Oleh
dr. Hari Subagiyo
RSUD BANJARBARU
Daftar isi
Daftar isi...........................................................................................................
BAB I................................................................................................................
BAB II..............................................................................................................
BAB III.............................................................................................................
16
BAB IV.............................................................................................................
23
BAB V..............................................................................................................
26
BAB I
PENDAHULUAN
Trauma merupakan suatu cedera yang dapat mencederai fisik. Trauma
jaringan lunak muskuloskeletal dapat berupa vulnus (luka), perdarahan, memar
(kontusio), regangan atau robekan parsial (sprain), putus atau robekan (avulsi atau
rupture), gangguan pembuluh darah dan gangguan saraf. 1
Cedera pada tulang akan menimbulkan patah tulang (fraktur) dan
dislokasi. Fraktur juga dapat terjadi di ujung tulang dan sendi (intra-artikuler)
yang sekaligus menimbulkan dislokasi sendi. Fraktur ini juga disebut fraktur
dislokasi. 1
Insiden fraktur secara keseluruhan adalah 11,3 dalam 1.000 per tahun.
Insiden fraktur pada laki-laki adalah 11.67 dalam 1.000 per tahun, sedangkan pada
perempuan 10,65 dalam 1.000 per tahun. Insiden di beberapa belahan dunia akan
berbeda. Hal ini mungkin disebabkan salah satunya karena adanya perbedaan
status sosioekonomi dan metodologi yang digunakan di area penelitian. 2
Prinsip penanggulangan cedera muskuloskeletal adalah rekognisi
(mengenali), reduksi (mengembalikan), retaining (mempertahankan), dan
rehabilitasi. Agar penanganannya baik, perlu diketahui kerusakan apa saja yang
terjadi, baik pada jaringan lunaknya maupun tulangnya. Mekanisme trauma juga
harus diketahui, bisa diakibat trauma tumpul atau tajam dan langsung atau tak
langsung. 2
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Fraktur merupakan hilangnya kontinuitas tulang, baik yang bersifat total
maupun sebagian, biasanya disebabkan oleh trauma. Terjadinya suatu fraktur
lengkap atau tidak lengkap ditentukan oleh kekuatan, sudut dan tenaga, keadaan
tulang, serta jaringan lunak di sekitar tulang. 3
Secara umum, keadaan patah tulang secara klinis dapat diklasifikasikan
sebagai fraktur terbuka, fraktur tertutup dan fraktur dengan komplikasi. Fraktur
tertutup adalah fraktur dimana kulit tidak ditembus oleh fragmen tulang, sehingga
tempat fraktur tidak tercemar oleh lingkungan/dunia luar. Fraktur terbuka adalah
fraktur yang mempunyai hubungan dengan dunia luar melalui luka pada kulit dan
jaringan lunak, dapat terbentuk dari dalam maupun luar. Fraktur dengan
komplikasi adalah fraktur yang disertai dengan komplikasi seperti malunion,
delayed union, nounion dan infeksi tulang. 3
Patah tulang terbuka menurut Gustillo dibagi menjadi tiga derajat, yang
