Anda di halaman 1dari 6

Research

Note

Pengaruh Lama Fermentasi terhadap Kadar Alkohol


PENGARUH LAMA FERMENTASI TERHADAP KADAR ALKOHOL, pH, DAN PRODUKSI GAS
PADA PROSES FERMENTASI BIOETANOL DARI WHEY DENGAN SUBSTITUSI KULIT NANAS
N. Azizah, A. N. Al-Baarri, S. Mulyani
ABSTRAK: Penelitian dengan tujuan untuk mengetahui pengaruh lama fermentasi terhadap kadar alkohol, pH,
dan produksi gas pada proses fermentasi bioetanol dari whey dengan substitusi kulit nanas telah dilakukan.
Penelitian menggunakan rancangan acak lengkap dengan 5 perlakuan yaitu T1, T2, T3, T4, dan T5, yang masing-
masing adalah lama fermentasi 12, 24, 36, 48, dan 60 jam. Ulangan dilakukan sebanyak 4 kali untuk masing-
masing perlakuan. Data diolah dengan menggunakan ANOVA, apabila ada pengaruh dilanjutkan dengan Uji
Wilayah Ganda Duncan. Hasil Penelitian menunjukkan lama fermentasi berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap pH
tetapi tidak menunjukkan pengaruh (P>0,05) terhadap kadar alkohol dan produksi gas. Kesimpulan, lama
fermentasi berpengaruh menurunkan nilai pH, tetapi tidak berpengaruh meningkatkan kadar alkohol dan
produksi gas.

Kata kunci: whey, bioetanol, kadar alkohol, pH, produksi gas.

PENDAHULUAN

Kebutuhan dan konsumsi masyarakat akan Bahan
Bakar Minyak (BBM) yang semakin meningkat dari tahun ke
tahun berbanding terbalik dengan ketersediaannya. Di Jawa
Tengah misalnya, suplai BBM dari tahun ke tahun menurun
meskipun angkanya relatif tetap. Menurut Badan Pusat
Statistik Jawa Tengah jumlah total penyaluran BBM pada
tahun 2006 adalah 4.202.246 kL kemudian pada tahun 2008
mengalami penurunan yang tidak signifikan menjadi
4.204.353 kL dan pada tahun 2010 juga mengalami
penurunan menjadi 4.010.695 kL. Menurunnya total suplai
bahan bakar minyak tersebut salah satunya dikarenakan
sumber penghasil BBM yaitu fosil semakin lama semakin
berkurang.

Salah satu upaya untuk mengurangi konsumsi
masyarakat terhadap BBM adalah dengan memanfaatkan
energi alternatif terbarukan seperti yang tertuang dalam
Peraturan Presiden (Perpres) Republik Indonesia Nomor 5
Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional, adalah
melalui pengembangan energi terbarukan berbasis nabati
atau sering disebut Bahan Bakar Nabati (BBN). Tidak hanya
mengeluarkan Perpres no. 5 tahun 2006, tetapi pemerintah
juga menargetkan pada tahun 2016 pemanfaatan BBN bisa
mencapai angka 5%. Salah satu contoh bahan bakar berbasis
nabati adalah bioetanol. Saat ini sudah banyak ditemukan
pemanfaatan bioetanol sebagai bahan campuran (aditif) dari
bensin yang sering disebut dengan gasohol E-10. Gasohol E-
10 merupakan campuran antara bensin dengan 10%
bioetanol murni. Gasohol E-10 memiliki angka oktan 92 yang
hampir setara dengan pertamax yang memiliki nilai oktan
92-95. Oleh karena itu sangatlah mungkin jika bioetanol
dapat dijadikan sebagai salah satu alternatif pensubstitusi
Dikirim 30/6/2012, diterima 29/8/2012. Penulis N. Azizah adalah
dari Magister Ilmu Ternak, Fakultas Peternakan dan Pertanian,
Universitas Diponegoro. Penulis A. N. Al-Baarri dan S. Mulyani
adalah dari Program Studi Teknologi Pangan, Fakultas Peternakan
dan Pertanian, Universitas Diponegoro. Kontak langsung pada
penulis: N. Azizah (zizay@student.undip.ac.id)

BBM yang ramah lingkungan karena hasil pembakarannya


hanya menghasilkan H2O dan CO2.

