Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


HIV (Human Immunodeficiency Virus) merupakan virus penyebab penyakit AIDS. HIV
menyerang sel-sel dalam sistem kekebalan tubuh, yang lambat laun menjadi rusak. Ini
mengakibatkan sistem kekebalan tidak lagi dapat menahan penyakit umum. Pada
pertengahan tahun 1980, tes HIV yang dilakukan di Skotlandia menunjukkan lebih dari 80%
yang terinfeksi HIV merupakan pengguna narkoba suntik, hal sama terjadi pada tes HIV
yang dilakukan di Amerika Serikat. Pada dasarnya, sebagian besar infeksi HIV di AS terjadi
di kalangan pria homoseksual. Tetapi, sejak 1988, sebagian besar kasus AIDS di daerah timur
laut AS merupakan akibat penularan di kalangan pengguna narkoba suntik (IDU). Di New
York City pada tahun 1993, 50% kasus baru AIDS terjadi di kalangan pengguna narkoba dan
hanya 33% dikalangan homoseksual. Sementara, sebagian besar perempuan yang terinfeksi
HIV di AS adalah pengguna narkoba atau memiliki pasangan seksual yang memakai narkoba.
Sedangkan, sebagian besar anak yang lahir terinfeksi HIV memiliki orangtua yang salah satu
atau keduanya adalah pengguna narkoba. (Warta Aids, 2001)
Hubungan seks yang tidak aman, penggunaan jarum suntik yang tidak steril dan secara
bergantian, tranfusi darah yang terinfeksi HIV, dan penularan ibu yang terinfeksi HIV ke
anak yang dikandungnya merupakan faktor risiko yang dapat menularkan HIV dari satu
orang ke orang lain. Faktor risiko penularan tersebut yang menjadikan permasalahan
HIV/AIDS berkaitan dengan sosio-ekonomi-pertahanan-keamanan-budaya, disamping
permasalahan jumlah yang semakin membesar. Sehingga permasalahan menjadi kompleks.
Pada awal perkembangan HIV/AIDS di dunia, pola penularannya terjadi pada kelompok
homoseksual. Hal ini menimbulkan penilaian bahwa AIDS adalah penyakit orang yang
mempunyai perilaku seks menyimpang. Hal tersebut tidak terjadi di Indonesia. Pada awal
penyebaran HIV/AIDS, penularan telah didominasi oleh hubungan seks heteroseksual bukan
homoseksual yang menjadi stigma selama ini. Ini membuktikan bahwa HIV/AIDS dapat
mengenai siapa saja, bukan hanya orang-orang khusus. Hal ini dibuktikan bahwa kasuskasus yang ditemukan banyak yang mempunyai perilaku hubungan seks heteroseksual serta
ditemukan pada kelompok perempuan baik-baik. Pola ini terus berlanjut sampai sekarang
dengan data penularan melalui hubungan seks pada kelompok heteroseksual masih
mendominasi pola penyebaran HIV/AIDS di Indonesia. (Depkes,2006)

Pada sekitar tahun 2000, di Indonesia terjadi perubahan yang sangat menyolok pada pola
penularan HIV/AIDS, yaitu melalui penggunaan jarum suntik yang tidak steril secara
bergantian pada kelompok pengguna Napza suntik (Penasun). Pada kurun waktu 10 tahun
mulai 1995 Maret 2005 proporsi penularan melalui penggunaan jarum suntik tidak steril
meningkat lebih 50 kali lipat, dari 0,65% pada tahun 1995 menjadi 35,87% pada tahun 2004.
Pada kurun waktu yang sama, proporsi penularan melalui hubungan seksual menurun cukup
besar. Pada saat ini penularan melalui penggunaan jarum suntik tidak steril menjadi urutan
terbesar kedua setelah heteroseksual serta menjadi faktor risiko utama dalam penularan
HIV/AIDS di Indonesia. Bahkan selama Januari-Maret 2005, penambahan kasus HIV/AIDS
dengan faktor risiko pada kelompok Penasun mencapai proporsi 59,27%, yang merupakan
faktor risiko terbesar. Sedangkan untuk faktor risiko heteroseksual hanya mencapai 26,30%
setengah dari kelompok Penasun. Hal ini semakin membuktikan bahwa penularan melalui
penggunaan jarum suntik tidak steril menjadi penularan utama, dan mungkin hal tersebut
akan terus menjadi pola penularan utama. Data mengenai populasi yang rawan terinfeksi
HIV menambah bukti bahwa kerentanan kelompok pengguna narkoba suntik semakin nyata.
(Depkes,2006)
Hasil yang sama juga ditemukan pada penelitian yang dilakukan oleh Depkes RI tahun
2007. Pengguna Napza Suntik (Penasun) merupakan kelompok yang sangat berisiko terhadap
HIV, karena perilaku berbagi peralatan suntik napza bergantian menyebabkan penularan HIV
lebih tinggi dibandingkan dengan cara penularan lain. Data sebelumnya menunjukkan
prevalensi sebesar 19% pada pengguna narkoba suntik tahun 1999 di Indonesia. Prevalensi
HIV terus meningkat dalam sub populasi ini, sehingga pengguna narkoba suntik memiliki
prevalensi HIV tertinggi dibandingkan dengan sub populasi lain di Indonesia. (BPS, 2007)
Pada akhir abad ke-20, dunia kesehatan diserang dengan munculnya penyakit yang sangat
berbahaya dan ganas, yakni penyakit Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS). Acquired
Immunodeficiency Syndrome merupakan penyakit menular yang disebabkan virus Human
Immunodeficiency Virus (HIV). Penyebarannya sangat cepat ke seluruh dunia. Sejak menjadi
epidemi sampai dengan tahun 2011, HIV telah menginfeksi lebih dari 60 juta laki-laki,
perempuan, dan anak-anak dan yang menderita AIDS telah mendekati angka 20 juta pada dewasa
dan anak-anak. Meskipun masyarakat internasional telah merespon kejadian pandemi
HIV/AIDS, HIV berlanjut tersebar menyebabkan lebih dari 14.000 infeksi baru setiap hari. Saat

