Anda di halaman 1dari 25

TUGAS PORTOFOLIO (IGD)

CLOSED FRAKTUR DIGITI V + LUKA TERBUKA a/r PEDIS (DEXTRA)

Oleh
dr. Hari Subagiyo

RSUD BANJARBARU
Daftar isi

Daftar isi...........................................................................................................

BAB I................................................................................................................

BAB II..............................................................................................................

BAB III.............................................................................................................

16

BAB IV.............................................................................................................

23

BAB V..............................................................................................................

26

BAB I
PENDAHULUAN
Trauma merupakan suatu cedera yang dapat mencederai fisik. Trauma
jaringan lunak muskuloskeletal dapat berupa vulnus (luka), perdarahan, memar
(kontusio), regangan atau robekan parsial (sprain), putus atau robekan (avulsi atau
rupture), gangguan pembuluh darah dan gangguan saraf. 1
Cedera pada tulang akan menimbulkan patah tulang (fraktur) dan
dislokasi. Fraktur juga dapat terjadi di ujung tulang dan sendi (intra-artikuler)
yang sekaligus menimbulkan dislokasi sendi. Fraktur ini juga disebut fraktur
dislokasi. 1
Insiden fraktur secara keseluruhan adalah 11,3 dalam 1.000 per tahun.
Insiden fraktur pada laki-laki adalah 11.67 dalam 1.000 per tahun, sedangkan pada
perempuan 10,65 dalam 1.000 per tahun. Insiden di beberapa belahan dunia akan
berbeda. Hal ini mungkin disebabkan salah satunya karena adanya perbedaan
status sosioekonomi dan metodologi yang digunakan di area penelitian. 2
Prinsip penanggulangan cedera muskuloskeletal adalah rekognisi
(mengenali), reduksi (mengembalikan), retaining (mempertahankan), dan
rehabilitasi. Agar penanganannya baik, perlu diketahui kerusakan apa saja yang
terjadi, baik pada jaringan lunaknya maupun tulangnya. Mekanisme trauma juga
harus diketahui, bisa diakibat trauma tumpul atau tajam dan langsung atau tak
langsung. 2
2

Reduksi berarti mengembalikan jaringan atau fragmen ke posisi semula


(reposisi). Dengan kembali ke bentuk semula, diharapkan bagian yang sakit dapat
berfungsi kembali dengan maksimal. Retaining adalah tindakan mempertahankan
hasil reposisi dengan fiksasi (imobilisasi). Hal ini akan menghilangkan spasme
otot pada ekstremitas yang sakit sehingga terasa lebih nyaman dan sembuh lebih
cepat. Rehabilitasi berarti mengembalikan kemampuan anggota gerak yang sakit
agar dapat berfungsi kembali.
Berikut ini akan dilaporkan sebuah kasus dari ruang rawat inap bedah
umum RSUD BANJARBARU, atas nama Ny. Livia usia 40 tahun dengan
permasalahan yaitu closed fraktur digiti V dan luka terbuka diregio kaki kanan.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Fraktur merupakan hilangnya kontinuitas tulang, baik yang bersifat total
maupun sebagian, biasanya disebabkan oleh trauma. Terjadinya suatu fraktur
lengkap atau tidak lengkap ditentukan oleh kekuatan, sudut dan tenaga, keadaan
tulang, serta jaringan lunak di sekitar tulang. 3
Secara umum, keadaan patah tulang secara klinis dapat diklasifikasikan
sebagai fraktur terbuka, fraktur tertutup dan fraktur dengan komplikasi. Fraktur
tertutup adalah fraktur dimana kulit tidak ditembus oleh fragmen tulang, sehingga
tempat fraktur tidak tercemar oleh lingkungan/dunia luar. Fraktur terbuka adalah
fraktur yang mempunyai hubungan dengan dunia luar melalui luka pada kulit dan
jaringan lunak, dapat terbentuk dari dalam maupun luar. Fraktur dengan
komplikasi adalah fraktur yang disertai dengan komplikasi seperti malunion,
delayed union, nounion dan infeksi tulang. 3
Patah tulang terbuka menurut Gustillo dibagi menjadi tiga derajat, yang
ditentukan oleh berat ringannya luka dan fraktur yang terjadi. Tipe I: luka kecil
kurang dari 1 cm, terdapat sedikit kerusakan jaringan, tidak terdapat tanda-tanda
trauma yang hebat pada jaringan lunak. Fraktur yang terjadi biasanya bersifat
simpel, tranversal, oblik pendek atau komunitif. Tipe II: laserasi kulit melebihi 1
cm tetapi tidak terdapat kerusakan jaringan yang hebat atau avulsi kulit. Terdapat
kerusakan yang sedang dan jaringan. Tipe III: terdapat kerusakan yang hebat pada
jaringan lunak termasuk otot, kulit dan struktur neovaskuler dengan kontaminasi
4

