Disusun Oleh:
Kelompok 10
M.Ramadhan A.P.E.P
4111131001
4111131024
4111131026
Jeni Kurniati
4111131067
4111131072
Gemmy Sistarina
4111131091
Zakiya
4111131146
4111131148
Amyra Anjani
4111131161
Mohamad Yasirwan
4111131179
FAKULTAS KEDOKTERAN
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER UMUM
UNIVERSITAS JENDERAL ACHMAD YANI
NOVEMBER 2014
BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
PEMBAHASAN
Skenario 1
Seorang pasien perempuan berusia 29 tahun datang ke tempat praktik saudara
dengan keluhan utama sering palpitasi sejak 3 bulan yang lalu.
Skenario 2
Pasien juga mengeluh berkeringat yang berlebihan, sering gugup, mudah lelah,
hiperdefekasi, intoleransi terhadap hawa panas dan merasakan adanya penurunan
berat badan walaupun nafsu makan bertambah. Keluhan juga disertai dengan adanya
massa di leher bagian depan.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah 120/60 mmHg, denyut nadi
120x/menit reguler, equal, isi cukup. Respirasi 16x/menit, suhu 37 0 C, leher teraba
struma bilateral yang membesar difus dan pada auskultasi terdengar bruit vaskuler.
Pada auskultasi thoraks terdapat bunyi jantung yang reguler. Pemeriksaan ekskremitas
atas terdapat tremor halus dan pada perabaan, didapatkan tangan yang lembab.
Keterangan
Anamnesis
Skenario 1
Pasien 29 tahun
Palpitasi
Sejak 3 bulan yang lalu
Skenario 2
Berkeringat berlebihan
Sering gugup
Mudah lelah
Hiperdefekasi
Intoleransi terhadap hawa panas
Merasakan adanya penurunan berat badan
walaupun nafsu makan bertambah
Insidensi
Indeks wayne +2
Penyakit kronis
Dugaan:
- Hipertiroidisme
- Cushings syndrome
Indeks wayne +3
Indeks wayne +2
Indeks wayne +3
Indeks wayne +5
Indeks wayne +3
Pemeriksaan Fisik
Tanda vital:
Tekanan darah 120/60 mmHg
Denyut nadi 120x/menit, reguler, equal, isi
cukup
Respirasi 16x/menit
Suhu 370C
Leher teraba struma bilateral yang membesar
difus dan pada auskultasi terdengar bruit
vaskuler.
Bunyi jantung reguler
Tremor halus pada ekstremitas atas
Lengan lembab
Tanpa hiperkinesis
Tanpa tangan panas
Diagnosis banding
Hipertiroidisme et causa:
Graves disease
Goiter multinodular toksik
Adenoma folikuler tiroid toksik
Diagnosis kerja: Graves disease
Indeks wayne:
+25 ( 19 = toksik)
Etiologi:
Autoimun
Basic Science:
Anatomi
kelenjar
tiroid
Histologi
kelenjar
tiroid
DD:
Graves disease
Goiter multinodular
toksik
eksi,
DK:
Epidemiologi:
Graves
Usiadisease
30-60 th
Perempuan >
laki-laki
Penatalaksanaan: Komplikasi:
Umum: Istirahat cukup,
menghindari faktor- presipitasi
Krisis tirotoksikosis
Khusus:
- Penyakit jantung
Antitiroid
Pemberian I131 peroral
Pembedahan
Prognosis:
Quo ad vitam: ad bonam
Quo ad functionam: dubia
ad bonam
2.
3
Ilmu
Kedokteran
Dasar
2.3.1 Anatomi
Kelenjar
Tiroid(1, 2)
Kelenjar
tiroid
berasal
dari
kantung
faring pertama
dan kedua dari
lapisan
germinativum
endoderm,
terbentuk pada
minggu keempat
dimana diawali
dari
pembentukan divertikulum, lalu membesar dan tumbuh kearah bawah. Seiring dengan
pertumbuhan dan pergerakan ke arah bawah, terbentuk duktus tiroglosus yang pada
akhirnya akan memisahkan diri dari faring.
Gambar 1. Embriologi kelenjar tiroid
Kelenjar ini terdiri atas 2 lobus yang dipisahkan oleh isthmus. Kelenjar tiroid
terletak setinggi cartilago trachea 2-3. Kelenjar ini diselubungi oleh kapsul yang
melekat pada cartilago cricoidea dan cincin trachea pertama, hal ini lah yang
membuat kelenjar tiroid ikut bergerak saat menelan.