ini AIDS menjadi penyebab kematian utama di Afrika, dan di seperempat belahan dunia (WHO,
2010).
Prevalensi secara nasional kasus AIDS di Indonesia pada tahun 2011 sebesar 10,62 per
100.000 penduduk. Provinsi dengan prevalensi tertinggi adalah Provinsi Papua (175,91), disusul
Bali (49,16), DKI Jakarta (44,74), Kepulauan Riau (25,57), dan Kalimantan Barat (23,96),
sedangkan di Sulawesi Utara sebesar 7,69 per 100.000 penduduk. Di Indonesia hingga Maret
2011 terdapat 24482 kasus AIDS dan 4603 kasus di antaranya telah meninggal dunia. Jumlah
tersebut terdiri dari 17840 laki-laki dan 6553 perempuan (Ditjen PPM & PL Kemkes RI, 2011).
Jumlah perempuan yang menderita HIV/AIDS lebih sedikit dibanding laki-laki, meskipun
demikian hal ini dapat berdampak bagi perempuan dan remaja putri terutama yang akan menikah
dan produktif karena ini akan berpengaruh juga kepada janin yang dikandungnya. Kementrian
Kesehatan juga mencatat beberapa faktor penyebab AIDS, yaitu: heteroseksual (53%), homobiseksual (3%), injecting drug user (IDU) (38%), dan transmisi perinatal (3%) (Ditjen PPM &
PL Kemkes RI, 2011).

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi AIDS
AIDS adalah penyakit yang merusak kemampuan seseorang untuk melawan penyakit,
tubuh mudah untuk terserang infeksi yang biasanya tidak berbahaya dan mudah terkena kanker.
"AIDS" singkatan Acquired Immunodeficiency Syndrome. AIDS disebabkan oleh virus yang
disebut HIV, yang merupakan singkatan dari Human Immunodeficiency Virus. Virus ini
menginfeksi beberapa jenis sel darah putih, terutama Sel CD4 (sel penolong atau juga disebut
atau T4-sel) dan monosit / makrofag. Sel CD4 dan makrofag keduanya memiliki fungsi penting
dalam sistem kekebalan tubuh. HIV mengganggu fungsi sistem kekebalan tubuh. Sebuah sistem

kekebalan tubuh yang lemah memungkinkan pengembangan sejumlah infeksi yang berbeda dan
kanker, dan inilah yang menyebabkan penyakit dan kematian pada orang dengan AIDS. HIV
juga menginfeksi dan menyebabkan kerusakan langsung jenis sel lain : misalnya, kerusakan pada
lapisan usus dapat berkontribusi terhadap wasting (berat penurunan berat badan), kerusakan selsel saraf dapat menyebabkan masalah neurologis (Pinsky dan Douglas, 2009)
2.2 Gejala
Berbagai gejala AIDS umumnya tidak akan terjadi pada orang-orang yang memiliki
sistem kekebalan tubuh yang baik. Kebanyakan kondisi tersebut akibat infeksi oleh bakteri,
virus, fungi dan parasit, yang biasanya dikendalikan oleh unsur-unsur sistem kekebalan tubuh
yang dirusak HIV. Infeksi oportunistik umum didapati pada penderita AIDS (Holmes, 2003).
HIV memengaruhi hampir semua organ tubuh. Penderita AIDS juga berisiko lebih besar
menderita kanker seperti sarkoma Kaposi, kanker leher rahim, dan kanker sistem kekebalan yang
disebut limfoma. Biasanya penderita AIDS memiliki gejala infeksi sistemik; seperti demam,
berkeringat (terutama pada malam hari), pembengkakan kelenjar, kedinginan, merasa lemah,
serta penurunan berat badan. Infeksi oportunistik tertentu yang diderita pasien AIDS, juga
tergantung pada tingkat kekerapan terjadinya infeksi tersebut di wilayah geografis tempat hidup
pasien (Guss, 1994)

2.3 Tipe dan Jenis HIV


Terdapat dua jenis HIV: HIV-1 dan HIV-2. Klasifikasi ini didasarkan pada perbedaan
dalam struktur genetik. HIV-2 merupakan jenis yang kurang umum dan ditemukan terutama di
bagian barat Afrika. Kedua jenis virus yang ditularkan dengan cara yang sama dan menyebabkan
penyakit yang sama. Namun, jenis HIV-2 lebih sulit ditularkan dan waktu dari infeksi penyakit
lebih lama. (Pinsky dan Douglas, 2009)
2.4 Transmisi HIV
Ada Tiga Rute Transmisi HIV yang ditularkan melalui:

