BAB I
PENDAHULUAN
Hampir setiap pasangan di dunia menginginkan seorang anak, namun sayangnya tidak
setiap perkawinan dianugerahi keturunan. Di Indonesia terdapat sekitar 10-15% pasangan
mengalami infertilitas. Infertilitas adalah kegagalan sepasang suami istri untuk hamil selama 12
bulan atau lebih dengan koitus yang teratur dan tanpa menggunakan alat kontrasepsi. 1
Faktor-faktor yang dapat menyebabkan infertilitas dapat disebabkan oleh faktor suami
maupun faktor istri. Angka kejadian infertilitas karena faktor istri mencangkup 60-70%
dikarenakan adanya masalah pada ovarium yang mengakibatkan tidak terjadinya ovulasi atau
anovulasi sebanyak 35%. Anovulasi sendiri dapat disebabkan oleh bermacam-macam kelainan
seperti kelainan interaksi susunan saraf pusat (SSP)-hipotalamus, kelainan perangkat
hipotalamus-hipofisis, kelainan pada mekanisme umpan balik, kelainan pada ovarium (Sindroma
ovarium resisten gonadotropin, Sindroma luteinized unruptured follicle (LUF), dan Sindrom
ovarium polikistik). Peringkat utama infertilitas yang disebabkan oleh anovulasi dimiliki oleh
sindrom ovarium polikistik, yaitu sebanyak 70%. 2
BAB II
KERANGKA TEORI
Sindrom ovarium polikistik (SOPK) adalah merupakan kumpulan gejala dan tanda yang
terjadi akibat hiperandrogenisme dan gangguan ovulasi tanpa disertai adanya kelainan
hiperplasia adrenal kongenital, hiperprolaktinemia atau neoplasma yang mensekresi androgen.
Gejala yang timbul dapat bervariasi dari tanpa gejala sama sekali sampai gejala seperti
infertilitas, anovulasi kronik yang ditandai dengan amenorea, oligomenorea, gangguan haid atau
perdarahan uterus disfungsional dan hirsutisme.3
Penampakan utama pada SOPK adalah hiperandrogenisme dan anovulasi kronik yang
sering dihubungkan dengan resistensi insulin, serta perubahan frekuensi pengeluaran
gonadotropin-releasing hormone dan pengeluaran hormon-hormon gonadotropin lainnya.4
Hipotalamus dan hipofisis berperan penting dalam pengendalian perkembangan gonad
dan fungsi reproduksi. Fungsi gonad pada wanita secara langsung dikontrol oleh hormon-hormon
gonadotropik hipofisis anterior, follicle-stimulating hormone (FSH) dan luteinizing hormone
(LH). Kedua hormon ini, pada gilirannya, diatur oleh gonadotropin-releasing hormone (GnRH)
hipotalamus yang sekresinya pulsatif serta efek umpan-balik hormon-hormon gonad. Sedangkan
ovarium sebagai organ reproduksi primer wanita melakukan tugas ganda, yaitu menghasilkan
ovum dan menghasilkan hormon-hormon seks wanita seperti estrogen dan progesterone. Kedua
hormon ini bekerja bersama untuk mendorong fertilisasi ovum dan untuk mempersiapkan sistem
reproduksi wanita untuk kehamilan.
Selama fase folikel (paruh pertama siklus ovarium), folikel ovarium mengeluarkan
estrogen di bawah pengaruh FSH, LH, dan estrogen itu sendiri. Kadar estrogen yang rendah
tetapi harus meningkat tersebut menghambat sekresi FSH, yang menurun selama bagian terakhir
fase folikel, dan secara inkomplit menekan sekresi LH yang terus meningkat selama fase folikel.
Pada saat pengeluaran estrogen mencapai puncaknya, kadar estrogen yang tinggi memicu
lonjakan sekresi LH pada pertengahan siklus. Lonjakan LH, menyebabakan ovulasi yang
matang. Sekresi estrogen merosot sewaktu folikel mati pada ovulasi.5
Gambar 1.
Kontrol
lonjakan LH pada
saat ovulasi
Tahap-
tahap
awal
pertumbuhan
folikel
pra-antrum dan pematangan oosit tidak memerlukan stimulasi gonadotropik, namun bantuan
hormon diperlukan untuk membentuk antrum, perkembangan folikel lebih lanjut, dan sekresi
estrogen. Estrogen, FSH, dan LH semuanya diperlukan.