Perfusi darah didapatkan melalui arteri tiroidea superior (cabang dari arteri
carotis externa), arteri tiroidea inferior (cabang dari trunchus tirocervikalis) serta
arteri tiroidea ima (hanya 10% dari populasi yang memilikinya, arteri ini merupakan
cabang langsung dari arteri brachiocephalica). Sedangkan untuk pembuluh darah
balik, terdapat vena tiroidea superior dan vena tiroidea media yang bermuara ke v.
jugularis interna dan vena tiroidea inferior yang bermuara ke v. brachiocephalica)
Inervasi untuk kelenjar tiroid adalah nervus vagus dan nervus laryngeal
recurrent. Inervasi dari kelenjar tiroid ini bersifat vasomotor, yaitu tidak berpengaruh
dalam pengeluaran kelenjar tiroid.
dalam bentuk manosa, N-asetilglukosamin, galaktosa, fukosa, asam sialat, dan sulfat
kondroitin. Gen tiroglobulin manusia (hTg) terletak pada lengan panjang dari
kromosom 8 distal dari onkogen c-myc. TSH merangsang transkripsi dari gen
tiroglobulin, dan hipofisektomi atau terapi T3 menurunkan transkripsinya. Gen
tiroglobulin mengandung sekitar 8500 nukleotida, yang menyandi monomer
pretiroglobulin (pre-Tg). Monomer pretiroglobulin mengandung suatu peptida sinyal
19-asam- amino, diikuti oleh suatu rantai 2750-asam-amino yang membentuk
monomer tiroglobulin. mRNA diterjemahkan dalam retikulum endoplasmik kasar, dan
rantai tiroglobulin diglikosilasi selama tranpor ke aparatus Golgi . Dalam aparatus
Golgi, dimer tiroglobulin dimasukkan ke dalam vesikel eksositotik yang berfusi
dengan membrana basalis dan melepaskan tiroglobulin ke dalam lumen folikular. Di
sini, pada batas koloidapikal, tiroglobulin diiodinisasi dan disimpan dalam koloid.
Transpor lodida (The Iodide Trap)
Iodida ditranspor melintasi membrana basalis dari sel tiroid oleh suatu proses
yang memerlukan energi aktif yang tergantung pada ATPase Na+-K+. Sistem transpor
aktif inimemungkinkan kelenjar tiroid manusia untuk mempertahankan suatu
konsentrasi iodida bebas 30-40 kali dibandingkan plasma. Jebakan tiroiodida
dirangsang jelas oleh TSH dan oleh antibodi perangsang reseptor TSH (TSH-R ab
[stim]) ditemukan pada penyakit Graves. Jebakan ini dapat dijenuhkan dengan
sejumlah besar I dan diinhibisi oleh ion- ion seperti CIO4-, SCN, N03-, dan TcO4-.
Proteolisis Tiroglobulin & Sekresi Hormon Tiroid
Enzim lisosomal disintesis oleh retikulum endoplasmik kasar dan dikemas oleh
aparatus Golgi ke dalam lisosom. Struktur-struktur ini, dikelilingi oleh membran,
mempunyai suatu interior yang bersifat asam dan diisi dengan enzim proteolitik,
termasuk protease, endopeptidase, hidrolisa glikosida, fosfatase, dan enzim-enzim
lain. Pada interaksi sel koloid, koloid ditelan ke dalam suatu vesikel koloid oleh suatu
proses makropinositosis atau mikropinositosis dan diabsorbsi ke dalam sel tiroid.
Kemudian lisosoma berfusi dengan vesikel koloid; dan terjadi hidrolisis dari
tiroglobulin, melepaskan T4, T3, DIT, MIT, fragmen peptida, dan asam amino. T 3 dan
T4 dilepaskan ke dalam sirkulasi, semenfara DIT dan MIT dideiodinisasi dan I
dilestarikan. Tiroglobulin dengan kandungan iodin yang rendah dihidrolisa dengan
lebih cepat ketimbang tiroglo- bulin dengan kandungan iodin yang tinggi, yang
kemungkinan bermanfaat dalam daerah geografik di mana asupan iodin natural
rendah.
