Anda di halaman 1dari 25

GRAVES DISEASE

Disusun Oleh:
Kelompok 10
M.Ramadhan A.P.E.P

4111131001

Baiq Meila Putri

4111131024

Raden Atika Fitria P.

4111131026

Jeni Kurniati

4111131067

Adri Nanda Jaya

4111131072

Gemmy Sistarina

4111131091

Zakiya

4111131146

Gebiana Nur Isyatul

4111131148

Amyra Anjani

4111131161

Mohamad Yasirwan

4111131179

Eva Triana Putri4111131180

FAKULTAS KEDOKTERAN
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER UMUM
UNIVERSITAS JENDERAL ACHMAD YANI
NOVEMBER 2014

BAB I
PENDAHULUAN

Graves disease merupakan penyakit yang paling sering ditemukan pada


pasien dengan gejala hipertiroidisme atau tirotoksikosis, yaitu suatu
ketidakseimbangan metabolisme yang terjadi karena produksi berlebihan hormon
tiroid. Peningkatan aktivitas pada kelenjar tiroid pada graves disease mengacu pada
terjadinya reaksi autoimun yang ditandai dengan terbentuknya antibodi yang
merangsang pertumbuhan kelenjar tiroid melalui ikatannya dengan reseptor TSH.
Penyebab utama pembentukan antibodi tersebut masih belum diketahui secara
pasti, akan tetapi ada beberapa kemungkinan diantaranya, infeksi suatu bakteri gram
negatif (antara lain E. Coli, Yersinia), stress, dan bisa juga dipengaruhi kebiasaan
merokok. Peningkatan pertumbuhan kelenjar dan produksi hormon tiroid tersebut
membuat kelenjar tiroid membesar (goiter/gondok), dan menyebabkan perubahan
metabolisme yang multipel. Pada makalah ini akan dibahas mulai dari epidemiologi
hingga penatalaksanaan yang tepat bagi pasien graves disease sesuai dengan hasil
diskusi serta pembelajaran yang telah didapatkan sebelumnya.

BAB II
PEMBAHASAN

Skenario 1
Seorang pasien perempuan berusia 29 tahun datang ke tempat praktik saudara
dengan keluhan utama sering palpitasi sejak 3 bulan yang lalu.
Skenario 2
Pasien juga mengeluh berkeringat yang berlebihan, sering gugup, mudah lelah,
hiperdefekasi, intoleransi terhadap hawa panas dan merasakan adanya penurunan
berat badan walaupun nafsu makan bertambah. Keluhan juga disertai dengan adanya
massa di leher bagian depan.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah 120/60 mmHg, denyut nadi
120x/menit reguler, equal, isi cukup. Respirasi 16x/menit, suhu 37 0 C, leher teraba
struma bilateral yang membesar difus dan pada auskultasi terdengar bruit vaskuler.
Pada auskultasi thoraks terdapat bunyi jantung yang reguler. Pemeriksaan ekskremitas
atas terdapat tremor halus dan pada perabaan, didapatkan tangan yang lembab.

2.1 Resume Kasus


Resume Kasus

Keterangan

Anamnesis
Skenario 1
Pasien 29 tahun
Palpitasi
Sejak 3 bulan yang lalu

Skenario 2
Berkeringat berlebihan
Sering gugup
Mudah lelah
Hiperdefekasi
Intoleransi terhadap hawa panas
Merasakan adanya penurunan berat badan
walaupun nafsu makan bertambah

Insidensi
Indeks wayne +2
Penyakit kronis
Dugaan:
- Hipertiroidisme
- Cushings syndrome
Indeks wayne +3
Indeks wayne +2
Indeks wayne +3
Indeks wayne +5
Indeks wayne +3

Pemeriksaan Fisik
Tanda vital:
Tekanan darah 120/60 mmHg
Denyut nadi 120x/menit, reguler, equal, isi
cukup
Respirasi 16x/menit
Suhu 370C
Leher teraba struma bilateral yang membesar
difus dan pada auskultasi terdengar bruit
vaskuler.
Bunyi jantung reguler
Tremor halus pada ekstremitas atas
Lengan lembab
Tanpa hiperkinesis
Tanpa tangan panas

Takikardi indeks wayne +3

Tiroid teraba indeks wayne +3


Terdengar bising pembuluh indeks
wayne +2
Indeks wayne +1
Indeks wayne +1
Indeks wayne -2
Indeks wayne -1

Diagnosis banding
Hipertiroidisme et causa:
Graves disease
Goiter multinodular toksik
Adenoma folikuler tiroid toksik
Diagnosis kerja: Graves disease

Indeks wayne:
+25 ( 19 = toksik)

2.2 Peta Konsep

Etiologi:
Autoimun

Basic Science:
Anatomi
kelenjar
tiroid
Histologi
kelenjar
tiroid

Tanda & Gejala


29th, palpitasi, sering
berkeringat, gugup, mudah lelah,
BHP:
hiperdefekasi, intoleransi
Medical
terhadap hawa panas, penurunan
Indication
berat badan, terdapat struma,
Patient
Patogenesis
takikardi, tremor, tangan lembab.
Preferrences
Autoantigen sensitisasi
Quality of life
limfosit T menginduksi
Pemeriksaan
Contextual
limfosit B memproduksi TSI Faktor
Penunjang:
Features
peningkatan
produksi
Radioimmunoass
predisposisi:
ay hormon tiroid Graves
Genetik,
disease
Scan tiroid
kembar
dengan yodium
monozigot,
radioaktif
USG
Faktor
MRI
presipitasi:Inf

DD:
Graves disease
Goiter multinodular
toksik

eksi,

DK:
Epidemiologi:
Graves
Usiadisease
30-60 th
Perempuan >
laki-laki

Penatalaksanaan: Komplikasi:
Umum: Istirahat cukup,
menghindari faktor- presipitasi
Krisis tirotoksikosis
Khusus:
- Penyakit jantung
Antitiroid
Pemberian I131 peroral
Pembedahan
Prognosis:
Quo ad vitam: ad bonam
Quo ad functionam: dubia
ad bonam

2.
3
Ilmu
Kedokteran
Dasar
2.3.1 Anatomi
Kelenjar
Tiroid(1, 2)
Kelenjar
tiroid
berasal
dari
kantung
faring pertama
dan kedua dari
lapisan
germinativum
endoderm,
terbentuk pada
minggu keempat
dimana diawali
dari
pembentukan divertikulum, lalu membesar dan tumbuh kearah bawah. Seiring dengan
pertumbuhan dan pergerakan ke arah bawah, terbentuk duktus tiroglosus yang pada
akhirnya akan memisahkan diri dari faring.
Gambar 1. Embriologi kelenjar tiroid

Kelenjar ini terdiri atas 2 lobus yang dipisahkan oleh isthmus. Kelenjar tiroid
terletak setinggi cartilago trachea 2-3. Kelenjar ini diselubungi oleh kapsul yang
melekat pada cartilago cricoidea dan cincin trachea pertama, hal ini lah yang
membuat kelenjar tiroid ikut bergerak saat menelan.
Perfusi darah didapatkan melalui arteri tiroidea superior (cabang dari arteri
carotis externa), arteri tiroidea inferior (cabang dari trunchus tirocervikalis) serta
arteri tiroidea ima (hanya 10% dari populasi yang memilikinya, arteri ini merupakan
cabang langsung dari arteri brachiocephalica). Sedangkan untuk pembuluh darah
balik, terdapat vena tiroidea superior dan vena tiroidea media yang bermuara ke v.
jugularis interna dan vena tiroidea inferior yang bermuara ke v. brachiocephalica)
Inervasi untuk kelenjar tiroid adalah nervus vagus dan nervus laryngeal
recurrent. Inervasi dari kelenjar tiroid ini bersifat vasomotor, yaitu tidak berpengaruh
dalam pengeluaran kelenjar tiroid.

