Anda di halaman 1dari 17

Tugas Mekanika Kuantum

KEGAGALAN FISIKA KLASIK

MUHAMMAD NUR SAPUTRA


12B08010
KELAS A

JURUSAN FISIKA
PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR
2013
KEGAGALAN FISIKA KLASIK

Fisika klasik, yakni fisika sebelum abad keduapuluh, didominasi oleh


mekanika Newton dan elektromagnetika klasik yang digambarkan oleh persamaan
Maxwell. Hal ini tidak mengherankan karena gejala-gejala alamiah yang teramati
oleh manusia pada waktu itu dapat dijelaskankan secara memuaskan dan
diprediksi (diramalkan) secara akurat oleh kedua teori itu. Keteraturan gerakan
planet-planet mengelilingi pusat suatu tatasurya (matahari untuk sistem tata surya
kita) dirumuskan secara empiris oleh Kepler melalui hukum-hukumnya. Ketiga
hukum Kepler itu dibangun dengan berdasarkan pada data-data yang telah
dikumpulkan oleh Brahe. Hukum-hukum Kepler itu ternyata secara mendasar
dapat dijelaskan oleh hukum Newton tentang gerak dan gravitasi. Ketiga hukum
Kepler itu berhasil diturunkan dari hukum-hukum Newton. Sementara itu, gejala-
gejala alamiah seperti pemantulan dan pembiasan cahaya, defraksi (pelenturan)
cahaya, interferensi cahaya, polarisasi cahaya dan lain sebagainya dapat dijelaskan
dengan baik oleh elektromagnetika klasik berdasarkan keyakinan bahwa cahaya
sesungguhnya merupakan gelombang elektromagnetik. Keyakinan manusia akan
kebenaran kedua teori tersebut meningkatkan status kedua teori itu menjadi
hukum-hukum dasar ilmu fisika, lalu membangun anggapan bahwa semua gejala-
gejala alami sudah semestinya dapat dijelaskan berdasarkan kedua teori itu. Lalu,
benarkah anggapan semacam itu? Sejarah mencatat kejadian yang lain.
Keyakinan kita bahwa fisika klasik (mekanika Newton dan
elektromagnetika Maxwell) dapat menjelaskan semua gejala alamiah itu agaknya
mulai menyusut ketika para eksperimentator berhasil mencapai kemampuan yang
mengagumkan dalam menjelajahi dunia mikroskopis, sehingga mampu
mendapatkan data-data baru dalam ranah itu. Mereka banyak menyadari adanya
gejala-gejala alamiah yang sukar bahkan sama sekali tidak dapat dijelaskan oleh
kedua teori klasik itu. Beberapa eksperimen memaksa orang mulai ragu terhadap
kebenaran mekanika Newton. Beberapa yang lain membawa kita kepada
kesangsian akan elektromagnetik klasik.
Melalui makalah ini kita akan gejala-gejala yang tidak dapat dijelaskan
oleh fisika klasik, dan melahirkan fisika kuantum.

