Anda di halaman 1dari 19

1

KESEHATAN JIWA
PERSPEKTIF FREUD DAN AL-GHAZALI
(Studi Perbandingan Antara Kesehatan Jiwa Sekuler dan Religius)
Oleh:Husein Aziz

ABSTRACT
This thesis deals with the theory of mental health, as it is formulated by Freud
and al-Ghazali. Their theory of mental health is critically examined to descript its
differences and consequences.
They have great differences in their methodology for handling the problem
of mental health. These differences, actually start from their basic conception in
building the knowledge and thus makes differences too in their mental health
conception. Freuds conseption is positivistic, while al-Ghazalis conseption is
religious or mystical theory. Freud uses analytical Method, while al-Ghazali uses
hypothetical Method. This different methodological approach has its grave
consequences in building the type of system of thought. Freud uses inductive
thingking, while al-Ghazali uses deductive thingking
The conclusion of this study is that those different methodological
approaches shape different types of system of thought and at the same time have
great implications in building the conseption of mental health in general.
Key word : mental health, methodology, different conception.
Pendahuluan
Kita mungkin tidak perlu mempersoalkan keberadaan kesehatan jiwa sebagai
satu pilar utama pembangunan suatu bangsa, karena kesehatan jiwa mengantarkan
pada kesehatan perilaku yang nantinya dapat menciptakan kehidupan yang sehat.
Demikian itu karena semua aktivitas manusia itu merupakan perwujudan dari apa
yang ia rasakan dan dari apa yang ia pikirkan. Perbuatan lahir (eksternal) mengikuti
perbuatan batin (internal).1 Berbagai krisis yang menimpa bangsa ini menunjukkan
gejala-gejala kejiwaan dan perilaku-perilaku masyarakat yang masih rendah bila
tidak boleh dikatakan tidak sehat. Oleh sebab itu kemampuan masyarakat untuk
memperbaiki jiwa dan perilaku perlu dipertanyakan ulang.
Lebih dari itu perhatian terhadap kesehatan jiwa harus tidak kalah pentingnya
dari pembangunan material karena permasalahan kehidupan dalam masyarakat
modern dan beratnya beban kehidupan yang harus ditanggung manusia menuntut
perhatian lebih dalam bidang pelayanan kejiwaan yang dapat membuat individu
manusia dapat hidup dengan bahagia, rasa ridha, semangat dan produktif. Semua ini
jelas tidak mungkin dapat dinikmati oleh individuindividu yang tidak sehat
1

Al-Gahazali, Kimiya al-Saadah dalam Majmuah Rasail al-Imam al-Ghazali, (Beirut:


Dar al-Fikr, 1996) h. 424

jiwanya.2 Pada sisi lain, reformasi politik mestinya harus bahu-membahu dengan
reformasi sosial, reformasi peradaban, reformasi kejiwaan dan perilaku. Suatu
bangsa tidak akan mampu merealisir tujuan-tujuan besarnya tanpa perubahan
menyeluruh dalam bidang-bidang tersebut.
Pada aspek yang lain diperlukan adanya keterkaitan pengetahuan dengan
masyarakat. Artinya, ilmu pengetahuan itu seharusnya mempunyai peran dan fungsi
dalam menyelesaikan persoalan masyarakat dan dalam menciptakan sarana-sarana
yang terbaik untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Dalam hal ini ditemukan
bahwa ilmu kesehatan jiwa dapat memberikan andil dan sumbangan yang cukup
besar dan signifikan dalam merealisir kepribadiankepribadian yang positif yang
dapat beradaptasi dengan dirinya sendiri dan masyarakatnya. Di samping itu ilmu
kesehatan jiwa dapat menjauhkan individu-individu masyarakat dari segala hal yang
menghancurkan kehidupannya dan mengakibatkan gejolak sosial. Dengan demikian
ilmu kesehatan jiwa merupakan ilmu yang menyantuni masyarakat melalui konsepkonsep adaptasi kejiwaan yang sehat. Ilmu kesehatan jiwa sendiri telah menegaskan
akan pentingnya kekokohan sosial dan hubungan-hubungan kemanusiaan yang sehat
antara individu-individu dalam masyarakat.3
Orientasi lain yang melatarbelakangi tulisan ini adalah pencarian faktorfaktor yang dapat mewujudkan kehidupan jiwa individu-individu masyarakat yang
sehat, bebas dari krisis moral, kegelisahan, keresahan, kecemasan dan keputusasaan.
Jiwa masyarakat yang tidak sehat tidak hanya menimbulkan ketidaktentraman dan
rasa tidak aman dan berbagai pertikaian pada lapisanlapisan masyarakat yang
berbeda-beda. Akan tetapi juga melumpuhkan produktivitas dan menghambat laju
kemajuan. Dengan kata lain, sistem sosial dengan segala pertentangan-pertentangan
dan pertikaian yang ada di dalamnya tidak lain merupakan perwujudan dari
ketidaksehatan jiwa masyarakat.
Oleh karena itu pembahasan tentang kesehatan jiwa yang merupakan sumber
perilaku sangat mendesak untuk didiskusikan. Tulisan ini menyajikan hal yang
terkait dengan keperluan di atas dengan mengemukakan dua tokoh ahli jiwa dari
Barat sekuler modern, Sigmund Freud (1860 1938) dan dari Timur religius sufi,
Muhammad Ibnu Muhammad al-Ghazali (w. 111). Dua tokoh tersebut dipilih dengan
pertimbangan bahwa Sigmund Freud dengan psikoanalisanya mempunyai pengaruh
yang cukup besar dalam ilmu jiwa, ilmu-ilmu humaniora, politik, seni, sastra dan
kebudayaan.4 Sementara al-Ghazali merupakan salah satu pemikir besar Islam yang
di antara kajiannya tentang kejiwaan mendekati konsep ilmu jiwa modern. Tulisantulisan al-Ghazali juga berpengaruh besar baik di dunia Timur Islam maupun Barat5.
2

Mushthafa Fahmi, al-Insan wa Shihhatuhu al-Nafsiyyah, (Cairo: Maktabah Mishra, 1965)

h. 3
3

Ibid., h. 4- 5
Kamil Muhammad, Muhammad Awidhah, Rihlath fi Ilm al-Nafs, (Beirut : Dar al-Kutub alIlmiyyah, 1996) h. 35
5
Ibid., h. 24
4