Gambar 2. Vaskularisasi dan inervasi kelenjar tiroid

2.3.2 Histologi Kelenjar Tiroid


Kelenjar tiroid terdiri dari folikel-folikel yang disusun oleh sel folikuler pada
bagian tepinya dan ruang folikel yang merupakan koloid berisi gelatinosa. Selain itu
terdapat sel parafolikuler (sel C) yang berada di antara sel folikuler maupun diantara
folikel, dimana ukurannya lebih besar dibandingkan sel folikuler dan tampak lebih
pucat dengan pulasan HE. Folikel satu dengan lainnya dipisahkan oleh jaringan ikat
tipis, yang selain mengandung serat retikulin, juga banyak mengandung kapiler yang
dibutuhkan untuk mendistribusikan produksi hormon dari kelenjar tiroid, sehingga
disebut juga jaringan ikat fibrovaskuler. Sel folikuler berbentuk koloid atau gepeng
tergantung dari aktivitas kelenjar tiroid, fungsinya menghasilkan hormone T 3 dan T4.
Sedangkan sel parafolikuler berfungsi menghasilkan hormon kalsitonin yang berperan
dalam mengatur homeostasis kadar kalsium darah.3

Gambar 3. Histologi kelenjar tiroid


Pada keadaan tirotoksikosis, sediaan histopatologi akan memperlihatkan
foliker tiroid dengan ukuran yang bervariasi dari besar-kecil, dan pada umumnya
berisi koloid. Pada beberapa tempat di pinggir folikel, tampak daerah kosong seperti
vakuola (massa koloid yang diabsorbsi oleh sel-sel folikuler) yang menandakan sel
tersebut hiperaktif (scalloping). Pada stroma terlihat serbukan sel-sel radang, dan inti
masih dalam batas normal, namun biasanya karena proses adaptasi sel, akan terlihat
sel folikuler mengalami hiperplasia.4

2.3.3 Fisiologi Kelenjar Tiroid(5, 6)


a. Sintesis hormon tiroid
Sintesis dari T4 dan T3 oleh kelenjar tiroid melibatkan enam langkah utama:
(1) transpor aktif dari I melintasi membrana basalis ke dalam sel tiroid (trapping of
iodide); (2) oksidasi dari iodida dan iodinasi dari residu tirosil dalam tiroglobulin; (3)
penggabungan molekul iodotirosin dalam toirglobulin membentuk T3 dan T4; (4)
proteolisis dari tiroglobulin, dengan pelepasan dari iodotirosin dan iodotironin bebas;
(5) deiodinasi dari iodotirosin di dalam sel tiroid, dengan konservasi dan penggunaan
dari iodida yang dibebaskan, dan (6) di bawah lingkungan tertentu, deiodinisasi-5'
dari T4 menjadi T3 intratiroidal.
Sintesis hormon tiroid melibatkan suatu glikoprotein unik, tiroglobulin, dan
suatu enzim esensial, peroksidase tiroid (TPO).
Tiroglobulin
Tiroglobulin merupakan suatu molekul glikoprotein besar yang mengandung
5496 asam amino; dengan suatu berat molekul sekitar 660.000 dan koefisien endapan
sebesar 19S. Mengandung sekitar 140 residu tirosil dan sekitar 10% karbohidrat

dalam bentuk manosa, N-asetilglukosamin, galaktosa, fukosa, asam sialat, dan sulfat
kondroitin. Gen tiroglobulin manusia (hTg) terletak pada lengan panjang dari
kromosom 8 distal dari onkogen c-myc. TSH merangsang transkripsi dari gen
tiroglobulin, dan hipofisektomi atau terapi T3 menurunkan transkripsinya. Gen
tiroglobulin mengandung sekitar 8500 nukleotida, yang menyandi monomer
pretiroglobulin (pre-Tg). Monomer pretiroglobulin mengandung suatu peptida sinyal
19-asam- amino, diikuti oleh suatu rantai 2750-asam-amino yang membentuk
monomer tiroglobulin. mRNA diterjemahkan dalam retikulum endoplasmik kasar, dan
rantai tiroglobulin diglikosilasi selama tranpor ke aparatus Golgi . Dalam aparatus
Golgi, dimer tiroglobulin dimasukkan ke dalam vesikel eksositotik yang berfusi
dengan membrana basalis dan melepaskan tiroglobulin ke dalam lumen folikular. Di
sini, pada batas koloidapikal, tiroglobulin diiodinisasi dan disimpan dalam koloid.
Transpor lodida (The Iodide Trap)
Iodida ditranspor melintasi membrana basalis dari sel tiroid oleh suatu proses
yang memerlukan energi aktif yang tergantung pada ATPase Na+-K+. Sistem transpor
aktif inimemungkinkan kelenjar tiroid manusia untuk mempertahankan suatu
konsentrasi iodida bebas 30-40 kali dibandingkan plasma. Jebakan tiroiodida
dirangsang jelas oleh TSH dan oleh antibodi perangsang reseptor TSH (TSH-R ab
[stim]) ditemukan pada penyakit Graves. Jebakan ini dapat dijenuhkan dengan
sejumlah besar I dan diinhibisi oleh ion- ion seperti CIO4-, SCN, N03-, dan TcO4-.
Proteolisis Tiroglobulin & Sekresi Hormon Tiroid
Enzim lisosomal disintesis oleh retikulum endoplasmik kasar dan dikemas oleh
aparatus Golgi ke dalam lisosom. Struktur-struktur ini, dikelilingi oleh membran,
mempunyai suatu interior yang bersifat asam dan diisi dengan enzim proteolitik,
termasuk protease, endopeptidase, hidrolisa glikosida, fosfatase, dan enzim-enzim
lain. Pada interaksi sel koloid, koloid ditelan ke dalam suatu vesikel koloid oleh suatu
proses makropinositosis atau mikropinositosis dan diabsorbsi ke dalam sel tiroid.
Kemudian lisosoma berfusi dengan vesikel koloid; dan terjadi hidrolisis dari
tiroglobulin, melepaskan T4, T3, DIT, MIT, fragmen peptida, dan asam amino. T 3 dan
T4 dilepaskan ke dalam sirkulasi, semenfara DIT dan MIT dideiodinisasi dan I
dilestarikan. Tiroglobulin dengan kandungan iodin yang rendah dihidrolisa dengan
lebih cepat ketimbang tiroglo- bulin dengan kandungan iodin yang tinggi, yang
kemungkinan bermanfaat dalam daerah geografik di mana asupan iodin natural
rendah.
Mekanisme transpor T3 dan T4 melalui sel tiroid tidak diketahui, tetapi dapat
melibatkan suatu karier hormon spesifik. Sekresi hormon tiroid distimulasi oleh TSH,
yang mengaktivasi adenilil siklase, dan oleh analog cAMP (Bu) 2cAMP, menunjukkan
zat ini dependen-cAMP. Proteolisis tiroglobulin diinhibisi oleh kelebihan iodida dan
oleh litium, yang, seperti litium karbonat, digunakan untuk terapi keadaan manikdepresif. Sejumlah kecil tiroglobulin yang tak terhidrolisa juga dilepaskan dari sel
tiroid; hal ini meningkat dengan nyata pada situasi tertentu seperti tiroiditis subakut,
hipertiroidisme, atau goiter akibat-TSH . Tiroglobulin dapat juga disintesis dan
dilepaskan oleh keganasan tiroid tertentu seperti kanker tiroid papilaris atau folikular
dan dapat bermanfaat sebagai suatu marker untuk penyakit metastatik.

