Anda di halaman 1dari 48

Modul Gangguan

NeuroMuskuloskeletal
Trigger 2

fk.unbrah.ac.id @infofkunbrah
Tutorial VI
Fasilitator : dr. Jefri Hengky, Sp. BS, M. Kes
Anggota kelompok :
1. Oka Yughana (18-038)
2. Abiyyi Bayu Rokan (18-039)
3. Shadilla Hutri Ananda (18-040)
4. Fiola Salsabila Irwanto (18-041)
5. Zaki Ulfikri (18-042)
6. Hidayatil Putri (18-043)
7. M. Reza Ramdhika (18-044)
8. Dayangku Desia Razida (18-045)
fk.unbrah.ac.id
1. Anatomi Eksremitas Atas

Step 6
Os. Humerus
Proximal humeri
• Pada proksimal humeri, terdapat caput humeri yang setengah bulat
dan dilapisi oleh tulang rawan.
• Caput humeri dipisahkan dengan struktur di bawahnya oleh collum
anatomicum
• Didapatkan dua tonjolan tulang yang disebut tuberculum majus dan
tuberculum minor. Tuberculum majus mengarah ke lateral dan
melanjutkan diri ke distal sebagai crista tuberculi majoris. Tuberculum
minor mengarah ke anterior dan melanjutkan diri sebagai crista
tuberculi minoris
• Di antara kedua tuberculum serta crista tuberculi dibentuk sulcus
intertubercularis yang dilapisi tulang rawan.
Shaft Humeri
• Permukaan shaft humeri dapat dibagi menjadi facies
anterior medialis, facies anterior lateralis dan facies
posterior.
• Pertemuan facies anterior medialis dengan facies
posterior membentuk margo medialis
• Pertemuan facies anterior lateralis dengan facies posterior
membentuk margo lateralis
• Dipertengahan sedikit proksimal facies anterior lateralis
didapatkan tuberositas deltoidea
• Di posterior dari tuberositas deltoidea dan di facies
posterior humeri didapatkan sulcus nervi radialis
Distal humeri
• Margo medialis yang melanjutkan diri sebagai crista supracondilaris
medialis berakhir sebagai epicondilus medialis
• permukaan posterior epicondilus medialis didapatkan sulcus nervi
ulnaris.
• Margo lateralis yang melanjutkan diri sebagai crista supracondilaris
lateralis berakhir sebagai epicondilus lateralis
• Diantara kedua epicondilus didapatkan struktur yang dilapisi tulang
rawan untuk artikulasi dengan tulang-tulang antebrachii disebut trochlea
humeri di medial dan capitulum humeri di lateral
• Trochlea humeri dilapisi oleh tulang rawan yang melingkar dari
permukaan anterior sampai permukaan posterior dan berartikulasi
dengan ulna.
• Dipermukaan anterior disebut fossa coronoidea dan di permukaan
posterior disebut fossa olecrani
Musculus Brachii
• Musculus di brachii adalah :
• Loge flexor
– M. coracobrachialis
– M. biceps brachii
– M.brachialis
• Loge extensor
– M. triceps brachii
Persarafan Os. Humeri
2. Fraktur
A. Defenisi
Fraktur adalah gangguan dari kontinuitas yang normal dari
suatu tulang. Jika terjadi fraktur, maka jaringan lunak di
sekitarnya juga sering kali terganggu. Radiografi (sinar-x) dapat
menunjukkan keberadaan cedera tulang, tetapi tidak mampu
menunjukkan otot atau ligamen yang robek, saraf yang putus,
atau pembuluh darah yang pecah sehingga dapat menjadi
komplikasi pemulihan klien.
