Anda di halaman 1dari 8

Sejarah Perang Diponegoro 1825-1830

Sejarah Perang Diponegoro 1825-1830 Sahabat Pustakers, pada kesempatan kali ini
Pustaka Sekolah akan berbagi artikel yang berjudul Sejarah Perang Diponegoro 1825-1830.
Nama asli Pangeran Diponegoro adalah Raden Mas Ontowiryo, putra Sultan Hamengku
Buwono III. Karena pengaruh Belanda sudah sedemikian besarnya di istana maka
Diponegoro lebih senang tinggal di rumah buyutnya di desa Tegalrejo.
Secara umum sebab-sebab perlawanan Diponegoro dan para pengikutnya adalah sebagai
berikut:

Secara umum sebab-sebab perlawanan Diponegoro dan para pengikutnya adalah


sebagai berikut:
Adat kebiasaan keraton tidak dihiraukan para pembesar Belanda duduk sejajar
dengan Sultan.

Masuknya pengaruh budaya Barat meresahkan para ulama serta golongan


bangsawan. Misalnya pesta dansa sampai larut malam, minum-minuman keras.

Para bangsawan merasa dirugikan karena pada tahun 1823 Belanda menghentikan
sistem hak sewa tanah para bangsawan oleh pengusaha swasta. Akibatnya para
bangsawan harus mengembalikan uang sewa yang telah diterimanya.

Banyaknya macam pajak yang membebani rakyat misalnya pajak tanah, pajak
rumah, pajak ternak.

Selain hal-hal tersebut ada kejadian yang secara langsung menyulut kemarahan Diponegoro
yaitu pemasangan patok untuk pembuatan jalan kereta api yang melewati makam leluhur
Diponegoro di Tegal Rejo atas perintah Patih Darunejo IV tanpa seijin Diponegoro.
Peristiwa tersebut menimbulkan sikap terang-terangan Diponegoro melawan Belanda.
Jalannya
Perang
Bagaimana proses perlawanan yang dilakukan Diponegoro? Diponegoro memusatkan
pertahannya di bukit Selarong, sementara itu keluarganya diungsikan ke daerah Deksa.
Perlawanan Diponegoro diikuti oleh para petani, para ulama maupun bangsawan. Pengikut
Pangeran Diponegoro antara lain Kyai Mojo dari Surakarta, Kyai Hasan Besari dari Kedu.
Pertempuran meluas sampai di Banyumas, Pekalongan, Semarang, Rembang, Madiun dan
Pacitan. Selain dukungan dari para Bupati juga didukung oleh Panglima perang berusia
muda yaitu Sentot Ali Basa Prawiradirjo. Pada tangal 30 Juli 1826 Pasukan Diponegoro
memenangkan pertempuran di dekat Lengkong dan tanggal 28 Agustus 1826 di Delanggu.
Oleh rakyat, pangeran Diponegoro diangkat menjadi Sultan dengan gelar Sultan
Abdulhamid Cokro Amirulmukminin Sayidin Panotogomo Khalifatullah Tanah Jowo.
Bagaimana siasat Belanda untuk mematahkan perlawanan Diponegoro? Menghadapi perang
gerilya yang dilakukan pasukan Diponegoro Belanda menggunakan taktik benteng stelsel.
Apa tujuan Belanda? Benteng stelsel adalah taktik yang dilakukan dengan cara mendirikan
benteng sebagai pusat pertahanan di daerah yang didudukinya untuk mempersempit ruang
gerak perlawanan Diponegoro. Selain itu Jendral De Kock menetapkan Magelang sebagai
pusat kekuatan militernya. Siasat ini cukup berhasil, beberapa pengikut Diponegoro
tertangkap dan menyerah. Kyai Mojo berunding dengan Belanda tanggal 31 Oktober
1828. Tindakan Belanda berikutnya adalah membujuk para pengikut Diponegoro untuk
menyerah dan berhasil antara lain terhadap Mangkubumi. Sentot Ali Basa Prawirodirjo
menyerah dan menandatangani perjanjian Imogiri bulan Oktober 1829.
Bagaimana upaya Belanda untuk menundukkan Dipdonegoro? Mula-mula Belanda
mengumumkan pemberian hadiah sebesar 20.000 ringgit kepada siapa saja yang dapat
menyerahkan Diponegoro dalam keadaan hidup atau mati. Hal ini tidak berhasil, maka
ditempuh cara berikutnya melalui perundingan. Pertemuan pertama tanggal 16 Februari
1830 di desa Romo Kamal oleh Kolonel Cleerens. Perundingan berikutnya tangal 28 Maret
1830 di kediaman Residen Kedu. Perundingan gagal bahkan Diponegoro kemudian
ditangkap dan ditahan di Batavia, selanjutnya tanggal 8 Januari 1855 dibawa ke Makasar.
Dengan tertangkapnya Diponegoro berakhirlah perang Diponegoro. Perang ini cukup
merepotkan keuangan Belanda karena menelan biaya perang yang cukup besar.
Demikianlah artikel Pustaka sekolah yang membahas mengenai Sejarah Perang
Diponegoro 1825-1830, semoga artikel ini tentunya dapat memberikan informasi yang
bermanfaat bagi kita semua.[ps]