Mekanisme transpor T3 dan T4 melalui sel tiroid tidak diketahui, tetapi dapat
melibatkan suatu karier hormon spesifik. Sekresi hormon tiroid distimulasi oleh TSH,
yang mengaktivasi adenilil siklase, dan oleh analog cAMP (Bu) 2cAMP, menunjukkan
zat ini dependen-cAMP. Proteolisis tiroglobulin diinhibisi oleh kelebihan iodida dan
oleh litium, yang, seperti litium karbonat, digunakan untuk terapi keadaan manikdepresif. Sejumlah kecil tiroglobulin yang tak terhidrolisa juga dilepaskan dari sel
tiroid; hal ini meningkat dengan nyata pada situasi tertentu seperti tiroiditis subakut,
hipertiroidisme, atau goiter akibat-TSH . Tiroglobulin dapat juga disintesis dan
dilepaskan oleh keganasan tiroid tertentu seperti kanker tiroid papilaris atau folikular
dan dapat bermanfaat sebagai suatu marker untuk penyakit metastatik.
2. 4 Epidemiologi
Penyakit ini paling sering terjadi pada wanita (7:1 dibanding lakilaki). Grave disease juga paling sering terjadi pada usia pertengahan yaitu
antara 30-60 tahun, khususnya wanita dengan riwayat kelainan tiroid
dalam keluarga. Penyakit ini tidak lazim pada remaja (hanya 5%), wanita
hamil, dan setelah menopause. 7
2. 5 Faktor Risiko8
2.5.1 Faktor Predisposisi
1. Faktor Genetik
Kerentanan genetik dianggap merupakan faklor predisposisi utama terhadap
penyakit tiroid autoimun, dengan persentase 50% dari kasus graves disease.
Beberapa sistem genetik diketahui mempunyai hubungan dengan penyakit tiroid
autoimun:
a. Gen Cytolytic T Lymphocyte Associated Antigen-1(CTLA-4)
Salah satu kandidat gen adalah CTLA-4 suatu pengatur negatif dari
aktivasi sel T, merupakan marker genetik yang dapat memberikan informasi
tambahan untuk memprediksi remisi penyakit setelah pemberian obat antitiroid.
Polimorfisme gen CTLA-4 terletak pada kromosom 2q33 telah banyak
dilaporkan mempunyai hubungan dengan penyakit tiroid autoimun, merupakan
molekul yang diekspresikan oleh sel T dan berperan sebagai regulator negatif
terhadap aktivasi sel T, memberikan sinyal terjadinya anergi atau apoptosis
sehingga mengambat proliferasi sel T autoreaktif.
b. Gen Human Leucocyte Antigen (HLA)
Hubungan antara polimorfisme molekul HLA deagan kerentanan terhadap
terjadinya penyakit autoimun sangat mungkin akan terjadi apabila kita melihat
fungsi utama molekul tersebut pada mekanisme akivasi sel T. Seperti diketahui,
antigen (mis: Tg sebagai autoantigen) pada waktu proses toleran berlartgsung
akan dipresentasikan oleh APC dalam suatu kompleks dengan molekul HLA
dimana antigen akan diikat dalam suatu binding groove pada molekul HLA.
Karena HLA bersifat sangat polimorfik, maka afinitas ikatan HLA dengan
antigen dapat sangat berbeda antar alel satu dengan lainrrya.
Alel dengan afinitas kuat akan lebih "dikenal" oleh sel T karena
dipresentasikan dengan baik oleh APC sehingga lebih mudah terhapus waktu
proses toleran berlangsung. Alel HLA dengan afinitas rendah terhadap antigen
akan lolos dari proses seleksi negatif dan mengakibatkan terjadinya
autoimunitas pada individu yang mempunyai tipe HLA tersebut. HLA yang
mempunyai hubungan kuat dengan penyakit tiroid autoimun antara lain: HLADR3 yang diketahui mempunyai hubungan kuat dengan penyakit Graves.
2.6.2 Patofisiologi
Hipertiroid
Aktivitas Na-K-ATPase
Sensitisasi reseptor
adrenergik
Resepor
BMR
Kebutuhan O2
-Glukoneogenesis
Glukosa
DM
(reversibel)
Denyut
nadi
Vasodilatasi
vaskuler otot
jantung
Takikardi
Aliran darah
BB
Hiperventilasi
-Lipolisis
Atrofi otot
-Proteolisis
Produksi panas
Aliran
jantung
Berkeringat, tangan
lembab
Adaptasi sel folikel
Penumpukan
mukopolisakarida di
jaringan retro-orbita
Hiperplasia
Motalitas
usus
Ekstremitas
atas
Eksoftalmus
Struma
Hiperperistaltik
Cedera mata
Hipervaskularisasi
Hiperdefekasi
Kebutaan
Bruit vaskuler
Tremor
Tanda-tanda
+1
+2
+3
-5
+5
+3
+2
+3
-3
-3
Tiroid teraba
Bising pembuluh
Eksopthalmus
Retraksi palpebra
Kelambatan palpebra
Hiperkinesis
Tremor jari
Tangan panas
Tangan lembab
Denyut nadi sewaktu
<80 / menit
80-90 / menit
>90 / menit
Fibrilasi atrium
+3
+2
+2
+2
+1
+4
+1
+2
+1
-3
-2
-2
-1
-1
-3
-1
+3
+4
Penilaian:
19 : toksik
11-19 : equivocal
<11 : non toksik
Hasil perhitungan berdasarkan indeks wayne pada kasus adalah +25, hal ini
menunjukkan pasien menderita hipertiroidisme yang bersifat toksik. Diagnosis
banding sesuai kondisi tirotoksikosis:
1. Graves disease
Graves disease adalah gangguan autoimun yang biasanya ditandai
dengan produksi aoutoantibodi yang mirip kerja TSH pada kelenjar tiroid.