B. Etiologi
a. Cedera traumatik
Cedera traumatik pada tulang dapat disebabkan oleh :
1) Cedera langsung adalah pukulan langsung terhadap tulang
sehingga tulang patah secara spontan
2) Cedera tidak langsung adalah pukulan langsung berada jauh
dari lokasi benturan, misalnya jatuh dengan tangan berjulur
sehingga menyebabkan fraktur klavikula
3) Fraktur yang disebabkan kontraksi keras yang mendadak
B. Etiologi
b. Fraktur patologik
Kerusakan tulang akibat proses penyakit dengan trauma minor
mengakibatkan :
1) Tumor tulang adalah pertumbuhan jaringan baru yang tidak
terkendali
2) Infeksi seperti ostemielitis dapat terjadi sebagai akibat infeksi
akut atau dapat timbul salah satu proses yang progresif
3) Rakhitis
4) Secara spontan disebabkan oleh stress tulang yang terus
menerus
C. Faktor Resiko
• Kondisi Medis Tertentu
Adanya kondisi medis yang mendasari seperti kasus
neurologis yang berkaitan dengan kehilangan keseimbangan
dan perubahan gaya berjalan. Penggunaan steroid jangka
panjang, misalnya pada pasien lupus erimatosus sistemik,
juga akan menurunkan densitas tulang sehingga
meningkatkan risiko fraktur.
• Usia
Semakin tua semakin meningkat risiko jatuh karena terjadi
perubahan baik secara fisik, sensorik, dan kognitif.
• Perubahan Struktur Tulang
Adanya perubahan struktur tulang membuat tulang
menjadi rapuh, misalnya osteoporosis, osteogenesis
imperfekta/ Paget’s disease, atau melalui lesi litik (kista
tulang atau metastasis)
• Pekerjaan
Pekerjaan tertentu, misalnya yang melibatkan mesin berat,
dapat meningkatkan risiko terjadinya cedera.
D. Klasifikasi Fraktur
• Berdasarkan keparahannya pada fraktur terbuka
1. Derajat 1: Luka < 1 cm, kontaminasi minimal
2. Derajat 2: Luka > 1 cm, kontaminasi sedang
3. Derajat 3: Luka > 6-8 cm, ada kerusakan luas pada jaringan lunak, saraf, tendon,
kontaminasi banyak
• Berdasarkan sifat fraktur
1. Fraktur tertutup (Closed): Bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang
dengan dunia luar
2. Fraktur terbuka (Open/Compound): Bila terdapat hubungan antara fragmen
tulang dengan dunia luar karena adanya perlukaan kulit
D. Klasifikasi Fraktur
• Berdasarkan bentuk garis patah dan hubungannya dengan mekanisme
trauma
1. Fraktur transversal: Fraktur yang arahnya melintang pd tulang dan
merupakan akibat trauma angulasi/langsung
2. Fraktur oblik: Fraktur yang arah garis patahannya membentuk sudut
terhadap sumbu tulang dan merupakan akibat trauma angulasi juga
3. Fraktur spiral: Fraktur yang arah garis patahnya berbentuk spiral yang
disebabkan trauma rotasi
4. Fraktur kompresi: Fraktur yang terjadi karena trauma aksial fleksi yang
mendorong tulang ke arah permukaan lain
5. Fraktur avulsi: Fraktur yang disebabkan karena trauma tarikan/traksi otot
pada insersinya pd tulang
D. Klasifikasi Fraktur
• Berdasarkan jumlah garis patah
1. Fraktur komunitif: Fraktur dimana garis patah lebih dari 1 dan saling
berhubungan
2. Fraktur segmental: Fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak
berhubungan
3. Fraktur multipel: Fraktur dimana garis patah lebih dari 1 tapi tidak pd
tulang yg sama
• Berdasarkan pergeseran fragmen tulang
1. Fraktur undisplaced: Garis patah lengkap tetapi kedua fragmen tidak
bergeser dan masih utuh
2. Fraktur displaced: Terjadi pergeseran fragmen tulang
E. Penyembuhan Fraktur
1. Fase inflamasi, yaitu adanya respon tubuh terhadap trauma yg ditandai
dgn pendarahan dan timbulnya hematoma pd tempat terjadinya fraktur.