yang hebat. Dibagi dalam 3 sub tipe lagi tipe IIIA : jaringan lunak cukup menutup
tulang yang patah, tipe IIIB : disertai kerusakan dan kehilangan janingan lunak,
tulang tidak dapat di tutup jaringan lunak dan tipe IIIC : disertai cedera arteri yang
memerlukan repair segera. 3,4
Menurut Apley Solomon fraktur diklasifikasikan berdasarkan garis patah
tulang dan berdasarkan bentuk patah tulang. Berdasarkan garis patah tulangnya:
greenstick, yaitu fraktur dimana satu sisi tulang retak dan sisi lainnya bengkok,
transversal, yaitu fraktur yang memotong lurus pada tulang. Spiral, yaitu fraktur
yang mengelilingi tungkai/lengan tulang. Obliq, yaitu fraktur yang garis patahnya
miring membentuk sudut melintasi tulang. Berdasarkan bentuk patah tulangnya,
komplit, yaitu garis fraktur menyilang atau memotong seluruh tulang dan fragmen
tulang biasanya tergeser. Inkomplet, meliputi hanya sebagian retakan pada sebelah
sisi tulang. Fraktur kompresi, yaitu fraktur dimana tulang terdorong ke arah
permukaan tulang lain avulsi, yaitu fragmen tulang tertarik oleh ligament.
Communited (segmental), fraktur dimana tulang terpecah menjadi beberapa
bagian. Simple fraktur dimana tulang patah dan kulit utuh. Fraktur dengan
perubahan posisi, yaitu ujung tulang yang patah berjauhan dari tempat yang patah.
Fraktur tanpa perubahan posisi, yaitu tulang patah, posisi pada tempatnya yang
normal. Fraktur komplikata, yaitu tulang yang patah menusuk kulit dan tulang
terlihat. 3,4
Berdasarkan lokasinya fraktur dapat mengenai bagian proksimal
(plateau), diaphyseal (shaft), maupun distal.1 Berdasarkan proses osifikasinya,

tulang panjang tediri dari diafisis (corpul/shaft) yang berasal dari pusat
penulangan sekunder. Epifisis, terletak di ujung tulang panjang. Bagian dari
diafisis yang terletak paling dekat dengan epifisis disebut metafisis, yaitu bagian
dari korpus yang melebar. Fraktur dapat terjadi pada bagian-bagian tersebut.
Diagnosis:
Gejala klasik fraktur adalah adanya: riwayat trauma, rasa nyeri dan
bengkak di bagian tulang yang patah, deformitas (angulasi, rotasi, diskrepansi),
gangguan fungsi muskuloskeletal akibat nyeri, putusnya kontinuitas tulang, dan
gangguan neurovaskuler. Apabila gejala klasik tersebut ada, secara klinis
diagnosis fraktur dapat ditegakkan. 4
Anamnesis dilakukan untuk menggali riwayat mekanisme cedera (posisi
kejadian) dan kejadian-kejadian yang berhubungan dengan cedera tersebut.
riwayat cedera atau fraktur sebelumnya, riwayat sosial ekonomi, pekerjaan, obatobatan yang dia konsumsi, merokok, riwayat alergi dan riwayat osteoporosis serta
penyakit lain. 4
Pada pemeriksaan fisik dilakukan tiga hal penting, yakni inspeksi atau
look: deformitas (angulasi, rotasi, pemendekan, pemanjangan), bengkak. Palpasi
atau feel (nyeri tekan, krepitasi). Status neurologis dan vaskuler di bagian
distalnya perlu diperiksa. Lakukan palpasi pada daerah ekstremitas tempat fraktur
tersebut, meliputi persendian diatas dan dibawah cedera, daerah yang mengalami
nyeri, efusi, dan krepitasi. Neurovaskularisasi bagian distal fraktur meliputi :
pulsasi aretri, warna kulit, pengembalian cairan kapler, sensasi. Pemeriksaan
6