Autoantibodi IgG ini yang disebut dengan thyroid stimulating
immunoglobulin, menstimulasi produksi hormon tiroid, namun tidak dihambat
oleh kadar hormon tiroid yang tinggi. Penyebab penyakit ini tidak diketahui,
akan tetapi, tampak terdapat faktor predisposisi genetik pada penyakit
autoimun.
2. Goiter multinodular thyroid
5.
6.
7.
8.
- Normal jumlah radioaktif yang diambil berkisar 10% hingga 35% dari
dosis pemberian
Uji laju metabolisme basal
- Meningkat +30 hingga +60 pada hipertiroidism yang mengukur jumlah
penggunaan O2 pada keadaan istirahat meningkat, kolesterol serum
menurum, tanda respos refleks tendon achiles cepat
Pengukuran konsentrasi TSI
- Dengan pemeriksaan radioimunologi
- TSI meningkat pada tipe tiroktosikosis yang basa
- TSI menurun pada adenoma folikular tiroid toxic
USG/ MRI
USG :
- Menghitung ukuran kelenjar
- Membedakan solid dan lystic lesion
- Tidak pada substernal lesion
MRI :
- Bisa pada post/substernal extension of malignancy
- Bisa juga didapatkan transverse/ coronal imaging
- Nodus limpha sebesar 1 cm dapat dilihat
Thyroid biopsy (FNAB)
- Memakai 10 20 l syringe
- Specimen ditaruh pada slide, difiksasi kering, dan diberi pewarnaan
Giemsa
- Dapat dibedakan benign atau malignan
Farmakokinetik:
Dimetabolisme di hepar, diekskresi melalui ginjal. Waktu paruh 4-6 jam.
Metimazol dengan dosis 30-40 mg bekerja 24 jam. Sebaiknya diberikan selama 12
minggu, lalu dosis dikurangi dan dilihat perkembangannya.
Farmakodinamik:
Bekerja dengan menghambat proses inkorporasi yodium pada residu tirosil
dari tiroglobulin, dan juga menghambat penggabungan residu yodotirosil ini untuk
menjadi yodotironin. Metimazol menghambat enzim peroksidase sehingga oksidasi
ion yodida dan gugs yodotirosil terganggu.
Efek samping:
Jarang terjadi, namun jika timbul dapat menyebabkan agranulositosis sebesar
0,12%.
2. Propranolol
-
Farmakokinetik:
Propranolol diabsorbsi dengan baik melalui saluran gastrointestinal. Obat ini
menembus sawar darah-otak-plasenta, dan dapat ditemukan pada air susu. Obat ini
dimetabolisme di hati dan mempunyai waktu paruh yang singkat, yaitu 3-6 jam.
Dosis yang digunakan untuk tujuan mengurangi takikardi adalah 10-20 mg,
diberikan 3-4 kali sehari.
Farmakodinamik:
Propranolol adalah suatu obat penghambat beta-adrenoseptor yang terutama
digunakan untuk terapi takiaritma dan antiangina. Propranolol memiliki khasiat
menghambat kecepatan konduksi impuls dan mendepresi pembentukan fokus
aktopik. Perbedaannya dengan kinidin adalah Propranolol tidak memiliki efek
antikolinergik, sehingga tidak mengakibatkan takikardia paradoksal.
Susunan saraf pusat : rasa capai, lemah dan lesu ( paling sering), depresi
mental/insomnia, sakit kepala, gangguan visual, halusinasi.
Pernafasan : bronkospasme.