Ujung fragmen tulang mengalami devitalisasi karena terputusnya aliran
darah yang akan menyebabkan inflamasi, pembengkakan, dan nyeri. Fase
ini akan berlangsung selama beberapa hari sampai pembengkakan dan
nyeri berkurang
2. Fase proliferasi, hematoma pada fase ini akan mengalami organisasi
dengan membentuk benang fibrin yang akan membentuk jaringan dan
menyebabkan revaskularisasi serta invasi fibroblast dan osteoblast.
Proses ini akan menghasilkan kolagen dan proteoglikan sebagai matriks
kolagen pada patahan tulang, terbentuk jaringan ikat fibrus dan tulang
rawan (osteoid) yang berlangsung setelah hari ke lima
E. Penyembuhan Fraktur
3. Fase pembentukan kalus, pertumbuhan jaringan berlanjut dan lingkaran
pada tulang rawan tumbuh mencapai sisi lain sampai celah sudah
terhubungkan. Waktu yang diperlukan adalah 3-4 minggu
4. Fase penulangan kalus/osifikasi, yaitu proses pembentukan kalus mulai
mengalami penulangan dalam waktu 2-3 minggu melalui proses
penulangan endokondral. Pada orang dewas normal, kasus fraktur
panjang memerlukan waktu 3-4 bulan
5. Fase remodeling/konsolidasi, terjadi perbaikan fraktur yang meliputi
pengambilan jaringan mati dan reorganisasi tulang baru ke susunan
structural sebelum terjadi patah tulang. Fase ini memerlukan waktu
berbulan-bulan hingga bertahun-tahun
F. Pemeriksaan Fisik
• Pada pemeriksaan fisik dilakukan tiga hal penting, yakni inspeksi / look:
deformitas (angulasi, rotasi, pemendekan, pemanjangan), bengkak.
• Palpasi / feel (nyeri tekan, krepitasi). Status neurologis dan vaskuler di
bagian distalnya perlu diperiksa. Lakukan palpasi pada daerah
ekstremitas tempat fraktur tersebut, meliputi persendian diatas dan
dibawah cedera, daerah yang mengalami nyeri, efusi, dan krepitasi
Neurovaskularisasi bagian distal fraktur meliputi : pulsasi aretri, warna
kulit, pengembalian cairan kapler, sensasi.
• Pemeriksaan gerakan / moving dinilai apakah adanya keterbatasan pada
pergerakan sendi yang berdekatan dengan lokasi fraktur. Pemeriksaan
trauma di tempat lain meliputi kepala, toraks, abdomen, pelvis.
G. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang
1. X-Rays, menentukan lokasi / luasnya fraktur
2. CT dapat membantu pada lesi dari tulang belakang atau pada fraktur
sendi yang kompleks
3. MRI dapat mengetahui apakah vertebrae yang mengalami fraktur
menekan spinal cord/medulla spinalis
4. USG dapat digunakan pada anak-anak untuk mendiagnosis fraktur
5. Arteriogram dilakukan untuk memastikan ada tidaknya kerusakan
vaskuler
6. Hitung darah lengkap, hemokonsentrasi mungkin meningkat atau
menurun pada pendarahan, peningkatan leukosit sebagai respon
terhadap peradangan.
G. Pemeriksaan Penunjang
• Laboratorium
Pada fraktur test laboratorium yang perlu diketahui :
Leukosit,Hemoglobin, hematokrit sering rendah akibat perdarahan, laju
endap darah (LED) meningkat bila kerusakan jaringan lunak sangat luas.

• Radiologi
Pada rontgen dapat dilihat gambaran fraktur (tempat fraktur, garis fraktur
(transversa, spiral atau kominutif) dan pergeseran lainnya dapat terbaca
jelas). Radiografi humerus AP dan lateral harus dilakukan. Sendi bahu
dan siku harus terlihat dalam foto. Radiografi humerus kontralateral
dapat membantu pada perencanaan preoperative.
