Anda di halaman 1dari 368

See discussions, stats, and author profiles for this publication at:

https://www.researchgate.net/publication/281743029

Memuji Prambanan; Bunga


rampai cendekiawan Belanda
tentang kompleks percandian
Loro Jonggrang
BOOK JANUARY 2009

READS

24
1 AUTHOR:
Roy Edward Jordaan
53 PUBLICATIONS 43 CITATIONS
SEE PROFILE

Available from: Roy Edward Jordaan


Retrieved on: 04 March 2016

MEMUJI PRAMBANAN

Bunga rampai para cendekiawan Belanda tentang


kompleks percandian Loro Jonggrang

kenyataan selalu mendahului apa yang dapat kita bayangkan

Paul Auster

Memuji Prambanan
Bunga Rampai Para Cendekiawan Belanda
Tentang Kompleks Percandian
Loro Jonggrang

Editor:
Roy Jordaan

Jakarta, 2009

Memuji Prambanan: Bunga rampai para cendekiawan Belanda tentang


kompleks percandian Loro Jonggrang / Editor: Roy Jordaan; alih bahasa:
Yosef Maria Florisan. - Jakarta: Yayasan Obor Indonesia; KITLV-Jakarta, 2009
xviii + 337 hlm.: 16 x 24 cm
ISBN 978-979-461-679-6

Judul asli:
In praise of Prambanan; Dutch essays on the Loro Jonggrang temple complex
Leiden: KITLV Press, 1996
1996 Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde

Hak cipta dilindungi oleh Undang-Undang


All rights reserved

Alih bahasa: Yosef Maria Florisan


Desain sampul: Adjie Soeroso
Foto sampul: Piet Holthuis
Edisi pertama: Februari 2009
YOI: 602.26.25.2008
Yayasan Obor Indonesia
Jl. Plaju No. 10 Jakarta 10230
Telepon: 021-31926978, 3920114
Faksimile: 021-31924488
E-mail: yayasan_obor@cbn.net.id
http://www.obor.or.id
KITLV-Jakarta
Jl. Prapanca Raya 95 A
Jakarta 12150
Telepon: 021-7399501
Faksimile: 021-7399502
E-mail: jkt@kitlv.nl
http://www.kitlv.nl

iv

Daftar isi

Daftar gambar

vii

Daftar foto

viii

Kata pengantar
Catatan tentang ejaan dan perincian penyuntingan
Daftar singkatan

xi
xvi
xviii

Bagian satu
Roy Jordaan
Candi Prambanan: Sebuah Pendahuluan Mutakhir
3
1. Catatan pendahuluan
3
2. Nama dan cerita rakyat
11
3. Penemuan, penggalian, dan pemugaran
17
4. Lokasi candi dari perspektif historis-budaya
25
5.Penanggalan kompleks percandian: merunut kembali sejarahnya 31
6. Tentang para pendiri, gaya seni, dan teori-teori arkeologis
34
7. Mitos Gunung Meru dan Pengadukan Lautan Susu
62
8. Desain, makna serta persangkutan sekte-sekte Tantrik
84
9. Arca-arca
108
10. Relief-relief
121
11. Beberapa kesimpulan umum
155

Bagian dua
J.W. Ijzerman
Perigi-perigi candi di Prambanan

161

J.Ph. Vogel
Relief Rma Prambanan yang pertama

183

N.J. Krom
Arca-arca Prambanan

200

F.D.K. Bosch
Dewa Brahm dikelilingi oleh mahars i

208

B. de Haan
Candi A dan Candi B

211

W.F. Stutterheim
Susunan relief-relief Rma di Candi Loro Jonggrang
dan perlintasan matahari

218

V.R. van Romondt


Pemugaran Candi iva di Prambanan

235

A.J. Bernet Kempers


Prambanan 1954

263

Lampiran

303

Daftar kata

307

Daftar pustaka

314

Indeks

332

vi

Daftar gambar
Gambar
Gambar
Gambar
Gambar
Gambar

1 Peta Indonesia dan peta Jawa Tengah


2 Denah kompleks percandian Prambanan
3 Denah ikonografis Candi iva
4 Peta situasi letak candi-candi di dataran Prambanan
5 Puing-puing reruntuhan Candi iva di Prambanan
pada permulaan abad ke-19
Gambar 6 Saluran-saluran drainase terkini di kawasan candi
induk
Gambar 7 Sketsa OD yang menunjukkan pusat geometris
kompleks percandian
Gambar 8 Diagram lingkaran dengan nama-nama lokapla
dan para pengiring mereka yang belum diketahui
identitasnya
Gambar 9 Gambar-gambar penggalian Candi iva oleh IJzer
man
Gambar 10 Gambar-gambar penggalian yang memperlihatkan
pelat-pelat dan bertulis yang terbuat dari emas kerajang
yang ditemukan di perigi Candi iva
Gambar 11 Gambar-gambar penggalian yang memperlihatkan
ukiran-ukiran kepingan-kepingan kertas emas yang
ditemukan di perigi Candi iva
Gambar 12 Gambar-gambar penggalian yang memperlihatkan
ukiran-ukiran kepingan-kepingan kertas emas yang
ditemukan di perigi Candi Vis n u
Gambar 13 Susunan panteon pada sebuah candi yang berdiri
sendiri
Gambar 14 Denah kompleks Candi Badut
Gambar 15 Denah sederhana kompleks percandian Loro Jonggrang
Gambar 16 Gambar rekonstruksi Candi iva

vii

2
5
7
9
15
81
92
139

165
168

169

173

212
214
214
245

Daftar foto

Foto

Arca Durg Mahis suramardin alias Loro Jonggrang


sebelum dikembalikan ke biliknya di sisi utara Candi
iva, sekitar tahun 1900
Foto 2 Kepala Kla di atas bilik utama Candi iva
Foto 3 Selokan-selokan yang digali secara manual di bagian
barat halaman pusat
Foto 4 Saluran-saluran drainase terkini di halaman pusat
Foto 5 Penyingkapan sebagian dari sistem tembok bawah
tanah
Foto 6 Saluran air di bawah tanah
Foto 7 Lubang got dengan penutup sebagai onderdil saluran
air di bawah tanah
Foto 8 Relief penari, lengkap dengan orkesnya
Foto 9 Adegan penutup Rmyan a di Candi Brahm: para
Brahmana yang sedang menyantap ikan
Foto 10
Salah satu lokapla beserta para pendampingnya yang
belum diketahui identitasnya
Foto 11a/b Adegan-adegan tarian Tn ava

Foto 12
Motif Prambanan
Foto 13
Perigi candi di bilik utama Candi iva
Foto 14
Relief Rma Prambanan yang pertama
Foto 15
Relief mahars i di Candi Brahm
Foto 16a/b Puing-puing reruntuhan sekitar tahun 1880
Foto 17a/b Candi iva (tampak Barat) sebelum dan sesudah
pembersihan kasar yang dilakukan Groneman pada
tahun 1880
Foto 18
Pemandangan puing reruntuhan Candi Vis n u sekitar
tahun 1880
Foto 19
Relief-relief Tn ava
di sisi luar pagar langkan
Foto 20
Para tukang Jawa sedang memeriksa tumpukan besar
bebatuan

vii
i

16

70
79
80
82
83
83
130
130
142
148
150
164
185
209
247
248

249
249
250

Foto 21
Foto 22
Foto 23

Pemilahan batu-batu berdasarkan ukuran dan bentuk


Susunan percobaan atas sebuah kepala Kla
Susunan percobaan atas sebuah bidang horizontal dari
dinding Candi iva
Foto 24
Sedang dalam proses: susunan percobaan terhadap
bagian atas Candi iva
Foto 25
Kegiatan pemugaran yang sesungguhnya dengan
menggunakan derek dan penggerek putar
Foto 26a/b Penguatan bangunan rekonstruksi dengan beton cor
bertulang di bilik utama dan sungkup tertutup dari
atap Candi iva
Foto 27
Perancah yang digunakan untuk pemugaran Candi
iva
Foto 28
Candi iva dipugar kembali
Foto 29
Gapura timur Candi iva. Di sebelah tangga adalah
menara sudut yang berisikan batu-batu yang menandai
pusat geometris dari kompleks percandian
Foto 30
Beberapa batu baru dengan permukaan datar di salah
satu relung luar Candi iva
Foto 31a/b Candi apit dan candi perwara
Foto 32
Arca yang belum teridentifikasi pada puncak kepala
Kla di atas ruang masuk yang menuju ke bilik utama
Candi iva
Foto 33
Arca iva Mahdeva
Foto 34
Pemandangan puncak Candi iva
Foto 35
Pemandangan Taman Wisata Candi Prambanan

ix

250
251
252
252
253
253

254
255
256

257
258
259

260
261
262

Kata pengantar

ejak tahun 1988 dan tahun-tahun selanjutnya ketika meneliti

kompleks percandian Prambanan, saya sering kali merasakan perlunya


sebuah bacaan mutakhir dalam bahasa Inggris dan Indonesia agar
sebagian besar hasil terpenting dari riset awal dalam bahasa Belanda
menyangkut kompleks percandian tersebut bisa dibabarkan. Ada tiga alasan
untuk hal ini.
Pertama, terjadinya salah paham serta kekeliruan yang kadang kala bisa
dipantau dalam aneka ragam penerbitan yang menyinggung candi-candi
Hindu dan Buddha di Jawa Tengah, yang untuk sebagian disebabkan oleh
ketidaktahuan akan bahan-bahan sumber awal dalam bahasa Belanda. Bagi
banyak arkeolog dan sejarawan seni bukan Belanda, buku pengantar klasik
Krom (1923a) tentang kesenian Hindu-Jawa tetap tinggal sebuah karya yang
secara harfiah nyaris merupakan buku tertutup dan diabaikan karena
pemahaman yang tidak memadai atas bahasa Belanda. Seperti yang pernah
ditandaskan oleh Jan Fontein (1989:10-11) dalam konteks berbeda, Krom
tampaknya menghalangi dikenalnya pencapaiannya yang luar biasa itu
gara-gara ia menerbitkan karyanya dalam bahasa ibunya, yaitu bahasa
Belanda. Tentu saja hal ini berlaku pula untuk banyak penerbitan lain dalam
bahasa Belanda, di mana Prambanan menduduki tempat utama. Kita dapat
menyebut misalnya, laporan-laporan Ouheikunige Dienst (OD), yaitu
Dinas Purbakala Hindia Belanda, menyangkut pemugaran Candi iva di
kompleks percandian tersebut, di mana daya dorongnya dicetuskan oleh
Verslag van e Commissie van Avies inzake e Restauratie er HinoeJavaansche Monumenten (Laporan Panitia Penasihat Pemugaran MonumenMonumen Hindu-Jawa) dari tahun 1926, sampai dengan dan termasuk
catatannya tentang penyelesaian pemugaran Candi iva pada tahun 1954
(Bernet Kempers 1955). Maka, walaupun sebutan candi wahana (Skt.
xi

Memuji Prambanan

vhana) sudah mulai dipertanyakan keabsahan dalam Ouheikunig


Verslag yang terbit tahun 1927, namun nama itu masih digunakan oleh para
pengarang bukan Belanda dewasa ini (lihat misalnya, Mitchell 1977:163;
Dumaray 1986c:45; Anom 1993). Siapa pun yang mengetahui dari dekat
tentang fasilitas pendidikan yang tersedia bagi sebagian besar arkeolog
Indonesia serta peluang-peluang terbatas untuk mempelajari dan memakai
bahasa-bahasa asing, seperti bahasa Belanda dan Prancis, akan memahami
rasa kecewa dan frustrasi mereka atas keadaan semacam ini. Masalahmasalah ini menjadi salah satu alasan mengapa para arkeolog senior
Indonesia dan Belanda pernah mempertimbangkan diadakannya sebuah edisi
baru dan revisi dalam bahasa Inggris dan Indonesia untuk penyelidikan
klasik Krom, sebuah rencana yang masih dalam proses perumusan.
Walaupun dalam format berbeda, buku yang sekarang ada di tangan para
pembaca yang budiman kiranya sangat cocok dengan rencana dimaksud.
Alasan kedua, yang berkaitan erat dengan alasan pertama, adalah
kemungkinan timbulnya rangsangan minat publik akan kompleks percandian
tersebut yang boleh jadi bisa dimunculkan oleh sebuah bacaan dalam bahasa
Inggris dan Indonesia. Dalam kaitan ini, perlu dicatat bahwa dengan
menyajikan sebuah buku bacaan yang secara eksklusif terdiri atas tulisantulisan para cendekiawan Belanda saya tidak ingin menimbulkan kesan
bahwa orang-orang Belanda memiliki monopoli untuk menganalisis
monumen tersebut. Tanpa bermaksud mengurangi arti berbagai riset yang
telah diadakan oleh para pakar dari bangsa-bangsa lain, saya harus
menegaskan kenyataan bahwa orang-orang Belanda terbilang di antara
orang-orang Eropa pertama yang berkenalan dengan monumen itu dari jarak
dekat, dan bahwa kebanyakan karya orang-orang Belanda memiliki
pengaruh yang kuat, baik dalam arti positif maupun negatif, atas pemahaman
kita sekarang ini mengenai Prambanan. Dengan mempermudah penggunaan
karya-karya para pakar Belanda bahari, saya berharap bisa menempatkan
para pembaca budiman yang berminat pada posisi yang lebih baik, tidak saja
untuk dapat mengikuti perlintasan riset yang kadang kala membingungkan
yang mengantar ke hal-hal yang kita anggap kita ketahui, tetapi juga, dan
lebih penting, untuk memahami mengapa pokok-pokok tertentu tidak dikaji
secara baik hingga kini.

xii

Kata pengantar

Alasan ketiga ialah bahwa saya berharap agar dengan bantuan buku
semacam ini saya akan mampu secara baik meletakkan riset saya sendiri
mengenai Prambanan dalam tradisi intelektual seperti tampak dari rupa-rupa
diskusi tentang kebudayaan dan masyarakat Jawa Tengah kuno. Setelah
menceburkan diri ke dalam jagat arkeologi dan sejarah seni Hindu-Jawa,
saya menjadi jauh lebih menyadari secara jelas betapa saya benar-benar
berutang budi pada masa lampau, yang dalam hal ini khususnya kepada
karya-karya yang dilakukan para pendahulu saya yang lebih pandai dan
termasyhur, bahkan mereka yang pandangannya tidak selalu dapat saya
terima dan karenanya saya mesti berbeda pendapat dengan mereka.
Berkaitan dengan hal ini, saya tidak dapat mengingkari rasa galau dalam diri
saya oleh karena perhatian tidak berimbang yang dicurahkan pada
monumen-monumen kuno lainnya di Jawa, dan karena alasan serupa
kompleks percandian Prambanan secara tidak adil dipaksa berada dalam
posisi yang berseteru dengan Candi Borobudur. Lebih dekat dengan
kebenaran historis, menurut saya, bila kita melihat Prambanan dan
Borobudur sebagai tajuk kembar kebudayaan Jawa Tengah bahari, sebuah
kebudayaan di mana kaum Buddhis dan Hindu pada umumnya hidup
bersama secara rukun dan damai serta saling membantu dalam ihwal
pembangunan candi-candi mereka masing-masing.
Guna mendukung pendapat terakhir itu, di sini saya menyertakan
sebuah pengantar umum tentang kompleks percandian Prambanan, di mana
saya telah berupaya memberikan perhatian pada berbagai perkembangan
riset terkini dalam ranah sejarah Jawa Tengah kuno. Dalam hal ini,
terjadinya tumpang-tindih dengan beberapa terbitan terdahulu tidak dapat
dihindari, walaupun penemuan-penemuan terdahulu itu kini disajikan
dengan banyak tambahan serta perbaikan yang diniscayakan oleh hasil-hasil
riset kemudian. Bila beberapa bagian buku ini kadang-kadang membuat para
pembaca budiman mengalami semacam j lu, yaitu rasa sudah pernah
dibaca, maka saya berharap sudilah Anda memahami bahwa saya cuma
mengulang kembali fakta-fakta yang penting dengan berbagai argumen yang
saya paparkan dalam buku ini, dan hal itu mutlak diperlukan bila kita ingin
menafsirkan fakta-fakta itu secara koheren atau saling berlarasan.
Namun sasaran utama dari pengantar baru ini ialah untuk memberikan
paparan yang sistematis menyangkut bahan-bahan yang bersangkut paut
dengan Prambanan yang telah berhasil saya kumpulkan selama beberapa

xiii

Memuji Prambanan

tahun belakangan ini. Kebanyakan dari informasi ini berbentuk komentar


sekilas yang terserak di banyak tempat serta catatan-catatan kaki banyak di
antaranya tidak lagi dipakai dan sudah dilupakan yang tersebar dalam
sejumlah besar penerbitan Belanda sebelum masa perang. Alih-alih berupa
tumpukan informasi yang kini dianggap sudah usang, kedaluwarsa dan telah
lama dicampakkan, data-data ini ternyata mengandung taraf relevansi yang
menakjubkan sebagai bahan pembahasan mengenai soal-soal pokok yang
masih harus dipecahkan dewasa ini khususnya soal-soal mengenai
penanggalan monumen tersebut beserta latar belakang agamanya. Karena
alasan ini maka saya memutuskan untuk menyertakan sebuah catatan
pendahuluan yang panjang sebagai satu bagian terpisah dari buku ini.
Mudah-mudahan para peneliti lain akan menemukan beberapa hal yang
bermanfaat di dalamnya. Untuk kepentingan informasi bagi para pakar dan
mahasiswa, maka akan ditunjukkan beberapa masalah yang belum
tertuntaskan, dan akan diisyaratkan pula beberapa alur penelitian yang baru
lagi menjanjikan.
Bagian Dua, yang menjadi intipati buku ini, menyajikan terjemahan atas
beberapa tulisan pilihan atau ikhtisar dari terbitan para cendekiawan yang
tidak saja memiliki pengenalan tangan pertama tentang kesenian dan agama
Hindu-Buddha kuno di Indonesia, tetapi juga memainkan suatu peran utama
dalam penggalian, pemaparan serta pemugaran kompleks percandian
Prambanan. Tiga di antara mereka, yaitu N.J. Krom, F.D.K. Bosch dan W.F.
Stutterheim, secara berturut-turut menjabat sebagai kepala Ouheikunige
Dienst (OD). A.J. Bernet Kempers menjadi direktur pertama Dinas
Purbakala ini segera setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, dan
walaupun ia pada akhirnya kembali ke Negeri Belanda untuk menjabat
kedudukan lain namun tak henti-hentinya beliau mendarmakan sisa hidup
selanjutnya demi menularkan pengetahuannya yang berjangkauan sangat
luas tentang arkeologi Indonesia. J.Ph. Vogel, seorang Indolog kenamaan,
menulis beberapa kajian yang mencerahkan tentang hubungan seni-sejarah
kuno antara Indonesia dan India. Insinyur J.W. IJzerman, mantan pemimpin
lembaga arkeologi amatir di Yogyakarta, memainkan peran sebagai pelopor
dalam penemuan, penggalian serta pemaparan tentang beberapa candi
Hindu-Buddha di Jawa Tengah, di antaranya penemuan dari apa yang
disebut-sebut sebagai alas tersembunyi Borobudur, dan menjadi masyhur
berkat penggalian Candi Prambanan. Akhirnya, arsitek

xiv

Kata pengantar

B. de Haan dan V.R. van Romondt, keduanya sama-sama bertanggung jawab


atas perencanaan dan penyeliaan yang sangat cermat menyangkut kerja
nyata pemugaran beberapa bagian penting dari kompleks percandian
tersebut. Pengetahuan langsung lagi mendalam tentang Prambanan yang
dimiliki para penulis ini terpantul dalam karangan-karangan pilihan, yang
hemat saya masih layak dibaca hari ini dan karenanya dapat dijangkau oleh
para pembaca bukan Belanda melalui terjemahan ini.
Nah, karena kini para pembaca budiman telah siap memulai petualangan
yang menakjubkan ini, maka saya merasa mendapat kehormatan untuk
mendaulatkan ucapan limpah terima kasih kepada para pihak yang telah
memberi sumbangsih khusus bagi perwujudan buku versi Indonesia ini.
Pertama-tama saya menyebut nama Roger Tol, wakil KITLV di Jakarta, yang
tidak saja menyediakan pendanaan untuk terjemahan tersebut, tetapi juga
mengurus pencetakan dan pengedaran buku ini. Berdasarkan rekomendasi
Henri Chambert-Loir saya beruntung memperoleh nama Yosef Maria
Florisan sebagai calon penerjemah. Karena Saudara Yosi menetap di Flores
maka hampir semua komunikasi berlangsung melalui e-mail. Dalam tahap
terakhir penyelesaian naskah buku ini penerjemah dan editor diberi
kesempatan berjumpa di Yogyakarta untuk memecahkan beberapa masalah
terjemahan yang rumit. Keberadaan di Yogya dan kunjungan-kunjungan
bersama ke Candi Prambanan serta ke petugas-petugas di kantor wilayah
Dinas Purbakala sangat bermanfaat untuk menuntaskan proyek terjemahan
ini dengan baik. Saya juga mengakui rasa berutang budi kepada Affandy
Santoso untuk bantuan yang diberikan pada koreksi cetak coba dan kepada
Hans Borkent dan Siebolt Kok untuk bantuan pada pengolahan ilustrasiilustrasi berupa peta-peta, denah-denah, dan foto-foto.

Roy Jordaan
Renkum, Januari 2009

xv

Catatan tentang ejaan dan


perincian penyuntingan

ata-kata Sanskerta dalam buku ini dialih-aksarakan seturut sistem

yang digunakan dalam kamus M. Monier-Williams, yaitu A Sanskrit-English


Dictionary. Namun ejaannya sedikit disesuaikan dengan sistem ejaan yang
digunakan dalam berbagai penerbitan ilmiah
terkini. Agar taat asas dan untuk menghindari kerancuan, saya juga telah
membuat pembakuan atas pengejaan kata-kata dan nama-nama Sanskerta
dalam penerjemahan tulisan-tulisan para cendekiawan Belanda yang
disertakan dalam Bagian Dua buku ini, kecuali kata-kata dan nama-nama
Sanskerta yang muncul dalam judul buku dan artikel mereka.
Ejaan nama-nama tempat di Indonesia dan juga nama-nama candi
Hindu-Buddha di Indonesia disesuaikan dengan sistem Ejaan Yang
Disempurnakan (EYD), yang diperkenalkan pada tahun 1972. Begitulah
misalnya, saya menulis Yogyakarta alih-alih Djogdjakarta, Borobudur alihalih Brbudur, dan Candi Loro Jonggrang alih-alih Tjan d i Lr (atau Rr)
Djograng. Dalam berbagai kutipan, kata-kata yang ditempatkan dalam
tanda kurung bundar, yaitu ( ), adalah tambahan yang berasal dari
cendekiawan yang dirujuk, sedangkan kata-kata yang ditempatkan dalam
tanda kurung siku, yaitu [ ], adalah tambahan yang berasal dari saya sendiri.
Demikian pula tanda petik ganda, yaitu , dipakai untuk mengapit petikan
langsung dari pembicaraan dan naskah atau bahan tertulis lain seorang
pengarang yang saya rujuk. Sedangkan tanda petik tunggal, yaitu ,
digunakan untuk mengapit makna, terjemahan, atau penjelasan kata
ungkapan asing. Sejauh mungkin saya menyesuaikan hal-hal tersebut dengan
lema yang dimuat dalam Kamus Besar Bahasa Inonesia (KBBI) Edisi
Ketiga yang diterbitkan oleh Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional
(Balai Pustaka, Jakarta, 2001).

xvi

Kata pengantar

Nama para pengarang yang didahului partikel seperti Van, De, Le dan
Von misalnya Van Blom, Le Bonheur, De Casparis dan Von Saher
didaftarkan dalam daftar pustaka di bawah nama utama mereka, yaitu
masing-masing Blom, Bonheur, Casparis dan Saher. Saya mempertahankan
ejaan IJ dalam nama seperti IJzerman, alih-alih mengejanya dengan Ij atau
Y, yang terakhir tadi merupakan sebuah abjad yang sama sekali baru.
Mengikuti kebiasaan orang-orang Belanda, saya menerjemahkan
Ouheikunige Dienst dengan Dinas Purbakala alih-alih Servis atau
Survei Arkeologi sebagaimana misalnya yang berlaku di India
Guna mencegah berbagai perubahan penyuntingan yang pelik dalam
bentuk asli artikel-artikel pilihan, maka setelah berembuk dengan Badan
Editorial KITLV diputuskan untuk mempertahankan cara penulisan catatan
kaki mereka yang kuno dan agaknya tidak praktis. Rujukan-rujukan dalam
bentuk singkatan dalam tulisan-tulisan asli ditulis secara lengkap dalam
daftar pustaka terpisah pada Bagian II. Sumber-sumber yang memuat
informasi bibliografis yang sangat tidak lengkap atau mustahil diverifikasi
dikeluarkan dari daftar pustaka.
Pada pokoknya edisi Indonesia ini tidak berbeda dengan aslinya dalam
bahasa Inggris, kecuali beberapa penghapusan salah ketik dan penambahan
beberapa perbaikan pada perumusan dan referensi. Di samping itu, berkat
kesediaan penerbit dan sumbangan foto-foto dari beberapa rekan, saya
mampu membuat sebuah kuras tersendiri dengan foto-foto yang dicetak di
atas kertas khusus.

xvii

Daftar singkatan

Bhk.
HSR
KBBI
OD

Bhat t i kvya
Hikayat Sri Rama
Kamus Besar Bahasa Indonesia
Oudheidkundige Dienst in Nederlandsch-Indi (Dinas
Purbakala Hindia Belanda)
OD foto
Foto-foto yang dibuat OD
OV
Oudheidkundig Verslag (Laporan Arkeologis OD)
ROC
Rapporten van de Commissie in Nederlandsch-Indi
voor Oudheidkundig Onderzoek op Java en Madoera
(Laporan-Laporan Panitia Hindia Belanda untuk Riset
Arkeologis di Jawa dan Madura pendahulu OD)
RJK
Rmyan a Jawa Kuno
ROD
Rapporten van de Oudheidkundige Dienst (LaporanLaporan OD)
VR
Rmyan a versi Vlmki
Skt.
Sanskerta
Verslag Congres Verslag Congres Oostersch Genootschap
Verslag 1926
Verslag van de commissie van advies inzake de
restauratie der Hindoe-Javaansche monumenten, nopens
de reconstructie van de iwatempel te Prambanan
(Laporan panitia penasihat pemugaran monumenmonumen Hindu-Jawa, menyangkut Candi iva di
Prambanan)

xviii

BAGIAN SATU

Gambar 1. Peta Indonesia dan peta Jawa Tengah

Gambar 1. Peta Indonesia dan peta Jawa Tengah

Roy Jordaan

Candi Prambanan
Sebuah Pendahuluan Mutakhir

1. Catatan penahuluan
Candi Prambanan adalah nama lazim yang digunakan untuk kompleks
percandian Hindu terbesar di Indonesia. Bersama dengan Candi Borobudur
yang terkenal itu, kompleks percandian ini merupakan puncak kesenian Jawa
yang bercorak Hindu-Buddhis. Kedua peninggalan ini menjadi saksi
keagungan masa lampau Jawa Tengah dalam apa yang disebut sebagai masa
klasik, yakni kurun waktu kira-kira antara tahun 775-900 M.
Walaupun sering kali dibandingkan dengan Borobudur, dan disebut
dalam satu tarikan napas dengannya, namun Prambanan sama sekali berbeda
baik dalam rancangan maupun dalam pembangunannya. Apabila kekuatan
dan keindahan Borobudur khususnya terletak dalam strukturnya yang besar,
luas, dan kokoh, lengkap dengan rupa-rupa birai beserta lorong yang
mengalir menuju puncak berupa stupa utama, maka sebaliknya di
Prambanan hal yang menyedot perhatian kita adalah persebaran
bangunannya pemilahannya ke dalam sejumlah besar candi perwara dan
delapan candi yang lebih besar, yang dimahkotai oleh Candi iva dan juga
hubungan yang selaras di antara berbagai bagiannya. Akan tetapi, biarpun
ada banyak perbedaan lahiriah di antara keduanya namun terdapat sejumlah
keserupaan yang penting antara Borobudur dan Prambanan. Yang paling
penting di antaranya adalah arsitektur serta ornamentasi dan hiasan yang
amat sistematis, yang muncul dari, sebagaimana yang ditandaskan
Stutterheim, suatu mentalitas yang serupa. Ia menjelaskan hal dimaksud
sebagai berikut:

Roy Jordaan

Atap bangunan yang kokoh dari Mahyna, di mana hakikatnya adalah


ketakterbagian serta kenyataan tentang totalitas, bersandar pada alas yang luas
berupa perubahan dan variasi bentuk yang sarat ilusi. Dalam jagat ini,
materialisasi secara serempak dari prinsip-prinsip Buddha yang lebih tinggi
adalah bagaikan titik-titik kesentosaan. Itulah Borobudur. Metafisika aiva
Puranik yang terungkap dalam pengebawahan rupa-rupa penjelmaan Dewa
Agung terhadap wujudnya yang tertinggi [serta] dikiblatkan pada rasa dan
makna, dilandaskan di atas dasar yang serupa dengan Borobudur. [Filsafat ini]
merupakan sebuah ungkapan subjektif dari refleksi tentang pengalaman
duniawi dan fenomenal, yang dipikirkan tidak nyata namun dialami sebagai
kenyataan. Itulah Prambanan. (Stutterheim 1923:330.)

Bagi orang-orang yang belum sempat melihat kompleks percandian


dimaksud atau hanya mengetahuinya dari berbagai penjelasan lain, saya
akan menyajikan sebuah sketsa ringkas yang akan ditempatkan dalam
perspektif yang tepat dan disajikan lebih menukik dalam rentetan telaah
sangat terperinci yang dipaparkan tulisan-tulisan para cendekiawan yang
diterbitkan dalam Bagian Dua buku ini. Pengertian dipermudah oleh
gambaran denah berikut.

Gambar 2. Denah Kompleks Percandian Loro Jonggrang

Roy Jordaan

Prambanan adalah sebuah kompleks percandian yang pada mulanya,


atau menurut rancangan aslinya, terdiri atas 250 buah candi lebih, baik besar
maupun kecil. Candi-candi tersebut disebar di atas tiga halaman yang
dipisah satu dengan lain oleh tembok-tembok pembatas. Halaman induk
berbentuk sebuah teras yang ditinggikan, yang dikelilingi oleh sebuah
tembok persegi empat yang kokoh. Tembok dari batu ini kurang-lebih masih
utuh, walaupun tidak memiliki bagian atas berhias yang sekali waktu bisa
saja dipunyainya. Tiga dari empat gapura yang dibangun di atas susunan
tangga, cuma tersisa puing-puing reruntuhan belaka. Tembok ini, dan
berikutnya yang hampir lenyap, dikiblatkan persis ke mata angin. Pada abad
ke-19, puing-puing reruntuhan dari tembok ketiga masih kelihatan. Tembok
ini mengitari kompleks tersebut secara keseluruhan dan memisahkannya dari
kawasan sekitar. Ia tidak didirikan sejajar dengan kedua tembok terdahulu,
tetapi ditempatkan sehingga membentuk sudut pada keduanya. Namun pintu
gerbang-gerbang utama ditempatkan sejajar dengan gapura-gapura yang
terdapat di tembok pertama dan kedua.
Selain delapan menara kecil (disebut candi kelir dan candi patok) yang
terletak di sisi dalam tembok pembatas, halaman induk dikhususkan untuk
candi-candi yang lebih besar, yang ditata secara khusus. Di bagian barat,
menghadap ke timur, berdiri sederetan candi yang dipersembahkan kepada
Trimrti, trio dewata yang terdiri atas Brahm di bagian selatan, iva di
bagian tengah dan Vis n u di bagian utara. Candi iva adalah candi induk,
dan hal itu dapat disimpulkan dari tempatnya di bagian tengah, ukurannya
yang lebih luas (34x34x47m), bentuk dasarnya yang lebih pelik serta
penyelesaian bangunannya yang lebih indah.
Dalam bagian yang menjorok dari tiap-tiap sisi Candi iva yang
bersudut empat itu terdapat sebuah jalan masuk berupa tangga yang masingmasingnya berujung pada sebuah ruangan terpisah atau bilik (cella). Tangga
timur berujung pada bilik utama, tempat berdiri arca iva Mahdeva. Pada
ruang kecil di depan bilik itu, yakni sebuah ruangan yang letaknya sesuai
dengan tiga bilik yang lain, terdapat arca Mahkal dan Nandivara sebagai
penjaga pintu. Berbeda dengan bilik-bilik yang lain, dinding-dinding pada
bilik utama ini dipenuhi hiasan relief, antara lain berupa ikal musral (yaitu
motif hiasan, biasanya dalam bentuk sulur daun yang melingkar secara
sambung-menyambung terbalik) serta pahatan batu berbentuk medalion
mawar bersegi delapan. Perbedaan mencolok lainnya

Gambar 3. Denah ikonografis Candi iva

Roy Jordaan

ialah tidak ditemukannya di bagian dalam bilik iva Mahdeva tugu-tugu


batu yang sebagiannya menjorok dari dinding, tempat biasanya diletakkan
lampu minyak. Ini berarti bahwa bagian dalam bilik induk itu rupanya selalu
berada dalam keadaan temaram.
Di bilik sebelah selatan Candi iva berdiri arca Agastya yang dulu biasa
disebut Batara Guru atau iva Guru. Di bilik sebelah barat berdiri arca
Gan ea, yaitu putra iva yang berkepala gajah. Di bilik sebelah utara kita
menemukan arca terkenal Durg sebagai Mahis suramardin, yang
memperlihatkan makhluk jahat (Skt. asura) yang barusan dikeluarkannya
dari seekor sapi yang dibantai di mana asura itu bersembunyi. Penduduk
setempat menyebut arca itu Loro Jonggrang.
Bilik-bilik pada candi itu saling dihubungkan oleh anak-anak tangga
yang disambung dengan sebuah selasar atau lorong yang dapat dilewati dan
mengitari candi. Bagian luar dari lorong ini dibatasi oleh sebuah pagar
langkan yang dihiasi dengan rupa-rupa relief pada kedua sisinya, di bagian
luar berupa adegan-adegan tarian dan para pemusik, dan di bagian dalam
berupa adegan-adegan penting dari kisah Rmyan a. Pada sisi lain dari
lorong ini, yakni pada tubuh candi itu sendiri, terdapat aneka relief berupa
para penjaga mata angin (lokapla) beserta para dewata lain lengkap dengan
para pengiring mereka.
Candi Brahm dan Vis n u dalam banyak hal serupa dengan Candi iva
tetapi lebih kecil ukurannya (20x20x30m) dan lebih sederhana desainnya.
Jadi, masing-masing candi ini cuma memiliki satu bilik yang bisa dijangkau
hanya melalui sebuah jalan masuk berbentuk tangga di bagian yang
menjorok di sisi sebelah timur candi tersebut. Nama kedua candi ini berasal
dari arca Brahm dan Vis n u yang sebelumnya ditempatkan dalam tiap-tiap
bilik itu. Kedua candi tersebut memiliki sebuah lorong yang dapat dilewati
dan dibatasi oleh sebuah pagar langkan yang mengelilinginya, sama seperti
yang ditemukan pada Candi iva. Sisi dalam dari pagar langkan Candi
Brahm dihiasi dengan berbagai relief yang sebagiannya melanjutkan kisah
Rma yang sudah dimulai di Candi iva. Di sisi berlawanan dari lorong tadi,
yakni pada tubuh candi itu sendiri, kita temukan banyak relief berupa sosoksosok pedanda berjanggut panjang lengkap dengan para pengiring mereka.
Demikian pula, Candi Vis n u mempunyai banyak relief pada dinding luar
candi itu sendiri, yang menggambarkan para dewata yang didampingi
sejumlah perempuan, dan pada bagian dalam pagar langkan

Gambar 4. Peta situasi letak candi-candi di dataran Prambanan

Roy Jordaan

dilukiskan beberapa episode dari kehidupan Kr ishna.


Di seberang candi-candi tadi, dan berhadapan dengannya, terdapat tiga
bangunan yang lebih kecil, yang juga terletak sejajar. Bangunan utama berisi
sebuah arca besar berupa binatang tunggangan iva, yakni lembu Nandi
(Skt. Nanin), dan juga dua buah arca yang lebih kecil, yakni arca Srya dan
Candra, yang berdiri membelakangi dinding belakang. Pada zaman dahulu
ketiga candi ini secara bersama-sama disebut candi wahana (Skt. vhana),
candi binatang alat pengangkut, sebab dipikirkan bahwa candi di sebelah
selatan dan utara juga berisi seekor binatang yang menjadi tunggangan untuk
Brahm dan Vis n u. Berdasarkan pengandaian ini, Th. van Erp
menempatkan sebuah arca indah berupa seekor Garud a yang ditemukan di
sebuah dusun di dekat situ di dalam sebuah candi kecil yang didirikan
berhadapan dengan Candi Vis n u (Van Erp 1911). Namun pengandaian ini
ternyata salah. Candi-candi itu kini disebut, agaknya kering dan tanpa daya
khayal, sebagai Candi B, Candi Nandi dan Candi A. Candi B dan Candi A
sangat boleh jadi pada mulanya berisi sebuah arca iva Mahyogin dan
sebuah lingga, yakni sebuah objek yang melambangkan penis, yang masingmasingnya erat dikaitkan dengan Dewa iva (lihat tulisan De Haan dalam
buku ini).
Di antara keduanya, namun agak ke samping dari dua deretan candi
yang terletak sejajar ini, terdapat dua candi kecil yang menghadap ke tengah;
salah satu darinya terletak dekat dengan pintu masuk di sebelah selatan, dan
yang lain dekat dengan pintu masuk di sebelah utara. Keduanya dikenal
dengan nama candi apit; apit dalam bahasa Jawa maupun Indonesia samasama berarti dijepit atau dihimpit (Pigeaud 1938:322; Teeuw 1990:36).
Di seputar halaman induk, antara tembok pertama dan tembok kedua
yang telah ambruk, terdapat sekitar 224 buah candi kecil, yang ditata secara
rapi ke dalam empat deretan bertingkat yang menjelujur turun. Dari sisa-sisa
puing reruntuhannya tampak bahwa candi-candi perwara ini semuanya
memiliki ukuran yang sama (6x6x14 m), dan biarpun tidak persis sama
tetapi serupa baik dalam konstruksi maupun dekorasinya. Di kawasan ketiga,
yakni antara tembok kedua yang telah ambruk dan tembok ketiga, tidak
ditemukan fondasi apa pun. Diandaikan bahwa di kawasan ini disediakan
akomodasi untuk para pedanda, para pelayan candi serta para peziarah, yang
dibangun dari bahan-bahan sementara.

10

Candi Prambanan

2. Nama an cerita rakyat


Dalam bahasa Indonesia modern, kata candi (atau tjan i dalam ejaan lama)
berarti kuil atau tempat pemujaan kuno Hindu atau Buddha, walaupun menurut
J. Miksic (1990:17) kata itu digunakan oleh orang-orang Jawa untuk segala
macam reruntuhan pra-Islam. Candi Prambanan adalah nama paling lazim untuk
bangunan candi Hindu terbesar di Indonesia, yang terletak sekitar 15 km ke arah
timur kota Yogyakarta, di kawasan selatan Jawa Tengah.
Nama itu sendiri agak membingungkan, karena Prambanan adalah juga
nama untuk sebuah wilayah, yaitu dataran Prambanan, di mana terdapat juga
banyak peninggalan kuno lainnya. Dari situlah berasal istilah benda-benda
purbakala Prambanan yang dibagi Krom menjadi candi-candi di sebelah
barat (misalnya Kalasan dan Sari) dan candi-candi di sebelah timur
(misalnya Loro Jonggrang, Sewu, Plaosan dan Sojiwan). Dahulunya,
Prambanan adalah juga nama dari sebuah dusun di mana kompleks
percandian itu berada.
Asal-usul nama Prambanan tetap tinggal sebuah misteri. Seandainya
kita mempercayai pendapat J. Groneman (1887), maka tidak banyak
faedahnya untuk mencari sebuah makna mitologis atau historis untuk nama
dimaksud, dengan menimbang fakta yang dipersangkakan bahwa tak satu
pun dari berbagai candi di Jawa Tengah, termasuk Borobudur dan
Prambanan, memiliki sebuah nama yang merujuk kepada seorang dewa,
seorang suci, atau bentuk kebaktian agama tertentu. Groneman sendiri
berpendapat bahwa nama Prambanan boleh jadi berasal dari kata ramban,
mengumpulkan dedaunan (untuk keperluan rumah tangga atau obat-obatan),
[pa-ramban-an] masih menjadi tempat, lazimnya di hutan, di mana dedaunan
itu diramu. Penjelasan seperti ini mengenai nama puing-puing reruntuhan itu,
yang niscaya pada satu kesempatan ditemukan di hutan seperti itu, juga termuat
dalam kamus yang disusun Roorda; [sebuah penjelasan] yang begitu sederhana
dan alamiah sehingga kita tidak perlu mencari penjelasan yang lain.
(Groneman 1887:1427.)

Sekalipun pendapat Groneman yang agak mengecilkan hati itu, namun


bukan tidak mungkin bahwa nama tersebut berasal dari sebuah istilah kuno
yang dapat dihubungkan dengan candi, dan bahwa nama dusun tadi entah
bagaimana merujuk pada candi dimaksud. Kemungkinan ini, hemat saya,

11

Roy Jordaan

telah menelurkan sejumlah etimologi nirmakna. H. Helfritz (1979:111)


misalnya, menandaskan bahwa menurut sebuah teks dari abad ke-9 (yang
tidak disebut judulnya) nama Prambanan berasal dari nama dusun Parawan,
di mana para penduduknya diserahi tugas untuk merawat candi itu, dan
sebagai ganjarannya penguasa setempat membebaskan dusun itu dari
pungutan pajak. Dari segi bahasa, penjelasan ini sukar dipercaya karena kata
Jawa parawan cuma berarti gadis atau anak perempuan.
Yang juga sama-sama sulit dipercayai adalah penjelasan yang diberikan
oleh pakar Jawa C.F. Winter (1839:139) yang mengasalkan kata Prambanan,
melalui kata Parambanan dan Poerambanan, dari kata (H)empu rombo, yang
berarti Rombo sang pandai besi; pada zaman kuno seorang pandai besi
terbilang sebagai tokoh penting di sebuah dusun. Winter tidak membahas
hubungan yang barangkali cuma kebetulan belaka antara seorang pandai besi
semacam itu dan candi dimaksud dan tidak pula mempertimbangkan
kemungkinan ada dusun-dusun lain yang bernama Prambanan seandainya
etimologinya itu benar. Menurut J.F.G. Brumund (1853:52) kata hempu
ditafsir sebagai Gunung Berapi Jawa dan berhubungan dengan Gunung
Merapi; juga di sini bagaimana pertalian dengan kompleks percandian itu
tidak dibahas.
Kemungkinan lain, yang disinggung Helfritz, ialah asal-usul nama itu
dari kata brahmana, yang selanjutnya diubah menjadi brambanan dan
kemudian menjadi Prambanan. Penjelasan ini malah lebih dipilih oleh
kebanyakan cendekiawan Inggris dan Belanda dari abad ke-19. Sebagai
contoh, C. Mackenzie (1814) malah cuma menulis tentang candi-candi
Brambana, sedangkan J. Crawfurd (1855:67) menilai nama Prambanan
sebagai pelesetan eufonis [kombinasi bunyi yang dianggap enak didengar]
atas kata Brambanan, yang berarti tempat tinggal para Brahmana.
Penjelasan ini nirmakna dan juga meragukan. Walaupun tentu saja pernah
ada para Brahmana yang mengunjungi candi aiva itu, namun terjemahan
tempat tinggal para Brahmana memberi kesan bahwa Prambanan adalah
sebuah percandian Brahmana, dalam makna yang sempit. Hal ini mustahil.
Selain memperlihatkan berbagai pengaruh Buddhis (tentang hal
Saya sendiri lebih suka mengasalkannya pada kata Sanskerta parambrahma(n), yang
berarti Roh Jagat, Yang Mutlak (lihat Kern 1888:172; Zoetmulder 1982:1285), dan
merujuk pada sebuah tempat peribadatan umum, yang boleh digunakan baik oleh kaum
aiva maupun Buddhis, yang mencakup Candi Loro Jonggrang dan Candi Sewu (lihat
Bagian 10).

12

Candi Prambanan

ini akan dijelaskan lebih lanjut nanti), belum lagi dapat dipastikan hingga
saat ini sekte aiva manakah yang bertanggung jawab atas pengelolaan
kompleks percandian itu. Mengingat adanya corak Tantrik yang bengis dari
beberapa penemuan arkeologis (seperti sebuah kerangka manusia di halaman
pusat, yang tampaknya menyiratkan persembahan kurban berupa seorang
manusia), boleh jadi bahwa sekte tersebut serupa dengan kelompok Kplika
yang telah lama punah, di mana berbagai ajaran serta praktiknya niscaya
dibenci oleh kaum Brahmana ortodoks. Jadi, tidak pasti bahwa Prambanan
adalah tempat tinggal para Brahmana.
Di lain pihak, dalam buku terkenal Thomas Raffles, History of Java
(1817), kita menemukan salinan dari sebuah sketsa yang dibuat oleh J. Mitan
tentang satu puing reruntuhan yang kini kita kenal sebagai kompleks
percandian aiva di Prambanan. Judul sketsa itu berbunyi candi induk di
Jongrangan. Dalam nama Jongrangan ini kita dapat mengenal nama lokal
lainnya yang lebih populer untuk kompleks percandian itu, yaitu Loro
Jonggrang, yang berarti Gadis Semampai, merujuk pada arca Durg yang
terletak dalam bilik sebelah utara dari candi induk.
Loro Jonggrang adalah tokoh utama dalam sebuah cerita rakyat Jawa yang
beralur kurang-lebih sebagai berikut.
[Seorang] putri raja bernama Lara Jonggrang, putri semata wayang Raja Baka
dari Kerajaan Medang Kemulan, [...] tersohor oleh kecantikannya dan hendak
diperistri oleh banyak pangeran. Ketika seorang pangeran bernama Bandung
Bandawasa ingin mempersuntingnya, Raja Baka mengatakan bahwa jika
pemuda itu bisa mengalahkan dia dalam pertarungan maka ia boleh memiliki
putrinya. Dalam perkelahian yang pecah antara kedua lelaki itu, sang raja
terbunuh. Tak terkandung maksud di lubuk Lara Jonggrang untuk menikahi
sang pembunuh ayahnya, namun ia takut untuk menolak keinginan sang
pangeran secara terang-terangan. Lalu, sang putri pun mengajukan syarat, yakni
bila sang pangeran mampu membangun seribu buah candi dalam satu malam
maka ia boleh menikahinya.
Tugas yang tampaknya mustahil ini nyaris berhasil dituntaskan Bandung
karena ayahnya membantu dia dengan sepasukan jin. Sang putri tidak tahu lagi
Kecuali sekte aiva yang dianut kaum Pupata, yang diketahui kadang-kadang dirujuk
sebagai iva-Brahmana dan mengenakan tali kasta Brahmana (Bhattacharya 1961:4-5).
Untuk informasi lebih lanjut tentang sekte Pupata ini dan sekte-sekte aiva lainnya, lihat
juga Bagian 8.