Metode Penelitian
Bertitik tolak dari rumusan masalah dan hubungannya dengan tujuan
penelitian sebagaimana yang telah dikemukakan di atas, penulis menggunakan
metode komparatif. Metode ini digunakan untuk membandingkan konsep-konsep
pokok kesehatan jiwa antara Freud dan al-Ghazali, metode keduanya dalam
memproduksi konsepnya berikut cara berpikir dari kedua tokoh tersebut yang
menjadi kajian dalam penelitian ini.
Pengertian Kesehatan Jiwa
Sebelum menyampaikan konsep-konsep pokok kesehatan jiwa menurut
pandangan al-Ghazali dan Sigmund Freud secara utuh, dianggap perlu lebih dahulu
untuk mengemukakan pengertian tentang kesehatan jiwa yang menjadi pokok
pembahasan dalam penelitian ini.
Kesehatan jiwa memiliki beberapa pengertian. Dari berbagai pengertian itu
di sini akan dipaparkan dua pengertian kesehatan jiwa untuk mendapatkan definisi
yang dapat dipergunakan untuk mengarahkan individu-individu dalam memahami
kehidupannya dan menghadapi serta mengatasi persoalan-persoalannya, sehingga
mereka dapat hidup bahagia dan dapat merealisir misinya sebagai individu-individu
yang produktif dan dapat beradaptasi dalam masyarakat modern.
Definisi pertama menyebutkan bahwa kesehatan jiwa adalah kebebasan
seseorang dari penyakit-penyakit jiwa atau penyakit akal (paranoia).6 Definisi ini
merupakan konsep yang sempit terbatas dan tidak menyeluruh, karena didasarkan
pada penafian dan melihat makna kesehatan jiwa sebagai kebebasan seorang dari
gejala-gejala penyakit jiwa. Dengan demikian seorang yang dikuasai oleh rasa
ketakutan dan waham atau seorang yang dipenuhi oleh rasa kebesaran palsu atau
rasa tertekan palsu dinilai sebagai orang yang tidak sehat jiwanya, karena orang
pertama mengeluhkan gejala penyakit jiwa sementara orang kedua mengeluhkan
penyakit akal (paranoia).
Kelemahan definisi ini tidak mencakup semua keadaan kesehatan jiwa.
Karena ada seorang yang tidak didapatkan padanya gejala-gejala penyakit jiwa atau
penyakit akal. Akan tetapi ia tidak berhasil dalam kehidupannya dan dalam
hubungannya dengan masyarakat baik dalam tempat kerjanya, atau dalam kehidupan
sosialnya yang ditandai dengan kecemasan dan ketidakmampuan beradaptasi.
Seorang semacam ini tidak menikmati kesehatan jiwa walaupun ia tidak mengidap
gejala-gejala penyakit jiwa atau akal.
Sementara definisi kedua mengambil langkah positif, luas dan menyeluruh.
Definisi kedua ini mengaitkan kemampuan seorang individu ber-adaptasi dengan
dirinya dan dengan masyarakat yang ia hidup di dalamnya. Dengan demikian ia
dapat menikmati kehidupan yang sunyi dari krisis dan kecemasan dan hidup penuh

h. 14

Mushthafa Fahmi, al-Insan wa Shihhatuhu al-Nafsiyyah, (Cairo: Maktabah Mishra, 1965)

semangat.7 Artinya ia puas terhadap dirinya, menerima dirinya sebagaimana juga ia


menerima orang lain, sehingga tidak tampak darinya suatu yang menunjukkan tidakadanya kesesuaian sosial, sebagaimana juga ia tidak melakukan kelainan perilaku
sosial. Bahkan ia berperilaku rasional yang menunjukkan keseimbangan emosi dan
intuisi dan rasional dalam berbagai situasi dan kondisi.
Seorang yang memiliki pola sebagaimana yang telah dikemukan di atas
dinilai sebagai orang yang sehat karena mampu menguasai faktor-faktor yang
mengakibatkan kesia-siaan dan keputusasaan. Bahkan mampu juga menguasai
kekalahan sementara tanpa menggunakan perilaku yang menggantikan
kelemahannya. Ia mampu menghadapi konflik yang keras dan problem-problem
kehidupan kesehariannya dengan bantuan kesadaran dan kemampuannya
mengendalikan diri dan jarang mengalami kegagalan dan kekalahan menghadapi
berbagi persoalan.
Orang-orang seperti ini adalah orang-orang yang sehat jiwanya, karena dapat
menikmati kesehatan jiwa yang cukup sehingga memungkinkannya hidup dalam
kedamaian dan keserasian dengan dirinya sendiri pada satu sisi dan dengan orang
lain dalam wilayah keluarga, kerja dan masyarakat pada sisi lain.
Pendorong Perilaku manusia
Pendorong satu-satunya aktivitas manusia menurut pandangan Freud adalah
memenuhi kebutuhan nafsu biologis, utamanya kebutuhan perut dan seksual. Ia juga
melihat bahwa kebahagiaan dan kesenangan seorang bila ia dapat memenuhi
kebutuhan jasmaniahnya itu. Sebaliknya, kesedihan dan kecemasan menurutnya
akibat dari cintanya kepada materi yang menjadi kebutuhan jasmaniahnya namun
tidak mendapatkannya.8 Freud memberi penekanan pada dorongan-dorongan
biologis atau dengan kata lain Freud merumuskan teorinya bahwa karakter manusia
ditentukan oleh faktor biologis. Referensi pokok yang dijadikan sarana Freud untuk
menafsirkan semua aktivitas manusia adalah dorongan seksual sejak lahir. Balita
menghisap payudara ibunya, tidur bersamanya, menghisap jempolnya menurutnya
adalah kenikmatan seksual. Bahkan anak laki-laki ingin mengumpuli ibunya dan
dorongan seksual anak perempuan untuk mengumpuli ayahnya. Pandangannya ini
didasarkan pada hasil pengamatan dan observasinya pada pasien-pasienya yang
menderita histeria. Atas dasar itu pula ia menilai bahwa perasaan berdosa
menurutnya adalah penyakit jiwa, penyesalan adalah suatu kelainan dan bersabar
menghadapi yang tidak diinginkan suatu kelemahan dan mengekang kebutuhan
biologis sebagai penekanan dan penahanan berdampak buruk pada kesehatan jiwa.9
Sementara al-Ghazali berpendapat sebaliknya, bahwa pendorong yang sehat
aktivitas manusia adalah Allah bukan tuntutan biologis dan itulah yang membuat
7

Ibid., h. 15
Sigmund Freud, A. General Introduction to Psychoanalysis, alih bahasa, Ira Puspitorini,
(Yogyakarta: Ikon Teraliteria, 2002) h. 334 -339 Lihat pula Erich Fromm, The Art of listening, (New
York: The Continuum Publishing, 2000) h. 3
9
Freud, General, h. 338
8