Pembentukan antrum diinduksi oleh FSH. Baik FSH maupun estrogen merangsang
proliferasi sel-sel granulosa. Baik FSH maupun LH diperlukan untuk sintesis dan sekresi
estrogen oleh folikel. Baik sel granulosa maupun sel teka berpartipasi dalam pembentukan
estrogen. Perubahan kolesterol menjadi estrogen memerlukan sejumlah langkah berurutan,
4
dengan langkah terakhir adalah perubahan androgen menjadi estrogen. Sel-sel teka banyak
menghasilkan androgen tetapi kapasitas mereka mengubah androgen menjadi estrogen terbatas.
Sel-sel granulosa, dipihak lain mudah mengubah androgen menjadi estrogen tetapi tidak mampu
membuat androgen sendiri. LH bekerja pada sel-sel teka untuk merangsang pembentukan
androgen, sementara FSH bekerja pada sel-sel granulosa untuk meningkatkan perubahan
androgen teka menjadi estrogen. Karena kadar basal FSH yang rendah sudah cukup untuk
mendorong perubahan menjadi estrogen ini, kecepatan sekresi estrogen oleh folikel terutama
bergantung pada kadar LH dalam darah, yang terus meningkat selama fase folikel. Selain itu,
sewaktu folikel terus tumbuh, estrogen yang dihasilkan juga meningkat karena bertambahnya
jumlah sel folikel penghasil estrogen.
Gambar
2.
tampaknya
karena
ovarium
menyebabkan
ovarium
utama
kelebihan produksi androgen di
yang
sejumlah
Sel theca yang membungkus folikel dan memproduksi androgen yang nantinya akan
dikonversi menjadi estrogen didalam ovarium menjadi sangat aktif dan responsif terhadap
stimulasi LH. Sel theca akan lebih besar dan akan menghasilkan androgen lebih banyak. Sel-sel
theca yang hiperaktif ini akan terhalang maturasinya sehingga akan menyebabkan sel-sel
granulosa tidak aktif dan aktifitas aromatisasinya menjadi minimal.
Akibat ketidakmatangan folikel-folikel tersebut maka terjadi pembentukan kista-kista
dengan diameter antara 2-6 mm dan masa aktif folikel akan memanjang, sehingga akan terbentuk
folikel-folikel berbentuk seperti kista yang dilapisi oleh sel-sel theca yang hiperplastik yang
mengalami luteinisasi sebagai respon peningkatan kadar LH.4
Gambar 3. Peningkatan produksi androgen oleh sel theca karena pengaruh LH yang tinggi
Hiperespons pada ovarium dan androgen adrenal pada LH dan kortikotropin menjadi
karakteristik wanita yang mengalami SOPK akibat hasil dari peningkatan stimulasi insulin secara
kronik. Terlihat pada gambar bahwa kombinasi dari peningkatan level androgen dan obesitas
6
Gambar 4.
Hubungan
Dalam
SOPK resistensi
pada SOPK
patogenesis
insulin
telah memperoleh peran penting dalam beberapa waktu. Insulin adalah hormon yang diperlukan
oleh sel untuk mendapatkan energi dari glukosa. Namun kadang-kadang sel tidak menunjukkan
respon yang memadai terhadap aktivitas insulin. Keadaan ini disebut sebagai resistensi insulin.
Resistensi insulin menyebabkan kenaikan kadar gula darah dan diabetes. Lebih dari 40%
penderita SOPK menunjukkan adanya resistensi insulin, dan lebih dari 10% diantaranya akan
menderita diabetes melitus tipe 2 saat berusia sekitar 40 tahun.. Kadar insulin yang tinggi seperti
ini dapat meningkatkan kadar hormon pria sehingga keluhan SOPK menjadi semakin parah.
7
Gangguan akibat dari resistensi insulin mengacu pada metabolisme glukosa. Kompensasi
akibat adanya hiperinsulinemia adalah peningkatan kerja insulin dan menyebabkan efek-efek
yang berlebihan pada organ lain termasuk stimulasi sekresi androgen ovarium oleh sel-sel
adrenal. Insulin juga dapat menurunkan produksi sex hormone-binding globulin (SHBG) di
liver.7
Gambar 5.
Beberapa
teori untuk
menjelaskan
patogenesis
SOPK
adekuatnya induksi terhadap enzim aromatisasi yang penting untuk pembentukan estradiol serta
menyebabkan kegagalan ovulasi.
