Anda di halaman 1dari 47

REFERAT ILMU PENYAKIT MATA

KERATITIS HERPETIKA

PEMBIMBING:
dr. Trisna Rini, Sp.M
PENYUSUN:
Maygie Medianti

2007.04.0.00076

Mona Maureen Kawilarang

2008.04.0.00100

Hendy Bhaskara PP

2009.04.0.00149

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HANG TUAH
SURABAYA
2014

BAB I
PENDAHULUAN

1.1.

Latar belakang
Infeksi pada mata dapat disebabkan oleh virus, bakteri, jamur,
ataupun parasit. Infeksi dapat mengenai seluruh bagian mata. Infeksi pada
mata dapat menyebabkan mata merah, dengan tajam penglihatan menurun
maupun tidak. Salah satu agent penyebab infeksi pada mata adalah Virus
Herpes Zoster (HZV).
Herpes Zoster Virus (HZV) termasuk dalam famili Herpes viridae,
seperti Herpes Simplex, Epstein Barr Virus, dan Cytomegalovirus. (Shaikh,
2002). Herpes Zoster Oftalmikus (HZO) merupakan hasil reaktivasi dari
Varisela Zoster Virus (VZV) pada Nervus Trigeminal (N.V). (Moon, 2007)
Lebih dari 90 % dewasa di Amerika terbukti mempunyai serologi
yang terinfeksi VZV. Dari hasil tahunan, insiden dari Herpes Zoster bervariasi,
dari 1,5 3, 4 kasus per 1000 orang. Insiden HZO pada usia 75 tahun ke atas
melebihi 10 kasus per 1.000 orang per tahun, dan risiko seumur hidup
diperkirakan 10-20 %. HZO terdapat 10-25 % dari semua kasus Herpes
Zoster.(Moon CH, 2006)
Penyebaran dari ganglion yang terkena secara langsung atau lewat
aliran darah sehingga terjadi Herpes Zoster generalisata. Hal ini dapat terjadi
oleh

karena

defek

imunologi

karena

keganasan

atau

pengobatan

imunosupresi. Deteksi dini terhadap gejala-gejala yang timbul dari HZO


sangatlah penting guna mencegah komplikasi tingkat keparahan penyakit.
Berdasarkan hal tersebut diatas, maka kami merasa perlu mengkaji
lebih lanjut terkait Herpes Zoster Ophthalmica, mulai dari penyebab hingga
penatalaksanaanya sehingga bisa mencegah timbulnya komplikasi dan
keparahan penyakit yang tidak diinginkan.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi
2.1.1 Palpebra
Palpebra melindungi kedua mata terhadap cedera dan cahaya yang
berlebihan.(Sullivan, 2007). Pada setiap bagian palpebra diperkuat oleh
jaringan ikat padat yaitu tarsus superior dan tarsus inferior. Didalam tarsus
terdapat kelenjar-kelenjar. (Khurana, 2007)
Dua palpebra yang bertemu di sudut medial dan lateral disebut kantus
(Canthi). Kantus medial sekitar 2 mm lebih tinggi daripada kantus lateral.
Fissura palpebralis adalah celah berbentuk elips diantara palpebra superior
dan inferior. Ketika mata terbuka, secara vertikal berjarak 10-11 mm dari
center dan secara horizontal sekital 28-30 mm. (Khurana, 2007)

Gambar 1: Anatomi Palpebra

2.1.2 Bola mata


Bola mata memiliki tiga lapisan, meskipun terdapat jaringan ikat
longgar yang mengelilingi bola mata yang memungkinkan pergerakan dari
orbita. Lapisan jaringan ikat longgar (fascial sheath) tersusun di posterior
adalah fascia bulbi dan di anterior adalah konjungtiva bulbi. Tiga lapisan dari
bola mata adalah:
a. Lapisan Fibrosa (outer coat), terdiri dari sklera dan kornea
b. Lapisan Vaskular (middle coat), terdiri dari koroid, corpus ciliaris, dan iris
c. Lapisan dalam (inner coat), terdiri dari retina, yang memiliki bagian optika dan
non-optika. (Moore, 2007)
Sklera adalah bagian yang tidak tembus dari lapisan fibrosa yang
melapisi 5/6 posterios dari bola mata. Merupakan fibrous skeleton dari bola
mata, memberi bentuk dan mempertahankan, dan sebagai perlekatan untuk
otot-otot ekstrinsik dan intrinsik mata. Bagian anterior dari sklera tertembus
oleh konjungtiva bulbi yang transparan sebagai warna putih. Kornea
merupakan bagian transparan dari fibrous coat yang melapisi 1/6 anterior dari
bola mata.(Moore, 2007)
Lapisan vaskular (dapat juga disebut uvea atau traktus uveal) terdiri
dari koroid, corpus ciliaris, dan iris. Koroid adalah membran coklat kemerahan
gelap yang berada di anatara sklera dan retina, membentuk bagian terbesar
dari lapisan vaskular dan memisahkan sklera. Koroid di anterior berlanjut
dengan corpus ciliaris. Koroid melekat kuat terhadap lapisan pigmen kornea,
tetapi dapat dipisahkan dengan mudah dari sklera. Corpus ciliaris merupakan
otot dan muscular yang menghubungkan koroid dengan kelengkungan iris.
Corpus ciliari memberi perlekatan untuk lensa, kontraksi dan relaksasi dari
otot polos corpus ciliaris mengontrol ketebalan (kefokusan) lensa. Lipatan
pada permukaan dalam corpus ciliaris merupakan prosessus ciliaris yang
mensekresikan aquous humor, yang mengisi bilik mata depan dan belakang.
Bilik mata depan adalah suatu ruangan yang terletak di antara kornea dengan
iris. Bilik mata belakang adalah suatu ruangan di antara iris/pupil dengan
lensa dan corpus ciliaris. Iris berada tepat di permukaan anterior dari lensa,
yang merupakan diafragma kontraktil yang tipis dengan apertura pada
centralnya yang disebut sebagai pupil untuk mentransmisikan cahaya.
4

Terdapat dua otot yang mengontrol ukuran dari pupil,

rangsangan

parasimpatis menstimulasi musculus spinchter pupillae yang menutup pupil


(myosis) dan rangsangan simpatis menstimulasi musculus dilator pupillae
yang membuka pupil (mydriasis). (Moore, 2007)
Lapisan dalam dari bola mata adalah retina. Secara garis besar, retina
terdiri dari dua bagian yang berbeda lokasinya, yaitu retina pars optika dan
non-pars optika.Retina pars optika adalah bagian dari retina yang sensitif
terhadap cahaya, bagian tersebut memiliki dua lapisan yaitu lapisan neural
dan lapisan sel berpigmen. Lapisan neural adalah lapisan yang menerima
cahaya. Lapisan sel berpigmen terdiri dari satu lapis sel-sel yang memperkuat
kembali cahaya yang telah terserap di koroid. Retina non pars optika
kelanjutan di bagian anterior dari lapisan sel berpigmen dan lapisan yang
menyokong sel-sel yang berada di corpus ciliaris (ciliary part of the retina) dan
permukaan posterior dari iris (iridial part of the iris). (Moore, 2007)
Fundus adalah bagian posterior dari bola mata. Memiliki bagian
circular yang berbeda area, yaitu diskus optikus (optic papilla) di mana sabut
saraf sensoris dan pembuluh darah yang dibawa oleh nervus optikus saat
memasuki bola mata. Karena diskus optikus tidak memiliki fotoreseptor, maka
diskus optikus tidak sensitive terhadap cahaya. Sehingga, biasanya bagian
sari retina tersebut dapat juga disebut sebagai blind spot. Lateral dari diskus
optikus terdapat macula lutea yang akan berwarna kuning bila retina terkena
cahaya tanpa warna merah. Makula lutea adalah area kecil dari retina dengan
fotoreseptor khusus yaitu sel kerucut yang berfungsi untuk tajam penglihatan.
Di tengah-tengah dari macula terdapat daerah yang terdepresi yang disebut
sebagai fovea centralis, yaitu di mana penglihatan akan sangat tajam. Bagian
fungsional dari retina akan berakhir di anterior di sepanjang ora serrata, yaitu
tepi irregular yang berada di posterior dari corpus ciliaris. (Moore, 2007)

Gambar 2: Anatomi bola mata


2.1.3. Vakularisasi
Arteri yang terutama berasal dari arteri oftalmikus yang merupakan
cabang dari arteri carotis interna. Arteri centralis retina yang merupakan
cabang dari arteri keluar dari inferior nervus optikus menembus dural sheath
nervus optikus dan berjalan ke bersama nervus kedalam bola mata muncul di
diskus optikus. (Moore, 2007)
Aliran vena orbita berasal dari vena oftalmikus superior dan inferior
yang berjalan pada fisura orbitalis superior yang masuk pada sinus
cavernous. Vena sentralis retina biasanya masuk langsung kedalam sinus
cavernosus, tapi dapat juga bergabung pada salah satu vena oftalmikus.
Sinus venus sclera adalah sinus vaskuler yang mengitari bilik mata depan
berjalan bersama aquos humour yang kembali ke sirkulasi. (Moore, 2007)

Gambar 3 Vaskularisasi bola mata


2.1.4. Inervasi
Yang menginervasi orbita selain nervus optikus (CN II), saraf lainnya adalah
nervus okulomotorius (CN III), nervus troklearis (CN IV) dan nervus abducents (CN
VI) . Cabang-cabang dari nervus optalmikus (CN V 1) yang masuk kedalam fisura
orbitalis superior dan menyuplai struktur di dalam orbital, yaitu suatu nervus
lakrimalis memberi cabang sensoris pars konjungtiva dan kulit dari superior eyelid.
(Moore, 2007)
Nervus frontalis memberikan inervasi sensoris pada eyelid, scalp, dan
forehead. Nervus nasosiliaris memberikan suplai pada orbita, wajah, sinus para
nasal, cavum nasi dan fosa cranial anterior. (Moore, 2007)
Saraf sensori yang menginervasi palpebra adalah cabang pertama (N.
ophtalmicus) dan cabang kedua (N. maxillaris) dari nervus trigeminus (N.V).
(Khurana, 2007). Nervus motorik berasal dari N.Facialis yang menginervasi
m.orbicularis oculi, M.levator palpebra superior. Sabut saraf simpatis menginervasi
M.mullers. (Khurana, 2007)

