https://www.researchgate.net/publication/281743029
READS
24
1 AUTHOR:
Roy Edward Jordaan
53 PUBLICATIONS 43 CITATIONS
SEE PROFILE
MEMUJI PRAMBANAN
Paul Auster
Memuji Prambanan
Bunga Rampai Para Cendekiawan Belanda
Tentang Kompleks Percandian
Loro Jonggrang
Editor:
Roy Jordaan
Jakarta, 2009
Judul asli:
In praise of Prambanan; Dutch essays on the Loro Jonggrang temple complex
Leiden: KITLV Press, 1996
1996 Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde
iv
Daftar isi
Daftar gambar
vii
Daftar foto
viii
Kata pengantar
Catatan tentang ejaan dan perincian penyuntingan
Daftar singkatan
xi
xvi
xviii
Bagian satu
Roy Jordaan
Candi Prambanan: Sebuah Pendahuluan Mutakhir
3
1. Catatan pendahuluan
3
2. Nama dan cerita rakyat
11
3. Penemuan, penggalian, dan pemugaran
17
4. Lokasi candi dari perspektif historis-budaya
25
5.Penanggalan kompleks percandian: merunut kembali sejarahnya 31
6. Tentang para pendiri, gaya seni, dan teori-teori arkeologis
34
7. Mitos Gunung Meru dan Pengadukan Lautan Susu
62
8. Desain, makna serta persangkutan sekte-sekte Tantrik
84
9. Arca-arca
108
10. Relief-relief
121
11. Beberapa kesimpulan umum
155
Bagian dua
J.W. Ijzerman
Perigi-perigi candi di Prambanan
161
J.Ph. Vogel
Relief Rma Prambanan yang pertama
183
N.J. Krom
Arca-arca Prambanan
200
F.D.K. Bosch
Dewa Brahm dikelilingi oleh mahars i
208
B. de Haan
Candi A dan Candi B
211
W.F. Stutterheim
Susunan relief-relief Rma di Candi Loro Jonggrang
dan perlintasan matahari
218
235
263
Lampiran
303
Daftar kata
307
Daftar pustaka
314
Indeks
332
vi
Daftar gambar
Gambar
Gambar
Gambar
Gambar
Gambar
vii
2
5
7
9
15
81
92
139
165
168
169
173
212
214
214
245
Daftar foto
Foto
Foto 12
Motif Prambanan
Foto 13
Perigi candi di bilik utama Candi iva
Foto 14
Relief Rma Prambanan yang pertama
Foto 15
Relief mahars i di Candi Brahm
Foto 16a/b Puing-puing reruntuhan sekitar tahun 1880
Foto 17a/b Candi iva (tampak Barat) sebelum dan sesudah
pembersihan kasar yang dilakukan Groneman pada
tahun 1880
Foto 18
Pemandangan puing reruntuhan Candi Vis n u sekitar
tahun 1880
Foto 19
Relief-relief Tn ava
di sisi luar pagar langkan
Foto 20
Para tukang Jawa sedang memeriksa tumpukan besar
bebatuan
vii
i
16
70
79
80
82
83
83
130
130
142
148
150
164
185
209
247
248
249
249
250
Foto 21
Foto 22
Foto 23
ix
250
251
252
252
253
253
254
255
256
257
258
259
260
261
262
Kata pengantar
Memuji Prambanan
xii
Kata pengantar
Alasan ketiga ialah bahwa saya berharap agar dengan bantuan buku
semacam ini saya akan mampu secara baik meletakkan riset saya sendiri
mengenai Prambanan dalam tradisi intelektual seperti tampak dari rupa-rupa
diskusi tentang kebudayaan dan masyarakat Jawa Tengah kuno. Setelah
menceburkan diri ke dalam jagat arkeologi dan sejarah seni Hindu-Jawa,
saya menjadi jauh lebih menyadari secara jelas betapa saya benar-benar
berutang budi pada masa lampau, yang dalam hal ini khususnya kepada
karya-karya yang dilakukan para pendahulu saya yang lebih pandai dan
termasyhur, bahkan mereka yang pandangannya tidak selalu dapat saya
terima dan karenanya saya mesti berbeda pendapat dengan mereka.
Berkaitan dengan hal ini, saya tidak dapat mengingkari rasa galau dalam diri
saya oleh karena perhatian tidak berimbang yang dicurahkan pada
monumen-monumen kuno lainnya di Jawa, dan karena alasan serupa
kompleks percandian Prambanan secara tidak adil dipaksa berada dalam
posisi yang berseteru dengan Candi Borobudur. Lebih dekat dengan
kebenaran historis, menurut saya, bila kita melihat Prambanan dan
Borobudur sebagai tajuk kembar kebudayaan Jawa Tengah bahari, sebuah
kebudayaan di mana kaum Buddhis dan Hindu pada umumnya hidup
bersama secara rukun dan damai serta saling membantu dalam ihwal
pembangunan candi-candi mereka masing-masing.
Guna mendukung pendapat terakhir itu, di sini saya menyertakan
sebuah pengantar umum tentang kompleks percandian Prambanan, di mana
saya telah berupaya memberikan perhatian pada berbagai perkembangan
riset terkini dalam ranah sejarah Jawa Tengah kuno. Dalam hal ini,
terjadinya tumpang-tindih dengan beberapa terbitan terdahulu tidak dapat
dihindari, walaupun penemuan-penemuan terdahulu itu kini disajikan
dengan banyak tambahan serta perbaikan yang diniscayakan oleh hasil-hasil
riset kemudian. Bila beberapa bagian buku ini kadang-kadang membuat para
pembaca budiman mengalami semacam j lu, yaitu rasa sudah pernah
dibaca, maka saya berharap sudilah Anda memahami bahwa saya cuma
mengulang kembali fakta-fakta yang penting dengan berbagai argumen yang
saya paparkan dalam buku ini, dan hal itu mutlak diperlukan bila kita ingin
menafsirkan fakta-fakta itu secara koheren atau saling berlarasan.
Namun sasaran utama dari pengantar baru ini ialah untuk memberikan
paparan yang sistematis menyangkut bahan-bahan yang bersangkut paut
dengan Prambanan yang telah berhasil saya kumpulkan selama beberapa
xiii
Memuji Prambanan
xiv
Kata pengantar
Roy Jordaan
Renkum, Januari 2009
xv
xvi
Kata pengantar
Nama para pengarang yang didahului partikel seperti Van, De, Le dan
Von misalnya Van Blom, Le Bonheur, De Casparis dan Von Saher
didaftarkan dalam daftar pustaka di bawah nama utama mereka, yaitu
masing-masing Blom, Bonheur, Casparis dan Saher. Saya mempertahankan
ejaan IJ dalam nama seperti IJzerman, alih-alih mengejanya dengan Ij atau
Y, yang terakhir tadi merupakan sebuah abjad yang sama sekali baru.
Mengikuti kebiasaan orang-orang Belanda, saya menerjemahkan
Ouheikunige Dienst dengan Dinas Purbakala alih-alih Servis atau
Survei Arkeologi sebagaimana misalnya yang berlaku di India
Guna mencegah berbagai perubahan penyuntingan yang pelik dalam
bentuk asli artikel-artikel pilihan, maka setelah berembuk dengan Badan
Editorial KITLV diputuskan untuk mempertahankan cara penulisan catatan
kaki mereka yang kuno dan agaknya tidak praktis. Rujukan-rujukan dalam
bentuk singkatan dalam tulisan-tulisan asli ditulis secara lengkap dalam
daftar pustaka terpisah pada Bagian II. Sumber-sumber yang memuat
informasi bibliografis yang sangat tidak lengkap atau mustahil diverifikasi
dikeluarkan dari daftar pustaka.
Pada pokoknya edisi Indonesia ini tidak berbeda dengan aslinya dalam
bahasa Inggris, kecuali beberapa penghapusan salah ketik dan penambahan
beberapa perbaikan pada perumusan dan referensi. Di samping itu, berkat
kesediaan penerbit dan sumbangan foto-foto dari beberapa rekan, saya
mampu membuat sebuah kuras tersendiri dengan foto-foto yang dicetak di
atas kertas khusus.
xvii
Daftar singkatan
Bhk.
HSR
KBBI
OD
Bhat t i kvya
Hikayat Sri Rama
Kamus Besar Bahasa Indonesia
Oudheidkundige Dienst in Nederlandsch-Indi (Dinas
Purbakala Hindia Belanda)
OD foto
Foto-foto yang dibuat OD
OV
Oudheidkundig Verslag (Laporan Arkeologis OD)
ROC
Rapporten van de Commissie in Nederlandsch-Indi
voor Oudheidkundig Onderzoek op Java en Madoera
(Laporan-Laporan Panitia Hindia Belanda untuk Riset
Arkeologis di Jawa dan Madura pendahulu OD)
RJK
Rmyan a Jawa Kuno
ROD
Rapporten van de Oudheidkundige Dienst (LaporanLaporan OD)
VR
Rmyan a versi Vlmki
Skt.
Sanskerta
Verslag Congres Verslag Congres Oostersch Genootschap
Verslag 1926
Verslag van de commissie van advies inzake de
restauratie der Hindoe-Javaansche monumenten, nopens
de reconstructie van de iwatempel te Prambanan
(Laporan panitia penasihat pemugaran monumenmonumen Hindu-Jawa, menyangkut Candi iva di
Prambanan)
xviii
BAGIAN SATU
Roy Jordaan
Candi Prambanan
Sebuah Pendahuluan Mutakhir
1. Catatan penahuluan
Candi Prambanan adalah nama lazim yang digunakan untuk kompleks
percandian Hindu terbesar di Indonesia. Bersama dengan Candi Borobudur
yang terkenal itu, kompleks percandian ini merupakan puncak kesenian Jawa
yang bercorak Hindu-Buddhis. Kedua peninggalan ini menjadi saksi
keagungan masa lampau Jawa Tengah dalam apa yang disebut sebagai masa
klasik, yakni kurun waktu kira-kira antara tahun 775-900 M.
Walaupun sering kali dibandingkan dengan Borobudur, dan disebut
dalam satu tarikan napas dengannya, namun Prambanan sama sekali berbeda
baik dalam rancangan maupun dalam pembangunannya. Apabila kekuatan
dan keindahan Borobudur khususnya terletak dalam strukturnya yang besar,
luas, dan kokoh, lengkap dengan rupa-rupa birai beserta lorong yang
mengalir menuju puncak berupa stupa utama, maka sebaliknya di
Prambanan hal yang menyedot perhatian kita adalah persebaran
bangunannya pemilahannya ke dalam sejumlah besar candi perwara dan
delapan candi yang lebih besar, yang dimahkotai oleh Candi iva dan juga
hubungan yang selaras di antara berbagai bagiannya. Akan tetapi, biarpun
ada banyak perbedaan lahiriah di antara keduanya namun terdapat sejumlah
keserupaan yang penting antara Borobudur dan Prambanan. Yang paling
penting di antaranya adalah arsitektur serta ornamentasi dan hiasan yang
amat sistematis, yang muncul dari, sebagaimana yang ditandaskan
Stutterheim, suatu mentalitas yang serupa. Ia menjelaskan hal dimaksud
sebagai berikut:
Roy Jordaan
Roy Jordaan
Roy Jordaan
Roy Jordaan
10
Candi Prambanan
11
Roy Jordaan
12
Candi Prambanan
ini akan dijelaskan lebih lanjut nanti), belum lagi dapat dipastikan hingga
saat ini sekte aiva manakah yang bertanggung jawab atas pengelolaan
kompleks percandian itu. Mengingat adanya corak Tantrik yang bengis dari
beberapa penemuan arkeologis (seperti sebuah kerangka manusia di halaman
pusat, yang tampaknya menyiratkan persembahan kurban berupa seorang
manusia), boleh jadi bahwa sekte tersebut serupa dengan kelompok Kplika
yang telah lama punah, di mana berbagai ajaran serta praktiknya niscaya
dibenci oleh kaum Brahmana ortodoks. Jadi, tidak pasti bahwa Prambanan
adalah tempat tinggal para Brahmana.
Di lain pihak, dalam buku terkenal Thomas Raffles, History of Java
(1817), kita menemukan salinan dari sebuah sketsa yang dibuat oleh J. Mitan
tentang satu puing reruntuhan yang kini kita kenal sebagai kompleks
percandian aiva di Prambanan. Judul sketsa itu berbunyi candi induk di
Jongrangan. Dalam nama Jongrangan ini kita dapat mengenal nama lokal
lainnya yang lebih populer untuk kompleks percandian itu, yaitu Loro
Jonggrang, yang berarti Gadis Semampai, merujuk pada arca Durg yang
terletak dalam bilik sebelah utara dari candi induk.
Loro Jonggrang adalah tokoh utama dalam sebuah cerita rakyat Jawa yang
beralur kurang-lebih sebagai berikut.
[Seorang] putri raja bernama Lara Jonggrang, putri semata wayang Raja Baka
dari Kerajaan Medang Kemulan, [...] tersohor oleh kecantikannya dan hendak
diperistri oleh banyak pangeran. Ketika seorang pangeran bernama Bandung
Bandawasa ingin mempersuntingnya, Raja Baka mengatakan bahwa jika
pemuda itu bisa mengalahkan dia dalam pertarungan maka ia boleh memiliki
putrinya. Dalam perkelahian yang pecah antara kedua lelaki itu, sang raja
terbunuh. Tak terkandung maksud di lubuk Lara Jonggrang untuk menikahi
sang pembunuh ayahnya, namun ia takut untuk menolak keinginan sang
pangeran secara terang-terangan. Lalu, sang putri pun mengajukan syarat, yakni
bila sang pangeran mampu membangun seribu buah candi dalam satu malam
maka ia boleh menikahinya.
Tugas yang tampaknya mustahil ini nyaris berhasil dituntaskan Bandung
karena ayahnya membantu dia dengan sepasukan jin. Sang putri tidak tahu lagi
Kecuali sekte aiva yang dianut kaum Pupata, yang diketahui kadang-kadang dirujuk
sebagai iva-Brahmana dan mengenakan tali kasta Brahmana (Bhattacharya 1961:4-5).
Untuk informasi lebih lanjut tentang sekte Pupata ini dan sekte-sekte aiva lainnya, lihat
juga Bagian 8.
13
Roy Jordaan
Arca Durg itu memikat perhatian yang luar biasa besar dari para penduduk
setempat, sebagaimana yang tersaksikan dari rupa-rupa sesajen berupa dupa,
beras, bebungaan atau uang (IJzerman 1891:49), dan juga tidak jarang
ditemukan pula di dekat situ kambing-kambing yang masih hidup (Krom
1923a:444). Oleh karena bantuan yang dimohonkan kepadanya, maka ia
dijuluki Notre Dame e Bon Secours dari Prambanan oleh Scheltema
(1912:90). Daya pikatnya juga terbukti dari bagian dada dan pinggul arca itu
yang berkilauan, yang disebabkan oleh elusan kasih para pemujanya yang
tak terhitung jumlahnya. Lucunya, karena elusan-elusan ini beberapa
pengunjung asing terdahulu, yang hampir tidak dapat masuk ke bilik itu oleh
karena banyaknya tumpukan puing reruntuhan di sana, malah menduga
bahwa dada itu dibuat dari lempengan logam atau merupakan bagian dari
sebuah arca logam yang bersinar cemerlang di antara tumpukan bebatuan di
sana (Ouheikunig Verslag 1920:105-106).
Walaupun Krom (1923a:443), demi kejelasan, lebih suka memakai
nama lokal yakni Candi Loro Jonggrang, namun contoh itu tidak diikuti
secara luas, dan nama Candi Prambanan tetap digemari, khususnya di
kalangan orang-orang asing. Dalam buku ini, bergantung pada konteksnya,
saya akan menggunakan kedua nama itu secara bergantian.
14
15
16
Candi Prambanan
17
Roy Jordaan
18
Candi Prambanan
Demi jelasnya haruslah diterangkan bahwa ngarai kecil sebelah barat itu
adalah jurang terjal di Sungai Opak. Menurut Groneman, ada amat banyak
peluang untuk membuang potongan-potongan batu itu di wilayah terjal
menuju Opak. Seberapa banyak yang hilang di sungai itu gara-gara
kecerobohan seperti itu, termasuk fragmen-fragmen penting menyangkut
berbagai relief dan potongan arca yang patah, malah tidak dapat ditebak.
19
Roy Jordaan
Tidaklah mengherankan bila beberapa pakar dari zaman itu menilai hilangnya
informasi tersebut sedemikian besar, sehingga bahkan sebuah upaya pemugaran
di atas kertas menurut pandangan mereka kini menjadi mustahil. Hal ini
mendorong J. Brandes menyatakan maklumatnya yang kini telah masyhur
mengenai upaya-upaya Groneman sebagai pembantaian arkeologis secara
besar-besaran. Sebagai pemimpin baru perkumpulan arkeologis amatir tadi,
Groneman juga terlibat dalam keputusan pemerintah Hindia Belanda untuk
mengabulkan permohonan mendesak yang diajukan oleh Raja Siam,
Chulangkorn II, agar memperkenankannya membawa pulang ke negerinya
beberapa relief dan arca dari tempat-tempat suci terkenal Hindu-Buddhis
sebagai cendera mata lawatan kenegaraannya ke Jawa pada tahun 1896. Dengan
pengandaian bahwa terdapat beberapa contoh dari benda-benda arkeologis yang
diminta itu, dan bahwa karenanya benda-benda tersebut tidak akan dirasakan
kehilangannya, sang raja diperbolehkan memindahkan ke Siam tidak kurang dari
delapan kereta lembu jantan yang diisi penuh dengan arca dan relief. Di
antaranya ada sejumlah arca Buddha unik dari Borobudur dan beberapa relief
dari Prambanan. Khususnya berkat upaya-upaya diplomatik P.V. van Stein
Callenfels dan G. Coeds, maka dua relief Rma dari Candi Brahm dan sebuah
relief Kr ishna milik Candi Vis n u kemudian dipulangkan dan akhirnya
diletakkan kembali di tempat yang sebenarnya dalam pemugaran yang
direncanakan atas kompleks percandian itu. Namun arca-arca Buddha tadi tidak
pernah dikembalikan lagi, sebab arca-arca tersebut segera menjadi objek
peribadatan bagi orang Thai. (Untuk informasi lebih lanjut mengenai kejadian
ini, lihat Van Erp 1917, 1923 dan 1927.) Namun tidaklah adil menilai Groneman
saja yang bertanggung jawab atas kerusakan tersebut. Menyitir kata-kata Van
Erp, terdapat tangan-tangan perusak jail lain, yakni orang-orang Jawa para
warga desa di sana yang menghela batu-batu itu untuk digunakan sebagai
ambang atau fondasi rumah mereka dan segala macam keperluan lainnya.
Orang-orang Barat pun, seperti para pegawai perkebunan-perkebunan besar,
juga memakai batu-batu itu untuk membangun saluran air, gorong-gorong,
bendungan dan fondasi. Menurut Van Erp,
Menurut Jan Fontein (pemberitahuan pribadi) benda-benda itu tidak dikembalikan begitu
saja, tetapi dipertukarkan dengan sebuah fragmen pahatan yang barusan ditemukan ketika
itu in situ, dan ternyata fragmen itu kemudian diketahui sebagai bagian Gan ea dari
Singosari di Museum Bangkok. Tampaknya bahwa F.D.K. Bosch memainkan peran
penting dalam pertukaran tersebut.
20
Candi Prambanan
Perusahaan Kereta Api Hindia Belanda mempunyai andil juga dalam hal ini.
Ketika pada permulaan abad ini perusahaan tersebut merobohkan berbagai
stasiun dan pemberhentian kereta api yang sudah tua dan menggantinya dengan
bangunan-bangunan yang lebih bagus, dengan penuh rasa terkejut kita melihat
bahwa di dalam dinding-dinding yang diplester semen di pemberhentian kereta
api tua Prambanan itu tidak saja terdapat batu-batu ornamen tetapi juga
beberapa lempeng batu besar dengan ukiran-ukiran yang sangat indah. Batubatu itu dihela dari Fungrube [artinya, tempat penemuan dan penggalian]
kompleks Loro Jonggrang yang nyaris tiada habis-habisnya, yang terletak
beberapa ratus meter dari sana. (Van Erp 1943c:190; lihat juga Krom 1923a,
I:446.)
21
Roy Jordaan
Pemugaran fisik ini tidak mudah, dan juga tidak bebas dari kesalahan.
Dalam tahap awal ini, sang arsitek pelaksana barangkali menganggap lebih
penting untuk membangun kembali bagian-bagian tertentu daripada
menemukan sistem asli yang mendasari rancang bangun, misalnya
menyangkut relief-relief dengan adegan tarian. Hal-hal ini dan sejenisnya
mulai tampak gamblang pada tahun 1920, sehingga menimbulkan apa yang
disebut sebagai Perkara pemugaran (Restauratie kwestie) yang berlangsung
terus selama beberapa tahun, dan sehubungan dengan itu Bernet Kempers
(1978:107-112) pernah menulis sebuah ikhtisar singkat.
Sebuah panitia resmi dibentuk untuk menasihati para pejabat me
nyangkut pemugaran monumen-monumen Hindu-Jawa serta memeriksa
keperluan dan kelaikan ihwal pemugaran Candi iva di Prambanan.
Walaupun terdapat beberapa selisih paham dan pengunduran diri dari be
berapa anggotanya, namun panitia tadi menghasilkan sebuah laporan yang
mendasar (Verslag 1926). Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar
anggotanya lebih memilih upaya pemugaran daripada sekadar konsolidasi
atau pelestarian puing-puing reruntuhan candi tadi dalam keadaan seba
gaimana ditemukan. Namun hal ini tidak berarti bahwa kesalahan-kesalahan
terdahulu diabaikan begitu saja. Guna mencegah terulangnya hal-hal ter
sebut, panitia penasihat menjelaskan berbagai prosedur yang mesti diikuti
dalam upaya pemugaran tersebut. Berkat panduan-panduan itu, kini ter
bukalah jalan untuk mengadakan sebuah pemugaran menyeluruh atas Candi
iva di Prambanan (lihat juga tulisan Bernet Kempers dalam buku ini).
Sebagaimana ditulis Bernet Kempers (1978), kerja pemugaran itu sering
kali menemui aneka rupa penundaan. Mula pertama, arsitek muda yang baru
diangkat untuk tugas itu, yaitu De Haan, harus menghabiskan waktu
berbulan-bulan untuk memeriksa kembali pekerjaan yang telah dilakukan
para pendahulunya, yang dalam pada itu telah dipindahtugaskan ke tempat
lain, dan memperbaikinya bilamana mungkin. Setelah itu ia
menenggelamkan dirinya dalam upaya pemugaran atas Candi Brahm dan
kedua candi apit. Pekerjaan itu dipersulit lagi oleh berbagai pemotongan
anggaran serta resesi dunia pada tahun 1930-an. Tragisnya lagi, De Haan
meninggal dunia pada tahun 1930, persis sebelum penyelesaian pemugaran
atas kedua candi apit tersebut, antara tahun 1932 dan 1933.
Van Romondt, pengganti De Haan, harus puas dengan pembatasanpembatasan anggaran serupa, dan baru pada tahun 1937 pemugaran akhir
22
Candi Prambanan
atas Candi iva dimulai lagi dengan dana khusus. Proyek ini direncanakan
akan berlangsung selama beberapa tahun.
Penuntasan kerja itu ditunda karena pecahnya Perang Dunia II, disusul
oleh perjuangan kemerdekaan Indonesia. Begitulah, pemugaran atas candi
induk, yang telah dimulai sejak tahun 1918, baru berhasil dituntaskan pada
tahun 1953, di bawah bendera negara baru. Upacara peresmian dipimpin
Soekarno, presiden pertama Indonesia.
Karena segala macam keadaan, pemugaran selebihnya atas kompleks
percandian Prambanan juga mengalami sejumlah penundaan, tapi karena
raibnya dokumen tertulis maka jalannya berbagai peristiwa menjadi sulit
untuk dirunut kembali. Bernet Kempers (1978:171) melaporkan bahwa
setelah perang, dua dari ke-224 candi perwara yang terletak di antara tembok
pembatas pertama dan kedua mulai dibangun. Berbagai pemugaran
percobaan dengan model skala berukuran penuh atas Candi Brahm dan
Candi iva tampaknya secara umum sudah siap pada tahun 1944. Pada tahun
1978 Bernet Kempers mengungkapkan keyakinannya bahwa, mengingat
kegiatan-kegiatan lain Dinas itu, pemugaran tersebut barangkali tidak akan
mendapat prioritas.
Dalam pada itu, baik Candi Brahm maupun Candi Vis n u telah berhasil
dibangun kembali. Candi Vis n u, yang terakhir dari candi-candi Trimrti,
diresmikan Presiden Soeharto pada tahun 1991, sebagaimana yang tertera
pada plaket dekat arca Garud a baru yang dipasang di sebelah gapura utama
untuk peristiwa peresmian tersebut. Pemugaran atas candi-candi selebihnya,
yakni yang disebut sebagai Candi Nandi, Candi A dan Candi B di kawasan
candi induk baru belakangan ini dituntaskan.
Saya tidak tahu entah dalam pemugaran atas candi-candi tersebut,
panduan-panduan yang sudah diletakkan oleh panitia penasihat kolonial
diikuti seluruhnya, namun tampaknya hal ini diragukan. Selama keberadaan
di Indonesia belakangan ini saya sering kali terheran-heran oleh kehadiran
para buruh di candi itu yang sedang menggergaji batu, suatu aktivitas yang
Menurut Ouheikunig Verslag edisi 1941-1947, laporan itu sendiri baru muncul pada
tahun 1949, pihak Jepang melanjutkan kerja pemugaran sampai pasokan semen dan
bahan-bahan bangunan lainnya terhenti karena nafsu perangnya sendiri.
Dalam sebuah buku berbahasa Indonesia (Anom 1993:2) dilaporkan bahwa pemugaran
atas Candi Brahm dimulai pada tahun 1978, sedangkan pemugaran atas Candi Vis n u
membutuhkan waktu sekitar sembilan tahun hingga dituntaskan (1982-1991). Pemugaran
atas candi-candi lain yang secara salah disebut candi-candi wahana dimulai pada tahun
1991 dan selesai pada tahun 1994.
23
Roy Jordaan
24
Candi Prambanan
Cani an keraton
Sebelum membahas perkiraan-perkiraan tersebut, kita mesti mencatat bahwa
pertanyaan tentang lokasi dari keraton Jawa Tengah dahulu kala menjadi
pokok yang telah lama diperdebatkan oleh para arkeolog dan
25
Roy Jordaan
sejarawan. Pada mulanya mereka yakin bahwa candi dan keraton terletak
berdekatan satu sama lain. Krom cenderung memandang Loro Jonggrang
sebagai sebuah candi kerajaan, dan meyakini bahwa pembangunan candi
dengan ukuran sebesar itu, lengkap dengan rancangan dan pelaksanaan yang
luar biasa, hanya mungkin [didirikan] di sebuah pusat kerajaan yang kuat
dan makmur [dan] bukan sembarang tempat (Krom 1931b:171). Ia menolak
penggunaan istilah kota candi dan pemukiman para pedanda yang
dipakai M. Lulius Goor (1919:3, 1929) dan kawan-kawan, karena istilahistilah itu menyiratkan bahwa Prambanan adalah sebuah tempat suci yang
semata-mata dihuni para pedanda dan petugas kuil, selain suatu tempat
berziarah secara berkala. Sebaliknya, lanjut Krom, kita harus
membayangkan sibuknya aktivitas dari para penduduk sebuah kota besar di
kompleks percandian ini, lengkap dengan segala macam kerajinan,
perdagangan dan perniagaan yang berkaitan dengannya (Krom 1923a,
I:254). Krom menyebut kota ini sebagai sebuah kota besar, mungkin ibu
kota negara, yang terdiri atas sejumlah blok pemukiman terpisah.
Mengikuti pendapat J.C. van Eerde, ia menduga bahwa jumlah candi
tambahan [perwara] di Loro Jonggrang sepadan dengan banyaknya distrik,
yang masing-masing diandaikan untuk menjaga candinya sendiri dan
mempersembahkan sesajen kepada dewa yang berdiam di candi itu, abdi dari
Dewa Mahatinggi (Krom 1923a, I:453; lihat juga Van Eerde 1911:22).
Distrik di sebelah barat, dengan Candi Kalasan sebagai pusatnya,
diyakini lebih tua dan berhubungan dengan dinasti asing ailendra, yang
diduga memiliki keraton sendiri di dataran tinggi Ratu Boko yang terletak
lebih ke selatan. Setelah pengusiran dinasti ailendra pada paruh kedua abad
ke-9, kota itu diyakini diperluas ke arah timur dan ketika itu dimulailah
pembangunan kompleks percandian Loro Jonggrang. Krom berpendapat
bahwa para penguasa baru dari Kerajaan Mataram, yang diduga meraih
kembali kekuasaan dari pangkalan mereka di Jawa Timur, juga memiliki
keratonnya sendiri di Prambanan, dan bukan di Ratu Boko yang telah
ditinggalkan dinasti ailendra. Namun keraton itu dipindahkan ke Jawa
Belakangan, Bennet Bronson (1977) menandaskan bahwa situs Prambanan mesti memiliki
beberapa ratus ribu penduduk alih-alih sekadar suatu pusat peribadatan yang sematamata dihuni para pedanda, pegawai dan abdi dalem. Walaupun menyebut Prambanan
sebagai wilayah yang terkurung daratan dengan beberapa sungai yang cuma memberi
peluang transportasi tak seberapa, namun Bronson membayangkan adanya jalur
perniagaan melalui darat ke pantai utara pulau itu.
26
Candi Prambanan
Timur pada paruh pertama abad ke-10, karena terjadinya bencana alam,
seperti letusan gunung berapi atau karena wabah penyakit (Krom 1923a,
I:440; 1923b:83).
Di lain pihak, Stutterheim secara perlahan-lahan memisahkan dirinya
dari pandangan lazim, yaitu bahwa lokasi keraton mesti dicari di wilayah
pedalaman. Ia beranggapan tidaklah mungkin bahwa sebuah keraton
didirikan di dataran tinggi Ratu Boko; lokasi semacam itu baginya lebih
cenderung merupakan sebuah tempat kebaktian agama lengkap dengan para
petapanya (Stutterheim 1926a). Sebagian berdasarkan tradisi kerakyatan
Jawa yang kuat, yang mengaitkan ibu kota legendaris yang disebut Md ang
dengan Medang Kamulan di Grobogan dekat Semarang (lihat peta), ia mulai
mempertimbangkan sebuah lokasi di pantai utara Jawa (Stutterheim
1929b:19). Dugaannya bahwa keraton Jawa Tengah bahari itu barangkali
terletak di sana, dekat dengan pelabuhan dan jalur-jalur perniagaan,
diperkuat ketika ia mulai memahami candi Jawa dalam terang teori candi
sebagai makam yang ia kembangkan, yang menganggap candi sebagai
tempat pemakaman atau mausoleum untuk satu atau beberapa penguasa yang
mangkat. Alhasil, wilayah pedalaman di mana berlokasi sebagian besar
candi penting dianggap sebagai wilayah yang dikhususkan bagi para dewata
(yang menurutnya tidak lebih daripada para leluhur Jawa yang didewakan),
berseberangan dengan kawasan pantai yang menjadi pemukiman penduduk
(Stutterheim 1932:278-282). Lebih dari itu, Stutterheim memikirkan adanya
hanya satu keraton, karena menurut pandangannya kerajaan tua Mataram
diperintah hanya oleh satu dinasti, yakni dinasti ailendra, yang beberapa di
antara mereka mulai menganut Buddhisme pada abad ke-8.
Gagasan Stutterheim bukan tanpa pengaruh tertentu. Menyangkut lokasi
keraton, sebagai reaksi pertamanya Krom mengakui bahwa tidak bisa
diabaikan kemungkinan bahwa Medang Kamulan pernah menjadi lokasi
sementara untuk keraton selama berlangsungnya pemindahan keraton itu
dari Jawa Tengah ke Jawa Timur. Namun ia tidak merasa bahwa tradisi
tentang keraton baru yang dipindahkan ke Medang dari Prambanan,
sebagaimana yang dicatat Raffles, bertentangan dengan pandangannya
bahwa lokasi keraton lama harus dicari di atau dekat Prambanan, walaupun
bukan di dataran tinggi Ratu Boko, yang tetap dikaitkannya dengan dinasti
ailendra yang terusir, kendatipun berseberangan dengan pengamatan-
27
Roy Jordaan
pengamatan Stutterheim, namun lebih jauh ke arah timur. Krom malah tidak
mau mengabaikan kemungkinan bahwa Mataram boleh jadi memiliki lebih
dari satu keraton, selama tetaplah mustahil untuk menentukan secara pasti
apakah arti istilah Poh Pitu (tujuh Poh), yang dipakai sehubungan dengan
Medang, merujuk pada keraton yang dimiliki tujuh penguasa berturut-turut
(Krom 1931:168-171).
Gagasan Stutterheim pada mulanya tampak didukung hasil-hasil
eksplorasi arkeologis di wilayah Prambanan dan Sorogedug. Banyak
keramik dan tembikar secara sistematis dikumpulkan di sana antara tahun
1939 dan 1940, yang berasal dari jangka waktu yang sama seperti monumenmonumen tersebut namun termasuk tidak ditemukannya peralatanperalatan rumah tangga tidak menyiratkan adanya pemukiman
(Soekmono 1967:4). Walaupun dimulainya lagi penggalian arkeologis di
wilayah Grobogan di pantai utara persis sesudah perang kemerdekaan sangat
memperkokoh kemungkinan pendapat tentang adanya sebuah keraton yang
pernah didirikan di sana, namun tidak semua arkeolog meyakini hal tersebut.
Hal ini terutama karena adanya keragu-raguan tentang keabsahan
pengandaian bahwa candi dapat disamakan dengan makam, yang menjadi
teori yang mendasari gagasan Stutterheim.
Hanya bersamaan dengan meredupnya popularitas teori candi sebagai
makam setelah Perang Dunia II (Bosch 1954, OConnor 1966; Soekmono
1974), maka dapatlah diajukan pertanyaan tentang makna candi dan keraton
Jawa Tengah sebagai dua hal yang berbeda namun tetap saling berkaitan.
Bosch semata-mata menegaskan bahwa keraton (kata itu selalu
digunakannya dalam bentuk tunggal) tidak pernah bisa berada di tempat lain
kecuali di wilayah pedalaman, dengan mengatakan:
Dan sekali lagi di wilayah pedalaman itulah, di tempat yang nyaris tidak dapat
dijangkau di dataran rendah Kedu dan Prambanan, yang dari segala penjuru
dikelilingi oleh gunung-gunung berapi, di masa kejayaan Jawa Tengah, istana
raja itu mesti ditemukan. (Bosch 1961b:10.)
28
Candi Prambanan
Di Jawa Tengah, kita tidak memiliki kepastian apa pun tentang tempat-tempat
di mana pemukiman-pemukiman tersebut berada. Orang cenderung berpikir
tentang kawasan Prambanan dengan pelbagai candinya walaupun apakah
benar monumen-monumen kerajaan seperti itu sungguh-sungguh menjadi
milik sebuah kota? dan juga tentang pantai utara di mana bagaimanapun juga
mesti ada pemukiman-pemukiman niaga [...]. Sebuah contoh unik tentang
wilayah yang dipenuhi puing-puing reruntuhan, di mana setidak-tidaknya kita
bisa melacak adanya bekas-bekas istana raja, adalah dataran tinggi Ratu Boko
[...]. (Bernet Kempers 1978:20-21.)
29
Roy Jordaan
ikatan yang erat dengan Abhayagiri, pusat agama Buddha yang terkenal di
Sri Lanka pada waktu itu (lihat juga Lokesh Chandra 1986).
Bagaimanapun juga pernah ada sebuah keraton ailendra dekat
kompleks percandian Prambanan (demikian juga sebuah wihara di Ratu
Boko) sebagaimana yang dapat disimpulkan dari sebuah laporan Cina
tentang lawatan rombongan duta Birma ke Jawa sekitar tahun 800 M (Pelliot
1904:224); pentingnya dokumen ini untuk memugar sejarah Indonesia bahari
ditunjukkan secara gamblang oleh Brian E. Colless (1970). Dari paparan
singkat atas perjalanan orang-orang Birma itu ke Jawa, dapatlah disimpulkan
bahwa di wilayah pedalaman (di seberang dua gunung besar, yang
diserupakan Colless dengan Gunung Merbabu dan Gunung Merapi) terletak
sebuah kerajaan, dan penguasanya menyebut dirinya mahrj. Hampir
pasti bahwa yang dimaksudkan di sini adalah seorang penguasa ailendra,
bukan terutama karena kaum ailendra memiliki preferensi khusus pada
gelar mahrj (Coeds 1934:68, 1959:46), melainkan terlebih-lebih seturut
informasi bahwa di kerajaan di Jawa Tengah ini adat kebiasaan yang
serupa juga diamati di rvijaya, yakni kerajaan Buddhis Mahyna
terkenal di Sumatra Selatan, yang juga dikunjungi rombongan duta Birma
tadi pada permulaan lawatan mereka.
Bertentangan dengan klaim yang berlebih-lebihan dari Bosch mengenai
posisi geografis yang terisolasi dari Jawa Tengah, sebagaimana yang dikutip
sebelumnya, orang-orang Birma itu melaporkan bahwa terdapat sebuah
kerajaan lain yang terletak cuma beberapa hari perjalanan jauhnya. Kerajaan
itu disebut Shepo, dengan kata lain Jawa, atau sebagaimana yang dianjurkan
Colless berdasarkan kesaksian Cina kemudian, kota Jawa. Kerajaan itu
terletak di pantai utara Jawa, yang sangat boleh jadi merupakan situs
Medang yang lama dicari di wilayah Grobogan. Bagi Colless informasi ini
mendukung teori bahwa terdapat dua dinasti yang saling berseteru di Jawa
Tengah kuno, yakni kaum ailendra di Wailang (Ho-ling) dan sebuah dinasti
Jawa yang disebut Colless, mengikuti pendapat De Casparis, kaum
Sajaya.
Bukanlah tempatnya di sini untuk membedah pertanyaan pelik
menyangkut apakah terdapat satu atau dua atau malah lebih dinasti yang
saling berseteru di Jawa Tengah kuno, atau yang bersangkut paut dengan
relasi yang masih sangat kurang jelas antara kaum ailendra dan para
penguasa Kerajaan rvijaya di Sumatra Selatan itu. Berkenaan dengan
30
Candi Prambanan
lokasi sebuah keraton dekat Prambanan, satu hal yang dapat disebut sebagai
tambahan ialah dua penemuan belakangan ini di Wonoboyo, sebuah dusun
yang terletak lima kilometer ke arah timur kompleks percandian Prambanan,
pada penghujung tahun 1990 dan 1991, berupa sebuah guci besar berisi
beberapa kilogram emas dan perhiasan-perhiasan dari perak beserta
perabotan-perabotan non ritual yang berasal dari abad ke-9 atau 10. Kedua
penemuan ini merupakan isyarat yang kuat tentang adanya sebuah keraton
(Kompas 1990a, 1990b; Temu 1993; Wahyono Martowikrido 1994). Masih
harus ditentukan secara pasti harta benda ini berasal dari dinasti mana,
namun ukiran-ukiran yang menggambarkan berbagai kejadian dari karya
sastra Rmyan a yang terdapat di beberapa harta penemuan itu menurut
beberapa arkeolog Indonesia menyiratkan keterkaitan dengan Candi
Prambanan, di mana episode-episode dari wiracarita yang sama dilukiskan
pada Candi iva dan Candi Brahm.
31
Roy Jordaan
32
Candi Prambanan
33
Roy Jordaan
Bandingkan hal ini dengan perkiraan yang lebih sementara dari Van Lohuizen-Leeuw
mengenai jangka waktu pembangunan Borobudur: pendirian monumen ini rupanya telah
dimulai sekitar tahun 775 M, namun berapa lama persisnya waktu yang dibutuhkan untuk
menuntaskan bangunan besar ini hanya bisa ditebak, walaupun mungkin memerlukan
sekitar 40 tahun (1980:277).
34
Candi Prambanan
yang kian nyata mengenai corak aivanya, dalam bentuk berbagai arca dan
relief, kurang-lebih dikesampingkan dengan sengaja (lihat Brumund 1868;
Leemans 1873). Bagi kebanyakan peneliti dahulu kala, kedekatan letak dari
berbagai candi Buddhis dengan Loro Jonggrang tidak dapat didamaikan
dengan kebaktian kepada para dewata yang termasuk dalam panteon
Brahmanis.
Crawfurd (1820a, 1820b) adalah satu-satunya peneliti awal yang tidak
dapat menafikan bukti tentang corak aiva dari Loro Jonggrang, walaupun ia
juga tidak dapat menyangkal adanya berbagai kesejajaran gaya seni yang
mencolok dengan bangunan-bangunan Buddhis seperti Borobudur. Ia
menjelaskan berbagai persesuaian ini dengan mengandaikan adaptasi
aivisme terhadap Buddhisme, yang mendorongnya untuk berbicara tentang
suatu agama yang dibarui.
Baru dengan penggalian yang dilakukan IJzerman (1887), yang antara
lain berhasil menemukan arca iva Mahdeva di bilik pusat candi induk,
maka kemiripan secara fisik dengan candi-candi Buddhis justru
menunjukkan toleransi timbal balik dan perihal hidup berdampingan secara
rukun antara Buddhisme dan aivisme di Jawa kuno. Karena alasan tertentu
ia malah berbicara tentang Buddhisme yang merosot dan aivisme yang
penuh semangat (IJzerman 1887:271, 1891:55).
Riset Groneman selanjutnya (1893) menandai suatu putar haluan se
mentara ke posisi terdahulu, sebab Groneman, walaupun ada berbagai
penemuan terkini, menandaskan bahwa Loro Jonggrang pada hakikatnya
merupakan sebuah candi Buddhis. Ia mengenali semua jenis benda, seperti
genta-genta dan pohon-pohon kalpataru yang dilukiskan pada berbagai
relief, sebagai contoh-contoh nyata tentang kesenian Buddhis. Khususnya
sikap badan dan laksana dari berbagai dewata mendorongnya untuk
berpendapat bahwa semua itu hanya bisa merupakan ekspresi atau
manifestasi dari dibuddha. Guna mendukung teorinya, ia merujuk pada
Sutasoma sebagai sebuah contoh dari karya sastra Jawa Kuno yang terdapat
kaitan erat antara Buddhisme dan aivisme dapat dipindai. Dengan
demikian, hidup berdampingan secara rukun di antara kedua agama dapat
dikaitkan dengan perkembangan di Jawa Kuno dari apa yang disebut sebagai
kultus iva-Buddha, sebuah gejala sinkretis yang dahulu sudah ditunjukkan
oleh Crawfurd.
35
Roy Jordaan
Baik corak sinkretis yang diandaikan dari Loro Jonggrang maupun kaitannya
dengan kesenian Jawa Timur mendorong para pakar untuk mencari seorang
pendiri kerajaan yang memiliki asal-usul Jawa Timur serta mempunyai
kecenderungan-kecenderungan sinkretis. Bagi Rouffaer (1918), Raja Daks a,
yang menurut penilaian Rouffaer memiliki jiwa sinkretis, tampaknya
menjadi calon yang cocok.
Bersama karya Krom yang kini telah menjadi klasik, berjudul Inleiing
tot Hinoe-Javaansche kunst (Pengantar Kesenian Hindu-Jawa), maka riset
pun bergerak ke arah baru. Walaupun Krom mengakui bahwa ia menilai
argumen-argumen Rouffaer tidak seluruhnya memuaskan (1923a, I:441),
namun ia berpendapat bahwa tidak buruk bila kita memakai nama raja
36
Candi Prambanan
ini sebagai titik tolak ketika membahas kesenian Loro Jonggrang, lebih
karena latar belakang Jawa Timur dari Raja Daks a daripada kecenderungan
sinkretisnya. Krom tidak terlalu peduli dengan apa yang disebutnya teoriteori berani tentang ciri-ciri Buddhis Loro Jonggrang (1923a, I:446), di
mana ia merujuk pada hasil-hasil riset ikonografis yang dilakukan Tonnet,
yang sebelumnya telah memperlihatkan bahwa apa yang disangka sebagai
beberapa bohisattva yang terdapat pada relief di Candi iva tidak lain
kecuali lokapla Hindu, atau para penjaga mata angin. Namun menarik
bahwa Krom tidak menyinggung penilaian pribadi Tonnet tentang candicandi itu sebagai suatu konsepsi Brahmanis, namun dengan cita rasa
Buddhis. Nanti kita akan melihat mengapa sampai demikian.
Terlebih dahulu kita perlu mencatat bahwa Krom, mengikuti pendapat
Brandes, menempatkan pembangunan Loro Jonggrang pada akhir kurun
waktu Jawa Tengah. Ia juga menganggap Loro Jonggrang memiliki kaitan
dengan kesenian Jawa Timur, walaupun cara pengungkapkan gagasangagasannya ini kurang berprasangka dan lebih halus bila dibandingkan
dengan Brandes. Sambil mengamati bahwa Daks a memerintah dalam kurun
waktu di mana Jawa Tengah dan Jawa Timur diandaikan untuk sejenak
bersatu, Krom berpendapat bahwa dalam sosok sang raja bisa dipindai
adanya suatu pertalian antara budaya Jawa Tengah kuno yang sebentar lagi
akan sirna dan budaya Jawa Timur yang baru.
Berkenaan dengan kesenian, suatu peran serupa justru dimainkan oleh Loro
Jonggrang, yang sama-sama merupakan sebuah monumen peralihan. [...]
Walaupun yang pasti di sini kita masih berhadapan dengan suatu bentuk
kesenian yang khas Jawa Tengah, sejauh berbagai keunikan yang tercatat dalam
perkembangan kesenian itu menemukan kesinambungan dan bentuk akhirnya
dalam Loro Jonggrang. Selain itu, terdapat segala macam corak yang bisa
dianggap sebagai persiapan untuk dan penjelasan tentang apa yang dapat
diamati dalam suatu tahap kemudian di Jawa Timur.
37
Roy Jordaan
38
Candi Prambanan
daskan teori-teorinya pada berbagai cerita rakyat dan relief yang berkisah
tentang Rma. Walaupun cerita rakyat dan relief itu terpisah, namun
Stutterheim menunjukkan bagaimana cerita-cerita rakyat dan relief-relief ini
saling berkaitan secara erat. Jika tradisi kerakyatan dalam bahasa Melayu
dan Jawa mencakup kisah-kisah tentang Rma yang kurang-lebih
menyimpang dari berbagai prototipe bakunya dalam versi India, seperti
Bhattikvya
dan Rmyan a versi Vlmki, sebagaimana yang antara lain
terlihat dalam pertunjukan wayang, maka hal yang sama berlaku pula untuk
relief-relief Rma pada Candi Loro Jonggrang dan Candi Panataran.
Bertentangan dengan praktik umum yang berlaku pada zamannya,
Stutterheim menganggap tidak tepat untuk berbicara tentang salah paham
atau korupsi atas bahan-bahan India dalam adaptasi pribuminya.