manusia dapat mengendalikan nafsu (kebutuhan biologis). Mengendalikan nafsu


bukan mematikan dan membinasakannya secara total. Karena syahwat atau tuntutan
biologis menurutnya diciptakan Allah untuk faidah yang sangat penting. Seandainya
keinginan untuk makan makanan tidak ada tentu manusia akan mati, seandainya
nafsu seks hilang pasti terputuslah keturunan dan seandainya kemarahan tidak ada
sama sekali pada diri seseorang tentu ia tidak dapat melindungi dirinya dari apa yang
menghancurkannya dan ia akan binasa. Bila akar syahwat masih ada tentu ia akan
menyukai harta yang mengantarkannya kepada pemenuhan syahwatnya dan akan
membuatnya menyimpan harta. Jadi yang dimaksudkan pengendalian syahwat itu
bukan menghilangkannya secara total. Akan tetapi mengembalikannya pada posisi
kesimbangan, titik tengah antara ekstrim atas (ifrath) dan ekstrim bawah (tafrith).
Yang dikehendaki dari sifat kemarahan adalah kemampun melindungi dan itu dengan
menjauhkan kenekatan dan ketakutan. Demikian juga halnya dengan kedermawanan
(al-sakha) merupakan titik tengah antara keborosan dan kebakhilan10 Hal itu
menurutnya merupakan ukuran kesehatan jiwa sesorang. Demikian halnya perasaan
berdosa menurutnya salah satu indikasi kesehatan jiwa. Taubat dan penyesalan
merupakan sikap kognitif. Semua itu menurutnya menunjukkan naluri (fitrah) yang
sehat, beriman kepada Allah dan mengetahui bahwa ia selalu bersama-Nya,
berkeseimbangan dan berperilaku baik.11 Ia berpendapat bahwa jiwa bukan kejahatan
murni. Namun ia melihat bahwa jiwa itu mempunyai potensi kejahatan dan potensi
kebaikan (ketakwaan). Allah swt telah mengilhaminya kejahatan dan ketakwaan
secara bersamaan. Dengan demikian jiwa itu dapat merambah naik ke jenjang
menuju Allah dan dapat pula turun merosot ke lembah syahwat (kebinatangan).
Artinya mempunyai hak memilih dan setiap manusia berperilaku sesuai dengan
pilihannya.12
Tujuan Aktivitas Manusia
Setiap kegiatan yang dilakukan seorang pasti dimaksudkan untuk mencapai
suatu tujuan tertentu. Tujuan aktivitas manusia menurut Freud sesuai dengan
pandangannya tentang pendorong aktivitas adalah untuk mencari kelezatan biologis
dan menghindari kesengsaraan, sehingga menahan dan mengekang keinginan dan
hasrat mengakibatkan penyakit.13 Oleh karena itu tuntutan biologis baik, internal
maupun eksternal harus terpenuhi. Kebutuhan internal dalah seperti makanan
minuman dan seksual, sedangkan kebutuhan eksternal adalah semacam kasih sayang
dan penghormatan sosial. Kegelisahan dan kecemasan menurutnya adalah karena
diakibatkan oleh keinginan terhadap kelezatan material namun tidak
mendapatkannya. Dengan demikian, ia hanya melihat dari sudut pandang tuntutan
biologis. Bahkan ia berpendapat bahwa penyakit jiwa tidak keluar dari koridor tidak
mendapatkannya kelezatan material dan karena pandangannya yang sekuler, sama
10
11
12
13

al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din, Juz III, h. 55-56


Ibid., h..321
Ibid., h. 125
Freud, Psychoanalysis, h. 276

sekali tidak melihatnya sebagi ujian dari Tuhan sebagaimana tukang besi membakar
besi lalu memasukkannya ke dalam air supaya menjadi kuat atau seperti yang
dilakukan perajin emas membakar barang tambang untuk membedakan emas dari
perak dan lainnya.
Sementara al-Ghazali melihat bahwa tujuan aktivitas manusia sehat jiwanya
adalah mencari ridha Allah, kedekatan dengan-Nya dan minimal mencari pahala
dari-Nya, 14 tanpa memperdulikan aktivitas itu mendatangkan kelezatan lahir atau
kesengsaraan baginya. Oleh karena itu Allah swt. mewajibkan berpuasa kepada
orang-orang mumin. Dengan berpuasa, meninggalkan makan, minum, dan seksual,
dan kelezatan material lainnya di siang hari, dimaksudkan agar mereka berusaha
mencari kelezatan dari dalam dirinya (kelezatan ruhaniah), tidak dari luar dirinya
(kelezatan jasmaniah). Dengan berpuasa, berarti seorang itu mengendalikan nafsunya
(kebutuhan biologis). Seorang yang dapat mengendalikan nafsunya, jiwanya akan
hidup. Sebaliknya bila nafsunya hidup, jiwanya akan mati. Orang yang berpuasa
dapat mendekati Allah yang notabene maha suci dari materi. Dengan demikian,
jiwanya akan hidup dan terang mendapatkan cahaya Tuhannya. Itulah suatu
kelezatan yang tidak ada bandingannya dan tidak akan sirna dan tenggelam bersama
tenggelamnya matahari serta akan dibawa mati. 15 Dalam hal ini al-Ghazali
mengatakan: Subtansi ilahiah yang ada pada diri manusia jika bersih dari limbah
material dan berbagai syahwat atau hasrat, ia akan merindukan suatu yang memiliki
kemiripan sifat dengannya (Allah). Ia juga akan melihat dengan mata akalnya
kebaikan pertama murni (al-khair al-mahdh al-awwal) yang maha suci dari materi,
ia pun segera menghadapnya. Di saat itulah cahaya (nur) dzat kebaikan pertama
memancar kepadanya, ia pun merasakan kelezatan yang tiada duanya.16
Pada bagian lain, al-Ghazali mengatakan bahwa orang yang telah menemukan
Tuhannya, ia akan senantiasa mendapatkan ketenangan dan tidak akan mencari yang
lainnya. Demkian itu menurutnya karena keindahan yang ada di alam ini hanya satu
persen dari 100 persen keindahan Allah.17 Lebih jauh ia mengatakan bahwa manusia
sebelum menemukan Tuhannya, Allah, ia akan selalu berusaha mencari kelezatan. Ia
mencoba mencarinya di kekayaan, dan ternyata tidak ia temukan. Buktinya ketika ia
sudah mendapatkannya ia bosan dan sedih karena harus mencari yang selainnya.
Lalu ia mencoba mencarinya di wanita, di jabatan, status sosial, namun tidak
menemukannya karena bila dapat memperolehnya dengan susah payah, ia bosan dan
mencari selainnya yang dianggapnya lebih menjanjikan. Demikian seterusnya sampai
ia mati meninggalkan dunia ini tanpa menemukan kelezatan dan ketenangan yang
diharapkannya.18
14
15
16
17
18

al-Ghazali, Ihya, h.
Ibid., h. 156
Ibid., h. 138
Ibid., h.137
Ibid., h 216.