ditentukan oleh berat ringannya luka dan fraktur yang terjadi. Tipe I: luka kecil
kurang dari 1 cm, terdapat sedikit kerusakan jaringan, tidak terdapat tanda-tanda
trauma yang hebat pada jaringan lunak. Fraktur yang terjadi biasanya bersifat
simpel, tranversal, oblik pendek atau komunitif. Tipe II: laserasi kulit melebihi 1
cm tetapi tidak terdapat kerusakan jaringan yang hebat atau avulsi kulit. Terdapat
kerusakan yang sedang dan jaringan. Tipe III: terdapat kerusakan yang hebat pada
jaringan lunak termasuk otot, kulit dan struktur neovaskuler dengan kontaminasi
4
yang hebat. Dibagi dalam 3 sub tipe lagi tipe IIIA : jaringan lunak cukup menutup
tulang yang patah, tipe IIIB : disertai kerusakan dan kehilangan janingan lunak,
tulang tidak dapat di tutup jaringan lunak dan tipe IIIC : disertai cedera arteri yang
memerlukan repair segera. 3,4
Menurut Apley Solomon fraktur diklasifikasikan berdasarkan garis patah
tulang dan berdasarkan bentuk patah tulang. Berdasarkan garis patah tulangnya:
greenstick, yaitu fraktur dimana satu sisi tulang retak dan sisi lainnya bengkok,
transversal, yaitu fraktur yang memotong lurus pada tulang. Spiral, yaitu fraktur
yang mengelilingi tungkai/lengan tulang. Obliq, yaitu fraktur yang garis patahnya
miring membentuk sudut melintasi tulang. Berdasarkan bentuk patah tulangnya,
komplit, yaitu garis fraktur menyilang atau memotong seluruh tulang dan fragmen
tulang biasanya tergeser. Inkomplet, meliputi hanya sebagian retakan pada sebelah
sisi tulang. Fraktur kompresi, yaitu fraktur dimana tulang terdorong ke arah
permukaan tulang lain avulsi, yaitu fragmen tulang tertarik oleh ligament.
Communited (segmental), fraktur dimana tulang terpecah menjadi beberapa
bagian. Simple fraktur dimana tulang patah dan kulit utuh. Fraktur dengan
perubahan posisi, yaitu ujung tulang yang patah berjauhan dari tempat yang patah.
Fraktur tanpa perubahan posisi, yaitu tulang patah, posisi pada tempatnya yang
normal. Fraktur komplikata, yaitu tulang yang patah menusuk kulit dan tulang
terlihat. 3,4
Berdasarkan lokasinya fraktur dapat mengenai bagian proksimal
(plateau), diaphyseal (shaft), maupun distal.1 Berdasarkan proses osifikasinya,
tulang panjang tediri dari diafisis (corpul/shaft) yang berasal dari pusat
penulangan sekunder. Epifisis, terletak di ujung tulang panjang. Bagian dari
diafisis yang terletak paling dekat dengan epifisis disebut metafisis, yaitu bagian
dari korpus yang melebar. Fraktur dapat terjadi pada bagian-bagian tersebut.
Diagnosis:
Gejala klasik fraktur adalah adanya: riwayat trauma, rasa nyeri dan
bengkak di bagian tulang yang patah, deformitas (angulasi, rotasi, diskrepansi),
gangguan fungsi muskuloskeletal akibat nyeri, putusnya kontinuitas tulang, dan
gangguan neurovaskuler. Apabila gejala klasik tersebut ada, secara klinis
diagnosis fraktur dapat ditegakkan. 4
Anamnesis dilakukan untuk menggali riwayat mekanisme cedera (posisi
kejadian) dan kejadian-kejadian yang berhubungan dengan cedera tersebut.