13

Roy Jordaan

mau berbuat apa. Akhirnya, salah seorang dayang-dayangnya memberinya


nasihat bijak: memukul lesung penumbuk padi. Sang putri melakukan hal itu,
dan ayam-ayam jago yang lagi lelap tertidur di kawasan itu, ketika mendengar
bunyi tumbukan alu yang tak henti-hentinya itu, mulai berkokok. Pasukan jin
tadi yang mengira fajar akan merekah langsung kabur, sebab mereka takut akan
cahaya matahari.
Seribu buah candi tersebut tidak pernah berhasil diselesaikan, namun sang
pangeran setelah mengetahui muslihat yang memperdayai dirinya langsung
naik pitam. Ia mengutuk sang putri hingga berubah menjadi batu. Namun
berkat kemurahan Dewa iva ia berubah menjadi sebuah arca: malah salah satu
arca yang terletak di bilik sebelah utara dari candi besar yang menghormati
Dewa iva di Prambanan dipercayai sebagai arca putri cantik itu. (Pitono
Hardjowardojo 1967:11-12; lihat juga Winter 1839:459-473; Soewito Santoso
1963.)

Arca Durg itu memikat perhatian yang luar biasa besar dari para penduduk
setempat, sebagaimana yang tersaksikan dari rupa-rupa sesajen berupa dupa,
beras, bebungaan atau uang (IJzerman 1891:49), dan juga tidak jarang
ditemukan pula di dekat situ kambing-kambing yang masih hidup (Krom
1923a:444). Oleh karena bantuan yang dimohonkan kepadanya, maka ia
dijuluki Notre Dame e Bon Secours dari Prambanan oleh Scheltema
(1912:90). Daya pikatnya juga terbukti dari bagian dada dan pinggul arca itu
yang berkilauan, yang disebabkan oleh elusan kasih para pemujanya yang
tak terhitung jumlahnya. Lucunya, karena elusan-elusan ini beberapa
pengunjung asing terdahulu, yang hampir tidak dapat masuk ke bilik itu oleh
karena banyaknya tumpukan puing reruntuhan di sana, malah menduga
bahwa dada itu dibuat dari lempengan logam atau merupakan bagian dari
sebuah arca logam yang bersinar cemerlang di antara tumpukan bebatuan di
sana (Ouheikunig Verslag 1920:105-106).
Walaupun Krom (1923a:443), demi kejelasan, lebih suka memakai
nama lokal yakni Candi Loro Jonggrang, namun contoh itu tidak diikuti
secara luas, dan nama Candi Prambanan tetap digemari, khususnya di
kalangan orang-orang asing. Dalam buku ini, bergantung pada konteksnya,
saya akan menggunakan kedua nama itu secara bergantian.

14

Gambar 5. Puing-puing reruntuhan Candi iva di Prambanan pada permulaan


abad ke-19. (Diambil dari Raffles 1817, II:11.)

15

Foto 1. Arca Durg Mahis suramardin alias Loro Jonggrang sebelum


dikembalikan ke biliknya di sisi utara Candi iva, sekitar tahun 1900. (Foto
diambil oleh fotografer Jawa Kassian Cephas untuk buku J. Groneman [1893].)

16

Candi Prambanan

3. Penemuan, penggalian, an pemugaran


Tidaklah mudah untuk menentukan siapa yang menemukan Loro Jonggrang.
Calon yang cocok untuk mendapat kehormatan ini tentu saja Raffles,
Letnan-Gubernur di Jawa selama masa peralihan pemerintahan Inggris
(1811-1816). Raffles menaruh minat yang sungguh-sungguh pada puingpuing reruntuhan candi di Jawa Tengah itu, dengan menyuruh kedua
pembantunya, C. Mackenzie dan G. Baker, untuk melakukan penjajakan dan
deskripsi atasnya. Sebagaimana telah kita catat sebelumnya, sketsa pertama
tentang puing-puing reruntuhan Loro Jonggrang ditemukan dalam buku
Raffles yang kemudian dikenal sebagai sebuah kuil aiva oleh rekan
sebangsa Raffles, yakni Crawfurd.
Orang-orang yang memiliki sebuah kecenderungan yang lebih formal
dan kaku barangkali akan menyebut nama C.A. Lons dalam hubungan
dengan hal ini. Lons adalah seorang pegawai Serikat Dagang Hindia
Belanda (VOC), dan pada tahun 1733 ketika berkunjung ke istana Sultan
Jawa sebagai seorang duta ia melakukan sebuah perjalanan tamasya ke
sejumlah puing reruntuhan candi dan melaporkan hal-hal tersebut kepada
para pembesarnya. Walaupun ada kemungkinan untuk mengenal arca Durg
dan arca Gan ea dari keterangannya, namun pertanyaannya ialah apakah
Candi Loro Jonggrang dibedakan sebagai sebuah kuil terpisah pada waktu
itu. Sebagaimana yang secara cermat diamati Bernet Kempers (1978:100),
ketika itu cuma disebut tentang kuil-kuil Brahmana tanpa perincian lebih
lanjut. Lebih dari itu, candi-candi yang dibangun secara apik berkelompok
itu disemaki oleh berbagai tetumbuhan sehingga, seperti yang ditegaskan
Lons, kuil-kuil itu kelihatan lebih seperti gunung daripada candi (Lons
seperti dikutip Leemans 1855:11). Penjelasan Lons selanjutnya sedemikian
samar-samar sehingga mustahil untuk memastikan apakah keterangannya itu
masih tentang Candi Loro Jonggrang atau sudah bergeser ke candi lain di
sekitar kawasan itu, yakni Candi Sewu. Ketidakpastian ini membuat
mustahil bagi kita untuk mengatakan apakah arca-arca besar sebagai penjaga
pintu (vrapla) yang dilaporkan dilihat Lons adalah arca-arca yang
berasal dari Candi Sewu atau dari Candi Loro Jonggrang yang sejak itu tak
pernah ketahuan rimbanya lagi (Bosboom 1903). Candi Prambanan dulu
pasti memiliki sejumlah vrapla, dan hal ini terbukti dari disebutkannya
para penjaga pintu yang bengis dalam prasasti Loro Jonggrang yang
disunting dan diterjemahkan oleh J.G. de Casparis (1956:322).

17

Roy Jordaan

H.C. Cornelius yang sekitar tahun 1805 mulai memetakan sejumlah


benda purbakala di dataran Prambanan juga tidak membuat keterangan
secara khusus tentang Loro Jonggrang, hal yang justru dilakukannya untuk
dua candi yang ada di dekatnya, yakni Sewu dan Kalasan, malah lengkap
dengan sebuah denah lapangan dan rencana pemugaran (Bernet Kempers
1978:40-41, 101). Lukisan Brambana yang dibuat Cornelius kelak
diemban oleh Mackenzie (Bastin 1953:275).
Barangkali sebaiknya kita membiarkan persoalan siapa penemu candi
itu sebagaimana adanya. Kita tak boleh melupakan bahwa bagi kalangan
penduduk setempat tidak ada atau cuma segelintir yang bisa ditemukan atas
sebuah puing reruntuhan yang sudah ada di sana sejak masa yang tak dapat
diingat lagi, dan tentangnya dikisahkan dengan aneka cerita dan legenda
yang tak terbilang banyaknya. Sebetulnya, bila kita mesti berbicara tentang
penemuan, kehormatan itu seyogianya didaulatkan kepada Mpu Tanaku
seorang penyair istana Jawa Timur, yang berkelana dari Tumapel (Singosari)
ke pedalaman Jawa Tengah pada abad ke-15. Ia mewariskan sebuah uraian
singkat dari perjalanannya ini, yang diawali dengan kata-kata yang
menakjubkan: Sebuah kompleks percandian besar dari masa purbakala
berdiri tegak dekat dengan sebuah sungai kecil yang mengalir dari sebuah
gunung, dan jalan di sana sepi. Dalam deskripsi puitisnya selebihnya
tentang kompleks percandian itu terdapat banyak keserupaan dengan Loro
Jonggrang, sehingga identifikasi seperti itu tidak dapat diabaikan begitu saja
(Jordaan 1991b).
Siapapun yang mendapat kehormatan sebagai sang penemu namun
pantang diragukan bahwa minat para pakar Belanda dalam bidang arkeologi
Jawa Tengah kuat dipicu oleh karya perintisan Raffles dan Crawfurd. Minat
ilmiah ini terutama bersandar pada pengandaian Raffles dan para
pembantunya bahwa Loro Jonggrang adalah sebuah tempat suci Buddhis,
sama seperti kebanyakan candi di wilayah Prambanan.
Tidak mengherankan bila pemahaman para perintis ini terbatas selama
puing-puing reruntuhan Loro Jonggrang tertutup berbagai semak belukar dan
pepohonan. Pembersihan tempat itu dan dimulainya penggalian atas situs
kompleks percandian tersebut pada tahun 1885 dikerjakan oleh insinyur J.W.
IJzerman, yang ketika itu menjadi ketua perkumpulan arkeologis amatir
setempat. Usaha-usahanya tampaknya menegaskan bahwa Loro Jonggrang
adalah sebuah candi aiva dan bukan sebuah tempat suci

18

Candi Prambanan

Buddhis. Walaupun penggalian yang dilakukan IJzerman mewakili sebuah


terobosan penting dalam studi tentang kompleks percandian tersebut, namun
metode yang digunakannya tidak seteliti sebagaimana yang diperkirakan.
Bila dinilai menurut standar-standar keilmuan terkini, maka metode itu
sebenarnya cukup kasar, dan kita harus mengakui bahwa hasil-hasil
penggaliannya diperoleh dengan mengorbankan banyak informasi penting
dan tak bisa diperoleh kembali. Angkat contoh kerangka manusia yang
ditemukan di kawasan utama candi, tentangnya IJzerman menduga apakah
kerangka tersebut merujuk pada penguburan secara sengaja, sebuah
kecelakaan, sebuah tindak kejahatan, atau barangkali bahkan pengurbanan
manusia. Sayangnya, dia tidak mencatat tentang posisi persis kerangka itu,
dan tidak juga membuat pengujian forensik untuk menentukan jenis kelamin
serta usia kira-kira dari sang korban, atau kemungkinan sebab kematiannya
entah wajar atau sebaliknya.
Walaupun kecerobohan IJzerman patut disayangkan, namun karya
penggantinya, Groneman, benar-benar bencana. Penggalian yang dilaku
kannya tidak lebih daripada sekadar pembersihan secara kasar atas kawasan
itu, walaupun pada masa itu orang lebih suka memakai istilah halus dan
eufemistis eblayering (dari bahasa Prancis blayer, membersihkan atau
menyapu bersih). Dalam proses dimaksud:
beberapa potong kepala arca dan potongan-potongan penghias yang
ditemukan dipilah dan dideretkan secara rapi. Semua tugu batu, dengan atau
tanpa hiasan, dihela dari sana dan dibuang ke sebuah timbunan di ngarai kecil
sebelah barat kawasan candi. Karena tidak ada catatan apa pun tentang lokasi
ditemukannya berbagai potongan tersebut, maka hilanglah amat banyak
keterangan menyangkut bangunan asli serta ornamentasi candi induk dan
candi-candi tambahan [perwara]. (Verslag 1926:22; lihat juga Van Erp
1909:168.)

Demi jelasnya haruslah diterangkan bahwa ngarai kecil sebelah barat itu
adalah jurang terjal di Sungai Opak. Menurut Groneman, ada amat banyak
peluang untuk membuang potongan-potongan batu itu di wilayah terjal
menuju Opak. Seberapa banyak yang hilang di sungai itu gara-gara
kecerobohan seperti itu, termasuk fragmen-fragmen penting menyangkut
berbagai relief dan potongan arca yang patah, malah tidak dapat ditebak.

19

Roy Jordaan

Tidaklah mengherankan bila beberapa pakar dari zaman itu menilai hilangnya
informasi tersebut sedemikian besar, sehingga bahkan sebuah upaya pemugaran
di atas kertas menurut pandangan mereka kini menjadi mustahil. Hal ini
mendorong J. Brandes menyatakan maklumatnya yang kini telah masyhur
mengenai upaya-upaya Groneman sebagai pembantaian arkeologis secara
besar-besaran. Sebagai pemimpin baru perkumpulan arkeologis amatir tadi,
Groneman juga terlibat dalam keputusan pemerintah Hindia Belanda untuk
mengabulkan permohonan mendesak yang diajukan oleh Raja Siam,
Chulangkorn II, agar memperkenankannya membawa pulang ke negerinya
beberapa relief dan arca dari tempat-tempat suci terkenal Hindu-Buddhis
sebagai cendera mata lawatan kenegaraannya ke Jawa pada tahun 1896. Dengan
pengandaian bahwa terdapat beberapa contoh dari benda-benda arkeologis yang
diminta itu, dan bahwa karenanya benda-benda tersebut tidak akan dirasakan
kehilangannya, sang raja diperbolehkan memindahkan ke Siam tidak kurang dari
delapan kereta lembu jantan yang diisi penuh dengan arca dan relief. Di
antaranya ada sejumlah arca Buddha unik dari Borobudur dan beberapa relief
dari Prambanan. Khususnya berkat upaya-upaya diplomatik P.V. van Stein
Callenfels dan G. Coeds, maka dua relief Rma dari Candi Brahm dan sebuah
relief Kr ishna milik Candi Vis n u kemudian dipulangkan dan akhirnya
diletakkan kembali di tempat yang sebenarnya dalam pemugaran yang
direncanakan atas kompleks percandian itu. Namun arca-arca Buddha tadi tidak
pernah dikembalikan lagi, sebab arca-arca tersebut segera menjadi objek
peribadatan bagi orang Thai. (Untuk informasi lebih lanjut mengenai kejadian
ini, lihat Van Erp 1917, 1923 dan 1927.) Namun tidaklah adil menilai Groneman
saja yang bertanggung jawab atas kerusakan tersebut. Menyitir kata-kata Van
Erp, terdapat tangan-tangan perusak jail lain, yakni orang-orang Jawa para
warga desa di sana yang menghela batu-batu itu untuk digunakan sebagai
ambang atau fondasi rumah mereka dan segala macam keperluan lainnya.
Orang-orang Barat pun, seperti para pegawai perkebunan-perkebunan besar,
juga memakai batu-batu itu untuk membangun saluran air, gorong-gorong,
bendungan dan fondasi. Menurut Van Erp,

Menurut Jan Fontein (pemberitahuan pribadi) benda-benda itu tidak dikembalikan begitu
saja, tetapi dipertukarkan dengan sebuah fragmen pahatan yang barusan ditemukan ketika
itu in situ, dan ternyata fragmen itu kemudian diketahui sebagai bagian Gan ea dari
Singosari di Museum Bangkok. Tampaknya bahwa F.D.K. Bosch memainkan peran
penting dalam pertukaran tersebut.

20

Candi Prambanan

Perusahaan Kereta Api Hindia Belanda mempunyai andil juga dalam hal ini.
Ketika pada permulaan abad ini perusahaan tersebut merobohkan berbagai
stasiun dan pemberhentian kereta api yang sudah tua dan menggantinya dengan
bangunan-bangunan yang lebih bagus, dengan penuh rasa terkejut kita melihat
bahwa di dalam dinding-dinding yang diplester semen di pemberhentian kereta
api tua Prambanan itu tidak saja terdapat batu-batu ornamen tetapi juga
beberapa lempeng batu besar dengan ukiran-ukiran yang sangat indah. Batubatu itu dihela dari Fungrube [artinya, tempat penemuan dan penggalian]
kompleks Loro Jonggrang yang nyaris tiada habis-habisnya, yang terletak
beberapa ratus meter dari sana. (Van Erp 1943c:190; lihat juga Krom 1923a,
I:446.)

Untungnya, keadaannya tidak separah yang diperkirakan. Para arsitek dan


orang-orang Jawa yang menjadi pembantu mereka, berkat ketelitian dan
ketajaman mata mereka serta kesabaran yang tak terbatas, kemudian mampu
menciptakan suatu tatanan yang lebih autentik dari tumpukan batu yang
diwariskan Groneman. Malah mereka sedemikian berhasilnya dalam hal ini
sehingga sebuah percobaan pemugaran sebagian dapat diupayakan, baik di
atas kertas maupun di lapangan. Dengan melakukan hal ini mereka
melampaui tahap perbaikan-perbaikan konsolidasi semata-mata, yaitu
langkah-langkah untuk mencegah kerusakan lebih lanjut yang menjadi tugas
pokok Dinas Purbakala sampai saat itu. Di bawah kepemimpinan F.D.K.
Bosch, yang baru saja menduduki jabatan sebagai direktur Ouheikunige
Dienst, maka pada tahun 1918 arsitek P.J. Perquin mulai memperbaiki
bagian bawah dari Candi iva. Menurut Bernet Kempers (1978:102), sudutsudut candi yang miring dirobohkan dan kemudian ditegakkan atau
diperkokoh kembali, sedangkan sistem penyediaan air (ataukah yang
dimaksudnya drainase?) juga diperbaiki. Hal ini disusul oleh pemugaran atas
delapan menara sudut kecil (bahasa Belanda: hoektorentjes, kemudian
disebut candi kelir dan candi patok) yang terletak di masing-masing sisi dari
keempat tangga utama candi, dua darinya dipugar dari fragmen-fragmen asli.
Keenam menara lainnya dibangun kembali dari bahan-bahan baru, seturut
model dua menara pertama. Selanjutnya, diadakan pemugaran atas pagar
langkan pada lantai selasar atau lorong terusan Candi iva, termasuk
adegan-adegan tarian di sisi luar.

21

Roy Jordaan

Pemugaran fisik ini tidak mudah, dan juga tidak bebas dari kesalahan.
Dalam tahap awal ini, sang arsitek pelaksana barangkali menganggap lebih
penting untuk membangun kembali bagian-bagian tertentu daripada
menemukan sistem asli yang mendasari rancang bangun, misalnya
menyangkut relief-relief dengan adegan tarian. Hal-hal ini dan sejenisnya
mulai tampak gamblang pada tahun 1920, sehingga menimbulkan apa yang
disebut sebagai Perkara pemugaran (Restauratie kwestie) yang berlangsung
terus selama beberapa tahun, dan sehubungan dengan itu Bernet Kempers
(1978:107-112) pernah menulis sebuah ikhtisar singkat.
Sebuah panitia resmi dibentuk untuk menasihati para pejabat me
nyangkut pemugaran monumen-monumen Hindu-Jawa serta memeriksa
keperluan dan kelaikan ihwal pemugaran Candi iva di Prambanan.
Walaupun terdapat beberapa selisih paham dan pengunduran diri dari be
berapa anggotanya, namun panitia tadi menghasilkan sebuah laporan yang
mendasar (Verslag 1926). Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar
anggotanya lebih memilih upaya pemugaran daripada sekadar konsolidasi
atau pelestarian puing-puing reruntuhan candi tadi dalam keadaan seba
gaimana ditemukan. Namun hal ini tidak berarti bahwa kesalahan-kesalahan
terdahulu diabaikan begitu saja. Guna mencegah terulangnya hal-hal ter
sebut, panitia penasihat menjelaskan berbagai prosedur yang mesti diikuti
dalam upaya pemugaran tersebut. Berkat panduan-panduan itu, kini ter
bukalah jalan untuk mengadakan sebuah pemugaran menyeluruh atas Candi
iva di Prambanan (lihat juga tulisan Bernet Kempers dalam buku ini).
Sebagaimana ditulis Bernet Kempers (1978), kerja pemugaran itu sering
kali menemui aneka rupa penundaan. Mula pertama, arsitek muda yang baru
diangkat untuk tugas itu, yaitu De Haan, harus menghabiskan waktu
berbulan-bulan untuk memeriksa kembali pekerjaan yang telah dilakukan
para pendahulunya, yang dalam pada itu telah dipindahtugaskan ke tempat
lain, dan memperbaikinya bilamana mungkin. Setelah itu ia
menenggelamkan dirinya dalam upaya pemugaran atas Candi Brahm dan
kedua candi apit. Pekerjaan itu dipersulit lagi oleh berbagai pemotongan
anggaran serta resesi dunia pada tahun 1930-an. Tragisnya lagi, De Haan
meninggal dunia pada tahun 1930, persis sebelum penyelesaian pemugaran
atas kedua candi apit tersebut, antara tahun 1932 dan 1933.
Van Romondt, pengganti De Haan, harus puas dengan pembatasanpembatasan anggaran serupa, dan baru pada tahun 1937 pemugaran akhir

22

Candi Prambanan

atas Candi iva dimulai lagi dengan dana khusus. Proyek ini direncanakan
akan berlangsung selama beberapa tahun.
Penuntasan kerja itu ditunda karena pecahnya Perang Dunia II, disusul
oleh perjuangan kemerdekaan Indonesia. Begitulah, pemugaran atas candi
induk, yang telah dimulai sejak tahun 1918, baru berhasil dituntaskan pada
tahun 1953, di bawah bendera negara baru. Upacara peresmian dipimpin
Soekarno, presiden pertama Indonesia.
Karena segala macam keadaan, pemugaran selebihnya atas kompleks
percandian Prambanan juga mengalami sejumlah penundaan, tapi karena
raibnya dokumen tertulis maka jalannya berbagai peristiwa menjadi sulit
untuk dirunut kembali. Bernet Kempers (1978:171) melaporkan bahwa
setelah perang, dua dari ke-224 candi perwara yang terletak di antara tembok
pembatas pertama dan kedua mulai dibangun. Berbagai pemugaran
percobaan dengan model skala berukuran penuh atas Candi Brahm dan
Candi iva tampaknya secara umum sudah siap pada tahun 1944. Pada tahun
1978 Bernet Kempers mengungkapkan keyakinannya bahwa, mengingat
kegiatan-kegiatan lain Dinas itu, pemugaran tersebut barangkali tidak akan
mendapat prioritas.
Dalam pada itu, baik Candi Brahm maupun Candi Vis n u telah berhasil
dibangun kembali. Candi Vis n u, yang terakhir dari candi-candi Trimrti,
diresmikan Presiden Soeharto pada tahun 1991, sebagaimana yang tertera
pada plaket dekat arca Garud a baru yang dipasang di sebelah gapura utama
untuk peristiwa peresmian tersebut. Pemugaran atas candi-candi selebihnya,
yakni yang disebut sebagai Candi Nandi, Candi A dan Candi B di kawasan
candi induk baru belakangan ini dituntaskan.
Saya tidak tahu entah dalam pemugaran atas candi-candi tersebut,
panduan-panduan yang sudah diletakkan oleh panitia penasihat kolonial
diikuti seluruhnya, namun tampaknya hal ini diragukan. Selama keberadaan
di Indonesia belakangan ini saya sering kali terheran-heran oleh kehadiran
para buruh di candi itu yang sedang menggergaji batu, suatu aktivitas yang
Menurut Ouheikunig Verslag edisi 1941-1947, laporan itu sendiri baru muncul pada
tahun 1949, pihak Jepang melanjutkan kerja pemugaran sampai pasokan semen dan
bahan-bahan bangunan lainnya terhenti karena nafsu perangnya sendiri.
Dalam sebuah buku berbahasa Indonesia (Anom 1993:2) dilaporkan bahwa pemugaran
atas Candi Brahm dimulai pada tahun 1978, sedangkan pemugaran atas Candi Vis n u
membutuhkan waktu sekitar sembilan tahun hingga dituntaskan (1982-1991). Pemugaran
atas candi-candi lain yang secara salah disebut candi-candi wahana dimulai pada tahun
1991 dan selesai pada tahun 1994.

23

Roy Jordaan

sulit disesuaikan bagi saya dengan tuntutan-tuntutan mengenai sebuah


pemugaran yang autentik. Tidak mudah untuk mengatakan apakah hal ini
merupakan sebuah perkembangan baru atau apakah hal ini merupakan sebuah
praktik yang masih sepadan dengan panduan-panduan yang sudah diletakkan
oleh panitia penasihat kolonial tersebut. Malah Verslag (1926:18) menandaskan
bahwa panitia akan senang mengamati berbagai eksperimen yang dilaksanakan
sebelumnya guna menentukan sampai sejauh mana para tukang yang ada
sekarang ini mampu memugar berbagai profil, ornamen, dan pahatan, biarpun
dalam bentuk deskriptif saja. Merujuk pada Foto 2, yang memperlihatkan
sebuah relief iva persis di bawah kepala Kla, mustahillah untuk mengatakan
apakah sosok makhluk kayangan yang menggelantung pada segumpalan awan
yang terletak di atas pundak kanan iva adalah sebuah contoh tentang cara
penggergajian deskriptif semacam itu, atau hal itu mesti dianggap sebagai bukti
bahwa relief itu tidak pernah selesai.
Salah satu isyarat yang tidak dapat dibantah bahwa pemugaran atas
kompleks percandian itu tidak dikerjakan sesuai dengan aturan-aturan lama,
yaitu dirobohkannya secara sengaja satu bagian kecil dari tembok sebelah
dalam yang pertama, sehubungan dengan perbaikan drainase di halaman
pusat kompleks percandian. Untuk tujuan ini maka digali saluran-saluran
dangkal yang berujung pada lubang di tembok yang baru dibobol itu.
Kemudian (pada tahun 1993) saluran-saluran tersebut mulai digantikan oleh
saluran-saluran drainase beton dan beberapa tangki penampung air yang
besar. Betapapun masuk akalnya langkah-langkah drainase ini namun kritik
tajam tak bisa ditutup-tutupi. Bukan karena langkah-langkah tersebut
bertentangan dengan aturan-aturan yang sudah ditetapkan pada masa
kolonial, yang juga tidak diikuti pada pemugaran atas sungkup dari atap
Candi iva yang dengan sengaja dibangun dengan beton bertulang,
melainkan karena langkah-langkah itu tampaknya tidak dipikirkan secara
matang dan mengabaikan rancangan asli dan niat-niat yang sebenarnya dari
para arsitek Hindu-Jawa. Penemuan kembali gagasan yang menjadi landasan
rancang bangun asli telah menjadi prinsip pembimbing dari berbagai
rekomendasi yang diajukan panitia penasihat. Dalam sejumlah
Guna menunjukkan digunakannya sebongkah batu baru, bekas Ouheikunige Dienst itu
biasanya menempelkan sebuah segel timah kecil pada batu itu, yang tidak saya temukan
pada batu yang dibahas di sini. Selama beberapa tahun belakangan ini, Dinas Purbakala
Indonesia memasukkan damar epoksi ke dalam lubang-lubang kecil yang dibor secara
khusus pada setiap batu baru sebagai ganti segel-segel timah tadi (Soenarto 1991:29)

24

Candi Prambanan

terbitan belakangan ini saya telah berupaya menunjukkan bahwa drainase


yang kurang baik pada halaman pusat kompleks percandian tidak disebabkan
oleh adanya kesalahan yang mungkin terjadi dalam desain oleh para arsitek
dan pembangun asli, tetapi tampaknya menjadi bagian dari rancangan asli
mereka menyangkut pembangunan sebuah waduk atau kolam buatan
(Jordaan 1995). Karena di sini bukan tempatnya untuk membedah hipotesis
tersebut secara terperinci, maka saya akan kembali lagi ke soal ini dalam
pembahasan tentang latar belakang mitologis dari rancangan dan tujuan para
pembangun (lihat Bagian 7).

4. Lokasi cani ari perspektif historis-buaya


Sebagaimana yang telah ditandaskan di atas, kompleks percandian Loro
Jonggrang terletak di Desa Prambanan (sekarang Bokoharjo), di sebelah timur
kota Yogyakarta, di jalan raya utama yang menghubungkan Yogyakarta dan
Surakarta. Bila dari arah Yogyakarta, kompleks percandian itu terletak di
seberang Sungai Opak, yang bersumber di Gunung Merapi dan akhirnya
bermuara di Samudra Indonesia. Kenyataan sederhana ini memunculkan sebuah
pertanyaan tentang orang-orang Jawa yang membangun candi ini dan
menggunakannya untuk peribadatan mereka sehari-hari.
Apakah pemukiman mereka juga terletak di sisi timur sungai itu?
Tampaknya hal ini mungkin, mengingat kenyataan bahwa Sungai Opak,
khususnya selama musim hujan, sangat berbahaya dan berisiko untuk
diseberangi (IJzerman 1891:38; Krom 1923a, I:254). Lebih dari itu,
kenyataan bahwa gapura utama candi terletak di sisi timur, selain memiliki
makna religius dan simbolis, bisa menunjukkan arah lokasi pemukiman.
Mengingat ukuran besar kompleks percandian itu, selanjutnya tidak bisa
dikesampingkan kenyataan bahwa pemukiman itu terbilang penting, malah
barangkali pusat kerajaan Jawa, di mana juga berlokasi keraton, sebagai
istana sang penguasa. Namun tidak jelas di mana persisnya tempat itu,
walaupun kita bisa membuat beberapa perkiraan.

Cani an keraton
Sebelum membahas perkiraan-perkiraan tersebut, kita mesti mencatat bahwa
pertanyaan tentang lokasi dari keraton Jawa Tengah dahulu kala menjadi
pokok yang telah lama diperdebatkan oleh para arkeolog dan

25

Roy Jordaan

sejarawan. Pada mulanya mereka yakin bahwa candi dan keraton terletak
berdekatan satu sama lain. Krom cenderung memandang Loro Jonggrang
sebagai sebuah candi kerajaan, dan meyakini bahwa pembangunan candi
dengan ukuran sebesar itu, lengkap dengan rancangan dan pelaksanaan yang
luar biasa, hanya mungkin [didirikan] di sebuah pusat kerajaan yang kuat
dan makmur [dan] bukan sembarang tempat (Krom 1931b:171). Ia menolak
penggunaan istilah kota candi dan pemukiman para pedanda yang
dipakai M. Lulius Goor (1919:3, 1929) dan kawan-kawan, karena istilahistilah itu menyiratkan bahwa Prambanan adalah sebuah tempat suci yang
semata-mata dihuni para pedanda dan petugas kuil, selain suatu tempat
berziarah secara berkala. Sebaliknya, lanjut Krom, kita harus
membayangkan sibuknya aktivitas dari para penduduk sebuah kota besar di
kompleks percandian ini, lengkap dengan segala macam kerajinan,
perdagangan dan perniagaan yang berkaitan dengannya (Krom 1923a,
I:254). Krom menyebut kota ini sebagai sebuah kota besar, mungkin ibu
kota negara, yang terdiri atas sejumlah blok pemukiman terpisah.
Mengikuti pendapat J.C. van Eerde, ia menduga bahwa jumlah candi
tambahan [perwara] di Loro Jonggrang sepadan dengan banyaknya distrik,
yang masing-masing diandaikan untuk menjaga candinya sendiri dan
mempersembahkan sesajen kepada dewa yang berdiam di candi itu, abdi dari
Dewa Mahatinggi (Krom 1923a, I:453; lihat juga Van Eerde 1911:22).
Distrik di sebelah barat, dengan Candi Kalasan sebagai pusatnya,
diyakini lebih tua dan berhubungan dengan dinasti asing ailendra, yang
diduga memiliki keraton sendiri di dataran tinggi Ratu Boko yang terletak
lebih ke selatan. Setelah pengusiran dinasti ailendra pada paruh kedua abad
ke-9, kota itu diyakini diperluas ke arah timur dan ketika itu dimulailah
pembangunan kompleks percandian Loro Jonggrang. Krom berpendapat
bahwa para penguasa baru dari Kerajaan Mataram, yang diduga meraih
kembali kekuasaan dari pangkalan mereka di Jawa Timur, juga memiliki
keratonnya sendiri di Prambanan, dan bukan di Ratu Boko yang telah
ditinggalkan dinasti ailendra. Namun keraton itu dipindahkan ke Jawa
Belakangan, Bennet Bronson (1977) menandaskan bahwa situs Prambanan mesti memiliki
beberapa ratus ribu penduduk alih-alih sekadar suatu pusat peribadatan yang sematamata dihuni para pedanda, pegawai dan abdi dalem. Walaupun menyebut Prambanan
sebagai wilayah yang terkurung daratan dengan beberapa sungai yang cuma memberi
peluang transportasi tak seberapa, namun Bronson membayangkan adanya jalur
perniagaan melalui darat ke pantai utara pulau itu.

26

Candi Prambanan

Timur pada paruh pertama abad ke-10, karena terjadinya bencana alam,
seperti letusan gunung berapi atau karena wabah penyakit (Krom 1923a,
I:440; 1923b:83).
Di lain pihak, Stutterheim secara perlahan-lahan memisahkan dirinya
dari pandangan lazim, yaitu bahwa lokasi keraton mesti dicari di wilayah
pedalaman. Ia beranggapan tidaklah mungkin bahwa sebuah keraton
didirikan di dataran tinggi Ratu Boko; lokasi semacam itu baginya lebih
cenderung merupakan sebuah tempat kebaktian agama lengkap dengan para
petapanya (Stutterheim 1926a). Sebagian berdasarkan tradisi kerakyatan
Jawa yang kuat, yang mengaitkan ibu kota legendaris yang disebut Md ang
dengan Medang Kamulan di Grobogan dekat Semarang (lihat peta), ia mulai
mempertimbangkan sebuah lokasi di pantai utara Jawa (Stutterheim
1929b:19). Dugaannya bahwa keraton Jawa Tengah bahari itu barangkali
terletak di sana, dekat dengan pelabuhan dan jalur-jalur perniagaan,
diperkuat ketika ia mulai memahami candi Jawa dalam terang teori candi
sebagai makam yang ia kembangkan, yang menganggap candi sebagai
tempat pemakaman atau mausoleum untuk satu atau beberapa penguasa yang
mangkat. Alhasil, wilayah pedalaman di mana berlokasi sebagian besar
candi penting dianggap sebagai wilayah yang dikhususkan bagi para dewata
(yang menurutnya tidak lebih daripada para leluhur Jawa yang didewakan),
berseberangan dengan kawasan pantai yang menjadi pemukiman penduduk
(Stutterheim 1932:278-282). Lebih dari itu, Stutterheim memikirkan adanya
hanya satu keraton, karena menurut pandangannya kerajaan tua Mataram
diperintah hanya oleh satu dinasti, yakni dinasti ailendra, yang beberapa di
antara mereka mulai menganut Buddhisme pada abad ke-8.
Gagasan Stutterheim bukan tanpa pengaruh tertentu. Menyangkut lokasi
keraton, sebagai reaksi pertamanya Krom mengakui bahwa tidak bisa
diabaikan kemungkinan bahwa Medang Kamulan pernah menjadi lokasi
sementara untuk keraton selama berlangsungnya pemindahan keraton itu
dari Jawa Tengah ke Jawa Timur. Namun ia tidak merasa bahwa tradisi
tentang keraton baru yang dipindahkan ke Medang dari Prambanan,
sebagaimana yang dicatat Raffles, bertentangan dengan pandangannya
bahwa lokasi keraton lama harus dicari di atau dekat Prambanan, walaupun
bukan di dataran tinggi Ratu Boko, yang tetap dikaitkannya dengan dinasti
ailendra yang terusir, kendatipun berseberangan dengan pengamatan-

27

Roy Jordaan

pengamatan Stutterheim, namun lebih jauh ke arah timur. Krom malah tidak
mau mengabaikan kemungkinan bahwa Mataram boleh jadi memiliki lebih
dari satu keraton, selama tetaplah mustahil untuk menentukan secara pasti
apakah arti istilah Poh Pitu (tujuh Poh), yang dipakai sehubungan dengan
Medang, merujuk pada keraton yang dimiliki tujuh penguasa berturut-turut
(Krom 1931:168-171).
Gagasan Stutterheim pada mulanya tampak didukung hasil-hasil
eksplorasi arkeologis di wilayah Prambanan dan Sorogedug. Banyak
keramik dan tembikar secara sistematis dikumpulkan di sana antara tahun
1939 dan 1940, yang berasal dari jangka waktu yang sama seperti monumenmonumen tersebut namun termasuk tidak ditemukannya peralatanperalatan rumah tangga tidak menyiratkan adanya pemukiman
(Soekmono 1967:4). Walaupun dimulainya lagi penggalian arkeologis di
wilayah Grobogan di pantai utara persis sesudah perang kemerdekaan sangat
memperkokoh kemungkinan pendapat tentang adanya sebuah keraton yang
pernah didirikan di sana, namun tidak semua arkeolog meyakini hal tersebut.
Hal ini terutama karena adanya keragu-raguan tentang keabsahan
pengandaian bahwa candi dapat disamakan dengan makam, yang menjadi
teori yang mendasari gagasan Stutterheim.
Hanya bersamaan dengan meredupnya popularitas teori candi sebagai
makam setelah Perang Dunia II (Bosch 1954, OConnor 1966; Soekmono
1974), maka dapatlah diajukan pertanyaan tentang makna candi dan keraton
Jawa Tengah sebagai dua hal yang berbeda namun tetap saling berkaitan.
Bosch semata-mata menegaskan bahwa keraton (kata itu selalu
digunakannya dalam bentuk tunggal) tidak pernah bisa berada di tempat lain
kecuali di wilayah pedalaman, dengan mengatakan:
Dan sekali lagi di wilayah pedalaman itulah, di tempat yang nyaris tidak dapat
dijangkau di dataran rendah Kedu dan Prambanan, yang dari segala penjuru
dikelilingi oleh gunung-gunung berapi, di masa kejayaan Jawa Tengah, istana
raja itu mesti ditemukan. (Bosch 1961b:10.)

Bosch tidak menyatakan pendapatnya menyangkut persoalan di mana


persisnya istana raja itu berlokasi, demikian pula dengan Bernet Kempers
yang tidak melibatkan dirinya dalam persoalan tersebut, selain mendalilkan
bahwa:

28

Candi Prambanan

Di Jawa Tengah, kita tidak memiliki kepastian apa pun tentang tempat-tempat
di mana pemukiman-pemukiman tersebut berada. Orang cenderung berpikir
tentang kawasan Prambanan dengan pelbagai candinya walaupun apakah
benar monumen-monumen kerajaan seperti itu sungguh-sungguh menjadi
milik sebuah kota? dan juga tentang pantai utara di mana bagaimanapun juga
mesti ada pemukiman-pemukiman niaga [...]. Sebuah contoh unik tentang
wilayah yang dipenuhi puing-puing reruntuhan, di mana setidak-tidaknya kita
bisa melacak adanya bekas-bekas istana raja, adalah dataran tinggi Ratu Boko
[...]. (Bernet Kempers 1978:20-21.)

Namun satu halaman kemudian Bernet Kempers mengakui bahwa Ratu


Boko secara praktis hampir tidak bisa menjadi lokasi untuk sebuah keraton,
dan barangkali lebih merupakan taman hiburan raja, seperti pesanggrahan
Sultan yang muncul kemudian.
Barangkali patut dicatat bahwa Bernet Kempers tidak mengatakan apa
pun juga tentang dinasti raja yang menggunakan kompleks Ratu Boko itu,
entah sebagai istana atau taman bermain. Kebisuannya ini kian mencolok
dalam terang gagasan-gagasan baru menyangkut Ratu Boko yang dalam
pada itu dikemukakan De Casparis, yang tesis Ph.D.-nya disupervisi oleh
Bernet Kempers sendiri sebagai promotor. Berdasarkan riset epigrafisnya,
De Casparis (1956:255) menyimpulkan bahwa dataran tinggi Ratu Boko
sebelumnya dikenal dengan nama Walaing. Sama seperti Krom, De Casparis
yakin bahwa terdapat suatu kaitan yang erat antara kawasan itu dengan
dinasti ailendra Buddhis, walaupun ia sendiri menghindari penggunaan
kata keraton.
Menurut De Casparis, dataran tinggi Ratu Boko adalah tempat di mana
pada tahun 855 M berlangsung pertempuran terakhir antara dinasti ailendra
yang kian tersudut dan seorang penguasa aiva Jawa yang merangsek maju
dari arah utara. Penguasa aiva yang keluar sebagai pemenang konon
dikatakan tidak hanya membangun beberapa kuil lingga di Ratu Boko
sebagai simbol kemenangannya, tetapi juga membangun salah satu istananya
di sana (De Casparis 1956:343). Dalam sebuah terbitan kemudian De
Casparis (1964) memperlihatkan, berdasarkan informasi baru dari berbagai
prasasti, bahwa sebuah wihara Buddhis yang terkenal barangkali berlokasi di
dataran tinggi Ratu Boko, dan bahwa wihara ini mesti memiliki

29

Roy Jordaan

ikatan yang erat dengan Abhayagiri, pusat agama Buddha yang terkenal di
Sri Lanka pada waktu itu (lihat juga Lokesh Chandra 1986).
Bagaimanapun juga pernah ada sebuah keraton ailendra dekat
kompleks percandian Prambanan (demikian juga sebuah wihara di Ratu
Boko) sebagaimana yang dapat disimpulkan dari sebuah laporan Cina
tentang lawatan rombongan duta Birma ke Jawa sekitar tahun 800 M (Pelliot
1904:224); pentingnya dokumen ini untuk memugar sejarah Indonesia bahari
ditunjukkan secara gamblang oleh Brian E. Colless (1970). Dari paparan
singkat atas perjalanan orang-orang Birma itu ke Jawa, dapatlah disimpulkan
bahwa di wilayah pedalaman (di seberang dua gunung besar, yang
diserupakan Colless dengan Gunung Merbabu dan Gunung Merapi) terletak
sebuah kerajaan, dan penguasanya menyebut dirinya mahrj. Hampir
pasti bahwa yang dimaksudkan di sini adalah seorang penguasa ailendra,
bukan terutama karena kaum ailendra memiliki preferensi khusus pada
gelar mahrj (Coeds 1934:68, 1959:46), melainkan terlebih-lebih seturut
informasi bahwa di kerajaan di Jawa Tengah ini adat kebiasaan yang
serupa juga diamati di rvijaya, yakni kerajaan Buddhis Mahyna
terkenal di Sumatra Selatan, yang juga dikunjungi rombongan duta Birma
tadi pada permulaan lawatan mereka.
Bertentangan dengan klaim yang berlebih-lebihan dari Bosch mengenai
posisi geografis yang terisolasi dari Jawa Tengah, sebagaimana yang dikutip
sebelumnya, orang-orang Birma itu melaporkan bahwa terdapat sebuah
kerajaan lain yang terletak cuma beberapa hari perjalanan jauhnya. Kerajaan
itu disebut Shepo, dengan kata lain Jawa, atau sebagaimana yang dianjurkan
Colless berdasarkan kesaksian Cina kemudian, kota Jawa. Kerajaan itu
terletak di pantai utara Jawa, yang sangat boleh jadi merupakan situs
Medang yang lama dicari di wilayah Grobogan. Bagi Colless informasi ini
mendukung teori bahwa terdapat dua dinasti yang saling berseteru di Jawa
Tengah kuno, yakni kaum ailendra di Wailang (Ho-ling) dan sebuah dinasti
Jawa yang disebut Colless, mengikuti pendapat De Casparis, kaum
Sajaya.
Bukanlah tempatnya di sini untuk membedah pertanyaan pelik
menyangkut apakah terdapat satu atau dua atau malah lebih dinasti yang
saling berseteru di Jawa Tengah kuno, atau yang bersangkut paut dengan
relasi yang masih sangat kurang jelas antara kaum ailendra dan para
penguasa Kerajaan rvijaya di Sumatra Selatan itu. Berkenaan dengan

30

Candi Prambanan

lokasi sebuah keraton dekat Prambanan, satu hal yang dapat disebut sebagai
tambahan ialah dua penemuan belakangan ini di Wonoboyo, sebuah dusun
yang terletak lima kilometer ke arah timur kompleks percandian Prambanan,
pada penghujung tahun 1990 dan 1991, berupa sebuah guci besar berisi
beberapa kilogram emas dan perhiasan-perhiasan dari perak beserta
perabotan-perabotan non ritual yang berasal dari abad ke-9 atau 10. Kedua
penemuan ini merupakan isyarat yang kuat tentang adanya sebuah keraton
(Kompas 1990a, 1990b; Temu 1993; Wahyono Martowikrido 1994). Masih
harus ditentukan secara pasti harta benda ini berasal dari dinasti mana,
namun ukiran-ukiran yang menggambarkan berbagai kejadian dari karya
sastra Rmyan a yang terdapat di beberapa harta penemuan itu menurut
beberapa arkeolog Indonesia menyiratkan keterkaitan dengan Candi
Prambanan, di mana episode-episode dari wiracarita yang sama dilukiskan
pada Candi iva dan Candi Brahm.

