Anda di halaman 1dari 95

i

ii

KAPAL OLENG
BERLAYAR DARI JOGJA BERLABUH DI SKANDINAVIA

Catatan Perjalananku Meraih Beasiswa


Studi di Swedia

Sidiq Hari Madya

iii

Published by

Supported by

2015

www.kongko.co

iv

Kan ku arungi
samudera dunia
Tanpa henti
pancarkan cahaya
Sebagai anak bangsa yang mengabdi
Raih semua asa untukmu negeri
Sagara Jayasvarna
Kami laut emasmu oh Indonesia
Sagara Jayasvarna
Satukan tekad menuju
Indonesia Jaya
Terimakasihku
tuk pejuang bangsa
Kini waktuku
tuk balas semua jasa
Beriku gelombang kan kuterjang
Beriku perompak ku tetap menang

(Sagara Jayasvarna, cipt. Fergie Verantianes)

MENGAPA KAPAL OLENG?

apal Oleng menyimbolkan situasi yang penuh


dengan rasa was-was dan kecemasan karena
dihadapkan dengan ancaman tenggelam. Aku
menggunakan
istilah
ini
untuk
menggambarkan
perjalananku melanjutkan studi S2 ke luar negeri. Kapal
oleng berkaitan erat dengan pelayaran. Kabar baik
mendapat beasiswa aku peroleh ketika berada di
pelabuhan, malam sebelum berlayar dalam program
Ekspedisi Nusantara Jaya. Sebagai amatiran yang coba
ikut-ikutan berlayar, aku selalu was-was jika berada di atas
kapal karena membayangkan suatu saat kapal bisa oleng.
Angkatan penerima beasiswa dimana aku berada di
dalamnya mengusung tema kemaritiman dengan nama
Sagara Jayasvarna yang artinya Kelautan, Kejayaan,
Keemasan. Di angkatan itu aku bergabung dalam
kelompok yang selalu meneriakkan yel-yel Kapten! kapal
kita oleng Kapten!. Aku memilih Kapal Oleng sebagai
representasi situasi yang merangkai garis lurus
perjalananku sejak berjuang sampai meraih kesempatan
studi.
Ebook ini aku sadur dari penggalan buku harian yang aku
narasikan ulang agar ceritanya nyambung dan enak
dibaca. Isinya cuma tiga bagian yang keseluruhannya
merupakan curhatan dari niatanku untuk melanjutkan
studi,
perjuanganku
melamar
beasiswa,
sampai
kedatanganku di Swedia. Atas rampungnya e-book ini,
terimakasih aku ucapkan kepada orang-orang yang telah
berkontribusi besar. Kedua orang tuaku: Papah (alm) yang
telah mewasiatkanku untuk selalu menempatkan ilmu

vi

diatas harta, Mamah yang telah memberiku restu untuk


studi di luar negeri, dan Mas Gun yang selalu
mendukungku secara moral dan finansial sampai aku
meraih kesempatan melanjutkan studi. Selebihnya kepada
dosen dan guru-guruku, saudara dan teman-teman yang
tak bisa aku sebut namanya satu-persatu. Teman-temanku
di Leisure Community, EnglishDiscuss, Jogja Berkebun,
Ngangsu Kawruh, The Dream Team, Kontrakan JW3, Tim
Ekspedisi Nusantara Jaya Kepulauan Seribu, Sagara
Jayasvarna, dan PPI Swedia.
Catatan ini adalah persembahan kecilku untuk temanteman dan adik-adikku di mana pun berada agar tetap
semangat menimba ilmu dan terus bercita-cita tinggi.
Selamat membaca, semoga bisa mengambil inspirasi!
Stockholm, 17 Oktober 2015

Sidiq Hari Madya

vii

DAFTAR ISI
MENGAPA KAPAL OLENG?
DAFTAR ISI
DAFTAR FOTO
BAGIAN I
BAGIAN II
BAGIAN III

vi
viii
ix

KISAH PERJALANANKU MERAIH


KESEMPATAN STUDI DI SWEDIA

KISAH PERJALANANKU MERAIH


BEASISWA LPDP

28

KISAH KEDATANGANKU DI
SWEDIA

52

PENULIS

85

viii

DAFTAR FOTO
Ibuku mendampingiku wisuda
Aku dan teman-teman EnglishDiscuss
setelah makan malam bersama
Selfie bersama para penggagas Leisure Community
Belajar berkebun bersama Komunitas Jogja Berkebun
Aku bersama guru sosiologiku di SMA, Pak Bagyo
Peta dunia yang aku pajang di dinding kamar kosku
di Jogja
Aku diterima di University of Leicester, Inggris,
tapi tidak beasiswanya
Email penolakan yang aku terima
dari beasiswa Chevening
Email balasan dari Stockholm University
yang membuka harapan
Surat rekomendasi yang akhirnya ditandatangani
Pak Dekan
Dengan penuh harap, aku mendaftar beasiswa LPDP
Bersama teman-teman LGD setelah selesai diskusi
Bersama teman-teman Ekspedisi Nusantara Jaya
wilayah pelayaran Kepulauan Seribu
Masjid di Muara Angke, tempat aku mendapat
keajaiban lolos seleksi beasiswa LPDP
Aku dan teman-teman ENJ di Pulau Harapan
Personil angkatan PK 37 LPDP
Kopdar penerima beasiswa LPDP di Yogyakarta
Aku tergabung dalam kelompok PK yang selalu
meneriakkan yel-yel "Kapten! kapal kita oleng
Kapten!"
Ruang tunggu di Kedutaan Besar Swedia di Jakarta

ix

4
7
9
11
13
16
20
22
26
34
36
38
44
45
46
48
49

50
55

Boarding Pass Jakarta-Doha-Stockholm


Chattinganku dengan Satu. Aku mendapat
pencerahan setelah cukup lama kebingungan
Bersama ibu dan kakakku di Bandara Soetta
Boneka Tedy Bear raksasa di Bandara Doha, Qatar
Bandara Arlanda, Stockholm
Pressbyran, tempat wifi gratis
Pemandangan menuju City Terminalen
Aku tiba di City Terminalen
Kereta bawah tanah di Stockholm
Kios SL di pusat kota Stockholm
Bertemu teman-teman PPI Swedia di Skogas,
Stockholm
Papan petunjuk arah Lost and found, sempat
membuka harapan dalam misi pencarianku
Mengikuti tour kota Stockholm bersama
mahasiswa internasional Stockholm University
Suasana di area kampus dihari pertamaku tiba
Wisma Duta, tempat diselenggarakan penyambutan
mahasiswa baru
Penyambutan mahasiswa Indonesia di Swedia oleh
Pak Dubes
Bus di Swedia
Sesi perkenalan dengan PPI Swedia di Stockholm
Apartemen tempat dimana aku tinggal
Berkumpul dan makan-makan bersama
teman-teman di kampus
Selamat datang di Swedia!

55
56
57
59
62
63
64
65
66
67
68
70
72
73
75
76
77
78
80
82
83

BAGIAN I

KISAH PERJALANANKU
MERAIH KESEMPATAN
STUDI DI SWEDIA

idak lebih dari sekadar ucapan terimakasih,


pengalaman yang masih hangat ini sengaja aku
tulis sebagai bagian dari persembahan rasa
syukurku karena diberikan anugerah berupa orang-orang
tercinta yang selalu mendoakan dan mendukung dengan
sepenuh hati niatanku melanjutkan S2 program studi
sosiologi.
Sebagaimana banyak diketahui, kebanyakan orang setelah
memperoleh beasiswa studi ke luar negeri, akan dengan
senang hati menuliskan pengalamannya di media-media
online terutama blog pribadi untuk sekadar berbagi info
atau malahan inspirasi kepada yang lain. Aku cukup
banyak membaca blog yang isinya tulisan semacam itu,
tulisan yang berisi perjalanan hidup peraih beasiswa
lengkap dengan tips-tips dan kadang kata-kata motivasi.
Aku membaca berbagai tulisan yang ditulis oleh mereka
sendiri, dari yang tidak pernah aku kenal sama sekali,
sampai orang-orang dilingkaran temanku sendiri. Tentu
saja mereka semua akan selalu aku anggap sebagai
inspiratorku. Layaknya hubungan antara penulis dan
pembaca, bagiku inspirasi lebih sering datang dari katakata.
Sebelum terlalu jauh, harus kusampaikan terlebih dahulu,
aku menulis di sini bukan karena giliran, bukan karena
ikut-ikutan. Sengaja aku mengompilasi tulisan ini ke dalam
bentuk ebook agar tidak terpotong-potong narasinya. Aku
menulis disini karena terlalu banyak keinginan untuk
memberi balasan sebisanya kepada orang-orang yang

telah berjasa membantuku memperoleh keberuntungan


ini. Mereka yang secara langsung maupun tidak telah
membimbingku,
mengajariku,
menemaniku,
dan
menyemangatiku. Sebagai orang tua, dosen, guru,
saudara, teman-teman, dan juga mungkin mereka yang
hanya sebentar aku kenal.
Maka tulisan ini akan lebih bergaya reflektif, ketimbang
tutorial. Lebih banyak bercerita soal mereka ketimbang
aku. Meski sebisa mungkin, terutama di bagian agak
tengah dan akhir, aku akan tetap mencoba narsis sedikit
dengan memamerkan narasi tentang perjalananku
mendapat beasiswa yang penuh dengan keberuntungan
ini. Aku akan mulai ceritaku dari lulus kuliah.
*-*
Kebanyakan mahasiswa lulus dengan predikat biasabiasa saja
Saat mengikuti upacara wisuda sarjana, aku mendapati
diriku bukan lulusan terbaik. Tak jadi soal, sebagaimana
kebanyakan mahasiswa di dunia ini yang lulus bukan
sebagai lulusan terbaik. Aku juga mendapati diriku lulus
dengan predikat tidak cum laude. Kebanyakan sarjana di
dunia ini juga tidak cum laude. Namun harus kusampaikan
disini bahwa aku berada dibarisan orang-orang yang
mengatakan IPK itu penting. Tapi yang lebih penting dari
itu adalah keberuntungan setelah lulus. Entah ini
pandangan yang baik atau tidak, sejak lama aku selalu

berusaha untuk membuat diriku merasa puas terhadap


apapun yang aku peroleh.

[Ibuku mendampingiku wisuda]

Aku adalah mahasiswa yang biasa-biasa saja dan lulus


dengan biasa-biasa saja. Namun harus kujelaskan disini
bahwa aku beruntung kuliah di salah satu universitas
terbaik di negeriku. Lingkungan kampus yang
mempengaruhi pribadiku, iklim akademik dan nilai-nilai
dalam pergaulan sehari-hari yang meresap ke dalam
diriku, melalui perkuliahan di kelas, jejaring pertemanan,
organisasi, dan event-event kepanitiaan yang aku ikuti,
semua itulah yang membuatku selalu terpantik
memberikan yang terbaik atau setidaknya bergaul dengan
orang-orang terbaik yang pernah aku temui.

Oleh karena bukan mahasiswa jenius, namun setelah lulus


berambisi melanjutkan studi ke luar negeri, tidak ada
pilihan lain kecuali aku harus belajar lagi. Segala persiapan
sampai layak kuliah lagi aku jalani, dengan tekun dan
serius. Aku rasa semua orang sudah tahu, syarat pertama
sekaligus terpenting dalam perburuan beasiswa ke luar
negeri adalah Bahasa Inggris. Tidak ada yang membantah
soal ini, kecuali mereka yang mau menuju ke negara non
berbahasa Inggris.
Kurang lebih hampir dua tahun lamanya aku menyiapkan
kemampuan bahasa Inggrisku. Baik lisan maupun tulisan.
Sejak awal aku sadar, aku harus mulai berusaha lebih
keras. Maklum saja, saat itu aku sambil bekerja melakukan
penelitian di jurusan. Ikut beberapa program penelitian
yang diselenggarakan oleh kampus, membuatku terlalu
asik di lapangan, bertemu orang-orang baru, mentranskrip
hasil wawancara, mengolah data, dan membuat laporan.
Ditahun pertama belajar Bahasa Inggris, aku memang
tidak mencapai progress berarti, namun aku mendapat
gantinya, sebuah pengalaman riset yang begitu bernilai.
Pengalaman itu jelas sangat berharga, terutama sebagai
bekal untuk melamar beasiswa nantinya. Semua
pengorbanan ada hikmahnya.
*-*
Teman-teman terbaik selalu menyukai kita apa adanya
Bulan Mei 2014, aku bertemu beberapa temanku sewaktu
aktif di organisasi pers mahasiswa. Lama tidak bertemu,

kami berbincang singkat tentang kegiatan kami selama ini.


Akhirnya, pembicaraan mengarah pada gagasan untuk
belajar Bahasa Inggris bersama, dengan mengadakan
pertemuan mingguan sambil ngobrol berbahasa Inggris.
Beberapa minggu berselang, kelompok belajar Bahasa
Inggris yang kami gagas makin banyak peminatnya.
Sebagian datang reguler, sebagian yang lain peserta baru.
Orang-orang baru silih berganti datang, aku senang sekali
karena memiliki teman baru. Setelah itu, siapa kami dan
darimana kami berasal tidak lagi penting. Yang lebih
penting adalah apa yang sedang kami kejar.
Minimal sekali seminggu kami bertemu. Sering kali secara
tersirat, aku menyampaikan keinginanku dan menanyakan
apa keinginan mereka. Obrolan apa adanya membuatku
serasa menyatu dengan mereka. Aku adalah bagian dari
teman-temanku, dan mereka bagian dari diriku. Mereka
telah menjadi bagian hidupku. Teman-teman terbaik akan
selalu datang, sekarang dan nanti.
Aku harus menyampaikan tentang kontribusi temantemanku yang terlibat aktif dalam komunitas yang kami
beri nama EnglishDiscuss. Oleh karena merekalah,
semangatku mengejar mimpi tetap terjaga. Memang
benar kata orang, enaknya berkumpul dengan orangorang yang memiliki kesamaan mimpi adalah selalu
terjaganya semangat dan antusiasme bersama, ketika ragu
ada yang meyakinkan, ketika malas ada yang
menyemangati.