Tampaknya lebih mungkin baginya bahwa perbedaan-perbedaan yang dicatat
pada ujung-ujungnya berasal dari tradisi-tradisi kerakyatan yang pasti sudah
ada di India sejak dahulu kala, bersama dengan versi-versi keraton yang
lebih berwibawa.11
Hubungan yang longgar antara relief-relief Rma pada Candi
Prambanan dan kakawin Rmyan a atau Rmyan a Jawa Kuno (RJK), yang
juga diperkirakan disusun pada abad ke-10, serta berbagai keserupaan yang
kadang-kadang sangat mencolok antara kakawin ini dan kisah-kisah dari
Sumatra sebagaimana yang terekam dalam hikayat Melayu, mendorong
Stutterheim mencurigai adanya suatu keterlibatan langsung dinasti ailendra
dalam pembangunan candi-candi besar di Jawa Tengah. Kita mesti
mencamkan di sini bahwa dalam disertasinya Stutterheim mengungkapkan
pandangan yang dominan pada waktu itu, yaitu bahwa wangsa ailendra
adalah orang-orang India yang menetap di Sumatra Selatan dan mendirikan
rvijaya. Menurut teori lama itu, dari sana mereka memperluas
kekuasaannya dan menaklukkan Jawa Tengah, yang mereka perintah sebagai
semacam protektorat atau wilayah perwalian.
Yang lebih penting lagi ialah pengamatan Stutterheim bahwa pengaruh
dinasti ailendra pada karya-karya seni monumental tidak hanya dapat
diamati di Borobudur serta candi-candi Buddhis lainnya, tetapi juga di Loro
Jonggrang. Bagaimana pengaruh ini diterangkan tidak sepenuhnya
11
Kadang kala kita masih menjumpai pernyataan-pernyataan yang tampaknya men cerminkan
suatu salah tafsir atas tesis Stutterheim, seperti pernyataan Dumaray (1978:58) bahwa
penggambaran cerita Rma di kompleks percandian Prambanan tidak dimaksudkan untuk
memberi gambaran tentang teks India tetapi sebuah adaptasi Jawa.
39
Roy Jordaan
kalangan pakar Jawa Kuno, yang membuat mereka sangat sukar untuk menjelaskan
berbagai kemiripan arsitektural dan gaya seni antara Loro Jonggrang dan candi-candi
Buddhis. Sebagaimana yang dicatat Scheltema (1912:84), dekorasi, yang coraknya
sangat ivaistik di bagian dalam sembari ambil bagian pada corak Buddhistik di bagian
luar, telah memeras otak banyak pakar agar dapat dijelaskan. Hal ini dapat dilukiskan
misalnya dengan sebuah kutipan dari Van Erp (1909:168) yang mengatakan: Sebuah
motif Buddhistik khusus tidak dapat seturut koratnya dikenakan pada sebuah bangunan
yang murni ivaistik, seperti Candi Prambanan, namun menyangkut keserupaan dua unsur
bangunan tersebut [pagar langkan dan serangkaian malaka di atasnya] hemat kami
bahwa kita dapat menemukan sebuah bekas dari pengaruh Buddhis pada seni bangunan
ivaistik (penekanan dari saya).
13 Agak lebih dahulu, pandangan serupa dikemukakan oleh Van Erp, sebagaimana yang
tertuang dalam laporan rapat Kongres Pertama Lembaga Oriental Belanda (Verslag van
het eerste Congres van het Oostersch Genootschap 1921:11-12).
40
Candi Prambanan
mereka miliki, yaitu mekarnya sebuah bentuk kesenian baru di Jawa Timur
(Stutterheim 1925:209, lihat juga 1926c:441, 1928a:688).
Dengan kata lain, Stutterheim yakin bahwa sebenarnya tidak ada
kesatuan yang sejati dalam kesenian Jawa kuno. Maka, ia menulis
kita tidak boleh melebih-lebihkan adanya suatu perkembangan logis dari
relief-relief Jawa Tengah ke relief-relief Jawa Timur. Sebaliknya, kita mesti
mempertimbangkan kemungkinan adanya suatu perbedaan yang jauh lebih
besar yang bisa dipindai antara keduanya daripada yang lazimnya diandaikan
seturut wewenang Brandes, dengan kata lain keterlibatan orang-orang Jawa
dalam kebudayaan Hindu di Jawa Tengah yang dimulai segera setelah
pengusiran dinasti ailendra. (Stutterheim 1925:216.)
41
Roy Jordaan
Laporan dari kongres Institut Jawa menandaskan bahwa dalam hal ini
Candi Prambanan mesti diberi penanggalan dari kurun waktu yang sama
dengan kuil-kuil di sekitarnya, yakni pada penghujung abad ke-8, yang
niscaya menghadapi keberatan yang besar di antara para hadirin. Laporan
tersebut menyebut pandangan Brandes tentang berbagai keunikan gaya seni
Loro Jonggrang beserta kaitannya dengan corak-corak aneka candi yang
muncul kemudian di Jawa Timur. Pandangan ini mendapat penerimaan
secara umum:
Pendapat umum adalah bahwa candi aiva Prambanan merupakan tandingan
terhadap candi-candi di sekitarnya yang bercorak Buddhis. Malah
pembangunannya dipandang oleh beberapa kalangan sebagai unjuk gigi dari
seorang raja aiva terhadap agama Buddhis yang dipraktikkan oleh para
maharaja Sumatra setelah mereka diusir dari sana.
Laporan itu selanjutnya menjelaskan bahwa sang nara sumber, yaitu Bosch,
tidak menafikan adanya sebuah jalan tengah yang menyenangkan. Ia
mengingatkan para pendengar bahwa
Raja Daks a, yang kemungkinan menjadi pendiri candi itu, memberi
prawacana untuk sebuah prasasti yang dimaklumatkannya dengan sebuah
penghormatan ganda, yang satu kepada iva dan yang lain kepada Buddha.
Kita boleh menyimpulkan dari hal ini bahwa sang raja berkehendak untuk
mendirikan sebuah tandingan terhadap tempat suci Buddhis yang sudah ada
ketika itu, yakni Candi Sewu, melalui pembangunan sebuah kuil yang
dipersembahkan kepada iva, dan dengan demikian menyejajarkan kedudukan
kedua kuil itu sebagai tempat di mana kedua dewata tertinggi, yakni iva dan
Buddha, disembah. Hasil-hasil perbandingan dari kedua monumen ini benarbenar sepadan dengan jalan keluar yang diajukan. Keduanya saling
mengimbangi secara sempurna, [dan] semua jenis petunjuk mengokohkan
kembali kesan bahwa kedua bangunan itu harus dilihat sebagai bagian yang
seimbang dari satu keseluruhan yang terpisah dalam waktu, namun disatukan
dalam keyakinan.
42
Candi Prambanan
Sampai sejauh mana Moens merasa dirinya maupun agama Buddha Jawa
ketika setahun sebelumnya ia menerbitkan sebuah kajian perintis, dimengerti
secara salah, dan bagaimana ia seandainya berkesempatan
43
Roy Jordaan
44
Candi Prambanan
rumusan-rumusan keagamaan tertentu yang dipersembahkan kepada dewadewa Triratna Buddhis dalam sebuah lubang yang tersembunyi pada arca
Majur tersebut. Sebuah bait di mana Buddha, Dharma, dan Sa gha
dinyatakan sedang berada di salah satu lubang tersembunyi pada arca itu,
disusuli dengan kalimat: Ia, sang pembawa Vajra, Yang Mulia Sentosa,
adalah Brahm, Vis n u dan Mahevara. Ia, yang adalah Tuhan, yang
merangkum semua dewata, dihormati sebagai Majuvc.
Semuanya ini mendorong Bosch untuk mengandaikan bahwa prasasti
Klurak, sejalan dengan dugaan Moens sebelumnya, dapat berfungsi sebagai
semacam cetak biru pembangunan sebuah man ala
Buddhis yang luas di
Jadi, terwujudlah dalam kenyataan apa yang sering kali diterangkan dalam
berbagai teks: Wujud Tertinggi menjadi nyata dan beralih ke dalam dua
perwujudan yang kelihatan, yang masing-masing pada gilirannya berfungsi
sebagai sebuah pusat dari para dewata yang lebih rendah. Majur di satu
pihak menjadi nyata dalam Triratna dan di lain pihak dalam Trimrti: trio yang
pertama menghasilkan sebuah man ala
Buddhis [yang terdiri atas Candi
Patut dicatat bahwa Bosch tidak memperluas kesimpulannya lebih jauh lagi.
Alih-alih mengangkat keterlibatan dinasti ailendra dalam proses
pembangunan Loro Jonggrang, sebagaimana dibuktikan oleh munculnya
nama Raja r Sanggrmadhanamjaya dalam prasasti Klurak, sebagai titik
tolak untuk penelitian lebih lanjut mengenai andil nyata mereka dalam
pembangunannya, Bosch membatasi dirinya untuk mengkaji pertanyaan
apakah urutan yang benar dari pembangunan tersebut sungguh-sungguh
berarti. Ketika mengkaji kesatuan pikiran yang melandasi kompleks
percandian Prambanan yang lebih luas, Bosch menyimpulkan bahwa tidak
ada landasan dogmatis apa pun untuk memilah pembangunan bagian-bagian
terpisah ke dalam tahap-tahap yang berurutan. Ia menambahkan sebuah
parafrasa dari Kitab Yesaya 28:16 yang mengatakan: Siapa yang percaya
45
Roy Jordaan
46
Candi Prambanan
47
Roy Jordaan
48
Candi Prambanan
segelintir orang yang mengetahui bahwa apa yang disebut sebagai candicandi Hindu di Jawa sebenarnya bukan candi, dan juga tidak dibangun oleh
orang-orang Hindu (Stutterheim 1931:1). Di tempat lain ia menulis:
candi bukanlah tempat ibadat, melainkan sebaliknya rumah leluhur [...] Kuil
dalam arti sebenarnya kata itu tidak ada di Jawa. Apa yang disebut dengan
nama itu 90 dari 100 kasus adalah sebuah monumen makam, di mana sang raja,
yang kini diserupakan dengan dewa, berkomunikasi dengan para
keturunannya. (Stutterheim 1930:10-11.)
49
Roy Jordaan
50
Candi Prambanan
51
Roy Jordaan
Jawa Tengah ini dimulai lagi pada tahun 1950-an. Dua perkembangan
memiliki arti penting di sini. Yang pertama adalah tergerogotinya teori
tentang candi sebagai makam oleh penerbitan karya Bosch (1954),
OConnor (1964), dan Soekmono (1974). Berbagai eksplorasi yang saya
lakukan sendiri, yang terbatas pada Loro Jonggrang, juga menguatkan
bahwa argumen-argumen Stutterheim tidak lengkap dan juga tidak sah
(Jordaan 1989:21).14 Perkembangan kedua adalah kemajuan yang dibuat
dalam riset epigrafis oleh De Casparis (1950, 1956, 1958), di mana prasasti
metris Jawa Kuno dari tahun 856 M memiliki pertalian sangat relevan
berkenaan dengan Loro Jonggrang. Sebagaimana yang telah ditandaskan
sebelumnya, De Casparis menemukan bahwa sebagian dari prasasti tersebut
berisikan sebuah paparan yang terperinci tentang satu kompleks percandian
aiva yang mengingatkan dia akan Loro Jonggrang. Sebagai jawaban atas
pertanyaan apakah kedua hal itu dapat diserupakan satu sama lain, De
Casparis menulis:
Walaupun terdapat berbagai kecocokan yang mencolok, namun tidak ada
cukup alasan untuk memberi sebuah jawaban positif atas pertanyaan ini,
biarpun tidak dapat pula ditampik bahwa bentuk kompleks yang didirikan pada
tahun 856 M selaras dengan kompleks percandian Loro Jonggrang dalam lebih
dari satu segi, dan kompleks aiva dengan ukuran sebesar itu terbilang sangat
jarang. Namun keberatan yang utama adalah penanggalan Candi Loro
Jonggrang, yang dianggap berasal dari dasawarsa pertama abad ke-10, yakni
sekurang-kurangnya setengah abad kemudian dari prasasti ini. (De Casparis
1956:309.)
52
Candi Prambanan
53
Roy Jordaan
Tak perlu waktu lama bagi para arkeolog dan sejarawan seni lainnya
menerima identifikasi Loro Jonggrang dengan paparan epigrafis sebagai
fakta yang dapat diterima, jika bukan mapan (misalnya Bernet Kempers
1959; Soekmono 1965:42; Boechari 1965:63; Holt 1967:54; Satyawati
Suleiman 1976:12; Williams 1981; Dumaray 1986a, 1993). Kebanyakan
dari mereka mendukung gagasan De Casparis, yang ditimba dari gagasan
Krom, bahwa pembangunan Loro Jonggrang mesti dilihat seturut latar
belakang perebutan kekuasaan antara dinasti ailendra dan kebangkitan
kembali dinasti Sajaya, di bawah kepemimpinan Rakai Pikatan. Tentang hal
ini De Casparis pernah menulis: Konsolidasi dinasti Rakai Pikatan
menandai permulaan zaman baru, yang mesti diresmikan oleh pembangunan
sebuah kompleks percandian besar (1956:300).
Di tengah permufakatan semacam itu, hanya terdapat dua cendekiawan,
yakni L.-Ch. Damais (1968) dan W. Aichele (1969), yang menerima
identifikasi yang dianjurkan tadi tanpa mengebawahkan gagasan-gagasan
mereka terhadap teori dinasti De Casparis. Dua-duanya adalah filolog
cemerlang dan lepas dari yang lainnya, mereka masing-masing bersusah
payah menguji kembali secara kritis terjemahan prasasti Loro Jonggrang,
dan tiba pada suatu penafsiran yang berbeda dari interpretasi De Casparis
dalam beberapa pokok penting. Sebagai contoh, mereka meragukan istilah
jatiningrat, yang digunakan dalam prasasti tersebut memang bisa ditafsir
sebagai sebuah gelar yang dikenakan sang penguasa, yakni Rakai Pikatan,
ketika menjadi seorang raja petapa (resi), tidak lama setelah ia mengalahkan
dinasti ailendra. Bagi Aichele, boleh jadi bahwa jatiningrat adalah sebuah
kilatan pada atau ungkapan halus untuk kematiannya, alih-alih sebuah gelar
rajawi. Dari sini ia menyimpulkan bahwa peresmian candi iva, yang
disebutkan dalam prasasti Loro Jonggrang, barangkali dimaksudkan untuk
memperingati ulang tahun kematian Raja Pikatan.
Damais menolak hipotesis tentang kehidupan bersama dua dinasti yang
saling bersaingan maupun hipotesis mengenai bidang-bidang pengaruh yang
kemungkinan dimiliki keduanya, sebab bagi dia teori tentang saling tumpang
tindih antara ranah politik dan ranah agama terlalu terarah pada
karikatural yang dipersangkakan ada pada Loro Jonggrang beserta gejala-gejala
kemandekan dan kekakuannya. Penanggalan baru bagi kompleks percandian itu
tampaknya akan memperlemah kebenaran pernyataan-pernyataan ini lebih jauh lagi kalau
diterapkan pada bangunan-bangunan Buddhis sezaman seperti Sewu, Plaosan, dan
Sojiwan, yang tidak pernah membangkitkan penghargaan semacam itu.
54
Candi Prambanan
55
Roy Jordaan
Bonheur (1971:87) dan Miksic (1990:24), walaupun kedua pengarang tersebut tidak
sampai mempertimbangkan kemungkinan bahwa pembangunan itu didukung oleh dinasti
ailendra, yang memiliki hubungan dengan Rakai Pikatan (dan pendahulunya?) melalui
ikatan perkawinan.
19 Menurut prasasti Loro Jonggrang, [sang raja] adalah seorang penganut aiva, berbeda
dengan sang ratu, istri sang pahlawan. Walaupun menerima bahwa Rakai Pikatan
menikahi seorang permaisuri Buddhis, namun saya tidak sepakat dengan De Casparis
yang menyamakan permaisuri ini dengan tokoh r Kahulunan. Mengikuti pendapat
Boechari (1982:15-22), saya cenderung untuk meyakini bahwa gelar r Kahulunan
merujuk pada bunda raja Buddhis itu, bersama siapa Rakai Pikatan membangun Candi
Plaosan. Implikasi penuh dari gagasan ini akan dikaji dalam sebuah studi terpisah.
56
Candi Prambanan
Rupanya di sini dibuat suatu garis batas secara sengaja antara dua bagian
sistem itu: atap Buddhis dipijakkan di atas alas aiva, di mana yang pertama
mewakili jalur kiri dan yang terakhir mewakili jalur kanan dari Mahyoga.
Oleh karena itu, bolehlah dicatat bahwa di sini istilah Buddhisme dan aivisme
sesungguhnya merupakan rujukan tentang dua bagian darinya Tntrik Yoga
disusun, dan malah terdapat berbagai fakta dari Jawa Timur dan Bali yang
menyiratkan bahwa pemilahan ini memang dimaksudkan oleh penggunaan
istilah-istilah tersebut. (Pott 1966:120.)
Berkaitan dengan hal ini, latar belakang Buddhis dari Loro Jonggrang
dilaporkan dicatat sekali lagi oleh B. Rowland (1953), yang mengakuinya
sebagai sesuatu yang ujung-ujungnya berasal dari Phrpur (juga dikenal
sebagai Somapura), sebuah tempat suci Buddhis di Bengali. Kaitan yang
dimapankannya dengan Bengali disokong oleh prasasti Klurak, yang
melaporkan bahwa penahbisan arca Majur dilakukan oleh seorang guru
yang datang dari Gauddvpa, yang barangkali berarti Gaud vis aya, sebuah
distrik di Bengali Timur (Bosch 1928:29-30). Pada masa prasasti Klurak
itu, baik Gaud vis aya maupun Phrpur menjadi bagian dari negara
Buddhis Pla yang sangat kuat dan berkuasa, yang ketika itu diperintah oleh
Dharmapla ( 770-810). Kajian-kajian sejarah seni lainnya menguatkan
pandangan tentang pengaruh model Candi Phrpur di Asia Tenggara sampai
pada tahap tertentu (Van Lohuizen-de Leeuw 1956:279; Huntington
1985:390-391; Khanna 1992:212). S.K. Bhattacharya (1978:73) melangkah
lebih jauh mengenai hal ini dengan mendalilkan bahwa menurut peraturanperaturan ilmu bangunan candi India, Candi Phrpur termasuk dalam jenis
Sarvato-Badhra. Jenis candi ini sungguh unik, demikian pengamatan
Bhattacharya, karena contoh-contoh yang masih tersisa darinya hanya
ditemukan di Birma dan di Jawa, yakni Candi Loro Jonggrang dan Candi
Sewu.20
Dengan pengandaian bahwa kaitan sejarah seni ini dengan Phrpur
memang benar adanya, maka kita dapat merumuskan sejumlah hipotesis
baru. Yang pertama darinya menyangkut hubungan erat di antara kedua
20 Van Lohuizen-de Leeuw (1957:33) menulis: Denah berbentuk silang ini beserta atap
terasnya kelak menjadi populer di beberapa tempat di Asia Tenggara, dan menguatkan
pandangan bahwa pusat-pusat Buddhis di Bengali melancarkan suatu pengaruh yang
sangat besar atas negeri-negeri semisal Birma dan Jawa.
57
Roy Jordaan
India tidak mungkin terjadi tanpa adanya suatu kegiatan yang semarak di India (Gomez
1987:357). Namun Verwey (1962:141) melihatnya dalam rangka lalu lintas laut dua arah
yang ramai yang melibatkan para guru dan peziarah, seraya memberi dan mengambil,
saling memahami dan pada umumnya berbicara dalam satu bahasa simbolis tunggal.
58
Candi Prambanan
Tidak mungkin saya dapat mengkaji pertanyaan semisal bagaimana orang-orang Buddhis
Jawa menangani masalah-masalah agama dan filsafat yang berkait dengan penerapan
paham Brahmanis. Demi kepentingan kaji banding menyangkut persoalan yang pelik ini,
saya merujuk para pembaca budiman pada kajian Bhattacharya (1973). Informasi
tambahan tentang penerapan paham ini dalam teks-teks Jawa Kuno dari Bali dan Jawa
Timur, di mana kata Parambrahma sekaligus merujuk pada gagasan Tuhan Yang Mahaesa
dan Prinsip Abstrak, dapat ditemukan dalam Haryati Soebadio (1971).
59
Roy Jordaan
60
Candi Prambanan
pengandaian ini, maka kita mesti mencari tahu apa dan bagaimanakah Loro
Jonggrang digabungkan ke dalam keseluruhan yang lebih luas di mana
candi-candi Buddhis di sekitar juga memiliki tempatnya sendiri. 23
Pentingnya pertanyaan ini juga menjadi jelas dalam laporan panitia
penasihat menyangkut pemugaran Loro Jonggrang:
Akhirnya, lokasi kompleks percandian tersebut berkaitan dengan berbagai
peninggalan kuno lainnya di daratan Prambanan (keraton Ratu Boko, Candi
Sewu, dll) perlu diselidiki dan ditentukan dengan menggunakan sebuah
boussole [kompas] dll. Barangkali di sana pun terdapat suatu persoalan
menyangkut desain yang dibuat dengan sangat sengaja, dan penemuan tentang
hal itu boleh jadi memiliki makna penting berkenaan dengan nilai-nilai
agamawi-filosofis, historis, arkeologis dan arsitektural, dan juga menyangkut
candi-candi itu sendiri. (Verslag 1926:37.)24
Apa pun hasil-hasil dari riset yang belum tuntas ini, penanggalan baru untuk
Loro Jonggrang tampaknya akan membebaskan kita dari gagasan bahwa
monumen itu dimaksudkan sebagai saingan agamawi-politik terhadap
Borobudur.
Sebagai kesimpulan barangkali ada manfaatnya untuk dicatat bahwa
penafsiran kembali makna Prambanan dalam perkembangan kesenian Jawa
Tengah sangat cocok dengan gagasan-gagasan terkini mengenai hubungan
antara agama Hindu dan Buddha di Jawa Tengah kuno (Fontein 1990:38).
Sebuah laporan yang ditulis arkeolog Indonesia, Soekarto, sebagaimana
yang dikutip dalam Kompas 17 Juli 1993, menyangkut keberadaan puingpuing reruntuhan kuil-kuil Buddhis serta penemuan satu prasasti dalam
bentuk sebuah lingga di dekat Borobudur, sungguh menarik sehubungan
23 Hipotesis ini penting untuk argumen saya, mengingat penegasan Ensink (1978:181) bahwa
selama kurun waktu Jawa Tengah tampaknya aivisme dan Buddhisme secara bergantian
atau serempak didukung oleh para penguasa. Walaupun kedua agama itu tampaknya
toleran satu sama lain, namun tidak ada petunjuk sekecil apa pun mengenai suatu
hubungan yang bercorak teologis di antara keduanya: monumen-monumen aiva
seluruhnya bercorak aivistik tanpa rujukan apa pun pada Buddhisme, dan sebaliknya;
demikian juga halnya dengan berbagai prasasti. Rupanya Ensink mengabaikan petunjuk
dari prasasti Klurak yang menyajikan landasan teologis bagi pembangunan Candi Sewu
dan juga Candi Loro Jonggrang.
24 Beberapa pakar lainnya, baik yang terdahulu maupun kemudian, mengamati adanya
berbagai keserupaan yang mencolok dalam rancangan Candi Loro Jonggrang, Candi Sewu
dan Candi Plaosan. Namun pendapat-pendapat mereka tidak ditindaklanjuti dengan
banyak riset nyata. Lihat misalnya, IJzerman (1887:266, 1891:41), Groneman
(1887:1435), Le Bonheur (1971:54), dan Edi Sedyawati (1978a).
61
Roy Jordaan
dengan hal ini, karena memperkuat dugaan bahwa tempat suci ini juga
dikelilingi oleh kuil-kuil Hindu, sama seperti sebaliknya yang terjadi di
Prambanan. Juga yang layak dicatat dalam kaitan ini adalah penemuanpenemuan berbagai arca dari kedua panteon tersebut di situs-situs candi yang
berbeda: sebuah arca perunggu kecil bohisvattva Vajrapn i di candi aiva
Sambisari, dan sebuah arca perak iva di candi Buddhis Sewu (lihat Bagian
8).
Fakta-fakta ini tentu saja lebih mudah dijelaskan dengan merujuk pada
kehidupan berdampingan secara rukun di antara agama-agama tersebut, alihalih melalui perubahan nasib mereka karena perjuangan demi merebut
kekuasaan, sebagaimana yang coba dilakukan De Casparis dan para murid
dan pengikutnya. Lebih dari itu, kita dapat bertanya apakah perjuangan demi
merebut kekuasaan tersebut harus ditafsir dalam rangka persaingan demi
memperoleh kemurahan raja dan akses yang mudah ke keraton, yang
mungkin tidak relevan bagi kebanyakan rakyat jelata.
62
Candi Prambanan
itu tak pelak lagi menyiratkan sebuah gunung para dewata. Tambahan pula,
simbar-simbar, hiasan-hiasan dalam bentuk trila, sebagai simbol-simbol khas
bergunung-gunung, menonjolkan corak berbatu-batu dari keseluruhan
bangunan. (Stutterheim 1929a:41.)
63
Roy Jordaan
Minat saya sendiri pada simbolisme Meru ditimbulkan oleh perkenalan saya
dengan masalah-masalah tafsiran atas benda-benda ritual yang dipendam
(ritual eposits) di berbagai candi Jawa, khususnya di Loro Jonggrang, yang
telah memainkan peran yang sedemikian penting dalam perkembangan teori
tentang candi sebagai makam. Walaupun berkat hasil riset yang dilakukan
Bosch (1954) dan Soekmono (1974), teori ini telah kehilangan fundamen,
namun seingat saya belum ada satu pun penjelasan memuaskan yang
ditemukan sampai sekarang ini menyangkut benda-benda ritual yang
dipendam itu.25
25 Harus dicatat bahwa penilaian saya ini untuk sebagiannya dipengaruhi oleh berbagai
situasi ketika saya melakukan riset. Publikasi saya yang pertama ditulis selama menetap di
Jakarta (1988-1992), di mana saya tidak memiliki akses yang memadai kepada literatur
terkini. Karena alasan ini maka saya tidak menyadari, dan juga tidak memiliki kesempatan
untuk berkenalan dengan beberapa publikasi penting semisal Aichele (1969), Van Liere
(1980) dan Treloar (1972). Analisis Treloar tentang perawatan kimiawi atas benda-benda
ritual yang dipendam di candi-candi Hindu di Malaysia harus disinggung secara khusus di
sini.
64
Candi Prambanan
Oleh karena itu, bila tidak benar untuk menyebut peti-peti batu kecil
yang ditemukan di candi-candi ini sebagai peti mati atau kendi abu
jenazah, maka bagaimana mesti menafsir tumpukan abu, permata-permata
kecil, gambar-gambar binatang kecil yang dipotong dari lembaran emas serta
benda-benda yang menyerupai huruf yang terdapat dalam peti-peti tersebut?
Dan apa yang dipikirkan tentang tiga kerangka binatang dan satu kerangka
manusia yang ditemukan di suatu tempat di halaman pusat kompleks
percandian Prambanan? Tampaknya tidak masuk akal bagi saya untuk
sekadar menyatukan semua hal ini tanpa mempertanyakannya lebih lanjut
(lihat tulisan IJzerman dalam buku ini).
Mengikuti Stutterheim, saya membatasi diri saya pada benda-benda
ritual yang ditemukan di Candi iva, yang menurut Stutterheim merupakan
pusat kompleks percandian tersebut. Namun berseberangan dengan
Stutterheim, saya menganggap tidak tepat untuk memandang guntinganguntingan binatang kecil dan benda-benda yang menyerupai huruf tadi
sebagai simbol-simbol Tantrik yang bercorak magis, tanpa rujukan apa pun
pada literatur peribadatan. Stutterheim menyebutnya sebagai simbol-simbol
tentang prinsip-prinsip dewata yang bersepadanan dengan unsur-unsur
berbeda dari tubuh manusia; dengannya terbuka kemungkinan pada segala
waktu untuk memberi penguasa yang didewakan itu sebuah tubuh
sementara, kalau-kalau para keturunannya ingin menghormati atau meminta
nasihat darinya (Stutterheim 1940:226).
Saya menyebut rujukan yang samar-samar ini pada ajaran-ajaran Tantrik
sebagai sebuah pengganti sementara yang lebih banyak menyelu bungi daripada
menjelaskan. Sejauh kita hampir tidak mengetahui apa pun tentang kultus
penghormatan leluhur, sebagaimana yang pernah didalilkan Bosch (1954), maka
tampaknya tidak masuk akal bagi saya untuk memandang benda-benda ritual
tadi sebagai barang-barang berharga (saptaratna) yang dikirim bersama
seorang penguasa khayalan yang telah mangkat dalam per jalanannya ke akhirat,
entah sebagai pembayaran atau makanan bagi para dewata (lihat Scheltema
1912:77-78; Van Blom 1935:110).
Anjuran Soekmono, yang ditimbanya dari OConnor (1964), yaitu
bahwa benda-benda ritual tersebut bisa dikaitkan dengan beberapa klasifi
kasi kosmologis tertentu, seperti klasifikasi ast aikpla,
tampaknya tidak
masuk akal juga tanpa merujuk pada panduan-panduan pasti dari buku-buku
pegangan menyangkut bangunan Hindu yang diikuti dalam pembangunan
65
Roy Jordaan
66
Candi Prambanan
67
Roy Jordaan
Terdapat beberapa ciri dalam deskripsi itu yang patut mendapat perhatian
kita.27 Lebih daripada sekadar penyerupaan candi itu dengan Gunung
Mandara, saya dicengangkan oleh penekanan pada mitos Pengadukan
Lautan Susu. Keseluruhan uraian malah dapat dilihat sebagai sebuah
metafora atas mitos ini (Aichele 1969). Di lain pihak, paparan puitis itu
sedemikian jelas sehingga kita mereka-reka apakah barangkali terdapat taraf
makna yang lain, khususnya mengingat komentar Stella Kramrisch tentang
makna hakiki dari berbagai mitos untuk pembangunan candi, yang saya
adopsi sebagai panduan riset saya, yaitu: Candi Hindu adalah jumlah
keseluruhan dari ritus-ritus arsitektural yang dilaksanakan atas dasar
mitosnya. Mitos itu mencakup dasar dan merupakan rancangan bangunan
yang didirikan di atasnya (Kramrisch 1976:vii). Sebagai seorang antropolog
sosial budaya, saya memandang pernyataan ini sebagai suatu pengakuan
yang sejati tentang makna penting mitos itu bagi orang-orang yang
mempercayainya. 28
Perbandingan antara halaman pusat candi dengan Lautan Susu
khususnya menggugah rasa ingin tahu karena kemungkinan adanya pertalian
dengan komentar-komentar Krom tentang pembangunan halaman ini.
Paparannya mendorong saya untuk mereka-reka apakah halaman pusat
27 Di sini bukan tempatnya untuk membahas argumen-argumen Poerbatjaraka yang me
nyerupakan kompleks percandian yang dilukis dalam kakawin Rmyan a (RJK) dengan
Loro Jonggrang. Untuk pembahasan lebih lanjut mengenai berbagai kesepadanan antara
RJK dan prasasti Loro Jonggrang, lihat Jordaan (1989:24-26, 1991a, catatan kaki no. 1).
28 Menyangkut makna penting mitos dalam pembangunan candi di daratan Asia Tenggara,
para pembaca budiman boleh merujuk pada karya Heine-Geldern (1930, 1967:51). Tulisan
Van Liere (1980), yang mula pertama saya tahu hanya melalui karya Wolters (1982:89),
menyajikan beberapa titik tolak penting untuk melakukan kaji banding tentang tema air
suci dalam arsitektur candi di Asia Tenggara (lihat Jordaan 1991a:176; Stargardt 1992a,
1992b; Christie 1992; Klokke 1993:150-152).
68
Candi Prambanan
itu dirancang dan digunakan sebagai sebuah waduk atau kolam buatan. Hal
pertama yang mencolok berkaitan dengan hal ini adalah ketebalan
tembok bagian dalam yang memagari halaman candi-candi besar. Tembok
ini setebal kira-kira dua meter yang, menurut Krom, membuatnya cukup luas
tidak saja untuk pagar langkan, tetapi juga untuk jalan terusan mengitari
teras. Tembok benteng (rampart) adalah kata yang digunakan untuknya
oleh Scheltema (1912:80). Kaki tembok ini sekitar 1,5 meter lebih rendah
daripada permukaan halaman pusat, yang memungkinkan kita untuk
menyebut kawasan utama candi sebagai teras yang ditinggikan. Krom
melukiskannya dengan kata-kata berikut:
Teras besar itu bisa didaki dari semua sisi dengan sebuah tangga, yang juga
tetap tidak dihiasi. [...] Tingginya 4,20 meter di atas permukaan tanah dan
melintang datar kecuali satu kemiringan kecil guna memperlancar drainase.
Saluran-saluran drainase ditempatkan hanya pada masing-masing sisi tangga
masuk, walaupun [dewasa ini] hanya lubangnya saja yang masih dapat dilihat.
Kenyataan bahwa cuma terdapat sejumlah kecil lubang, yakni delapan, untuk
kawasan seluas itu, demikian juga ukuran lubang-lubang itu yang kecil,
barangkali berkaitan dengan sifat tanahnya yang berpasir, yang sangat mudah
ditembus air. (Krom 1923a:451.)
Walaupun saya bukan seorang pakar ilmu bangunan air, hal terakhir tadi
tampaknya mustahil bagi saya mengingat kemungkinan anjloknya dan
akhirnya ambruknya bangunan-bangunan candi yang berat itu gara-gara
kurang terkendalinya drainase air melalui tanah. Lebih jauh saya merekareka apakah tanah itu sesungguhnya benar-benar tanah berpasir sebagaimana
yang diyakini Krom. 29 Penegasan bahwa tanah tersebut sangat mudah
ditembus air juga tidak dapat dibuktikan.30 Sebaliknya,
29 Saya tidak berhasil memperoleh informasi yang lebih persis menyangkut komposisi tanah
69
Foto 2. Mata mereka bundar, membelalak dan melotot. Kepala Kla di atas
bilik utama Candi iva. (Foto oleh penulis.)
70
Candi Prambanan
71
Roy Jordaan
72
Candi Prambanan
tembok sebelah barat dari tembok pembatas ketiga itu menyiratkan tentang
pertemuan tembok-tembok tersebut dekat tepi sungai tadi (lihat Gambar 2
yang memuat denah kompleks percandian itu). Keuntungan yang diduga dari
hal ini ialah akses mudah yang disediakannya untuk mendapatkan air bersih
guna ritual penahiran para pedanda, benda-benda pemujaan dan yang
sejenisnya.
Tujuan kedua, demikian De Casparis, berkenaan dengan penggunaan
pemukiman dan pertapaan sementara bagi para pedanda, resi dan peziarah
sebuah gagasan yang mula pertama dilontarkan oleh panitia pemugaran
kolonial (lihat Verslag 1926:36). Sebuah penjelasan yang masuk akal untuk
rancangan yang aneh dari tembok ketiga itu ialah pemilahan yang di
siratkannya antara ruang yang dikhususkan untuk kediaman para dewata
(di belakang tembok yang terjurus ke mata angin utama) dan ruang yang
dikhususkan untuk tempat tinggal manusia, di mana arah atau kiblat yang
persis dianggap tidak perlu (De Casparis 1956:308-309).
Hemat saya, hal terakhir tadi sekaligus menyajikan sanggahan utama
terhadap pemecahan masalah khusus ini. Walaupun boleh jadi benar bahwa
bidang tanah dimaksud pernah sekali waktu didiami dan malah barangkali
juga memberi akses ke sungai, namun tampaknya sangat tidak mungkin ia
menjadi lokasi trtha yang dirujuk dalam prasasti tadi. Kenyataan bahwa
prasasti itu mengacu pada sihaytra atau mahtisa berkaitan dengan
pemandian menyiratkan penyucian yang dilakukan sebelumnya terhadap air
itu. Dari sisi tilik simbolis, persyaratan ini tidak dapat dipenuhi di tempat
profan yang ditunjuk De Casparis, yang dikhususkan untuk para resi dan
yang lain yang disebut sebagai tempat tinggal manusia. 33
Pertentangan ini mendorong saya untuk meninjau kembali kemungkinan
adanya sebuah trtha langsung dekat candi-candi besar, yaitu di kediaman
para dewata itu sendiri.34 Tidak perlu ditandaskan lagi bahwa air dari tempat
ini niscaya dianggap seluruhnya sudah disucikan
33 Tentu saja hal yang serupa berlaku untuk Tlaga Lor, sebuah kolam kuno yang terdapat di
sebuah dusun tak jauh dari sana, yang masih digunakan sebagai tempat pemandian oleh
penduduk setempat (Profesor Boechari, perbincangan pribadi).
34 Berkait dengan hal ini, patut diperhatikan catatan sambil lalu yang dibuat Leemans, yaitu
bahwa agar memperoleh suatu pemahaman yang baik menyangkut desain dan
pembangunan kelompok Candi Prambanan, kita harus membayangkan adanya sepasang
penjaga candi besar yang terdapat pada gapura-gapuranya dan juga kolam-kolam di dalam
tembok keliling bagian dalam untuk upacara penahiran (Leemans 1853:25; perhatikan
penggunaan kata kolam-kolam yang dipakainya dalam bentuk jamak (bahasa Belanda:
vijvers)).
73
Roy Jordaan
dan memiliki semua kualitas ajaib yang dikenakan pada jenis air semacam
itu. Untungnya, prasasti itu sendiri mengemukakan informasi yang
mendukung penafsiran secara harfiah atas kakawin Rmyan a. Salah satu
titik temu yang paling mencolok antara prasasti itu dan karya sastra Jawa
Kuno tersebut adalah yang berkenaan dengan penggunaan air. Kedua teks
sama-sama menggunakan kata tamwak, yang biasanya diterjemahkan
sebagai bendungan (atau dam). 35 Walaupun De Casparis mencatat bahwa
terjemahan tersebut bisa dibela dengan merujuk pada dua ayat yang terdapat
dalam prasasti tersebut yang satu menyinggung dampak-dampak yang
menguntungkan bila mandi di sana, dan yang lain menyangkut perubahan
yang dibuat orang atas daerah aliran sungai namun ia berpikir bahwa
tampaknya lebih besar kemungkinan bahwa kata tamwak dalam prasasti itu
mengacu pada tembok-tembok yang terbuat dari batu-batu yang memisahkan
bagian-bagian yang berdiri sendiri dari kompleks itu satu sama lain.
Keberatannya yang utama menyangkut terjemahan lazim kata tamwak itu
ialah bait di mana kata itu pertama kali ditemukan membahas tentang
bangunan-bangunan atau unsur-unsur arsitektural yang secara langsung
dihubungkan dengan ini (1956:322), dan persis penafsiran itulah yang coba
saya buktikan.
Bangunan yang menyerupai bendungan itu di tembok bagian dalam
cocok seluruhnya dengan sebuah pemahaman tentang halaman pusat
kompleks percandian sebagai suatu gambaran fisik dari Lautan Susu.
Sehubungan dengan tujuan bangunan ini, saya menyebut Prambanan sebagai
sebuah kuil air suci di mana melalui peragaan kembali sebuah mitos, air
suci itu dihasilkan.36 Saya yakin bahwa sekarang, alih-alih peragaan
kembali, saya lebih suka memakai istilah kosmisasi (cosmicization) dari
Mircea Eliade, yang menyiratkan sebuah penakdisan yang meniru karya
paradigmatis para dewata (Eliade 1976:18-31). Barangkali terbilang
35 Menurut Gericke dan Roorda (1901, I:704), kata tambak berarti dam, dan juga
74
Candi Prambanan
38 Teramat penting berkait dengan hal ini adalah terjemahan atas kata perangkai apan, yang
bisa berarti agar/supaya atau karena (Aichele 1969:146). Bertahun-tahun kemudian
seorang pakar epigrafi Indonesia, Boechari, secara terpisah sampai pada kesimpulan sama
seperti yang ditarik Aichele (Boechari 1978:14, 20, perbincangan pribadi). Secara teknis,
pembelokan sungai tersebut boleh jadi dimaksudkan untuk melindungi situs candi dari
erosi; saya berterima kasih kepada Dr. Peter Buurman, pakar geologi, untuk anjuran ini.
75
Roy Jordaan
Lihat juga Zoetmulder (1982:1969) yang menerjemahkan tas (twas) sebagai batu
(pembatas) suci.
76
Candi Prambanan
menafikan kemungkinan bahwa menyangkut alternatif ini, yakni tembok ketiga berfungsi
sebagai penyangga saluran tersebut. Barangkali inilah yang dimaksudkan oleh tembok
menjulang tinggi yang terbuat dari perak putih mengitari keseluruhan kompleks [...]
bagaikan ular Vsuki (Poerbatjaraka 1932:164), yang diterjemahkan Soewito Santoso
sebagai berikut: Terdapat sebuah kanal yang berkelok-kelok menanjak, dengan tanggultanggul yang terbuat dari perak putih. Kelihatannya serupa dengan naga Basuki. Menurut
IJzerman (1891:39), salah satu dari segelintir orang yang pernah melihat puing-puing
reruntuhannya, tembok ketiga itu berlubang. Di lain pihak, plat XVII, gbr. 67 yang dibuat
IJzerman, menunjukkan sebuah saluran air di bawah tanah yang terbuat dari batu yang
membentang dari penjuru utara tembok ketiga hingga menerobos masuk ke dalam
kompleks percandian tersebut dan keluar lagi dari sana, sambil menyusuri kawasan candi
induk (direproduksi dalam Gambar 2). Lihat juga OV 1931-1935, dan foto OD 7760,
11403-11404 yang memperlihatkan saluran tersebut beserta urung-urung yang
dihubungkan dengannya.
77
Roy Jordaan
Sampai tahap ini saya cuma dapat menambahkan satu catatan yang berkaitan
dengan hal ini, yakni masalah kebocoran yang diandaikan. Saya melakukan
hal itu berdasarkan foto-foto yang saya ambil atas kawasan candi itu pada
tahun 1992. Walaupun salah satu foto yang dicetak kembali di sini agak
kabur, namun terlihat tiga selokan dangkal yang digali secara manual, yang
pada salah satu sisinya bertemu di tapal batas yang diisi kerikil dan tanah liat
yang tertutup lempeng-lempeng rumput di sekitar kaki Candi iva. Pada sisi
yang lain selokan-selokan tersebut bermuara pada lubang-lubang di tembok
yang menyerupai dam yang mengitari kawasan candi. Dua dari selokan itu
bisa dilihat berujung pada lubang-lubang yang ada pada kedua sisi gapura
yang terletak di sebelah barat, sedangkan selokan ketiga berakhir di sebuah
lubang besar yang barusan dibuat di tembok bagian dalam.
Menurut para buruh yang bekerja di situs candi itu, selokan-selokan
41
Kedalaman 10 sentimeter ini bersifat hipotetis belaka, namun cocok dengan ketinggian
ambang gapura yakni 55 sentimeter, yang menjadi jalan masuk ke halaman bagian dalam.
Hemat saya kedalaman tersebut sudah lebih dari cukup bagi para pedanda dan peziarah
yang diperkenankan masuk ke kawasan itu untuk secara ritual membasuh kaki mereka,
dan juga untuk memenuhi tuntutan mitos tentang Pengadukan Lautan Susu yang menjadi
landasan pembangunan candi tersebut. Jumlah orang yang dibutuhkan untuk memikul air
sebanyak itu juga tentu saja hipotetis. Dalam kenyataannya, jauh lebih banyak orang yang
terlibat dalam tugas ini guna meringankan beban untuk setiap orang.
78
Candi Prambanan
tadi berfungsi untuk memperbaiki drainase, sebab hujan lebat dan kolamkolam berlumpur yang terbentuk setelah hujan lebat itu berhenti dianggap
menjadi kendala bagi para pengunjung.42 Tampaknya selokan-selokan
dangkal tersebut tidak cocok untuk drainase itu, sebab kemudian Dinas
Purbakala memasang jejaring saluran peresapan yang terbuat dari pipa
pralon dan beton, yang mencakup tidak kurang dari 20 bak drainase
berukuran besar dan kecil yang disebarkan di seantero halaman pusat
(Laporan 1993; Jordaan 1995, lihat lampiran A).
Agar kita dapat membayangkan secara tepat halaman candi itu sebagai
penjelmaan simbolis dari Lautan Susu, maka semua perubahan ini harus
dibatalkan.
Foto 3. Selokan-selokan yang digali secara manual di bagian barat halaman pusat
Candi Prambanan. (Foto oleh penulis.)
42 Sebagai catatan tambahan saya menyebut kejadian di mana halaman pusat itu tergenang
air hujan persis pada waktu kunjungan resmi Hillary Clinton sebagai First Lay pada
bulan November 1994. Baru sesudah air hujan ini dipompa keluar oleh mesin dinas
pemadam kebakaran Yogyakarta dapatlah istri Presiden Amerika Serikat beserta
rombongannya masuk halaman pusat Candi Prambanan. Informasi penting ini saya
peroleh dari Dr. Marie-Louise Totton, pakar sejarah seni Hindu-Jawa, yang ketika itu
diminta menjadi pemandu wisata untuk tamu asing yang terkemuka itu.
79
Foto 4. Saluran-saluran drainase terkini di halaman pusat. (Foto oleh Pia Hoekstra.)
80
81
82
Foto 5. Penyingkapan sebagian dari sistem tembok bawah tanah di halaman pusat. (Foto OD 11401.)
Foto 7. Lubang got dengan penutup sebagai onderdil saluran air di bawah tanah
83
Roy Jordaan
Lebih dari itu, amat patut dipertanyakan apakah para arsitek Hindu memiliki
cukup keberanian untuk mengambil risiko mendirikan kedelapan candi yang
sangat berat itu di atas sebuah fondasi dengan daya topang serta ciri-ciri
teknis lainnya yang tidak dapat ditentukan secara persis. Menurut
84
Candi Prambanan
Bosch, justru soal-soal struktural inilah yang menjadi kelemahan dari para
arsitek Jawa, dan karenanya membuka diri mereka dibimbing oleh berbagai
instruksi yang terdapat dalam buku-buku pegangan bangunan yang dibawa
rekan-rekan seagamanya dari India. 43 Argumen-argumen di atas membawa
kita ke persoalan arsitektur candi Hindu, dan menyajikan kita konteks
sebenarnya menyangkut masalah-masalah tentang desain dan makna.
Dalam arsitektur candi Hindu, rancangan bangunan dan maknanya
dikaitkan satu sama lain secara tak terpisahkan. Dalam bahasa Belanda
arsitektur candi juga disebut sebagai arsitektur yang sakral atau ditakdiskan
(gewije bouwkunst), dan tentang hal ini Bosch memberi catatan berikut:
Sama seperti segala sesuatu yang menyangkut para dewata dibuat berdasarkan
aturan-aturan yang ditetapkan dalam kitab-kitab suci, demikianlah pula hal ini
berlaku pertama dan terutama untuk tempat sakral atau istana dewata yang
mesti dibangun sesuai dengan kehendak yang diwahyukan sendiri oleh sang
dewa agar ia kerasan di sana. Pilihan menyangkut tempat, peletakan batu
pertama, penempatan arca sang dewa di bagian dalam yang paling sakral, serta
tindakan-tindakan [lain] semacamnya [semuanya] harus dikerjakan sesuai
dengan aturan-aturan upacara tertentu. Dalam cara serupa pemilihan bahanbahan bangunan, ukuran denah tanah, pembangunan serta bentuk dan hiasan
bangunan itu sendiri dibuat secara tegas sesuai dengan aturan-aturan. (Bosch
1920:105-106; lihat juga Vogler 1949:10-17; Kramrisch 1976.)
