A2 Referat TB Paru
A2 Referat TB Paru
PENDAHULUAN
sampai rasa terbakar di kaki, gatal dan kemerahan kulit, ikterus, tuli hingga
gangguan fungsi hati (hepatotoksik) dari yang ringan sampai berat berupa
nekrosis jaringan hati. Obat anti tuberkulosis yang sering hepatotoksik adalah
INH, Rifampisin dan Pirazinamid. Hepatotoksitas mengakibatkan peningkatan
kadar transaminase darah (SGPT/SGOT) sampai pada hepatitis fulminan,
akibat pemakaian INH dan/ Rifampisin (Depkes RI, 2006; Arsyad, 1996;
Sudoyo, 2007).
Pembahasan lebih lanjut mengenai TB paru akan dibahas pada referat ini.
1.2 Tujuan
Tujuan dari penulisan referat ini adalah untuk mengetahui definisi,
etiologi, patofisiologi, manifestasi klinik, diagnosis, dan penatalaksanaan TB
paru.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Penyakit tuberkulosis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh
Mycobacterium
tuberculosis.
Sebagian
besar
kuman
Mycobacterium
(Daniel, 1999)
Gambar 2.1
Mycobacterium tuberculosis pada pewarnaan tahan asam
Gambar di atas adalah Mycobacterium tuberculosis
yang dilihat
dengan pewarnaan tahan asam dan berwarna merah. Sebagian besar bakteri
ini terdiri atas asam lemak (lipid), peptidoglikan dan arabinoman. Lipid
inilah yang menyebabkan kuman mempunyai sifat khusus yaitu tahan
terhadap asam pada pewarnaan sehingga disebut pula sebagai Bakteri Tahan
Asam (BTA) (Daniel, 1999).
Di dalam jaringan Mycobacterium tuberculosis hidup sebagai parasit
intraseluler yakni dalam sitoplasma makrofag. Sifat lain bakteri ini adalah
aerob, sehingga bagian apikal merupakan tempat predileksi penyakit
tuberkulosis (Bahar, 2007).
2.3 Cara penularan
Sumber penularan adalah melalui pasien tuberkulosis paru BTA (+).
Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam
bentuk droplet (percikan dahak). Kuman yang berada di dalam droplet dapat
bertahan di udara pada suhu kamar selama beberapa jam dan dapat
menginfeksi individu lain bila terhirup ke dalam saluran nafas. Kuman
tuberkulosis yang masuk ke dalam tubuh manusia melalui pernafasan dapat
menyebar dari paru ke bagian tubuh lainnya melalui sistem peredaran darah,
sistem saluran limfe, saluran pernafasan, atau penyebaran langsung ke
bagian-bagian tubuh lainnya (Depkes RI, 2006).
2.4 Risiko penularan
Risiko penularan tiap tahun (Annual Risk of Tuberculosis Infection =
ARTI) di Indonesia dianggap cukup tinggi dan bervariasi antara 1-3 %. Pada
daerah dengan ARTI sebesar 1% mempunyai arti bahwa pada tiap tahunnya
diantara 1000 penduduk, 10 orang akan terinfeksi. Sebagian besar orang yang
terinfeksi tidak akan menderita tuberkulosis, hanya sekitar 10% dari yang
terinfeksi yang akan menjadi penderita tuberkulosis (Depkes RI, 2006).
2.5 Patogenesis tuberkulosis
2.5.1 Infeksi primer
Infeksi primer terjadi saat seseorang terpapar pertama kali dengan kuman
tuberkulosis. Droplet yang terhirup sangat kecil ukurannya, sehingga dapat
melewati sistem pertahanan mukosilier bronkus dan terus berjalan sampai ke
alveolus dan menetap di sana. Infeksi dimulai saat kuman tuberkulosis
berhasil berkembang biak dengan cara membelah diri di paru yang
mengakibatkan radang dalam paru. Saluran limfe akan membawa kuman ke
kelenjar limfe di sekitar hilus paru, dan ini disebut kompleks primer. Waktu
terjadinya infeksi sampai pembentukan kompleks primer adalah 4-6 minggu.