1. Kontak darah yang terinfeksi, air mani, atau cairan vagina dan serviks dengan membran
mukosa.
2. Injeksi darah yang terinfeksi atau produk darah.
3. Vertikal transmisi (yaitu dari ibu yang terinfeksi kepada janin) dan dari ibu ke bayi
melalui ASI (Pinsky dan Douglas, 2009)
HIV dapat masuk ke dalam tubuh melalui mukosa membran yang melapisi vagina, rektum,
uretra,

dan

mungkin,

Kerusakan

membran

mukosa

pada
dapat

kesempatan

meningkatkan

risiko

langka,
penularan

mulut.
HIV,

tanpa

diperlukan transmisi. Hampir semua kasus HIV menular seksual disebabkan oleh hubungan seks
anal atau vaginal tanpa kondom. HIV secara konsisten telah diisolasi dalam konsentrasi yang
bervariasi dari darah, air mani, vagina dan serviks sekresi, dan air susu ibu. Kadang-kadang (dan
dalam tingkat rendah) diisolasi dari air liur dan airmata Antibodi terhadap HIV telah terdeteksi
dalam urin. Dua penelitian membuktikan terdapat HIV di cairan pra-ejakulasi, sedangkan bukti
epidemiologi HIV hanya berimplikasi darah, semen, cairan vagina dan leher rahim, dan air susu
ibu sebagai sumber transmisi. Infeksi melalui kontak air mani, darah, atau cairan vagina atau
leher rahim dengan membran mukosa terjadi selama hubungan anal atau vaginal dan jarang
selama oral-genital sex (Pinsky dan Douglas, 2009).
HIV dapat ditularkan melalui darah yang terinfeksi masuk langsung ke dalam aliran darah
melalui intravena, intramuskular, atau injeksi subkutan. Darah-ke-darah penularan terjadi bila
berbagi jarum suntik yang tidak steril, transfusi darah dan produk darah yang terkontaminasi
dengan penderita hemofilia dengan penerima darah lainnya. Sejak Maret 1985, suplai darah AS
telah disaring supaya tidak terkontaminasi. Risiko infeksi dari transfusi sekarang sangat kecil:
risiko menjadi terinfeksi HIV dari transfusi tinggal kurang dari satu dalam dua juta. Vertikal
transmisi (Ibu ke Janin) dapat ditularkan dari ibu yang terinfeksi kepada janinnya selama
kehamilan dan selama kelahiran. Hal ini disebut sebagai transmisi vertikal atau perinatal. ART
digunakan pada waktu yang tepat pada kehamilan secara signifikan mengurangi risiko penularan
dari ibu ke janin. Selain itu, dengan menggunakan metode-metode tertentu untuk melahirkan
(seperti bagian caesar) juga membantu mengurangi penularan. Karena ASI dapat menularkan
HIV, menghindari menyusui lebih lanjut mengurangi vertikal transmisi (Pinsky dan Douglas,
2009).

Semua studi ilmiah utama telah menyimpulkan bahwa infeksi HIV tidak dapat ditularkan
melalui kontak lansung dengan penderita. Menurut National Academy of Science, standar
kebersihan perorangan yang saat ini berlaku lebih dari cukup untuk mencegah penularan HIV
bahkan antara orang-orang yang tinggal dalam satu rumah tangga, transmisi tidak akan terjadi
selama menghindari praktek seksual dan penggunaan narkoba berbahaya yang telah
diidentifikasi. Sebuah penelitian menunjukkan bahan yang secara teoritis dapat membawa virus
dalam jumlah kecil, seperti air liur disemprotkan pada batuk atau bersin atau kiri pada gelas
minum, air mata, atau urin, tidak pernah terbukti sebagai media penularan dari setiap kasus HIV.
(Pinsky dan Douglas, 2009)
2.5 Manifestasi Klinis
Pneumonia pneumocystis (PCP) jarang dijumpai pada orang sehat yang memiliki
kekebalan tubuh yang baik, tetapi umumnya dijumpai pada orang yang terinfeksi HIV. Penyebab
penyakit ini adalah fungi Pneumocystis jirovecii. Sebelum adanya diagnosis, perawatan, dan
tindakan pencegahan rutin yang efektif di negara-negara Barat, penyakit ini umumnya segera
menyebabkan kematian. Di negara-negara berkembang, penyakit ini masih merupakan indikasi
pertama AIDS pada orang-orang yang belum dites, walaupun umumnya indikasi tersebut tidak
muncul kecuali jika jumlah CD4 kurang dari 200 per L (Feldman, 1995)
Tuberkulosis (TBC) merupakan infeksi unik di antara infeksi-infeksi lainnya yang terkait
HIV, karena dapat ditularkan kepada orang yang sehat (imunokompeten) melalui rute pernapasan
(respirasi). Ia dapat dengan mudah ditangani bila telah diidentifikasi, dapat muncul pada stadium
awal HIV, serta dapat dicegah melalui terapi pengobatan. Namun demikian, resistensi TBC
terhadap berbagai obat merupakan masalah potensial pada penyakit ini. Meskipun munculnya
penyakit ini di negara-negara Barat telah berkurang karena digunakannya terapi dengan
pengamatan langsung dan metode terbaru lainnya, namun tidaklah demikian yang terjadi di
negara-negara berkembang tempat HIV paling banyak ditemukan. Pada stadium awal infeksi
HIV (jumlah CD4 >300 sel per L), TBC muncul sebagai penyakit paru-paru. Pada stadium
lanjut infeksi HIV, ia sering muncul sebagai penyakit sistemik yang menyerang bagian tubuh
lainnya (tuberkulosis ekstrapulmoner). Gejala-gejalanya biasanya bersifat tidak spesifik
(konstitusional) dan tidak terbatasi pada satu tempat.TBC yang menyertai infeksi HIV sering