gerakan atau moving dinilai apakah adanya keterbatasan pada pergerakan sendi
yang berdekatan dengan lokasi fraktur. Pemeriksaan trauma di tempat lain
meliputi kepala, toraks, abdomen, pelvis. Sedangkan pada pasien dengan
politrauma, pemeriksaan awal dilakukan menurut protokol ATLS. Langkah
pertama adalah menilai airway, breathing, dan circulation. 4,7
Pemeriksaan penunjang yang diperlukan antara lain laboratorium
meliputi darah rutin, faktor pembekuan darah, golongan darah, cross-test, dan
urinalisa. Pemeriksaan radiologis untuk lokasi fraktur harus menurut rule of two:
dua gambaran, anteroposterior (AP) dan lateral, memuat dua sendi di proksimal
dan distal fraktur, memuat gambaran foto dua ekstremitas, yaitu ekstremitas yang
cedera dan yang tidak terkena cedera (pada anak) dan dua kali, yaitu sebelum
tindakan dan sesudah tindakan. 4,7
Penyembuhan Fraktur:
Pada kasus fraktur untuk mengembalikan struktur dan fungsi tulang
secara cepat maka perlu tindakan operasi dengan imobilisasi. Imobilisasi yang
sering digunakan yaitu plate and screw. Pada kondisi fraktur fisiologis akan
diikuti proses penyambungan. 4
Proses penyambungan tulang menurut Apley dibagi dalam 5 fase. Fase
hematoma (inflamasi) terjadi selama 1- 3 hari. Pembuluh darah robek dan
terbentuk hematoma di sekitar dan di dalam fraktur. Tulang pada permukaan
fraktur, yang tidak mendapat pesediaan darah akan mati sepanjang satu atau dua
milimeter. Fase proliferasi terjadi selama 3 hari sampai 2 minggu. Dalam 8 jam
7

setelah fraktur terdapat reaksi radang akut disertai proliferasi dibawah periosteum
dan didalam saluran medula yang tertembus ujung fragmen dikelilingi jaringan sel
yang menghubungkan tempat fraktur. Hematoma yang membeku perlahan-lahan
diabsorbsi dan kapiler baru yang halus berkembang dalam daerah fraktur. Fase
pembentukan kalus terjadi selama 2-6 minggu. Pada sel yang berkembangbiak
memiliki potensi untuk menjadi kondrogenik dan osteogenik jika diberikan
tindakan yang tepat selain itu akan membentuk tulang kartilago dan osteoklas. 4
Massa tulang akan menjadi tebal dengan adanya tulang dan kartilago
juga osteoklas yang disebut dengan kalus. Kalus terletak pada permukaan
periosteum dan endosteom. Terjadi selama 4 minggu, tulang mati akan
dibersihkan. Fase konsolidasi terjadi dalam waktu 3 minggu 6 bulan. Tulang
fibrosa atau anyaman tulang menjadi padat jika aktivitas osteoklas dan
osteoblastik masih berlanjut maka anyaman tulang berubah menjadi tulang
lamelar. Pada saat ini osteoblast tidak memungkinkan untuk menerobos melalui
reruntuhan garis fraktur karena sistem ini cukup kaku. Celah-celah diantara
fragmen dengan tulang baru akan diisi oleh osteoblas. Perlu beberapa bulan
sebelum tulang cukup untuk menumpu berat badan normal. Fase remodelling
terjadi selama 6 minggu hingga 1 tahun. Fraktur telah dihubungkan oleh tulang
yang padat, tulang yang padat tersebut akan diresorbsi dan pembentukan tulang
yang terus menerus lamelar akan menjadi lebih tebal, dinding-dinding yang tidak
dikehendaki dibuang, dibentuk rongga sumsum dan akhirnya akan memperoleh
bentuk tulang seperti normalnya. Terjadi dalam beberapa bulan bahkan sampai
beberapa tahun. 4,5
8