Pangeran Diponegoro, Singa Jawa dari


Keraton Yogjakarta
Ia seorang Mujahid keturunan Raja Yogjakarta. Seluruh nafas kehidupannya diabadikan
untuk kemerdekaan Tanah Jawa, dengan bersendikan ajaran agama Islam.
Tegalrejo 29 Juli 1825. di bawah pimpinan Chevallier
pasukan gabungan Belanda dan orang-orang patih
Darurejo IV menyerbu laskar-laskar Diponegoro dan
Mangkubumi di Tegalrejo, sebuah desa kecil yang
terletak di barat laut Keraton Yogjakarta. Dentuman
meriam dan bunyi letupan senapan membahana di
seluruh penjuru desa.
Menghadapi serangan itu, kedua Pangeran bersama
laskarnya segera menyingkir ke tempat yang lebih aman.
Mereka menyadari, perang di medan yang amat sempit
tidak menguntungkannya. Pangeran Diponegoro
akhirnya memilih tempat yang lebih strategis untuk basis
peperangannya di bukit Selangor, sebuah tempat yang
dikelilingi lembah , benteng-benteng alam dan Gua,
yang biasa dipergunakan bertapa. Tempat itu terletak 10 Km di sebelah barat daya kota
Yogjakarta. Sedangkan keluarganya diungsikan ke desa Dekso.

Pangeran Diponegoro
( The Trailer.wmv)
Di lain pihak, Chevallier terus melancarkan serangan dahsyat dengan mengerahkan seluruh
pasukan dan persenjataan yang dimiliki. Alhasil, Chavalier dalam waktu singkat mampu
menguasai Tegalrejo. Sayangnya, Tegalrejo telah kosong melompong. Bakar. Bakar saja
rumah Diponegoro sampai habis! Seru Chavalier di tengah kemarahan dan kedongkolan
hatinya karena buruannya telah kabur.
Tanpa membuang waktu lagi, tentara gabungan itu membakar rumah Diponegoro dan
puluhan rumah lain di sisi kanan kirinya. Dari kejauhan, di balik bukit terjal, di atas Kuda
Getayu, Pangeran Diponegoro bersama Pangeran Mangkubumi beserta seluruh anggota
laskarnya menyaksikan dengan sedih pembumihangusan puluhan rumah tersebut.
Sebaliknya berita penyerangan Belanda ke Tegalrejo cepat menjalar ke seluruh pelosok
Yogjakarta dan Surakarta. Sebagian besar rakyat tanpa dikomando berduyun-duyun datang
ke Selangor lengkap dengan persenjataannya. Dari Surakarta, datang ulama Bayat, dan
laskar-laskar yang di komandoi oleh Kyai Mojo dan Tumenggung Prawirodigdoyo. Dari
kesultanan Yogjakarta, tidak kurang 74 bangsawan akhirnya menggabungkan diri dengan
pasukan Diponegoro di Selangor. Diantara kerumunan Bangsawan itu, terdapat Sentot
Prawirodirjo, seorang Senopati muda yang belum berusia 18 tahun, putra Raden Ronggo
Prawirodirjo III. Seperti halnya sang ayah, Sentot kemudian tampil sebagai pejuang besar
yang sangat di takuti pihak Belanda.