Kepribadian
Kepribadian menurut bahasa berasal dari bahasa Latin, peisona yang
bermakna bentuk rupa yang ditampilkan seorang aktor di panggung sandiwara untuk
menampakkan kekhususankekhususan seseorang yang ditampilkannya.19 Dengan
kata lain bahwa yang dimaksud dengan kepribadian adalah individu tertentu dengan
segala kekhususan-kekhususan yang dimilikinya yang membedakannya dengan
selainnya baik internal maupun eksternal. Sementara pengertian kepribadian menurut
istilah, para ilmuwan berbeda pendapat. Sebagian ilmuwan bahwa kepribadian
adalah fenomena perilaku eksternal, sebagian lagi memperhatikan struktur-struktur
internal dan sebagian lain melihatnya dari sudut pandang sosial murni. Pendapatpendapatnya dapat disimpulkan bahwa kepribadian adalah suatu sistem integral dari
dorongan-dorongan, kesiapan-kesiapan jasmani dan kejiwaan (termasuk akal di
dalamnya) baik apriori posteori yang relatif menetap yang dapat membedakan
individu tertentu, dan menentukan pola-polanya dalam beradaptasi dengan
lingkungan material dan sosial.20 Kepribadian menurut Freud adalah hasil dari
interaksi timbal balik antara kebutuhan internal seseorang (instink) dan dunia luar
(eksternal).21 Dengan kata lain, pembentukan kepribadian seseorang itu tumbuh dan
berkembang dari interaksi timbal balik antara lingkungan sosial dan bawaan dari
lahir (genetis). Freud memfokuskan perhatiannya pada instink manusia dan
menganggapnya sebagai asas utama dalam membangun teorinya. Sementara
lingkungan menurutnya berperan membentuk kepribadian dalam memenuhi tuntutantuntutan instink atau tidaknya. Freud berkesimpulan bahwa faktor-faktor kultural dan
lingkungan itu menentukan batasan-batasan dan nilai-nilai pada kepribadian anak.
Dari sinilah timbul pertentangan antara nilai-nilai berikut batasan-batasan itu dengan
tuntutan-tuntutan dan kebutuhankebutuhan instink sehingga timbullah konflik
antara batasan-batasan lingkungan dan keinginan-keinginan instink, suatu hal yang
menimbulkan penderitaan bila lingkungan itu bertentangan dengan keinginan
instink. Oleh sebab itu lingkungan dapat mengancam instink dalam berbagai bentuk.
Akibat dari pertikaian ini menurut pandangan Freud terbentuklah kepribadian
seseorang, dengan segala ciri-cirinya dalam lima tahun pertama dari kehidupan
anak.22
Kepribadian seseorang yang telah terbentuk pada masa anak-anak tersebut
tidak akan berubah meskipun sesudah masa itu memperoleh pengetahuan dan
pengalaman dalam berbagai pertumbuhan dan perkembangan hidupnya, kepribadian
19

Kamil Muhamad, Muhammad Awidhah, Ilmu al-Nafsi: Silsilah Ilm al-Nafsi, (Beirut: Dar
al-Kutub al-Ilmiyyah, 1996) h.. 184-185
20
Ibid., h. 185. Lihat pula , Kamil Muhammad, al-Tahlil al-Nafsy, ed. Muhammad Rajab alBayumi, (beirut: Dar al-Kutiub al-Ilmiyyah, 1996 ) h. 26
21
Freud ,Psychoanalysis, h. 127
22

Ibid., h. 134

seseorang tidak akan terpengaruh banyak sehingga tidak akan menimbulkan


perubahan yang berarti pada kepribadiannya. Segala sesuatu yang terjadi setelah
masa lima tahun pertama itu adalah ibarat saputan pada gedung yang tinggi dan
kokoh karena kepribadiannya telah terbentuk kokoh pada masa lima tahun pertama
dari hidupnya.23 Pada sisi lain Freud melihat bahwa tiada kekuatan yang aktif dalam
makhluk ini selain kekuatan kimiawi. Kekuatan ini tertumpu pada gaya tarikmenarik. Pendek kata, dunia tumbuh-tumbuhan dan dunia hewan merupakan satu
rumpun walaupun berbeda lahiriahnya. Pada sisi lain pendapatnya ini menunjukkan
bahwa proses perkembangan makhluk hidup adalah proses dinamis dan mengingkari
subtansi, ruh, pengaturan dan perencanaan dari yang maha luhur yang berarti ia
mengingkari tuhan yang dapat mempengaruhi alam.
Menurut Freud aktivitas manusia itu didorong oleh kekuatan-kekuatan di
bawah sadarnya. Dengan demikian ia menolak adanya kehendak, kemampuan
memilih dan akal dan menggantikannya dengan kekuatan di bawah sadar yang
menurutnya puncak dorongan dan keinginan-keinginan dan instink yang bersifat
hewaniah.24 Freud menjadikan di bawah sadar sebagai wadah penyimpanan emosiemosi, dan keinginan-keinginan, tempat terkumpulnya apa yang ia ketahui dan apa
yang tidak ia ketahui. Kepadanya pula Freud mengembalikan semua apa yang
dipahami manusia dan apa yang tidak ia mengerti. Keadaan di bawah sadar
merupakan penyimpanan pemikiranpemikiran, al-hasil segala-galanya ada di alam
di bawah sadar. Dengan demikian manusia bagaikan buku yang dapat diketahui
isinya dengan cara membacanya atau bagaikan mobil yang telah usang atau seolaholah manusia itu merupakan budak dari masa kecilnya, ia tidak dapat melepaskan diri
darinya atau merupakan tawanan darinya.. Tidak itu saja, Freud juga menjadikan
merasa berdosa sebagai ketidaksadaran, tanpa sepengetahuan manusia, tanpa
kehendak dan tanpa pemilihannya.25
Dengan demikian Freud telah mencampuradukkan antara karakteristikkarakteristik jiwa dan potensi-potensi yang Allah anugerahkan kepada manusia
seperti akal, qalbu dan ruh. Pada sisi yang lain ia menempatkan manusia pada posisi
yang serendah-rendahnya. Ia telah menjadikan instink dan syahwat sebagai tujuan
puncak manusia yang abadi disadari atau tidak. Bahkan jika manusia melampuinya
maka itu tidak lain hanyalah bagaikan magma yang menyembunyikan keganasannya
yang pada suatu saat nanti akan muncul untuk memenuhi instink-instinknya itu.
Freud mengabaikan kekuatan rabaniah yang menganugerahi manusia kebaikan,
kesabaran, wirai, ketakwaan dan akal sehingga manusia masih menurut Freud tidak
mengenal keseimbangan. Akan tetapi tunduk dan patuh secara penuh kepada instink,
syahwat dan gaya tarik menarik yang dengannya Freud menafsirkan hukum sebab
akibat. Freud telah mengembalikan hakikat manusia, kekuatan-kekuatan instink yang
23

Kamil Muhammad Muhammad Awidhah, Ilmu al-Nafsi, (beirut: Dar al-Kutub al-Ilmyyah,
1996) h. 186
24
Yusuf Karam, Tarikh al-Falsafah Yunaniyah, h. 67,
25

