Anda di halaman 1dari 13

TINJAUAN PUSTAKA

Definisi
Dermatitis Kontak Alergika (DKA) adalah inflamasi pada kulit melalui
mekanisme imunologik (reaksi hipersensitivitas tipe IV) yang disebabkan oleh
paparan alergen spesifik (hapten) pada kulit yang telah tersensitisasi sebelumnya.
(1)

Epidemiologi
Prevalensi penyakit DKA di Amerika Serikat terhitung sebesar 7% dari total
penyakit yang terkait dengan pekerjaan.(6) Berdasarkan beberapa studi yang
dilakukan, insiden dan tingkat prevalensi DKA dipengaruhi oleh alergen-alergen
tertentu. Poison ivy, pohon ek, nikel, Balsam of Peru (Myroxylon pereirae),
neomisin, wangi-wangian, thimerosal, emas, formaldehid, basitrasin, dan karet
merupakan alergen penyebab DKA yang paling sering dijumpai. Angka kejadian
dermatitis kontak alergika dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti usia, jenis
kelamin, etnik dan pekerjaan.(2)
Individu yang lebih muda (18 sampai 25 tahun) memiliki onset dan resolusi
yang lebih cepat terhadap dermatitis dibandingkan dengan yang lebih tua. Secara
klinis, pada individu yang berusia diatas 65 tahun, gejala timbul lebih lama dan
waktu untuk perbaikan yang dibutuhkan juga lebih lama. Prevalensi kejadian
DKA pada usia tua juga lebih rendah dibandingkan usia muda.
Perempuan memiliki kecenderungan untuk alergi terhadap 7 dari 10 alergen
yang diujikan dalam tes tempel. Dalam uji dengan membandingkan potensi
alergen, sebagian besar perempuan juga sensitif terhadap alergen lemah. Tangan
dan wajah merupakan area yang sering terkena peradangan, dikarenakan kedua
area ini merupakan area yang sering terpapar ke lingkungan.(1)
Etiologi
Dermatitis kontak alergika merupakan inflamasi pada kulit yang terjadi
melalui mekanisme imunologik tipe lambat (reaksi hipersensitivitas tipe IV),
disebabkan oleh adanya paparan alergen spesifik (hapten) pada kulit yang telah
tersensitisasi sebelumnya. (5,6,7)

Sebagian besar senyawa yang menginduksi reaksi hipersensitivitas


merupakan senyawa dengan berat molekul < 500 Dalton. Hapten baru dapat
menginduksi sel imun ketika berinteraksi dengan protein sel kulit. (5) Terdapat lebih
dari 3700 alergen yang dilaporkan dapat memicu reaksi DKA.

(3,10)

Beberapa

diantaranya yang sering ditemukan adalah bahan pewangi, bahan sintetis pada
pakaian, kosmetik, perhiasan, karet, bunga, antioksidan, produk perawatan
rambut, obat topikal dan sebagainya.
Patogenesis
Fungsi kulit sebagai pelindung adalah sebagai penghambat terpaparnya
alergen ke tubuh. Pertahanan awal kulit dibentuk oleh stratum korneum yang
merupakan lapisan teratas epidermis. Pada epidermis, Fillagrin (FLG) yang
merupakan hasil diferensiasi terakhir proteinmemiliki peran yang sangat penting
dalam fungsi perlindungan. Dilaporkan bahwa kehilangan fungsi dari varian FLG
menyebabkan hilangnya fungsi kulit sebagai barier dan merupakan predisposisi
terjadinya dermatitis atopi. Mutasi FLG juga dapat meningkatkan kerentanan
terhadap hapten.(5) DKA merupakan reaksi hipersensitivitas tipe lambat yang
diperantarai imunitas seluler (hipersensitivitas tipe 4). (6,7,8)
Patogenesis DKA diklasifikasikan menjadi 2 bagian, yaitu fase induksi (fase
sensitisasi atau fase aferen) dan fase elisitasi (fase eferen).