5. Penanggalan kompleks percanian: merunut kembali sejarahnya


Sampai belakangan ini penanggalan pasti untuk Loro Jonggrang nyaris
mustahil, mengingat tidak ditemukannya prasasti pendiriannya. Hanya
terdapat beberapa penanggalan sementara, yang tiap-tiap kali terbukti
kesalahannya dan diganti oleh penanggalan yang lebih awal. Jadi, walaupun
menurut Crawfurd (1820a:361-362, 1856:68) kompleks percandian
Prambanan di timur Sungai Opak, tidak berasal dari zaman kuno yang
sangat jauh dan tidak dapat diberi penanggalan lebih dahulu dari abad ke12 atau 13, namun para pakar selanjutnya menganggap tahun pendiriannya
sekitar paruh kedua abad ke-9 atau permulaan abad ke-10 artinya, dalam
jangka waktu antara pengusiran dinasti ailendra Buddhis dan perpindahan
pusat pemerintahan dari Jawa Tengah ke Jawa Timur.
Beberapa kalangan memandang perpindahan ini, yang diandaikan
disebabkan oleh bencana tertentu, sebagai penjelasan yang dapat diterima
atas kenyataan bahwa pembangunan kompleks percandian itu tidak tuntas.
Keadaan tak selesai ini disimpulkan dari kurangnya hiasan pada tembok
halaman dalam yang pertama, dan juga katanya pada beberapa bangunan
(Lulius van Goor 1919:4; Soehamir 1948:6). Krom agak mendua dalam hal
ini. Ia juga menempatkan fase akhir pembangunan kompleks percandian itu
pada tahun-tahun penghabisan kejayaan Jawa Tengah, yang berujung

31

Roy Jordaan

pada musibah, sebagaimana terbukti dari tidak ditemukannya sisa-sisa


sesajen dalam beberapa perigi candi, di mana biasanya ditemukan abu dan
bahan-bahan lainnya (hal ini akan dibahas kemudian). Namun ia juga
menandaskan bahwa banyak candi di Jawa Timur tidak pernah tuntas (Krom
1923a, I:441; 1923b:1-32).
Baru setelah Perang Dunia II pendirian candi itu diberi penanggalan
oleh pakar epigrafi De Casparis (1956:280-330) pada paruh kedua abad ke9, berdasarkan terjemahan atas sebuah prasasti metris Jawa Kuno dari tahun
856 M. Prasasti batu ini pada mulanya terdaftar dalam katalog Museum
Nasional di Jakarta dengan seri D28, namun juga dikenal sebagai prasasti
ivagr ha (Damais 1952:30), akan tetapi demi jelasnya saya akan
menyebutnya sebagai prasasti Loro Jonggrang. Walaupun prasasti itu hanya
menyinggung tentang peresmian sebuah ivagrha,
yang secara harfiah

berarti Rumah iva, namun De Casparis secara meyakinkan membuktikan


bahwa uraian tentang candi yang tertera dalam prasasti tersebut seluruhnya
merujuk pada kompleks percandian Loro Jonggrang. Identifikasi ini kini
sudah diterima secara umum. Tanpa bermaksud meragukan identifikasi ini,
ada kemungkinan lain untuk menafsir prasasti ini, yang memaksa kita untuk
memberi penanggalan atas pembangunan kompleks percandian yang lebih
lampau, yaitu dari paruh kedua hingga permulaan abad ke-9 atau malah
mungkin abad ke-8 (Jordaan 1993).
Yang mana dari kedua penanggalan terakhir tadi harus dipilih ber
gantung pada bacaan secara tepat atas prasasti tadi. Bagaimanapun juga yang
pasti bahwa prasasti itu tidak melaporkan pembangunan kompleks
percandian tersebut baru dimulai pada tahun 856 M. Sebaliknya, kita
mendapat kesan kuat bahwa pembangunan itu sudah cukup maju pada tahun
tersebut. Gagasan serupa tampaknya dianut C. Holt (1967:54), berdasarkan
pernyataannya bahwa terdapat beberapa isyarat bahwa kompleks
percandian itu atau sekurang-kurangnya tahap permulaannya telah mulai
dibangun lebih awal. Perincian yang saya buat atas apa yang
Mengenai keadaan tidak tuntas yang tampak disengaja dari kebanyakan tempat suci
Hindu-Jawa, Bosch (1920:164, catatan kaki no. 5) mengikuti pendapat Aymonier
menyatakan bahwa sebaiknya kita memikirkan kemungkinan adanya pertalian antara hal
ini dan gagasan-gagasan tertentu mengenai dampak penyelesaian untuk raja penyokong.
Penyelesaian suatu karya yang sarat manfaat bisa saja memperpendek usia sang
penyokong, atau sebaliknya perpanjangan karya itu bisa memperpanjang atau
memperbesar peluang-peluang sang raja untuk meningkatkan pahala-pahalanya.
Dalam nada serupa, Damais menulis bahwa terdapat kemungkinan yang kuat bahwa

32

Candi Prambanan

disebut sebagai persesuaian aneh, yang dicatat De Casparis, antara


paparan tentang candi itu dalam prasasti Loro Jonggrang dan kompleks
percandian itu secara aktual tidak saja mencakup ivagrha,
Rumah iva
(yang sama-sama bisa ditafsir dalam bentuk jamak sebagai Rumah-rumah
iva), tetapi juga tembok yang mengitari halaman pusat yang berupa waduk
(tamwak), bangunan-bangunan berupa paviliun dekat pintu-pintu gapura,
serta deretan-deretan candi-candi perwara yang dirancang sebagai
bangunan-bangunan nazar (anumoa gawai) (Jordaan 1991a). Mubazir
tampaknya untuk menandaskan bahwa semua unsur ini tidak mungkin
dibangun antara tahun 855-856, yaitu jangka waktu antara pengusiran dinasti
ailendra dari Jawa dan peresmian kompleks percandian itu setahun
kemudian. Bahkan bila peresmian tersebut cuma atas candi induk, namun
proyek itu niscaya sudah dimulai beberapa dasawarsa sebelumnya. Akan
tetapi, perkiraan ini berseberangan dengan dugaan yang dikemukakan
Dumaray, yang baru-baru ini menandaskan bahwa pembangunan Candi
Prambanan tak diragukan lagi dimulai pada tahun 832 dan diselesaikan
pada tahun 856, sehingga seluruh kompleks percandian itu cuma dibangun
dalam waktu 24 tahun (Dumaray 1993:74; lihat juga Dumaray 1991:55).
Tentu saja bukan soal bilangan tahun persis yang dipermasalahkan di
sini, sehingga pendirian candi itu mesti digeser mundur, melainkan terutama
ihwal menempatkan pembangunan candi itu dalam sebuah zaman agamawipolitik yang lain, yakni apa yang disebut sebagai masa peralihan
pemerintahan (interregnum) dinasti ailendra. Implikasi masa peralihan
tersebut ternyata kurang dapat diterima sebagaimana yang mula pertama
saya duga barangkali secara agak naif mungkin karena kenyataan bahwa
hal itu bertentangan dengan pandangan yang lazim diterima ketika itu
mengenai monumen Loro Jonggrang sebagai saingan Borobudur, yang
dimaksudkan untuk mengenang secara simbolis digapainya kembali
kekuasaan atas Jawa oleh satu dinasti aiva pribumi. Maka, Dumaray
memperkirakan, yang tampaknya lebih diilhami oleh perkiraan penafsiran
De Casparis atas data yang tertera pada prasasti tadi daripada oleh
pertimbangan-pertimbangan dari segi arsitektural: 832 adalah tahun dari
prasasti ailendra yang terakhir dan 856 adalah tahun dari prasasti Loro
kompleks percandian Prambanan diresmikan pada bulan November 856 M (Damais
1968:487). Bennet Bronson (1977:258, tabel 14.1) memperbaiki secara cukup akurat masa
kejayaan situs Prambanan antara tahun 675-1000 M, namun ia memahaminya secara tidak
tepat sebagai kurang-lebih persetujuan umum dalam penelitian terkini.

33

Roy Jordaan

Jonggrang.10 Selain itu, terdapat segala macam pertimbangan menyangkut


gaya seni yang tampaknya menentang penanggalan yang lebih awal. Namun
riset selanjutnya telah memperlihatkan bahwa baik teori saingan maupun
argumen-argumen mengenai gaya seni sama sekali tidak memuaskan, dan
sebaiknya kita melupakan kedua-duanya (Jordaan 1993). Guna membukti
kan kebenaran hal ini kita harus mengkaji paham-paham terdahulu tentang
Loro Jonggrang, yaitu gagasan-gagasan yang dianut oleh para arkeolog dan
sejarawan seni tentang siapa yang membangun kompleks percandian
tersebut, dan apa tempat candi itu dalam perkembangan kesenian HinduBuddhis di Jawa.

6. Tentang para peniri, gaya seni, an teori-teori arkeologis


Jika kita melangkah mundur guna memeriksa aneka ragam, jika bukan
jejaring pandangan yang dianut para arkeolog mengenai penanggalan serta
latar belakang keagamaan Loro Jonggrang, maka kita mencatat adanya suatu
perkembangan yang luar biasa aneh, yang pada waktu itu bertentangan
dengan hasil-hasil yang dapat dilihat dari berbagai peng galian di situs candi
itu serta analisis atas berbagai prasasti. Sebuah penelitian belakangan ini atas
pandangan-pandangan terdahulu tentang Loro Jonggrang (Jordaan 1993:523) memperlihatkan sejumlah tema atau pokok tertentu yang selalu berulang.
Di antaranya: 1. masalah kedekatan letak candi-candi Buddhis dengan Loro
Jonggrang; 2. kemiripan gaya seni yang bisa diperagakan antara Loro
Jonggrang dan candi-candi Buddhis; 3. pengaruh yang diandaikan dari
kultus sinkretis iva-Buddha; 4. posisi dinasti ailendra; 5. persaingan yang
dipersangkakan antara Loro Jonggrang dan Borobudur.
Bila kita sekali lagi merangkum pembahasan menyangkut aplikasi tematema ini, dan melengkapinya dengan berbagai perincian baru di mana perlu,
maka menjadi gamblang bahwa para pakar Belanda pertama yang
mempelajari Loro Jonggrang, mengikuti pendapat Mackenzie (1814) dan
Raffles (1817), mengidentifikasi kompleks percandian itu sebagai monumen
Buddhis. Bersamaan dengan berlalunya waktu, bukti
10

Bandingkan hal ini dengan perkiraan yang lebih sementara dari Van Lohuizen-Leeuw
mengenai jangka waktu pembangunan Borobudur: pendirian monumen ini rupanya telah
dimulai sekitar tahun 775 M, namun berapa lama persisnya waktu yang dibutuhkan untuk
menuntaskan bangunan besar ini hanya bisa ditebak, walaupun mungkin memerlukan
sekitar 40 tahun (1980:277).

34

Candi Prambanan

yang kian nyata mengenai corak aivanya, dalam bentuk berbagai arca dan
relief, kurang-lebih dikesampingkan dengan sengaja (lihat Brumund 1868;
Leemans 1873). Bagi kebanyakan peneliti dahulu kala, kedekatan letak dari
berbagai candi Buddhis dengan Loro Jonggrang tidak dapat didamaikan
dengan kebaktian kepada para dewata yang termasuk dalam panteon
Brahmanis.
Crawfurd (1820a, 1820b) adalah satu-satunya peneliti awal yang tidak
dapat menafikan bukti tentang corak aiva dari Loro Jonggrang, walaupun ia
juga tidak dapat menyangkal adanya berbagai kesejajaran gaya seni yang
mencolok dengan bangunan-bangunan Buddhis seperti Borobudur. Ia
menjelaskan berbagai persesuaian ini dengan mengandaikan adaptasi
aivisme terhadap Buddhisme, yang mendorongnya untuk berbicara tentang
suatu agama yang dibarui.
Baru dengan penggalian yang dilakukan IJzerman (1887), yang antara
lain berhasil menemukan arca iva Mahdeva di bilik pusat candi induk,
maka kemiripan secara fisik dengan candi-candi Buddhis justru
menunjukkan toleransi timbal balik dan perihal hidup berdampingan secara
rukun antara Buddhisme dan aivisme di Jawa kuno. Karena alasan tertentu
ia malah berbicara tentang Buddhisme yang merosot dan aivisme yang
penuh semangat (IJzerman 1887:271, 1891:55).
Riset Groneman selanjutnya (1893) menandai suatu putar haluan se
mentara ke posisi terdahulu, sebab Groneman, walaupun ada berbagai
penemuan terkini, menandaskan bahwa Loro Jonggrang pada hakikatnya
merupakan sebuah candi Buddhis. Ia mengenali semua jenis benda, seperti
genta-genta dan pohon-pohon kalpataru yang dilukiskan pada berbagai
relief, sebagai contoh-contoh nyata tentang kesenian Buddhis. Khususnya
sikap badan dan laksana dari berbagai dewata mendorongnya untuk
berpendapat bahwa semua itu hanya bisa merupakan ekspresi atau
manifestasi dari dibuddha. Guna mendukung teorinya, ia merujuk pada
Sutasoma sebagai sebuah contoh dari karya sastra Jawa Kuno yang terdapat
kaitan erat antara Buddhisme dan aivisme dapat dipindai. Dengan
demikian, hidup berdampingan secara rukun di antara kedua agama dapat
dikaitkan dengan perkembangan di Jawa Kuno dari apa yang disebut sebagai
kultus iva-Buddha, sebuah gejala sinkretis yang dahulu sudah ditunjukkan
oleh Crawfurd.

35

Roy Jordaan

Para peneliti kemudian, seperti M. Tonnet (1908) dan G.P. Rouffaer


(1918), merujuk pada relasi ini dalam istilah-istilah serupa. Agar dapat
mengaitkan Loro Jonggrang dengan kemunculan kultus iva-Buddha, yang
diandaikan berkembang dalam kurun waktu Jawa Timur, yakni sekitar tahun
920-1500 M, maka pembangunan kompleks percandian ini diberi
penanggalan pada abad ke-10, yakni pada penghujung kurun waktu Jawa
Tengah.
Hal ini didukung oleh sebuah tulisan berpengaruh dari Brandes (1904),
berjudul De waare van Tjani Prambanan tegenover e anere ouheen
van Java, en een hartig woor over e eblayeering (Makna Candi
Prambanan dalam perbandingan dengan bangunan-bangunan kuno lainnya di
Jawa, serta sebuah tanggapan tajam atas pembersihan [situs Candi
Prambanan]). Menurut Brandes, Candi Prambanan merupakan suatu kreasi
belakangan dari kesenian Jawa Tengah, yang tengah menuju kemunduran
dan kemerosotan. Ia yakin bahwa ia bisa memindai tanda-tanda dekadensi
dan degenerasi ini dalam penyelesaian akhir yang sangat halus atas berbagai
relief dan arca. Bagi Brandes, bentuk-bentuk kesenian ini tampaknya
menjalin kaitan yang niscaya dengan kesenian barok di Jawa Timur:
Prambanan sekali lagi menyajikan bagi kita bentuk penengah antara yang tua
dan yang muda, antara Jawa Tengah dan Jawa Timur. Bentuk-bentuknya yang
luwes, lemah, lembut, walaupun berukuran besar, dalam monumen kuno ini
merujuk pada berbagai ekses dan brutalisasi [kekasaran] yang sedemikian
mencirikan bentuk-bentuk [candi] Jawa Timur. (Brandes 1904:415.)

Baik corak sinkretis yang diandaikan dari Loro Jonggrang maupun kaitannya
dengan kesenian Jawa Timur mendorong para pakar untuk mencari seorang
pendiri kerajaan yang memiliki asal-usul Jawa Timur serta mempunyai
kecenderungan-kecenderungan sinkretis. Bagi Rouffaer (1918), Raja Daks a,
yang menurut penilaian Rouffaer memiliki jiwa sinkretis, tampaknya
menjadi calon yang cocok.
Bersama karya Krom yang kini telah menjadi klasik, berjudul Inleiing
tot Hinoe-Javaansche kunst (Pengantar Kesenian Hindu-Jawa), maka riset
pun bergerak ke arah baru. Walaupun Krom mengakui bahwa ia menilai
argumen-argumen Rouffaer tidak seluruhnya memuaskan (1923a, I:441),
namun ia berpendapat bahwa tidak buruk bila kita memakai nama raja

36

Candi Prambanan

ini sebagai titik tolak ketika membahas kesenian Loro Jonggrang, lebih
karena latar belakang Jawa Timur dari Raja Daks a daripada kecenderungan
sinkretisnya. Krom tidak terlalu peduli dengan apa yang disebutnya teoriteori berani tentang ciri-ciri Buddhis Loro Jonggrang (1923a, I:446), di
mana ia merujuk pada hasil-hasil riset ikonografis yang dilakukan Tonnet,
yang sebelumnya telah memperlihatkan bahwa apa yang disangka sebagai
beberapa bohisattva yang terdapat pada relief di Candi iva tidak lain
kecuali lokapla Hindu, atau para penjaga mata angin. Namun menarik
bahwa Krom tidak menyinggung penilaian pribadi Tonnet tentang candicandi itu sebagai suatu konsepsi Brahmanis, namun dengan cita rasa
Buddhis. Nanti kita akan melihat mengapa sampai demikian.
Terlebih dahulu kita perlu mencatat bahwa Krom, mengikuti pendapat
Brandes, menempatkan pembangunan Loro Jonggrang pada akhir kurun
waktu Jawa Tengah. Ia juga menganggap Loro Jonggrang memiliki kaitan
dengan kesenian Jawa Timur, walaupun cara pengungkapkan gagasangagasannya ini kurang berprasangka dan lebih halus bila dibandingkan
dengan Brandes. Sambil mengamati bahwa Daks a memerintah dalam kurun
waktu di mana Jawa Tengah dan Jawa Timur diandaikan untuk sejenak
bersatu, Krom berpendapat bahwa dalam sosok sang raja bisa dipindai
adanya suatu pertalian antara budaya Jawa Tengah kuno yang sebentar lagi
akan sirna dan budaya Jawa Timur yang baru.
Berkenaan dengan kesenian, suatu peran serupa justru dimainkan oleh Loro
Jonggrang, yang sama-sama merupakan sebuah monumen peralihan. [...]
Walaupun yang pasti di sini kita masih berhadapan dengan suatu bentuk
kesenian yang khas Jawa Tengah, sejauh berbagai keunikan yang tercatat dalam
perkembangan kesenian itu menemukan kesinambungan dan bentuk akhirnya
dalam Loro Jonggrang. Selain itu, terdapat segala macam corak yang bisa
dianggap sebagai persiapan untuk dan penjelasan tentang apa yang dapat
diamati dalam suatu tahap kemudian di Jawa Timur.

Krom menguraikan hal ini dengan menambahkan:


Loro Jonggrang [mengandung] bentuk-bentuk yang walaupun bukan gaya
khas Jawa Timur namun tak pelak lagi membawa dalam dirinya benih-benih
perkembangan yang dialami di Jawa Timur. (Krom 1923a, I:442.)

37

Roy Jordaan

Oleh karena bentuk dan kecantikannya, Krom cenderung melihat Candi


Prambanan sebagai sebuah candi kerajaan. Menurut Krom, pembangunan
candi itu diprakarsai oleh raja-raja Jawa aiva yang naik ke tampuk
kekuasaan setelah pengusiran dinasti Buddhis ailendra. Oleh karena latar
belakang agamawi-politik ini, Candi Prambanan dipandang sebagai
tandingan aiva, bila bukan seteru, terhadap Borobudur. Krom melihat di
dalamnya apoteosis aivisme, sama seperti Borobudur adalah apoteosis
Buddhisme. Ia melanjutkan,
Bukan tidak mungkin bahwa dalam kreasi dahsyat ini yang berkenaan dengan
otoritas Jawa yang dipulihkan [...] terdapat semacam unjuk kekuasaan
berhadap-hadapan dengan tempat-tempat suci besar dari Buddhisme Mahyna,
yang berkait sedemikian erat dengan perluasan kekuasaan [dinasti ailendra] di
Sumatra. (Krom 1923b:104-105.)

Walaupun teori persaingan Krom kelak membawa riset arkeologis ke sebuah


arah baru, namun ketika itu sudah terdapat suara-suara tidak setuju yang
diperdengarkan dalam jangka pendek antara tahun 1923-1931, yakni tahun
diterbitkannya kembali karya sejarah standar Krom, yaitu HinoeJavaansche geschieenis (Sejarah Hindu-Jawa).
Pendapat tidak setuju pertama disuarakan oleh Stutterheim,
sebagaimana yang diuraikan dalam tulisannya tentang kesenian Jawa kuno
(1923) dan juga dalam disertasinya yang terkenal itu (1925). Dalam kedua
tulisan tersebut ia menyatakan keragu-raguannya tentang kesatuan kesenian
Hindu-Jawa sebagaimana yang didalilkan Brandes dan Krom, seraya
membubuhi argumen-argumennya dengan sejumlah perbedaan khas antara
kesenian Jawa Tengah dan Jawa Timur. Alih-alih menyebutnya sebagai
monumen peralihan, Stutterheim memandang Loro Jonggrang sebagai
sebuah candi yang murni Jawa Tengah, yang seturut rancangan dan
pelaksanaannya masuk seluruhnya dalam tradisi ailendra. Bila Stutterheim
bersikap agak mendua menyangkut tempat Loro Jonggrang dalam
perkembangan arsitektur Jawa dalam tulisannya yang pertama, maka dalam
disertasinya ia jauh lebih yakin akan relasi antara Loro Jonggrang dan
Borobudur serta bangunan-bangunan Buddhis lainnya.
Sebagaimana gamblang dari judul disertasinya, yakni menyangkut cerita
rakyat serta relief-relief Rma di Indonesia, ia secara khusus melan

38

Candi Prambanan

daskan teori-teorinya pada berbagai cerita rakyat dan relief yang berkisah
tentang Rma. Walaupun cerita rakyat dan relief itu terpisah, namun
Stutterheim menunjukkan bagaimana cerita-cerita rakyat dan relief-relief ini
saling berkaitan secara erat. Jika tradisi kerakyatan dalam bahasa Melayu
dan Jawa mencakup kisah-kisah tentang Rma yang kurang-lebih
menyimpang dari berbagai prototipe bakunya dalam versi India, seperti
Bhattikvya
dan Rmyan a versi Vlmki, sebagaimana yang antara lain

terlihat dalam pertunjukan wayang, maka hal yang sama berlaku pula untuk
relief-relief Rma pada Candi Loro Jonggrang dan Candi Panataran.
Bertentangan dengan praktik umum yang berlaku pada zamannya,
Stutterheim menganggap tidak tepat untuk berbicara tentang salah paham
atau korupsi atas bahan-bahan India dalam adaptasi pribuminya.
Tampaknya lebih mungkin baginya bahwa perbedaan-perbedaan yang dicatat
pada ujung-ujungnya berasal dari tradisi-tradisi kerakyatan yang pasti sudah
ada di India sejak dahulu kala, bersama dengan versi-versi keraton yang
lebih berwibawa.11
Hubungan yang longgar antara relief-relief Rma pada Candi
Prambanan dan kakawin Rmyan a atau Rmyan a Jawa Kuno (RJK), yang
juga diperkirakan disusun pada abad ke-10, serta berbagai keserupaan yang
kadang-kadang sangat mencolok antara kakawin ini dan kisah-kisah dari
Sumatra sebagaimana yang terekam dalam hikayat Melayu, mendorong
Stutterheim mencurigai adanya suatu keterlibatan langsung dinasti ailendra
dalam pembangunan candi-candi besar di Jawa Tengah. Kita mesti
mencamkan di sini bahwa dalam disertasinya Stutterheim mengungkapkan
pandangan yang dominan pada waktu itu, yaitu bahwa wangsa ailendra
adalah orang-orang India yang menetap di Sumatra Selatan dan mendirikan
rvijaya. Menurut teori lama itu, dari sana mereka memperluas
kekuasaannya dan menaklukkan Jawa Tengah, yang mereka perintah sebagai
semacam protektorat atau wilayah perwalian.
Yang lebih penting lagi ialah pengamatan Stutterheim bahwa pengaruh
dinasti ailendra pada karya-karya seni monumental tidak hanya dapat
diamati di Borobudur serta candi-candi Buddhis lainnya, tetapi juga di Loro
Jonggrang. Bagaimana pengaruh ini diterangkan tidak sepenuhnya
11

Kadang kala kita masih menjumpai pernyataan-pernyataan yang tampaknya men cerminkan
suatu salah tafsir atas tesis Stutterheim, seperti pernyataan Dumaray (1978:58) bahwa
penggambaran cerita Rma di kompleks percandian Prambanan tidak dimaksudkan untuk
memberi gambaran tentang teks India tetapi sebuah adaptasi Jawa.

39

Roy Jordaan

jelas, sebab menurut Stutterheim pembangunan Loro Jonggrang dimulai


setelah para raja dari dinasti ailendra tidak kedengaran lagi nasib mereka,
karena kita tidak dapat menganaikan bahwa para penganut Buddhis yang
setia ini, mengingat posisi kekuasaan mereka, diperbolehkan melakukan
sesuatu seperti ini (Stutterheim 1925:136; penekanan dari saya). 12
Bersamaan dengan pengusiran dinasti ailendra dari Jawa dan
pembentukan kembali kekuasaan mereka di rvijaya, maka pertalian antara
Jawa dan India untuk sementara waktu terputus, yang secara khas
berdampak atas cara bagaimana orang-orang Jawa menganut agama Hindu
dan agama Buddha itu. Salah satu hasil dari perkembangan yang terpisah ini
adalah Candi Panataran, di mana relief-relief Rma yang ada di sana,
demikian Stutterheim, lebih dekat isinya dengan versi yang termaktub dalam
kakawin Rmyan a (1924:190). Jawanisasi atas bidang seni ini, dan
kebudayaan pada umumnya dalam zaman pasca ailendra, menyebabkan
Stutterheim secara sengaja menulis tentang Loro Jonggrang sebagai sebuah
hasil dari kurun waktu mekarnya kesenian Hindu di Jawa, bertentangan
dengan Panataran yang menandai titik puncak kesenian Hindu-Jawa. 13
Tampaknya tidak cocok bagi Stutterheim untuk menulis tentang Loro
Jonggrang dan Panataran, mengingat perbedaan keduanya dari latar
belakang sejarah seni, dengan istilah-istilah kesenian klasik sebagai lawan
dari degenerasi dan kemunduran seperti yang dibuat sebelumnya oleh
Brandes dan Krom. Kesalahan ini, demikian Stutterheim, menyebabkan
dikenakannya sesuatu secara salah pada orang-orang Jawa, yaitu kesenian
Jawa Tengah, sembari menafikan sesuatu dari mereka apa yang memang
12 Sebagaimana dikatakan bahwa inilah pengandaian yang pada umumnya dianut di

kalangan pakar Jawa Kuno, yang membuat mereka sangat sukar untuk menjelaskan
berbagai kemiripan arsitektural dan gaya seni antara Loro Jonggrang dan candi-candi
Buddhis. Sebagaimana yang dicatat Scheltema (1912:84), dekorasi, yang coraknya
sangat ivaistik di bagian dalam sembari ambil bagian pada corak Buddhistik di bagian
luar, telah memeras otak banyak pakar agar dapat dijelaskan. Hal ini dapat dilukiskan
misalnya dengan sebuah kutipan dari Van Erp (1909:168) yang mengatakan: Sebuah
motif Buddhistik khusus tidak dapat seturut koratnya dikenakan pada sebuah bangunan
yang murni ivaistik, seperti Candi Prambanan, namun menyangkut keserupaan dua unsur
bangunan tersebut [pagar langkan dan serangkaian malaka di atasnya] hemat kami
bahwa kita dapat menemukan sebuah bekas dari pengaruh Buddhis pada seni bangunan
ivaistik (penekanan dari saya).
13 Agak lebih dahulu, pandangan serupa dikemukakan oleh Van Erp, sebagaimana yang
tertuang dalam laporan rapat Kongres Pertama Lembaga Oriental Belanda (Verslag van
het eerste Congres van het Oostersch Genootschap 1921:11-12).

40

Candi Prambanan

mereka miliki, yaitu mekarnya sebuah bentuk kesenian baru di Jawa Timur
(Stutterheim 1925:209, lihat juga 1926c:441, 1928a:688).
Dengan kata lain, Stutterheim yakin bahwa sebenarnya tidak ada
kesatuan yang sejati dalam kesenian Jawa kuno. Maka, ia menulis
kita tidak boleh melebih-lebihkan adanya suatu perkembangan logis dari
relief-relief Jawa Tengah ke relief-relief Jawa Timur. Sebaliknya, kita mesti
mempertimbangkan kemungkinan adanya suatu perbedaan yang jauh lebih
besar yang bisa dipindai antara keduanya daripada yang lazimnya diandaikan
seturut wewenang Brandes, dengan kata lain keterlibatan orang-orang Jawa
dalam kebudayaan Hindu di Jawa Tengah yang dimulai segera setelah
pengusiran dinasti ailendra. (Stutterheim 1925:216.)

Ia malah mengira bahwa kemungkinan pemindahan pengaruh ailendra


adalah hal yang mustahil. Seni hias ailendra (Borobudur, Loro Jonggrang)
berdiri terpisah dari perkembangan yang berkesinambungan, dan tidak
mungkin berpengaruh atasnya (Stutterheim 1925:216).
Pendapat tidak setuju yang kedua diutarakan oleh J.L. Moens (1925),
yang memusatkan perhatiannya secara khusus pada posisi aneh yang
diandaikan dipunyai Loro Jonggrang di tengah-tengah berbagai candi
Buddhis. Sayangnya, kita cuma tahu pendapat Moens dari sumber-sumber
kedua, yakni dari laporan tentang kongres pertama Institut Jawa, di mana
pada kesempatan itu Bosch menyampaikan sebuah ceramah ilustrasi tentang
Prambanan. Menurut laporan yang diterbitkan dalam Djw (1925), yang
akan kita kutip secara panjang-lebar demi kelengkapan historis, Moens
menarik perhatian pada kenyataan bahwa dalam agama Buddha Mahyna,
sebagaimana yang dipraktikkan di Jawa, tiga wujud ketuhanan iva-BrahmVis n u digabungkan ke dalam panteon Buddhis. Oleh karena itu, ia
mengandaikan bahwa Candi Prambanan adalah sebuah kuil Buddhis, yang
digabungkan ke dalam keseluruhan pranata Buddhis yang lebih luas.
Pengandaian ini menyiratkan banyak hal karena ia memampukan kita untuk
melihat semua peninggalan kuno di dataran Sungai Opak sebagai bagian dari
suatu konsep yang menakjubkan, dengan pusatnya adalah Candi Sewu dan di
sekitarnya kuil-kuil lain dikelompokkan secara sistematis. Pengandaian tentang
Candi Prambanan sebagai sebuah kuil Buddhis juga menjelaskan mengapa
banyak pola dan arca dewata memiliki corak aiva sedemikian terbatas.

41

Roy Jordaan

Laporan dari kongres Institut Jawa menandaskan bahwa dalam hal ini
Candi Prambanan mesti diberi penanggalan dari kurun waktu yang sama
dengan kuil-kuil di sekitarnya, yakni pada penghujung abad ke-8, yang
niscaya menghadapi keberatan yang besar di antara para hadirin. Laporan
tersebut menyebut pandangan Brandes tentang berbagai keunikan gaya seni
Loro Jonggrang beserta kaitannya dengan corak-corak aneka candi yang
muncul kemudian di Jawa Timur. Pandangan ini mendapat penerimaan
secara umum:
Pendapat umum adalah bahwa candi aiva Prambanan merupakan tandingan
terhadap candi-candi di sekitarnya yang bercorak Buddhis. Malah
pembangunannya dipandang oleh beberapa kalangan sebagai unjuk gigi dari
seorang raja aiva terhadap agama Buddhis yang dipraktikkan oleh para
maharaja Sumatra setelah mereka diusir dari sana.

Laporan itu selanjutnya menjelaskan bahwa sang nara sumber, yaitu Bosch,
tidak menafikan adanya sebuah jalan tengah yang menyenangkan. Ia
mengingatkan para pendengar bahwa
Raja Daks a, yang kemungkinan menjadi pendiri candi itu, memberi
prawacana untuk sebuah prasasti yang dimaklumatkannya dengan sebuah
penghormatan ganda, yang satu kepada iva dan yang lain kepada Buddha.
Kita boleh menyimpulkan dari hal ini bahwa sang raja berkehendak untuk
mendirikan sebuah tandingan terhadap tempat suci Buddhis yang sudah ada
ketika itu, yakni Candi Sewu, melalui pembangunan sebuah kuil yang
dipersembahkan kepada iva, dan dengan demikian menyejajarkan kedudukan
kedua kuil itu sebagai tempat di mana kedua dewata tertinggi, yakni iva dan
Buddha, disembah. Hasil-hasil perbandingan dari kedua monumen ini benarbenar sepadan dengan jalan keluar yang diajukan. Keduanya saling
mengimbangi secara sempurna, [dan] semua jenis petunjuk mengokohkan
kembali kesan bahwa kedua bangunan itu harus dilihat sebagai bagian yang
seimbang dari satu keseluruhan yang terpisah dalam waktu, namun disatukan
dalam keyakinan.

Berkenaan dengan tempat Loro Jonggrang dalam rangka perkembangan


arsitektur Jawa, Bosch mencatat bahwa walaupun pandangan Brandes telah
menjadi pandangan yang berwibawa tentang Prambanan, namun

42

Candi Prambanan

terdapat dua faktor negatif yang mempengaruhinya. Faktor yang pertama


menyangkut pertimbangan nilai Brandes yang bercorak kebarat-baratan,
sebagaimana terlihat secara gamblang dalam penggunaan kata-kata seperti
brutalisasi (kekasaran), peniruan bermutu rendah, degenerasi. Faktor
negatif kedua adalah kenyataan bahwa Brandes dan orang-orang
sezamannya cuma mengenal Prambanan sebagai suatu reruntuhan yang
belum digali, dan dengan demikian melihatnya dalam suatu bentuk yang
sangat tidak lengkap. Padahal kedua hal itu telah banyak berubah.
Selama beberapa tahun belakangan ini, pandangan bahwa kita tidak boleh
berbicara tentang dekadensi dalam kesenian Jawa Timur telah memperoleh
semakin banyak pijakan, dan bahwa sebuah bangunan semisal Candi
Prambanan yang berfungsi sebagai suatu mata rantai antara kesenian Jawa
Tengah dan kesenian Jawa Timur membuka berbagai kemungkinan bagi
perkembangan kesenian itu dalam cara-cara baru yang bercorak ke-Jawa-an.

Menyangkut perbandingan Borobudur dan Prambanan, Bosch menegaskan


perbedaan mencolok berikut:
Dalam bangunan pertama [terdapat] suatu pengelakan yang sangat cermat atas
segala sesuatu yang barangkali akan merangsang pancaindra [dan]
membahayakan kedamaian batin orang yang melihat. Di lain pihak, betapa
berbedanya Prambanan! Segala sesuatu yang dipertontonkan oleh berbagai
reliefnya adalah aksi dan kegairahan; gerakan-gerakan yang paling berani
digambarkan dengan penuh semangat dan gairah. Tarian kosmis iva pada saat
penciptaan, lengkap dengan iringan musik yang memabukkan serta
kegembiraan yang tiada terbatas, digambarkan dengan sangat terperinci di sana.
Jika kepala-kepala arca singa di Borobudur tampak menatap lembut, maka di
Prambanan singa-singa itu adalah monster jahat dengan tatapan mata
menyeramkan yang tengah mengintai dari sudut-sudut pagar batu halaman.
Begitulah, kita menemukan perbedaan mencolok antara agama Buddha dan
Hindu terpantulkan secara jitu dalam seni pahat di kedua monumen tersebut.
(Djw 1925:164-165.)

Sampai sejauh mana Moens merasa dirinya maupun agama Buddha Jawa
ketika setahun sebelumnya ia menerbitkan sebuah kajian perintis, dimengerti
secara salah, dan bagaimana ia seandainya berkesempatan

43

Roy Jordaan

menanggapi argumen-argumen Bosch, cuma bisa ditebak. Ia bisa saja


misalnya menunjukkan bahwa prasasti Raja Daks a, yang memuat
penghormatan ganda kepada iva dan Buddha, ditemukan di sebuah rawarawa dekat Gata atau Getak, sebuah dusun di sebelah selatan Prambanan.
Prasasti itu sendiri berkenaan dengan sebuah pertapaan (kawikuan) di mana
Durg disembah, dan sama sekali tidak ada cara untuk menyimpulkan dari
prasasti itu keinginan sang raja menyangkut Loro Jonggrang atau Candi
Sewu. Perbedaan kedua candi itu dalam waktu bukanlah sebuah kenyataan
yang pasti kecuali seandainya dapat dibuktikan bahwa Raja Daks a,
penguasa atas sebagian Jawa Tengah dan Jawa Timur pada awal abad ke-10,
terlibat dalam pembangunan Loro Jonggrang.
Akhirnya, Moens bisa juga menandaskan bahwa corak perbedaan antara
Prambanan dan Borobudur sebagaimana yang didalilkan Bosch sama sekali
lain sifatnya dengan kontras agamawi-politik yang dimaksud kan Krom.
Sehubungan dengan hal ini, Moens bisa saja bertanya apakah Bosch, yang
menggunakan kata-kata semisal lembut dan menyeramkan dalam
penilaiannya tentang berbagai perbedaan antara Borobudur dan Prambanan,
juga melakukan kesalahan yang sama berupa sebuah prasangka atau
pertimbangan nilai yang bercorak kebarat-baratan sebagaimana yang
dilakukan Brandes, yang baru saja dicelanya. Namun Moens barangkali
berpikir bahwa kongres pertama nan meriah dari Institut Jawa itu, yang
dilaksanakan persis pada malam Natal, yang didahului dengan sebuah
pementasan wayang semalam suntuk, bukanlah saat yang tepat untuk terlibat
dalam sebuah pertikaian akademis. Kenyataan bahwa ia tetap membungkam,
demikian menurut laporan itu, patut disesalkan, sebab Bosch barangkali
akan mendayagunakan berbagai komentar Moens ketika, tidak sampai tiga
tahun kemudian, Bosch menerbitkan prasasti Klurak (Bosch 1928) yang
membuktikan bahwa pandangan Moens ternyata benar.
Berbeda dari prasasti Daks a, yang sudah disinggung di atas, prasasti
Klurak berasal dari sebuah wilayah dekat kompleks percandian Prambanan,
yakni dekat Candi Lumbung dan Candi Bubrah, yang terletak persis di antara
Candi Sewu dan Candi Loro Jonggrang. Lebih dari itu, isinya berkaitan dengan
kompleks percandian Prambanan itu sendiri, sebagaimana yang kemudian
menjadi jelas. Prasasti ini memperingati penahbisan sebuah arca bohisvattva
Majur, yang menurut Bosch barangkali berupa peletakan

44

Candi Prambanan

rumusan-rumusan keagamaan tertentu yang dipersembahkan kepada dewadewa Triratna Buddhis dalam sebuah lubang yang tersembunyi pada arca
Majur tersebut. Sebuah bait di mana Buddha, Dharma, dan Sa gha
dinyatakan sedang berada di salah satu lubang tersembunyi pada arca itu,
disusuli dengan kalimat: Ia, sang pembawa Vajra, Yang Mulia Sentosa,
adalah Brahm, Vis n u dan Mahevara. Ia, yang adalah Tuhan, yang
merangkum semua dewata, dihormati sebagai Majuvc.
Semuanya ini mendorong Bosch untuk mengandaikan bahwa prasasti
Klurak, sejalan dengan dugaan Moens sebelumnya, dapat berfungsi sebagai
semacam cetak biru pembangunan sebuah man ala
Buddhis yang luas di

mana penyingkapan Wujud Tertinggi dalam dua arah ditampakkan dalam


satu bentuk nyata. Oleh karena penting maknanya, maka sekali lagi kita akan
mengutip hipotesis Bosch yang berani secara lengkap. Bosch menulis:

Jadi, terwujudlah dalam kenyataan apa yang sering kali diterangkan dalam
berbagai teks: Wujud Tertinggi menjadi nyata dan beralih ke dalam dua
perwujudan yang kelihatan, yang masing-masing pada gilirannya berfungsi
sebagai sebuah pusat dari para dewata yang lebih rendah. Majur di satu
pihak menjadi nyata dalam Triratna dan di lain pihak dalam Trimrti: trio yang
pertama menghasilkan sebuah man ala
Buddhis [yang terdiri atas Candi

Lumbung dan Candi Sewu], yang terakhir menemukan bentuk ungkapannya


yang mulia dalam Candi Prambanan [Loro Jonggrang]. (Bosch 1928:51.)

Patut dicatat bahwa Bosch tidak memperluas kesimpulannya lebih jauh lagi.
Alih-alih mengangkat keterlibatan dinasti ailendra dalam proses
pembangunan Loro Jonggrang, sebagaimana dibuktikan oleh munculnya
nama Raja r Sanggrmadhanamjaya dalam prasasti Klurak, sebagai titik
tolak untuk penelitian lebih lanjut mengenai andil nyata mereka dalam
pembangunannya, Bosch membatasi dirinya untuk mengkaji pertanyaan
apakah urutan yang benar dari pembangunan tersebut sungguh-sungguh
berarti. Ketika mengkaji kesatuan pikiran yang melandasi kompleks
percandian Prambanan yang lebih luas, Bosch menyimpulkan bahwa tidak
ada landasan dogmatis apa pun untuk memilah pembangunan bagian-bagian
terpisah ke dalam tahap-tahap yang berurutan. Ia menambahkan sebuah
parafrasa dari Kitab Yesaya 28:16 yang mengatakan: Siapa yang percaya

45

Roy Jordaan

tidak akan tergesa-gesa. Bila Moens sebelumnya berpendapat bahwa Candi


Buddhis Prambanan pada saat yang sama akan menjelaskan mengapa
banyak motif dan arca dewata sedemikian kurang memiliki semangat aiva,
maka bersikukuhnya Bosch pada suatu penanggalan yang lebih kemudian
bagi pembangunan candi tersebut akan terus mengeruhkan diskusi tentang
corak-corak gaya seni Jawa Timur yang diandaikan dimiliki Loro Jonggrang.
Satu-satunya hal yang tidak lupa ditekankan Bosch (1928:55) ialah
bahwa pemahaman Buddhis yang mendasari candi itu tidak boleh dipahami
sedemikian rupa sehingga menimbulkan gagasan bahwa Loro Jonggrang itu
sendiri adalah sebuah kuil Buddhis. Sembari mengindahkan pemilahan
antara kaum Buddhis dan kaum aiva dalam berbagai prasasti Jawa yang
kemudian, Bosch meyakini bahwa sangat boleh jadi para penduduk yang
memuja iva menganggap tempat suci Trimrti sebagai milik mereka sendiri
dan menjalankan fungsinya sesuai dengan berbagai ritus dan upacara aiva
mereka.
Betapapun memikatnya untuk berspekulasi tentang arah-arah lain yang
barangkali ditempuh penelitian dimaksud, namun kita mesti mencatat di sini
bahwa malah sikap kompromi Bosch itu cuma mendapatkan segelintir
perhatian. Penilaian negatif Krom mengenai teori-teori berani berkenaan
dengan corak Buddhis Loro Jonggrang niscaya telah memainkan perannya di
sini. Rupanya Krom tidak memandang laporan kongres tadi beserta bukti
baru dari prasasti Klurak sebagai alasan yang memadai untuk mengubah
pandangannya selama persiapan cetak ulang bukunya tentang sejarah HinduJawa. Sebaliknya, ia mengemukakan tesis tentang perseteruan antara
Borobudur dan Loro Jonggrang dengan penekanan yang lebih besar daripada
sebelumnya (Krom 1931:172-173; lihat Jordaan 1993:10-11). Benar bahwa
Krom berupaya menghilangkan kesan bahwa bersama dengan
menghilangnya dinasti ailendra maka agama Buddha Mahyna, yang
sedemikian erat dikaitkan dengan dinasti ini, akan meredup ke belakang.
Namun argumen-argumen yang ia kemukakan untuk mendukung hal ini
tampaknya agak pincang dan tidak mengubah apa pun dalam teori mengenai
fungsi perseteruan Loro Jonggrang melawan Borobudur, yang tak lama
kemudian diangkat menjadi dogma arkeologis.
Yang mencolok, kendatipun penanggalan yang beredar tentang
kompleks percandian tersebut adalah abad ke-10, Krom tidak sanggup
mengendus bukti nyata apa pun mengenai adanya diskontinuitas seni baik

46

Candi Prambanan

secara historis maupun teknis di Loro Jonggrang. Bertentangan dengan


kesimpulan Brandes, penemuan-penemuannya cuma menunjuk pada suatu
tahap lebih lanjut dalam proses perkembangan lumrah dari kesenian Buddhis
dinasti ailendra ke kesenian selanjutnya di Jawa Tengah. Satu-satunya hal
di mana Loro Jonggrang berbeda
adalah upaya untuk melampaui semua yang sudah pernah ada selama ini, tentu
saja guna menciptakan sesuatu yang belum pernah dilihat sebelumnya. Namun
justru [upaya untuk] melampaui tradisi yang selama ini dihormati juga memberi
bukti bahwa beberapa prinsip kuno arsitektur Hindu tidak lagi dipahami secara
tepat. Dengan cara inilah Loro Jonggrang membentarai kesenian Jawa Timur,
di mana prinsip-prinsip tadi semakin ditinggalkan untuk kepentingan pahampaham yang lebih bercorak Jawa-Indonesia. (Krom 1931:173.)

Pernyataan-pernyataan Krom yang saksama namun juga samar-samar


tentang persiapan dan bentara perkembangan-perkembangan artistik
tertentu selanjutnya pada Loro Jonggrang, yang bagaimanapun juga benarbenar klasik untuk kesenian Jawa Tengah (1923b:147) dan berpegang
teguh pada tradisi-tradisi India (1931:175), sedemikian menduanya
sehingga setiap orang bisa menafsirkannya sesuka kehendak mereka. Hal
inilah yang justru dilakukan Stutterheim, sembari memberi sebuah corak
nada baru pada data yang tersedia guna mencocokkannya dengan teorinya
tentang fungsi candi-candi Jawa sebagai makam, yang barusan
dikemukakannya dan kemudian secara berangsur-angsur dilengkapi dan
disempurnakan (Stutterheim 1931, 1939, 1940).
Bertentangan dengan pernyataan-pernyataannya sebelumnya yang
menyangkut perbedaan hakiki antara kesenian Jawa Tengah dan Jawa Timur, di
mana Loro Jonggrang dilihat sebagai sebuah candi yang mempunyai kaitan erat
dengan monumen-monumen ailendra, teori-teori Stutterheim sekarang malah
tersirat keinginan untuk memindahkan kompleks per candian Prambanan dari
konteks Jawa Tengah. Mengherankan bahwa tiba-tiba ia melihat tidak saja
beberapa, tetapi banyak corak Jawa Timur di Loro Jonggrang. Terlalu jauh
melenceng bagi kita untuk membahas dan menjelaskan secara terperinci
perubahan radikal ini dalam pandangan Stutterheim. Hemat saya, cukuplah bila
dikatakan bahwa lebih baik

47

Roy Jordaan

memusatkan perhatian pada gagasan-gagasannya yang baru tentang asal-usul


dinasti ailendra alih-alih pada teori candi sebagai makam semata-mata,
yang benih-benihnya sudah ditemukan dalam tulisannya dari tahun 1923
mengenai kesenian Jawa Kuno. Sebelumnya Stutterheim secara cukup
meyakinkan membela adanya suatu koneksi India, di mana ditegaskan
khususnya peran penting Nland di negara India Utara yang diperintah
Hars avardhana (606-647 M) serta para raja Pla penggantinya. Namun
setelah memperhatikan informasi yang baru saja ditemukan yang disajikan
oleh prasasti Kedu, tiba-tiba ia mengemukakan gagasan bahwa dinasti
ailendra boleh jadi berasal dari Jawa itu sendiri (Stutterheim 1927:213).
Tanpa menunggu tanggapan dari para rekan sejawatnya atas gagasan yang
menggoda ini, segera saja Stutterheim memaklumkan bahwa asal-usul Jawa
tersebut merupakan fakta pasti. Dalam karyanya yang terkenal, berjudul A
Javanese Perio in Sumatran History (1929b) ia berupaya membuktikan
bahwa bukan Jawa yang ditaklukkan oleh rvijaya, melainkan sebaliknya
bahwa dinasti ailendra berasal dari Jawa dan menaklukkan Sumatra.
Walaupun terdapat kecaman yang pedas dan absah atas argumen ini,
antara lain dari Bosch (1929a), namun Stutterheim tidak pernah
meninggalkan posisinya, biarpun dengan harga mahal berupa kemerosotan
kredibilitasnya. Sebagai seorang pemikir yang tajam dan logis, Stutterheim
pasti sudah menyadari bahwa dengan teorinya tentang asal-usul Jawa dari
dinasti ailendra maka teorinya tentang perbedaan antara kesenian Jawa
Tengah dan Jawa Timur telah kehilangan pijakan dan demikian tinggal
khayalan belaka. Seandainya orang-orang Jawa memang memainkan peran
utama dalam bidang kesenian di kedua wilayah tersebut, maka semestinya
terdapat suatu kesatuan pemahaman. Hal ini membantu menjelaskan
mengapa ia tiba-tiba menentang pemakaian istilah peninggalan kuno
Hindu dan sebaliknya mendukung penggunaan istilah peninggalan kuno
Jawa (Stutterheim 1931:1).
Sesuatu yang serupa terjadi dengan posisinya tentang kultus peng
hormatan leluhur, yang aslinya cuma diperbolehkan tampil sekali lagi setelah
pengusiran dinasti ailendra. Namun sekarang ia menandaskan bahwa kultus
itu tidak pernah menghilang atau berhasil ditindas, dan mesti juga berada
pada landasan pembangunan candi di Jawa Tengah. Malah istilah candi
diserangnya juga, dan tentangnya ia mengatakan: Cuma

48

Candi Prambanan

segelintir orang yang mengetahui bahwa apa yang disebut sebagai candicandi Hindu di Jawa sebenarnya bukan candi, dan juga tidak dibangun oleh
orang-orang Hindu (Stutterheim 1931:1). Di tempat lain ia menulis:
candi bukanlah tempat ibadat, melainkan sebaliknya rumah leluhur [...] Kuil
dalam arti sebenarnya kata itu tidak ada di Jawa. Apa yang disebut dengan
nama itu 90 dari 100 kasus adalah sebuah monumen makam, di mana sang raja,
yang kini diserupakan dengan dewa, berkomunikasi dengan para
keturunannya. (Stutterheim 1930:10-11.)