Syarqawi, al-Madkhal, h 15

mendorongnya untuk melakukan tingkah laku secara tidak sadar sehingga seperti
hewan yang dituntun oleh tekanan-tekanan lingkungan dalam melakukan perbuatan,
berperilaku dalam kehidupan. Maka apa yang yang diterima lingkungan, seorang itu
akan melakukannya dan apa yang ditolak lingkungan, ia akan mengendapkan dan
menekannya.
Berdasarkan pandangan tersebut, Freud menafsirkan penyakit-penyakit jiwa
dan perilaku-perilaku manusia sekarang dengan orang itu sendiri dan tidak dengan
suatu di luarnya. Karena manusia menurutnya telah membawa sebab akibat pada
dirinya. Oleh karena itu menurutnya yang diperlukan dalam hal ini adalah kembali
kepada buku (orang tersebut) untuk dibuka dan dibaca dengan maksud mengetahui
penyebabnya. Hal itu tidak sulit karena kita dapat mengungkapnya hanya dengan
kembali pada masa lalu orang tersebut utamanya masa kecilnya, masa lima tahun
pertama dari hidupnya. Hal itu dilakukan dengan cara mengungkapkan yang
terpendam di alam ketidaksadaran ke alam kesadaran, atau membuka pintu
pelampiasan untuk meringankan gejolak jiwa. Untuk mencapai itu psikiater
menggunakan terapi peniduran magnitis, atau terapi psikoanalisa dan sebagainya,
dan sama sekali tidak ada usaha merubah jiwa itu sendiri sedikit pun.
Sementara al-Ghazali melihat bahwa memang anak-anak itu banyak
terpengaruh oleh lingkungan, utamanya kedua orang tuanya. Akan tetapi tidak terlalu
penting untuk dapat mengendalikan masa depannya. Dengan kata lain kepribadian
seseorang dapat diubah secara subtantif dan dapat pula dilepaskan dari lembah
kebinatangan26 kepada cahaya ketuhanan (ilahiyyah), dari lembah syahwat ke puncak
akhlak yang sempurna dengan cara riyadah (olah jiwa) dan mujahadah (
mengendalikan hawa nafsu). Alasan al-Ghazali adalah seandainya tidak dapat
dirubah tentu tidak ada manfaatnya nasehat-nasehat itu. Nabi sendiri bersabda :
Hassinu akhlaqakum (Perbaikilah perilaku kalian). Bagaimana mungkin mengingkari
hal ini pada anak manusia, sementara merubah perilaku hewan ternak saja mungkin
dan bisa dalam eksperimen seperti anjing yang serakah bisa berubah menjadi beradab
dan dapat menahan diri, kuda yang mulanya liar dapat berubah menjadi jinak, burung
beo yang mulanya gesit dapat berubah menjadi jinak27 Merubah kepribadian seorang
itu dilakukan dengan beberapa tahap. Tahap pertama mengosongkan jiwa dari
kebiasaankebiasan buruk dan tercela, yaitu dengan cara mengakui dosa-dosa serta
penyakit-penyakit jiwa dan mengantarkannya kepada cahaya, kebiasaan yang sehat.
Hal itu didasarkan pada permohonan yang dilakukan nabi Musa kepada Tuhannya
setelah melakukan salah bunuh kepada seorang berkebangsaan Mesir: rabbi inni
zhalamtu nafsy faghfir ly,(Wahi Tuhanku, Aku telah melakukan kellimn, maka
ampunilah aku),28 dan sebagaimana doa nabi Yunus dalam kegelapan perut ikan: la
ilaha illa anta subhanaka inni kuntu min al-zhalimin (Tiada Tuhan selain Engkau,

26

al-Ghazali, Kimiya al-Sadah, h. 420


al-Ghazali, Ihya, h. 54
28
QS. al-Qashash, 16

27

10

Maha Suci Engkau, Sesungguhnya aku telaku melakukan kelaliman) 29. Langkah
kedua bertaubat dengan memutuskan hubungan dengan masa lalu, menyesali dan
mengawasi jiwa dan mengevaluasi perbuatan dan bisikan jiwa. Langkah ketiga
mengobati penyakit-penyakit jiwa. Demikian itu dilakukan dengan melatih jiwa yang
kikir untuk berinfaq, menekan nafsu syahwat dengan menjaga kehormatan diri,
menanggalkan egoisme dengan mau berkorban untuk orang lain. Menekan nafsu
yang sombong dengan merendahkan diri, menghilangkan kemalasan dan
membangkitkan giat berkerja. Dengan pengobatan ini menurut al-Ghazali jiwa akan
terantarkan kepada keseimbangan yang menurutnya merupakan ukuran kesehatan
jiwa.30
Keseimbangan yang merupakan ukuran kesehatan jiwa itu menurut alGhazali adalah keseimbangan potensi-potensi jiwa, yaitu kekuatan kognisi, kekuatan
marah, kekuatan syahwat dan keseimbangan ketiga potensi tersebut. Dengan
kekuatan kognisi, membuat orang mudah untuk membedakan antara kejujuran dan
kebohongan dalam ucapan, antara yang haq dan yang batil dalam keyakinan dan
antara yang baik dan yang buruk dalam perbuatan. Bila potensi-potensi ini baik,
maka akan menghasilkan hikmah yang merupakan pangkal perilaku yang baik.31 Hal
inilah yang menurut al-Ghazali pengertian dari firman Allah : wa man yuta alhikmata fa qad utiya khayran katsira (Barang siapa yang diberi hikmah, ia akan
mendapatkan kebaikan yang banyak)32
Kebaikan potensi marah adalah kemampuan mengendalikannya sesuai
dengan tuntutan hikmah. Demikian juga halnya potensi syahwat, kebaikannya bila
tunduk dan patuh pada perintah akal dan syariah. Sementara potensi keseimbangan
(al-adlu) adalah kemampuan mengendalikan syahwat dan kemarahan dan
meletakkannya di bawah perintah akal dan syariah. Akal ibarat penasehat dan
pemberi perintah, kemampuan al-adlu adalah ibarat pelaksana perintah akal,
sementara potensi kemarahan sebagai pelaksanaan dari perintah akal digambarkan
sebagai anjing yang digunakan untuk berburu. Anjing itu perlu dididik dan dilatih
sehingga ia dapat bergerak dan berbuat sesuai dengan petunjuk akal bukannya
berbuat menurut kehendak dan keinginan nafsu (tuntutan biologis), sedangkan
syahwat (hasrat dan keinginan) ibarat kuda yang ditunggangi untuk berburu, ia
kadang-kadang terlatih dan kadang liar. Maka jika empat potensi itu
berkeseimbangan, maka sehatlah jiwa seseorang itu dan akan berperilaku sehat
pula.33
Potensi kemarahan dan keseimbangannya al-Ghazali namakan keberanian
(al-syajaah), keseimbangan potensi syahwat ia namakan sebagai al-iffah (menjaga
kehormatan dengan kemuliaan perilaku). Maka bila potensi kemarahan itu
29

QS. al-Anbiya 87
al-Ghazali, Ihya h. 56-57
31
Ibi, h. 52.
32
QS. al-Baqarah, 269
33
al-Ghazali, Ihya, III., h. 53
30