Faktor-faktor yang mempengaruhi penyembuhan fraktur antara lain: usia


pasien, banyaknya displacement fraktur, jenis fraktur, lokasi fraktur, pasokan
darah pada fraktur, dan kondisi medis yang menyertainya. 5
Prinsip Penanganan Fraktur:
Prinsip penanganan fraktur adalah mengembalikan posisi patahan tulang
ke posisi semula (reposisi) dan mempertahankan posisi itu selama masa
penyembuhan patah tulang (imobilisasi). Pada anak-anak reposisi yang dilakukan
tidak harus mencapai keadaan sempurna seperti semula karena tulang mempunyai
kemampuan remodeling. 5
Penatalaksanaan umum fraktur meliputi menghilangkan rasa nyeri,
Menghasilkan dan mempertahankan posisi yang ideal dari fraktur, Agar terjadi
penyatuan tulang kembali, Untuk mengembalikan fungsi seperti semula. 5
Untuk mengurangi nyeri tersebut, dapat dilakukan imobilisasi, (tidak
menggerakkan daerah fraktur) dan dapat diberikan obat penghilang nyeri. Teknik
imobilisasi dapat dilakukan dengan pembidaian atau gips. Bidai dan gips tidak
dapat pempertahankan posisi dalam waktu yang lama. Untuk itu diperlukan teknik
seperti pemasangan traksi kontinu, fiksasi eksteral, atau fiksasi internal. 5
Konsep dasar yang harus dipertimbangkan pada waktu menangani fraktur
yaitu : rekognisi, reduksi, retensi, dan rehabilitasi. 5,6

1. Rekognisi (Pengenalan)
Riwayat kecelakaan, derajat keparahan, harus jelas untuk menentukan
diagnosa dan tindakan selanjutnya. Contoh, pada tempat fraktur tungkai akan
terasa nyeri sekali dan bengkak. Kelainan bentuk yang nyata dapat menentukan
diskontinuitas integritas rangka.
2. Reduksi (manipulasi/ reposisi)
Reduksi adalah usaha dan tindakan untuk memanipulasi fragmen
fragmen tulang yang patah sedapat mungkin kembali lagi seperti letak asalnya.
Upaya untuk memanipulasi fragmen tulang sehingga kembali seperti semula
secara optimal. Reduksi fraktur dapat dilakukan dengan reduksi tertutup, traksi,
atau reduksi terbuka. Reduksi fraktur dilakukan sesegera mungkin untuk
mencegah jaringan lunak kehilangan elastisitasnya akibat infiltrasi karena edema
dan perdarahan. Pada kebanyakan kasus, reduksi fraktur menjadi semakin sulit
bila cedera sudah mulai mengalami penyembuhan.
3. Immobilisasi
Upaya yang dilakukan untuk menahan fragmen tulang sehingga kembali
seperti semula secara optimal. Setelah fraktur direduksi, fragmen tulang harus
diimobilisasi, atau di pertahankan dalam posisi kesejajaran yang benar sampai
terjadi penyatuan. Imobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi eksterna atau
interna. Metode fiksasi eksterna meliputi pembalutan, gips, bidai, traksi kontinu,
pin, dan teknik gips, atau fiksator eksterna. Implan logam dapat di gunakan untuk
10