1. Radiasi Termal, Hukum Stefan dan Pergeseran Wien


Gejala alamiah paling awal yang gagal dijelaskan oleh elektromagnetika klasik
adalah radiasi termal. Radiasi, seperti telah anda ketahui, adalah pemindahan
tenaga melalui pancaran gelombang elektromagnetik. Jadi, radiasi termal
adalah pemancaran gelombang elektromagnetik oleh suatu benda semata-mata
karena suhunya. Semakin tinggi temperatur benda itu semakin banyak tenaga
yang dipancarkan dalam bentuk radiasi. Untuk benda-benda yang memiliki
temperatur kurang dari kira-kira 700° C, radiasi cahaya tampak (yaitu
gelombang elektromagnetik pada daerah panjang gelombang 4000 Å < λ <
7000 Å) sebegitu lemahnya sehingga tidak dapat dilihat dengan mata telanjang.
Radiasi pada panjang gelombang tersebut baru dapat dilihat dengan mata
telanjang pada temperatur di atas 700° C. Pada saat itu benda yang
bersangkutan berpijar. Spektrum pancarannya bersifat kontinyu (malar) dan
semua padatan menampakkan kecenderungan untuk mempunyai spektrum
pancaran yang sama pada suhu yang sama. Semuanya mendekati spektrum
pancaran benda hitam sempurna.
Gambar 6.1 memperlihatkan susunan peralatan guna mengukur spektrum
radiasi termal. Benda bersuhu T1 yang akan diukur spektrumnya diletakkan
dibelakang kolimator. Benda itu memancarkan radiasi elektromagnetik ke segala
arah. Adanya kolimator memungkinkan kita hanya memilih pancaran-pancaran ke
arah tertentu saja. Radiasi yang berhasil melalui kolimator kemudian dilewatkan
prisma atau peranti-peranti dispersif (pengurai) yang lain. Radiasi-radiasi dengan
panjang gelombang berbeda akan terlihat pada sudut θ yang berbeda. Oleh karena
itu dengan menggerakkan detektor dari satu sudut ke sudut yang lain kita dapat
mengukur intensitas pada masing-masing sudut, yakni intensitas masing-masing
panjang gelombang yang bersesuaian dengan sudut-sudut itu. Tetapi penampang
detektor bukanlah titik geometris, sehingga yang terukur bukan intensitas radiasi
pada sudut tunggal, melainkan intensitas radiasi pada selang sudut dθ di sekitar θ,
yakni bersesuaian dengan intensitas radiasi pada selang panjang gelombang dλ di
sekitar λ. Besaran yang terukur ini disebut rapat intensitas radiasi atau
intensitas radiasi spektral dan dilambangkan dengan Iλ. Hasil-hasil pengukuran
itu kemudian diplot sebagaimana grafik yang ditunjukkan pada gambar 6.2 untuk
dua suhu yang berbeda T2 > T1.

Dari hasil-hasil eksperimen yang telah dilakukan didapatkan bahwa


intensitas radiasi keseluruhan yang dipancarkan oleh sebuah benda, yakni
intensitas radiasi yang menyangkut keseluruhan panjang gelombang berbanding
lurus dengan pangkat empat dari suhu mutlak benda. Jika W(T) intensitas radiasi
keseluruhan yang dimaksud, maka
( )

dengan σ dikenal sebagai tetapan Stefan-Bolztmann yang besarnya 5,6703 × 10-


8
watt/m2.K4 dan e adalah emisivitas yang nilainya antara 0 sampai 1. Emisivitas
tergantung dari sifat-sifat permukaan benda yang ditinjau. Persamaan di atas
dikenal sebagai hukum Stefan. W(T) tidak lain adalah luas wilayah di bawah
kurva Iλ pada suhu T.
Pada grafik terlihat puncak-puncak kurva rapat intensitas. Puncak-puncak
itu bertepatan dengan panjang gelombang λmak.. Jadi, yang dimaksud dengan λmak.
adalah panjang gelombang yang dimiliki oleh komponen radiasi dengan intensitas
paling tinggi. Oleh karena itu, λmak.bukanlah panjang gelombang maksimum. Pada
grafik tampak bahwa semakin tinggi suhu benda, semakin kekiri puncaknya. Hal
ini bersesuaian dengan pergeseran λmak. Wien menemukan kaitan antara
pergeseran λmak. dengan suhu benda. Hukum pergeseran Wien diungkapkan
melalui persamaan