11

menyimpang dari keseimbangan (titik tengah) ke sisi atas disebut kenekatan dan bila
ke sisi bawah ia sebut pengecut. Sementara potensi syahwat bila menyimpang ke
posisi atas disebut serakah dan bila keposisi bawah berarti beku dan statis. Yang
terpuji adalah titik tengah, sikap tengah dan itulah keutamaan, sedangkan kedua sisi
darinya baik atas maupun bawah adalah kerendahan dan ketercelaan. Adapun hikmah
bila bergeser dari titik tengah ke posisi atas adalah kejian dan bila ke posisi bawah
disebut kebodohan.34
Adaptasi
Adaptasi dalam pandangan ilmu jiwa sekuler merupakan inti dari kesehatan
jiwa, karena dengan kemampuan ber-adaptasi dengan dirinya dan lingkungannya
seorang akan merasakan kebahagiaan. 35 Adaptasi adalah proses dinamis yang
berketerusan yang bertujuan untuk merubah perilaku seseorang untuk menciptakan
hubungan yang lebih sesuai antara dirinya dan lingkungannya. 36 Atau jelasnya
kemampuan seseorang untuk menciptakan hubungan yang memuaskan antara dirinya
dengan lingkungannya.
Lingkungan di sini meliputi semua pengaruh, kemampuan, kekuatan yang
ada di sekitar individu seorang yang dapat mempengaruhi usahanya untuk
mendapatkan stabilitas kejiwaan dan jasmaniahnya dalam hidupnya. 37 Oleh karena
itu lingkungan itu mencakup tiga hal, lingkungan alam, sosial dan individu orang
tersebut. Sementara faktor-faktor utama dalam menciptakan adaptasi seseorang
baik secara individual maupun sosial adalah (a) kemampuan seseorang ber-adaptasi
dengan nilai-nilai dan tujuan-tujuan yang memuaskan dirinya dan dapat pula beradaptasi dengan lingkungan masyarakat yang ia hidup di dalamnya. (b) ia merasakan
kebahagiaan terhadap perilaku-perilaku yang ia lakukan setelah merasakan
penerimaannya kepada dirinya sendiri dan penerimaaan masyarakat kepadanya. 38
Sementara al-Ghazali melihat bahwa adaptasi atau keserasian dan kecocokan
antara seseorang dan lingkungannya bukan asas utama kesehatan jiwa dan
kebahagiaan seorang sebagaimana pandangan Freud dan para pengikutnya. Akan
tetapi asas utama dari kesehatan jiwa adalah iman kepada Allah swt. dan adanya
pengetahuan yang meyakinkan bahwa dunia ini bukan tujuan akhir karena dunia itu
tidak lain hanyalah ladang akhirat. Karena menurutnya bila manusia terpesona
dengan dunia dan kegemerlapannya termasuk penghormatan masyarakat kepadanya
itu merupakan tujuan dan sasarannya maka ia akan mengikuti keinginan-keinginan
hawa nafsunya(tuntutan biologis). Padahal dunia itu senantiasa berubah, kadang
memberi dan kadang-kadang tidak memberi, kadang menyenangkan kadang pula
menakutkan dan kadang terang dan kadang gelap. Maka dengan demikian ia akan
34
35
36
37
38

Ibid., h. 53
Mushthafa Fahmi, al-Insan, h. 18
Freud, Psychoanalysis, h. 123
Ibid., h. 143
Ibid., h. 97

12

berada di antara putus asa dan harapan, antara kecemasan dan ketenangan antara
senang dan ketakutan antara kegelapan dan terang sehingga ia tidak mengetahui
sikap yang terang dan jelas. Dengan demikian ia akan selalu hidup di dunia ini
dengan kegelisahan dan kecemasan, tidak merasakan ketenangan dan tidak mengenal
rasa aman, tidak mengetahui kebenaran, dan tidak meyakini akhlak (moral). Ia hanya
akan menerima kebiasaan yang berlaku atau meniru perilaku-perilaku dan
pengalaman-pengalaman yang senantiasa berubaha-ubah. Kepribadian yang meniruniru akan menghadapi banyak kesulitan yang dapat membuatnya rawan terhadap
berbagai penyakit yang pada akhirnya menghancurkan dirinya.39
Dengan perilaku yang sehat ini ia akan berkecocokan (adaptasi)
menerima dirinya sebagaimana ia juga dapat menerima orang lain, ia berperilaku
positif dengan masyarakat secara keseluruhan. Model kepribadian semacam ini yang
al-Ghazali namakan sebagai kepribadian berkeseimbangan dan sehat.
Pengobatan Penyakit Jiwa
Sebelum menyampaikan konsep pengobatan penyakit jiwa menurut Sigmund
dan al-Ghazali, akan dikemukakan lebih dahulu gangguan kejiwaan atau penyakit
jiwa. Gangguan kejiwaan ini berupa stres dan depresi.
Penyakit jiwa menurut Freud sebagaimana telah dikemukakan di atas adalah
disebabkan keinginan-keinginan biologis atau hasrat-hasrat yang tidak dapat
terpenuhi dan tertekan ke dalam alam ketidaksadaran seseorang dan menimbulkan
kegelisahan dan kecemasan yang pada akhirnya mengakibatkan berbagai penyakit
jasmani. Maka untuk mengobatinya adalah memenuhi tuntutan biologis atau dengan
mengungkapkan realitas alam ketidaksadaran yang berupa kegelisahan akibat dari
keinginan-keinginan yang tidak terpenuhi ke alam kesadaran. Mengungkapkan
realitas alam ketidaksadaran ini dikenal dengan istilah psikoanalisis. Psikoanalisis
adalah cara membongkar realitas alam ketidaksadaran ke alam kesadaran40
Sementara pengobatan yang ditawarkan al-Ghazali adalah dengan mengenali
lebih dahulu penyakit yang dideritanya. Mengenali penyakit jiwa ini adalah tugas
guru, syeh sufi yang mengetahui penyakit-penyakit jiwa dan mempunyai
kemampuan untuk mengobatinya. Mengenali penyakit ini dapat dibantu sahabat
dekatnya yang taat beragama.. Bahkan dapat dilakukan dengan memanfaatkan
komentar-komentar dari para musuhnya, karena kebencian musuh seseorang itu
merupakan orang paling berani menyampaikan penyakitnya dari pada sahabat
dekatnya.41
Sebagaimana Freud, al-Ghazali juga mengatakan bahwa untuk mengetahui
penyakit jiwa seseorang itu dapat dilakukan melalui mimpi-mimpinya. Sebab mimpi
menurutnya merupakan cermin dari situasi kejiwaannya. 42 Setelah diketahui

39

al-Ghazali, Ihya h. 98,


Fromm, Art of Listening, h. 74-76
41
Ibid h. 63
42
al-Ghazali, Kimiya al-Saadah, h, 424
40

