Anda di halaman 1dari 41

i

ii
iii
A. Latar Belakang
Gangguan persepsi sensori merupakan permasalahan yang sering
ditemukan seiring dengan perubahan lingkungan yang terjadi secara cepat dan
tidak terduga. Pertambahan usia, variasi penyakit, dan perubahan gaya hidup
menjadi faktor penentu dalam penurunan sistem sensori. Seringkali gangguan
sensori dikaitkan dengan gangguan persepsi karena persepsi merupakan hasil
dari respon stimulus (sensori) yang diterima.
Persepsi merupakan respon dari reseptor sensoris terhadap stimulus
eksternal, juga pengenalan dan pemahaman terhadap sensoris yang
diinterpretasikan oleh stimulus yang diterima (Syaifuddin, 2014). Persepsi
juga melibatkan kognitif dan emosional terhadap interpretasi objek yang
diterima organ sensori (indra). Adanya gangguan persepsi mengindikasikan
adanya gangguan proses sensori pada organ sensori, yaitu penglihatan,
pendengaran, perabaan, penciuman, dan pengecapan. Untuk itu, perlu adanya
pengkajian sistem sensori untuk mengukur derajat gangguan sistem sensori
tersebut.
Adanya makalah ini diharapkan pembaca bisa sedikit mengetahui
pengkjaian pemeriksaan sistem sensori. Dengan mengetahui pengkajan sistem
persepsi sensori diharapkan permasalahan yang muncul dari hasil
pemeriksaan tersebut dapat teridentifikasi secara akurat sehingga dapat
menentukan asuhan keperawatan yang berkualitas. Berdasarkan permasalahan
di atas kami tertarik untuk menulis makalah tentang “Pengkajian Sistem
Persepsi Sensori”.

B. Rumusan Masalah
Sesuai dengan latar belakang di atas, maka diambil rumusan masalah
sebagai berikut.
1. Apakah definisi sistem persepsi sensori?
2. Bagaimana anatomi dan fisiologi sistem persepsi sensori?
3. Bagaiaman pengkajian pada sistem persepsi sensori?

1
2
2

C. Tujuan Penulisan
1. Tujuan umum
Untuk mengetahui pengkajian pada sistem persepsi sensori.
2. Tujuan khusus
a. Untuk mengetahui definisi sistem persepsi sensori.
b. Untuk mengetahui anatomi dan fisiologi sistem persepsi sensori.
c. Untuk mengetahui pengkajian pada sistem persepsi sensori.

D. Manfaat Penulisan
1. Bagi Penulis
Untuk menambah wawasan pengetahuan pengkajian pada sistem persepsi
sensori.
2. Bagi Pembaca
Memberikan wawasan tentang pengkajian pada sistem persepsi sensori,
serta sebagai bahan refrensi dalam pemenuhan tugas tugas yang terkait
dengan sistem persepsi sensori.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi Sistem Persepsi Sensori


Sistem sensoris atau dalam bahasa Inggris sensory system berarti yang
berhubungan dengan panca indra. Sistem ini membahas tentang organ akhir
yang khusus menerima berbagai jenis rangsangan tertentu. Rangsangan
tersebut dihantarkan oleh sensorys neuron (saraf sensoris) dari berbagai organ
indra menuju otak untuk ditafsirkan. Reseptor sensori, merupakan sel yang
dapat menerima informasi kondisi dalam dan luar tubuh untuk dapat direspon
oleh saraf pusat. Implus listrik yang dihantarkan oleh saraf akan diterjemahkan
menjadi sensasi yang nantinya akan diolah menjadi persepsi di saraf pusat.
Sistem persepsi sensori manusia terdiri organ mata, telinga, hidung, lidah, dan
kulit (Syaifuddin, 2014).

B. Anatomi dan Fisiologi Sistem Persepsi Sensori


1. Anatomi dan Fisiologi Sistem Penglihatan (Mata)
Indra penglihatan yang terletak pada mata (organ visus) yang terdiri
dari organ okuli assesoria (alat bantu mata) dan okulus (bola mata). Saraf
indra penglihatan, saraf optikus, muncul dari sel-sel ganglion dalam retina,
bergabung untuk membentuk saraf optikus.
a. Organ Okuli Assesoria
Organ okuli assesoria (alat bantu mata), terdapat di sekitar bola mata
yang sangat erat hubungannya dengan mata, terdiri dari:
1) Kavum orbita, merupakan rongga mata yang bentuknya seperti
kerucut dengan puncaknya mengarah ke depan dan ke dalam.
2) Supersilium (alis mata) merupakan batas orbita dan potongan kulit
tebal yang melengkung, ditumbuhi oleh bulu pendek yang berfungsi
sebagai kosmetik atau alat kecantikan dan sebagai pelindung mata dari
sinar matahari yang sangat terik.

3
3) Palpebra (kelopak mata) merupakan 2 buah lipatan atas dan bawah
kulit yang terletak didepan bulbus okuli. Kelopak mata atas lebih
besar dari

4
4

4) pada kelopak mata bawah. Fungsinya adalah pelindung mata sewaktu-


waktu kalau ada gangguan pada mata.
5) Aparatus lakrimalis (air mata). Air mata dihasilkan oleh kelenjar
lakrimalis superior dan inferior. Melalui duktus ekskretorius
lakrimalis masuk ke dalam sakus konjungtiva. Melalui bagian depan

6) bola mata terus ke sudut tengah bola mata ke dalam kanalis lakrimalis
mengalir ke duktus nasolakrimatis terus ke meatus nasalis inferior.
7) Muskulus okuli (otot mata) merupakan otot ekstrinsik mata terdiri
dari:
a) Muskulus levator palpebralis superior inferior, fungsinya
mengangkat kelopak mata.
b) Muskulus orbikularis okuli otot lingkar mata, fungsinya untuk
menutup mata.
c) Muskulus rektus okuli inferior, fungsinya untuk menutup mata.
d) Muskulus rektus okuli medial, fungsinya menggerakan bola mata.
e) Muskulus obliques okuli inferior, fungsinya menggerakan bola
mata ke dalam dan ke bawah.
f) Muskulus obliques okuli superior, fungsinya memutar mata ke atas,
ke bawah dan ke luar.
8) Konjungtiva. Permukaan dalam kelopak mata disebut konjungtiva
palpebra, merupakan lapisan mukosa. Bagian yang membelok dan
kemudian melekat pada bola mata disebut konjungtiva bulbi. Pada
konjungtiva ini sering terdapat kelenjar limfe dan pembuluh darah.
b. Okulus
Okulus (mata) meliputi bola mata (bulbus okuli). Nervus optikus saraf
otak II, merupakan saraf otak yang menghubungkan bulbu okuli dengan
otak dan merupakan bagian penting organ visus.
c. Tunika okuli
Tonika okuli terdiri dari :
5

1) Kornea, merupakan selaput yang tembus cahaya, melalui kornea kita


dapat melihat membran pupil dan iris. Penampang kornea lebih tebal
dari sklera, terdiri dari 5 lapisan epitel kornea, 2 lamina elastika
anterior (bowmen), 3 subtansi propia, 4 lamina elastika posterior, dan
5 endotelium. Kornea tidak mengandung pembuluh darah peralihan,
antara kornea ke sklera.