Bioetanol dapat dibuat dari bahan yang
mengandung gula sederhana, pati, maupun bahan berserat
melalui proses fermentasi. Masing-masing bahan berbeda
cara pengolahannya untuk bisa dijadikan bioetanol. Menurut
Retno dan Nuri (2011), produksi bioetanol dengan
menggunakan bahan berpati harus diawali dengan proses
pemecahan pati menjadi gula sederhana atau glukosa
melalui metode hidrolisis asam atau enzimatis. Whey
merupakan hasil samping dari proses pengolahan keju. Di
Indonesia whey umumnya tidak dimanfaatkan sehingga
menjadi limbah yang dapat merusak lingkungan. Padahal,
whey masih mengandung komponen-komponen yang
penting diantaranya adalah laktosa. Laktosa merupakan gula
sederhana sehingga dalam proses produksi bioetanol dari
whey tidak membutuhkan proses hidrolisis. Untuk
mengkonversi laktosa whey menjadi bioetanol dibutuhkan
mikroorganisme. Mikroorganisme yang umumnya digunakan
dalam proses produksi bioetanol adalah Saccharomyces
cerevisiae. Saccharomyces cerevisiae memiliki beberapa
kelebihan dibandingkan dengan mikroorganisme lain yang
dapat memproduksi bioetanol. Kelebihan tersebut antara
lain lebih mudah beradaptasi dengan lingkungan, lebih tahan
terhadap kadar alkohol tinggi, dan lebih mudah didapat.

Whey dapat dikonversi menjadi bioetanol, tetapi
kadar etanol yang dihasilkan rendah. Ini disebabkan karena
kandungan laktosa di dalam whey hanya sekitar 4 - 5%. Oleh
karena itu perlu adanya bahan substitusi whey agar
kandungan gula dalam substrat cukup untuk dapat
dikonversi menjadi bioetanol. Kulit nanas yang merupakan
limbah buah nanas ataupun limbah industry nanas
berpotensi untuk dijadikan bahan substitusi whey karena
kandungan gula didalamnya cukup tinggi yaitu sekitar 12%.

Lama fermentasi pada proses produksi bioetanol
sangat mempengaruhi kadar bioetanol yang dihasilkan.
Semakin lama waktu fermentasi maka semakin tinggi kadar

72
Vol. 1 No. 2, 2012 Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan

Pengaruh Lama Fermentasi terhadap Kadar Alkohol



bioetanol yang dihasilkan. Jika bioetanol yang terkandung di substrat yang digunakan dalam penelitian utama adalah
dalam substrat tinggi maka hal ini justru akan berpengaruh whey yang disubstitusi dengan kulit nanas dengan
buruk terhadap pertumbuhan Saccharomyces cerevisiae. perbandingan 1:1. Substrat yang terdiri dari 500 ml whey
Karena pada kadar alkohol 2,5% pertumbuhan dan 500 gram kulit nanas disiapkan di dalam filtering flask
Saccharomyces cerevisiae akan terhambat. Hanya 1500 ml. Sebelum dimasukkan dalam filtering flask, substrat
0
Saccharomyces cerevisiae strain tertentu saja yang dapat dipasteurisasi pada suhu 70 C selama 30 menit. Setelah itu,
bertahan pada kadar alkohol 2,5-5%. Oleh karena itu whey dan kulit nanas dicampur sampai homogen (Tipteerasri
dibutuhkan lama fermentasi yang tepat untuk proses et al., 2009 termodifikasi).
fermentasi bioetanol agar didapatkan kadar etanol dalam
jumlah yang tinggi, nlai pH rendah, dan produksi gas yang Penyiapan starter. Starter yang digunakan adalah ragi roti
tinggi
tetapi
tidak
mengganggu
pertumbuhan dengan merk Fermipan yang ditumbuhkan dalam substrat
Saccharomyces cerevisiae.
pertumbuhan. substrat pertumbuhan terdiri dari 1000 ml

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui aquades yang ditambahkan dengan 100 gram gula pasir
pengaruh lama fermentasi terhadap kadar alkohol, pH dan (konsentrasi gula 10%) yang disiapkan di dalam gelas beker
produksi gas selama proses fermentasi bioetanol dengan (Elevri dan Putra 2006 termodifikasi). Setelah semua bahan
substrat whey yang disubstitusi dengan kulit nanas. Manfaat dimasukkan, kemudian dihomogenkan terlebih dahulu
yang didapatkan dari penelitian ini adalah dapat diperoleh dengan magnetic stirrer kemudian disterilisasi dengan
0
lama fermentasi yang paling optimal dalam fermentasi menggunakan autoclave pada suhu 121 C selama 15 menit.
bioetanol dengan substrat whey yang disubstitusi dengan Substrat ditunggu hingga dingin. Setelah dingin, sampai kira-
0
kulit nanas.
kira mencapai suhu 30-33 C, 50 gram Fermipan dimasukkan
0

ke dalam substrat, selanjutnya diinkubasi pada suhu 30 C
MATERI DAN METODE
selama 8 jam (Tipteerasri et al., 2009 termodifikasi).

Penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan
November-Desember 2011 di Laboratorium Teknologi Hasil Inokulasi starter. Setelah starter diinkubasi selama 8 jam,
Terrnak Fakultas Peternakan dan Pertanian Universitas maka starter tersebut siap untuk diinokulasikan di dalam
Diponegoro Semarang.
substrat fermentasi. Inokulasi starter baik dilakukan setelah

starter diinkubasi selama 8 jam. Hal ini didasarkan pada
Materi
asumsi bahwa setelah 8 jam, Saccharomyces cerevisiae telah

Materi yang digunakan dalam penelitian ini adalah mengakhiri fase logaritmik. Akhir fase logaritmik ditandai
whey jenis acid whey yang didapat dari perusahaan keju dengan adanya perlambatan pertumbuhan dan peningkatan
Baros cabang Salatiga, kulit nanas, ragi roti komersil kemampuan metabolisme (Held, 2010). Starter dimasukkan
dengan merk Fermipan, gula, aquades, aluminium foil, dalam medium fermentasi pada kondisi yang aseptis. Jumlah
alkohol 70%. Peralatan yang digunakan adalah filtering flask starter yang dimasukkan adalah sebanyak 10% (Tipteerasri
1500 ml, gelas ukur, beker gelas, klip, magnetic stirrer, et al., 2009).
inkubator, autoclave, timbangan analitik, piknometer, pH
meter, dan bunsen.
Proses fermentasi. Setelah sejumlah 10% starter

diinokulasikan ke dalam substrat fermentasi dalam keadaan
Metode
yang aseptis maka proses selanjutnya adalah melakukan

Penelitian yang telah dilaksanakan menggunakan fermentasi substrat yang telah diinokulasi dengan starter.
perlakuan monofaktor yaitu lama fermentasi dengan Proses fermentasi dilakukan di dalam ruangan khusus yang
lingkungan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dan respon yang suhunya diatur agar tetap memenuhi persyaratan optimal
diamati adalah kadar alkohol, pH, dan produksi gas. pertumbuhan dari Saccharomyces cerevisiae. Proses
Perlakuan yang diberikan dibagi dalam 5 taraf dengan fermentasi dilaksanakan selama 60 jam dan setiap 12 jam
ulangan sebanyak 4 kali. Data yang diperoleh dianalisis sekali dilakukan pengujian terhadap kadar alkohol, pH dan
dengan ANOVA dan jika terdapat perbedaan maka dilakukan produksi gas (Richana, 2011 termodifikasi). Pengujian kadar
dengan Uji Wilayah Ganda Duncan. Adapun taraf perlakuan alkohol diawali dengan proses destilasi.
yang digunakan adalah sebagai berikut:

T1
= lama fermentasi 12 jam
Variabel penelitian. Variabel yang diamati dalam penelitian
T2
= lama fermentasi 24 jam
adalah kadar alkohol, pH, dan produksi gas. Prosedur
T3
= lama fermentasi 36 jam
penetapan variabel-variabel tersebut dijelaskan lebih lanjut
T4
= lama fermentasi 48 jam
seperti di bawah ini.
T5
= lama fermentasi 60 jam


Prosedur pengujian kadar alkohol. Prosedur pengujian
Persiapan substrat. Substrat adalah media pertumbuhan kadar alkohol dilakukan dengan metode piknometer sesuai
Saccharomyces cerevisiae, berbentuk cair yang di dalamnya dengan petunjuk Putri dan Sukandar (2008), pertama-tama
mengandung nutrisi untuk pertumbuhan Saccharomyces sampel sebanyak 100 ml dimasukkan ke dalam labu destilasi
cerevisiae. Berdasarkan hasil penelitian pendahuluan, maka Kjeldahl kemudian ditambahkan dengan aquades sebanyak

73
Vol. 1 No. 2, 2012 Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan

Pengaruh Lama Fermentasi terhadap Kadar Alkohol



0
100 ml. Selanjutnya didestilasi pada suhu 80 C. Destilat tidak berpengaruh nyata terhadap kadar alkohol whey
ditampung di dalam erlenmeyer hingga volume 50 ml. dengan substitusi kulit nanas. Data rerata Kadar Alkohol dari
Destilat tersebut kemudian dimasukkan ke dalam bioetanol whey dengan substitusi kulit nanas pada setiap
piknometer yang telah ditimbang sebelumnya. Destilat perlakuan disajikan pada Tabel 1.
dimasukkan hingga memenuhi piknometer. Kelebihan
Pada penelitian ini, didapatkan hasil bahwa lama
destilat pada puncak pipa kapiler dibersihkan. Piknometer fermentasi tidak berpengaruh nyata terhadap kadar alkohol.
yang berisi destilat ditimbang dan beratnya dicatat. Prosedur Fermentasi selama 60 jam menghasilkan kadar alkohol yang
yang sama dilakukan pada aquades sebagai pembanding. berkisar antara 1,21-2,25%. Penelitian mengenai bioetanol
Berat jenis alkohol dihitung dari (berat piknometer + telah banyak dilakukan sebelumnya dan menunjukkan hasil
destilat) dikurangi berat piknometer kosong kemudian yang berbeda-beda. Sebagai contoh penelitian yang
dibagi (berat piknometer + aquades) dikurangi berat dilakukan oleh Kumalasari (2011), dengan menggunakan
piknometer kosong. Hasil penghitungan berat jenis alkohol substrat kulit nanas kemudian difermentasi dengan ragi roti
kemudian dikonversikan dengan menggunakan tabel (Saccharomyces cerevisiae) selama 4 hari pada suhu 24-33C
konversi BJ alkohol.
menghasilkan kadar alkohol yang berkisar antara 4,18-