menyerang sumsum tulang, tulang, saluran kemih dan saluran pencernaan, hati, kelenjar getah
bening (nodus limfa regional), dan sistem syaraf pusat (Decker, 2000)
Esofagitis adalah peradangan pada kerongkongan (esofagus), yaitu jalur makanan dari
mulut ke lambung. Pada individu yang terinfeksi HIV, penyakit ini terjadi karena infeksi jamur
(jamur kandidiasis) atau virus (herpes simpleks-1 atau virus sitomegalo). Ia pun dapat
disebabkan oleh mikobakteria, meskipun kasusnya langka (Zaidi dan Cervia, 2002)
Infeksi HIV dapat menimbulkan beragam kelainan tingkah laku karena gangguan pada
syaraf (neuropsychiatric sequelae), yang disebabkan oleh infeksi organisma atas sistem syaraf
yang telah menjadi rentan, atau sebagai akibat langsung dari penyakit itu sendiri. Toksoplasmosis
adalah penyakit yang disebabkan oleh parasit bersel-satu, yang disebut Toxoplasma gondii.
Parasit ini biasanya menginfeksi otak dan menyebabkan radang otak akut (toksoplasma
ensefalitis), namun ia juga dapat menginfeksi dan menyebabkan penyakit pada mata dan paruparu (Luft dan Chua, 2000). Meningitis kriptokokal adalah infeksi meninges (membran yang
menutupi otak dan sumsum tulang belakang) oleh jamur Cryptococcus neoformans. Hal ini dapat
menyebabkan demam, sakit kepala, lelah, mual, dan muntah. Pasien juga mungkin mengalami
sawan dan kebingungan, yang jika tidak ditangani dapat mematikan. Leukoensefalopati
multifokal progresif adalah penyakit demielinasi, yaitu penyakit yang menghancurkan selubung
syaraf (mielin) yang menutupi serabut sel syaraf (akson), sehingga merusak penghantaran impuls
syaraf. Ia disebabkan oleh virus JC, yang 70% populasinya terdapat di tubuh manusia dalam
kondisi laten, dan menyebabkan penyakit hanya ketika sistem kekebalan sangat lemah,
sebagaimana yang terjadi pada pasien AIDS. Penyakit ini berkembang cepat (progresif) dan
menyebar (multilokal), sehingga biasanya menyebabkan kematian dalam waktu sebulan setelah
diagnosis (Sadler dan Nelson, 1997).
Kanker yang paling sering terlihat pada orang yang terinfeksi HIV adalah sarkoma
Kaposi (KS, sebuah kanker lapisan-lapisan pembuluh darah), kanker serviks, dan terkait AIDS
non-Hodgkins limfoma (kanker kelenjar getah bening). KS dan kanker leher rahim biasanya
berkembang ketika seseorang imunosupresi dan memiliki jumlah T4 yang rendah. Karena
pengobatan saat ini umumnya menimbulkan jumlah T4 kanker menurun. KS disebabkan oleh
virus keluarga Herpes, HHV8. Sejak ART telah menjadi efektif dan banyak digunakan, KS
terlihat jarang, meskipun tingkat yang jauh lebih tinggi daripada di masyarakat umum. Kanker
serviks disebabkan oleh infeksi HPV (human papillomavirus). Kejadian tersebut juga dikurangi

dengan penggunaan ART, meskipun tingkat kanker serviks masih sepuluh kali lebih tinggi
daripada di masyarakat umum. Kanker anal terjadi pada tingkat lebih tinggi pada laki-laki yang
berhubungan seks dengan laki-laki dan pada khususnya tingkat tinggi di antara mereka yang
terinfeksi HIV: enam puluh kali lebih tinggi daripada populasi umum. Sekarang kemungkinan
disebabkan oleh HPV. Isu skrining tanda-tanda kanker ini sangat kompleks, dan para ahli tidak
setuju tentang penggunaan tersebut. Terkait AIDS non-Hodgkins limfoma (NHL) dikaitkan
dengan virus Epstein-Barr (EBV), Herpes jenis lain. Virus ini menginfeksi hampir semua
manusia dengan awal masa dewasa. NHL terjadi pada jumlah T4 lebih tinggi. Tingkat NHL telah
menurun sejak ada ART, tetapi tingkat masih 20 kali lebih tinggi di antara orang dengan HIV
dibandingkan dengan populasi umum. Untuk alasan yang tidak dipahami, orang yang terinfeksi
HIV tampak pada agak lebih besar risiko untuk sejumlah kanker lainnya. Ini termasuk Hodgkin
Limfoma, usus, mulut, tenggorokan, paru-paru, dan kanker ginjal
2.6 Diagnosis
2.6.1 Sistem tahapan infeksi WHO
Pada tahun 1990, World Health Organization (WHO) mengelompokkan berbagai infeksi dan
kondisi AIDS dengan memperkenalkan sistem tahapan untuk pasien yang terinfeksi dengan HIV1 (WHO, 1990) Sistem ini diperbarui pada bulan September tahun 2005. Kebanyakan kondisi ini
adalah infeksi oportunistik yang dengan mudah ditangani pada orang sehat.

Stadium I: infeksi HIV asimtomatik dan tidak dikategorikan sebagai AIDS

Stadium II: termasuk manifestasi membran mukosa kecil dan radang saluran pernapasan
atas yang berulang

Stadium III: termasuk diare kronik yang tidak dapat dijelaskan selama lebih dari sebulan,
infeksi bakteri parah, dan tuberkulosis.