Gambar 2.1 Anatomi Mata


2) Sklera, merupakan lapisan fibrosa yang elastis yang merupakan
bagian dinding luar bola mata dan membentuk bagian putih mata.
Bagian depan sklera tertutup oleh kantong konjungtiva.
d. Tunika vaskula okuli
Tunika vaskula okuli merupakan lapisan tengah dan sangat peka oleh
rangsangan pembuluh darah. Lapisan ini menurut letaknya terbagi
menjadi 3 bagian yaitu :
1) Koroid, merupakan selaput yang tipis dan lembab merupakan bagian
belakanang tunika vaskulosa. Fungsinya memberikan nutrisi pada
tunika.
2) Korpus siliaris, merupakan lapisan yang tebal, terbentang mulai dari
ora serata sampai ke iris. Bentuk keseluruhan seperti cincin, dan
muskulus siliaris. Fungsinya untuk terjadinya akomodasi
6

3) Iris, merupakan bagian terdepan tunika vaskulosa okuli, berwarna


karena mengandung pigmen, berbentuk bulat seperti piring dengan
penampang 12 mm, tebal 12 mm, di tengah terletak bagian berlubang
yang disebut pupil. Pupil berguna untuk mengatur cahaya yang masuk
ke mata, sedangkan ujung tepinya melanjut sampai korpus siliaris.
Pada iris terdapat 2 buah otot: muskulus sfingter pupila pada pinggir
iris, muskulus dilatator pupila terdapat agak pangkal iris dan banyak
mengandung pembuluh darah dan sangat mudah terkena radang, bisa
menjalar ke korpus siliaris.
e. Tunika nervosa
Tunika nervosa merupakan lapisan terdalam bola mata, disebut retina.
Retina dibagi atas 3 bagian :
1) Pars optika retina, dimulai dari kutub belakang bola mata sampai di
depan khatulistiwa bola mata.
2) Pars siliaris, merupakan lapisan yang dilapisi bagian dalam korpus
siliar.
3) Pars iridika melapisi bagian permukaan belakang iris (Syaifuddin,
2014).

2. Anatomi dan Fisiologi Sistem Pendengaran (Telinga)


Indra pendengaran merupakan salah satu alat pancaindra untuk
mendengar. Anatomi telinga terdiri dari telinga bagian luar, tengah, dan
dalam.
a. Telinga bagian luar

Aurikula (daun telinga), menampung gelombang suara yang datang


dari luar masuk ke dalam telinga. Meastus akustikus eksterna (liang
telinga). Saluran penghubung aurikula dengan membran timpan,
panjangnya 2,5 cm, terdiri dari tulang rawan dan tulang keras. Saluran ini
mengandung rambut, kelenjar subasea. Dan kelenjar keringat khususnya
menghasilkan sekret-sekret berbentuk serum.
Membran timpani antara telinga luar dan telinga tengah terdapat
7

selaput gendang telinga yang disebut membran typani.

Gambar 2.2 Anatomi Telinga Bagian Luar


b. Telinga bagian tengah

Kavum timpani, rongga didalam tulang temporalis yang didalamnya


terdapat 3 buah tulang pendengaran yaitu maleus, incus, stapes yang
melekat pada bagian dalam membra timpani.
Antrum timpani merupakan rongga tidak teratur yang agak luas,
terletak dibagian bawah samping dari kavum timpani. Antrum timpani
dilapisi oleh mukosa, merupakan lanjutan dari lapisan mukosa kavum
timpani. Rongga ini berhubungan dengan beberapa rongga kecil yang
disebutn sellula mastoid yang terdapat dibelakang bawah antrum, di
dalam tulang temporalis.
Tuba auditiva eustaki. Saluran tulang rawan yang panjangnya 3,7 cm
berjalan miring ke bawah agak ke depan, dilapisi oleh lapisan mukosa.
8

Gambar 2.3 Anatomi Telinga Bagian Tengah


c. Telinga bagian dalam

Telinga bagian dalam terletak pada bagian tulang keras pilorus


temporalis, terdapat reseptor pendengaran, dan alat pendengaran ini
disebut labirin.
1) Labiritus osseous, serangkaian saluran bawah dikelilingi oleh cairan
yang dinamakan perilimfe. Labiritus osseous terdiri dari vestibulum,
koklea, dan kanalis semisirkularis.
2) Labirintus membranous, terdiri dari:
a) Utrikulus, bentuknya seperti kantong lonjong dan agak gepeng
terpaut pada tempatnyaoleh jaringan ikat. Pada dinding belakang
utrikulus terdapat muara dari duktus semisirkularis dan pada
dinding depannya ada tabung halus disebut utrikulosa sirkularis,
saluran yang menghubungkan antara utrikulus dan sakulus.
b) Sakulus, bentuknya agak lonjong lebih kecil dari utrikulus, terletak
pada bagian depan dan bawah dari vestibulum dan terpaut erat oleh
jaringan ikat.
c) Duktus semisirkularis. Ada tiga tabung selaput semisirkularis yang
berjalan pada kanalis semesirkularis (superior, posterior, dan
lateralis). Bagian duktus yang melebar disebut dengan ampula
selaput. Setiap ampula mengandung celah sulkus ampularis
merupakan tempat masuknya cabang ampula nervus akustikus.
9

d) Duktus koklearis merupakan saluran yang bentuknya agak segitiga


seolah-olah membuat batas pada koklea timpani. Duktus koklearis
mulai dari kantong buntu (seikum vestibular)ndan berakhir tepat
diseberang kanalis lamina spiralis pada kantong buntu (seikum
ampulare) (Heharia et al, 2011).