[Aku dan teman-teman EnglishDiscuss setelah makan malam


bersama]

Setahun berlalu, kini pertengahan tahun 2015. Disini aku


harus narsis sedikit dalam rangka mengapresiasi
kemampuan bahasa Inggrisku terutama kemampuan lisan
yang lumayan meningkat. Tidak terlalu signifikan memang,
tetapi jauh lebih baik ketimbang saat diskusi
EnglishDiscuss di edisi perdana. Komunitas diskusi
berbahasa Inggris EnglishDiscuss memberi asupan energi
untuk terus menyalakan ambisiku demi meraih masa
depan.

Beberapa hari sebelum berangkat, aku menerima sebuah


bingkisan berisi tas sporty hitam yang didalamnya
terdapat kartu pos, tertera tulisan di bagian bawah; Best
wishes, EnglishDiscuss Squad. Aku bawa hadiah itu
bersamaku. Kini tas itu selalu menempel dipundakku,
menemaniku ke kampus. Aku sampaikan kepada temantemanku yang sampai hari ini masih berjuang dengan
senang hati, belajar Bahasa Inggris bersama, aku akan
selalu berada di sisi kalian, mendukung dengan sepenuh
hati sampai impian kalian tercapai.
*-*
Serius menikmati hidup dengan nongkrong, ngobrol,
dan nulis
Di sela-sela waktuku mempersiapkan diri untuk
melanjutkan studi, kira-kira dimulai dari pertengahan
tahun 2013 sampai memasuki 2015, aku sering
menghabiskan waktu untuk nongkrong bersama temanteman. Yogyakarta adalah kota yang sangat kondusif
untuk aktivitas selo semacam ini. Biasanya aktivitas seperti
ini mengiringi aktivitasku lainnya terutama menjelang
malam. Misalnya saja setelah main futsal, jalan-jalan,
nonton film, atau event-event lainnya, aku selalu ikut
teman-teman untuk nongkrong dan menghabiskan malam
bersama. Tempat makan seperti; burjo, angkringan, dan
cafe menjadi arena bersantai dan melepas penat.
Nongkrong yang kami lakukan punya sebutan khusus
yang populer, setidaknya dikalangan kami sendiri, yakni

kongko. Kongko tak sekadar nongkrong karena aku


menemukan teman-teman diskusi disitu. Teman-teman
yang bisa diajak bertukar pikiran dan ide sehingga
mengasah intelektualitas dan daya pikir kritis. Oleh karena
sering kongko-lah terbersit ide di kepala kami untuk
membuat sebuah gerakan. Gerakan populer yang orientasi
utamanya mengajak sebanyak mungkin anak muda untuk
senang berdiskusi dan menulis buku. Kami buat payung
gerakan itu bernama Leisure Community.
Aku harus mengatakan banyak terimakasih yang tiada
pernah habis-habisnya kepada teman-temanku yang
selalu menjadi teman kongko di waktu selo. Leisure
Community adalah bayi yang masih suka menangis owekowek. Tapi suatu saat ia akan tumbuh dewasa, memberi
banyak manfaat pada sebanyak mungkin anak muda
sesuai dengan tujuan awal mulanya. Bahkan, suatu hari
nanti aku yakin akan mampu menghidupi orang-orang
terutama mereka yang merawatnya sejak pertama kali lahir
di dunia ini.

[Selfie bersama para penggagas Leisure Community]

Pertemuan Leisure Community tidak terjadwal secara


formal, kecuali sesekali pertemuan penting dalam kondisi
tertentu. Selebihnya hanya ajakan kongko yang isinya
nongkrong dan ngobrol. Namun di situ, secara tak
langsung aku selalu diingatkan untuk tetap fokus pada
tujuanku melanjutkan studi. Cerita tentang perjalananku
dalam mengejar target hampir selalu jadi bagian dari
bahan pembicaraan yang aku ceritakan meskipun hanya
sesaat. Justru itulah yang membuatku untuk kembali
merenung kedalam diri agar aku tetap konsisten, tidak
labil dalam mengejar masa depan. Aku pikir, teman-teman
bergaul dalam keseharianku memberi pengaruh besar
lebih dari yang aku kira.
*-*
Berusaha menjadi manusia yang memahami relasi
keberadaan diri dengan alam sekitar
Relasi sosial yang terjalin dalam pertemanan memberiku
kekuatan besar untuk berjuang dan berkontribusi aktif
pada orang lain. Selalu aku mengingatkan pada diriku
sendiri untuk menjaga teman-teman terbaik tetap dekat,
dan keluarga lebih dekat. Sebelum melangkah lebih jauh,
aku harus sampaikan bahwa usahaku saat itu juga tidak
lepas dari dukungan kondisi sosial dimana aku tinggal.
Yogyakarta sedang mengalami geliat aktivisme anak muda
dalam gerakan-gerakan yang berbasis pada semangat
kesukarelaan. Barangkali beberapa kota besar di Indonesia
juga demikian. Sejak lama aku ingin menjadi bagian dalam
geliat itu. Aku coba memperkenalkan diri dan ikut pada

10

beberapa komunitas. Kadang 24 jam sehari terasa kurang,


apalagi setelah mengenal begitu banyaknya wadah untuk
berkontribusi, namun tidak semua tempat bisa disinggahi.
Salah satu komunitas yang aku senang bergabung di
dalamnya, namun sayangnya tidak punya cukup waktu
untuk mengikuti setiap kegaiatannya adalah Jogja
Berkebun. Chapter organisasi besar yang berpusat di
Jakarta dengan nama Indonesia Berkebun ini bergerak di
bidang urban farming. Kegiatannya mengenalkan,
mengajak, dan mempromosikan pertanian urban pada
orang kota agar mau memanfaatkan lahan kosong
meskipun hanya sejengkal.

[Belajar berkebun bersama Komunitas Jogja Berkebun]

Secara filosofis, aku mencoba menangkap visi komunitas


ini untuk melekatkan kembali hubungan antara manusia
kota dengan alam yang kini makin terdistraksi akibat

11

kemajuan yang nihil nilai-nilai ekologis. Melalui kegiatan


berkebun, tanpa disadari oleh anggotanya, komunitas ini
telah mengajakku untuk memaknai kembali relasi diriku
dengan alam dimana aku tinggal.
Tidak ada yang mengajarkanku tentang definisi
kesukarelaan. Melalui keterlibatan di berbagai komunitas
sosial yang sedang tumbuh aku didorong untuk memaknai
sendiri apa artinya berpikir dan bertindak secara sukarela.
Orang mungkin saja lebih suka menyebut keterlibatan
semacam itu sebagai aktivitas sosial. Tapi yang terpenting
bagiku adalah pelajaran tentang nilai yang ada
didalamnya. Nilai tentang kontribusi, voluntarism, respect,
dan sebagainya, selalu ada dalam setiap aktivitas sosial.
Dengan keterlibatan pada kegiatan-kegiatan kesukarelaan
inilah justru aku menemukan lebih banyak teman. Makin
banyak teman, makin aku merasa tak sendirian, dan yang
lebih penting makin banyak orang yang bisa aku mintai
dukungan, maksimal dalam bentuk doa.
*-*
Sampai pada suatu titik dimana keajaiban terjadi
didepan mata, kita baru percaya bahwa yang metafisik
itu nyata
Suatu kali aku pernah ditanya oleh temanku dengan nada
setengah ragu-ragu. Selain belajar dan melengkapi semua
syarat untuk apply beasiswa, apa yang kamu lakukan? aku
jawab berdoa. Rupanya jawaban ini agak kurang
memuaskan, mungkin terlalu biasa bagi kebanyakan

12

orang. Aku tau ia menginginkan jawaban yang lebih detail


dan praktikal. Lalu aku ceritakan pendapatku mengenai hal
klasik yang selalu diulang-ulang sehingga kembali populer
belakangan ini; doa Ibu. Banyak yang bilang bahwa doa
Ibu adalah doa yang paling manjur. Tapi setelah aku
mencobanya sendiri dengan meminta doa pada Ibuku,
ternyata benar. Alasanku sederhana; aku percaya pada doa
dan harapan, namun dikabulkannya doa tergantung pada
amalan yang memanjatkan doa. Tentu aja aku mengira
diriku kebanyakan dosa, maka tidak ada pilihan lain bagiku
untuk meminta doa saja. Aku bertemu guruku SMA yang
mengajar subjek sosiologi. Aku juga minta doa padanya.

[Aku bersama guru sosiologiku di SMA, Pak Bagyo]

13

Kebanyakan orang akan percaya bahwa yang metafisik itu


nyata sampai ia tiba di suatu titik dimana keajaiban terjadi
didepan matanya. Mimpi yang semula berupa anganangan menjadi kenyataan adalah salah satu pendorong
utama untuk percaya pada hal-hal yang semula
dianggapnya tidak mungkin, tidak nyata, atau bahkan
mungkin tidak ada. Hal-hal yang berkaitan dengan
metafisika, atau aku maksudkan disini sebagai yang gaib
dan tak kasat mata, sebenarnya nyata. Agar tulisan ini
tidak berubah menjadi mistis, aku jelaskan saja bahwa
yang aku maksud adalah doa.
Aku juga selalu diminta untuk tidak berhenti bermimpi,
saking seringnya sampai bosan. Namun setelah dipikirpikir, tampaknya sulit untuk tidak menggunakan ajakan itu
lagi di sini, apalagi ketika mengajak orang lain untuk
bergerak meraih apa yang sudah diucapkannya dalam
doa. Aku menganggap semua orang sudah tau bahwa
punya keinginan itu penting, punya harapan itu penting,
dan punya mimpi itu penting. Maka tidak ada yang perlu
aku sampaikan disini, kecuali menambahkan sedikit bahwa
mimpi bisa dimulai dengan berangan-angan. Berbaring
sambil berangan-angan membayangkan bahwa suatu saat
aku akan mengalami pergi ke kampus sebagai mahasiswa
internasional di salah satu universitas terbaik di Eropa. Aku
merasa harus menceritakan bahwa aku benar-benar
memulai mimpiku dengan berangan-angan atau silahkan
saja menyebut dengan istilah lain, berkhayal, misalnya.
*-*

14

Tidak ada salahnya berangan-angan untuk studi ke


sebanyak mungkin pilihan negara
Angan-anganku dimulai pada pertengahan 2014 ketika
terpantik keinginan untuk studi di negara-negara Timur
Tengah. Pikiran ini muncul ketika seorang dosen muda di
jurusanku nyeletuk bahwa ia ditawarkan studi S3 di Abu
Dhabi. Kemudian ia berbincang kepadaku tentang peluang
itu. Tentu saja langsung aku browsing dimana Abu Dhabi
berada dan mendapati negara yang masih asing ditelinga
bernama Uni Emirat Arab. Lalu aku berkhayal, menarik
juga sepertinya belajar di Timur Tengah. Namun aku justru
melirik negara tetangganya Qatar, gara-gara buku yang
ditulis oleh mahasiswa Indonesia di Qatar Muhammad
Assad yang aku baca dua tahun lalu berjudul Notes from
Qatar. Ya, negara itulah yang pertama kali menjadi impian
pertamaku sebagai negara tujuan studi. Tanpa memiliki
pengetahuan mengenai syarat-syarat apa saja yang
diperlukan, aku mulai kepo segala tentang negara ini.
Maka saat ditanya guru IELTS-ku mengapa ingin
mengambil kursus, aku menjawab karena ingin studi di
Qatar. Ketika ditanya pegawai jurusan di kampus mau
studi kemana, aku menjawab Qatar. Negara ini juga
jawaban yang sering aku berikan pada teman-temanku
ketika ditanya pertanyaan yang sama. Ya, pada awalnya
aku memang ingin ke Qatar.
Beberapa bulan berselang. Aku mendapati bahwa sesuatu
yang paling aku butuhkan dalam hidup ini hanyalah satu,
sertifikat IELTS. Dengan memandangi peta dunia yang

15

terpajang di dinding kamar kosan, aku coba memotivasi


diri. Qatar tampaknya makin mustahil, apalagi ketika aku
temukan prasyarat sertifikat bahasa Arab disitu.
Mempertimbangkan waktu dan kemampuanku saat itu,
Maka aku memilih bergeser ke barat sedikit dan melirik
Turki.