H. Tatalaksana Fraktur
• Fraktur terbuka
Merupakan kasus emergensi karena dapat terjadi kontaminasi oleh bakteri dan disertai
perdarahan yang hebat dalam waktu 6-8 jam (golden period)> Dilakukan pembersihan luka,
eksisi jaringan mati atau debridement, hecting situasi dan pemberian antibiotic
• Seluruh fraktur
1. Reduksi (Reposisi) terbuka dengan fiksasi interna (Open Reduction and Internal
Fixation/ORIF). Merupakan upaya untuk memaniuplasi fragmen tulang shg Kembali spt
semula secara optimum. Reduksi fraktur dpt jg diartikan sbg mengembalikan fragmen
tulang pd kesejajaran dan rotasi anatomis
2. Reduksi tertutup dengan fiksasi eksterna (Open Reduction and Enternal Fixation/OREF),
digunakan untuk mengobati patah tulang terbuka yg melibatkan kerusakan jaringan lunak.
Ekstremitas dipertahankan sementara dengan gips, bidai atau alat lain. Alat imobilisasi ini
akan menjaga reduksi dan menstabilkan ekstremitas untuk penyembuhan tulang. Alat ini
akan memberikan dukungan yang stabil bagi fraktur comminuted (hancur dan remuk)
sementara jaringan lunak yang hancur dapat ditangani dengan aktif
H. Tatalaksana Fraktur
3. Retensi (Immobilisasi), adalah upaya yg dilakukan untuk menahan fragmen tulang shg
kembali spt semula scr optimal. Setelah fraktur direduksi, fragmen tulang harus
diimobilisasi. Imobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi eksternal meliputi pembalutan,
gips, bidai, traksi kontinu, pin, dan teknik gips, atau fiksatoreksternal. Implant logam dapat
digunakan untuk fiksasi internal yang berperan sebagia bidai interna untuk mengimobilisasi
fraktur
4. Graf tulang yaitu penggantian jaringan tulang untuk menstabilkan sendi, mengisi defek atau
perangsangan dlm proses penyembuhan. Tipe graf yang digunakan tergantung pada lokasi
yang terkena, kondisi tulang, dan jumlah tulang yang hilang akibat cidera. Graft tulang
dapat berasal dari tulang pasien sendiri (autograft) atau tulang dari tissue bank (allograft)
5. Rehabilitasi adalah upaya menghindari atrofi dan kontraktur dgn fisioterapi. Latihan
isometric dan setting otot diusahakan untuk meminimalkan atrofi disuse dan meningkatkan
peredaran darah. Partisipasi dlm aktivitas hidup sehari-hari diusahakan untuk memperbaiki
kemandirian fungsi dan harga diri. Pengembalian bertahap pd aktivitas semula diusahakan
sesuai Batasan terapeutik
I. Komplikasi
1. Kerusakan arteri
2. Kompartemen syndrom.
3. Fat embolism syndrome
4. Infeksi
5. Avaskuler nekrosis
6. Shock
I. Komplikasi
Komplikasi Lanjut
1) Komplikasi pada sendi seperti kekakuan sendi yang menetap dan penyakit
degeneratif sendi pasca trauma.
2) Komplikasi pada tulang seperti penyembuhan fraktur yang tidak normal (delayed
union, mal union, non union).
3) Komplikasi pada otot seperti atrofi otot dan rupture tendon lanjut.
4) Komplikasi pada syaraf seperti tardy nerve palsy yaitu saraf menebal akibat
adanya fibrosis intraneural.
J. Prognosis
Prognosis fraktur (patah tulang) humerus bergantung dari jenis fraktur,
mekanisme cedera, usia pasien dan kondisi kesehatan umum. Pada pasien
lansia yang mengalami fraktur humerus jarang yang mendapatkan
kemampuan gerak total kembali. Diperlukan rehabilitasi untuk
memperbaiki kemampuan gerak.
