Anda di halaman 1dari 4

Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2005

GAMBARAN TITER ANTIBODI PASCAVAKSINASI


ANTRAKS PADA TERNAK RUMINANSIA DI
KABUPATEN BOGOR
(Antibody Titers Description of Vacctination in Ruminant in Bogor Regency)
RAHMAT SETYA ADJI
Balai Penelitian Veteriner PO Box 151 Bogor 16114

ABSTRACT
Anthrax was a bacterial disease of herbivorous animals, it could attact all mamals including humans, and
some avian species. This disease is caused by Bacillus anthracis bacteria. Disease control in endemic areas
has been done through vaccination program. Vaccination by using live spora vaccine can induced humoral
immun respons (antibody antiPA). Serological tests have been done by using enzyme linked immunosorbent
assay (ELISA) technique to investigate antibody titers. As many as 291 serum samples resulted from ELISA
tests in endemic areas, showed 196 positives and 95 negatives. Both success and efectiveness of anthrax
vaccination in some endemic areas reached upto 65,9%.
Key Words: Anthrax, Endemic, Live Spora Vaccine , ELISA, Immun Response
ABSTRAK
Antraks merupakan penyakit bakterial pada hewan herbivora, walaupun demikian dapat menyerang pada
semua mamalia termasuk manusia dan beberapa spesies unggas. Penyakit ini disebabkan oleh kuman Bacillus
anthracis. Pengendalian penyakit pada daerah endemik dilakukan dengan program vaksinasi. Vaksinasi
dengan menggunakan vaksin spora aktif dapat menginduksi terbentuknya respon imun humoral (antibodi
antiPA). Uji serologi untuk mengetahui titer antibodi dilakukan dengan menggunakan teknik enzyme linked
immunosorbent assay (ELISA). Hasil uji ELISA sebanyak 291 sampel serum dari beberapa daerah endemik
antraks, menunjukkan 196 sampel positif dan 95 sampel negatif. Efektifitas dan keberhasilan vaksinasi
antraks di beberapa daerah endemik mencapai 65,9%.
Kata Kunci: Antraks, Endemik, Vaksin Spora Aktif, ELISA, Respon Imun

PENDAHULUAN
Antraks merupakan penyakit bakterial pada
mamalia, terutama herbivora dan dapat
menyerang manusia dan beberapa spesies
unggas Penyakit ini disebabkan oleh Bacillus
anthracis, bakteri berbentuk batang, gram
positif dan membentuk spora (OIE, 2000).
Antraks merupakan penyakit zoonosis penting
dan strategis sehingga perlu ditangani dengan
baik. Tingkat kematian karena antraks sangat
tinggi terutama pada hewan herbivora,
mengakibatkan kerugian ekonomi dan
mengancam keselamatan manusia (TURNBULL
et al., 1998; OIE, 2000).
Sampai saat ini, masih banyak daerah
endemik antraks di Indonesia seperti di

propinsi Sumatera Barat, Jambi, DKI, Jawa


Barat, Jawa Tengah, D.I. Yogyakarta, Sulawesi
Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara,
NTT, NTB dan Papua (SIREGAR, 2002).
Penyakit ini tetap enzootic di hampir semua
negara Afrika dan Asia, beberapa negara di
Eropa, beberapa negara bagian Amerika dan
beberapa daerah di Australia (OIE, 2000;
TODAR, 2002).
Patogenitas antraks ditentukan oleh dua
faktor virulensi yaitu kapsul poly-D-glutamic
acid yang akan melindungi dari fagositosis dan
toksin yang terdiri dari tiga protein: Antigrn
protektif (PA), faktor oedema (EF) dan faktor
lethal (LF). Interaksi ketiga komponen toksin
tersebut akan menyebabkan kerusakan sel inang
dan kematian (SELLMAN, 2001; TODAR, 2002).