[Peta dunia yang aku pajang di dinding kamar kosku di Jogja]

Mengapa memilih Turki? Aku beranggapan negara ini


memiliki beberapa kemiripan dengan Indonesia, selain
sistem demokrasi yang sedang berkembang, umat muslim
yang katanya cenderung moderat juga dominan.
Motivasi yang paling kuat mendorongku barangkali adalah
chapter buku yang pernah aku baca semasa kuliah, ditulis
oleh sejarawan Lebanon Tamim Ansary tentang Dinasti

16

Ustmani sebagai salah satu babak sejarah terpenting yang


membentuk peradaban dunia pada abad 15 sampai 20
awal. Untuk beberapa saat aku luangkan waktu lebih demi
mengenal negara kebab ini.
Bulan Agustus 2014, sertifikan IELTS ku keluar dengan nilai
yang pas. Dibawah target, namun diatas kemungkinan
terburuk. Apalagi kalau mau studi di negara-negara Timur
Tengah, kemampuan Bahasa Inggrisku boleh dibilang
cukup. Sambil menunggu beberapa universitas terbaik
yang menawarkan program studi sosiologi membuka
pendaftaran, aku terus bertanya pada beberapa teman dan
kolega, ada peluang beasiswa apa hari ini. Spanduk dan
banner dipinggir jalan yang berisi informasi pameran
pendidikan luar negeri selalu menarik perhatianku. Aku
ingat pada tahun 2013 rela pergi sendirian ke Hotel
Shangri-La Jakarta untuk menghadiri pameran pendidikan
US. Amerika bos! negara yang paling sering aku kutuk
ternyata memiliki universitas-universitas terbaik di dunia.
*-*
Kita dibombardir tiada habis-habisnya oleh ribuan
informasi beasiswa sampai lupa harus ngapain dulu
Sampai sekarang aku tak kunjung mengerti mengapa aku
tidak pernah apply studi ke universitas-universitas di Timur
Tengah plus Turki sampai sebuah kunjungan ke jurusan
Sosiologi UGM mempertemukanku dengan informasi
paling berharga. UGM bekerja sama dengan University of
Oslo, Norwegia dalam program beasiswa master bernama

17

Quota Scheme. Di jurusan aku mengenal baik dua dosen


yang merupakan alumni program beasiswa itu. Segera aku
sampaikan minatku untuk apply beasiswa itu.
Sejak saat itulah aku sadar mengapa aku tak kunjung
mendaftar. Jawabannya adalah karena dokumennya belum
lengkap! Aku mulai mengumpulkan kelengkapan
dokumen satu-persatu. Proses ini penting agar anganangan tidak sekadar angan-angan. Berkhayal tidak sekadar
berkhayal. Pertama, aku menghubungi beberapa dosenku
via email, ada juga yang via WA dan sms. Isinya aku
menyampaikan minatku untuk lanjut studi dan tentu saja
minta doa restu. Lalu aku meminta surat rekomendasi dari
beberapa dosen yang aku kenal. Aku buat sendiri
Motivation Letter sebagai salah satu syarat utama
mendaftar di universitas-universitas tujuan. Berikutnya,
dokumen formal seperti ijasah dan transkrip nilai aku bawa
ke jasa terjemahan yang terpercaya. Mahal biayanya,
untung masih punya uang, maka saat itu aku tidak mau
ambil pusing. Dokumen berikutnya yang tidak kalah
penting adalah sertifikat Bahasa Inggris. Setelah semuanya
lengkap saatnya eksekusi!
Kini, proses mendaftar universitas terutama yang ke luar
negeri bisa dilakukan melalui online. Biasanya universitas
mempunyai alamat website resmi dengan platform yang
sudah canggih. Pelamar tinggal buat akun di situ,
kemudian upload semua dokumen. Tentu saja dokumen
fisik harus discan terlebih dahulu. Selanjutnya ikuti
petunjuk dan perhatikan tanggal-tanggal penting sesuai

18

dengan yang tercantum pada laman universitas yang


dituju.
Selesai mendaftar Quota Scheme via online, aku menerima
informasi beasiswa lagi, kali ini beasiswa yang konon
katanya paling prestisius di dunia, Chevening. Beasiswa
dari pemerintah UK itu mengcover seluruh biaya kuliah
dengan memilih tiga universitas di UK sebagai prioritas.
Sejak awal aku mengira tidak akan studi ke UK. Tapi aku
harus menangkap setiap peluang betapapun tidak aku
inginkan pada awalnya. Maka aku mendaftar University of
Leicester sebagai pilihan pertama. Semua berkas aku kirim.
Sambil menunggu, aku pelajari tradisi intelektual di
Leicester dan menemukan nama-nama besar macam
Norbert Elias dan Anthony Giddens yang mengawali karier
akademiknya sebagai sosiolog di Leicester. Akhirnya aku
mulai berhasrat untuk studi di sana. Hasratku begitu besar
sehingga nekat mendaftar di University of Leicester secara
pribadi tanpa jalur beasiswa. Beasiswa bisa dicari nanti,
pikirku waktu itu. Kurang dari sebulan aku mendapat email
yang berisi bahwa aku diterima di University of Leicester.
Tidak ada lagi yang aku pikirkan selain tinggal mencari
beasiswanya.
Jika Chevening lolos, tentu saja itu kabar baik. Namun aku
memikirkan kemungkinan terburuk, maka untuk pertama
kalinya aku melirik beasiswa yang pernah aku dengar
namun belum aku kenal, namanya LPDP. Beasiswa itu
disediakan oleh pemerintah di negaraku sendiri. Untuk

19

pertama kalinya
negeriku.

aku

membayangkan

betapa

kaya

[Aku diterima di University of Leicester, Inggris, tapi tidak


beasiswanya]

Januari 2015 sejumlah universitas di negara yang tidak


pernah sekalipun terbersit dipikiranku sebelumnya,
Swedia, membuka pendaftaran. Namun konon karena
kisruh politik di parlemen saat itu, Swedia tidak lagi

20

memberikan beasiswa penuh bagi pelamarnya, yang


sebelumnya diberikan melalui beasiswa Swedish Institute.
Artinya, aku harus mencari sendiri beasiswa dari lain
tempat. Tidak ada yang aku ketahui tentang Swedia selain
Zlatan Ibrahimovic. Siapa yang tidak tau Zlatan? pemain
paling fenomenal dari pemain yang maha fenomenal
sekalipun!
Dari daftar nama-nama universitas di Swedia, aku hanya
butuh sepersekian detik untuk menentukan bahwa
Stockholm University adalah pilihanku. Entah siapa yang
membisikiku. Barangkali buku babon yang menjadi
referensi utamaku skripsi dulu berjudul Economic
Sociology-lah yang membuatku bisa secepat kilat
menentukan pilihan. Buku itu ditulis oleh Richard
Swedberg, seorang visiting professor Sosiologi di
Stockholm University. Boleh percaya boleh tidak,
departemen Sosiologi di Stockholm University adalah yang
terbaik se-Skandinavia versi The Times Higher Education.
Tapi, peringkat tidak penting, yang penting aku bisa
diterima disana. Satu hal lagi yang membuat pilihanku
pada Stockholm University tidak bisa diganggu gugat
adalah kotanya. Aku betul-betul mempertimbangkan
bahwa aku tidak hanya akan menjalani kehidupan
akademik di kampus, namun juga kehidupan sosial secara
lebih luas di kota dimana kampus itu berada. Esok harinya
aku ke bank, membayar formulir pendaftaran ke
Stockholm University seharga 900 Swedish Kronor yang
jika dirupiahkan saat itu berjumlah 1,5 juta.

21

*-*
Keuntungan dari mengambil setiap peluang yang
lewat
adalah
bisa
merasakan
manis-pahitnya
kegagalan
Beberapa hari kemudian kabar dari Chevening datang. Aku
berharap kabar baik, namun ternyata yang datang adalah
kabar menyedihkan. We regret to inform you.... bla bla
bla. Segera aku menyambut dalam hati; Goodbye
Chevening!.

[Email penolakan yang aku terima dari beasiswa Chevening]

Segala sesuatunya baik-baik saja meski aku gagal, sampai


kabar dari Norwegia menyusul datang kepadaku. Beasiswa
Quota Scheme ke University of Oslo menginformasikan
bahwa ternyata aku sekali lagi gagal. Alasannya, pelamar
beasiswa itu sangat banyak dan seleksinya begitu
kompetitif, dalam penafsiran lain aku menganggap
memang aku belum layak. Sekali lagi aku membaca
pemberitahuan itu dengan seksama, ternyata University of
Oslo menerimaku tapi tidak beasiswanya. Tentu saja ini
artinya aku disuruh mencari beasiswa sendiri. Kegagalan

22

meraih Chevening lalu Quota Scheme membuatku


terpuruk. Untuk beberapa hari aku melamun dengan
pikiran kosong. Malam sebelum tidur aku berusaha sekuat
hati menerima realitas itu. Sangat berat untuk bangkit.
Akhirnya aku nge-twit; sudah berlalu. Esoknya aku
berusaha menjalani hidup seperti biasa. Aku tak sanggup
menyangkal
betapa
sakitnya
merasakan
sebuah
kegagalan.
Terpaksa aku harus menyandarkan harapanku pada hal
yang lain. Aku harus mencari pintu-pintu yang lain.
Beberapa hari berselang, beasiswa AAS dari Australia
dibuka. Tanpa minat sama sekali pada awalnya, aku mulai
mempertimbangkan.
Tak lama berselang aku menerima email dari Stockholm
University yang berisi kabar gembira bahwa aku diterima.
Kabar ini sedikit memulihkan kesedihanku akibat
kegagalan beruntun memperoleh beasiswa. Kini aku hanya
perlu satu keberuntungan lagi yaitu mendapatkan
beasiswanya.
Dengan
didahului
kebingungan
mempertimbangkan
tiga
universitas,
aku
mulai
berkontemplasi. Leicester University, University of Oslo,
dan Stockholm University, sudah mengirimku Letter of
Acceptance untuk studi. Tapi tanpa beasiswa aku hanya
akan gigit jari. Sadar cuma butuh satu keberuntungan lagi.
Aku mulai bertekad untuk lebih fokus pada beasiswa yang
satu itu saja. Apalagi yang aku harapkan kalau bukan
LPDP?

23

Mungkin karena kelewat fokus, aku sampai tak minat


mendaftar yang lain lagi, sampai salah seorang teman
baikku mengabarkan deadline beasiswa AAS tinggal
menghitung hari. H-3 aku langsung submit. Itulah
untungnya punya dokumen-dokumen yang telah siap.
Dengan pertimbangan administratif, aku putuskan
Macquire University sebagai satu-satunya universitas
tujuan. Sejak itu aku hanya punya dua tugas hidup:
memutuskan satu diantara tiga universitas di tiga negara
yang berbeda dan menyiapkan diri untuk ikut seleksi
program beasiswa LPDP.
*-*
Pengambilan keputusan penting dalam hidup selalu
diawali dengan penuh rasa bimbang
Beruntung aku tidak mengambil keputusan sendiri.
Beberapa hari sebelumnya aku sering iseng bertanya pada
beberapa saudara dan teman-temanku. Kebanyakan
mereka berpendapat bahwa Inggris adalah tempat tebaik
untuk studi. Studi di Inggris memang kaya prestise selain
karena keberadaan universitas-universitas dengan reputasi
mumpuni di sana. Inggris telah dikenal sebagai magnet
bagi para pelajar seluruh dunia. Tetapi semakin aku
merenung, semakin aku berpikir realistis. Beasiswa yang
tak kunjung aku peroleh, memantik pemikiran untuk
segera mengeluarkan Deferment Letter. Deferment Letter
adalah surat penangguhan kuliah. Aku memutuskan akan
memulai kuliah tahun depan (2016) karena belum
mendapat beasiswa, sedangkan waktu kuliah makin

24

mendekat. Bahkan aku beranggapan, sekalipun aku


mendapat beasiswa LPDP pada tahun ini, waktu yang
kumiliki terlalu singkat, yakni kurang dari 6 bulan.
Sebagaimana peraturan dari LPDP yang mengatakan
bahwa pengajuan beasiswa harus dilakukan tidak lebih
dari 6 bulan agar tidak terlalu mepet dengan
keberangkatannya.
Aku mengajukan Deferment Letter ke University of
Leicester. Tiga hari kemudian, universitas mengirimkan
email bahwa aku boleh mulai studi tahun depan. Cukup
waktu untuk mempersiapkan semuanya. Selang sebulan
aku mengirim Deferment Letter juga ke Stockholm
University, kemudian menerima balasan yang agak aneh
tapi membuka harapan. Stockholm University mengatakan
bahwa jika aku mendapat beasiswa LPDP periode ini, aku
bisa berangkat tahun ini juga. Pembayaran tuition fee
diundur sepihak oleh universitas. Deadline pembayaran
tuition fee menjadi tanggal 31 Agustus 2015. Sekadar
informasi, sebelumnya deadline pembayarannya adalah
pada awal bulan Mei 2015. Universitas mengabarkan
bahwa tahun lalu ada mahasiswa dari Indonesia dengan
beasiswa LPDP juga berangkat dengan kondisi yang
hampir sama dengan yang aku alami. Jadi aku tak perlu
khawatir. Dapat diartikan pula bahwa LPDP memiliki
reputasi yang baik dimata universitas ini. Makin sahih aku
memutuskan studi di Stockholm University.

25

[Email balasan dari Stockholm University yang membuka


harapan]

Rasa bimbangku lenyap, lalu datang rasa bimbang yang


baru. Aku harus berjudi dengan beasiswa LPDP. Aku
memasang taruhan bahwa aku diterima. Jika kalah, aku
akan mencari tempat judi lain. Agak menggelikan juga
menyamakan perburuan beasiswa dengan main judi. Tapi
ini hanya perumpamaan saja. Begitu banyak pilihan dalam
hidup. Seorang Blaise Pascal pernah mengatakan mau
percaya pada Tuhan atau tidak adalah sebuah pilihan.
Namun sebaiknya seseorang memasang taruhan bahwa
Tuhan benar-benar ada, agar kalau kehidupan setelah mati
ada, ia menang, kalau tidak, ia tidak kalah. Tampaknya
tulisan ini mulai melenceng kemana-mana. Baik, tinggal
satu tugas hidupku, melamar LPDP untuk menjadi
kekasih.
Sebagaimana lamaran pada pujaan hati, semua orang
ingin diterima. Kisah perjalananku melamar beasiswa LPDP
akan aku ceritakan pada bagian berikutnya dengan judul
Kisah Perjalananku Meraih Beasiswa LPDP. Dengan
harapan semoga dapat memberi informasi dan inspirasi
agar semakin banyak pembaca yang berminat dan dapat

26

meraih kesempatan untuk melanjutkan studi melalui


skema beasiswa LPDP.