Gambar 4. Sintesis hormon tiroid


b. Regulasi hormon tiroid
Pertumbuhan dan fungsi dari kelenjar tiroid paling sedikit dikendalikan empat
mekanisme : (1) sumbu hipotalamus-hipofisis-tiroid klasik, di mana hormon pelepastirotropin hipotalamus (TRH) merangsang sintesis dan pelepasan dari hormon
perangsang-tiroid hipofisis anterior (TSH), yang pada gilirannya merangsang sekresi
hormon dan pertumbuhan oleh kelenjar tiroid; (2) deiodininase hipofisis dan perifer,
yang memodifikasi efek dari T4 dan T3; (3) autoregulasi dari sintesis hormon oleh
kelenjar tiroid sendiri dalam hubungannya dengan suplai iodinnya;dan (4) stimulasi
atau inhibisi dari fungsi tiroid oleh autoantibodi reseptor TSH.
c. Efek fisiologik hormon tiroid
Efek transkripsional dari T3 secara karakteristik memperlihatkan suatu lag time
berjam-jam atau berhari-hari untuk mencapai efek yang penuh. Aksi genomik ini
menimbulkan sejumlah efek, termasuk efek pada pertumbuhan jaringan, pematangan
otak, dan peningkatan produksi panas dan konsumsi oksigen yang sebagian
disebabkan oleh peningkatan aktivitas dari Na+-K+ ATPase, produksi dari reseptor
beta-adrenergik yang meningkat. Sejumlah aksi dari T3 tidak genomik, seperti
penurunan dari deiodinase-5' tipe 2 hipofisis dan peningkatan dari transpor glukosa
dan asam amino. Sejumlah efek spesifik dari hormon tiroid diringkaskan berikut ini.

Efek pada Perkembangan Janin


Sistem TSH tiroid dan hipofissi anterior mulai berfungsi pada janin manusia
sekitar 11 minggu. Sebelum saat ini, tiroid janin tidak mengkonsen- trasikan 12 I.
Karena kandungan plasenta yang tinggi dari deiodinase-5 tipe 3, sebagian besar T3 dan
T4 maternal diinaktivasi dalam plasenta, dan sangat sedikit sekali hormon bebas
mencapai sirkulasi janin. Dengan demikian, janin sebagian besar tergantung pada
sekresi tiroidnya sendiri. Walaupun sejumlah pertumbuhan janin terjadi tanpa adanya
sekresi hormon tiroid janin, perkembangan otak dan pematangan skeletal jelas
terganggu, menimbulkan kretinisme (retardasi mental dan dwarfisme/cebol).
Efek pada Konsumsi Oksigen, Produksi panas, dan Pembentukan Radikal Bebas
T3 meningkatkan konsumsi O2 dan produksi panas sebagian melalui stimulasi
Na+-K+ ATPase dalam semua jaringan kecuali otak, lien, dan testis. Hal ini berperan
pada peningkatan kecepatan metabolisme basal (keseluruhan konsumsi O2 hewan saat
istirahat) dan peningkatan kepekaan terhadap panas pada hipertiroidisme. Hormon
itroid juga menurunkan kadar dismutase superoksida, menimbulkan peningkatan
pembentukan radikal bebas anion superoksida.
Hal ini dapat berperan pada
timbulnya efek menganggu
dar i hipertiroidisme kronik.
Efek Kardiovaskular
T3 merangsang transkripsi dari rantai berat miosin dan menghambat rantai
berat miosin, memperbaiki kontraktilitas otot jantung. T3 juga meningkatkan
transkripsi dari Ca2+ ATPase
dalam
retikulum sarkoplasmik,meningkatkan
kontraksi diastolik jantung; mengubah isoform dari gen Na+ -K+ ATPase gen; dan
meningkatkan reseptor adrenergik-beta dan konsentrasi protein G. Dengan demikian,
hormon tiroid mempunyai efek inotropik dan kronotropik yang nyata terhadap
jantung. Hal ini merupakan penyebab dari keluaran jantung dan peningkatan
nadi yang nyata pada hipertiroidisme dan kebalikannya pada hipotiroidisme.
Efek Simpatik
Seperti dicatat di atas, hormon tiroid meningkatkan jumlah reseptor adrenergikbeta dalam otot jantung, otot skeletal, jaringan adiposa, dan limfosit. Mereka juga
menurunkan reseptor adrenergik-alfa miokardial. Di samping itu; mereka juga dapat
memperbesar aksi katekolamin pada tempat pascareseptor. Dengan demikian,
kepekaan terhadap katekolamin meningkat dengan nyata pada hipertiroidisme, dan
terapi dengan obat-obatan penyekat adrenergik-beta dapat sangat membantu dalam
mengendalikan takikardia dan aritmia.
Efek Pulmonar
Hormon tiroid mempertahankan dorongan hipoksia dan hiperkapne normal pada
pusat pernapasan. Pada hipotiroidisme berat, terjadi hipoventilasi, kadang- kadang
memerlukan ventilasi bantuan.
Efek Hematopoetik
Peningkatan kebutuhan selular akan O2 pada hipertiroidisme menyebabkan
peningkatan produksi eritropoietin dan peningkatan eritropoiesis. Namun, volume
darah biasanya tidak meningkat karena hemodilusi dan peningkatan penggantian
eritrosit. Hormon tiroid meningkatkan kandungan 2,3-difosfogliserat eritrosit,
memungkinkan peningkatan disosiasi O2 hemoglobin dan meningkatkan penyediaan

O2 kepada jaringan. Keadaan yang sebaliknya terjdai pada hipotiroidisme.