Gambar 4 Inervasi Bola mata

2.2 Histologi
2.2.2 Konjungtiva
Merupakan epithel yang melapisi bagian sclera yang terekspos dan permukaan
dalam kelopak mata. Merupakan epitel berlapis kolumnar yang mengandung
sel goblet. Mukosa konjungtiva mengeluarkan sekresi yang berperan terhadap
perlindungan lapisan pada permukaan yang terekspos dan memungkinkan
kelpoak mata untuk bergerak bebas.(Wheater, 2007)

Gambar 6 Histologi Konjungtiva


2.2.3 Kornea
Merupakan 1/6 anterior dari bola mata, trasparan, dan tidak berwarna. Pada
potongan transversal tampak bahwa kornea memiliki 5 lapisan yang terdiri dari
epithel, membrane Bowman, stroma, membrane descemet, dan endothel.
Epithel kornea adalah epithel berlapis pipih tidak bertanduk yang terdiri dari 5
sampai dengan 6 lapis sel. Kornea memiliki paling banyak suplai saraf sensoris.
Di bawah epithel terdapat membrane Bowman, yaitu lapisan homogen yang
tebal. Lapisan tersebut memberikan stabilitas dan kekuatan pada kornea.
Stroma terbentuk dari kumpulan sabut kolagen yang menyilang satu sama lain.
Membran Descemet adalah struktur homogeny yang tersusun dari filamentfilamen kolagen. Endothel kornea adalah epithel selapis pipih. (Junquiera,
2005)

Gambar 7 Histologi Kornea


2.3.

Fisiologi

2.3.2. Kornea
Kornea berfungsi sebagai membran pelindung dan celah yang dilalui oleh
berkas cahaya saat menuju retina. Sifat tembus kornea disebabkan oleh
strukturnya yang uniform, vaskular, dan deturgenses. Deturgenses atau keadaan
dehidrasi relatif jaringan kornea, dipertahankan oleh pompa bicarbbonat aktif
pada endotel dan fungsi barrier epitel dan endotel. Endotel lebih penting
daripada epitel dalam mekanisme dehidrasi dan kerusakan pada endotel jauh
lebih serius dibandingkan kerusakan epitel. Kerusakan sel-sel endotel
menyebabkan edema kornea dan hilangnya sifat transparansi. Kerusakan sel
epitel biasanya hanya menyebabkan edema lokal sesaat pada stroma kornea
yang menghilang dengan regenerasi sel-sel epitel yang cepat. Karena kornea
memiliki banyak serat nyeri, kebanyakan lesi kornea, baik superfisial maupun
dalam menimbulkan rasa

nyeri dan fotofobia. Lesi kornea

umumnya

mengaburkan penglihatan. Fotofobia yang berat biasanya pada kebanyakn


penyakit kornea, terjadi fotofobia minimal pada keratitis herpes karena terjadi
hiperestesia pada penyakit ini. (Vaughan, 2008)

BAB II
10

TINJAUAN PUSTAKA
ANATOMI KORNEA
A. STRUKTUR KORNEA
Kornea merupakan jaringan yang avaskular, bersifat transparan, berukuran11-12 mm
horizontal dan 10-11 mm vertikal, serta memiliki indeks refraksi 1,37.Kornea memberikan
kontribusi 74 % atau setara dengan 43,25 dioptri (D) daritotal 58,60 kekuatan dioptri mata
manusia.1,2 Kornea juga merupakan sumber astigmatisme pada sistem optik. Dalam
nutrisinya, kornea bergantung pada difusi glukosa dari aqueus humor dan oksigen yang
berdifusi melalui lapisan air mata.Sebagai tambahan, kornea perifer disuplai oksigen dari
sirkulasi limbus. Kornea adalah salah satu organ tubuh yang memiliki densitas ujung-ujung
saraf terbanyak dan sensitifitasnya adalah 100 kali jika dibandingkan dengan konjungtiva.2
Kornea dalam bahasa latin cornum artinya seperti tanduk, merupakan selaput
bening mata, bagian dari mata yang bersifat tembus cahaya, merupakan lapis dari jaringan
yang menutup bola mata sebelah depan dan terdiri atas :
1. Epitel
Terdiri dari sel epitel squamos yang bertingkat, terdiri atas 5 lapis sel epitel tidak
bertanduk yang saling tumpang tindih; sel poligonal dan sel gepeng .3,4 Tebal lapisan epitel
kira-kira 5 % (0,05 mm) dari total seluruh lapisan kornea. Epitel dan film air mata merupakan
lapisan permukaan dari media penglihatan. Pada sel basal sering terlihat mitosis sel, dan sel
muda ini terdorong ke depan menjadi lapis sel sayap dan semakin maju ke depan menjadi sel
gepeng, sel basal berikatan erat dengan sel basal di sampingnya dan sel poligonal di
sampingnya melalui desmosom dan makula okluden; ikatan ini menghambat pengaliran air,
elektrolit dan glukosa melalui barrier.3,4 Sel basal menghasilkan membran basal yang melekat
erat kepadanya. Bila terjadi gangguan akan mengakibatkan erosi rekuren Sedangkan epitel
berasal dari ektoderem permukaan. Epitel memiliki daya regenerasi.

2. Membran bowman
11

Membran yang jernih dan aselular, Terletak di bawah membran basal dari epitel.
Merupakan lapisan kolagen yang tersusun tidak teratur seperti stroma dan berasal dari epitel
bagian depan stroma. Lapisan ini tidak mempunyai daya generasi.3,4
3. Stroma
Lapisan ini mencakup sekitar 90% dari ketebalan kornea. Merupakan lapisan tengah
pada kornea. Bagian ini terdiri atas lamel fibril-fibril kolagen dengan lebarsekitar 1 m yang
saling menjalin yang hampir mencakup seluruh diameterkornea, pada permukaan terlihat
anyaman yang teratur sedang di bagian periferserta kolagen ini bercabang; terbentuknya
kembali serat kolagen memakan waktulama, dan kadang sampai 15 bulan.3,4
4. Membran Descemet
Merupakan membran aselular dan merupakan batas belakang stroma kornea yang
dihasilkan oleh endotel. Bersifat sangat elastis dan jernih yang tampak amorf pada
pemeriksaan mikroskop elektron, membran ini berkembang terus seumur hidup dan
mempunyai tebal + 40 mm.3,4
5. Endotel
Berasal dari mesotelium, terdiri atas satu lapis sel berbentuk heksagonal, tebal antara
20-40 mm melekat erat pada membran descemet melalui taut. Endotel dari kornea ini
dibasahi oleh aqueous humor.3,4 Lapisan endotel berbeda dengan lapisan epitel karena tidak
mempunyai daya regenerasi, sebaliknya endotel mengkompensasi sel-sel yang mati dengan
mengurangi kepadatan seluruh endotel dan memberikan dampak pada regulasi cairan, jika
endotel tidak lagi dapat menjaga keseimbangan cairan yang tepat akibat gangguan sistem
pompa endotel, stroma bengkak karena kelebihan cairan (edema kornea) dan kemudian
hilangnya transparansi (kekeruhan) akan terjadi. Permeabilitas dari kornea ditentukan oleh
epitel dan endotel yang merupakan membrane semipermeabel, kedua lapisan ini
mempertahankan kejernihan daripada kornea, jika terdapat kerusakan pada lapisanini maka
akan terjadi edema kornea dan kekeruhan pada kornea.
Kornea dipersarafi oleh banyak saraf sensoris terutama berasal dari saraf siliarlongus,
saraf nasosiliar, saraf ke V, saraf siliar longus yang berjalan suprakoroid,masuk ke dalam
stroma kornea, menembus membran Bowman melepas selubung Schwannya. Seluruh lapis

12

epitel dipersarafi sampai pada kedua lapis terdepan Sensasi dingin oleh Bulbus Krause
ditemukan pada daerah limbus
B. FISIOLOGI KORNEA
Kornea berfungsi sebagai membran pelindung dan jendela yang dilalui berkas
cahaya menuju retina. Sifat tembus cahayanya disebabkan oleh strukturnya yang uniform,
avaskuler dan deturgesensi. Deturgesensi atau keadaan dehidrasirelatif jaringan kornea,
dipertahankan oleh pompa bikarbonat aktif pada endotel dan oleh fungsi sawar epitel dan
endotel. Dalam mekanisme dehidrasi ini, endotel jauh lebih penting daripada epitel, dan
kerusakan kimiawi atau fisis pada endotel berdampak jauh lebih parah daripada kerusakan
pada epitel.3,4 Kerusakan sel-sel endotel menyebabkan edema kornea dan hilangnya sifat
transparan. Sebaliknya,kerusakan pada epitel hanya menyebabkan edema stroma kornea lokal
sesaat yang akan meghilang bila sel-sel epitel telah beregenerasi. Penguapan air dari lapisan
air mata prekorneal menghasilkan hipertonisitas ringan lapisan air mata tersebut, yang
mungkin merupakan faktor lain dalam menarik air dari stroma kornea superfisial dan
membantu mempertahankan keadaan dehidrasi.3,4
Penetrasi kornea utuh oleh obat bersifat bifasik. Substansi larut-lemak dapat melalui
epitel utuh dan substansi larut-air dapat melalui stroma yang utuh. Karenanya agar dapat
melalui kornea, obat harus larut-lemak dan larut-air sekaligus. Epitel adalah sawar yang
efisien terhadap masuknya mikroorganisme kedalam kornea.

3,4

Namun sekali kornea ini

cedera, stroma yang avaskular dan membran bowman mudah terkena infeksi oleh berbagai
macam organisme, sepertibakteri, virus, amuba, dan jamur.3,4

C. DEFENISI DAN KLASIFIKASI KERATITIS


Keratitis adalah suatu peradangan kornea yang disebabkan oleh bakteri,virus, dan
jamur. Biasanya diklasifikasikan berdasarkan lapisan kornea yangterkena : yaitu keratitis
superfisialis apabila mengenai lapisan epitel dan bowman dan keratitis profunda apabila
mengenai lapisan stroma.