Fase sensitisasi

dimulai pada saat kulit penderita pertama kalinya terpapar dengan alergen kontak
sampai pada saat penderita tersensitisasi, artinya jika terjadi paparan ulang
terhadap alergen yang sama akan dapat memicu terjadinya reaksi DKA. Fase
efektor dimulai dari paparan ulang alergen kontak yang sama sampai waktu
terjadinya manifestasi klinik DKA, seperti eritema, edema dan munculnya vesikel.
Reaksi inflamasi yang timbul pada DKA dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti
frekuensi dan durasi paparan alergen.(3,5,8)
Tahapan imunopatologi pada DKA meliputi : (3,5,8)
a. Fase Aferen (Fase Sensitisasi)
Hapten yang sudah diikat protein akan menjadi antigen masuk ke dalam
epidermis melewati stratum korneum akan ditangkap oleh sel Langerhans dengan
cara pinositosis, dan diproses secara kimiawi oleh enzim lisosom atau sitosol serta

dikonjugasikan pada molekul HLA-DR menjadi antigen lengkap. Pada awalnya


sel Langerhans dalam keadaan istirahat, dan hanya berfungsi sebagai makrofag
dengan sedikit menstimulasi sel T, tetapi setelah keratinosit terpajan oleh hapten
yang juga mempunyai sifat alergen maka akan dilepaskan sitokin (IL-1) yang
akan mengaktifkan sel Langerhans sehingga mampu menstimulasi sel T. Aktivasi
tersebut mengubah fenotip sel Langerhans dan meningkatkan sekresi sitokin
tertentu (misalnya IL-1) serta ekspresi molekul permukaan sel termasuk MHC I
dan MHC II, ICAM-1, LFA-3 dan B7. Sitokin proinflamasi lain yang dilepaskan
oleh keratinosit yaitu TNF yang dapat mengaktivasi sel T, makrofag dan
granulosit, menginduksi perubahan molekul adesi sel dan pelepasan sitokin ini
juga meningkatkan MHC I dan MHC II.
TNF menekan produksi E-cadherin yang mengikat sel Langerhans pada
epidermis, juga menginduksi aktivitas gelatinolisis sehingga memperlancar sel
Langerhans melewati membran basalis bermigrasi ke kelenjar getah bening
setempat melalui saluran limfe. Di dalam kelenjar limfe, sel Langerhans
mempresentasikan kompleks HLA-DR-antigen kepada sel T penolong spesifik,
yaitu yang mengekspresikan molekul CD4 yang mengenali HLA-DR sel
Langerhans, dan kompleks reseptor sel T-CD3 yang mengenali antigen yang telah
diproses. Ada atau tidak adanya sel T spesifik ini ditentukan secara genetik.
Sel Langerhans mensekresi IL-1 yang menstimulasi sel T untuk
mengekspresi reseptot IL-2 (IL-2R). Sitokin ini akan menstimulasi proliferasi sel
T spesifik, sehingga menjadi lebih banyak. Turunan sel ini yaitu sel T memori (sel
T teraktivasi) akan meninggalkan kelenjar getah bening dan beredar di seluruh
tubuh. Pada saat tersebut individu dikatakan telah tersensitisasi.
Sinyal antegenik murni suatu hapten cenderung menyebabkan toleransi
sedangkan sinyal iritannya menimbulkan sensitisasi, dengan demikian terjadinya
sensitisasi kontak tergantung pada adaya sinyal iritan yang dapat berasal dari
alergen kontak sendiri, dari ambang rangsang yang rendah terhadap respon iritan,
dari bahan kimia inflamasi pada kulit yang meradang atau kombinasi ketiganya.
Maka suatu tindakan yang ditujukan utuk mengurangi iritasi akan menurunkan
potensi sensitisasi.

b. Fase Eferen (Fase Elisitasi)


Fase elisitasi pada hipersensitivitas tipe lambat terjadi pada pajanan ulang
alergen (hapten). Seperti pada fase sensitisasi, hapten akan ditangkap oleh sel
Langerhans dan diproses secara kimiawi menjadi antigen, kemudian diikat oleh
HLA-DR kemudian diekspresikan di permukaan sel. Selanjutnya kompleks HLADR-antigen akan dipresentasikan kepada sel T yang telah tersensitisasi (sel T
memori) baik di kulit maupun di kelenjar limfe sehingga terjadi proses aktivasi.
Sel Langerhans mensekresi IL-1 yang menstimulasi sel T untuk memproduksi IL2 dan mengekspresi IL-2R yang akan menyebabkan proliferasi dan ekspansi sel T
di kulit.
Sel T teraktivasi juga mengeluarkan IFN yang akan mengaktifkan
keratinosit

mengekspresi

ICAM-1

dan

HLA-DR.