Sebagian pasien mengalami kesembuhan total setelah 1 tahun. Namun,
ada pula sekitar 30% pasien yang membutuhkan operasi tambahan setelah
2 tahun akibat adanya komplikasi pada fraktur.
3. Cedera Saraf Tepi
A. Defenisi
Peripheral Nerve Injury atau cedera saraf perifer adalah istilah
umum yang digunakanuntuk menggambarkan kerusakan saraf di
luarotak atau sumsum tulang belakang.Biasanya disebabkan oleh
trauma.Jika saraf perifer rusak kemudian otot disuplai oleh saraf
yang tidak menerimainformasi dari otak, maka organ yang
hanyadipersarafi oleh saraf perifer menjadi lemahatau lumpuh.
B. Etiologi
• Menurut etiologinya, cedera akibat trauma luka tikaman mencapai 19%,
diikuti oleh cedera akibat kecelakaan kendaraan bermotor (16%),
trauma langsung (17%), fraktur (12%), luka tembak (11%), trauma
obstetric (10%), crush (7%), jatuh (4%), laserasi (2%) dan dislokasi(2%).
• Dari jumlah tersebut, menurut derajat dari cederanya, 51% merupakan
Neurotmesis, kemudian diikuti oleh Axonotmesis dan Neuropraxia,
masing-masing 29% dan 20%.
• Dari etiologi tersebut terdapat hubungan antara penyebab dan derajat
cedera, cedera akibat tikaman paling berhubungan dengan neurotmesis,
cedera akibat crush berhubungan dengan axonotmesis dan fraktur
berhubungan dengan neuropraxia.
B. Etiologi
• Lokasi cedera juga menentukan jenis cedera saraf tepi. Pada cedera saraf ulnar,
60,4% terjadi pada Right upper limb Injury (RUL) sedangkan sisanya akibat Left right
upper limb Injury (LUL). Perbedaan ini terjadi karena sebagian besar merupakan
right handed. Sedangkan, pada cedera saraf radial, paling sering disebabkan oleh
LUL dan cedera saraf median hampir sebanding antara RUL dan LUL.
• Menurut waktu terjadinya, sebagian besar cedera saraf tepi pada tungkai atas
terjadi setelah dilakukan prosedur sekunder (53%) sedangkan sisanya terjadi setelah
injury. Hal ini karena sebagian besar prosedur yang dilakukan tanpa bedah mikro,
sehingga berpotensi menyebabkan kerusakan saraf pada saat dilakukan prosedur.
Diantara proses terjadinya, cedera akibat terpotong merupakan proses yang paling
sering terjadi, diikuti oleh akibat laserasi.
• Lokasi trauma saraf sangat tergantung dari lokasi cedera dari saraf tersebut. Cedera
fleksus berhubungan dengan dislokasi bahu, fraktur humerus behubungan dengan
cedera nervus radialis dan ulnaris dan seterusnya.
C. Faktor Risiko Cedera Saraf Tepi
• Prevalensi Cedera Saraf Tepi Menurut Faktor Risiko Aktivitas dan Pekerjaan
Cedera saraf tepi berhubungan dengan pekerjaan dan gaya hidup. Pekerjaan yang
paling retan dengan cedera saraf tepi adalah basic and support activity dan
pekerja pertanian dan peternakan. Menurut gaya hidup, pengangguran memiliki
prevalensi tinggi, hal ini dihubungkan dengan kekerasan yang berhubungan
dengan penganguran.
• Prevalensi Cedera Saraf Tepi Menurut Umur
Menurut umur, suatu studi medapatkan prevalensi cedera saraf tepi terbanyak
terjadi pada umur 34,6 tahun, namun studi lain mendapatkan prevalensi
terbanyak terjadi pada umur 31,8 tahun sedangkan pada pediatric pada umur
7,08 tahun. Studi szylejko et al, cedera saraf pada tungkai atas tersering pada
umur 30-50 tahun.. Berdasarkan saraf yang cedera, cedera saraf ulnaris terjadi
paling banyak di semua golongan umur.