13

penyakit-penyakitnya baru dilakukan pengobatanya sesuai dengan penyakit yang


dideritanya.
Dalam hal ini, al-Ghazali menyatakan bahwa keseimbangan sebagaimana
yang telah disebutkan di atas merupakan gejala kesehatan jiwa. Menyimpang dari
keseimbangan atau titik tengah berarti sakit jiwa. Demiklian halnya kesehatan
badan terletak pada keseimbangannya, menyimpang dari keseimbangan berarti sakit.
Pengobatan jiwa menurutnya sama dengan halnya mengobati badan yaitu dengan
menghilangkan sifat-sifat tercela dan perilalu-perilaku yang buruk darinya dan pada
saat yang sama mendatangkan sifat-sifat yang terpuji dan keutamaan-keutamaan
(virtue).43
Selanjutnya al-Ghazali berpendapat bahwa cara yang benar dalam mengobati
penyakit jiwa adalah membersihkan jiwa dari tuntutan-tuntutan biologis dan sifatsifat tercela (takhliyyah al-qalbi) dan menggantikannya dengan sifat-sifat terpuji,
yaitu konsep-konsep positif dan baru serta prinsip-prinsip yang luhur sehingga
keadaan jiwa berubah dan terbentuklah idealisme yang agung (tahliyat al-qalbi).
Hal itu tidak akan terealisir kecuali dengan pendidikan yang sehat dan
menumbuhkan rasa cinta akan keutamaan, berakhlak mulia dan memahami jalan
Allah swt, bersabar menghadapi kesulitan dan enggan terhadap apa yang ada pada
manusia (zuhud), bersabar dan rela menghadapi bala. Dengan kata lain ia
menanggalkan egoisme dan kepentingan egonya sehingga ia tidak menuruti tuntutantuntutan biologisnya. Bila manusia melakukan hal secara konsisten, ia akan hidup
dengan merasa dekat dengan Allah swt, mengharap janji Allah, bebas dari rasa
kekhawatiran dan ketakutan, hatinya penuh dengan ketenangan karena rasa cintanya
kepada Tuhannya dan tidak sibuk dengan selain-Nya.44
Terapi kejiwaan tertinggi dalam Islam menurutnya adalah berdzkir, menyebut
asma Allah dalam qalbu, lisan, anggauta-anggauta badan, perilaku dan merasa selalu
diawasi Allah dalam segala ucapan dan perbuatannya sepanjang waktu. Dzikir
merupakan pengobatan (kuratif) dan pencegahan (preventif), dapat memberi rasa
aman, dan ketentraman, karena dzikir dapat mengembalikan hubungan yang terputus
antara seorang hamba dengan Tuhannya, menghubungkan jiwa dengan sumber
asalnya, dan mengembalikan suatu ciptaan kepada penciptanya yang tentu saja lebih
mengetahui penyakit-penyakit dan kelainan-kelainannya serta maha kuasa untuk
mengobatinya sehingga cahaya kembali menerangi kegelapan jiwanya.45
Berdzikir (mengingat Allah swt) tidak hanya terbatas dengan lisan dan hati
atau qalbu saja. Akan tetapi juga dengan akal. Berdzikir dengan akal adalah dengan
berpikir tentang ciptaan-Nya yang berupa alam dengan segala isinya. Model
berdzikir semacam ini ia sebut sebagi al-muraqabah (senantiasa melihat atau diawasi
Allah swt.). Dalam hal ini Allah berfirman : sanurihim ayatina fi al-afaqi wa fi

43

al-Ghazali, Ihya Juz III h. 59


Syarqawi, Fi Ilm al-Nafsi, h. 28- 30
45
Ibid., h. 193-194
44

14

anfusihim (Akan Aku perlihatkan mereka tanda-tanda kebesaran-Ku di seluruh ufuk


dan pada diri mereka sendiri).46
A. Metodologi al-Ghazali
Masalah metodologi merupakan titik sentral dan yang sangat penting serta
menentukan bagi kedua pemikir itu. Oleh karena itu di sini perlu dikemukakan
sebab hal itu dapat membantu menangkap esensi pemikiran dari kedua pemikir besar
itu melalui pendekatan metodologi.
Meneliti konsep kejiwaan yang telah dibangun oleh Freud dan al-Ghazali
menghasilkan dua tipologi pemikiran. Tipe pertama adalah pemikiran yang diwakili
oleh al-Ghazali yang menitikberatkan pada wahyu dengan tanpa mengabaikan
rasionalitas. Adapun tipe pemikiran kedua diwakili oleh Sigmund Freud yang
menekankan kepada rasionalitas murni. Penelitian ini menunjukkan bahwa kedua
pemikir itu menggunakan pendekatan metodologi yang berbeda bahkan kontradiktif.
Untuk membedakan dua tipe metodologi itu penulis menyebutkan bahwa Al-Ghazali
menggunakan metode pendekatan hepotetik (hypothetical approach) dan cara
berpikir deduktif (deductive thinking), sedangkan Freud menggunakan metode
analitik (analytitical method) dengan cara berpikir induktif (inductive thinking).
Pola berpikir rasionalistik al-Ghazali sebagaimana penganut rasionalisme lain
bertitik tolak atas dasar pandangan bahwa semua ilmu pengetahuan itu berasal dari
suatu pemahaman intelektual yang dibangun atas kemampuan beragumentasi secara
logis dan bukannya berdasarkan empirik-sensual. Demikian itu karena penganut
rsionlisme melihat bahwa berbagai hal empiris itu dipandangnya tidak lebih dari
sebagai hal yang sensual saja. Menurut rasionalisme, suatu realitas itu tidak mungkin
hanya dipahami dan dihayati melalui yang sensual saja, karena di atas empiris
sensual masih ada empiris teoritis. Oleh sebab itu pola berpikir rasionalistis
mengenal tiga bentuk realitas, yaitu perpektif sensual, perpektif empiris logis dan
ketiga perspektif etis.47 Hanya saja untuk dapat berargumentasi secara logis
diperlukan data-data yang empiris yang relevan.
B. Metodologi Sigmund Freud
Dalam memproduksi konsep kesehatan jiwa, Sigmund Freud sesuai dengan
perkembangan sains modern, ia menggunakan metode pendekatan analitik
(analytical method) dengan cara berpikir induktif (induktive thinking).
Metode
analitik dan cara berpikir ini merupakan kebalikan dari pada metode hipotetik dan
cara berpikir deduktif seperti yang telah disebutkan penulis dalam mengemukakan
metode al-Ghazali di atas. Metode analitik Sigmund Freud yang penulis maksudkan
dalam penelitian ini adalah suatu sarana untuk menganalisa beberapa fungsi dari
subyek dan membedakan setiap bagian dari bagian yang lain. Artinya menganalisa
semua mekanisme pemahaman terhadap subyek permasalahan yang menjadi pusat
perhatiannya untuk menghasilkan pengetahuan. Proses analisa terhadap mekanisme
46

QS. Fushshlat, 53
Hari Purwanto, Kebudayaan dan Lingkungan dalam Perspektif Antropologi, (Yogyakarta :
Pustaka Pelajar, 2000) h. 4 - 5
47

15

dari satu bagian ke bagian yang lain dari subyek itu, penulis sebut sebagai cara
berpikir induktif Metode analitik yang digunakan Sigmund Freud, kerangka kerjanya
adalah dengan melakukan observasi dan eksperimen. Hal itu dilakukan dengan
menghimpun data-data di lapangan dalam hal ini ia lakukan terhadap pasien-pasien
yang datang berobat atau konsultasi kepadanya, mengklasifikan permasalahanpermasalahan kemudian menganalisanya dan menyimpulkannya untuk mendapatkan
pengetahuan. Untuk melaksanakan itu semua murni menggantungkan kepada analisa
rasional dan pendekatan positivistis.
Karakteristik dari pola berpikir positivistik adalah berpikir secara spesifik
tentang empiris yang teramati yang terukur dan dapat dieliminasi serta satuan terkecil
dari obyek penelaahan yang berupa variabel dapat pula dimanipulasikan dan
dilepaskan dari satuan besarnya. Konsekuensi logisnya pola berpikir positivistik
memerlukan kemampuan untuk menyajikan berbagai variabel baik dari apa yang
dapat diteliti, dan diamati, diukur serta dapat dikontrol. Dengan demikian metode
positivistis ini menuntut adanya suatu yang diamati, baik langsung maupun tidak
langsung, logika berpikir yang dominan adalah bersifat kausalitas ( sebab akibat).48