985

Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2005

Di Indonesia, kejadian penyakit antraks


sering berulang dan selalu menimbulkan
polemik dan masalah Pengendalian antraks di
daerah endemik yang paling tepat adalah
dengan vaksinasi dan pengawasan daerahdaerah tersebut dengan baik. Saat ini vaksinasi
penyakit antraks masih mengunakan vaksin
yang
umumnya
mengandung
Bacillus
anthracis galur 34 F2, toksigenik, dan tidak
berkapsul. Vaksin ini mengandung kira-kira 10
juta spora per ml yang disuspensikan dalam
0,05% saponin dan 50% glycerine-saline.
Vaksin ini dibuat sesuai dengan Requirements
for anthrax spore vaccine (live-for Veterinary
use ); requirements for biological substance no.
13 (WHO, 1967), yang menunjukkan dapat
terjadinya berbagai perbedaan kualitas di
antara vaksin antraks yang ada. Gliserin dan
saponin yang digunakan juga dapat
mempengaruhi kinerja dari vaksin. Demikian
juga, bibit vaksin harus dipelihara secara hatihati karena varian Bacillus anthracis yang
tidak berkapsul dapat kehilangan kemampuan
imunogeniknya pada subkultur (STERNE,
1959). Galur bibit vaksin ini juga dapat
mempertahankan virulensinya pada ternak
seperti kambing, domba dan Ilama sehingga
perlu perhatian dan kehati-hatian dalam
penggunaannya, karena dapat menyebabkan
anaphilaktik shock (CARTWRIGHT et al., 1987;
TURNBULL et al., 1998).
Di Indonesia vaksin yang digunakan adalah
live spora vaccine yang mengandung 108
spora/ml dan merupakan vaksin komersial.
Proteksi terhadap penyakit antraks pada hewan
yang peka hampir seluruhnya tergantung pada
respon imun terhadap antigen tunggal yaitu
protektif antigen (PA), 2 komponen toksin
lainnya yaitu LF dan EF hanya beperan kecil
dalam memberikan proteksi (TURNBULL et al.,
1998). Efektifitas vaksin tergantung pada
kemampuan untuk menginduksi antibodi antiprotektif antigen (anti-PA) (TURNBULL et al.,
1998). Penelitian tentang vaksin juga
menunjukkan bahwa antigen spora dalam
vaksin yang mengandung spora hidup
mempunyai peranan dalam proteksi (COHEN et
al., 2000; BROSSIER et al, 2002). Monitoring
hasil vaksinasi dengan melihat gambaran titer
antibodi sangat diperlukan untuk melakukan
pengendalian dan pengawasan di daerah
endemik. Hal inilah yang mendasari melakukan
penelitian untuk mengetahui efektifitas dan

986

keberhasilan vaksinasi dengan melihat


gambaran titer antibodi pasca vaksinasi dengan
teknik enzyme linked immunosorbent assay
(ELISA) (HARDJOUTOMO, 1993).
MATERI DAN METODE
Penelitian ini dilakukan di Laboratorium
Antraks, Balai Penelitian Veteriner yang
ditunjang dengan pengambilan sampel serum
ternak sapi, kambing dan domba pasca
vaksinasi yang dilakukan oleh Dinas
Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor.
Sampel serum diambil dari beberapa
kecamatan/desa di Kabupaten Bogor yang
merupakan daerah endemik antraks, antara
lain: Babakan Madang, Hambalang, Pakan
Sari, Cijujung, Citayam, Jonggol, Kadu
Manggu, Linggar Mukti, Suka Makmur dan
Cibinong. Jumlah sampel serum yang akan
diuji adalah 291 sampel (Tabel 1).
Tabel 1. Jumlah sampel serum darah yang diuji
Ternak ruminansia

Jumlah sampel

Sapi

59

Kambing

138

Domba

94

Total

291

Metode atau teknik yang digunakan untuk


pengujian
adalah
enzyme
linked
immunosorbent assay (ELISA) antibodi yang
telah dikembangkan oleh Balai Penelitian
Veteriner (HARDJOUTOMO, 1993). Tahap-tahap
ELISA antibodi ini adalah sebagai berikut:
Supernatan kultur Bacillus anthracis dilarutkan
dalam coating buffer (carbonat bicarbonat
buffer pH 9,6) kemudian dimasukkan 100 l
larutan tersebut ke dalam lubang mikroplat dan
diinkubasikan pada suhu 4C selama satu
malam. Mikroplat dicuci dengan menggunakan
PBS Tween 0,05% pH 7,4. Selanjutnnya
dimasukkan 100 l larutan PBS-Casein 0,5%
pH 7,4 dan digoyang pada suhu kamar selama
1 jam. Setelah itu mikroplat dicuci dengan
menggunakan PBS Tween 0,05% pH 7,4.
Kemudian serum dilarutkan dalam PBS Tween
0,05% pH 7,4 (1/200) dan dimasukkan ke
dalam lubang mikroplat sebanyak 100 l dan
digoyang pada suhu kamar selama 1 jam.

Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2005

Mikroplat dicuci dengan menggunakan PBS


Tween 0,05% pH 7,4. Konjugat dilarutkan
dalam PBS Tween 0,05% + casein 0,2% pH
7,4 sesuai dengan enceran yang dikehendaki
(hasil titrasi) dan larutan tersebut dimasukkan
ke daalam lubang mikroplat sebanyak 100 l
dan digoyang pada suhu kamar selama 1 jam.
Mikroplat
dicuci
kembali
dengan
menggunakan PBS Tween 0,05% pH 7,4.
Selanjutnya 100 l substrat (ABTS dalam
citrate buffer pH 4,2) dimasukkan ke dalam
lubang mikroplat dan digoyang pada suhu
kamar selama 45 menit 1 jam. Selanjutnya
dibaca dengan Elisa Reader pada panjang
gelombang 405 nm atau 414 nm. Optical
Density (OD) sampel kemudian dikonversikan
ke Unit ELISA (EU) dengan membandingkan
OD tersebut terhadap kurva standar serum
kontrol. Intepretasi hasil untuk hasil ELISA,
sebagai berikut: sapi (<134 EU: negatif dan
>134 EU: positif), kambing (<77 EU: negatif
dan >77 EU: positif) dan domba (<65 EU:
negatif dan >65 EU: positif).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Vaksinasi dengan menggunakan vaksin
spora aktif dapat menginduksi kekebalan
humoral dengan terbentuknya antibodi anti-

PA, hal ini karena antigen spora dalam vaksin


yang mengandung spora hidup mempunyai
peranan dalam proteksi (COHEN et al., 2000;
BROSSIER et al, 2002). Ini dapat dilihat pada
Tabel 2 dan 3.
Hasil uji ELISA sebanyak 291 sampel
serum dari beberapa daerah endemik antraks,
menunjukkan 196 sampel positif, hal ini
menunjukkan bahwa telah terbentuk antibodi
anti-PA dalam serum hewan yang diberi
vaksinasi antraks dan 95 sampel negatif, ini
berarti bahwa tidak terbentuk antibodi anti-PA
dalam serum darah hewan tersebut. Anti-PA
inilah yang akan menghambat toksin antigen
protektif yang dihasilkan Bacillus anthracis,
sehingga tidak dapat menempel pada reseptor
di permukaan sel.
Dengan demikian, antigen protektif tidak
dapat dipecah oleh furin menjadi komponen
PA-20 dan PA-63. Hal ini yang menyebabkan
tidak terjadinya komplek atau perikatan antara
PA + Lf (penyebab lethal/kematian) atau PA +
EF (penyebab oedema) atau PA + LF + EF
(penyebab oedema, nekrosis dan kematian),
sehingga hewan akan terlindungi dari aktifitas
toksin yang dapat menyebabkan kematian
(SELLMAN, 2001). Dengan terbentuknya
antibodi anti-PA, diharapkan hewan akan
terlindungi dari infeksi Bacillus anthracis dan
aktifitas toksin yang dihasilkannya.
Titer antibodi

Elisa Unit ( EU )

1100
9000
7000
5000
3000
1000
0
Sapi

Sampel
Kambing Domba

Tabel 2. Sebaran Titer Antibodi


Tabel 3. Ratarata hasil uji ELISA
Ternak

Jumlah sampel

Hasil ELISA (EU)

Ratarata hasil (EU)