2. Radiasi Benda Hitam


Benda hitam sempurna (selanjutnya sebut saja benda hitam) ialah sesuatu
yang menyerap radiasi pada semua panjang gelombang. Berapapun panjang
gelombangnya, bila suatu radiasi mengenai benda hitam, maka radiasi itu akan
diserap. Dengan kata lain benda hitam adalah benda yang koefisien pantulannya
nol untuk semua panjang gelombang. Dari eksperimen diperoleh kenyataan bahwa
selain sebagai penyerap yang baik, benda hitam merupakan pemancar radiasi yang
baik pula. Salah satu contoh benda hitam adalah matahari kita (dan tentu saja
adalah bintang-bintang lain di jagad raya ini). Contoh lain yang cukup memadai
untuk benda hitam ialah lubang kecil pada suatu rongga. Semua radiasi yang jatuh
pada lubang itu tidak lagi dapat keluar melalui lubang itu. Hal ini sebagai akibat
terjadinya pantulan berulang-kali yang menyusutkan intensitas radiasi itu hingga
pudar sama sekali. Bila benda berongga itu dipanasi sampai berpijar, maka justru
lobang itulah yang paling terang.
Sifat-sifat permukaan suatu benda, seperti telah disinggung di depan, ikut
berpengaruh pada intensitas spektral radiasi yang dipancarkan oleh benda itu.
Lebih jauh sifat permukaan ini termasuk kemampuan memantulkan radiasi, warna
permukaan dan lain sebagainya. Jadi, intensitas radiasi keseluruhan semata-mata
bukan hanya tergantung dari suhu benda itu. Sifat-sifat permukaan benda ini pada
hukum Stefan dicerminkan oleh emisivitas benda. Tetapi pada benda hitam, sifat-
sifat itu lenyap sama sekali sehingga intensitas radiasi keseluruhan hanya
tergantung pada suhu permukaan benda hitam. Benda hitam dari bahan apapun
akan memiliki intensitas radiasi keseluruhan yang sama asalkan suhu
permukaanya sama. Hukum Stefan untuk benda hitam diberikan oleh
( )
Keistimewaan inilah yang kemudian menjadikan benda hitam sebagai acuan
dalam kajian tentang radiasi termal. Intensitas spektral benda hitam hasil
eksperimen untuk berbagai suhu diperlihatkan pada grafik di bawah

Grafik selanjutnya menyajikan ketidakcocokan antara penjelasan yang


diberikan oleh fisika klasik dengan hasil eksperimen. Pada grafik itu, lingkaran-
lingkaran kecil merupakan hasil eksperimen. Untuk menjelaskan spektrum radiasi
benda hitam secara klasik, mula-mula radiasi benda hitam dipandang sebagai
sekumpulan getaran elektromagnetik yang berada pada keseimbangan panas
dengan lingkungannya. Secara klasik, masing-masing getaran mempunyai tenaga
sebesar (1/2)kT. Perhitungan selanjutnya menghasilkan rumus untuk intensitas
radiasi persatuan panjang gelombang IλRJ sebagai berikut

Persamaan di atas diturunkan pertama kali oleh Rayleigh dan Jeans


sehingga dikenal sebagai rumus Rayleigh-Jeans. Dengan adanya faktor λ−4 pada
persamaan di atas, maka kita mendapatkan masalah yang cukup pelik, yakni
munculnya ketakterhinggaan (singularitas) saat λ mengecil. Masalah ini dikenal
sebagai bencana ultraungu. Mengapa disebut bencana ultra ungu? Hal ini mudah
dipahami mengingat daya total yang diradiasikan oleh benda hitam persatuan luas
adalah

∫ ∫

Nilai integral ini menuju ke tak terhingga. Kalau hal ini benar, tentulah
terjadi kerusakan hebat akibat adanya radiasi gelombang pendek. Itulah sebabnya
sebutan “bencana ultraviolet”. Tetapi kenyataannya tidak.

Terhadap kesulitan ini, Max Planck mengajukan gagasan yang dianggap


cukup radikal kala itu, yaitu gagasan kuantisasi tenaga yang dimiliki oleh getaran-
getaran elektromagnetik. Maksudnya, suatu getaran elektromagnetik tidak boleh
memiliki sembarang nilai tenaga, tetapi tenaga getaran merupakan kelipatan bulat
dari paket atau catu tenaga (kuanta tenaga) senilai hν , dengan tetapan Planck
senilai 6,63 × 10-34 J.dt dan ν adalah frekuensi getaran. Jadi, tenaga osilator terkait
dengan frekuensinya hal yang tidak benar menurut teori klasik (sebagaimana kita
ketahui, secara klasik, tenaga suatu getaran tergantung pada amplitudonya).
Tenaga getaran juga bukan (1/2)kT sebagaimana yang dipakai dalam analisa
secara klasik, melainkan (n bilangan bulat). Berdasarkan gagasan ini, dengan cara
perhitungan yang sama, Planck mendapatkan hasil yang menakjubkan. Menurut
Planck intensitas radiasi persatuan panjang gelombang diberikan oleh