C. Faktor Risiko Cedera Saraf Tepi
• Prevalensi Cedera Saraf Tepi Menurut Jenis Kelamin
Menurut jenis kelamin, pada cedera saraf tepi ekstremitas atas 90% terjadinya
pada pasien laki-laki sedangkan 10% terjadi pada perempuan. Pada laki-laki
paling sering terjadi cedera saraf median sedanglan perempuan cedera saraf
ulnaris. Cedera saraf dalam lebih sering terjadi pada pekerja industry.
Epidemiologi
Prevalensi cedera saraf tepi menurut penelitian sebelumnya sekitar 2-
3%, namun bertambah bila dihitung termasuk cedera radiks dan fleksus.
Berdasarkan lokasinya,cedera saraf yang paling banyak dilaporkan adalah
cedera saraf extremitas atas, radius, ulna, dan media. Sedangkan pada
extremitas bawah seperti sciatic,peroneal dan tibia. Cedera saraf tepi
paling banyak ditemukan pada umur 18 sampai 35 tahun. Berdasarkan
distribusi umur tersebut, cedera saraf tepi lebih banyak terjadi pada usia
kerja.
D. Klasifikasi Cedera Saraf Tepi
Cedera saraf tepi dapat diklasifikasikan menurut Seddon berdasarkan tingkat
keparahannya, menjadi tiga kategori: neurapraksia, aksonotmesis, dan
neurotmesis.
a. Neurapraksia
Neurapraksia, yaitu tipe cedera paling ringan dengan sedikit atau tidak terjadi
cedera struktural karena tidak ada kehilangan kontinuitas saraf, sehingga tidak
terjadi kehilangan kemampuan fungsional. Gejalanya muncul akibat blokade
konduksi lokal yang diinduksi oleh ion pada tempat cedera. Secara structural
kadang terjadi sedikit perubahan struktur myelin, sebagai akibat dari
kombinasi kompresi mekanik dan iskemia. Efeknya bersifat reversibel, kecuali
jika iskemia menetap selama kurang lebih 8 jam.
D. Klasifikasi Cedera Saraf Tepi
b. Aksonotmesis
Aksonotmesis adalah terjadinya intrupsi komplet dari saraf akson dan lapisan
myelinnya, namun struktur-struktur mesenkimal seperti perineurium dan
epineurium seluruhnya atau sebagian utuh. Tipe cedera ini kemungkinan terlihat
pada isolasi, seperti pada cedera Pleksus Brakhialis dihubungkan dengan
kelahiran, atau dalam hubungan nya dengan fraktur seperti cedera saraf radial
sekunderi terhadap fraktur humerus.
c. Neurotmesis
Terjadi saat saraf, bersama dengan stroma yang mengelilinginya terputus.
Kehilangan fungsi terjadi secara komplet. Pada tipe ini tidak terjadi kesembuhan
spontan dan bahkan setelah operasi prognosisnya buruk karena pembentukan
jaringan parut dan hilangnya mesenkimal dan penyembuhan tanpa operasi
biasanya tidak terjadi. Tipe cedera ini hanya terlihat pada trauma mayor.
Klasifikasi cedera saraf tepi menurut Seddon dan Sunderland
E. Patofisiologi (degenerasi wallerian)
• Degenerasi wallerian merupakan suatu proses yang terjadi akibat terpotong atau rusaknya
serabut saraf dimana bagian akson terpisah dari badan sel saraf sehingga bagian distal dari
cedera tersebut berdegenerasi. Hal ini juga dikenal sebagai degenerasi anterograde atau
degenerasi ortograde. Suatu proses terkait yang dikenal sebagai wallerian-like degerasi
terjadi pada berbagai penyakit neurodegeratif, terutama pada penyakit dengan transpor
akson yang terganggu. Penelitian-penelitian sebelumnya menyatakan bahwa kegagalan
untuk mengirimkan jumlah protein akson yang diperlukan yaitu NMNAT2 merupakan kunci
dari proses ini.