Berbagai kitab di mana aturan-aturan tadi disarikan dari teks-teks suci yang
ada dan disusun demi kepentingan para arsitek, pematung, dan ilpin (tukang
atau pengrajin) dinamakan ilpastra. Kapan risalah-risalah arsitektural ini
disusun sukar ditentukan, namun Bosch menduga, berdasarkan banyaknya
rujukan kitab-kitab itu pada ajaran-ajaran Tantra dan juga coraknya yang
gado-gado, bahwa ilpastra tidak memperoleh bentuknya yang sekarang
sebelum abad ke-8 M. Namun ia yakin bahwa bahan-bahan penyusunnya
jauh lebih tua. Sama pula sulitnya untuk menentukan ada berapa banyak
43 Menurut Bosch, tidak ada alasan untuk memuji para arsitek Jawa dengan bakat untuk
85
Roy Jordaan
86
Candi Prambanan
setelah pengusiran dinasti ailendra dari Jawa, para penguasa baru mungkin pernah
berupaya melaksanakan pembangunan pada skala lebih besar atau dalam perincian yang
lebih indah daripada yang pada mulanya dirancang (Jordaan 1993:34). Boleh jadi bahwa
perinciannya lebih indah namun secara signifikan bukan pada skala yang lebih besar atau
secara struktural, sebab desain struktural telah ditetapkan sebelumnya dan tidak mungkin
diubah seenaknya tanpa membahayakan rancang bangun secara keseluruhan. Sebuah
contoh perombakan yang penting tapi non struktural adalah pelebaran tangga di sisi timur
Candi iva yang disebut dalam tulisan Bernet Kempers dalam buku ini.
87
Roy Jordaan
88
Candi Prambanan
itu. Laporan panitia pemugaran memberi tahu kita bahwa Van Erp pada
mulanya mempercayai bahwa gapura utama itu tidak mungkin berada di sisi
timur, walaupun ia menyadari bahwa gapura di sisi itu kenyataannya lebih
luas dan lebih monumental daripada gapura-gapura yang terdapat di sisi-sisi
lain. Menurut Van Erp, argumen estetik bahwa candi-candi itu akan terlihat
jauh lebih cantik dengan latar belakang Gunung Merapi mendukung letak
gapura itu di sisi selatan. Juga letak jalur jalan yang ada pada waktu itu
tampaknya mendukung hal ini. Sebuah keadaan yang tampaknya
mendukung letak gapura utama di sisi barat adalah luasnya halaman antara
candi-candi Trimrti dan sisi tembok bagian dalam. Argumen yang
menentang letak gapura utama itu di sisi timur berbunyi sebagai berikut:
Tanggapan panitia pemugaran terhadap hal ini, yang boleh kita duga
dipengaruhi oleh Stutterheim, yang menjadi sekretarisnya, adalah sebagai
berikut:
Menurut pandangan orang-orang Jawa tidak ada yang tidak memuaskan
menyangkut model pembangunan ini; sebaliknya, hal itu sungguh berarti sebab
bagaimanapun juga candi-candi vhana berfungsi sebagai sebuah kelir atau
layar yang melindungi iva dari pandangan manusia, yang berkenaan dengan
monumen utama, di mana Mahdeva ditakhtakan. Gapura utama menuju candi
itu juga terletak di sisi timur, dan karenanya sisi timur itu mesti merupakan sisi
yang baik untuk menghampiri [kompleks itu]. Hal ini juga diisyaratkan oleh
pembuatan yang lebih megah dari jalan masuk sebelah timur itu. Kita
memperhatikan hal yang sama dalam arsitektur Jawa Timur, tentangnya
Prambanan merupakan sebuah contoh peralihan. Pergeseran poros tanggatangga bila dibandingkan dengan poros-poros utama Candi Nandi dan Candi
iva merupakan sebuah gejala yang dapat dilihat dalam tata letak keraton
hingga dewasa ini. (Verslag 1926:16.)
89
Roy Jordaan
Bukanlah maksud saya untuk menggugat bahwa lokasi dari gapura utama itu
berada di timur; ukurannya sendiri merupakan bukti yang memadai untuk
hal ini. Keberatan saya berkenaan dengan pendapat bahwa paham-paham
Jawa menjadi landasan untuk susunan kompleks percandian itu, dan bahwa
layar permainan wayang serta tata letak keraton bisa diangkat sebagai
petunjuk untuk hal ini. Hal tersebut tidak saja mengabaikan pertanyaan
apakah wayang dan tata letak keraton dipijakkan pada model-model India,
tetapi juga bertentangan dengan kenyataan bahwa sebuah gapura utama yang
terletak di sisi timur sesungguhnya tidak cocok dengan pemahaman umum
tentang tata ruang di Indonesia. Gagasan bahwa penempatan sebuah
bangunan pada poros timur-barat mesti dihindari terbilang jauh lebih lazim,
karena poros itu adalah jalan matahari. Hal ini berlaku tidak saja untuk
rumah-rumah penduduk desa, tetapi juga untuk istana raja, dan inilah alasan
mengapa kebanyakan keraton Jawa diposisikan pada poros utara-selatan
(Behrend 1989). Pergeseran poros gapura terhadap candi-candi itu, serta
hubungannya dengan pengaturan bangunan-bangunan keraton, terbilang
benar-benar mencolok dan boleh jadi melibatkan pertimbangan ini. Namun
jawabannya yang pasti membutuhkan penelitian lebih lanjut. 46 Namun
landasan untuk mempelajari segi-segi arsitektural rancang bangun candi
Hindu-Jawa belum lagi diletakkan. Saya cuma mengenal telaah eksploratif
awal yang dilakukan Bosch (1920), yang lebih dari itu tidak secara langsung
berpautan dengan Loro Jonggrang, tetapi sebaliknya ditujukan untuk
menjadikan gagasan tentang penggunaan ilpastra dalam pembangunan
candi Jawa dapat diterima secara lebih umum lagi. 47 Agak mengejutkan
bahwa Bosch berhasil dalam ikhtiarnya ini, mengingat bahwa pada waktu itu
yang tersedia baginya hanyalah teks dari satu ilpastra saja, yakni
Mnasra, dan teks itu pun cuma dikenal dalam bentuk yang tidak lengkap
lagi rusak. Tambahan pula, risalah tersebut berasal dari dan digunakan di
India Selatan. Sebagaimana yang sekarang kita ketahui, pengaruh dari India
Utara, khususnya dari Nland dan
46 Bahwa pandangan manusia mesti disembunyikan dari tatapan iva memerlukan
penjelasan tertentu. Lebih dari itu, tidak dilaporkan apakah kaidah ini bercorak Jawa atau
memiliki asal-usul India. Pernyataan tegas ini semestinya didukung oleh contoh-contoh
etnografis atau dengan kutipan-kutipan dari ajaran-ajaran dogma Hindu.
47 Menyangkut Jawa Tengah, riset perintisan Bosch hanya diikuti oleh studi Van Blom
(1935) tentang Candi Sojiwan. Mesti disinggung pula secara terpisah di sini karya Van Erp
(1909, 1943) ketika riset arsitektural dan ikonografisnya memiliki kelasnya tersendiri.
90
Candi Prambanan
91
92
Candi Prambanan
Arti penting perhitungan ini luput dari perhatian saya. Berangkat dari cara
bagaimana prasasti itu dirumuskan, saya lebih cenderung membayangkan
bahwa yang terpenting adalah jumlah bangunan-bangunan tersebut, alih-alih
jumlah gapuranya. Lebih dari itu, jumlah gapura-gapura tersebut bisa saja
dengan mudah dibagi ke dalam delapan kelompok. Jadi, setiap
93
Roy Jordaan
deretan bertingkat memiliki empat candi sudut, yang terletak pada garisgaris diagonal, yang masing-masingnya memiliki dua gapura. Oleh karena
itu, jumlah keseluruhan gapura sudut itu dalam setiap deretan bertingkat
adalah delapan. Bila kita bergerak dari satu deretan bertingkat ke deretan
bertingkat berikutnya, maka jumlah candi yang ditempatkan di antara candicandi sudut ini meningkat mulai dari 10 ke-2, 14, dan 16, dan angka terakhir
tadi sekali lagi adalah kelipatan dari delapan. Tampak bahwa semuanya ini
bagaikan permainan angka dan jumlah yang nirmakna, namun sebenarnya
tidak demikian. Pilihan yang aneh untuk angka delapan di antara para
pembangun juga ditemukan di tempat-tempat lain, misalnya di kawasan
candi induk, di mana kita menemukan delapan candi utama serta candi kelir
dan menara sudut yang sudah kita sebutkan di atas. Delapan adalah juga
jumlah talang air (jalawara) di tembok bagian dalam, masing-masing dua
buah di keempat gapura. Selanjutnya, terdapat relief-relief yang memiliki
delapan penjaga mata angin (ast aikpla)
dan delapan dewata yang belum
kelompok delapan lainnya, yang menyiratkan makna khusus angka delapan dalam
pemikiran Hindu-Buddhis, seperti delapan pekuburan dalam ritus Tantrik, delapan
Siddhnta Mahevara, delapan bohisvattva yang membentuk Nirmakaya, jalan rangkap
delapan dalam Buddhisme, dan seterusnya. Tidak banyak yang dapat dipelajari dari katakata Walker bahwa delapan adalah sebuah angka yang sangat mistis; kunci menuju
fatalitas di balik berbagai kejadian (1968:137). Namun menarik untuk dicatat bahwa
delapan adalah as ta (astau) dalam bahasa Sanskerta, sebuah bentuk rangkap satusatunya bentuk rangkap dalam bahasa Sanskerta yang sangat boleh jadi memiliki
sangkut pautnya dengan persoalan ini (perbincangan pribadi dengan Profesor Lokesh
Chandra).
94
Candi Prambanan
95
Roy Jordaan
berupaya menarik pertalian antara candi itu dan sekte aiva lainnya, yaitu
kaum Kplika. Pendapat saya khususnya dilandaskan pada penemuanpenemuan IJzerman (1891) tentang sisa-sisa kerangka manusia dan binatang.
Menurut IJzerman sisa-sisa kerangka tersebut bisa dijadikan pertanda bahwa
kompleks percandian tersebut dibangun oleh sebuah sekte Tantrik. Dalam
tulisannya IJzerman merujuk pada kajian-kajian yang dilakukan Colebrooke
dan Coleman, yang melaporkan persembahan binatang-binatang kurban
kepada Dewi Kl. Sayangnya, acuan-acuan yang harus diakui agak samarsamar ini pada praktik-praktik Tantrik India selanjutnya diabaikan demi
mendukung teori tentang candi sebagai makam, yang ketika itu lagi naik
daun. Ada dua alasan untuk hal ini.
Pertama-tama, kebanyakan pakar sebelum Perang Dunia II hakulyakin
bahwa jenis Tantrisme ini dalam kurun waktu Jawa Tengah terbilang tidak
penting dan terbatas pada kasus-kasus terpisah menyangkut sekte-sekte kecil
yang tinggal di daerah pegunungan. Walaupun diketahui bahwa Buddhisme
Mahyna di rvijaya dironai dengan Tantrisme, namun para pakar dari
masa itu tidak mempertimbangkan kenyataan tentang pengaruh Tantrik ini
pada Buddhisme Mahyna yang dianut dinasti ailendra di Jawa Tengah,
terutama karena relasi di antara kedua kerajaan Buddhis itu dalam sebagian
besar kurun waktu Jawa Tengah tidak jelas. Karena tidak adanya bukti yang
lebih awal maka diandaikan bahwa Tantrisme yang berkembang sepenuhnya
baru menjadi penting di Jawa hanya selama masa Jawa Timur, yang
berlangsung mulai dari awal abad ke-10 hingga abad ke-15 (Krom 1931:189,
220; Moens 1924; Schnitger 1934). Contoh-contoh penanggalan Tantrisme
dari kurun waktu Jawa Tengah lazimnya diremehkan, dalam arti bahwa
contoh-contoh itu dirujuk entah sebagai paham-paham yang berkaitan
dengan atau bermuara dalam Tantrisme (Krom 1931:222) atau sebagai
gejala Tantrik yang tidak berarti dan kurang penting (lihat Bosch
1961:488).
Salah satu faktor penting dalam semua ini adalah suatu pandangan
negatif tentang Tantrisme yang dianggap serupa dengan ilmu persetanan
serta praktik-praktik jahat tukang sihir, atau teluh (ilmu hitam). Pertalian
Tantrisme dengan bangunan-bangunan klasik semisal Borobudur dan
Prambanan benar-benar tak terperikan (Krom 1927, II:327; Pott 1956:58).
Oleh karena itu, tidaklah mengherankan kita bila berkenaan dengan tafsiran
atas kerangka-kerangka binatang dan manusia yang ditemukan di
96
Candi Prambanan
Loro Jonggrang maka yang terjadi adalah sesuatu yang sama sekali tidak
luar biasa jika menghadapi sebuah dilema intelektual: persoalan rumit itu
dihindari, relevansinya ditampik, atau bukti tentangnya dipelintir.
Penghindaran itu terbilang sebagai reaksi yang paling mudah, dan hal
itu menjelaskan kebungkaman dalam literatur arkeologis terkini menyangkut
persembahan binatang-binatang kurban beserta kerangka binatang dan
manusia tadi. Penyangkalan terhadap persoalan ini tidak terlalu mudah dan
lebih jarang terjadi. Salah satu contoh yang pasti tidak disengaja
dikemukakan Bosch yang mengesampingkan persoalan tentang aturanaturan menyangkut persembahan kurban yang tertera dalam Kitab Veda,
termasuk kurban manusia (purusameha),
sebagai sebuah persoalan
akademis, sembari mengatakan: Kita dapat mengandaikan bahwa kurbankurban semacam itu sebenarnya tidak pernah terjadi, tetapi dapat dianggap
sebagai khayalan belaka dari pihak para pedanda Brahmana yang
terpelajar (Bosch 1920:142, catatan kaki no. 1).
Mengingat dugaan-dugaan mengenai penyimpangan, pembungkaman atau
salah tafsir atas fakta bukan sekadar perkara ringan, maka dugaan-dugaan
tersebut menuntut pertimbangan yang sangat saksama dan mendasar. Oleh
karena itu, mula pertama saya akan meninjau kembali kajian yang dilakukan
sementara pakar yang menyinggung adanya kerangka dalam sebuah perigi di
Loro Jonggrang dan menganggapnya sebagai fakta sebagaimana yang kita
ketahui. Krom menyinggung tentang adanya kerangka manusia dan bangkai
binatang, namun tidak memberi komentar lebih lanjut, selain mengulang
kembali pengamatan IJzerman bahwa jelas tak satu pun dari perigi-perigi
tersebut, tanpa kekecualian, yang digali [sebagai lubang], tetapi bahwa ruang
yang dibutuhkan dibiarkan terbuka di bagian dasar [fondasi] selama
pembangunan [candi-candi itu] (Krom 1923a:486; lihat IJzerman 1891:69).
Tampaknya tak seorang pun yang memberi perhatian pada temuan tambahan
IJzerman, yaitu bahwa dalam semua candi tadi penutupan perigi-perigi dimulai
dari dasar fondasi, yang sebagaimana saya pahami menyiratkan bahwa si
almarhum tidak mungkin berada di dalam lubang itu secara kebetulan atau
sebagai hasil dari sebuah tindak kejahatan. Jadi, satu-satunya kesimpulan yang
tersisa adalah bahwa pasti ini merupakan kasus penguburan secara sengaja,
sangat boleh jadi pengurbanan manusia.
Apa pun alasan untuk kekeliruan ini, tetap saja kerangka dari Prambanan
97
Roy Jordaan
tadi nyaris tidak lagi mendapatkan perhatian apa pun setelah Krom. Satusatunya kesempatan di mana kerangka itu disinggung sekali lagi,
sepengetahuan saya, adalah dalam tinjauan Stutterheim (1935) terhadap
buku Van Blom mengenai Candi Sojiwan, sebuah candi yang terletak
beberapa kilometer dari Prambanan. Hal ini dipicu oleh penyebutan Van
Blom (1935:13) tentang penemuan sisa-sisa kerangka manusia di kawasan
tempat suci Buddhis ini, yang barangkali berasal dari paruh pertama abad
ke-9. Stutterheim, yang tetap bersikukuh pada ide-ide dari zamannya, juga
tidak merujuk pada kemungkinan latar belakang Tantrik menyangkut gejala
ini. Sebaliknya, ia mengacu dan sepengetahuan saya untuk pertama kalinya
pada tradisi kerakyatan Jawa menyangkut pengurbanan manusia dalam
pelaksanaan proyek-proyek bangunan penting. Apa yang mencengangkan
kita di sini, selain penyebutannya secara sambil lalu belaka, yakni dalam
sebuah catatan kaki saja, adalah rumusan Stutterheim yang sangat berhatihati, sembari memberi banyak ruang untuk hal-hal yang terjadi secara
kebetulan. Stutterheim menulis:
Penulis [Van Blom] melaporkan tentang penemuan sisa-sisa sebuah kerangka
manusia. Saya teringat bahwa di sebelah tenggara dari apa yang disebut sebagai
Candi Nandi di Prambanan juga pernah ditemukan sebuah kerangka (Foto OD
11192). Tentu saja kita tidak dapat menarik kesimpulan apa pun dari
persesuaian ini dan mesti memberi banyak ruang untuk kejadian yang
kebetulan. Namun demikian, diharapkan agar orang mesti bersikap hati-hati di
sini, antara lain yang berkenaan dengan keyakinan culik yang dianut orangorang Jawa, yang mengandaikan adanya pengurbanan manusia berhubungan
dengan proyek-proyek bangunan besar. (Stutterheim 1935:84, catatan kaki no.
1.)
Tidak mungkin luput dari perhatian pembaca yang awas bahwa sisa-sisa
kerangka yang disebut Stutterheim tidak mungkin sama dengan yang
ditemukan IJzerman pada tahun 1885, sebab yang terakhir tadi tidak
ditemukan di sebelah tenggara Candi Nandi, tetapi sebaliknya di perigi
Candi B yang terletak di sebelah utara Candi Nandi. Lebih dari itu,
penemuan kerangka yang terakhir tadi tidak didapatkan dalam sebuah perigi
di bawah landasan sebuah arca, tetapi di kawasan candi induk, setidaktidaknya sejauh yang dapat disimpulkan dari penjelasan yang sangat
98
Candi Prambanan
singkat yang menyertai foto yang disebutkan di atas. Sayangnya, tidak pula
ditemukan data penting dalam ringkasan Ouheikunige Verslagen 19311935, misalnya menyangkut jenis kelamin serta perkiraan usia si mati, dan
juga kemungkinan sebab kematian. Ini benar-benar merupakan contoh
arkeologis dari ungkapan tentang penyembunyian sebuah kerangka di dalam
lemari. Dalam kenyataannya, hal semacam ini bukan cuma terjadi kali ini
saja. Soekmono (1974:71), dalam nada serupa, menyatakan bahwa ada
ketidakpastian menyangkut asal-usul kerangka manusia yang ditemukan di
Candi Sojiwan. Namun bila ada ketidakpastian semacam itu maka hal itu
bersangkut paut dengan tulang-tulang yang hangus terbakar yang ditemukan
di perigi dari satu candi perwara yang kini telah musnah. Tentangnya Suaka
Peninggalan Sejarah dan Purbakala DIY tidak melaporkan apakah tulangtulang itu berasal dari binatang atau manusia, atau keduanya (Van Blom
1935:109). Namun menyangkut sisa-sisa kerangka yang ditemukan di sudut
barat laut halaman candi, Van Blom (1935:13) secara eksplisit berbicara
tentang seseorang yang meninggal di sana, yang tengkoraknya masih
berada dalam keadaan yang cukup baik.
Di samping pembungkaman mengenai bukti penting, juga terdapat
persoalan mengenai salah tafsir atas berbagai fakta dalam rangka rupa-rupa
paham dan praktik Jawa pribumi. Bila Stutterheim merujuk pada keyakinan
culik dalam hal ini, maka Soekmono teringat akan upacara adat desa yang
masih berlaku hingga sekarang, yakni penheman, yang melibatkan
penguburan binatang kurban berupa kepala kerbau pada situs sebuah
bangunan baru. Oleh karena itu, kesimpulan saya adalah bahwa kedua
penulis tersebut menjelaskan cuma sebagian dari masalah, sementara itu
bukti yang mereka kemukakan mesti dianggap tidak meyakinkan. Sama
seperti kepala kerbau itu tidak dapat dipersamakan begitu saja dengan
persembahan binatang kurban berupa seekor anjing atau seekor tenggiling,
demikian pula persembahan kurban berupa seorang manusia di halaman
pusat dari salah satu kompleks percandian aiva yang paling penting di Asia
Tenggara ini tidak dapat dijelaskan sekadar sebagai suatu kepercayaan
kerakyatan Jawa. Sebaliknya, mengingat tenarnya konservatisme
peribadatan candi Hindu maka pendapat saya ialah bahwa praktik tentang
kurban binatang dan manusia di tempat suci ini mesti merupakan tandingan
terhadap contoh-contoh India (Jordaan 1993:4).
99
Roy Jordaan
100
Candi Prambanan
101
Roy Jordaan
dan Goudrian 1979:53). Contoh-contoh tentangnya disajikan oleh reliefrelief iva dan Prvat, dan juga oleh relief-relief Srya dan Candra pada
regel di atas bilik candi iva, yang bisa dianggap mewakili berbagai oposisi
ganda (biner) semisal timur-barat, tinggi-rendah, lelaki-perempuan, utaraselatan serta matahari-bulan (lihat Jordaan dan Edi Sedyawati 1990:20).
Demikian pula, relief-relief pada candi apit, walaupun belum berhasil
diidentifikasi, menyingkapkan sekurang-kurangnya dua rangkaian oposisi:
kalau sisi-sisi sebelah selatan candi dipenuhi dengan sekitar 20 relief dewi
yang tidak terlalu mencolok, maka relief-relief pada sisi sebelah utara candi
cuma menggambarkan beberapa sosok lelaki yang kemungkinan juga adalah
dewa.
Para pengarang lainnya telah membuat sejumlah komentar, yang
biasanya sambil lalu, berkenaan dengan ciri-ciri Tantrik pada beberapa relief
candi Jawa Tengah.51 Menyangkut Loro Jonggrang, ciri-ciri tersebut
khususnya dibuat sehubungan dengan adegan-adegan tarian Tn d ava yang
ditemukan di sana. Menurut Stutterheim (1924:153), gambar-gambar
tersebut khas Tantrik dan dapat dibandingkan dengan lukisan-lukisan
Dkins dalam ikonografi Buddhis. Hal yang mencengangkan Bernet
Kempers (Ouheikunig Verslag 1948:25, lihat juga Bagian 9) adalah
corak pesta pora mabuk-mabukan yang terlukis pada relief-relief Tn ava,
52
walaupun ia tidak menggunakan kata Tantrik dalam konteks ini. Namun
kenyataan bahwa ia menunjukkan berbagai keserupaan dengan adeganadegan tarian yang terdapat pada Candi Sewu (lihat juga Bagian 10)
menyiratkan bahwa ia tidak cukup menyadari fakta bahwa
51 Salah satu contohnya adalah Bosch (1959) yang menunjukkan sejumlah keserupaan penting
dalam sosok-sosok Yaks a di Borobudur dan Padang Lawas di Sumatra. Akan tetapi, walaupun
ada keserupaan-keserupaan seperti ini namun ia menegaskan bahwa kedua versi Sadmada
(selalu mabuk) itu tidak dapat dibandingkan satu sama lain karena Buddhisme Borobudur
bebas dari pengaruh-pengaruh Tantrik (1959:239). Biarpun Padang Lawas memperlihatkan
suatu versi yang lebih canggih dari ilmu persetanan tentang sosok-sosok Yaks a , namun itu
bukanlah alasan untuk menganggap Buddhisme Borobudur bebas dari hal-hal seperti itu.
Penemuan sisa-sisa kerangka di Candi Sojiwan membuktikan bahwa Buddhisme Jawa Tengah
tidak kurang kejam dan haus darahnya daripada perwujudan-perwujudan yang kemudian di
Jawa Timur dan Sumatra.
52 Jelas bahwa minum alkohol dan keranjingan dalam berbagai kenikmatan sensual dapat
digolongkan sebagai pacamakra, yaitu ritus Lima M yang diikuti para pakar Tantrik
(Moens 1924:530). Berkait dengan hal ini, kita juga dapat menyinggung adegan penutup
epik Rma pada candi Brhma yang melukiskan enam Brahmana pada sebuah upacara
perjamuan yang menghidangkan ikan, padahal kehadiran jenis makanan seperti itu
mungkin sebaliknya menyiratkan perbuatan dosa berat (lihat bagian 10, foto 6; Fontein
1997:198).
102
Candi Prambanan
peziarah aiva maupun Buddhis dari Champa datang ke Jawa pada tahun-tahun awal abad
ke-10, guna diinisiasi ke dalam sihiytra, yaitu adat dan pengetahuan magis Tantrik
(Krom 1931:189). Namun Bosch benar ketika menandaskan bahwa kita mesti
mencamkan bahwa tantrisme aiva dan Buddhis berhubungan secara erat dan berkembang
dalam masa yang sama mengikuti garis-garis sejajar, dan telah mengungkapkan dirinya
dengan mendayagunakan berbagai simbol, laksana, dan perlengkapan yang hampir sama
(1961:488).
103
Roy Jordaan
Dewasa ini pun tetap tidaklah jelas sistem manakah yang diikuti, biarpun hal
sebaliknya telah dan terus dikemukakan sehubungan dengan benda-benda
pemujaan yang dipendam di Loro Jonggrang yang dihubungkan dengan apa
yang disebut sebagai sistem vastupurusaman
sebagaimana yang
ala
diterangkan dalam risalah-risalah arsitektural Hindu (Soekmono 1974:303304). Setelah dipertimbangkan lebih lanjut, pertalian tersebut tampaknya
bersandar tidak lain kecuali pada sebuah tebakan cerdas, berdasar pada
literatur sekunder tanpa rujukan apa pun pada sebuah buku pegangan
arsitektural tertentu.
Dalam keadaan sekarang, saya berpikir sebaiknya kita mengikuti con
toh Bernet Kempers dan menangguhkan penilaian yang berkenaan dengan
sistem arsitektural, sambil tidak mengabaikan tetapi mengarahkan perhatian
pada soal-soal menyangkut desain-desain pengukuran yang tampaknya
sederhana. Gambar-gambar yang akurat mengenai hal-hal tersebut amat
dibutuhkan, sebab tiadanya data yang diandalkan telah terus-menerus
menimbulkan beberapa pernyataan yang bertentangan satu sama lain di
antara para arkeolog, bahkan menyangkut hal-hal paling dasar semisal
ukuran tembok-tembok pembatas dan jumlah keseluruhan candi perwara.
Sebagai contoh, berkenaan dengan ukuran tembok pembatas pertama,
Krom, mengikut Van Erp, cuma menyinggung bahwa ketebalannya adalah
dua meter dan tinggi keseluruhannya adalah 4,5 meter (yaitu sampai ke teras
kedua, sebelum deretan pertama candi-candi perwara), namun tidak
104
Candi Prambanan
105
Roy Jordaan
beberapa arca dewa Hindu) di Ratu Boko. Konon dikatakan bahwa jalan
tersebut dibatasi oleh candi-candi kecil. Namun, eksplorasi atas wilayah
sekitar yang disokong panitia pemugaran sudah terlambat: penduduk
setempat baru saja memindahkan batu-batu bangunan candi-candi yang
terletak di sepanjang ruas jalan itu (Ouheikunig Verslag 1926:8-9). Tidak
semua orang tampaknya menyadari penemuan-penemuan terakhir tadi, sebab
beberapa penulis masih terus menyebut angka 156 sebagai jumlah
keseluruhan candi perwara, yang hanya terdiri atas tiga deretan candi-candi
perwara (lihat misalnya Holt 1967:54; Helfritz 1979:112).
Namun survei dan pengukuran tidak boleh menjadi sasaran tersendiri.
Oleh karena Loro Jonggrang selalu diberi suatu posisi penting dalam
perkembangan kesenian Hindu-Jawa, maka setiap informasi tentang
arsitektur candi ini pada akhirnya akan berguna dalam memecahkan masalah
yang diperdebatkan sedemikian lama di antara para arkeolog menyangkut
perbedaan-perbedaan antara kesenian Jawa Tengah dan Jawa Timur, dan
apakah perbedaan-perbedaan tersebut cukup berarti bagi kita untuk berbicara
tentang sebuah perkembangan yang terputus-putus (diskontinu) alih-alih
yang berkesinambungan (kontinu). Guna menggambarkan hal ini, saya akan
menyinggung riset ikonografis sangat teliti yang dilaksanakan oleh Edi
Sedyawati (1988, 1994), yang walaupun pada umumnya terbatas pada
kelompok arca Gan ea selama masa terakhir Kadiri dan Singasari di Jawa
Timur namun telah menghasilkan informasi tambahan penting mengenai
kelompok arca Gan ea di Jawa Tengah, khususnya di Loro Jonggrang. Edi
Sedyawati antara lain menemukan bahwa aturan-aturan kelompok arca yang
diikuti di Loro Jonggrang tampaknya bersesuaian sepenuhnya dengan
kaidah-kaidah ikonometris Hindu, dan bahwa hal ini tidak hanya berlaku
untuk arca-arca Gan ea tetapi juga untuk arca-arca Durg dan Agastya.
Berkenaan dengan data ikonometris tertentu, ia menulis bahwa kesenian
Loro Jonggrang (dan Candi Plaosan yang berasal dari kurun waktu yang
sama) jauh lebih homogen daripada di tempat-tempat lain, dan tidak
sepenuhnya dapat dibandingkan dengan candi-candi lain yang terdapat di
Jawa Tengah dan Jawa Timur. Hal ini mendorong Edi Sedyawati untuk
menegaskan bahwa:
Bukti ini mendukung tafsiran bahwa Loro Jonggrang, sebagai candi induk
kerajaan pada waktu itu, dibangun dalam sebuah kurun waktu terjalinnya
106
Candi Prambanan
hubungan budaya yang erat antara India dan Jawa. [...] Dengan demikian
tafsiran tentang peran berbeda Loro Jonggrang dalam perkembangan kesenian
religius Hindu dibandingkan dengan candi-candi yang lain mendapat dukungan
lebih lanjut. (Edi Sedyawati 1994:76.)
Oleh karena tidak terlalu jelas apa yang persisnya dimaksudkan oleh
ungkapan peran berbeda Loro Jonggrang, barangkali berguna untuk men
catat bahwa, dalam percekcokan mengenai perkembangan arsitektur candi
Hindu-Jawa, salah satu argumen terkuat yang mendukung kesinambungan
yang diperkirakan ada dalam arsitektur ini disajikan oleh penanggalan
kompleks itu pada awal abad ke-10, yang memfungsikan Loro Jonggrang
sebagai sebuah jembatan antara kesenian Jawa Tengah dan Jawa Timur
segera setelah peralihan pusat pemerintahan dari Jawa Tengah ke Jawa
Timur. Stutterheim, kita ingat, malah pernah berupaya memperkuat gagasan
ini dengan mengenakan aneka ragam unsur-unsur gaya seni Jawa Timur
pada Prambanan. Walaupun kemenduaan paham ini telah kita tunjukkan,
namun riset Edi Sedyawati menyajikan bukti lebih lanjut yang mendukung
gagasan tentang posisi yang berbeda dari Loro Jonggrang, walaupun tidak
unik atau bukan tanpa bandingan. 54 Antara lain mengingat penanggalan baru
yang dipertahankan dalam buku ini serta keterlibatan dinasti ailendra dalam
pembangunannya yang didalilkan di sini, maka Loro Jonggrang kini dapat
dikaji kembali sebagai sebuah candi Jawa Tengah klasik, di mana baik
pengaruh Buddhis maupun pengaruh asing lainnya tidak dapat diabaikan
lebih lama lagi.55 Malah Krom (1931:175)
54 Seperti yang dicatat Edi Sedyawati sendiri, candi-candi aiva yang menghadap ke timur
pada umumnya diketahui ditemukan di Jawa Tengah, dan pasti dibangun pada waktu Jawa
Tengah masih menjadi pusat dari sebuah kerajaan yang sangat kuat. Candi-candi aiva di
Jawa Timur pada umumnya menghadap ke barat (1994:170, catatan kaki no. 27). Namun,
yang mencolok bahwa ia tidak memperhatikan bahwa kiblat yang nyaris sempurna dari
Loro Jonggrang ke titik-titik mata angin bersepadanan dengan candi-candi yang dibangun
dinasti ailendra Buddhis yang pada umumnya menghadap ke timur.
55 Rumusan ini telah dipilih secara sengaja, sebab persoalan menyangkut asal-usul asing dari
dinasti ailendra masih tetap merupakan sebuah teka-teki, meskipun banyak argumen
yang diajukan mendukung asal-usulnya dari Indonesia, seperti yang antara lain
dikemukakan Stutterheim, Poerbatjaraka dan Boechari. Karena sama sekali tidak terkesan
oleh kegembiraan yang diajukan Wolters (1979:10) menyangkut penyelesaian Boechari
atas teka-teki ailendra itu, maka Sarkar (1985) sekali lagi mengutarakan gagasan
tentang asal-usul India dari dinasti ailendra. Walaupun kita tidak perlu mengakui semua
kesimpulan Sarkar, namun gagasannya sampai saat ini belum mendapatkan perhatian
kritis sebagaimana yang layak diperolehnya.
107
Roy Jordaan
9. Arca-arca
Sebelum membahas arca-arca Candi Prambanan, dua catatan pendahuluan
mesti dibuat. Pertama, keputusan untuk membahas arca-arca ini di bawah
judul terpisah, karena alasan-alasan penyuntingan yang bersangkut paut
dengan keteraturan dan juga kejelasan susunan bahan, dan bukan karena
alasan-alasan pokok. Arca-arca ini, demikian juga relief-relief yang akan
dibahas pada bagian berikut, sebenarnya merupakan satu bagian yang tak
terceraikan dari rancangan keseluruhan, dan sama seperti kasawan
percandian serta candi-candi tempat arca-arca tersebut ditakhtakan,
dipahami, dirancang, dan dibuat sesuai dengan panduan-panduan yang
disajikan oleh ilpastra. Dalam pembahasan di bawah ini saya akan
menerangkan hal ini dengan contoh-contoh nyata.
Kedua, pembahasan saya akan mengambil bentuk lebih berupa
inventaris atas masalah daripada sebuah deskripsi terperinci dan lengkap.
Berbagai uraian yang ada sekarang ini atas arca-arca yang terdapat di candicandi besar di halaman pusat sudah cukup lengkap dan dikenal dengan baik
(lihat tulisan Krom dalam buku ini). Alih-alih mengulang kembali apa yang
sudah dikatakan secara panjang-lebar oleh para penulis lain yang memiliki
kecakapan ikonografis yang lebih mumpuni, saya akan memusatkan
perhatian untuk menunjukkan corak-corak yang kurang diperikan dengan
baik, dan juga beberapa masalah tafsiran yang masih belum terpecahkan.
Izinkan saya mulai dengan mengupas sebuah masalah sulit dan hampir
tak dapat dijelaskan yang terancam dilupakan karena samar-samar dan
kaburnya sumber bahan dalam bahasa Belanda. Ini adalah persoalan yang
dikemukakan Jochim (1913), yaitu apakah arca Agastya, arca Gan ea, dan
arca Durg di Candi iva benar-benar berdiri pada tempatnya yang asli. Di
sini Jochim merujuk pada Brumund (1853), yang berkeyakinan bahwa arcaarca itu dibawa ke sana dari satu tempat lain dan baru kemudian ditempatkan
di posisinya yang sekarang. Satu hal yang menunjuk ke arah ini, demikian
Brumund, adalah kenyataan bahwa arca-arca itu dan
108
Candi Prambanan
109
Roy Jordaan
Jochim melanjutkan:
Seperti Brumund, saya mendapat kesan bahwa nimbus-nimbus yang ada
sekarang pada mulanya dimaksudkan untuk dewa-dewa yang lain, atau
sekurang-kurangnya ilah-ilah dari bentuk lain dan bagaimanapun juga tidak
memiliki lempeng batu pada bagian belakang. Brumund mereka-reka tentang
siapakah dewa-dewa ini. Bentuk nimbus tersebut mengingatkan kita, oleh
karena kemiripannya dengan nimbus-nimbus di candi-candi di sekitar situ,
yakni para Buddha dan bohisvattva, walaupun hal itu tampaknya muskil.
Sebaliknya, saya mengandaikan bahwa si arsitek dan pematung bekerja secara
terpisah satu dari yang lain; di mana si arsitek menyiapkan jumlah ilah-ilah
yang sama seperti yang terdapat sekarang, walaupun dengan bentuk yang lain
dan tanpa lempeng batu pada bagian belakang. Seandainya mengetahui bahwa
Gan ea jauh lebih besar dari Durg atau Guru maka ia akan membuat nimbus
yang cocok dan sama besar sebelumnya. Namun si pematung tidak tahu apaapa tentang nimbus-nimbus yang cocok dengan arca-arca tersebut, dan
karenanya memahat arca-arca itu lengkap dengan sebuah lempeng batu pada
bagian belakang, sama seperti arca-arca yang lain. (Jochim 1913:380-381.)
110
Candi Prambanan
111
Roy Jordaan
hemat saya, bahwa arca-arca yang ada sekarang bukanlah arca-arca asli
melainkan arca-arca yang ditempatkan pada posisinya sekarang pada waktu
kemudian.
Oleh karena corak yang mendasar dari hal-hal ini, maka perubahan
dalam susunan panteon semestinya merupakan sebuah kejadian yang sangat
luar biasa, dan saya cuma mengetahui beberapa contoh semacam ini di Jawa
kuno. Kita mempunyai satu contoh semacam itu dari Jawa Tengah
menyangkut perubahan dalam komposisi panteon Buddhis di Candi Sewu.
Karena tidak adanya bukti yang lebih nyata berkenaan dengan Loro
Jonggrang, maka saya hanya dapat menunjukkan masuk akalnya hipotesis
saya berdasarkan pada satu contoh ini saja. Hal ini sudah memadai karena
masalah-masalah teknis dan simbolis yang terkait di sini dapat dibandingkan
satu sama lain, walaupun tidak seluruhnya sama persis dengan soal-soal
yang dimunculkan oleh Loro Jonggrang. Lebih dari itu, oleh karena
dekatnya kedua kompleks percandian ini satu sama lain, baik secara fisik
maupun dari segi penanggalannya, dan juga mengingat berbagai petunjuk
dalam prasasti Klurak mengenai kaitan ideologis di antara keduanya, maka
kemungkinan bahwa perubahan pada Candi Sewu dan perubahan pada Candi
Loro Jonggrang saling terkait tidak dapat dinafikan.
Sebagaimana yang sudah ditandaskan sebelumnya (lihat Bagian 6),
prasasti Klurak bersangkut paut dengan penahbisan sebuah arca
bohisvattva Majur. Namun, menurut Bosch, ada sesuatu yang lebih dari
itu, dan boleh jadi juga prasasti Klurak telah berfungsi sebagai cetak biru
untuk sebuah program pembangunan akbar di mana di satu pihak Trimrti
akan ditempatkan di Loro Jonggrang, dan di lain pihak Triratna akan
menghasilkan sebuah man ala
gabungan di Candi Lumbung dan Candi
112
Candi Prambanan
(nama lain untuk Majur) menjadi arca utama (lihat Anom 1992:57).
Dalam man ala
ini terdapat sebuah tempat yang juga dipersembahkan untuk
dewa-dewa dari panteon Hindu seperti Brahm, Vis n u dan Mahevara,
persis seperti yang disinggung oleh prasasti Klurak. Salah satu ciri khas
dari dewa-dewa Hindu yang terpilih ini adalah posisi khusus kedua belah
tangan mereka, atau ajalimur.57 Sikap ini oleh para ikonograf dilukiskan
sebagai posisi di mana kedua belah tangan dikatupkan, dengan telapak
saling menyentuh, dan ditaruh dekat dada sebagai tanda penghormatan
(Liebert 1976:16; Bhattacharya 1958:363).
Kusen berpendapat bahwa pembangunan Candi Sewu melalui sejumlah
tahap. Tahap satu, yang bermula dengan prasasti Klurak, hanya mencakup
tahap yang disebutkan oleh teks itu sendiri, yakni penahbisan arca Majur.
Tahap kedua dicapai 10 tahun kemudian, bersamaan dengan penyelesaian
perluasan candi, yaitu Rumah Majur. Kemudian, pada waktu yang
57 Agar penemuan arca iva ini tidak dianggap kebetulan, maka saya ingin mengarahkan
perhatian pada penemuan belakangan ini atas sebuah arca bohisvattva (yang mewakili
Vajrapn i) berukuran kecil yang terbuat dari perunggu di antara puing-puing reruntuhan
Candi Sambisari, sebuah kuil aiva di sebelah barat Prambanan dan yang sezaman dengan
Loro Jonggrang, Plaosan dan Sojiwan (Mengenal Cani Sambisari n.d.:6, 23).
113
Roy Jordaan
tidak disebutkan, yang demi mudahnya disebut tahap tiga, Majur pasti
sudah dipindah dari takhtanya dan digantikan oleh Vairocana.
Bukti nyata tentang perombakan ini ditemukan Dumaray, yang riset
arsitekturalnya memperlihatkan bahwa takhta di bilik pusat candi induk di
Candi Sewu pada suatu waktu tertentu diubah agar bisa menampung sebuah
arca yang lebih besar (Dumaray 1986c:29-30). Arca yang lebih besar itu
bisa jadi adalah arca baru Majur, namun yang lebih mungkin adalah arca
Vairocana. Bila dalam kasus pertama perubahan itu tidak dapat dijelaskan,
maka dalam kasus kedua terdapat beberapa pertimbangan simbolis yang bisa
menjelaskan perluasan takhta dan arca, yaitu kenyataan bahwa Vairocana
adalah Buddha, wujud yang jauh lebih tinggi daripada Majur, yang
hanyalah bohisvattva.
Penggantian Majur oleh Vairocana tampaknya diniscayakan oleh
perubahan-perubahan arsitektural dan gaya seni yang lain. Dari paparan
Dumaray dan Kusen bisa disimpulkan bahwa bentuk relung-relung di ruang
masuk candi induk pada satu tahap diubah agar dapat memuat dewa-dewa yang
mengambil posisi duduk sebagai ganti dewa-dewa terdahulu yang mengambil
posisi berdiri. Perubahan-perubahan ini, dan yang lainnya yang tidak akan
dibahas di sini, sangat penting dan menyajikan bukti yang kuat mendukung
hipotesis Kusen menyangkut penggantian Dharmahtuvagisvaraman ala
oleh
58
Vajrahtuman ala
sebagaimana yang diterangkan Bosch.
Apa yang terjadi atas arca Majur itu tidak dapat diketahui. Tidak
tertutup kemungkinan bahwa sebuah arca baru, yang rupanya terbuat dari
batu, didirikan di sebuah tempat yang jauh terpisah dari pusat sakral,
barangkali di salah satu candi perwara (yang sekarang dikenal sebagai candi
perwara No. 200), di depannya ditemukan prasasti batu Majurgr ha.
Kusen mencurigai bahwa prasasti batu itu dipindahkan ke candi luar itu
karena isinya, dan dengan demikian posisinya di pusat, tidak lagi sesuai
dengan man ala
yang barusan diperkenalkan itu.
Sejauh menyangkut Loro Jonggrang, kita tidak memiliki petunjukpetunjuk yang rapi semacam ini. Sebuah jawaban yang memuaskan untuk
58 Karena tidak kenal dengan perubahan man ala sebagai hasil pergantian Majur oleh
Vairocana, maka Bosch bingung tentang posisi mencolok Majur dalam kumpulan arca
perunggu kecil dalam penemuan Nganjuk yang termasyhur itu. Memperhatikan bahwa
man ala Nganjuk tidak persis sama dengan man ala Vajradhtu, maka ia membalikkan
urutan perkembangannya, seraya mendalilkan bahwa hal itu [posisi Majur] harus
dipahami sebagai suatu bentuk jabaran sektarian atau sebuah transformasi darinya (Bosch
1961:122, catatan kaki no. 22).
114
Candi Prambanan
115
Roy Jordaan
Boleh juga dicatat lebih lanjut secara sambil lalu bahwa perkembangan
hipotetis yang diisyaratkan oleh penjelasan yang pertama ini bukan tanpa
ironi. Bila pada mulanya penggunaan perunggu dan batu untuk arca-arca itu
boleh jadi bertujuan menunjukkan derajat atau martabat masing-masing dari
kedua candi itu dalam hubungannya satu sama lain, maka justru karena
penggunaan logam di Candi Sewu itulah sehingga bilik-biliknya yang
pertama-tama dijarah, sedangkan kebanyakan arca utama yang terbuat dari
batu di Loro Jonggrang tampaknya tidak cukup menarik bagi para penjarah
dan dengan demikian lestari hingga ke anak-cucu.
Penjelasan yang lain ialah bahwa terdapat sebuah pertalian antara
penggantian beberapa arca dan berbagai perkembangan agamawi-politik
menyusul pengusiran dinasti ailendra. Betapapun kuatnya saya menentang
gagasan bahwa Prambanan dimaksudkan sebagai sebuah seteru terhadap
Borobudur, namun terdapat bukti tertentu menyangkut sebuah pertikaian
agama pada penghujung kurun waktu Jawa Tengah, dengan para penguasa
baru, yang merangsang bangkitnya ortodoksi Hindu untuk alasan-alasan
yang belum dapat dijelaskan (De Casparis 1956:292, 318, catatan kaki no.
20). Menarik untuk dicatat bahwa pembaruan aiva ini ditampilkan dalam
rangka pembebasan nasional.59 Lebih dari itu, analisis tajam Aichele tentang
karya sastra Rmyan a Jawa Kuno telah memperlihatkan bahwa pengarang
karya sastra adiluhung ini tengah memperolok-olok kaum Buddhis melalui
penggunaan metafora-metafora terselubung dan mendesak para pembacanya
agar tidak disesatkan oleh mereka (Aichele 1969:137-139). Maka dari itu,
Poerbatjaraka mencap karya sastra ini sebagai aiva fanatik (Poerbatjaraka
1932:169). Dalam sebuah publikasi terdahulu saya sudah menegaskan
bahwa dalam suasana politik yang tidak toleran semacam ini niscaya agak
mudah untuk menyamarkan latar belakang Buddhis dari Prambanan dan
menyebabkannya dilupakan seluruhnya dalam waktu singkat. Penggantian
arca-arca tadi sangat boleh jadi berlangsung dalam konteks nafsu
pembersihan ideologis semacam itu yang didalangi oleh para penguasa. 60
59 Kenyataan bahwa konflik dinasti ini beraroma nasionalistis, menurut saya, bisa diangkat
sebagai sebuah petunjuk tentang asal-usul asing dari dinasti ailendra.
60 Sama seperti dalam gejala-gejala sinkretisme, tidaklah tepat untuk menarik rupa-rupa
kesejajaran buatan dengan perilaku agama serta toleransi yang konon dipunyai orangorang Jawa dewasa ini. Hemat saya, sungguh naif untuk mengesampingkan kemungkinan
terjadinya bentuk-bentuk tertentu dari aksi perusakan ikonoklastis dalam jangka waktu
yang tengah kita pelajari ini.
116
Candi Prambanan
Mana dari kedua penjelasan ini yang benar masih harus ditentukan oleh
riset lebih lanjut, walaupun hal ini jauh dari gampang. Pertama-tama, masih
perlu dipastikan bagaimana penggantian tersebut dilaksanakan secara teknis.
Ketika sedang mencari sebuah kemungkinan petunjuk dalam bacaan
arkeologis yang ada sekarang, saya dikejutkan oleh betapa sedikitnya yang
diketahui tentang segi-segi teknis dari konstruksi tempat-tempat suci HinduJawa pada umumnya dan tentang pemahatan arca-arca dan relief-relief pada
khususnya, teristimewa bila dibandingkan dengan informasi yang tersedia
tentang monumen-monumen Yunani, Mesir, dan Amerika Selatan.