13

Klasifikasi keratitis berdasarkan lokasi yang terkena dari lapisan kornea :3,4
1. Keratitis superfisialis
a. Keratitis epitelial
1) Keratitis pungtata superfisialis
2) Herpes simplek
3) Herpes zoster
b. Keratitis subepitelial
1) Keratitis didiformis dari Westhoff
2) Keratitis numularis dari Dimmer
c. Keratitis stromal
1) Keratitis neuroparalitik
2.Keratitis profunda
a. Keratitis sklerotikan
b. Keratitis intersisial
c. Keratitis disiformis
KERATTITIS HERPES SIMPLEK
Virus herpes simplek menempati manusia sebagai host, merupakan parasit intraseluler
obligat, dapat ditemukan pada mukosa, rongga hidung, rongga mulut,vagina dan mata. Pada
mata virus herpes simplek dapat diisolasi dari kerokan epitel kornea penderita keratitis herpes
simpleks. Penularan dapat terjadi melalui kontak dengan cairan dan jaringan mata, rongga
hidung, mulut, alat kelamin yang mengandung virus.3,4 Keratitis herpes simplek dapat terjadi
sepanjang tahun, kasuspada laki laki kurang lebih dua kali perempuan, masa inkubasi 2 hari
hingga 2 minggu.3,4

14

A. Bentuk Infeksi
Keratitis herpes simplek dibagi dalam 2 bentuk yaitu epitelial dan stromal kerusakan
terjadi pada pembiakan virus intraepitelial, mengakibatkan kerusakansel epitelial dan
membentuk tukak kornea superfisial.3,4 Pada yang stromal terjadi reaksi imunologik tubuh
terhadap virus yang menyerang yaitu reaksi antigenantibodi yang menarik sel radang
kedalam stroma. Sel radang ini mengeluarkan bahan proteolitik untuk merusak virus tetapi
juga akan merusak jaringan stroma disekitarnya.4 Hal ini penting diketahui karena
manajemen pengobatan pada yangepitelial ditujukan terhadap virusnya sedang pada yang
stromal ditujukan untuk menyerang virus dan reaksi radangnya.
B. Temuan klinis
Herpes simplek primer pada mata jarang ditemukan, dan bermanifestasi sebagai
blefarokonjugtivitis vesikuler, kadang kadang mengenai kornea, dan umumnya terdapat
pada anak anak muda.4 Bentuk ini umumnya dapat sembuh sendiri, tanpa menimbulkan
kerusakan pada mata yang berarti. Terapi antivirustopikal dapat dipakai unutk profilaksis agar
kornea tidak terkena dan sebagai terapi untuk penyakit kornea.
Serangan keratitis herpes jenis rekurens umum dipicu oleh demam, pajananberlebihan
terhadap cahaya UV, trauma, stress psikis, awal menstruasi, atau sumber imunosupresi lokal
atau sistemik lainnya.4 Umumya unilateral, namun lesibilateral dapat terjadi pada 4 6%
kasus dan paling sering pada pasien atopik.
1. Gejala.
Gejala utama umumnya iritasi, fotofobia, mata berair. Bila kornea bagian pusat yang
terkena terjadi sedikit gangguan penglihatan.karena anestesi kornea umumnya timbul pada
awal infeksi, gejala mungkin minimal dan pasien mungkin tidak datang berobat. Sering ada
riwayat lepuh lepuh demam atau infeksi herpeslain, namun ulserasi kornea kadang
kadang merupakan satu satunya gejalainfeksi herpes rekurens.4
2. Lesi
Gambaran yang khas pada kornea adalah adanya lesi bentuk dendritik,bentuk ini
terjadi pada epitel kornea, memiliki percabangan linear khas dengan tepian kabur, memiliki
bulbus terminalis pada ujungnya.4 Pemulasan fluoresein memudahkan melihat dendrit, namun

15

sayangnya keratitis herpes dapat juga menyerupai banyak infeksi kornea yang lain dan harus
dimasukkan dalam diagnosis diferensial.5

dendritika6

Gambar 2.1. Keratitis


Akan tetapi ada
bentuk

juga bentuk lain yaitu

ulserasi

geografik

yaitusebentuk penyakit

dendritik

yang lesi dendritiknya

berbentuk lebihlebar.5,6

Tepian

kabur. Sensasi kornea,

ulkus

tidak

menahun

seperti halnya penyakit

dendritik,menurun.

Lesi epitel kornea lain

yang dapat ditimbulkan

HSV adalah keratitis epitelial blotchy, keratitis epitelial stelata, dan keratitis filamentosa.
Namun, semua ini umumnya bersifat sementara dan sering menjadi dendritik khas dalamsatu
dua hari.5,6
Kekeruhan subepitelial dapat disebabkan infeksi HSV. Bayangan miriphantu, yang
bentuknya sesuai dengan defek epitelial asli namun sedikit lebihbesar, terlihat di daerah tepat
dibawah lesi epitel. hantu itu tetap superfisialnamun sering bertambah nyata karena
pemakaian obat antivirus, khususnya idoxuridine. Biasanya lesi subepitelial ini tidak menetap
lebih dari satu tahun.7
Keratitis diskiformis adalah bentuk penyakit stroma paling umum padainfeksi HSV.
Stroma didaerah pusat yang edema berbentuk cakram, tanpainfiltrasi berarti, dan umumnya
tanpa vaskularisasi.7 Edemanya mungkin cukup berat untuk membentuk lipatan-lipatan
dimembran descement. Mungkin terdapat endapan keratik tepat dibawah lesi diskiformis itu,
namun dapat pula diseluruh endotel karena sering bersamaan dengan uveitis anterior.
Patogenesis padakeratitis disciformis umumnya dipandang sebagai sebuah reaksi imunologik
terhadap antigen virus dalam stroma atau endotel, namun penyakit virus aktiftidak dapat
dikesampingkan. Seperti kebanyakan lesi herpes pada orang imunokompeten, keratitis
disciformis normalnya sembuh sendiri, setelah berlangsung beberapa minggu sampai bulan.
Edema adalah tanda terpenting, dan penyembuhan dapat terjadi dengan parut dan
vaskularisasi minimal. Gambaranklinik terlihat serupa pada keratitis endotelial primer
(endotelitis),yang dapat disertai uveitis anterior dengan tekanan intraokuler yang meninggi

16

dan peradangan fokal pada iris. Ini dianggap akibat replikasi virus didalam berbagai dikamera
anterior.
Keratitis HSV stroma dalam bentuk infiltrasi dan edema fokal yang seringdisertai
vaskularisasi, agaknya terutama disebabkan replikasi virus.7,8Penipisan danperforasi kornea
dapat terjadi dengan cepat, apalagi jika dipakai kortikosteroidtopikal. Jika terdapat penyakit
stroma dengan ulkus epitel, akan sulit dibedakansuperinfeksi bakteri atau fungi pada penyakit
herpes. Pada penyakit epitelial harusditeliti benar adanya tanda tanda khas herpes, namun
unsur bakteri atau fungi dapat saja ada dan dapat pula disebabkan oleh reaksi imun akut, yang
sekali lagi harus mempertimbangkan adanya penyakit virus aktif. Mungkin terlihat hipopion
dengan nekrosis, selain infeksi bakteri atau fungi sekunder.
Lesi perifer kornea dapat pula ditimbulkan oleh HSV. Lesi lesi iniumumnya linear
dan menunjukan kehilangan epitel sebelum stroma kornea dibawahnya mengalami infiltrasi.
Uji sensasi kornea tidak dapat diandalkan padapenyakit herpes perifer. Pasien cenderung jauh
kurang fotofobik dari pada pasieninfiltrat kornea non herpetik. Ulserasi umumnya jarang
terjadi.
C. Diagnosis
Gambaran spesifik dendrit tidak memerlukan konfirmasi pemeriksaan yanglain.
Apabila gambaran lesi tidak spesifik maka diagnosis ditegakan berdasarkan gambaran klinis
infeksi kornea yang relatif sedang, dengan tanda tanda peradangan yang tidak berat serta
riwayat penggunaan obat obatan yang menurunkan resistensi kornea seperti : anestesi lokal,
kortikosteroid dan obat obatan imunosupresif. Apabila fasilitas memungkinkan dilakukan
kultur virus dan jaringan epitel dan lesi stroma.7,8
D. Diagnosis banding
- Keratitis zooster
- Vaksinia
- Keratitis stafilococcus
E. Prognosis
Prognosis akhirnya baik karena tidak terjadi parut atau vaskularisasi padakornea. Bila
tidak diobati, penyakit ini berlangsung 1-3 tahun dengan meninggalkan gejala sisa.
17

F. Terapi
Bertujuan menghentikan replikasi virus didalam kornea, sambil memperkecil replikasi
efek merusak akibat respon radang.
1. Debridement
Cara efektif mengobati keratitis dendritik adalah debridement epitelial, Karena virus
berlokasi di dalam epitel.7,8 Debridement juga mengurangi beban antigenik virus pada stroma
kornea. Epitel sehat melekat erat pada kornea, namun epitel terinfeksi mudah dilepaskan.
Debridement dilakukan dengan aplikator berujungkapas khusus. Yodium atau eter topikal
tidak banyak manfaat dan dapat menimbulkan keratitis kimiawi. Obat siklopegik seperti
atropi 1 % atauhomatropin5% diteteskan kedalam sakus konjugtiva, dan ditutup dengan
sedikittekanan. Pasien hars diperiksa setiap hari dan diganti penutupnya sampai defek
korneanya sembuh umumnya dalam 72 jam. Pengobatan tambahan dengan anti virus topikal
mempercepat pemulihan epitel.7,8 Terapi obat topikal tanpa debridement epitelpada keratitis
epitel memberi keuntungan karena tidak perlu ditutup, namun ada kemungkinan pasien
menghadapi berbagai keracunan obat.
2. Terapi obat
Agen

anti

virus

topikal

yang

di

pakai

pada

keratitis

herpes

adalah

idoxuridine,trifluridine, vidarabine, dan acyclovir.9 Trfluridine dan acyclovirjauh lebih efektif


untuk penyakit stroma dari pada yang lain. Idoxuridine dan trifluridine sering kali
menimbulkan reaksi toxik. Acyclovir oral ada mamfaatnya untuk pengobatan penyakit herpes
mata berat, khususnya pada orang atopik yang rentan terhadap penyakit herpes mata dan kulit
agresif (eczema herpeticum). Study multicenter terhadap efektivitas acyclovir untuk
pengobatan kerato uveitis herpes simpleks dan pencegahan penyakit rekurens kini sedang
dilaksanakan ( herpes eye disease study).8,9
Reflikasi virus dalam pasien imunokompeten, khususnya bila terbatas pada epitel
kornea, umumnya sembuh sendiri dan pembentukan parut minimal. Dalam hal ini
penggunaan kortikosteroid topikal tidak perlu, bahkan berpotensi sangat merusak.
Kortikosteroid topikal dapat juga mempermudah perlunakan kornea,yang meningkatkan
risiko perporasi kornea. Jika memang perlu memakai kortikosteroid topikal karena hebatnya
respon peradangan, penting sekali ditambahkan obat anti virus secuukupnya untuk
mengendalikan replikasi virus.8,9
18