Adanya infeksi dapat dibuktikan dengan terjadi perubahan reaksi tuberkulin
dari negatif menjadi positif. Kelanjutan setelah infeksi primer tergantung
kuman yang masuk dan besarnya respon daya tahan tubuh (imunitas seluler).
Pada umumnya respon daya tahan tubuh tersebut dapat menghentikan
(Bahar, 2007)
Gambar 2.2
Tuberkulosis Yang Sudah Lanjut Pada Foto Rontgen Dada
2.6.4 Pemeriksaan bakteriologis
a. Sputum
Tuberkulosis paru pada orang dewasa dapat ditegakkan dengan
ditemukannya BTA positif pada pemeriksaan dahak secara mikroskopis. Hasil
pemeriksaan dinyatakan positif apabila sedikitnya dua dari tiga pemeriksaan
dahak SPS (Sewaktu-Pagi-Sewaktu) BTA hasilnya positif (Depkes RI, 2006).
Tersangka
Penderita TB
(suspek TB)
Periksa Dahak Sewaktu, Pagi,
Sewaktu (SPS)
10
Hasil BTA
+++
++-
Hasil BTA
+--
Periksa Rontgen
Dada
Hasil
Mendukung
TB
Hasil BTA
---
Beri Antibiotik
Spektrum Luas
Hasil Tidak
Mendukung
TB
Tidak Ada
Perbaikan
Ada
Perbaikan
Hasil BTA
---
Hasil BTA
+++
++-
Hasil
Mendukun
g TB
Hasil
Rontgen
Negatif
TB BTA
Negatif
Rontgen
Positif
Bukan
TBC,
Penyakit
Lain
Gambar 2.3
Alur Diagnosis TB paru
11
12
adalah reaksi alergi tipe lambat. Setelah 48-72 jam tuberkulin disuntikkan,
akan timbul reaksi berupa indurasi kemerahan yang terdiri dari infiltrat
limfosit yakni reaksi persenyawaan antara antibodi seluler dan antigen
tuberkulin. Cara penyuntikan tes tuberkulin dapat dilihat pada gambar di
bawah ini (Bahar, 2007):
(Bahar, 2007)
Gambar 2.4
Penyuntikan Tes Tuberkulin
Berdasarkan indurasinya maka hasil tes mantoux dibagi dalam (Bahar,
2007): a). Indurasi 0-5 mm (diameternya) : Mantoux negatif = golongan no
sensitivity. Di sini peran antibodi humoral paling menonjol. b). Indurasi 6-9
mm : Hasil meragukan = golongan normal sensitivity. Di sini peran antibodi
humoral masih menonjol. c). Indurasi 10-15 mm : Mantoux positif =
golongan low grade sensitivity. Di sini peran kedua antibodi seimbang. d).
Indurasi > 15 mm : Mantoux positif kuat = golongan hypersensitivity. Di sini
peran antibodi seluler paling menonjol.
Biasanya hampir seluruh penderita TB paru memberikan reaksi mantoux
yang positif (99,8%). Kelemahan tes ini adalah adanya positif palsu yakni
pada pemberian BCG atau terinfeksi dengan Mycobacterium lain, negatif
palsu pada pasien yang baru 2-10 minggu terpajan tuberkulosis, anergi,
penyakit sistemik serta (Sarkoidosis, LE), penyakit eksantematous dengan
13
penderita
tuberkulosis
berdasarkan
riwayat
pengobatan
sebelumnya, yaitu :
a. Kasus baru
Kasus baru adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau
sudah pernah mengkonsumsi OAT kurang dari satu bulan (30 dosis harian).
b. Kambuh (relaps)
Kambuh
14
Penderita pindahan tersebut harus membawa surat rujukan / pindah (form TB.