fiksasi intrerna yang brperan sebagai bidai interna untuk mengimobilisasi fraktur.
Fiksasi eksterna adalah alat yang diletakkan diluar kulit untuk menstabilisasikan
fragmen tulang dengan memasukkan dua atau tiga pin metal perkutaneus
menembus tulang pada bagian proksimal dan distal dari tempat fraktur dan pin
tersebut dihubungkan satu sama lain dengan menggunakan eksternal bars. Teknik
ini terutama atau kebanyakan digunakan untuk fraktur pada tulang tibia, tetapi
juga dapat dilakukan pada tulang femur, humerus dan pelvis.
4. Rehabilitasi
Mengembalikan aktifitas fungsional semaksimal mungkin untuk
menghindari atropi atau kontraktur. Bila keadaan mmeungkinkan, harus segera
dimulai melakukan latihan-latihan untuk mempertahankan kekuatan anggota
tubuh dan mobilisasi.
Komplikasi :
Komplikasi fraktur menurut Smeltzer dan Bare (2001) dan Price (2005)
antara lain:
1. Komplikasi awal fraktur antara lain: syok, sindrom emboli lemak, sindrom
kompartement, kerusakan arteri, infeksi, avaskuler nekrosis. 7,8

11

a. Syok
Syok hipovolemik atau traumatic, akibat perdarahan (banyak kehilangan
darah eksternal maupun yang tidak kelihatan yang bias menyebabkan penurunan
oksigenasi) dan kehilangan cairan ekstra sel ke jaringan yang rusak, dapat terjadi
pada fraktur ekstrimitas, thoraks, pelvis dan vertebra.
b. Sindrom emboli lemak
Pada saat terjadi fraktur globula lemak dapat masuk kedalam pembuluh
darah karena tekanan sumsum tulang lebih tinggi dari tekanan kapiler atau karena
katekolamin yang di lepaskan oleh reaksi stress pasien akan memobilisasi asam
lemak dan memudahkan terjasinya globula lemak pada aliran darah.
c. Sindroma Kompartement
Merupakan masalah yang terjadi saat perfusi jaringan dalam otot kurang
dari yang dibutuhkan untuk kehidupan jaringan. Ini bisa disebabkan karena
penurunan ukuran kompartement otot karena fasia yang membungkus otot terlalu
ketat, penggunaan gibs atau balutan yang menjerat ataupun peningkatan isi
kompatement otot karena edema atau perdarahan sehubungan dengan berbagai
masalah (misalnya : iskemi,dan cidera remuk).
d. Kerusakan Arteri
Pecahnya arteri karena trauma bias ditandai denagan tidak ada nadi, CRT
menurun, syanosis bagian distal, hematoma yang lebar, dan dingin pada

12

ekstrimitas yang disbabkan oleh tindakan emergensi splinting, perubahan posisi


pada yang sakit, tindakan reduksi, dan pembedahan.
e. Infeksi
Sistem pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada
trauma orthopedic infeksi dimulai pada kulit (superficial) dan masuk ke dalam. Ini
biasanya terjadi pada kasus fraktur terbuka, tapi bias juga karena penggunaan
bahan lain dalam pembedahan seperti pin dan plat.
f. Avaskuler nekrosis
Avaskuler nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ke tulang rusak
atau terganggu yang bias menyebabkan nekrosis tulang dan di awali dengan
adanya Volkmans Ischemia.
2. Komplikasi dalam waktu lama atau lanjut fraktur antara lain: mal union,
delayed union, dan non union. 8
a. Malunion
Malunion dalam suatu keadaan dimana tulang yang patah telah sembuh
dalam posisi yang tidak seharusnya. Malunion merupaka penyembuhan tulang
ditandai dengan meningkatnya tingkat kekuatan dan perubahan bentuk
(deformitas). Malunion dilakukan dengan pembedahan dan reimobilisasi yang
baik.