3. Bedah
Keratolasti penetrans mungkin diindentifikasi untuk rehabilitasi penglihatan pasien
yang mempunyai parut kornea berat, namun hendaknyadilakukan beberapa bulan setelah
penyakit herpes non aktif.8,9 Pasca bedah, infeksi herpes rekurens dapat timbul karena trauma
bedah dan kortikosteroid topikal yangdiperlukanuntuk mencegah penolakan transplantasi
kornea. Juga sulit dibedakan penolakan transplantasi kornea dari penyakit stroma rekurens.
Perforasi kornea akibat penyakit herpes stroma atau superinfeksi bakteriatau fungi
mungkin memerlukan keratoplasti penetrans darurat.10 Pelekat jaringan siano krilat dapat
dipakai secara efektif untuk menutup perfosi kecil dan graft petak lamelar berhasil baik
pada kasus tertentu. Keratoplasi lamelar memiliki keuntungan dibanding keratoplasti
penetrans karena lebih kecil kemungkinan terjadi penilakan transparant. Lensa kontak lunak
untuk terapi atau tarsorafi mungkin diperlukan untuk pemulihan defek epitel yang terdapat
pada keratitis herpes simplek.
4. Pengendalian mekanisme pemicu yang mengaktifkan kembali infeksi HSV
Infeksi HSV rekurens pada mata banyak dijumpai kira kira sepertiga kasus dalam 2
tahun serangan pertama. Sering dapat ditemukan mekanisme pemicunya. Setelah denga teliti
mewawancarai pasien. Begitu ditemukan, pemicu itu dapat dihindari. Aspirin dapat dipakai
untuk mencegah demam, pajanan berlebihan terhadap sinar matahari atau sinar UV dapat
dihindari. Keadaan keadaan yang dapat menimbulkan stres psikis dapat dikurangi. Dan
aspirin dapat diminum sebelum menstruasi.10

DAFTAR PUSTAKA
1. American Academy of Ophthalmology. Externa disease and cornea, San
Fransisco 2006-2007 : 8-12, 157-60.
2. Vaugan Daniel G, Asbury Taylor, Riordan Paul-Eva. Oftalmologi umum edisi
19

14 : Kornea. Widya Medika Jakarta 1995 : 136-38


3. Ilyas, Sidarta. Sari Ilmu Penyakit Mata. Balai Penerbit FKUI Jakarta 2000 :52.
4. Ilyas, Sidarta . Ilmu penyakit mata PERDAMI. Edisi kedua. CV sagung seto
jakarta, 2002 114 -5,120 -31
5. Ilyas, Sidarta Ilmu Penyakit Mata, Edisi ketiga. Balai Penerbit FKUI Jakarta,
2005 : 147-58
6. http://en.wikipedia.org/ wiki/Cornea#Structure
7. Mansjoer, Arif M. 2001. Kapita Selekta edisi-3 jilid-1. Jakarta: Media
Aesculapius FKUI. Hal: 56
8. Thygeson, Phillips. 1950. "Superficial Punctate Keratitis ". Journal of the
American Medical Association; 144:1544-1549. Available at : http://webeye.
ophth.uiowa.edu/ dept/service/cornea/cornea.htm
9. Ilyas, Sidarta. Dasar Teknik Pemeriksaan Dalam Penyakit Mata. Balai
Penerbit FKUI, Jakarta, 2003.
10. www.medscape.com/ Keratitis article

HERPES ZOSTER OFTALMIKUS


Definisi

Herpes zoster merupakan infeksi umum yang disebabkan oleh Human Herpes
Virus 3 (Varisela Zoster Virus), virus yang sama menyebabkan varisela (chicken

20

pox). Virus ini termasuk dalam famili Herpes viridae, seperti Herpes Simplex,
Epstein Barr Virus, dan Cytomegalovirus. 2

Herpes Zoster Oftalmikus (HZO) merupakan hasil reaktivasi dari Varisela Zoster
Virus (VZV) pada Nervus Trigeminal (N.V). Semua cabang dari nervus tersebut
bisa terpengaruh, dan cabang frontal divisi pertama N.V merupakan yang paling
umum terlibat. Cabang ini menginervasi hampir semua struktur okular dan
periokular.2
Blefarokonjungtivitis pada HZO ditandai dengan hiperemis dan konjungtivitis
infiltratif disertai dengan erupsi vesikuler yang khas sepanjang penyebaran
dermatom N.V cabang oftalmikus. Konjungtivitis biasanya papiler, tetapi pernah
ditemukan folikel, pseudomembran, dan vesikel temporer, yang kemudian
berulserasi. Lesi palpebra mirip lesi kulit di tempat lain, bisa timbul di tepi
palpebra ataupun palpebra secara keseluruhan, dan sering menimbulkan parut.

Lesi kornea pada HZO sering disertai keratouveitis yang bervariasi beratnya,
sesuai dengan status kekebalan pasien. Keratouveitis pada anak umumnya
tergolong jinak, pada orang dewasa tergolong penyakit berat, dan kadangkadang berakibat kebutaan.4
Etiologi
Herpes zoster disebabkan oleh Varisela Zoster Virus (VZV). VZV mempunyai
kapsid yang tersusun dari 162 sub unit protein dan berbentuk simetri isohedral
dengan diameter 100 nm. Virion lengkapnya berdiameter 150-200 nm, dan
hanya virion yang berselubung yang bersifat infeksius. Infeksiositas virus ini
dengan cepat dapat dihancurkan oleh bahan organik, deterjen, enzim proteolitik,
panas, dan lingkungan dengan pH yang tinggi. HZO merupakan reaktivasi dari
VZV di N.V divisi oftalmik (N.V1).3

Epidemiologi

Lebih dari 90% dari dewasa di Amerika Serikat mempunyai bukti serologik
mengenai infeksi VZV dan merupakan resiko untuk HZ. Laporan tahunan insidens
21

HZ bervariasi daripada 1.5 3.4 kasus per 1000 orang.

5,6

Faktor resiko untuk

perkembangan HZ ini ialah kekebalan imun sistem yang rendah berasosiasi juga
dengan proses penuaan yang normal. Bagaimanapun, insidens ini terjadi pada
individu berusia di atas 75 tahun rata ratanya iaitu 10 kasus per 1000 orang.

5,6

HZO khas mempengaruhi 10-20 % populasi. HZO biasanya berpengaruh pada


usia tua dengan meningkatnya pertambahan usia. Dari data insiden terjadinya
HZO pada populasi Caucasian adalah 131 : 100.000. 7 Populasi American-Afrika
mempunyai insiden 50 % dari Caucasian. Alasan untuk perbedaan ini tidak
sepenuhnya dipahami. Kebanyakan kasus HZO disebabkan reaktivasi dari virus
laten.
Lebih dari 90 % dewasa di Amerika terbukti mempunyai serologi yang terinfeksi
VZV. Dari hasil tahunan, insiden dari herpes zoster bervariasi, dari 1,5 3, 4
kasus per 1000 orang. Faktor resiko dari perkembangan oleh herpes zoster
adalah menyusutnya sel mediated dari sistem imun yang berhubungan dengan
perkembangan usia. Insiden HZO pada usia 75 tahun ke atas melebihi 10 kasus
per 1.000 orang per tahun, dan risiko seumur hidup diperkirakan 10-20 %. 8
Faktor risiko lain untuk herpes zoster diperoleh dari hambatan respon sel
mediated imun, seperti pada pasien dengan obat imunosupresif dan HIV, dan
yang lebih spesifik dengan AIDS. Pada kenyataannya, risiko relatif dari herper
zoster sedikitnya 15x lebih besar dengan HIV dibandingkan tanpa HIV. HZO
terdapat 10-25 % dari semua kasus herpes zoster. Resiko komplikasi oftalmik
pada pasien herpes zoster tidak terlihat berhubungan dengan umur, jenis
kelamin, atau keganasan dari ruam kulit.8

Faktor predisposisi
Faktor predisposisi timbulnya herpes zoster oftalmikus ini adalah :
a. Kondisi imunocompromise (penurunan imunitas sel T)
-

Usia tua

HIV

Kanker

Kemoterapi

22

b. Faktor reaktivasi
-

Trauma lokal

Demam

Sinar UV

Udara dingin

Penyakit sistemik

Menstruasi

Stres dan emosi

Patogenesis
Seperti herpes virus lainnya, VZV menyebabkan infeksi primer (varisela/cacar
air) dan sebagian lagi bersifat laten, dan ada kalanya diikuti dengan penyakit
yang rekuren di kemudian hari (zoster/shingles). Infeksi primer VZV menular
ketika kontak langsung dengan lesi kulit VZV atau sekresi pernapasan melalui
droplet udara. Infeksi VZV biasanya merupakan infeksi yang self-limited pada
anak-anak, dan jarang terjadi dalam waktu yang lama, sedangkan pada orang
dewasa atau imunosupresif bisa berakibat fatal.

3,4

Pada anak-anak, infeksi VZV ini ditandai dengan adanya demam, malaise,
dermatitis vesikuler selama 7-10 hari, kecuali pada infeksi primer yang mengenai
mata (berupa vesikel kelopak mata dan konjungtivitis vesikuler). VZV laten
mengenai ganglion saraf dan rata-rata 20 % terinfeksi dan bereaktivasi di
kemudian

hari.

HZO timbul akibat infeksi N.V1. Kondisi ini akibat reaktivasi VZV yang diperoleh
selama masa anak-anak.