Efek Gastrointestinal
Hormon tiroid merangsang motiiltas usus, yang dapat menimbuklan
peningkatan motilitas dan diare pada hipertiroidisme dan memperlambat transit usus
serta konstipasi pada hipotiroidisme. Hal ini juga menyumbang pada timbulnya
penurunan berat badan yang sedang pada hipotiroidisme dan pertambahan berat pada
hipotiroidisme.
Efek Skeletal
Hormon tiroid merangsang peningkatan penggantian tulang, meningkatkan
resorpsi tulang, dan hingga tingkat yang lebih kecil, pembentukan tulang. Dengan
demikian, hipertiroidisme dapat menimbulkan osteopenia yang bermakna, dan pada
kasus berat, hiperkalsemia sedang, hiperkalsiuria, dan peningkatan ekskresi
hidroksiprolin urin dan hubungan-silang pyridinium.
Efek Neuromuskular
Walaupun hormon tiroid merangsang peningkatan sintesis dari banyak protein
struktural, pada hipertiroidisme terdapat peningkatan penggantian protein dan
kehilangan jaringan otot atau miopati. Hal ini dapat bekraitan dengan kreatinuria
sontan. Terdapat juga suatu peningkatan kecepatan kontraksi dan relaksasi otot, secara
klinik diamati adanya hiperefleksia atau hipertiroidisme-atau sebaliknya pada
hipotiroidisme. Hormon tiroid penting untuk perkembangan dan fungsi normal dari
susunan saraf pusat, dan hiperaktivitas pada hipertiroidisme serta kelambanan pada
hipotiroidisme dapat mencolok.
Efek pada Lipid dan Metabolisme Karbohidrat
Hipertiroidisme meningkatkan glukoneogenesis dan glikogenolisis hati
demikian pula absorpsi glukosa usus. Dengan demikian, hipertiroidisme akan
mengeksaserbasi diabetes melitus primer. Sintesis dan degradasi kolesterol keduanya
meningkat oleh hormon tiroid. Efek yang terakhir ini sebagian besar disebabkan oleh
suatu peningkatan dari reseptor low-density lipoprotein (LDL) hati, sehingga kadar
kolesterol menurun dengan aktivitas tiroid yang berlebihan. Lipolisis juga meningkat,
melepaskan asam lemak dan gliserol. Sebaliknya, kadar kolesterol meningkat pada
hipotiroidisme.
Efek Endokrin
Hormon tiroid meningkatkan pergantian metabolik dari banyak hormon dan
obat-obatan farmakologik. Contohnya, waktu-paruh dari kortisol adalah sekitar 100
menit pada orang normal, sekitar 50 menit pada pasien hipertiroid, sekitar 150 menit
pada pasien hipotiroid. Kecepatan produksi kortisol akan meningkat pada pasien
hipertiroid; dengan fungsi adrenal normal sehingga mempertahankan suatu kadar
hormon
sirkulasi yang normal.
Namun, pada seorang
pasien dengan
insufisiensi adrenal, timbulnya hipertiroidisme atau terapi hormon tiroid dari
hipotiroidisme dapat mengungkapkan adanya penyakit adrenal. Ovulasi dapat
terganggu pada hipertiroidisme maupun hipotiroidisme, menimbulkan infertilitas,
yang dapat dikoreksi dengan pemulihan keadaan eutiroid. Kadar prolaktin serum
meningkat sekitar 40% pada pasien dengan hipotiroidisme, kemungkinan suatu
manifestasi dari peningkatan pelepasan TRH; hal ini akan kembali normal dengan
terapi T4.

2. 4 Epidemiologi
Penyakit ini paling sering terjadi pada wanita (7:1 dibanding lakilaki). Grave disease juga paling sering terjadi pada usia pertengahan yaitu
antara 30-60 tahun, khususnya wanita dengan riwayat kelainan tiroid
dalam keluarga. Penyakit ini tidak lazim pada remaja (hanya 5%), wanita
hamil, dan setelah menopause. 7

2. 5 Faktor Risiko8
2.5.1 Faktor Predisposisi
1. Faktor Genetik
Kerentanan genetik dianggap merupakan faklor predisposisi utama terhadap
penyakit tiroid autoimun, dengan persentase 50% dari kasus graves disease.
Beberapa sistem genetik diketahui mempunyai hubungan dengan penyakit tiroid
autoimun:
a. Gen Cytolytic T Lymphocyte Associated Antigen-1(CTLA-4)
Salah satu kandidat gen adalah CTLA-4 suatu pengatur negatif dari
aktivasi sel T, merupakan marker genetik yang dapat memberikan informasi
tambahan untuk memprediksi remisi penyakit setelah pemberian obat antitiroid.
Polimorfisme gen CTLA-4 terletak pada kromosom 2q33 telah banyak
dilaporkan mempunyai hubungan dengan penyakit tiroid autoimun, merupakan
molekul yang diekspresikan oleh sel T dan berperan sebagai regulator negatif
terhadap aktivasi sel T, memberikan sinyal terjadinya anergi atau apoptosis
sehingga mengambat proliferasi sel T autoreaktif.
b. Gen Human Leucocyte Antigen (HLA)
Hubungan antara polimorfisme molekul HLA deagan kerentanan terhadap
terjadinya penyakit autoimun sangat mungkin akan terjadi apabila kita melihat
fungsi utama molekul tersebut pada mekanisme akivasi sel T. Seperti diketahui,
antigen (mis: Tg sebagai autoantigen) pada waktu proses toleran berlartgsung
akan dipresentasikan oleh APC dalam suatu kompleks dengan molekul HLA
dimana antigen akan diikat dalam suatu binding groove pada molekul HLA.
Karena HLA bersifat sangat polimorfik, maka afinitas ikatan HLA dengan
antigen dapat sangat berbeda antar alel satu dengan lainrrya.
Alel dengan afinitas kuat akan lebih "dikenal" oleh sel T karena
dipresentasikan dengan baik oleh APC sehingga lebih mudah terhapus waktu
proses toleran berlangsung. Alel HLA dengan afinitas rendah terhadap antigen
akan lolos dari proses seleksi negatif dan mengakibatkan terjadinya
autoimunitas pada individu yang mempunyai tipe HLA tersebut. HLA yang
mempunyai hubungan kuat dengan penyakit tiroid autoimun antara lain: HLADR3 yang diketahui mempunyai hubungan kuat dengan penyakit Graves.