• Degenerasi wallerian terjadi setelah cedera akson, baik pada sistem saraf tepi ataupun
sistem saraf pusat. Hal ini terjadi pada bagian distal dari bagian akson yang mengalami
cedera dan biasanya terjadi 24-26 jam setelah terjadinya lesi. Sebelum terjadi degerasi,
bagian distal dari akson ini cenderung untuk tetap dapat mengalami eksitasi. Setelah terjadi
cedera kerangka akson terdisintegrasi dan membran akson hancur. Degenerasi akson diikuti
oleh degradasi selubung myelin dan infiltrasi makrofag. Makrofag-makrofag ini disertai oleh
sel schwann berperan untuk membersihkan sisa-sisa dari degenerasi tersebut.
E. Patofisiologi (degenerasi wallerian)
• Serat saraf neurolemma tidak mengalami degenerasi dan tetap menjadi tabung
kosong. Dalam waktu 96 jam dari saat terjadinya cedera, ujung distal dari
serabut saraf proksimal dari lesi mengirimkan sinyal menuju tabung ini dan
sinyal-sinyal ini menyebabkan produksi faktor-faktor pertumbuhan dari sel-sel
schwannn pada tabung tersebut. Jika sinyal ini mencapai tabung maka akan
terjadi pertumbuhan dan memanjang 1 mm per hari, sehingga pada akhirnya
mencapai dan menginervasi jaringan sasaran. Jika sinyal ini tidak dapat
mencapai tabung karena celah yang terlalu lebar atau adanya pembentukan
jaringan parut, maka pembedahan dapat membatu sinyal tersebut mencapai
tabung ini. Regenerasi ini lebih lambat pada medula spinalis dibandingkan
sistem saraf tepi. Perbedaan mendasar adalah pada sistem saraf pusat termasuk
medula spinalis, selubung myelin diproduksi oleh oligodendrosit dan bukan oleh
sel schwann.
F. Pemeriksaan Fisik
• Pemeriksaan motor
Pemeriksaan teliti anggota, dengan perhatian besar pada semua fungsi
motor dan sensori. Pemeriksaan harus menentukan apakah kehilangan
distal sisi cedera lengkap atau tidak. Pemeriksaan motor cukup sebagai
bukti regenerasi bila pemulihan jelas.
Pengamatan klinis fungsi motor volunter dapat juga ditentukan dengan
respons motor terhadap stimulasi. Pasien dengan cedera saraf peroneal
tidak mampu memulai aksi volunter pada otot peroneal dan tibial
anterior (eversi dan dorsofl eksi kaki).
• Berkeringat
Kembalinya keringat didaerah otonom menunjukkan regenerasi serabut
simpatis bermakna.
Manifestasi Klinis
• Kausalgia yaitu nyeri hebat sepertiterbakar, sepanjang
distribusi serabut saraf yang mengalami kerusakan persial.
• Hiperestesia
• Perubahan trofik pada kulit
• Hiperaktivitas vasomotor, hiperaktivitaskerja syaraf yang
menimbulkan perubahanpada diameter pembuluh darah,
biasanya vasokontriksi.
G. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan radiologis, meliputi:
1. Sinar-X Tulang Belakang Servikal dan lainnya
Fraktur tulang belakang servikal sering berhubungan dengan cedera regang
proksimal yang berat yang tidak dapat direparasi, paling tidak pada tingkat akar ruas
tulang belakang bersangkutan. Kerusakan pleksus biasanya lebih proksimal
dibanding sisi fraktur yang tampak, sering pada tingkat akar. Fraktur humerus tengah
terutama berkaitan dengan cedera saraf radial. Fraktur kominuta radius dan ulna
pada tingkat lengan bawah tengah juga berkaitan dengan cedera saraf median dan
ulnar, dan terkadang dengan palsi saraf interosseus posterior.