Tentu saja Stutterheim mengetahui dengan sangat baik bahwa pengaruh


agama Hindu di Jawa tak dapat disangkal, namun dengan mudah ia meng
abaikan masalah tersebut dengan mendalilkan bahwa pengaruh itu sematamata di permukaan saja, seraya mengatakan:
memang terdapat banyak arca dewata, rupa-rupa altar, aneka relief dengan
cerita suci tentang para avatar Vis n u, serta unsur-unsur lainnya. Namun
pengamatan yang lebih saksama menyingkapkan bahwa arca-arca itu bukan
melulu penjelmaan para dewata [...] arca-arca itu adalah lambang dari para raja
yang telah mangkat dalam bentuk dewa. (Stutterheim 1931:1.)

Ia malah berlangkah begitu jauh sehingga mencela makna penting yang


dikandung berbagai risalah yang ditulis para pakar terkemuka agama Hindu
guna memahami kehidupan agama orang-orang Jawa selama apa yang
disebut sebagai zaman Hindu-Jawa.
Colebrooke, Mller, Monier-Williams, Hopkins atau Kern sama sekali tidak
membantu baginya [peneliti] di sini ia harus mengesampingkan semua buku
pegangan yang sampai saat ini dipelajarinya dengan sedemikian giat dan
berpaling kepada data [etnografis] Jawa. (Stutterheim 1940:232, bdk.
1930:10.)

Kini ia memberi penanggalan tentang kemunculan para guru Hindu se belum


tahun 700 M; sebagai murid-murid yang rajin, orang-orang Jawa tampaknya
mampu bertindak mandiri tanpa bantuan mereka. Stutterheim malah
menepikan pengaruh agama Hindu lebih jauh lagi dengan menganggapnya
sebagai salah satu dari banyak pengaruh asing yang telah

49

Roy Jordaan

meninggalkan jejak mereka dalam kehidupan religius orang-orang Jawa,


sembari dalam berbagai tulisannya kian sering merujuk pada pengaruh Cina,
Mesopotamia, Yunani, dan Mesir. Bila para pakar lain cenderung
menghindari perspektif luas semacam itu, Stutterheim (1929a:55) menulis
bahwa bersama dengan dilakukannya setiap penyelidikan baru maka asalusul yang suram ini mulai mendapatkan bentuk yang semakin jelas. Jauh di
balik asal-usul ini, pandangan yang tajam mampu memindai permulaan yang
lebih jauh dan lebih kabur namun itu hal yang lain lagi. Mari kita kembali
ke pembahasan kita tentang Loro Jonggrang.
Cukup dapat dipahami bila Stutterheim memandang Candi Prambanan
sangat penting untuk teorinya tentang candi sebagai makam, khususnya
mengingat tulang-belulang dan abu yang ditemukan IJzerman (1891) di
beberapa perigi candi itu. Bila di masa lampau ia kadang-kadang meng
ungkapkan keraguannya tentang apakah Loro Jonggrang adalah sebuah
mausoleum (Stutterheim 1925:137, 1928b:130, catatan kaki no. 20), maka
sekarang ia pantang mundur mencap candi itu sebagai kediaman leluhur raja
atau monumen makam. Berbeda dari Rouffaer dan Krom, di sini Stutterheim
tidak berpikir tentang Raja Daks a tetapi sebaliknya tentang penggantinya
yang kemudian, yaitu Raja Balitung, yang memerintah antara tahun 898-910
M. Hal ini mungkin karena kecenderungan sinkretis Daks a, yang sulit
diselaraskan dengan fungsi Loro Jonggrang sebagai seteru Borobudur, dan
bagaimanapun juga kini telah berubah menjadi sebuah argumen yang
mubazir. Stutterheim menafsir Loro Jonggrang seluruhnya sebagai
mausoleum raja, dengan menandaskan bahwa arca iva Mahdeva
melambangkan Raja Balitung, dan arca Durg serta arca Gan ea masingmasing mewakili mitra utama dan komandan angkatan bersenjata dari Raja
Balitung, dan seterusnya. Semuanya kedengaran sangat meyakinkan
sehingga bahkan Moens pun terbujuk dan kemudian memaklumkan
dongeng ini sebagai kenyataan (Moens 1953).
Menurut Stutterheim, penanggalan serta kemungkinan keterlibatan
penguasa dari Jawa Timur ini, dan barangkali juga penggantinya, ditegaskan
oleh kajian-kajian sejarah seni yang dilakukan Brandes, yang tiba-tiba saja
oleh Stutterheim, boleh kita catat, digelari perintis arkeologi Hindia
Belanda. Bertentangan dengan pernyataan-pernyataannya yang terdahulu,
kini ia mengatakan bahwa Brandes telah

50

Candi Prambanan

memperlihatkan bahwa puing-puing reruntuhan kompleks percandian


Prambanan berbeda dari berbagai peninggalan kuno di Jawa Tengah, antara lain
berdasarkan keunikan gaya arsitekturalnya dan juga pengaturannya. Keunikankeunikan tersebut tidak kita kenali dari peninggalan-peninggalan kuno di Jawa
Tengah tetapi dari peninggalan-peninggalan kuno di Jawa Timur. (Stutterheim
1940:219.)

Berpatokan pada kata-kata Stutterheim itu, kita malah nyaris meragukan


bahwa Loro Jonggrang memang dibangun di Jawa Tengah!
Sebagai tambahan, Stutterheim menjuruskan perhatiannya pada teori
batu kapur dari Van Erp, yang menggolongkan Loro Jonggrang di antara
candi-candi paling muda di Jawa Tengah berdasarkan penggunaan batu
kapur untuk mengisi ruang di antara dinding-dinding batu candi itu, alih-alih
memakai batu yang jauh lebih sulit dikerjakan. Ia mengandaikan bahwa
penggantian teknik yang sulit itu dengan sebuah teknik yang lebih sederhana
dan kurang memakan waktu terbilang tidak dapat diubah dan sejalan dengan
penyederhanaan yang berkelanjutan dari teknik-teknik arsitektural yang
dapat diamati dalam kesenian Hindu-Jawa. Penerapan Stutterheim atas teori
batu kapur benar-benar mengejutkan, mengingat bahwa beberapa tahun
sebelumnya ia pernah menolak teori itu sebagai sebuah metode penanggalan
yang dapat diandalkan dengan penuh kepastian. Batu kapur sebagai bahan
pengisi, simpulnya ketika itu, tidak menjelaskan apa pun kepada kita
mengenai kapan [sebuah candi] dibangun (1935:89).
Guna memahami kemajuan pembahasan ilmiah ini, maka penting
dicatat bahwa penafsiran Stutterheim tidak saja berpihak, tetapi juga secara
diam-diam menambahkan sebuah matra baru pada gagasan tentang corakcorak gaya seni Jawa Timur. Pernyataan Krom tentang bentara dan
antisipasi menyangkut kesenian Jawa Timur, seturut kajian Stutterheim
diubah secara tidak kentara menjadi sebuah penegasan positif tentang
kehadiran aktual dari unsur-unsur gaya seni Jawa Timur. Kehadiran unsurunsur ini di Prambanan, sepengetahuan saya, tidak pernah menjadi pokok
kajian tersendiri oleh para pakar sejarah seni, sebuah kelalaian yang bukan
tanpa dampak tertentu, sebagaimana yang akan kita lihat nanti.
Setelah jeda yang disebabkan oleh Perang Dunia II serta perjuangan
selanjutnya bagi kemerdekaan Indonesia, riset menyangkut sejarah awal

51

Roy Jordaan

Jawa Tengah ini dimulai lagi pada tahun 1950-an. Dua perkembangan
memiliki arti penting di sini. Yang pertama adalah tergerogotinya teori
tentang candi sebagai makam oleh penerbitan karya Bosch (1954),
OConnor (1964), dan Soekmono (1974). Berbagai eksplorasi yang saya
lakukan sendiri, yang terbatas pada Loro Jonggrang, juga menguatkan
bahwa argumen-argumen Stutterheim tidak lengkap dan juga tidak sah
(Jordaan 1989:21).14 Perkembangan kedua adalah kemajuan yang dibuat
dalam riset epigrafis oleh De Casparis (1950, 1956, 1958), di mana prasasti
metris Jawa Kuno dari tahun 856 M memiliki pertalian sangat relevan
berkenaan dengan Loro Jonggrang. Sebagaimana yang telah ditandaskan
sebelumnya, De Casparis menemukan bahwa sebagian dari prasasti tersebut
berisikan sebuah paparan yang terperinci tentang satu kompleks percandian
aiva yang mengingatkan dia akan Loro Jonggrang. Sebagai jawaban atas
pertanyaan apakah kedua hal itu dapat diserupakan satu sama lain, De
Casparis menulis:
Walaupun terdapat berbagai kecocokan yang mencolok, namun tidak ada
cukup alasan untuk memberi sebuah jawaban positif atas pertanyaan ini,
biarpun tidak dapat pula ditampik bahwa bentuk kompleks yang didirikan pada
tahun 856 M selaras dengan kompleks percandian Loro Jonggrang dalam lebih
dari satu segi, dan kompleks aiva dengan ukuran sebesar itu terbilang sangat
jarang. Namun keberatan yang utama adalah penanggalan Candi Loro
Jonggrang, yang dianggap berasal dari dasawarsa pertama abad ke-10, yakni
sekurang-kurangnya setengah abad kemudian dari prasasti ini. (De Casparis
1956:309.)

Namun De Casparis mencatat bahwa argumen-argumen tentang penang


galan kompleks percandian itu sebagaimana yang dikemukakan Krom dan
Stutterheim barangkali bukan merupakan suatu keberatan yang benar-benar
kuat sebagaimana yang mula-mula diperkirakan. Ia sendiri memperlihatkan
misalnya bahwa Candi Buddhis Plaosan, yang menurut Krom sezaman
dengan Loro Jonggrang, niscaya telah dibangun jauh sebelum permulaan
abad ke-10, mengingat kenyataan bahwa nama Rakai
14 Kadang kala gagasan tentang Prambanan yang berfungsi sebagai sebuah makam masih

diungkapkan misalnya oleh J. Ensink (1978), yang menyebutnya sebagai sebuah


mausoleum untuk Raja Balitung, dan Helfritz (1979:112-119) yang menafsirnya bukan
saja sebagai monumen makam untuk seorang penguasa yang didewakan, tetapi juga
sebagai sebuah pemakaman suci untuk para biksu Buddhis Mahyna.

52

Candi Prambanan

Pikatan ditemukan dalam banyak prasasti singkat yang ditemukan dekat


candi itu. Rakai Pikatan adalah penguasa sama yang barangkali dirujuk oleh
prasasti Loro Jonggrang dari tahun 856 M di atas.
De Casparis selanjutnya mengamati bahwa, bertentangan dengan apa
yang telah ditandaskan Stutterheim, prasasti-prasasti singkat dari Plaosan
dan Loro Jonggrang ditulis dengan aksara yang secara mencolok lebih kuno
daripada yang digunakan pada masa Balitung dan Daks a. Akan tetapi, ia
merasa bahwa keseluruhan masalah harus dibiarkan tetap terbuka dan
bahwa lebih banyak bukti dibutuhkan untuk menampik penanggalan yang
sudah lama diterima itu.15
Kesimpulan yang sangat hati-hati ini tidak dianut oleh para arkeolog
yang menjadi rekan sejawat De Casparis. Bosch (1958) adalah orang
pertama yang menyatakan bahwa ia sendiri merasa yakin bahwa dugaan De
Casparis memang benar, dan bahwa candi yang diuraikan dalam prasasti tadi
sesungguhnya adalah Loro Jonggrang. Sebagai dukungan lanjut atas
identifikasi ini ia menegaskan bahwa teori batu kapur dari Van Erp, yang
digunakan Krom dalam penanggalan sementara itu tidak dapat
dipertahankan lagi. Menyangkut pentingnya berbagai pertimbangan tentang
gaya seni, yang telah selalu mendapat bobot paling berat dalam
menentukan penanggalan pembangunan yang lebih muda kepada Loro
Jonggrang, Bosch menegaskan bahwa ia:
tidak lagi cenderung untuk mengenakan bobot yang terlalu banyak pada
pertimbangan-pertimbangan tentang gaya seni tersebut, mengingat kenyataan
bahwa pertimbangan-pertimbangan itu terkesan sangat dipengaruhi oleh tulisan
terkenal Brandes, berjudul De waare van Tjani Prambanan tegenover e
anere ouheen van Java, en een hartig woor over e eblayeering, selama
setengah abad tanpa pengujian kritis apa pun. Sejak itu argumen-argumen yang
lebih meyakinkan daripada argumen-argumen Brandes belum lagi muncul.
(Bosch 1958:318, catatan kaki no. 10.)16
15 Di tempat lain (Jordaan 1993:19-20) saya sudah menunjukkan bahwa De Casparis
sebenarnya mendayagunakan tafsiran-tafsiran sejarah seni yang barusan dibarui oleh
Vogler (1953) guna mendukung teori dinastinya sendiri, yang pada gilirannya
memperkokoh teori menyangkut perseteruan yang dipersangkakan ada antara Borobudur
dan Prambanan (lihat misalnya Dumaray 1986b:42, 1993:74-78; Miksic 1994).
16 Walaupun ada peringatan semacam ini, namun kita masih bisa mendengarkan gema lamatlamat dari pendapat Brandes, seperti dalam De Grote Winkler Prins Encyclopeie (1982,
jilid ke-18:653), dan Fontein (1990:79) yang menyinggung berbagai tendensi

53

Roy Jordaan

Tak perlu waktu lama bagi para arkeolog dan sejarawan seni lainnya
menerima identifikasi Loro Jonggrang dengan paparan epigrafis sebagai
fakta yang dapat diterima, jika bukan mapan (misalnya Bernet Kempers
1959; Soekmono 1965:42; Boechari 1965:63; Holt 1967:54; Satyawati
Suleiman 1976:12; Williams 1981; Dumaray 1986a, 1993). Kebanyakan
dari mereka mendukung gagasan De Casparis, yang ditimba dari gagasan
Krom, bahwa pembangunan Loro Jonggrang mesti dilihat seturut latar
belakang perebutan kekuasaan antara dinasti ailendra dan kebangkitan
kembali dinasti Sajaya, di bawah kepemimpinan Rakai Pikatan. Tentang hal
ini De Casparis pernah menulis: Konsolidasi dinasti Rakai Pikatan
menandai permulaan zaman baru, yang mesti diresmikan oleh pembangunan
sebuah kompleks percandian besar (1956:300).
Di tengah permufakatan semacam itu, hanya terdapat dua cendekiawan,
yakni L.-Ch. Damais (1968) dan W. Aichele (1969), yang menerima
identifikasi yang dianjurkan tadi tanpa mengebawahkan gagasan-gagasan
mereka terhadap teori dinasti De Casparis. Dua-duanya adalah filolog
cemerlang dan lepas dari yang lainnya, mereka masing-masing bersusah
payah menguji kembali secara kritis terjemahan prasasti Loro Jonggrang,
dan tiba pada suatu penafsiran yang berbeda dari interpretasi De Casparis
dalam beberapa pokok penting. Sebagai contoh, mereka meragukan istilah
jatiningrat, yang digunakan dalam prasasti tersebut memang bisa ditafsir
sebagai sebuah gelar yang dikenakan sang penguasa, yakni Rakai Pikatan,
ketika menjadi seorang raja petapa (resi), tidak lama setelah ia mengalahkan
dinasti ailendra. Bagi Aichele, boleh jadi bahwa jatiningrat adalah sebuah
kilatan pada atau ungkapan halus untuk kematiannya, alih-alih sebuah gelar
rajawi. Dari sini ia menyimpulkan bahwa peresmian candi iva, yang
disebutkan dalam prasasti Loro Jonggrang, barangkali dimaksudkan untuk
memperingati ulang tahun kematian Raja Pikatan.
Damais menolak hipotesis tentang kehidupan bersama dua dinasti yang
saling bersaingan maupun hipotesis mengenai bidang-bidang pengaruh yang
kemungkinan dimiliki keduanya, sebab bagi dia teori tentang saling tumpang
tindih antara ranah politik dan ranah agama terlalu terarah pada
karikatural yang dipersangkakan ada pada Loro Jonggrang beserta gejala-gejala
kemandekan dan kekakuannya. Penanggalan baru bagi kompleks percandian itu
tampaknya akan memperlemah kebenaran pernyataan-pernyataan ini lebih jauh lagi kalau
diterapkan pada bangunan-bangunan Buddhis sezaman seperti Sewu, Plaosan, dan
Sojiwan, yang tidak pernah membangkitkan penghargaan semacam itu.

54

Candi Prambanan

sisa-sisa pemikiran Eropa selama Abad Pertengahan dan Renaisans. 17


Walaupun menurutnya tampak gamblang bahwa para penguasa memiliki
pilihan khusus tentang agama mereka sendiri, namun tetaplah benar bahwa
kedua golongan agama, yakni Buddhisme dan aivisme, telah sejak lama
hidup rukun di Jawa (Damais 1968:375).
Berdasarkan aneka macam alasan yang tidak perlu dibahas di sini,
kesimpulan Aichele tidak mendapat banyak perhatian. Sekali waktu saya
pernah memeriksa teori De Casparis menyangkut lokasi waduk suci (trtha)
di kawasan percandian guna membandingkannya dengan teori saya sendiri
(Jordaan 1991a). Sebagai informasi latar belakang, saya menyertakan sebuah
ikhtisar ringkas tentang sejarah Jawa Tengah yang kurang-lebih sejalan
dengan teori dinasti De Casparis, namun tidak lama kemudian saya
menyadari bahwa rekonstruksi ini pada dasarnya salah dan bahwa hasil-hasil
yang memuaskan hanya bisa dicapai bila model konflik De Casparis
ditinggalkan. Alasan langsung adalah perkenalan saya dengan isi prasasti
Wanua Tengah III yang ditemukan beberapa tahun sebelumnya (Djoko
Dwiyanto 1986). Prasasti ini memuat daftar nama dua belas raja yang
memerintah sebelum Raja Balitung. Salah satu di antara mereka adalah
Rakai Pikatan, tentangnya dikatakan bahwa ia telah mangkat tahun 855 M,
jadi pada tahun sama yang dianjurkan Aichele berdasarkan penafsirannya
atas prasasti Loro Jonggrang. Penafsiran tersebut menyajikan bukti yang tak
dapat disangkal bahwa Loro Jonggrang, sebagaimana yang masih diandaikan
secara luas ketika itu, tidak dibangun oleh Rakai Pikatan pada tahun 855
atau kemudian, tetapi jauh lebih awal dari itu.
Seberapa lama jauh lebih awal itu bergantung pada penafsiran yang
tepat atas prasasti Loro Jonggrang, dan berdasarkan itu dapatlah ditentukan
kemajuan pembangunannya. Jika kita menerima pandangan Aichele dan
mengandaikan bahwa prasasti Loro Jonggrang dari tahun 855 M itu merujuk
semata-mata pada peresmian candi induk yang dipersembahkan kepada iva,
maka tetaplah tidak mungkin untuk menerima anggapan bahwa candi ini
dibangun dalam jangka pendek antara tahun 855-856. Hal ini menyiratkan
17 Walaupun barangkali di sini Damais merujuk pada doktrin geopolitis menyangkut cuius
regio eius religio yang dimaklumatkan di Augsburg pada tahun 1555 M, namun hemat
saya anjuran dari para arkeolog Belanda tentang sebuah diferensiasi sosial seturut garisgaris ideologis dan agama boleh jadi diilhami oleh contoh-contoh dari sejarah Belanda,
terutama Verzuiling selama paruh terakhir abad ke-19 dan paruh pertama abad ke-20.
Namun model Eropa-Belanda sungguh tidak cocok dengan kenyataan sejarah di Jawa atau
kenyataan di wilayah-wilayah lainnya di Asia Tenggara.

55

Roy Jordaan

bahwa Rakai Pikatan, atau barangkali malah pendahulunya, pasti telah


memulai pembangunan tersebut, boleh jadi beberapa dasawarsa sebelumnya.
Jika alur penalaran ini benar, maka dengan sendirinya Loro Jonggrang tidak
mungkin dianggap sebagai saingan Borobudur, sebab dinasti ailendra
masih berkuasa penuh di Jawa Tengah bagian selatan pada waktu itu.
Hemat saya, argumen ini harus dikembangkan lebih jauh guna
menggugat tesis persaingan di antara kedua dinasti itu sendiri. 18 Bukankah
Rakai Pikatan menikahi seorang wanita Buddhis dan bukankah ia turut
membantu pembangunan kompleks percandian Plaosan? Maka dari itu,
bukankah sama-sama mungkin bahwa dinasti ailendra turut membantu
pembangunan sebuah kompleks percandian aiva, khususnya karena sudah
direncanakan untuk membangun kompleks percandian tersebut di sebuah
kawasan yang didominasi oleh candi-candi Buddhis? 19 Lebih jauh,
bagaimana menilai gagasan Moens dan Bosch tentang latar belakang
Buddhis dari Loro Jonggrang, yang telah sekian lama diabaikan? Keinginan
untuk memberi perhatian pada gagasan-gagasan ini mendorong penulisan
studi saya yang berjudul Imagine Buha in Prambanan (Jordaan 1993).
Sebagaimana yang tersirat pada judul, sasaran dari buku tersebut ialah
untuk mempertimbangkan gagasan tentang latar belakang Buddhis dari
kompleks percandian Loro Jonggrang. Dukungan terhadap gagasan ini
ditemukan dalam disertasi P.H. Pott (1946, 1966) yang, mengikuti pendapat
Moens, mencatat bahwa pokok atau isi prasasti Klurak sangat selaras
dengan gagasan-gagasan Tantrisme Buddhis. Ia cuma merujuk secara umum
pada kompleks percandian Prambanan, sembari menyebut Sewu-BubrahLumbung sebagai superstruktur atau bagian atas [atap] dan Loro
Jonggrang sebagai substruktur atau landasan [alas] dari sistem Buddhis
Tantrik. Pott menulis:
18 Keterlibatan Rakai Pikatan dalam pembangunan Loro Jonggrang disimpulkan oleh Le

Bonheur (1971:87) dan Miksic (1990:24), walaupun kedua pengarang tersebut tidak
sampai mempertimbangkan kemungkinan bahwa pembangunan itu didukung oleh dinasti
ailendra, yang memiliki hubungan dengan Rakai Pikatan (dan pendahulunya?) melalui
ikatan perkawinan.
19 Menurut prasasti Loro Jonggrang, [sang raja] adalah seorang penganut aiva, berbeda
dengan sang ratu, istri sang pahlawan. Walaupun menerima bahwa Rakai Pikatan
menikahi seorang permaisuri Buddhis, namun saya tidak sepakat dengan De Casparis
yang menyamakan permaisuri ini dengan tokoh r Kahulunan. Mengikuti pendapat
Boechari (1982:15-22), saya cenderung untuk meyakini bahwa gelar r Kahulunan
merujuk pada bunda raja Buddhis itu, bersama siapa Rakai Pikatan membangun Candi
Plaosan. Implikasi penuh dari gagasan ini akan dikaji dalam sebuah studi terpisah.

56

Candi Prambanan

Rupanya di sini dibuat suatu garis batas secara sengaja antara dua bagian
sistem itu: atap Buddhis dipijakkan di atas alas aiva, di mana yang pertama
mewakili jalur kiri dan yang terakhir mewakili jalur kanan dari Mahyoga.
Oleh karena itu, bolehlah dicatat bahwa di sini istilah Buddhisme dan aivisme
sesungguhnya merupakan rujukan tentang dua bagian darinya Tntrik Yoga
disusun, dan malah terdapat berbagai fakta dari Jawa Timur dan Bali yang
menyiratkan bahwa pemilahan ini memang dimaksudkan oleh penggunaan
istilah-istilah tersebut. (Pott 1966:120.)

Berkaitan dengan hal ini, latar belakang Buddhis dari Loro Jonggrang
dilaporkan dicatat sekali lagi oleh B. Rowland (1953), yang mengakuinya
sebagai sesuatu yang ujung-ujungnya berasal dari Phrpur (juga dikenal
sebagai Somapura), sebuah tempat suci Buddhis di Bengali. Kaitan yang
dimapankannya dengan Bengali disokong oleh prasasti Klurak, yang
melaporkan bahwa penahbisan arca Majur dilakukan oleh seorang guru
yang datang dari Gauddvpa, yang barangkali berarti Gaud vis aya, sebuah
distrik di Bengali Timur (Bosch 1928:29-30). Pada masa prasasti Klurak
itu, baik Gaud vis aya maupun Phrpur menjadi bagian dari negara
Buddhis Pla yang sangat kuat dan berkuasa, yang ketika itu diperintah oleh
Dharmapla ( 770-810). Kajian-kajian sejarah seni lainnya menguatkan
pandangan tentang pengaruh model Candi Phrpur di Asia Tenggara sampai
pada tahap tertentu (Van Lohuizen-de Leeuw 1956:279; Huntington
1985:390-391; Khanna 1992:212). S.K. Bhattacharya (1978:73) melangkah
lebih jauh mengenai hal ini dengan mendalilkan bahwa menurut peraturanperaturan ilmu bangunan candi India, Candi Phrpur termasuk dalam jenis
Sarvato-Badhra. Jenis candi ini sungguh unik, demikian pengamatan
Bhattacharya, karena contoh-contoh yang masih tersisa darinya hanya
ditemukan di Birma dan di Jawa, yakni Candi Loro Jonggrang dan Candi
Sewu.20
Dengan pengandaian bahwa kaitan sejarah seni ini dengan Phrpur
memang benar adanya, maka kita dapat merumuskan sejumlah hipotesis
baru. Yang pertama darinya menyangkut hubungan erat di antara kedua
20 Van Lohuizen-de Leeuw (1957:33) menulis: Denah berbentuk silang ini beserta atap
terasnya kelak menjadi populer di beberapa tempat di Asia Tenggara, dan menguatkan
pandangan bahwa pusat-pusat Buddhis di Bengali melancarkan suatu pengaruh yang
sangat besar atas negeri-negeri semisal Birma dan Jawa.

57

Roy Jordaan

agama, sebagaimana yang menurut Moens mungkin berlaku di Prambanan.


Telah menjadi gamblang dari berbagai penggalian di Phrpur bahwa peleburan
yang sama antara agama Hindu dan Buddha juga berlangsung di sana. A.N.
Khanna melaporkan bahwa sosok-sosok dewata, baik Brahmanis maupun
Buddhis, ditemukan di antara arca-arca yang digali di Phrpur, meskipun tidak
jelas bagaimana sebagian dari arca-arca tersebut bisa ada di sana. Menurut J.E.
van Lohuizen-de Leeuw (1957) dan S.K. Saraswati (1962), berbagai arca dan
relief di sana tidak semuanya berasal dari zaman yang sama, dan sangat
mungkin bahwa terutama relief-relief Hindu, yang di antaranya berisi beberapa
adegan dari Rmyan a dan juga tentang kehidupan Kr ishna, berasal dari tempat
lain, kemungkinan dari puing reruntuhan salah satu candi Hindu. Namun Van
Lohuizen-de Leeuw mencatat bahwa pada tahap lama kemudian, sebagai hasil
perubahan-perubahan doktrin dalam agama Buddha, orang tidak sungkansungkan mendaur ulang sisa-sisa dari berbagai kuil Hindu untuk dipakai kembali
pada candi-candi Buddhis, dan malah menyediakan tempat khusus di candi itu
sendiri untuk mengganti panel-panel relief. Sebab ketika itu Buddhisme telah
mengakui keberadaan dewa-dewi Hindu, walaupun dewa-dewi tersebut lebih
rendah dari wujud-wujud Buddhis yang diagungkan (Van Lohuizen-de Leeuw
1957:42).
Peleburan tertinggi dari kedua panteon ini tampaknya merupakan hasil dari
perkembangan Buddhisme Tantrik selama zaman Pla (Mallar Ghosh 1980:1).
Sayangnya, kita tidak dapat memastikan, berdasarkan pengetahuan yang kita
miliki pada tahap ini, seberapa jauh peleburan itu berlangsung dan bagaimana ia
dialami oleh orang-orang yang terlibat, dan oleh siapa dan di mana ajaran-ajaran
tadi digairahkan setinggi-tingginya, entah di India atau di Asia Tenggara.
Walaupun N. Dutt (1978:15) mengatakan bahwa barangkali ajaran-ajaran
tersebut lebih didorong maju di Jawa dan di tempat-tempat lain di Asia daripada
di India, namun H.B. Sarkar (1967) dan para pakar yang lain memberi
penekanan pada pengaruh India dalam hal ini. 21 Sarkar terutama merujuk pada
pengaruh Bengali, dan mengatakan: Muatan-muatan Tantrik dari Buddhisme
India Timur, yang digalakkan dalam ajaran Nland dan di Pla-Bengali,
dikokohkan kembali oleh para guru Buddhis [...], yang sangat
21 Tak salah bila kita mengandaikan bahwa perluasan Tantra melintasi tapal-tapal batas

India tidak mungkin terjadi tanpa adanya suatu kegiatan yang semarak di India (Gomez
1987:357). Namun Verwey (1962:141) melihatnya dalam rangka lalu lintas laut dua arah
yang ramai yang melibatkan para guru dan peziarah, seraya memberi dan mengambil,
saling memahami dan pada umumnya berbicara dalam satu bahasa simbolis tunggal.

58

Candi Prambanan

kuat mempengaruhi Indonesia (Sarkar 1967:639).


Mengenai kelangsungan perkembangan ini, Sarkar cenderung berpikir,
berdasarkan pertimbangan-pertimbangan teoretis dan umum, bahwa
sintesis agama itu dipraktikkan di Jawa selama kurun waktu antara abad ke-8
dan ke-9 (Sarkar 1967:640). Di tempat lain (Jordaan 1993) saya sudah
mengungkapkan keragu-raguan mengenai hal ini, terutama di atas landasan
bahwa kebanyakan rujukan yang dikemukakan Sarkar terdapat dalam karyakarya sastra Jawa Kuno yang ditulis lebih jauh kemudian, yakni dalam kurun
waktu Jawa Timur. Prasasti Klurak (778 M) adalah satu-satunya teks yang
berasal dari kurun waktu Jawa Tengah, dan bagi saya hal itu tampaknya
meragukan mengingat corak kedewataan yang begitu dominan dan
merangkum dari sosok Majur. Selain itu, terdapat prasasti Nland yang
dikeluarkan sekitar tahun 860 M atas perintah Blaputra, penguasa ailendra
di rvijaya. Walaupun sosok-sosok dari panteon Buddhis dan Hindu masih
ditempatkan di sana satu di samping yang lain (sesuatu yang cukup berarti,
mengingat pengusiran Blaputra yang baru saja terjadi dari Jawa serta
kebangkitan kembali aivisme di sana), namun posisi agama Buddha yang
lebih mencolok dapat pula disimpulkan dari prasasti tersebut.
Mengingat tidak adanya bukti epigrafis sezaman, maka paradoksal
bahwa Loro Jonggrang menjadi satu-satunya petunjuk nyata bahwa dinasti
ailendra tidak saja memberi sokongan rajawi mereka pada agama Buddhis
Mahyna, tetapi juga pada agama aiva. Saya membuat penegasan ini
berdasarkan alur penalaran di atas, yaitu bahwa pembangunan Candi iva,
dan barangkali juga beberapa bagian lain dari kompleks percandian tersebut,
telah dimulai dalam zaman ailendra, dan bahwa pembangunan itu
barangkali dirancang dan dilaksanakan dengan kerja sama mereka. Bila Loro
Jonggrang dan Candi Sewu benar-benar dirancang sebagai bagian dari suatu
tempat peribadatan berskala besar, maka seluruh kawasan itu niscaya
dianggap sebagai Tanah Suci dan dipersembahkan kepada
Parambrahma(n), artinya Jiwa Alam Semesta, Roh Jagat, atau Yang
Mutlak, kemudian nama itu akhirnya dipelesetkan menjadi Prambanan. 22
22

Tidak mungkin saya dapat mengkaji pertanyaan semisal bagaimana orang-orang Buddhis
Jawa menangani masalah-masalah agama dan filsafat yang berkait dengan penerapan
paham Brahmanis. Demi kepentingan kaji banding menyangkut persoalan yang pelik ini,
saya merujuk para pembaca budiman pada kajian Bhattacharya (1973). Informasi
tambahan tentang penerapan paham ini dalam teks-teks Jawa Kuno dari Bali dan Jawa
Timur, di mana kata Parambrahma sekaligus merujuk pada gagasan Tuhan Yang Mahaesa
dan Prinsip Abstrak, dapat ditemukan dalam Haryati Soebadio (1971).

59

Roy Jordaan

Mengingat kekhususannya sebagai Rumah/Griya terpisah (masing-masing


sebagai ivagrha
dalam berbagai prasasti, maka saya
dan Majurgrha)

mengandaikan bahwa Loro Jonggrang dimaksudkan menjadi dan berfungsi


sebagai sebuah kompleks percandian aiva yang terpisah. Koalisi
semacam itu di antara dua agama utama niscaya serupa dengan situasi yang
ditemukan di Jawa Timur, tentangnya Haryati Soebadio mencatat bahwa
banyak fakta mengandaikan lebih daripada sekadar adanya hidup
berdampingan secara rukun yang berkanjang antara Buddhisme dan
aivisme sebagai dua sistem yang terpisah dan sama-sama dihormati, alihalih penghormatan yang terputus-putus pada salah satu dari kedua agama ini
oleh satu kerajaan tertentu (Soebadio 1971:61). Namun toh, pemilahan
antara agama Hindu dan Buddha boleh jadi hanya memiliki makna penting
yang relatif saja pada masa kejayaan sejarah Jawa Tengah, ketika peleburan
tersebut berlangsung lebih jauh daripada yang mampu kita bayangkan
sekarang ini sejalan dengan kata-kata Paul Auster yang dipakai sebagai
moto buku ini yaitu bahwa kenyataan selalu mendahului apa yang dapat kita
bayangkan. Seandainya ajaran-ajaran Tantrisme benar-benar sudah dikenal
di Jawa pada kurun waktu yang lebih awal daripada yang sampai sekarang
pada umumnya masih diandaikan, maka perbedaan-perbedaan antara
golongan agama tersebut rupanya hanya sedikit dan tidak penting (lihat Kern
1888). Hal ini pasti mengokohkan tesis Stutterheim bahwa
nama Buddhisme agak menyesatkan untuk Jawa. Lebih baik berbicara
tentang Tantrisme di atas sebuah pijakan Buddhis. Namun Tantrisme sama
banyaknya bercorak aiva seperti Buddhis, dan pemilahan ini lebih banyak
didasarkan pada selera alih-alih pada kenyataan. Dalam kenyataan keduanya
sama-sama sederajat dan demikian pula halnya di India dahulu. (Stutterheim
1925:288.)

Walaupun saya secara pribadi bersimpati pada pandangan bahwa peleburan


antara aivisme dan Buddhisme telah terjadi di Jawa Tengah, namun dengan
berat hati saya terpaksa berandai-andai bersama Bosch (1928), karena
langkanya bukti epigrafis, bahwa sebagian penganut aiva dari kalangan
penduduk Jawa memandang tempat suci Trimrti sebagai milik mereka
sendiri dan bahwa mereka mendayagunakannya sesuai dengan berbagai ritus
dan upacara aiva mereka. Guna menguji keabsahan

60

Candi Prambanan

pengandaian ini, maka kita mesti mencari tahu apa dan bagaimanakah Loro
Jonggrang digabungkan ke dalam keseluruhan yang lebih luas di mana
candi-candi Buddhis di sekitar juga memiliki tempatnya sendiri. 23
Pentingnya pertanyaan ini juga menjadi jelas dalam laporan panitia
penasihat menyangkut pemugaran Loro Jonggrang:
Akhirnya, lokasi kompleks percandian tersebut berkaitan dengan berbagai
peninggalan kuno lainnya di daratan Prambanan (keraton Ratu Boko, Candi
Sewu, dll) perlu diselidiki dan ditentukan dengan menggunakan sebuah
boussole [kompas] dll. Barangkali di sana pun terdapat suatu persoalan
menyangkut desain yang dibuat dengan sangat sengaja, dan penemuan tentang
hal itu boleh jadi memiliki makna penting berkenaan dengan nilai-nilai
agamawi-filosofis, historis, arkeologis dan arsitektural, dan juga menyangkut
candi-candi itu sendiri. (Verslag 1926:37.)24

Apa pun hasil-hasil dari riset yang belum tuntas ini, penanggalan baru untuk
Loro Jonggrang tampaknya akan membebaskan kita dari gagasan bahwa
monumen itu dimaksudkan sebagai saingan agamawi-politik terhadap
Borobudur.
Sebagai kesimpulan barangkali ada manfaatnya untuk dicatat bahwa
penafsiran kembali makna Prambanan dalam perkembangan kesenian Jawa
Tengah sangat cocok dengan gagasan-gagasan terkini mengenai hubungan
antara agama Hindu dan Buddha di Jawa Tengah kuno (Fontein 1990:38).
Sebuah laporan yang ditulis arkeolog Indonesia, Soekarto, sebagaimana
yang dikutip dalam Kompas 17 Juli 1993, menyangkut keberadaan puingpuing reruntuhan kuil-kuil Buddhis serta penemuan satu prasasti dalam
bentuk sebuah lingga di dekat Borobudur, sungguh menarik sehubungan
23 Hipotesis ini penting untuk argumen saya, mengingat penegasan Ensink (1978:181) bahwa
selama kurun waktu Jawa Tengah tampaknya aivisme dan Buddhisme secara bergantian
atau serempak didukung oleh para penguasa. Walaupun kedua agama itu tampaknya
toleran satu sama lain, namun tidak ada petunjuk sekecil apa pun mengenai suatu
hubungan yang bercorak teologis di antara keduanya: monumen-monumen aiva
seluruhnya bercorak aivistik tanpa rujukan apa pun pada Buddhisme, dan sebaliknya;
demikian juga halnya dengan berbagai prasasti. Rupanya Ensink mengabaikan petunjuk
dari prasasti Klurak yang menyajikan landasan teologis bagi pembangunan Candi Sewu
dan juga Candi Loro Jonggrang.
24 Beberapa pakar lainnya, baik yang terdahulu maupun kemudian, mengamati adanya
berbagai keserupaan yang mencolok dalam rancangan Candi Loro Jonggrang, Candi Sewu
dan Candi Plaosan. Namun pendapat-pendapat mereka tidak ditindaklanjuti dengan
banyak riset nyata. Lihat misalnya, IJzerman (1887:266, 1891:41), Groneman
(1887:1435), Le Bonheur (1971:54), dan Edi Sedyawati (1978a).

61

Roy Jordaan

dengan hal ini, karena memperkuat dugaan bahwa tempat suci ini juga
dikelilingi oleh kuil-kuil Hindu, sama seperti sebaliknya yang terjadi di
Prambanan. Juga yang layak dicatat dalam kaitan ini adalah penemuanpenemuan berbagai arca dari kedua panteon tersebut di situs-situs candi yang
berbeda: sebuah arca perunggu kecil bohisvattva Vajrapn i di candi aiva
Sambisari, dan sebuah arca perak iva di candi Buddhis Sewu (lihat Bagian
8).
Fakta-fakta ini tentu saja lebih mudah dijelaskan dengan merujuk pada
kehidupan berdampingan secara rukun di antara agama-agama tersebut, alihalih melalui perubahan nasib mereka karena perjuangan demi merebut
kekuasaan, sebagaimana yang coba dilakukan De Casparis dan para murid
dan pengikutnya. Lebih dari itu, kita dapat bertanya apakah perjuangan demi
merebut kekuasaan tersebut harus ditafsir dalam rangka persaingan demi
memperoleh kemurahan raja dan akses yang mudah ke keraton, yang
mungkin tidak relevan bagi kebanyakan rakyat jelata.

7. Mitos Gunung Meru an Pengaukan Lautan Susu


Setelah menggugat Loro Jonggrang sebagai mausoleum raja dan sebagai
seteru Borobudur, maka kini kita akan mengkaji makna, atau lebih tepat
kemajemukan makna, yang tersimpan dalam desain kompleks percandian
tersebut. Mudah-mudahan hasil pendekatan ini akan lebih sesuai dengan
maksud para pembangun.
Salah satu makna dimaksud adalah gambaran candi tersebut sebagai
tiruan Gunung Meru, yakni tempat tinggal para dewata. Di sini kita tidak
perlu mengkaji keabsahan umum tafsiran ini, yang sudah dibahas dan
didokumentasikan oleh sejumlah besar cendekiawan (misalnya Van Eerde
1911:15-29; Stutterheim 1926b; Heine-Geldern 1930; Mabbett 1982;
Snodgrass 1985:261-262). Menurut Stutterheim,
kita menemukan gagasan tentang Meru, yakni replika kosmos, terungkap
secara sangat jelas dalam Candi Loro Jonggrang di Prambanan. Di sana kita
menemukan secara berturut-turut motif-motif tentang pohon kayangan dan
singa di alasnya, para penyanyi, penari dan pemusik kayangan di sepanjang
susuran tangga, para penjaga mata angin utama pada kaki bangunan candi, dan
akhirnya arca-arca para dewata yang ditempatkan pada relung-relung dan pada
bagian dalam candi sedemikian rupa sehingga keseluruhan komposisi

62

Candi Prambanan

itu tak pelak lagi menyiratkan sebuah gunung para dewata. Tambahan pula,
simbar-simbar, hiasan-hiasan dalam bentuk trila, sebagai simbol-simbol khas
bergunung-gunung, menonjolkan corak berbatu-batu dari keseluruhan
bangunan. (Stutterheim 1929a:41.)

Bahwa citra semacam inilah yang sesungguhnya hendak ditonjolkan para


arsitek Prambanan sebagaimana yang tampak jelas dari kakawin Rmyan a,
yang sebagian darinya kita punya cukup alasan untuk percaya
berasal dari abad ke-10 atau malah abad ke-9 M, yakni dari jangka waktu
langsung sesudah pembangunan candi itu (Poerbatjaraka 1927, 1932;
Aichele 1969:162-163). Satu dari bagian itu berisikan uraian tentang Loro
Jonggrang, yang membandingkan kuil itu secara eksplisit dengan gunung
para dewata, di sini disebut Mandara, yang banyak sekali menyerupai
Gunung Meru. Bunyinya: Istana kristal itu dapat dibandingkan dengan
Gunung Mandara, halaman [candi] dengan Lautan Susu (Poerbatjaraka
1932:342).
Penegasan tekstual ini secara arkeologis teramat penting. Stutterheim
yakin bahwa pemahaman tentang Meru semacam ini bukan sekadar satu
gagasan belaka, melainkan sebaliknya sebuah prinsip yang menjadi landasan
utama arsitektur candi di Jawa, dan bahwa analisis serta perincian secara
sistematis atas gejala ini akan dengan pasti dan serta-merta menghilangkan
ratusan kesulitan kecil dan tak terselesaikan [...], dan tidak saja berkenaan
dengan Jawa (Stutterheim 1929b:342).
Sebuah contoh jitu tentang nilai heuristik dari gagasan ini disajikan oleh
identifikasi Tonnet (1908) tentang gambar-gambar para dewata pada relief
yang terletak di dinding luar Candi iva. Dengan merujuk pada studi
Coleman (1832) tentang mitologi Hindu, yang berisikan sebuah diagram
melintang Gunung Meru yang menunjukkan 16 griya kayangan Indra dan
dewa-dewa lain di bagian atas, Tonnet berhasil mengidentifikasi sebagian
besar relief para dewata tadi di Candi iva sebagai lokapla Hindu, atau para
penjaga mata angin. Ia menduga bahwa dari jumlah keseluruhan 24 dewata
itu, delapan di antaranya bisa diidentifikasi sebagai para penjaga mata angin.
Masing-masingnya dilukiskan dua kali. Maka, jumlah panel yang
ditempatinya sama persis dengan jumlah yang disebut Coleman.
Akan tetapi, walaupun ada kesamaan pendapat di antara para pakar ter
dahulu tentang makna penting simbolisme Meru, namun candi Hindu- Jawa

63

Roy Jordaan

tak lama kemudian dikenal karena fungsi tunggalnya sebagai mausoleum


raja. Alhasil, gagasan tentang Meru entah bagaimana menghilang dalam
proses tersebut. Hal ini tidak membantu riset menyangkut makna religius
dari candi-candi Hindu pada umumnya, dan Loro Jonggrang khususnya.
Ironisnya, hal itu pada umumnya terjadi gara-gara berbagai upaya dari
sosok yang sama yakni Stutterheim yang sebelumnya menyiratkan berbagai
keuntungan yang mungkin digantang dari penelitian yang terpusat pada
gagasan Meru. Andaikan citra Meru pun disebutkan, namun hal itu
kebanyakan dilakukan secara dangkal dan asal-asalan saja (lihat Stutterheim
1940:230; Bernet Kempers 1955:21; Soekmono 1993:53). Hanya kadang
kala saja ada penulis yang mengemukakan beberapa komentar menarik,
walaupun sayangnya tanpa mendukung komentar-komentar tersebut dengan
rujukan-rujukan terkait pada sumber literatur. Di sini saya teringat tentang
Lokesh Chandra beserta gagasannya bahwa
ke-224 candi perwara mewakili 224 jagat dalam sistem kosmologis aiva
Siddhnta seturut Bhuvanakosha. [...] Kalau candi-candi perwara ini bisa saja
dipadankan dengan pegunungan Chakravada, maka delapan candi di halaman
dalam boleh juga dibandingkan dengan delapan puncak pegunungan Mnasa.
[Suatu] tafsiran yang tepat masih menanti riset. (Lokesh Chandra 1967:251.)