B. Kelainan hiperandrogenisme
Hirsutisme
9
Pada wanita, hirsutisme didefinisikan sebagai adanya rambut terminal yang gelap dan
kasar yang berdistribusi sesuai pola rambut pada laki-laki. Rambut sering terlihat di atas bibir,
dagu, sekeliling puting susu, dan sepanjang linea alba abdomen. Beberapa pasien dapat
mengalami perkembangan karakterisktik seks pria (virilisasi) lainnya seperti penurunan ukuran
dada, suara berat, peningkatan massa otot, pembesaran klitoris. Untuk menentukan derajat
hirsutisme dapat digunakan sistem skoring Ferriman-Gallwey. Pada sistem ini, distribusi rambut
yang abnormal dinilai pada 9 bagian area tubuh dan dinilai dari angka 0-4.
C. Resistensi insulin
10
1.
3.
4.
terhadap kadar insulin yang normal. Resistensi insulin ini mengakibatkan pankreas bekerja lebih
keras sementara kadar gula yang tidak terolah pun meningkat. Beberapa penelitian
menyimpulkan gangguan metabolisme insulin inilah yang mengakibatkan wanita penderita
sindrom ovarium polikistik terancam mengalami penyakit diabetes melitus tiga kali lebih besar
daripada wanita normal. Selain itu wanita penderita sindrom ovarium polikistik juga beresiko
terkena penyakit jantung yang disebabkan oleh penyempitan pembuluh darah. Pada sindrom ini
juga cenderung menyimpan lemak dalam tubuhnya sehingga mudah menjadi terjadi obesitas .9
12
(testosteron
bebas,
testosteron
total,
dehydroepiandrosteron
sulfat,
dan
androstenedion). 11
Untuk mendiagnosa adanya SOPK diperlukan juga pemeriksaan-pemeriksaan penunjang.
Sindroma polikistik ovarium merupakan suatu diagnosis eksklusi. Sehingga pemeriksaan
penunjang yang dilakukan untuk mendiagnosis SOPK umumnya adalah pemeriksaan untuk
menyingkirkan adanya penyebab lain yang memberikan gambaran yang serupa dengan SOPK
Sampel untuk pemeriksaan laboratorium harus diambil saat pagi hari, pada pasien yang
dipuasakan, dan pada wanita dengan menstruasi yang reguler yaitu antara hari ke 5 sampai hari
ke 9 dari siklus menstruasinya.
Adanya peningkatan androgen dapat diketahui dengan mengukur kadar testosteran bebas
dan kadar testosteron total atau index androgen bebas. Kadar testosteron bebas yang meningkat
adalah suatu indikator yang sensitif untuk peningkatan hormon androgen.
Adapun pemeriksaan yang dilakukan untuk menyingkirkan penyakit lain, seperti:
Kadar serum hCG harus diperiksa untuk menyingkirkan kehamilan pada pasien dengan
oligomenorhea atau amenorrhea.
Pasien dengan tumor adrenal atau tumor ovarium yang menghasilkan androgen dapat juga
memberikan gambaran klinis hirsutisme dan amenorrhea. Namun, tumor ini biasanya sangat
progresif, dan pasien dapat memiliki kadar androgen yang tinggi. Kadar testosteronenya dapat
lebih besar dari 150 ng/dL, dan kadar DHEA-S nya mencapai 800 mcg/dL atau lebih.
Hiperplasia adrenal kongenital dengan onset terlambat oleh karena defisiensi 21-hydrolase dapat
disingkirkan dengan mengukur kadar 17-hydroxyprogesteron serum setelah tes stimulasi
cosyntropin. Kadar 17-hydroxyprogesteron kurang dari 1000 ng/dL, yang diukur 60 menit
setelah tes stimulasi cosyntropin, menyingkirkan adanya hiperplasia adrenal kongenital dengan
onset terlambat
13
Sindroma Cushing dapat disingkirkan dengan memeriksa kadar kortisol bebas dan kreatinin pada
sample urin 24 jam. Kadar kortisol bebas pada urin 24 jam yang 4 kali lipat dari batas normal
adalah kadar diagnostik untuk sindroma cushing.
Hiperprolaktinemia dapat disingkirkan dengan memeriksa konsentrasi serum prolaktin saat
puasa.