23

Gambar 1. Morfologi golongan virus DNA & RNA dan patogenesis virus dalam sel
target penderita. Gambar dikutip daripada

Suwarji Haksuhusodo, Bagian

Mikrobiologi, Universitas Gadjah Mada, Jogjakarta.


Varisela zoster adalah virus DNA yang termasuk dalam famili Herpes viridae.
Selama infeksi, virus varisela berreplikasi secara efisien dalam sel ganglion.
Bagaimanapun, jumlah VZV yang laten per sel terlalu sedikit untuk menentukan
tipe sel apa yang terkena. Imunitas spesifik sel mediated VZV bertindak untuk
membatasi penyebaran virus dalam ganglion dan ke kulit. 5
Kerusakan jaringan yang terlihat pada wajah disebabkan oleh infeksi yang
menghasilkan inflamasi kronik dan iskemik pembuluh darah pada cabang N. V.
Hal ini terjadi sebagai respon langsung terhadap invasi virus pada berbagai
jaringan. Walaupun sulit dimengerti, penyebaran dermatom pada N. V dan
daerah torak paling banyak terkena.6,7

Tanda-tanda dan gejala HZO terjadi ketika N.V1 diserang virus, dan
akhirnya akan mengakibatkan ruam, vesikel pada ujung hidung (dikenal
sebagai tanda Hutchinson), yang merupakan indikasi untuk resiko lebih
tinggi terkena gannguan penglihatan. Dalam suatu studi, 76% pasien
24

dengan

tanda

Hutchinson

mempunyai

gangguan

penglihatan.

Gambar 2. Tanda Hutchinson. Gambar dikutip dari C. Stephen Foster, MD,


Massachusetts Eye Research and Surgery Institute, Harvard Medical School.

Manifestasi Klinis
Adapun manifestasi klinis HZO ini, antara lain:
a. Prodormal (didahului ruam sampai beberapa hari
-

Nyeri lateral sampai mengenai mata

Demam

Malaise

Sakit kepala

Kuduk terasa kaku

25

Gambar 2. Herpes zoster oftalmikus. Gambar dikutip daripada C. Stephen Foster,


MD, Massachusetts Eye Research and Surgery Institute, Harvard Medical School.
Gejala-gejala di atas terjadi pada 5 % penderita, terutama pada anak-anak, dan
timbul 1 - 2 hari sebelum terjadi erupsi.
b. Dermatitis
c. Nyeri mata
d. Lakrimasi
e. Perubahan visual
f. Mata merah unilateral

Gambar 3. Defek epitel dan infeksi sekunder varicella-zoster virus. Gambar


dikutip daripada C. Stephen Foster, MD, Massachusetts Eye Research and
Surgery Institute, Harvard Medical School.

26

HZO

Kelopak mata :
sering

mengenai

kelopak

mata.

Hal

ini

ditandai

dengan

adanya

pembengkakan kelopak mata, dan akhirnya timbul radang kelopak, yang disebut
blefaritis, dan bisa timbul ptosis. Kebanyakan pasien akan memiliki lesi vesikuler
pada kelopak mata, ptosis, disertai edema dan inflamasi. Lesi pada palpebra
mirip lesi kulit di tempat lain.
-

Konjungtiva

Konjungtivitis

adalah

salah

satu

komplikasi

terbanyak

pada

HZO.

Pada

konjungtiva sering terdapat injeksi konjungtiva dan edema, dan kadang disertai
timbulnya petechie. Ini biasanya terjadi 1 minggu. Infeksi sekunder akibat S.
aureus bisa berkembang di kemudian hari.
-

Sklera

Skleritis atau episkleritis mungkin berupa nodul atau difus yang biasa menetap
selama beberapa bulan

Gambar 4. Ulkus kornea dengan pemberian fluorescein. Gambar dikutip daripada


C. Stephen Foster, MD, Massachusetts Eye Research and Surgery Institute,
Harvard Medical School.
-

Kornea3,5

Komplikasi kornea kira-kira 65 % dari kasus HZO. Lesi pada kornea sering disertai
dengan keratouveitis yang bervariasi beratnya sesuai dengan kekebalan tubuh
pasien. Komplikasi pada kornea bisa berakibat kehilangan penglihatan secara
signifikan. Gejalanya adalah nyeri, fotosensitif, dan gangguan visus. Hal ini
terjadi jika terdapat erupsi kulit di daerah yang disarafi cabang-cabang N.
nasosiliaris.7
27

Berbeda dengan keratitis pada HSV yang bersifat rekuren dan biasanya hanya
mengenai epitel, keratitis HZV mengenai stroma dan uvea anterior pada
awalnya,

lesi

epitelnya

keruh

dan

amorf,

kecuali

kadang-kadang

ada

pseudodendrit linear yang mirip dendrit pada HSV. Kehilangan sensasi pada
kornea selalu merupakan ciri mencolok dan sering berlangsung berbulan-bulan
setelah lesi kornea tampak sudah sembuh.7

Keratitis epithelial : gejala awal, berupa punctat epitel. Multipel, lesi vocal
dengan fluoresen atau rose Bengal. Lesi ini mengandung virus keratitis stroma.
Ini

merupakan

reaksi

imun

selama

serangan

akut

dan

memungkinkan

perpindahan virus dari ganglion. Keratitis stroma kronik bisa menyerang


vaskularisasi, keratopati, penipisan kornea dan astigmatisme.

- Traktus uvea
Sering menyebabkan peningkatan TIO. Tanpa perawatan yang baik penyakit ini
bisa menyebabkan glaukoma dan katarak.
-

Retina

Retinitis pada HZO digambarkan sebagai retinitis nekrotik dengan perdarahan


dan eksudat, oklusi pembuluh darah posterior, dan neuritis optik. Lesi ini dimulai
dari bagian retina perifer.

Diagnosis
Anamnesis
-

Fase prodormal pada herpes zoster oftalmikus biasanya terdapat


influenza like illness seperti lemah, malaise, demam derajat rendah
yang mungkin berakhir sehingga 1 minggu sebelum perkembangan
rash unilateral menyelubungi daerah kepala, atas kening dan hidung
(divisi dermatome pertama daripada nervus trigeminus). 3,5

Kira kira 60% pasien mempunyai variasi derajat gejala nyeri


dermatom sebelum erupsi kemerahan. Akibatnya, makula eritematosus
muncul keliatan yang lama kelamaan akan membentuk kluster yang

28

terdiri daripada papula dan vesikel. Lesi ini akan membentuk pustula
dan seterusnya lisis dan membentuk krusta dalam masa 5 7 hari.

Pemeriksaan Fisik
-

Periksa

struktur

eksternal/superfisial

dahulu

secara

sistematik

mengikut urutan daripada bulu mata, kunjungtiva dan pembengkakan


sklera.
-

Periksa keadaan integritas motorik ekstraokular dan defisiensi lapang


pandang.6

Lakukan pemeriksaan funduskopi dan coba untuk mengeradikasi


fotofobia

untuk

menetapkan

kemungkinan

terdapatnya

iritis.

Pengurangan sensitivitas kornea dapat dilihat dengan apabila dicoba


dengan serat cotton.
-

Lesi epitel kornea dapat dilihat setelah diberikan fluorescein. Defek


epitel dan ulkus kornea akan jelas terlihat dengan pemeriksaan ini.

Pemeriksaan slit lamp seharusnya dilakukan untuk melihat sel dalam


segmen anterior dan kewujudan infiltrat stroma

Setelah ditetes anestesi mata, ukur tekanan intraokular (tekanan


normal ialah dibawah 12 15 mmHg).

Pemeriksaan Laboratorium

Diagnosis laboratorium terdiri dari beberapa pemeriksaan, iaitu: 4

a. Pemeriksaaan langsung secara mikroskopik

29

Kerokan palpebra diwarnai dengan Giemsa, untuk melihat adanya


sel-sel raksasa berinti banyak (Tzanck) yang khas dengan badan
inklusi intranukleus asidofil

b. Pemeriksaaan serologik.
-

HZ dapat terjadi pada individu yang terinfeksi dengan HIV yang


kadangkala asimtomatik, pemeriksaan serologik untuk mendeteksi
retrovirus sesuai untuk pasien dengan faktor resiko untuk HZ
(individu muda daripada 50 tahun yang nonimunosupres).

c. Isolasi dan identifikasi virus dengan teknik Polymerase Chain Reaction.

Diferensial Diagnosis

a. Kondisi yang memperlihatkan penampakan luar yang sama

Herpes simplek

Ulkus blefaritis

b. Kondisi yang menyebabkan penyebaran nyeri

Tic Douloureux3

Migrain

Pseudotumor orbita

Selulitis orbita

Nyeri akibat sakit gigi

c. Kondisi yang menyebabkan inflamasi stromal kornea


30

Epstein-Barr Virus

Sifilis

Komplikasi

Hampir semua pasien akan pulih sempurna dalam beberapa minggu, meskipun
ada beberapa yang mengalami komplikasi. Hal ini tidak berhubungan dengan
umur dan luasnya ruam, tetapi bergantung pada daya tahan tubuh penderita. Ini
akan terjadi beberapa bulan atau beberapa tahun setelah serangan awal. 5

Komplikasi mata terjadi pada 50 % kasus. Nyeri terjadi pada 93% dari
pasien tersebut, 31% nya masih ada sampai 6 bulan berikutnya. Pengaruh
itu semua, terjadi anterior uveitis pada 92% dan keratitis 52%. Pada 6
bulan, 28% mengenai mata dengan uveitis kronik, keratitis, dan ulkus
neuropatik.

Komplikasi mata yang jarang, termasuk optik neuritis, retinitis, dan


kelumpuhan nervus kranial okuler. Ancaman ganguan penglihatan oleh
keratitis neuropatik, perforasi, glaukoma sekunder, posterior skleritis, optik
neuritis, dan nekrosis retina akut.

Komplikasi jangka panjang, bisa berhubungan dengan lemahnya sensasi


dari kornea dan fungsi motor palpebra. Ini beresiko pada ulkus neuropati
dan keratopati. Resiko jangka panjang ini juga terjadi pada pasien yang
memiliki riwayat HZO, 6-14% rekuren.