( )

3. Efek Fotolistrik
Efek Fotolistik adalah satu dari gejala lepasnya elektron dari permukaan suatu
benda. Bila seberkas cahaya (yang memenuhi syarat tertentu) jatuh pada
permukaan suatu benda maka elektron-elektron pada permukaan benda itu akan
terbebaskan dari ikatannya sehingga elektron-elektron tersebut terlepas. Begitulah
efek fotolistik. Skema eksperimen efek fotolistik diperlihatkan oleh gambar di
bawah.

Pada lempeng anoda (A) dijatuhkan seberkas cahaya. Jika berkas cahaya ini
memenuhi syarat, maka akan terjadi pelepasan elektron-elektron dari permukaan
anoda itu. Elektron elektron yang terlepas dari anoda itu mempunyai tenaga
kinetik sehingga berhamburan keberbagai arah. Elektron-elektron tersebut ada
yang sampai di katoda (K) apabila mampu mengatasi beda potensial yang
dipasang antara katoda dan anoda. Jatuhnya elektron-elektron pada permukaan
katoda menyebabkan terjadinya arus yang dapat dibaca pada Ampermeter. Arus
ini disebut fotoarus if. Beda potensial antara anoda A dan katoda diatur dengan
potensiometer P. Dengan mengatur P kita dapat mengusahakan agar tidak ada
elektron yang mampu mencapai katoda K.
Berikut adalah beberapa gejala yang teramati :
a) Arus if mengalir hampir sesaat setelah cahaya yang memenuhi “syarat”
dijatuhkan padampada permukaan anoda A, walaupun intensitas cahaya
itu cukup rendah (10−10 W/m2). Dibutuhkan waktu tidak lebih dari 10−9
detik untuk melepaskan elektron dari saat pertama kali cahaya dijatuhkan.

b) Untuk frekuensi cahaya v dan potensial V yang dipasang tetap pada suatu
nilai, arus if berbanding lurus dengan intensitas I.

c) Untuk frekuensi v dan intensitas I yang dibuat tetap, arus if berkurang


dengan naiknya potensial V dan akhirnya mencapai nol pada saat V sama
dengan V0. Potensial V0 disebut potensial penghenti dan nilainya sama
untuk semua nilai intensitas I, Jadi V0 tidak tergantung pada intensitas
cahaya yang dipakai.
d) Untuk sembarang bahan anoda, potensial V0 tergantung pada frekuensi
sinar yang dijatuhkan pada anoda. Terdapat frekuensi batas (ambang),
katakanlah vo, agar efek fotolistrik terjadi. Bila sinar yang dijatuhkan pada
anoda memiliki frekuensi yang nilainya di bawah frekuensi ini, maka efek
fotolistrik tidak dapat berlangsung. Lalu, bila sinar yang dipakai diganti
dengan yang berfrekuensi di atas frekuensi vo , maka efek fotolistrik dapat
berlangsung. Frekuensi vo tergantung pada jenis zat (logam) yang dipakai
untuk anoda.