Gambar 2.4 Anatomi Telinga Bagian Dalam

3. Anatomi dan Fisiologi Sistem Pembau (Hidung)


Struktur hidung luar berbentuk piramida tersusun oleh sepasang tulang
hidung pada bagian superior lateral dan kartilago pada bagian inferior
lateral. Struktur tersebut membentuk piramid sehingga memungkinkan
terjadinya aliran udara di dalam kavum nasi. Dinding lateral kavum nasi
tersusun atas konka inferior, media, superior dan meatus. Meatus
merupakan ruang di antara konka. Meatus media terletak di antara konka
media dan inferior yang mempunyai peran penting dalam patofisiologi
rinosinusitis karena melalui meatus ini kelompok sinus anterior (sinus
frontal, sinus maksila dan sinus etmoid anterior) berhubungan dengan
hidung. Meatus inferior berada di antara konka inferior dan dasar rongga
hidung. Pada permukaan lateral meatus lateral terdapat muara duktus
nasolakrimalis.
10

Septum nasi merupakan struktur tengah hidung yang tersusun atas


lamina perpendikularis os etmoid, kartilago septum, premaksila dan
kolumela membranosa. Deviasi septum yang signifikan dapat menyebabkan
obstruksi hidung dan menekan konka media yang menyebabkan obstruksi
kompleks ostiomeatal dan hambatan aliran sinus. Meatus inferior berada
diantara konka inferior dan rongga hidung. Pada permukaan lateral meatus
lateral terdapat muara duktus nasolakrimalis.

Gambar 2.5 Anatomi Dinding Lateral Hidung


Perdarahan hidung berasal dari a. etmoid anterior, a. etmoid posterior
cabang dari a. oftalmika dan a. sfenopalatina. Bagian anterior dan superior
septum dan dinding lateral hidung mendapatkan aliran darah dari a. etmoid
anterior, sedangkan cabang a. etmoid posterior yang lebih kecil hanya
mensuplai area olfaktorius. Terdapat anastomosis di antara arteri-arteri
hidung di lateral dan arteri etmoid di daerah antero-inferior septum yang
disebut pleksus Kiesselbach. Sistem vena di hidung tidak memiliki katup
dan hal ini menjadi predisposisi penyebaran infeksi menuju sinus
kavernosus. Persarafan hidung terutama berasal dari cabang oftalmikus dan
cabang maksila nervus trigeminus.
Fungsi fisiologi hidung adalah penghidu, filtrasi, proteksi,
humidifikasi, penghangat udara dan resonansi suara. Sistem vaskuler dan
sekresi hidung berperan penting dalam mempersiapkan udara inspirasi
sebelum masuk ke saluran napas atas dan trakeobronkial. Saat inspirasi
11

udara masuk ke vestibulum dengan arah vertikal oblik dan mengalami aliran
laminar. Ketika udara mencapai nasal valve terjadi turbulen sehingga udara
inspirasi langsung mengadakan kontak dengan permukaan mukosa hidung
yang luas. Aliran turbulen tersebut tidak hanya meningkatkan fungsi
penghangat dan humidifikasi tetapi juga fungsi proteksi.
Sinus paranasal terdiri atas empat pasang yaitu sinus maksila, sinus
etmoid, sinus sfenoid dan sinus frontal. Mukosa sinus dilapisi oleh epitel
respiratorius pseudostratified yang terdiri atas empat jenis sel yaitu sel
kolumnar bersilia, sel kolumnar tidak bersilia, sel mukus tipe goblet dan sel
basal. Membran mukosa bersilia bertugas menghalau mukus menuju ostium
sinus dan bergabung dengan sekret dari hidung. Jumlah silia makin
bertambah saat mendekati ostium. Ostium adalah celah alamiah tempat
sinus mengalirkan drainasenya ke hidung. Jumlah silia makin bertambah
saat mendekati ostium.
Berdasarkan lokasi perlekatan konka media dengan dinding lateral
hidung, sinus dibagi menjadi kelompok sinus anterior dan posterior.
Kelompok sinus anterior terdiri dari sinus frontal, maksila dan etmoid
anterior yang bermuara ke dalam atau dekat infundibulum. Kelompok sinus
posterior terdiri dari etmoid posterior dan sinus sfenoid yang bermuara di
atas konka media. Fungsi utama sinus paranasal adalah mengeliminasi
benda asing dan sebagai pertahanan tubuh terhadap infeksi melalui tiga
mekanisme yaitu terbukanya kompleks osteomeatal, transport mukosiliar
dan produksi mukus yang normal.
12

Gambar 2.6 Penampang Koronal Sinus Paranasal


Kompleks ostiomeatal atau KOM adalah jalur pertemuan drainase
kelompok sinus anterior yang terdiri dari meatus media, prosesus unsinatus,
hiatur semilunaris, infundibulum etmoid, bula etmoid, ostium sinus maksila
dan resesus frontal. KOM bukan merupakan struktur anatomi tetapi
merupakan suatu jalur yang jika mengalami obstruksi karena mukosa yang
inflamasi atau massa yang akan menyebabkan obstruksi ostium sinus, stasis
silia dan terjadi infeksi sinus.

Gambar 2.7 Kompleks ostiomeatal (KOM), potongan koronal


Sinus maksila disebut juga antrum Highmore merupakan sinus
paranasal terbesar. Dasar sinus dibentuk oleh prosesus alveolaris os maksila
13

dan palatum durum. Dinding anteriornya berhadapan dengan fosa kanina.


Gigi premolar ke dua, gigi molar pertama dan ke dua tumbuh dekat dengan
dasar sinus dan hanya dipisahkan oleh membran mukosa, sehingga proses
supuratif di sekitar gigi tersebut dapat menjalar ke mukosa sinus. Silia sinus
maksila membawa mukus dan debris langsung ke ostium alamiah di meatus
media. Perdarahan sinus maksila dilayani oleh cabang a. maksila interna
yaitu a. infraorbita, a. sfenopalatina cabang nasal lateral, a. palatina
descendens, a. alveolar superior anterior dan posterior. Inervasi mukosa
sinus maksila dilayani oleh cabang nasal lateroposterior dan cabang alveolar
superior n. Infraorbital.
Sinus frontal merupakan pneumatisasi superior os frontal oleh sel
etmoid anterior. Sinus ini mengalirkan drainasenya melalui resesus frontal.
Perdarahan dilayani oleh cabang supratroklear dan suborbital a. oftalmika,
sedangkan vena dialirkan ke sinus kavernosus. Inervasi mukosa dilayani
oleh cabang supratrokhlear dan supraorita n. V1.
Sinus etmoid terdiri dari sel etmoid anterior yang bermuara ke
infundibulum di meatus media dan sel etmoid posterior yang bermuara ke
meatus superior. Cabang nasal a. sfenopalatina dan a. etmoid anterior dan
posterior, cabang a. oftalmika dari sistem karotis interna melayani sinus
etmoid dan aliran venanya menuju sinus kavernosus. Inervasi dilayani oleh
cabang nasal posterior nervus V2 dan cabang etmoid anterior dan posterior
nervus V1.
Sinus sfenoid merupakan sinus terakhir yang mengalami
perkembangan yaitu pada usia dewasa awal. Struktur penting yang terletak
dekat dengan sinus ini yaitu n.optikus dan kelenjar hipofisis yang terletak di
atas sinus, pons serebri di posterior, di lateral sinus sfenoid terdapat sinus
kavernosus, fisura orbitalis superior, a.karotis dan beberapa serabut nervus
kranialis. Perdarahan dilayani oleh cabang a. sfenopalatina dan a. etmoid
posterior. Inervasinya dipersarafi oleh cabang etmoid posterior nervus V1
dan cabang sfenopalatina nervus V2.
14