Stadium IV: termasuk toksoplasmosis otak, kandidiasis esofagus, trakea, bronkus atau
paru-paru, dan sarkoma kaposi. Semua penyakit ini adalah indikator AIDS.

2.6.2 Sistem klasifikasi CDC


Terdapat dua definisi tentang AIDS, yang keduanya dikeluarkan oleh Centers for Disease
Control and Prevention (CDC). Awalnya CDC tidak memiliki nama resmi untuk penyakit ini;
sehingga AIDS dirujuk dengan nama penyakit yang berhubungan dengannya, contohnya ialah

limfadenopati. Para penemu HIV bahkan pada mulanya menamai AIDS dengan nama virus
tersebut (Barre-Sinoussi, 1983). CDC mulai menggunakan kata AIDS pada bulan September
tahun 1982, dan mendefinisikan penyakit ini (CDC, 1982) Tahun 1993, CDC memperluas
definisi AIDS mereka dengan memasukkan semua orang yang jumlah sel T CD4 + di bawah 200
per L darah atau 14% dari seluruh limfositnya sebagai pengidap positif HIV. Mayoritas kasus
AIDS di negara maju menggunakan kedua definisi tersebut, baik definisi CDC terakhir maupun
pra-1993. Diagnosis terhadap AIDS tetap dipertahankan, walaupun jumlah sel T CD4 + meningkat
di atas 200 per L darah setelah perawatan ataupun penyakit-penyakit tanda AIDS yang ada telah
sembuh (CDC, 1992)
2.7 Penyebab HIV/AIDS
2.7.1 Penularan Seksual
Penularan (transmisi) HIV secara seksual terjadi ketika ada kontak antara sekresi cairan
vagina atau cairan preseminal seseorang dengan rektum, alat kelamin, atau membran mukosa
mulut pasangannya. Hubungan seksual reseptif tanpa pelindung lebih berisiko daripada
hubungan seksual insertif tanpa pelindung, dan risiko hubungan seks anal lebih besar daripada
risiko hubungan seks biasa dan seks oral. Seks oral tidak berarti tak berisiko karena HIV dapat
masuk melalui seks oral reseptif maupun insertif (Rothenberg dkk, 1998). Kekerasan seksual
secara umum meningkatkan risiko penularan HIV karena pelindung umumnya tidak digunakan
dan sering terjadi trauma fisik terhadap rongga vagina yang memudahkan transmisi HIV
(Koenig, Michael et al, 2004)
Penyakit menular seksual meningkatkan risiko penularan HIV karena dapat menyebabkan
gangguan pertahanan jaringan epitel normal akibat adanya borok alat kelamin, dan juga karena
adanya penumpukan sel yang terinfeksi HIV (limfosit dan makrofaga) pada semen dan sekresi
vaginal. Penelitian epidemiologis dari Afrika Sub-Sahara, Eropa, dan Amerika Utara
menunjukkan bahwa terdapat sekitar empat kali lebih besar risiko terinfeksi AIDS akibat adanya
borok alat kelamin seperti yang disebabkan oleh sifilis dan/atau chancroid. Resiko tersebut juga
meningkat secara nyata, walaupun lebih kecil, oleh adanya penyakit menular seksual seperti
kencing nanah, infeksi chlamydia, dan trikomoniasis yang menyebabkan pengumpulan lokal
limfosit dan makrofaga (Laga dan Nzila, 1991)

Transmisi HIV bergantung pada tingkat kemudahan penularan dari pengidap dan
kerentanan pasangan seksual yang belum terinfeksi. Kemudahan penularan bervariasi pada
berbagai tahap penyakit ini dan tidak konstan antarorang. Beban virus plasma yang tidak dapat
dideteksi tidak selalu berarti bahwa beban virus kecil pada air mani atau sekresi alat kelamin.
Setiap 10 kali penambahan jumlah RNA HIV plasma darah sebanding dengan 81% peningkatan
laju transmisi HIV (Tovanabutra dkk, 2002). Wanita lebih rentan terhadap infeksi HIV-1 karena
perubahan hormon, ekologi serta fisiologi mikroba vaginal, dan kerentanan yang lebih besar
terhadap penyakit seksual. Orang yang terinfeksi dengan HIV masih dapat terinfeksi jenis virus
lain yang lebih mematikan (Sagar dkk, 2004)
2.7.2 Kontaminasi Patogen Melalui Darah
Jalur penularan ini terutama berhubungan dengan pengguna obat suntik, penderita
hemofilia, dan resipien transfusi darah dan produk darah. Berbagi dan menggunakan kembali
jarum suntik (syringe) yang mengandung darah yang terkontaminasi oleh organisme biologis
penyebab penyakit (patogen), tidak hanya merupakan risiko utama atas infeksi HIV, tetapi juga
hepatitis B dan hepatitis C. Berbagi penggunaan jarum suntik merupakan penyebab sepertiga
dari semua infeksi baru HIV dan 50% infeksi hepatitis C di Amerika Utara, Republik Rakyat
Cina, dan Eropa Timur. Resiko terinfeksi dengan HIV dari satu tusukan dengan jarum yang
digunakan orang yang terinfeksi HIV diduga sekitar 1 banding 150. Post-exposure prophylaxis
dengan obat anti-HIV dapat lebih jauh mengurangi risiko itu (Fan dkk, 2005).
Pekerja fasilitas kesehatan (perawat, pekerja laboratorium, dokter, dan lain-lain) juga
dikhawatirkan walaupun lebih jarang. Jalur penularan ini dapat juga terjadi pada orang yang
memberi dan menerima rajah dan tindik tubuh. Kewaspadaan universal sering kali tidak dipatuhi
baik di Afrika Sub Sahara maupun Asia karena sedikitnya sumber daya dan pelatihan yang tidak
mencukupi. WHO memperkirakan 2,5% dari semua infeksi HIV di Afrika Sub Sahara
ditransmisikan melalui suntikan pada fasilitas kesehatan yang tidak aman (WHO, 2003). Oleh
sebab itu, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa, didukung oleh opini medis umum dalam
masalah ini, mendorong negara-negara di dunia menerapkan kewaspadaan universal untuk
mencegah penularan HIV melalui fasilitas kesehatan (Physicians for Human Rights, 2003)
2.7.3 Penularan Masa Perinatal
Transmisi HIV dari ibu ke anak dapat terjadi melalui rahim (in utero) selama masa
perinatal, yaitu minggu-minggu terakhir kehamilan dan saat persalinan. Bila tidak ditangani,