Yang serba sedikit diketahui tentang segi-segi tadi berasal dari tulisan
Van Erp (1909:170-171), dan sebagian data yang disajikannya disitir oleh
Krom (1923a, I:147-164).61 Kedua pengarang ini melaporkan penggunaan
batu-batu besar sebagai fondasi di kasawan percandian; tentang paras (batu
pasir) atau batu kapur sebagai pengisi dinding-dinding berongga; dan
tentang andesit untuk bagian-bagian luar dinding-dinding candi, temboktembok pembatas serta arca-arca. Paras atau batu kapur kemungkinan
berasal dari kawasan-kawasan tambang di wilayah Ratu Boko. Gagasan
bahwa batu-batu itu diperoleh di sana menjadi kesempatan untuk adu mulut
antara Krom dan Stutterheim tentang apakah sang penguasa ailendra bisa
tahan terhadap kebisingan yang disebabkan oleh segala macam kegiatan
pemahatan dan penggergajian yang berlangsung di dekat keratonnya.
Namun, hal yang tidak mereka bahas adalah bagaimana para pekerja
memindahkan ke situs bangunan candi bongkahan-bongkahan paras atau
batu-batu andesit besar yang bebeberapa darinya berbobot sekitar ratusan
kilogram untuk selanjutnya dipahat menjadi arca-arca. Pasti pemindahan
ini dilakukan dengan menggunakan segala macam sarana untuk menarik dan
menggotong yang dikerjakan oleh tenaga manusia. Namun informasi tentang
hal ini sangat sedikit. Lalu ketika sampai di tempat tujuan, batu-batu tersebut
mesti dipotong, dipahat dan digosok hingga licin dan halus. Sekali lagi,
hampir tidak ada sesuatu pun yang ditulis tentang alat-alat yang digunakan
untuk hal ini, tentang teknik-teknik yang dipakai, atau tentang
61 Krom (1923a, I:447-448) menyebut sebuah laporan yang tidak diterbitkan dari Van Erp,
117
Roy Jordaan
118
Candi Prambanan
takhta tampat arca itu diletakkan. Inilah batu-batu tempat dahulunya arca
Vairocana yang lebih besar ditakhtakan, dan karenanya berusia sama dengan
saat arca itu ditempatkan di sana.
Di samping segi-segi teknis ini, terdapat pula implikasi-implikasi
simbolis yang membuat penggantian arca-arca tersebut sulit dibayangkan.
Apa pun alasan pasti untuk hal ini, namun perubahan posisi sekecil apa pun
pada satu atau beberapa arca utama niscaya memiliki akibat-akibat bagi
pengaturan sosok-sosok lain para dewata dalam sistem yang lebih besar, atau
bagi denah ritual (man ala)
yang diikuti di Prambanan, di mana,
sebagaimana yang telah ditegaskan sebelumnya, dewa-dewa dari tempattempat suci Buddhis di sekitarnya bisa jadi juga dilibatkan pada mulanya. Ini
sebuah awasan bagi para ikonograf agar tetap waspada untuk setiap jejak
lainnya menyangkut adaptasi perpatungan dan tidak semata-mata
mengabaikannya sebagai sebuah kesalahan dan kekeliruan.
Sepotong informasi yang tampaknya sangat penting bagi rancang
bangun denah ritual Prambanan disajikan oleh jati diri arca yang berada di
atas kepala Kla yang terletak di sisi sebelah timur Candi iva (lihat Foto 2
dan Foto 32 tentang kepala Kla). Mula pertama disinggung Bernet Kempers
dalam tulisannya tentang penyelesaian karya pemugaran pada Candi iva,
arca itu tidak pernah mendapat perhatian sebagaimana mestinya. Bernet
Kempers (1955:30), melukiskannya sekadar sebagai seorang dewa yang
ditempatkan pada latar belakang kumpulan awan. Namun sosok itu mesti
merupakan seorang dewa dari kelas atas atau seorang dewa luar biasa,
mengingat posisinya yang ditinggikan di atas kepala Kla, yang malah lebih
tinggi daripada posisi sosok iva yang dipahat pada relief pada panel di atas
regel yang melintang pada pintu keluar-masuk bilik utama, yang berisikan
arca iva Mahdeva. Dalam sebuah upaya identifikasi terdahulu, saya
menyebut dewa ini sebagai iva Mahyogin (Jordaan dan Edi Sedyawati
1990:18-21), walaupun identifikasi ini bersifat dugaan saja dan masih
membutuhkan peneguhan oleh bukti nyata.64
Masalah lain yang tak terpecahkan adalah bahwa apakah dahulunya
pernah ada arca tertentu di kedua candi apit, yakni kuil yang terletak di sisi
sebelah utara dan selatan deretan kedua dari masing-masing ketiga
64 Foto yang saya ambil atas dewa berlengan dua ini, walaupun diambil dengan bantuan
lensa telefoto, terlalu kabur bagi saya untuk menjelaskan laksananya (lihat Foto 26).
Karena supaya bisa mendekati arca ini kita perlu mendirikan sebuah perancah, maka saya
terpaksa membiarkan identifikasi arca ini hingga nanti.
119
Roy Jordaan
candi, dan bila demikian arca mana. Sambil mengulang kembali kata-kata
Bernet Kempers (1955:18), yaitu bahwa tujuan dari kedua candi apit itu
tidaklah jelas, saya hendak mengingatkan para pembaca budiman tentang
pengamatan IJzerman (1885:271) bahwa walaupun candi di sisi sebelah
selatan itu ditemukan seluruhnya kosong dan candi di sisi sebelah utara
nyaris rusak sama sekali, namun di sana [artinya, dekat puing-puing
reruntuhan candi halaman dalam di sisi sebelah utara] kita masih melihat
arca Durg, yang dijelaskan secara keliru oleh Brumund sebagai Buddha
duduk dengan enam lengan. Bernet Kempers mengulangi pernyataan ini
dalam sebuah publikasi kemudian, sambil menyitir keterangan singkat
tentang arca itu yang diberikan Brumund sebagai berikut:
Kedua tangan di tengah dilipat di depan dada; mengenai kedua tangan sebelah
bawah, yang kanan diletakkan di atas lutut dengan telapak menghadap ke atas,
sedangkan yang kiri memegang sebuah padma/teratai. Mengenai kedua tangan
sebelah atas, yang kanan memegang sebuah untaian manik-manik (aksaml),
[sedangkan] yang kiri memegang sebuah kapak kecil, seperti [kapak yang]
sering kali dihubungkan dengan Gan ea. Di bagian belakang lempeng batu
telah dipahat sebuah nimbus, sementara itu sebuah mahkota kecil ditempatkan
di atas kepalanya. Tinggi arca itu kurang dari dua meter, dan ditempatkan di
atas lantai dari apa yang dahulunya merupakan bilik dari candi kecil yang
terletak di sebelah utara. (IJzerman 1891:58.)
Varhavis n u, penjelmaan Vis n u dalam rupa babi, masih tersimpan dalam keadaan tidak
utuh di Museum Nasional Jakarta (Paul 1978:316).
120
Candi Prambanan
tidak ada jejak apa pun yang pernah ditemukan mengenai arca-arca dari ke224 candi perwara. Jika kita mempercayai karya sastra Rmyan a Jawa
Kuno yang sudah dikutip di atas, maka semua candi tersebut ditempati oleh
arca-arca emas para dewata dan asura yang tengah bertempur
memperebutkan amta, obat mujarab kehidupan. Sama seperti sosok-sosok
yang menempati banyak relung di candi-candi besar, boleh jadi ini adalah
arca-arca perunggu yang dicuri dan dilebur untuk tujuan-tujuan lain di waktu
kemudian. Kecuali terjadi mukjizat dan naskah ilpastra yang menjadi
panduan untuk man ala
Prambanan berhasil ditemukan, maka kita tidak
akan pernah mengetahui siapakah gerangan semua dewa dan dewi ini yang
dipahatkan di situs tersebut.
10. Relief-relief
Relief-relief di Candi Prambanan bisa dibagi ke dalam dua kategori luas,
yaitu relief-relief kisahan (naratif) yang mencakup relief-relief Rmyan a di
Candi iva dan Candi Brahm dan relief-relief Kr ishna di Candi Vis n u,
serta apa yang saya sebut sebagai relief-relief ikonis yang menggambarkan
masing-masing dewa beserta para pengiring mereka, seperti relief-relief para
penjaga mata angin (ast aikpla)
yang dipahat di dinding sebelah luar Candi
iva.
Kedua kategori ini bersifat deskriptif alih-alih absolut, sebab jika kita
ingin memahami secara penuh makna relief-relief ikonis maka relief-relief
tersebut mesti dilihat dalam hubungan timbal balik, sebagaimana yang
tampak jelas menyangkut para penjaga mata angin. Hal yang sama berlaku
untuk relief-relief yang menggambarkan para penari di sisi sebelah luar
pagar langkan Candi iva, yang aslinya melukiskan gerakan-gerakan
berturutan dari sebuah tarian India, yakni Tn ava.
Walaupun tidak
termasuk relief-relief kisahan dalam arti bahwa mereka melukiskan adeganadegan dari sebuah cerita lengkap, namun gerakan-gerakan tarian yang
digambarkannya diandaikan berkaitan dengan tema-tema tertentu yang sarat
makna, seperti kesuburan, penciptaan, serta kehancuran (Stutley 1977:297).
Kenyataan bahwa relief-relief ikonis demikian juga memiliki sebuah
fungsi yang sarat makna, alih-alih sebagai penghias belaka, menyiratkan
bahwa apa yang dilukiskan relief-relief tersebut dan juga penempatannya
121
Roy Jordaan
mesti telah dirancang terlebih dahulu. Maka dari itu, sama seperti
menyangkut penyimpangan-penyimpangan yang penuh teka-teki dalam
beberapa arca yang sudah dikaji dalam bagian sebelum ini, kita tidak boleh
mencari bantuan penjelasan jalan pintas dengan mengasalkan
penyimpangan-penyimpangan tersebut pada salah paham antara para arsitek
dan pemahat, atau adaptasi ala Jawa yang bercorak khas atau ideosinkratis
atas teks-teks suci guna memecahkan berbagai kesulitan yang barangkali
kita hadapi.
Stutterheim (1925) terbilang di antara para cendekiawan pertama yang
menyadari berbagai kelemahan dari pendekatan semacam ini. Pujian dan
penghargaan mesti kita daulatkan kepadanya karena berhasil
memperlihatkan bahwa para pemahat relief-relief Rma di Prambanan tidak
mengikuti panduan-panduan yang diberikan dalam karya klasik Vlmki,
tetapi sebuah teks lain yang dalam beberapa hal niscaya sangat mirip dengan
Hikayat Sri Rama (HSR), yakni sebuah cerita rakyat yang jauh lebih
kemudian dalam versi Melayu. 66 Alih-alih menafsir penyimpangan ini
sebagai sebuah adaptasi atas kisah klasik itu ke dalam lingkungan lokal,
Stutterheim merasa bahwa perbedaan-perbedaan ini mesti dilacak ke
berbagai tradisi kerakyatan yang kita temukan tidak saja dalam hikayat,
kakawin, lakon, dan karya-karya sastra pribumi lainnya, tetapi juga
melanglang hingga ke relief-relief Rma di Candi iva dan Candi Brahm di
Prambanan.
Karya perintisan Stutterheim tentang relief-relief Rmyan a di
Prambanan sudah cukup dikenal dan tidak membutuhkan sebuah pengantar
panjang-lebar. Namun terdapat sebuah persoalan yang, hemat saya, tidak
sepenuhnya tertuntaskan dalam karyanya. Persoalan tersebut menyangkut
bagaimana relief-relief itu secara nyata dirancang dan dihasilkan. Ketika
berbicara tentang tradisi kerakyatan, kita terutama berpikir tentang sebuah
tradisi lisan yang cenderung membangkitkan kesan bahwa relief-relief itu
boleh jadi dipilih secara semaunya dan bahwa pelaksanaannya sebagian
besar diserahkan pada kearifan serta daya cipta sang seniman. 67
66
67
122
Candi Prambanan
Sebenarnya, pendapat semacam ini dianut Vogel (1921:215), yang merekareka beberapa tahun sebelumnya apakah si pemahat di Prambanan benarbenar mengikuti secara saksama petunjuk-petunjuk dari sebuah teks tertulis,
sebagaimana yang jelas-jelas dilakukan si pemahat di Borobudur. Ketika
menerangkan legenda Buddha di sana, ia antara lain mengikuti teks
Lalitavistara. Menyangkut kisah sepopuler seperti Rmyan a, pengandaian
yang tampaknya paling masuk akal bagi Vogel ialah bahwa si pemahat
berpaling pada tradisi lisan yang beredar dan berkembang di antara orangorang India dan Jawa. Stutterheim sehubungan dengan masalah ini juga
mengutip pendapat Van Stein Callenfels (1922:47), yang pernah menulis
bahwa ia ingin agar jangan dulu diambil keputusan tentang soal apakah di
Jawa sebuah tradisi lisan semacam itu sama sekali tidak terikat pada tulisan
dalam satu atau lain bentuk, dan apakah teks itulah yang diikuti si pemahat.
Persoalan itu tidak boleh dibiarkan terkatung-katung lagi. Saya
berkeyakinan bahwa para arsitek dan pemahat di Prambanan pasti bekerja
menuruti sebuah teks tertulis yang belum ditemukan hingga sekarang. Saya
memiliki dua alasan untuk mengandaikan hal ini. Pertama, kita tidak dapat
mengabaikan batasan-batasan yang melekat erat dalam arsitektur candi yang,
tentu saja dalam apa yang disebut sebagai masa klasik Hindu-Jawa, sama
sekali tidak berkurang tuntutannya tidak peduli apakah candi bersangkutan
adalah sebuah candi Buddhis atau Hindu. 68 Betapapun ketenaran wiracarita
Rma kian bertambah-tambah, namun saya tidak percaya bahwa relief-relief
Rma di Prambanan dirancang dan dilaksanakan secara berbeda dari reliefrelief Buddha di Borobudur.
Alasan saya yang kedua untuk mengandaikan adanya sebuah teks
panduan ialah bahwa tanpa adanya teks semacam itu maka tidaklah mungkin
untuk menjelaskan bagaimana pengaturan yang rapi atas cerita di atas bidang
tembok yang tersedia bisa tercapai. Kerapian pengaturan
dapat membaca teks Sanskerta, dan yang barangkali cuma mendapat instruksi-instruksi
lisan, tidak berhasil mereproduksi kandungan teks itu secara persisi. Nah, karena sebuah
perincian yang terkandung dalam teks diabaikan, maka sekali lagi seorang tokoh atau
kejadian tertentu tidak cocok dengan karya tertulis (Gonda 1970:226).
68 Jauh sebelumnya, dalam nada yang serupa Gonda menandaskan: Oleh karena cuma
tersedia sedikit ruang untuk hipotesis bahwa si arsitek atau para pemahat itulah yang
menciptakan sendiri versi mereka, maka ada kemungkinan bahwa mereka menggunakan
sebuah teks yang telah hilang, dan dengan teks itu, sembari menghilangkan apa yang
mubazir, mereka berhasil menuntaskan persoalan itu secara lebih singkat dan lebih
memuaskan (Gonda 1970:228).
123
Roy Jordaan
ini antara lain kasatmata dari kesejajaran antara riwayat hidup Rma dan
jalur perlintasan matahari yang kelak ditemukan oleh Stutterheim (1928)
tercermin dalam cerita tersebut (lihat tulisan Stutterheim dalam buku ini).
Tanpa memperhatikan apakah kesejajaran itu benar-benar secara ajek
tercermin dalam cerita tersebut, namun hemat saya pantang diragukan bahwa
terdapat sebuah rancangan di sana yang dilaksanakan dengan teliti sesuai
dengan kaidah-kaidah arsitektural yang ketat.
Menyangkut data yang berguna berkenaan dengan rancangan dan
pengerjaan relief-relief tersebut, kita mesti merujuk pada karya Fontein
(1989) yang membedah relief-relief Karmavibhaga pada apa yang disebut
sebagai kaki tersembunyi Borobudur. Berpijak pada sebuah analisis yang
terperinci dengan mengacu pada sejumlah versi berbeda dari kisah yang
sama, ia menarik beberapa kesimpulan menyangkut pemahatan relief-relief
tersebut, yang barangkali penting juga untuk relief-relief Rmyan a di
Prambanan. Fontein menyimpulkan bahwa:
Berulang kali relief-relief Karmavibhaga menyajikan bukti bahwa proses ini
[olehnya pokok persoalan yang dikaji dalam teks-teks disebarkan di atas bidang
dinding yang tersedia] mendapat curahan perhatian yang sangat besar. [...]
Meloncat, menutup-nutupi kesalahan, atau mengabaikan bagian-bagian tertentu
dari teks mewakili ekstrem sebaliknya, dan mengenai hal-hal itu [...] sama
sekali tidak ada bukti kuat. (Fontein 1989:75.)
124
Candi Prambanan
Fontein juga yakin bahwa para pemahat bekerja sesuai dengan sebuah
rencana yang terperinci dan cuma memiliki sedikit, itu pun kalau ada,
kebebasan pribadi, dan hal itu antara lain terbukti dari ungkapan-ungkapan
yang ia gunakan semisal para biksu memberi pengarahan kepada para
pemahat, penyeliaan biksu, dan malah panitia perencanaan biksu.
Walaupun rujukan itu pada perencanaan dan pengerjaan relief-relief di
Borobudur boleh jadi mencerahkan, namun hal itu tidak membebaskan kita
dari tanggung jawab untuk menyajikan bukti tentang sistematisasi dalam
rancangan relief-relief di Prambanan. Untuk tujuan ini, saya akan mengutip
pendapat Krom yang memberi perhatian beberapa tahun sebelum
Stutterheim mendalilkan adanya kesejajaran antara riwayat hidup Rma dan
jalur perlintasan matahari pada kenyataan bahwa cerita Rma di Candi
iva berakhir pada adegan penyeberangan ke La k. Krom menulis:
Teramat gamblang bahwa cerita yang berakhir secara mendadak ini, persis
sebelum mencapai puncaknya, mengandaikan kelanjutannya di tempat lain.
Jadi, penghentian cerita itu pada satu bangunan, agar dilanjutkan pada
bangunan lain, menyajikan lebih banyak bukti menyangkut hubungan yang erat
di antara semua candi ini, yang memiliki asal-muasalnya pada sebuah
rancangan umum yang tunggal. (Krom 1923a, I:463.)
125
Roy Jordaan
sebuah perbincangan tentang halaman pusat candi Loro Jonggrang dalam terang
tulisannya yang barusan diterbitkan ketika itu yang mengkaji pokok laut dalam sastra
Jawa Kuno (Kuntara Wiryamartana 1992).
126
Candi Prambanan
pembagian kerja tersebut tidaklah diketahui, dan juga nyaris tidak dapat
dipastikan saat ini. Bahkan menyangkut motif-motif hiasan pun, di mana kita
boleh secara absah menduga adanya tidak sedikit pengaruh Jawa, hampir
tidak ada petunjuk apa pun tentang bagaimana, artinya berdasarkan patokanpatokan macam manakah, langgam Jawa itu dapat ditentukan. Semua yang
telah dikatakan sejauh ini menyangkut tema dimaksud, hemat saya, cuma
menyingkapkan selera pilihan yang subjektif belaka.
Sebagai sebuah contoh, izinkan saya mengangkat adegan tentang
pembelitan ekor Hanuman yang dilihat Bosch (1954:17) sebagai bukti
tentang Jawanisasi. Rupanya yang dipikirkan Bosch adalah episode di mana
utusan Rma, yaitu Hanumn, tidak diberi tempat duduk dalam kunjungan
kehormatannya kepada Rvan a, dan guna mengatasi masalah yang
diciptakan oleh tak adanya kesopansantunan tersebut Hanumn menggulung
ekornya menjadi alas duduknya sehingga ia kelihatan duduk sama tinggi
dengan Rvan a. Menurut Fontein (1997:196), episode ini tidak saja dikenal
di Jawa tetapi juga di Thailand dan Malaysia, di mana episode tersebut
masih populer (sebagaimana yang terbukti dari HSR). Sembari merujuk
telaah Brockington (1985) tentang evolusi wiracarita Rmyan a, Fontein
menambahkan [di mana] barangkali episode tersebut disebarkan melalui
Bengali.
Guna menghilangkan setiap kesan tentang pilihan seenaknya, maka
sebaiknya kita memberi lebih banyak perhatian pada relief-relief yang justru
menyingkapkan pengaruh-pengaruh bukan Jawa, baik oleh pengaturan
relief-relief maupun oleh sikap-sikap tubuh dan laksana-laksana yang tidak
biasa dari sosok-sosok yang dipahat pada relief-relief tersebut. Berkenaan
dengan pengaturan relief-relief Prambanan, Groneman (1893:6) mencatat
bahwa pengaturan tersebut sangat serupa dengan yang ditemukan di
Borobudur serta candi-candi Buddhis lainnya, dan ia adalah orang pertama
yang menyampaikan gagasan bahwa pengaturan tersebut berkaitan dengan
jalur perlintasan matahari.70 Lebih lanjut Groneman mengamati bahwa
kaitan tersebut hanya berlaku untuk belahan bumi utara, dari mana
70 Gagasan ini akan diperincikan oleh Stutterheim (1928, yang disertakan dalam buku ini),
namun tanpa merujuk pada Groneman atau menyinggung kenyataan bahwa kesejajaran
tersebut tidak benar-benar cocok di Jawa. Yang patut dicatat di sini adalah perbedaan yang
mencolok dengan Angkor Vat di Kamboja di mana ukuran candi itu beserta pengaturan
relief-reliefnya berhubungan dengan kepentingan praktis di bidang astronomi dan
penanggalan (lihat Stencel, Gifford dan Moron 1976).
127
Roy Jordaan
katanya kaum Buddhis itu berasal (1893:11, catatan kaki no. 1). Bahasa
tubuh juga menyajikan petunjuk-petunjuk lain tentang pengaruh-pengaruh
bukan Jawa. Groneman, berkaitan dengan ihwal menunjuk dengan jari
telunjuk kanan oleh gergasi Traka, mencatat bahwa orang-orang Jawa
tidak menunjuk dengan jari telunjuk, tetapi dengan ibu jari. Penggunaan
yang terus-menerus dari jari telunjuk membuktikan bahwa bukan orangorang Jawa yang mengerjakan arca-arca ini (1893:11, catatan kaki no. 11;
lihat juga Stutterheim 1925:146, 150; Fontein 1989:84). Demikian pula,
Stutterheim (1925:153-154), sehubungan dengan pahatan tentang seorang
perempuan yang sedang menari, mencatat bahwa tarian tersebut tidak saja
khas Tantrik, karena di dalamnya kita melihat citra-citra Buddhis tentang
sosok-sosok Dkins dan makhluk-makhluk mengerikan lainnya, tetapi
juga bahwa orkestra itu secara pasti memiliki sebuah corak bukan
Indonesia (lihat Foto 8).
Contoh-contoh ini menunjukkan bahwa langgam Jawa dari pahatanpahatan tertentu tidak secara langsung kasatmata, dan membutuhkan
pertimbangan yang lebih saksama daripada yang telah diberikan padanya
hingga sekarang. Seberapa banyak hal yang masih harus dilakukan tampak
gamblang dari pernyataan Fontein bahwa:
telaah tentang berbagai sikap badan perawakan dan gerak-isyarat dalam
kesenian Jawa Tengah baru berada pada tahap pertumbuhan yang paling awal,
dan bahwa masih banyak kerja yang harus dilakukan, dengan mempelajari
relief-relief dan juga tarian Jawa, sebelum seluruh cakupan kosakata tentang
komunikasi nonverbal dapat disusun kembali. (Fontein 1989:101.)
a. Relief-relief kisahan
Relief-relief kisahan dari dulu telah mendapat perhatian paling banyak.
Groneman, yang terutama dikenal sebagai tokoh yang bertanggung jawab
atas pembersihan yang mengacaukan di kawasan Candi Prambanan, adalah
orang pertama yang mengenal tokoh Hanumn, Rma, dan St di beberapa
relief, dan menarik hubungan antara tokoh-tokoh tersebut dan wiracarita
India, yakni Rmyan a.
Beberapa cendekiawan lain mengungkapkan rasa heran oleh kehadiran
relief-relief Rmyan a pada Candi iva dan Candi Brahm, karena Rma
128
Candi Prambanan
sama sekali tidak berhubungan dengan iva maupun Brahm, tetapi hanya
dengan Vis n u, sebagai salah satu dari penjelmaan (avatra) Vis n u sama
seperti Kr ishna yang keperwiraan di masa mudanya dilukiskan secara jitu di
Candi Vis n u. Namun Groneman (1893:5) tidak melihat adanya masalah apa
pun dengan keganjilan ini, karena ia berpikir bahwa Rmyan a bisa saja
dikaitkan dengan ajaran-ajaran Buddhis Mahyna, di mana Buddha juga
dianggap sebagai salah satu avatra Vis n u. Apa yang disiratkan di sini
adalah suatu pembalikan hubungan, dengan mendalilkan bahwa dewa-dewa
Hindu yang diukir di Prambanan hanyalah penjelmaan Buddha, dan
karenanya dianggap sejajar dengan para bohisvattva, [mereka semua]
hanyalah cara-cara keberadaan, penjelmaan dari Dewa Mahaesa dan abadi,
yakni dibuddha yang tidak kelihatan dan kekal (Groneman 1893:29).
Sebagaimana yang telah ditandaskan sebelumnya, gagasan-gagasan
Groneman tentang corak Buddhis Loro Jonggrang ditolak Krom sebagai
sebuah teori berani. Krom sendiri menegaskan bahwa haruslah dicamkan
bahwa, bagi orang-orang yang merenungkan secara mendalam hal-hal ini,
semua dewata ini tidak lain hanya penjelmaan Wujud Tertinggi yang esa dan
tunggal (Krom 1923b:139). Namun masalahnya Krom tidak semata-mata
berhenti di sana. Sembari mengandaikan bahwa Loro Jonggrang adalah
monumen saingan Borobudur, Krom kemudian menyerupakan Wujud
Tertinggi itu dengan iva, sebagaimana gamblang dari perkataannya tentang
keunggulan iva di antara triad dewata Hindu, yakni:
Barangkali lebih tepat untuk mempertimbangkan keseluruhan [artinya, seluruh
kompleks percandian] sebagai yang ditakdiskan bagi Sang Wujud Tertinggi,
yakni iva, di mana di sampingnya Brahm dan Vis n u, entah merupakan dua
penjelmaan dari Sang Wujud Tertinggi atau tidak, cuma memainkan peran
sekunder. (Krom 1923a, I:452.)
129
Foto 8. Relief penari, lengkap dengan orkesnya. (Foto oleh Piet Holthuis.)
130
Candi Prambanan
maupun kaum aiva. Pembauran secara damai dari kedua agama tersebut,
hemat saya, merupakan satu-satunya penjelasan yang memuaskan baik
menyangkut banyaknya keserupaan arsitektural dan gaya seni antara Loro
Jonggrang dan Sewu, maupun menyangkut adanya di sana dewa-dewa yang
termasuk dalam panteon kedua agama. Benda-benda yang digunakan dalam
peribadatan untuk sebagiannya sama, bukan saja dalam penampilan lahiriah
melainkan pada intipatinya (Kern 1888:177).71
Sebagaimana telah ditegaskan di atas, identifikasi atas relief-relief
tersebut pada mulanya dibuat berdasarkan karya klasik Vlmki, yang
menjadi alasan untuk mencap segala macam penyimpangan darinya sebagai
korupsi dan salah paham. Hal ini perlahan-lahan berubah setelah Vogel
(1912) membuat sebuah analisis yang sangat saksama atas satu relief, yaitu
relief Rma pertama, dengan membuat rujukan ke beberapa teks (lihat
tulisan Vogel dalam buku ini). Tulisannya diakui Stutterheim sebagai salah
satu sumber ilham untuk riset Ph.D.-nya tentang berbagai cerita rakyat dan
relief Rma di Indonesia. Dalam disertasi tersebut, kebanyakan relief
kisahan di Candi iva dijelaskan secara memuaskan. 72
Hal yang sama tidak berlaku untuk relief-relief di Candi Brahm yang
diyakini merupakan kelanjutan dari cerita Rma, dan untuk relief-relief di
Candi Vis n u. Sampai belakangan ini, kita mesti puas dengan tafsirantafsiran sementara dan tidak lengkap dari Van Stein Callenfels (1919), serta
tafsiran-tafsiran serampangan dari para arkeolog Indonesia sebagaimana
yang diterbitkan dalam berbagai makalah lokakarya dan panduan-panduan
yang dicetak secara lokal bagi para wisatawan (seperti Sugianti 1986;
Soenarto 1991; Moertjipto 1991). Untungnya, keadaan yang tidak
memuaskan ini untuk sebagian teratasi berkat terbitnya tulisan
71 Berkait dengan hal ini, kita mesti mengingat kembali kata-kata cermat Kern bahwa
kekerabatan antara Mahyna dan aivisme dapat disangkal hanya kalau seseorang
memejamkan matanya, dan kemudian menambahkan, kemenangan ilmu pengetahuan
tidak terletak dalam upaya melenyapkan apa yang jelas bagi setiap orang, tetapi
sebaliknya dalam ikhtiar untuk berlangkah dari yang kelihatan dan yang tak tersangkalkan
menuju sebab-sebab di balik gejala-gejala yang diamati itu (Kern 1888:158; lihat juga
Coomaraswamy 1986:45).
72 Ringkasan tentang disertasi tersebut niscaya mubazir di sini, mengingat bahwa relief-relief
itu dibahas dalam sebuah terjemahan atas tulisan Stutterheim dari tahun 1928 dan
disertakan dalam buku ini. Foto-foto dengan mutu yang bagus, lengkap dengan tajuknya
baik dalam bahasa Inggris maupun Belanda, antara lain dapat ditemukan dalam Kats
(1925). Demi tuntutan kelengkapan saya akan menyinggung terjemahan terkini atas tesis
Ph.D. Stutterheim dalam bahasa Inggris yang diterbitkan oleh Indira Gandhi National
Centre for the Arts, New Delhi, 1989.
131
Roy Jordaan
132
Candi Prambanan
Vlmki (RV) bukanlah model pandu atau prototipe langsung yang diikuti
dalam pemahatan relief-relief Rma, walaupun tentu saja hal ini berlangsung
sepadan dengan alur-alur umum hikayat rakyat. Namun di sini, sebagaimana
selalu, perbedaan-perbedaan itulah, walaupun yang paling sepele, yang
menjadi kunci persoalan dan dapat menunjukkan ke arah mana pencarian
tersebut bisa dilanjutkan secara berhasil. Telaah tentang asal-usal teks
Rmyan a Jawa Kuno (RJK) bisa membantu menjelaskan hal dimaksud.
Dalam RJK, yang ditulis oleh seorang pujangga Jawa yang kadang kala,
secara benar atau salah, dirujuk sebagai Yogivara, dapat kita amati
penyimpangan-penyimpangan dari karya Vlmki. Perbedaan-perbedaan
tersebut diperiksa secara sangat saksama, yang pada akhirnya berujung pada
identifikasi teks yang telah berfungsi sebagai sebuah model untuk RJK.
Sarkar, sang penemu kemiripan-kemiripan antara beberapa bait dalam RJK
dan bagian-bagian dalam Bhattikvya
(Bhk), menulis tentang hal ini:
Sebagaimana berbagai kemiripan gagasan-gagasan ditandingi oleh perbedaanperbedaan terperinci, tidaklah wajib untuk mengakui keberadaan fisik di Jawa
dari naskah-naskah tertentu malah dari seorang pujangga besar, karena syair
Jawa Kuno termashyur, yakni Rmyan a Yogivara [RJK], tidak didasarkan
pada Rmyan a Vlmki dan tidak juga pada Raghuvaa Klidsa, tetapi
pada Bhattikvya
[Bhk]. (Sarkar 1989:42.)74
Apa yang penting bagi kita adalah kenyataan bahwa Bhk juga tidak berfungsi
sebagai sebuah sumber ilham bagi relief-relief Rmyan a di Prambanan.
Kesimpulan ini pasti bisa diduga setelah penemuan awal Stutterheim bahwa
RJK (hubungan erat RJK dengan Bhk sama sekali tidak diduga olehnya) tidak
berfungsi sebagai sebuah model. Bagaimana menafsir kenyataan ini merupakan
sebuah persoalan yang menarik, tentangnya Fontein berkata:
Tidak peduli bagaimanapun hubungan antara teks dan arca mesti dilihat,
penciptaan karya sastra Rmyan a Jawa Kuno dan pemahatan relief-relief
Prambanan kini dapat dianggap sebagai dua perwujudan secara serempak,
74 Setelah rumusan Sarkar secara sambil lalu mengenai dugaan tentang berbagai peminjaman
RJK dengan cepat memperoleh momentum; namun berkenaan dengan beberapa hal
khusus, riset itu belum tuntas (lihat Vinod Khanna dan Malini Saran 1993).
133
Roy Jordaan
namun barangkali berdiri sendiri dalam dua wasilah atau pertalian berbeda
menyangkut tanggapan ala Jawa yang sarat daya cipta terhadap sastra
wiracarita India. (Fontein 1997:193-194.)
menyerupakannya dengan seekor burung (pikatan) yang terpikat oleh sebutan tekukur
(biksu Buddhis), tampaknya hanya mungkin setelah mangkatnya sang raja serta
pengusiran dinasti ailendra dari Jawa.
76 Kita boleh saja mereka-reka entahkah kehadiran yang berkelanjutan dari dinasti ailendra
di Sumatra dan Kedah, di Semenanjung Malaka, bisa menjelaskan ketenaran yang lebih
besar serta pengaruh sastra Rmyan a yang lebih kuat di wilayah ini, berlawanan dengan
di Jawa di mana Mahbhrata lebih dikenal (Braginsky 1983:31-58). Bila ditafsir dalam
rangka sebuah perjuangan demi kemerdekaan nasional, konflik dinasti ini malah boleh
jadi telah terbidik dalam pemilahan analitis Braginsky antara sebuah sistem sastra
kontinental dengan Sanskerta sebagai medium bahasanya dan sebuah sistem kepulauan
Jawa Kuno yang menggunakan bahasa pribumi (Braginsky 1993:16).
134
Candi Prambanan
77 Ketika perhatian saya dibetotkan oleh penuntasan naskah Frank E. Reynolds (1991) yang
melakukan kaji banding atas tradisi Rma Hindu dan tradisi Rma Buddhis, sayangnya hal
itu sudah terlalu terlambat untuk disertakan dalam buku ini. Rujukan-rujukannya pada
beberapa teks Rma Buddhis Laos, yang sebagian darinya tampaknya berasal dari abad
pertengahan, khususnya menarik untuk dikaji lebih jauh (1991:53 dan 61, catatan kaki no.
9 dan 10).
135
Roy Jordaan
No. XIV di Candi iva yang ditafsir Van Stein Callenfels (1922) sebagai sebuah
interpolasi [sisipan] atas satu episode terkenal dari Mahbhrata (lihat juga Stutterheim
1925:135; Kats 1925, no. xxv). Contoh lain disajikan oleh tindakan-tindakan Lava dan
Kua yang sampai sejauh ini belum berhasil diidentifikasi sebagaimana yang dipahat pada
panel XXV dan XXVI di Candi Brahm (lihat Fontein 1997:197-198).
79 Walaupun sudah menjadi kelaziman untuk menyebut relief-relief ini sebagai relief-relief
Krsnyan a, namun benarlah yang dicatat Fontein bahwa relief-relief tersebut tampaknya
sama sekali tidak menjelaskan teks Jawa Kuno yang berjudul seperti itu, yang disunting
dan diterjemahkan oleh Soewito Santoso (1986).
136
Candi Prambanan
sama seperti relief-relief pada Candi Brahm mengikuti alur cerita umum
dalam Rmyan a (Fontein 1997:200). Namun Fontein sendiri meragukan
apakah hal ini bisa menyajikan sebuah petunjuk untuk mengidentifikasi teks
asli, sama seperti ia menyangsikan hal ini berkenaan dengan episode-episode
cerita yang diabaikan oleh para pemahat. Salah satu episode yang
ketidakhadirannya tampak mencolok, tandas Fontein, adalah kisah
Govardhana, di mana Kr ishna mengangkat gunung yang bernama
Govardhana untuk memberi perlindungan kepada para penggembala dan
sapi mereka ketika Indra menurunkan hujan selama tujuh hari. Pengabaian
lainnya yang juga mencolok adalah adegan tentang Gops dan Rdh.
Tidak banyak yang dapat saya tambahkan di sini kecuali mengatakan
bahwa sama seperti menyangkut Rmyan a, pencarian secara terpisah guna
menemukan teks asli harus diperluas agar mencakup versi-versi Buddhis
dari cerita Kr ishna. Salah satu cerita Buddhis semacam itu adalah Ghata
Jtaka, di mana Vasudeva dan para saudaranya konon dikatakan adalah para
putra dari Devagabha dan Upasagara, yaitu kedua saudari dari Kamsa (lihat
Bhattacharya 1978:179). Tidak perlu ditandaskan lagi, seni pahat Buddhis
India mesti dikaji juga. Beberapa relief Kr ishna telah berhasil ditemukan di
antara puing-puing reruntuhan Candi Buddhis Phrpur, yang sudah dirujuk
sebelumnya karena kemiripannya dengan desain arsitektural Loro
Jonggrang. Anehnya, justru relief-relief ini berisikan adegan-adegan yang
secara mencolok tidak terdapat di Prambanan, seperti adegan tentang
Kr ishna dan Rdh (Bhattacharya 1978:179). Hal-hal ini membutuhkan
penyelidikan lebih lanjut agar kita bisa menentukan apakah relief-relief
Phrpur mengikuti sebuah tradisi tekstual yang berbeda atau apakah reliefrelief tersebut membuktikan adanya sebuah adopsi selektif atas unsur-unsur
sastra.80
b. Relief-relief ikonis
Di antara relief-relief yang kurang-lebih berdiri sendiri, yang saya sebut
ikonis, yang selalu mendapat paling banyak perhatian adalah lokapla
(para penjaga mata angin utama) yang dilukiskan di Candi iva. Berbagai
80 Menyangkut sebuah kesejajaran yang mungkin, saya hendak merujuk pada Fontein, yang
137
Roy Jordaan
dari yang lain sehingga menghasilkan sebuah sebaran teratur dari dua pasang
dewata pada dinding luar. Tonnet (1908) mengajukan identifikasi berikut
atas kedelapan relief yang saling bersisipan itu: 1. Br haspati, 2. Hanumn, 3.
Brahman aspati, 4. Srya, 5. Krttikeya, 6. Kma, 7. Viva karman, dan 8.
Nrada; yang bersepadanan dengan plat No. D 2 (Guru), D 5 (Rma), D 8
(Agni), D 11, D 14, D 17, D 20, dan D 23 (Brahm) dalam Groneman
(1893).
Walaupun Krom menganggap bahwa beberapa identifikasi Tonnet masih
sangat diragukan dan membutuhkan bukti-bukti lebih lanjut yang
menguatkan, namun ia tidak menjelaskan lebih jauh kekhawatirannya
kecuali mencatat bahwa tidak cukup jelas bagaimana kedelapan dewata
[ast aikpla]
disebarkan di atas ke-24 panel. Masalah-masalah tersebut
138
Candi Prambanan
tampaknya juga tidak melihat adanya masalah teknis apa pun. Ia secara
meyakinkan memperagakan bahwa para arsitek benar-benar mampu
membagi ast aikpla
secara merata di atas panel-panel yang tersedia.
139
Roy Jordaan
menduga bahwa ke-24 ikpla di Prambanan bisa jadi adalah ke-12 Deva tersebut, yang
masing-masingnya memiliki dua variasi. Lebih jauh ia menduga bahwa kemungkinan
lain sekali lagi disajikan oleh tradisi Jepang, di mana masing-masing ikpla ditemani
oleh dua pengiring (8x3=24). Keseluruhan persoalan perlu dibuka kembali dan secara
saksama dibandingkan dengan lukisan-lukisan Jepang [...] (1989:xiv). Sambil
mencamkan kemungkinan penggabungan Loro Jonggrang ke dalam Dharmahtu
vagisvaraman ala, tampaknya layak dibuat sebuah kaji banding atas relief-relief pada kuil
induk Candi Sewu guna melihat apakah di sana dilukiskan pula kelompok delapan
140
Candi Prambanan
141
142
Foto 10. Salah satu lokapla beserta para pendampingnya yang belum diketahui identitasnya. (Foto oleh Mark Long.)
Candi Prambanan
Buddhis juga ditemukan dalam tarian India. Kata-kata ini bisa menjelaskan
dengan baik kenyataan bahwa keseluruhan jumlah karan a (gaya atau sikap
tari) dalam tarian iva yang disebut Tn ava
adalah sebanyak 108 [...].
143
Roy Jordaan
144
Candi Prambanan
dengan karan a, yakni penyerasian sikap-sikap tubuh tertentu (apa yang disebut
sebagai an ga) dan tungkai berikut lengan serta bagian-bagian tubuh lainnya
(apa yang disebut sebagai upn ga), yang bisa kita rujuk sebagai sikap-sikap tari
atau wujud-wujud tari. Terdapat 108 karan a, yang masing-masingnya memiliki
nama tersendiri. Ke-108 sikap tari itu, yang beberapa di antaranya dianggap
sebagai gaya kegemaran iva, dipahat pada dinding-dinding bagian dalam
gapura Candi Nat arja di Chidambaram.82 Berdasarkan bait-bait syair yang
dipahatkan pada bagian bawah panel-panel ini, yang dikutip dari bab keempat
Ntyastra
tadi, terbukalah kemungkinan untuk menemukan nama-nama
Berkait dengan hal ini Bernet Kempers mencatat bahwa: Teks dari bab empat Bharata
Nt yastra telah diterbitkan dengan sebuah terjemahan dan banyak sekali catatan oleh B.
Venkata Narayanaswami Naidu, P. Srinivasulu Naidu dan O. Venkata Rangayya Pantulu
dengan judul Tn ava Laksan am or The Funamentals of Ancient Hinu Dancing,
Madras 1936. Foto-foto Candi Nat arja dan adegan-adegan tari yang dipahatkan pada
gapura-gapuranya juga ditemukan dalam buku ini, bersama dengan sebuah ikhtisar dari
laporan pakar epigrafi Madras tahun 1913-1914. Reproduksi berbagai prasasti dan ukiran
kayu dari panel-panel tarian yang diterbitkan bersama laporan ini juga ada dalam buku
tersebut.
145
Roy Jordaan
bahwa pagar langkan tersebut dibagi oleh empat gapura. Di alun-alun sebelah
timur laut rata-rata terdapat satu panel untuk setiap agahra, oleh karena
banyak panel di sini ditempati oleh para pemusik. Biasanya pemeriksaan yang
dianjurkan sama sekali tidak mudah dilaksanakan karena satu agahra terdiri
atas banyak karan a, dan banyak dari karan a tersebut diulang kembali lebih dari
satu kali pada satu agahra, yang berarti bahwa sangat boleh jadi untuk setiap
adegan tari mesti dicocokkan dengan sejumlah agahra yang dianjurkan.
Dengan menggunakan metode ini, setelah rekonstruksi (arsitektural),
terbukalah kemungkinan untuk menempatkan semua panel tari berdasarkan
urutan yang ditetapkan praaksin
dalam susunan tepat dari ke-32 agahra
(tentu saja muskil bahwa karan a dari setiap agahra dicitrakan pada dua
panel), dengan kekecualian satu panel tunggal di alun-alun sebelah timur laut.
Barangkali hal ini terjadi karena salah penempatan, walaupun suatu
penempatan yang lebih baik berdasarkan data arsitektural tidaklah mungkin
sementara ini. Kenyataan bahwa penempatan panel-panel tersebut benar-benar
cocok dengan sistem tentu saja penting artinya. Walaupun penempatan panelpanel yang tersisa boleh jadi tidak pasti secara mutlak, namun peluang-peluang
bahwa pada akhirnya akan begitulah yang terjadi bisa ditaksir tinggi.
Pertanggungjawaban penuh atas rekonstruksi ini akan disajikan pada waktunya
oleh Bapak Samingun.83
146
Candi Prambanan
batangnya terdapat aneka rupa binatang, seperti kelinci, kera atau angsa,
namun lebih sering berupa kinnara, yaitu makhluk kayangan yang memiliki
badan separuh manusia dan separuh binatang. Van Erp menganggap reliefrelief ini sedemikian khas bagi candi ini sehingga ia merujuk motifnya
sebagai motif Prambanan. Karena penjelasannya yang begitu persisi, saya
akan mengutip deskripsi terperinci Krom tentang ciri khas dari hiasan bagian
luar di bawah ini.
[Motif tersebut] berupa sebuah relung penampil dengan seekor singa yang
tampil ganas di antara dua panel yang berisikan sebuah pohon yang elok di
antara dua kinnara atau dua binatang. Singa-singa itu dilukiskan secara utuh
dalam posisi berdiri sebagai unsur-unsur terpisah di relung terbuka, yang diapit
sebuah hiasan makara yang bersandar pada pahatan batu memanjang berbentuk
mawar. Pita-pita yang muncul di atas makara bertemu pada hiasan penampil
relung, yang pada bagian tengahnya dihiasi dengan sebuah kepala kla yang
stilistik, dari kedua belah sisi muncul sebuah motif pilin yang melengkung ke
bawah dan ke dalam, yang menggambarkan sepasang makara yang memutar ke
dalam. Pada kedua belah sisinya terdapat satu pola serupa dengan garis-garis
yang memutar ke luar yang menggantikan rangkaian kedua dari kepala-kepala
makara. Dari bagian yang menggambarkan kepala kla, menggelantung sebuah
genta. Pohon-pohon yang berada dalam panel-panel berbingkai sederhana di
samping relung dinaungi oleh sebuah payung kecil pelindung matahari dan
muncul dari dalam sebuah jambangan bunga besar yang indah. Kenyataan ini,
dan juga perlakuan secara keseluruhan atas subjek tersebut sebagai buket,
lengkap dengan bunga-bunga teratai dalam empat tahap pemekaran yang
berbeda, bisa saja mendorong kita untuk berpikir tentang tata bunga, namun
karena kenyataan bahwa kadang kala seekor burung hinggap di dahandahannya, maka hal itu cenderung menyiratkan sebuah pohon. Burung-burung
kecil yang sedang beterbangan juga digambarkan di sudut-sudut bagian atas.
Sosok-sosok di kedua belah sisi batang pohon itu adalah kinnara lebih
disukai yang satu jantan dan yang lain betina namun juga segala macam
binatang, seperti kijang, merak, biri-biri jantan, kelinci, kera, angsa, dan
burung-burung lainnya. Sebuah setrip vertikal sempit menutupi keseluruhan
motif pada kedua belah sisi, di sampingnya terdapat sebuah setrip datar dan
luas yang diapit dua buah pilaster pahatan yang berdiri bebas memisahkan satu
kelompok relung terdiri atas singa dan tiga panel dari kelompok yang lain.
Kenyataan bahwa pemisahan ini mendapat penekanan tambahan oleh adanya
sebuah setrip atas dan bawah harus dicatat bahwa
147
148
Foto 11a dan 11b. Adegan-adegan tarian Tn ava.
(Foto OD nomor 8494 dan foto OD nomor 8487.)
Candi Prambanan
149
150
Foto 12. Motif Prambanan. (Foto oleh Mark Long.)
Candi Prambanan
Vis n u berupa burung kakatua, sedangkan semua yang lain berupa pahatanpahatan batu berbentuk teratai. Pada candi apit sebelah utara bingkai-bingkai
penyangga itu semuanya dibiarkan kosong tanpa hiasan apa pun. (Krom
1923a, I:454-456.)