Fungsi utama sinus paranasal adalah mengeliminasi benda asing dan


sebagai pertahanan tubuh terhadap infeksi melalui tiga mekanisme, yaitu:
terbukanya kompleks ostiomeatal, transpor mukosilia dan produksi mukus
yang normal. Faktor yang berperan dalam memelihara fungsi sinus
paranasalis adalah patensi KOM, fungsi transport mukosiliar dan produksi
mukus yang normal. Patensi KOM memiliki peranan yang penting sebagai
tempat drainase mukus dan debris serta memelihara tekanan oksigen dalam
keadaan normal sehingga mencegah tumbuhnya bakteri. Faktor transport
mukosiliar sangat tergantung pada karakteristik silia yaitu struktur, jumlah
dan koordinasi gerakan silia. Produksi mukus juga bergantung kepada
volume dan viskoelastisitas mukus yang dapat mempengaruhi transport
mukosiliar (Ballenger, 2016).

4. Anatomi dan Fisiologi Sistem Perasa (Lidah)


a. Anatomi Lidah
Lidah terdiri dari dua kelompok yaitu otot intrinsik melakukan
gerakan halus dan otot ekstrinsik yang melaksanakan gerak kasar pada
waktu mengunyah dan menelan. Lidah terletak pada dasar mulut,
ujung,serta tepi lidah bersentuhan dengan gigi, dan terdiri dari otot serat
lintang dan dilapisi oleh selaput lendir yang dapat digerakan ke segala
arah. Lidah terbagi menjadi:
1) Radiks lingua (pangkal lidah)
2) Dorsum lingua (punggung lidah)
3) Apeks lingua (ujung lidah)

Bila lidah digulung ke belakang tampak permukaan bawah yang


disebut frenulum lingua, sebuah struktur ligamen yang halus yang
mengaitkan bagian posterior lidah pada dasar mulut. Permukaan atas
seperti berludru dan ditutupi pupil-pupil, terdiri dari tiga jenis yaitu:
1) Papila sirkumvalata
15

2) Papila fungiformis
3) Papila filiformis (Syaifuddin, 2014).

Gambar 2.8 Anatomi Lidah


b. Fisiologi Lidah
Seluruh rasa dapat dirasakan oleh seluruh permukaan lidah. Rasa
yang dapat dirasakan indera pengecap yaitu manis, asin, asam dan pahit
yang dikenal dengan istilah sensasi rasa primer. Selain itu, ada rasa
kelima yang telah teridentifikasi yakni umami yang dominan ditemukan
pada L-glutamat. Lima rasa yang dapat dikecap lidah ;
1) Rasa manis
Hampir semua zat yang dapat menyebabkan rasa manis merupakan zat
kimia organik seperti gula, glikol, alkohol, aldehida, keton, amida,
ester, asam amino, asam sulfonat, dan asam halogen. Sedangkan zat
anorganik yang dapat menimbulkan rasa manis adalah timah hitam
dan berilium. Daerah sensitivitas rasa manis terdapat pada apex
lingua.
2) Rasa asam
Rasa asam disebabkan oleh suatu golongan asam. Makin asam suatu
makanan maka sensasi rasa asamnya semakin kuat. Daerah
sensitivitas rasa asam terdapat pada sepanjang tepi lateral lidah bagian
posterior.
3) Rasa Asin
16

Rasa asin ditimbulkan oleh garam terionisasi terutama konsentrasi ion


sodium. Antara satu garam dengan garam lainnya memiliki kualitas
rasa asin yang sedikit berbeda dikarenakan beberapa jenis garam
mengeluarkan rasa lain disamping rasa asin. ) Daerah sensitivitas rasa
asin terdapat pada sepanjang tepi
lateral lidah bagian anterior
4) Rasa pahit
Zat-zat yang memberikan rasa pahit semata-mata hampir semua
merupakan zat organik. Daerah sensitivitas rasa pahit terdapat pada
dorsum lidah bagian posterior.
5) Rasa umami
Rasa umami mempunyai ciri khas yang jelas berbeda dari keempat
rasa lain, termasuk sincrgisme peningkat rasa antara dua senyawa
umami yaitu L-glutamat dan 5’- ribomulceotides. Umami adalah rasa
yang dominan ditemukan dalam ekstrak daging dan keju (Guyton dan
Hall, 2014).

5. Anatomi dan Fisiologi Sistem Peraba (Kulit)


a. Anatomi Kulit
Kulit manusia tersusun atas dua lapisan, yaitu epidermis dan dermis.
Epidermis merupakan lapisan teratas pada kulit manusia dan memiliki
tebal yang berbeda-beda: 400−600 μm untuk kulit tebal (kulit pada
telapak tangan dan kaki) dan 75−150 μm untuk kulit tipis (kulit selain
telapak tangan dan kaki, memiliki rambut). Selain sel-sel epitel,
epidermis juga tersusun atas lapisan:
1) Melanosit, yaitu sel yang menghasilkan melanin melalui proses
melanogenesis.
2) Sel Langerhans, yaitu sel yang merupakan makrofag turunan sumsum
tulang yang merangsang sel Limfosit T. Sel Langerhans juga
mengikat, mengolah, dan merepresentasikan antigen kepada sel
17

Limfosit T. Dengan demikian, sel Langerhans berperan penting dalam


imunologi kulit.
3) Sel Merkel, yaitu sel yang berfungsi sebagai mekanoreseptor sensoris
dan berhubungan fungsi dengan sistem neuroendokrin difus d.
Keratinosit, yang secara bersusun dari lapisan paling luar hingga
paling dalam sebagai berikut:

Gambar 2.9 Anatomi Kulit


a) Stratum Korneum, terdiri atas 15−20 lapis sel gepeng, tanpa inti
dengan sitoplasma yang dipenuhi keratin.
b) Stratum Lucidum, terdiri atas lapisan tipis sel epidermis eosinofilik
yang sangat gepeng.
c) Stratum Granulosum, terdiri atas 3−5 lapis sel poligonal gepeng
yang sitoplasmanya berisikan granul keratohialin.
d) Stratum Spinosum, terdiri atas sel-sel kuboid. Sel-sel spinosum
saling terikat dengan filamen.
e) Stratum Basal/Germinativum, merupakan lapisan paling bawah
pada epidermis, terdiri atas selapis sel kuboid
Dermis, yaitu lapisan kulit di bawah epidermis. Dermis terdiri atas
dua lapisan dengan batas yang tidak nyata, yaitu stratum papilare dan
stratum reticular.
18