Penjelasan fisika klasik :


Fisika klasik memandang cahaya sebagai gelombang elektromagnetik.
Tenaganya bersifat kontinyu dan tidak tergantung pada frekuensinya. Menurut
teori klasik, intensitas adalah energi cahaya yang jatuh pada suatu permukaan
seluas satu satuan tiap satu satuan waktu. Jadi, semakin lama sinar dijatuhkan
pada permukaan anoda semakin banyak pula energi yang diterima oleh elektron-
elektron di permukaan anoda itu.
Tentang fenomena (a), teori klasik gagal memberi penjelasan. Perhitungan
secara klasik meramalkan bahwa dengan seberkas sinar berintensitas 10−10 W/m2
tidak mungkin terjadi bila waktu penyinaran kurang dari 10-9 detik. Hal ini secara
klasik disebabkan elektron membutuhkan waktu untuk mengumpulkan energi
yang dibawa oleh cahaya. Padahal secara klasik energi yang dibawa oleh cahaya
berbanding lurus dengan intensitasnya. Oleh karena itu bila intensitas cahaya
rendah, maka butuh waktu yang lama untuk mendapatkan energi yang cukup.
Tentang fenomena (b), teori klasik menjelaskan bahwa semakin tinggi
intensitas sinar yang dipakai semakin banyak energi yang diterima oleh
permukaan anoda sehingga semakin banyak elektron yang dilepaskan olehnya.
Semakin banyak elektron yang dilepaskan, semakin besar pula arus if yang
mengalir. Penjelasan ini mudah sekali dan bisa diterima.
Tentang fenomena (c) teori klasik tidak mampu memberi penjelasan
mengapa untuk intensitas yang berbeda diperlukan tegangan V0 yang sama guna
menghentikan mengalirnya elektron dari anoda ke katoda?. Logikanya, secara
klasik, semakin tinggi intensitas semakin besar energi yang diterima oleh
elektron-elektron. Semakin banyak energi elektron-elektron itu semakin tinggi
potensial yang diperlukan untuk menghentikan arus elektron itu. Namun,
kenyataannya tidak : intensitas berapapun memerlukan potensial penghenti yang
sama, yakni V0.
Tentang fenomena (d), jelas sekali bahwa teori klasik menentangnya,
karena secara klasik tenaga cahaya tidak tergantung dari frekuensi melainkan
amplitudo.
Penjelasan fisika kuantum :
Teori kuantum memandang cahaya sebagai semburan paket-paket atau
partikel-partikel yang disebut foton. Tenaga tiap foton sebesar h. Intensitas
berbading lurus dengan jumlah foton yang jatuh pada suatu permukaan seluas satu
satuan secara tegak lurus tiap satu satuan waktu. Tepatnya,
Intensitas = I = nh

dengan n adalah jumlah foton yang jatuh secara tegak lurus pada permukaan
seluas satu satuan tiap satu satuan waktu. Bila sebuah foton menabrak elektron di
permukaan anoda, maka terjadi pengalihan tenaga foton kepada elektron. Tenaga
ini dipergunakan untuk melepaskan ikatan elektron itu dengan permukaan anoda.
Jika tenaga tersebut kurang dari tenaga ikat elektron dengan permukaan anoda,
maka elektron itu tidak dapat lepas. Efek fotolistrik terjadi bila tenaga yang
diterima elektron itu cukup untuk mengatasi tenaga ikatnya dengan permukaan
anoda. Fraksi (bagian) tenaga yang digunakan untuk mengatasi ikatan elektron itu
disebut fungsi kerja . Fungsi kerja tergantung pada jenis logam anoda. Fungsi
kerja terkait dengan frekuensi ambang vo melalui
= h
Sisa tenaga setelah digunakan untuk mengatasi ikatan merupakan tenaga kinetik
maksimum elektron. Jadi, bila sebuah foton berfrekuensi ν menyerahkan
tenaganya sebesar hν kepada elektron, maka