09).
d. Setelah lalai (pengobatan setelah default / drop out)
Setelah lalai (pengobatan setelah default / drop out) adalah pasien yang
sudah berobat paling kurang 1 bulan, dan berhenti 2 bulan atau lebih,
kemudian datang kembali berobat. Umumnya penderita tersebut kembali
dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif.
e. Gagal
Gagal adalah pasien BTA positif yang masih tetap positif atau kembali
menjadi positif pada akhir bulan kelima (satu bulan sebelum akhir
pengobatan) atau pada akhir pengobatan. Atau penderita dengan hasil BTA
negatif rontgen positif pada akhir bulan kedua pengobatan.
f. Kasus kronis
Kasus kronis adalah pasien dengan hasil pemeriksaan masih BTA positif
setelah selesai pengobatan ulang kategori II dengan pengawasan yang baik.
g. Tuberkulosis resistensi ganda
Tuberkulosis resistensi ganda adalah tuberkulosis yang menunjukkan
resistensi terhadap Rifampisin dan INH dengan/tanpa OAT lainnya (Depkes
RI, 2006).
2.9 Pengobatan Tuberkulosis Paru
2.9.1 Prinsip pengobatan
Terdapat 2 macam aktifitas/sifat obat terhadap TB yaitu aktivitas
bakterisid di mana obat bersifat membunuh kumankuman yang sedang
tumbuh (metabolismenya masih aktif) dan aktivitas sterilisasi, obat bersifat
15
16
17
bakterisid
Streptomisin
(S)
bakterisid
Etambutol
bakteriostatik
(E)
(Depkes RI, 2006; Bahar & Amin, 2007).
18
III
IV
2 SHRZE / 1
HRZE
2 SHRZE / 1
HRZE
5 H3R3E3
5 HRE
2 HRZ atau
6 HE
2H3R3Z3
2 HRZ atau
2 HR/4H
2H3R3Z3
2 HRZ atau
2 H3R3/4H
2H3R3Z3
TIDAK DIPERGUNAKAN
(merujuk ke penuntun WHO
guna pemakaian obat lini kedua
yang diawasi pada pusat-pusat
spesialis)
19
Pengobatan fase inisial regimennya terdiri dari 2HRZE (S) setiap hari
selama 2 bulan obat H, R, Z, E atau S. Sputum BTA awal yang positif setelah
2 bulan diharapkan menjadi negatif, dan kemudian dilanjutkan ke fase
lanjutan 4HR atau 4 H3 R3 atau 6 HE. Apabila sputum BTA masih positif
setelah 2 bulan, fase intensif diperpanjang dengan 4 minggu lagi tanpa
melihat apakah sputum sudah negatif atau tidak.
Kategori II : 2HRZES/1HRZE/5H3R3E3
Pengobatan fase inisial terdiri dari 2HRZES/1HRZE yaitu R dengan H,
Z, E, setiap hari selama 3 bulan, ditambah dengan S selama 2 bulan pertama.
Apabila sputum BTA menjadi negatif fase lanjutan bisa segera dimulai.
Apabila sputum BTA masih positif pada minggu ke-12, fase inisial dengan 4
obat dilanjutkan 1 bulan lagi. Bila akhir bulan ke-2 sputum BTA masih
positif, semua obat dihentikan selama 2-3 hari dan dilakukan kultur sputum
untuk uji kepekaan, obat dilanjutkan memakai fase lanjutan, yaitu 5H3R3E3
atau 5 HRE.
Kategori III : 2HRZ/2H3R3
Pengobatan fase inisial terdiri dari 2HRZ atau 2 H 3R3, yang dilanjutkan
dengan fase lanjutan 2HR atau 2 H3R3.
Kategori IV : Rujuk ke ahli paru atau menggunakan INH seumur hidup
Pada pasien kategori ini mungkin mengalami resistensi ganda,
sputumnya harus dikultur dan dilakukan uji kepekaan obat. Seumur hidup
diberikan H saja sesuai rekomendasi WHO atau menggunakan pengobatan
TB resistensi ganda (MDR-TB).
Selain 4 kategori di atas, disediakan juga paduan obat sisipan (HRZE).