riwayat cedera atau fraktur sebelumnya, riwayat sosial ekonomi, pekerjaan, obatobatan yang dia konsumsi, merokok, riwayat alergi dan riwayat osteoporosis serta
penyakit lain. 4
Pada pemeriksaan fisik dilakukan tiga hal penting, yakni inspeksi atau
look: deformitas (angulasi, rotasi, pemendekan, pemanjangan), bengkak. Palpasi
atau feel (nyeri tekan, krepitasi). Status neurologis dan vaskuler di bagian
distalnya perlu diperiksa. Lakukan palpasi pada daerah ekstremitas tempat fraktur
tersebut, meliputi persendian diatas dan dibawah cedera, daerah yang mengalami
nyeri, efusi, dan krepitasi. Neurovaskularisasi bagian distal fraktur meliputi :
pulsasi aretri, warna kulit, pengembalian cairan kapler, sensasi. Pemeriksaan
6
gerakan atau moving dinilai apakah adanya keterbatasan pada pergerakan sendi
yang berdekatan dengan lokasi fraktur. Pemeriksaan trauma di tempat lain
meliputi kepala, toraks, abdomen, pelvis. Sedangkan pada pasien dengan
politrauma, pemeriksaan awal dilakukan menurut protokol ATLS. Langkah
pertama adalah menilai airway, breathing, dan circulation. 4,7
Pemeriksaan penunjang yang diperlukan antara lain laboratorium
meliputi darah rutin, faktor pembekuan darah, golongan darah, cross-test, dan
urinalisa. Pemeriksaan radiologis untuk lokasi fraktur harus menurut rule of two:
dua gambaran, anteroposterior (AP) dan lateral, memuat dua sendi di proksimal
dan distal fraktur, memuat gambaran foto dua ekstremitas, yaitu ekstremitas yang
cedera dan yang tidak terkena cedera (pada anak) dan dua kali, yaitu sebelum
tindakan dan sesudah tindakan. 4,7
Penyembuhan Fraktur:
Pada kasus fraktur untuk mengembalikan struktur dan fungsi tulang
secara cepat maka perlu tindakan operasi dengan imobilisasi. Imobilisasi yang
sering digunakan yaitu plate and screw. Pada kondisi fraktur fisiologis akan
diikuti proses penyambungan. 4
Proses penyambungan tulang menurut Apley dibagi dalam 5 fase. Fase
hematoma (inflamasi) terjadi selama 1- 3 hari. Pembuluh darah robek dan
terbentuk hematoma di sekitar dan di dalam fraktur. Tulang pada permukaan
fraktur, yang tidak mendapat pesediaan darah akan mati sepanjang satu atau dua
milimeter. Fase proliferasi terjadi selama 3 hari sampai 2 minggu. Dalam 8 jam
7
setelah fraktur terdapat reaksi radang akut disertai proliferasi dibawah periosteum
dan didalam saluran medula yang tertembus ujung fragmen dikelilingi jaringan sel
yang menghubungkan tempat fraktur. Hematoma yang membeku perlahan-lahan
diabsorbsi dan kapiler baru yang halus berkembang dalam daerah fraktur. Fase
pembentukan kalus terjadi selama 2-6 minggu. Pada sel yang berkembangbiak
memiliki potensi untuk menjadi kondrogenik dan osteogenik jika diberikan
tindakan yang tepat selain itu akan membentuk tulang kartilago dan osteoklas. 4
Massa tulang akan menjadi tebal dengan adanya tulang dan kartilago
juga osteoklas yang disebut dengan kalus. Kalus terletak pada permukaan
periosteum dan endosteom. Terjadi selama 4 minggu, tulang mati akan
dibersihkan. Fase konsolidasi terjadi dalam waktu 3 minggu 6 bulan. Tulang
fibrosa atau anyaman tulang menjadi padat jika aktivitas osteoklas dan
osteoblastik masih berlanjut maka anyaman tulang berubah menjadi tulang
lamelar. Pada saat ini osteoblast tidak memungkinkan untuk menerobos melalui
reruntuhan garis fraktur karena sistem ini cukup kaku. Celah-celah diantara
fragmen dengan tulang baru akan diisi oleh osteoblas. Perlu beberapa bulan
sebelum tulang cukup untuk menumpu berat badan normal. Fase remodelling
terjadi selama 6 minggu hingga 1 tahun. Fraktur telah dihubungkan oleh tulang
yang padat, tulang yang padat tersebut akan diresorbsi dan pembentukan tulang
yang terus menerus lamelar akan menjadi lebih tebal, dinding-dinding yang tidak
dikehendaki dibuang, dibentuk rongga sumsum dan akhirnya akan memperoleh
bentuk tulang seperti normalnya. Terjadi dalam beberapa bulan bahkan sampai
beberapa tahun. 4,5
8
1. Rekognisi (Pengenalan)
Riwayat kecelakaan, derajat keparahan, harus jelas untuk menentukan
diagnosa dan tindakan selanjutnya. Contoh, pada tempat fraktur tungkai akan
terasa nyeri sekali dan bengkak. Kelainan bentuk yang nyata dapat menentukan
diskontinuitas integritas rangka.