5,49%. Hal ini menunjukkan bahwa, lama fermentasi pada
Prosedur pengujian pH. Prosedur pengujian pH dilakukan penelitian ini, belum mencapai waktu yang optimal. Di sisi
dengan mengukur suhu sampel terlebih dahulu kemudian lain Sari et al. (2008), menyatakan bahwa lama fermentasi
mengatur suhu pH meter pada suhu terukur. pH meter yang paling optimal untuk proses pembuatan bioetanol
dihidupkan dan dibiarkan agar stabil selama 15-30 menit. adalah 3 hari. Jika fermentasi dilakukan lebih dari 3 hari,
Elektroda dibilas dengan aquades dan dikeringkan dengan justru kadar alkoholnya dapat berkurang. Berkurangnya
tissu. Kemudian elektroda dicelupkan pada sampel sampai kadar alkohol disebabkan karena alkohol telah dikonversi
diperoleh pembacaan skala yang stabil (Richana, 2011).
menjadi senyawa lain, misalnya ester.


Lama fermentasi dipengaruhi oleh faktor-faktor
Prosedur pengukuran produksi gas. Prosedur pengukuran yang secara langsung maupun tidak langsung berpengaruh
produksi gas dilakukan dengan cara menghitung penurunan terhadap proses fermentasi. Menurut Kunaepah (2008), ada
air yang ada di dalam gelas ukur 250 ml. Alat untuk banyak faktor yang mempengaruhi fermentasi antara lain
mengukur volume gas yang keluar selama proses substrat, suhu, pH, oksigen, dan mikroba yang digunakan.
pembuatan bioetanol ini adalah suatu rangkaian yang terdiri
Substrat merupakan bahan baku fermentasi yang
dari filtering flask 1500 ml yang dihubungkan dengan gelas mengandung nutrient-nutrien yang dibutuhkan oleh
ukur 500 ml yang posisinya terbalik melalui selang. gelas mikroba untuk tumbuh maupun menghasilkan produk
ukur terlebih dahulu dilubangi sesuai besar selang. Gelas fermentasi. Nutrient yang paling dibutuhkan oleh mikroba
ukur tersebut diisi dengan air (volume awal). Kemudian baik untuk tumbuh maupun untuk menghasilkan produk
karena adanya produksi gas maka air yang ada di dalam fermentasi adalah karbohidrat. Karbohidrat merupakan
gelas ukur akan mengalami penurunan. Volume air pada sumber karbon yang berfungsi sebagai penghasil energi bagi
saat pengukuran produksi gas merupakan volume akhir. mikroba, sedangkan nutrient lain seperti protein dibutuhkan
Besarnya produksi gas dapat diukur dengan menghitung dalam jumlah lebih sedikit daripada karbohidrat. Substrat
selisih volume awal dan volume akhir. Produksi gas yang digunakan dalam penelitian ini adalah whey yang
dinyatakan dalam satuan ml (Datar et al., 2004 disubstitusi dengan kulit nanas. Whey mengandung
termodifikasi).
karbohidrat dari jenis laktosa, sedangkan kulit nanas