Penelitian Y Ban dkk mendapatkan bahwa ada interaksi HLA-DR dengan


CTLA-4. Terdapat bukti yang kuat bahwa aspek genetik merupakan predisposisi
gangguan regulasi imun, produksi autoreaktif sel T, sel B dan antibodi IgG.
Faktor predisposisi ini berhubungan dengan halotype MHC klas I dan II.
Penyakit tiroid berkaitan dengan keberadaan HLA DR3, DR4 dan DR5 yang
menjadi autoantigen endokrin atau peptida yang mudah pergabung dengan
halotype MHC yang menyebabkan sistem imun yang reaktif abnormal dan tidak
terkontrol.
2. Kembar monozigot
Kejadian graves disease pada kembar monozigot sebesar 20-40% dan
terdapat hubungan yang bermakna bila saudara kandung menderita penyakit
Graves. Hal ini diduga terkait timbulnya autosom yang resesif.
2.5.2 Faktor Presipitasi
1. Infeksi
Infeksi dapat menyebabkan penyakit autoimun melalui berbagai cara,
antara lain mimikri molekuler, terlepasnya sequestered antigen karena kerusakan
jaringan, ataupun terlepasnya heat shock protein (hsps) bakteri yang mempunyai
reaksi silang dengan hsps hospes. Infeksi bakteri sebagai penyebab penyakit tiroid
autoimun didapatkan pada infeksi Yersinia enterocolitica karena reaksi silang antan
antigen kuman dengan TSH-reseptor.
3. Merokok
Merokok merupakan faktor risiko terhadap penyakit Graves. Mekanisme
yang mendasari
hubungan antara merokok dengan penyakit tiroidautoimun
diperkirakan merokok dapat memacu keadaan hipoksia dan kandungan nikotinnya
memacu peningkatan ekspresi HLA-DR yang keduanya dapat memacu dan
meningkatkan reaksi inflamasi.
4. Stress
Mempengaruhi sistem imun secara langsung atau tidak langsung
melaluiaktivasi sistim neural dan endokrin (alur HPA). Modulasi imun ini
menghasilkan berbagai hormon khusus glukokortikoid, neurotransmiter dan
sitokin-sitokin yang dapat menyebabkan perkembangan autoimunitas yang
berperan mempertahankan penyakit tiroid autoimun. Glukokortikoid endogen dan
katekolamin selama stress menyebabkan supresi respon Thl dan mengarah ke Th2
yang memediasi imunitas.Aktivasi Th2 ini akan mempengaruhi onset penyakit
Graves.

2. 6 Patogenesis dan patofisiologi (9, 10)


2.6.1 Patogenesis
Penyebab pasti dari penyakit ini masih belum diketahui. Dari pandangan
bahwa manifestasinya yang bervariasi dan perjalanan penyakit yang berbeda,
memungkinkan bahwa tidak ada faktor tunggal yang berpengaruh terhadap
keseluruhan sindroma. Dengan pertimbangan hipertiroidisme, kelainan sentral
merupakan suatu gangguan pada mekanisme homeostatik yang biasanya
menyesuaikan sekresi hormon untuk memenuhi kebutuhan jaringan perifer. Gangguan
homeostatik ini dihasilkan dari adanya stimulator tiroid abnormal pada plasma, yang
pertama kali dikenalipada saat muncul dalam serumpasien dengan penyakit graves
yang melepaskan radioyodium dari tikus.
Dari aspek durasi kerjanya yang memanjang dari relatif dibandingkan dengan
durasi pada TSH pada system bioassay ini, bahan ini dirancang sebagai stimulator
tiroid kerja lama (LATS = long-acting thyroid stimulator). Aktivitas LATS pada
pengujian tikus disebabkan oleh imunoglobuin penstimulus tiroid( TSI = thyroid
stimulating immunoglobulin) dari kelas IgG yang dielaborasi oleh limfosit dari pasien
dengan penyakit grave. Jika jaringan tiroid manusia digunakan sebagai system
pengujian, titik akhir pengukuran adalah stimulasi dari tetes-tetes koloid atau
pembentukan cAMP pada sel, potongan, atau membran tiroid, dan inhibisi pengikatan
TSH dengan reseptornya dijaringan tiroid manusia (TBII= TSH-binding inhibitor
immunoglobulin).Faktor ini mewakili antibody terhadap reseptor TSH tiroid (TRAb).
Aktivitas tipe ini juga ditemukan dalam serum pada beberapa pasien dengan penyakit
Graves oftalmika, kadang-kadang pada pasien dengan penyakit Hashimoto, dan
beberapa pasien eutiroid relatif dengan penyakit Graves.
Diduga, absennya tirotoksikosis pada keadaan demikian merefleksikan
predominasi penghambatan versus stimulasi TRAb atau penyakit tiroid intrinstik yang
mencegah suatu respon hipertiroid. Hilangnya faktor stimulasi dari serum selama
pengobatan antitiroid meramalkan sesuatu yang baik untuk remisi jangka panjang
setelah pengobatan dihentikan. Dengan demikian, sementara penyebab dasar dari
penyakit Graves tidak diketahui, sebuah imunoglobulin atau keluarga imunoglobulin
yang diarahkan terhadap reseptor TSH memperantarai stimulasi tiroid. Suatu
abnormalities yang dapat diturunkan pada penyelidikan imu dapat memungkinkan
limfosit tertentu untuk bertahan, berproliferasi dan mensekresikan imunoglobulin
stimulator sebagai respon terhadap faktor presipitasi.

2.6.2 Patofisiologi
Hipertiroid

Aktivitas Na-K-ATPase

Sensitisasi reseptor

adrenergik
Resepor

BMR

Kebutuhan O2

-Glukoneogenesis

Glukosa
DM
(reversibel)

Denyut
nadi

Vasodilatasi
vaskuler otot
jantung

Takikardi

Aliran darah

BB

Hiperventilasi
-Lipolisis

Atrofi otot

-Proteolisis
Produksi panas

Aliran
jantung

Berkeringat, tangan
lembab
Adaptasi sel folikel

Penumpukan
mukopolisakarida di
jaringan retro-orbita

Hiperplasia

Eksitasi saraf simpatis

Motalitas
usus

Ekstremitas
atas

Eksoftalmus
Struma

Hiperperistaltik
Cedera mata

Hipervaskularisasi

Hiperdefekasi
Kebutaan

Bruit vaskuler

Tremor

2.7 Kriteria Diagnosis


Diagnosis penyakit Graves diawali dengan mencurigai tanda-tanda
hipertiroidisme yang ditegaskan dengan menggunakan indeks klinis. Kriteria
diagnosis pada penyakit Graves sendiri dapat menggunakan Indeks Wayne. Indeks
Wayne sangat membantu untuk penegakkan diagnosis hipertiroid, walaupun
penegakkan diagnosis yang pasti adalah dengan pemeriksaan kadar hormon tiroid dan
TSH dalam darah. Manfaat dari penggunaan Indeks Wayne adalah untuk menjaring
secara efektif pasien yang diduga menderita hipertiroid.
Indeks Wayne
Gejala yang baru terjadi dan
bertambah berat
Sesak pada kerja
Berdebar-debar
Lekas lelah
Lebih suka hawa panas
Lebih suka dingin
Berkeringat banyak
Gugup
Nafsu makan bertambah
Nafsu makan berkurang
Berat badan bertambah