Propaganda perang melawan bangsa kafir segara dilakukan di mana-mana, di Yogjakarta,


Jayanegara segera membuat surat edaran untuk seluruh rakyat Mataram. Isinya mengajak
berjuang bersama Pangeran Diponegoro dan Pangeran Mangkubumi mengusir kaum
penjajah Kafir Belanda. Di wilayah luar Yogjakarta, seperti Kedu, Banyumas dan
sekitarnya, ajakan jihad fi sabilillah di sampaikan oleh Kyai Kasan Besari yang disambut
rakyat dengan gegap gempita.
Sesuai dengan saran Sinuhun Paku Buwono VI, laskar-laskar Diponegoro menggunakan
taktik dan strategi perang Dhedhemitan alias Gebag ancat nrabas geblas. Menyerbu
secara tiba-tiba dan kemudian dengan cepat menghilang dibalik hutan-hutan, Gua, Bukit,
atau kegelapan malam.
Rupanya taktik dan perang anggota laskar Diponegoro sangat menakutkan pihak Belanda.
Tidak mengherankan, bila pada tahun-tahun pertama pihak Belanda kewalahan dan banyak
mengalami kekalahan.
Kemenangan pertama Pangeran Diponegoro dan laskarnya didapat di desa Pisangan,
perbatasan Muntilan dan Yogjakarta. Laskar Diponegoro yang dipimpin oleh Mulyo Santiko
dengan gagah berani mencegah iring-iringan pasukan Belanda yang berjumlah sekitar 120
orang yang berusaha masuk ke Yogjakarta. Mereka berhasil menghancurkan seluruh
pasukan Belanda itu. Uang sebesar 50.000 gulden dapat dirampas berikut alat-alat
perangnya. Kemenangan pertama ini segera di ikuti oleh kemenangan-kemenangan
berikutnya. Pada 6 Agustus 1825, pasukan Diponegoro yang dipimpin para panglimanya
yang gagah berani berhasil menghancurkan markas Belanda di Pacitan, menyusul kemudian
Purwodadi.
Kemenangan demi kemenangan tentu saja dapat mengobarkan semangat rakyat untuk
bersama-sama bangkit melawan Kafir Belanda. Perangpun makin meluas, dinatarnya sampai
ke Banyumas, Pekalongan, Semarang, Rembang dan Madiun.
Kekalahan beruntun yang dialami Belanda, memaksa Gubernur Jenderal Hindia Belanda
segera mengirim Letnan Jenderal Markus De Kock ke Jawa Tengah sebagai panglima
angkatan perang Belanda. Jenderal De Kock mendapat kekuasaan untuk menjalankan segala
tindakan dalam menangani peperangan.
Jenderal De Kock dengan licik segera menybarkan politik pecah belah, dan mengadu
domba. Ia segera menemui dan memaksa Sunan Pukubuwono VI, dan Mangkunegoro II,
dan Paku Alam I agar bersedia membantu Belanda. Ia juga mengerahkan bantuan pasukan
pribumi itu untuk menggempur markas pasukan Diponegoro di Selarong. Namun, beruntung
gerakan pasukan gabungan ini sudah dapat di ketahui oleh mata-mata Pangeran Diponegoro.
Semua laskar dan pimpinnanya segera bersembunyi. Akibatnya, ketika pasukan Belanda
menguasai Selarong pada malam hari, mereka hanya menemukan bukit dan Gua yang sudah
kosong. Pasukan Belanda pun mundur dan kembali pulang dengan tangan hampa.
Tidak beberapa lama tentara Belanda pulang, malam itu juga Pangeran Diponegoro segera
mengadakan pertemuan dengan para Senopatinya. Mereka membahas untuk segera
memindahkan markasnya di Selarong. Semua sepakat. Desa Deksa yang jaraknya sekitar 23
Km dari Yogjakarta dijadikan markas baru.
Pertempuran kembali berkobar diseluruh Mataram. Hasilnya pada Januari 1826 Pangeran
Diponegoro berhasil merebut dan menguasai daerah Imogiri dan Pleret, di susul daerah
Lengkong, Kasuran dan Delangu.
Bagi pihak Belanda, kekalahan beruntun itu justru membuat Jenderal De Kock makin nekad.
Ia mengajukan permohonan kepada pemerintah pusat Belanda untuk menambah anggaran