27

BAGIAN II

KISAH PERJALANANKU
MERAIH BEASISWA LPDP

28

ekilas merefleksikan kembali momentum saat lulus


kuliah, saat itu bulan Mei 2013, baru saja aku
menerima berbagai ucapan selamat dari orangorang tercinta. Aku baru saja ditahbiskan sebagai sarjana.
Sosial media begitu ramai dengan perayaan dan ucapan
selamat, seolah-olah semuanya ditujukan padaku. Aku
merasa bahagia. Untuk beberapa saat, aku berleha-leha,
berbaring di ayunan di tepi pantai pasir putih di sebuah
pulau di Indonesia yang belum terjamah. Aku sendiri tak
tau nama pulau itu karena tampaknya belum ada yang
memberi nama. Aku menghirup udara segar, menikmati
betapa tenang dan membahagiakannya hidup ini. Tibatiba aku terbangun. aku tak tau dimana ini sampai aku
menyadari diriku sedang berada di atas Kapal Oleng.
Aku terbangun dan menyadari berada di tengah
kebingungan setelah lulus kuliah. Entah karena
dihadapkan oleh begitu banyak pilihan, atau tidak tau
sama sekali mau ngapain. Tapi Mei 2013 aku benar-benar
lulus. Jauh sebelum itu, papahku pernah berpesan
setengah meramalkan suatu saat nanti kamu pasti masuk
ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Aku sengaja tulis
kembali di sini karena pesan itu mengingatkanku akan
sosok papahku yang selalu mengingatkan akan
pentingnya pendidikan. Maka beberapa saat kemudian,
aku akhiri kebingunganku dengan bertekad melanjutkan
studi. Saat sebagian yang lain menganggap pendidikan
sebagai persiapan untuk menjalani kehidupan, aku
memilih bergabung dengan mereka yang menganggap
pendidikan adalah kehidupan itu sendiri.

29

Tulisan pada bagian ini akan sedikit lebih praktis meski


masih bercampur aduk dengan cerita pengalamanku yang
akan aku ceritakan dalam bentuk narasi. Di dalam cerita
aku selipkan saran dan tips-tips lolos seleksi beasiswa
yang tentunya boleh diambil dan boleh tidak. Satu hal
yang pasti, dalam proses seleksi beasiswa, setiap
pengalaman bersifat personal. Kalaupun ada kesamaan, ya
disyukuri saja.
*-*
Kisah seorang teman menceritakan pengalamannya
mengikuti seleksi beasiswa lebih menarik daripada
materi beasiswa itu sendiri
Sejak tahun 2013 aku sudah mendengar nama LPDP
melalui Facebook. Waktu itu belum cukup populer karena
bidang studi yang ditawarkan masih terbatas. Bidang
ekonomi dan keuangan adalah yang utama. Minatku pada
ilmu sosial dan sosiologi secara khusus belum
terakomodir. Maka aku lupakan untuk beberapa saat. Pada
pertengahan Agustus 2014. Salah satu teman baikku sejurusan mengenalkanku kembali pada beasiswa LPDP yang
saat itu sudah memperluas pilihan bidang studi bagi
pelamarnya. Ilmu sosial masuk dalam satu diantara sekian
banyak pilihan yang lain. Aku mulai banyak menghabiskan
waktu pedekate dengan LPDP, menyelami laman resmi
LPDP, bergabung di grup facebook, sambil sesekali
mengikuti sosialisasi LPDP di Yogyakarta.

30

Namun cerita langsung dari teman-teman yang pernah


ikut seleksi lebih menarik perhatianku. Baik yang lolos
maupun yang belum beruntung, aku memperhatikan
dengan sungguh-sungguh cerita mereka. Pada suatu siang
di taman sekitar perpustakaan UGM, aku menginterogasi
salah satu temanku yang baru saja mendapat beasiswa
LPDP, kira-kira seminggu sebelum ia berangkat ke Eropa.
Langkah-langkah praktis ia jelaskan secara detail. Aku
mencatat
setiap
kata
seperti
seorang
murid
mendengarkan
gurunya.
Pada
dasarnya,
LPDP
memberikan beasiswa pada orang yang siap. Ibaratnya,
besok kamu siap berangkat, maka LPDP akan membiayai,
begitu katanya. Kesiapan adalah kata kunci yang aku
pegang. Secara praktis, salah satu bukti kesiapan adalah
sudah diterima di universitas tujuan dengan mengantongi
Letter of Acceptance/Letter of Admission/Notification of
Second Selection Result (LOA) atau apapun namanya, tiap
negara biasanya berbeda.
Tentu saja ada beberapa orang berhasil menjadi awardee
(penerima beasiswa) meski belum diterima di universitas
tujuan, begitu pula sebaliknya. Mengenai hal ini, aku hanya
berpendapat sederhana; Perjalanan hidup orang berbedabeda, termasuk cara dalam meraih beasiswa. Aku sendiri
memilih langkah-langkah yang diberikan guru-guruku.
Bukti diterima di universitas dulu, lalu mengajukan
beasiswa. Kesiapan adalah kata kunci yang selalu aku
pegang. Lagipula, aku selalu berpikiran kalau satu pintu
beasiswa tertutup, cari pintu lain, kalau tertutup juga, ada
jendela, kalau tertutup juga, gedor saja. Oleh karena aku

31

sudah siap berangkat, aku pede mencoba kemana-mana,


mencoba masuk ke beberapa pintu. Jadi tinggal gedor
saja, tapi jangan mendobrak karena itu lebay.
*-*
Kalau tau pasti beres, kita tidak akan terburu-buru dan
cemas meskipun sudah di penghujung deadline
Oleh karena selalu mantengin website resmi, mengikuti
update informasi di grup facebook, dan ngobrol bersama
teman-teman tentang LPDP, aku tidak ketinggalan
informasi. Tahun 2015 pendaftaran dibuka sebanyak 4
periode. Periode pertama wawancara bulan Januari.
Periode kedua wawancara bulan Mei. Sengaja aku memilih
periode kedua, karena saat periode pertama aku masih
bimbang memilih universitas, apalagi belum memegang
LOA. Pendaftaran periode kedua ditutup pada akhir April.
Semua mekanisme pendaftaran diselenggarakan secara
online, melalui uploading dokumen yang sudah discan.
Pada awal bulan April aku memastikan harus sudah
melengkapi semua berkasnya, diantaranya: KTP, ijasah,
transkrip nilai, sertifikat Bahasa Inggris, surat rekomendasi,
LOA, dan 3 esai yaitu mengenai rencana studi, kontribusi
untuk bangsa, dan sukses terbesar dalam hidup. Konon
periode setelah ini (periode ketiga tahun 2015, dst),
syaratnya ditambah yakni Surat Keterangan Catatan
Kepolisian (SKCK), surat keterangan dokter, dan essay on
the spot.

32

Maunya semua berkas siap segera. Tapi kenyataan bicara


lain. Aku belum mendapat surat rekomendasi sampai
menjelang deadline. Sempat muncul pikiran untuk
menyerah, lalu mendaftar pada periode ketiga. Bagaimana
tidak, dosen yang aku kenal, yang aku bayangkan akan
memberi rekomendasi secepatnya, sedang berada di
Australia dan baru akan pulang ke Indonesia bulan
berikutnya. Tentu saja ini membuatku kalang kabut. Lalu
aku mencoba tenang. Hari berikutnya muncul ide entah
dari mana. Aku berniat meminta rekomendasi kepada
dekan yang hari-hari itu aku bayangkan berada di kampus.
Namun masalahnya aku tidak kenal beliau. Tentu saja
beliau juga tidak mengenalku. Aku memikirkan hal
terburuk, ini tidak mungkin dilakukan.
Tiba-tiba aku teringat satu hal. Aku memang tidak
mengenal dekan, tapi aku punya teman-teman yang
mengenalnya. Segera aku kontak dan bertanya bagaimana
caranya supaya aku mendapat rekomendasi dari dekan.
Kabar melegakan disampaikan. Katanya, Pak Dekan selalu
menerima siapa saja mahasiswa yang berniat mau
melanjutkan studi. Tinggal dibuat draftnya, lalu berikan ke
dekanat, nanti biar dekanat menyampaikan ke Pak Dekan.
Kalau disetujuti akan langsung ditandatangani dekan atau
jika ada yang kurang, paling minta direvisi. Aku mengikuti
petunjuk itu, kira-kira katanya akan memakan waktu satu
minggu. Aku sedang berada di pertengahan bulan,
sedangkan deadline di akhir bulan. Segalanya masih aman
sampai aku menyadari ternyata Pak Dekan sedang berada
di Norwegia, seminggu kemudian baru balik, namun

33

langsung ke Makassar, tidak ke kampus dulu. Lama aku


menunggu dengan cemas sampai minggu terakhir
sebelum deadline tiba.
Selama 6 hari sebelum deadline, aku bolak-balik ke
dekanat menanyakan kabar surat rekomendasiku. Hari
Jumat 24 April 2015 adalah hari terakhir aku bisa
mendapatkan suratku atau mengubur rencanaku, lalu
mendaftar pada periode selanjutnya saja. Pagi hari aku ke
kampus, menanyakan suratku, belum ada tanda-tanda
suratku ditandatangani. Sore hari sebelum selesai jam
kerja, aku datangi lagi, kali ini dengan hati pasrah karena
sudah tidak berharap banyak. Aku menerima suratku
kembali. Dengan penuh keterkejutan bercampur kelegaan
hati aku melihat tandatangan dekan sudah tergores disitu.
Lucu sekali rasanya mengingat diriku dalam kekalutan.

[Surat rekomendasi yang akhirnya ditandatangani Pak Dekan]

34

Kalau tau pasti ditandatangani, kenapa grusa-grusu dan


cemas? pikirku pada diri sendiri. Masih dengan suasana
lega, aku melihat masih ada kesempatan di penghujung
deadline. Segera aku scan dokumen itu, lalu aku upload.
Lega rasanya, kini waktunya menunggu hasil seleksi
berkas.
*-*
Kalau tidak bisa jadi yang terhebat, jadilah yang
pertama
Pada dasarnya ada beberapa tahapan dalam mengikuti
seleksi beasiswa LPDP. Secara detail sudah dijelaskan
cukup gambalang di websitenya. Disini, aku coba
menyederhanakannya ke beberapa tahap saja, yaitu,
seleksi berkas, verifikasi berkas, Leaderless Group
Discussion (LGD), dan Wawancara. Diantara ketiganya,
tahap wawancara adalah yang terpenting. Apabila lolos
wawancara, peserta boleh dikatakan sudah mencapai 99%
keberhasilan meraih beasiswa. 1 % -nya lagi tinggal
mengikuti Persiapan Keberangkatan (PK) yang didahului
dengan tugas Pra-PK. Asalkan dijalani dengan penuh
semangat dan berjiwa pancasila, PK bakal menjadi tahap
yang paling menyenangkan. Bahkan aku sendiri
menganggap tahap yang paling dirindukan. Soal PK nanti
aku ceritakan dibelakang.

35

[Dengan penuh harap, aku mendaftar beasiswa LPDP]

Jika semua berkas lengkap, dipastikan peserta akan lolos


seleksi berkas. Namun tidak berhenti disitu. Tahap
selanjutnya adalah verifikasi. Tahap ini perlu diperhatikan
karena tidak sedikit dari peserta yang gugur. Aku
mengikuti proses verifikasi berkas, sekaligus LGD, dan
wawancara di Yogyakarta. Tempatnya di Gedung Dinas
Keuangan Povinsi DIY. Di aula yang disediakan untuk
seleksi berkas, beberapa peserta berkumpul. Setelah
duduk sesuai antrian, tiba giliranku. Tahap verifikasi berkas
mensyarakatkan semua peserta membawa berkas yang
asli. Di sampingku, ada salah seorang peserta yang harus
gugur lebih dini karena sertifikat Bahasa Inggrisnya
dibawah standar. Ia berhasil mengupload kelengkapan
dokumen tapi gugur saat verifikasi. Pada tahap verifikasi
ini reviewer benar-benar memperhatikan dokumen asli
yang kita bawa.

36

Setelah lolos verifikasi, tahap selanjutnya adalah LGD.


Sebagian peserta mengikuti tahap wawancara terlebih
dahulu kemudian LGD, tergantung jadwal yang diberikan
oleh panitia seleksi. Kebetulan, aku mengikuti tahap LGD
dulu, hari berikutnya baru wawancara. LGD adalah diskusi
kelompok tanpa ada yang berperan sebagai pemimpin
atau dalam hal ini moderator. Definisi ini sering
diperdebatkan, tapi secara substansial kita terlibat dalam
diskusi kelompok. Aku beri tahu yang terpenting dari LGD
adalah diskusi kelompok kita berjalan lancar, tidak hening
tapi juga tidak debat, apalagi debat kusir. Satu lagi, diskusi
tidak didominasi oleh segelintir orang saja, tetapi semua
orang dalam kelompok memiliki porsi yang relatif sama
untuk mengungkapkan pendapat.
Dalam proses seleksi beasiswa LPDP, biasanya jumlah tiap
kelompok kisaran 8-10 orang. Kelompokku berjumlah 8
orang, yang sudah dibagi oleh panitia berdasar bidang
studi. Satu kelompok terdiri dari peserta dengan latar
belakang keilmuan yang berbeda. Panitia memiliki
beberapa isu, namun hanya satu isu yang akan dibahas
oleh satu kelompok. Waktunya kisaran 30 menit. Saat itu,
sebelum kelompokku masuk ruangan untuk memulai
giliran, aku berada di depan pintu ruangan. Beberapa saat
kemudian para peserta datang. Kami saling berkenalan
dan akhirnya tau bahwa kami satu kelompok. Kesempatan
bertemu dengan peserta lain yang sekelompok dengan
kita sebaiknya dimanfaatkan untuk kenalan, mengetahui
latar belakang keilmuan dan rencana studi. Tapi yang lebih
penting lagi adalah berkonsolidasi dalam artian positif

37

mengenai bagaimana berjalannya LGD nanti, misalnya,


siapa yang akan memantik pertama kali, siapa yang akan
mencatat, dan siapa yang akan menyimpulkan. Semua ini
harus dikembalikan lagi ke substansi, yakni memastikan
diskusi berjalan lancar, tidak hening, tidak debat.