Tentang fenomena (a), teori kuantum menjelaskan bahwa karena tenaga


yang diterima elektron tidak tergantung lama penyinaran tetapi tergantung pada
frekuensi foton, maka tidaklah diperlukan waktu yang cukup lama untuk
menimbulkan efek fotolistrik asalkan frekuensi cahaya melebihi vo.
Tentang fenomena (b), dengan mudah dapat dijelaskan oleh teori kuantum.
Intensitas berbanding lurus dengan jumlah foton. Tiap foton melepaskan satu
elektron. Semakin banyak jumlah foton yang jatuh pada permukaan anoda,
semakin banyak elektron yang lepas. Dengan kata lain semakin tinggi intensitas
cahaya semakin besar arus yang mengalir.
Tentang fenomena (c), dijelaskan bahwa tenaga kinetik maksimum
elektron tergantung pada frekuensi cahaya (foton) dan tidak tergantung pada
intensitas cahaya, maka sangat layak bila potensial V0 bernilai sama untuk
berbagai intensitas pada frekuensi yang sama. Tentang fenomena (d), dengan
sendirinya telah jelas.
4. Efek Compton
Efek Fotolistik adalah salah satu eksperimen yang mendukung teori
korpuskuler tentang cahaya. Teori ini mengatakan bahwa cahaya merupakan
semburan butiran-butiran yang sangat kecil. Efek fotolistrik menandai bangkitnya
teori tersebut yang pada abad sebelumnya tergusur oleh teori undulasi Huygens
dan kawan-kawan. Bangkitnya teori korpuskuler ini juga ditandai oleh eksperimen
yang dilakukan oleh Compton pada tahun 1923 yang selanjutnya dikenal sebagai
effek Compton. Eksperiemn Compton termasuk eksperimen yang disebut
eksperimen hamburan, yakni jenis eksperimen yang memegang peranan penting
dalam ilmu fisika. Skema effek Compton tersaji pada Gambar di bawah.

Pada gambar di atas, terlihat sebuah foton dengan tenaga ε1


bermomentumkan k1 menabrak elektron diam bermassa me. Foton tersebut
terhambur dan elektronnya terpental. Foton yang terhambur ditangkap dengan
detektor D dan diukur panjang gelombangnya (juga frekuensinya). Secara klasik,
panjang gelombang foton setelah terhambur sama dengan panjang gelombang
foton sebelum terhambur. Sedang menurut teori kuantum, foton terhambur
mempunyai panjang gelombang yang berbeda dengan foton sebelum hamburan
tergantung dari sudut hamburannya. Pada gambar itu, foton terhambur dan
elektron terpental masing-masing memiliki (momentum, tenaga) berturut-turut
(k2, ε2) dan (p2, E2). Secara kuantum berlaku ε1 = hν1, k1 = h/λ1, k2 = hλ2, dan k2 =
h/λ2. Setelah melalui perhitungan yang tidak begitu panjang, diperoleh bahwa

( )

dengan θ adalah sudut hambur foton. Tetapan


disebut panjang gelombang Compton. Gambar selanjutnya memperlihatkan hasil
eksperimen yang dilakukan oleh Compton untuk empat sudut θ yang berbeda,
yakni 0o, 45o, 90o dan 135o. Terlihat adanya perbedaan panjang gelombang
sebelum dan sesudah hamburan. Artinya,

dengan ∆λ tidak sama dengan nol. Hasil ini tentu sebuah pukulan lagi bagi teori
klasik.

5. Eksperimen Frank-Hertz
Teori klasik tak mengenal konsep kuantisasi suatu besaran. Teori klasik
beranggapan bahwa semua besaran fisis bersifat kontinyu. Model atom yang
dikemukakan oleh Bohr menentang anggapan ini dengan memasukkan kuantisasi
momentum sudut. Akibatnya diperoleh aras-aras tenaga elektron pada atom.
Adanya aras-aras tenaga tersebut dibuktikan dengan eksperimen Franck-Hertz.
Susunan alatnya sebagaimana disajikan oleh gambar 6.12.
Suatu filamen digunakan untuk memanasi katoda K sehingga terjadi
pancaran termionik, yakni pancaran elektron-elektron akibat adanya pemanasan.
Elektron yang terlepas tersebut bergerak ke arah kisi yang diberi tegangan positif
lebih tinggi dari pada anoda. Pada rangkaian Gambar 6.12 itu tampak bahwa kisi
selalu memiliki potensial 0,5 volt lebih tinggai dibandingkan anoda. Elektron-
elektron itu selanjutnya menuju ke anoda. Bila elektron-elektron tersebut mampu
mencapai anoda, maka di ampermeter akan terbaca adanya arus i yang mengalir.
Sepanjang perjalanan dari katoda menuju ke kisi elektron-elektron tersebut
bertabrakkan dengan atom-atom gas yang telah dimasukkan ke dalam tabung itu.
Bila tenaga elektron diserap oleh atom-atom gas maka elektron itu bisa jadi tidak
akan mampu mengatasi beda potensial antara kisi dan anoda. Akibatnya, grafik
arus terhadap tegangan V (yakni beda potensial antara katoda dan kisi)
diperlihatkan oleh gambar 6.13. Terlihat adanya penurunan arus secara periodik.