151
Roy Jordaan
152
Candi Prambanan
warna pudar pada beberapa batu di atas panel-panel dari beberapa arca pengawal yang
ditempatkan di mata angin utama. Sebagai contoh, pada D 10, yaitu Nairr ta, saya
mengamati adanya bekas-bekas berwarna merah/kekuning-kuningan, pada D 12 tampak
ada sisa-sisa warna kemerah-merahan di belakang para pembantu Varun a, dan pada D 13,
latar di balik Varun a tampaknya berwarna kemerah-merahan sedangkan ular tampaknya
bersinar kuning pudar. Pengamatan-pengamatan ini mendorong saya untuk bertanya-tanya
apakah sosok lokapla Nairr ta, yang dilukiskan sebagai seorang dewa mengerikan
berkulit legam barangkali aslinya memang dicat (lihat Jordaan 1992:65).
153
Roy Jordaan
154
Candi Prambanan
pembangunan candi telah berpijak pada landasan yang kokoh menurut konsep
keagamaan yang berlaku. Candi yang dibuat dengan cara ini telah memenuhi
syarat sebagai tempat bersemayamnya purusa (dewa) yaitu azas kejiwaan alam
semesta. (Anom 1992:75.)
155
Roy Jordaan
156
Candi Prambanan
157
Roy Jordaan
158
BAGIAN DUA
J.W. IJZERMAN
161
J.W. IJzerman
sekte Tantrik dalam pembangunan candi tersebut, padahal pada waktu itu (dan
kadang kala malah sampai sekarang) umumnya diandaikan bahwa Tantrisme
baru berkembang sepenuhnya dalam kurun waktu Jawa Timur, dan dengan
demikian cuma memiliki sedikit kaitan, itu pun kalau ada, dengan bangunanbangunan semisal Borobudur dan Prambanan.
Walaupun tulisan yang diterbitkan ulang di sini bersama dengan berlalunya
waktu telah menjadi sebuah ulasan klasik, namun keputusan untuk
menyertakan satu terjemahan atasnya dalam buku ini tidak saja diambil karena
alasan-alasan historiografis. Sebagaimana yang telah ditandaskan di atas,
beberapa kesimpulan IJzerman, khususnya yang menyangkut benda-benda
yang dipendam dalam perigi-perigi candi, masih tetap penting untuk kaji
banding arkeologis saat ini. Justru karena tersimpan catatan yang cukup
saksama menyangkut penggalian berbagai perigi candi, maka sangat
bergunalah untuk membuat aneka perbandingan dengan hasil-hasil riset tentang
benda-benda ritual yang dipendam di pelbagai candi Hindu-Buddhis di Kedah,
semenanjung Melayu, seperti riset yang dilakukan Lamb (1960, 1961) yang
kemungkinan menegaskan riset terdahulu yang ditunaikan Bosch (1961:466,
catatan kaki no. 2), namun sayangnya anjurannya tidak ditindaklanjuti karena
tidak adanya sebuah terjemahan karangan IJzerman ke dalam bahasa Inggris
dan Indonesia. Suatu pengamatan yang lebih saksama atas benda-benda
berbentuk kertas emas dari Prambanan, dan juga dari candi-candi Jawa lainnya
bisa menghasilkan data-data yang menarik untuk dibandingkan dengan
penemuan-penemuan riset yang dilakukan Treloar (1972) dan Riederer (1994).
162
Perigi-perigi Candi
yang dipotong berbentuk persegi dan ditata secara apik dari batu paras (batu
pasir) berwarna kuning muda lembut ditemukan persis di bawah lapik,
namun ketika potongan-potongan batu itu berhasil diangkat maka hanya ada
tanah dan pecahan-pecahan batu, yang dihamburkan begitu saja. Beberapa
dari bebatuan tersebut tampak kasar dan tidak dipahat, yang lain cuma
separuhnya yang dipahat. Berbagai anggota tubuh arca-arca, seperti lengan
dan tangan, aneka hiasan dan dekorasi dinding ditemukan di bawah lapisan
ini, dan terdapat cukup banyak kepingan tembaga [perunggu] berkarat yang
berserakan di sana.
Penutup sebuah kotak [pripih] dengan ukuran 41 cm panjang dan lebar
serta 53 cm dalam ditemukan pada kedalaman 5,75 m di bawah lantai (Pelat
XXIII, Gbr. 105, lihat Gambar 8). Bagian atas penutup kotak ini, yang
terbuat dari batu napal lunak, berbentuk seperti wajik dan sebuah kotak yang
terbuat dari batu paras berwarna kuning muda lembut dicocokkan ke
dalamnya, dan dilindungi dari kerusakan oleh tumpukan bebatuan yang
dibangun secara saksama di sekitarnya.
Tanah yang terletak langsung di bawah peti ini dicampur dengan arang,
dan selama penggalian ditemukan potongan-potongan kecil tulang-belulang
binatang yang terbakar. Menurut pendapat Dr. Sluiter, yang dengan murah
hati mengambil tugas mengkaji tulang-belulang tersebut atas permintaan
[W.P.] Groeneveldt, sejauh masih dapat dikenal adalah berbagai bagian dari
kaki sebelah depan dari seekor kambing, yakni tulang hasta dengan lututnya
dan sepotong kecil tulang bagian atas, dan juga bagian tumit, beberapa
pergelangan kaki dan potongan-potongan tulang pergelangan kaki depan.
Juga terdapat satu potong tulang dada dari seekor ayam atau sejenis unggas.
Jenis tiap-tiap binatang ini tidak dapat dipastikan. Tulang-belulang itu
meninggalkan bekas-bekas pembakaran yang jelas.
Di antara bangkai-bangkai binatang kurban yang dibakar itu terdapat
sebuah pelat emas kecil yang bertorehkan sebuah prasasti, sebagaimana yang
diperlihatkan dalam Pelat XXII, Gbr. 92 (lihat Gambar 9). Selain itu tidak
ada penemuan yang layak dicatat dari perigi ini.
Tiga pecahan tembikar dari berbagai jenis keramik Cina, yang dite
mukan persis di bawah kotak tadi, berada di sana nyaris secara kebetulan
belaka.
Permukaan tanah mencapai ketinggian 13 m. Pada titik tersebut perigi
tadi berukuran lebih dari 2,20 m persegi, sehingga bentuknya menyerupai
163
164
Foto 13. Bagian dalam bilik utama Candi iva, sekitar tahun 1880. Arca iva Mahdeva dan lapiknya telah digeser dari tempat
aslinya dan ditidurkan di lantai dalam rangka penyeledikan IJzerman atas perigi-perigi candi Prambanan.
(Foto Kassian Cephas untuk buku Groneman 1893.)
165
J.W. IJzerman
166
Perigi-perigi Candi
atas sejenis batu paras lunak, alih-alih teras/andesit yang digunakan untuk
dinding-dinding di sisi-sisi yang lain. Selain itu, keseluruhan permukaan
lantai candi terdiri atas sebuah lapisan penutup setebal 8 cm, kecuali di sisi
sebelah barat perigi, di mana ketinggian permukaan bagian atasnya berbedabeda. Ketika rongga di belakang arca Brahm di sisi selatan (akan dijelaskan
sebentar lagi) diketahui, maka bisa diandaikan bahwa sesuatu yang serupa
akan ditemukan di sana.
Namun ketika beberapa bebatuan, yang dipisahkan satu dari yang lain
oleh sebuah lapisan tanah yang cukup tebal, dipindahkan, maka ditemukan
pada kedalaman 0,94 m sebuah bidang kecil, dengan panjang 46 cm dan
lebar 52 cm, dan pada bagian depan di mana ia bertemu dengan perigi
memiliki kedalaman 15 cm, yang semata-mata berisikan arang bercampur
tanah. Tidak terdapat bekas apa pun mengenai adanya sebuah tempat
penyimpanan sebagaimana di Candi Brahm; satu-satunya fakta yang dapat
disimpulkan dari pengamatan di atas ialah bahwa bagian barat dari bilik
utama diselesaikan dan diratakan pada waktu yang lebih kemudian dari
bagian-bagian lainnya.
Ada kemungkinan bahwa konstruksi itu bertujuan untuk mengeringkan
air yang digunakan di dalam candi dengan mengalirkan ke dalam lubang.
Ruang-ruang yang cukup lebar di antara bebatuan, yang kini berupa lapisanlapisan tanah yang cukup tebal, tentunya memperlancar tujuan dimaksud.
Lapik berbentuk yoni membuat kita terbayang akan sosok arca yang tengah
dimandikan air, sama seperti liga di tempat-tempat lain, salah satu bentuk
peribadatan yang lazim. Demikianlah, air yang telah disucikan itu barangkali
kemudian ditampung di sini dan dijual. Air yang memercik selama upacara
boleh jadi mengalir melalui galur di seputar mulut perigi ke sisi sebelah
barat, dan di sana dikeringkan ke dalam tanah.
167
168
Gambar 10. Gambar-gambar penggalian yang memperlihatkan pelat-pelat kecil dan bertulis yang terbuat dari emas kerajang yang
ditemukan di perigi Candi iva. (IJzerman 1891, jld. ke-2, Pelat XXII: Gbr. 92-99.) (Ukuran yang ebenarnya.)
169
Gambar 11. Gambar-gambar penggalian yang memperlihatkan ukiran-ukiran kepingan-kepingan kertas emas yang ditemukan di
perigi Candi iva. (IJzerman 1891, jld. ke-2, Pelat XXII: Gbr. 100-104.) (Ukuran yang sebenarnya.)
J.W. IJzerman
sebuah celah kecil di lantai yang mengitari seluruh perigi, dan berujung di
sisi sebelah barat. Ini berarti bahwa seakan-akan perigi tadi, yang berukuran
1,42 m panjang dan lebar, dilingkari dengan sebuah batu penutup selebar 13
cm. Hal ini membuat pengandaian tentang pengeringan air itu menjadi kian
mungkin. Antara kedalaman 0,44 dan 0,76 m terdapat sebuah rongga kecil,
yang sama-sama dihubungkan dengan perigi dan juga diisi dengan tumpukan
tanah. Riset yang lebih terperinci mengungkapkan bahwa rongga itu
berisikan serakan beberapa tembikar dari sebuah gentong atau buyung tanah
liat yang pecah, sepotong batu bata merah yang dibakar dan beberapa arang.
Ketika lapik tadi dipindahkan, ditemukan sebuah potongan batu kapur
penutup yang telah pecah di bagian tengah. Pada ketiga sisinya batu itu
bersambungan dengan alur sebesar 2 cm dan menutupi sebuah perigi kecil
berukuran 33 cm persegi dengan kedalaman 50 cm. Ruang kecil ini menjadi
tempat penyimpanan untuk sebuah gentong atau buyung tanah liat berbentuk
seperti kebanyakan gentong atau buyung lain yang masih dibuat sampai saat
ini. Bentuk aslinya dapat dengan mudah dirancang kembali dari potonganpotongannya; lingkarannya yang paling luas berukuran 22 cm dan setinggi
18,5 cm. Pada bagian bawah gentong atau buyung ini terdapat sebuah cupu
perunggu dengan diameter 9 cm yang berisikan abu bercampur tanah dan
juga benda-benda berikut (Pelat XXIV, Gbr. 112-116; lihat Gambar 11):
sekuntum bunga teratai emas, seekor kura-kura perak yang disisipi relief,
sebuah cakra perak yang juga disisipi relief, demikian pula sebuah vajra dan
sebuah salib perak datar dengan titik-titik berbentuk segitiga bertepi miring ;
di samping benda-benda tersebut terdapat beberapa batu cincin, yang
sebagian darinya menunjukkan bekas-bekas retasan, termasuk sebentuk batu
akik dengan ukiran ikan di atasnya; dan akhirnya beberapa kepingan perak
dan emas.
Di bawah gentong atau buyung itu berserakan bebatuan dan tanah;
kemudian pada kedalaman 1,10 m terdapat lapisan bebatuan yang disusun
apik setebal 30 cm, yang dipisahkan dari lapisan bebatuan kedua oleh
Analisis kimiawi memperlihatkan bahwa komposisi abu ini sama dengan abu yang
ditemukan di perigi Candi iva. Cuma dalam kasus ini tidak ditemukan potonganpotongan tembaga yang agak besar, tetapi sebaliknya kepingan-kepingan gentong atau
buyung dari tanah liat.
Salib itu rupanya melambangkan svastika, walaupun biasanya dilukiskan dalam cara lain
dan belum dikenal dalam bentuk ini.
170
Perigi-perigi Candi
lapisan tipis tanah. Lapisan berikut berada pada kedalaman antara 1,75 dan
2,05 m, dan pada bagian tengahnya terdapat bidang seluas 50 cm persegi,
yang menyempit menjadi 30 cm ketika semakin dalam dan berakhir pada
kedalaman 2,47 m.
Bagian atas dari ruang sempit ini dibatasi oleh dua lapisan batu biru
yang dipahat secara apik, yang paling atas terdiri atas delapan batu
berukuran 48 cm panjang, 18 cm lebar dan 11 cm tebal, sedangkan lapisan
yang lebih rendah berukuran 4 cm panjang, 30 cm lebar dan 11 cm tebal. Di
antara kedua lapisan itu baik pada sisi sebelah utara maupun selatan terdapat
sebuah plaket perak kecil, sedangkan pada sisi sebelah timur terdapat
sepotong emas kecil tidak lebih besar dari sebutir beras.
Ruang antara kedalaman 1,75 hingga 2,47 m berisi tanah yang mengan
dung amat banyak arang dan sejumlah kecil tembaga. Pada dasar rongga ini
terdapat lapisan pipih batu napal setebal 10 cm dan di bawahnya terdapat
lapisan batu pasir setebal 28 cm, hingga kedalaman seluruhnya mencapai
2,85 m.
Sebuah rencana pasti untuk menciptakan rongga dapat diamati pada tiga
lapisan berikutnya antara kedalaman 2,85 hingga 3,80 m. Teras/andesit yang
ditata apik di bagian tengah dikelilingi oleh sebuah penutup yang terbuat
dari batu yang lebih lunak. Dua lapisan pertama berbentuk empat persegi
panjang berukuran 74 x 76 cm dengan kedalaman 32 cm. Yang ketiga
berukuran 40 x 50 cm dengan ketebalan 31 cm. Beberapa potongan kayu
lapuk ditemukan di bawah lapisan-lapisan ini.
Rongga tadi disusul oleh tumpukan tanah sampai kedalaman sekitar 4
m, tempat ditemukan lapisan kokoh kerikil yang melengkung dan berwarna
putih kecokelatan setebal 10 cm, disusul oleh kerikil berwarna putih kebirubiruan pada kedalaman 4,2 m. Di sampingnya ditemukan bahan-bahan yang
terdiri atas bebatuan kali berukuran besar dan kecil, yang bercampur dengan
taring seekor babi hutan, pecahan-pecahan tembikar, potongan-potongan
batu yang dipahat, dan beberapa potongan gentong atau buyung dari tanah
liat.
Pada kedalaman 7,62 m terdapat sebuah pelipit yang tak beraturan, yang
menjorok ke luar antara 13 hingga 21 cm. Sampai di sini perigi tersebut
berbentuk empat persegi panjang berukuran sekitar 1,66 m, yang
menyiratkan, seperti perigi pada Candi iva, bahwa telah terjadi perluasan
tertentu. Tidak ada bebatuan lain yang ditemukan antara pelipit ini dan
171
J.W. IJzerman
172
173
J.W. IJzerman
saluran air. Isi rongga kedua ini sama dengan isi rongga pertama yang
terdapat di balik arca, dengan kekecualian bahwa di sana pun ditemukan
sebuah potongan kecil tembikar putih yang berasal dari sebuah mangkuk
kecil, serta potongan kecil uang logam emas yang pada salah satu sisinya
berterakan dua cetakan berbentuk wajik yang ditempatkan satu di samping
yang lain.
Di bawah permukaan tempat penyimpanan khusus ini terdapat sebuah
lapisan bebatuan putih lunak dengan kedalaman 1,95 m, tempat ditemukan
sebuah ceruk yang ditimbuni yang menunjukkan keserupaan dengan ceruk
sedalam 1,75 m di perigi Candi Vis n u.
Pada lapisan setebal 15 cm juga ditemukan sebuah lubang berbentuk
empat persegi panjang yang berukuran 33 cm. Pada sisi sebelah utara dan
selatan lubang ini, setelah lapisan batu tadi dipindahkan, terdapat dua batu
biru yang dipahat rapi berukuran 64 cm panjang x 18 cm lebar dan 11 cm
tebal; kedua batu tersebut ditempatkan lurus dengan arah timur-barat.
Keduanya bersandar pada dua batu yang lebih kecil, yang memiliki ukuran
lebar dan tinggi sama namun cuma 28 cm panjang, yang menutup ruang itu
pada keempat sisi dengan dua batu lain yang berukuran sama. Cekungan itu
diisi dengan tanah dan arang, namun selain itu tidak ada yang istimewa.
Napal lunak tadi berlanjut terus dalam lapisan-lapisan teratur hingga ke
kedalaman 2,78 m, lalu berganti dengan tanah bercampur bebatuan kali.
Pada kedalaman 3,50 m di perigi yang ditimbuni ini terdapat beberapa
potongan batu bata merah yang dibakar, sepotong kecil tembikar (kereweng)
dan sebuah gigi besar; pada kedalaman 5,25 m terdapat sejumlah kecil tanah
berwarna biru keabu-abuan dengan beberapa potong tulang burung yang
lembut; pada kedalaman 6,10 m ditemukan sebuah pot batu (lumpang atau
deplokan) yang dipahat secara kasar, serupa dengan yang masih digunakan
sekarang ini di Jawa untuk menumbuk sirih dan dedaunan lainnya sampai
halus; pada kedalaman 7,50 m terdapat sebuah penampil tak beraturan di
sisi-sisi tembok yang menunjukkan bahwa ketika perigi itu dibangun tidak
seluruh pekerjaan diselesaikan seturut rencana; pada kedalaman 7,80 m
ditemukan beberapa potongan kecil tulang yang sebagiannya telah lapuk;
pada kedalaman 8,40 m terdapat dua batu berbentuk silinder yang dipahat
secara kasar masing-masing memiliki sebuah lubang bundar di tengahnya,
potongan-potongan kendi yang pecah dan benda-benda tembikar lainnya;
pada kedalaman 9,50 m terdapat potongan-potongan sebuah kendi yang
174
Perigi-perigi Candi
Catatan penyunting: informasi ini disusul oleh sebuah petunjuk IJzerman ke beberapa
gambar penggalian (Pelat XXVI, gbr. 137-140) yang tidak dimuat kembali di sini.
175
J.W. IJzerman
176
Perigi-perigi Candi
177
J.W. IJzerman
178
Perigi-perigi Candi
179
J.W. IJzerman
Kuta, Badung. Pandita Made Alng Kacng telah berdiam di rumah mati
beberapa hari sebelum kremasi. Ketika saya pergi mengunjungi beliau, saya
menyaksikannya sedang sibuk menulis huruf-huruf di atas pelat-pelat emas
kecil. Pada saat yang sama, khususnya karena kehadiran sejumlah orang
lain, saya tidak berkesempatan untuk bertanya kepadanya tentang makna
huruf-huruf itu, dan cuma mendengar dan hal ini pun ditegaskan oleh para
saksi lainnya bahwa pelat-pelat ini, dan juga batu-batu berharga (yang
masih utuh atau sudah dipecahkan menjadi potongan-potongan kecil,
khususnya batu-batu delima) bersama dengan benda-benda lain, ditaruh di
dalam sebuah bejana kecil bercampur air, dan bahwa berkat ramuan ini,
namun terutama nian melalui kata-kata rahasia yang ditulis di atas pelatpelat kecil tersebut, maka air itu disucikan, dan kemudian dicurahkan ke atas
jasad persis sebelum dikremasi. Namun tampaknya bahwa pelat-pelat
180
Perigi-perigi Candi
181
J.W. IJzerman
Candi Brahm untuk delapan pedandanya, di mana pasu berisikan abu jasad
mereka ditempatkan di sana bersamaan waktunya ketika arca itu dipasang di
situ. Tempat kehormatan juga disediakan di ketiga candi di sebelah timur,
menanti sampai ada orang mati yang dianggap layak untuk disemayamkan di
sana.
Pada tiga deretan berturut-turut terletak [tempat pemakaman] pendudukpenduduk terkemuka, di antara dua tembok bagian dalam yang melingkar;
tampaknya bahwa bangunan pada deretan keempat sama sekali belum
dimulai.
Orang-orang Hindu, seperti juga orang-orang Kristen, lebih suka
dikuburkan di bawah lengkungan-lengkungan kubah tempat-tempat suci
mereka atau di bawah naungan taman-taman candi di luar sana.
182
J. PH. VOGEL
Tulisan Vogel yang disertakan kembali di bawah ini adalah ulasan pertama
yang membahas masalah identifikasi dari teks sastra yang mendasari reliefrelief Rmyan a di Candi iva di Prambanan. Metode-metode yang digunakan
Vogel patut dicontoh. Berbeda dari kebiasaan pada zamannya, Vogel
mendasarkan dirinya tidak semata-mata pada teks klasik Vlmk, lalu
kemudian mengasalkan perbedaan-perbedaan antara versi kisah itu dan yang
digambarkan pada relief-relief tersebut pada berbagai tafsiran pribadi dan
kekeliruan pada pihak si pemahat Jawa. Sebaliknya, ia mengkaji sejumlah teks
berbeda, yang beberapa darinya bersepadanan lebih dekat dengan adeganadegan pada relief-relief tadi daripada dengan teks Vlmk. Beberapa tahun
kemudian, Stutterheim (1925) juga menyertakan versi-versi berbeda yang
diambil dari tradisi-tradisi lisan kerakyatan dalam penelitiannya atas reliefrelief yang tersisa, seraya memberi pengakuan yang seharusnya kepada Vogel
atas ilham yang ia timba dari karyanya.
183
J. Ph. Vogel
mengurangkan secuil pun rasa terima kasih kita kepada Dr. Groneman atas
penerbitan tersebut, namun saya kira bahwa bila kita mengamati penjelasanpenjelasan yang ia berikan atas relief-relief ini maka dalam beberapa segi
masih tersisa beberapa hal yang perlu dikaji lebih lanjut.
Begitulah kita menemukan komentar berikut tentang relief pertama dari
seri Rma itu:
Di sebuah belantara yang dipepaki oleh bebatuan dan binatang-binatang liar
(seekor ular, seekor kadal, dan burung-burung), kita melihat Garud a, elang
matahari dan kuda (vhana) Vis n u, digambarkan sebagai seorang manusia
yang memiliki paruh, sepasang sayap dan cakar-cakar seekor burung, yang
duduk dengan posisi hormat (sil). Garud a itu sedang memegang sekuntum
bunga teratai dengan kedua belah tangannya, sambil memalingkan
pandangannya kepada tuan dewatanya, yakni Nryan a, yang tengah bersandar
di lautan yang dihuni oleh makhluk-makhluk lautan, yang dilahirkan oleh ular
berkepala tujuh, yaitu es a atau Ananta (yang tak terbatas).
Nryan a berhasil dikenal, walaupun wajahnya rusak parah, oleh keempat
tangannya, di mana yang satu yaitu lengan kanan sebelah belakang sedang
memegang cakra atau roda, sedangkan yang lain yaitu lengan kiri sebelah
belakang sedang memegang aka atau kerang dewa, dan tangan ketiga yaitu
lengan kanan sebelah depan sedang memegang upavta atau tali suci yang
digantungkan menyilang di depan dada dan di atas bahu kiri oleh para dewata
dan juga semua orang yang terlahir untuk kedua kalinya (para anggota kastakasta atas), sedangkan lengan kiri sebelah depan disandarkan pada kain
pinggang atau cawat, yang direntangkan oleh lutut kiri yang ditegakkan.
Telapak tangan terbuka yang menghadap ke depan rusak parah, dan apa pun
yang diletakkan di situ tidak dapat dikenali lagi.
Sama seperti semua dewata, Vis n u Nryan a mengenakan sebuah
mahkota (makuta) dan hiasan-hiasan raja.
Kita tahu bahwa avatra Vis n u yang ketujuh menampakkan dirinya di
dunia para rksasa
dan manusia sebagai Rma, dan karenanya menyadari
184
185
Foto 14. Relief Rma Prambanan yang pertama. (OD-foto 3467, diambil dari Bijragen tot e Taal-, Lan- en Volkenkune 77
[1921].)
J. Ph. Vogel
kepadanya sesajen berupa bebungaan. Salah satu dari mereka yang pertama
dicirikan oleh janggutnya yang lebat sebagai seorang laki-laki berusia lanjut.
Keempat yang lain adalah perempuan, walaupun mereka tidak dilukiskan
dengan buah dada membusung sebagaimana yang lazimnya dimiliki oleh
sosok-sosok perempuan Hindu. Namun hal ini, seperti ekstrem lainnya buah
dada yang kempis dan menggelantung bukanlah corak yang tidak lazim dari
pahatan-pahatan ini, dan bukan tanpa maksud tertentu. Hal ini lebih benar lagi
di sini, andai kata saya tidak keliru bila menyebut raja itu sebagai Daaratha,
Raja Ayodhy, yang sedang berdoa agar dikaruniai keturunan dari ketiga
istrinya yang mandul. Perempuan keempat sama sekali tidak disinggung dalam
berbagai terjemahan dan ikhtisar kisah Rmyan a yang saya ketahui, tetapi
boleh jadi berasal dari versi lain dari wiracarita itu. Mahkota yang
dikenakannya menafikan kita untuk menyebutnya sebagai dayang-dayang
perempuan.
186
187
J. Ph. Vogel
dan kami tidak sanggup untuk menghukumnya. Dikau telah berkenan memberinya
sebuah karunia, Wahai Penguasa, dan dengan selalu menghormati karunia yang satu
ini kami berkewajiban untuk menenggang semua tindakannya. Ia mendatangkan
kengerian pada tiga dunia, dalam kebodohannya ia membenci yang mahatinggi
[dewa-dewa], dan ia bertekad akan mengusik Indra, raja para dewata. Ia melampaui
para Rsi, Yaksa dan Ganharva, dan juga para Brahmana dan Asura, [tindakan]
yang tidak dapat dipersalahkan namun membingungkan karena karunia yang
diberikan kepadanya. Matahari tidak lagi bersinar, begitu pula angin tidak lagi
berhembus; lautan yang bersiap-siap dengan gelombangnya yang menggelora
merasa ngeri ketika melihatnya. Maka dari itu, bahaya teramat besar tengah
mengancam kami oleh ulah sang Rksasa,
yang mengerikan bila dilihat. Engkau
Karena diserukan seperti itu oleh semua dewata, maka ia [Brahm] setelah
melakukan pertimbangan sebagaimana mestinya berkata: Baiklah, saya tahu
cara berikut untuk membunuh sang bajingan. Dahulu ia pernah
Saya mengikuti edisi Bombay.
Di sini saya memakai tafsiran bhgapratigrahrtham dalam edisi Von Schlegel [1829]. Di
sini saya menafsirnya sebagai wikampate, alih-alih na kampate.
188
berkata, Saya memohon agar tidak dapat dilukai oleh para Ganharva dan
Yaksa,
dan saya telah mengabulkannya. Sang
oleh para Dewata dan Rksasa,
rksasa
itu dalam keangkuhannya tidak menyinggung tentang manusia;
karenanya ia mesti dibunuh oleh seorang manusia. Tidak ada cara lain untuk
membunuhnya. Mendengar kata-kata menggembirakan yang diucapkan
Brahm, maka para dewata dan sang Rsi agung semuanya bersuka cita.
Dalam pada itu, Vis n u telah muncul, penuh kegemerlapan, sang penguasa
dunia, gilang-gemilang dalam baju panjang kuningnya, seraya memegang
sebuah kerang, cakra, dan gada di kedua belah tangannya. Ia mengendarai
burung Garud a, bagaikan kilauan matahari di balik awan hujan. Ia mengenakan
kalung yang terbuat dari emas murni. Diiringi puja-puji para dewata
mahatinggi dan dipersatukan dengan Brahm, ia berdiri di sana penuh
perhatian. Semua dewata berbicara kepadanya, seraya memuji dia dengan
kepala tertunduk: Kami ingin memberimu sebuah tugas, Wahai Vis n u, oleh
hasrat demi keselamatan dunia. Lihatlah di sana, Wahai Penguasa, seorang
prabu bernama Daaratha, sang penguasa Ayodhy, yang murah hati dalam
segenap perbuatannya dan seorang ahli Hukum, dan sebanding dalam semangat
dengan sang Rsi agung. Turunlah untuk menjadi putranya melalui ketiga
istrinya, penjelmaan dari Kesahajaan, Keberuntungan, dan Kemuliaan, Wahai
Vis n u, dan bagilah dirimu menjadi empat. Tatkala engkau telah menjadi
seorang manusia, Wahai Vis n u, kalahkan dalam pertempuran onak dunia yang
telah matang itu, yakni Rvan a, yang tidak dapat dilukai oleh para dewata.
Rksasa
Rvan a, si pandir itu, saking congkaknya hendak menyiksa para
dewata dan Gandharva serta sang Rsi agung mahatinggi. Sang penindas zalim
itu telah menghinakan sang Rsi dan juga para Ganharva serta Apsara yang
tengah bermain-main di Taman Nandana. Kami telah bermusyawarah dengan
para Muni dengan tujuan mendatangkan kematian atasnya. Para Siha,
Ganharva, dan Yaksa berpaling kepadamu mencari perlindungan. Dikaulah
perlindungan kami yang terakhir, Wahai Penguasa, yang menjatuhkan siksa atas
para seteru. Palingkan perhatianmu ke dunia manusia demi menghancurkan
para seteru dewa-dewa.
Dipuja-puji demikian, maka sang penguasa segala dewata, yakni Vis n u,
yang menerobos angkasa, padanya seluruh dunia memberi penghormatan,
berbicara kepada permusyawaratan para dewata itu, dengan Bapak Segala
(Brahm) sebagai pemimpin mereka dan taat Hukum: Jika kalian sudi,
singkirkanlah ketakutanmu. Demi keselamatan [dunia] saya akan mengalahkan
Rvan a dalam pertempuran, dengan semua anaknya yang laki-laki dan semua
cucunya yang laki-laki, dengan para menterinya, dengan para anteknya, kaum
189
J. Ph. Vogel
kerabatnya dan para pengikutnya dia, yang ganas dan tidak dapat didekati,
yang mendatangkan kengerian di antara para Rsi kayangan. Dan saya akan
tinggal di dunia manusia selama puluhan ribu dan puluhan ratus tahun, seraya
melindungi bumi yang luas ini.
Begitulah sang dewa Vis n u, yang penuh penguasaan diri memberi
kepada para dewata sebuah karunia dan membuktikan sebuah tempat kelahiran
bagi dirinya sendiri di antara manusia. Kemudian, setelah membagi dirinya
menjadi empat, [sang dewa] dengan sepasang mata yang mirip dengan
dedaunan teratai itu menerima Raja Daaratha sebagai ayahnya. Setelah itu,
para Rsi kayangan dan Ganharva serta rombongan para Apsara memuji sang
penakluk Madhu itu (Vis n u) dengan kidung kayangan yang berbunyi:
Bunuhlah si Rvan a yang congkak itu, yang keranjingan mendatangkan
kengerian, yang penuh dengan kesombongan nan takabur, yang membenci para
dewata mahatinggi, yang membuat dunia meraung, yang menjadi duri [dalam
daging] para pentobat yang saleh, yang mendatangkan kengerian dalam hati
para pentobat. Bunuhlah dia bersama-sama dengan bala tentara dan para
pengikutnya, si Rvan a yang keberaniannya mengerikan itu, yang membuat
dunia meraung, dan tanpa rasa takut sama sekali ia telah naik ke kayangan,
yang bebas dari noda-noda dosa dan dijaga oleh raja para dewata.
190
191
J. Ph. Vogel
panjang dibandingkan dengan versinya yang disingkat atas kisah Rma yang
sesungguhnya. Namun pemerincian yang berlebihan ini tidak bisa menjadi
alasan apa pun bagi kita untuk mengeluh, khususnya karena madah-madah
pujian para dewata kepada Vis n u (bait 16-32) merupakan mutiara dari
persajakan India klasik.
Saya memberanikan diri untuk mengutip keseluruhan madah pujian itu
dalam terjemahan di bawah ini.
1. Ketika ia (Daaratha) yang setara dalam semangatnya dengan Sang
Penghukum [Indra] para asura menegakkan suatu tata cara yang tegas
di seantero penjuru dunia, beribu-ribu musim gugur telah berlalu, namun
semuanya sekejap saja. Akan tetapi, tiada sesuatu pun yang berkurang
dalam kemaslahatannya.
2. Namun ia tidak memperoleh sarana untuk menebus utang kepada para
leluhur, yakni apa yang disebut anak laki-laki 12 sebuah cahaya yang
tiba-tiba menghalaukan kesuraman nan pekat dari jiwa yang murung.
3. Untuk waktu lama upaya sang raja untuk memperkembang-biakkan
bangsanya tetap bergantung pada faktor-faktor dari luar, sama seperti
lautan yang menghasilkan mutiara tetap tak tersingkap sampai lautan itu
diaduk [oleh para dewata dan asura].13
4. Karena [sang raja] merindukan kelanjutan garis keturunannya, maka
Rs yar ga dan para pedanda saleh dan bijaksana yang lain yang
bertugas mempersembahkan upacara kurban berusaha melaksanakan
kurban agar diperoleh anak-anak lelaki.
5. Ketika itu para dewata, yang diserang anak lelaki Pulastya [Rvan a],
berpaling kepada Vis n u, bagai para pengembara yang disengat panas
matahari yang mencari perlindungan di bawah naungan sebatang pohon.
6. Setibanya mereka di lautan, sang ciptaan Pertama (dipurus a, atau
Vis n u) terjaga [dari tidur yoganya]; sebab kewaspadaan adalah ciri khas
dari pertempuran-pertempuran di masa datang.
12 Seorang Arya memiliki utang rangkap tiga yang mesti dilunasi, yaitu kepada para dewata,
Rsi dan leluhur, yang masing-masingnya dibayarnya dengan mempersembahkan kurbankurban, mempelajari Veda, dan memperanakkan seorang putra. Anak lelaki itulah yang
harus mempersembahkan kurban kepada Manes. Bdk. Manu IV, 257, dan VI, 35-37
[Mnava Dharma-stra].
13 Hal ini merujuk pada mitos terkenal tentang pengadukan lautan (bahasa Sanskerta: amrta
manthana) di mana segala hal yang aneh menjadi kasatmata.
192
15 Mahbhrata (I, ahy. 31-34) menceritakan bagaimana Garud a bertempur dan mengalah
kan para dewata dalam pencariannya untuk menemukan minuman para dewata (amrta).
Indra menyerangnya dengan petirnya (vajra), namun ia cuma kehilangan sehelai bulunya.
Garud a adalah musuh bebuyutan dari para Nga, namun menyimpan dendamnya ketika
berhadapan dengan es a, sang ular jagat, karena hormatnya terhadap Vis n u.
193
J. Ph. Vogel
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
16
Filsafat India, khususnya ajaran tentang Smkhya, mengemukakan tiga sifat dasar (gun a)
yang merujuk pada sattva (kebenaran), rajas (hasrat/nafsu) dan tamas (kegelapan). Bdk.
R. Garbe, Die Smkhya-Philosophie; Eine Darstellung es inischen Rationalismus, 2te
Aufl., 1917, hlm. 272 dst.
17
Pertentangannya terletak dalam kenyataan bahwa para petapa India lazimnya melakukan
silih (tapas) agar keinginan tertentu yang mereka miliki dikabulkan, entah dalam hidup di
atas bumi ini atau di akhirat kelak.
Kelompok rangkap empat (Skt. caturwarga) terdiri atas empat hal yang menjadi sasaran
dari semua tindakan manusia, yaitu harma (hukum moral, kewajiban-kewajiban
18
194
195
J. Ph. Vogel
196
terkenal lainnya dari paruh pertama abad ke-6 (artinya, dari zaman Gupta)
disajikan oleh sebuah relief di Candi Deogarh. 21 Demikian pula, sebuah
panel terracotta [sejenis keramik kedap air yang diproses melalui
pembakaran] yang dahulunya menghiasi candi batu bata di Bhitargaon
melukiskan sosok yang sama dalam bentuk ringkas. 22 Di hadapan Vis n u
yang lagi tidur ada Asura Madhu dan Asura Kait abha yang bersenjatakan
gada. Lebih dari itu, saya pernah menemukan sejumlah lukisan Vis n u yang
tertidur di kawasan barat Himlaya, khususnya pada batu-batu yang
ditempatkan pada tangki-tangki air. Salah satu contoh paling mencolok
adalah batu besar di mata air Salhi, di Lembah Sechu, yang mengalir menuju
hulu lembah Sungai Chandrabhaga atau Chinab. 23 Sebagaimana tampak jelas
dari sebuah prasasti di sana, gambar Vis n u ini dinamakan Vis n u es a yi,
artinya Vis n u yang tertidur di atas es a.
Oleh karena itu, tidaklah mengherankan bahwa bila Klidsa berkisah
tentang para dewata yang datang menjumpai Vis n u dengan permohonan
mereka yang sangat mendesak, maka sudah semestinya ia menampilkan
Vis n u dalam posisi di mana ia secara populer dilukiskan dalam berbagai
seni pahat, dan lebih dari itu secara khusus benar-benar cocok untuk
berbagai gambaran puitis. Apakah pada saat yang sama Klidsa barangkali
mengikuti sebuah tradisi sastra yang dilestarikan dalam berbagai Purna,
tidaklah dapat dipastikan dan juga hemat saya tidak perlu diandaikan.
Namun yang paling luar biasa adalah bahwa terdapat sebuah kemiripan
dalam hal ini antara pemaparan Klidsa dan relief Prambanan. Walaupun
terdapat beberapa perbedaan seperti ketidakhadiran Dewi r serta tidak
ditemukannya ular jagat es a yang berkepala banyak yang dilukiskan sang
penyair itu dalam bait ke-7 sedang bermain-main namun relief yang
bercorak ke-Jawa-an itu dapat benar-benar dapat berfungsi sebagai sebuah
gambaran contoh terhadap penggalan Raghuwama yang dikutip di atas.
Kemiripan ini kian mencolok bila kita mempertimbangkan bahwa nyaris
tidak ditemukan sebuah lukisan pun tentang Vis n u yang tertidur dalam
kesenian Hindu-Jawa. Lebih dari itu, sebagaimana yang telah kita saksikan
bahwa pelukisan semacam itu menyimpang dari penggalan wiracarita kuno
21 V.A. Smith, History of fine art in Inia an Ceylon, Oxford, 1911, hlm. 162; pl. XXXV.
22 V.A. Smith, History of fine art in Inia an Ceylon, Oxford, 1911, hlm. 374; pl. LXXXIV,
gbr. D.
23 J.Ph. Vogel, Antiquities of Chamba State, Part I, Calcutta, 1911, hlm. 219; pl. XXXI.
197
J. Ph. Vogel
Vlmk yang dikutip di atas. Cukuplah bila ditambahkan dalam konteks ini
bahwa nyaris tidak disinggung tentang avatra Vis n u dalam saduran Jawa
Kuno atas mitos Rma. Cuma terdapat sebuah pernyataan singkat dalam
bait-bait pembuka dari syair ini, yang seakan-akan dibuat sambil lalu belaka,
bahwa Raja Daaratha adalah ayah dari Trivikrama, sebab ia menjadi
ayah dari Dewa Vis n u ketika sang dewa menjelma menjadi seorang
manusia.
Tentu saja terlalu dini bila disimpulkan dari kesejajaran yang
ditunjukkan di atas bahwa si pemahat di Prambanan dalam hal ini diilhami
oleh Klidsa, sebab tidak ada petunjuk lain bahwa Raghuwama memang
dikenal di Jawa. Lebih masuk akal bila keduanya menimba ilham mereka
dari sebuah tradisi sastra yang sejak itu tidak pernah ditemukan lagi. Juga
cukup masuk akal bila baik sang pujangga yang cemerlang itu maupun si
pemahat yang terampil itu masing-masing mengikuti ilhamnya sendirisendiri yang seluruhnya tidak berkaitan satu sama lain.
Bagaimanapun juga, yang pasti dan inilah yang menjadi sasaran
sesungguhnya yang hendak saya tunjukkan dalam tulian ini ialah bahwa
kelompok lima orang yang duduk berhadapan dengan Vis n u sebagaimana
yang dilukiskan si pemahat dari Prambanan itu tidak mewakili Raja
Daaratha bersama dengan para istrinya, tetapi para dewata 24 yang tengah
menghampiri Vis n u dengan permohonan mereka yang sangat mendesak.
Permohonan itu rupanya dikabulkan sebagaimana yang diungkapkan oleh
posisi luar biasa dari tangan kiri yang sudah kita bahas sebelumnya.
Pertanyaan yang kemudian muncul ialah siapakah yang dalam hal ini
bertindak sebagai pemimpin dan juru bicara para dewata. Bila kita mengikuti
teks klasik Vlmk maka tampaknya bahwa peran itu dimainkan oleh
Brahm, dan tampaknya tak ada sesuatu pun juga dalam penampilannya
(kecuali barangkali menyangkut permata yang sudah saya singgung
sebelumnya) yang menolak tafsiran semacam itu. Namun tidak terdapat
banyak alasan untuk membiarkan Vlmk memutuskan kata akhir di sini,
sebab keseluruhan pelukisan di Prambanan berbeda sedemikian
24 Tidak adanya prabha (nimbus) sebagai tanda corak kedewataan mereka tampaknya aneh
198
mencoloknya dari versi dia. Sebagaimana yang telah kita saksikan, sumbersumber India lainnya juga menampilkan Agni dan Bhgu sebagai pemimpin
para dewata.
Pertanyaan pokoknya adalah apakah si pemahat dari Prambanan itu
benar-benar mengikuti secara saksama sebuah teks tertulis tertentu, seperti si
pemahat dari Borobudur yang mengikuti Lalitavistara dalam pelukisannya
tentang legenda Buddha. Atau apakah ia menimba ilhamnya dari tradisi lisan
yang sedemikian berkembang luas di antara orang-orang India dan Jawa?
Menyangkut sebuah kisah sepopuler seperti mitos Rma, rupanya tradisi
lisan itulah yang lebih berpeluang. Seandainya kita melangkah dari sebuah
sisi tilik Hindu-Jawa maka kita memiliki alasan yang sangat masuk akal
untuk menyebut pemimpin berjanggut dari para dewata tadi sebagai iva
dalam bentuk Bhat t ra Guru, alih-alih sebagai Brahm.
Demikianlah, ada banyak hal tentang relief-relief Prambanan yang
masih membutuhkan penyelidikan dan penjelasan. Oleh karena sekarang ini
sudah tersedia sebuah risalah yang tepat yang dipersembahkan untuk kuil
Buddhis terbesar yakni Borobudur, maka tiada yang lebih dinantikan oleh
para pengagum seni pahat Hindu-Jawa daripada sebuah karya yang sarat
ilustrasi dan dibubuhi keterangan tentang relief-relief Rma di Prambanan.
199
N.J. KROM
Arca-arca Prambanan
Arti penting karya Krom bagi bidang arkeologi di Jawa sudah sedemikian
terkenal sehingga tidak membutuhkan uraian lebih lanjut. Sampai dengan
Perang Dunia II, penjelasannya tentang kompleks percandian Loro Jonggrang,
di mana bagian inti dari karyanya yang berjudul Inleiing tot e HinoeJavaansche Kunst menjadi sebuah panduan yang sarat guna baik bagi para
pengunjung biasa maupun para sarjana peneliti. Pelukisannya tentang arca-arca
yang ada di sana, yang terjemahannya disajikan di bawah ini, masih tetap
mutakhir. Bagian ini khususnya penting karena peneguhan yang dibuatnya atas
berbagai pengamatan tentang cacat teknis dan cacat artistik dalam beberapa
arca di Candi iva oleh beberapa cendekiawan sebelum Krom, dan juga
keputusannya menyangkut persoalan apakah cacat-cacat tersebut mesti
dijelaskan dalam rangka rupa-rupa kesalahan di pihak para pembuat atau
apakah cacat-cacat itu adalah hasil dari kenyataan bahwa arca-arca yang
sekarang kita temukan berada di sana bukanlah arca-arca yang aslinya,
melainkan dipasang di sana pada waktu kemudian sebagai pengganti arca-arca
lain yang identitasnya masih harus dikaji lebih lanjut.
[Mengikuti berbagai ketentuan yang ditetapkan untuk para pemuja agama
Hindu, Krom memasuki Candi iva melalui gapura di sebelah timur agar bisa
berjalan melingkar lantai selasar mengelilingi praaksin
. Setelah menjelaskan
relief-relief pada tiap sisi lorong, ia sekali lagi mengikuti jalan yang ditentukan
secara ritual untuk mengelilingi arca-arca itu, dan secara singkat menyinggung
tentang iva Mahdeva, iva-Guru (Agastya), Gan ea serta Durg. Namun
pelukisannya yang lebih terperinci mengenai arca-arca itu mengikuti sebuah
urutan yang berbeda: Gan ea, Agastya, Durg, dan
iva.]
200
Arca-arca Prambanan
sebuah piring makanan kecil dengan ujung belalai, di tangan kanannya yang
sebelah depan tergenggam gadingnya yang patah; di tangan kirinya yang
sebelah belakang terdapat sebilah kapak, dan tangan kanannya yang sebelah
belakang memegang seuntai aksaml
(tasbih) dengan posisi agak
berdiri sebuah trila, dan sebuah alat pengusir lalat (cmara) meng
gelantung pada bahunya yang sebelah kanan; pada sisi yang sama ujung
busananya menjuntai pada batu sandaran. Dari lapik yang sekarang berhasil
dipugar, sisa-sisa peninggalannya jauh lebih sedikit daripada lapik-lapik di
kedua bilik yang lain. Namun takhta yang pernah ada di sana pasti berjenis
sama dengan kedua takhta dari kedua dewa yang lain; sebuah fragmen dari
batu sandaran dengan lidah-lidah api menunjukkan bahwa beberapa makara
yang elok dahulunya menghiasi bagiannya yang sebelah bawah. Namun
sesuatu yang serupa terjadi di sini, yaitu bahwa batu sandaran yang dipugar
sesuai dengan informasi yang ditimba dari fragmen tersebut tampaknya
sama sekali tidak cocok dengan arca dewa bersangkutan; bagian sebelah
belakang dari iva-Guru [Agastya] berukuran 80 cm lebar, sedangkan
menurut batu sandaran takhta di situ hanya bisa memuat oleh sebuah patung
berukuran 50 cm di tempat itu.
Yang mencolok, hal serupa juga terjadi di bilik sebelah utara, yang
dipersembahkan untuk Durg, yaitu Loro Jonggrang dalam tradisi Jawa.