mengandung karbohidrat jenis fruktosa, dan sukrosa. Dari
HASIL DAN PEMBAHASAN
hasil uji total gula, kandungan gula pada whey dan kulit
Berdasarkan hasil penelitian, data rerata nilai Kadar
nanas masing-masing adalah 4,21% dan 12,13%. Gula-gula
Alkohol, pH, dan Produksi Gas setiap perlakuan disajikan
tersebut kemudian akan dikonversi menjadi bioetanol
pada Tabel 1.
dengan bantuan Saccharomyces cerevisiae. Saccharomyces
cerevisiae dapat mengkonversi gula menjadi etanol karena
Tabel 1. Rerata Nilai Kadar Alkohol, pH, dan Produksi Gas
adanya enzim invertase dan zimase. Dengan adanya enzim-
Perlakuan
Kadar Alkohol
pH
Produksi Gas
ns
ns
enzim ini Saccharomyces cerevisiae memiliki kemampuan
(%)
(L)
b
untuk mengkonversi baik gula dari kelompok monosakarida
T1
1,25
3,70
0,16
b
maupun dari kelompok disakarida. Jika gula yang tersedia
T2
2,04
3,72
0,26
a
T3
2,25
3,86
0,29
dalam substrat merupakan gula disakarida maka enzim
b
T4
1,71
3,60
0,44
invertase akan bekerja menghidrolisis disakarida menjadi
c
T5
1,21
3,50
0,51
monosakarida. Setelah itu, enzim zymase akan mengubah
Keterangan: ns= tidak signifikan; Superskrip huruf yang berbeda
monosakarida tersebut menjadi alkohol dan CO2. Hal ini
pada kolom menunjukkan adanya perbedaan (P<0,05).
sesuai dengan pernyataan Judoamidjojo et al. (1992), yang
menyatakaan bahwa Saccharomyces cerevisiae dapat
Pengaruh Lama Fermentasi terhadap Kadar Alkohol

Berdasarkan perhitungan sidik ragam diketahui menghasilkan etanol yang berasal dari fermentasi gula. Gula
bahwa perlakuan lama fermentasi (12, 24, 36, 48, 60 jam) akan diubah menjadi bentuk yang paling sederhana oleh

74
Vol. 1 No. 2, 2012 Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan

Pengaruh Lama Fermentasi terhadap Kadar Alkohol



enzim invertase baru kemudian gula sederhana tersebut alkohol maka dibutuhkan kondisi anaerob, tetapi untuk
akan dikonversi menjadi etanol dengan adanya enzim pembuatan starter (biakan awal) diperlukan kondisi aerob.
zymase. Kedua enzim tersebut dihasilkan oleh
Mikroba sebagai pelaku fermentasi tentu sangat
Saccharomyces cerevisiae. Meskipun Saccharomyces berpengaruh terhadap lama fermentasi. Dalam fermentasi
cerevisiae dapat mengubah gula sederhana menjadi etanol, alkohol umumnya digunakan khamir karena khamir dapat
Namun sejumlah penelitian menyebutkan bahwa mengkonversi gula menjadi alkohol dengan adanya enzim
Saccharomyces cerevisiae tidak mampu mengkonversi zimase. Dalam penelitian ini, mikroba yang digunakan adalah
galaktosa menjadi etanol. Sehingga dalam proses fermentasi Saccharomyces cerevisiae. Menurut Oleary et al. (2004),
bioetanol dari sumber laktosa, hanya glukosa saja yang Saccharomyces cerevisiae adalah khamir yang biasa
diubah menjadi etanol. Hal ini diungkapkan oleh Oleary et digunakan dalam fermentasi alkohol. Saccharomyces
al. (2004), yang menyatakan bahwa Saccharomyces cerevisiae memiliki beberapa kelebihan dibandingkan
cerevisiae menghidrolisis laktosa whey menjadi glukosa dan mikroba lain yang juga dapat membentuk alkohol.
galaktosa. Kemudian glukosa akan dikonversi menjadi etanol Kluyveromyces fragilis juga merupakan khamir yang dapat
sedangkan galaktosa tidak mampu diubah menjadi etanol. memproduksi alkohol. tetapi, Saccharomyces cerevisiae
Hal yang sama juga diungkapkan oleh Rubio dan Texeira dapat mengkonversi gula lebih cepat daripada
(2005), yang menyatakan bahwa Saccharomyces cerevisiae Kluyveromyces fragilis. Dalam 72 jam Saccharomyces
lebih mampu beradaptasi dalam substrat yang mengandung cerevisiae dapat menghasilkan alkohol hingga 2% sedangkan
glukosa daripada galaktosa.
Kluyveromyces fragilis membutuhkan waktu hingga 1

Suhu fermentasi mempengaruhi lama fermentasi minggu untuk dapat memproduksi etanol hingga 2%.
karena pertumbuhan mikroba dipengaruhi suhu lingkungan Namun,
Saccharomyces
cerevisiae
tidak
dapat
fermentasi. Mikroba memiliki kriteria pertumbuhan yang memanfaatkan galaktosa. Hal tersebut juga diungkapkan
berbeda-beda. Menurut Fardiaz (1992), Saccharomyces oleh Rubio dan Texeira (2005), Saccharomyces cerevisiae
cerevisiae memliki kisaran suhu pertumbuhan antara 20- akan menggunakan glukosa sebagai sumber karbonnya
30C. Tetapi Kumalasari (2011), menyatakan bahwa daripada galaktosa.
Saccharomyces cerevisiae akan tumbuh optimal dalam
Lama fermentasi juga berkaitan dengan
kisaran suhu 30-35C dan puncak produksi alkohol dicapai pertumbuhan dari Saccharomyces cerevisiae. Seperti
pada suhu 33C. Jika suhu terlalu rendah, maka fermentasi mikroorganisme yang lain, pertumbuhan dari Saccharomyces
akan berlangsung secara lambat dan sebaliknya jika suhu cerevisiae dapat digambarkan dengan kurva pertumbuhan
terlalu tinggi maka Saccharomyces cerevisiae akan mati yang menunjukkan masing-masing fase pertumbuhan. Ada 4
sehingga proses fermentasi tidak akan berlangsung.
fase pertumbuhan yang meliputi fase adaptasi, fase tumbuh