Resep:
dr. Sepuluh
SIP: 10111213141
Jl. Achmad Yani No. 10, Cimahi
Telp 081211109876
Pro
: Ny. X
Umur : 29 tahun
2.10 Komplikasi
Komplikasi yang mungkin terjadi pada pasien penyakit Grave antara lain:
1. Krisis tirotoksikosis
Krisis tirotoksikosis menyebabkan peningkatan fulminant pada tanda dan gejala
tirotoksikosis. Hal ini terjadi pada pasien yang tidak diobati atau diobati secara tidak
adekuat. Sindroma ini ditandai dengan iritabilitas ekstrim, delirium atau koma,
demam sampai 41C atau lebih, takikardia, kegelisahan, hipotensi, muntah, dan diare.
Faktor fisiologik yang memulai krisis tirotoksikosis tidak diketahui.
Terapi terdiri dari menyediakan terapi suportif sementara melakukan pengukuran
untuk meringankan tirotoksikosis secepat mungkin. Terapi suportif termasuk terapi
dehidrasi dan pemberian glukosa dan salin intravena, vitamin B kompleks, dan
glukokortikoid. Pemberian glukokortikoid diindikasikan kerena peningkatan
kebutuhan glukokortikoid pada tirotoksikosis dank arena cadangan adrenal mungkin
berkurang. Terapi hipertiroidisme terdiri dari blockade sintesis hormon dengan
pemberian langsung dan terus menerus dosis besar dari bahan antitiroid. Jika pasien
tidak mampu menelan obat, tablet harus dihancurkan dan diberikan pada pipa
nasogastric atau per rectum, karena preparat parenteral tidak tersedia.
Setelah inisiasi terapi antitiroid, pelepasan hormone dihambat melalui pemberian
yodium dosis besar secara intravena atau melalui mulut. Bahan kontras yang telah
diyodinasi sodium ipodate dapat diberikan selain yodium dan memiliki kerja
tambahan untuk menghambat konversi perifer T4 menjadi T3. Dosis 1 g/hari efektif.
Antagonis adrenergik penting, dan barangkalikritis, sebagai bagian dari regimen
teraupetik pada absennya gagal jantung. Propranolol dapat diberikan pada dosis antara
40 sampai 80 mg setiap 6 jam. Jika medikasi tidak dapat diberikan secara oral, 2 mg
propranolol dapat diberikan secara intravena, dengan monitor elektrokardiografik
yang seksama. Dosis besar deksametason juga harus diberikan karena menghambat
Quo Ad Vitam
: ad bonam
Quo Ad Functionam
: dubia ad bonam
Daftar Pustaka
1. Moore, Keith L., Agur, Anne M. R. Anatomi Klinis Dasar. Jakarta:
Hipokrates; 2002
2. Netter, Frank H. Atlas of Human Anatomy. 5th edition. Philadelpia: W. B.
Saunders Company; 2011
3. Mescher, Anthony L. Histologi Dasar Junquiera: Teks & Atlas. Edisi 12.
Jakarta: EGC; 2011
4. Cotran. R. S., Kumar, V. Robbins, S. L. Pathologic Basis of Disease. 8th
edition. Philadelpia: W. B. Saunders Company; 2010
5. Sherwood, Lauralee. Introduction to Human Physiology. 8th edition. Cengage
Learning; 2013
6. Anwar, Ruswana. Fungsi dan Kelainan Kelenjar Tiroid. Diunduh dari www.
pustaka.unpad.ac.id/wpcontent/uploads/2010/05/fungsi_dan_kelainan_kelenjar
.pdf
7. Price, Sylvia A., Wilson, Lorraine M. Patofisiologi: Konsep Klinis ProsesProses Penyakit. Edisi 6. Jakarta: EGC; 2005
8. Marina, Yulia. Peran Propiltiourasil Sebagai Terapi Inisial Terhadap Kadar
T3, T4, TSH, dan IL-4 pada Penyakit Grave. Diunduh dari
http://repository.unand.ac.id/18090/1/Peranan%20propiltiourasil%20Sebagai
%20Terapi%20Inisial%20Terhadap%20kadar%20T3,%20T4,%20TSH
%20dan%20IL-4%20pada%20Penyakit%20Graves.pdf
9. Kowalak, Welsh, Mayer. Buku Ajar Patofisiologi. Jakarta: EGC; 2011
10. McCance, Kathyrn L, Huether, Sue. Pathophysiology: The Biologic Basic for
Disease in Adults and Children. Philadelpia: W. B. Saunders Company; 2010
11. Nafrialdi, Setawati, A. Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. Jakarta: Departemen
Farmakologi dan Terapeutik FK UI; 2007