Arca dewi itu yang tak diragukan lagi diselesaikan begitu indahnya, yang
sekali lagi diperlengkapi dengan sebuah batu sandaran dan lingkaran cahaya,
melukiskan Mahis surmardin yang mengenakan busana mewah
201
N.J. Krom
yang berdiri di atas seekor kerbau yang berpaling ke arah sebelah kiri
darinya. Dewi ini memiliki delapan lengan, dan pada tangan kanannya yang
di sebelah depan ia memegang ekor binatang itu, sedangkan dengan tangan
kirinya ia mencengkeram rambut Asura yang dengan gada di tangannya,
sebuah kalung dengan tengkorak menggelantung di lehernya dan sebuah
ornamen mencolok yang terdiri atas pita-pita yang menyembul berjumbaian
dari pinggangnya berdiri di atas binatang itu. Pada tangan-tangannya yang
lain di bagian kanan, sang dewi memegang sebatang panah, sebilah pedang
dan sebuah cakra bernyala, sedangkan di bagian kiri ada sebuah mangkuk,
perisai dan kerang bersayap. Arca itu terbilang cukup utuh; hanya bagian
hidungnya yang rusak. Walaupun cukup banyak bagian dari lapiknya telah
hilang, namun bentuk batu sandaran, lengkap dengan lidah-lidah api dan
makara-nya, dapat dipindai dengan serta-merta. Bila arca tadi ditempatkan
di depannya maka sebagian besar makara dan lidah-lidah api tadi
tersembunyi. Biarpun tidak ada keraguan apa pun bahwa arca Gan ea benarbenar menyatu dan sepadan dengan takhtanya, namun tidaklah demikian
halnya dengan arca-arca di bilik-bilik yang lain. Oleh karena itu, kita harus
menarik kesimpulan bahwa takhta-takhta ini pada mulanya diperuntukkan
bagi arca-arca yang ukurannya yang lebih kecil dan sederhana, atau bahwa
para pemahat dan arsitek tidak secukupnya mempertimbangkan karya
mitranya masing-masing sebagai hasil dari salah paham tertentu.
Pada sisi sebelah timur, sebagaimana juga yang terjadi di Kalasan dan
Sewu, ruang yang bersepadanan dengan bilik-bilik yang disebutkan di atas
berfungsi sebagai bilik depan selebar 1,66 m untuk masuk ke bilik candi utama
yang terletak di belakangnya. Pada kedua belah sisi jalan masuk ini terdapat arca
seorang dewa yang berfungsi sebagai penjaga candi. Arca-arca ini melukiskan
para abdi yang sudah terkenal itu, yang pada mulanya merupakan perwujudan
iva; tinggi masing-masing arca itu sekitar 1,25 m, tidak terhitung bantalan
teratai yang menjadi lapiknya. Arca-arca itu mengenakan dandanan busana yang
apik dan masing-masingnya memiliki sebuah lingkaran cahaya. Arca yang
berada di sebelah kanan menopang dirinya dengan tangan kirinya pada sebuah
gada yang ditempatkan di sisinya, sementara ia memegang lengan kirinya
berlawanan dengan badannya; arca yang berada di sebelah kiri pada tangan
kirinya memegang sebuah alat pengusir lalat yang menjuntai pada bahu kirinya,
dan seuntai aksaml
202
Arca-arca Prambanan
memegang sebuah cmara. Lebih dari itu, pada sisi sebelah kanan terdapat
sebuah trila yang disandarkan pada batu sandaran.
Pengaturan bagian dalam dari kuil Brahm dan Vis n u terlihat serupa.
Bilik candi, yang mencakup ruang seluas 5,44 x 5,46 m di atas lantai,
dimasuki melalui sebuah jalan lintasan berukuran 4,28 m panjang dan 1,26
m lebar. Dinding-dindingnya halus, dengan kekecualian dua tonjolan
203
N.J. Krom
204
Arca-arca Prambanan
kanan memegang sekuntum teratai dan sebuah gagang dan di sebelah kiri
memegang sebuah jambangan bunga berukuran kecil. Tampak jelas bahwa
memang dimaksudkan untuk memberi penampilan fisik yang sama sekali
berlainan bagi patung-patung Brahm tersebut.
Arca besar yang terdapat di Candi Vis n u, seperti juga arca-arca utama
di candi-candi lainnya pada deretan ini, berada dalam posisi berdiri dan
memiliki empat lengan; kerusakan yang dialaminya relatif kecil. Tangan
kanan sebelah depan bersandar pada sebuah gada yang berada di samping
sang dewa; pada telapak tangan kiri jelas kelihatan sebuah benda berbentuk
segitiga dengan ujungnya menghadap ke bawah. Laksana-laksana pada
tangan-tangan sebelah belakang berupa cakra bernyala di sebelah kanan dan
kerang bersayap di sebelah kiri. Arca-arca yang bersandar pada dinding
sebelah belakang semuanya berukuran sekitar 1,20 m. Arca yang berada di
tengah menampilkan sang dewa dalam bentuknya yang berlengan dua; pada
tangan kanannya ia menggenggam sebuah kerang, sedangkan pada tangan
kirinya duduk Laksm kecil berlengan empat yang dihiasi dengan sebuah
lingkaran cahaya terpisah. Tangan kanannya yang sebelah depan berada
dalam posisi varamur, sedangkan tangan kirinya yang sebelah depan
menggenggam sekuntum teratai pada badannya; tangan kanan sebelah
belakang memegang aksaml
dan yang kiri membawa sebuah pataka. Arca
ini kini berada di Jakarta dan dua arca lainnya pernah berada di Yogyakarta,
namun sejak itu telah dikembalikan ke tempatnya yang sebenarnya. Pada sisi
sebelah kanan dari arca utama terdapat seorang Vmanvatra, yang
memegang kaki kanannya hingga tegak lurus ke atas, bersiap untuk
mengayunkan langkah-langkah yang sangat menentukan, dan tangan
kanannya diletakkan di depan dadanya, sedangkan tangan kirinya bersandar
pada sebuah gada. Arca kecil ketiga adalah Narasi ha yang dikenal dari
kepala singanya lengkap dengan surainya yang melambai-lambai yang
memeluk badan Hiran yakaipu yang tergeletak di atas paha dan lengan
kanannya, sembari merobek-robek perut Hiran yakaipu dengan cakar
kirinya hingga usus-ususnya terburai kelihatan.
Arca utama di Candi Nandi berupa patung wahana (hewan tunggangan)
iva setinggi lebih dari 2 m. Sapi jantan itu yang memiliki bongkol pada
punggungnya berdiri dengan kaki depan tertekuk di depan badannya; dan
ekornya, yang melingkar di tubuhnya ke arah kiri, dililitkan pada sebuah
lempeng batu; kedua tanduknya telah hilang. Candi Nandi ini tidak
205
N.J. Krom
206
Arca-arca Prambanan
Daftar bacaan
Inventaris no. 1332; Lons (1773) dalam Leemans, Bijr. Kon. Inst. 3 (1885);
Mackenzie, Narrative of a journey to examine the remains of an ancient city and
temples at Brambana in Java, Verhan. Bat. Gen. 7 (1818) hlm. 2-9; Raffles,
History of Java (1817) II, hlm. 11-15; Crawfurd, Asiatic Researches 13 (1820)
hlm. 337-368; Brumund, Iniana I (1853) hlm. 51-66; Hoepermans, Hindoeoudheden van Java (1864-1867), Rapp. Ouh. Dienst 1913 hlm. 241-252;
Groeneveldt, Catalogus Batavia (1887) no. 783 a-d; IJzerman,
Beschrijving er ouheen nabij e grens er resienties Soerakarta en
Djogjakarta (1891) hlm. 38-73; Groneman, Tjani Parambanan op MienJava, na e ontgraving (1893) met lichtdrukken van Cephas; Von Saher, De
versierene kunsten in Neerlansch Oost-Ini (1900) hlm. 37-66; Van Erp,
Verslag betreffene e herstelling er nevencellas van en Hooftempel van
Prambanan (1903, tidak diterbitkan); Brandes dalam Rapp. 1903 hlm. 63sq.;
Brandes, De waarde van Tjandi Prambanan tegenover de andere oudheden van
Java, en een hartig woordje over de deblayeering, Tijschr. Bat. Gen. (1904)
hlm. 414-432; Tonnet, De godenbeelden aan den buitenmuur van den iwatempel de Tj. Prambanan en de vermoedelijke leeftijd van die tempelgroep,
Bijr. Kon. Inst. 7:VI (1908) hlm. 128-149; Van Erp dalam
Twentieth Century Impressions of Netherlans Inia (1909) hlm. 169-171;
Knebel, Inventarisatie der Hindoe-oudheden in de vlakten van Prambanan en
Srgedoeg, Rapp. 1909 hlm. 54-120 en platen 117-136; Van Erp, Vondst
van een merkwaardigen Garuda in de Prambanan-vlakte, Rapp. 1911 hlm.
74-76 en plaat 180; Jochim, Prambanan en omliggende tempels, Tijschr.
Bat. Gen 54 (1913) hlm. 471-498; Rouffaer, Oudheidkundige opmerkingen,
Bijr. Kon. Inst. 74 (1918) hlm. 151-163; Van Stein Callenfels dalam Lulius
van Goor, Korte gis voor e tempelbouwvallen in Prambanan-vlakte (1919)
hlm. 32-42; With, Java (1920) khususnya hlm. 68sq.; Vogel, Het eerste
Rma-relief van Prambanan, Bijr. Kon. Inst. 77 (1921) hlm. 202-215;
berbagai laporan pemugaran, khususnya Ouh. Verslag 1919, 4, hlm. 130136, 1920, 2, hlm. 46sq.; 4, hlm. 112sq.
207
F.D.K. BOSCH
Catatan berikut yang ditorehkan Bosch, yang barangkali cuma diketahui oleh
segelintir arkeolog Belanda, dicetak dalam bahasa Belanda dalam salah satu
laporan lama dari Dinas Purbakala Hindia Belanda. Mudah-mudahan
terjemahan ini akan membebaskannya dari kekaburan yang selama ini me
nimpanya. Lebih dari itu, diharapkan pula bahwa berdasarkan uraiannya yang
sangat gamblang menyangkut relevansi teks-teks Puranik yang menjelaskan
relief-relief yang dipelajari Bosch, catatan ini akan merangsang riset serupa
atas relief-relief Kr ishna di Candi Vis n u yang sampai kini belum berhasil
diidentifikasi semuanya, dan juga atas relief-relief pada candi apit.
menunjukkan hanya sedikit variasi. Sikap tangan menyiratkan bahwa sosoksosok itu sedang memberi pengajaran dan petunjuk. Kadang kala tangan
kanan memegang sebuah alat pengusir lalat, sedangkan tangan kiri
diletakkan di atas pangkuan atau di atas lutut. Di belakang bahu kanan
digambarkan sebuah trila dengan ujung-ujungnya menghadap ke atas,
lengkap dengan sebuah kendi air yang menggelantung pada trila tersebut.
Di sebelah bahu kiri terdapat sebuah cmara, kecuali bila cmara itu
digenggam dalam tangan, dengan pegangan menggantung di bagian depan.
Di salah satu sisi dari sosok utama yang duduk itu berdiri seorang rs i atau
rs i-magang,
juga lengkap dengan janggut yang panjang meruncing serta
208
Foto 15. Relief Mahars i di Candi Brahm. (Foto oleh Roy Jordaan.)
sebuah jatmakut
a.
Apakah kelompok mahars i ini, yang seluruhnya berjumlah 27, sematamata dimaksudkan sebagai hiasan kuil itu, atau apakah mereka mewakili
sosok-sosok tertentu yang bisa disebutkan dengan namanya? Profesor Krom,
sambil merujuk pada tokoh-tokoh itu di tempat-tempat serupa di Candi iva
dan Vis n u, yang semuanya mengandung makna khusus, cenderung
berpendapat bahwa pengandaian terakhir layak diindahkan.
Pendapat beliau hampir pasti benar sebagaimana yang tampak gamblang
dari sebuah bagian dalam buku Visn u Purn a yang menjadi pusat perhatian
saya dalam tulisan ini. Dalam bagian tersebut sang arifin Parara
menegaskan sebagai jawaban atas pertanyaan yang diajukan Maitreya bahwa
setiap kurun waktu Dvpara, dewa Vis n u, dalam bentuk
N.J. Krom, Inleiing tot e Hinoe-Javaansche kunst, 1920, I:369.
H.H. Wilson, The Vishn u Purn a, 1840:272.
209
F.D.K. Bosch
seorang Vysa (editor), membagi Veda, yang pada mulanya esa dan tak
terbagi, ke dalam banyak bagian guna memajukan kesejahteraan umat
manusia. Artinya, ia menjadikan Veda ke dalam bentuk rangkap empat
sembari mempertimbangkan pemujaan terbatas, kekuatan batiniah serta
ketekunan makhluk fana. Bentuk materiil yang ia andaikan berdampak atas
pemilahan ini dikenal dengan sebutan editor Veda (Veda-vysa). Bukubuku Veda dalam Vaivasvata Manvantara sudah disunting ulang sebanyak 28
kali oleh Rsi agung dalam kurun waktu Dvpara, sedangkan ke-28 Vysa
yang membagi Veda ke dalam empat buku telah berlalu secara berturut-turut.
Mahars i pertama yang menjadi penyunting Veda rupanya adalah
Brahm sendiri. Ia diikuti oleh Prajpati (Manu), Uanas, Br haspati, Savitri,
Mr tyu, dan seterusnya, serta yang terakhir adalah Kr ishna Dvaipyana.
Jumlah 28 dari para Veda-vysa, dengan Dewa Brahm sendiri sebagai
yang pertama dan utama, bersepadanan dengan jumlah relief mahars i di
Candi Brahm, termasuk relief utama di tempat paling suci. Kita boleh
mengandaikan bahwa hal ini bukanlah kebetulan belaka, dan bahwa menjadi
niatan sang pemahat Candi Brahm untuk menggambarkan Brahm dalam
kapasitasnya sebagai editor kepala Veda di antara para stafnya mitra-editor,
yakni ke-27 mahars i. Hal tersebut kini memungkinkan kita untuk
menyebutkan nama dari ke-27 mahars i itu, bila kita sangat berkeinginan
untuk itu, mulai dengan Prajpati di sebelah kiri pintu masuk, terus di
sepanjang praaksin
dan daftar Visn u Purn a, dan berakhir dengan
Kr ishna Dvaipyana di sebelah kanan pintu masuk.
210
B. DE HAAN
Seperti tulisan Bosch yang dimuat sebelumnya, karangan De Haan tetap kurang
dikenal, khususnya di antara para arkeolog bukan Belanda, sebagaimana
terbukti dari penggunaan mereka secara terus-menerus atas istilah yang salah,
yaitu candi-candi wahana (vhana). Keputusan untuk menyertakan tulisan ini
dalam terjemahan di sini tidak saja berdasarkan perbaikan yang dibuatnya atas
kekeliruan tadi, tetapi juga sebagai pengakuan terhadap sumbangsih keilmuan
yang ditunaikan De Haan sebagai seorang arsitek, yang sayangnya meninggal
dunia dalam usia terlalu muda dan ketika sedang memimpin beberapa proyek
pemugaran di Prambanan. Tulisannya ini merujuk secara tidak langsung pada
sejumlah perbedaan sistematis yang menarik menyangkut konstruksi serta
hiasan antara candi-candi di halaman pusat kompleks percandian yang
barangkali ada faedahnya bila dikaji dan dipelajari lebih lanjut. *
Sampai sekarang ini, tiga bangunan suci di sebelah timur yang terletak pada
teras sebelah atas lebih dari sekali disebut sebagai candi-candi vhana. Bila
datang dari arah selatan, maka kita akan melintasi bangunan suci Hamsa, Nandi,
dan Garud a secara berturut-turut. Seandainya memang pasti bahwa bangunanbangunan itu adalah candi-candi vhana, maka nama Hamsa dan seterusnya
niscaya benar. Namun saya memiliki kesangsian yang sangat besar apakah
ketiga bangunan suci itu benar-benar adalah candi-candi vhana. Pandangan
bahwa ketiganya adalah candi vhana didasarkan pada keadaan bahwa
dahulunya pernah ada seekor Nandi di candi tengah, dan sama sekali tidak ada
alasan untuk meragukan bahwa Nandi itu benar-benar berada di situ. Namun
keadaannya berbeda berkenaan dengan apa yang disebut sebagai bangunan suci
Garud a . IJzerman yakin bahwa aslinya pernah ada sebuah arca iva di dalam
candi itu. Maka, kita menemukan kutipan berikut dalam
Nukilan dari Ouheikunig Verslag, eerste en tweede kwartaal, 1927, hlm. 14-17.
211
iva
Linga
atau
Liga Guru
Gan ea
Durg
Gan ea
Agastya
Gambar 13. Susunan panteon pada sebuah candi yang berdiri sendiri.
Lihat IJzerman 1891:57.
Saya tidak akan membahas Kla dan Nandivara, yang tidak lagi termasuk dalam
pengelompokan ini, sebab keduanya tidak lagi memiliki relevansi lebih jauh. [Catatan
penyunting: agar lebih jelas, kami sedikit mengubah istilah dan ilustrasi yang dipakai De
Haan. Misalnya, nama Agastya menggantikan istilah Guru yang dulu lazim dipakai.
Susunan atau pengelompokan candi yang dibicarakan De Haan digambarkan dengan
ilustrasi baru yang lebih jelas.]
212
Sebelum saya menggariskan tata letak bangunan suci jenis yang kedua, yaitu
kompleks percandian yang lebih kecil, barangkali perlu dibuat sedikit
penyimpangan mengingat tak satu pun dari benda-benda pemujaan dari
candi-candi jenis ini berhasil ditemukan dalam keadaan utuh.
Candi-candi yang dirujuk dengan sebutan kompleks-kompleks yang
lebih kecil itu mencakup Candi Badut, Merak, Ijo serta Sumbernanas
(namun Candi Sumbernanas tidak akan disertakan dalam pembahasan
selanjutnya karena sayangnya candi itu tidak menghasilkan informasi yang
berguna untuk penyelidikan kita). Semua candi ini terdiri atas satu candi
induk dan tiga candi perwara yang lebih kecil yang berdiri menghadap ke
candi utama. Pada candi-candi perwara yang lebih kecil itu ditemukan
pengelompokan berikut :
Candi Badut:
Candi Batu Gono:
Candi Ijo:
Kiri
Liga
?
Liga
Tengah
Nandi
Nandi
Nandi
Kanan
?
Mahyogi(?)
?
Bila kita memadukan data-data ini untuk candi-candi perwara, maka kita
akan sampai pada pengelompokan berikut untuk kompleks percandian yang
lebih kecil itu, misalnya Candi Badut (lihat gambar 14).
Saya ingin menandaskan di sini bahwa di Candi Badut lima dari tujuh
benda tersebut ditemukan. Yang hilang cuma Gan ea dan Mahyogi.
Menyangkut Prambanan, yakni bangunan suci aiva paling utuh yang kita
ketahui di Jawa, kita bisa melihat pada gambar 15.
Keadaan ini dijelaskan dari sudut pandang seseorang yang sedang berdiri dengan
punggungnya membelakangi arca utama dan muka menghadap ke candi-candi perwara
yang lebih kecil.
Arca di Candi Merak belum dapat ditentukan secara pasti. Arca itu berupa sosok seorang
laki-laki dalam posisi duduk seperti sikap termashyur dari Guru [Agastya] dengan dua
orang pemuja yang sedang berlutut.
213
B. de Haan
Gambar 14. Denah kompleks Candi Badut (diadaptasi dari OV, 1929, gambar V).
214
215
B. de Haan
216
217
W.F. STUTTERHEIM
Diterbitkan pertama kalinya dengan judul De plaatsing der Rma-reliefs van tjandi LaraDjonggrang en de zonne-omloop, dalam Bijragen tot e Taal-, Lan- en Volkenkune 84
(1928), hlm. 118-131.
218
Suatu kenyataan yang nyaris tak terbantahkan dan tidak dapat diulang-ulangi
terlalu sering ialah bahwa kita mengetahui cuma serba sedikit tentang arti
sebenarnya dari puing-puing reruntuhan Jawa kuno, menyangkut maknanya
bagi orang-orang yang membangun dan mempergunakannya, dan mengenai
fungsinya dalam kehidupan sehari-hari. Semua kesimpulan sementara yang
ditarik menyangkut hal ini dengan berdasarkan pada kurang-lebih silogisme
intelektual, dan semua penjelasan tentang sosok-sosok para dewata dan
pahlawan beserta penempatan mereka pada candi bersangkutan singkat
kata, tentang apa makna mereka bagi orang-orang dari kurun bersangkutan
yang telah dikumpulkan dan dicatat dengan begitu rajin dan tekun oleh kita
para arkeolog paling banter hanya akan membuat para pedanda dan pendeta
Jawa kuno, seandainya mereka bisa menyadari hal itu, tersenyum tanda
maklum atau mengangkat bahu tanda tak peduli gara-gara begitu banyaknya
keluguan dan kurangnya wawasan dari pihak kita. Analisis kita tetap di
permukaan saja dan dangkal belaka. Tak pelak lagi inilah alasannya
mengapa agama kuno di Jawa kadang kala cenderung ditampilkan sebagai
suatu susunan yang membingungkan dan nirmakna, yang diilhami dan
diperkokoh oleh tradisi, di mana para pedanda dan pendeta itu sendiri
kehilangan arah dan tersesat, serta menyajikan cakupan luas penyimpangan
dari jalan ortodoksi yang lurus dan sempit. Tidak jarang kita diperhadapkan
dengan apa yang kita rasa mesti dianggap sebagai penyimpangan dari sistem
logis rancang-bangun kita. Lalu kita serta-merta melompat ke kesimpulan
bahwa si pemahat niscaya melakukan suatu kesalahan, khususnya
menyangkut sosok-sosok para dewata atau rangkaian-rangkaian dari
berbagai adegan, dan dengan demikian sekurang-kurangnya reputasi sang
pedanda atau pendeta tetap tak tercemar. Namun demikian, saya sering kali
berkesempatan untuk meluruskan kesimpulan semacam itu dan
memperlihatkan bahwa kesalahan tersebut barangkali ada pada pihak kita
para arkelog alih-alih pada si pemahat, dan bahwa niscaya terdapat sebuah
penjelasan logis untuk ketidaklogisan yang dipersangkakan itu, walaupun
penjelasan tersebut bersepadanan dengan sebuah sistem konseptual yang
berbeda, yang tidak diketahui sama sekali atau cuma sebagiannya kita
ketahui. Sebagaimana yang telah ditandaskan W.H. Rassers [1922]
teristimewa dalam telaahnya tentang Panji, kurangnya pemahaman yang
tepat tentang sistem konseptual ini, menyangkut cara membayangkan dunia
ini, yang berbeda sedemikian radikalnya dari yang
219
W.F. Stutterheim
kita punyai, hanya dapat menghasilkan rupa-rupa kesalahan tafsir atas sosoksosok tersebut beserta tindakan-tindakan mereka. Malah kita dapat menarik
kesimpulan umum bahwa semakin baik kita mampu menerobosi dunia
konseptual ini, maka semakin baik pula pemahaman yang akan kita gapai.
Sejauh menyangkut peninggalan-peninggalan Jawa kuno, terutama
gambaran-gambaran pada berbagai relief itulah yang acapkali membuat
penyelidik terperosok ke dalam sikap putus asa, sebab sekian sering susunan
pokok-pokok gambaran yang terpahat itu tampaknya tidak memiliki logika,
dan kita seakan-akan diperhadapkan dengan sebuah penempatan adeganadegan yang seluruhnya bercorak sewenang-wenang di atas bidang-bidang
yang tersedia.
Kenyataan bahwa relief-relief ini dipahatkan pada bangunan paling suci
dari kurun itu tentu saja dengan sendirinya harus menjadi sebuah awasan
bagi kita untuk mencurahkan perhatian khusus serta kesabaran bila
penempatan aktual relief-relief tersebut sama sekali tidak cocok dengan
dugaan kita. Begitulah sebenarnya kenyataan yang berkenaan dengan
berbagai adegan pada relief-relief di Loro Jonggrang, dekat Prambanan.
Penafsiran atas relief-relief tersebut dipepaki oleh aneka rupa kesulitan.
Mula pertama, kita menemukan kisah Rma disebarkan di dua dari ketiga
candi yang terletak di sana, yakni Candi iva dan Candi Brahm, padahal
kita sebenarnya menyangka bahwa Candi Viu adalah calon yang secara
mencolok sangat cocok untuk dihiasi dengan kisah-kisah Rma yang adalah
seorang avatra Viu. Lagi pula kita tentu saja mengharapkan agar bisa
menemukan kisah-kisah iva dipahatkan pada Candi iva, padahal
senyatanya sosok-sosok pertama yang tercatat pada relief-relief yang
menghiasi candi ini adalah Garuda dan Viu yang kedua itu sendiri!
Kesimpulan yang terpaksa harus kita tarik ialah para pedanda dan pendeta
yang memerintahkan pengaturan relief-relief yang tampaknya ganjil ini pada
saat candi-candi tersebut dirancang entah telah kehilangan kepakarannya
dalam pekerjaan mereka atau bertindak semaunya sendiri.
Corak khas lain yang kita rasa mengganggu adalah penyebaran berbagai
adegan. Pada yang satu terlalu banyak ruang tampaknya diberikan, pada
yang lain terlalu sedikit dan malah tidak ada sama sekali. Sebagian darinya
ditafsir sebagai kekeliruan dan selanjutnya coba dibenahi oleh si peneliti.
Maka di sini misalnya seorang laki-laki ditafsir seharusnya perempuan;
220
221
W.F. Stutterheim
Prambanan, dan yang berkat beberapa perbaikan kecil kini bisa lagi terlihat
dengan kondisi penerangan yang memadai, lazimnya dibagi ke dalam empat
seksi yang sama atau hampir sama oleh empat rangkaian anak tangga dan
gapura. Mengikuti berbagai penafsiran atas masing-masing adegan yang
sudah saya paparkan sebelumnya, maka kita dapat mencatat bahwa seksi
pertama dari rangkaian-rangkaian tersebut mencakup adegan-adegan mulai
dari penjelmaan Viu sampai dengan dan mencakup kembalinya Rma ke
Ayodhy ; seksi kedua mencakup adegan-adegan mulai dari permahkotaan
Bharata sampai dengan dan mencakup perjumpaan dengan rpaakh ;
seksi ketiga mencakup adegan-adegan mulai dari pemerkosaan St oleh
Rvaa sampai dengan dan mencakup kemenangan atas Blin ; dan seksi
terakhir mencakup rupa-rupa pertimbangan tentang upaya mencari mempelai
perempuan yang diculik itu sampai dengan dan mencakup penyeberangan ke
Lank.
Secara sepintas lalu, tidak ditemukan sistem khusus menyangkut pe
nempatan ini, sedangkan dalam beberapa kasus, misalnya menyangkut
pemerkosaan St, adegan-adegan kijang emas dan pemerkosaan itu sendiri,
disela secara tiba-tiba oleh tangga. Namun sesungguhnya terdapat sebuah
sistem tertentu yang bisa dipantau dalam pengaturan empat rangkaian di
seberang empat seksi candi. Sungguh mencolok bagaimana Rma
berpapasan dengan rentetan para musuh sejak saat ia kembali ke istananya
hingga pertempurannya dengan Blin. Seluruh kisah tentang pembuangan
dan pemerkosaan istrinya berada di antara kedua titik ini. Di lain pihak,
semua peristiwa yang dipahatkan pada paruh yang berseberangan dengan
candi bercorak lebih positif dan lebih menyenangkan bagi Rma; sejak
keberangkatan hingga kepulangan Rma, peristiwa-peristiwa tersebut
membentuk serangkaian pergantian sukses baik besar maupun kecil
(terpilihnya Rma dari antara para saudaranya oleh Vivamitra, penaklukan
atas berbagai buta, dipersuntingnya mempelainya dan, yang
Krom, 1923, Inleiing tot e Hinoe-Javaansche Kunst I, hlm. 453 dst.
Stutterheim 1925, Rma-Legenen II, plat 2-16; untuk penafsiran lihat I, hlm. 148-151.
Stutterheim 1925, Rma-Legenen II, plat 17-33; untuk penafsiran lihat I, hlm. 152-161.
Stutterheim 1925, Rma-Legenen II, plat 34-51; untuk penafsiran lihat I, hlm. 161-169.
Stutterheim 1925, Rma-Legenen II, plat 52-65; untuk penafsiran lihat I, hlm. 170-173.
222
223
W.F. Stutterheim
musim gugur dan musim dingin. Matahari Rma terbit menurut urutannya
dari titik mata angin sebelah timur sampai ia mencapai puncaknya pada titik
mata angin sebelah selatan. Kemudian ia turun dari rumah mataharinya (titik
mata angin sebelah selatan = Ayodhy), walaupun ia masih terik, untuk
kemudian terbenam artinya, untuk memulai pertempurannya dengan para
buta dari dunia bawah, yang telah merampok darinya sinar cahayanya (St)
di titik mata angin sebelah barat. Ia mencapai titik terendahnya di sebelah
utara, di mana sang seteru terakhir (Blin) dikalahkan, namun di sanalah
pula ia memulai kenaikannya yang baru. Ia akhirnya mencapai pantai di
seberang dengan bantuan rupa-rupa kekuatan baik dari dunia bawah, dan
begitulah hari baru merekah (di Lank).10
Di sini perlintasan selama satu hari dari matahari Rma berakhir dan
perlintasan baru dimulailah. Hal ini tidak akan saya jelaskan kepada para
pembaca budiman, karena pengaturan relief-relief di Candi Brahm tidaklah
pasti dan masih meninggalkan terlalu banyak ruang bagi kesangsian. 11
Rangkaian ini dibuka dengan burung matahari Garuda.
Dalam seksi ini, patut diperhatikan adegan-adegan penyelamatan (Stutterheim 1925,
Rma-Legenen II, plat 36 dan 37), mengingat dalam sistem lama, matahari yang sedang
terbenam itu, dalam perjalanannya melintasi dunia bawah, bisa saja mengemban peran
sebagai penyelamat jiwa-jiwa yang merana di sana, yang berkat bantuannya boleh
mendapat satu kesempatan untuk sampai ke dunia atas bersama dengannya (bandingkan
Mesir). Tafsiran semacam ini tentu saja tidak memiliki kaitannya dengan persebaran
sistematis relief-relief tersebut, tetapi hanya dengan kemungkinan corak matahari dari
kisah Rma, dan kedua hal itu mesti kita bedakan secara tegas.
10 Hemat saya, sangat boleh jadi bahwa corak demonik yang kasatmata dari sosok-sosok
monyet, yang pada waktu kemudian menjadi sangat mencolok, bisa ditafsir sebagai
sebuah ciri khothonik [yang berhubungan dengan makhluk-makhluk dari dunia bawah].
Para rkasa tentu saja bukan kekuatan dunia bawah, sebaliknya penguasa mereka, yakni
Rvaa, tampaknya lebih merupakan sisi lawan atau sisi sebaliknya dari Rma, yang
bangkit ketika Rma jatuh (sisi paling barat dari Candi iva) dan yang jatuh ketika Rma
bangkit. Maka, apakah Rvaa adalah seorang sosok bulan? Namun hal ini bertentangan
dengan keseluruhan watak raksasa itu. Jawaban-jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini,
seandainya bisa diberikan, akan amat membantu untuk memecahkan persoalan
menyangkut sampai sejauh mana sistem tata surya sebagai sebuah legenda mitos dialami
dan dihayati oleh para penduduk dalam kehidupan nyata. Sayangnya, keadaan rusak dari
Candi Brahm bisa menjadi kendala untuk hal ini.
11 Tn. De Haan, yang saat ini tengah terlibat dalam berbagai upaya untuk memugar panelpanel relief yang copot di Candi Brahm dengan terutama menggunakan petunjukpetunjuk arsitektural (bentuk, arkitraf, tiang, alur, dan sambungan), sudah sampai pada
urutan berikut: keberangkatan bala tentara sampai dengan dan mencakup pertempuran
antara Rma dan Indrajit dari timur ke selatan; adegan Kumbhakarna sampai dengan dan
mencakup pertemuan kembali antara Rma dan St dari selatan ke barat; adegan
pembuangan sampai dengan dan mencakup pengembaraan St bersama dengan Vlmki
dari barat ke utara; dan akhir kisah dari utara ke timur. [catatan: KBBI, hlm.
224
Maka, untuk saat ini lebih baik bila kita membatasi diri pada Candi iva
saja.
Tentulah tidak luput dari perhatian para pembaca yang awas bahwa
penetrapan tamsilan matahari ini pada urutan adegan-adegan di relief-relief
tersebut dibarengi dengan sejumlah persoalan berupa adanya ketidakcocokan
yang mencolok dengan beberapa fakta. Sebagai contoh, kita barangkali
mengharapkan bahwa segala sesuatu yang berada di sebelah timur dari titik
mata angin selatan bersaksi tentang adanya suatu kenaikan atau pendakian
yang teratur dan tidak terputus. Namun demikian, persis sebelum titik balik
ini terdapat sebuah adegan, yakni adegan tentang tipu daya Kaikey, yang
sebaliknya justru agak tidak menyenangkan dan membahayakan.
Sebagaimana umum diketahui, ada semacam ketidakpastian menyangkut
identifikasi adegan ini, sehingga kita dapat mengandaikan bahwa tafsiran
yang benar atasnya masih harus diupayakan. 12 Namun dalam kaitan dengan
hal ini, saya hendak menegaskan bahwa sebuah adegan atau serangkaian
adegan yang terdapat persis sebelum peralihan ke rangkaian-rangkaian seksi
baru memiliki satu kaitan yang jelas kelihatan dengan rangkaian-rangkaian
seksi berikutnya, dan gejala ini dapat diamati secara tetap. Di sebelah barat,
adegan kijang emas mendahului pemerkosaan, namun pemerkosaan itu baru
terjadi setelah peralihan. Di sebelah selatan, pemulihan Surgrva ke tampuk
kekuasaannya di negeri para kera terjadi sebelum peralihan ke timur.
Akhirnya di sebelah timur, sama sekali berlawanan dengan apa yang kita
perkirakan, si pemahat justru melukiskan sepotong Lank pada sisi paling
luar, padahal kita barangkali lebih suka menempatkannya di Candi Brahm.
Begitulah, corak unik ini yang ditemukan secara teratur dan mencolok
adalah bagian yang tak terpisahkan dari sistem yang digunakan, sehingga
kita boleh dengan aman mengandaikan bahwa tafsiran kita atas adegan
65 mengenal lema arkitraf = balok horizontal utama yang langsung disangga tiangtiang].
12
Mesti dicatat bahwa adegan puncak (dikalahkannya Rvaa dan persatuan kembali dengan
St) di sini ditempatkan di sebelah barat, hal yang tampaknya tidak bersepadanan dengan
pengamatan-pengamatan kita menyangkut Candi iva dalam teks utama karangan saya
ini. Namun mengingat adanya beberapa pembahasan lebih lanjut yang akan dijelaskan di
bawah ini, maka tidak mesti begitulah penafsiran yang diberikan atasnya. Saya akan
kembali lagi ke masalah ini nanti.
Stutterheim 1925, Rma-Legenen I, hlm. 151; bdk. II, plat 16.
225
W.F. Stutterheim
Kaikey memang tepat. Apa yang kita punyai di sini barangkali adalah
kebiasaan, yang masih ditemukan di Jawa hingga hari ini, untuk tidak pernah
membiarkan berbagai peralihan dalam kisah-kisah tersebut dan hal-hal
sejenis terjadi secara tiba-tiba dan tak terduga. 13
Sebuah pertanyaan yang dimunculkan oleh sisi tilik yang tampaknya
berbeda ini atas persebaran cerita Rma di atas bangunan candi itu ialah
apakah terdapat keteraturan tertentu yang bisa dipindai dalam persebaran
masing-masing panel. Saya percaya bahwa pertanyaan ini bisa dijawab
secara positif.
Sebagaimana kita ketahui, setiap seksi dari empat rangkaian itu secara
keseluruhan terbagi menjadi enam panel, sehingga seluruhnya ada 24 panel.
Untuk sementara waktu, dengan mengandaikan bahwa perlintasan tahunan
matahari dilambangkan di sini, maka hemat saya kesimpulan yang
tampaknya bisa diandalkan ialah setiap panel mewakili 1/24 bagian dari
perlintasan tersebut. Selanjutnya, itu sama dengan separuh bulan, atau lebih
tepat satu paka, mengingat bahwa tidak secara eksklusif seluruh bulan
sebanyak satu paka digunakan sebagai satuan kronologis. Sayangnya, saya
belum berhasil menemukan pembagian lebih lanjut ke dalam ukla dan
ka paka dalam hal ini, walaupun kadang kala persis seperti itulah
keadaannya. Namun di sini kita dinafikan oleh pengetahuan kita yang tidak
lengkap mengenai nilai-nilai yang dikenakan pada pembagian bulan dalam
hubungan kosmik, sehingga kita cenderung menggolongkan sebagai ukla
apa yang oleh seorang Jawa-Hindu pahami sebagai ka.14
Di lain pihak, barangkali ada kemungkinan untuk memerincikan
13 Bandingkan kebiasaan menyinggung syair berikutnya dalam bagian akhir dari syair
sebelumnya. Kebiasaan ini, yang bertujuan menghindari sejauh mungkin perbedaan tajam
dan perubahan secara tiba-tiba, sesungguhnya bukan khas milik orang-orang Jawa,
melainkan mesti dianggap sebagai ciri khas dari setiap sistem pemikiran tradisional, yang
lebih mencolok di mana jejak-jejak sebuah sistem yang merangkum keseluruhan hidup
sosial dan pribadi kurang-lebih bisa dipindai secara jelas. Dalam beberapa hal (tentu saja
di sini termasuk halnya orang-orang Jawa) sikap ini dihela hingga ke suatu titik ekstrem
sehingga identifikasi atasnya menjadi salah satu prasyarat utama untuk dapat memahami
secara tepat masyarakat bersangkutan.
14 Pengamatan di atas, misalnya bahwa ada kemungkinan untuk menemukan bekas-bekas
penanganan berdasarkan zodiak di berbagai panel tersebut, tentu saja memiliki dampakdampak tertentu, namun bukan terutama atas bangunan candinya melainkan atas
ceritanya; dan pengamatan tersebut berlaku pula di sini. Paling banter hal itu memiliki
kaitan tertentu dengan adaptasi cerita Rma pada candi. Dalam konteks ini tampaknya
lebih cocok untuk membagi panel-panel relief tersebut ke dalam pasangan tepat, walaupun
hal ini pun tidak luput dari masalah-masalah tertentu.
226
16
Berkaitan dengan pembagian ke dalam 30 adegan yang didalilkan De Haan dalam upayaupayanya menata kembali urutan relief-relief di Candi Brahm, saya mesti mengingatkan
para pembaca budiman di sini tentang kenyataan aneh menyangkut penempatkan klimaks
cerita pada sisi sebelah barat candi itu, sebagaimana yang telah disinggung dalam catatan
sebelumnya. Bila relief-relief pada Candi iva bisa dibagi ke dalam 60 adegan, sedangkan
relief-relief di Candi Brahm hanya bisa dibagi ke dalam 30 adegan (dengan cuma 24
panel yang tersisa), maka kita boleh mengandaikan bahwa garis tengah dari Candi Brahm
hanya separuh dari garis tengah Candi iva. Namun hal ini menghasilkan suatu pergeseran
dalam penjajaran titik-titik kompas, sebab dengan demikian Candi Brahm hanya
mewakili setengah hari. Barangkali setengah hari lainnya disajikan oleh Candi Viu.
Maka, kompleks percandian itu secara keseluruhan merupakan sebuah lakon selama dua
hari, dengan dua avatra yang berturutan. Pembagian ini juga bisa menjelaskan mengapa
batas antara rangkaian-rangkaian di penjuru selatan jauh lebih tidak kentara di Candi
Brahm ketimbang di Candi iva, sebab klimaks cerita masih sangat jauh dari titik ini,
sehingga peralihan yang lancar ke rangkaian-rangkaian selebihnya di jalan terusan timurutara terbilang sangat penting. Dalam pada itu, mesti pula dicatat bahwa batas semacam
ini dalam pengaturan panel-panel memang mutlak diperlukan. Dan memang senyatanya
terdapat satu batas semacam itu, namun batas tersebut tidak dibuat dengan menyertakan
sebuah gapura tangga tetapi hanya berupa satu panel hiasan dalam rangkaian-rangkaian
tadi.
Mengingat bahwa pembagian adegan-adegan ini, sama halnya dengan pembagian panelpanel, bukanlah akibat logis dari tata letak arsitektural candi, maka saya akan memberi
penjelasan singkat tentangnya di bawah ini. Angka Romawi merujuk pada panel
bersangkutan, sedangkan angka Arab mengacu pada adegan.
I
Pemujaan Garuda
227
W.F. Stutterheim
Istana Daaratha
II
II
III
IV
Pengorbanan Vivmitra
IV
Rma di Janaka
10
VI
11
VI
12
VI
13
VI
14
VII
15
Permahkotaan Bharata
VII
16
Pesta-pesta permahkotaan
VII
17
VII
18
VIII 19
Kremasi Daaratha
VIII 20
IX
21
IX
22
23
24
XI
XI
25
26
=
=
XII
27
XII
28
Kedatangan rpaakh
XII
29
XII
30
31
Rvaa menggoda St
XIII
32
XIII
33
228
34
XIV
XIV
35
36
=
=
XV
37
XV
38
XVI
39
Adegan dahaga
XVI
40
XVI
41
XVII
42
Cobaan kekuatan
XVIII 43
XVIII 44
XVIII 45
XVIII 46
XIX
47
Perjalanan ke pantai
XIX
48
Pertimbangan-pertimbangan
XIX
49
XIX
50
XX
51
Hanumat di Lank
XX
52
Hanumat menemukan St
XXI
XXI
53
54
=
=
XXII
55
XXIII 56
XXIII 57
XXIV 58
Pembangunan dam
XXIV 59
XXIV 60
Penyeberangan
Dalam pada itu, harus dicatat bahwa pembagian yang dianjurkan di atas menimbulkan
ketidakteraturan tertentu, yang menghasilkan perulangan dua kali 14 adegan untuk paruh
sebelah timur candi, dan perulangan dua kali 16 adegan untuk paruh sebelah barat.
Seandainya kita bisa sampai pada rangkaian 15 adegan untuk setiap paruh, maka akan
terdapat keseimbangan yang sempurna. Namun mengingat adanya ketidakpastian di
sekitar persoalan ini secara keseluruhan maka pentinglah untuk bersikap hati-hati di sini,
sebab bisa saja pembagian ke dalam dua paruh yang tidak seimbang itu sebenarnya
merupakan hal yang menjadi sifat sistem bersangkutan.
229
W.F. Stutterheim
dipahatkan pada candi ini (dan juga pada dua candi yang lain) ditempatkan satu
di samping yang lain dan terjalin satu sama lain. Jelas bahwa pengandaian
tentang adanya persebaran yang sistematis atas bahan cerita pada ruang yang
tersedia menangkis banyak keberatan yang sebelumnya diajukan untuk
menentang persebaran semacam itu. Bila sebelumnya kita berpendapat bahwa
menyangkut suatu adegan tertentu terlalu banyak yang dipahatkan di sini dan
terlalu sedikit adegan lain yang dipahatkan di sana, maka kini tampaknya masuk
akal bahwa sang pemahat dipengaruhi oleh sistem tersebut dalam berbagai
pilihan yang ia ambil, dan kita tentu saja tidak bisa mendalilkan adanya berbagai
penyimpangan dari sistem itu di pihak sang pemahat. Namun sama-sama jelas
pula bahwa, di satu pihak, kita tengah berhadapan dengan sesuatu yang memiliki
kaitan-kaitan yang erat dengan pementasan wayang dewasa ini, dan di lain pihak
dengan rupa-rupa penyimpangan yang sangat banyak dari pementasan tersebut.
Menyangkut hal pertama, penemuan-penemuan kita bisa memperkokoh sampai
ke taraf penting berbagai pengamatan Brandes tentang corak Jawa Timur dari
Candi Loro Jonggrang.17 Malah apa yang kita hadapi di sini dalam arti tertentu
tidak lain kecuali sebuah pementasan wayang selama dua (tiga) hari, di mana isi
cerita yang diperagakan dalam cara serupa dimaksudkan untuk membangkitkan
suasana batin berbeda di antara para penontonnya bersamaan dengan berlalunya
waktu. Suasana batin ini bercorak sukacita mulai dari pagi hari hingga siang,
kecemasan hingga matahari terbenam, dukacita hingga tengah malam 18 dan
akhirnya sarat harapan lagi hingga subuh, di mana suasana batin yang sarat
harapan ini barangkali akan berubah menjadi sukacita seperti yang terjadi pada
permulaan hari pertama dalam rentetan pementasan pada hari kedua.
Menyangkut hal kedua, mesti dikatakan bahwa terdapat juga perbedaanperbedaan penting dengan struktur lakon yang dapat diamati. Perbedaan
utama ialah bahwa sang pahlawan dalam kisah itu yang dipahatkan pada
candi jelas-jelas bukan seorang pahlawan bulan, sebagaimana yang
didalilkan untuk kasus Indonesia oleh Rassers, melainkan seorang pahlawan
matahari. Inilah pula perbedaan antara kesenian Jawa Tengah dan Jawa
Timur yang bersepadanan dengan banyak perbedaan lainnya di antara
paham-paham kesenian di kedua pusat kebudayaan ini yang sudah
17 TBG XLVII:414 dst.
18 Saya akan merujuk secara sambil lalu pada tema ganrung Rma yang sedemikian
mencolok dalam salah satu bagian cerita Serat Rma gubahan Yasadipura.
230
terbatas dari para avatra ini kemudian ditetapkan menjadi 10 saja, yang sebagian besar
juga ditemukan di Jawa. Hal ini menyiratkan bahwa Krom berharap bisa menemukan
rangkaian 10 avatra di Jawa, dan karenanya juga seorang Viu, dalam kedudukan
sebagai Dewa Tertinggi yang berkaitan dengan rangkaian sejenis di India. Dalam
kenyataannya, hanya ada enam penjelmaan avatra yang sudah ditemukan sejauh ini di
Jawa. Keenam avatra itu adalah Varha, Nsingha, Vmana, Paraurma, Rma, dan
Ka. Tentang empat avatra selebihnya, yakni Matsya, Kurma, Buddha, dan Kalkya,
tidak ditemukan satu penjelmaan pun yang bisa dipastikan secara mutlak. Batu penjuru
dari Candi Sawentar (OV 1922, gambar 11) mesti ditafsir sebagai sebuah perlambangan
matahari ([Stutterheim dalam] Djw 1926:338), sehingga tidak mungkin ia merupakan
penjelmaan Kalkyavatra. Apa yang disebut-sebut sebagai Pengadukan Lautan [Susu]
sebagaimana yang dipersangkakan dipahatkan di relief terkenal dari Sirah Kencong, yang
boleh jadi secara tidak langsung berisikan sebuah lukisan Krmvatra, sebenarnya
merupakan sebuah adegan yang sama sekali lain (Djw 1926:336), sedangkan mengenai
kedua avatra lainnya tidak pernah ditemukan jejak apa pun (bdk. Drewes 1925, Drie
Javaansche Goeroes: Hun leven, onerricht en messiaspreiking, hlm. 153-154).
Lebih dari itu, bila kita menganalisis informasi yang disajikan oleh puing-puing
reruntuhan Candi Loro Jonggrang menyangkut rangkaian-rangkaian avatra yang
digunakan di sana, maka kita menemukan bahwa Candi Viu mesti berisikan empat arca
penjelmaan dewa: satu sebagai Vmanvatra, satu sebagai Varhvatra, satu sebagai
Nsinghvatra, dan terakhir arca utama. Bukti bahwa di sana tidak ditemukan lebih
banyak arca penjelmaan barangkali bisa dijelaskan oleh kenyataan bahwa Candi Brahm
dan Candi iva pun berisikan empat arca penjelmaan dewa kepada siapa kedua candi itu
dipersembahkan (Krom 1923, Inleiing I:482 dst.). Hal ini bisa diandaikan dari adanya
keteraturan serta simetri yang sedemikian jelas ditunjukkan oleh Candi Loro Jonggrang.
Dalam pada itu, saya ingin menandaskan bahwa kita cuma memiliki arca-arca sembahan
dari tiga avatra Viu di sana, sedangkan tiga lainnya dari rangkaian-rangkaian avatra
yang tersaksikan di candi ini dipahatkan secara sama sekali berbeda: K a dan Rma
mesti diakui tampil kurang resmi dibandingkan dengan tiga avatra Viu tadi, dan
Paraurma malah jauh lebih tidak resmi lagi dan seolah-olah cuma kebetulan ada dalam
cerita Rma.