Derajat keasaman (pH) merupakan salah satu faktor cepat, fase stasioner, dan fase kematian. Fase adaptasi
penting yang perlu untuk diperhatikan pada saat proses digambarkan dengan garis kurva dari keadaan nol kemudian
fermentasi. pH mempengaruhi pertumbuhan Saccharomyces sedikit ada kenaikan. Di dalam fase ini Saccharomyces
cerevisiae. Oleh karena itu, pada awal pelaksanaan cerevisiae mengalami masa adaptasi dengan lingkungan dan
penelitian, substrat yang akan dipakai terlebih dahulu diuji belum ada pertumbuhan. Fase tumbuh cepat yang
pH nya. Berdasarkan hasil uji pH, pH whey dan kulit nanas digambarkan dengan garis kurva yang mulai menunjukkan
masing-masing adalah 4,50 dan 4,20. Hal ini sesuai dengan adanya peningkatan yang tajam. Pada fase ini
pendapat Roukas (1994), bahwa kisaran pertumbuhan Saccharomyces cerevisiae mengalami pertumbuhan yang
Saccharomyces cerevisiae adalah pada pH 3,5-6,5. Pada sangat cepat. Di dalam fase ini terjadi pemecahan gula
kondisi basa, Saccharomyces cerevisiae tidak dapat tumbuh. secara besar-besaran guna memenuhi kebutuhan
Ditambahkan oleh Elevri dan Putra (2006), bahwa produksi pertumbuhan Saccharomyces cerevisiae. Hasil pemecahan
etanol oleh Saccharomyces cerevisiae paling maksimal gula oleh Saccharomyces cerevisiae dalam keadaan anaerob
dapat dicapai pada pH 4,5.
menghasilkan alkohol. Kemungkinan dihasilkan alkohol

Oksigen secara tidak langsung mempengaruhi lama paling tinggi pada fase ini. Fase stasioner digambarkan
fermentasi yang dilakukan oleh Saccharomyces cerevisiae. dengan garis kurva mendatar yang menunjukkan jumlah
Saccharomyces cerevisiae dapat tumbuh dengan baik pada Saccharomyces cerevisiae yang hidup sebanding dengan
kondisi aerob, tetapi untuk melakukan proses fermentasi jumlah yang mati. Fase kematian digambarkan dengan
alkohol, dibutuhkan kondisi anaerob. Proses fermentasi penurunan garis kurva. Pada fase ini jumlah Saccharomyces
dilakukan di dalam filering flask 1000 ml yang ditutup rapat. cerevisiae yang mati jumlahnya lebih banyak sampai
Sehingga hal ini memberikan kondisi anaerob. Menurut akhirnya semua Saccharomyces cerevisiae mati.
Kunaepah (2008), Saccharomyces cerevisiae tumbuh dengan
baik pada kondisi aerob. Pada kondisi aerob Saccharomyces Pengaruh Lama Fermentasi terhadap pH Bioetanol
cerevisiae menghidrolisis gula menjadi air dan CO2, tetapi
Berdasarkan perhitungan sidik ragam diketahui
dalam keadaan anaerob gula akan diubah oleh bahwa perlakuan lama fermentasi (12, 24, 36, 48, 60 jam)
Saccharomyces cerevisiae menjadi alkohol dan CO2. berpengaruh nyata terhadap nilai pH bioetanol whey
Ditambahkan oleh Richana (2011), jika tujuan penggunaan dengan substitusi kulit nanas. Perlakuan lama fermentasi 36
Saccharomyces cerevisiae adalah untuk menghasilkan