Infeksi permanen zoster oftalmik bisa termasuk inflamasi okuler kronik dan
kehilangan penglihatan.5

Penatalaksanaan

31

Sebagian besar kasus herpes zoster dapat didiagnosis dari anamnesis dan
pemeriksaan fisik. Cara terbaru dalam mendiagnosis herpes zoster adalah
dengan tes DFA (Direct Immunofluorence with Fluorescein-tagged Antibody)
dan PCR (jika ada), terbukti lebih efektif dan spesifik dalam membedakan
infeksi akibat VZV dengan HSV. Tes bisa dilanjutkan dengan kultur virus. 6

Pasien dengan herpes zoster oftalmikus dapat diterapi dengan Acyclovir (5 x


800 mg sehari) selama 7-10 hari. Penelitian menunjukkan pemakaian
Acyclovir, terutama dalam 3 hari setelah gejala muncul, dapat mengurangi
nyeri pada herpes zoster oftalmikus. Onset Acyclovir dalam 72 jam pertama
menunjukkan mampu mempercepat penyembuhan lesi kulit, menekan jumlah
virus, dan mengurangi kemungkinan terjadinya dendritis, stromal keratitis,
serta uveitis anterior.6

Terapi lain dengan menggunakan Valacyclovir yang memiliki bioavaibilitas


yang lebih tinggi, menunjukkan efektivitas yang sama terhadap herpes zoster
oftalmikus pada dosis 3 x 1000 mg sehari. Pemakaian Valacyclovir dalam 7
hari menunjukkan mampu mencegah komplikasi herpes zoster oftalmikus,
seperti konjungtivitis, keratitis, dan nyeri. Pada pasien imunocompromise
dapat digunakan Valacyclovir intravena. Untuk mengurangi nyeri akut pada
pasien herpes zoster oftalmikus dapat digunakan analgetik oral. 3,4

Untuk mengobati berbagai komplikasi yang ditimbulkan oleh herpes zoster


oftalmikus

disesuaikan

dengan

gejala

yang

ditimbulkan.

Pada

blefarokonjungtivitis, untuk blefaritis dan konjungtivitisnya, diterapi secara


paliatif, yaitu dengan kompres dingin dan topikal lubrikasi, serta pada indikasi
infeksi sekunder oleh bakteri (biasanya S. aureus). Pada keratitis, jika hanya
mengenai epitel bisa didebridemant, jika mengenai stromal dapat digunakan
topikal steroid, pada neurotropik keratitis diterapi dengan lubrikasi topikal,
serta dapat digunakan antibiotik jika terdapat infeksi sekunder bakteri. 7

32

Untuk neuralgia pasca herpetik obat yang direkomendasikan di antaranya


Gabapentin dosisnya 1,800 mg - 2,400 mg sehari. Hari pertama dosisnya 300
mg sehari diberikan sebelum tidur, setiap 3 hari dosis dinaikkan 300 mg
sehari sehingga mencapai 1,800 mg sehari. 8

Antibiotik sebaiknya digunakan jika terdapat infeksi bakterial. Antibiotik pada


kasus ini ialah ampicillin dan tetes mata gentamisin, merupakan antibakteri
spektrum luas. Isprinol yang diberikan oleh spesialis kulit pada penderita di
atas termasuk obat imunomodulator yang bekerja memperbaiki sistem imun.

Vitamin neurotropik berupa neurodex digunakan sebagai vitamin untuk saraf.


Pada umumnya direkomendasikan pemberian NSAID topikal 4 kali sehari dan
ibuprofen sebagai analgetik oral. Ahli THT memberikan obat kumur tantum
verde yang berisi benzydamine hydrochloride,8 merupakan anti inflamasi non
steroid

lokal

pada

mulut

dan

tengggorokan.

Penderita

di

atas

juga

mendapatkan antioksidan berupa asthin force dari ahli penyakit dalam untuk
perlindungan kesehatan kulit.

Sindrom Ramsay Hunt dapat diberikan Prednison dengan dosis 3 x 20 mg


sehari, setelah seminggu dosis diturunkan secara bertahap. Dengan dosis
prednison setinggi itu imunitas akan tertekan sehingga lebih baik digabung
dengan obat antiviral. Dikatakan kegunaannya untuk mencegah fibrosis
ganglion.8

Pencegahan
Tindakan preventif yang harus dilakukan penderita ialah tidak mengusapusap mata, menyentuh lesi kulit, dan menggaruk luka untuk menghindari
penyebaran gejala. Bagi orang sekitar hendaknya menghindari kontak
langsung dengan penderita terutama anak-anak. Obat-obatan antiviral
seperti asiklovir, valasiklovir, dan famsiklovir merupakan terapi utama
yang lebih efektif dalam mencegah keterlibatan okuler terutama jika obat
diberikan tiga hari pertama munculnya gejala. Berdasarkan rekomendasi
33

dari National Guidelines Clearinghouse, dosis asiklovir oral untuk dewasa


ialah 800 mg 5 kali sehari selama 7 sampai 10 hari. 8 Sedangkan antiviral
topikal tidak dianjurkan karena tidak efektif. Antiviral digunakan untuk
mempercepat

resolusi

lesi

kulit,

mencegah

replikasi

virus,

dan

menurunkan insiden keratitis stroma dan uveitis anterior.


Prognosis

Umumnya baik, pada herpes zoster oftalmikus prognosis bergantung pada


tindakan perawatan secara dini. Prognosis dari segi visus penderita baik karena
asiklovir dapat mencegah penyakit-penyakit mata yang menurunkan visus.
Kesembuhan penyakit ini umunya baik pada dewasa dan anak-anak dengan
perawatan secara dini. Prognosis ke arah fungsi vital diperkirakan ke arah baik
dengan pencegahan paralisis motorik dan menghindari komplikasi ke mata
sampai kehilangan penglihatan. Prognosis kosmetikam pada mata penderita
tersebut baik karena bengkak dan merah pada mata dapat hilang. Pada kulit
dapat menimbulkan makula hiperpigmentasi atau sikatrik. 7,8

Penutup

Pada pasien yang menderita herpes zoster oftalmikus, pertimbangkan untuk


terkaitnya persarafan dermatoma yang multipel, kondisi imuno compromised
dan superinfeksi bakteri yang signifikan di wajah. Pengobatan antiviral IV
seharusnya diadministrasi seperti yang telah disebutkan dalam pengobatan di
atas. Pasien yang dirawat jalan seharusnya mempunyai tindak lanjut yang
adekuat untuk penanganan pada HZO. Pemeriksaan ulang setelah maksimum 1
minggu

haruslah

dijadualkan

pada

stadium

awal.

Pengobatan

dengan

menggunakan antiviral haruslah dipraktikkan dan diteruskan seperti di atas.


Daftar Kepustakaan :

1. American Academy of Ophtalmology. External cornea and disease. Section


8. 2005-2006.
34

2. Voughan D, Tailor A. Penyakit virus : ophtalmologi umum. Edisi 14. Widya


Medika. 1995 : 112, 336.
3. Suwarji H. Infeksi viral dan strategi pengobatan anti viral pada penyakit
mata.

Diakses

dari

http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/08InfeksiViral087.pdf. Oktober 2006.


4. Moses S. Herpes zoster ophtalmicus. Diakses dari www.fpnotebook.com.
January 13, 2008.
5. Gurwood

AS.

Herpes

zoster

ophthalmicus.

Diakses

dari

www.optometry.co.uk. November 16, 2001.


6. Maria

Diaz.

Herpes

zoster

ophthalmicus.

Diakses

dari

http://emedicine.medscape.com/article. Disember 10, 2009.


7. Web

MD.

Herpes

of

the

eye.

Diakses

dari

http://www.medicinenet.com/herpeseye/. November 2009.


8. Shaikh S. Evaluation and management of herpes zoster. Diakses dari:
www.aafp.org. November 1, 2002.

2.4.

Herpes Zoster Ophthalmica

2.4.1. Definisi
Herpes Zoster Opthalmicus adalah infesi akut pada ganglion Gasserian
Nervus cranialis V oleh virus varicella zoster (VZV). (Khurana, 2007)
2.4.2. Epidemiologi
Insidensi Herpers Zoster terjadi pada 20% populasi dunia dan10% diantarany
a adalah Herpes Zoster Ophthalmica. (Ilyas, 2002). Lebih dari 90 % dewasa di
Amerika terbukti mempunyai serologi yang terinfeksi VZV. Dari hasil tahunan,
insiden dari herpes zoster bervariasi, dari 1,5 3, 4 kasus per 1000 orang.
Insiden HZO pada usia 75 tahun ke atas melebihi 10 kasus per 1.000 orang
per tahun, dan risiko seumur hidup diperkirakan 10-20 %. HZO terdapat 10-25
% dari semua kasus herpes zoster.(Moon CH, 2006)

35

2.4.3. Etiologi
Varicella Zoster Virus adalah virus DNA dan memproduksi acidophilic
intranuclear inclusion bodies. Virus ini neurotropic di alam. (Khurana, 2007)
Herpes zoster disebabkan oleh Varisela Zoster Virus (VZV). VZV
mempunyai kapsid yang tersusun dari 162 sub unit protein dan berbentuk
simetri isohedral dengan diameter 100 nm. Virion lengkapnya berdiameter
150-200 nm, dan hanya virion yang berselubung yang bersifat infeksius.
Infeksiositas virus ini dengan cepat dapat dihancurkan oleh bahan organik,
deterjen, enzim proteolitik, panas, dan lingkungan dengan pH yang tinggi.4
Herpes Zoster Ophthalmica

merupakan reaktivasi dari VZV di N.V divisi

oftalmik (N.V1). (Liesegang, 2007)


2.4.4. Patogenesis
Patogenesis adalah proses berjangkitnya penyakit yang dimulai dari
permulaan terjadinya infeksi sampai dng timbulnya reaksi akhir.
Varicella-zoster virus menyebabkan chicken pox

(varicella) dan

shingles (herpes zoster). VZV dan HZV masuk ke dalam golongan grup virus
Herpes secara morfologi identik tetapi secara genetik tidak sama. Saat
serangan awal menjadi chicken pox, kemudian virus berjalan retrograde
menuju radix dorsalis dan N.Cranialis ganglia sensoris di mana virus akan tetap
dorman selama beberapa dekade. Virus yang dorman tersebut dapat reaktivasi
kembali dan akan menyebabkan shingles setelah imunitas selular spesifik
terhadap VZV menghilang.(Kanski, 2004)
Transmisi melalui droplet yang terbang bersama airborne pada kontak
langsung. Penderita akan menular pada beberapa hari sebelum muncul
eksantem dan akan bertahan sampai bentuk terakhir dari vesicle. Krusta tidak
infeksius. (Fitzpatricks, 2007)