Dalam eksperimen ini, tenaga elektron Te terkait dengan beda potensial V


melalui Te = eV. Arus i diukur untuk berbagai nilai V. Terlihat dari hasil
eksperimen bahwa pada potensial V tertentu saja terjadi penurunan kuat arus i.
Artinya, hanya untuk tenaga elektron tertentu saja terjadinya penurunan kuat arus.
Karena penurunan kuat arus berarti terjadinya penyerapan tenaga elektron, maka
hal ini menandakan bahwa penyerapan tenaga elektron-lektron oleh atom-atom
gas bersifat diskret. Mengapa harus begitu? Teka-teki ini segera terjawab bila
diingat kembali model atom Bohr-Rutherford. Sebuah elektron dalam suatu atom
dapat menyerap sejumlah tenaga untuk pindah ke aras tenaga di atasnya. Karena
aras-aras tenaga yang ada tidak sembarangan, atau diskret, maka sejumlah tenaga
yang dibutuhkan oleh elektron untuk berpindah araspun tidak sembarangan. Tidak
boleh lebih tidak boleh kurang.

6. Hipotesa de Broglie
Telah terbukti bahwa teori undulasi (yang mengatakan bahwa cahaya
adalah gelombang) telah secara sempurna dapat menjelaskan gejala difraksi,
interferensi, refleksi, polarisasi, dispersi dan refraksi cahaya (lihat kembali bab 2
buku ini). Sementara bagi teori kospuskuler gejala-gejala alamiah seperti itu
merupakan ganjalan yang sangat berarti, sulit bahkan gagal untuk dijelaskan.
Tetapi, sebaliknya, untuk efek fotolistrik dan efek Compton teori korpuskuler
tampak cukup memuaskan dalam memberikan penjelasannya. Kemudian,
pertanyaannya adalah yang manakah dari keduanya yang benar? Betulkah cahaya
merupakan gelombang elektromagnetik? Betulkah cahaya merupakan partikel-
partikel? Sintesa (gabungan) dua pandangan ini memunculkan padangan baru
yang dikenal sebagai paham dualisme cahaya. Paham ini mengatakan bahwa
cahaya memiliki dua aspek : aspek gelombang dan aspek partikel. Aspek
gelombang terlihat pada fenomena difraksi, interferensi, refleksi, polarisasi,
dispersi dan refraksi. Aspek partikel terlihat pada efek fotolistrik dan efek
Compton.
Pada tahun 1924, L. de Broglie mencoba melihat kemungkinan berlakunya
paham dualisme untuk partikel-partikel semisal elektron, proton, netron dan lain
sebagainya. Dalam disertasi doktornya, dia mengemukakan hipotesa tersebut. Bila
suatu partikel mempunyai momentum p, maka partikel tersebut terkait dengan
gelombang partikel yang memiliki panjang gelombang

Kemudian karena partikel dihipotesakan memiliki aspek gelombang, maka


logis bila kemudian ditanyakan kemungkinan partikel-partikel juga mengalami
gejala-gejala difraksi, interferensi, refleksi, polarisasi, dispersi, dan refraksi?
Jawabnya, “ya, betul sekali bahwa partikel-partikel itu mengalami gejala-gejala
itu“. Hal ini dibuktikan, misalnya, dengan eksperimen difraksi elektron yang
dilakukan oleh Dvisson dan Germer, difraksi neutron dan interferensi elektron.

Anda mungkin juga menyukai