20
Rifampisin (R)
harian : 5mg/kg BB
intermiten : 10 mg/kg BB 3x seminggu
harian = intermiten : 10 mg/kgBB
harian : 25mg/kg BB
intermiten : 35 mg/kg BB 3x seminggu
Streptomisin (S) harian = intermiten : 15 mg/kgBB
usia sampai 60 th : 0,75 gr/hari
usia > 60 th : 0,50 gr/hari
Etambutol (E)
harian : 15mg/kg BB
intermiten : 30 mg/kg BB 3x seminggu
(Depkes RI, 2006; Bahar & Amin, 2007)
Pirazinamid (Z)
21
kategori I dan II. Tablet OAT-KDT ini adalah kombinasi 2 atau 4 jenis obat
dalam 1 tablet. Dosisnya (jumlah tablet yang diminum) disesuaikan dengan
berat badan pasien, paduan ini dikemas dalam 1 paket untuk 1 pasien dalam 1
masa pengobatan. Dosis paduan OAT-KDT untuk kategori I, II dan sisipan
dapat dilihat pada tabel di bawah ini (Depkes RI, 2006) :
Tabel 2.4 Dosis Paduan OAT KDT Kategori I : 2(RHZE)/4(RH)3
Berat badan
Tahap Intensif tiap hari Tahap Lanjutan 3x seminggu
selama 56 hari
selama 16 minggu
RHZE (150/75/400/275)
RH (150/150)
30 37 kg
2 tablet 4KDT
2 tablet 4KDT
38 54 kg
3 tablet 4KDT
3 tablet 4KDT
55 70 kg
4 tablet 4KDT
4 tablet 4KDT
> 71 kg
5 tablet 4KDT
5 tablet 4KDT
(Depkes RI, 2006)
Tabel 2.5 Dosis Paduan OAT KDT Kategori II: 2(RHZE)S/(RHZE)/5(HR)3E3
Berat
Tahap Intensif tiap hari
Tahap Lanjutan3x seminggu
badan
RHZE (150/75/400/275)
RH (150/150) + E (400)
+S
Selama 58 hari
Selama 28 hari Selama 2 Minggu
30 37 kg 2 tab 4KDT + 500mg
2 tab 4KDT
2 tab 2KDT + 2 tab
Streptomisin inj
Etambutol
38 54 kg 3 tab 4KDT + 750mg
3 tab 4KDT
3 tab 2KDT + 3 tab
Streptomisin inj
Etambutol
55 70 kg 4 tab 4KDT + 1000mg
4 tab 4KDT
4 tab 2KDT + 4 tab
Streptomisin inj
Etambutol
> 71 kg
5 tab 4KDT + 1000mg
5 tab 4KDT 5 tab 2KDT + 5 tab
Streptomisin inj
Etambutol
(Depkes RI, 2006)
Tabel 2.6 Dosis OAT untuk Sisipan
Berat Badan
Tahap Intensif tiap hari selama 28 hari
RHZE (150/75/400/275)
30 37 kg
2 tablet 4KDT
38 54 kg
3 tablet 4KDT
55 70 kg
4 tablet 4KDT
71 kg
5 tablet 4KDT
(Depkes RI, 2006)
2.9.7 Efek samping pengobatan
22
gatal-gatal
kemerahan
kulit, sindrom flu, sindrom
perut.
Pirazinamid (Z)
Reaksi hipersensitifitas :
demam,
mual
dan
kemerahan
Streptomisin (S)
Reaksi hipersensitifitas :
demam, sakit kepala,
muntah dan eritema pada
Hepatitis,
sindrom
respirasi yang ditandai
dengan
sesak
nafas,
kadang disertai dengan
kolaps
atau
renjatan
(syok), purpura, anemia
hemolitik yang akut, gagal
ginjal
Hepatitis, nyeri sendi,
serangan arthritis gout
Kerusakan saraf
VIII
yang berkaitan dengan
keseimbangan
dan
23
kulit
Gangguan
penglihatan
berupa
berkurangnya
ketajaman penglihatan
(Depkes RI, 2006; Bahar & Amin, 2007)
Etambutol (E)
pendengaran
Buta warna untuk warna
merah dan hijau
Health
Organization
(1993)
menjelaskan
bahwa
hasil
24
25
BAB 3
KESIMPULAN
1. Tuberkulosis adalah penyakit infeksi bakteri kronis yang menular, sebagian
besar menyerang paru tetapi juga dapat menyerang organ tubuh lainnya.