36

Gambar 8 Patogenesis VZV


Virus masuk melalui droplet yang terbang bersama dengan airbone, masuk ke
dalam saluran pernafasan atas, di saluran pernafasan atas terdapat sistem
pertahanan berupa waldeyer ring dimana nanti virus yang masuk akan dilawan
oleh sel-sel leukosit yang ada di waldeyer ring. Ada virus yang masih lolos, virus
yang masih lolos tersebut masuk ke dalam pembuluh darah yang akan
menyebabkan viremia, lalu muncul manifestasi pertama pada serangan awal
sebagai varicella, lalu virus tersebut juga akan berjalan retrograde ke ganglion
dorsalis saraf sensoris di medspin untuk dorman. Saat terjadi reaktivasi kembali
virus dorman maka akan bermanifestasi sebagai herpes zoster sesuai dengan
dermatome dari daerah yang diinervasi (Zerboni et all, 2014)
2.4.5. Patofisiologi
Patofisiologi adalah reaksi fungsi tubuh terhadap suatu penyakit yang
masuk ke dalam tubuh.
Manifestasi kulit herpes zoster ophtalmica melibatkan satu atau lebih
cabang divisi oftalmik dari saraf trigeminal, yaitu supraorbital, lakrimal, dan
cabang nasociliary. Karena cabang nasociliary juga menginervasi bola mata,
lesi okuli cepat berkembang. Secara klasik, keterlibatan ujung hidung (tanda
Hutchinson) telah dianggap sebagai prediktor klinis keterlibatan okuli (Shaikh S,
2002). Pada sekita 1/3 kasus dan ditandai dengan adanya vesikel pada bagian
atau ujung hidung. Dapat terjadi nekrosis retina akut pada individu yang
immunocompromised. (Fitzpatricks, 2007)
HZO sering dijumpai keratouveitis yang bervariasi beratnya penyakit
tergantung imunitas pasien.

Kadang-kadang terjadi kebutaan. Kekeruhan

stroma disebabkan oleh edema dan infiltrasi sel ringan yang pada awalnya
37

hanya subepitelial, keadaan ini dapat diikuti dengan stroma yang dalam disertai
nekrosis dan vaskularisasi. Kehilangan sensasi kornea, dengan risiko terjadinya
keratitis neurotropik selalu merupakan ciri yang menonjol dan menetap selama
berbulan-bulan setelah lesi kornea sembuh. (Shaikh, 2002)
2.4.6. Manifestasi klinis
Pada herpes zoster optalmika, nervus frontalis lebih sering terjangkit dibandingkan
dengan nervus ciliaris dan nervus lakrimalis. Sekitar 50% kasus herpes zoster
optalmika terjadi komplikasi pada okuli. Menurut Hutchinson bahwa keikutsertaan
pada okuli sering terjadi bila bagian atau ujung dari hidung muncul vesikel ( bagian
kutaneus dari nervus ciliaris terjangkit ). Hal tersebut berguna tetapi tidak valid. Lesi
dari Herpes Zoster terbatas pada satu sisi dari garis tengah kepala.(Khurana, 2007)
Fase klinis dari Herpes Zoster optalmika terdiri dari :
a. Akut , di mana akan sembuh total
b. Kronik, di mana akan persisten selama beberapa tahun
c. Relaps, di mana akan muncul kembali lesi akut atau kronis beberapa
tahun kemudian .(Khurana, 2007)
2.4.6.1.

Gambaran Klinis Umum

Onset dari penyakit adalah mendadak dengan demam, malaise, dan nyeri saraf
yang parah (severe neuralgic pain) di sepanjang aliran saraf yang terjangkit.
Distribusi nyeri khas dari zoster yang biasanya akan meragukan sebelum munculnya
vesikel. (Khurana, 2007)
2.4.6.2.

Lesi Kulit

Lesi kulit pada area distribusi dari saraf yang terkena akan muncul setelah 3-4 hari
dari masa onset. Awalnya, kulit akan menjadi merah dan edema (menyerupai
erysipelas), lalu diikuti dengan pembentukan vesikel. Lalu dengan berjalannya
waktu, vesikel-vesikel yang telah terbentuk tadi akan berubah menjadi pustule, di
mana nantinya akan pecah dan menjadi ulcer yang berkrusta. Saat nanti krusta
menghilang, skar berbintik-bintik permanen akan muncul. (Khurana, 2007)
Fase erupsi aktif bertahan kurang lebih 3 minggu, gejala utamanya adalah nyeri
neuralgic berat yaitu severe neuralgic pain dimana biasanya nanti akan berkurang
38

seiring berkurangnya masa erupsi. Tapi terkadang dapat bertahan untuk beberapa
tahun dengan penurunan intensitasnya. Akan bermunculan rasa anestesi di kulit
bersamaan dengan herpetic neuralgia yang disebut sebagai anaesthesia dolorosa.
(Khurana, 2007)

Gambar 9: Lesi kulit Herpes zoster Ophthalmica


2.4.6.3.

Ocular lesions.

Menurut .Khurana (2007), komplikasi okuli yang biasanya muncul saat erupsi kulit
berkurang dan mungkin akan muncul sebagai kombinasi 2 atau lebih dari lesi-lesi
tersebut dibawah ini :
a) Conjunctivitis adalah satu dari komplikasi terbanyak dari komplikasi herpes
zoster. Dapat muncul sebagai conjunctivitis mucopurulent dengan peteki atau
conjunctivitis follicular acute dengan lymphadenopathy regional. Terkadang
dapat tampak inflamasi membranosa dengan nekrosis yang parah.
b) Zoster keratitis terjadi pada 40% dari seluruh pasien dan dapat terjadi lesi
neuralgia atau kulit. Hal ini dapat muncul dalam berbagai bentuk, di mana
nanti akan muncul gambaran kronis yang seperti tersebut di bawah ini:
1. Keratitisa epiteliat pungtata halus atau kasar
2. Microdendritic epithelial ulcers. Hal ini tidak seperti ulcer dendritik dari
herpes simpleks yang biasanya peripheral dan stellate. Bentuknya
berbeda dengan dendrite pada herpes simpleks, bentuknya dengan ujung
meruncing.
3. Nummular keratitis tampak pada sekitar sepertiga keseluruhan kasus.
Tipenya muncul sebagai deposit granular-granular kecil yang multiple
dengan dikelilingi oleh halo of stromal haze
39

4. Disciform keratitis terjadi pada sekitar 50% kasus dan biasanya diikuti
dengan keratitis numularis.
5. Neuroparalytic ulceration dapat terjadi sebagai sequel dari infeksi akut
dan destruksi ganglion Gasserian.
6. Exposure keratitis dapat muncul setelahnya pada beberapa kasus karena
berkaitan dengan palsi fasialis.
7. Mucous plaque keratitis berkembang pada 5% kasus antara bulan ketiga
dan kelima yang ditandai dengan elevasi mucous plaque yang mendadak
dengan pewarnaan rose Bengal.

Gambar 10 Perbedaan HSK dan HZO


c) Uveitis terjadi sekitar 40% pada pasien dengan HZO dan umumnya terjadi
pada 1-3 minggu setelah munculnya rash. Gejala awalnya adalah nyeri,
kemerahan, sensitive terhadap cahaya, dan penurunan visus. Pada
pemeriksaan slit lamp akan tampak kerusakan pada iris yaitu iris tampak
ireguler. Dapat terjadi peningkatan tekanan intra ocular yang dapat
berkembang menjadi glaucoma. Pada kebanyakn pasien, uveitis terjadi pada
pasien Herpes Zoster Ophtalmicus dalam beberapa minggu tetapi juga dapat
bertahan dalam beberapa tahun. (www. American Uveitis Soceity.org)
d) Episkleritis dan skleritis muncul pada setengah kasus. Biasanya muncul pada
onset pada rash tetapi sering tertutup oleh konjungtivitis.
40

e) Iridocyclitis sering terjadi dapat atau tidak dapat diikuti

dengan keratitis.

Dapat ditemukan hypopyon dan hyphaema (acute haemorrhagic uveitis).


f) Acute retinal necrosis dapat terjadi pada beberapa kasus.
g) Anterior segment necrosis dan phthisis bulbi.dapat juga diakibatkan dari
zoster vasculitis dan ischemia.
h) Secondary glaucoma. Dapat terjadi karena trabeculitis pada tahap awal and
synechial angle closure pada tahap akhir. (Khurana, 2007)

Gambar 11 Iris tampak ireguler dapat terlihat pada Herpes zoster uveitis

2.4.7. Diferensial diagnosis


Keratitis Herpes simplex (Pedoman Diagnosis Terapi, 2006)
2.4.7.1 Perbedaan Herpes zoster dan Herpes Simplex

41

(www.jaoa.osteopathic.org)
Etiologi
Lokasi
Tes Fluoresensi
Tes Sensibilitas

Terapi

Komplikasi

2.4.8.

HZO
Reaktivasi VZV
Kulit
(-)
Hiperesthesia
Antivirus + Steroid (untuk

HSK
HSV tipe 1
Kornea
(+)
Hipo/Anesthesia

mengurangi rasa nyeri dan

Antivirus (Tidak diberikan

mencegah terjadinya PHN (Post

steroid)

Herpetic Neuralgia)
Uveitis sampai dengan kebutaan
karena nekrosis retina akut.

Ulkus kornea

Diagnosis
a. Tampilan : Nyeri pada area yang diinervasi oleh nervus trigeminus
b. Sign
:
Makulopapular rash pada dahi
Lesi yang berkembang menjadi vesikel-pustula-krusta
Edema periorbital
Komplikasi pada okuli (Kanski,2004)

2.4.9. Terapi
Terapi pada Herpes Zoster Ophthalmica bertujuan untuk mencegah komplikasi oculi
yang lebih parah dan meningkatkan penyembuhan secara cepat dari lesi kulit tanpa
terbentuk formasi krusta masif, skar saraf dan postherapeutic neuralgia. Berikut ini
adalah terapi Herpes Zoster Ophthalmica.
a. Terapi sistemik untuk Herpes Zoster
- Obat antivirus oral. Obat ini dapat menurunkan nyeri secara signifikan,
memperpendek vesikulasi, menghentikan virus yang progresif dan
mengurangi insiden keparahan keratitis dan uveitis. Agar lebih efektif,
terapi sebaiknya dimulai segera setelah munculnya rash. Tidak ada efek

post herpetic neuralgia.