Adanya

ICAM-1

memungkinkan keratinosit berinteraksi dengan sel T dan leukosit yang akan


megekspresi LFA-1. Sedangkan HLA-DR memungkinkan keratinosit berinteraksi
langsung dengan sel T CD4+ dan memungkinkan presentasi antigen kepada sel
tersebut. HLA-DR juga dapat merupakan target sel T sitotoksik pada keratinosit.
Keratinosit juga menghasilkan sejumlah sitokin seperti IL-1, IL-6, TNF dan
GMCSF yang semuanya dapat mengaktivasi sel T. IL-1 dapat menstimulasi
keratinosit menghasilkan eikosanoid.
Sitokin dan eikosanoid ini akan mengaktifkan sel mast dan makrofag. Sel
mast yang berada di dekat pembuluh darah dermis akan melepaskan antara lain
histamin, berbagai jenis faktor kemotaktik, PGE2 dan PGD2, dan leukotrien B4
(LTB4). Eikosanoid baik yang berasal dari sel mast (prostaglandin) maupun dari
keratinosit atau leukosit menyebabkan dilatasi vaskular dan meningkatnya
permeabilitas shingga molekul larut seperti komplemen dan kinin mudah berdifusi
ke dalam dermis dan epidermis. Selain itu faktor kemotaktik dan eikosanoid akan
menarik neutrofil, monosit dan sel darah yang lain dari pembuluh darah ke dalam
dermis. Proses ini akan menimbulkan manifestasi klinik DKA.

Gambar Imunopatogenesis Dermatitis Kontak Alergika


Diagnosis
Diagnosis berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang.
a. Anamnesis
Ada beberapa yang harus diperhatikan pada anamnesis berkaitan dengan
kasus DKA, yaitu adanya keluhan gatal pada kulit, riwayat paparan terhadap
bahan alergen sebelumnya, munculnya keluhan pada kulit terjadi setelah paparan
terhadap alergen yang sama, mulai muncul 48-96 jam setelah paparan ulang, dan
sering berulang selama beberapa tahun.

(2)

Selain hal tersebut, ada beberapa hal

yang juga perlu diketahui dari anamnesis yaitu data demografi pasien termasuk
umur, ras, pekerjaan dan hobi, adanya kecenderungan terpapar bbahan alergen,
lokasi tempat tinggal, riwayat penyakit dahulu dan pengobatan dan riwayat
penyakit keluarga, alergi obat, serta riwayat pengobatan dan operasi sebelumnya.
(1,4,8)

b. Pemeriksaan Fisik
Kelainan kulit bergantung pada keparahan dermatitis dan lokalisasinya.
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan efloresensi DKA polimorf, batas tegas,
dimana alergen kuat selalu menyebabkan pembentukan vesikel, sedangkan
5

alergen yang lemah ditandai dengan adanya papula. Pada fase akut ditandai
dengan gejala pruritus, edema, makula eritematous batas tegas dan vesikel
hanya pada area terpapar (lokalisata). Vesikel atau bula dapat pecah menimbulkan
erosi dan eksudasi (basah). DKA akut di tempat tertentu, misalnya kelopak mata,
penis, skrotum, eritema lebih dominan dibandingkan vesikel.
Lesi subakut dapat berupa : eritema, papula, dan skuama. Bila kontak
dengan alergen berulang, maka dapat ditemukan gejala dan tanda DKA kronik,
berupa plak eritematosa batas tidak tegas, pada permukaan lesi bisa didapatkan
skuama, fissura, likenifikasi; dan lesi dapat meluas melewati area yang terpapar
(diseminata). Kelainan ini sulit dibedakan dengan dermatitis kontak iritan kronis
dan diperkirakan penyebabnya juga campuran. DKA dapat meluas ke tempat lain,
misalnya dengan cara autosensitisasi. Kulit kepala, telapak tangan, dan kaki relatif
resisten terhadap DKA. (1,2,4)
Tabel 1. Regio predileksi tersering timbulnya Dermatitis Kontak Alergika
Regio
Kepala dan Leher

Penyebab
Rambut, sampo, spray rambut, zat perawatan rambut

Telinga
Mata
Mulut dan bibir

lainnya, bahan pencukur jenggot, alergen di udara


Neomisin, pewangi, nikel, logam
Maskara, bulu mata palsu, pewangi, sponge bedak
Pasta gigi, permen karet, pewangi, pewarna bibir (lipstick),

Badan

obat, getah buah


Baju (bahan poliester, wol, serat sintetis lainnya), besi dalam
pakaian dalam wanita, ikat pinggang, karet celana, nikel,
perhiasan tindik, kancing logam, deterjen, bahan pelembut

Ketiak
Tangan

atau pengharum.
Deodoran, formaldehid
Perhiasan, jam tangan, bunga dan serbuk sari, poison ivy,
sarung tangan berbahan karet, bahan kosmetik, bahan

Genital

perawatan rambut
Pewarna pakaian, kondom, obat suppositoria, pewangi,

pembalut wanita.
Kaki
Kaos kaki, sepatu, obat topikal
c. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang sebagai Gold Standard untuk menegakkan diagnosa
DKA adalah uji tempel (patch test).