[Bersama teman-teman kelompok LGD setelah selesai diskusi]

Tibalah giliran kelompokku masuk ruangan. Reveiewer


memberi pengantar dan memberi lembaran bahan bacaan
yang menjadi topik diskusi kelompok kami. Topiknya
adalah tentang kisruh pembekuan PSSI oleh Kemenpora.
Tentu saja aku shock pertama kali mengetahui topik ini
yang keluar. Tapi setelah melihat sesaat teman-temanku,
aku mengerti, diantara kami tidak ada yang menguasai
topik. Namun bahan bacaan itu diberikan sebagai bekal
untuk kita berdiskusi. Sekali lagi substansinya adalah
diskusi itu sendiri. Setelah 5 menit berlangsung dan semua
selesai membaca, aku mengangkat tangan, menjadi orang
pertama yang berargumen.

38

Aku sarankan pada kalian yang akan mengikuti LGD untuk


menjadi orang pertama yang berpendapat sebab orang
pertama akan selalu diperhatikan. Esensi dari pendapat
yang diungkapkan memang penting, tapi jika tidak
mengusai topiknya, bisa diakali dengan me-review
bacaan dari lembaran yang diberikan saja. Jadi, ketika
membaca, sambil menggaris bawahi bagian-bagian mana
saja yang nanti akan menjadi pendapatmu. Tidak memberi
analisis dan solusi? tak jadi soal, sebab pendapatmu itu
baru pembuka.
*-*
Momentum paling intimidatif yang kita rasakan lenyap
seketika setelah orang melihat karya kita
LGD berakhir dengan tanda tanya besar apakah aku dinilai
baik atau tidak. Tapi aku telah melupakan itu segera sesaat
LGD berakhir. Kini saatnya fokus untuk wawancara
keesokan harinya. Tahap ini adalah tahap yang paling
menentukan karena penilai bertemu langsung dengan
peserta. Mereka benar-benar menguji kita dengan
menggali kepribadian kita, dan ingin mengetahui isi kepala
kita. Namun sebelumnya, aku harus sampaikan kepada
kalian yang akan wawancara, untuk tidak menjadikan
pengalamanku sebagai standar akan apa yang akan
kalian alami nantinya. Sebab boleh jadi akan sangat
berbeda. Jadikan pengalamanku wawancara ini sebagai
bahan bacaan saja. Jadi apabila soal yang dipelajari tidak
keluar dalam ujian, itu hal biasa.

39

Secara keseluruhan proses wawancara lebih banyak


bergaya probing. Probing artinya menggali terus jawaban
yang kita berikan sebelumnya. Jadi, seringkali pertanyaan
standar yang sudah kita persiapkan jawabannya, hanya
berguna sedikit sekali. Selebihnya kita banyak
mengeksplore jawaban yang belum kita ketahui
pertanyaannya. Setidaknya itulah yang aku alami.
Persiapan untuk menjawab pertanyaan sederhana
misalnya mengapa memilih Stockholm University? sudah
matang, tapi jawaban yang aku berikan harus siap disusul
dengan pertanyaan lanjutan yang aku belum tau
pertanyaannya apa. Dan jawaban yang aku belum tau
pertanyaannya akan disusul dengan pertanyaan lanjutan
lagi. Begitulah probing. Akan sulit? tidak kalau dari awal
dan seterusnya kita menjawab jujur apa adanya.
Hari Minggu di bulan Mei 2015 aku mendapat jatah giliran
wawancara. Ruang wawancara berupa aula yang luas. Di
dalam ruangan disusun beberapa meja untuk wawancara.
Satu meja digunakan untuk satu klaster keilmuan. Aku
masuk dalam klaster ilmu sosial yang mejanya berada di
sudut diagonal ruang paling ujung. Pintu yang dibuka
hanya satu. Kebetulan letaknya disudut paling jauh dari
meja klasterku. Jadi aku haru berjalan dari pojok ke pojok.
Seperti meja-meja yang lain, di situ sudah ada 3 orang
reviewer yang terdiri dari 2 orang professor bidang ilmu
kita, dan seorang psikolog. Tampaknya aku peserta
pertama dihari itu yang akan diwawancarai. Aku masuk
ruangan, lalu meletakkan tas di dekat pintu masuk. Jauh di
sudut ruangan sudah ada 3 reviewer yang menunggu

40

kedatanganku. Aku berjalan dengan grogi membawa


goddie bag berisi buku yang pernah aku tulis. ketiganya
menatapku dengan seksama. Itulah salah satu momentum
paling intimidatif dalam sejarah hidupku.
Sampai di depan meja, aku dipersilahkan duduk. Dengan
berusaha tetap tenang, aku meletakkan goddie bag di
samping kakiku. Salah satu reviewer dihadapanku
memperkenalkan diri, lalu memperkenalkan reviewer yang
lain. Aku lupa semua namanya, karena saat itu aku grogi
dan hanya memikirkan bagaimana agar wawancara ini
berlangsung baik. Namun, yang aku ingat pasti, sebelah
kiri dihadapanku duduk seorang psikolog, di depan
professor bidang ilmu sosial, sebelah kanan sosiolog.
Wawancara dimulai bukan dengan pertanyaan, tapi
permintaan untuk mempresentasikan diriku dan cerita
mau studi kemana. Aku memulai dengan menyebutkan
namaku, lalu bercerita minat studiku. Aku bercerita dalam
bahasa Indonesia karena ditanya dengan bahasa
Indonesia.
Pertanyaan kedua, aku ditanya dengan bahasa Inggris,
maka aku jawab dengan bahasa Inggris semampuku. Why
Stockholm?, aku masih ingat pertanyaan ini, karena
jawabanku digali terus, tampaknya tidak pernah
memuaskan. Pertanyaan terus berlanjut ke pertanyaan
lain yang lebih banyak diajukan oleh sosiolog ini.
Semuanya tentang studiku, rencana risetku, pekerjaanku
saat itu, dan karierku setelah studi. Tak ada satupun
pertanyaan tentang kepribadianku, kisah cinta misalnya,

41

atau rencana menikah, yang aku bakal kelabakan


menjawab kalau diprobing. Setelah beberapa menit yang
terasa sebentar padahal lama, sang psikolog akhirnya
bertanya. Ia memulai pertanyaan dengan memuji esaiku.
Saya tertarik dengan esaimu, katanya. Sebagaimana
disampaikan diawal, salah satu berkas yang harus diupload
adalah 3 esai. Salah satunya esai tentang Sukses terbesar
dalam hidup. Entah ia tertarik betulan atau ingin
mengetahui sikapku kalau dipuji. Aku sadar aku sedang
berhadapan dengan psikolog.
Aku harus sampaikan bahwa psikolog menilai dari sudut
pandang yang sering kali kita tak sangka. Ia bisa menilai
dari reaksi spontan kita, gerak tubuh, ekspresi selama
wawancara, dan bahkan melalui tulisan. Tampaknya
psikolog yang menilaiku banyak mengambil penilaian
lewat tulisan. Aku melihat ia tak terlalu peduli dengan
jawaban yang aku berikan. Secara kebetulan, esaiku yang
menarik perhatiannya adalah tentang sukses terbesar
dalam hidupku. Mengenai esai ini, aku sarankan pada
kalian untuk menulis esai secara jujur, kaitkan kesuksesan
itu dengan nilai (value), bukan materi (money), sebab yang
menilai persepsi kita tentang kesuksesan adalah psikolog
bukan ekonom, misalnya.
Menjelang akhir wawancara, reviewer didepanku bertanya
tentang apa aktivitas sosial yang aku lakukan. Aku
ceritakan saja pengalaman terlibat dalam komunitas yang
bernama Leisure Community. Aku harus katakan bahwa
kemungkinan terbesar, keberhasilanku dalam wawancara

42

ditentukan ketika menjelang akhir wawancara. Sesaat


sebelum selesai, aku ditanya mengenai LOA. Sudah punya
LOA?, dengan yakin aku menjawab sudah. Saat itulah
aku teringat pada goddie bag di samping kakiku. Aku
keluarkan LOA, lalu tanpa diminta, aku juga sodorkan buku
yang sudah aku bawa. Itulah karya yang aku punya sejauh
ini. Entah kenapa, atmosfer di meja itu mendadak serasa
menghangat. Apalagi ketika tiga reviewer itu melihat
karyaku. Sebuah kekuatan dari alat peraga.
*-*
Berlayar bersama Ekspedisi Nusantara Jaya, berlabuh
di Sagara Jayasvarna
Waktu menunggu pengumuman hasil wawancara relatif
lama, kira-kira 3 minggu. Tentu saja aku sibuk
menganggur. Meskipun menganggur aku tidak tenang,
karena
cemas-cemas
berharap
menunggu
hasil
pengumuman. Aku berusaha menghilangkan kecemasan
itu tapi tidak bisa. Akhirnya aku coba ikut-ikutan berlayar
bersama Ekspedisi Nusantara Jaya (ENJ), program rintisan
dari Kemenko Kemaritiman untuk anak-anak muda
dengan tujuan mengenalkan Indonesia kepada penduduk
di pulau-pulau terluar di Indonesia. Kebetulan saat itu
pendaftaran dibuka untuk pelayaran bulan Juni. Peminat
ENJ sangat banyak, sehingga pelayaran dibagi ke
beberapa rute. Aku berharap terpilih sebagai salah satu
yang terlibat untuk mengelilingi nusantara. Tapi nasib
membawaku untuk berkeliling di area Kepulauan Seribu.
Seperti biasa, aku terima apa adanya. Sebuah anugerah

43

karena aku belum pernah ke sana. Apalagi di ENJ aku


mendapat teman-teman baru.

[Bersama teman-teman Ekspedisi Nusantara Jaya wilayah


pelayaran Kepulauan Seribu]

Lagi-lagi
sebuah
kebetulan
menimpaku.
Hari
keberangkatan ENJ bersamaan dengan hari pengumuman
beasiswa LPDP. Pagi hari ketika sinyal full, aku
mengaktifkan internet, mencari-cari hasil seleksi.
Sayangnya, belum diumumkan. Siang hingga malam, aku
kehilangan sinyal karena pergi ke pelabuhan Muara Angke,
Jakarta untuk persiapan berangkat paginya. Tidak ada
akomodasi penginapan karena ini program ristisan yang
penuh dengan kekurangan. Terpaksa aku dan beberapa
teman tidur di masjid pelabuhan di Muara Angke. Dengan
diselimuti dingin aku terus berdoa, semoga hasilnya baik.
Aku mengaktifkan handphone, mendapatkan sinyal
internet tapi tidak stabil. Saat itu baru saja selesai sholat
Maghrib. Sambil berharap, aku mendapati sedikit koneksi
internet, notifikasi Whatsapp berangsung-angsur masuk.

44

Sebagian grup aku buka, namun karena sinyalnya payah


aku tak bisa langsung merespon.
Sebagian pesan dari teman-teman aku baca, isinya ucapan
selamat bahwa aku lolos seleksi wawancara. Tanpa berpikir
panjang aku langsung masuk kembali ke dalam masjid,
bersujud dan menangis. Mataku berlinang, segera aku
usap karena tak ingin orang lain tau. Batinku mengharu,
sungguh anugerah yang tidak pantas aku terima. Tanpa
sempat klarifikasi, aku percaya saja pada teman-temanku
yang memberi kabar baik ini. Menjelang tengah malam,
aku keluar menuju sekitaran pelabuhanan sampai
mendapatkan sinyal yang lebih kuat. Akhirnya aku
download sendiri pengumuman hasil wawancara dan
mendapati namaku benar-benar tertera di sana. Langsung
aku mengabarkan keluarga.

[Masjid di Muara Angke, tempat aku mendapat keajaiban lolos


seleksi beasiswa LPDP]

45

Esok paginya aku diselimuti bahagia bercampur haru. Aku


berbaring di bagian depan kapal menatap langit pagi yang
biru cerah bersiap menuju Pulau Harapan di Kepulauan
Seribu. Seolah-olah nama pulau itu sudah ditakdirkan
untukku. Akupun pergi berlayar dengan penuh suka cita.
Pada saat tiba di Pulau itu aku langsung membalas pesan
masuk yang sejak kemarin sempat tertunda. Ucapan
terimakasih tak habis-habisnya aku ungkapkan pada
mereka yang berada disisiku selama aku berjuang.
Merekalah teman-teman yang sesunguhnya. Selama
ekspedisi, aku seringkali membuka email untuk
mengetahui update terbaru dari LPDP. Tak sabar aku
menanti tahap selanjutnya, yang konon paling dirindukan,
Persiapan Keberangkatan (PK).

[Aku dan teman-teman ENJ di Pulau Harapan]

46

Kabar dari Stockholm University aku terima ketika berlayar.


Isinya, tanggal 31 Agustus 2015 adalah hari pertamaku
kuliah. Namun seminggu sebelumnya, yakni 24-28
Agustus aku dijadwalkan mengikuti Orientation Week.
Saat itu bulan Juni yang baik. Aku harap jadwal PK-ku
jatuh sebelum mulai kuliah agar bisa segera berangkat.
Selesai berlayar, pada akhir Juni, aku mendapat informasi
bahwa aku masuk dalam PK angkatan 37 dengan periode
pelaksanaan tanggal 17-22 Agustus. Sangat mepet, tapi
aku terima dengan sepenuh hati. Sampai setelah PK, aku
tidak pernah tau apakah aku bisa berangkat tahun ini atau
tidak. Dalam kondisi digantung, aku mempersiapkan diri
untuk berangkat tahun ini, sambil menyiapkan mental
untuk kemungkinan berangkat tahun depan. PK 37
menjadi kapalku selanjutnya. Kapal ini berisi para pelaut
yang tangguh yang dikenal dengan nama Sagara
Jayasvarna. Aku bahagia menjadi bagian dari salah satu
pelayaran yang ternyata paling fenomenal dalam hidupku.
*-*
Masa depan belum bisa dibayangkan, masa lalu sudah
menjadi kenangan
Sagara Jayasvarna adalah nama PK angkatan 37 yang
secara harfiah berarti Kelautan, Kejayaan dan Keemasan.
Dengan semboyan Jalasveva Jayamahe! yang berarti Di
Laut Kita Jaya!, PK 37 menjadi salah satu atau mungkin
satu-satunya PK yang mengusung tema kemaritiman.