tingkat penularan dari ibu ke anak selama kehamilan dan persalinan adalah sebesar 25%. Namun
demikian, jika sang ibu memiliki akses terhadap terapi antiretrovirus dan melahirkan dengan cara
bedah caesar, tingkat penularannya hanya sebesar 1% (Coovadia, 2004). Sejumlah faktor dapat
memengaruhi risiko infeksi, terutama beban virus pada ibu saat persalinan (semakin tinggi beban
virus, semakin tinggi risikonya). Menyusui meningkatkan risiko penularan sebesar 4%
(Coovadia, 2007)
2.8 Epidemiologi
UNAIDS dan WHO memperkirakan bahwa AIDS telah membunuh lebih dari 25 juta jiwa
sejak pertama kali diakui tahun 1981, membuat AIDS sebagai salah satu epidemik paling
menghancurkan pada sejarah. Meskipun baru saja, akses perawatan antiretrovirus bertambah
baik di banyak region di dunia, epidemik AIDS diklaim bahwa diperkirakan 2,8 juta (antara 2,4
dan 3,3 juta) hidup pada tahun 2005 dan lebih dari setengah juta (570.000) merupakan anakanak. Secara global, antara 33,4 dan 46 juta orang kini hidup dengan HIV. Pada tahun 2005,
antara 3,4 dan 6,2 juta orang terinfeksi dan antara 2,4 dan 3,3 juta orang dengan AIDS meninggal
dunia, peningkatan dari 2003 dan jumlah terbesar sejak tahun 1981 (UNAIDS, 2006)
Afrika Sub-Sahara tetap merupakan wilayah terburuk yang terinfeksi, dengan perkiraan
21,6 sampai 27,4 juta jiwa kini hidup dengan HIV. Dua juta dari mereka adalah anak-anak yang
usianya lebih rendah dari 15 tahun. Lebih dari 64% dari semua orang yang hidup dengan HIV
ada di Afrika Sub Sahara, lebih dari tiga per empat (76%) dari semua wanita hidup dengan HIV.
Pada tahun 2005, terdapat 12.0 juta anak yatim/piatu AIDS hidup di Afrika Sub Sahara
(UNAIDS, 2006). Asia Selatan dan Asia Tenggara adalah terburuk kedua yang terinfeksi dengan
besar 15%. 500.000 anak-anak mati di region ini karena AIDS. Dua-tiga infeksi HIV/AIDS di
Asia muncul di India, dengawn perkiraan 5.7 juta infeksi (perkiraan 3.4 - 9.4 juta) (0.9% dari
populasi), melewati perkiraan di Afrika Selatan yang sebesar 5.5 juta (4.9-6.1 juta) (11.9% dari
populasi) infeksi, membuat negara ini dengan jumlah terbesar infeksi HIV di dunia (UNAIDS,
2006) Di 35 negara di Afrika dengan perataan terbesar, harapan hidup normal sebesar 48.3 tahun
- 6.5 tahun sedikit daripada akan menjadi tanpa penyakit (UNAIDS, 2001)
2.9 Pencegahan HIV/AIDS
2.9.1 Pencegahan Jangka Pendek

Upaya pencegahan AIDS jangka pendek adalah dengan KIE, memberikan informasi
kepada kelompok resiko tinggi bagaimana pola penyebaran virus AIDS (HIV), sehingga dapat
diketahui langkah-langkah pencegahannya.
1. Pencegahan Infeksi HIV Melaui Hubungan Seksual
HIV terdapat pada semua cairan tubuh penderita tetapi yang terbukti berperan dalam penularan
AIDS adalah mani, cairan vagina dan darah. HIV dapat menyebar melalui hubungan seksual
pria ke wanita, dari wanita ke pria dan dari pria ke pria. Setelah mengetahui cara penyebaran
HIV melaui hubungan seksual maka upaya pencegahan adalah dengan cara :

Tidak melakukan hubungan seksual. Walaupun cara ini sangat efektif, namun tidak mungkin
dilaksanakan sebab seks merupakan kebutuhan biologis.

Melakukan hubungan seksual hanya dengan seorang mitra seksual yang setia dan tidak
terinfeksi HIV (homogami)

Mengurangi jumlah mitra seksual sesedikit mungkin

Hindari hubungan seksual dengan kelompok rediko tinggi tertular AIDS.

Tidak melakukan hubungan anogenital.