13

b. Delayed Union
Delayed union adalah proses penyembuhan yang terus berjalan dengan
kecepatan yang lebih lambat dari keadaan normal. Delayed union
merupakankegagalan fraktur berkonsolidasi sesuai dengan waktu yang dibutuhkan
tulang untuk menyambung. Ini disebabkan karena penurunan suplai darah ke
tulang.
c. Nonunion
Nonunion merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi dan memproduksi
sambungan yang lengkap, kuat, dan stabil setelah 6-9 bulan. Nonunion di tandai
dengan adanya pergerakan yang berlebih pada sisi fraktur yang membentuk sendi
palsu atau pseuardoarthrosis. Ini juga disebabkan oleh kurangnya pasokan aliran
darah.

14

BAB III
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS PASIEN
Nama
Umur
Bangsa
Suku
Agama
Pekerjaan
Alamat
MRS
II.

: Ny. Livia
: 40 tahun
: Indonesia
: Banjar
: Islam
: Ibu Rumah Tangga
: Guntung Payung, Banjarbaru
:11 Desember 2015

ANAMNESIS
1. Keluhan Utama : Nyeri Kaki Kanan
2. Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien Post KLLD setengah jam SMRS, datang dengan GCS: E4V5M5,
Pingsan (-), Mual/Muntah (-/-), Perdarahan telinga/hidung/tenggorokan
(-/-/-), sakit kepala (-), sesak napas (-), nyeri perut (-), pada kaki kanan
terdapat luka dan nyeri. Menurut pasien kecelakaan terjadi pada saat
berkendaraan dan kejadiaannya ketika pasien menghindari kendaraan

III.

lain, kemudian terjatuh ke kanan.


3. Riwayat Penyakit Dahulu :
ISK (-), BSK (-), Hipertensi (-), DM (-)
4. Riwayat Penyakit Keluarga :
Penyakit serupa (-), hipertensi (-), DM (-)
PEMERIKSAAN FISIK
A. Primary Survei :
Airway : Clear (+), Snoring (-), Gurgling (-)
Breathing : Clear (+), RR: 22 x/menit
Circulation : Clear (+), TD: 130/70 mmHg, Nadi: 86 x/menit (kuat
angkat, reguler), akral hangat
Disability : GCS: E4V5M6, Compos mentis
B. Secondary Survei :
Umum : Bentuk mesosefali
Rambut : Warna hitam, tebal, distribusi merata
Mata
:
15

- eksoftalmus (-/-)
- konjungtiva pucat (-/-)
- sklera ikterik (-/-)
- refleks cahaya (+/+)
Mulut : mukosa pucat (-)
Leher :
- tidak ada pembesaran kelenjar getah bening
- kaku kuduk tidak ada
- Jugular venous pressure tidak meningkat
C. Pemeriksaan Thoraks
Paru
Inspeksi: Gerakan nafas simetris, retraksi (-)
Palpasi : Fremitus vokal simetris, nyeri tekan tidak ada
Perkusi : Sonor (+/+), nyeri ketuk tidak ada
Auskultasi
: Suara nafas vesikuler, Rhonki (-/-), Wheezing (-/-)
Jantung
Inspeksi: Iktus dan pulsasi tidak terlihat
Palpasi : Apeks teraba pada ICS V LMK kiri, Thrill (-)
Perkusi : Batas kanan ICS II-IV LPS Dextra
Batas kiri ICS II-IV LMK Sinistra
Auskultasi
: Bunyi jantung I dan II tunggal
D. Pemeriksaan Abdomen
Inspeksi: Tampak datar, vena kolateral (-), scar (-), distensi (-)
Auskultasi
: Bising usus (+) normal
Palpasi
: Hepar, lien, massa tidak teraba, nyeri tekan (+) a/r
suprapubik, defans muskular (-)
Perkusi : Timpani
E. Pemeriksaan Ekstrimitas
Atas
: Akral hangat, edem (-/-), parese (-/-)
Bawah
: Akral hangat, edem (-/-), parese (-/-), kaki kanan tampak

IV.

luka terbuka (+).