2. Mielografi
Menjadi bagian penting dalam mengelola pasien dengan cedera regang Pleksus
Brakhialis berat.
3. Tomografi Terkomputer (CT) dan Pencitraan Resonansi Magnetik (MRI)
G. Pemeriksaan Penunjang
Sedangkan pemeriksaan elektrofi siologik, meliputi:
1. Elektromiografi
Pemeriksaan EMG harus dilakukan serial untuk mencari tanda-tanda reinervasi atau
denervasi yang persisten.
2. Potensial Aksi Saraf Sensori (SNAP)
Pemeriksaan SNAP membantu menilai tingkat regangan pada cedera Pleksus
Brakhialis.
3. Somatosensory-Evoked Potential (SSEP)
Pemeriksaan SSEP digunakan menilai tingkat cedera apakah preganglionik atau post
ganglionik, pada cedera Pleksus Brakhialis.
4. Potensial Aksi Saraf Intrabedah (NAP)
NAP menjadi pemeriksaan definitif yang penting bila dicurigai adanya neuroma yang
parah pada kontinuitas dan otot sasaran pertama berjarak lebih dari 3 inci di
bawahnya.
H. Tatalaksana
Konservatif
Biasanya dilakukan pada cedera yang terjadi akibat hilangnya fungsi pada
saraf tepi, atau yang dikenal dengan neuropraksia. Terapi awal biasanya
untuk melindungi sendi, termasuk sekeliling ligamen dan tendon dari
stresor lebih jauh. Splint, sling atau keduanya digunakan pada kasus ini.
Sebagai contoh, pada cedera nervus radialis dengan hilangnya ekstensi
pada pergelangan tangan dan jari, lemah pada pergelangan tangan. Splint
pada pergelangan tangan dapat dipergunakan untuk menyokong lengan
dalam posisi netral dan menempatkan tangan pada posisi yang lebih
fungsional.
H. Tatalaksana
Pembedahan
Dalam mengelola pasien dengan cedera saraf tepi perlu mengetahui
mekanisme cedera, respons patologis, dan kapasitas regenerasi yang
akan terjadi. Terdapar beberapa faktor yang menentukan apakah cedera
saraf akan dioperasi atau tidak, yaitu:
1. mekanisme cedera,
2. beratnya kehilangan neurologis,
3. adanya nyeri yang hebat.
I. Komplikasi
• Remisi spontan
• Distrofi reflex simpatik- Penyakit ini diyakini sebagai reaksi berantai
abnormal darisistem saraf simpatik, yakni sistem tubuh yang mengatur
alirandarah di kulit.- Penyakit ini secara spontan bisa hilang dengan
sendirinya tapikalau sudah timbul luar biasa sakitnya.
• Kontraktur miogen akibat paralisis otot sebagai akibatketerlambatan
timbulnya kontraktur atrogen
• Penyakit kaki diabetic akibat anesthesia dan gangguan saraf autonom
J. Prognosis
• Neurotmesis: Pada tipe ini tidak terjadi kesembuhan spontan dan
bahkan setelah operasi prognosisnya buruk karena pembentukan
jaringan parut dan hilangnya mesenkimal dan penyembuhan tanpa
operasi biasanya tidak terjadi. Tipe cedera ini hanya terlihat pada
trauma mayor.
• Tipe lesi : Neurapraksia selalu recover sepenuhnya , aksonotmesis bisa
recover sepenuhnya bisa juga tidak, neurotmesia bisa revovery
apabilasarafnya diperbaiki
• Level lesi : semakin tinggi lesinya semaking buruk prognosisnya
• Usia : prognosis lebih bagus pada anak kecil dibandingka

Anda mungkin juga menyukai