Oleh
karena prevalensi toleransi glukosa terganggu dan diabetes mellitus tipe 2 pada wanita dengan
SOPK, test toleransi 75 gram glukosa dapat dilakukan. Glukosa 2 jam postprandial kurang dari
140 mg/dL mengindikasikan toleransi glukosa yang normal, nilai 140-199 mg/dL
14
mengindikasikan adanya toleransi glukosa yang terganggu, dan nilai 200 mg/dL atau lebih
mengindikasikan diabetes mellitus.
Profil lipid saat puasa biasanya abnormal dan menunjukkan adanya kenaikan trigliserida
dan kadar kolesterol lipoprotein berdensitas rendah dan penurunan kadar HDL-C.
Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan untuk mendiagnosis adanya SOPK adalah dengan
suatu studi pencitraan yaitu dengan sonografi. Secara histologis polikistik ovarium tampak
sebagai peningkatan volume, jumlah dari folikel matang, ketebalan stromal korteks. Banyak dari
perubahan jaringan ini dapat dilihat melalui sonografi, dan pemeriksaan sonografis pelvik
biasanya digunakan untuk mengevaluasi ovarium pada wanita dengan kecurigaan SOPK.
Sonografi penting pada wanita dengan SOPK untuk melihat kesuburan dan pada wanita dengan
tanda virilisasi.
Kriteria sonografi untuk polikistik ovarii dari konferensi Rotterdam tahun 2003 temasuk
kista kecil 12 buah (diameter 2-9 mm) atau peningkatan volume ovarium (>10mL) atau
keduanya. Terkadang ada peningkatan jumlah stroma bersamaan dengan peningkatan folikel.
Hanya satu ovarium dengan penemuan ini cukup untuk mendefinisikan SOPK. Bagaimanapun
juga, kriteria tidak dapat diterapkan pada wanita yang mengkonsumsi pil kontrasepsi kombinasi.
Lebih lanjut lagi, beberapa konferensi telah menetapkan kriteria diagnostik untuk menegakkan
sindroma polikistik ovarii ini. Seperti sebuah konferensi para ahli pada tahun 1990 yang
disponsori oleh National Institue of Child Health and Human Disease dari United States National
Institutes of Health membuat suatu kriteria diagnosis dari SOPK, yaitu :
1. oligo-ovulasi atau anovulasi yang bermanifestasi sebagai oligomenorea dan amenorrhea.
2. Hiperandrogenisme (secara klinis ada peningkatan androgen) atau hiperandrogenemia (secara
biokimiawi terdapat peningkatan hormon androgen)
3. Telah disingkirkannya penyebab-penyebab lain yang dapat menimbulkan kelainan mestruasi dan
hiperandrogenisme.
Ada juga kriteria diagnosis yang direkomendasikan oleh The European Society for
Human Reproduction and Embryology dan The American Society for Reproductive Medicine .
15
Dimana untuk menegakkan diagnosis SOPK apabila sekurangnya 2 dari kriteria yang ada
terpenuhi. Kriteria diagnosisnya adalah:
1. oligo-ovulasi atau anovulasi yang bermanifestasi sebagai oligomenorea dan amenorrhea.
2. Hiperandrogenisme (secara klinis ada peningkatan androgen) atau hiperandrogenemia (secara
biokimiawi terdapat peningkatan hormon androgen)
3. Polikistik ovarii ( seperti yang tampak melalui pemeriksaan ultrasonografi.
Polikistik ovarii didefinisikan sebagai adanya 12 atau lebih folikel pada sekurangnya 1
ovarium dengan ukuran diameter 2-9 mm atau volume total ovarium > 10 cm3.
16
untungnya terjadi sangat jarang dan hampir selalu berhubungan dengan kondisi hipoksia yang
menjadi kontraindikasi terapi dengan metformin.13
Infertilitas
Pengobatan terhadap infertilitas akibat gangguan ovulasi terdiri dari bermacam-macam
modalitas. Cara konvensional yang paling sering dilakukan adalah induksi ovulasi dengan
preparat anti estrogen clomiphene citrate (CC). Preparat lain yang juga sering digunakan
termasuk preparat gonadotropin (Human Menopausal Gonadotropin). Cara bedah untuk memicu
ovulasi seperti tusukan elektrokauter pada ovarium (TEKO)/ovarian drilling dengan laparoskopi
juga mulai banyak digunakan karena diperkirakan angka keberhasilan untuk hamil lebih tinggi
dibandingkan dengan terapi konvensional.14
Terapi lini utama yang dapat diberikan untuk menginduksi ovulasi dan infertilitas pada
pasien SOPK diantaranya metformin dan CC, dapat diberikan tunggal atau kombinasi.