F. Pemeriksaan Tulang Belakang
Dalam batas normal, nyeri (-), tidak tampak skoliosis, kifosis, lordosis.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Foto luka dan rontagen:

16

V.
VI.

DIAGNOSA
Closed Fraktur Digiti V dan Luka Terbuka a/r pedis (d)
PENATALAKSANAAN
Dressing
Rontagen pedis (d)
Konsul: dr. Adi Sp.OT:
Hecting situasional + injeksi gentamicin 1 amp dilokasi penjahitan
IVFD RL

20 tpm

Inj. Ceftriaxone 2 x 1 gr
Inj. Ketorolac

3 x 1 amp

Inj. Ranitidine

2 x 1 amp

Rencana: Perawatan luka dan rawat inap


Follow up ruangan:

Tanggal

Subjek

Objektif

terapi

rencana

12-12-2015

Nyeri di

TD : 110/70

Dressing tiap hari

Perawatan luka

IVFD RL 20 tpm

kaki kanan

: 80 x/'

kering

(+)
RR : 22 x/'
T : 36,7

Inj. Ceftriakson 2x1


Ketorolac 3x1

17

Ranitidine 2x1
13-12-2015

Nyeri di
kaki kanan

TD : 120/80

Dressing tiap hari

IVFD RL 20 tpm

: 76 x/'

Perawatan luka
kering

(<)
RR : 20 x/'
T : 36,9

Inj. Ceftriakson 2x1


Ketorolac 3x1
Ranitidine 2x1

14-12-2015

(-)

TD : 120/70

Dressing tiap hari

IVFD RL 20 tpm

: 82 x/'

RR : 22 x/'
T : 37,0

Perawatan luka
kering

Inj. Ceftriakson 2x1


Ketorolac 3x1
Ranitidine 2x1
PO. Aspilet 2x1 tab

15-12-2015

(-)

TD : 110/70

Dressing tiap hari

IVFD RL 20 tpm

: 80 x/'

RR : 20 x/'

Inj. Ceftriakson 2x1

Perawatan luka
kering.
Rencana kontrol
ulang di poli orto.

T : 36,9

Ketorolac 3x1
Ranitidine 2x1
PO. Aspilet 2x1 tab

18

Terapi Rawat Jalan:


Asam Mefernamat 3 x 1 tablet
Ciprofloksasin 2 x 1 tablet
Ranitidin 2 x 1 tablet
KIE rawat luka dirumah dan rencana kontrol ulang

BAB IV
DISKUSI

Pasien Ny. Livia usia 40 tahun MRS pada tanggal: 11 Desember 2015,
dengan diagnosis: closed fraktur digiti V + luka terbuka a/r pedis (d). Dari
anamnesis didapatkan keluhan berupa nyeri pada kaki kanan setelah mengalami
kecelakaan lalu lintas darat, datang dengan GCS: E4V5M6, sakit kepala (-), sesak
napas (-), nyeri perut (-) dan pada pemeriksaan kaki kanan didapatkan: luka
terbuka pada telapak kaki kanan, nyeri tekan (+), nyeri digerakan (+), kemudian
19

dilakukan perawatan luka sementara sebelum dilakukan pemeriksaan lanjutan


berupa rontagen kaki kanan. Kemudian dikonsulkan ke Sp.OT.
Penanganan pertama pada pasien dengan trauma muskuloskeletal meleputi
beberapa aspek: 1. Primary Survei, meliputi Airway, Breathing, Circulation,
Disability, kemudian setelah dilakukan pemeriksaan primary survei dan ditangani
sesuai dengan apa yang didapatkan. Selanjutnya dilakukan Secondary Survei,
meliputi pemeriksaan dari kepala sampai kaki, kemudian ditentukan penanganan
pada organ yang bermasalah. 9
Pada pasien ini, memiliki beberapa permasalahan: 1. Luka terbuka dikaki
kanan, pada permasalahan ini perlu ditangani dengan cepat agar tidak terjadi
komplikasi lebih lanjut, berupa infeksi pada luka terbuka tersebut, kemudian
dilakukan dressing dengan Nacl + Antibiotik (gentamicin) untuk pencegahan
infeksi, setelah itu dilakukan hecting situasional (jangan terlalu dempet
menjahitnya) untuk menutup luka yang telah dibersihkan. Dibalut dengan
softratulle dan ditutup dengan kasa kering 2. Closed fraktur pada digiti V, pada
permasalahan ini perlu dilakukan immobilisasi agar tidak menimbulkan rasa
nyeri.
Pasien yang telah mendapatkan penanganan di IGD RS Banjarbaru,
kemudian dilakukan perawatan luka lebih lanjut dengan dreesing luka tiap hari
dan pemberian antibiotik, analgetik intravena (Rawat Inap), untuk mendapatkan
penyembuhan luka yang baik.