(8,10)

Uji tempel (patch test) dengan

menggunakan bahan standar atau bahan yang dicurigai menyebabkan timbulnya


DKA. Adapun indikasi dilakukannya uji tempel yaitu pada kasus dermatitis yang
bersifat kronik dan/atau adanya gatal yang selalu berulang, adanya likenifikasi,
dan pada kecurigaan adanya DKA sebagai penyebab atau komplikasi dari keluhan
tersebut.

Sedangkan

kontraindikasi

uji

tempel

yaitu

imunodefisiensi,

mengkonsumsi obat-obatan yang menekan respon imun dan penyakit autoimun. (9)
Tempat untuk melakukan uji tempel biasanya di punggung. Untuk
melakukan uji tempel diperlukan antigen, biasanya antigen standar buatan pabrik,
misalnya Finn Chamber System Kit. Bahan yang secara rutin dan dibiarkan
menempel di kulit, misalnya kosmetik, pelembab, bila digunakan sebagai uji
tempel, dapat langsung digunakan dan ditempelkan apa adanya. Bila
menggunakan bahan yang secara rutin dipakai dengan air untuk membilasnya,
misalnya sampo, pasta gigi, maka bahan ini dicampur harus diencerkan terlebih
dahulu.

Bahan yang tidak larut dalam air diencerkan atau dilarutkan dalam

vaselin atau minyak mineral.


Konsentrasi zat alergen pada uji tempel sangat berpengaruh terhadap
interpretasi hasil uji tempel karena konsentrasi yang terlalu rendah dapat
menimbulkan hasil negatif palsu, sedangkan konsentrasi yang terlalu tinggi dapat
menimbulkan hasil positif palsu.(2) Pembacaan dan interpretasi hasil uji tempel
dilakukan setelah 24 jam, 72 jam dan setelah 7 hari.(8,9,11) Pembacaan pada hari ke 7
dapat membantu menilai hasil positif yang muncul lebih lambat (lebih dari 4 hari)
yang pada pemeriksaan 24 jam serta 72 jam bernilai negatif, missal untuk zat
allergen seperti neomisin, tixocortol pivalate dan nikel.(9)
Tatalaksana
Tatalaksana medikamentosa Dermatitis Kontak Alergika (DKA) adalah
sebagai berikut:
1. Topikal
a. Lesi basah (madidans) : kompresi terbuka (2-3 lapis kain) dengan
NaCl 0,9 %
b. Lesi kering : kortikosteroid potensi sesuai derajat inflamasi.
2. Sistemik
a. Kortikosteroid, digunakan dalam waktu singkat :
Prednison, 5-10 mg/dosis, 2-3 kali/24 jam
Metil Prednisolon, 4, 8, 16 mg/dosis, 2-3 kali/24 jam

Deksametason, 0,5-1 mg/dosis, 2-3 kali/24 jam


Triamsinolon, 4, 8, 16 mg/dosis, 2-3 kali/24 jam
b. Antihistamin
c. Antibiotik: bila ada super-infeksi bakteri
Adapun tatalaksana non-medikamentosa pada pasien Dermatitis Kontak
Alergika adalah menghindari terjadinya paparan dengan alergen.