Clomiphene citrate merupakan estrogen lemah sintetis yang meniru aktivitas antagonis
estrogen bila diberikan pada dosis farmakologi khas untuk induksi ovulasi. Fungsi hipofisehipotalamus-ovarium axis diperlukan untuk kerja CC yang tepat. Lebih khusus lagi, CC
diperkirakan dapat mengikat dan memblokir reseptor estrogen di hipotalamus untuk periode
yang lama, sehingga mengurangi umpan balik estrogen normal hipotalamus-ovarium. Blokade
ini meningkatkan jumlah GnRH di beberapa wanita yang anovulatoir. Peningkatan kadar GnRH
menyebabkan peningkatan sekresi hipofise gonadotropin, yang memperbaiki perkembangan
folikel ovarium. Clomiphene citrate juga dapat mempengaruhi ovulasi melalui tindakan langsung
pada hipofisis atau ovarium. Sayangnya, efek antiestrogen CC pada tingkat endometrium atau
serviks memiliki efek yang merugikan pada kesuburan pada sebagian kecil individu. Penggunaan
CC untuk induksi ovulasi memiliki hasil yang sangat baik. Bahkan, pada beberapa populasi, 80%
hingga 85% wanita akan berovulasi dan 40% akan hamil.14
Metformin adalah suatu biguanide, obat yang paling banyak digunakan sebagai terapi
diabetes tipe II di seluruh dunia. Kerja utamanya adalah untuk menghambat produksi glukosa
17
hepatik, dan juga meningkatkan sensitivitas jaringan perifer terhadap insulin. Peningkatan
sensitivitas insulin, yang memberikan kontribusi terhadap kemanjuran metformin dalam terapi
diabetes, juga terjadi pada wanita non diabetik dengan sindrom ovarium polikistik. Pada wanita
dengan sindrom ini, terapi jangka panjang dengan metformin dapat meningkatkan ovulasi,
memperbaiki siklus menstruasi, dan menurunkan kadar androgen serum serta penggunaan
metformin juga dapat memperbaiki hirsutism.
18
DAFTAR PUSTAKA
1. Winkjosastro, hanifa . Ilmu Kandungan.Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohadjo.2005.
2. Fairley, hamilton diana, Alison Taylor.2009. Anovulation. BMJ 2009; 327: 546-549
3. Sari, flori ratna. http://sweetnessofsweat.blogspot.com/2010/05/sindrom-ovarium-polikistikdiam-diam.html. 2001
4. Ahmed, M.I. Naltrexone treatment in clomiphene resistant woman with polycystic ovary
syndrome. Human reproduction 2008; 23(11):2564-2569.
5. Sherwood, Lauralee .Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Jakarta : EGC. 2001
6. Hadibroto, budi. Sindrom ovarium polikistik. Majalah kedokteran nusantara FKUSU.2005.
38(4):333-337
7. Brassard, maryse. Et all. Basic Infertility Including Polycystic Ovary Syndrom .Med Clin N
Am;2008: 92 : 11631192.
8. Speroff, L, Frist, MA. 2005. Clinical Gynecplogic Endocrinology And Infertility. 2005;7(2):
493-511. Lippincoth Williams And Wilkins
9. Cibula D, Cifkova R, Fanta M, et al. Increased risk of non-insulin dependent diabetes mellitus,
arterial hypertension and coronary artery disease in perimenopausal women with a history of the
polycystic ovary syndrome. Hum Reprod 2000;15(4):785-9.
10. Aida, hanjalic-beck. et all. Metformin versus acarbose therapy in patients with polycystic ovary
syndrome (PCOS): a prospective randomised double-blind study. Gynecological Endocrinology.
2010; 26(9): 690697
11. Lamb JD, Johnstone EB, Rousseau J-A, et al. Physical activity in women with polycystic ovary
syndrome: prevalence, predictors, and positive
12. Norman RJ, Davies MJ, Lord J, Moran LJ. The role of lifestyle modification in polycystic ovary
syndrome. Trends Endocrinol Metab. 2002;13: 251257.
13. Nestler JE. Metformin for the treatment of the polycystic ovary syndrome. N Engl J Med 2008;
358: 4754.
14. Riesma,
viovica.
http://riesmaviovica.blogspot.com/2011/10/polycystic-ovary-syndromepcos.html. 2011
19