20

Penyembuhan luka adalah suatu bentuk proses usaha untuk memperbaiki


kerusakan yang terjadi. Komponen utama dalam proses penyembuhan luka adalah
kolagen disamping sel epitel. Fibroblas adalah sel yang bertanggung jawab untuk
sintesis kolagen. Fisiologi penyembuhan luka secara alami akan mengalami
beberapa fase: A. Inflamasi, B. Proliferasi, C. Remodelling atau maturasi. Adapun
beberapa faktor yang mempengaruhi penyembuhan luka: 1. Faktor lokal (Suplai
darah lokal, jenis jaringan, infeksi, teknik penjahitan dan bahan yang digunakan)
2. Faktor umum (Usia, nutrisi, penyakit penyerta: DM, Anemia, Infeksi sistemik,
dll). 10

Setelah dilakukan perawatan luka pada pasien didapatkan: (hari kedua)

21

Pada kondisi diatas dicurigai suplai aliran darah ke bagian distal jari kurang,
terlihat pada kulit yang mulai menghitam, pada pemeriksaan sensorik (masih
kerasa) dan motorik (bisa digerakan) masih didapatkan hasil yang baik. Kemudian
dilakukan tindakan lebih lanjut dengan pemberian antiplatelet berupa Aspilet 2
tablet sehari, yang diharapkan akan memperbaiki aliran darah ke bagian distal jari
ke V.

BAB V
PENUTUP
Telah dilaporkan sebuah kasus atas nama Ny. L usia 40 tahun dengan
diagnosis: closed fraktur digiti V + luka terbuka a/r pedis (d). Pada pasien telah
dilakukan perawatan luka dan immobilisasi, dirawat selama 4 hari dan pasien
diperbolehkan pulang, dan direncakan kontrol ulang ke poli untuk evaluasi lebih
lanjut.

22

DAFTAR PUSTAKA
1. Rasjad, C., 2003. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Bintang Lamumpatue
Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin, Makassar, Hal. 363-370
2. Mahartha, Gede Rastu Adi. Maliawan, Sri dan Kawiyana, Ketut Siki.
(2011). Manajemen Fraktur pada Trauma Muskuloskeletal.
3. Appley. A. Graham, Buku Ajaran Orthopedi dan Fraktur Sistem Appley,
alih bahasa, Edi Nugroho: edisi 7, Jakarta, Widya Medika,1995.
4. Ovedoff, David; Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 1, Binarupa Aksara,
Jakarta, 2002, hal. 593-594.
5. Helmi ZN. Buku Ajar GANGGUAN MUSKULOSKELETAL. Jakarta:
Salemba Medika. 2011. p411-55.
6. Sjamsuhidayat, de Jong. BUKU AJAR ILMU BEDAH EDISI 3. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran ECG. 2011. p959-1083.
23

7. Salter RB. Textbook Disorders and Injuries of The Muskuloskeletal System


Third Edition. USA: Lippincott Williams and Wilkins. 1999. p417-498.
8. Marzoeki D. Luka dan perawatannya asepsis/ antisepsis disinfektan.

Surabaya : Airlangga University Press, 1993 : 1-12


9. Suyono, Y. Joko. Listiawati Enny dan Jaya S David Putra. (2003). Buku

Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2, Jakarta: EGC.


10. David S Perdanakusuma. ANATOMI FISIOLOGI KULIT DAN
PENYEMBUHAN LUKA From Caring to Curing, Pause Before You
Use Gauze JW Marriot Hotel Surabaya, 5 September 2007.

24

Anda mungkin juga menyukai