231
W.F. Stutterheim
232
233
W.F. Stutterheim
bisa saja telah memainkan peran yang sama seperti tema Panji di Jawa
Timur, yang menjadi leitmotiv atau motif pandu bagi historiografi. Kedua
tema ini berkaitan dalam intinya, namun berbeda dalam pembahasannya.
Masih tetap menjadi kebiasaan lazim di antara orang-orang Jawa dan Bali
dewasa ini untuk mengadopsi tokoh wayang tertentu sebagai leitmotiv bagi
kehidupannya. Di Siam hal ini telah menemukan ungkapan resminya dalam
gelar Rma bagi raja; di sana pun setiap raja memiliki tragedi Rma
sendiri.24
Namun kita sudah melenceng jauh dari tema utama kita di sini dengan
risiko mengabaikan banyak fakta. Tidaklah mungkin merancang berbagai
hipotesis berdasarkan pada data-data di atas sampai nilainya yang
sebenarnya telah diuji. Namun bagaimanapun juga sangat pasti bahwa
persebaran relief-relief di Candi Loro Jonggrang bukanlah sesuatu yang
sewenang-senang, melainkan sebaliknya diilhami oleh sebuah sistem yang
ketat yakni sistem perlintasan matahari. Mudah-mudahan para peneliti
lainnya berdasarkan hal ini akan sanggup untuk melanjutkan karya
pemugaran atas candi tersebut seturut struktur kosmik yang niscaya
melandasi pembangunan candi-candi dari kurun Jawa Tengah.
24
bahwa tidak ditemukannya abu jenazah dari raja yang dimakamkan di sana sama sekali
tidak bisa dijadikan bukti kebalikannya. Pada kurun tersebut abu itu bisa saja sudah
dihanyutkan ke laut atau ditaburkan di sebuah sungai agar bisa sampai ke laut juga
akhirnya. Pemakaman rupanya memiliki suatu makna yang berbeda dari arti yang
biasanya kita maksudkan dengan kata itu, dan penggunaan kata cai/cinai di Bali
mengisyaratkan bahwa sangat boleh jadi bahan-bahan lain (cairan-cairan dari tubuh si
mati, dan seterusnya) dikuburkan di tanah itu dan di atasnya didirikan sebuah bangunan
(Van der Tuuk 1897, I:566). Jadi, barangkali kita terutama nian sebaiknya berpikir dalam
rangka sebuah tempat di mana berlangsung kontak magis setelah kematian dari sang raja
yang dikremasikan itu. Saya berharap bisa masuk ke dalam perincian yang lebih banyak
lagi pada pembahasan selanjutnya mengenai hal ini.
Dhring 1923, I:36.
234
Tulisan berikut dari Van Romondt, yang selaku kepala bagian arsitektur Dinas
Purbakala Hindia Belanda terlibat erat dalam pemugaran Candi iva di
Prambanan selama dua dasawarsa, antara lain membedah persoalan
menyangkut kapan pemugaran kompleks percandian itu dimulai, bagaimana
pemugaran itu dilaksanakan, panduan-panduan resmi manakah yang diikuti
untuk pemugaran itu, serta kesulitan-kesulitan teknis manakah yang ditemukan
dan bagaimana kesulitan-kesulitan itu diatasi. Pernyataan Van Romondt bahwa
tidak boleh dilaksanakan pemugaran sampai setiap bagian asli candi telah
ditempatkan kembali ke posisi yang sebenarnya, dan tidak boleh ada sebongkah
batu pun yang digantikan bila tidak ada kepastian tentangnya, perlu disinggung
secara terpisah.
235
236
237
238
239
cerita dibuat sebuah pemilahan yang lebih teliti. Akhirnya, potonganpotongan yang serupa bisa ditempatkan bersama, dan setelah itu terserah
pada wawasan sang arsitek untuk menyusun semua potongan yang
dirakitsatukan itu menjadi sebuah kesatuan arkitektonik. Prakarsa ada di
tangan orang yang melaksanakan pekerjaan, namun batu-batu itulah yang
mengokohkan hipotesisnya. Setiap kali hipotesis ini terbukti salah maka
sebuah penyelesaian baru mesti dicari.
Manakah ciri-ciri khas olehnya batu-batu berjenis serupa disusun dan
metode-metode kontrol apa saja yang bisa berguna dalam proses ini?
Jawabannya muncul dari teknik bangunan kuno, dan darinya corak
mencolok yang paling langsung kasatmata adalah: pertama, bahwa batu-batu
itu memiliki ukuran yang berbeda-beda; kedua, bahwa batu-batu dari tingkat
yang lebih tinggi dipasang pada potongan-potongan di bawahnya dengan
cara memasang sebuah lidah pada satu galur; ketiga, bahwa di banyak
tempat batu-batu itu dijangkarkan ke samping dengan paku-paku batu, dan
di bagian belakang dengan sambungan terdiri atas bagian-bagian yang
dimasukkan ke celah-celah pada bagian yang akan disambung (bahasa
Inggris: ovetail joints); keempat, bahwa hiasan dipahatkan kemudian, dan
dengan demikian meliputi sambungan tadi; kelima, bahwa batu-batu asli
dipotong dan diperhalus pada situs (di bangunan itu sendiri); keenam, bahwa
batu-batu itu tidak selalu dipotong dengan bentuk empat persegi panjang,
namun demikian dicocokkan satu sama lain dengan pasak.
Apa yang ditunjukkan hal-hal di atas adalah bahwa pada zaman dahulu
setiap batu mengalami pengolahan secara tersendiri, dan dengan demikian
memiliki ciri khas yang unik. Lidah dan galur pada dua bongkah batu yang
dipasang satu di atas yang lain memiliki ukuran-ukurannya tersendiri, yang
berarti bahwa keduanya tidak cocok dengan potongan-potongan yang lain.
Di beberapa tempat kita dapat menemukan bekas-bekas penghalusan ulang,
setelah batu-batu itu ditaruh pada tempatnya. Paku-paku atau sambungan
berbentuk garpu pada dua bongkah batu yang terletak satu di samping yang
lain mesti saling bersepadanan, seperti seharusnya juga atas sebuah galur
yang berkesinambungan pada sejumlah batu. Tidak saja hiasan mesti
sinambung pada batu-batu yang berdampingan, tetapi tanda-tanda pahat juga
harus runtut di sepanjang sambungan. Akhirnya, penghalusan batu-batu itu
dikerjakan sedemikian teliti sehingga secara umum dapat diandaikan bahwa
sambungan tadi mesti juga terkunci dari dalam.
240
241
242
243
244
Gambar 16. Gambar rekonstruksi Candi iva. (Diadaptasi dari Djw 20 [1940].)
245
246
247
Foto 17a dan 17 b. Candi iva (tampak Barat) sebelum dan sesudah
pembersihan kasar yang dilakukan Groneman pada tahun 1880.
(Sumber: KITLV.pictura-dp.nl)
248
Foto 18. Pemandangan puing reruntuhan Candi Vis n u sekitar tahun 1880.
(Sumber: KITLV.pictura-dp.nl)
249
Foto 20. Para tukang Jawa sedang memeriksa tumpukan besar bebatuan.
(Foto OD 4018, direproduksi dari Djw 20 ([1940].)
250
Foto 22. Susunan percobaan atas sebuah kepala Kla. (Direproduksi dari Djw 20,
1940.)
251
Foto 23. Susunan percobaan atas sebuah bidang horizontal dari dinding Candi
iva. (Foto OD 13297, direproduksi dari Djw 20, 1940.)
Foto 24. Sedang dalam proses: susunan percobaan terhadap bagian atas Candi
iva. (Foto OD 4216, Sumber: Perpustakaan Universitas Leiden.)
252
Foto 26a dan Foto 26b. Penguatan bangunan rekonstruksi dengan beton cor
bertulang di sungkup ke-3 tertutup dari atap Candi iva. (Direproduksi dari
Bernet Kempers 1978: 168.)
253
254
255
256
Foto 29. Gapura timur Candi iva. Di sebelah tangga ada candi sudut yang berisikan batu-batu yang menandai pusat
geometris dari kompleks percandian. (Foto oleh Siebolt Kok.)
Foto 30. Beberapa batu baru dengan permukaan datar di salah satu relung
luar Candi iva. (Foto oleh Mark Long.)
257
258
Foto 31a. Candi apit di sisi selatan halaman pusat.
(Foto OD 11395, Sumber: Institut Kern Leiden.)
Foto 32. Arca yang belum teridentifikasi pada puncak kepala Kla di atas ruang
masuk yang menuju ke bilik utama Candi iva. (Foto oleh editor.)
259
Foto 33. Arca iva Mahdeva. (Direproduksi dari Bernet Kempers 1955.)
260
Foto 34. Pemandangan puncak Candi iva. (Direproduksi dari Bernet Kempers
1955.)
261
262
Foto 35. Pemandangan Taman Wisata Candi Prambanan. (Foto oleh Mark Long.)
Prambanan 1954
Walaupun sedikit tumpang tindih dengan tulisan-tulisan lain dalam buku ini,
namun karangan Bernet Kempers yang dimuat ulang di bawah ini layak
disajikan kembali kepada khalayak pembaca yang lebih luas melalui sebuah
terjemahan. Dengan ketelitian yang menjadi ciri khasnya, Bernet Kempers
menyajikan suatu tinjauan tentang sejarah pemugaran kompleks percandian
Prambanan, khususnya Candi iva, di mana ia sendiri terlibat secara langsung
sebagai direktur pertama Dinas Purbakala Indonesia. Oleh perincian serta
ketuntasan tulisan ini, maka uraian tentang segi-segi arsitektural dari candi
induk terbukti menjadi sebuah panduan yang sarat manfaat untuk menjelaskan
candi-candi lainnya di kompleks ini yang masih harus dibuat.
263
264
Prambanan 1954
265
266
Prambanan 1954
224 buah. Istilah Indonesia yang digunakan untuk candi-candi tambahan ini
adalah candi perwara dari kata perwara = gadis pengiring raja; calon
permaisuri. Sesungguhnya sangat sedikit yang tersisa dari tembok yang
dahulunya pernah melingkari kompleks percandian ini. Kedua lapangan
persegi yang melingkar itu sendiri terletak di dalam satu tembok pembatas
ketiga yang sisi-sisinya berukuran 390 m, namun kini miring ke arah barat
daya. Lapangan persegi yang berada paling dalam diarahkan semata-mata
menurut penjuru mata angin dengan pintu masuk pada poros-poros di
keempat sisi. Gapura-gapura pada tembok pembatas ketiga terletak kira-kira
berkesinambungan dengan poros-poros bagian tengah. Gapura di sisi paling
selatan masih bisa dilihat di bagian selatan kompleks tersebut, tidak jauh dari
pintu masuk. Sejauh mungkin sedang diupayakan pemugaran sebagian dari
gapura-gapura paling dalam.
Di antara lebih dari 230 candi perwara di kompleks tersebut yang
menyangkut jumlahnya belaka tidak kalah dari tandingan utamanya yakni
Candi Sewu yang sampai sejauh ini berhasil dipugar adalah: Candi iva,
dua candi apit, candi-candi patok dan candi-candi kelir, yang semuanya
terletak di kawasan utama, salah satu dari candi-candi perwara yang terletak
di sisi timur, dan pekerjaan pemugaran masih dilangsungkan atas candi
perwara kedua yang terletak di sudut tenggara. Juga sedang dibuat susunan
percobaan terhadap Candi Brahm dan Candi Vis n u yang terletak di
belakang candi-candi itu sendiri, namun sebagian besar terletak di luar
tembok-tembok di sisi tenggara kompleks tersebut.
Setelah orientasi pendahuluan ini, mula pertama saya akan mencurahkan
perhatian pada kejadian-kejadian pokok dalam sejarah kompleks itu yang
lebih belakangan ini. Sangat sedikit yang dapat dibicarakan tentang masa
lampaunya yang sudah lewat: sementara orang pada umumnya merujuk pada
masa pemerintahan [Raja] Balitung (awal abad ke-10) sebagai saat
pembangunan kompleks tersebut, namun belakangan ini ada kalangan yang
lebih mendukung suatu penanggalan yang lebih awal. Nah, mengingat
bahwa sekarang ada lebih banyak hal tentang monumen itu sendiri yang
dapat dipelajari dan juga lebih banyak bangunan-bangunan Jawa Tengah
sudah diketemukan, maka ada kemungkinan untuk mendapat kepastian
tentang masalah ini. Namun pada saat ini saya tidak ingin menyelisik
Lihat a.l. Stutterheim, De stichter der Prambanan-tempels, Djw 20 (1940), hlm. 218233.
267
persoalan itu lebih jauh. Apa pun halnya, sekitar tahun 930 M pusat
kebudayaan Hindu-Jawa bergeser ke Jawa Timur, dan monumen-monumen
Jawa Tengah mulai dilupakan. Peninggalan-peninggalan tersebut rusak dan
ditutupi belukar, namun ada dampak yang menguntungkan dalam hal ini,
yaitu ketika bagian atas candi itu roboh maka bagian-bagian yang lebih
rendah tertimbun dengan aman. Seandainya hal ini tidak terjadi maka saya
kira hampir mustahil bahwa begitu banyak bagian yang lebih rendah dari
bangunan itu yang tetap utuh. Keruntuhan tersebut terjadi sekitar tahun 1600
, namun penanggalan itu sendiri tidak terlalu penting. Kini saya akan
menyajikan sejarah yang lebih belakangan dalam bentuk daftar kronologis
dengan diberi keterangan singkat.
1733, 1744, 1746, laporan-laporan pertama tentang para duta dari Eropa
dalam perjalanan kehormatan ke Mataram. Mereka menemukan sebuah bukit
besar yang pada puncaknya menyeruak atap-atap reruntuhan candi-candi
utama induk. Beberapa arca masih dapat dilihat di bilik-bilik samping [dari
candi induk]. Termasuk di antaranya Durg, Sang Gadis Semampai (Loro
Jonggrang), yang namanya dipakai untuk keseluruhan kompleks percandian
tersebut. Bilik utama masih dipenuhi puing-puing reruntuhan.
1805-1897, perjalanan pertama oleh insinyur militer Cornelius.
1864, Prambanan masih berupa tumpukan besar bebatuan.
1885, pengagum terkini dari Loro Jonggrang, yakni Ir. J.W. IJzerman,
setelah Raden Bandung dalam tradisi lisan, mempedulikan nasib candi itu
dan mulai membersihkan bilik-biliknya. Karyanya yang berjudul
Beschrijving er ouheen diterbitkan pada tahun 1891. Di beberapa tempat,
bagian dari kedua tembok yang sebelah luar masih terlihat bekas-bekasnya;
tembok yang sebelah dalam pada umumnya tertutup tanah namun jalurnya
masih terlihat sepenuhnya. Ketiga puing reruntuhan yang paling besar
membentuk bukit-bukit berdekatan berwujud seperti pelana, di mana
puncak-puncaknya lebih tinggi daripada lantai gapura candi. Bagian-bagian
bawah dan tangga-tangga ditutupi oleh puing-puing reruntuhan. Ini berarti
bahwa IJzerman belum dapat memperoleh suatu tinjauan menyeluruh atas
keadaan sebenarnya, dan berpikir tentang kemungkinan bahwa ketiga candi
besar itu berdiri saling berhubungan di atas sebuah fondasi. Banyak candi
yang saling berhadapan itu hancur berantakan. Candi apit di sebelah
Krom, Inleiing I, hlm. 445-446 (mengikuti pendapat D. van Hinloopen Labberton, Djw
1 1921, hlm. 198-199).
268
Prambanan 1954
Selain Beschrijving dari IJzerman, lihat juga Groneman l.c. dan Inische Gis 1887, II,
hlm. 1431 dst.
269
dibuat10 selama pemugaran Candi iva, maka pada tahun 1926 pekerjaan itu
dilimpahkan kepada B. de Haan, ajun inspektur, dan kemudian inspektur,
pemugaran tersebut. Namun demikian, prinsip pemugaran atas monumenmonumen budaya, asalkan hal itu dilaksanakan dalam cara yang dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah, diterima oleh Panitia Penasihat, dan
sejak itu dilancarkan sejumlah pemugaran dalam bentuk rekonstruksi.
1927, dibentuk sebuah Panitia Arkeologi tetap yang dimaksudkan untuk
memberi dukungan kepada kepala Dinas Purbakala dalam hal ihwal rancang
bangun dan latar belakang budaya. Namun sebagai akibat perbaikan metodemetode yang diperkenalkan setelah Perkara pemugaran, tampaknya bahwa
kurang dibutuhkan dukungan (= pengawasan?) semacam itu. Panitia tadi
segera saja terhenti.
1930, B. de Haan meninggal dunia persis pada saat apa yang dianggap
mustahil oleh Panitia Prambanan justru tercapai, yaitu khususnya semua
potongan candi induk yang ditumpukkan di tanah berhasil dikembalikan ke
posisinya yang sebenarnya, hingga ke dan mencakup bagian paling atas dari
bingkai mahkota (yaitu dalam sebuah susunan percobaan). Penelitian
menyangkut bentuk bagian-bagian atap masih dikerjakan. Sejak tahun 1927
bahan-bahan untuk memugar dua candi apit juga terus dikumpulkan. Antara
tahun 1930-1933 kedua candi itu berhasil dikembalikan ke keagungan
sebagaimana yang pernah dimilikinya.
1931, pimpinan tugas diambil alih oleh Ir. V.R. van Romondt, yang
diangkat sebagai inspektur pemugaran. Tugas tersebut dilanjutkan dalam
kerja sama dengan P.H. van Coolwijk, yang memimpin pengelolaan urusan
sehari-hari selama masa Depresi, ketika Ir. van Romondt menghabiskan
sebagian besar waktunya bekerja sebagai seorang pengajar. Selama beberapa
tahun sebelum Perang Dunia II, terutama nian para mandor Indonesia, yakni
Suhamir dan Samingoen, yang sedang bekerja di candi itu di bawah
pimpinan kedua tokoh yang sudah disebutkan tadi.
1937, bahan-bahan dasar untuk susunan percobaan sudah siap: berkat
Welvaartsfons [Dana Kesejahteraan] pekerjaan dapat dilanjutkan menjadi
pemugaran yang sesungguhnya atas keseluruhan candi, yang diperkirakan
akan berlangsung selama delapan tahun. Pembuatan perancah kayu jati itu
sendiri menghabiskan waktu selama satu tahun penuh.
10
270
Prambanan 1954
1942, semua pejabat Belanda di dinas itu ditawan Jepang, dan pekerjaan
dilanjutkan oleh Bapak Suhamir (sampai dengan permulaan tahun 1949),
Bapak Soewarno dan Bapak Samingoen, dan yang disebutkan terakhir tadi
bertanggung jawab atas pengelolaan Prambanan sehari-hari.
Pada waktu penyerahan kekuasaan [yaitu oleh Jepang], candi tersebut
sudah dibangun sampai sejauh bagian-bagian paling atas dari bingkai
mahkota, walaupun penyelesaian akhir tidak maju-maju juga. Selama tahuntahun perang [kemerdekaan], pemugaran sampai ke ketinggian sedemikian
rupa sehingga perancah mesti dinaikkan. Teramat sulit untuk memperoleh
semen dan bahan-bahan lain yang diperlukan. Namun sejauh mungkin
pekerjaan terus dilanjutkan, sedangkan pada waktu yang sama dilancarkan
sebuah penyelidikan tentang bentuk Candi Brahm dan Candi Vis n u.
Kemudian diadakan juga penyelidikan untuk memeriksa kemungkinan
pemugaran terhadap satu atau beberapa candi perwara yang terletak di luar
tembok pembatas pertama.
1948, Aksi Polisional Kedua. Penghentian atas semua kegiatan.
Pertempuran sengit terus berlanjut di sekitar Prambanan; kantor Bagian
Arsitektur dihantam granat dan dijarah, sedangkan Candi iva juga men
derita kerusakan akibat dibom.
Pertengahan 1949, pekerjaan dilanjutkan kembali oleh Dinas Purbakala
RI.
Akhir 1950, kedua organisasi purbakala (RIS/Republik Indonesia
Serikat dan RI) sekali lagi berada di bawah satu pimpinan, dan Ir. Van
Romondt lagi-lagi dipercayakan untuk memimpin Bagian Arsitektur.
Januari 1952, puncak candi dicapai! Prestasi ini dirayakan. Beberapa
bulan kemudian puncak candi disambar petir, yang menyebabkan penundaan
yang serius atas penyelesaiannya. Dalam pada itu, gapura-gapura dan
mahkota pagar langkan dituntaskan.
20 Desember 1953, kerja itu buah dari kerja sama yang menakjubkan
diselesaikan. Candi itu diresmikan oleh Presiden RI. 11
Bila orang awam melihat foto-foto Candi iva atau candi lainnya
sebelum pemugaran, satu pertanyaan selalu diajukan: Apakah orang tahu
11 Menyangkut nasib yang menimpa Dinas Purbakala selama dan setelah perang: O.V.
1942-47; 1948, hlm. 20-41; Laporan Tahunan Dinas Purbakala 1950, hlm. 10-21;
Tijschr. Bat. Gen. 83 (1949), hlm. 286-300; Inonesi (1954), hlm. 481-513 [Van
Romondt]. Menyangkut sejarah pemugaran, lihat msl. Cultureel Nieuws Inonesi
(Sticusa) 1954, no. 36-37.
271
272
Prambanan 1954
itu. Selain itu, kita masih punya satu petunjuk yakni tempat ditemukannya
batu tersebut: sebongkah batu yang jatuh pada umumnya berasal dari
bangunan yang berdekatan dengan tempat ditemukannya. Dalam hal ini kita
harus mulai dengan memilah batu-batu dari tumpukannya berdasarkan
ukuran; pemilahan ini sudah dimulai pada tahun 1918. Lalu disusul dengan
penyelidikan yang lebih saksama sembari mencurahkan perhatian pada
kecocokan sambungan serta tonjolan penghubung antara rupa-rupa potongan
batu, patahan dan garis hiasan, dan seterusnya. Semua pekerjaan ini
menuntut kesabaran, ketelitian yang luar biasa dan juga ingatan yang benarbenar tajam atas berbagai perincian suatu jenis pekerjaan yang dalam
jangka panjang berhasil dikuasai dengan baik oleh para mandor maupun
tukang Jawa. Inilah salah satu alasan mengapa karya semacam ini tidak
tergilas hingga terhenti selama keadaan paling buruk dalam masa Depresi.
Begitu kita kehilangan tenaga yang terlatih maka kita kalah dalam
pertempuran. Selama pemugaran Candi iva, pekerjaan dilaksanakan oleh
para pendukung musiman yang sebelumnya sudah melakukan kerja serupa
selama banyak dasawarsa terdahulu. Dan bahkan sekarang pun, walaupun
yang paling tua dari mereka telah purna bakti sejak beberapa tahun silam,
kita masih bisa bertemu dengan orang-orang di Prambanan yang telah
mendarmakan hampir seluruh masa hidupnya di Dinas Purbakala.
Selanjutnya, batu-batu dan potongan-potongan bangunan digabungkan
kembali dalam sebuah susunan percobaan, sedangkan bagian-bagian yang
masih hilang untuk sementara waktu diisi dengan batu yang lebih lunak.
Dengan melakukan hal ini, lingkaran batu itu, yang ditempatkan satu di
atas yang lain sehingga membentuk candi, perlahan-lahan dipersatukan.
Untuk sementara waktu, bagian-bagian itu dibiarkan berada satu di samping
yang lain, tidak lebih dari kira-kira empat meter, di atas tanah. Bersamaan
dengan berlalunya waktu, ada kemungkinan untuk membuat sebuah denah
rekonstruksi berdasarkan susunan percobaan tersebut. Semuanya sudah
tersedia bagi Candi iva beberapa tahun sebelum pemugaran yang
sesungguhnya mulai diupayakan pada tahun 1937. 13 Hal ini menafikan
kemungkinan terjadinya kejutan-kejutan yang berarti, walaupun tidak ada
seorang pun yang mampu membayangkan kenyataan sedemikian
13
Djw 20, gbr. 11 setelah hlm. 234 [lihat tulisan Van Romondt dalam buku ini] dan
Amerta 1 (1952), hlm. 30.
273
Lihat kata-kata yang dikutip dalam Inonesia oleh Van Romondt, l.c. hlm. 503-504.
274
Prambanan 1954
Sebelum mengkaji Candi iva, mari kita mula pertama menyelisik sebuah
bangunan yang lebih sederhana, yakni satu dari dua candi apit yang
keadaannya lebih terpelihara yang berada di sisi selatan. Sekitar 20 tahun
silam, setelah lama tergeletak sebagai puing-puing reruntuhan, kedua candi
tadi sekali lagi menjadi mutiara arsitektur Jawa Tengah. Walaupun candi
induk yang jauh lebih besar mendominasi kompleks itu, namun kedua
bangunan kecil tadi, dengan ketinggian sekitar 16 m, masih saja menarik
perhatian. Keduanya memiliki jenis yang sama. Keduanya sama-sama
merupakan bangunan yang sangat ramping, berkat tangganya yang lancip
serta kaki berganda, puncak yang tinggi dari ruang muka serta atap yang
menjulang tajam. Garis-garis horizontal, yang selalu ada di sini seperti juga
di mana-mana dalam kesenian Jawa Tengah dan diberi penekanan tambahan
oleh sebuah pelipit di bagian tengah yang melintas sepanjang arkitraf [yakni
balok horizontal utama yang langsung disangga tiang-tiang], disela dan
didesak ke latar belakang, khususnya di bangunan bagian atas, oleh kelapkelip vertikal dari motif-motif genta dengan
275
15
Di sini dan dalam tulisan ini selanjutnya, saya menggunakan istilah puncak, ketinggian dan
atap, yang memiliki arti sama, guna memberi variasi.
276
Prambanan 1954
hiasan melintang sebelah bawah: Utara 1, sosok lelaki yang sedang berdiri
dengan bunga; Timur 2, sosok lelaki yang sedang berdiri dengan bunga dan
daun; 3, sosok perempuan dalam posisi duduk, di sebelah kanannya terdapat
sebuah kitab pada sebuah penyangga, di sebelah kirinya terdapat sebuah
cmara; 4, sosok lelaki yang sedang berdiri dengan bunga dan daun; 5, rusak; 6,
sosok perempuan dalam posisi duduk, di sebelah kanannya terdapat sebuah kitab
pada sekuntum teratai, di sebelah kirinya terdapat sebuah cmara yang rusak; 7,
sosok lelaki dengan utpala dari akar umbi, dan sebatang lilin pedupaan 16 di
samping sisi sebelah kanannya; Barat 8, sosok perempuan dengan sebuah
cmara; 9a, sosok perempuan dengan sebuah cmara, yang melilitkan tongkat
seperti sebuah kumparan; 9b, rusak, satu tangan dengan posisi varamur; 10,
sosok perempuan dengan sebuah utpala pada tangan kirinya, dan di atasnya
terdapat sekuntum bunga atau sebentuk permata yang rumit susunannya; Utara
11, sosok lelaki dengan sekuntum bunga.
Hiasan melintang sebelah atas: Utara 1, sosok lelaki yang sedang
berlutut dengan bunga dan lilin pedupaan (yang terbungkus dalam selembar
kain sulaman); Timur 2, sosok perempuan yang sedang berlutut dengan
sekuntum teratai; 3, posisi duduk, rusak; 4. perempuan yang sedang berlutut
dengan sekuntum teratai; Selatan 5, perempuan yang sedang berlutut dengan
utpala; 6, perempuan dalam posisi duduk, dengan sebuah utpala pada sisi
sebelah kanannya, sebulir padi pada sisi sebelah kirinya; 7, sosok perempuan
yang sedang berlutut dengan sebatang lilin pedupaan dan kipas; Barat 8,
sosok perempuan dengan utpala dan lilin pedupaan yang separuh terbakar;
9, sosok perempuan dengan utpala dan alat pengusir lalat atau bulir padi; 10,
perempuan dalam posisi duduk, rusak; Utara 11, sosok dalam posisi duduk
dengan obor dan bunga.
Sosok-sosok pada bagian tengah sebelah bawah diapit oleh singa-singa,
sejauh masih bisa dikenal karena keadaannya rusak berat. Busana
16 Lilin pedupaan serupa terdapat juga di Borobudur, Bb. - mon. pl. DB 22, Vol. III [Krom
1931a].
277
cmara; Utara, sosok bertangan enam lainnya, mirip dengan sosok yang
barusan dijelaskan, namun pasangan tangan yang paling luar kini memegang
sebuah aksaml
dan sebuah kapak; Timur, sosok bertangan empat, tangan
kanan yang paling luar: di depan dada (rusak), yang kiri di atas pangkuan,
tangan kanan sebelah depan: aksaml,
yang kiri: rusak. Semua sosok ini
adalah laki-laki.
Baik candi apit di sisi utara maupun candi apit di sisi selatan tidak
ditempati satu arca pun. Kegunaan yang dikenakan kepada kedua bangunan
ini tidak jelas.
Corak yang paling menarik perhatian kita menyangkut candi-candi ini
adalah atapnya yang menakjubkan. Kombinasi yang diulang-ulangi dari
arkitraf, bingkai mahkota ganda serta rangkaian genta-genta mesti dilihat
sebagai satu kesatuan. Tema ini bermula pada tubuh candi itu sendiri, yang
pada kaki berganda dan pelipit berupa jilid pertama dari sebuah menara lipat
empat. Pada Candi iva kita menemukan perpaduan serupa dari arkitraf
bingkai mahkota(relung-relung)genta-genta malah di bagian yang lebih
rendah lagi, yaitu di teras tempat keseluruhan bangunan candi didirikan.
Bentuk ringkas arkitraf dan puncak juga tersirat dalam sistem India, yang
beranggapan bahwa pilar yang terdiri atas tiang dan kepala tiang yang bisa
dibandingkan dengan bentuk ringkas tadi membentuk satu kesatuan dan
disebut demikian. Pada Candi iva kita malah menemukan kesatuan antara
arkitrafbingkai mahkota (relung-relung)genta-genta tampak kasatmata
langsung pada bagian teras. Menyangkut bagian atap, cara bagaimana
kesatuan-kesatuan tersebut saling dicocokkan guna
17 Termasuk Stutterheim, Rma-Legenen un Rma-Reliefs (1925), pl. 37, 50, 57, dan
Foto-Foto O.D. 7325 (Seri Krishna).
278
Prambanan 1954
Romondt, yang beruntung dapat saya gunakan dalam buku saya, berjudul Kalasan an
Sari (Seri Tjandi 1), yang diterbitkan oleh Penerbitan dan Balai Buku Indonesia (=
Moderne Boekhandel), 1954, hlm. 5.
279
280
Prambanan 1954
sejenis piramida teras yang diratakan yang terdiri atas alas persegi empat dan
atap lingkaran. Begitulah Borobudur yang kita ketahui dari denah, potonganlintang serta foto-foto dari udara. Namun diamati dari lantai dasar, kesatuan
itu sudah tampak kasatmata sebagai segmen berbentuk bola, walaupun cuma
kesannya belaka. Inilah hasil ornamentasi plastis dari teras serta garis kontur
yang terputus-putus dari piramida, yang disatukan untuk membentuk siluet
dari segmen lingkaran, dan dengan demikian menciptakan kesan bahwa di
Borobudur kita tengah menyaksikan segmen bulatan. 21 Bentuk asli dari
sebuah stpa, belahan bumi atau segmen bulatan, dipadukan dengan
bangunan teras sedemikian canggihnya sehingga nyaris menjadi sama
pentingnya untuk stpa dalam perlintasan sejarahnya. Tidak boleh pula kita
lupakan sejumlah pernak-pernik hiasan lain untuk stpa, namun untuk
sementara harus kita tinggalkan dahulu.
Di candi-candi di Prambanan, bentuk piramida tadi juga memainkan
suatu peran dalam rancang bangun dalam, yang di sini berupa sebuah
menara ramping seperti piramida berjenjang. Bentuk luar dibuat sketsanya di
seputar bagian dalam tadi oleh garis kontur yang agak melengkung dan
meruncing. Pada titik ini baiklah untuk sejenak bila kita melupakan
ornamentasi dan berupaya untuk memusatkan perhatian semata-mata pada
tumpukan besar blok, sambil mencamkan bahwa ini cuma satu segi dari
bangunan, dan bahwa tumpukan tersebut baru menjadi kenyataan setelah
dipadukan dengan bentuk luarnya. Maka, kita menemukan sebuah bangunan
yang terutama nian mengingatkan kita pada jenis-jenis candi langka seperti
kedua prsa di Pulau Serangan di pantai selatan Bali 22, yang kurang-lebih
merupakan kelanjutan dari Sat Mahal Psda di Polonnaruwa (Sri Lanka)
dan Wat Kukut (Thailand): menara-menara blok yang tersusun dengan
sendirinya dan tanpa hiasan.23
Prsa Serang dan prsa Sat Mahal Psda terbilang kokoh. Yang
terakhir tadi malah dianggap sebagai tiruan Meru, yang bisa kita andaikan
juga berlaku untuk kedua yang pertama. Kita bahkan bisa mengatakan
bahwa semuanya ini wajar belaka karena kita bisa juga menyaksikan
21 Bdk. Van Erp, Barabaur-mon, II (1931), hlm. 411 dan Mus, Barabaur (1935).
22 Barang-barang peninggalan kuno dari Bali, juga dalam Seri Tjandi, sedang dicetak (Bali
Purbakala, 1955).
23 Rowland, The art an architecture of Inia (1953), pl. 142 B dan 171; Paranavitana, The
stpa in Ceylon (1947), hlm. 98 dst., pl. XXI. Stella Kramrisch juga menyinggung tentang
Sat Mahal Psda dalam kaitan serupa.
281
candi-candi dari berbagai macam jenis sebagai tiruan Meru dalam aneka
bentuknya. Pemilahan yang paling umum dari bentuk-bentuk ini dapat
ditemukan pada candi-candi di India dengan tingkat-tingkat beratap
horizontal, yang ditumpukkan satu di atas yang lain seperti piramidapiramida berjenjang, dan candi-candi dengan menara-menara beratap tinggi
(ikhara, walaupun kata ini digunakan dengan makna lain), yang menjulang
tinggi dengan kontur-kontur yang melengkung. Di India, corak terakhir tadi
terutama ditemukan di wilayah-wilayah selatan (misalnya di Bhubanevara
dan Khajuraho).24 Peruasan yang sangat cermat, yang membuat beberapa
bangunan itu mengingatkan kita pada tongkol jagung, dan kadang kala
hiasan yang begitu banyaknya tidak melenceng dari garis-garis umum
kontur-kontur tadi. Bagian-bagian horizontal yang sangat mencolok dari atap
khususnya banyak ditemukan di wilayah selatan India. Setiap tingkat atap
memiliki sebuah rangkaian menara atap yang kecil, yang pada dasarnya
adalah tiruan-tiruan mungil dari candi itu sendiri, yang berbentuk empat
persegi panjang pada sudut-sudutnya dan melingkar di sepanjang sisisisinya. Kadang kala semuanya itu kelihatan seperti birai bangunanbangunan kecil di sepanjang sampiran tingkat atap, lain kali mereka seperti
bergerak mendekati massa atap. Candi-candi ikhara di sisi utara kadangkadang merupakan perulangan atau tiruan dari candi itu sendiri berhadaphadapan dengan menara, namun dalam kasus ini tidak dicantolkan pada satu
tingkat tertentu malah mereka tidak dipilah ke dalam tingkat-tingkat
seperti pada candi-candi di sisi selatan tetapi menjulang tinggi, tidak jarang
seperti roket yang sedang ditembakkan ke arah yang jauh di sepanjang garis
menara atap, di mana mereka bertengger dengan manjanya. Menara itu
dimahkotai dengan sebuah hiasan yang berbentuk umbi atau buah keben
berukir (malaka), yang bagian bubungannya dibentuk oleh sebuah hiasan
puncak meruncing (stpi atau stpika). Masing-masing ikhara tambahan
sama-sama dimahkotai dengan sebuah malaka, yang mencirikan mereka
sebagai tiruan-tiruan ikhara.
Kita cuma perlu membolak-balik sebuah buku tentang foto-foto
berbagai candi India dan serta-merta dicengangkan oleh aneka ragam bentuk
yang bisa diperoleh rancangan umum ini. Terdapat amat banyak
24 Lihat misalnya, Coomaraswamy, History of Inia an Inonesian art (1927), gbr. 214 dst.,
untuk candi-candi India Selatan, ibidem gbr. 202 dst.; Rowland, l.c. pl. 103, 106, 112 dst.
Lihat juga Kramrisch, l.c. dan Jeannine Auboyer, Arts et styles e lIne (1951).
282
Prambanan 1954
kombinasi baik di India itu sendiri maupun di luar India di semua tempat,
termasuk Jawa, di mana unsur-unsur arsitektural India dikembangkan. Salah
satu dari aneka ragam variasi India tersebut, berupa kombinasi antara India
Selatan dan India Utara, yang mempertahankan pemilahan yang mudah
namun dapat dipersoalkan ini, adalah sebagai berikut: atap dipilah menjadi
bagian-bagian horizontal yang mencolok, yang berbeda dari lapisan-lapisan
kecil ala India Utara maupun dari tingkat-tingkat ala India Selatan. Setiap
kalinya, satu kelompok yang terdiri atas tiga bagian dicirikan sebagai satu
rangkaian yang terpadu dengan menempatkan sebuah malaka pada sudutsudut dari lapisan ketiga. Hal ini diulangi lagi beberapa kali sampai satu
malaka besar membentuk hiasan puncak.25
Menyangkut Jawa, di candi-candi Dieng yang berjenis biasa kita
menemukan tingkat-tingkat atap yang jelas-jelas ditandai, yang dihiasi pada
sudut-sudutnya dengan menara-menara beratap. Candi Bima, yang juga
terletak di Dieng, memperagakan sebuah rancangan yang sama sekali
berbeda. Candi itu memiliki bagian-bagian horizontal namun bukan dalam
bentuk bertingkat. Masing-masing bagian dihiasi dengan relung-relung yang
berisikan rupa-rupa kepala atau jambangan, dan pada sudut-sudut yang
sebenarnya di relung kedua dihiasi dengan sebentuk mutiara. Relung-relung
yang berisikan rupa-rupa kepala mirip hiasan kuu dari India: lengkunganlengkungan berbentuk ladam atau sepatu kuda yang berisikan rupa-rupa
kepala, yang mengingatkan kita pada para penonton seni India kuno yang
melongok ke luar jendela. Di India semuanya itu menjadi hiasan belaka; di
Jawa kita menemukannya berulang kali sebagai pengisi untuk berbagai
simbar. Karena setiap segmen memiliki serentetan relung maka pemilahan
atap menjadi blok-blok horizontal mendapat penekanan. Krom
mengemukakan hal ini karena tidak menyetujui pendapat IJzerman yang,
dalam upayanya mencari kesejajaran dengan arsitektur Calukya India,
cenderung menjadi lebih terkesan dengan atap yang menjulang tinggi. Kedua
pendapat ini sama-sama benar. Seperti apakah bagian atas dari mahkota
candi itu tetap tidak diketahui; namun bentuk itu bisa diandaikan
berdasarkan hiasan yang mirip umbi atau buah keben berukir (malaka)
pada puncak rangkaian ganda relung-relung pada sudut-sudut yang
sebenarnya. Hiasan puncak tentu juga diperlengkapi dengan sebuah
25
Rowland, l.c. pl. 76 (Aihole), 102 (Pat t adakal), 103 A (Bubhanevara: Candi
Paraurmevara).
283
benda semacam itu pada puncak beberapa segmen berlanjut. Malah relungrelung yang dipuncaki dengan berbagai malaka justru merupakan bagian
yang paling menarik dari puncak candi: dua bagian dengan sebuah malaka
pada sudut yang ketiga. Ini sama seperti jenis campuran yang sudah kita
bicarakan sebelumnya, namun kini malah jauh lebih mencolok dipengaruhi
oleh gaya bertingkat di mana sebuah hiasan tembok pada relung-relung atau
menara-menara beratap ditempatkan pada setiap tingkat. Inilah yang
membuat Candi Bima memiliki corak yang agak mendua, yang
menempatkannya dalam kategorinya tersendiri.26 Bila bentuk-bentuk atap
Jawa Tengah lainnya, khususnya di sini di Prambanan, memperlihatkan
sebuah campuran dari berbagai unsur dan jenis, maka cara penyelesaian
yang ditempuh di Candi Bima berbeda secara mencolok dari hal ini, dan
walaupun menggugah namun kurang luwes.
Setelah pelanturan ini mari kita kini berpaling kembali ke Prambanan.
Istilah genta, seperti yang saya gunakan sebelumnya, sering kali dijelaskan
sebagai ghant (lonceng) atau sebagai ratna (mutiara). Bentuknya yang
umum dengan kuat mengingatkan kita pada berbagai stpa yang kita
temukan, misalnya pada atap Candi Kalasan, juga karena genta-genta
tersebut ditempatkan pada sebuah lapik.27 Saya mendapat kesan bahwa pada
unsur-unsur hiasan yang indah ini kita dapat menemukan kenangan akan
lebih dari satu jenis hiasan atap kuno. Hal ini terungkap tidak saja dalam
bentuk, tetapi juga dalam penempatan. Menyangkut yang pertama, kita bisa
berbicara tentang pembauran bentuk stpa dari Kalasan dengan bentuk dari
tempat-tempat lain, malah tanpa secara khusus mencamkan berbagai
pertalian Buddhis, dengan unsur hiasan berukir, yaitu malaka, ala India.
Kalau kita menghendakinya maka kita bisa juga membubuhinya dengan
bentuk-bentuk mutiara. Sebagai varian dari malaka, genta-genta tersebut
paling cocok bila ditempatkan pada hiasan puncak dan di sudut-sudut yang
sebenarnya, yakni tempat yang dirancang untuk unsur-unsur hiasan ini.
Seandainya genta-genta tadi cuma ditemukan di kedua tempat tersebut maka
kita dengan gampang membayangkannya sebagai malaka, biarpun dalam
bentuk campuran. Namun genta-genta tersebut juga ditaruh di sisi-sisi dari
berbagai bidang penampil: pada candi-candi induk dalam
26 Stutterheim, Cultuurgeschieenis van Java in beel (1926), pl. 9; R.O.C. 1902, hlm. 16
dst., pl. 9-11; IJzerman, Album Kern (1903), hlm. 287 dst.; Krom, Inleiing I, hlm. 186.
284
Prambanan 1954
tri-kelompok yang gemulai dengan penekanan pada satu genta yang terletak
di tengah, pada Candi iva satu di samping yang lain. Pada dasar dari atap
candi induk dan puncak candi apit genta-genta itu berbentuk lingkaran.
Dalam penempatannya di sini genta-genta tersebut bersepadanan dengan
tiruan-tiruan miniatur candi menara-menara beratap mungil yang meniru
gaya candi dari India Selatan namun berdasarkan bentuknya genta-genta
itu sekali lagi adalah malaka berukir. Tanpa membiarkan diriku
dibingungkan oleh istilah yang digunakan, saya yakin kita dapat
menyimpulkan dari semua yang telah dikatakan sebelumnya bahwa bukan
hanya sehubungan dengan rencana besar atap candi (yang dibangun dalam
bentuk bertingkat yang dipadukan dengan kontur-kontur ikhara), melainkan
juga dalam berbagai perincian hiasan (bentuk-bentuk malaka yang
dipadukan dengan penempatan secara tradisional dari menara-menara
beratap) kita tengah berhadapan dengan sebuah kontaminasi atau lebih baik
kita katakan sebuah sintesis, dari sejumlah gaya arsitektural dan unsur-unsur
bangunan. Maka di sini tidak ada tiruan belaka dari sebuah contoh atau
ajaran, tetapi sebaliknya penciptaan bentuk-bentuk baru dari harta khazanah
yang sangat kaya dan beragam dari aneka tradisi, dan barangkali juga
berdasarkan pengamatan pribadi atas bangunan-bangunan di tempat-tempat
lain, bahkan di India itu sendiri.28
Prinsip perulangan unsur-unsur penting tertentu dalam bentuk miniatur,
entah dalam bentuk umum candi atau menyangkut keseluruhan hiasan yang
ditempatkan secara lebih tinggi, semisal dalam unsur-unsur hiasan yang
berbentuk genta, mesti mendapat perhatian yang sepantasnya. Kita
menemukan prinsip tersebut dalam bentuk yang lain lagi di Borobudur
dengan perulangan bentuk utama dari stpa (bagian luar), namun jauh lebih
jelas lagi pada stpa utama, dalam hiasan rupa-rupa agoba pada teras
melingkar serta tak terbilang banyaknya unsur hiasan stpa pada berbagai
relung dan gapura. Kita dapat menyaksikannya, tingkat demi tingkat, sebagai
pemusatan yang kian bertambah dari bentuk besar melalui menara-menara
beratap hingga ke mahkota puncak, saripati dari semuanya Kramrisch
berbicara tentang Candi Agung atau hampir serupa dengan perluasan yang
secara tersendat-sendat dari puncak utama dan inti ke dalam rancangan
agung. Sementara Borobudur tampaknya bergetar dengan gerakan-gerakan
28
Bdk. Bosch, Local genius en Oud-Javaanse kunst, Me. Kon. Ne. Aka. Wet., af.
Lett. N.R. 15: 1 (1952), hlm. 20 dst.
285
286
Prambanan 1954
287
relung sesajen yang terkenal yang dipakai orang-orang Bali, di mana sesajen
ditaruh di halaman rumah pada setiap pagi dan senja.
Tangga di sisi timur, yang pada akhirnya berujung pada bilik utama dan
karenanya merupakan pintu masuk paling penting menuju candi, lebih luas
daripada ketiga tangga yang lain. Namun pada mulanya tidak demikianlah
keadaannya, karena sebuah tangga yang lebih tua berhasil ditemukan di
dalam tangga yang ada sekarang ini, yang memiliki ukuran serupa dengan
tangga-tangga yang ada di bilik-bilik samping. Rupanya pada bagian ini
terjadi sebuah perubahan yang berpengaruh atas denah pembangunan candi.
Juga terjadi perluasan atas tangga di candi apit sebelah selatan. 30 Pipi-pipi
tangga dihiasi dengan sebuah motif sulur-suluran yang sangat indah, yang
menyembul keluar dari sebuah mutiara yang berbentuk tombak. Pada candicandi apit, titik mulanya, seperti yang sudah dikatakan, adalah seekor singa,
yang serupa pula halnya di Candi Brahm dan Candi Vis n u. Pipi-pipi
tangga di Candi A dan Candi B tetap dibiarkan tanpa hiasan, sedangkan pipi
tangga di Candi Nandi berisikan seekor gajah yang mengenakan sebuah
genta. Candi perwara yang berhasil dipugar dihiasi pada titik pertemuan ini
dengan seekor kelinci bertelinga bulat; pada yang lain kita menemukan
kijang, dan di satu lainnya berisikan seekor kera.
Berbagai makara pada tangga-tangga ini juga tidak selalu sama. Pada
Candi iva, belalai diubah menjadi kepala seekor singa dan terdapat seekor
singa kecil di dalam mulutnya. Pada candi-candi yang lain memang
ditemukan kombinasi singa-belalai itu, namun singa kecil di dalam mulutnya
tadi digantikan oleh seorang sosok manusia yang muncul pada titik separuh
jalan. Berbagai makara pada Candi iva disandarkan pada lapik-lapik yang
dihiasi, sedangkan makara pada Candi Brahm dan Candi Vis n u memiliki
seorang gan a di depan kaki candi dan seekor gajah yang sedang berlutut
pada sisi-sisinya. Menyangkut Candi A, makara-makara itu berupa blokblok batu yang belum dikerjakan, sedangkan di Candi B tidak ada sama
sekali jejak makara-makara tersebut. Berbagai makara pada candi-candi
perwara berupa sebuah belalai biasa dengan sekuntum teratai di atasnya dan
seorang sosok manusia di dalam mulutnya.