Tanda-tanda

+1
+2
+3
-5
+5
+3
+2
+3
-3
-3

Tiroid teraba
Bising pembuluh
Eksopthalmus
Retraksi palpebra
Kelambatan palpebra
Hiperkinesis
Tremor jari
Tangan panas
Tangan lembab
Denyut nadi sewaktu
<80 / menit
80-90 / menit
>90 / menit
Fibrilasi atrium

+3
+2
+2
+2
+1
+4
+1
+2
+1

-3
-2
-2
-1
-1

-3
-1
+3
+4

Penilaian:
19 : toksik
11-19 : equivocal
<11 : non toksik
Hasil perhitungan berdasarkan indeks wayne pada kasus adalah +25, hal ini
menunjukkan pasien menderita hipertiroidisme yang bersifat toksik. Diagnosis
banding sesuai kondisi tirotoksikosis:
1. Graves disease
Graves disease adalah gangguan autoimun yang biasanya ditandai
dengan produksi aoutoantibodi yang mirip kerja TSH pada kelenjar tiroid.
Autoantibodi IgG ini yang disebut dengan thyroid stimulating
immunoglobulin, menstimulasi produksi hormon tiroid, namun tidak dihambat
oleh kadar hormon tiroid yang tinggi. Penyebab penyakit ini tidak diketahui,
akan tetapi, tampak terdapat faktor predisposisi genetik pada penyakit
autoimun.
2. Goiter multinodular thyroid

Goiter multinodular adalah peningkatan ukuran kelenjar tiroid akibat


peningkatan akan hormon tiroid. Peningkatan kebutuhan akan hormon tiroid
terjadi selama periode pertumbuhan atau kebutuhan metabolik yang tinggi
misalnya saat pubertas atau kehamilan. Dalam kasus ini, peingkatan hormon
tiroid disebabkan oleh aktivasi hipotalamus yang didorong oleh proses
metabolisme sehingga disertai oleh peningkatan TRH dan TSH. Apabila
kebutuhan akan hormon tiroid berkurang, ukuran kelenjar tiroid biasanya
kembali ke ukuran sebelumnya. Kadang-kadang terjadi perubahan yang
ireversibel dan kelenjar tidak mengalami regresi. Tiroid yang membesar dapat
terus memproduksi hormon tiroid yang berlebihan.
3. Adenoma folicular thyroid toxic
Adenoma folikuler adalah yang paling umum dan timbul dari epitel
folikular. Mereka biasanya tunggal, lesi baik-encapsulated. Pada USG,
adenoma mungkin nodul padat hyperechoic atau hypoechoic dengan daerah
sekitarnya hypoechoic cincin biasa disebut tanda halo. Jarang, adenoma
paratiroid memiliki lokasi intrathyroid ektopik. Penyebab pasti dari adenoma
folikuler tiroid tidak diketahui. Mungkin ada mutasi genetik yang terlibat,
tetapi penelitian lebih lanjut diperlukan untuk mengkonfirmasi hipotesis ini.
Salah satu faktor risiko untuk penyakit ini adalah paparan perawatan radiasi
pada leher. Orang dewasa yang terkena perawatan radiasi sebagai seorang
anak sangat beresiko.
2. 8 Pemeriksaan Penunjang 7
Tes-tes yang dilakukan untuk menegakkan diagnosis antara lain:
1. Kadar tiroksin (T4) dan triiodotironin (T3)
- Diukur dengan radioligand assay
- Pengukuran termasuk hormon terikat dan hormon yang bebas
- Kadar normal : tiroksin (4 11 g/dl), triiodotironin (80 160 g/dl)
Peningkatan T3 terjadi lebih dahulu daripada T4, sehingga T3 menjadi
indikator yang lebih sensitif untuk diagnosis hipertiroid
2. Kadar TSH
- Dapat diukur dengan assay radioimunometrik
- Kadar normal : 0,02 5 u/ml
- Pada graves disease, kadar TSH akan berada dibawah normal
3. Tiroksin bebas
- Mengukur kadar tiroksin dalam sirkulasi yang secara metabolik aktif
4. Tes ambilan yodium radioaktif
- Untuk mengukur kemampuan kelenjar tiroid dalam menangkap dan
mengubah iodida
- Dilakukan dengan cara pasien menerima dosis yang akan ditangkap oleh
tiroid dan dipekatkan setelah melewati 24 jam, kemudian radioaktivitas
yang ada dalam kelenjar tiroid tersebut dihitung

5.

6.

7.

8.

- Normal jumlah radioaktif yang diambil berkisar 10% hingga 35% dari
dosis pemberian
Uji laju metabolisme basal
- Meningkat +30 hingga +60 pada hipertiroidism yang mengukur jumlah
penggunaan O2 pada keadaan istirahat meningkat, kolesterol serum
menurum, tanda respos refleks tendon achiles cepat
Pengukuran konsentrasi TSI
- Dengan pemeriksaan radioimunologi
- TSI meningkat pada tipe tiroktosikosis yang basa
- TSI menurun pada adenoma folikular tiroid toxic
USG/ MRI
USG :
- Menghitung ukuran kelenjar
- Membedakan solid dan lystic lesion
- Tidak pada substernal lesion
MRI :
- Bisa pada post/substernal extension of malignancy
- Bisa juga didapatkan transverse/ coronal imaging
- Nodus limpha sebesar 1 cm dapat dilihat
Thyroid biopsy (FNAB)
- Memakai 10 20 l syringe
- Specimen ditaruh pada slide, difiksasi kering, dan diberi pewarnaan
Giemsa
- Dapat dibedakan benign atau malignan

2.9 Penatalaksanaan (10, 11)


Penatalaksanaan bentuk primer meliputi:
1. Pemberian obat antitiroid
Obat antitiroid sebaiknya diberikan pada pasien penyakit Graves dengan awitan
baru karena banyak di antara pasien Graves yang mengalami remisi spontan. Obat
antitiroid juga digunakan untuk mengoreksi keadaan tirotoksik dalam persiapan
sebelum menjalani terapi I131 atau pembedahan.
Ada 4 golongan penghambat sintesis hormon yaitu :
1. Antitiroid yang menghambat sintesis hormon secara langsung
2. Penghambat ion, yang memblok mekanisme transpor yodida
3.Yodium dengan konsentrasi tinggi, yang dapat mengurangi sintesis dan pengeluaran
hormon kelenjarnya
4.Yodium radioaktif, yang merusak kelenjar dengan radiasi ionisasi.
Terpenting adalah kelompok derivate tiomidazol (CBZ karbimazol 5
mg, MTZ, metimazol atau tiamazol 5, 10, 30 mg) dan derivate tiourasil (PTU
propiltiourasil 50, 100 mg) menghambat proses organifikasi dan reaksi
autoimun, tetapi PTU masih ada efek tambahan yaitu menghambat konversi T 4
dan T3 di perifer.