2. Tuberkulosis
paru
disebabkan
oleh
infeksi
bakteri
Mycobacterium
tuberculosis.
3. Sumber penularan adalah pasien TB paru BTA (+) saat batuk/bersin, bakteri
menyebar ke udara dalam bentuk droplet.
4. Patogenesis TB paru adalah saat droplet terhirup melewati sistem pertahanan
mukosilier bronkus dan terus berjalan sampai ke alveolus dan menetap di
sana. Kelanjutan dari proses ini bergantung dari daya tahan tubuh masingmasing individu.
5. Diagnosis
ditegakan
berdasarkan
anamnesis,
pemeriksaan
fisik
dan
pemeriksaan penunjang.
6. Gejala klinis utama TB apru adalah batuk terus menerus dan berdahak selama
3 minggu atau lebih. Gejala tambahan yang mungkin menyertai adalah batuk
darah, sesak nafas dan rasa nyeri dada, badan lemah, nafsu makan menurun,
berat badan turun, rasa kurang enak badan (malaise), berkeringat malam
walaupun tanpa kegiatan dan demam/meriang lebih dari sebulan
7. Komplikasi TB paru antara lain dapat timbul pleuritis, efusi pleura, empiema,
laringitis, usus Poncets arthropathy. Sedangkan komplikasi lanjut dapat
menyebabkan obstruksi jalan nafas, kerusakan parenkim paru, kor pulmonal,
amiloidosis, karsinoma paru, dan sindrom gagal napas (sering terjadi pada TB
milier dan kavitas TB)
8. Tipe pasien TB paru berdasarkan riwayat pengobatan dibagi menjadi: kasus
baru, relaps, drop out, gagal, pindahan, kasus kroinis dan tuberkulosis
resistensi ganda.
9. Pengobatan TB paru menurut strategi DOTS diberikan selama 6-8 bulan
dengan menggunakan paduan beberapa obat atau diberikan dalam bentuk
kombinasi dengan jumlah yang tepat dan teratur, supaya semua kuman dapat
dibunuh. Obat-obat yang dipergunakan sebagai obat anti tuberkulosis (OAT)
26
27
yaitu : Isoniazid (INH), Rifampisin (R), Pirazinamid (Z), Streptomisin (S) dan
Etambutol (E)
10. Hasil pengobatan TB paru dbedakan menjadi: sembuh, pengobatan lengkap,
gagal, putus berobat, dan meninggal.
11. Evaluasi pengobatan dapat mengguanakn metode klinis, bakteriologis, dan
radiologis.
28
DAFTAR PUSTAKA
Aditama, TY,. Chairil, AS,. 2002. Jurnal Tuberkulosis Indonesia. Jakarta :
Perkumpulan Pemberantasan Tuberkulosis Indonesia.
Amirudin, Rifai. 2007. Fisiologi dan Biokimia Hati. Dalam : Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Edisi 4 Jilid 1. Jakarta : Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit
Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. pp : 415-419
Arsyad, Zulkarnain. 1996. Evaluasi FaaI Hati pada Penderita Tuberkulosis Paru
yang Mendapat Terapi Obat Anti Tuberkulosis dalam Cermin Dunia
Kedokteran No. 110, 1996 15.
Bahar, A., 2007. Tuberkulosis Paru dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II,
Edisi IV. Jakarta : BPFKUI; 988-994.
Bahar, A., Zulkifli Amin. 2007. Pengobatan Tuberkulosis Mutakhir dalam Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II, Edisi IV. Jakarta : BPFKUI; 9951000.
Bayupurnama, Putut. 2007. Hepatoksisitas karena Obat dalam Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid I, Edisi IV. Jakarta : BPFKUI;471-474.
Brooks, G.F., Butel, J. S. and Morse, S. A., 2004.
Kesehatan
Republik
Indonesia.
2006.
Pedoman
Nasional
29