2. Reduksi (manipulasi/ reposisi)
Reduksi adalah usaha dan tindakan untuk memanipulasi fragmen
fragmen tulang yang patah sedapat mungkin kembali lagi seperti letak asalnya.
Upaya untuk memanipulasi fragmen tulang sehingga kembali seperti semula
secara optimal. Reduksi fraktur dapat dilakukan dengan reduksi tertutup, traksi,
atau reduksi terbuka. Reduksi fraktur dilakukan sesegera mungkin untuk
mencegah jaringan lunak kehilangan elastisitasnya akibat infiltrasi karena edema
dan perdarahan. Pada kebanyakan kasus, reduksi fraktur menjadi semakin sulit
bila cedera sudah mulai mengalami penyembuhan.
3. Immobilisasi
Upaya yang dilakukan untuk menahan fragmen tulang sehingga kembali
seperti semula secara optimal. Setelah fraktur direduksi, fragmen tulang harus
diimobilisasi, atau di pertahankan dalam posisi kesejajaran yang benar sampai
terjadi penyatuan. Imobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi eksterna atau
interna. Metode fiksasi eksterna meliputi pembalutan, gips, bidai, traksi kontinu,
pin, dan teknik gips, atau fiksator eksterna. Implan logam dapat di gunakan untuk
10
fiksasi intrerna yang brperan sebagai bidai interna untuk mengimobilisasi fraktur.
Fiksasi eksterna adalah alat yang diletakkan diluar kulit untuk menstabilisasikan
fragmen tulang dengan memasukkan dua atau tiga pin metal perkutaneus
menembus tulang pada bagian proksimal dan distal dari tempat fraktur dan pin
tersebut dihubungkan satu sama lain dengan menggunakan eksternal bars. Teknik
ini terutama atau kebanyakan digunakan untuk fraktur pada tulang tibia, tetapi
juga dapat dilakukan pada tulang femur, humerus dan pelvis.
4. Rehabilitasi
Mengembalikan aktifitas fungsional semaksimal mungkin untuk
menghindari atropi atau kontraktur. Bila keadaan mmeungkinkan, harus segera
dimulai melakukan latihan-latihan untuk mempertahankan kekuatan anggota
tubuh dan mobilisasi.
Komplikasi :
Komplikasi fraktur menurut Smeltzer dan Bare (2001) dan Price (2005)
antara lain:
1. Komplikasi awal fraktur antara lain: syok, sindrom emboli lemak, sindrom
kompartement, kerusakan arteri, infeksi, avaskuler nekrosis. 7,8
11
a. Syok
Syok hipovolemik atau traumatic, akibat perdarahan (banyak kehilangan
darah eksternal maupun yang tidak kelihatan yang bias menyebabkan penurunan
oksigenasi) dan kehilangan cairan ekstra sel ke jaringan yang rusak, dapat terjadi
pada fraktur ekstrimitas, thoraks, pelvis dan vertebra.
b. Sindrom emboli lemak
Pada saat terjadi fraktur globula lemak dapat masuk kedalam pembuluh
darah karena tekanan sumsum tulang lebih tinggi dari tekanan kapiler atau karena
katekolamin yang di lepaskan oleh reaksi stress pasien akan memobilisasi asam
lemak dan memudahkan terjasinya globula lemak pada aliran darah.
c. Sindroma Kompartement
Merupakan masalah yang terjadi saat perfusi jaringan dalam otot kurang
dari yang dibutuhkan untuk kehidupan jaringan. Ini bisa disebabkan karena
penurunan ukuran kompartement otot karena fasia yang membungkus otot terlalu
ketat, penggunaan gibs atau balutan yang menjerat ataupun peningkatan isi
kompatement otot karena edema atau perdarahan sehubungan dengan berbagai
masalah (misalnya : iskemi,dan cidera remuk).