Acyclovir dalam dosis 800 mg 5xsehari selama 10 hari
Valaciclovir dalam dosis 500 mg
Analgesik. Nyeri selama 2 minggu pertama adalah serangan terberat dan
sebaiknya diterapi dengan analgesik seperti kombinasi Mephenemic Acid
dan Paracetamol atau Pentazocin atau Pethidin (bila sangat berat).
42

Steroid sistemik. Menghambat perkembangan post herpetic neuralgia


ketika diberikan dalam dosis yang tinggi bagaimanapun juga risiko dosis
tinggi pada usia lanjut sebaiknya dipertimbangkan kembali. Steroid
biasanya direkomendasikan pada kasus yang berkembang menjadi

komplikasi neurologis seperti N.III palsy dan Optic Neuritis.


Cimetidine dosis 300 mg 4xsehari selama 2-3 minggu dimulai dalam
waktu 48-72 jam dari onset, menunjukkan nyeri yang berkurang dan
pruritis pada fase akut infeksi Herpes Zoster karena mekanisme blokade

histamin.
Amytriptyline sebaiknya digunakan untuk mengurangi depresi pada fase

akut. (Khurana, 2007)


b. Terapi lokal untuk lesi kulit
- Antibiotik-kortikosteroid salep atau lotion. Dapat diberikan 3x sehari
-

sampai lesi kulit sembuh.


Jangan diberikan Calamin lotion. Pemberian cool zinc calamine, seperti
yang

dianjurkan

sebelumnya,

sebaiknya

dihindari

karena

dapat

meningkatkan terbentuknya krusta. (Khurana, 2007)


c. Terapi lokal untuk lesi oculi
- Untuk zoster keratitis, iridocyctitis dan scleritis
Steroid topikal tetes mata 4x sehari
Cycloplegics seperti cyclopentolate tetes atau salep mata atropin
Acyclovir topikal 3% dalam bentuk salep mata 5x sehari selama 2
-

minggu
Untuk mencegah infeksi sekunder
Bisa diberikan antibiotik topikal
Untuk Glaucoma sekunder
Timolol 0,5% atau Betaxolol 0,5% tetes mata
Acetazolamide 250 mg
Untuk neuroparalytic corneal ulcer
Penyebabnya adalah Herpes Zoster, bisa dilakukan lateral tarsorrhaphy
Untuk defek epitel persisten
Lubrikasi dengan air mata buatan
Menggunakan soft contact lens
Keratoplasty
Dibutuhkan untuk rehabilitasi visual pada pasien zoster degnan dense
scarring. (Khurana, 2007)

43

2.4.10. Komplikasi
2.4.10.1. Komplikasi oculi
a) Conjunctivitis
Pada Blepharoconjunctivitis virus menyebar sepanjang penyebaran dermatom
nervus trigeminus cabang ophthalmica sehingga tampak hiperemia dan
konjungtivitis papilar disertai dengan erupsi vesikuler yang khas di area tersebut.
(Vaughan, 2008)
b) Zoster keratitis
Infeksi virus varicella zoster (VZV) terjadi dalam dua bentuk yaitu primer
(varicella) dan rekurens (herpes zoster). HZO sering terjadi karena rekurens VZV.
Komplikasi keratitis zoster diperkirakan timbul jika terjadi erupsi kulit didaerah
yang dipersarafi oleh cabang-cabang nervus nasosiliaris. Keratitis zoster
mengenai stroma dan uvea anterior sejak terjadi pada awalnya. Lesi epitel amorf
dan berbercak, sesekali terdapat pseudodendritik linear yang agak mirip dendritik
keratitis Herpes Simplek Virus (Vaughan, 2008)
c) Uveitis
Virus yang reaktivasi di ganglion gasserian (merupakan cabang dari N.
Ophtalmicus) berjalan ke arah anterior di sepanjang nervus nasociliaris yang
memberikan inervasi ke konjungtiva dan kornea, karena letak kornea dekat
dengan uvea tract sehingga dapat menyebabkan uveitis (Janniger, Camila K et
all, 2014)
d) Episkleritis dan skleritis
Konjungtiva letaknya dekat dengan sklera. Bagian anterior dari sklera tertembus
oleh konjungtiva bulbi. Ketika terjadi konjungtivitis karena VZV, maka bisa
menyebar ke sklera dan menyebabkan episkleritis atau skleritis. (Shaikh S,
2002).
e) Iridocyclitis
Inflamasi pada iris seringkali berhubungan dengan keratitis zoster. Zoster uveitis
dapat menyebabkan iris atrofi dan bentuk iris menjadi ireguler. (Shaikh S, 2002).
f) Acute retinal necrosis
Herpes zoster virus dianggap sebagai agen penyebab dalam kasus nekrosis
retina akut dan sindrom nekrosis retina luar progresif. Nekrosis retina akut
ditandai dengan peripheral patch akibat nekrosis retina yang cepat, vaskulitis
oklusif, dan peradangan vitreous. (Shaikh S, 2002).
g) Anterior segment necrosis dan phthisis bulbi
Inflamasi yang progresif dari vitreus dapat menyebabkan phtisis bulbi. (Shaikh S,
2002).
44

h) Secondary glaucoma.
Inflamasi pada iris karena VZV bisa menyebabkan blok pupil, terjadi peningkatan
tekanan intraokuler dan terjadi Glaucoma sudut tertutup sekunder (Shaikh S,
2002).
2.4.10.2. Komplikasi neurologis.
Herpes Zoster ophthalmica berhubungan dengan komplikasi neurologis seperti:
a. Motor nerve palsies khususnya N.III, N.IV, N.VI, N.VII
b. Optic neuritic terjadi sekitar 1% dari kasus
c. Enchepalitis dengan infeksi yang berat sangat jarang terjadi. (Khurana,
2007)

BAB III
KESIMPULAN

45

Herpes Zoster Opthalmicus adalah infesi akut pada ganglion


Gasserian Nervus cranialis V yang disebabkan oleh oleh virus varicella zoster (VZV).
(Khurana, 2007)
Virus masuk melalui droplet yang terbang bersama dengan airbone,
masuk ke dalam saluran pernafasan atas. Virus masuk ke dalam pembuluh darah
yang akan menyebabkan viremia, lalu muncul manifestasi pertama pada serangan
awal sebagai varicella, lalu virus tersebut juga akan berjalan retrograde ke ganglion
dorsalis saraf sensoris di medspin untuk dorman. Saat terjadi reaktivasi kembali
virus dorman maka akan bermanifestasi sebagai herpes zoster sesuai dengan
dermatome dari daerah yang diinervasi. (Zerboni et all, 2014)
Manifestasi klinis dari HZO mulai dari gambaran secara umum,
munculnya lesi di kulit hingga lesi di oculi. Lesi kulit ditandai dengan munculnya
warna merah dan edema, lalu diikuti dengan pembentukan vesikel. Vesikel-vesikel
yang telah terbentuk tadi akan berubah menjadi pustule, di mana nantinya akan
pecah dan menjadi ulcer yang berkrusta. Saat nanti krusta menghilang, skar
berbintik-bintik permanen akan muncul. (Khurana, 2007) Lesi okuli muncul berupa
conjungtivitis, keratitis zoster, uveitis, Episkleritis dan skleritis, Iridocyclitis, Acute
retinal necrosis , Anterior segment necrosis dan phthisis bulbi, serta Secondary
glaucoma. Diagnosis berdasarkan gejala dan tanda-tanda klinis infeksi VZV.
Komplikasi yang bisa terjadi berupa komplikasi oculi dan komplikasi
neurologis. Komplikasi terbanyak adalah konjungtivitis. Penyebab terjadinya
komplikasi uveitis adalah Virus yang reaktivasi di ganglion gasserian (merupakan
cabang dari N. Ophtalmicus) berjalan ke arah anterior di sepanjang nervus
nasociliaris yang memberikan inervasi ke konjungtiva dan kornea, karena letak
kornea dekat dengan uvea tract sehingga dapat menyebabkan uveitis (Janniger,
Camila K et all, 2014)
Terapi HZO meliputi terapi sistemik, terapi lokal pada lesi kulit dan
terapi lokal pada lesi oculi.

DAFTAR PUSTAKA

1. Fitzpatrick's, 2007, Dermatology in General Medicine, edisi ke-7


46

2. Guyton, C. Arthur dkk. 1997. Anatomi Fisiologi Kedokteran. Jakarta : EGC


3. Ilyas Sidarta, 2002, Uveitis Anterior, Ilmu Penyakit Mata, Edisi ke-2, FKUI,
Jakarta
4. Junqueira,Luiz Carlos, Carneiro, 2007, Basic Histology, edisi ke-11
5. Kanski, Jack J, 2004, Clinical Ophthalmology, Edisi Ke-5
6. Khurana, A K, 2007, Comprehenshive Ophthalmology, Edisi Ke-4, New Age
International Publiser
7. Liesegang, Thomas J, 2007, Herpes Zoster Ophtalmicus Natural History, Risk
Factors, Clinical Presentation And Morbidity. Mayo Clinic College Of Medicine,
Florida
8. Moon CH, 2006, Herpes Zoster Oftalmikus, Diakses dari
www.Emedicine.Com
9. Moon EJ, 2007, Herpes Zoster, Diakses dari www.Emedicine.com.
10. Moore K.L, dalley Arthur, 2007, Clinically oriented anatomy, edisi ke-5,
Lippincott
11. Pedoman Diagnosis Dan Terapi RSUD DR.Soetomo Surabaya, 2006
12. Shaikh S, 2002, Evaluation And Management Of Herpes Zoster, Diakses dari
www.AAFP.org.
13. Vaughan, 2008, General Ophthalmology, The Mc Graw Hill

47

Anda mungkin juga menyukai