Gunakan kondom mulai dari awal sampai akhir hubungan seksual dengan kelompok resiko
tinggi tertular AIDS dan pengidap HIV.

2. Pencegahan Infeksi HIV Melalui Darah


Darah merupakan media yang cocok untuk hidup virus AIDS. Penularan AIDS melalui darah
terjadi dengan :

Transfusi darah yang mengandung HIV.

Jarum suntik atau alat tusuk lainnya (akupuntur, tato, tindik) bekas pakai orang yang
mengidap HIV tanpa disterilkan dengan baik.

Pisau cukur, gunting kuku atau sikat gigi bekas pakai orang yang mengidap virus HIV.

Langkah-langkah untuk mencegah terjadinya penularan melalui darah adalah:

Darah yang digunakan untuk transfusi diusahakan bebas HIV dengan jalan memeriksa darah
donor. Hal ini masih belum dapat dilaksanakan sebab memerlukan biaya yang tingi serta
peralatan canggih karena prevalensi HIV di Indonesia masih rendah, maka pemeriksaan
donor darah hanya dengan uji petik.

Menghimbau kelompok resiko tinggi tertular AIDS untuk tidak menjadi donor darah. Apabila
terpaksa karena menolak, menjadi donor menyalahi kode etik, maka darah yang dicurigai
harus di buang.

Jarum suntik dan alat tusuk yang lain harus disterilisasikan secara baku setiap kali habis
dipakai.

Semua alat yang tercemar dengan cairan tubuh penderita AIDS harus disterillisasikan secara
baku

Kelompok penyalahgunaan narkotik harus menghentikan kebiasaan penyuntikan obat ke


dalam badannya serta menghentikan kebiasaan mengunakan jarum suntik bersama.

Gunakan jarum suntik sekali pakai (disposable)

Membakar semua alat bekas pakai pengidap HIV.

3. Pencegahan Infeksi HIV Melalui Ibu


Ibu hamil yang mengidap HIV dapat memindahkan virus tersebut kepada janinnya.
Penularan dapat terjadi pada waktu bayi di dalam kandungan, pada waktu persalinan dan sesudah
bayi di lahirkan. Upaya untuk mencegah agar tidak terjadi penularan hanya dengan himbauan
agar ibu yang terinfeksi HIV tidak hamil (Siregar, 2004)
2.9.2 Upaya Pencegahan Jangka Panjang
Penyebaran AIDS di Indonesia (Asia Pasifik) sebagian besar adalah karena hubungan
seksual, terutama dengan orang asing. Kasus AIDS yang menimpa orang Indonesia adalah
mereka yang pernah ke luar negeri dan mengadakan hubungan seksual dengan orang asing. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa resiko penularan dari suami pengidap HIV ke istrinya adalah
22% dan istri pengidap HIV ke suaminya adalah 8%. Namun ada penelitian lain yang
berpendapat bahwa resiko penularan suami ke istri atau istri ke suami dianggap sama.
Kemungkinan penularan tidak terganggu pada frekuensi hubungan seksual yang dilakukan suami
istri. Mengingat masalah seksual masih merupakan barang tabu di Indonesia, karena normanorma budaya dan agama yang masih kuat, sebetulnya masyarakat kita tidak perlu risau terhadap
penyebaran virus AIDS. Namun demikian kita tidak boleh lengah sebab negara kita merupakan
negara terbuka dan tahun 1991 adalah tahun melewati Indonesia.
Upaya jangka panjang yang harus kita lakukan untuk mencegah merajalelanya AIDS
adalah merubah sikap dan perilaku masyarakat dengan kegiatan yang meningkatkan norma-

norma agama maupun sosial sehingga masyarakat dapat berperilaku seksual yang bertanggung
jawab. Yang dimaksud dengan perilaku seksual yang bertanggung jawab adalah :
a. Tidak melakukan hubungan seksual sama sekali.
b. Hanya melakukan hubungan seksual dengan mitra seksual yang setia dan tidak terinfeksi
HIV (monogamy).
c. Menghindari hubungan seksual dengan wanita-wanita tuna susila.
d. Menghindari hubungan seksual dengan orang yang mempunyai lebih dari satu mitra
seksual.
e. Mengurangi jumlah mitra seksual sesedikit mungkin.
f. Mengurangi jumlah mitra seksual sesedikit mungkin
g. Hindari hubungan seksual dengan kelompok resiko tinggi tertular AIDS.
h. Tidak melakukan hubungan anogenital.
i. Gunakan kondom mulai dari awal sampai akhir hubungan seksual (Siregar, 2004)
2.10 Kondom
Kondom dapat mencegah penularan HIV dan juga memberikan perlindungan yang
signifikan terhadap infeksi seperti gonore, klamidia, HPV (human papillomavirus), sifilis, dan
herpes. Metode lain dari pengendalian kelahiran, seperti diafragma dengan spermisida, tidak
memberikan perlindungan yang memadai terhadap penularan infeksi HIV atau menular seksual
infeksi. Kondom dapat dibeli di toko obat (resep tidak diperlukan). Untuk orang-orang di
Columbia, kondom gratis juga tersedia di Pelayanan Kesehatan. Bahan lateks dan polyurethane
kondom