2. Pemberian dosis tunggal I131 per oral


Pemberian dosis tunggal preparat I131 per oral (terapi pilihan bagi pasien yang
tidak berencana mempunyai anak; pasien dengan usia reproduktif harus memberikan
informed consent sebelum mendapatkan terapi ini karena preparat I 131 akan tertimbun
di dalam gonad).
Selama pelaksanaan terapi menggunakan preparat I131, kelenjar tiroid akan
mengambil unsur radioaktif tersebut sebagaimana yang juga dilakukan terhadap
yodium biasa. Radioaktivitas akan menghancurkan sebagian sel yang pada keadaan
normal akan menyimpan yodium serta memproduksi tiroksin, dan dengan demikian
mengurangi produksi hormone tiroid serta menormalkan ukuran dan fungsi tiroid.
Pada sebagian besar pasien, gejala hipermetabolik akan berkurang dalam enam
hingga 8 minggu sesudah terapi. Kendati demikian, sebagian pasien mungkin
memerlukan terapi yang kedua. Hampir semua pasien yang diterapi dengan preparat
I131 pada akhirnya mengalami hipotiroid.
3. Pembedahan
Penanganan dengan pembedahan meliputi tiroidektomi subtotal untuk
mengurangi kapasitas kelenjar tiroid dalam memproduksi hormon tiroid (bagi pasien
yang menolak terapi preparat I131 atau pasien yang bukan merupakan kandidat bagi
terapi dengan preparat I131). Selain itu, meliputi pemberian yodida (larutan lugol atau
larutan kalium yodida jenuh), obat antitiroid, dan propranolol untuk meredakan
keadaan hipertiroid prapembedahan (jika pasien tidak mencapai keadaan eutiroid,
pembedahan harus ditunda, dan obat antitiroid serta propranolol diberikan untuk
mengurangi efek sistemik (aritmia jantung akibat tirotoksikosis). Harus disertai
supervisi seumur hidup yang dilakukan secara teratur, mengingat terkadang sebagian
pasien berada dalam keadan hipotiroid selama beberapa tahun setelah pembedahan.
Penatalaksaan pada kasus:
Diberikan obat antitiroid dan propanolol (sampai obat antitiroid mencapai efek
penuh, pemberian propranolol dilakukan untuk mengatasi takikardi dan efek perifer
lain yang ditimbulkan oleh aktivitas saraf simpatik yang berlebihan).
1. Metimazol
-

Farmakokinetik:
Dimetabolisme di hepar, diekskresi melalui ginjal. Waktu paruh 4-6 jam.
Metimazol dengan dosis 30-40 mg bekerja 24 jam. Sebaiknya diberikan selama 12
minggu, lalu dosis dikurangi dan dilihat perkembangannya.

Farmakodinamik:
Bekerja dengan menghambat proses inkorporasi yodium pada residu tirosil
dari tiroglobulin, dan juga menghambat penggabungan residu yodotirosil ini untuk
menjadi yodotironin. Metimazol menghambat enzim peroksidase sehingga oksidasi
ion yodida dan gugs yodotirosil terganggu.

Efek samping:
Jarang terjadi, namun jika timbul dapat menyebabkan agranulositosis sebesar

0,12%.
2. Propranolol
-

Farmakokinetik:
Propranolol diabsorbsi dengan baik melalui saluran gastrointestinal. Obat ini
menembus sawar darah-otak-plasenta, dan dapat ditemukan pada air susu. Obat ini
dimetabolisme di hati dan mempunyai waktu paruh yang singkat, yaitu 3-6 jam.
Dosis yang digunakan untuk tujuan mengurangi takikardi adalah 10-20 mg,
diberikan 3-4 kali sehari.

Farmakodinamik:
Propranolol adalah suatu obat penghambat beta-adrenoseptor yang terutama
digunakan untuk terapi takiaritma dan antiangina. Propranolol memiliki khasiat
menghambat kecepatan konduksi impuls dan mendepresi pembentukan fokus
aktopik. Perbedaannya dengan kinidin adalah Propranolol tidak memiliki efek
antikolinergik, sehingga tidak mengakibatkan takikardia paradoksal.

Efek samping obat:


Kardiovascular : bradikardia, gagal jantung kongestif, blokade A-V, hipotensi,
tangan terasa dingin, trombositopenia, purpura, insufisiensi arterial.

Susunan saraf pusat : rasa capai, lemah dan lesu ( paling sering), depresi
mental/insomnia, sakit kepala, gangguan visual, halusinasi.

Gastrointesnial : mual, muntah, mulas, epigastric distress, diare, konstipasi


ischemic colitis, flatulen.

Pernafasan : bronkospasme.

Hematologik : diskarasia darah (trombositopenia, agranulositosis).

Lain-lain: gangguan fungsi seskual, impotensi, alopesia, mata kering, alergi

Resep:
dr. Sepuluh
SIP: 10111213141
Jl. Achmad Yani No. 10, Cimahi
Telp 081211109876

Cimahi, 26 November 2014


R/ Metimazol tab 10 mg No. XXI
S 1 dd 3
R/ Propranolol tab 10 mg No. XV
S 3 dd 1

Pro
: Ny. X
Umur : 29 tahun
2.10 Komplikasi
Komplikasi yang mungkin terjadi pada pasien penyakit Grave antara lain:
1. Krisis tirotoksikosis
Krisis tirotoksikosis menyebabkan peningkatan fulminant pada tanda dan gejala
tirotoksikosis. Hal ini terjadi pada pasien yang tidak diobati atau diobati secara tidak
adekuat. Sindroma ini ditandai dengan iritabilitas ekstrim, delirium atau koma,
demam sampai 41C atau lebih, takikardia, kegelisahan, hipotensi, muntah, dan diare.
Faktor fisiologik yang memulai krisis tirotoksikosis tidak diketahui.
Terapi terdiri dari menyediakan terapi suportif sementara melakukan pengukuran
untuk meringankan tirotoksikosis secepat mungkin. Terapi suportif termasuk terapi
dehidrasi dan pemberian glukosa dan salin intravena, vitamin B kompleks, dan
glukokortikoid. Pemberian glukokortikoid diindikasikan kerena peningkatan
kebutuhan glukokortikoid pada tirotoksikosis dank arena cadangan adrenal mungkin
berkurang. Terapi hipertiroidisme terdiri dari blockade sintesis hormon dengan
pemberian langsung dan terus menerus dosis besar dari bahan antitiroid. Jika pasien
tidak mampu menelan obat, tablet harus dihancurkan dan diberikan pada pipa
nasogastric atau per rectum, karena preparat parenteral tidak tersedia.
Setelah inisiasi terapi antitiroid, pelepasan hormone dihambat melalui pemberian
yodium dosis besar secara intravena atau melalui mulut. Bahan kontras yang telah
diyodinasi sodium ipodate dapat diberikan selain yodium dan memiliki kerja
tambahan untuk menghambat konversi perifer T4 menjadi T3. Dosis 1 g/hari efektif.
Antagonis adrenergik penting, dan barangkalikritis, sebagai bagian dari regimen
teraupetik pada absennya gagal jantung. Propranolol dapat diberikan pada dosis antara
40 sampai 80 mg setiap 6 jam. Jika medikasi tidak dapat diberikan secara oral, 2 mg
propranolol dapat diberikan secara intravena, dengan monitor elektrokardiografik
yang seksama. Dosis besar deksametason juga harus diberikan karena menghambat