perang. Anggaran itu rencananya untuk membuat benteng Stelsel. Tujuannya untuk
mempersempit ruang gerak Pasukan Diponegoro di daearh-daerah yang di kuasai Belanda.
Pelaksanaan benteng Stelsel juga dimaksudkan untuk mengadakan tekanan kepada Pangeran
Diponegoro agar bersedia menghentikan peperangan.
Di wilayah Mataram kemudian muncul benteng-benteng Belanda yang kukuh, seperti di
Bantul, Paluwatu, Pasargede, Jatinom, dan Delangu. Tidak kurang dari 165 buah benteng
telah di dirikan Belanda untuk mempersempit ruang gerak pasukan Pangeran Diponegoro.
Tekanan dari Belanda ini masih ditambah dengan adanya Bupati-bupati daerah yang
memihak kepada Belanda, sehingga sangat menyulitkan komunikasi laskar Diponegoro
antar daerah. Akibatnya, perlawanan itu menjadi mudah dipatahkan oleh pasukan Belanda.
Pasukan Bulkiyo mulai menghadapi masa-masa sulit.

Di tengah kesulitan itu, Pangeran Diponegoro


mengumpulkan para sesepuh dan Senopati membahas perkembangan dan situasi di medan
perang. Pertemuan itu dilakukan di pesanggrahan Bagelan. Hasilnya mereka tetap
melanjutkan perjuangan sampai kemerdekaan bumi tanah Jawa tercapai. Akibatnya, tidak
sedikit laskar Pengeran Diponegoro yang gugur. Pangeran Kusumowijoyo yang
mengobarkan pertempuran di Keraton Surakarta, akhirnya gugur di Lembah Kali Serang. Ia
kemudian dikenal dengan nama Pangeran Serang, dan istrinya Raden Ajeng Kusriyah juga
gugur di Dekso, Kulon Progo. Tidak berapa lama kemudian, gugur pula Tumenggung
Prawirodigdoyo dari Gagatan. Ia gugur di medan tempur Klengkong saat memimpin 100
prajuritnya melawan tentara Belanda yang jumlahnya berlipat-lipat dengan dukungan
meriam dan senjata laras panjang.
Belum lagi hilang rasa duka, kabar yang mengejutkan menyusul, Gusti Pangeran
Notodiningrat bersama istri dan ibundanya dan tidak kurang dari 200 pengikutnya menyerah
kepada Belanda di Yogjakarta. Dengan keberhasilan Belanda mempengaruhi Pangeran
Notodiningrat Jenderal De Kock semakin gila mendekati pemimpin-pemimpin laskar
Pangeran Diponegoro. Ia menjanjikan kedudukan dan hadiah-hadiah berlimpah bila mau
menyerah dan mendukung Belanda. Satu bulan kemudian, Belanda kembali berhasil
membujuk salah seorang panglima laskar Diponegoro, yaitu Pangeran Arya Papak dan
Tumenggung Ario Sosrodilogo.
Kiai Mojo yang menjadi tulang punggung kekuatan pasukan perang Pangeran Diponegoro,
akhirnya juga menyerah kepada pasukan Belanda. Menyerahnya Kiai Mojo merupakan
pukulan berat bagi Pangeran Diponegoro dan laskar-laskarnya. Tetapi Pangeran Diponegoro
bertekad untuk tidak menyerah dan tetap mengobarkan perlawanan.