- Stratum papilare, yang merupakan bagian utama dari papila dermis,


terdiri atas jaringan ikat longgar. Pada stratum ini didapati fibroblast,
sel mast, makrofag, dan leukosit yang keluar dari pembuluh
(ekstravasasi). b. Stratum retikulare, yang lebih tebal dari stratum
papilare dan tersusun atas jaringan ikat padat tak teratur (terutama
kolagen tipe I). Selain kedua stratum di atas, dermis juga mengandung
beberapa turunan epidermis, yaitu folikel rambut, kelenjar keringat,
dan kelenjar. Pada bagian bawah dermis, terdapat suatu jaringan ikat
longgar yang disebut jaringan subkutan dan mengandung sel lemak
yang bervariasi. Jaringan ini disebut juga fasia superficial, atau
panikulus adiposus.
- Stratum papilare, yang merupakan bagian utama dari papila dermis,
terdiri atas jaringan ikat longgar. Pada stratum ini didapati fibroblast,
sel mast, makrofag, dan leukosit yang keluar dari pembuluh
(ekstravasasi). b. Stratum retikulare, yang lebih tebal dari stratum
papilare dan tersusun atas jaringan ikat padat tak teratur (terutama
kolagen tipe I). Selain kedua stratum di atas, dermis juga mengandung
beberapa turunan epidermis, yaitu folikel rambut, kelenjar keringat,
dan kelenjar sebacea. Pada bagian bawah dermis, terdapat suatu
jaringan ikat longgar yang disebut jaringan subkutan dan mengandung
sel lemak yang bervariasi. Jaringan ini disebut juga fasia superficial,
atau panikulus adiposus (Syaifuddin, 2014).
b. Fisiologi Kulit
Sama halnya dengan jaringan pada bagian tubuh lainnya, kulit juga
melakukan respirasi (bernapas), menyerap oksigen dan mengeluarkan
karbondioksida. Namun, respirasi kulit sangat lemah. Kulit lebih banyak
menyerap oksigen yang diambil dari aliran darah, dan hanya sebagian
kecil yang diambil langsung dari lingkungan luar (udara). Begitu pula
dengan karbondioksida yang dikeluarkan, lebih banyak melalui aliran
darah dibandingkan dengan yang diembuskan langsung ke udara.
Meskipun pengambilan oksigen oleh kulit hanya 1,5 persen dari yang
19

dilakukan oleh paru-paru, dan kulit hanya membutuhkan 7 persen dari


kebutuhan oksigen tubuh (4 persen untuk epidermis dan 3 persen untuk
dermis), pernapasan kulit tetap merupakan proses fisiologis kulit yang
penting. Pengambilan oksigen dari udara oleh kulit sangat berguna bagi
metabolisme di dalam sel-sel kulit. Penyerapan oksigen ini penting,
namun pengeluaran atau pembuangan karbondioksida (CO2) tidak kalah
pentingnya, karena jika CO2 menumpuk di dalam kulit, ia akan
menghambat pembelahan (regenerasi) sel-sel kulit. Kecepatan
penyerapan oksigen ke dalam kulit dan pengeluaran CO2 dari kulit
tergantung pada banyak faktor diluar maupun di dalam kulit, seperti
temperatur udara, komposisi gas di sekitar kulit, kelembaban udara,
kecepatan aliran darah ke kulit, usia, keadaan vitamin dan hormon di
kulit, perubahan dalam proses metabolisme sel kulit, pemakaian bahan
kimia pada kulit, dan lain-lain (Guyton dan Hall, 2014).

C. Pengkajian Sistem Persepsi Sensori


1. Pengkajian Sistem Penglihatan (Mata)
a. Anamnesa Gangguan Penglihatan
1) Data Umum: nama, jenis kelamin, umur, pekerjaan
2) Keluhan Utama: Mata merah, Mata berair, Mata gatal, Mata Nyeri,
Belekan, Gangguan penglihatan (Kabur, penglihatan ganda/diplopia,
buta), Timbilan, Kelilipan.
3) Riwayat Penyakit Dahulu: Diabetes Mellitus, Hipertensi, Trauma 2.
b. Mengkaji keluhan utama
1) Apakah gangguan terjadi pada saat melihat jauh atau dekat?
2) Onset mendadak atau gradual?
3) Di seluruh lapang pandang atau sebagian?
4) Jika sebagian letaknya di sebelah mana?
20

5) Diplopia satu mata atau kedua mata? Apakah persisten jika mata
ditutup sebelah?
6) Adakah gejala sistemik lain: demam, malaise.
c. Pemeriksaan mata
1) Inspeksi mata
a) Bentuk dan penyebaran alis dan bulu mata. Apakah bulu mata
lentik, kebawah atau tidak ada. Fungsi alis dan bulu mata untuk
mencegah mauknya benda asing (debu) untuk mencegah iritasi atau
mata kemerahan.
b) Lihat sclera dan konjungtiva.
(1)Konjungtiva, dengan menarik palpebral inferior dan meminta
klien melihat keatas. Amati warna, anemis atau tidak, apakah
ada benda asing atau tidak
(2)Sclera, dengan menarik palpebral superior dan meminta klien
melihat ke bawah.
c) Amati kemerahan pada sclera, icterus, atau produksi air mata
berlebih. Amati kedudukan bola mata kanan kiri simetris atau
tidak, bola mata keluar (eksoptalmus) atau ke dalam (endoftalmus).
d) Palpebral turun menandakan kelemahan atau atropi otot, atau
hiperaktivitas palpebral yang menyebabkan kelopak mata terus
berkedip tak terkontrol.
e) Observasi celah palpebral. Minta klien memandang lurus ke depan
lalu perhatikan kedudukan kelopak mata terhadap pupil dan iris.
Normal jika simetris. Adanya kelainan jika celah mata menyempit
(ptosis, endoftalmus, blefarospasmus) atau melebar (eksoftalmus,
proptosis)
f) Kaji sistem lakrimasi mata dengan menggunakan kertas lakmus
untuk mendapatkan data apakah mata kering atau basah yang
artinya lakrimasi berfungsi baik ( Schime test).
g) Kaji sistem pembuangan air mata dengan uji anel test. Yaitu
dengna menggunakan spuit berisi cairan, dan berikan pada kanal
21