telah

terbukti

di

laboratorium

mampu

memblokir

transmisi

HIV, serta CMV, klamidia, gonore, dan, dalam banyak kasus herpes. Dalam sebuah penelitian
terhadap heteroseksual pasangan di mana salah satu pasangan yang terinfeksi HIV, tidak ada
yang tidak terinfeksi orang pada pasangan secara konsisten menggunakan kondom menjadi
terinfeksi, sedangkan 12 dari 122 mitra yang tidak menggunakan kondom menjadi terinfeksi.
(Pinsky dan Douglas, 2009)
Pada tahun 1994, "kondom wanita" menjadi tersedia secara komersial. Studi
menunjukkan bahwa kondom perempuan efektif dalam mencegah penularan HIV. Nama teknis
perangkat ini dilumasi kantong poliuretan. Ini adalah poliuretan perangkat yang dimasukkan
ke dalam vagina atau dubur untuk menciptakan sebuah penghalang pelindung dan mencegah
kontak dengan air mani selaput lendir pada vagina atau rektum. Keuntungan dari kondom adalah

bahwa mitra reseptif memiliki kontrol lebih besar atas penggunaan dan bahwa mereka dapat
dimasukkan berjam-jam sebelum hubungan seks. Kerugian mereka adalah bahwa mereka mahal
dan beberapa orang menemukan mereka tidak nyaman. (Pinsky dan Douglas, 2009)

BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN
4.1 Jenis dan Desain Penelitian
Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah desain cross sectional
dimana hubungan antara paparan dan efek yang diamati secara serentak pada individu-individu
dari populasi tunggal, pada suatu saat tertentu. Desain ini dapat mengukur hubungan antara

variabel independen dengan variabel dependen pada waktu yang sama dan dengan populasi yang
sama pula sehingga dapat mempersingkat waktu penelitian.
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini akan dilakukan pada bulan Juni tahun 2013 dan berlokasi di Kabupaten
Aceh Utara Provinsi Aceh
.
4.3 Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi penelitian adalah Pekerja Seks Komersial (PSK) Kemudian dari populasi
tersebut diambil sampel yang dapat mewakili populasi dengan teknik sistem random sampling .
Besar sampel dihitung dengan menggunakan rumus

besar sampel pada uji hipotesis beda

proporsi dua sisi

z
n=

1-/2

2 P(1 - P ) + z 1-

P1 (1 - P1 ) + P 2 (1 - P 2 )
2
( P1 - P 2 )

Keterangan:
n

= besar sampel yang diharapkan

Z1/2

= nilai z pada derajat kepercayaan 1- /2 (1,96)

Z1-/2 = nilai kekuatan uji yang diinginkan (90%)


P1

= proporsi hipertensi pada responden merokok (0,53)

P2

= proporsi hipertensi pada responden tidak merokok (0,46)

Jadi, jumlah sampel minimal yang akan diambil adalah


4.4 Pengumpulan Data
Pengumpulan data meliputi:
1. Data Primer
4. 5 Instrumen Penelitian

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuisioner.


4.6 Manajemen Data
Setelah data terkumpul dilaksanakan manajemen data dengan menggunakan SPSS, tahapantahapan sebagai berikut :
1. Coding ( mengkode data )
Pada tahap ini dilakukan kegiatan pengklasifikasian data dan pemberian kode dari
setiap jawaban bentuk angka dengan tujuan mempermudah dan mempercepat entry dan
analisa data.
2. Editing ( penyuntingan data )
Pada tahap ini dilakukan penyuntingan data sebelum proses entry data, Memeriksa
dan memastikan data yang terkumpul sudah benar dan dapat terbaca, sehingga dapat
mengurangi terjadinya kesalahan dalam pengisian dari tiap kuesioner.
3. Struktur data ( membuat struktur )
Pada tahap ini pengembangan dilakukan sesuai dengan analisis yang dilakukan yaitu
analisis kuantitatif. Struktur data menggunakan SPSS.
4. Entry data ( memasukkan data )
Pada tahap ini dilakukan setelah semua data manual terkumpul dan pengkodean untuk
pertanyaan-pertanyaan dalam kuesioner dalam penelitian ini dengan memasukkan data
tersebut ke program komputer yang digunakan yaitu SPSS.
5. Cleaning ( membersihkan data )
Pada tahap ini dilakukan pemeriksaan kembali/pengecekan ulang, terhadap data
yang telah terkumpul seperti kelengkapan pengisian, kesalahan pengisian, konsistensi
jawaban dari setiap kuesioner dan agar data yang berada di luar range penelitian tidak
diikut sertakan.
4. 7 Analisa Data
Analisa data dilakukan untuk menunjang kegiatan analisis sebagai upaya pembuktian
hipotesis maka teknik analisa yang digunakan adalah :
1. Analisa Univariat

Analisa ini bertujuan untuk mengetahui gambaran terhadap variabel-variabel dependen


dan independen yang diteliti dengan melihat gambaran distribusi frekuensi variabel
dependen dan independen yang akan diteliti meliputi Mean, Median, Standar Deviasi
serta nilai maksimum dan minimum yang digambarkan dalam bentuk tabel dan grafik.
2. Analisa Bivariat
Analisis Bivariat digunakan untuk melihat hubungan antara variabel dependen dan
independen dengan cara diagnosis data dan uji hipotesis dua variabel, karena variabel
dependen dan independen penelitian ini berjenis kategorik maka digunakan metode
statistik chi-square. Dengan menggunakan uji chi-square maka dapat diketahui ada atau
tidaknya hubungan yang bermakna.
3. Analisis Multivariat
Analisis multivariat dilakukan untuk mengetahui apakah variabel independen berhubugan
dengan variabel dependent juga dipengaruhi oleh variabel lain. Analisis yang digunakan adalah
regresi logistik ganda

Anda mungkin juga menyukai