matan, Yogyakarta
2. Halliday, David dan Resnick, Robert, 1992, Fisika, Jilid 1, Edisi ketiga, Cetakan
kedelapan, Erlangga, Jakarta
3. Isaacs, Alan, (Ed.), 1994, Kamus Lengkap Fisika, Edisi Baru, Penerbit Erlangga,
Jakarta.
4. Marrion, J.B., 1979, General Physics with Bioscience Essays, John Wiley & Sons,
New York
5. Nolan, J. P., 1993, Fundamentals of College Physics, Wm. C. Brown
Communications, Inc., USA
6. Prasetia, L., Tan Kian Hien, dan Sandi Setiawan, 1992, Mengerti Fisika: Gelombang,
Cetakan Pertama, Andi Offset, Yogyakarta
24