Pada 20 Desember 1828, Laskar Pangeran Diponegoro segera melancarkan serangan


dahsyat terhadap markas Belanda di Nanggulan. Dalam pertempuran itu Kapten Van Inge
tewas, sedang dari pihak pasukan Diponegoro keilangan Senopatinya yang gagah berani,
Pangeran Prangwedono.
Berita hancurnya benteng Nanggulan, membuat jenderal De Kock semakin ketakutan, sebab
ia selalu melihat sosok Senopati Sentot sebagai momok yang sangat berbahaya. Karena
jenderal De Kock terus berupaya membujuk Sentot dengan berbagai cara agar mau
menyerah. Tapi, Senopati muda itu tetap menolaknya. Belum berhasil membujuk Sentot, ia
berhasil memperalat dan menekan Pangeran Ario Prawirodiningrat, Bupati Madiun, untuk
menyerah. Sebabnya, jika tidak mau menyerah taruhannya adalah nyawa sepupunya.
Setelah Pangeran Ario Prawirodiningrat menyerah, menyusul Sentot Prawirodirjo dan
Pangeran Mangkubumi. Menyerahnya dua Pangeran yang gagah berani ini membuat
Pangeran Diponegoro kembali terpukul telak dan membawa beban moral, tidak hanya dalam
dirinya, tetapi juga kepada seluruh prajurit Bulkiyo. Belum lagi batin Pangeran Diponegoro
sembuh di akhir tahun 1829, satu persatu Senopati daerah menyusul jejak Senopati Sentot
dan Pangeran Mangkubumi, antara lain, Pangeran Ario Suriokusumo, Kerto Pengalasan,
pahlawan medan tempur Pleret, dan Pangeran Joyosudirjo
Rupanyan Pangeran Diponegoro tak bergeming, meski hatinya tertekan, ia tetap melanjutkan
perjuangannya dan tetap menaruh kepercayaan atas kesetiaan rakyat Bagelan, Banyumas,
dan Kedu. Usaha Jenderal De Kock untuk mempercepat peperangan rupanya tidak berhasil.
Meski jauh sebelumnya Jenderal ini sudah menjanjikan 20.000 ringgit kepada siapa saja
yang sanggup menagkap hidup atau mati Pangeran Diponegoro. Segenap rakyat dan laskarlaskar Pangeran Diponegoro tidak mau mengkhianati pemimpin yang agung ini.
Tapi, Jenderal De Kock tidak putus asa, melalui Kolonel Cleerrens, akhirnya bisa membujuk
putra Pangeran Diponegoro, yaitu Pangeran Dipokusumu, untuk menyerah. Penyerahan
putra kesayangannya itu benar-benar membuat Pangeran Diponegoro terluka. Maka pada
bulan Februari 1830, ketika Kolonel Cleerens menawarkan jalan perundingan, terpaksa
Pangeran Diponegoro menerimanya dengan berat hati. Dua musuh bebuyutan inipun
bertemu di Remo Kamal, Bagelan, Purworejo, pada tanggal 16 Februari 1830. Cleerens
kemudian mengusulkan agar kanjeng Pangeran dan pengikutnya berdiam dulu di kaki bukit
Menoreh sambil menunggu kedatangan Letnan Gubernur Jenderal markus De Kock dari
Batavia.
Dengan janji tidak dikhianati, Pangeran Diponegoro bersedia mengadakan perundingan.
Pada bulan Maret 1830, ia dengan pasukannya tiba di tempat perundingan, dirumah Residen
Magelang. Bersama Kolonel Cleerens, Pangeran Diponegoro menuju ruang kerja Jenderal
De Kock. Beberapa putra Diponegoro dan perwira Belanda ikut menyaksikan jalannya
perundingan tingkat tinggi tersebut.
Sekitar dua jam sudah perundingan berlangsung, tapi belum membuahkan hasil. Berkali-kali
Jenderal De Kock mencoba membujuk agara Pangeran Diponegoro mengurangi
tuntutannya. Tapi Pangeran Diponegoro tetap teguh pada pendiriannya. Mendirikan sebuah
Negara merdeka yang bersendikan agama Islam. Sesuai dengan kesepakatan sebelumnya,

apabila per
undingan menemui jalan buntu,
Pangeran Diponegoro boleh meninggalkan ruangan itu dengan bebas. Tapi kenyataannya,
Jenderal De Kock curang, Tangkap tangkap Diponegoro dan semua pengikutnya, teriak
De Kock kepada pasukannya sambil menodongkan pistol kearah Pangeran Diponegoro.
Sejurus kemudian, Pangeran Diponegoro beserta para pengikutnya ditangkap dan
dijebloskan dalam sebuah penjara yang amat pengap.

DAFTAR NAMA-NAMA
KECAMATAN, KELURAHAN/
DESA DAN KODE POS
DI KOTA SURABAYA

ANISA QONITA HAMZAH


NO. 8
KELAS IV C

GADING I SURABAYA

Anda mungkin juga menyukai