lakrimal.
2) Reflek pupil
a) Gunakan penlight dan sinari mata kanan kiri dari lateral ke medial.
Amati respon pupil langsung. Normalnya jika terang, pupil
mengecil dan jika gelap pupil membesar.
b) Amati ukuran lebar pupil dengan melihat symbol lingkaran yang
ada pada badan penlight dan bagaimana reflek pupil tersebut,
isokor atau anisokor.
c) Interpretasi: -Normal : Bentuk pupil (bulat reguler), Ukuran pupil :
2 mm – 5 mm, Posisi pupil ditengah-tengah, pupil kanan dan kiri
Isokor, Reflek cahaya langsung (+) dan Reflek cahaya konsensuil
atau pada cahaya redup (+). Kelainan : Pintpoin pupil, Bentuk
ireguler, Anisokor dengan kelainan reflek cahaya dan ukuran pupil
kecil atau besar dari normal (3-4 mm) 3.3.
3) Lapang pandang / tes konfrontasi
a) Dasarnya lapang pandang klien normal jika sama dengan
pemeriksa. Maka sebelumnya, pemeriksa harus memiliki lapang
pandang normal. LP klien = LP pemeriksa.
b) Normalnya benda dapat dilihat pada: 60 derajat nasal, 90 derajat
temporal, 50 derajat , dan atas 70 derajat bawah.
c) Cara pemeriksaan :
(1)Klien menutup mata salah satu, misalnya kiri tanpa menekan
bola mata.
(2)Pemeriksa duduk di depan klien dg jarak 60cm sama tinggi
dengan klien. Pemeriksa menutup mata berlawanan dengan
klien, yaitu kanan. Lapang pandang pemeriksa dianggap sebagai
referensi (LP pemeriksa harus normal)
(3)Objek digerakkan dari perifer ke central (sejauh rentangan
tangan pemeriksa) dari delapan arah pada bidang ditengah
pemeriksa dan klien
(4)Lapang pandang klien dibandingkan dengan pemeriksa. Lalu
22

lanjutkan pada mata berikutnya


4) Pemeriksaan otot ekstraokuler
a) Minta klien melihat jari, dan anda menggerakkan jari anda. Minta
klien mengikuti gerak jari, dengan 8 arah dari central ke perifer.
b) Amati gerakan kedua mata, simetris atau ada yang tertinggal

Gambar 2.10 Pemeriksaan otot ekstraokuler

5) Sensibilitas kornea
a) Bertujuan mengetahui bagaimana reflek sensasi kornea dengan
menggunakan kapas steril.
b) Cara pemeriksaan :
1) Bentuk ujung kapas dengan pinset steril agar runcing dan halus
2) Fiksasi mata pasien keatas agar bulu mata tidak tersentuh saat
kornea disentuh
3) Fiksasi jari pemeriksa pada pipi pasien dan ujung kapas yang
halus dan runcing disentuhkan dengan hati-hati pada kornea,
mulai pada mata yang tidak sakit.
c) Intrepetasi : dengan sentuhan, maka mata akan reflek berkedip.
Nilai dengan membandingkan sensibilitas kedua mata klien.
23

6) Pemeriksaan visus / ketajaman penglihatan


a) Snellen card
(1)Menggunakan kartu snellen dengan mengganttungkan kartu
pada jarak 6 atau 5 meter dari klien.
(2)Pemeriksaan dimulai dengan mata kanan, maka minta klien
untuk tutup dengan penutup mata atau telapak tangan tanpa
menekan bolamata
(3)Pasien disuruh membaca huruf SNELLEN dari baris paling atas
ke bawah. Hasil pemeriksaan dicatat, kemudian diulangi untuk
mata sebelahnya.
(4)HASIL :
(a)VOD 6/6 &VOS 6/6
(b)6/6 pasien dapat membaca seluruh huruf dideretan 6/6 pada
snellen chart
(c)6/12 pasien bisa membaca sampai baris 6/12 pada snellen
chart
(d)6/30 pasien bisa membaca sampai baris 6/30 pada snellen
chart
24

Gambar 2.11 Snellen card


b) Hitung jari
(1)Apabila tidak bisa membaca huruf Snellen pasien diminta
menghitung jari pemeriksa pada jarak 3 meter
(2)3/60 pasien bisa hitung jari pada jarak 3 meter.
(3)1/60 bila klien dapat membaca pada jarak 1 meter
c) Pergerakan jari
(1)Tidak bisa hitung jari, maka dilakukan pemeriksaan gerakan
tangan didepan pasien dengan latar belakang terang. Jika pasien
dapat menentukan arah gerakan tangan pada jarak 1 m
(2)VISUS 1/300 (Hand Movement/HM) kadang kala sdh perlu
menentukan arah proyeksinya
d) Penyinaran
(1)Jika tidak bisa melihat gerakan tangan dilakukan penyinaran
dengan penlight ke arah mata pasien.
(2)Apabila pasien dapat mengenali saat disinari dan tidak disinari
dari segala posisi (nasal,temporal,atas,bawah) maka tajam
penglihatan V = 1/ ~ proyeksi baik (Light Perception/LP).
(3)Jika tidak bisa menentukan arah sinar maka penilaian V = 1/ ~
(LP, proyeksi salah).
(4)Jika sinar tidak bisa dikenali maka tajam penglihatan dinilai V=
0 (NLP). Bila tidak dapat melihat sinar senter disebut BUTA
TOTAL (tulis 00/000)
e) Pemeriksaan dengan pinhole
(1)Bila responden tidak dapat melanjutkan lagi bacaan huruf di
kartu Snellen atau kartu E maka pada mata tersebut dipasang
PINHOLE
(2)Dengan pinhole responden dapat melanjutkan bacaannya sampai
baris normal (20/20) berarti responden tersebut gangguan
refraksi
(3)Bila dengan pinhole responden tidak dapat melanjutkan
25

bacaannya maka disebut katarak


(4)Bila responden dapat membaca sampai baris normal 20/20 tanpa
pinhole maka responden tidak perlu dilakukan pemeriksaan
dengan menggunakan pinhole

Gambar 2.12 Pemeriksaan dengan pinhole


f) Pemeriksaan buta warna
(1)Pasien diminta menyebutkan berapa angka yang tampak di kartu
(2)Orang normal mampu meyebutkan angka 74 buta waran merah
hijau menyebutkan angka 21

Gambar 2.13 Pemeriksaan Buta Warna


g) Memeriksa tekanan intra okuler
(1)Rerata Tekanan Intra Okular normal ± 15 mmHg, dengan batas
antara 12- 20 mmHg
(2)Alat yang digunakan: Tonometer Schiotz, Lidocaine 2%/
Panthocaine tetes mata, Chloramphenicol zalf mata 2% ,Kapas
alkohol 70%.
2. Pengkajian sistem pendengaran (telinga)
a. Anamnesa gangguan pendengaran
1) Faktor yg memperberat (riwayat sering mengorek kuping, sering
menyiram telinga dgn air)
2) Faktor-faktor lingkungan. Misal tempat pekerjaan dilingkungan yang
26

bising ia akan mengalami penurunan pendengaran.