Pada pertemuan antara makara di bawah dan kepala singa di atas pipi
tangga terbentuk sebuah variasi dari kombinasi kla-makara. Begitu pula
halnya dengan corot-corot pada bingkai mahkota dari kaki Candi iva:
30
288
Prambanan 1954
289
ditempatkan makara-makara berjenis binatang dan sekali lagi makaramakara yang stilistik. Bagian paling atas dari motif tersebut tampil sebagai
perulangan dalam bentuk miniatur dari bagian paling bawah.
Bagian luar dari pagar langkan sampai dengan teras sekaligus puncak
hiasan dari dinding teras, seperti pula pagar-pagar langkan di Borobudur
pada saat yang sama merupakan puncak dari pagar-pagar tembok yang ada
di bawahnya menampilkan perulangan sebanyak 70 kali dari satu motif
tunggal: sebuah relung diisi dengan sekelompok ganharva dan apsara. Di
atas setiap relung ada sebuah genta beralur. Mengingat kenyataan bahwa
pada sudut-sudut penampil, dua dari relung-relungnya ditutupi oleh sebuah
genta, dan sebaliknya terdapat genta-genta tanpa relung-relung pada sudutsudut yang menyurut, maka jumlah dari hiasan puncak ini adalah sebanyak
66 buah, yaitu 2 x 17 dan 2 x 16. Malah terdapat kekurangan dua buah
relung pada bagian muka bangunan karena adanya bilik-bilik samping yang
mengapit gapura masuk. Mahkla (selatan) dan Nandivara (utara) yang
terletak di bilik utama sebelum pemugaran gapura, kini ditempatkan pada
bilik-bilik samping ini.
Di antara relung-relung tadi, pagar langkan menyurut secara tajam ke
arah dalam. Kotak-kotak (casement) yang terbentuk dengan cara itu diisi
dengan sekelompok sosok yang sedang menari dan bermain musik yang
dipahat dalam bentuk relief tinggi. Karena terletak pada ketinggian dua kali
tinggi orang dewasa, maka sosok-sosok tersebut mendapat perhatian yang
jauh lebih sedikit daripada yang seharusnya menjadi nasib mereka
seandainya saja yang terjadi adalah sebaliknya. Foto-foto yang diambil
sebelum perang menyajikan sebuah kesan yang luar biasa tentang sosoksosok yang menakjubkan itu, di mana gerakan mereka yang berlenggaklenggok dengan kuat mengingatkan kita pada tarian dan relief-relief tarian
India. Penelitian koreografis dan ikonografis telah menunjukkan dengan
kepastian mutlak bahwa penempatan sosok-sosok itu mengikuti sebuah
rancangan. Dalam upaya-upaya pertama pemugaran candi itu pada tahun
1918 dan selanjutnya, relief-relief relung dan bagian-bagian tengah
ditempatkan secara serampangan, malah kadang kala dibuat cocok dengan
menetak atau memotong tonjolan-tonjolan yang tidak dikehendaki pada
sisinya. Lebih dari itu, tidak ada catatan apa pun yang tersimpan mengenai
posisi relief-relief yang masih berada pada letak aslinya ketika kerja
pemugaran dimulai. Hal ini menyebabkan kesulitan-kesulitan yang luar
290
Prambanan 1954
biasa besar dalam pemugaran, yang mesti diatasi sebaik mungkin, namun
tidak dengan kepastian 100%. Tidak selalu mungkin untuk berpatokan pada
petunjuk-petunjuk arsitektural; kadang kala data koreografis harus
didayagunakan, atau kita terpaksa bergantung semata-mata pada
pertimbangan-pertimbangan tentang simetri bangunan. Dari ke-62 panel
tarian, 21 buah berhasil dikembalikan ke tempatnya dengan kepastian
mutlak, sering kali berdasarkan pada foto-foto lama. Komentar berikut
tentang data koreografis, diperoleh dari sang pemugar bagian ini, yaitu
Bapak Suhamir. Tarian yang dipahatkan pada relief sejajar dengan tarian
Tn d ava iva semacam ini diterangkan dalam Ntyastra.
Ke-108 sosok
291
292
Prambanan 1954
mencolok, sebelah kiri dan kanan berubah bentuk menjadi seekor singa
dengan cakar terangkat seperti hendak mengancam. Sama seperti berbagai
kla yang terdapat di atas relung-relung pada tubuh candi, kla yang di sini
dimahkotai dengan sebuah relief atap candi; di sini motif pandu atap itu,
yakni genta berukir rangkap tiga (sebanding dengan puncak dari candi-candi
apit), menjadi puncak perbingkaian pintu. Antara ambang pintu dan kepala
kla terdapat rupa-rupa dewata yang dipahatkan pada relief; pada sisi
sebelah timur terdapat seorang dewa bertangan empat yang diapit oleh dua
pendamping perempuan (lihat Foto 2). Di sini, berbeda dengan bagianbagian muka bangunan yang lain, terdapat seorang dewa yang ditempatkan
di atas kepala kla (lihat Foto 32). Pada sisi sebelah barat, dewa yang
berkuasa adalah seorang perempuan. Dua penghuni kayangan yang
berjanggut melayang di samping jambul sang kla pada sisi sebelah utara. Di
sisi sebelah barat dan selatan sosok-sosok itu adalah makhluk kayangan
biasa; sosok pada sisi sebelah selatan berbentuk lebih kecil. Berbagai
makara pada tiang-tiang pintu di sini disandarkan pada panel-panel persegi
yang ditempatkan satu di atas yang lain: tiang-tiang sebelah bawah
menunjukkan sebuah pahatan batu berbentuk teratai, sedangkan
293
294
Prambanan 1954
Puing-puing reruntuhan candi induk Sewu juga pernah disambar petir, ketika
itu berbagai makara pada takhta di bilik utama rusak. Baru-baru ini salah
satu candi perwara di Plaosan dan puncak Borobudur (1953) juga menjadi
korban sambaran petir. Apa pun kebenarannya, kini Candi iva sudah
diperlengkapi dengan sejumlah penangkal petir.
Di atas bingkai mahkota dari kaki (kedua) dengan panel-panel para
penjaga mata angin, atau apa pun nama mereka, terdapat permulaan dari lislis kaki tubuh candi: takuk ganda, padma rata, bingkai setengah lingkaran
rata, disusul sekali lagi oleh padma. Kali ini padma tersebut berhias dan
dipahat sebagai sebuah bantal teratai, dan karenanya ia mendapat
kehormatan untuk memakai nama India yakni pama. Di atasnya terdapat
lagi bingkai setengah lingkaran, kali ini dihiasi dengan cetakan cembung
bulat singkatnya, sebuah penggandaan yang berat dari bingkai biasa.
Sekali lagi ada sebuah petunjuk ke arah kesenian Jawa Timur dalam cara
bagaimana perbingkaian-perbingkaian itu dipahat.
Arkitraf tinggi pada tubuh candi dibagi secara horizontal ke dalam dua
bagian yang sama luas oleh sebuah pelipit tengah atau perbingkaian antara.
Kita menemukan hal ini sudah pada candi-candi apit, rupanya sebagai
peniruan dari candi induk. Di banyak tempat di Jawa Tengah, sehubungan
dengan pemilahan bagian dalam menjadi dua tingkat, kita melihat hal ini
terpantul dalam rancang bangun luar di Candi Sari dan Candi Plaosan. Di
Jawa Timur pelipit tengah itu menjadi kaidah. Di luar Jawa kita menemukan
pemilahan arkitraf ini ke dalam dua bagian ala Prambanan pada candi besar
Tanjore di kawasan selatan India. 35 Pelipit itu di Prambanan disela pada
pertengahan penampil-penampil oleh pintu-pintu masuk bermahkota.
Masing-masing dari 2 X 24 bidang muka bangunan yang dibentuk oleh
pemilahan arkitraf ini mengandung sebuah relung kecil, di mana niscaya
dahulunya pernah berdiri sebuah arca. Baik di sini, di lingkaran relungrelung di atas hiasan puncak, maupun di bagian tengah puncak candi tidak
ada satu arca pun yang berhasil dikembalikan ke tempatnya yang semula.
Kemungkinan itu ada dengan menemukan satu-dua arca di sana-sini di situs,
namun itu semata-mata pada relung-relung paling bawah karena semua yang
lain telah roboh dan baru ditemukan lagi pada pemugaran.
Pelipit tengah diimbuhi dengan simbar-simbar: berbagai kla pada
sudut-sudut yang menganjur, dengan mutiara-mutiara yang dibingkai di
35
295
antaranya. Hiasan tembok pada tubuh candi juga sama, namun dengan skala
lebih luas (dengan kepala-kepala yang dibingkai pada simbar-simbar) seperti
sebelumnya yang kita temukan pada kaki (kedua). Di situ kla-kla pada
simbar-simbar sudut diapit oleh makara.
Berbagai pilaster pada sudut-sudut yang menyurut dan sudut-sudut yang
menjorok, baik di atas maupun di bawah pelipit tengah, dibagi sekali lagi
menjadi dua. Sebagai hasil dari semua pemangkasan ini terhadap ketinggian
Prambanan, maka corak tubuh candi ini jauh kurang agung daripada corak
tubuh Candi Kalasan, di mana relung-relung menggunakan keseluruhan
ketinggian. Selain dari itu, panel-panel menakjubkan dengan hiasanhiasannya yang berbentuk spiral, yang juga mencakup seluruh ketinggian
candi, menarik pandangan ke atas, dan lubang relung-relung jauh lebih elok
daripada padanannya yang sangat mirip dengan tingkap di Prambanan. Pada
umumnya horizontalisme di Prambanan, yang tercipta oleh perbingkaian
horizontal yang berat dari kakinya, pelipit-pelipit dasar dan tengah, bingkai
mahkota pada tubuh candi serta bagian-bagian yang jelas-jelas kelihatan
pada atap candi, lebih tegas daripada di Kalasan, walaupun kecondongankecondangan vertikal juga menonjol di Prambanan. Bobot pengimbang
terhadap unsur-unsur vertikal lebih mencolok di Kalasan; garis-garis
horizontal di Kalasan juga lebih tegas namun sering kali kurang menonjol
dan kurang banyak daripada di Prambanan.
Bila kita berhenti sejenak guna membuat perbandingan mengenai hiasan
pada bidang-bidang muka Candi Prambanan dan Candi Kalasan, maka
terpaksa kita mesti menarik kesimpulan bahwa para seniman penghias di
Candi iva itu kurang berhasil dalam tugas mereka daripada para seniman
penghias di Kalasan. Kesan ini juga timbul dari suatu perbandingan
menyangkut arca pada bagian-bagian bawah dari Candi iva itu sendiri:
motif Prambanan, jambangan-jambangan teratai, panel-panel relief serta
arca-arca tampak mengecewakan di samping perhiasan relung berbentuk
atap candi dan jenang-jenang dengan sulur-suluran ikal musral. Dalam hal
ini, Candi Kalasan tidak memiliki kesulitan untuk mempertahankan
gelarnya: hiasannya tetap tak tertandingi.
Di Prambanan jenang-jenang itu menjulur dari seekor singa kecil di atas
seekor gajah pada pita hiasan horizontal yang pertama, dan dari seorang
sosok manusia pada yang kedua, dan keduanya termuat dalam sebuah relung
sempit. Sejajar dengan sulur-suluran tadi dan dipisahkan
296
Prambanan 1954
darinya dengan sebuah jenang licin meliuk seutas pita kecil dengan pahatan
berbentuk mawar. Pada panel-panel di kedua belah pintu masuk, relung tadi
diperkecil bentuknya dan jenang-jenang berbentuk sulur-suluran tersebut
tidak lagi dipergunakan. Perhiasan relung lebih mengingatkan kita pada
bagian atas pintu-pintu masuk daripada relung-relung di candi itu sendiri.
Relung-relung ditunjang oleh kla yang kelihatan alamiah. Makhlukmakhluk kayangan melayang-layang di samping dinding muka yang
berbentuk segitiga.
Bingkai-bingkai utama di atas arkitraf berisikan beragam jenis bingkai
hiasan: sebuah bingkai dengan pahatan-pahatan berbentuk mawar separuh
oktagonal, sebuah bingkai dengan karangan-karangan bunga dan pahatanpahatan berbentuk mawar, sebuah bingkai mahkota dengan simbar-simbar,
sebuah bingkai yang menyurut dengan motif-motif bebungaan. 36 Di atasnya
dimulailah lingkaran relung-relung yang bersama dengan rangkaian gentagenta pertama membentuk puncak dari tubuh candi, dan pada saat yang sama
berfungsi sebagai peralihan ke atap (tingkat atap 0). Di atasnya menyeruak
empat tingkat lagi (I-IV), masing-masingnya dipuncaki dengan sebuah
rangkaian genta-genta, dan kemudian genta utama. Genta-genta itu berdiri di
sudut-sudut yang sebenarnya dan di sepanjang sisi-sisi berbagai penampil,
dengan kekecualian sudut-sudut yang sebenarnya dari bagian ketiga di atas
lingkaran relung-relung. Sebagaimana yang telah kita bahas sebelumnya,
tubuh candi dari tingkat berikutnya menyeruak dari dalam setiap rangkaian
horizontal dari genta-genta ini. Rangkaian terakhir melingkari genta utama
(lihat Foto 34).
Malah lingkaran relung-relung terdiri atas beberapa parallelepipeon di
atas penampil-penampil dan kubus-kubus di atas sudut-sudut yang
sebenarnya. Di sepanjang sisi-sisi dari blok-blok ini ditempatkan relungrelung di atas penampil 2-3-2, di atas sudut-sudut yang sebenarnya 1-1,
seluruhnya 36 buah. Tidak ada jejak apa pun menyangkut arca-arca yang
menurut bentuk lekukan pada relung-relung tersebut pernah ditempatkan di
sana. Di antara relung-relung itu terdapat panel-panel dengan hiasan berupa
pahatan berbentuk mawar-wajik. Walaupun berbagai parallelepipeon dan
kubus-kubus tadi didirikan sebagai wujud satuan tersendiri oleh sebuah
bagian yang menyurut pada pinggiran penampil dan bentuk persegi
36
Salah satu uraian tentangnya adalah karya Van der Hoop, Inonesische siermotieven
(194), pl. XXXIV, kanan bawah motif pahatan dari Candi Sewu.
297
Bdk. denah yang dibuat Profesor Van Romondt dalam Kalasan an Sari, gbr. 3.
38 Lihat denah pemugaran (ibidem, sebelah belakang) yang dibuat Bagian Arsitektur Dinas
Purbakala.
298
Prambanan 1954
299
Selogriyo (R.O.C. 1912, hlm. 89, pl. 23) menjalankan fungsi yang sama? Batu kenong
(batu-batu berbentuk alat musik kenong) yang diketahui dari situs-situs lain adalah alas
tiang untuk pemukiman di atas pancang-pancang.
40 Krom, Inleiing I, hlm. 153, 488.
300
Prambanan 1954
O.V. 1931-1935, gbr. 9; 1936, hlm. 8 dan gbr. 4. Foto O.D. 11401 dan 11786. Krom,
Jaarboek Kon. Aka. Wet. 1939-1940 menyiratkan kemungkinan bahwa pancangpancang dari batu-batu kali ini adalah sisa-sisa dari kuil berteras kuno Indonesia pada
situs tersebut. Saya kira tidak demikianlah adanya.
301
berisikan tiga potong benda yang ditempatkan satu di atas yang lain. Isi dari
peti itu belum diteliti.
Kini pekerjaan pemugaran sedang dilangsungkan pada candi perwara di
sudut timur laut. Yang mencolok dari candi ini, dan malah untuk semua
candi perwara yang terdapat di semua sudut lapangan persegi itu, ialah
bahwa terdapat dua tangga dan dua pintu masuk ke bilik candi.
Tampaknya bahwa pembangunan salah satu dari candi-candi perwara itu
tidak pernah berhasil dituntaskan; para tukang tidak maju lebih jauh daripada
permulaan atap.
Pekerjaan atas candi-candi perwara ini memperlihatkan bahwa
penelitian tentang dan pemugaran terhadap Prambanan sama sekali tidak
berhenti. Malah justru sebaliknya yang benar, dan Dinas Purbakala sedang
melaksanakan berbagai kegiatannya dengan penuh semangat di lain tempat
juga. Siapa pun yang bertanya-tanya tentang apa yang terjadi dengan
perancah raksasa di Candi iva itu tidak perlu pergi jauh-jauh untuk melihat
bahwa apa yang masih dapat digunakan kini sekali lagi terbukti manfaatnya.
Setelah menuntaskan pelayanannya di Prambanan sejak tahun 1937, tiangtiang jati yang berat itu kini berdiri di sebelah selatan candi induk di Plaosan
yang, sama seperti Candi iva, akan dipugar kembali secara tuntas dalam
masa depan yang tidak terlalu lama lagi.
302
Lampiran
Prambanan 1995: Dikokohkannya Sebuah Hipotesis42
Dalam rangka penerbitan buku tentang Candi Loro Jonggrang ini, Roy Jordaan
mengadakan sebuah kunjungan singkat ke Jawa Tengah, dengan sokongan
hibah perjalanan IIAS [International Institute of Asian Studies, di Leiden], guna
memastikan keadaan terkini pemugaran kompleks percandian Hindu-Jawa itu.
Beberapa dari penemuan-penemuannya disajikan di bawah ini.
Hal pertama yang mesti dilaporkan ialah pemugaran tiga buah candi, yaitu
Candi A, Candi Nandi dan Candi B, yang berdiri berhadapan dengan candi
induk [lihat denah], dan sering kali secara salah disebut candi wahana atau
candi-candi vhana. Pemugaran candi-candi ini dimulai pada tahun 1991,
persis sebelum saya meninggalkan Indonesia, dan diselesaikan pada tahun
1994. Di sini bukanlah tempatnya untuk menjelaskan bentuk lahiriah dari
candi-candi yang dipugar itu, yang keindahannya dapat dikagumi dan dikaji
secara terperinci oleh setiap pengunjung. Sebaliknya, saya ingin
menjuruskan perhatian pada fakta yang jarang diketahui, yaitu bahwa dalam
kerangka kerja pemugaran, Dinas Purbakala Indonesia telah melakukan
sebuah kajian yang terperinci mengenai fondasi Candi Nandi dengan
mempreteli seluruh candi ini hingga ke batu yang paling akhir. Sasaran dari
kegiatan ini ialah untuk menjelaskan komposisi serta struktur fondasi
sebelum candi itu dipugar secara definitif. Selama berlangsungnya kegiatan
ini muncul beberapa hal menarik, seperti sisa-sisa dari apa yang disebut
benda-benda ritual yang dipendam (ritual eposits). Selanjutnya dipastikan
bahwa Candi Nandi (kemungkinan begitu pula dengan semua candi lain di
halaman pusat) dibangun secara kokoh di tanah, atau katakanlah,
dijangkarkan (lihat di bawah), oleh karena fondasi yang tidak kelihatan itu
dibangun dari sebuah lapisan antrasit dan bebatuan kali berukuran besar
setebal 3 meter. Lapisan ini pada gilirannya berada di atas sebuah lapisan
tebal lain berupa blok-blok batu gamping (batu kapur)
42 Laporan singkat ini pernah dimuat dalam IIAS Newsletter 6 (1995): 37, dalam bahasa
Inggeris dengan judul Prambanan 1995: A hypothesis confirmed.
303
Memuji Prambanan
setebal kira-kira 6 meter, yang ditempatkan secara rapi satu di atas yang lain
(percakapan pribadi dengan Drs. Bambang Prasetya Wahyuhono).
Berdasarkan hasil-hasil analisis stratigrafis atas tanah di sekitar Candi
Nandi dan di tempat-tempat lain, maka dapatlah dicatat bahwa profil tanah
di halaman candi ditata sedemikian rupa sehingga berganti-ganti ditemukan
berbagai jenis lapisan tanah dan bahan-bahan lainnya, semisal pasir, tanah
liat, kerikil, serta bebatuan kali baik yang berukuran besar maupun kecil.
Bertentangan dengan pendapat Krom (1923:451), tanah setempat tidak
mengandung pasir yang mudah dirembesi air. Sebaliknya, berdasarkan
struktur khusus tanah di halaman candi pusat, keteresapan air nyaris nol. Hal
ini tentu saja benar menyangkut lapisan paling atas yang, karena secara
intensif diinjak-injak dan ditimbuni oleh bahan-bahan bangunan, mesti telah
sedemikian melorot/merosot sejak permulaan pembangunan pada
penghujung abad ke-8 hingga permulaan abad ke-9, sehingga terbentuklah
apa yang disebut permukaan mati atau tertutup (slaking surface atau sealing
surface) yang hampir mustahil ditembusi air (percakapan pribadi dengan Dr.
W. Hoogmoed, pakar penggarapan tanah, Universitas Wageningen). Hal ini
didukung oleh pengamatan Soekmono (1985:688) yaitu bahwa tanah
berpasir halus itu sesungguhnya adalah lumpur kering.
Data-data ini sudah memadai untuk menjelaskan minimnya drainase
pada halaman candi pusat (sebuah persoalan yang sudah disinggung dalam
berbagai laporan arkeologis dari masa kolonial), dan menjadi alasan di balik
diambilnya langkah-langkah yang sangat ketat oleh Dinas Purbakala
Indonesia guna memperbaiki saluran air di halaman candi pusat. Langkahlangkah ini terbukti jauh lebih ekstensif daripada beberapa selokan yang
digali secara manual yang saya temukan di bagian barat halaman candi pada
tahun 1991. Tidak kurang dari 20 lubang drainase beton yang dilibatkan di
sini, dan disebarkan di seantero halaman pusat. Dari beberapa perbincangan
dengan para pejabat yang terlibat secara langsung, dan dari sebuah laporan
yang tidak diterbitkan berjudul Laporan pembenahan halaman pusat Candi
Prambanan (1993), tampaknya bahwa lubang-lubang drainase tersebut
dihubungkan satu sama lain dengan sebuah sistem drainase berupa jalur pipa
pralon yang dibangun di bawah tanah. Lebih dari itu, di sekitar masingmasing candi di halaman pusat telah digali sebuah selokan yang diisi dengan
sebuah lapisan kerikil. Selokan-selokan ini juga dihubungkan dengan
lubang-lubang drainase tadi.
304
Lampiran
Walaupun dapat dimaklumi, dan sampai pada taraf tertentu dapat dibela,
namun langkah-langkah tersebut terbuka untuk dibahas dan dikritik dari sisi
tilik ilmiah tertentu, oleh karena pertanyaan menyangkut alasan yang
mendasari masalah-masalah drainase di halaman candi pusat tidak pernah
diajukan. Haruskah kita mengandaikan, sebagaimana yang lazimnya dibuat,
bahwa hal itu bersangkut paut dengan kelemahan atau kesalahan desain yang
dilakukan oleh para arsitek Hindu-Jawa pada dahulu kala, atau
sesungguhnya para arsitek ini benar-benar bermaksud agar halaman candi
pusat itu diisi dengan air, yang dilandaskan pada berbagai pertimbangan
yang tidak sepenuhnya dipahami, atau tidak kita diindahkan sepenuhnya.
Sudah selama beberapa tahun saya telah berupaya menunjukkan bahwa yang
benar adalah pengandaian terakhir (Jordaan 1989; 1991).
Sebagai ikhtisar singkat, saya berpendapat bahwa menyangkut
pemahaman mereka tentang kompleks percandian itu, para arsitek tadi ingin
memberi bentuk nyata pada sebuah mitos Hindu tentang Pengadukan Lautan
Susu yang, sebagaimana diketahui, merupakan asal-usul dari amerta, air
suci. Berlandas pada mitos ini, maka kompleks percandian itu dibangun
sedemikian rupa sehingga halaman candi pusat bisa dibanjiri air pada harihari pesta keagamaan tertentu, dan berfungsi sebagai sebuah kolam (tandon)
atau waduk untuk air suci yang diadakan oleh para pedanda dalam sebuah
upacara khusus di candi.
Menggenangi halaman tersebut dengan air membawa saya ke persoalan
tentang pasokan air, sebuah masalah yang sampai sekarang cuma bisa
ditebak. Namun tampaknya bahwa sebuah jawaban yang memuaskan telah
berhasil ditemukan. Ketika mengumpulkan foto-foto dan berbagai ilustrasi
untuk buku saya yang diterbitkan, saya memperoleh kesempatan untuk
mengacu pada bagian kedua karya IJzerman berjudul Beschrijving er
ouheen..., apa yang disebut Atlas, yang tidak berhasil saya rujuk
sebelumnya [yaitu selama saya tinggal di Indonesia]. Pada Pelat XVII, gbr.
67, terdapat sebuah garis (yang bersepadanan dengan garis titik-titik pada
denah) yang menunjukkan sebuah jalur pipa saluran air bawah tanah yang
terbuat dari batu: berawal dari bagian utara tembok ketiga, jalur itu
mengarah langsung masuk ke dalam dan keluar lagi dari kompleks
percandian tersebut, dan alurnya benar-benar mengikuti kontur halaman
candi pusat, khususnya di bawah deretan keempat candi-candi perwara yang
kini telah musnah. Alur pipa saluran air itu niscaya mesti
305
Memuji Prambanan
dilandaskan pada berbagai pertimbangan teknis, berkaitan dengan usahausaha menjamin pengaliran air, yang dialihkan dari sungai pada titik yang
lebih tinggi. Pengaliran air ini tidak dapat dipertahankan di halaman pusat,
yang dibangun sebagai sebuah teras yang ditinggikan. Foto-foto lama
tentang talang dari batu serta sebuah erong-erong yang berkaitan dengannya,
yang ditemukan dalam berbagai arsip Dinas Purbakala (lihat foto OD no.
7760 dan foto OD no. 11403-11404) yang, karena minimnya informasi
dalam laporan yang menyertainya (Oudheidkundig Verslag 1931-1935),
tidak dapat dirujuk sebelumnya, memberi kesan yang baik tentang ukuran
pipa saluran air di Prambanan itu. Bagaimanapun juga erong-erongnya
cukup luas bagi seorang dewasa untuk berdiri di dalamnya sampai pada
ketinggian pinggang, suatu hal yang menyiratkan bahwa niscaya cukup
gampang untuk menaikkan air dari sungai pada titik-titik ini, dan
memikulnya ke teras tadi. Informasi baru mengenai jalur bawah tanah dari
pipa saluran air itu, demikian pula menyangkut struktur khas tanah di
halaman candi pusat, mengokohkan hipotesis bahwa Prambanan dipikirkan,
dirancang dan dibangun sebagai sebuah kuil air suci (holy water
sanctuary). Maka secara arsitektural, Candi Prambanan tak kurang
menakjubkannya daripada Candi Borobudur.
306
Daftar kata
dibuddha
dipurus a
gama
aks ml
malaka
amr ta
amr tamanthana
aga
agahra
ajalimudr
apsara
arkitraf
sana
as t adikpla
Asura
avadna
avatra
Bhairava
307
Memuji Prambanan
bingkai mahkota pelipit yang paling atas tiap bagian candi dan yang
letaknya paling menjorok ke luar (bhs. Inggris cornice,
bhs. Belanda kroonlijst)
bodhisattava
calon Buddha; makhluk yang akan menjadi tercerahkan
sepenuhnya atau memiliki bohi (pencerahan)
caitya
kuil, bangunan peringatan, monumen makam
cakra
roda/jantera atau senjata berbentuk bundar dan tajam
cmara
alat pengusir lalat
Can d /Can d
salah satu nama dari Mahis suramardin
candi
istilah Jawa untuk sebuah kuil Hindu-Buddhis; puingpuing reruntuhan pra-Islam
culik
(korban) penculikan untuk tujuan dipersembahkan
sebagai kurban
d kin
makhluk bengis, setengah-dewa dalam tantrisme Hindu
dan Buddhis, dan juga dalam cerita rakyat
dharma
sokoguru, penyangga, prinsip, hukum moral: ajaran
Buddhis
dhynibuddha
julukan untuk makhluk yang tercerahkan secara
sempurna, dalam teks-teks Buddhis dirujuk sebagai
kaum Tathgata atau Jina
dikpla
penjaga mata angin
dvpara
lihat yuga
dvrapla
penjaga pintu, arca besar penjaga pintu yang diletakkan
pada gapura candi
gan a
kelompok makhluk setengah-dewa; para abdi/pelayan
iva
gandharva
anggota paduan suara kayangan
gr ha
rumah, seperti dalam sebutan Majugr ha dan
ivagr ha
guru
pengajar, pembimbing rohani
hikayat
jenis sastra Melayu
jtaka
kisah tentang kelahiran terdahulu dari seorang Buddha
jat makut a
sejenis mahkota
kakawin
jenis sastra Jawa Kuno
kla
waktu, maut, hitam; sebuah hiasan mencolok dalam
bentuk satu kepala rksasa
dalam arsitektur candi Jawa
308
Daftar kata
kalpa
kalpataru
kapla
karan a
kaustubha
kelir
keraton
kinnara
koeksistensi
kr ishna (paks a )
kudu
lakon
laks an a
lin ga
lokapla
Mahyna
makara
makut a
man d ala
mantra
mudr
muni
nd
nga
Nt yastra
padma
paks a
perputaran/peredaran waktu
pohon permohonan/pengharapan
tengkorak; cangkir tengkorak; mangkok tengkorak
istilah teknis dalam tarian India
mutiara, permata gaib
layar dalam sebuah pertunjukan wayang
istana, tempat tinggal raja
makhluk dongeng setengah-dewa
hidup berdampingan secara rukun
gelap, paruh gelap peredaran bulan dari purnama
hingga bulan baru
lengkungan hias berbentuk sepatu kuda/ladam acapkali
berisikan gambar sebuah kepala
karya dramatik Jawa
tanda tentang nasib baik, tanda yang menguntungkan
tanda, ciri khas; lambang kelamin iva
penjaga mata angin
Wahana Agung, merujuk pada sebuah bentuk
terkembangkan dari Buddhisme di mana Buddha dan
para bohisattava disembah sebagai para dewata
binatang air mitologis; sebuah hiasan yang mencolok
dalam arsitektur Hindu-Buddha di Asia Selatan dan
Asia Tenggara
mahkota
peranti peribadatan atau meditasi, misalnya sebuah
diagram, lingkaran, denah atau rancangan bangunan
keramat
rumusan gaib atau jampi-jampi
sikap tangan
orang kudus, petapa
akar umbi, batang/tangkai; urat atau pembuluh darah;
ukuran waktu
ular raksasa dari dunia dongeng
ilmu tentang tarian
jenis teratai
paruh peredaran bulan (paksa krishna
dan paksa ukla)
30
9
Memuji Prambanan
pacakuika
31
0
Daftar kata
ikhara
sila
ilpastra
ilpin
rvatsa
stpa
stpi(ka)
ukla (paks a )
sryasavena
svastika
tamas
tambak/tamwak
Tn d ava
tantra
Tantrisme
tapas
trtha
Trimrti
Triratna
311
Memuji Prambanan
trila
upga
Upanis ad
upavta
utpala
vhana
vajra
Vajrayna
vara(da)mudr
vstupurus a
Veda
Vedavysa
vidydhara/
vidydhari
wayang
wayang kulit
yaks a
yoga
312
Daftar kata
yogi
yoni
yuga
313
Daftar pustaka
Aichele, W.
1969
Amerta
1952
Annual Report
1911
Anom, I.G.N.
1991
[1992]
[1993]
Auboyer, J.
1951
Ayatrohaedi et al.
1981
Bastin, J.
1953
Baumgartner, A.
1894
Behrend, Timothy
1989
Kraton and cosmos in traditional Java, Archipel 37:173-87.
Bernet Kempers, A.J.
1949
De oudheidkundige dienst in en na de oorlog, Tijschrift voor
Inische Taal-, Lan- en Volkenkune (TBG) 83:286-300.
1954
Oudheidkundig werk in Indonesi na de oorlog, Inonesi 7:481513.
1955a
Bali Purbakala; Petunjuk tentang peninggalan2 purbakala i Bali.
Djakarta: Penerbitan dan Balai Buku Indonesia. [Seri Tjandi 2.]
[Cetakan ulang 1960, Djakarta: Ichtiar.]
1955b
Prambanan, 1954, Bijragen tot e Taal-, Lan- en Volkenkune
111: 6-37.
1959
Ancient Inonesian art. Amsterdam: Van der Peet.
314
1978
31
5
Memuji Prambanan
1928
1929a
1929b
1939
1946
1952
1954
1958
1959
1961a
1961b
Braginsky, V.I.
1983
1993
Brandes, J.
1904
Brockington, J.L.
1984
Bronson, Bennet
1977
Brumund, J.F.G.
1853-54
1868
De inscriptie van Kloerak, Tijschrift voor Inische Taal-, Lanen Volkenkune (TBG) 68:1-65.
[Resensi:] W.F. Stutterheim; A Javanese period in Sumatran
history, Surakarta: 1929, Tijschrift voor Inische Taal-, Lan- en
Volkenkune (TBG) 69:135-56.
Buddhistische gegevens uit Balische handschriften, Meeeelingen
van e Koninklijke Neerlanse Akaemie van Wetenschappen 68:4377.
De relifreeks aan de voorzijde der eerste balustrade van
Baraboedoer, dalam: Verslag van het Negene Congres van het
Oostersch Genootschap, hlm. 31-2. Leiden: Brill.
Het vraagstuk van e Hinoe-kolonisatie van en archipel. Leiden:
Stenfort Kroese. [Pidato pengukuhan.]
Local genius en Oud-Javaanse kunst, Meeeelingen er
Koninklijke Akaemie van Wetenschappen, Afeling Letterkune 151:1-26.
Uit de grensgebieden tussen Indische invloedsfeer en oud-inheems
volksgeloof op Java, Bijragen tot e Taal-, Lan- en Volkenkune
110:1-19.
[Resensi:] J.G. de Casparis, Prasasti Indonesia II, Bandung, 1956,
Bijragen tot e Taal-, Lan- en Volkenkune 114:306-19.
On some groups of Yaks a figures in Indonesian and Khmer art,
Artibus Asi 22:227-39.
[Resensi:] Alastair Lamb, Chandi Bukit Batu Pahat; Idem: Chandi
Bukit Batu Pahat; Three additional notes, Bijragen tot e Taal-,
Lan- en Volkenkune 117:485-91.
The problem of the Hindu colonisation of Indonesia [Terjemahan
pidato pengukuhan pada tahun 1946], dalam: Selecte Stuies in
Inonesian archeology, hlm. 3-23. The Hague: Nijhoff. [KITLV,
Translation Series 5.].
Istorya Malayskoy literartury VII-XIX Vekov (Sebuah sejarah
kesusastraan Melayu aba ke-7 sampai aba ke-9). Moskva: Nauka.
The system of classical Malay literature. Leiden: KITLV Press.
[Working Papers 11.]
De waarde van tjandi Prambanan tegenover de andere oudheden
van Java, en een hartig woord over de deblayeering, Tijschrift voor
Inische Taal-, Lan- en Volkenkune (TBG) 47:414-32.
Righteous Rma, the evolution of an epic. Delhi: Oxford University
Press.
Angkor, Anuradhapura, Prambanan, Tikal: Maya subsistence in
Asian perspective, dalam: P.D. Harrison dan B.L. Turner (ed.), PreHispanic Maya agriculture, hlm. 255-300. Albuquerque: University
of New Mexico.
Iniana; Verzameling van stukken van onerscheien aar, over
lanen, volken, ouheen en geschieenis van en Inischen archipel.
Amsterdam: Van Kampen. 2 jilid.
Bijdrage tot de kennis van het hindoesme op Java, Verhanelingen
van het Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen
33:1-310.
316
Daftar pustaka
Casparis, J.G. de
1950
1956
1958
1964
Chandra, Lokesh
1967
1986
1989
1970
31
7
Memuji Prambanan
31
8
Daftar pustaka
Ensink, J.
1978
1917
1921
1923
1926
1927
1931
1943a
1943b
1943c
Fontein, Jan
1989
1990
1997
Friederich, R.
1854-57
31
9
Memuji Prambanan
1876
Garbe, R.
1917
320
Daftar pustaka
Hoepermans, N.W.
1914
Hovell, W.R. van,
1849
Holt, Claire
1967
Huntington, S.L.
1985
Jahn, W.
1908
Jochim, E.F.
1913
Jordaan, Roy E.
1989
1991a
1991b
1991c
1992
1993
1995
321
Memuji Prambanan
Kats, J.
1910
1925
Kern, H.
1888
1916
1917
Khanna, Amar Nath
1992
Kramrisch, Stella
1946
1976
Krom, N.J.
1920
1923a
1923b
1924
1927
1931a
32
2
Daftar pustaka
323
Memuji Prambanan
Lorenzen, David N.
1972
1989
Lulius van Goor, M.
1919
1929
Mabbett, I.W.
1982
Mackenzie, C.
1814
Korte gis voor tempelbouwvallen in e Prambanan-vlakte, het Dingplateau en Geong Sanga. Weltevreden: Landsdrukkerij. Prambanan,
dalam: Fourth Pacific Science Congress, Java 1929; Excursion guies.
Buitenzorg: Archipel. [Diterjemahkan dari bahasa Belanda oleh H.S.
Banner.]
A sketch of Mount Meru. Makalah yang disiapkan untuk Asosiasi
Studi Asia di Australia, Konferensi Nasional IV, Monash University
10-14 Mei.
1924
1953
Moertjipto et al.
1991
324
Daftar pustaka
Monier-Williams, M.
1986
Mus, P.
1935
1956
1966
325
Memuji Prambanan
Rassers, W.H.
1922
Raffles, Th. S.
1817
The history of Java. London: Black, Parbury and Allen. 2 jilid.
Raghu Vira and Chikyo Yamamoto
1938
Rmyan a in China. Nagpur: International Academy of Indian
Culture. [Sarasvati Vihara Series 8.]
Rapporten Ouheikunige Commissie
1902-1912
Rapporten Ouheikunige Commissie van Neerlansch-Ini voor
ouheikunig onerzoek op Java en Maoera. Batavia: Albrecht.
[Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen.]
Rapporten Ouheikunige Dienst
1912-1915
Rapporten Ouheikunige Dienst in Neerlansch-Ini. Batavia:
Albrecht, s-Gravenhage: Nijhoff.
De Panji-roman. Antwerpen: De Vos van Kleef. [Tesis PhD
Rijksuniversiteit Leiden.]
Raychaudhuri, Hemacandra
1920
Materials for the stuy of the early history of the Vaishnava sect.
Calcutta: University of Calcutta. [Dicetak ulang 1975, New Delhi:
Oriental Books Reprint Corporation.]
Reynolds, Frank E.
1991
Rmyan a, Rm Jtaka, and Ramakien; A comparative study of
Hindu and Buddhists traditions, dalam: P. Richman (ed.), Many
Rmyan as; The iversity of a narrative traition in South Asia, hlm.
50-63, Berkeley: University of California Press.
Riederer, Josef
1994
The goldsmiths techniques, dalam: W.H. Kal (ed.). Ol Javanese
gol (4th-15th century): an archaeometrical approach, hlm. 46-58.
Amsterdam: KIT-Tropenmuseum.
Romondt. V.R. van
1940
De wederopbouw van den iwa-tempel te Prambanan, Djw
20:234-40.
1952
Pekerjaan membina kembali Candi Prambanan, Amerta; Berkala
Arkeologi 1:37-43. [Dicetak ulang 1985.]
1954
Een tempel komt tevoorschijn, Orintatie 46:665-73.
Rouffaer, G.P.
1918
Oudheidkundige opmerkingen, Bijragen tot e Taal-, Lan-en
Volkenkune 74:138-66.
Rowland, B.
1953
The art an architecture of Inia; Buhist, Hinu, Jain. Baltimore:
Penguin.
Saher, E.A. von
1900
De versierene kunsten in Neerlansch Oost-Ini; Eenige Hinoe-
Santiko, Hariani
1987
1990
Santoso, Soewito
1963
1980
326
Daftar pustaka
1986
Saraswati, S.K.
1962
Sarkar, H.B.
1937
1967
1972
1985
1989
Sarkar, S.C.
1990
Scheltema, J.F. 1912
Schlagintweit, E. de
1881
32
7
Memuji Prambanan
Snodgrass, A.
1985
Soebadio, Haryati
1971
Soediman
1969
Soehamir
1948
1950
Soekmono, R.
1965
1967
1974
1979
1985
1993
Soenarto, Th.A.
1991
Stargardt, Janice
1992
32
8
Daftar pustaka
32
9
Memuji Prambanan
1977
Teeuw, A.
1990
Teeuw, A. et al.
1969
Temu
1993
Tonnet, M.
1908
Treloar, F.E.
1972
Tuuk, H.N. van der
1897-1912
Verslag
1926
Verslag Congres
1921-39
Verwey, A.H.N.
1962
Vogel, J. Ph.
1911
1921
Vogler, E.B.
1949
1953
Voordracht
1925
Voorhoeve, P.
1958
Walker, B.
1968
Wayman, Alex
1987
330
Daftar pustaka
Wessing, R.
1991
Williams, J.
1981
Wilson, H.H.
1840
Winter, C.F.
1839
331
Indeks
Abhayagiri, vihra 30
Aceh 100
dibuddha 35, 129, 307
gama 103, 141
Agastya 8, 106, 108, 109, 110, 115, 140,
200, 201, 212, 213, 216, 217
Aichele, W. 54-55, 63
air suci 68, 72, 74, 75, 84, 126, 233, 305,
306, 307, 311
amrta
67, 76, 192, 193, 307
amrtamanthana
307 Angkor
Vat 127
ajalimur 113, 307
Anom, I.G.N. 314
ast aikpla
65, 94, 121, 138, 139, 140, 307
Bhattikvya
xviii, 39, 133
Candi (nama)
A 10, 179, 215, 217, 219, 267, 291, 306
Apit 10, 120, 146, 211, 219, 268-270,
271, 272-273, 281-282, 288, 289,
291, 292, 295, 296, 297, 298, 303,
304
B 10, 24, 99, 180, 209, 215, 219, 220,
267, 291, 306
33
2
Indeks
Badut 217
Bima 286-287
Gebang 275
Ijo 217
Jawi 297
Kalasan 27, 127, 154, 282, 289, 292, 299,
301
kelir 6, 22, 93
Kidul 268
Merak 217
Nandi 10, 24, 89, 90, 99, 178, 180, 209
perwara 3, 10, 23, 33, 217, 261
Pawon 238
Plaosan 11, 52, 53-54, 56, 61, 106, 109,
113, 155-156, 295, 300, 302, 317,
327
Sambisari 62, 100, 113, 156
Sari 153, 291, 295
Sewu 11-12, 17-18, 41-42, 44, 45, 54,
56-57, 59, 61, 62, 101, 103, 112-116,
118, 126, 129, 131, 140-141, 143,
144, 151, 153-156, 202, 218, 265,
267, 272, 286, 295, 297, 314, 318
Sojiwan 11, 54, 91, 98-100, 103, 114
Sumbernanas 217
Wukir 268
Candra 10, 102, 206, 233
Casparis, J.G. de 17, 29, 32, 52-56, 62
Champa 103
Chandra, Lokesh 30, 64, 94-95, 140
Cina 30, 50, 95, 100, 135, 166, 180
Coeds, G. 20, 30
Cohn, W. 280
Colebrooke, H.T. 49, 96, 181
Coleman, Ch. 63, 96, 181
Coomaraswamy, Ananda K. 131, 282
cosmicization 74
Cowell, E.B. 135
Crawfurd, J. 12, 17-18, 31, 35
dekadensi 36, 43
desain 25, 61, 62, 73, 85, 87, 93, 103, 104,
137, 151, 286, 305
di bawah tanah viii, 77, 84, 301, 304
Dhring, K. 234
drainase 21, 24, 25, 69, 71, 84, 170, 172,
203, 289, 304-305
Drewes, G.W.J. 318
Friederich, R.
62
110
333
Memuji Prambanan
India 39, 40, 47-48, 57, 58, 60, 85, 88, 90,
91, 93, 95, 96, 100, 103, 107-108,
113, 121, 123, 126, 128, 134, 137,
141, 143, 145, 158, 176, 179, 180,
181, 184, 186, 191-192, 194, 196,
197, 199, 207, 218, 221-222, 231233, 265, 278, 280-285, 290, 292,
295, 307, 309, 310-312
Institut Jawa 41-42, 44
334
Indeks
perwara ix, 3, 10, 19, 23, 26, 33, 64, 72, 88,
93, 99, 104-106, 114, 121, 177, 213,
258, 266, 267, 271, 272, 276, 288,
292, 293, 295, 301, 302, 305
Pitono Hardjowardojo 14, 88
Poerbatjaraka, Lesya 63, 66, 68, 77, 107,
217
Pott, P.H. 56-57, 96, 115, 156
praaks in 124, 146, 200, 211
Prambanan
nama 11-12
motif 147, 149, 151, 276 289, 286
pripih 161, 163, 166, 179
335
Memuji Prambanan
Saraswati, S.K. 58
Sari 11, 153, 279, 280, 284, 289, 291, 295,
298, 315
Sarkar, H.B. 58-59, 94
Sarkar, S.C. 135
Scheltema, J.F. 14, 40, 65, 69
Schlagintweit, E. de 180
Schlegel, A.G. von 188
Schnitger, F.M. 96
Sedyawati, Edi 61, 102, 106-107, 119, 140,
146
sekte v, 13, 84, 86, 94, 95, 96, 100, 101,
103, 141, 162, 181, 232, 233, 310
Siam, Thailand 234
sihaytra 72-73, 310
ilpastra 85-86, 90, 94, 103, 108, 111,
121, 126, 311
sinkretisme 116, 322
iva
arca 35, 50, 91, 113, 119, 161, 166, 206,
211-212, 216, 264-265, 286, 294
candi 6-8, 15-16, 21-24, 31, 37, 54, 59, 63,
65-66, 70, 78-84, 87, 89, 91, 102, 104,
108, 110-111, 119, 121-122, 125-126,
128, 131-132, 135-137, 141
Mahdeva ix, 6, 8, 35, 50, 89, 111, 119,
161, 164, 200, 203, 204, 215, 217,
260
Mahyogi 214, 215, 216, 217
racun 67
relief 24, 102
ivagrha
32, 33, 60
iwartrikalpa 76, 77, 330
Smith, V.A. 197
Snodgrass, A. 62
Soebadio, Haryati 59-60
Soehamir 138, 264, 291
Soekarto 61
Soekmono, R. 28, 52, 54, 64, 69, 99, 104,
304
Soenarto, Th.A. 24, 120, 131
Sojiwan 11, 54, 90, 98, 99, 100, 102, 113,
155, 156
Sono Budoyo 264
r Kahulunan 56
Sri Lanka 281
rvijaya 30, 39, 40, 48, 59, 96, 331
Stargardt, J. 68
Stein Callenfels, P.V. van 20, 123, 131,
136, 187
Stencel, R. 127
Stutley, M. dan J. 121
Stutterheim, W.F. xiv, 3, 27-28, 38-41, 4752, 60
Sugianti, Sri 131
Suleiman, Satyawati 54
Sumatra 30, 38-39, 42, 48, 102, 134, 180,
233, 319, 320, 324
Sumbernanas 213
Srya 10, 102, 138-140, 176, 206, 232233, 321
Sutasoma 35
336
Indeks
Zieseniss, A. 122
Zoetmulder, P.J. 12, 74, 76
337