Minat saya sendiri pada simbolisme Meru ditimbulkan oleh perkenalan saya
dengan masalah-masalah tafsiran atas benda-benda ritual yang dipendam
(ritual eposits) di berbagai candi Jawa, khususnya di Loro Jonggrang, yang
telah memainkan peran yang sedemikian penting dalam perkembangan teori
tentang candi sebagai makam. Walaupun berkat hasil riset yang dilakukan
Bosch (1954) dan Soekmono (1974), teori ini telah kehilangan fundamen,
namun seingat saya belum ada satu pun penjelasan memuaskan yang
ditemukan sampai sekarang ini menyangkut benda-benda ritual yang
dipendam itu.25
25 Harus dicatat bahwa penilaian saya ini untuk sebagiannya dipengaruhi oleh berbagai
situasi ketika saya melakukan riset. Publikasi saya yang pertama ditulis selama menetap di
Jakarta (1988-1992), di mana saya tidak memiliki akses yang memadai kepada literatur
terkini. Karena alasan ini maka saya tidak menyadari, dan juga tidak memiliki kesempatan
untuk berkenalan dengan beberapa publikasi penting semisal Aichele (1969), Van Liere
(1980) dan Treloar (1972). Analisis Treloar tentang perawatan kimiawi atas benda-benda
ritual yang dipendam di candi-candi Hindu di Malaysia harus disinggung secara khusus di
sini.

64

Candi Prambanan

Oleh karena itu, bila tidak benar untuk menyebut peti-peti batu kecil
yang ditemukan di candi-candi ini sebagai peti mati atau kendi abu
jenazah, maka bagaimana mesti menafsir tumpukan abu, permata-permata
kecil, gambar-gambar binatang kecil yang dipotong dari lembaran emas serta
benda-benda yang menyerupai huruf yang terdapat dalam peti-peti tersebut?
Dan apa yang dipikirkan tentang tiga kerangka binatang dan satu kerangka
manusia yang ditemukan di suatu tempat di halaman pusat kompleks
percandian Prambanan? Tampaknya tidak masuk akal bagi saya untuk
sekadar menyatukan semua hal ini tanpa mempertanyakannya lebih lanjut
(lihat tulisan IJzerman dalam buku ini).
Mengikuti Stutterheim, saya membatasi diri saya pada benda-benda
ritual yang ditemukan di Candi iva, yang menurut Stutterheim merupakan
pusat kompleks percandian tersebut. Namun berseberangan dengan
Stutterheim, saya menganggap tidak tepat untuk memandang guntinganguntingan binatang kecil dan benda-benda yang menyerupai huruf tadi
sebagai simbol-simbol Tantrik yang bercorak magis, tanpa rujukan apa pun
pada literatur peribadatan. Stutterheim menyebutnya sebagai simbol-simbol
tentang prinsip-prinsip dewata yang bersepadanan dengan unsur-unsur
berbeda dari tubuh manusia; dengannya terbuka kemungkinan pada segala
waktu untuk memberi penguasa yang didewakan itu sebuah tubuh
sementara, kalau-kalau para keturunannya ingin menghormati atau meminta
nasihat darinya (Stutterheim 1940:226).
Saya menyebut rujukan yang samar-samar ini pada ajaran-ajaran Tantrik
sebagai sebuah pengganti sementara yang lebih banyak menyelu bungi daripada
menjelaskan. Sejauh kita hampir tidak mengetahui apa pun tentang kultus
penghormatan leluhur, sebagaimana yang pernah didalilkan Bosch (1954), maka
tampaknya tidak masuk akal bagi saya untuk memandang benda-benda ritual
tadi sebagai barang-barang berharga (saptaratna) yang dikirim bersama
seorang penguasa khayalan yang telah mangkat dalam per jalanannya ke akhirat,
entah sebagai pembayaran atau makanan bagi para dewata (lihat Scheltema
1912:77-78; Van Blom 1935:110).
Anjuran Soekmono, yang ditimbanya dari OConnor (1964), yaitu
bahwa benda-benda ritual tersebut bisa dikaitkan dengan beberapa klasifi
kasi kosmologis tertentu, seperti klasifikasi ast aikpla,
tampaknya tidak

masuk akal juga tanpa merujuk pada panduan-panduan pasti dari buku-buku
pegangan menyangkut bangunan Hindu yang diikuti dalam pembangunan

65

Roy Jordaan

Prambanan. Oleh karena lempengan emas berbentuk ular, gajah, kura-kura,


dan permata bisa dianggap sebagai simbol-simbol bumi, maka saya merekareka apakah benda-benda ritual tersebut, termasuk tumpukan abu tadi, yang
ditemukan dalam perigi Candi iva itu barangkali lebih tepat ditafsir sebagai
suatu rujukan simbolis kolektif pada mitos Hindu yang terkenal tentang
Pengadukan Lautan Susu.26 Hal ini mendorong saya untuk mengkaji kembali
rujukan-rujukan tekstual tentang candi itu dalam karya sastra Rmyan a
Jawa Kuno dan bila mungkin membandingkannya dengan teks dari prasasti
Loro Jonggrang. Dalam proses tersebut diketemukan se jumlah fakta yang
benar-benar menakjubkan. Paparan tentang candi itu dalam teks kakawin
Rmyan a itu tidak saja menguatkan pengandaian bahwa candi tersebut
memang dibandingkan dengan Gunung Mandara, tetapi juga menegaskan
makna penting dari mitos tentang Pengadukan Lautan Susu. Oleh karena
bersangkut-paut dengan argumen saya yang selebihnya, maka saya akan
menyalin sebagian besar uraian tersebut di bawah ini. Terjemahannya
didasarkan pada edisi berbahasa Belanda yang disusun Poerbatjaraka
menyangkut bagian ini dari teks RJK (lihat juga Soewito Santoso 1980:210214). Candi itu dilukiskan dari sudut pandang Hanumn.
Hanumn mengarahkan pandangannya ke kota itu, yang tampak jelas keli
hatan. Di sana ada sebuah candi, tinggi dan besar, yang kelihatan seakan-akan
terbuat dari kristal dan bebatuan berharga. (43)
Ada berbagai binatang yang terlukis dalam pahatannya: rupa-rupa terwelu
emas, gajah, singa, harimau, kijang, babi hutan serta badak. Lukisan sebuah
hutan dipahat juga di sana. Candi itu menyerupai sebuah gunung. (44)
Alun-alun candi bertatahkan permata dan bebatuan canraknta. Hamparan
pasir berisikan mutiara indah nan gemerlap. Ketika rembulan terbit hamparan
itu berubah menjadi cair dan dingin, meleleh di alun-alun dan bersinar cemer
lang. (45)
Candi kristal itu sepadan dengan Gunung Mandara, halamannya seumpama
Lautan Susu. Permata dan mutiara bagaikan buihnya; air dingin yang bening
bak minuman para dewata (yang menyembul dari Lautan Susu
26 Gagasan ini terilham pertama kali ketika saya membaca uraian Voorhoeve (1958) tentang
sebuah ritual kosmogonik Batak, di mana digunakan simbol-simbol yang sangat serupa.
Baru-baru ini saya menemukan bahwa Lamb (1960:87) lebih dahulu telah mengemukakan
bahwa pengaturan dari beberapa benda ritual di Candi Kedah yang digalinya menyiratkan
dengan sangat baik gagasan tentang Pengadukan Lautan Susu oleh Vis n u.

66

Candi Prambanan

yang diaduk). (46)


Di sana ada tambak indah dan gemerlapan, sepuluh dalam satu barisan,
setara dengan ombak, gelombang besar. Genderang tembaga yang ditabuh
dalam candi bagai deburan (Lautan Susu). (47)
Di sebelah luar, terdapat varan a, kuil-kuil kecil dan sangat elok, yang
semuanya terpahat dari bebatuan hitam berharga. Kuil-kuil itu seumpama
deretan karang yang memagari Lautan Susu. (48)
Kuil-kuil di sebelah luar itu semuanya berisikan arca-arca emas yang setara
dengan dewa-dewa dan roh-roh jahat yang saling menyerang guna
mendapatkan amrta
yang menjadi tujuan mereka. (49)
Arca-arca itu semuanya bersenjata, menyandang gada, lembing, busur,
tombak, cakra, dan juga vajra. Mereka kelihatannya seakan-akan sedang
bertempur memperebutkan amrta.
(50)
Juga terdapat suwuk di atas gapura-gapura candi yang berisikan arca-arca
tadi. Aneka suwuk ini dipahat dengan indahnya dari permata dan bebatuan
canraknta. Mata mereka bundar, membelalak dan melotot. Ia (suwuk itu)
bagaikan Rhu, yang berusaha mencuri amrta.
(51)
Namun Vis a-Klakt a (racun iva) menyebabkansuwuk pintu melarikan
diri. Sebab ia takut akan Dewa ankara, sang pembersih dosa, yang selalu ada
di dalam candi. (52)
Sebuah pemandangan yang menyenangkan ditampilkan oleh pohon
kalpataru yang tumbuh di samping varan a, berdiri berdekatan dan
membangkitkan kebahagiaan, menyediakan segala sesuatu yang dibutuhkan
orang, sama seperti pohon Pariyta, yang diperoleh dalam Pengadukan Lautan
Susu. (53)
Dekat pohon kalpataru ini berdiri sebuah pen apa
megah yang terbuat dari

mutiara. Lantainya dibuat dari permata-permata yang berkilauan dan gemerlap.


Pen apa
ini dipenuhi aneka macam benda untuk menyembah Dewa, seperti

mutiara, mahkota kecil dan kerai; juga terdapat vhana: miniatur-miniatur


gajah dan model-model kereta, serta peralatan yang bertatahkan permata dan
mutiara, hasil-hasil terbaik dari lautan yang diaduk dan memuntahkan barangbarang nan gemerlapan ini. (54-55)
Juga terdapat kuil-kuil yang terbuat dari permata-permata. Semua unsur
permata-permata itu ditata secara sempurna, dan mereka bersinar dan berkilau.
Inilah wahana bagi mereka yang melakukan pengadukan; (wahana-wahana)
yang dengannya mereka terbang melintasi udara ditinggalkan di sebelah luar
(tembok dalam). (56)

67

Roy Jordaan

Di sebelah luar (semuanya) terdapat sebuah tembok menjulang tinggi yang


terbuat dari perak putih mengitari keseluruhan kompleks. Tembok itu bagaikan
ular Vsuki, yang pulih kembali dari keletihan mengaduk lautan. (57)
Gapura yang terbuat dari permata yang berkilauan dan bebatuan merah
yang cemerlang seumpama permata kepala (ular), sedangkan (dua) monster
(rksasa)
yang bertindak sebagai penjaga pintu sepadan dengan taringnya yang

tajam, runcing dan berbisa. (58)


Beginilah rupa candi di Lak itu ... (59).

Terdapat beberapa ciri dalam deskripsi itu yang patut mendapat perhatian
kita.27 Lebih daripada sekadar penyerupaan candi itu dengan Gunung
Mandara, saya dicengangkan oleh penekanan pada mitos Pengadukan
Lautan Susu. Keseluruhan uraian malah dapat dilihat sebagai sebuah
metafora atas mitos ini (Aichele 1969). Di lain pihak, paparan puitis itu
sedemikian jelas sehingga kita mereka-reka apakah barangkali terdapat taraf
makna yang lain, khususnya mengingat komentar Stella Kramrisch tentang
makna hakiki dari berbagai mitos untuk pembangunan candi, yang saya
adopsi sebagai panduan riset saya, yaitu: Candi Hindu adalah jumlah
keseluruhan dari ritus-ritus arsitektural yang dilaksanakan atas dasar
mitosnya. Mitos itu mencakup dasar dan merupakan rancangan bangunan
yang didirikan di atasnya (Kramrisch 1976:vii). Sebagai seorang antropolog
sosial budaya, saya memandang pernyataan ini sebagai suatu pengakuan
yang sejati tentang makna penting mitos itu bagi orang-orang yang
mempercayainya. 28
Perbandingan antara halaman pusat candi dengan Lautan Susu
khususnya menggugah rasa ingin tahu karena kemungkinan adanya pertalian
dengan komentar-komentar Krom tentang pembangunan halaman ini.
Paparannya mendorong saya untuk mereka-reka apakah halaman pusat
27 Di sini bukan tempatnya untuk membahas argumen-argumen Poerbatjaraka yang me
nyerupakan kompleks percandian yang dilukis dalam kakawin Rmyan a (RJK) dengan
Loro Jonggrang. Untuk pembahasan lebih lanjut mengenai berbagai kesepadanan antara
RJK dan prasasti Loro Jonggrang, lihat Jordaan (1989:24-26, 1991a, catatan kaki no. 1).

28 Menyangkut makna penting mitos dalam pembangunan candi di daratan Asia Tenggara,

para pembaca budiman boleh merujuk pada karya Heine-Geldern (1930, 1967:51). Tulisan
Van Liere (1980), yang mula pertama saya tahu hanya melalui karya Wolters (1982:89),
menyajikan beberapa titik tolak penting untuk melakukan kaji banding tentang tema air
suci dalam arsitektur candi di Asia Tenggara (lihat Jordaan 1991a:176; Stargardt 1992a,
1992b; Christie 1992; Klokke 1993:150-152).

68

Candi Prambanan

itu dirancang dan digunakan sebagai sebuah waduk atau kolam buatan. Hal
pertama yang mencolok berkaitan dengan hal ini adalah ketebalan
tembok bagian dalam yang memagari halaman candi-candi besar. Tembok
ini setebal kira-kira dua meter yang, menurut Krom, membuatnya cukup luas
tidak saja untuk pagar langkan, tetapi juga untuk jalan terusan mengitari
teras. Tembok benteng (rampart) adalah kata yang digunakan untuknya
oleh Scheltema (1912:80). Kaki tembok ini sekitar 1,5 meter lebih rendah
daripada permukaan halaman pusat, yang memungkinkan kita untuk
menyebut kawasan utama candi sebagai teras yang ditinggikan. Krom
melukiskannya dengan kata-kata berikut:
Teras besar itu bisa didaki dari semua sisi dengan sebuah tangga, yang juga
tetap tidak dihiasi. [...] Tingginya 4,20 meter di atas permukaan tanah dan
melintang datar kecuali satu kemiringan kecil guna memperlancar drainase.
Saluran-saluran drainase ditempatkan hanya pada masing-masing sisi tangga
masuk, walaupun [dewasa ini] hanya lubangnya saja yang masih dapat dilihat.
Kenyataan bahwa cuma terdapat sejumlah kecil lubang, yakni delapan, untuk
kawasan seluas itu, demikian juga ukuran lubang-lubang itu yang kecil,
barangkali berkaitan dengan sifat tanahnya yang berpasir, yang sangat mudah
ditembus air. (Krom 1923a:451.)

Walaupun saya bukan seorang pakar ilmu bangunan air, hal terakhir tadi
tampaknya mustahil bagi saya mengingat kemungkinan anjloknya dan
akhirnya ambruknya bangunan-bangunan candi yang berat itu gara-gara
kurang terkendalinya drainase air melalui tanah. Lebih jauh saya merekareka apakah tanah itu sesungguhnya benar-benar tanah berpasir sebagaimana
yang diyakini Krom. 29 Penegasan bahwa tanah tersebut sangat mudah
ditembus air juga tidak dapat dibuktikan.30 Sebaliknya,
29 Saya tidak berhasil memperoleh informasi yang lebih persis menyangkut komposisi tanah

di kawasan candi itu. Soekmono (1985:688), yang mendemonstrasikan peng gunaan


lumpur untuk mengisi lubang dan retakan di tembok bagian dalam Candi Vis n u dan
Candi Brahm, secara samar-samar mengamati bahwa tanah berpasir halus itu
sesungguhnya adalah lumpur kering. Lihat juga Anom (1993).
30 Ir. Willem Hoogmoed, seorang pakar pertanahan dari Universitas Wageningen, me
nunjukkan kepada saya bahwa sejak saat awal pembangunan candi-candi induk, tanah di
kawasan candi induk pasti diinjak-injak secara intensif dan dijejali oleh bahan-bahan
bangunan agar terbentuk suatu permukaan yang terdegradasi dan padat, yang dikenal
sebagai permukaan mati atau tertutup (yang disebut slake surface atau sealing surface
dalam bahasa Inggris) sehingga menjadi kedap air. Tentu saja tidak perlu ditandaskan
bahwa persoalan tentang sifat resap air dari tanah tersebut sama sekali tidak relevan

69

Foto 2. Mata mereka bundar, membelalak dan melotot. Kepala Kla di atas
bilik utama Candi iva. (Foto oleh penulis.)

70

Candi Prambanan

dalam salah satu kunjungan saya ke kompleks percandian tersebut saya


terheran-heran oleh kenyataan aneh bahwa para buruh yang tengah bekerja
di kawasan itu tidak semata-mata mengeluarkan air yang telah mereka
gunakan di sudut tertentu guna mengalirinya ke dalam tanah, tetapi
sebaliknya membiarkannya mengering melalui saluran-saluran tadi atau
memompanya melewati tembok dengan menggunakan selang-selang plastik.
Saya selanjutnya teringat dengan beberapa komentar sambil lalu tentang
masalah-masalah drainase dalam laporan-laporan tahunan dari Dinas
Purbakala (bdk. laporan Bernet Kempers (1978:102), yang dirujuk dalam
Bagian 3).
Apabila Krom tampaknya merasa heran ketika menemukan adanya
sedikit sekali talang dari batu (jalawara) mengingat luasnya halaman pusat,
maka kini saya hendak mengkaji kemungkinan fungsi talang tersebut dalam
rancangan tentang sebuah kolam atau waduk buatan. Kecilnya ukuran
lubang erong talang itu, sebagaimana yang dilaporkan Krom, mendorong
saya untuk mempercayai bahwa barangkali jalawara tersebut memang
tidak pernah dimaksudkan untuk berfungsi sebagai alat pengurasan biasa
halaman pusat itu. Tampaknya sangat boleh jadi bahwa jalawara itu
sesungguhnya dimaksudkan untuk berfungsi sebagai katup dari semacam
kebat atau kolam yang bisa disumbat atau ditutup dengan perop sumpal.
Lebih dari itu, jika tembok bagian dalam benar-benar berfungsi sebagai
pematang untuk sebuah waduk buatan, maka hal ini bisa menjelaskan tidak
adanya relief-relief hiasan pada tembok tersebut. Maka dari itu, tidak adanya
hiasan-hiasan dimaksud tidak dapat lagi digunakan sebagai bukti bahwa
kompleks percandian tersebut belum tuntas, sebagaimana yang dikatakan
Krom.31 Walaupun demikian, Krom sangat menyadari bahwa ada sesuatu
yang istimewa dengan rancang bangun kawasan candi induk. Hal ini terbukti
dari komentarnya, yaitu bahwa selama masa terakhir sejarah Jawa Tengah,
kekompakan dan kekokohan fondasi bangunan menjadi
lagi, jika halaman bagian dalam diubini (lihat Jordaan 1991b:71, catatan kaki no. 6).
31 Lebih dari itu, saya tidak yakin apakah kehadiran sebuah alas ganda pada candi-candi
besar di halaman dalam yang dianggap Krom (1924a:468) sebagai salah satu ciri khas
Loro Jonggrang, semata-mata berfungsi mempertegas kesan posisi tegak lurus (sifat
vertikal) candi-candi tersebut, sebagaimana yang ditegaskan Krom (1924b:106) dan
Bernet Kempers (1955:24), atau sebaliknya kita harus mempertimbangkan pula
kemungkinan bahwa candi-candi besar itu berdiri di dalam kolam yang berisi air.

71

Roy Jordaan

perhatian para arsitek (Krom 1923a:488, 1923b:106).32


Setelah menegaskan bahwa perbandingan dengan Lautan Susu niscaya
bukanlah sebuah khayalan puitis belaka, selanjutnya saya harus
membuktikan bahwa kompleks bangunan tersebut benar-benar berfungsi
sebagai sebuah waduk buatan. Satu-satunya titik tolak yang saya miliki
ketika itu adalah prasasti Loro Jonggrang, yang secara agak samar-samar
menyinggung perpindahan burung-burung, lalulintas para pedagang dan
pejabat desa yang datang untuk mandi [di air itu], yang diyakini memberi
perlindungan ajaib (sihaytra) serta kesejukan atau berkat (mahtisa)
(lihat De Casparis 1956:326, catatan kaki 76).
Sungguh menggoda untuk menghubungkan air ini dengan waduk
hipotetis yang ada di halaman pusat. Namun dalam hal ini saya harus
memperhatikan De Casparis (1956) yang memiliki pandangan yang sama
sekali berbeda. Singkatnya bahwa di dalam atau tidak jauh dari lingkungan
candi-candi itu pernah ada sebuah trtha (kolam suci), namun:
Jelas bahwa kolam itu tidak mungkin berada di dalam kedua kompleks yang
sudah dikenal itu, yaitu pusat kompleks percandian yang dikelilingi oleh
tembok tersendiri dan bangunan-bangunan anumoa [candi perwara] yang
diandaikan berdiri berjajar di seputar bagian utama. Kehadiran sebuah trtha di
dalam salah satu dari kedua bagian ini tentu mengherankan, bila tidak mau
dikatakan mustahil. Tampaknya jauh lebih mungkin bahwa trtha itu berada di
luar kedua gugusan bangunan tersebut. (De Casparis 1956:306.)

Selanjutnya De Casparis membuat perkiraan bahwa sebidang tanah di tepi


Sungai Opak yang berada tidak jauh dari situ, yang terletak antara tembok
kedua dan tembok ketiga kompleks percandian tersebut, bisa saja menjadi
lokasi kolam air suci itu. Argumennya memicu diskusi singkat mengenai
arah yang aneh dari tembok ketiga. Menurut penjelasannya yang cerdik,
bagian-bagian yang masih tersisa dari tembok sebelah selatan dan
32 Fondasi-fondasi bangunan tersebut hanya separuhnya berhasil disingkap kemudian.

Berbagai penggalian yang dilakukan Dinas Purbakala menyingkapkan bahwa


keseluruhan lantai yang ditinggikan di atasnya candi-candi yang lebih besar didirikan,
dibuat lebih kokoh oleh tembok-tembok yang dibangun dari batu-batu kali. Walaupun hal
ini tidak pasti, namun dapat diandaikan bahwa semuanya ini dimaksudkan untuk
mencegah terjadinya erosi tanah karena turunnya hujan lebat (Ouheikunig Verslag
1938:15). Tembok-tembok di bawah permukaan tanah tersebut masih utuh dan lengkap
dan tidak perlu diubah dalam proses pemugaran kompleks percandian tersebut (Bernet
Kempers 1978:100).

72

Candi Prambanan

tembok sebelah barat dari tembok pembatas ketiga itu menyiratkan tentang
pertemuan tembok-tembok tersebut dekat tepi sungai tadi (lihat Gambar 2
yang memuat denah kompleks percandian itu). Keuntungan yang diduga dari
hal ini ialah akses mudah yang disediakannya untuk mendapatkan air bersih
guna ritual penahiran para pedanda, benda-benda pemujaan dan yang
sejenisnya.
Tujuan kedua, demikian De Casparis, berkenaan dengan penggunaan
pemukiman dan pertapaan sementara bagi para pedanda, resi dan peziarah
sebuah gagasan yang mula pertama dilontarkan oleh panitia pemugaran
kolonial (lihat Verslag 1926:36). Sebuah penjelasan yang masuk akal untuk
rancangan yang aneh dari tembok ketiga itu ialah pemilahan yang di
siratkannya antara ruang yang dikhususkan untuk kediaman para dewata
(di belakang tembok yang terjurus ke mata angin utama) dan ruang yang
dikhususkan untuk tempat tinggal manusia, di mana arah atau kiblat yang
persis dianggap tidak perlu (De Casparis 1956:308-309).
Hemat saya, hal terakhir tadi sekaligus menyajikan sanggahan utama
terhadap pemecahan masalah khusus ini. Walaupun boleh jadi benar bahwa
bidang tanah dimaksud pernah sekali waktu didiami dan malah barangkali
juga memberi akses ke sungai, namun tampaknya sangat tidak mungkin ia
menjadi lokasi trtha yang dirujuk dalam prasasti tadi. Kenyataan bahwa
prasasti itu mengacu pada sihaytra atau mahtisa berkaitan dengan
pemandian menyiratkan penyucian yang dilakukan sebelumnya terhadap air
itu. Dari sisi tilik simbolis, persyaratan ini tidak dapat dipenuhi di tempat
profan yang ditunjuk De Casparis, yang dikhususkan untuk para resi dan
yang lain yang disebut sebagai tempat tinggal manusia. 33
Pertentangan ini mendorong saya untuk meninjau kembali kemungkinan
adanya sebuah trtha langsung dekat candi-candi besar, yaitu di kediaman
para dewata itu sendiri.34 Tidak perlu ditandaskan lagi bahwa air dari tempat
ini niscaya dianggap seluruhnya sudah disucikan
33 Tentu saja hal yang serupa berlaku untuk Tlaga Lor, sebuah kolam kuno yang terdapat di
sebuah dusun tak jauh dari sana, yang masih digunakan sebagai tempat pemandian oleh
penduduk setempat (Profesor Boechari, perbincangan pribadi).
34 Berkait dengan hal ini, patut diperhatikan catatan sambil lalu yang dibuat Leemans, yaitu
bahwa agar memperoleh suatu pemahaman yang baik menyangkut desain dan
pembangunan kelompok Candi Prambanan, kita harus membayangkan adanya sepasang
penjaga candi besar yang terdapat pada gapura-gapuranya dan juga kolam-kolam di dalam
tembok keliling bagian dalam untuk upacara penahiran (Leemans 1853:25; perhatikan
penggunaan kata kolam-kolam yang dipakainya dalam bentuk jamak (bahasa Belanda:
vijvers)).

73

Roy Jordaan

dan memiliki semua kualitas ajaib yang dikenakan pada jenis air semacam
itu. Untungnya, prasasti itu sendiri mengemukakan informasi yang
mendukung penafsiran secara harfiah atas kakawin Rmyan a. Salah satu
titik temu yang paling mencolok antara prasasti itu dan karya sastra Jawa
Kuno tersebut adalah yang berkenaan dengan penggunaan air. Kedua teks
sama-sama menggunakan kata tamwak, yang biasanya diterjemahkan
sebagai bendungan (atau dam). 35 Walaupun De Casparis mencatat bahwa
terjemahan tersebut bisa dibela dengan merujuk pada dua ayat yang terdapat
dalam prasasti tersebut yang satu menyinggung dampak-dampak yang
menguntungkan bila mandi di sana, dan yang lain menyangkut perubahan
yang dibuat orang atas daerah aliran sungai namun ia berpikir bahwa
tampaknya lebih besar kemungkinan bahwa kata tamwak dalam prasasti itu
mengacu pada tembok-tembok yang terbuat dari batu-batu yang memisahkan
bagian-bagian yang berdiri sendiri dari kompleks itu satu sama lain.
Keberatannya yang utama menyangkut terjemahan lazim kata tamwak itu
ialah bait di mana kata itu pertama kali ditemukan membahas tentang
bangunan-bangunan atau unsur-unsur arsitektural yang secara langsung
dihubungkan dengan ini (1956:322), dan persis penafsiran itulah yang coba
saya buktikan.
Bangunan yang menyerupai bendungan itu di tembok bagian dalam
cocok seluruhnya dengan sebuah pemahaman tentang halaman pusat
kompleks percandian sebagai suatu gambaran fisik dari Lautan Susu.
Sehubungan dengan tujuan bangunan ini, saya menyebut Prambanan sebagai
sebuah kuil air suci di mana melalui peragaan kembali sebuah mitos, air
suci itu dihasilkan.36 Saya yakin bahwa sekarang, alih-alih peragaan
kembali, saya lebih suka memakai istilah kosmisasi (cosmicization) dari
Mircea Eliade, yang menyiratkan sebuah penakdisan yang meniru karya
paradigmatis para dewata (Eliade 1976:18-31). Barangkali terbilang
35 Menurut Gericke dan Roorda (1901, I:704), kata tambak berarti dam, dan juga

kolam ikan. Dalam Ol Javanese-English Dictionary karangan Zoetmulder, kata


tambak diterjemahkan dengan tembok, tanggul, dam atau pagar, sedangkan KawiJavanese Dictionary karangan Winter dan Ranggawarsita menyebut sinonimnya dengan
bendung(an), yang juga berarti tanggul atau dam. Dalam bahasa Indonesia modern, kata
tambak masih merujuk pada dam yang terbuat dari tanah, pematang atau kolam ikan
yang dibuat dengan cara membendung (Echols dan Shadily 1990:546).
36 Mengikuti tafsiran Stutterheim tentang batu di Sirah Kencong sebagai mesin air suci,
pada mulanya saya bermaksud menamakan kompleks percandian Prambanan sebagai
stasiun pemasok air suci, namun akhirnya mengikuti nasihat G.J. Resink, yang lebih
suka memakai sebutan kuil air suci.

74

Candi Prambanan

mubazir untuk merujuk pada kemungkinan bahwa perulangan upacara ini


boleh jadi memiliki sesuatu yang sangat istimewa, dan bahwa air dengan
serba kualitas ajaib itu dihasilkan dengan menggenangi halaman itu pada
hari-hari raya saja atau pada kesempatan-kesempatan istimewa lainnya. 37
Tentu saja tidaklah mungkin untuk menetapkan secara langsung manakah
dari kedua pandangan tentang lokasi trtha tersebut yang tepat. Salah satu
cara untuk menentukan hal ini ialah dengan menggenangi halaman pusat
dengan air setinggi 10 sentimeter saja. Namun mengingat tidak praktisnya
hal ini maka saya memutuskan untuk mengumpulkan
informasi tambahan dari sumber-sumber lain.
Salah satu sumber semacam itu yang terlintas di benak saya adalah
tulisan Aichele (1969) yang nyaris dilupakan, yang terutama mengkaji
penanggalan karya sastra kakawin Rmyan a, namun juga mengandung
beberapa perbaikan dan usul perubahan penting atas tafsiran berwibawa De
Casparis menyangkut prasasti Loro Jonggrang. Aichele menegaskan nilai
tafsiran timbal balik dari kedua teks itu dan menganjurkan sebuah perbaikan
yang berkenaan dengan peringatan hari kematian Raja Rakai Pikatan, di
mana implikasi-implikasi historisnya sudah kita bahas sebelumnya. Namun
sebagai tambahan, Aichele menunjukkan bahwa perubahan daerah aliran
sungai yang disinggung dalam prasasti itu adalah untuk mengarahkan air
bukan ke kompleks percandian itu melainkan sebaliknya menjauh darinya. 38
Aichele menyatakan keraguannya tentang apakah tembok kedua dan tembok
ketiga sudah ada pada saat diadakannya perubahan daerah aliran sungai itu,
dan sebaliknya lebih cenderung meyakini bahwa langkah tersebut diambil
barangkali dalam rangka memperluas kompleks percandian itu menjadi lebih
lebar. Jika ia benar maka tentu saja tidak mungkin sebuah trtha berlokasi di
tempat yang ditunjukkan De Casparis.
37 Sebagai tanggapan pribadi atas hipotesis saya, beberapa arkeolog merasa bahwa sukar
bagi mereka untuk membayangkan bagaimana para pedanda yang hendak bertugas bisa
sampai ke candi-candi besar, kecuali dengan mengarungi air dangkal itu. Bagi saya,
keberatan semacam ini bernada etnosentris, sebab mengabaikan kenyataan bahwa air yang
dimaksud bukanlah air biasa melainkan air suci yang memiliki kekuatan ajaib tingkat
tinggi.

38 Teramat penting berkait dengan hal ini adalah terjemahan atas kata perangkai apan, yang
bisa berarti agar/supaya atau karena (Aichele 1969:146). Bertahun-tahun kemudian
seorang pakar epigrafi Indonesia, Boechari, secara terpisah sampai pada kesimpulan sama
seperti yang ditarik Aichele (Boechari 1978:14, 20, perbincangan pribadi). Secara teknis,
pembelokan sungai tersebut boleh jadi dimaksudkan untuk melindungi situs candi dari
erosi; saya berterima kasih kepada Dr. Peter Buurman, pakar geologi, untuk anjuran ini.

75

Roy Jordaan

Aichele juga mengamati adanya beberapa kesalahan dalam terjemahan atas


bait di mana tembok bagian dalam yang pertama disinggung, yakni
menyangkut kata tas dan tasaturusnya. Kedua kata ini masing-masing
diterjemahkan De Casparis sebagai pusat (bangunan-bangunan utama) dan
pusat (kompleks itu) yang memiliki tembok tersendiri. Aichele tidak
mampu merunut makna metaforis dari kata tas ini dalam literatur Jawa
Kuno dan tampaknya mungkin bagi dia, seturut penilaian dari laporanlaporan arkeologis dan etnografis yang lain, bahwa kata tas tersebut
merujuk pada sebuah batu sima (bahasa Jerman: Garantiestein,
Stiftungsstein) yang digunakan sebagai sebuah perlindungan magis atas situs
bangunan.39 Maka dari itu, ia menyimpulkan bahwa tasaturus itu mengacu
pada sebuah batu sima yang berpagar, alih-alih sebuah tembok yang
mengitari halaman pusat (Aichele 1969:156-157).
Apa pun yang sebenarnya, namun bait yang sama merujuk pada
kehadiran sebuah tamwak, atau tembok yang menyerupai dam, jika kita
bersikukuh pada makna lazim kata itu. Sayangnya, Aichele tidak membahas
sifat dasar tembok tersebut. Ia cuma berbicara tentang sebuah tembok yang
dimaksudkan untuk mengitari halaman candi. Kita dapat menduga, ketika
menerjemahkan bait ini, bahwa Aichele akan mengetahui sifat dasar tembok
itu mengingat bahwa ia mencirikan candi itu dengan merujuk pada bagian
relevan yang terdapat dalam kakawin Rmyan a yang memuat uraian
tentang candi itu beserta bangunan-bangunan di sekitarnya sebagai sebuah
penjelmaan simbolis dalam batu dari mitos yang berkisah tentang
bagaimana para dewata mengaduk-aduk Lautan Susu agar dapat
memperoleh amrta,
obat mujarab kehidupan (Aichele 1969:161).
Bukti lebih lanjut, walaupun tidak langsung, tentang ciri yang menye
rupai dam dari tembok bagian dalam itu dikemukakan oleh sebuah uraian
tentang satu kompleks percandian dalam iwartrikalpa, yaitu sebuah syair
Jawa Kuno yang berasal dari Jawa Timur (Teeuw et al. 1969). Identifikasi
saya tentang kompleks percandian ini dengan Prambanan didasarkan pada
sejumlah kesamaan yang mencolok yang tidak perlu diulangi lagi di sini,
kecuali untuk kata bwat-hantn yang penuh teka-teki itu, yang hemat saya
merupakan varian dari kata bwat-rawi (kolam buatan), yang kemudian
39

Lihat juga Zoetmulder (1982:1969) yang menerjemahkan tas (twas) sebagai batu
(pembatas) suci.

76

Candi Prambanan

saya anggap merujuk pada halaman pusat Prambanan (Jordaan 1991b:69).


Tafsiran ini tentu saja bercorak sementara belaka sebab para penerjemah
syair itu tidak menjelaskan mengapa mereka menghapus terjemahan itu
karena menganggapnya sangat tidak mungkin. Mereka lebih menyukai
sebuah tafsiran tentang bwat-hantn sebagai varian yang disangka benar
dari kata bwat-halu, dan karenanya mengacu pada paviliun-paviliun
lingga, apa pun yang dimaksudkan oleh istilah itu.
Sama sekali terpisah dari tafsiran spekulatif ini mengenai bagian yang
relevan dari iwartrikalpa, tulisan saya dari tahun 1991 membuka peluang
untuk mengkaji lebih dalam persoalan penting menyangkut kemungkinan
menggenangi halaman pusat tadi. Pada mulanya saya memikirkan dua
alternatif, yakni membelokkan aliran air dari sungai yang berada tidak jauh
dari situ dengan alat penyalur yang terbuat dari bambu atau bahan lainnya, 40
atau dengan mengumpulkan air hujan. Gagasan tentang kemungkinan ketiga,
yakni memikul air ke sana, terpikirkan oleh saya berkat sebuah anjuran dari
G.J. Resink.
Berbagai alternatif tadi beserta ciri-ciri teknis dari kolam itu, saya
ajukan kepada Bill Hansen, seorang pakar ilmu bangunan air. Dari
analisisnya saya pernah melaporkan bahwa:
Berdasarkan ketinggian dan ketebalan tembok batu yang mengitari halaman
itu, Hansen berpendapat bahwa tampaknya tidak ada masalah struktural
menyangkut penyimpanan air untuk sementara waktu di dalam halaman pusat
tersebut, asalkan kebocoran bisa dikendalikan. Masalah pengumpulan air
membutuhkan penyelidikan lebih jauh; tergantung tingkat permukaan sungai
dibandingkan dengan tingkat permukaan halaman itu, serta jarak transportasi,
40 Walaupun tidak lagi mungkin untuk membuktikan hal ini, namun kita tidak dapat

menafikan kemungkinan bahwa menyangkut alternatif ini, yakni tembok ketiga berfungsi
sebagai penyangga saluran tersebut. Barangkali inilah yang dimaksudkan oleh tembok
menjulang tinggi yang terbuat dari perak putih mengitari keseluruhan kompleks [...]
bagaikan ular Vsuki (Poerbatjaraka 1932:164), yang diterjemahkan Soewito Santoso
sebagai berikut: Terdapat sebuah kanal yang berkelok-kelok menanjak, dengan tanggultanggul yang terbuat dari perak putih. Kelihatannya serupa dengan naga Basuki. Menurut
IJzerman (1891:39), salah satu dari segelintir orang yang pernah melihat puing-puing
reruntuhannya, tembok ketiga itu berlubang. Di lain pihak, plat XVII, gbr. 67 yang dibuat
IJzerman, menunjukkan sebuah saluran air di bawah tanah yang terbuat dari batu yang
membentang dari penjuru utara tembok ketiga hingga menerobos masuk ke dalam
kompleks percandian tersebut dan keluar lagi dari sana, sambil menyusuri kawasan candi
induk (direproduksi dalam Gambar 2). Lihat juga OV 1931-1935, dan foto OD 7760,
11403-11404 yang memperlihatkan saluran tersebut beserta urung-urung yang
dihubungkan dengannya.

77

Roy Jordaan

maka persoalan tersebut bisa diatasi dengan membelokkan aliran sungai di


dekat situ ke tingkat permukaan yang lebih tinggi dan mengalirkannya ke candi
dengan menggunakan talang-talang bambu atau saluran-saluran yang terbuat
dari tanah. Memikul air secara manual dan mengumpulkan air hujan terbilang
alternatif yang mungkin, atau setidak-tidaknya sebagai metode untuk
meningkatkan pasokan. Berdasarkan data yang diberikan Bernet Kempers
(1955), berkenaan dengan luasnya ukuran halaman dalam, beserta semua
bangunan yang ada di situ, maka kita dapat secara kasar menghitung volume
total air yang dibutuhkan untuk mengisi halaman dalam hingga mencapai
kedalaman 10 sentimeter, atau kira-kira sebanyak 1.000 meter kubik. Dengan
volume air sebanyak ini maka ada kemungkinan untuk menjaga agar kolam
tersebut tetap terisi air dengan memikul air secara manual ke sana, mengingat
bahwa tenaga manusia tidak menjadi persoalan dan bahwa sungai itu terletak
tidak jauh dari situ. Sebagai contoh, dalam satu minggu 150 orang, yang
masing-masingnya membawa 30 pikul seberat 30 kg perhari, bisa menaikkan
[tingkat permukaan] air sebanyak 10 sentimeter. (Jordaan 1991b:70.)41

Sampai tahap ini saya cuma dapat menambahkan satu catatan yang berkaitan
dengan hal ini, yakni masalah kebocoran yang diandaikan. Saya melakukan
hal itu berdasarkan foto-foto yang saya ambil atas kawasan candi itu pada
tahun 1992. Walaupun salah satu foto yang dicetak kembali di sini agak
kabur, namun terlihat tiga selokan dangkal yang digali secara manual, yang
pada salah satu sisinya bertemu di tapal batas yang diisi kerikil dan tanah liat
yang tertutup lempeng-lempeng rumput di sekitar kaki Candi iva. Pada sisi
yang lain selokan-selokan tersebut bermuara pada lubang-lubang di tembok
yang menyerupai dam yang mengitari kawasan candi. Dua dari selokan itu
bisa dilihat berujung pada lubang-lubang yang ada pada kedua sisi gapura
yang terletak di sebelah barat, sedangkan selokan ketiga berakhir di sebuah
lubang besar yang barusan dibuat di tembok bagian dalam.
Menurut para buruh yang bekerja di situs candi itu, selokan-selokan
41

Kedalaman 10 sentimeter ini bersifat hipotetis belaka, namun cocok dengan ketinggian
ambang gapura yakni 55 sentimeter, yang menjadi jalan masuk ke halaman bagian dalam.
Hemat saya kedalaman tersebut sudah lebih dari cukup bagi para pedanda dan peziarah
yang diperkenankan masuk ke kawasan itu untuk secara ritual membasuh kaki mereka,
dan juga untuk memenuhi tuntutan mitos tentang Pengadukan Lautan Susu yang menjadi
landasan pembangunan candi tersebut. Jumlah orang yang dibutuhkan untuk memikul air
sebanyak itu juga tentu saja hipotetis. Dalam kenyataannya, jauh lebih banyak orang yang
terlibat dalam tugas ini guna meringankan beban untuk setiap orang.

78

Candi Prambanan

tadi berfungsi untuk memperbaiki drainase, sebab hujan lebat dan kolamkolam berlumpur yang terbentuk setelah hujan lebat itu berhenti dianggap
menjadi kendala bagi para pengunjung.42 Tampaknya selokan-selokan
dangkal tersebut tidak cocok untuk drainase itu, sebab kemudian Dinas
Purbakala memasang jejaring saluran peresapan yang terbuat dari pipa
pralon dan beton, yang mencakup tidak kurang dari 20 bak drainase
berukuran besar dan kecil yang disebarkan di seantero halaman pusat
(Laporan 1993; Jordaan 1995, lihat lampiran A).
Agar kita dapat membayangkan secara tepat halaman candi itu sebagai
penjelmaan simbolis dari Lautan Susu, maka semua perubahan ini harus
dibatalkan.

Foto 3. Selokan-selokan yang digali secara manual di bagian barat halaman pusat
Candi Prambanan. (Foto oleh penulis.)

42 Sebagai catatan tambahan saya menyebut kejadian di mana halaman pusat itu tergenang

air hujan persis pada waktu kunjungan resmi Hillary Clinton sebagai First Lay pada
bulan November 1994. Baru sesudah air hujan ini dipompa keluar oleh mesin dinas
pemadam kebakaran Yogyakarta dapatlah istri Presiden Amerika Serikat beserta
rombongannya masuk halaman pusat Candi Prambanan. Informasi penting ini saya
peroleh dari Dr. Marie-Louise Totton, pakar sejarah seni Hindu-Jawa, yang ketika itu
diminta menjadi pemandu wisata untuk tamu asing yang terkemuka itu.

79

Foto 4. Saluran-saluran drainase terkini di halaman pusat. (Foto oleh Pia Hoekstra.)

80

Gambar 6. Saluran-saluran drainase terkini di halaman pusat. (Laporan 1993.)

81

82
Foto 5. Penyingkapan sebagian dari sistem tembok bawah tanah di halaman pusat. (Foto OD 11401.)

Foto 6. Saluran air di bawah tanah

Foto 7. Lubang got dengan penutup sebagai onderdil saluran air di bawah tanah

83

Roy Jordaan

8. Desain, makna serta persangkutan sekte-sekte Tantrik


Apakah betul atau tidak halaman pusat kompleks percandian Prambanan
berfungsi sebagai waduk untuk air suci, namun kita tidak dapat menafikan
kesimpulan bahwa candi itu dibangun sesuai dengan rencana yang sudah
dipikirkan sebelumnya. Sebab, seandainya pun pendapat Aichele tadi benar
dan hanya candi iva yang didirikan pada tahun 856 M, namun tetap
merupakan sebuah kenyataan yang tidak dapat digugat bahwa candi itu
dibangun di atas teras batu yang ditinggikan yang niscaya sudah dibangun
lebih dahulu. Mesti beginilah pula kesimpulan Krom, atau ia tidak akan
menekankan sedemikian gigih kenyataan bahwa kekokohan fondasi menjadi
persoalan yang banyak diperhatikan oleh para arsitek pada masa terakhir
sejarah Jawa Tengah.
Persoalan itu niscaya terus mengusik pikirannya, karena ia mengusulkan
dalam salah satu dari publikasinya yang terakhir bahwa sistem yang ia sebut
tembok-tembok di bawah tanah primitif yang menjadi fondasi halaman
bagian dalam dari Loro Jonggrang barangkali asalnya merupakan sisa-sisa
dari satu kuil [berteras] Indonesia kuno (Krom 1939:200). Hal ini nyaris
tidak mungkin bagi Bernet Kempers (1955:38, catatan kaki no. 39),
walaupun ia tidak memerinci keberatan-keberatannya.
Kemustahilan pendapat Krom bisa diperlihatkan, hemat saya, dengan
menandaskan bahwa kuil-kuil berteras Indonesia kuno terletak di
pegunungan, alih-alih di dataran rendah. Di samping itu, mendirikan sebuah
candi Hindu di atas puing-puing reruntuhan dari sebuah kuil pribumi
bertentangan dengan pengamatan Krom sendiri menyangkut konservatisme
peribadatan Hindu. Sebelumnya Krom pernah menulis:
Bahkan bila kita memperhatikan adanya ciri-ciri khas Jawa dalam kuil-kuil
resmi ini, namun pada umumnya agama tersebut cenderung kepada
konservatisme, dan unsur-unsur non Hindu dari berbagai gagasan serta praktik
religius, itu pun kalau ada, bisa diduga berada di tempat lain. (Krom
1923b:175; lihat juga Bosch 1954.)