b. Tanda dan gejala
1) Sulit mengerti pembicaraan
2) Sulit mendengar dlm lingkungan yg bising
3) Salah menjawab
4) Meminta lawan bicara utk mengulang pembicaraannya
5) Mengalami masalah mendengar pembicaraan di telpon
c. Inspeksi
1) Aurikel : bentuk, letak, masa, lesi
2) MAE : Patensi, Otore (jenis,warna,bau), cerumen, hiperemi, furunkel
3) Membrana timphany : intak, perforasi, hiperemia, bulging, retraksi,
colesteatoma
4) Antrum mastoid : abces, hiperemia, nyeri perabaan
5) Hearing aid : tipe, jenis
d. Pemeriksaan fisik
Pada telinga dapat menggunakan berbagai macam alat dan rangkaian tes.
Seperti otoskop, garpu tala, ear speculum, dan head lamp untuk
membantu pemeriksa mendapat sinar yang cukup

Gambar 2.14 Alat untuk Pemeriksaan Fisik Telinga


1) Otoskop
a) Untuk meluruskan kanal pada orang dewasa/anak besar tarik
aurikula ke atas dan belakang, pada bayi tarik aurikula ke belakang
27

dan bawah
b) Masukkan otoskop ke dalm telinga ± 1,-1,5 cm
c) Normal: terlihat sedikit serumen, dasar berwarna pink, rambut
halus
d) Abnormal: merah (inflamasi), rabas, lesi, benda asing, serumen
padat
e) Membran timpani dapat terlihat, normalnya tembus cahaya,
mengkilat, abu-abu dan tampak seperti mutiara, utuh.
2) Tes berbisik
a) Kata-kata yg diucapkan: Satu atau dua kata untuk menghindari
menebak, dapat dikenal klien, bukansingkatan, kata benda atau kata
kerja.
b) Cara:
(1)Pasien ditempat, pemeriksa berpindah-pindah dari jarak
1,2,3,4,5,6 meter.
(2)Mulai jarak 1 m pemeriksa membisikan 5/10 kata.
(3)Bila semua kata benar mundur 2 m, bisikan kata yang sama. Bila
jawaban benar mundur 4-5 m (Hanya dpt mendengar 80% 
jarak tajam pendengaran sesungguhnya)
(4)Untuk memastikan tes ulang pd jarak 3 M bila benar semua
maju 2 – 1 M.
c) Interfensi Secara Kuantitas ( Leucher )
(1)6 meter : normal - 4-6 meter : praktis normal/ tuli ringan
(2)1-4 meter : tuli sedang
(3)< 1 meter : tuli berat - Berteriak didepan telinga tidak
mendengar : Tuli Total
d) Interfensi secara Kualitatif
(1)Tidak dapat mendengar huruf lunak (frekuensi rendah) = TULI
KONDUKSI. Misal Susu : terdengar S S.
(2)Tidak dapat mendengar huruf desis (frekuensi tinggi) = TULI
SENSORI. Misal : Susu terdengar U U.
28

3. Tes suara bisik modifikasi


Pelaksanaan:
a) Dilakukan diruang kedap suara.
b) Pemeriksa duduk dibelakang klien sambil melakukan masking.
c) Bisikan 10 kata dengan intensitas suara yg lebih rendah.
d) Untuk memperpanjang jarak jauhkan mulut pemeriksa dari klien.
e) Bila mendengar 80 % pendengaran normal.

4. Tes rinne

Gambar 2.15 Tes Rinne


a) Membandingkan hantaran melalui udara dan hantaran melalui tulan
b) Garpu tala deng frek 128, 256, dan 512 Hz
c) Tekan garpu tala di tulang mastoid smpai tdk terdengar lalu
pindahkan ke dpn telinga Rinne + (dpn telinga masih terdengar)
d) Interpretasi :
(1)Normal = HU : HT = 2:1
29

(2)Masih terdengar → Rinne (+) : intensitas HU > HT →Telinga


normal atau tuli saraf
(3)Tidak terdengar → Rinne (-) : intensitas HU < HT → Tuli
Konduktif
5. Tes weber
a) Tujuan : membandingkan hantaran tulang telinga kiri dengan
telinga kanan
b) Cara pemeriksaan: Penala digetarkan, asar penala diletakkan pada
garis tengah kepala : ubun-ubun, glabella, dagu, pertengahan gigi
seri → paling sensitif)
c) Normal mendengar bunyi sama di kedua telinga
d) Jika bunyi lebih keras pada telinga yg sehat (tuli saraf)
e) Jika bunyi lebih keras pada telinga yg sakit (tuli konduksi)

Gambar 2.16 Tes weber


6. Tes schwaback
a) Dibandingkan dengan pemeriksa, garpu tala diletakkan di depan
telinga (kond udara)
b) Dibandingkan dengan pemeriksa, garpu tala diletakkan di tlg
mastoid (kond tulang)
30

Gambar 2.17 Tes Schwaback

3. Pengkajian sistem penciuman


a. Anamnesa sistem penciuman
1) Hidung ekternal : bentuk, ukuran, warna kulit. Normalnya : simetris,
warna sama dg wajah Abnormal: deformitas, bengkak, merah.
2) Nares Anterior : Inspeksi warna mukosa, lesi, rabas, perdarahan
(epistaksis), bengkak Mukosa normal: pink, lembab, tanpa lesi
Abnormal: Rabas mukoid (rinitis), rabas kuning kehijauan (sinusitis)
3) Septum & turbinat : Kepala ditengadahkan. Septum diinspekssi
kesejajaran, perforasi atau perdarahan, normal septum dekat dg garis
tengah, bagian anterior lebih tebak dan padat daripada posterior Lihat
adanya polip
b. Palpasi
1) Palpasi dg hati2 punggung hidung dan jaringan lunak dg
menempatkan 1 jari di setiap sisi lengkung hidung dan secara hati2
menggerakkan jari dari batang hidung ke ujung hidung
2) Nyeri tekan, massa, penyimpangan
3) Normal struktur hidung keras dan stabil
4) Kepatenan lubang hidung dapt dikaji dg jari diletakkan disis hidung
dan menyumbat 1 lubang hidung, klien bernapas dg mulut tertutup
c. Pemeriksaan N.I Olfaktorius
1) Membau :
a) Siapkan bahan-bahan berbau seperti kopi, jeruk, kamper, dll
31