48

Ibid., h. 8

16

Abd al-Rahman Muhammad, Ilm al-Nafsi fi al-Hayat al-Muashirah, Cairo : Dar

al-Maarif, 1980

Abd al-Halim Mahmud, Qadhiyyah al-Tasawwuf, Cairo : Dar al-Maarif, 1998


Abd al-Karim Usman, Sirat al-Ghazali, Damaskus : Dar al-Fikr, tth.
Abd al-Rahman Badawi, Muallafat al-Ghazaly, Cairo : Maktabah Isa al-Babi alHalabi, tth.
Abu Ali, Ahmad, Ibnu Maskawih, Tahdzib al-Akhlaq, wa Tathhir al-Araq, ed. Hasan Tamim,
Beirut : Intisyar Bidar, 1993
Amin Abdullah, Muhammad, The Idea of Universality of Ethical Norms in Ghazali and Kant, Ankara
: Kultiu Doguma, Armoga, 1992
Badawi Thabanah, Syarh Ihya Ulum al-Din, Cairo : Maktabah Isa al-Babi al-Halabi, 1957

Calvin S. Hall, Theories Of Personality, ed. Supratiknya, Yogyakarta : Kanisius 1993

Dadang Hawari, al-Quran : Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa, Jakarta:
Bakti Prima Yasa, 1996
Erich Fromm, The Art of listening, Kritik atas Psikoanalisis Sigmund Freud, alih bahasa Apri
Danarto, Yogyakarta, Penerbit Jendela, 2002

al-Fayumi, Muhammad Ibrahim, al-Imam al-Ghazali wa Alaqat al-Yaqin bi al-Aql


Mesir: Maktabah al-Anjilo, 1976
Hari Poerwanto, Kebudayaan dan Lingkungan dalm Perspektif Antropologi,
Yogykarta : Puswtaka Peljar, 2000

17

Hasan Muhammad al-Syarqawi, al-Madkhal fi Ilm al-Nafsi al-Islamy, Iskandaria : Dar al-Nasyir alJamii, 1979
Horney, K, New Ways in Psicoanalysis, New York : Norton, 1943

Ibnu Arabi, Abu Bakar, al-Qawashim wa al-Awashim, Cairo : Dar al-Maarif, tth.
Kamil Muhammad, Muhammad Awidhah, Rihlah fi Ilm al-Nafs, Beirut : Dar alKutub al-Ilmiyyah, 1996
Mullahy, P, Psychoanalysis and Interpersonal Psychiatry, Nedw York : Sceince House, 1970
Muhammad Ibnu Muhammad al-Ghazali, Ihya Ulm al-Din, Beirut: Dar al-Syarqi, 1967
-----------, Kimiya al-Saadah, dalam Majmuah Rasail al-Imam al-Ghazali, Beirut : Dar al-Fikri,
1996
------------, Rawdhat al-Thalibin wa Umdah al-Salikin , Beirut : Dar al-Fikri, 1996
------------, Mizan al-Amal, Cairo : Dar al-Maarif, 1976
------------, al-Maqshad al-Asna fi Syarh Asma al-Husna, Cairo : Maktabah al-Jundi, 1970
-----------, al-Munqidz min al-Dhalal, Birut : Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1988
-----------,Tahafut al-Falasifah,Mesir: Dar al-Maarif, 1966
Muhammad Qutub, Dirasat fi al-Nafsi al-Insaniyyah, Beirut : Dar al-Syuruq, 1980

Muhammad Abd al-Hadi, Tarikh al-Falsafah fi al-Islam, Cairo : Dar al-Maarif,


1967
Mushthafa Jawwad, Ashr Al-Ghazali dalam Maharjan Al-Ghazali bi Dimisyqa,
al-Majlis alAla, Cairo, 1962
Musthafa Fahmi, al-Insan wa Shihhatuhu al-Nafsiyyah, Cairo : Maktabah Mishra, 1965

----------, al-Tahli al-Nafsy, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1996


Sigmund Freud, A. General Introduction to Psychoabalysis , New York :
Permabooks, 1958

18

-----------, Leonardo da Vinciand and A.Memory of His Chilhood, Alih Bahasa Yuli
Winarno, Yogyakarta: Penerbit Jendela, 2002
Syawqi Dhayyif, al-Balaghah : Tathawwur wa Tarikh, Cairo : Dar al-Maarif, 1965
Al-Subky, Thabaqat,al-Syafiiyyah, III, Mesir: Isa al-Babi al-Halabi, tth
Sulaiman Dunya, al-Haqiqah fi Nazhr Al-Ghazali, Cairo : Dar al-Maarif, 1971
Sullivan , HS, Clinical Studiies in Psychiatry, New York : Norton, 1956
William James, Psychology : Briefer Course, New York : Colliert Books, 1962
Zakki Mubarak, al-Akhlaq, Ind al-Ghazali, Cairo: Dar al-Syabi, 1970

Abstrak
Kesehatan jiwa menurut Freud dapat diperoleh manusia bila ia dapat
memenuhi tuntutan tuntutan biologis (nafsu) nya. Sebab manusia itu mencari
kelezatan dan menjauhi kesengsaraan. Kebutuhan-kebutuhan nafsu menurutnya
merupakan pendorong semua aktivitas manusia. Tidak terpenuhinya keinginankeinginannya akan menimbulkan penyakit, penyakit jiwa dan penyakit jasmani.
Terapi penyakit jiwa menurutnya adalah mengungkapkan keinginan-keinginan yang
tertekan dan terpendam di dalam ketidaksadarannya ke alam kesadarannya dengan
menggunakan metode psikoanalisa.
Sebaliknya al-Ghazali melihat bahwa kesehatan jiwa dapat diperoleh
manusia dengan mengendalikan keinginan-keinginan nafsunya yang tidak terbatas
itu sesuai dengan ketentuan-ketentuan Allah. Demikian itu bila orang tersebut
menggunakan Allah sebagai pendorong dan tujuan utama semua aktivitasnya. Ia
tidak mencari kelezatan dan tidak pula menghindari kesengsaraan. Akan tetapi
mencari keridhaan Allah, pahala dan kedekatan kepada-Nya meskipun harus
menghadapi kesengsaraan lahir. Penyakit jiwa berikut kelainan perilaku yang
ditimbulkannya akibat dari dominasi dan tidak terkendalinya nafsu. Sementara terapi
penyakit jiwa adalah mengosongkan semua sifat-sifat tercela dan buruk dari jiwa dan
menggantikannya dengan sifat-sifat terpuji melalui riyadhah dan mujahadah.

19

Perbedaan konsep dari kedua pemikir besar itu disebabkan karena perbedaan
metodologi dan perbedaan cara berpikir. Al-Ghazali menggunakan metode hipotetik
(hypotetical method) dan cara berpikir deduktif (deductive thinking), sementara
Sigmund Freud menggunakan metode analitik (analytical method) dan cara berpikir
induktif (inductive thinking).
Kata kunci: kesehatan jiwa, pendorong aktivitas manusia, kepribadian dan
pengobatan penyakit jiwa.

Anda mungkin juga menyukai