Sapi

59

641024

631 309,5

Kambing

138

1021024

553 265,5

Domba

94

1683

21 8,7

987

Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2005

Berdasarkan gambaran titer antibodi


tersebut, menunjukan bahwa hasil vaksinasi
antraks yang dilakukan oleh Dinas Peternakan
dan Perikanan Kabupaten Bogor pada ternak
ruminansia di beberapa daerah endemik
mencapai tingkat keberhasilan 65,9%. Adapun
tidak bisa mencapai tingkat keberhasilan penuh
dapat disebakan oleh beberapa hal, yaitu:
aplikasi vaksin yang tidak tepat, dosis yang
diberikan tidak cukup, kualitas vaksin dan atau
seed vaksin yang telah turun daya
imunogeniknya serta respon individuaal ternak
tersebut (OIE, 2000). Gambaran titer antibodi
di atas dapat digunakan oleh Dinas Peternakan
dan Perikanan Kabupaten Bogor sebagai dasar
untukmelakukan tindakan lebih lanjut dalam
pengawasan dan pengendalian antraks, baik
berupa vaksinasi ulang maupun pengawasan
yang diperketat supaya kejadian berulangnya
wabah antraks di daerah-daerah endemik tidak
terjadi lagi.
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil uji ELISA sampel serum
darah ternak ruminansia yang divaksinasi
antraks, dapat disimpulkan bahwa vaksinasi
dengan menggunakan vaksin spora aktif dapat
menginduksi respon imun humoral dengan
terbentuknya antibodi anti-PA dengan tingkat
keberhasilan vaksinasi mencapai 65,9%.
Karena keberhasilan vaksinasi antraks belum
dapat tercapai dengan optimal maka perlu
pengulangan vaksinasi dan peningkatan
pengawasan daerah-daerah endemik supaya
kejadian antraks dapat diminimalisasi.
DAFTAR PUSTAKA
BROSSIER, F, M. LEVY, and M. MOCK. 2002.
Anthrax spores make an essential contribution
to vaccine efficacy. Infect Immun. 7(2): 661
664.
CARTWRIGHT, ME, AE MCCHESNEY, and RL JONES.
1987. Vaccination-related anthrax in three
llamas. JAVMA 191: 715716.

988

COHEN, S., I. MENDELSON, Z. ALTHOUM, D. KOHLER,


E. ETHANANY, T. BINO, M. LEITNER, I. INBAR,
H. ROSENBERG, Y GOZES, R. BARAK, M.
FISHER, C. KRONMAN, B. VELAN and A.
SHAFFERMAN. 2000. Attenuated nontoxigenic
and nonencapsulated recombinant Baciilus
anthracis spore vaccines protect against
anthrax. Infect. Immun. 68: 45494558.
HARDJOUTOMO, S., M.B. POERWADIKARTA, B.E.
PATTEN, and K. BARKAH, 1993. The
Application of ELISA to Monitor The
Vaccinal Response of Anthrax Vaccinated
Ruminants. Penyakit Hewan. Ed Khusus. No.
46A. XXV: 710.
OIE. 2000. Anthrax. In: Manual of Standards
Diagnostic and Vaccines, Word Health
Organization. pp. 235239.
SELLMAN. 2001. Model of Anthrax toxin action. Sci.
292: 695.
SIREGAR, E.A. 2002. Antraks: sejarah masa lalu,
situasi pada saat ini, sejarah diagnosa dan
kecenderungan perkembangan ilmu di masa
depan. Simposium sehari Penyakit Antraks:
Antraks di Indonesia, masa lalu, masa kini dan
masa depan. Balitvet, Bogor, 17 Juli 2002.
STERNE, M. 1959. In: STABLEFORTH, A.W. and I.A.
GALLOWAY (Eds.). Infectious Diseases of
Animals. Vol. 1. Diseases due to Bacteria.
Butterworths, London. UK.
TODAR, K. 2002. Bacillus anthracis and Anthrax,
Departement of Bacteriology, University of
Wisconsin, Madison, USA.
TURNBULL, P.C.B., R. BOHM, O. COSIVI, M.
DOGANAY, M.E. HUGH JONES, D.D. JOSHI,
M.K. LALITHA and V. DE VOS. 1998.
Guidelines for the Surveillance and Control of
Anthrax in Humans and Animals, 3rd Ed.
Departement of Communicable Disease
Surveillance and Response, World Health
Organization. pp. 5161.
WHO. 1967. Requirements for anthrax spore
vaccine (livefor veterinary use) (requirements
for biological substances no. 13). World
Health Organization Technical Report Series
1967. No. 361.

Anda mungkin juga menyukai