47

Semangat kemaritiman dipadukan dengan keemasan yang


menjadi cita-cita bersama peraih beasiswa LPDP.

[Personil angkatan PK 37 LPDP]

Tahap PK didahului oleh tahap Pra-PK, dimana para


awardee berinteraksi, bersinergi, dan berkolaborasi
melaksanakan tugas-tugas Pra-PK sekaligus persiapan PK.
Oleh karena kami berlokasi berjauhan, media online
menjadi satu-satunya sarana yang digunakan. Mulai dari
milis email, aplikasi sosial media, dan sms atau telepon
kami gunakan dalam rangka menggarap tugas Pra-PK.
Kecuali para awardee yang berada di satu kota, kami tidak
bisa bertatap muka.
Kopdar adalah sarana tatap muka awardee di tiap kota.
Oleh karena aku di Yogyakarta, aku bergabung dengan
kopdar Yogyakarta. Momentum kopdar menjadi
kesempatan untuk saling mengenal. Persiapan apa saja
yang dibutuhkan untuk melaksanakan PK juga menjadi
topik pembahasan. Selebihnya kami makan-makan dan
foto-foto.

48

[Kopdar penerima beasiswa LPDP di Yogyakarta]

Periode Pra-PK boleh dibilang lebih panjang ketimbang PK


itu sendiri. Tugas Pra-PK memiliki fungsi laten mempererat
hubungan sesama awardee se-angkatan. Nilai-nilai LPDP
juga dimanifestasikan dalam diri awardee melalui tugastugas itu. Namun itu semua baru terasa ketika PK, dimana
awardee seangkatan bertemu dan bertatap muka, dan
juga setelah PK ketika semua awardee menyebar ke
negara dan universitas tujuan masing-masing. PK sendiri
hanya berlangsung 6 hari. Bayangkan saja, lama kami
menunggu untuk dipertemukan, lalu bertemu hanya
sebentar, kemudian dipisahkan kembali. Siapa yang tidak
didera penyakit rindu? Sungguh kejamnya PK!
Tepat di hari kemerdekaan yang ke 70 Republik Indonesia,
PK Sagara Jayasvarna resmi dibuka. Lokasinya di Wisma
Hijau, Depok. Dua hari sebelumnya aku telah tiba di
Jakarta untuk mempersiapkan diri. Satu angkatanku
berjumlah 127 orang yang dibagi ke dalam beberapa

49

kelompok selama PK. Sebanyak 127 pelaut itu akan


menyebar ke seluruh penjuru dunia dalam hitungan hari.
PK berisi tentang materi-materi mengenai kepemimpinan,
profesionalisme, sinergi, dan kebangsaan. Ada yang
diselenggarakan dalam bentuk diskusi kelas, outbond,
kunjungan ke institusi, dan seminar. Semua itu
menyenangkan dan menggugah selera, tapi yang paling
menarik bagiku adalah mengenal teman-teman satu
angkatan. Sudah lama aku ingin punya teman seperti
mereka. Ingin sekali aku mengenal semuanya, tapi waktu 6
hari terlalu singkat. Maka setelah rampung PK aku hanya
bisa melamun dan mengajukan pertanyaan bodoh, kapan
PK lagi?

[Aku tergabung dalam kelompok PK yang selalu meneriakkan yelyel Kapten! Kapal kita oleng Kapten!]

Hidup berjalan tidak selalu seperti yang kita inginkan,


bahkan sering kali berbeda atau bertolak belakang. Sering

50

kali kita harus bisa menerima kenyataan betapapun


menyedihkan. Aku beruntung tidak berlama-lama larut
dalam rasa rindu ini, karena beberapa hari kemudian
sudah dipusingkan oleh rencana keberangkatanku ke
Swedia setelah LPDP memberi lampu hijau! Rasa bahagia
dan sedih bercampur aduk. Aku harus meninggalkan
keluarga dan teman-teman tercinta untuk menjalani
kehidupan yang baru di negeri yang baru. Selasa sore
pada 25 Agustus 2015 mereka melepas kepergianku di
Bandara Soetta.
Aku serasa kembali berada di atas kapal yang oleng,
menghadapi masa depan yang belum bisa aku bayangkan,
dan meninggalkan masa lalu yang sudah menjadi
kenangan. Hari berikutnya, aku tiba di Swedia, mendarat di
bandara Internasional Arlanda di Stockholm. Kisah
kedatanganku di Swedia dan hari-hari pertama
kehidupanku di Stockholm akan aku ceritakan pada bagian
selanjutnya dengan judul Kisah Kedatanganku di Swedia.
Semoga para pembaca tetap setia dan dapat mengambil
inspirasi dari kisahku.

51

BAGIAN III

KISAH KEDATANGANKU DI
SWEDIA

52

emang benar kata orang, perjalanan paling berat


ke luar negeri bukan ketika kita naik pesawat
menuju negara tujuan, tetapi melangkahkan kaki
dari rumah ke stasiun. Langkah pertama keluar rumah
adalah yang terberat dari ribuan langkah yang aku jalani,
sebab disitulah aku benar-benar harus rela meninggalkan
orang-orang yang aku sayangi; keluarga, saudara, dan
teman-teman. Harga yang harus dibayar untuk sebuah
perjalanan semacam itu terlalu mahal, tak bisa dibeli
dengan uang.
Aku melangkahkan kaki ke stasiun jauh sebelum hari-H
keberangkatan, dari rumahku di kota kecil di Batang
menuju Stasiun Pekalongan. Dari Pekalongan aku
langsung menuju ibukota Jakarta. Sengaja sebulan
sebelum keberangkataan aku memilih tinggal di sebuah
kosan di Jakarta untuk mempersiapkan diri mengikuti PK
beasiswa LPDP sebagai rangkaian syarat wajib yang harus
diikuti awardee sebelum secara legal berstatus sebagai
penerima beasiswa.
Bulan Agustus 2015 barangkali menjadi bulan paling
menentukan dalam sejarah hidupku. Selain karena di bulan
itu aku harus meninggalkan tanah air, aku juga harus
mempersiapkan diri untuk tinggal di negeri asing, di tanah
Viking yang kini dikenal dengan nama Skandinavia. Swedia
adalah negara yang aku tuju. Untuk setidaknya dua tahun
ke depan, aku akan tinggal di kota Stockholm the Capital
of Scandinavia. Aku akan studi sosiologi di Stockholm
University.

53

Bagian ini akan menceritakan kisahku sejak keberangkatan


sampai hari-hari pertama kedatanganku di Stockholm
yang ternyata penuh dengan peristiwa-peristiwa
mengejutkan dan diluar dugaan. Sengaja baru aku
ceritakan sekarang karena khawatir membuat orang-orang
yang aku sayangi cemas jika sejak awal sudah tau keseruan
yang aku alami.
*-*
Meski belum mendapat tempat tinggal, aku tetap
berangkat
Persiapanku berangkat ke Swedia penuh dengan
kekurangan. Selain karena belum mendapat kepastian
berangkat tahun ini dari pihak pemberi beasiswa, jadwal
perkuliahan yang aku terima sangat mepet dengan jadwal
PK oleh LPDP. Sedemikian mepetnya sampai aku harus
merelakan tidak ikut Orientation Week sejak awal.
Ditengah kekalutan, diselimuti ketidakpastian, aku harus
mengambil keputusan tak peduli nantinya bagaimana.
Sebulan sebelumnya, aku memutuskan pergi ke kantor
Kedutaan Besar Swedia di Jakarta untuk mengajukan
Resident Permit atau kartu ijin tinggal. Setelah berputarputar mencari kantor kedutaan di bilangan Mega
Kuningan itu, akhirnya sampai juga aku di ruang tunggu.
Resident Permit merupakan kartu pengganti Visa bagi
siapapun yang akan tinggal lebih dari 3 bulan di Swedia.
Jadi, kalau-kalau aku diijinkan berangkat tahun ini,
dokumen penting itu sudah siap.

54

[Ruang tunggu di Kedutaan Besar Swedia di Jakarta]

Selasa, 25 Agustus 2015 pukul 17:45 adalah jadwal


penerbanganku dari Jakarta ke Stockholm, dengan transit
di Doha, Qatar. Tiket pesawat aku beli sendiri, uang dari
hasil pinjaman yang nanti aku ganti setelah beasiswa cair.

[Boarding Pass Jakarta-Doha-Stockholm]

55

Dengan mengantongi Resident Permit dan tiket pesawat,


sedikit lagi aku boleh berangkat. Tinggal satu dokumen
tak kalah penting yang harus diurus yaitu kontrak
beasiswa. Rencana keberangkatanku tidak pernah
sempurna. Apalagi sampai hari-H keberangkatan, aku
masih disibukkan oleh usaha mencari kos-kosan (housing)
di sana. Lelah mencari setelah meng-email ribuan kali, aku
memutuskan mencari tumpangan sementara. Untung saja
ada Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) di Swedia, yang siap
sedia memberi bantuan bagi yang mau studi.
Satu-persatu aku tanyakan kepada mereka dimana aku
bisa tinggal untuk sementara. Malam sebelum
penandatanganan kontrak beasiswa, ada salah seorang
anggota PPI Swedia yang dengan rela bersedia
memberikan tumpangan untukku menginap, namanya
Satu Cahaya Langit.

[Chattinganku dengan Satu. Aku mendapat pencerahan setelah


cukup lama kebingungan]

56

Aku harus menyebut namanya di sini karena ia telah


berbaik hati memberi tumpangan untukku menginap.
Bahkan di malam pertama ketadanganku, aku
dipersilahkan tidur di kasur, dan ia tidur di karpet. Setelah
mendapat kepastian dimana aku tinggal untuk sementara,
aku
menandatangani
lembaran
beasiswa.
Hari
keberangkatan sudah semakin dekat, Keluarga dan
saudaraku menyusul ke Jakarta untuk melepas
kepergianku ke Eropa.

[Bersama ibu dan kakakku di Bandara Soetta]

*-*
Jangan sampai ketinggalan pesawat, jangan sampai
kehabisan uang
Itulah pesan kakakku didetik-detik terakhir menjelang
keberangkatanku. Perjalanan ini adalah perjalanan

57

pertamaku ke luar negeri. Tanpa pengalaman sama sekali


aku merasa antusias namun sekaligus was-was. Semua
dokumen penting seperti Resident Permit dan Passport
aku jaga baik-baik. Uang dalam dompet beserta kartu
ATM-nya aku simpan rapat-rapat dalam tas hitam kecil
yang selalu aku selempangkan di depan. Aku jaga semua
barang-barang bawaanku yang penuh baju hangat karena
diingatkan berulang-ulang Eropa sangat dingin. Satu
koper, satu tas carrier yang biasanya dipakai orang naik
gunung, dan satu tas gendong, menjadi bawaanku. Pintu
gerbang keberangkatan pesawat Qatar Airways telah
dibuka, aku berlari ke ruang tunggu, masuk pesawat,
duduk, dan memandang kagum suasana cabin.
Perjalanan dari Jakarta ke Stockholm memakan waktu total
sekitar 18 jam, sudah termasuk transit 3 jam di Doha.
Perbedaan waktu membuat perjalanan seakan lebih cepat.
Tepat tengah malam waktu setempat, aku tiba di Bandara
Doha. Negeri gurun yang berubah penampilannya menjadi
super-modern karena minyak ini konon memiliki airport
paling sibuk di dunia. Sesaat setelah turun dari pesawat,
aku berjalan masuk ke bagian scanning metal dan logam.
Seperti penumpang lainnya, barang-barang yang
mengandung unsur logam harus dilepas. Bagiku, melepas
sabuk menjadi hal yang paling merepotkan. Setelah
dianggap aman, aku berjalan ke depan mengambil
barang-barang yang di scan. Tapi dimana sabukku?
Sepertinya aku kehilangan sabukku. Untuk beberapa saat
aku tidak kemana-mana, menunggu semua pemeriksaan
barang beres. Repot juga kalau aku harus pakai celana

58

kendor dan sabukku terbawa penumpang lain. Tidak


berapa lama, akhirnya aku menemukannya terselip di
samping tas salah satu penumpang terakhir. This is my
belt, kataku langsung mengklaim, ya its not mine kata
penumpang bermuka Arab ini dengan ekspresi datar.
Masuk ke bandara Doha, aku disambut boneka Tedy Bear
raksasa. Sepertinya boneka ini menjadi ikon airport, tapi
apa artinya? Waktu 3 jam sebenarnya masih cukup untuk
keliling airport sejenak, memuaskan rasa kagumku pada
airport raksasa ini. Tapi, karena masih takut ketinggalan
pesawat, aku memutuskan mencari ruang boarding dulu
untuk penumpang yang transit ke Stockholm, baru
kemudian jalan-jalan.

[Boneka Tedy Bear raksasa di Bandara Doha, Qatar]

Papan digital penunjuk arah ruang boarding yang aku tuju


menunjukkan durasi waktu untuk mencapai ke sana.

59

Terpampang jelas disitu bahwa ke tempat tujuan


memakan waktu 45 menit. Tanpa banyak berpikir aku
bergegas jalan menuju tempat tujuan. Karena khawatir
kesasar, lalu menanggung resiko bisa kehabisan waktu di
jalan, aku mencari ruang boarding sambil setengah
berlari. Akhirnya sampai juga. Masih ada waktu sekitar 2
jam untuk menunggu penerbangan ke Stockholm. Tapi
airport itu terlalu luas untuk dikelilingi.
Sambil menunggu, aku aktifkan handphone sembari
berharap mendapat koneksi internet gratis. Keinginanku
bersambut, aku mendapatkannya! Lalu aku buka salah satu
grup whatsapp yang berisi pesan penting karena terkait
pencarianku pada housing di Stockholm. Salah seorang
mahasiswa yang sudah setahun di sana memberi informasi
bahwa ada mahasiswa lain yang membuka tawaran untuk
menyewakan roomnya selama sebulan. Aku segera
mengontaknya, menuliskan kondisiku saat ini dan minatku
pada tawaran itu. Bahkan ditengah perjalanan menuju
negara tujuan, aku masih mencari tempat tinggal!
Khusyuk mengutak-utik keypad, mikrofon di atasku
memecah keheningan, mengabarkan bahwa pesawat
menuju Stockholm telah siap diterbangkan. Para
penumpang mengantri masuk ke pemeriksaan tiket.
Ditengah antrian, aku melihat diriku paling berbeda.
Berbeda dengan perjalanan sebelumnya, aku tak lagi
melihat muka-muka orang Indonesia, apalagi Jawa. Saat
berada pada situasi seperti itu, aku baru benar-benar
merasakan bahwa aku pergi sendirian ke negara asing.