75
Vol. 1 No. 2, 2012 Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan

Pengaruh Lama Fermentasi terhadap Kadar Alkohol



jam mempunyai nilai pH paling rendah. Data rerata pH alkoholnya menurun. Semakin lama proses fermentasi maka
bioetanol pada setiap perlakuan disajikan pada Tabel 1.
gas CO2 yang terbentuk juga akan semakin banyak. Kondisi
Nilai pH dipengaruhi oleh produk yang dihasilkan ini tidak baik untuk pertumbuhan Saccharomyces cerevisiae
selama proses fermentasi. Dalam penelitian ini, produk dan juga untuk proses fermentasi bioetanol. Menurut Datar
fermentasi yang dihasilkan adalah alkohol. Saccharomyces et al. (2004), dengan adanya produksi gas selama proses
cerevisiae bersifat homofermentatif, sehingga produk fermentasi maka pertumbuhan Saccharomyces cerevisiae
fermentasi yang dihasilkan hanya alkohol. Alkohol bersifat akan berhenti meskipun Saccharomyces cerevisiae masih
asam. Sehingga ketika waktu fermentasi ditambah maka dalam keadaan hidup. Kemudian akan mulai menghasilkan
akan semakin banyak alkohol yang terbentuk. Kondisi ini alkohol kembali jika gas CO2 dihilangkan.
menyebabkan pH substrat semakin rendah. Substrat yang
Starter yang digunakan dalam penelitian ini
terdiri dari whey yang disubstitusi dengan kulit nanas merupakan ragi roti komersil dengan merk Fermipan. Ragi
masing-masing memiliki pH 4,50 dan 4,20. Menurut Irfandi roti merupakan khamir jenis Saccharomyces cerevisiae tipe
(2005), pH awal substrat perlu diketahui agar fermentasi tertentu yang umumnya cepat tumbuh di dalam adonan roti.
dapat berlangsung secara optimal. Elevri dan Putra (2006), Di dalam adonan roti Saccharomyces cerevisiae
menambahkan bahwa Saccharomyces cerevisiae dapat memetabolisme sumber gula dan salah satu hasil
melakukan fermentasi secara optimal pada pH 4,5.
metabolismenya adalah gas CO2 yang dapat
Proses fermentasi bioetanol tidak hanya mengembangkan adonan roti. Proses ini terjadi pada kondisi
menghasilkan etanol tetapi juga hasil samping (by product) aerob. Di dalam kondisi anaerob ragi roti tetap
yang berupa gas CO2. Seiring meningkatnya lama fermentasi, menghasilkan gas CO2, meskipun tidak secepat dalam
produksi gas CO2 juga semakin bertambah meskipun kondisi aerob. Hal ini sesuai dengan pendapat Pelczar dan
hasilnya tidak signifikan. Peningkatan produksi gas ternyata Chan (1988), yang menyatakan bahwa ragi roti merupakan
juga diikuti dengan penurunan nilai pH. Hal ini dapat dilihat khamir jenis Saccharomyces cerevisiae yang telah diseleksi
pada akhir fermentasi yaitu pada jam ke-60, nilai pH nya sebelumnya untuk tujuan komersil. Saccharomyces
paling rendah. Ini membuktikan bahwa produksi gas juga cerevisiae yang dipilih adalah Saccharomyces cerevisiae yang
berkontribusi terhadap nilai pH. Sesuai dengan pendapat memiliki kemampuan memfermentasi gula dengan baik di
Kartohardjono et al. (2007), bahwa gas CO2 sering disebut dalam adonan dan dapat tumbuh dengan cepat.
gas asam (acid whey) karena gas CO2 memiliki sifat asam. Karbondioksida yang dihasilkan dari proses fermentasi inilah
Oleh karena itu gas CO2 juga berkontribusi terhadap nilai pH. yang membuat adonan roti mengembang. Oleh karena itu,

ragi roti umumnya terdiri dari Saccharomyces cerevisiae
Pengaruh Lama Fermentasi terhadap Produksi Gas
terpilih yang cepat dalam menghasilkan karbondioksida
Berdasarkan perhitungan sidik ragam diketahui untuk tujuan pengembangan roti.
bahwa perlakuan lama fermentasi (12, 24, 36, 48, 60 jam)
tidak berpengaruh nyata terhadap total gas whey dengan KESIMPULAN
substitusi kulit nanas. Data rerata Produksi gas bioetanol
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan
whey dengan substitusi kulit nanas pada setiap perlakuan bahwa lama fermentasi 60 jam pada proses fermentasi
disajikan pada Tabel 1.
bioetanol dari whey dengan substitusi kulit nanas dengan