LAPORAN KASUS
Identitas Pasien
Nama

: Ny. SA

Umur

: 55 tahun

Jenis Kelamin

: Perempuan

Pekerjaan

: Ibu Rumah Tangga

Agama

: Islam

Alamat

: Jl.Condrokusumo dalam 9/2 Bongsari Semarang

No. RM

: 06.59.72

Tanggal Pemeriksaan : 3 Juni 2016


Anamnesis

a. Keluhan utama
Rasa gatal di kelopak mata
b. Riwayat penyakit sekarang
Pasien datang dengan keluhan rasa gatal di kelopak ,ata kanan dan kiri.
Keluhan ini sudah dirasakan sejak 1 bulan yang lalu. Awalnya timbul kemerahan
dan gatal pada kelopak mata.Rasa gatal dialami terus menerus dan disertai dengan
kulit yang mengering menjalar sampai ke leher. Menurut pengakuannya, keluhan
muncul setelah mengganti sprei dikamarnya. Alergi obat dan makanan disangkal
pasien. Pasien mengaku sudah berobat ke dokter namun keluhan belum membaik.
Tidak ada gejala demam, mual, muntah, dan diare.
c. Riwayat penyakit dahulu
Pasien sebelumnya tidak pernah mengalami keluhan yang sama. Riwayat
alergi dan riwayat penyakit kulit lainnya disangkal.
d. Riwayat penyakit keluarga
Tidak ada anggota keluarga yang mengalami keluhan yang sama. Riwayat
atopi keluarga disangkal.
e. Riwayat kebiasaan sosial
Pasien bekerja sebagai ibu rumah tangga. biaya dengan BPJS. Kesan
ekonomi cukup.
Pemeriksaan Tanda Vital
Status Generalisata
Keadaan umum

: Baik

Kesadaran

: Compos mentis

Tanda vital
Tekanan darah

: 130/90 mmHg

Laju nadi

: 84 kali/menit

Laju pernapasan

: 18 kali/menit

Suhu tubuh

: 36,8oC

Pemeriksaan Fisik

Status Fisik Kulit:


-

Regio

: kelopak mata kanan dan kiri

Efluoresensi

: Tampak Regio kelopak mata kanan dan kiri tampak

plak hiperpigmentasi, papul, skuama multiple dan batas tidak


tegas.

10

Diagnosis Banding
1. Dermatitis kontak alergika
2. Dermatitis kontak iritan
3. Dermatitis atopik
Planning Diagnosis
Pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis adalah
sebagai berikut:

Patch Test

Prick Test

White Dermographisme

Pemeriksaan Kaarsvlek phenomenon

Pemeriksaan Auspitz Sign

11

Pemeriksaan Koebner phenomenon

Pemeriksaan KOH

Diagnosis Klinis
Dermatitis Kontak Alergika e.c seprei
Tatalaksana
Prinsip penatalaksanaan pada pasien DKA adalah mengobati gejala dan
menghindari paparan dengan alergen.
a. Farmakologis
R/ Loratadine
s.1.d.d.I
R/ Zinc
s.1.d.d.I

No. X
No.X

R/ Kr. Ketokonazol
Kr.Hidrokortison ad 5
m.f.kim
s.u.e

b. Edukasi
1. Hindari kontak dengan seprei baru yang dapat memicu rasa gatal berulang
pada kulit. (seprei dicuci dulu jika masih baru)
2. Hindari menggaruk pada daerah yang gatal terlalu kuat.
3. Penggunaan obat sesuai dengan instruksi dokter

Prognosis
Quo ad vitam

: dubia ad bonam

Quo ad functionam : dubia ad bonam


Quo ad sanactionam : dubia ad bonam

12

DAFTAR PUSTAKA
1. Wolf, K., Goldsmith, L.A., Katz, S.I., Gilchrest, B.A., Paller, A.S., Leffell,
D.J. 2008. Fitzpatricks Dermatology in General Medicine. USA : The
McGraw-Hill Companies.
2. James, W.D., Berger, T.G., Elston, D.M. 2011. Andrews Diseases of The
Skin Clinical Dermatology. USA : Elsevier
3. Afifah, A. 2012. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Terjadinya
Dermatitis Kontak Akibat Kerja pada Karyawan Binatu. Fakultas
Kedokteran Universitas Diponegoro
4. FKUI
5. Honda, T., Egawa, G., Grabbe, S., Kabashima K. 2013. Update of Immune
Events in the Murine Contact Hypersensitivity Model : Toward the
Understanding of Allergic Contact Dermatitis. Journal of Investigative
Dermatology; 133. p.303-315
6. Spiewak, R. 2008. Patch Testing for Contact Allergy and Allergic Contact
Dermatitis. The Open Allergy Journal; 1, p.42-51
7. Marks, J.G., Elsner, P., Deleo, V.A. 2002. Contact and Occupational
Dermatology. USA : Mosby.
8. Burns, T., Breathnach, S., Cox, N., Griffith, C. 2010. Rooks Textbook of
Dermatology. USA : Wiley-Blackwell.
9. Liu, B., Escalera, J., Balakrishna, S., Fan, L., Caceres, A.I, Robinson, E.
2013. TRPA1 Controls Inflammation and Pruritogen Responses in Allergic
Contact Dermatitis. The Faseb Journal; 27
10. Bourke, J., Coulson, I., English, J. 2009. Guidelines for The Management
of Contact Dermatitis: An Update. British Journal of Dermatology; 160

13

Anda mungkin juga menyukai