Lebih dari itu, amat patut dipertanyakan apakah para arsitek Hindu memiliki
cukup keberanian untuk mengambil risiko mendirikan kedelapan candi yang
sangat berat itu di atas sebuah fondasi dengan daya topang serta ciri-ciri
teknis lainnya yang tidak dapat ditentukan secara persis. Menurut

84

Candi Prambanan

Bosch, justru soal-soal struktural inilah yang menjadi kelemahan dari para
arsitek Jawa, dan karenanya membuka diri mereka dibimbing oleh berbagai
instruksi yang terdapat dalam buku-buku pegangan bangunan yang dibawa
rekan-rekan seagamanya dari India. 43 Argumen-argumen di atas membawa
kita ke persoalan arsitektur candi Hindu, dan menyajikan kita konteks
sebenarnya menyangkut masalah-masalah tentang desain dan makna.
Dalam arsitektur candi Hindu, rancangan bangunan dan maknanya
dikaitkan satu sama lain secara tak terpisahkan. Dalam bahasa Belanda
arsitektur candi juga disebut sebagai arsitektur yang sakral atau ditakdiskan
(gewije bouwkunst), dan tentang hal ini Bosch memberi catatan berikut:
Sama seperti segala sesuatu yang menyangkut para dewata dibuat berdasarkan
aturan-aturan yang ditetapkan dalam kitab-kitab suci, demikianlah pula hal ini
berlaku pertama dan terutama untuk tempat sakral atau istana dewata yang
mesti dibangun sesuai dengan kehendak yang diwahyukan sendiri oleh sang
dewa agar ia kerasan di sana. Pilihan menyangkut tempat, peletakan batu
pertama, penempatan arca sang dewa di bagian dalam yang paling sakral, serta
tindakan-tindakan [lain] semacamnya [semuanya] harus dikerjakan sesuai
dengan aturan-aturan upacara tertentu. Dalam cara serupa pemilihan bahanbahan bangunan, ukuran denah tanah, pembangunan serta bentuk dan hiasan
bangunan itu sendiri dibuat secara tegas sesuai dengan aturan-aturan. (Bosch
1920:105-106; lihat juga Vogler 1949:10-17; Kramrisch 1976.)

Berbagai kitab di mana aturan-aturan tadi disarikan dari teks-teks suci yang
ada dan disusun demi kepentingan para arsitek, pematung, dan ilpin (tukang
atau pengrajin) dinamakan ilpastra. Kapan risalah-risalah arsitektural ini
disusun sukar ditentukan, namun Bosch menduga, berdasarkan banyaknya
rujukan kitab-kitab itu pada ajaran-ajaran Tantra dan juga coraknya yang
gado-gado, bahwa ilpastra tidak memperoleh bentuknya yang sekarang
sebelum abad ke-8 M. Namun ia yakin bahwa bahan-bahan penyusunnya
jauh lebih tua. Sama pula sulitnya untuk menentukan ada berapa banyak
43 Menurut Bosch, tidak ada alasan untuk memuji para arsitek Jawa dengan bakat untuk

keterampilan pandai batu, bertentangan dengan berbagai keterampilan mereka yang


gamblang dalam seni hiasan. Berkenaan dengan kelemahan arsitektural yang diandaikan
mereka miliki, ia mencatat bahwa: Beruntung bagi para arisitek Jawa bahwa
pembangunan kuil-kuil berdasarkan petunjuk-petunjuk ilpastra tidak banyak menuntut
keterampilan-keterampilan arsitektural mereka (Bosch 1920b:151).

85

Roy Jordaan

ilpastra itu di masa lampau, walaupun pasti bahwa sekte-sekte religius


yang berbeda memiliki buku-buku petunjuknya sendiri.
Bagi para pembaca awam barangkali bermanfaat untuk berhenti sejenak
guna mengkaji sampai sejauh mana para tukang mengikuti petunjukpetunjuk terperinci yang ditetapkan dalam ilpastra. Berlawanan dengan
apa yang barangkali dikira, aturan-aturan yang ditetapkan dalam buku-buku
pegangan itu tidak terutama demi tujuan estetis, tetapi sebaliknya demi
kepentingan fungsional. Tugas seorang ilpin adalah membangun objekobjek fungsional menurut tata cara agama. Dengan membuat sebuah arca
candi sesuai dengan aturan-aturan baku, diharapkan agar sang dewa yang
disembah akan sudi berdiam di dalamnya serta menampakkan dirinya
kepada kaum beriman dalam rangkaian upacara atau doa-doa tertentu yang
maksudnya untuk membujuk sang dewa agar turun dan berdiam di arca
tersebut. Sebuah candi atau arca yang dibangun secara serampangan tidak
akan dimasuki sang dewa, tidak peduli apa pun nilai estetisnya, dan dengan
begitu tak ada manfaatnya digunakan dalam kebaktian agama. Dampak
negatif dari hal ini pun bisa lebih jauh lagi. Risalah-risalah tadi memberi
peringatan berulang kali bahwa diabaikannya aturan-aturan baku tersebut
akan menimbulkan rupa-rupa kecelakaan dan bencana.
Jelas bahwa batasan-batasan yang menyangkut kesenian suci itu
memiliki makna penting terhadap cara bagaimana kesenian tersebut
dipelajari dan dihargai. Mesti diterima secara apriori bahwa tidak ada satu
pun yang mubazir atau dibiarkan mengikuti begitu saja selera pribadi sang
seniman. Satu-satunya kebebasan yang mungkin tersisa bagi si arsitek dan
pematung adalah dalam pilihan yang menyangkut ilpastra mana yang
akan mereka ikuti, sesuai dengan aturan-aturan sekte mereka.
Berdasarkan hal-hal di atas, kita mesti bertanya mengapa kompleks
percandian Prambanan sebagaimana yang kita ketahui dewasa ini dahulunya
dibangun dalam bentuk sebuah teras, lengkap dengan candi-candi utama dan
candi-candi pendukung, dengan halaman-halaman berbeda yang dipisahkan
satu sama lain dengan tembok yang dibangun secara berbeda pula, dan
seterusnya. Pertanyaan tentang fungsi dan makna tampak kasatmata dalam
semua bagian dan pada semua tingkatan. Kalau kita membuat sebuah
inventaris tentang semua pertanyaan yang kurang-lebih tersurat yang kita
harap terjawab tentang Loro Jonggrang berdasarkan deskripsi-deskripsi
arkeologis yang ada, maka menjadi jelas bahwa hanya

86

Candi Prambanan

segelintir saja darinya yang bersangkut paut dengan rancangan kompleks


percandian itu secara keseluruhan, dan bahwa sebagian besar berkenaan
dengan bagian-bagiannya yang terpisah, entah menyangkut sejumlah
bangunan yang jelas-jelas saling berkaitan, atau menyangkut satu atau
beberapa relief.
Penemuan ini tidaklah begitu mengherankan jika kita ingat bahwa
Prambanan ditemukan ketika kompleks percandian itu tidak lebih daripada
sekadar puing-puing reruntuhan yang ditutupi semak belukar, dan bahwa
ukuran beserta strukturnya yang terperinci baru tersingkap secara perlahanlahan hanya dalam proses penggalian dan pemugaran. Hanya setelah semua
bagiannya telah berhasil disingkap barulah penilaian atas kompleks itu
sebagai suatu keseluruhan arsitektural menjadi mungkin. Baru setelah itulah
dapat diamati bahwa:
hal pertama yang mengesankan seseorang ketika menyaksikan kompleks ini
adalah kesatuannya; kesatuan tersebut menafikan pendapat bahwa misalnya
pada mulanya hanya satu bagian yang dirancang dengan sengaja dan kemudian
bangunan-bangunan lain ditambahkan secara kebetulan. Rancangan dan hiasan
sama di mana-mana, tidak peduli dengan aneka perbedaan dalam
pelaksanaannya. (Krom 1923a:453.)

Namun demikian, kita kadang-kadang menemukan berbagai pernyataan


dalam bacaan ilmiah yang menyiratkan penilaian yang tidak memadai
menyangkut gagasan-gagasan para arsitek. 44 Lihat saja sebagai contoh
pembahasan Krom sendiri yang simpatik menyangkut pandangan Van Eerde
yang sudah kita singgung sebelumnya, yaitu bahwa Prambanan adalah
sebuah candi negara atau kerajaan, dan bahwa suatu perbandingan dengan
candi-candi Bali akan menyanggupkan kita untuk memberi sebuah
penjelasan mengenai jumlah keseluruhan candi pendukung, yang diyakini
sepadan dengan jumlah pemukiman di bekas ibu kota itu (Krom 1923a:453).
44 Harus diakui bahwa saya membuat kekeliruan yang sama ketika saya mengatakan bahwa

setelah pengusiran dinasti ailendra dari Jawa, para penguasa baru mungkin pernah
berupaya melaksanakan pembangunan pada skala lebih besar atau dalam perincian yang
lebih indah daripada yang pada mulanya dirancang (Jordaan 1993:34). Boleh jadi bahwa
perinciannya lebih indah namun secara signifikan bukan pada skala yang lebih besar atau
secara struktural, sebab desain struktural telah ditetapkan sebelumnya dan tidak mungkin
diubah seenaknya tanpa membahayakan rancang bangun secara keseluruhan. Sebuah
contoh perombakan yang penting tapi non struktural adalah pelebaran tangga di sisi timur
Candi iva yang disebut dalam tulisan Bernet Kempers dalam buku ini.

87

Roy Jordaan

Ini berarti bahwa perluasan kompleks percandian berjalan kurang-lebih


sejajar dengan pertumbuhan kota dan para penduduknya, sebagaimana yang
malah diyakini oleh Pitono Hardjowardojo, yang mengatakan:
Bilamana diperlukan lebih banyak arca sembahan, maka relung di dalam atau
di luar candi induk ditambahkan, atau candi-candi perwara ditambahkan, yang
berdiri terpisah di dalam batas-batas pagar candi. Dengan demikian seluruh
kompleks percandian bisa dibangun. Loro Jonggrang adalah contoh yang baik
tentang hal ini. (1967:12.)

Pendapat tersebut niscaya salah. Saya sepakat dengan Stutterheim


(1925:137) bahwa dengan begitu rancangan dan susunan bangunanbangunan dari kompleks tersebut dibuat secara sewenang-wenang, dan
bahwa tidak lebih dari kebetulan belaka bila kota itu memiliki jumlah
pemukiman yang sama banyak dengan jumlah candi-candi kecil yang
dibangun berderet rapi mengitari kawasan candi induk. Menurut Stutterheim,
jumlah bangunan-bangunan tersebut tidak mungkin sewenang-wenang, dan
mesti ada alasan-alasan lain yang mendasari pembangunannya. Sayangnya,
ia tidak membahas alasan-alasan lain tersebut lebih jauh, selain
mengungkapkan sebuah dugaan yang samar-samar bahwa kompleks
percandian tersebut dibangun berdasarkan sistem Puranik tertentu. Ia juga
tidak menyebutkan kompleks percandian di daratan Asia Tenggara di mana
deretan candi-candi serupa ditemukan, agar maknanya barangkali bisa
menyajikan sebuah penjelasan.45
Berkenaan dengan makna komponen-komponen khusus tersebut kita
dihadapkan dengan pilihan mendasar antara sebuah penjelasan yang utama
dalam rangka gagasan-gagasan Jawa pribumi, atau barangkali gagasangagasan Asia Tenggara seumumnya, dan sebuah penjelasan dalam rangka
model-model India. Prambanan menyajikan sejumlah besar contoh mengenai
yang pertama, walaupun hasil-hasil riset ke arah ini sejauh ini belum terlalu
meyakinkan, atau malah beberapa di antaranya meragukan.
Selain gagasan tentang kuil berteras Indonesia kuno yang sudah kita
kesampingkan sebelumnya, saya kini mengarahkan perhatian pada
pertanyaan menyangkut gapura utama menuju kompleks percandian
45 Hal yang sama juga tidak dilakukan Parmentier ketika ia mencatat bahwa rancangan
Candi Prambanan terbilang unik untuk pulau [Jawa], jarang ditemukan di India namun
didapatkan di tempat-tempat lain, khususnya di Kamboja (1948:84).

88

Candi Prambanan

itu. Laporan panitia pemugaran memberi tahu kita bahwa Van Erp pada
mulanya mempercayai bahwa gapura utama itu tidak mungkin berada di sisi
timur, walaupun ia menyadari bahwa gapura di sisi itu kenyataannya lebih
luas dan lebih monumental daripada gapura-gapura yang terdapat di sisi-sisi
lain. Menurut Van Erp, argumen estetik bahwa candi-candi itu akan terlihat
jauh lebih cantik dengan latar belakang Gunung Merapi mendukung letak
gapura itu di sisi selatan. Juga letak jalur jalan yang ada pada waktu itu
tampaknya mendukung hal ini. Sebuah keadaan yang tampaknya
mendukung letak gapura utama di sisi barat adalah luasnya halaman antara
candi-candi Trimrti dan sisi tembok bagian dalam. Argumen yang
menentang letak gapura utama itu di sisi timur berbunyi sebagai berikut:

Setelah menaiki tangga-tangga di sana, kita menyaksikan bagian belakang dari


tiga cani vhana. Candi iva seluruhnya terhalangi oleh Candi Nandi.
Selanjutnya, poros tangga-tangga tadi berada lebih dari 2 meter dari sumbu
yang sebenarnya berhadap-hadapan dengan poros-poros utama Candi Nandi
dan Candi iva. (Van Erp sebagaimana yang dikutip dalam Verslag 1926:16.)

Tanggapan panitia pemugaran terhadap hal ini, yang boleh kita duga
dipengaruhi oleh Stutterheim, yang menjadi sekretarisnya, adalah sebagai
berikut:
Menurut pandangan orang-orang Jawa tidak ada yang tidak memuaskan
menyangkut model pembangunan ini; sebaliknya, hal itu sungguh berarti sebab
bagaimanapun juga candi-candi vhana berfungsi sebagai sebuah kelir atau
layar yang melindungi iva dari pandangan manusia, yang berkenaan dengan
monumen utama, di mana Mahdeva ditakhtakan. Gapura utama menuju candi
itu juga terletak di sisi timur, dan karenanya sisi timur itu mesti merupakan sisi
yang baik untuk menghampiri [kompleks itu]. Hal ini juga diisyaratkan oleh
pembuatan yang lebih megah dari jalan masuk sebelah timur itu. Kita
memperhatikan hal yang sama dalam arsitektur Jawa Timur, tentangnya
Prambanan merupakan sebuah contoh peralihan. Pergeseran poros tanggatangga bila dibandingkan dengan poros-poros utama Candi Nandi dan Candi
iva merupakan sebuah gejala yang dapat dilihat dalam tata letak keraton
hingga dewasa ini. (Verslag 1926:16.)

89

Roy Jordaan

Bukanlah maksud saya untuk menggugat bahwa lokasi dari gapura utama itu
berada di timur; ukurannya sendiri merupakan bukti yang memadai untuk
hal ini. Keberatan saya berkenaan dengan pendapat bahwa paham-paham
Jawa menjadi landasan untuk susunan kompleks percandian itu, dan bahwa
layar permainan wayang serta tata letak keraton bisa diangkat sebagai
petunjuk untuk hal ini. Hal tersebut tidak saja mengabaikan pertanyaan
apakah wayang dan tata letak keraton dipijakkan pada model-model India,
tetapi juga bertentangan dengan kenyataan bahwa sebuah gapura utama yang
terletak di sisi timur sesungguhnya tidak cocok dengan pemahaman umum
tentang tata ruang di Indonesia. Gagasan bahwa penempatan sebuah
bangunan pada poros timur-barat mesti dihindari terbilang jauh lebih lazim,
karena poros itu adalah jalan matahari. Hal ini berlaku tidak saja untuk
rumah-rumah penduduk desa, tetapi juga untuk istana raja, dan inilah alasan
mengapa kebanyakan keraton Jawa diposisikan pada poros utara-selatan
(Behrend 1989). Pergeseran poros gapura terhadap candi-candi itu, serta
hubungannya dengan pengaturan bangunan-bangunan keraton, terbilang
benar-benar mencolok dan boleh jadi melibatkan pertimbangan ini. Namun
jawabannya yang pasti membutuhkan penelitian lebih lanjut. 46 Namun
landasan untuk mempelajari segi-segi arsitektural rancang bangun candi
Hindu-Jawa belum lagi diletakkan. Saya cuma mengenal telaah eksploratif
awal yang dilakukan Bosch (1920), yang lebih dari itu tidak secara langsung
berpautan dengan Loro Jonggrang, tetapi sebaliknya ditujukan untuk
menjadikan gagasan tentang penggunaan ilpastra dalam pembangunan
candi Jawa dapat diterima secara lebih umum lagi. 47 Agak mengejutkan
bahwa Bosch berhasil dalam ikhtiarnya ini, mengingat bahwa pada waktu itu
yang tersedia baginya hanyalah teks dari satu ilpastra saja, yakni
Mnasra, dan teks itu pun cuma dikenal dalam bentuk yang tidak lengkap
lagi rusak. Tambahan pula, risalah tersebut berasal dari dan digunakan di
India Selatan. Sebagaimana yang sekarang kita ketahui, pengaruh dari India
Utara, khususnya dari Nland dan
46 Bahwa pandangan manusia mesti disembunyikan dari tatapan iva memerlukan

penjelasan tertentu. Lebih dari itu, tidak dilaporkan apakah kaidah ini bercorak Jawa atau
memiliki asal-usul India. Pernyataan tegas ini semestinya didukung oleh contoh-contoh
etnografis atau dengan kutipan-kutipan dari ajaran-ajaran dogma Hindu.
47 Menyangkut Jawa Tengah, riset perintisan Bosch hanya diikuti oleh studi Van Blom
(1935) tentang Candi Sojiwan. Mesti disinggung pula secara terpisah di sini karya Van Erp
(1909, 1943) ketika riset arsitektural dan ikonografisnya memiliki kelasnya tersendiri.

90

Candi Prambanan

Bengali, jauh lebih penting, sekurang-kurangnya selama zaman ailendra


dalam sejarah Jawa, ketika Borobudur dan Prambanan dibangun. Bosch
menarik kesimpulan ganda. Walaupun jumlah dan corak perbedaan di antara
seni Mnasra dan seni Jawa membuktikan bahwa Mnasra tidak mungkin
menjadi teks utama yang memandu para arsitek Jawa, namun di lain pihak
kemiripan yang ditemukan begitu banyaknya dan sedemikian mengherankan
sehingga tak pelak lagi bahwa aturan-aturan artistik yang berjenis sama
mesti mereka kenal dan gunakan.
Begitulah keadaannya sampai sekarang. Minat dalam tema ini telah
berkembang dan sekaligus juga lebih kokoh dilandaskan sejak itu,
khususnya di India, sebagaimana yang tersaksikan dari kajian Kramrisch
(1946) yang kini telah dianggap klasik. Namun hal yang serupa hampir tidak
dapat dikatakan tentang Jawa, dan beberapa argumen yang dianjurkan
berkenaan dengan Prambanan masih tetap tidak lebih daripada sekadar
terkaan semata.
Angkat sebagai contoh, berbagai penegasan tentang fungsi dan makna
pengaturan delapan candi kelir dan candi patok di sepanjang bagian dalam
tembok pembatas pertama. Seandainya kita menarik garis-garis penghubung
antar candi-candi itu di atas sebuah denah, maka garis-garis tersebut akan
tampak bertemu pada sebuah titik di tenggara tangga utama Candi iva. Titik
ini ternyata bertepatan dengan salah satu dari kedelapan menara atau candi
sudut yang terletak di salah satu sisi dari keempat tangga. Namun berbeda
dari ketujuh yang lain, candi sudut yang satu ini terbuka ke depan. Pada
ruangan yang ada di dalamnya terdapat sebuah lapik yang berlubang di
bagian dalam, dan di bawahnya terdapat sebuah tiang yang dibentuk oleh
tiga bidang datar yang disebut sebagai parallelepipeon di atasnya ditarik
garis-garis sangat halus yang mengisyaratkan pusat geometris kawasan itu
(Ouheikunig Verslag 1938:6-7).
Bernet Kempers secara jitu mengamati bahwa arca iva di bilik utama
Candi iva, yang merupakan pusat tersuci kompleks tersebut, tidak
diletakkan pada pusat geometris kompleks itu, tetapi agak ke barat laut
darinya. Ia mencatat bahwa posisi unik dari pusat religius ini bisa juga
diamati di berbagai candi lain di Jawa, maupun di tempat-tempat lain.
Sehubungan dengan hal ini, ia merujuk pada teks-teks India yang melarang
untuk menempatkan arca-arca atau bagian-bagian penting lainnya dari
sebuah struktur tertentu pada garis-garis berpotongan yang terdapat di atas

91

Gambar 7. Sketsa OD yang menunjukkan pusat geometris kompleks percandian.


(Diambil dari Ouheikunig Verslag 1938:6.)

92

Candi Prambanan

diagram yang menjadi pijakan untuk desain. Sayangnya, ia tidak mengatakan


teks-teks manakah yang menyinggung kenyataan ini, tetapi dalam hal ini hanya
mengacu pada telaah yang dilakukan R. Von Heine-Geldern (1930) dan
Kramrisch (1946) tanpa menyebut angka halaman apa pun.
Hal yang sama berlaku menyangkut gagasan-gagasan tentang arti
penting dari kedelapan candi kelir yang bersepadanan bentuknya dengan
berbagai candi sudut yang terletak di sebelah tangga. Salah satu laporan
arkeologis berspekulasi bahwa candi sudut itu barangkali bertujuan untuk
secara magis menutup [ketersingkapan pada] titik-titik berbahaya (gapura,
sudut, dan yang sejenisnya) [...] Menara sudut itu boleh jadi dianggap
sebagai relung untuk meletakkan sesajen kepada para penjaga dewata di
gapura-gapura (Ouheikunig Verslag 1936:5-6). Tidak jelas apakah
dugaan ini memang benar.
Juga ada spekulasi tentang candi-candi perwara yang terdapat di antara
tembok pembatas pertama dan kedua. Selain jumlahnya yang persis,
persoalannya ialah bagaimana menafsir pengaturan candi-candi tersebut.
Apakah jumlah delapan memiliki makna khusus di sini, mengingat
perbedaan tetap dalam jumlah candi-candi itu bila kita bergerak dari satu
deretan bertingkat candi ke deretan bertingkat berikutnya: masingmasingnya 44, 52, 60 dan 68 sehingga seluruhnya berjumlah 224 candi.
Atau apakah terdapat sebuah sistem yang lain? Pertimbangkan, misalnya
pertambahan secara teratur jumlah keseluruhan gapura candi-candi perwara
itu, hal yang dianggap penting oleh J. Dumaray.
Candi-candi pada garis diagonal memiliki dua gapura; sebagai contoh, candi
pada sudut timur laut terbentang ke arah timur dan utara. Maka, dari sisi mana
pun kita memandang, barisan pertama memiliki 12, barisan kedua memiliki 14,
barisan ketiga memiliki 16 dan barisan keempat memiliki 18 pintu keluarmasuk. Seperti yang dikatakan prasasti itu, betapa indahnya jumlah bangunanbangunan kecil. (Dumaray 1978:57.)

Arti penting perhitungan ini luput dari perhatian saya. Berangkat dari cara
bagaimana prasasti itu dirumuskan, saya lebih cenderung membayangkan
bahwa yang terpenting adalah jumlah bangunan-bangunan tersebut, alih-alih
jumlah gapuranya. Lebih dari itu, jumlah gapura-gapura tersebut bisa saja
dengan mudah dibagi ke dalam delapan kelompok. Jadi, setiap

93

Roy Jordaan

deretan bertingkat memiliki empat candi sudut, yang terletak pada garisgaris diagonal, yang masing-masingnya memiliki dua gapura. Oleh karena
itu, jumlah keseluruhan gapura sudut itu dalam setiap deretan bertingkat
adalah delapan. Bila kita bergerak dari satu deretan bertingkat ke deretan
bertingkat berikutnya, maka jumlah candi yang ditempatkan di antara candicandi sudut ini meningkat mulai dari 10 ke-2, 14, dan 16, dan angka terakhir
tadi sekali lagi adalah kelipatan dari delapan. Tampak bahwa semuanya ini
bagaikan permainan angka dan jumlah yang nirmakna, namun sebenarnya
tidak demikian. Pilihan yang aneh untuk angka delapan di antara para
pembangun juga ditemukan di tempat-tempat lain, misalnya di kawasan
candi induk, di mana kita menemukan delapan candi utama serta candi kelir
dan menara sudut yang sudah kita sebutkan di atas. Delapan adalah juga
jumlah talang air (jalawara) di tembok bagian dalam, masing-masing dua
buah di keempat gapura. Selanjutnya, terdapat relief-relief yang memiliki
delapan penjaga mata angin (ast aikpla)
dan delapan dewata yang belum

diketahui identitasnya di antara penjaga mata angin tersebut. Walaupun kita


bisa mencatat pilihan dimaksud, namun sayangnya belum lagi mungkin
untuk menjelaskannya.48 Tanpa informasi lebih lanjut dari ilpastra
mengenai sistem yang diikuti dalam pembangunan Prambanan, maka paling
banter kita cuma dapat menebak makna dari semuanya ini.
Berkaitan dengan pilihan yang mencolok atas angka delapan, boleh juga
dicatat bahwa identitas sekte aiva yang bertanggung jawab atas
perencanaan Prambanan terbilang hal yang diabaikan, khususnya dalam
perbandingan dengan minat terhadap identitas raja yang menjadi pendirinya.
Sejauh yang saya ketahui, hanya Sarkar (1967) yang membuat catatan
tentang hal ini secara sambil lalu, sembari mendalilkan bahwa para pemuja
aiva di Prambanan boleh jadi termasuk dalam sekte Pupata, alih-alih
dalam aliran Siddhnta, sebagaimana yang kadang-kadang
48 Berdasarkan penyelidikan lebih lanjut atas literatur, kita dapat dengan segera menemukan

kelompok delapan lainnya, yang menyiratkan makna khusus angka delapan dalam
pemikiran Hindu-Buddhis, seperti delapan pekuburan dalam ritus Tantrik, delapan
Siddhnta Mahevara, delapan bohisvattva yang membentuk Nirmakaya, jalan rangkap
delapan dalam Buddhisme, dan seterusnya. Tidak banyak yang dapat dipelajari dari katakata Walker bahwa delapan adalah sebuah angka yang sangat mistis; kunci menuju
fatalitas di balik berbagai kejadian (1968:137). Namun menarik untuk dicatat bahwa
delapan adalah as ta (astau) dalam bahasa Sanskerta, sebuah bentuk rangkap satusatunya bentuk rangkap dalam bahasa Sanskerta yang sangat boleh jadi memiliki
sangkut pautnya dengan persoalan ini (perbincangan pribadi dengan Profesor Lokesh
Chandra).

94

Candi Prambanan

dinyatakan (lihat, misalnya Lokesh Chandra 1967:8).


Walaupun Sarkar barangkali benar dalam keraguannya tentang apakah
aliran aiva-Siddhnta cukup kuat pada abad ke-8 untuk meletakkan
landasan teologis dari kompleks Prambanan, namun pengaruh sekte
Pupata masih harus dibuktikan. Kita cuma tahu beberapa penganut
Pupata di luar India. Laporan-laporan perjalanan yang ditulis oleh para
peziarah Buddhis Cina, seperti Hsan-tsang (Xuanzang) dan I-Ching (Ijing),
menyinggung kehadiran kaum Pupata di Kamboja dan Jawa kuno. H. Kern
(1917:137) mengutip terjemahan yang dibuat Julian atas laporan Hsantsang, yang mengatakan: Pada kaki gunung itu orang menyaksikan kuil
dewa Ta-tseu-tsai [atau Guru Agung] (Mahevara) tempat para petapa
menggosok tubuh mereka dengan abu (kaum Pupata) dan tempat mereka
membawa persembahan mereka dengan penuh hormat. I-Ching juga
merujuk pada Po-chou-po-to (kaum Pupata) yang melumuri tubuh
mereka dengan abu dan menyembah Mahevara. Rujukan yang berulangulang dalam prasasti-prasasti Jawa Kuno pada apa yang disebut sebagai
pacakuika atau Lima Kuika Kuika, Garga, Maitri, Kurusya, dan
Patajali bisa juga dikaitkan dengan sekte Pupata, karena Kuika adalah
nama dari salah seorang murid Lakulia (alias Lakulin), yang diandaikan
menjadi pendiri dan yang membuat sistematisasi atas ajaran kaum Pupata
di India. Oleh karena itu, pasti bahwa sekte Pupata sudah dikenal di Jawa
kira-kira pada saat yang sama di Kamboja (lihat Bhattacharya 1955; Coeds
1968:113).
Namun hemat saya, hal ini tidak berarti bahwa sekte ini dapat dihubung
kan dengan Loro Jonggrang tanpa pertimbangan lebih lanjut. Yang pasti
bahwa sekadar menyinggung tentang adanya sebuah candi di kaki sebuah
gunung terlalu samar-samar bagi siapa pun untuk menyimpulkan bahwa
informasi pendek itu merujuk pada Prambanan. Lebih dari itu, sekadar
penghormatan kepada atau memohon pertolongan dari Lima Kuika dalam
rumusan-rumusan kutuk dalam beberapa prasasti Jawa (delapan dari jumlah
keseluruhan sebanyak 112 prasasti yang dibahas Sarkar 1972), dan yang
paling tua darinya berasal dari tahun 860 M, tidak menjamin kedudukan
terkemuka dari kaum Pupata dalam perancangan Prambanan sebagaimana
yang dikenakan kepada mereka oleh Sarkar.
Dalam sebuah publikasi belakangan (Jordaan 1993), saya telah

95

Roy Jordaan

berupaya menarik pertalian antara candi itu dan sekte aiva lainnya, yaitu
kaum Kplika. Pendapat saya khususnya dilandaskan pada penemuanpenemuan IJzerman (1891) tentang sisa-sisa kerangka manusia dan binatang.
Menurut IJzerman sisa-sisa kerangka tersebut bisa dijadikan pertanda bahwa
kompleks percandian tersebut dibangun oleh sebuah sekte Tantrik. Dalam
tulisannya IJzerman merujuk pada kajian-kajian yang dilakukan Colebrooke
dan Coleman, yang melaporkan persembahan binatang-binatang kurban
kepada Dewi Kl. Sayangnya, acuan-acuan yang harus diakui agak samarsamar ini pada praktik-praktik Tantrik India selanjutnya diabaikan demi
mendukung teori tentang candi sebagai makam, yang ketika itu lagi naik
daun. Ada dua alasan untuk hal ini.
Pertama-tama, kebanyakan pakar sebelum Perang Dunia II hakulyakin
bahwa jenis Tantrisme ini dalam kurun waktu Jawa Tengah terbilang tidak
penting dan terbatas pada kasus-kasus terpisah menyangkut sekte-sekte kecil
yang tinggal di daerah pegunungan. Walaupun diketahui bahwa Buddhisme
Mahyna di rvijaya dironai dengan Tantrisme, namun para pakar dari
masa itu tidak mempertimbangkan kenyataan tentang pengaruh Tantrik ini
pada Buddhisme Mahyna yang dianut dinasti ailendra di Jawa Tengah,
terutama karena relasi di antara kedua kerajaan Buddhis itu dalam sebagian
besar kurun waktu Jawa Tengah tidak jelas. Karena tidak adanya bukti yang
lebih awal maka diandaikan bahwa Tantrisme yang berkembang sepenuhnya
baru menjadi penting di Jawa hanya selama masa Jawa Timur, yang
berlangsung mulai dari awal abad ke-10 hingga abad ke-15 (Krom 1931:189,
220; Moens 1924; Schnitger 1934). Contoh-contoh penanggalan Tantrisme
dari kurun waktu Jawa Tengah lazimnya diremehkan, dalam arti bahwa
contoh-contoh itu dirujuk entah sebagai paham-paham yang berkaitan
dengan atau bermuara dalam Tantrisme (Krom 1931:222) atau sebagai
gejala Tantrik yang tidak berarti dan kurang penting (lihat Bosch
1961:488).
Salah satu faktor penting dalam semua ini adalah suatu pandangan
negatif tentang Tantrisme yang dianggap serupa dengan ilmu persetanan
serta praktik-praktik jahat tukang sihir, atau teluh (ilmu hitam). Pertalian
Tantrisme dengan bangunan-bangunan klasik semisal Borobudur dan
Prambanan benar-benar tak terperikan (Krom 1927, II:327; Pott 1956:58).
Oleh karena itu, tidaklah mengherankan kita bila berkenaan dengan tafsiran
atas kerangka-kerangka binatang dan manusia yang ditemukan di

96

Candi Prambanan

Loro Jonggrang maka yang terjadi adalah sesuatu yang sama sekali tidak
luar biasa jika menghadapi sebuah dilema intelektual: persoalan rumit itu
dihindari, relevansinya ditampik, atau bukti tentangnya dipelintir.
Penghindaran itu terbilang sebagai reaksi yang paling mudah, dan hal
itu menjelaskan kebungkaman dalam literatur arkeologis terkini menyangkut
persembahan binatang-binatang kurban beserta kerangka binatang dan
manusia tadi. Penyangkalan terhadap persoalan ini tidak terlalu mudah dan
lebih jarang terjadi. Salah satu contoh yang pasti tidak disengaja
dikemukakan Bosch yang mengesampingkan persoalan tentang aturanaturan menyangkut persembahan kurban yang tertera dalam Kitab Veda,
termasuk kurban manusia (purusameha),
sebagai sebuah persoalan

akademis, sembari mengatakan: Kita dapat mengandaikan bahwa kurbankurban semacam itu sebenarnya tidak pernah terjadi, tetapi dapat dianggap
sebagai khayalan belaka dari pihak para pedanda Brahmana yang
terpelajar (Bosch 1920:142, catatan kaki no. 1).
Mengingat dugaan-dugaan mengenai penyimpangan, pembungkaman atau
salah tafsir atas fakta bukan sekadar perkara ringan, maka dugaan-dugaan
tersebut menuntut pertimbangan yang sangat saksama dan mendasar. Oleh
karena itu, mula pertama saya akan meninjau kembali kajian yang dilakukan
sementara pakar yang menyinggung adanya kerangka dalam sebuah perigi di
Loro Jonggrang dan menganggapnya sebagai fakta sebagaimana yang kita
ketahui. Krom menyinggung tentang adanya kerangka manusia dan bangkai
binatang, namun tidak memberi komentar lebih lanjut, selain mengulang
kembali pengamatan IJzerman bahwa jelas tak satu pun dari perigi-perigi
tersebut, tanpa kekecualian, yang digali [sebagai lubang], tetapi bahwa ruang
yang dibutuhkan dibiarkan terbuka di bagian dasar [fondasi] selama
pembangunan [candi-candi itu] (Krom 1923a:486; lihat IJzerman 1891:69).
Tampaknya tak seorang pun yang memberi perhatian pada temuan tambahan
IJzerman, yaitu bahwa dalam semua candi tadi penutupan perigi-perigi dimulai
dari dasar fondasi, yang sebagaimana saya pahami menyiratkan bahwa si
almarhum tidak mungkin berada di dalam lubang itu secara kebetulan atau
sebagai hasil dari sebuah tindak kejahatan. Jadi, satu-satunya kesimpulan yang
tersisa adalah bahwa pasti ini merupakan kasus penguburan secara sengaja,
sangat boleh jadi pengurbanan manusia.
Apa pun alasan untuk kekeliruan ini, tetap saja kerangka dari Prambanan

97

Roy Jordaan

tadi nyaris tidak lagi mendapatkan perhatian apa pun setelah Krom. Satusatunya kesempatan di mana kerangka itu disinggung sekali lagi,
sepengetahuan saya, adalah dalam tinjauan Stutterheim (1935) terhadap
buku Van Blom mengenai Candi Sojiwan, sebuah candi yang terletak
beberapa kilometer dari Prambanan. Hal ini dipicu oleh penyebutan Van
Blom (1935:13) tentang penemuan sisa-sisa kerangka manusia di kawasan
tempat suci Buddhis ini, yang barangkali berasal dari paruh pertama abad
ke-9. Stutterheim, yang tetap bersikukuh pada ide-ide dari zamannya, juga
tidak merujuk pada kemungkinan latar belakang Tantrik menyangkut gejala
ini. Sebaliknya, ia mengacu dan sepengetahuan saya untuk pertama kalinya
pada tradisi kerakyatan Jawa menyangkut pengurbanan manusia dalam
pelaksanaan proyek-proyek bangunan penting. Apa yang mencengangkan
kita di sini, selain penyebutannya secara sambil lalu belaka, yakni dalam
sebuah catatan kaki saja, adalah rumusan Stutterheim yang sangat berhatihati, sembari memberi banyak ruang untuk hal-hal yang terjadi secara
kebetulan. Stutterheim menulis:
Penulis [Van Blom] melaporkan tentang penemuan sisa-sisa sebuah kerangka
manusia. Saya teringat bahwa di sebelah tenggara dari apa yang disebut sebagai
Candi Nandi di Prambanan juga pernah ditemukan sebuah kerangka (Foto OD
11192). Tentu saja kita tidak dapat menarik kesimpulan apa pun dari
persesuaian ini dan mesti memberi banyak ruang untuk kejadian yang
kebetulan. Namun demikian, diharapkan agar orang mesti bersikap hati-hati di
sini, antara lain yang berkenaan dengan keyakinan culik yang dianut orangorang Jawa, yang mengandaikan adanya pengurbanan manusia berhubungan
dengan proyek-proyek bangunan besar. (Stutterheim 1935:84, catatan kaki no.
1.)

Tidak mungkin luput dari perhatian pembaca yang awas bahwa sisa-sisa
kerangka yang disebut Stutterheim tidak mungkin sama dengan yang
ditemukan IJzerman pada tahun 1885, sebab yang terakhir tadi tidak
ditemukan di sebelah tenggara Candi Nandi, tetapi sebaliknya di perigi
Candi B yang terletak di sebelah utara Candi Nandi. Lebih dari itu,
penemuan kerangka yang terakhir tadi tidak didapatkan dalam sebuah perigi
di bawah landasan sebuah arca, tetapi di kawasan candi induk, setidaktidaknya sejauh yang dapat disimpulkan dari penjelasan yang sangat

98

Candi Prambanan

singkat yang menyertai foto yang disebutkan di atas. Sayangnya, tidak pula
ditemukan data penting dalam ringkasan Ouheikunige Verslagen 19311935, misalnya menyangkut jenis kelamin serta perkiraan usia si mati, dan
juga kemungkinan sebab kematian. Ini benar-benar merupakan contoh
arkeologis dari ungkapan tentang penyembunyian sebuah kerangka di dalam
lemari. Dalam kenyataannya, hal semacam ini bukan cuma terjadi kali ini
saja. Soekmono (1974:71), dalam nada serupa, menyatakan bahwa ada
ketidakpastian menyangkut asal-usul kerangka manusia yang ditemukan di
Candi Sojiwan. Namun bila ada ketidakpastian semacam itu maka hal itu
bersangkut paut dengan tulang-tulang yang hangus terbakar yang ditemukan
di perigi dari satu candi perwara yang kini telah musnah. Tentangnya Suaka
Peninggalan Sejarah dan Purbakala DIY tidak melaporkan apakah tulangtulang itu berasal dari binatang atau manusia, atau keduanya (Van Blom
1935:109). Namun menyangkut sisa-sisa kerangka yang ditemukan di sudut
barat laut halaman candi, Van Blom (1935:13) secara eksplisit berbicara
tentang seseorang yang meninggal di sana, yang tengkoraknya masih
berada dalam keadaan yang cukup baik.
Di samping pembungkaman mengenai bukti penting, juga terdapat
persoalan mengenai salah tafsir atas berbagai fakta dalam rangka rupa-rupa
paham dan praktik Jawa pribumi. Bila Stutterheim merujuk pada keyakinan
culik dalam hal ini, maka Soekmono teringat akan upacara adat desa yang
masih berlaku hingga sekarang, yakni penheman, yang melibatkan
penguburan binatang kurban berupa kepala kerbau pada situs sebuah
bangunan baru. Oleh karena itu, kesimpulan saya adalah bahwa kedua
penulis tersebut menjelaskan cuma sebagian dari masalah, sementara itu
bukti yang mereka kemukakan mesti dianggap tidak meyakinkan. Sama
seperti kepala kerbau itu tidak dapat dipersamakan begitu saja dengan
persembahan binatang kurban berupa seekor anjing atau seekor tenggiling,
demikian pula persembahan kurban berupa seorang manusia di halaman
pusat dari salah satu kompleks percandian aiva yang paling penting di Asia
Tenggara ini tidak dapat dijelaskan sekadar sebagai suatu kepercayaan
kerakyatan Jawa. Sebaliknya, mengingat tenarnya konservatisme
peribadatan candi Hindu maka pendapat saya ialah bahwa praktik tentang
kurban binatang dan manusia di tempat suci ini mesti merupakan tandingan
terhadap contoh-contoh India (Jordaan 1993:4).

99

Roy Jordaan

Menyangkut kaitan dengan India, kerangka-kerangka manusia tadi


secara khusus bisa menyajikan suatu petunjuk penting untuk
mengidentifikasi sekte yang memimpin upacara peresmian kompleks
percandian itu pada tahun 856 M. Mengulang kembali pernyataan saya
sebelumnya, saya berpikir bahwa tidak dapat dikesampingkan bahwa sekte
dimaksud adalah sekte Kplika yang telah lama punah, yang dikenal pernah
mempraktikkan kurban manusia. Sayangnya, tidak banyak yang diketahui
tentang sekte ini. Informasi tidak seberapa yang dengan susah payah
dikumpulkan D. Lorenzen (1972, 1989) sebagian besar terbatas pada sekte
Kplika dan sekte Klmukha di India dan Nepal kuno, sementara itu
hampir tidak ada laporan apa pun tentang mereka dari Asia Tenggara.
Menurut arkeolog Hariani Santiko (1987:370, 1990), sekte Kplika
barangkali disebut sebagai Bhairava, dan bukti tertulis tertua tentangnya
berasal dari kurun waktu Jawa Timur. Pandangan ini membutuhkan
pertimbangan ulang. Kerangka-kerangka binatang dan manusia yang
ditemukan di Loro Jonggrang dan Sojiwan menyajikan bukti jelas tentang
praktik kekejaman atau perwujudan gagasan-gagasan kiri dari Tantrisme
selama kurun waktu Jawa Tengah.49 Walaupun berasal dari bangunanbangunan candi yang berbeda, namun kurban-kurban ini juga bersaksi
tentang sampai sejauh mana agama Hindu dan Buddha menyesuaikan satu
sama lain dan menjadi hampir serupa. Bukti ini mengingatkan kita pada
laporan dari seorang peziarah Cina, Hsan-tsang, tentang keberatankeberatan yang dimiliki para biarawan Hinayna di Orissa terhadap ajaranajaran Mahyna, yang mengatakan bahwa ini bukan merupakan doktrin
Buddha melainkan bidah. Konon pula bahwa para biarawan di Nland,
yaitu pusat pembelajaran kenamaan dari Mahyna Buddhis, tidak berbeda
dalam hal apa pun dari kaum Kplika aiva (lihat Kern 1888:156). Sebagai
tambahan, saya ingin memberi perhatian pada sebuah perkataan sambil lalu
dari Bosch (Verslag Congres 1921:47), yaitu bahwa manifestasi tertentu
dari Majur dirujuk sebagai Bhairava (lihat juga
49 Di kawasan Candi Sambisari, di sebelah barat Prambanan, juga ditemukan sisa-sisa
tulang, sayangnya, setelah meredupnya teori tentang candi sebagai makam, kerangkakerangka itu ditangani secara agak sembrono dalam berbagai laporan yang dibuat Dinas
Purbakala Indonesia. Kerangka-kerangka cuma dirujuk sebagai tulang-tulang, dan
karenanya tidak mungkin menentukan entah kurban itu menyangkut seekor binatang atau
seorang manusia (Mengenal Cani Sambisari n.d.:6). Wessing (1991:8) melaporkan
adanya sebuah kerangka manusia dekat monumen Gunongan di Aceh Utara, yakni sebuah
bangunan yang menyerupai Meru yang barangkali ada lebih dahulu dari Kesultanan Aceh
kuno.

100

Candi Prambanan

Grnwedel 1900:100). Informasi ini tampaknya menyiratkan bahwa


pengaruh antara Buddhisme Tantrik dan aivisme tidak terjadi dari satu
pihak saja. Namun kaitan-kaitan awal antara Tantrisme Buddhis dan aiva
membutuhkan kajian lebih lanjut. Majur khususnya tampaknya
menawarkan suatu isyarat yang menjanjikan untuk penelitian lebih lanjut,
teristimewa karena kedudukannya yang dahulu pernah begitu menonjol
dalam man ala
Buddhis di Sewu-Prambanan.
Akhirnya, ada temuan di daerah pegunungan di sebelah utara Candi
Prambanan berupa sebuah cangkir tengkorak unik yang terbuat dari
perunggu, yang barangkali berasal dari kurun waktu Jawa Tengah
(Stutterheim 1929c:14-15). Tepatlah bila diamati bahwa benda ini mirip
dengan cangkir-cangkir tengkorak dari Tibet yang masih digunakan dalam
upacara-upacara Tantrik. Tengkorak-tengkorak semacam itu khususnya
berkaitan dengan sekte Kplika, sama seperti triul (tombak bermata tiga)
serta anting-anting besar, datar dan bundar yang dikenakan oleh sejumlah
besar dewata yang dilukiskan di Loro Jonggrang. Apakah semuanya ini
menjadi bukti yang memadai mengenai adanya kaitan sekte Kplika masih
harus diputuskan oleh para pakar ikonografis dan ahli Tantra. 50
Dibutuhkan penelitian lebih lanjut tentang agama aiva di Jawa Tengah
guna mengabsahkan pertalian Tantrik yang diandaikan serta kemungkinan
adanya kaitan sekte Kplika dengan Prambanan. Kita cuma memiliki
segelintir petunjuk untuk melangkah maju, seperti simetri ketat yang
kasatmata dalam tata letak kompleks percandian itu, yang bisa ditafsir
dengan baik seturut ajaran Tantrik, mengingat bahwa paham struktur dwisegi tentang yang ultim [yakni asal alam semesta] merupakan salah satu
dasar (kenyatan dan kepercayaan) dari spekulasi Tantrik (Gupta, Hoens
50 Secara sambil lalu, saya hendak menyinggung penemuan luar biasa tentang sebuah arca
Brahm yang belum selesai di halaman pusat Prambanan. Baik Jochim (1913:476)
maupun Krom (1923a:487) mengandaikan bahwa arca tersebut ada di sana karena cacat
teknis tertentu. Namun hemat saya, hal ini bisa juga dikaitkan dengan mitos yang berkisah
tentang iva yang memenggal kepala yang kelima dari Brahm, dan dengan demikian ia
memperoleh status Kaplevara, yakni arketipe ilahi dari petapa Kplika (Lorenzen
1972:77-80). Walaupun saya menyadari bahwa tafsiran saya bisa jadi kelihatannya tidak
mungkin, namun penjelasan Jochim dan Krom, hemat saya, tidak dapat dipertahankan.
Masuk akalnya gagasan-gagasan mereka bergantung pada penanggalan Prambanan pada
abad ke-10, menjelang peralihan pusat pemerintahan ke Jawa Timur. Krom kurang-lebih
berpendapat bahwa pembangunan kompleks percandian tersebut tidak tuntas karena
perpindahan ke Jawa Timur itu, dan tak seorang pun mau bersusah-susah untuk
memindahkan arca Brahm yang belum tuntas itu dari sana. Penjelasan ini tidak lagi dapat
dipertahankan dengan suatu penanggalan yang lebih awal, yaitu pada abad ke-8 dan 9.