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa penambahan Saccharomyces cerevisiae berpengaruh dalam
produksi gas sedikit mengalami peningkatan seiring dengan menurunkan nilai pH, tetapi tidak menunjukkan adanya
bertambahnya lama fermentasi meskipun pertambahannya pengaruh dalam meningkatkan kadar alkohol dan produksi
tidak signifikan. Hal ini menunjukkan adanya adanya gas.
kestabilan produk gas dari awal hingga akhir fermentasi.
Fermentasi alkohol pada prinsipnya menghasilkan alkohol DAFTAR PUSTAKA
dan gas CO2. Menurut Hambali et al (2008), 1 molekul Datar, R. P., R. M. Shenkman, B. G. Cateni, R. L. Huhnke, R. S.
glukosa tersedia maka akan dipecah oleh Saccharomyces
Lewis. 2004. Fermentation of biomass-generated
cerevisiae menjadi 2 molekul alkohol dan 2 molekul gas CO2.
producer gas to ethanol. Biotechnology and
Gas CO2 yang dihasilkan memiliki perbandingan stoikiometri
Bioengineering. 86 (5):587594.
yang sama dengan etanol yang dihasilkan yaitu 1 : 1. Elevri, P. A. dan S. R. Putra. 2006. Produksi etanol
Ditambahkan oleh Richana (2011), meskipun secara teori
menggunakan Saccharomyces cerevisiae yang
perbandingan antara produksi gas dan produksi alkohol
diamobilisasi dengan agar batang. Akta Kamindo 1
adalah 1:1, namun pada kenyataannya hanya 70-80% gas
(2): 105-114.
yang dapat diukur.
Fardiaz, S. 1992. Mikrobiologi Pangan 1. Gramedia Pustaka

Peningkatan produksi gas CO2 seiring dengan
Utama, Jakarta.
bertambahnya waktu fermentasi menunjukkan hasil yang Hambali, E., S. Mujdalipah, A. H. Tambunan, A. W. Pattiwiri
berbanding terbalik dengan kadar alkohol. Gas yang
dan R. Hendroko, 2008. Teknologi Bioenergi. Agro
dihasilkan pada proses fermentasi alkohol oleh
Media, Jakarta.
Saccharomyces cerevisiae dapat menghambat aktivitas dari
Saccharomyces cerevisiae itu sendiri sehingga kadar

76
Vol. 1 No. 2, 2012 Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan

Pengaruh Lama Fermentasi terhadap Kadar Alkohol



Irfandi. 2005. Karakteristik Morfologi Lima Populasi Nanas Retno, D.T dan Nuri, W. 2011. Pembuatan Bioetanol Dari
(Ananas comosus (L.) Merr.). Skripsi. Fakultas
Kulit Pisang. Jurusan Teknik Kimia FTI UPN Veteran.
Pertanian. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Yogyakarta.
Judoamidjojo, M., A. A. Darwis, dan E. G. Said. 1992. Richana, N. 2011. Bioetanol: Bahan Baku, Teknologi,
Teknologi Fermentasi. Edisi 1. Rajawali Press, Jakarta.
Produksi dan Pengendalian Mutu. Penerbit Nuansa,
Kartohardjono, S., Anggara, Subihi, dan Yuliusman. 2007.
Bandung.
Absorbsi CO2 dari campurannya dengan CH4 atau N2 Roukas T. (1994), Continuous ethanol productions from
melalui kontaktor membran serat berongga
carob pod extract by immobilized Saccharomyces
menggunakan pelarut air. Jurnal Teknologi 11 (2):
cerevisiae in a packed bed reactor. J Chem Technol
97-102.
Biotecnhol., 59: 387-393.
Kumalasari, I. J. 2011. Pengaruh Variasi Suhu Inkubasi Rubio dan M. A. Texeira. 2005. Comparative analiysis of the
terhadap Kadar Etanol Hasil Fermentasi Kulit dan
gal genetic switch between Not-So-Distant Cousins:
Bonggol Nanas (Ananas sativus). Skripsi. Universitas
Saccharomyces cerevisiae versus Kluyveromyces
Muhammadiyah Semarang, Semarang.
lactis. FEMS Yeast Res. 5: 1115-1128.
Kunaepah, U. 2008. Pengaruh Lama Fermentasi dan Samson, J. A. 1980. Tropical Fruits, Tropical Agriculture
Konsentrasi Glukosa terhadap Aktivitas Antibakteri,
Series. Longmarch, London.
Polifenol Total dan Mutu Kimia Kefir Susu Kacang Sari, I. M., Noverita dan Yulneriwarni. 2008. Pemanfaatan
Merah. Tesis. Universitas Diponegoro, Semarang.
jerami padi dan alang-alang dalam fermentasi etanol
O'Leary V. S., R. Green, B. C. Sullivan, V. H. Holsinger. 2004.
menggunakan kapang Trichoderma viride dan khamir
Alcohol production by selected yeast strains in
Saccharomycess cerevisiae. Vis Vitalis. 5 (2): 55-62.
lactase-hydrolyzed acid whey. Biotechnol Bioeng 19 Tipteerasri, T., W. Hanmoungjai dan P. Hanmoungjai. 2009.
(10): 1935.
Ethanol Production from Crude Whey by
Pelczar, M. dan Chan. 1988. Dasar- Dasar Mikrobiologi.
Kluyveromyces marxianus TISTR 5695. Chiang Mai
Universitas Indonesia Press, Jakarta.
University, Thailand.


77
Vol. 1 No. 2, 2012 Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan

Anda mungkin juga menyukai