60

Rasanya seperti menginggalkan semua yang kumiliki. Aku


melihat diriku bukan siapa-siapa lagi karena tanpa siapasiapa aku pergi. Baru kali ini aku benar-benar merasa
sendirian. Kini, untuk kedua kalinya, aku naik Qatar. Seperti
yang biasanya aku lakukan dalam perjalanan, aku berusaha
menganggap orang-orang se-perjalanan bukanlah orang
asing. Tentu saja, aku tidak akan bicara pada semua orang.
Tapi memahami hukum kerumunan, berada di satu tempat
bersama menuju suatu tempat bersama. Di pesawat, aku
sering kali tersenyum sendiri keheranan, bisa-bisanya aku
terbang bersama Qatar Airways menuju Stockholm.
*-*
Merasa gumun berada ditengah kerumunan para bule
Pagi hari kira-kira pukul 6. Dari jendela pesawat aku lihat
kabut putih tipis menyelimuti bangunan dari kaca. Aku
telah tiba di Arlanda, bandara internasional Stockholm.
Ditengah kerumunan penumpang lain, aku turun dari
pesawat, kakiku agak bergetar melangkah keluar. Akhirnya
aku mendarat di Swedia! Sepanjang lorong menuju
pemeriksaan visa dan passport, aku masih terkagum,
merasa ini hanya mimpi. Dengan identitas lengkap, aku
berjalan mulus ke bagian pengambilan koper. Berusaha
sabar namun tetap gelisah menanti dua koperku yang tak
kunjung tiba. Tinggal sedikit koper yang tersisa. Aku mulai
cemas bukan main, khawatir kalau-kalau terjadi sesuatu
dengan koperku. Langsung saja aku mendatangi petugas
terdekat dan menanyakan apakah terjadi sesuatu dengan
koperku karena aku belum melihatnya dari tadi. Petugas

61

itu menunjuk ke arah depan, tempat alternatif penerimaan


barang-barang penumpang yang melalui pemeriksaan
khusus. Di situ aku menemukan koperku.

[Bandara Arlanda, Stockholm]

Selanjutnya aku harus menemukan tempat yang tak kalah


penting sebelum keluar dari airport; kios penukaran uang.
Dengan berbekal uang cash 300 USD aku bisa menukarnya
dengan uang sekitar 2400 Kronor (sekitar 4 juta rupiah),
mata uang yang berlaku di negara ini. Aku menunggu
giliran, di depanku, seseorang yang tampaknya dari Asia
Tengah, bertanya padaku; Sri Lanka?, aku tak tau apa
maksudnya sorry, I dont get it, what do you mean?, Are
you from Sri Lanka?, katanya. No, I am Indonesian.
Dalam hati aku bergumam, mungkin wajahku mirip orang
Sri Lanka. Kami kemudian bercakap sejenak. Aku tak ingat
namanya, tapi ia juga baru sampai di Stockholm untuk
memulai kuliah di Universitas Umea, yang belakangan aku
tahu letaknya di sekitar lingkaran Arktik, tempat tinggal
beruang kutub.

62

Di dompetku masih tersimpan mata uang rupiah sejumlah


ratusan ribu. Tampaknya tidak terpakai disini, tidak bisa
pula ditukar dengan kronor karena tidak laku. Tanpa tau
arah kemana dan naik apa untuk sampai ke pusat kota,
uang benar-benar barang yang paling aku jaga. Aku harus
segera mengontak temanku yang akan menemuiku
sekaligus memberi tumpangan menginap sementara.
Nomor bawaan yang aku pakai tak berlaku, harus diganti
dengan provider lokal, maka aku butuh wifi. Untung saja,
ada wifi gratis di salah satu kios di bandara. Kios
bertuliskan Pressbyran di atasnya. Sebut saja Indomaretnya Swedia. Aku berdiri disamping retail itu, menghubungi
temanku.

[Pressbyran, tempat wifi gratis]

Naik Flygbussarna, menuju City Terminalen, tiket bisa


dibeli di airport, demikian pesan yang aku terima. Aku
menuju tempat pembelian tiket. Tertera tulisan
Flygbussarna di depannya. Dengan yakin aku langsung
mengantri beli tiket itu. Tiba giliranku untuk

63

menyampaikan maksudku. Petugas tiket bertanya dengan


bahasa lokal, tentu saja aku tak paham sama sekali.
Dengan bahasa Inggris yang terbata-bata, aku jelaskan
maksudku untuk membeli tiket bus ke City Terminalen. Ia
melirik ke dompetku. Rupanya setengah tak percaya kalau
aku punya kronor. What time the bus will come up?
tanyaku. It will be in 2 minutes, but you have to walk to
the bus stop, so it will be 10 minutes to come. Aku benarbenar masih ingat dialog ini, karena ketika aku sampai di
pemberhentian bus, tepat 10 menit kemudian bus tiba.
Tepat waktu adalah kesan pertamaku berada di negara ini.
Sepanjang perjalanan menuju pusat kota, aku terus
tersenyum sendiri. Melihat Eropa rasanya benar-benar
seperti mimpi.

[Pemandangan menuju City Terminalen]

64

Bus tiba di City Terminalen, pusat kota Stockholm. Di sini


aku janjian bertemu temanku. Angin dingin berhembus
kencang menyambutku turun dari bus.

[Aku tiba di City Terminalen]

Aku mencari-cari ruang tunggu yang berada di dalam


gedung untuk berlindung. Eropa memang dingin, apalagi
Stockholm berada di Eropa utara yang lebih dingin
dibanding Eropa daratan lainnya. Masih terkagum-kagum,
aku berjalan diantara kerumunan para bule. Banyak sekali
bule berlalu lalang di sini. Perempuan dan laki-lakinya
tinggi-tinggi, pakaiannya modis-modis. Aku tak akan
jelaskan detail bagaimana warna rambut, mata, dan kulit
rata-rata orang di sini, karena sekarang bukan jaman
baheula. Siapapun bisa melihatnya di internet. Berada di
tengah kerumunan para bule benar-benar mengesankan.

65

Apanya yang mengesankan? Aku sendiri tak tau,


mungkin hanya rasa gumun yang berlebihan saja sehingga
sebaiknya kusembunyikan rapat-rapat. Nyatanya di sini
banyak beredar orang-orang dengan warna kulit berbeda
yang memberi kesan kehidupan masyarakat yang
multikultur.
Setelah menunggu beberapa menit, aku bertemu Satu
Cahaya Langit. Senang sekali rasanya bertemu teman baru
di sini. Ia pernah bekerja di sini setahun sebelum kembali
lagi untuk studi. Sedikit banyak ia tau tentang Stockholm,
sehingga aku mulai banyak bertanya tentang kehidupan
sehari-hari orang-orang sini. Kami meneruskan perjalanan
menuju apartemennya. Agar tidak rancu, aku jelaskan
terlebih dahulu bahwa apartemen di sini boleh diistilahkan
sama dengan kosan di Indonesia. Karena kosan di sini
memang berupa apartemen yang air kran-nya bisa
diminum. Perjalanan menuju apartemen menggunakan
Tunnelbana atau sebut saja kereta bawah tanah.

[Kereta bawah tanah di Stockholm]

66

Namun sebelumnya, aku harus beli kartu yang namanya


Storstockholm Localtrafik (SL) di kios SL. Kartu SL ini
berlaku untuk periode tertentu, tak peduli berapa kali
melakukan perjalanan dalam kota, selama masa berlaku
belum habis, tiket bisa dipakai kemana-mana.
Istimewanya, tiket itu bisa dipakai untuk transportasi
umum lain selain kereta bawah tanah, seperti; trem atau
bus, kereta listrik atau KRL, dan kapal ferry. Sistem
transportasi umum yang sudah terintegrasi memudahkan
mobilitas orang-orang di sini untuk menjelajah sampai ke
pelosok kota. Beginilah sistem transportasi publik ala
walfare state.

[Kios SL di pusat kota Stockholm]

Saat itu pukul 11 siang, kami sudah sampai di apartemen.


Tampak dingin di luar meskipun matahari masih bersinar
cerah. Setelah istirahat sejenak, aku diajak ke sebuah

67

apartemen lain di daerah yang bernama Skogas yang


katanya biasa jadi tempat berkumpulnya mahasiswa
Indonesia yang studi di Stockholm.

[Bertemu teman-teman PPI Swedia di Skogas, Stockholm]

Di situ juga akan diadakan latihan perdana tari saman


untuk acara kebudayaan di Stockholm. Aku datang dan
berkenalan dengan mahasiswa asal Indonesia yang studi
di sini. Oleh karena semuanya latihan tari saman, maka
tanpa beban sama sekali aku ikut nimbrung.
*-*
Kadang kita harus memulai sesuatu yang baru tidak
dari nol, tapi dari minus
Rasa lelahku dikalahkan oleh kenikmatan melihat Eropa.
Malam pertama di Stockholm, hawa dingin bertiup

68

lumayan menusuk. Dengan dibungkus pakaian hangat


lengkap dengan kaos kaki, aku tidur di kasur. Esok pagi,
aku harus ke kampus menyusul ikut program Orientation
Week yang sudah berlangsung sejak aku belum tiba di
Stockholm. Orientation Week adalah program tidak wajib
tapi terlalu penting untuk di lewatkan. Aku hanya bisa
bergabung dengan program-progam sisa, yakni
pengenalan perpustakaan universitas, dan touring keliling
kota Stockholm. Bangun tidur, langsung aku bersiap pergi
ke kampus. Tak disibukkan dengan bawaan apa-apa
kecuali tas berisi buku dan alat tulis serta pakaian untuk
melindungi tubuhku dari udara dingin di luar. Ada sesuatu
yang kurang dan tampaknya sangat penting sekali; aku tak
melihat dompetku yang biasanya ada di dalam tas kecil
yang selalu aku selempangkan. Sambil mencari, aku
berusaha mengingat-ingat kapan terakhir kali aku
mengeluarkan dompet. Barang berharga dalam dompet
itu hanya uang, ATM, dan KTP. KTP tidak penting karena
tidak laku di sini, tapi kalau ATM benar-benar hilang,
sumber finansialku benar-benar terputus!
Tak kunjung ketemu, aku mengubah rencanaku dari
menghadiri Orientation Week ke main petak umpet
dengan dompet. Aku yang jaga. Untuk beberapa saat, aku
harus melupakan sejenak anggapan bahwa Stockholm
adalah salah satu ibu kota paling aman di Eropa. Paris dan
Barcelona konon katanya memang rawan copet, tapi di
sini, silahkan menilai sendiri. Seperti biasanya, dalam
kekalutan, aku mencoba tenang. Tampaknya bukan
kecopetan, cuma lupa menaruh, sebab, setelah

69

mengeluarkan dompet untuk beli kartu SL aku tak ingat


lagi apakah aku memasukkannya kembali ke tas atau tidak.
Tanpa banyak pertimbangan aku pergi ke tempat
pembelian tiket kemarin.
Aku sampai di City Terminalen tapi tak menemukan kios
tiketnya. Berputar-putar ditengah kerumunan, aku
mendapati diriku kehilangan arah. Sepertinya giliran aku
sendiri yang hilang. Papan nama menjadi andalanku untuk
menuju ke arah mana aku harus pergi. Papan bertulisan
Hittegods atau Lost and found memberi sedikit
pencerahan dalam misi pencarianku. Lost and found
adalah tempat dimana biasanya barang-barang yang
ditemukan orang di jalan dikumpulkan.

[Papan petunjuk arah Lost and found, sempat membuka harapan


dalam misi pencarianku]

70

Petugas Lost and found benar-benar mencatat setiap


barang yang diterima. Konon katanya setiap hari ada
sekitar 300 barang hilang yang diterima, kebanyakan
berupa kunci dan dompet. Sambil mencoba peruntungan,
aku datangi tempat itu, dan menjelaskan detail kronologi
dimana terakhir kali aku memegang dompetku. Hasilnya?
nihil!
Misi pencarianku belum selesai. Keesokan harinya, aku
harus temukan kios SL untuk memastikan apakah ada
dompet tertinggal di sana. Tapi misi ini bakal berhenti
total begitu saja kalau yang menjalankan tidak bisa
kemana-mana. Maka aku pinjam uang temanku 500
Kronor (sekitar 800 ribu rupiah) untuk melaksanakan misi
sekaligus tentu saja menyambung napas. Harus kuakui di
sini, aku memulai semuanya tidak dari nol, melainkan dari
minus. Tapi ada perasaan sedikit ganjil karena aku tak
panik sama sekali sejak pertamakali mendapati dompetku
tak ada. Hanya kebingungan sesaat yang tampaknya lebih
karena aku tak tahu arah, bukan karena sesuatu yang
hilang.
Pelayaranku baru saja dimulai! Aku mendatangi
Departemen yang menangani Lost and found, kali ini lebih
besar lingkupnya karena mencakup area kota. Di kantor
itu, aku duduk manis mengantri, menunggu seorang
nenek yang sedang laporan kuncinya hilang. Lama sekali
nenek itu melapor dengan bahasa lokal yang aku tak
mengerti. Akhirnya petugas itu mengeluarkan beberapa
kunci yang salah satunya adalah kunci miliknya. Mendapati

71

benar itu kuncinya, nenek itu langsung berteriak pelan


bahagia, seolah bertemu cucunya setelah bertahun-tahun
tak berjumpa. Kini giliranku melapor. Setelah menceritakan
kronologi kejadiannya, petugas itu mencari cukup lama di
beberapa laci dan lemari tempat barang-barang hilang
ditaruh. Ia juga mengidentifikasi dengan memasukkan
nama lengkapku di data arsip di komputernya. Hasilnya?
Nihil. Berusaha tak ambil pusing, aku berjalan menuju
pintu keluar, melihat peta menuju kampus, ikut
Orientation Week!