d. Kerusakan Arteri
Pecahnya arteri karena trauma bias ditandai denagan tidak ada nadi, CRT
menurun, syanosis bagian distal, hematoma yang lebar, dan dingin pada
12
13
b. Delayed Union
Delayed union adalah proses penyembuhan yang terus berjalan dengan
kecepatan yang lebih lambat dari keadaan normal. Delayed union
merupakankegagalan fraktur berkonsolidasi sesuai dengan waktu yang dibutuhkan
tulang untuk menyambung. Ini disebabkan karena penurunan suplai darah ke
tulang.
c. Nonunion
Nonunion merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi dan memproduksi
sambungan yang lengkap, kuat, dan stabil setelah 6-9 bulan. Nonunion di tandai
dengan adanya pergerakan yang berlebih pada sisi fraktur yang membentuk sendi
palsu atau pseuardoarthrosis. Ini juga disebabkan oleh kurangnya pasokan aliran
darah.
14
BAB III
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS PASIEN
Nama
Umur
Bangsa
Suku
Agama
Pekerjaan
Alamat
MRS
II.
: Ny. Livia
: 40 tahun
: Indonesia
: Banjar
: Islam
: Ibu Rumah Tangga
: Guntung Payung, Banjarbaru
:11 Desember 2015
ANAMNESIS
1. Keluhan Utama : Nyeri Kaki Kanan
2. Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien Post KLLD setengah jam SMRS, datang dengan GCS: E4V5M5,
Pingsan (-), Mual/Muntah (-/-), Perdarahan telinga/hidung/tenggorokan
(-/-/-), sakit kepala (-), sesak napas (-), nyeri perut (-), pada kaki kanan
terdapat luka dan nyeri. Menurut pasien kecelakaan terjadi pada saat
berkendaraan dan kejadiaannya ketika pasien menghindari kendaraan
III.
- eksoftalmus (-/-)
- konjungtiva pucat (-/-)
- sklera ikterik (-/-)
- refleks cahaya (+/+)
Mulut : mukosa pucat (-)
Leher :
- tidak ada pembesaran kelenjar getah bening
- kaku kuduk tidak ada
- Jugular venous pressure tidak meningkat
C. Pemeriksaan Thoraks
Paru
Inspeksi: Gerakan nafas simetris, retraksi (-)
Palpasi : Fremitus vokal simetris, nyeri tekan tidak ada
Perkusi : Sonor (+/+), nyeri ketuk tidak ada
Auskultasi
: Suara nafas vesikuler, Rhonki (-/-), Wheezing (-/-)
Jantung
Inspeksi: Iktus dan pulsasi tidak terlihat
Palpasi : Apeks teraba pada ICS V LMK kiri, Thrill (-)
Perkusi : Batas kanan ICS II-IV LPS Dextra
Batas kiri ICS II-IV LMK Sinistra
Auskultasi
: Bunyi jantung I dan II tunggal
D. Pemeriksaan Abdomen
Inspeksi: Tampak datar, vena kolateral (-), scar (-), distensi (-)
Auskultasi
: Bising usus (+) normal
Palpasi
: Hepar, lien, massa tidak teraba, nyeri tekan (+) a/r
suprapubik, defans muskular (-)
Perkusi : Timpani
E. Pemeriksaan Ekstrimitas
Atas
: Akral hangat, edem (-/-), parese (-/-)
Bawah
: Akral hangat, edem (-/-), parese (-/-), kaki kanan tampak
IV.
16
V.
VI.