pelepasan hormon, mengganggu pembentukan perifer T3 dari T4, dan memberikan


pendukung adrenal. Deksametason dapat dikurangi kemudian, sementara terapi
antitiroid dan yodium harus diteruskan sampai keadaan metabolik normal dapat
dicapai, pada waktu yodium secara progesif dihentikan dan rencana dibuat untuk
terapi definitif.
2. Penyakit jantung
Tirotoksikosis menyebabkan peningkatan pada fungsi jantung sistolik dan
diastolic, kemungkinan sekunder terhadap pengaruh pada ekspresi gena untuk protein
kontraktil, miosin. Jika tidak diterapi, penigkatan kerja pada akhirnya meningkat
menuju dekompensasi. Sebagai konsekuensi dari hal inidan efek perifer hormon
tiroid, berbagai beban mempengaruhi kerja jantung.hipermetabolisdari jaringan
perifer meningkatkan beban sirkulasi metabolic dan nonmetabolik(kehilangan panas),
sementara efek langsung dari hormon tiroid pada miokardium menyebabkan
pengisisan cepat dan meningkatkan kekuatan,velositas, dan kecepatan kontraksi
ventrikuler. Sebagai hasilnya, kerja jantung dan curah jantung meningkat. Lebih
lanjut, iritabilitas atrium meningkat, mengarah pada aritmia, yang paling penting
adalah fibrilasi atrium.
Pada pasien dengan jantung normal, beban ini biasanya ditoleransi. Pada pasien
dengan penyakit jantung sebagai penyebab, insufisiensi jantung dapat dipresipitasi
atau dipersulit. Seperti telah diduga, komplikasi ini lebih umum pada pasien lanjut
usia dan pasien dengan struma multinoduler toksik, kadang-kadan merupakan
manifestasi yang paling menonjol dari keadaan tirotoksikosis. Pada pasien dengan
insufisieansi jantung, petunjuk terhadap hadirnya tirotoksikosis meliputi fibrilasi
atrium, waktu sirkulasi yang relatif cepat, penigkatankeluar jantung (kegagalan
keluaran tinggi), dan resitensi terhadap dosis teurapetik digitalis.
Terapi ditujukan pada pengurangan tirotoksikosis secara cepat dan pengembalian
kompensasi jantung. Objektif yang pertama dan terbaik dicapai dengan terapi bahan
antitiroid dosis besar, diikuti denganyodium jika situasi klinis muncul. Pada kasus
yang kurang ganas, pengobatan radioyodium didahului dengan terapi obat antitiroid
saja. Kompensasi jantung ditatalaksana dengan cara biasa, menggunakan dosis
digitalis yang lebih besar dari biasa tetapi denganperhatian untuk
menghindariintoksikasi digitalis setelah tirotoksikosisnya hilang. Antagonis
adrenergic harus digunakan dengan hati-hati bila adanya kegagalan jantung, kecuali
jika kegagalan merupakan konsekuensi primer dari gangguan kecepatan atau irama
jantung.
2.11 Prognosis
Pada umumnya penyakit Graves mengalami periode remisi dan eksaserbasi,
namun pada beberapa penderita yang setelah terapi tetap pada kondisi eutiroid dalam

jangka lama, dapat berlanjut ke hipotiroid. Follow up jangka panjang diperlukan


untuk penderita dengan penyakit Graves. Prognosis secara umum pada pasien
penyakit Graves adalah:
-

Quo Ad Vitam

: ad bonam

Quo Ad Functionam

: dubia ad bonam

2.12 Bioetika Humaniora


1. Medical Indications
- Beneficence : Golden Rule Principle ; prosedur standar yang baik dalam
penegakkan diagnosis. Dalam kasus ini dokter dapat menegakkan diagnosis sesuai
dengan referensi dari indeks wayne, serta hasil pemeriksaan lab.
- Non Maleficence : Do No Harm ; jangan melakukan tindakan yang dapat
mengancam keselamatan pasien. Dalam kasus ini dokter harus dapat memberikan
penatalaksanaan dan edukasi yang baik terhadap penyakitnya, yaitu Graves disease.
2. Patient Preferrences
- Autonomi : Dalam skenario ini pasien berusia 29 tahun dimana termasuk
kategori pasien yang kompeten maka informed consent dapat diberikan kepada
pasien.
3. Quality of Live
- Non Maleficence : Dokter mencegah terjadinya komplikasi.
4. Contextual Features
- Justice : Kewajiban untuk mendistribusikan keuntungan dan kerugian atas
tindakan medis kepada pasien dengan memperhatikan apakah ada permasalahan dari
ekonomi sosial budaya dari pasien yang memperngaruhi kepurtusan pasien terhadap
tindakan medik yang akan dilakukan dokter.

Daftar Pustaka
1. Moore, Keith L., Agur, Anne M. R. Anatomi Klinis Dasar. Jakarta:
Hipokrates; 2002
2. Netter, Frank H. Atlas of Human Anatomy. 5th edition. Philadelpia: W. B.
Saunders Company; 2011
3. Mescher, Anthony L. Histologi Dasar Junquiera: Teks & Atlas. Edisi 12.
Jakarta: EGC; 2011
4. Cotran. R. S., Kumar, V. Robbins, S. L. Pathologic Basis of Disease. 8th
edition. Philadelpia: W. B. Saunders Company; 2010
5. Sherwood, Lauralee. Introduction to Human Physiology. 8th edition. Cengage
Learning; 2013
6. Anwar, Ruswana. Fungsi dan Kelainan Kelenjar Tiroid. Diunduh dari www.
pustaka.unpad.ac.id/wpcontent/uploads/2010/05/fungsi_dan_kelainan_kelenjar
.pdf
7. Price, Sylvia A., Wilson, Lorraine M. Patofisiologi: Konsep Klinis ProsesProses Penyakit. Edisi 6. Jakarta: EGC; 2005
8. Marina, Yulia. Peran Propiltiourasil Sebagai Terapi Inisial Terhadap Kadar
T3, T4, TSH, dan IL-4 pada Penyakit Grave. Diunduh dari
http://repository.unand.ac.id/18090/1/Peranan%20propiltiourasil%20Sebagai
%20Terapi%20Inisial%20Terhadap%20kadar%20T3,%20T4,%20TSH
%20dan%20IL-4%20pada%20Penyakit%20Graves.pdf
9. Kowalak, Welsh, Mayer. Buku Ajar Patofisiologi. Jakarta: EGC; 2011
10. McCance, Kathyrn L, Huether, Sue. Pathophysiology: The Biologic Basic for
Disease in Adults and Children. Philadelpia: W. B. Saunders Company; 2010
11. Nafrialdi, Setawati, A. Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. Jakarta: Departemen
Farmakologi dan Terapeutik FK UI; 2007

Anda mungkin juga menyukai