101

Roy Jordaan

dan Goudrian 1979:53). Contoh-contoh tentangnya disajikan oleh reliefrelief iva dan Prvat, dan juga oleh relief-relief Srya dan Candra pada
regel di atas bilik candi iva, yang bisa dianggap mewakili berbagai oposisi
ganda (biner) semisal timur-barat, tinggi-rendah, lelaki-perempuan, utaraselatan serta matahari-bulan (lihat Jordaan dan Edi Sedyawati 1990:20).
Demikian pula, relief-relief pada candi apit, walaupun belum berhasil
diidentifikasi, menyingkapkan sekurang-kurangnya dua rangkaian oposisi:
kalau sisi-sisi sebelah selatan candi dipenuhi dengan sekitar 20 relief dewi
yang tidak terlalu mencolok, maka relief-relief pada sisi sebelah utara candi
cuma menggambarkan beberapa sosok lelaki yang kemungkinan juga adalah
dewa.
Para pengarang lainnya telah membuat sejumlah komentar, yang
biasanya sambil lalu, berkenaan dengan ciri-ciri Tantrik pada beberapa relief
candi Jawa Tengah.51 Menyangkut Loro Jonggrang, ciri-ciri tersebut
khususnya dibuat sehubungan dengan adegan-adegan tarian Tn d ava yang
ditemukan di sana. Menurut Stutterheim (1924:153), gambar-gambar
tersebut khas Tantrik dan dapat dibandingkan dengan lukisan-lukisan
Dkins dalam ikonografi Buddhis. Hal yang mencengangkan Bernet
Kempers (Ouheikunig Verslag 1948:25, lihat juga Bagian 9) adalah
corak pesta pora mabuk-mabukan yang terlukis pada relief-relief Tn ava,

52
walaupun ia tidak menggunakan kata Tantrik dalam konteks ini. Namun
kenyataan bahwa ia menunjukkan berbagai keserupaan dengan adeganadegan tarian yang terdapat pada Candi Sewu (lihat juga Bagian 10)
menyiratkan bahwa ia tidak cukup menyadari fakta bahwa
51 Salah satu contohnya adalah Bosch (1959) yang menunjukkan sejumlah keserupaan penting
dalam sosok-sosok Yaks a di Borobudur dan Padang Lawas di Sumatra. Akan tetapi, walaupun
ada keserupaan-keserupaan seperti ini namun ia menegaskan bahwa kedua versi Sadmada
(selalu mabuk) itu tidak dapat dibandingkan satu sama lain karena Buddhisme Borobudur
bebas dari pengaruh-pengaruh Tantrik (1959:239). Biarpun Padang Lawas memperlihatkan
suatu versi yang lebih canggih dari ilmu persetanan tentang sosok-sosok Yaks a , namun itu
bukanlah alasan untuk menganggap Buddhisme Borobudur bebas dari hal-hal seperti itu.
Penemuan sisa-sisa kerangka di Candi Sojiwan membuktikan bahwa Buddhisme Jawa Tengah
tidak kurang kejam dan haus darahnya daripada perwujudan-perwujudan yang kemudian di
Jawa Timur dan Sumatra.

52 Jelas bahwa minum alkohol dan keranjingan dalam berbagai kenikmatan sensual dapat

digolongkan sebagai pacamakra, yaitu ritus Lima M yang diikuti para pakar Tantrik
(Moens 1924:530). Berkait dengan hal ini, kita juga dapat menyinggung adegan penutup
epik Rma pada candi Brhma yang melukiskan enam Brahmana pada sebuah upacara
perjamuan yang menghidangkan ikan, padahal kehadiran jenis makanan seperti itu
mungkin sebaliknya menyiratkan perbuatan dosa berat (lihat bagian 10, foto 6; Fontein
1997:198).

102

Candi Prambanan

hanya Tantrisme yang menyajikan landasan dan konteks untuk memahami


kesejajaran-kesejajaran antara Hindu dan Buddha ini. 53
Karena tidak ada data yang lebih jelas tentang sekte-sekte HinduBuddha di Jawa Tengah kuno, maka tampaknya lebih masuk akal bagi saya
untuk mulai dengan mempelajari sisi arsitektural, yaitu dengan memetakan
atau membuat survei atas kompleks percandian itu melalui pengukuran
secara teliti atas semua komponennya dan kemudian menentukan apakah
data tersebut cocok dengan sebuah pola tertentu. Identifikasi atas sistem
berdasarkan data yang tersedia dari India barangkali bisa membantu kita
untuk mengidentifikasi sekte yang menyusun rancangan atas kompleks
percandian tersebut.
Sayangnya, keadaan agak tidak mendukung jenis riset semacam ini.
Pertama-tama, cabang riset arsitektural ini tampaknya membosankan dan
tidak sungguh-sungguh menarik imajinasi populer, dan karenanya cuma
mendapat sedikit perhatian. Sampai pada taraf tertentu hal ini menegaskan
pengamatan Bosch bahwa aturan-aturan ikonografis gama dan ilpastra
memperoleh jauh lebih banyak perhatian daripada kaidah-kaidah
arsitektural. Karena alasan ini maka karya yang dilakukan Dumaray (1954,
1986b, 1994) layak mendapat tempat terhormat.
Namun tidaklah tepat bila dikatakan bahwa riset arsitektural tentang
Loro Jonggrang kurang berkembang hanya karena kurangnya minat dari
pihak arkeolog. Hal ini tentu tidak akan dapat dipahami mengingat sejarah
pemugaran kompleks percandian tersebut dilakukan oleh Dinas Purbakala.
Keadaan sekarang ini ada sangkut paut dengan hilangnya desain pengukuran
dan desain pemugaran dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia, ketika
kantor daerah Dinas Purbakala yang bertempat di Prambanan menjadi
korban tindak kekerasan dan sebagiannya dijarah. Dilaporkan bahwa
kanvas-kanvas yang berisikan gambar-gambar arsitektural yang sangat
bernilai digunakan sebagai pakaian oleh beberapa penduduk desa yang telah
kehilangan segala-galanya dalam pergolakan tersebut (Ouheikunig
53 Hal yang sama berlaku pula untuk keterkejutan Krom menyangkut kenyataan bahwa baik

peziarah aiva maupun Buddhis dari Champa datang ke Jawa pada tahun-tahun awal abad
ke-10, guna diinisiasi ke dalam sihiytra, yaitu adat dan pengetahuan magis Tantrik
(Krom 1931:189). Namun Bosch benar ketika menandaskan bahwa kita mesti
mencamkan bahwa tantrisme aiva dan Buddhis berhubungan secara erat dan berkembang
dalam masa yang sama mengikuti garis-garis sejajar, dan telah mengungkapkan dirinya
dengan mendayagunakan berbagai simbol, laksana, dan perlengkapan yang hampir sama
(1961:488).

103

Roy Jordaan

Verslag 1949:24). Bernet Kempers (1953:491) melukiskan hal ini sebagai


suatu kehilangan yang tak tergantikan dari bahan-bahan ilmiah, yang
tarafnya belum dapat ditakar.
Hilangnya desain-desain pengukuran yang andal itu niscaya benar-benar
menjadi kendala untuk riset Bernet Kempers sendiri sebagaimana tampak
gamblang dari kalimat seperti,
berdasarkan data yang tersedia bagiku, saya kini tiada henti-hentinya sampai
pada berbagai kesimpulan yang berbeda-beda menyangkut ukuran bagian
dalam Candi iva. Walaupun terang seperti siang bolong bahwa [tata letak]
kompleks itu mesti dipijakkan di atas sebuah sistem tertentu, namun untuk saat
sekarang ini saya membiarkan pertanyaan tentang sistem tersebut tetap tak
terjawab. (Bernet Kempers 1955:8.)

Dewasa ini pun tetap tidaklah jelas sistem manakah yang diikuti, biarpun hal
sebaliknya telah dan terus dikemukakan sehubungan dengan benda-benda
pemujaan yang dipendam di Loro Jonggrang yang dihubungkan dengan apa
yang disebut sebagai sistem vastupurusaman
sebagaimana yang

ala

diterangkan dalam risalah-risalah arsitektural Hindu (Soekmono 1974:303304). Setelah dipertimbangkan lebih lanjut, pertalian tersebut tampaknya
bersandar tidak lain kecuali pada sebuah tebakan cerdas, berdasar pada
literatur sekunder tanpa rujukan apa pun pada sebuah buku pegangan
arsitektural tertentu.
Dalam keadaan sekarang, saya berpikir sebaiknya kita mengikuti con
toh Bernet Kempers dan menangguhkan penilaian yang berkenaan dengan
sistem arsitektural, sambil tidak mengabaikan tetapi mengarahkan perhatian
pada soal-soal menyangkut desain-desain pengukuran yang tampaknya
sederhana. Gambar-gambar yang akurat mengenai hal-hal tersebut amat
dibutuhkan, sebab tiadanya data yang diandalkan telah terus-menerus
menimbulkan beberapa pernyataan yang bertentangan satu sama lain di
antara para arkeolog, bahkan menyangkut hal-hal paling dasar semisal
ukuran tembok-tembok pembatas dan jumlah keseluruhan candi perwara.
Sebagai contoh, berkenaan dengan ukuran tembok pembatas pertama,
Krom, mengikut Van Erp, cuma menyinggung bahwa ketebalannya adalah
dua meter dan tinggi keseluruhannya adalah 4,5 meter (yaitu sampai ke teras
kedua, sebelum deretan pertama candi-candi perwara), namun tidak

104

Candi Prambanan

ada penjelasan apa pun mengenai panjangnya. Panjang tembok pembatas


kedua dan ketiga masing-masing adalah 200 dan kira-kira 400 meter (Krom
1923a, I:446-450). Menurut Bernet Kempers (1955:9), panjang tembok
pembatas pertama adalah 100 meter, tembok pembatas kedua 222 meter, dan
tembok pembatas ketiga 390 meter. Dumaray (1978:55) memberi ukuran
yang sekali lagi berbeda, dengan mengatakan tentang tembok pertama
bahwa bidang persegi itu sebenarnya tidak tepat, sebab sisi sebelah selatan
memiliki panjang 112 meter, sedangkan sisi sebelah utara sepanjang 108
meter. Ia menandaskan panjang tembok kedua adalah 225 meter namun
sama sekali tidak menyinggung ukuran tembok ketiga. Yang mencolok
bahwa ukuran Dumaray yang dianggap tepat menyangkut tembok pertama
tidak sama dengan ukuran 110x110 meter yang dikemukakan oleh cabang
lokal Dinas Purbakala Indonesia (Anom 1991:60).
Demikian pula menyangkut candi-candi perwara, kita mencatat
peningkatan secara tetap menyangkut jumlah yang dilaporkan. Penggalian
yang dilakukan IJzerman pada mulanya menemukan sisa-sisa tiga deretan
candi-candi perwara, yang masing-masingnya berjumlah 44, 52 dan 60
candi. Kemudian ditemukan lagi sisa-sisa candi dekat pintu masuk sebelah
timur, sehingga jumlah keseluruhan candi itu naik menjadi 157 buah. Setelah
Lulius van Goor (1919:13) dan Krom (1923a:449) melaporkan adanya
bekas-bekas bangunan serupa pada sisi tenggara kompleks itu, maka muncul
gagasan bahwa bisa jadi ada deretan keempat yang barangkali belum selesai.
Hal ini meningkatkan jumlah keseluruhan candi menjadi 224 buah.
Ouheikunig Verslag yang terbit tahun 1926 melaporkan bahwa berbagai
penggalian telah menyingkapkan adanya lebih banyak bekas fondasi, dan
berpendapat bahwa selain deretan keempat candi-candi kecil itu bisa jadi ada
deretan lain yang lebih banyak yang terletak di dalam bagian-bagian yang
menjorok (bahasa Belanda: voorsprongen) dari tembok kedua, dengan
mengatakan: Berapa banyak candi yang terdapat di sana tidak dapat
disebutkan karena sisa-sisa yang ditemukan terlalu sedikit. Biar
bagaimanapun juga sisa-sisa tersebut mesti diindahkan dalam perhitungan
tentang jumlah keseluruhan bangunan di kompleks percandian tersebut
(Ouheikunig Verslag 1926:8).
Selanjutnya dilaporkan bahwa pernah ada seruas jalan yang meng
hubungkan Loro Jonggrang ke puing-puing reruntuhan aiva (yakni

105

Roy Jordaan

beberapa arca dewa Hindu) di Ratu Boko. Konon dikatakan bahwa jalan
tersebut dibatasi oleh candi-candi kecil. Namun, eksplorasi atas wilayah
sekitar yang disokong panitia pemugaran sudah terlambat: penduduk
setempat baru saja memindahkan batu-batu bangunan candi-candi yang
terletak di sepanjang ruas jalan itu (Ouheikunig Verslag 1926:8-9). Tidak
semua orang tampaknya menyadari penemuan-penemuan terakhir tadi, sebab
beberapa penulis masih terus menyebut angka 156 sebagai jumlah
keseluruhan candi perwara, yang hanya terdiri atas tiga deretan candi-candi
perwara (lihat misalnya Holt 1967:54; Helfritz 1979:112).
Namun survei dan pengukuran tidak boleh menjadi sasaran tersendiri.
Oleh karena Loro Jonggrang selalu diberi suatu posisi penting dalam
perkembangan kesenian Hindu-Jawa, maka setiap informasi tentang
arsitektur candi ini pada akhirnya akan berguna dalam memecahkan masalah
yang diperdebatkan sedemikian lama di antara para arkeolog menyangkut
perbedaan-perbedaan antara kesenian Jawa Tengah dan Jawa Timur, dan
apakah perbedaan-perbedaan tersebut cukup berarti bagi kita untuk berbicara
tentang sebuah perkembangan yang terputus-putus (diskontinu) alih-alih
yang berkesinambungan (kontinu). Guna menggambarkan hal ini, saya akan
menyinggung riset ikonografis sangat teliti yang dilaksanakan oleh Edi
Sedyawati (1988, 1994), yang walaupun pada umumnya terbatas pada
kelompok arca Gan ea selama masa terakhir Kadiri dan Singasari di Jawa
Timur namun telah menghasilkan informasi tambahan penting mengenai
kelompok arca Gan ea di Jawa Tengah, khususnya di Loro Jonggrang. Edi
Sedyawati antara lain menemukan bahwa aturan-aturan kelompok arca yang
diikuti di Loro Jonggrang tampaknya bersesuaian sepenuhnya dengan
kaidah-kaidah ikonometris Hindu, dan bahwa hal ini tidak hanya berlaku
untuk arca-arca Gan ea tetapi juga untuk arca-arca Durg dan Agastya.
Berkenaan dengan data ikonometris tertentu, ia menulis bahwa kesenian
Loro Jonggrang (dan Candi Plaosan yang berasal dari kurun waktu yang
sama) jauh lebih homogen daripada di tempat-tempat lain, dan tidak
sepenuhnya dapat dibandingkan dengan candi-candi lain yang terdapat di
Jawa Tengah dan Jawa Timur. Hal ini mendorong Edi Sedyawati untuk
menegaskan bahwa:
Bukti ini mendukung tafsiran bahwa Loro Jonggrang, sebagai candi induk
kerajaan pada waktu itu, dibangun dalam sebuah kurun waktu terjalinnya

106

Candi Prambanan

hubungan budaya yang erat antara India dan Jawa. [...] Dengan demikian
tafsiran tentang peran berbeda Loro Jonggrang dalam perkembangan kesenian
religius Hindu dibandingkan dengan candi-candi yang lain mendapat dukungan
lebih lanjut. (Edi Sedyawati 1994:76.)

Oleh karena tidak terlalu jelas apa yang persisnya dimaksudkan oleh
ungkapan peran berbeda Loro Jonggrang, barangkali berguna untuk men
catat bahwa, dalam percekcokan mengenai perkembangan arsitektur candi
Hindu-Jawa, salah satu argumen terkuat yang mendukung kesinambungan
yang diperkirakan ada dalam arsitektur ini disajikan oleh penanggalan
kompleks itu pada awal abad ke-10, yang memfungsikan Loro Jonggrang
sebagai sebuah jembatan antara kesenian Jawa Tengah dan Jawa Timur
segera setelah peralihan pusat pemerintahan dari Jawa Tengah ke Jawa
Timur. Stutterheim, kita ingat, malah pernah berupaya memperkuat gagasan
ini dengan mengenakan aneka ragam unsur-unsur gaya seni Jawa Timur
pada Prambanan. Walaupun kemenduaan paham ini telah kita tunjukkan,
namun riset Edi Sedyawati menyajikan bukti lebih lanjut yang mendukung
gagasan tentang posisi yang berbeda dari Loro Jonggrang, walaupun tidak
unik atau bukan tanpa bandingan. 54 Antara lain mengingat penanggalan baru
yang dipertahankan dalam buku ini serta keterlibatan dinasti ailendra dalam
pembangunannya yang didalilkan di sini, maka Loro Jonggrang kini dapat
dikaji kembali sebagai sebuah candi Jawa Tengah klasik, di mana baik
pengaruh Buddhis maupun pengaruh asing lainnya tidak dapat diabaikan
lebih lama lagi.55 Malah Krom (1931:175)
54 Seperti yang dicatat Edi Sedyawati sendiri, candi-candi aiva yang menghadap ke timur
pada umumnya diketahui ditemukan di Jawa Tengah, dan pasti dibangun pada waktu Jawa
Tengah masih menjadi pusat dari sebuah kerajaan yang sangat kuat. Candi-candi aiva di
Jawa Timur pada umumnya menghadap ke barat (1994:170, catatan kaki no. 27). Namun,
yang mencolok bahwa ia tidak memperhatikan bahwa kiblat yang nyaris sempurna dari
Loro Jonggrang ke titik-titik mata angin bersepadanan dengan candi-candi yang dibangun
dinasti ailendra Buddhis yang pada umumnya menghadap ke timur.
55 Rumusan ini telah dipilih secara sengaja, sebab persoalan menyangkut asal-usul asing dari
dinasti ailendra masih tetap merupakan sebuah teka-teki, meskipun banyak argumen
yang diajukan mendukung asal-usulnya dari Indonesia, seperti yang antara lain
dikemukakan Stutterheim, Poerbatjaraka dan Boechari. Karena sama sekali tidak terkesan
oleh kegembiraan yang diajukan Wolters (1979:10) menyangkut penyelesaian Boechari
atas teka-teki ailendra itu, maka Sarkar (1985) sekali lagi mengutarakan gagasan
tentang asal-usul India dari dinasti ailendra. Walaupun kita tidak perlu mengakui semua
kesimpulan Sarkar, namun gagasannya sampai saat ini belum mendapatkan perhatian
kritis sebagaimana yang layak diperolehnya.

107

Roy Jordaan

menegaskan, sejauh menyangkut kesetiaan si arsitek pada tradisi India,


bahwa aivisme Loro Jonggrang tidak lebih bersifat Indonesia daripada
Buddhisme Borobudur.

9. Arca-arca
Sebelum membahas arca-arca Candi Prambanan, dua catatan pendahuluan
mesti dibuat. Pertama, keputusan untuk membahas arca-arca ini di bawah
judul terpisah, karena alasan-alasan penyuntingan yang bersangkut paut
dengan keteraturan dan juga kejelasan susunan bahan, dan bukan karena
alasan-alasan pokok. Arca-arca ini, demikian juga relief-relief yang akan
dibahas pada bagian berikut, sebenarnya merupakan satu bagian yang tak
terceraikan dari rancangan keseluruhan, dan sama seperti kasawan
percandian serta candi-candi tempat arca-arca tersebut ditakhtakan,
dipahami, dirancang, dan dibuat sesuai dengan panduan-panduan yang
disajikan oleh ilpastra. Dalam pembahasan di bawah ini saya akan
menerangkan hal ini dengan contoh-contoh nyata.
Kedua, pembahasan saya akan mengambil bentuk lebih berupa
inventaris atas masalah daripada sebuah deskripsi terperinci dan lengkap.
Berbagai uraian yang ada sekarang ini atas arca-arca yang terdapat di candicandi besar di halaman pusat sudah cukup lengkap dan dikenal dengan baik
(lihat tulisan Krom dalam buku ini). Alih-alih mengulang kembali apa yang
sudah dikatakan secara panjang-lebar oleh para penulis lain yang memiliki
kecakapan ikonografis yang lebih mumpuni, saya akan memusatkan
perhatian untuk menunjukkan corak-corak yang kurang diperikan dengan
baik, dan juga beberapa masalah tafsiran yang masih belum terpecahkan.
Izinkan saya mulai dengan mengupas sebuah masalah sulit dan hampir
tak dapat dijelaskan yang terancam dilupakan karena samar-samar dan
kaburnya sumber bahan dalam bahasa Belanda. Ini adalah persoalan yang
dikemukakan Jochim (1913), yaitu apakah arca Agastya, arca Gan ea, dan
arca Durg di Candi iva benar-benar berdiri pada tempatnya yang asli. Di
sini Jochim merujuk pada Brumund (1853), yang berkeyakinan bahwa arcaarca itu dibawa ke sana dari satu tempat lain dan baru kemudian ditempatkan
di posisinya yang sekarang. Satu hal yang menunjuk ke arah ini, demikian
Brumund, adalah kenyataan bahwa arca-arca itu dan

108

Candi Prambanan

lempeng-lempeng batu bersama dengan nimbus-nimbus (lingkaran cahaya


yang mengitari sosok dewa) di depan arca-arca itu ditempatkan tidak cocok
satu sama lain, sebab lempeng batu dan nimbus tersebut terlalu sederhana,
dan lebih penting lagi terlalu kecil. Jochim menyinggung bahwa IJzerman
menganut suatu pandangan berbeda dan menandaskan bahwa
suatu pengamatan yang saksama telah mendorong saya untuk menyimpulkan
bahwa nimbus-nimbus yang ada sekarang ini benar-benar merupakan bagian
terpadu dengan arca-arca yang ditempatkan di depannya [dan] bahwa nimbusnimbus itu benar-benar cocok dengan arca-arca tersebut, sehingga tidak ada
pertanyaan apa pun menyangkut perpindahan mereka ke sana. (IJzerman
1891:49-50.)

Jochim dengan cepat menandaskan bahwa ia sama sekali tidak menyetujui


gagasan ini. Penjelasannya mengenai hal ini layak dikutip secara lengkap. Ia
menulis:
Nimbus-nimbus tersebut, yang terbuat dari batu-batu kecil yang ditempelkan
pada dinding belakang, diberi pinggiran dengan tepi-tepi api dan di dalamnya
terdapat lagi tiga pita sederhana. Nimbus-nimbus tersebut, seperti yang terdapat
pada arca-arca di [Candi] Plaosan, berujung pada bagian dasar sebagai
penampil, yang di sini diberi rupa-rupa bentuk dan hiasan seperti makara.
Biarpun ada pernyataan yang sebaliknya dari IJzerman, namun sosok Durg,
dan malah lebih jelas lagi dengan sosok Guru [Agastya], dua-duanya menutupi
bagian ornamentasi (tepi-tepi api, pita-pita dan penampil) karena kedua arca itu
berdiri tegak di atasnya, hal yang niscaya tidak pernah dimaksudkan seperti itu.
Tidaklah demikian halnya dengan arca Gan ea, yang memiliki nimbus yang
jauh lebih lebar; di sini keseluruhan ornamentasi tampak jelas. Lebih lanjut,
tampaknya aneh bahwa terdapat nimbus lain di balik lempeng-lempeng batu
pada bagian belakang, yang ditutup seluruhnya oleh arca tersebut. Jika nimbus
yang dipahat pada lempeng batu bagian belakang tidak memadai untuk arcaarca ini, dan sebagai tambahan membutuhkan nimbus bernyala yang lebih
besar, mengapa dewa-dewa yang lebih tinggi yaitu iva, Brahm, dan Vis n u,
tidak memiliki nimbus-nimbus semacam ini?

109

Roy Jordaan

Jochim melanjutkan:
Seperti Brumund, saya mendapat kesan bahwa nimbus-nimbus yang ada
sekarang pada mulanya dimaksudkan untuk dewa-dewa yang lain, atau
sekurang-kurangnya ilah-ilah dari bentuk lain dan bagaimanapun juga tidak
memiliki lempeng batu pada bagian belakang. Brumund mereka-reka tentang
siapakah dewa-dewa ini. Bentuk nimbus tersebut mengingatkan kita, oleh
karena kemiripannya dengan nimbus-nimbus di candi-candi di sekitar situ,
yakni para Buddha dan bohisvattva, walaupun hal itu tampaknya muskil.
Sebaliknya, saya mengandaikan bahwa si arsitek dan pematung bekerja secara
terpisah satu dari yang lain; di mana si arsitek menyiapkan jumlah ilah-ilah
yang sama seperti yang terdapat sekarang, walaupun dengan bentuk yang lain
dan tanpa lempeng batu pada bagian belakang. Seandainya mengetahui bahwa
Gan ea jauh lebih besar dari Durg atau Guru maka ia akan membuat nimbus
yang cocok dan sama besar sebelumnya. Namun si pematung tidak tahu apaapa tentang nimbus-nimbus yang cocok dengan arca-arca tersebut, dan
karenanya memahat arca-arca itu lengkap dengan sebuah lempeng batu pada
bagian belakang, sama seperti arca-arca yang lain. (Jochim 1913:380-381.)

Hipotesis ini kemudian sebagiannya didukung Krom. 56 Kalau sebelumnya ia


merasa bahwa arca Gan ea dan takhtanya saling berpadu, maka tentu saja
tidaklah demikian halnya dengan arca-arca yang terdapat pada bilik-bilik
lain, yaitu bilik Agastya dan bilik Durg. Krom juga menyimpulkan bahwa
takhta-takhta ini pada mulanya diperuntukkan bagi arca-arca yang lebih
kecil, atau bahwa si pematung dan arsitek, sebagai hasil salah paham
tertentu, tidak secukupnya mengetahui kerja rekannya yang lain (Krom
1923a:474).
Kita harus mengkaji masalah ini secara saksama. Pertama, kita mesti
ingat bahwa selama bagian terbesar abad ke-19 kebanyakan pakar tidak tahu
dengan pasti apakah Prambanan adalah sebuah monumen Hindu atau
Buddhis. Mengingat kehadiran banyak candi Buddhis di sekitarnya serta
keserupaan gaya seni yang kasatmata, banyak pakar cenderung
56 IJzerman (1891:42) juga merujuk pada Friederich, yang meyakini bahwa vrapla pada
kamar di depan bilik utama candi iva meninggalkan bekas-bekas pernah dipindahkan ke
tempat ini pada waktu yang kemudian, serupa dengan situasi [di tempat lain]. Oleh
karena Jochim dan Krom tidak mengatakan apa pun tentang hal ini, maka saya
mengandaikan bahwa keduanya tidak menyetujui pendapat Friederich.

110

Candi Prambanan

menganggap Prambanan sebagai sebuah tempat suci Buddhis, meskipun


terdapat arca Durg dan arca Gan ea di bilik-bilik sebelah utara dan barat
Candi iva (Mackenzie 1814:49; Baker, sebagaimana dikutip Raffles 1817,
II:10). Brumund terbilang di antara salah satu pakar ini, dan bukan tidak
mungkin bahwa, mengingat berbagai cacat teknis dalam cara bagaimana
persisnya arca-arca dipasang, ia tiba pada kesimpulan bahwa arca-arca
tersebut dipindahkan dari tempat lain. Teorinya disetujui Leemans, yang
malah melangkah lebih jauh sampai meramalkan bahwa bilik utama, yang
pada waktu itu belum digali, berisikan sebuah arca atau relik Buddha
(Leemans 1855:23). Teori ini kelak disangkal oleh penggalian-penggalian
IJzerman. IJzerman kemudian menulis: Mengingat penemuan arca besar
Mahdeva di tempat kehormatan, corak aiva kelompok candi ini terbukti
dengan sendirinya (IJzerman 1891:43).
Jochim, bak seorang pakar yang berjiwa bebas, memeriksa data
menyangkut kecocokan antara arca-arca dan nimbus-nimbusnya, dan dengan
demikian meragukan teori IJzerman. Krom sepakat bahwa memang ada
masalah di sini, namun baik jalan keluar yang diajukannya maupun yang
dikemukakan Jochim tidak meyakinkan saya. Pengandaian tentang salah
paham tertentu, atau para pematung dan arsitek yang tidak secukupnya
mengetahui kerja rekannya yang lain, hemat saya, merupakan penjelasan
yang dipicu oleh suatu pemahaman yang keliru tentang kerja para pematung
dan arsitek, khususnya yang menyangkut arsitektur keagamaan.
Untuk pemahatan arca-arca (atau juga menyangkut relief-relief),
ukurannya mesti telah ditentukan sebelumnya, sedangkan rancangan umum
mesti telah ditunjukkan secara kasar dengan tanda-tanda kapur atau goresangoresan pada batu yang akan digunakan. Dalam hal ini, sangat boleh jadi
gambar-gambar berfungsi sebagai contohnya, di mana ketepatannya
ditentukan dengan merujuk pada buku-buku Puranik dan ilpastra.
Mengingat kemanjuran ritual yang dimaksudkan oleh arca-arca sebagaimana
yang sudah disinggung di atas, tampaknya mustahil bagi saya bahwa sang
pedanda-arsitek membiarkan si pematung seenaknya memahat arca
tersebut. Apa pun salah paham yang terjadi di sini, itu mestilah berada di
pihak para arkeolog dan bukan pada pihak para penciptanya, sebagaimana
yang diyakini para penulis di atas. Betapapun sulitnya hal ini untuk
dipercayai, namun tidak dapat tidak kita mesti menyimpulkan,

111

Roy Jordaan

hemat saya, bahwa arca-arca yang ada sekarang bukanlah arca-arca asli
melainkan arca-arca yang ditempatkan pada posisinya sekarang pada waktu
kemudian.
Oleh karena corak yang mendasar dari hal-hal ini, maka perubahan
dalam susunan panteon semestinya merupakan sebuah kejadian yang sangat
luar biasa, dan saya cuma mengetahui beberapa contoh semacam ini di Jawa
kuno. Kita mempunyai satu contoh semacam itu dari Jawa Tengah
menyangkut perubahan dalam komposisi panteon Buddhis di Candi Sewu.
Karena tidak adanya bukti yang lebih nyata berkenaan dengan Loro
Jonggrang, maka saya hanya dapat menunjukkan masuk akalnya hipotesis
saya berdasarkan pada satu contoh ini saja. Hal ini sudah memadai karena
masalah-masalah teknis dan simbolis yang terkait di sini dapat dibandingkan
satu sama lain, walaupun tidak seluruhnya sama persis dengan soal-soal
yang dimunculkan oleh Loro Jonggrang. Lebih dari itu, oleh karena
dekatnya kedua kompleks percandian ini satu sama lain, baik secara fisik
maupun dari segi penanggalannya, dan juga mengingat berbagai petunjuk
dalam prasasti Klurak mengenai kaitan ideologis di antara keduanya, maka
kemungkinan bahwa perubahan pada Candi Sewu dan perubahan pada Candi
Loro Jonggrang saling terkait tidak dapat dinafikan.
Sebagaimana yang sudah ditandaskan sebelumnya (lihat Bagian 6),
prasasti Klurak bersangkut paut dengan penahbisan sebuah arca
bohisvattva Majur. Namun, menurut Bosch, ada sesuatu yang lebih dari
itu, dan boleh jadi juga prasasti Klurak telah berfungsi sebagai cetak biru
untuk sebuah program pembangunan akbar di mana di satu pihak Trimrti
akan ditempatkan di Loro Jonggrang, dan di lain pihak Triratna akan
menghasilkan sebuah man ala
gabungan di Candi Lumbung dan Candi

Sewu. Menurut rencana ini, Candi Lumbung akan dipersembahkan kepada


Triratna itu sendiri, dan Candi Sewu kepada dewa-dewa Vajradhtu.
Tidak lama setelah penerbitan prasasti Klurak, Bosch (1961:111-133)
memikirkan terus susunan serta pengaturan ruang hipotetis dari panteon
Vajradhtu di Candi Sewu, berdasarkan informasi tambahan dari teks-teks
berbahasa Bali dan Jepang. Ia memperagakan bahwa teori tentang Buddha
Vairocana yang ditempatkan di bilik pusat candi induk tidak saja dilandaskan
pada berbagai kesimpulan dari teks-teks berbahasa Bali dan Jepang tersebut,
tetapi juga didukung oleh penemuan belakangan ini atas sebuah potongan kepala
arca Buddha yang memiliki lingkaran-lingkaran khas Vairocana.

112

Candi Prambanan

Bertolak dari ukuran potongan ini, Bosch mengandaikan bahwa potongan


tersebut berasal dari sebuah arca yang amat besar, diperkirakan setinggi 12
kaki. Arca dengan ukuran sebesar ini hanya bisa ditempatkan di Candi Sewu,
dan kemudian sebagai satu-satunya arca utama di tempat suci itu.
Riset Indonesia terkini telah memperlihatkan bahwa pada pokoknya
kesimpulan-kesimpulan Bosch masih tetap absah, namun susunan panteon
Vajradhtu di Candi Sewu bukanlah komposisi asli dan bagaimanapun juga
mesti berasal dari waktu yang lebih kemudian daripada prasasti Klurak, di
mana ketika itu Majur masih merupakan pusat perhatian. Bahwa Majur
pernah ditempatkan pada sebuah posisi yang lebih dekat dengan pusat
kompleks percandian itu terbukti antara lain dari sebuah prasasti batu
bertanggal yang ditemukan di kawasan candi itu pada tahun 1960, yang
berbicara tentang penyelesaian pada tahun 714 Saka (792 M) karya
perluasan dan perbaikan sebuah candi yang dirujuk sebagai Majurgrha,

atau Rumah Majur. Arkeolog Indonesia, Kusen, dengan menyandarkan


dirinya pada karya Bhattacharya (1958) tentang ikonografi Buddhis India,
berpendapat bahwa man ala
asli di Candi Sewu boleh jadi adalah apa yang
disebut sebagai Dharmahtuvagisvaraman ala,
di mana Majughos a

(nama lain untuk Majur) menjadi arca utama (lihat Anom 1992:57).
Dalam man ala
ini terdapat sebuah tempat yang juga dipersembahkan untuk
dewa-dewa dari panteon Hindu seperti Brahm, Vis n u dan Mahevara,
persis seperti yang disinggung oleh prasasti Klurak. Salah satu ciri khas
dari dewa-dewa Hindu yang terpilih ini adalah posisi khusus kedua belah
tangan mereka, atau ajalimur.57 Sikap ini oleh para ikonograf dilukiskan
sebagai posisi di mana kedua belah tangan dikatupkan, dengan telapak
saling menyentuh, dan ditaruh dekat dada sebagai tanda penghormatan
(Liebert 1976:16; Bhattacharya 1958:363).
Kusen berpendapat bahwa pembangunan Candi Sewu melalui sejumlah
tahap. Tahap satu, yang bermula dengan prasasti Klurak, hanya mencakup
tahap yang disebutkan oleh teks itu sendiri, yakni penahbisan arca Majur.
Tahap kedua dicapai 10 tahun kemudian, bersamaan dengan penyelesaian
perluasan candi, yaitu Rumah Majur. Kemudian, pada waktu yang
57 Agar penemuan arca iva ini tidak dianggap kebetulan, maka saya ingin mengarahkan

perhatian pada penemuan belakangan ini atas sebuah arca bohisvattva (yang mewakili
Vajrapn i) berukuran kecil yang terbuat dari perunggu di antara puing-puing reruntuhan
Candi Sambisari, sebuah kuil aiva di sebelah barat Prambanan dan yang sezaman dengan
Loro Jonggrang, Plaosan dan Sojiwan (Mengenal Cani Sambisari n.d.:6, 23).

113

Roy Jordaan

tidak disebutkan, yang demi mudahnya disebut tahap tiga, Majur pasti
sudah dipindah dari takhtanya dan digantikan oleh Vairocana.
Bukti nyata tentang perombakan ini ditemukan Dumaray, yang riset
arsitekturalnya memperlihatkan bahwa takhta di bilik pusat candi induk di
Candi Sewu pada suatu waktu tertentu diubah agar bisa menampung sebuah
arca yang lebih besar (Dumaray 1986c:29-30). Arca yang lebih besar itu
bisa jadi adalah arca baru Majur, namun yang lebih mungkin adalah arca
Vairocana. Bila dalam kasus pertama perubahan itu tidak dapat dijelaskan,
maka dalam kasus kedua terdapat beberapa pertimbangan simbolis yang bisa
menjelaskan perluasan takhta dan arca, yaitu kenyataan bahwa Vairocana
adalah Buddha, wujud yang jauh lebih tinggi daripada Majur, yang
hanyalah bohisvattva.
Penggantian Majur oleh Vairocana tampaknya diniscayakan oleh
perubahan-perubahan arsitektural dan gaya seni yang lain. Dari paparan
Dumaray dan Kusen bisa disimpulkan bahwa bentuk relung-relung di ruang
masuk candi induk pada satu tahap diubah agar dapat memuat dewa-dewa yang
mengambil posisi duduk sebagai ganti dewa-dewa terdahulu yang mengambil
posisi berdiri. Perubahan-perubahan ini, dan yang lainnya yang tidak akan
dibahas di sini, sangat penting dan menyajikan bukti yang kuat mendukung
hipotesis Kusen menyangkut penggantian Dharmahtuvagisvaraman ala
oleh
58
Vajrahtuman ala
sebagaimana yang diterangkan Bosch.
Apa yang terjadi atas arca Majur itu tidak dapat diketahui. Tidak
tertutup kemungkinan bahwa sebuah arca baru, yang rupanya terbuat dari
batu, didirikan di sebuah tempat yang jauh terpisah dari pusat sakral,
barangkali di salah satu candi perwara (yang sekarang dikenal sebagai candi
perwara No. 200), di depannya ditemukan prasasti batu Majurgr ha.
Kusen mencurigai bahwa prasasti batu itu dipindahkan ke candi luar itu
karena isinya, dan dengan demikian posisinya di pusat, tidak lagi sesuai
dengan man ala
yang barusan diperkenalkan itu.
Sejauh menyangkut Loro Jonggrang, kita tidak memiliki petunjukpetunjuk yang rapi semacam ini. Sebuah jawaban yang memuaskan untuk
58 Karena tidak kenal dengan perubahan man ala sebagai hasil pergantian Majur oleh

Vairocana, maka Bosch bingung tentang posisi mencolok Majur dalam kumpulan arca
perunggu kecil dalam penemuan Nganjuk yang termasyhur itu. Memperhatikan bahwa
man ala Nganjuk tidak persis sama dengan man ala Vajradhtu, maka ia membalikkan
urutan perkembangannya, seraya mendalilkan bahwa hal itu [posisi Majur] harus
dipahami sebagai suatu bentuk jabaran sektarian atau sebuah transformasi darinya (Bosch
1961:122, catatan kaki no. 22).

114

Candi Prambanan

pertanyaan arca-arca manakah yang mula pertama berdiri di sana, dan


mengapa arca-arca itu diganti, tidak dapat dikemukakan. Namun ber beda
dari Jochim, saya ingin menerima kemustahilan atau keganjilan
keserupaan bentuk nimbus dengan arca Buddha atau bohisvattva. Oleh
karena penanggalan berdirinya kompleks percandian itu telah digeser
mundur ke zaman yang lebih lampau, dan mengingat adanya kemungkinan
keterlibatan dinasti ailendra dalam pembangunannya, maka gagasan ini
tampaknya tidak seaneh seperti yang semula disangka. Dua kemungkinan
penjelasan bisa dikemukakan.
Yang pertama mengambil titik tolak pada teks prasasti Klurak, di mana
Loro Jonggrang dipersembahkan kepada Trimrti namun secara serempak
digabungkan ke dalam kesatuan Buddhis yang lebih luas yang juga
mencakup Candi Sewu. Dengan keterangan ini bukan tidak dapat
dibayangkan bahwa perubahan ke suatu man ala
lain di Candi Sewu juga
berdampak terhadap komposisi serta pengaturan tata ruang di panteon Loro
Jonggrang. Sama seperti di Candi Sewu, panteon ini tidak mesti secara
khusus ditempati dewa-dewa Hindu, sehingga nimbus-nimbus yang
menyimpang itu barangkali malah pada mulanya menjadi milik bohisvattva
yang tidak dikenal. Ketika kemudian harus dibuat segala macam
penyesuaian arsitektural dan dekoratif yang drastis, sebagai hasil
penggantian Majur oleh Vairocana di kompleks Candi Sewu, maka
penyesuaian-penyesuaian tersebut bisa saja diperluas hingga ke Loro
Jonggrang, ketika dalam proses itu Agastya dan Durg menggantikan tempat
dari bohisvattva hipotetis itu.
Penting dicatat bahwa penggunaan perunggu untuk satu atau lebih arca
utama di Candi Sewu dan batu di Loro Jonggrang menunjukkan sebuah
perbedaan dalam derajat atau martabat di antara panteon Buddhis dan
panteon Hindu yang saling berhubungan ini. Hal ini membenarkan tesis Pott
bahwa triad Sewu-Bubrah-Lumbung adalah tingkat atas atau atap, dan
Loro Jonggrang dengan candi-candinya untuk iva, Brahm, dan Vis n u
adalah landasan atau alas dari sistem Mantra Buddhis (Pott 1966:120).
Perbedaan dalam derajat atau martabat seperti itu juga ditunjukkan oleh
posisi tangan ajali dari arca perak iva yang ditemukan di Candi Sewu.
Ajalimur adalah sikap takzim penuh hormat dan penyembahan, yang
dalam hal ini ditujukan kepada Buddha Vairocana yang ditempatkan pada
pusat kompleks Sewu.

115

Roy Jordaan

Boleh juga dicatat lebih lanjut secara sambil lalu bahwa perkembangan
hipotetis yang diisyaratkan oleh penjelasan yang pertama ini bukan tanpa
ironi. Bila pada mulanya penggunaan perunggu dan batu untuk arca-arca itu
boleh jadi bertujuan menunjukkan derajat atau martabat masing-masing dari
kedua candi itu dalam hubungannya satu sama lain, maka justru karena
penggunaan logam di Candi Sewu itulah sehingga bilik-biliknya yang
pertama-tama dijarah, sedangkan kebanyakan arca utama yang terbuat dari
batu di Loro Jonggrang tampaknya tidak cukup menarik bagi para penjarah
dan dengan demikian lestari hingga ke anak-cucu.
Penjelasan yang lain ialah bahwa terdapat sebuah pertalian antara
penggantian beberapa arca dan berbagai perkembangan agamawi-politik
menyusul pengusiran dinasti ailendra. Betapapun kuatnya saya menentang
gagasan bahwa Prambanan dimaksudkan sebagai sebuah seteru terhadap
Borobudur, namun terdapat bukti tertentu menyangkut sebuah pertikaian
agama pada penghujung kurun waktu Jawa Tengah, dengan para penguasa
baru, yang merangsang bangkitnya ortodoksi Hindu untuk alasan-alasan
yang belum dapat dijelaskan (De Casparis 1956:292, 318, catatan kaki no.
20). Menarik untuk dicatat bahwa pembaruan aiva ini ditampilkan dalam
rangka pembebasan nasional.59 Lebih dari itu, analisis tajam Aichele tentang
karya sastra Rmyan a Jawa Kuno telah memperlihatkan bahwa pengarang
karya sastra adiluhung ini tengah memperolok-olok kaum Buddhis melalui
penggunaan metafora-metafora terselubung dan mendesak para pembacanya
agar tidak disesatkan oleh mereka (Aichele 1969:137-139). Maka dari itu,
Poerbatjaraka mencap karya sastra ini sebagai aiva fanatik (Poerbatjaraka
1932:169). Dalam sebuah publikasi terdahulu saya sudah menegaskan
bahwa dalam suasana politik yang tidak toleran semacam ini niscaya agak
mudah untuk menyamarkan latar belakang Buddhis dari Prambanan dan
menyebabkannya dilupakan seluruhnya dalam waktu singkat. Penggantian
arca-arca tadi sangat boleh jadi berlangsung dalam konteks nafsu
pembersihan ideologis semacam itu yang didalangi oleh para penguasa. 60
59 Kenyataan bahwa konflik dinasti ini beraroma nasionalistis, menurut saya, bisa diangkat
sebagai sebuah petunjuk tentang asal-usul asing dari dinasti ailendra.
60 Sama seperti dalam gejala-gejala sinkretisme, tidaklah tepat untuk menarik rupa-rupa
kesejajaran buatan dengan perilaku agama serta toleransi yang konon dipunyai orangorang Jawa dewasa ini. Hemat saya, sungguh naif untuk mengesampingkan kemungkinan
terjadinya bentuk-bentuk tertentu dari aksi perusakan ikonoklastis dalam jangka waktu
yang tengah kita pelajari ini.

116

Candi Prambanan

Mana dari kedua penjelasan ini yang benar masih harus ditentukan oleh
riset lebih lanjut, walaupun hal ini jauh dari gampang. Pertama-tama, masih
perlu dipastikan bagaimana penggantian tersebut dilaksanakan secara teknis.
Ketika sedang mencari sebuah kemungkinan petunjuk dalam bacaan
arkeologis yang ada sekarang, saya dikejutkan oleh betapa sedikitnya yang
diketahui tentang segi-segi teknis dari konstruksi tempat-tempat suci HinduJawa pada umumnya dan tentang pemahatan arca-arca dan relief-relief pada
khususnya, teristimewa bila dibandingkan dengan informasi yang tersedia
tentang monumen-monumen Yunani, Mesir, dan Amerika Selatan.
Yang serba sedikit diketahui tentang segi-segi tadi berasal dari tulisan
Van Erp (1909:170-171), dan sebagian data yang disajikannya disitir oleh
Krom (1923a, I:147-164).61 Kedua pengarang ini melaporkan penggunaan
batu-batu besar sebagai fondasi di kasawan percandian; tentang paras (batu
pasir) atau batu kapur sebagai pengisi dinding-dinding berongga; dan
tentang andesit untuk bagian-bagian luar dinding-dinding candi, temboktembok pembatas serta arca-arca. Paras atau batu kapur kemungkinan
berasal dari kawasan-kawasan tambang di wilayah Ratu Boko. Gagasan
bahwa batu-batu itu diperoleh di sana menjadi kesempatan untuk adu mulut
antara Krom dan Stutterheim tentang apakah sang penguasa ailendra bisa
tahan terhadap kebisingan yang disebabkan oleh segala macam kegiatan
pemahatan dan penggergajian yang berlangsung di dekat keratonnya.
Namun, hal yang tidak mereka bahas adalah bagaimana para pekerja
memindahkan ke situs bangunan candi bongkahan-bongkahan paras atau
batu-batu andesit besar yang bebeberapa darinya berbobot sekitar ratusan
kilogram untuk selanjutnya dipahat menjadi arca-arca. Pasti pemindahan
ini dilakukan dengan menggunakan segala macam sarana untuk menarik dan
menggotong yang dikerjakan oleh tenaga manusia. Namun informasi tentang
hal ini sangat sedikit. Lalu ketika sampai di tempat tujuan, batu-batu tersebut
mesti dipotong, dipahat dan digosok hingga licin dan halus. Sekali lagi,
hampir tidak ada sesuatu pun yang ditulis tentang alat-alat yang digunakan
untuk hal ini, tentang teknik-teknik yang dipakai, atau tentang
61 Krom (1923a, I:447-448) menyebut sebuah laporan yang tidak diterbitkan dari Van Erp,

berjudul Verslag betreffene e herstelling er nevencellas van en Hooftempel van


Prambanan sebagai risalah paling penting untuk kesenian Jawa Tengah. Sayangnya, saya
tidak berhasil melacak laporan ini. Menurut cucu lelakinya, bahan riset dan beberapa
naskah Van Erp musnah dalam Perang Dunia II ketika pesawat-pesawat sekutu membom
kediamannya dalam sebuah penyerangan yang salah sasar atas Den Haag pada bulan
Maret 1945 (perbincangan pribadi dengan cucunya, A.Th. van Erp).