DIAGNOSA
Closed Fraktur Digiti V dan Luka Terbuka a/r pedis (d)
PENATALAKSANAAN
Dressing
Rontagen pedis (d)
Konsul: dr. Adi Sp.OT:
Hecting situasional + injeksi gentamicin 1 amp dilokasi penjahitan
IVFD RL
20 tpm
Inj. Ceftriaxone 2 x 1 gr
Inj. Ketorolac
3 x 1 amp
Inj. Ranitidine
2 x 1 amp
Tanggal
Subjek
Objektif
terapi
rencana
12-12-2015
Nyeri di
TD : 110/70
Perawatan luka
IVFD RL 20 tpm
kaki kanan
: 80 x/'
kering
(+)
RR : 22 x/'
T : 36,7
17
Ranitidine 2x1
13-12-2015
Nyeri di
kaki kanan
TD : 120/80
IVFD RL 20 tpm
: 76 x/'
Perawatan luka
kering
(<)
RR : 20 x/'
T : 36,9
14-12-2015
(-)
TD : 120/70
IVFD RL 20 tpm
: 82 x/'
RR : 22 x/'
T : 37,0
Perawatan luka
kering
15-12-2015
(-)
TD : 110/70
IVFD RL 20 tpm
: 80 x/'
RR : 20 x/'
Perawatan luka
kering.
Rencana kontrol
ulang di poli orto.
T : 36,9
Ketorolac 3x1
Ranitidine 2x1
PO. Aspilet 2x1 tab
18
BAB IV
DISKUSI
Pasien Ny. Livia usia 40 tahun MRS pada tanggal: 11 Desember 2015,
dengan diagnosis: closed fraktur digiti V + luka terbuka a/r pedis (d). Dari
anamnesis didapatkan keluhan berupa nyeri pada kaki kanan setelah mengalami
kecelakaan lalu lintas darat, datang dengan GCS: E4V5M6, sakit kepala (-), sesak
napas (-), nyeri perut (-) dan pada pemeriksaan kaki kanan didapatkan: luka
terbuka pada telapak kaki kanan, nyeri tekan (+), nyeri digerakan (+), kemudian
19
20
21
Pada kondisi diatas dicurigai suplai aliran darah ke bagian distal jari kurang,
terlihat pada kulit yang mulai menghitam, pada pemeriksaan sensorik (masih
kerasa) dan motorik (bisa digerakan) masih didapatkan hasil yang baik. Kemudian
dilakukan tindakan lebih lanjut dengan pemberian antiplatelet berupa Aspilet 2
tablet sehari, yang diharapkan akan memperbaiki aliran darah ke bagian distal jari
ke V.
BAB V
PENUTUP
Telah dilaporkan sebuah kasus atas nama Ny. L usia 40 tahun dengan
diagnosis: closed fraktur digiti V + luka terbuka a/r pedis (d). Pada pasien telah
dilakukan perawatan luka dan immobilisasi, dirawat selama 4 hari dan pasien
diperbolehkan pulang, dan direncakan kontrol ulang ke poli untuk evaluasi lebih
lanjut.
22
DAFTAR PUSTAKA
1. Rasjad, C., 2003. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Bintang Lamumpatue
Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin, Makassar, Hal. 363-370
2. Mahartha, Gede Rastu Adi. Maliawan, Sri dan Kawiyana, Ketut Siki.
(2011). Manajemen Fraktur pada Trauma Muskuloskeletal.
3. Appley. A. Graham, Buku Ajaran Orthopedi dan Fraktur Sistem Appley,
alih bahasa, Edi Nugroho: edisi 7, Jakarta, Widya Medika,1995.
4. Ovedoff, David; Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 1, Binarupa Aksara,
Jakarta, 2002, hal. 593-594.
5. Helmi ZN. Buku Ajar GANGGUAN MUSKULOSKELETAL. Jakarta:
Salemba Medika. 2011. p411-55.
6. Sjamsuhidayat, de Jong. BUKU AJAR ILMU BEDAH EDISI 3. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran ECG. 2011. p959-1083.
23
24