b) Minta klien menutup mata


c) Lalu minta klien membau dan meneba hasilnya
2) Tes Odor stix
Tes Odor stix menggunakan sebuah pena ajaib mirip spidol yang
menghasilkan bau-bauan. Pena ini dipegang dalam jarak sekitar 3-6
inci dari hidung pasien untuk memeriksa persepsi bau oleh pasien
secara kasar.
3) Tes alkohol 12 inci
Satu lagi tes yang memeriksa persepsi kasar terhadap bau, tes alkohol
12 inci, menggunakan paket alkohol isopropil yang baru saja dibuka
dan dipegang pada jarak sekitar 12 inci dari hidung pasien. 4.
4) Scratch and sniff card (Kartu gesek dan cium)
Tersedia scratch and sniff card yang mengandung 3 bau untuk
menguji penciuman secara kasar.
4. Pengkajian sistem Perasa
Anamnesa sistem perasa
a) Ada trauma lidah?
b) Bersih atau kotor?
c) Warna, bentuk?
d) Masih bisa membedakan rasa?
e) Tonsil?
f) Adakah stomatitis?

5. Pengkajian sistem peraba


a. Riwayat kesehatan
1) Riwayat medis dan pembedahan
2) Riwayat medis baik saat ini atau sebelumnya
3) Riwayat pembedahan
b. Riwayat keluarga riwayat pengobatan
1) Tentang penyakit kulit yang kronis
32

2) Anggota keluarga yang bermasalah dengan gangguan sistem


integumen
c. Riwayat social
Pekerjaan aktifitas sehari-hari dengan lingkungannya, reaksi dss.
d. Riwayat kesehatan saat ini
1) Kapan pertama kali mendapat masalah kulit
2) Bagian tubuh mana yang pertama kali terkena
3) Menjadi lebih baik atau memburuk
4) Mempunyai kondisi yang sama sebelumnya
5) Apa faktor penyebabnya
6) Bagaimana penatalaksanaanya
7) Adakah masalah yang menyertai : gatal, rasa terbakar, baal, nyeri,
demam, nausea, vomiting, diare, sakit tenggorokan , dingin kaku
8) Keadaan buruk jika tersinar matahari, pengobatan panas atau dingin
e. Riwayat diet
Kaji BB, Bentuk tubuh, dan makanan yang disukai
f. Status sosial ekonomi
Latar belakang status ekonomi klen intuk mengidentifikasi faktor
lingkungan yang dapat menjadi faktor penyebab penyakit kulit ( berapa
kjam terpapar sinar matahari, bagaimana dengan personal hygienenya.
g. Riwayat kesehatan sekarang
Jika masalah kulit sudah dapat diidentifikasi, kaji :
1) Kapan klien pertama kali melihat adanya rash
2) Dibagian tubuh mana rash mulai
3) apakah masalahnya dapat diatasi atau bertambah banyak jika masalah
sama dengan penyakit sebelumnya , kaji ;
a) Penyebab lesi kulit
b) Bagaimana cara mengatasinya
c) Hubungkan dengan gejala penyerta yang lain : gatal, gatal rasa
terbakar, rasa bassal;, demam, nausea dan vomiting, nyerio
tenggorokan , kaku kuduk
33

d) Identifikasi yang menbuat masalah menjadi baik atau menjadi


buruk
h. Pemeriksaan fisik
Inspeksi dan palpasi dengan menggunakan :
1) Penlight untuk menyinari lesi
2) Pakaian dapat dilepaskan seluruhnya dan diselimuti dengan benar
3) Proteksi diri sarung tangan haris dipakai ketika melakukan
pemeriksaan kulit tampilan umum kulit
Karakteristik kulit normal diantaranya:
1) Warna warna kulit normal bervariasi antara orang yang satu dengan
yang lain dari berkisar warna gading atau coklat gelap, kulit bagian
tubuh yang terbuka khususnya di kawasan yang beriklim panas dan
banyak cahaya matahari cenderung lebih berpigmen efek vasodilatasi
yang ditimbulkan oleh demam sengatan matahari dan inflamasi akan
menimbulkan bercak kemerahan pada kulit, pucat merupakan
keadaan atau tidak adanya atau berkurangnya toonus serta
vaskularissi yang normal dan paling jelas terlihat pada konjungtiva.
Warna kebiruan pada sianosis menunjukan hipoksia seluler dan
mudah terlihat pada ekstremitas , dasar ,kuku bibir serta membran
mukosa. Ikterus adalah keadaan kulit yang menguning , berhubungan
langsung dengan kenaikan bilirubin serum dan sering kali terlihat
pada sklera serta membran mukosa.
2) Tekstur kulit Tekstur kulit normalnya lembut dan kencang, pajanan
matahari, proses penuaan dan peroko berat akan membuat kulit
sedikit lembut. Niormalnya kulit adalah elastis dan akan lebih cepat
kembali turgor kulit baik
3) Suhu Suhu kulit normalnya hangat , walaupun pada beberapa kondisi
pada bagian ferifer seperti tangan dan telapak kaki akan teraba dingin
akibat vasokontriksi
4) Kelembaban Secara normal kulit akan teraba kering saat disentuh.
Pada suatu kondisi saat ada peningkatan aktifitas dan pada
34

peningkatan kecemasan kelembaban akan meningkat (Muttaqin,


2011).
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari penjelasan serta uraian tentang pengkajian sistem persepsi sensori
tersebut, maka dapat diambil kesimpulan bahwa sistem sensoris atau dalam
bahasa Inggris sensory system berarti yang berhubungan dengan panca indra,
terdiri dari organ mata, telinga, hidung, lidah, dan kulit.

B. Saran
Sebagai seorang perawat harus mengetahui pengkajan sistem persepsi
sensori diharapkan permasalahan yang muncul dari hasil pemeriksaan tersebut
dapat teridentifikasi secara akurat sehingga dapat menentukan asuhan
keperawatan yang berkualitas

34
DAFTAR PUSTAKA

Ballenger, J.J. 2010. Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala, dan Leher,
Dialih bahasakan oleh Staf ahli Bagian THT RSCM-FKUI.. Tangerang :
Binarupa Aksara.
Guyton, A. C., dan Hall, J. E. (2014). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 12.
Jakarta : EGC, 1022
Hetharia, Rospa, Sri, Mulyani. (2011). Asuhan Keperawatan Telinga Hidung
Tenggorokan. Jakarta: CV.Trans Info Media

Muttaqin, Arif. (2011). Pengkajian Keperawatan Aplikasi Pada Praktik Klinik.


Jakarta: Salemba Medika.

Syaifuddin. (2014). Anatomi Fisiologi untuk Keperawatan dan Kebidanan, Edisi


4. Jakarta : EGC

Anda mungkin juga menyukai