[Mengikuti tour kota Stockholm bersama mahasiswa


internasional Stockholm University]

Berbekal arahan orang lain, papan penunjuk arah, dan


tentu saja google map, akhirnya sampai juga aku di
Stockholm University. Aku menatap kampusku dengan
kagum yang tiada habis-habisnya. Sambil berjalan menuju

72

papan peta kampus, aku masih merasa seperti mimpi.


Papan peta kampus dikerumuni banyak orang, banyak
mahasiswa baru yang masih kebingungan pikirku dalam
hati sedikit menghibur diri bahwa aku tak sendirian di sini.

[Suasana di area kampus dihari pertamaku tiba]

Aktivitas kampus akan dimulai segera setelah Orientation


Week selesai. Artinya tidak ada jeda sama sekali. Aku
menghadiri kuliah perdana dengan antusias. Kelas
pertama dibuka dengan perkenalan, lalu langsung masuk
ke materi. Aku mengenal beberapa mahasiswa
internasional dalam satu kelas yang datang dari Pakistan,

73

Jerman, dan Spanyol. Sisanya warga Swedia. Aku satusatunya mahasiswa Indonesia di kelas itu. Kelas pertama di
kampus banyak diisi dengan diskusi. Aku mendapati diriku
diam saja. Kemampuan bahasa Inggris yang pas-pasan ini
sukses membuatku merasa inferior. Tapi seusai kelas aku
seringkali mendekati dosen untuk bertanya langsung apa
yang tidak aku mengerti. Dihari-hari pertama kuliah, aku
benar-benar minder bicara di kelas.
*-*
Sensasi senasib-seperantauan
kekeluargaan

menumbuhkan

rasa

Hari-hari pertama di Swedia, banyak sekali undangan


acara yang aku terima. Salah satunya, undangan dari Pak
Dubes. Tiap tahun, keduataan RI di Swedia mengadakan
acara penyambutan mahasiswa baru yang akan memulai
studi. Kali ini acara diselenggarakan di Wisma Duta,
tempat tinggal Pak Dubes di Swedia. Acara yang pasti ada
makan-makannya ini sangat penting bagi mahasiswa baru
dan sangat menarik bagi mahasiswa lama. Di sini aku
bertemu teman-teman mahasiswa dari Indonesia yang
sedang dan akan memulai studi di Swedia. Bertemu
mereka rasanya seperti bertemu anggota keluarga yang
terpisah. Ada sensasi senasib-seperantauan yang mengikat
sehingga menimbulkan rasa kekeluargaan.

74

[Wisma Duta, tempat diselenggarakan penyambutan mahasiswa


baru]

Pak Dubes memberi sambutan berisi cerita tentang


kehebatan Swedia. Mulai dari cerita dibalik ikon-ikon
terkenal seperti IKEA, Volvo, Oriflame, SAAB, Scania,
Ericsson, dan Zlatan Ibrahimovic, sampai dengan karakter
khas orang Swedia yang reserved, toleran, menghargai
privasi orang, dan ramah, Pak Dubes sampaikan dengan
cerita mengalir dan enak didengar. Materi tentang
hubungan kedepan Swedia-Indonesia juga disampaikan
melalui
cerita
berupa
pengalaman-pengalaman
sebelumnya.

75

[Penyambutan mahasiswa Indonesia di Swedia oleh Pak Dubes]

Selesai acara, aku beserta rombongan mahasiswa pergi


menuju ke satu-satunya pemberhentian bus yang terdekat
dari Wisma Duta. Tiba-tiba aku ingat, kartu SL ku sudah
habis masa berlakunya. Ketika bus tiba, semua rombongan
naik, aku berada di barisan paling belakang. Tiket yang
sudah habis itu terdeteksi kalau memang benar-benar
expired. Tentu saja aku balik badan memutuskan turun
dari bus. Tapi supir bus memanggil, menyuruhku naik saja.
All of them are your friend? ia bertanya seolah
memastikan aku tidak ditinggal teman-temanku, karena di
tempat pemberhentian bus itu, tidak ada tempat untuk
memperpanjang masa berlaku tiket. Artinya kalau aku
tidak naik bus, aku harus jalan sampai menemukan tempat
penjualan tiket SL. Yes, I am with them jawabku. Bus
jalan, aku duduk di belakang supir, lalu berdiri karena

76

dipanggil dan ditanya; Where are you from?, Indonesia,


it is just my second week to be here jawabku. Supir yang
berbaik hati mempersilahkanku naik busnya tanpa tiket itu
menjelaskan tentang sistem ticketing di Swedia. Katanya,
jika ada pemeriksaan tiket, dan aku ketahuan tidak
membawa tiket, aku akan didenda sebesar 1400 Kronor
(sekitar 2,3 juta rupiah). Pihak keamanan akan melapor ke
universitas, surat denda akan sampai di tempat dimana
aku tinggal dalam hitungan hari. What!? I will get fined
here? tanyaku mengira akan ada pemeriksaan tiket
sekarang juga. no no no, you are with me, but next time if
you caught not having any ticket, you get fined.

[Bus di Swedia]

Bus gratis berhenti di stasiun Tunnelbana, kami semua


turun. Ketika turun, teman-teman bertanya apa yang aku
bicarakan dengan supir bus tadi. Maklum saja, selama
perjalanan aku tidak duduk, berdiri terus di samping supir
mendengar ceramahnya. Beberapa teman menuju stasiun
kereta bawah tanah melanjutkan perjalanan. Aku berjalan

77

di belakang bersama temanku Winda Pasadena dan


Mustafa Kamal. Aku sebutkan nama mereka karena kepada
mereka aku ceritakan bahwa aku memulai semuanya dari
minus. Winda dengan baik hati meminjamkan uangnya
padaku untuk beli tiket kereta menuju Skansen. Skansen
adalah salah satu taman terkenal di Stockholm yang
dipenuhi museum dengan arsitektural klasik, dimana kami
akan berkumpul dalam rangka sesi perkenalan internal PPI
Swedia wilayah Stockholm. Sejak mengenal teman-teman
PPI, aku tak lagi merasa asing di sini. Swedia bukan lagi
negeri antah berantah, Eropa tak jauh-jauh amat dari
tanah air.

[Sesi perkenalan dengan PPI Swedia di Stockholm]

78

Rupanya kabar tentang aku memulai semuanya dari


minus dengan cepat menyebar dan sampai di telinga
ketua PPI Swedia wilayah Stockholm Muhammad Iqbal. Ia
berinisiatif sendiri membantuku dengan mencarikan
pinjaman uang. Seminggu kemudian, aku dipinjami 2000
Kronor (sekitar 3,3 juta rupiah). Tidak ada jangka waktu
kapan harus dikembalikan katanya. Minggu pertama dan
kedua di sini, penuh dengan peristiwa-peristiwa tak
terduga. Seperti menerjang ombak di atas kapal oleng, aku
berpegangan kuat menerobos ombak. Tanpa tempat
tinggal, tanpa uang, aku benar-benar berada di atas kapal
oleng. Sayangnya, aku sendiri kaptennya. Orang bilang
kapal tidak dibuat untuk sekadar bersandar di dermaga.
Maka ada alasan jelas kenapa aku harus bertahan.
*-*
Beriku gelombang kan kuterjang, beriku perompak ku
tetap menang!
Minggu berikutnya, orang penting yang mengatur skema
pembiayaan kuliahku datang berkunjung ke Stockholm.
Direktur LPDP beserta rombongan didampingi Pak Dubes
menemui sejumlah mahasiswa yang tengah studi di
Stockholm. Aku adalah salah satu peserta yang hadir,
duduk manis mendengar arahan beliau mengenai tugastugas kenegaraan agar jangan sampai dilupakan. Dalam
kesempatan itu, kami juga sampaikan tentang sistem
pendidikan di Swedia dan peluang-peluang yang harus
dibuka oleh pemerintah pada anak-anak muda Indonesia
agar kedepannya makin banyak lagi mahasiswa Indonesia

79

datang ke sini untuk studi. Negara-negara di Skandinavia


telah dikenal memiliki sistem pendidikan terbaik di dunia.
Dalam pertemuan itu, hadir pula beberapa masyarakat
Indonesia yang telah lama tinggal di Swedia. Salah satunya
yang mengubah kondisiku di sini adalah Bu Srie. Temanku
yang duduk di sebelaku Dhani Saputra mengenalkanku
pada Bu Srie setelah ia tau aku belum mendapat tempat
tinggal di Stockholm. Pertemuanku dengan Bu Srie
mengawali fase kehidupanku yang baru di Stockholm. Aku
harus sampaikan kebaikan Bu Srie yang telah
mempersilahkanku untuk menyewa salah satu kamar di
apartemennya.

[Apartemen tempat dimana aku tinggal]

80

Bu Srie tinggal bersama suaminya, Pak Rauf, yang baru


saja pensiun. Mereka memiliki tiga kamar, dua diantaranya
disewakan. Aku menyewa salah satu kamarnya dengan
biaya setengah dari rata-rata harga sewa kamar di
Stockholm. Di kota yang dikenal dengan biaya hidupnya
yang sangat tinggi ini, aku mendapat harga sewa kamar
yang murah. Bu Srie dan Pak Rauf memang dikenal suka
menyewakan kamar dengan harga dibawah rata-rata
untuk mahasiswa yang tengah studi. cuma bantu-bantu,
apalagi cari kamar di kota ini memang sulit katanya,
ketika aku tanya kenapa harganya miring. Aku tinggal
bersama Bu Srie dan Pak Rauf seperti keluarga.
Beberapa hari sebelum pindah ke kamar baru, aku
berkemas memastikan jangan sampai ada barang yang
tertinggal di apartemen tumpanganku. Saat berkemas
itulah, aku menemukan salah satu kartu ATM terselip
dalam buku tabungan. Ini adalah keberuntungan besar
karena artinya aku tersambung kembali dengan sumber
finansial. Rasanya seperti bisa bernapas kembali setelah
beberapa saat berada di ruang bawah tanah tanpa
oksigen. Aku langsung tarik tunai untuk melunasi hutanghutangku.
Dalam hitungan hari, aku mendapati diriku dalam keadaan
punya uang dan tempat tinggal. Kini aku telah berubah
dari kehidupan minus, menjadi plus-plus. Keajaiban
memang selalu datang dari arah yang tidak disangkasangka. Aku langsung mencukupi kekuranganku dan
memulai hidup baru di sini. Aku membeli buku, jalan-jalan

81

dengan teman-teman baru menyusuri pusat keramaian


kota sambil menikmati keindahan arsitektur khas Eropa.
Aku minum kopi di cafe-cafe eksotik di Stockholm, belanja
kebutuhan sehari-hari di IKEA, mencicip ragam kuliner
khas ala Skandinavia. Aku juga mulai terlibat di berbagai
kegiatan kampus, mendaftar kelas Bahasa Swedia, dan
aktif di PPI Swedia wilayah Stockholm. Godaanku kini lebih
berat karena punya uang. Aku minta doa pada kalian
semoga bisa jaga diri dan tidak kalap, tetap fokus pada
studi agar hasilnya baik.

[Berkumpul dan makan malam bersama teman-teman di kampus]

Tiga minggu sudah aku berada di sini. Ombak sudah


tampak tenang, bahkan berayun dengan lembut,
mengayunkan kapalku menuju ke suatu tempat dimana

82

aku akan berlabuh. Tapi ternyata belum terlihat setitikpun


daratan di sekeliling. Perjalananku tampaknya masih jauh.
Aku tau di depan masih banyak ombak yang harus
kuterjang. Pelayaran ini akan penuh dengan keseruankeseruan lain tak terduga. Namun dengan spirit Sagara
Jayasvarna, aku siap membawa Kapal Oleng ini
menerjang ombak-ombak berikutnya.

[Selamat datang di Swedia!]

Sekian catatan perjalan yang bisa aku ceritakan.


Terimakasih aku ucapkan kepada semua yang telah
meluangkan waktu membaca ebook ini. Selalu aku
doakan, bagi mereka yang sedang berjuang untuk
melanjutkan studi, semoga segera datang kesempatan
yang ditunggu-tunggu. Dengan setia aku menunggu

83

komentar para pembaca, baik kritik maupun saran, agar


lebih baik lagi kedepannya nanti. Tack!

84

PENULIS
Sidiq Hari Madya, lahir di Batang pada 17
Oktober 1989. Sewaktu masih bayi pernah
dibawa orang tuanya ke Solo, lalu dibawa ke
Jakarta, menikmati masa kecil di ibukota
sampai kelas 2 SD. Kelas 3 pulang ke
kampung kelahiran, melanjutkan sekolah
sampai lulus SMA. Setelah tamat, pindah ke
Kota Gudeg Jogja melanjutkan studi S1 Sosiologi. Sekarang
tinggal di Stockholm untuk studi S2 Sosiologi juga. Sidiq suka
mengamati perilaku orang-orang yang dianggapnya menarik
untuk dijadikan inspirasi. Hobinya kadang membaca kadang
menulis, kalau capek tidur, kalau bosan seringkali pergi ke luar
atau nongkrong di cafe. Catatan kekinian tentang kegiatan
kesehariannya sering ia unggah melalui akun instagramnya
@sidiqharim

85

Anda mungkin juga menyukai