117

Roy Jordaan

bagaimana ukuran bongkahan-bongkahan andesit itu serta arca-arca yang


telah selesai dipahat ditakhtakan pada tempatnya yang tepat. 62
Alasan saya menaruh perhatian pada hal-hal yang menyangkut
penggalian serta pemahatan batu-batu tersebut ialah, sebagaimana telah saya
tandaskan sebelumnya, bahwa arca-arca dewata di Loro Jonggrang terbuat
dari batu, sedangkan sosok-sosok para dewata pembantu dalam bilik di
depan kuil utama Candi Sewu adalah arca-arca yang terbuat dari logam,
yaitu perunggu, perak atau perunggu sepuhan. Lazimnya terdapat suatu
perbedaan tentang berbagai kemungkinan yang melekat dalam jenis-jenis
bahan ini beserta segi-segi teknis pengerjaannya. Misalnya saja, perbedaan
antara penggantian arca-arca asli di Loro Jonggrang dengan patung-patung
batu yang berukuran kurang-lebih sama, dan penggantian sebuah arca yang
lebih besar untuk patung utama di Candi Sewu. Bila di Loro Jonggrang
ukuran bilik-bilik candi beserta jalan masuk ke dalamnya mempunyai
pengaruh yang terbatas saja, maka di Candi Sewu jelas bahwa tidak
demikianlah keadaannya. Di sini malah lebih dari kasus arca Majur,
ukuran yang ada dari bilik candi harus dipertimbangkan ketika menakhtakan
arca Vairocana.63 Walaupun arca kuningan Vairocana, sama seperti arca
kuningan Majur, oleh karena ukurannya yang besar dibuat dari bagianbagian terpisah, namun arca baru itu harus dirakit di ruang terbatas bilik itu.
Bila terjadi tumpang tindih pada kelim-kelimnya maka digunakan paku
sumbat/keling, dan bila perlu dipatri atau disolder. Bukti tentang hal ini
ditunjukkan oleh potongan-potongan kuningan dan sisa-sisa arang yang
ditemukan di bawah batu-batu tersebut di bagian belakang
62 Menurut dugaan orang, batuan vulkanis, yang juga dikenal dengan sebutan teras (trachyte)
atau andesit, cukup mudah diketam dengan menggunakan pahat dari tembaga atau
perunggu. Menurut seorang pemahat Belanda yang saya kenal, Lucas van Blaaderen,
semestinya mungkin untuk membuat sebuah replika dari arca kenamaan Prajpramitra
dalam waktu sekitar dua bulan. Hal ini dibenarkan oleh Peter Buurman, pemilik salah satu
replika dimaksud.
63 Penjelasan saya tentang pemasangan arca-arca ini agak berbeda dari yang diberikan oleh
Kusen (lihat Anom 1992:69), yang memberi kesan bahwa arca Majur dituang secara
utuh dan bukan dibuat dari bagian-bagian terpisah. Namun arca-arca perunggu sebesar ini
biasanya dibuat tidak lain dari bagian-bagian terpisah. Lebih dari itu, Kusen mengaitkan
sisa-sisa arang yang ditemukan di sana dengan peleburan dan penuangan logam, walaupun
hal ini tidak mungkin. Kedua jenis kegiatan ini di ruang tertutup bilik candi tentu saja
terlalu berbahaya dan tidak praktis, malah sama sekali tidak mempertimbangkan
terbatasnya gerakan para pekerja. Panas yang ditimbulkannya akan dengan mudah
menyebabkan kerusakan pada arca tersebut dalam bentuk gelembung-gelembung. Jauh
lebih mungkin bahwa arang digunakan untuk kerja pematrian kecil-kecilan dan
penyolderan. Saya ingin berterima kasih kepada Lucas van Blaaderen untuk anjuran ini.

118

Candi Prambanan

takhta tampat arca itu diletakkan. Inilah batu-batu tempat dahulunya arca
Vairocana yang lebih besar ditakhtakan, dan karenanya berusia sama dengan
saat arca itu ditempatkan di sana.
Di samping segi-segi teknis ini, terdapat pula implikasi-implikasi
simbolis yang membuat penggantian arca-arca tersebut sulit dibayangkan.
Apa pun alasan pasti untuk hal ini, namun perubahan posisi sekecil apa pun
pada satu atau beberapa arca utama niscaya memiliki akibat-akibat bagi
pengaturan sosok-sosok lain para dewata dalam sistem yang lebih besar, atau
bagi denah ritual (man ala)
yang diikuti di Prambanan, di mana,

sebagaimana yang telah ditegaskan sebelumnya, dewa-dewa dari tempattempat suci Buddhis di sekitarnya bisa jadi juga dilibatkan pada mulanya. Ini
sebuah awasan bagi para ikonograf agar tetap waspada untuk setiap jejak
lainnya menyangkut adaptasi perpatungan dan tidak semata-mata
mengabaikannya sebagai sebuah kesalahan dan kekeliruan.
Sepotong informasi yang tampaknya sangat penting bagi rancang
bangun denah ritual Prambanan disajikan oleh jati diri arca yang berada di
atas kepala Kla yang terletak di sisi sebelah timur Candi iva (lihat Foto 2
dan Foto 32 tentang kepala Kla). Mula pertama disinggung Bernet Kempers
dalam tulisannya tentang penyelesaian karya pemugaran pada Candi iva,
arca itu tidak pernah mendapat perhatian sebagaimana mestinya. Bernet
Kempers (1955:30), melukiskannya sekadar sebagai seorang dewa yang
ditempatkan pada latar belakang kumpulan awan. Namun sosok itu mesti
merupakan seorang dewa dari kelas atas atau seorang dewa luar biasa,
mengingat posisinya yang ditinggikan di atas kepala Kla, yang malah lebih
tinggi daripada posisi sosok iva yang dipahat pada relief pada panel di atas
regel yang melintang pada pintu keluar-masuk bilik utama, yang berisikan
arca iva Mahdeva. Dalam sebuah upaya identifikasi terdahulu, saya
menyebut dewa ini sebagai iva Mahyogin (Jordaan dan Edi Sedyawati
1990:18-21), walaupun identifikasi ini bersifat dugaan saja dan masih
membutuhkan peneguhan oleh bukti nyata.64
Masalah lain yang tak terpecahkan adalah bahwa apakah dahulunya
pernah ada arca tertentu di kedua candi apit, yakni kuil yang terletak di sisi
sebelah utara dan selatan deretan kedua dari masing-masing ketiga
64 Foto yang saya ambil atas dewa berlengan dua ini, walaupun diambil dengan bantuan
lensa telefoto, terlalu kabur bagi saya untuk menjelaskan laksananya (lihat Foto 26).
Karena supaya bisa mendekati arca ini kita perlu mendirikan sebuah perancah, maka saya
terpaksa membiarkan identifikasi arca ini hingga nanti.

119

Roy Jordaan

candi, dan bila demikian arca mana. Sambil mengulang kembali kata-kata
Bernet Kempers (1955:18), yaitu bahwa tujuan dari kedua candi apit itu
tidaklah jelas, saya hendak mengingatkan para pembaca budiman tentang
pengamatan IJzerman (1885:271) bahwa walaupun candi di sisi sebelah
selatan itu ditemukan seluruhnya kosong dan candi di sisi sebelah utara
nyaris rusak sama sekali, namun di sana [artinya, dekat puing-puing
reruntuhan candi halaman dalam di sisi sebelah utara] kita masih melihat
arca Durg, yang dijelaskan secara keliru oleh Brumund sebagai Buddha
duduk dengan enam lengan. Bernet Kempers mengulangi pernyataan ini
dalam sebuah publikasi kemudian, sambil menyitir keterangan singkat
tentang arca itu yang diberikan Brumund sebagai berikut:
Kedua tangan di tengah dilipat di depan dada; mengenai kedua tangan sebelah
bawah, yang kanan diletakkan di atas lutut dengan telapak menghadap ke atas,
sedangkan yang kiri memegang sebuah padma/teratai. Mengenai kedua tangan
sebelah atas, yang kanan memegang sebuah untaian manik-manik (aksaml),

[sedangkan] yang kiri memegang sebuah kapak kecil, seperti [kapak yang]
sering kali dihubungkan dengan Gan ea. Di bagian belakang lempeng batu
telah dipahat sebuah nimbus, sementara itu sebuah mahkota kecil ditempatkan
di atas kepalanya. Tinggi arca itu kurang dari dua meter, dan ditempatkan di
atas lantai dari apa yang dahulunya merupakan bilik dari candi kecil yang
terletak di sebelah utara. (IJzerman 1891:58.)

IJzerman melanjutkan keterangannya dengan sebuah perbandingan yang


pada hakikatnya menarik di antara arca yang diduga adalah sosok Durg itu
dengan lukisan-lukisan relief dari para dewi Buddhis di Borobudur dan
Mendut. Namun saya lebih peduli untuk menemukan di manakah gerangan
arca itu kini berada, yang tampaknya telah menghilang begitu saja tanpa
diperhatikan. Krom (1923a, I:452) menulis bahwa tidak ada bukti tentang
para penghuni dari bangunan-bangunan terkecil pada sisi sebelah utara dan
selatan alun-alun.
Arca kecil ini bukan satu-satunya yang telah hilang. Arca-arca para
avtara Vis n u, yang dilaporkan Krom (1923a, I:482) telah dipulangkandari
museum di bekas Batavia ke situs aslinya, tampaknya menghilang dalam
perjuangan kemerdekaan Indonesia (Soenarto 1991:41). 65 Juga
65

Varhavis n u, penjelmaan Vis n u dalam rupa babi, masih tersimpan dalam keadaan tidak
utuh di Museum Nasional Jakarta (Paul 1978:316).

120

Candi Prambanan

tidak ada jejak apa pun yang pernah ditemukan mengenai arca-arca dari ke224 candi perwara. Jika kita mempercayai karya sastra Rmyan a Jawa
Kuno yang sudah dikutip di atas, maka semua candi tersebut ditempati oleh
arca-arca emas para dewata dan asura yang tengah bertempur
memperebutkan amta, obat mujarab kehidupan. Sama seperti sosok-sosok
yang menempati banyak relung di candi-candi besar, boleh jadi ini adalah
arca-arca perunggu yang dicuri dan dilebur untuk tujuan-tujuan lain di waktu
kemudian. Kecuali terjadi mukjizat dan naskah ilpastra yang menjadi
panduan untuk man ala
Prambanan berhasil ditemukan, maka kita tidak

akan pernah mengetahui siapakah gerangan semua dewa dan dewi ini yang
dipahatkan di situs tersebut.

10. Relief-relief
Relief-relief di Candi Prambanan bisa dibagi ke dalam dua kategori luas,
yaitu relief-relief kisahan (naratif) yang mencakup relief-relief Rmyan a di
Candi iva dan Candi Brahm dan relief-relief Kr ishna di Candi Vis n u,
serta apa yang saya sebut sebagai relief-relief ikonis yang menggambarkan
masing-masing dewa beserta para pengiring mereka, seperti relief-relief para
penjaga mata angin (ast aikpla)
yang dipahat di dinding sebelah luar Candi

iva.
Kedua kategori ini bersifat deskriptif alih-alih absolut, sebab jika kita
ingin memahami secara penuh makna relief-relief ikonis maka relief-relief
tersebut mesti dilihat dalam hubungan timbal balik, sebagaimana yang
tampak jelas menyangkut para penjaga mata angin. Hal yang sama berlaku
untuk relief-relief yang menggambarkan para penari di sisi sebelah luar
pagar langkan Candi iva, yang aslinya melukiskan gerakan-gerakan
berturutan dari sebuah tarian India, yakni Tn ava.
Walaupun tidak

termasuk relief-relief kisahan dalam arti bahwa mereka melukiskan adeganadegan dari sebuah cerita lengkap, namun gerakan-gerakan tarian yang
digambarkannya diandaikan berkaitan dengan tema-tema tertentu yang sarat
makna, seperti kesuburan, penciptaan, serta kehancuran (Stutley 1977:297).
Kenyataan bahwa relief-relief ikonis demikian juga memiliki sebuah
fungsi yang sarat makna, alih-alih sebagai penghias belaka, menyiratkan
bahwa apa yang dilukiskan relief-relief tersebut dan juga penempatannya

121

Roy Jordaan

mesti telah dirancang terlebih dahulu. Maka dari itu, sama seperti
menyangkut penyimpangan-penyimpangan yang penuh teka-teki dalam
beberapa arca yang sudah dikaji dalam bagian sebelum ini, kita tidak boleh
mencari bantuan penjelasan jalan pintas dengan mengasalkan
penyimpangan-penyimpangan tersebut pada salah paham antara para arsitek
dan pemahat, atau adaptasi ala Jawa yang bercorak khas atau ideosinkratis
atas teks-teks suci guna memecahkan berbagai kesulitan yang barangkali
kita hadapi.
Stutterheim (1925) terbilang di antara para cendekiawan pertama yang
menyadari berbagai kelemahan dari pendekatan semacam ini. Pujian dan
penghargaan mesti kita daulatkan kepadanya karena berhasil
memperlihatkan bahwa para pemahat relief-relief Rma di Prambanan tidak
mengikuti panduan-panduan yang diberikan dalam karya klasik Vlmki,
tetapi sebuah teks lain yang dalam beberapa hal niscaya sangat mirip dengan
Hikayat Sri Rama (HSR), yakni sebuah cerita rakyat yang jauh lebih
kemudian dalam versi Melayu. 66 Alih-alih menafsir penyimpangan ini
sebagai sebuah adaptasi atas kisah klasik itu ke dalam lingkungan lokal,
Stutterheim merasa bahwa perbedaan-perbedaan ini mesti dilacak ke
berbagai tradisi kerakyatan yang kita temukan tidak saja dalam hikayat,
kakawin, lakon, dan karya-karya sastra pribumi lainnya, tetapi juga
melanglang hingga ke relief-relief Rma di Candi iva dan Candi Brahm di
Prambanan.
Karya perintisan Stutterheim tentang relief-relief Rmyan a di
Prambanan sudah cukup dikenal dan tidak membutuhkan sebuah pengantar
panjang-lebar. Namun terdapat sebuah persoalan yang, hemat saya, tidak
sepenuhnya tertuntaskan dalam karyanya. Persoalan tersebut menyangkut
bagaimana relief-relief itu secara nyata dirancang dan dihasilkan. Ketika
berbicara tentang tradisi kerakyatan, kita terutama berpikir tentang sebuah
tradisi lisan yang cenderung membangkitkan kesan bahwa relief-relief itu
boleh jadi dipilih secara semaunya dan bahwa pelaksanaannya sebagian
besar diserahkan pada kearifan serta daya cipta sang seniman. 67
66
67

A. Zieseniss (1963:187) mengandaikan HSR sebagai sebuah karya pasca-epik yang


dibawa ke Indonesia secara lisan antara abad ke-13 dan ke-17.
Latar belakang sejarah lisan dapat dengan mudah diangkat sebagai sebuah sumber
kesalahan untuk menjelaskan berbagai titik pisah antara relief-relief dan teks-teks
kanonik. Angkat misalnya perkataan Gonda tentang pemahatan relief-relief
Karmavibhaga di Borobudur: Rupa-rupa penyimpangan dari teks [...] bisa dijelaskan
berdasarkan pengandaian bahwa para pemahat yang kemungkinan sangat besar tidak

122

Candi Prambanan

Sebenarnya, pendapat semacam ini dianut Vogel (1921:215), yang merekareka beberapa tahun sebelumnya apakah si pemahat di Prambanan benarbenar mengikuti secara saksama petunjuk-petunjuk dari sebuah teks tertulis,
sebagaimana yang jelas-jelas dilakukan si pemahat di Borobudur. Ketika
menerangkan legenda Buddha di sana, ia antara lain mengikuti teks
Lalitavistara. Menyangkut kisah sepopuler seperti Rmyan a, pengandaian
yang tampaknya paling masuk akal bagi Vogel ialah bahwa si pemahat
berpaling pada tradisi lisan yang beredar dan berkembang di antara orangorang India dan Jawa. Stutterheim sehubungan dengan masalah ini juga
mengutip pendapat Van Stein Callenfels (1922:47), yang pernah menulis
bahwa ia ingin agar jangan dulu diambil keputusan tentang soal apakah di
Jawa sebuah tradisi lisan semacam itu sama sekali tidak terikat pada tulisan
dalam satu atau lain bentuk, dan apakah teks itulah yang diikuti si pemahat.
Persoalan itu tidak boleh dibiarkan terkatung-katung lagi. Saya
berkeyakinan bahwa para arsitek dan pemahat di Prambanan pasti bekerja
menuruti sebuah teks tertulis yang belum ditemukan hingga sekarang. Saya
memiliki dua alasan untuk mengandaikan hal ini. Pertama, kita tidak dapat
mengabaikan batasan-batasan yang melekat erat dalam arsitektur candi yang,
tentu saja dalam apa yang disebut sebagai masa klasik Hindu-Jawa, sama
sekali tidak berkurang tuntutannya tidak peduli apakah candi bersangkutan
adalah sebuah candi Buddhis atau Hindu. 68 Betapapun ketenaran wiracarita
Rma kian bertambah-tambah, namun saya tidak percaya bahwa relief-relief
Rma di Prambanan dirancang dan dilaksanakan secara berbeda dari reliefrelief Buddha di Borobudur.
Alasan saya yang kedua untuk mengandaikan adanya sebuah teks
panduan ialah bahwa tanpa adanya teks semacam itu maka tidaklah mungkin
untuk menjelaskan bagaimana pengaturan yang rapi atas cerita di atas bidang
tembok yang tersedia bisa tercapai. Kerapian pengaturan
dapat membaca teks Sanskerta, dan yang barangkali cuma mendapat instruksi-instruksi
lisan, tidak berhasil mereproduksi kandungan teks itu secara persisi. Nah, karena sebuah
perincian yang terkandung dalam teks diabaikan, maka sekali lagi seorang tokoh atau
kejadian tertentu tidak cocok dengan karya tertulis (Gonda 1970:226).
68 Jauh sebelumnya, dalam nada yang serupa Gonda menandaskan: Oleh karena cuma
tersedia sedikit ruang untuk hipotesis bahwa si arsitek atau para pemahat itulah yang
menciptakan sendiri versi mereka, maka ada kemungkinan bahwa mereka menggunakan
sebuah teks yang telah hilang, dan dengan teks itu, sembari menghilangkan apa yang
mubazir, mereka berhasil menuntaskan persoalan itu secara lebih singkat dan lebih
memuaskan (Gonda 1970:228).

123

Roy Jordaan

ini antara lain kasatmata dari kesejajaran antara riwayat hidup Rma dan
jalur perlintasan matahari yang kelak ditemukan oleh Stutterheim (1928)
tercermin dalam cerita tersebut (lihat tulisan Stutterheim dalam buku ini).
Tanpa memperhatikan apakah kesejajaran itu benar-benar secara ajek
tercermin dalam cerita tersebut, namun hemat saya pantang diragukan bahwa
terdapat sebuah rancangan di sana yang dilaksanakan dengan teliti sesuai
dengan kaidah-kaidah arsitektural yang ketat.
Menyangkut data yang berguna berkenaan dengan rancangan dan
pengerjaan relief-relief tersebut, kita mesti merujuk pada karya Fontein
(1989) yang membedah relief-relief Karmavibhaga pada apa yang disebut
sebagai kaki tersembunyi Borobudur. Berpijak pada sebuah analisis yang
terperinci dengan mengacu pada sejumlah versi berbeda dari kisah yang
sama, ia menarik beberapa kesimpulan menyangkut pemahatan relief-relief
tersebut, yang barangkali penting juga untuk relief-relief Rmyan a di
Prambanan. Fontein menyimpulkan bahwa:
Berulang kali relief-relief Karmavibhaga menyajikan bukti bahwa proses ini
[olehnya pokok persoalan yang dikaji dalam teks-teks disebarkan di atas bidang
dinding yang tersedia] mendapat curahan perhatian yang sangat besar. [...]
Meloncat, menutup-nutupi kesalahan, atau mengabaikan bagian-bagian tertentu
dari teks mewakili ekstrem sebaliknya, dan mengenai hal-hal itu [...] sama
sekali tidak ada bukti kuat. (Fontein 1989:75.)

Komentar Fontein tentang rancangan relief-relief Borobudur mem


perlihatkan bahwa barangkali hal ini juga tidak berbeda dari cara hal-hal itu
dikerjakan di Loro Jonggrang:
Para arsitek atau biksu terpelajar yang bertanggung jawab atas proyek tersebut
mesti terlebih dahulu membuat sebuah praaksin
berdasarkan teks suci yang
mereka pegang, lalu memutuskan tema pokok dari setiap relief atau bagiannya.
Setelah mengetam tajuk-tajuk relief atau kata-kata kunci pada pinggir bagian
atas, para pemahat mulai berkerja. Mula-mula mereka barangkali membuat
sebuah gambar pendahuluan pada batu itu sendiri dan kemudian mulai
memahat garis-garis besarnya serta membentuk siluet-siluet para tokoh. Hanya
setelah garis-garis besar itu dipahat cukup dalam barulah mereka mulai
memberi bentuk dan ukuran pada tokoh-tokoh itu sendiri. (Fontein 1989:75.)

124

Candi Prambanan

Fontein juga yakin bahwa para pemahat bekerja sesuai dengan sebuah
rencana yang terperinci dan cuma memiliki sedikit, itu pun kalau ada,
kebebasan pribadi, dan hal itu antara lain terbukti dari ungkapan-ungkapan
yang ia gunakan semisal para biksu memberi pengarahan kepada para
pemahat, penyeliaan biksu, dan malah panitia perencanaan biksu.
Walaupun rujukan itu pada perencanaan dan pengerjaan relief-relief di
Borobudur boleh jadi mencerahkan, namun hal itu tidak membebaskan kita
dari tanggung jawab untuk menyajikan bukti tentang sistematisasi dalam
rancangan relief-relief di Prambanan. Untuk tujuan ini, saya akan mengutip
pendapat Krom yang memberi perhatian beberapa tahun sebelum
Stutterheim mendalilkan adanya kesejajaran antara riwayat hidup Rma dan
jalur perlintasan matahari pada kenyataan bahwa cerita Rma di Candi
iva berakhir pada adegan penyeberangan ke La k. Krom menulis:

Teramat gamblang bahwa cerita yang berakhir secara mendadak ini, persis
sebelum mencapai puncaknya, mengandaikan kelanjutannya di tempat lain.
Jadi, penghentian cerita itu pada satu bangunan, agar dilanjutkan pada
bangunan lain, menyajikan lebih banyak bukti menyangkut hubungan yang erat
di antara semua candi ini, yang memiliki asal-muasalnya pada sebuah
rancangan umum yang tunggal. (Krom 1923a, I:463.)

Berkaitan dengan perkataan Krom tentang penghentian secara tiba-tiba dari


adegan-adegan cerita Rmyan a pada candi induk dan kelanjutannya pada
pagar langkan Candi Brahm, Fontein menunjukkan dampak-dampak
teatrikal dari hal ini bagi para cantrik. Ia menulis:
Dengan menghentikan cerita itu persis ketika para bala tentara kera hendak
menyeberangi jalan lintasan menuju Lak, para pemahat membuat para
penonton untuk beralih dari satu candi ke candi yang lain, seolah-olah mereka
tengah mengikuti jejak-jejak kaki para bala tentara kera itu. (Fontein
1997:195.)

Saya hendak menambahkan bahwa perencanaan ini sedemikian berkesan


justru karena rancangan halaman pusat sebagai sebuah waduk buatan boleh
jadi dahulunya benar-benar memisahkan candi-candi di situ oleh air.
Tidaklah mungkin kebetulan bahwa bukan saja adegan penutup dari kisah

125

Roy Jordaan

Rma pada Candi iva melainkan juga adegan pembuka dihubungkan


dengan air, malah adegan pembuka itu dihubungkan dengan air suci, karena
ia menggambarkan Vis n u yang sedang menyandarkan dirinya pada ular
es a yang tengah mengambang di atas Lautan Susu.69 Kenyataan ini dan
yang lainnya yang akan dibahas di bawah ini merupakan bukti yang tidak
dapat disangkal tentang pengaturan yang dipertimbangkan secara matang
atas relief-relief itu dalam keseluruhan rancangan arsitektural.
Mengingat bahwa relief-relief di Prambanan ditempatkan pada pagar
langkan candi menurut sebuah perencanaan yang pasti berdasarkan sebuah
teks yang belum diketahui, maka terlalu jauh bila ditandaskan bahwa niscaya
sama sekali tidak ada jejak-jejak pengaruh Jawa dalam relief-relief tersebut.
Pengaruh-pengaruh semacam itu tentu saja terbukti dengan sendirinya, sebab
kalau tidak maka tidak masuk akal untuk berbicara tentang kesenian HinduJawa, kecuali kesenian India atau kesenian kolonial India. Bagi saya
tidak dapat disangkal bahwa para pemahat Jawa tidak bisa menafikan ilham
seni mereka sendiri ketika memahat motif-motif hiasan, dan malah boleh
jadi secara sadar membiarkan ilham itu memainkan peran di dalamnya.
Walaupun demikian, kita tidak boleh begitu saja mengangkat langgam Jawa
yang mencolok dari beberapa pahatan sebagai bukti tentang adaptasi Jawa
atas teks tadi. Sebagaimana yang saya pahami, di sini kita hanya memiliki
satu bukti tentang sebuah pembagian kerja bahari di mana pelaksanaan
rancangan dan juga jenis-jenis kerja yang lebih berat diserahkan pada para
penduduk pribumi. Bersama Bosch (1920:142), saya percaya bahwa
keseluruhan rancangan arsitektural Prambanan, yang barangkali sekaligus
juga mencakup Sewu dan Loro Jonggrang, disusun di biara-biara di India.
Entah para biksu dan guru yang memang betul-betul berasal dari India
terlibat secara ketat dalam pengerjaan proyek bangunan tersebut
(sebagaimana yang diisyaratkan dalam prasasti Klurak, dan seperti yang
terjadi sebelumnya menyangkut pembangunan Candi Kalasan), atau apakah
para peziarah Jawa yang pulang dari India yang bertindak selaku guru,
namun dengan mengikuti ilpastra, tidak dapat ditentukan secara pasti
dalam tahap penelitian ini.
Kegiatan-kegiatan manakah yang dialihkan dan seberapa ketat
69 Saya berutang budi kepada Dr. I. Kuntara yang menunjukkan hal ini kepadaku dalam

sebuah perbincangan tentang halaman pusat candi Loro Jonggrang dalam terang
tulisannya yang barusan diterbitkan ketika itu yang mengkaji pokok laut dalam sastra
Jawa Kuno (Kuntara Wiryamartana 1992).

126

Candi Prambanan

pembagian kerja tersebut tidaklah diketahui, dan juga nyaris tidak dapat
dipastikan saat ini. Bahkan menyangkut motif-motif hiasan pun, di mana kita
boleh secara absah menduga adanya tidak sedikit pengaruh Jawa, hampir
tidak ada petunjuk apa pun tentang bagaimana, artinya berdasarkan patokanpatokan macam manakah, langgam Jawa itu dapat ditentukan. Semua yang
telah dikatakan sejauh ini menyangkut tema dimaksud, hemat saya, cuma
menyingkapkan selera pilihan yang subjektif belaka.
Sebagai sebuah contoh, izinkan saya mengangkat adegan tentang
pembelitan ekor Hanuman yang dilihat Bosch (1954:17) sebagai bukti
tentang Jawanisasi. Rupanya yang dipikirkan Bosch adalah episode di mana
utusan Rma, yaitu Hanumn, tidak diberi tempat duduk dalam kunjungan
kehormatannya kepada Rvan a, dan guna mengatasi masalah yang
diciptakan oleh tak adanya kesopansantunan tersebut Hanumn menggulung
ekornya menjadi alas duduknya sehingga ia kelihatan duduk sama tinggi
dengan Rvan a. Menurut Fontein (1997:196), episode ini tidak saja dikenal
di Jawa tetapi juga di Thailand dan Malaysia, di mana episode tersebut
masih populer (sebagaimana yang terbukti dari HSR). Sembari merujuk
telaah Brockington (1985) tentang evolusi wiracarita Rmyan a, Fontein
menambahkan [di mana] barangkali episode tersebut disebarkan melalui
Bengali.
Guna menghilangkan setiap kesan tentang pilihan seenaknya, maka
sebaiknya kita memberi lebih banyak perhatian pada relief-relief yang justru
menyingkapkan pengaruh-pengaruh bukan Jawa, baik oleh pengaturan
relief-relief maupun oleh sikap-sikap tubuh dan laksana-laksana yang tidak
biasa dari sosok-sosok yang dipahat pada relief-relief tersebut. Berkenaan
dengan pengaturan relief-relief Prambanan, Groneman (1893:6) mencatat
bahwa pengaturan tersebut sangat serupa dengan yang ditemukan di
Borobudur serta candi-candi Buddhis lainnya, dan ia adalah orang pertama
yang menyampaikan gagasan bahwa pengaturan tersebut berkaitan dengan
jalur perlintasan matahari.70 Lebih lanjut Groneman mengamati bahwa
kaitan tersebut hanya berlaku untuk belahan bumi utara, dari mana
70 Gagasan ini akan diperincikan oleh Stutterheim (1928, yang disertakan dalam buku ini),
namun tanpa merujuk pada Groneman atau menyinggung kenyataan bahwa kesejajaran
tersebut tidak benar-benar cocok di Jawa. Yang patut dicatat di sini adalah perbedaan yang
mencolok dengan Angkor Vat di Kamboja di mana ukuran candi itu beserta pengaturan
relief-reliefnya berhubungan dengan kepentingan praktis di bidang astronomi dan
penanggalan (lihat Stencel, Gifford dan Moron 1976).

127

Roy Jordaan

katanya kaum Buddhis itu berasal (1893:11, catatan kaki no. 1). Bahasa
tubuh juga menyajikan petunjuk-petunjuk lain tentang pengaruh-pengaruh
bukan Jawa. Groneman, berkaitan dengan ihwal menunjuk dengan jari
telunjuk kanan oleh gergasi Traka, mencatat bahwa orang-orang Jawa
tidak menunjuk dengan jari telunjuk, tetapi dengan ibu jari. Penggunaan
yang terus-menerus dari jari telunjuk membuktikan bahwa bukan orangorang Jawa yang mengerjakan arca-arca ini (1893:11, catatan kaki no. 11;
lihat juga Stutterheim 1925:146, 150; Fontein 1989:84). Demikian pula,
Stutterheim (1925:153-154), sehubungan dengan pahatan tentang seorang
perempuan yang sedang menari, mencatat bahwa tarian tersebut tidak saja
khas Tantrik, karena di dalamnya kita melihat citra-citra Buddhis tentang
sosok-sosok Dkins dan makhluk-makhluk mengerikan lainnya, tetapi
juga bahwa orkestra itu secara pasti memiliki sebuah corak bukan
Indonesia (lihat Foto 8).
Contoh-contoh ini menunjukkan bahwa langgam Jawa dari pahatanpahatan tertentu tidak secara langsung kasatmata, dan membutuhkan
pertimbangan yang lebih saksama daripada yang telah diberikan padanya
hingga sekarang. Seberapa banyak hal yang masih harus dilakukan tampak
gamblang dari pernyataan Fontein bahwa:
telaah tentang berbagai sikap badan perawakan dan gerak-isyarat dalam
kesenian Jawa Tengah baru berada pada tahap pertumbuhan yang paling awal,
dan bahwa masih banyak kerja yang harus dilakukan, dengan mempelajari
relief-relief dan juga tarian Jawa, sebelum seluruh cakupan kosakata tentang
komunikasi nonverbal dapat disusun kembali. (Fontein 1989:101.)

a. Relief-relief kisahan
Relief-relief kisahan dari dulu telah mendapat perhatian paling banyak.
Groneman, yang terutama dikenal sebagai tokoh yang bertanggung jawab
atas pembersihan yang mengacaukan di kawasan Candi Prambanan, adalah
orang pertama yang mengenal tokoh Hanumn, Rma, dan St di beberapa
relief, dan menarik hubungan antara tokoh-tokoh tersebut dan wiracarita
India, yakni Rmyan a.
Beberapa cendekiawan lain mengungkapkan rasa heran oleh kehadiran
relief-relief Rmyan a pada Candi iva dan Candi Brahm, karena Rma

128

Candi Prambanan

sama sekali tidak berhubungan dengan iva maupun Brahm, tetapi hanya
dengan Vis n u, sebagai salah satu dari penjelmaan (avatra) Vis n u sama
seperti Kr ishna yang keperwiraan di masa mudanya dilukiskan secara jitu di
Candi Vis n u. Namun Groneman (1893:5) tidak melihat adanya masalah apa
pun dengan keganjilan ini, karena ia berpikir bahwa Rmyan a bisa saja
dikaitkan dengan ajaran-ajaran Buddhis Mahyna, di mana Buddha juga
dianggap sebagai salah satu avatra Vis n u. Apa yang disiratkan di sini
adalah suatu pembalikan hubungan, dengan mendalilkan bahwa dewa-dewa
Hindu yang diukir di Prambanan hanyalah penjelmaan Buddha, dan
karenanya dianggap sejajar dengan para bohisvattva, [mereka semua]
hanyalah cara-cara keberadaan, penjelmaan dari Dewa Mahaesa dan abadi,
yakni dibuddha yang tidak kelihatan dan kekal (Groneman 1893:29).
Sebagaimana yang telah ditandaskan sebelumnya, gagasan-gagasan
Groneman tentang corak Buddhis Loro Jonggrang ditolak Krom sebagai
sebuah teori berani. Krom sendiri menegaskan bahwa haruslah dicamkan
bahwa, bagi orang-orang yang merenungkan secara mendalam hal-hal ini,
semua dewata ini tidak lain hanya penjelmaan Wujud Tertinggi yang esa dan
tunggal (Krom 1923b:139). Namun masalahnya Krom tidak semata-mata
berhenti di sana. Sembari mengandaikan bahwa Loro Jonggrang adalah
monumen saingan Borobudur, Krom kemudian menyerupakan Wujud
Tertinggi itu dengan iva, sebagaimana gamblang dari perkataannya tentang
keunggulan iva di antara triad dewata Hindu, yakni:
Barangkali lebih tepat untuk mempertimbangkan keseluruhan [artinya, seluruh
kompleks percandian] sebagai yang ditakdiskan bagi Sang Wujud Tertinggi,
yakni iva, di mana di sampingnya Brahm dan Vis n u, entah merupakan dua
penjelmaan dari Sang Wujud Tertinggi atau tidak, cuma memainkan peran
sekunder. (Krom 1923a, I:452.)

Mengikuti Kern (1888), yang hipotesis-hipotesisnya tentang peleburan


aivisme dan Buddhisme di Jawa kuno menjadi rujukan Krom dan
Groneman, saya lebih suka kalau Sang Wujud Tertinggi tetap tinggal tak
terperinci sebagai Parambrahma, yakni Jiwa Alam Semesta atau Sang
Mulia Raya, dan dengan demikian tetap terbuka kemungkinan bahwa
Prambanan, yang mencakup Candi Loro Jonggrang dan Candi Sewu, adalah
sebuah tempat peribadatan bersama baik bagi kaum Buddhis

129

Foto 8. Relief penari, lengkap dengan orkesnya. (Foto oleh Piet Holthuis.)

Foto 9. Adegan penutup Rmyan a di Candi Brahm: para Brahmana yang


sedang menyantap ikan. (Foto oleh penulis.)

130

Candi Prambanan

maupun kaum aiva. Pembauran secara damai dari kedua agama tersebut,
hemat saya, merupakan satu-satunya penjelasan yang memuaskan baik
menyangkut banyaknya keserupaan arsitektural dan gaya seni antara Loro
Jonggrang dan Sewu, maupun menyangkut adanya di sana dewa-dewa yang
termasuk dalam panteon kedua agama. Benda-benda yang digunakan dalam
peribadatan untuk sebagiannya sama, bukan saja dalam penampilan lahiriah
melainkan pada intipatinya (Kern 1888:177).71
Sebagaimana telah ditegaskan di atas, identifikasi atas relief-relief
tersebut pada mulanya dibuat berdasarkan karya klasik Vlmki, yang
menjadi alasan untuk mencap segala macam penyimpangan darinya sebagai
korupsi dan salah paham. Hal ini perlahan-lahan berubah setelah Vogel
(1912) membuat sebuah analisis yang sangat saksama atas satu relief, yaitu
relief Rma pertama, dengan membuat rujukan ke beberapa teks (lihat
tulisan Vogel dalam buku ini). Tulisannya diakui Stutterheim sebagai salah
satu sumber ilham untuk riset Ph.D.-nya tentang berbagai cerita rakyat dan
relief Rma di Indonesia. Dalam disertasi tersebut, kebanyakan relief
kisahan di Candi iva dijelaskan secara memuaskan. 72
Hal yang sama tidak berlaku untuk relief-relief di Candi Brahm yang
diyakini merupakan kelanjutan dari cerita Rma, dan untuk relief-relief di
Candi Vis n u. Sampai belakangan ini, kita mesti puas dengan tafsirantafsiran sementara dan tidak lengkap dari Van Stein Callenfels (1919), serta
tafsiran-tafsiran serampangan dari para arkeolog Indonesia sebagaimana
yang diterbitkan dalam berbagai makalah lokakarya dan panduan-panduan
yang dicetak secara lokal bagi para wisatawan (seperti Sugianti 1986;
Soenarto 1991; Moertjipto 1991). Untungnya, keadaan yang tidak
memuaskan ini untuk sebagian teratasi berkat terbitnya tulisan
71 Berkait dengan hal ini, kita mesti mengingat kembali kata-kata cermat Kern bahwa

kekerabatan antara Mahyna dan aivisme dapat disangkal hanya kalau seseorang
memejamkan matanya, dan kemudian menambahkan, kemenangan ilmu pengetahuan
tidak terletak dalam upaya melenyapkan apa yang jelas bagi setiap orang, tetapi
sebaliknya dalam ikhtiar untuk berlangkah dari yang kelihatan dan yang tak tersangkalkan
menuju sebab-sebab di balik gejala-gejala yang diamati itu (Kern 1888:158; lihat juga
Coomaraswamy 1986:45).
72 Ringkasan tentang disertasi tersebut niscaya mubazir di sini, mengingat bahwa relief-relief
itu dibahas dalam sebuah terjemahan atas tulisan Stutterheim dari tahun 1928 dan
disertakan dalam buku ini. Foto-foto dengan mutu yang bagus, lengkap dengan tajuknya
baik dalam bahasa Inggris maupun Belanda, antara lain dapat ditemukan dalam Kats
(1925). Demi tuntutan kelengkapan saya akan menyinggung terjemahan terkini atas tesis
Ph.D. Stutterheim dalam bahasa Inggris yang diterbitkan oleh Indira Gandhi National
Centre for the Arts, New Delhi, 1989.

131

Roy Jordaan

Fontein, yang berjudul Preliminary notes on the narrative reliefs of Cani


Brahm an Cani Visn u at Loro Jonggrang, Prambanan (Fontein 1997).
Berlandaskan pada teks Fontein itu, saya hendak mencatat bahwa reliefrelief Rma di Candi Brahm benar-benar merupakan kelanjutan dari kisah
yang telah dimulai di Candi iva, walaupun tidak lengkap. Cerita itu di sini
tidak saja tampaknya mengalir kurang lancar ketimbang yang terdapat di
Candi iva, tetapi juga urutannya kelihatannya juga tidak sambung, sebab
sebuah kisah baru dimulai persis di tengah keseluruhan relief yang
berjumlah 30 buah. Bila relief pertama bermula dengan penyeberangan
Vibhs an a ke pihak Rma, dan relief ke-15 berawal dengan penobatan
Rma sekembalinya dari Ayodhy, bersama dengan St, maka relief ke-16
menggambarkan Rma tengah mendengarkan bisikan penuh dengki dari
seorang perempuan yang bermuara pada pengusiran St dari ibu kota
kerajaan.
Khususnya dalam bagian kedua, terdapat beberapa relief yang tidak
dapat ditempatkan seturut teks-teks yang dirujuk Fontein. Teks-teks ini amat
berbeda baik dalam penanggalan maupun tempat asal. 73 Relief-relief yang
bisa diidentifikasi terdiri atas relief-relief yang melukiskan kedatangan St
di pertapaan Vlmki, kelahiran putranya Lava; kemunculan secara tiba-tiba
namun tidak dapat dijelaskan dari Kua, saudara kembar tiruan dari Lava;
kemunculan kedua bersaudara itu di istana Rma, tempat mereka
menembang Rmyan a; lengsernya Rma dari takhtanya; serta adegan
penutup yang menggambarkan enam Brahmana pada sebuah acara
perjamuan untuk merayakan kenaikan para putra Rma ke atas singgasana
(lihat Foto 9).
Sebuah masalah yang masih belum terpecahkan adalah identitas teks
yang berfungsi sebagai panduan dalam memahat kisah Rmyan a di Candi
iva dan Candi Brahm. Cerita tentang pencarian teks yang berfungsi
sebagai sebuah model di sini terlalu panjang dan rumit untuk dikisahkan
dalam beberapa kalimat saja. Maka dari itu, sudah cukup kiranya bila dicatat
bahwa para pakar dan cendekiawan sepakat bahwa Rmyan a
73 Sambil memperhitungkan pengetahuan kita yang tidak lengkap tentang asal-muasal tradisi

Rmyan a di Jawa, Fontein, mengikuti Stutterheim, mengadopsi sebuah titik pandang


eklektik. Fontein (1997:194) menulis: Sebab dari mana pun pada akhirnya tradisi itu
berasal, setiap perbedaan dalam setiap teks dapat saja bernilai bagi kita sejauh ia memberi
andil bagi identifikasi dan penafsiran atas berbagai kejadian yang dilukiskan pada reliefrelief tersebut.

132

Candi Prambanan

Vlmki (RV) bukanlah model pandu atau prototipe langsung yang diikuti
dalam pemahatan relief-relief Rma, walaupun tentu saja hal ini berlangsung
sepadan dengan alur-alur umum hikayat rakyat. Namun di sini, sebagaimana
selalu, perbedaan-perbedaan itulah, walaupun yang paling sepele, yang
menjadi kunci persoalan dan dapat menunjukkan ke arah mana pencarian
tersebut bisa dilanjutkan secara berhasil. Telaah tentang asal-usal teks
Rmyan a Jawa Kuno (RJK) bisa membantu menjelaskan hal dimaksud.
Dalam RJK, yang ditulis oleh seorang pujangga Jawa yang kadang kala,
secara benar atau salah, dirujuk sebagai Yogivara, dapat kita amati
penyimpangan-penyimpangan dari karya Vlmki. Perbedaan-perbedaan
tersebut diperiksa secara sangat saksama, yang pada akhirnya berujung pada
identifikasi teks yang telah berfungsi sebagai sebuah model untuk RJK.
Sarkar, sang penemu kemiripan-kemiripan antara beberapa bait dalam RJK
dan bagian-bagian dalam Bhattikvya
(Bhk), menulis tentang hal ini:

Sebagaimana berbagai kemiripan gagasan-gagasan ditandingi oleh perbedaanperbedaan terperinci, tidaklah wajib untuk mengakui keberadaan fisik di Jawa
dari naskah-naskah tertentu malah dari seorang pujangga besar, karena syair
Jawa Kuno termashyur, yakni Rmyan a Yogivara [RJK], tidak didasarkan
pada Rmyan a Vlmki dan tidak juga pada Raghuvaa Klidsa, tetapi
pada Bhattikvya
[Bhk]. (Sarkar 1989:42.)74

Apa yang penting bagi kita adalah kenyataan bahwa Bhk juga tidak berfungsi
sebagai sebuah sumber ilham bagi relief-relief Rmyan a di Prambanan.
Kesimpulan ini pasti bisa diduga setelah penemuan awal Stutterheim bahwa
RJK (hubungan erat RJK dengan Bhk sama sekali tidak diduga olehnya) tidak
berfungsi sebagai sebuah model. Bagaimana menafsir kenyataan ini merupakan
sebuah persoalan yang menarik, tentangnya Fontein berkata:
Tidak peduli bagaimanapun hubungan antara teks dan arca mesti dilihat,
penciptaan karya sastra Rmyan a Jawa Kuno dan pemahatan relief-relief
Prambanan kini dapat dianggap sebagai dua perwujudan secara serempak,
74 Setelah rumusan Sarkar secara sambil lalu mengenai dugaan tentang berbagai peminjaman

ini dari Bhattikvya,


pada tahun 1934, riset linguistik dan sastra menyangkut asal-usul

RJK dengan cepat memperoleh momentum; namun berkenaan dengan beberapa hal
khusus, riset itu belum tuntas (lihat Vinod Khanna dan Malini Saran 1993).

133

Roy Jordaan

namun barangkali berdiri sendiri dalam dua wasilah atau pertalian berbeda
menyangkut tanggapan ala Jawa yang sarat daya cipta terhadap sastra
wiracarita India. (Fontein 1997:193-194.)

Bersama Fontein, saya mengandaikan bahwa pemahatan relief-relief dan


penulisan RJK berlangsung kurang lebih pada kurun waktu yang sama, dan
penentuan pasti tentang hal ini bergantung dari penanggalan yang tepat atas
kompleks percandian itu. Bila dinilai dari hasil-hasil riset saya belakangan
ini tentang latar belakang Buddhis dari Loro Jonggrang, sebagaimana yang
telah disinggung di atas, maka pemahatan relief-relief Rma mesti telah
selesai sebelum tahun 855 M, tahun yang diyakini sebagai saat diusirnya
dinasti ailendra dari Jawa. Di lain pihak, penyusunan RJK terjadi sesudah
tahun tersebut, entah pada penghujung abad ke-9 atau permulaan abad ke-10
M. Penanggalan ini tampak cukup akurat berkenaan dengan bagian-bagian
yang berisikan sindiran-sindiran terselubung pada keyakinan-keyakinan
religius dari mantan raja Rakai Pikatan, 75 yang secara cemerlang berhasil
disingkapkan Aichele (1969), dan juga pada paparan terperinci tentang
kompleks percandian itu (Poerbatjaraka 1932).
Namun yang lebih penting daripada kenyataan tentang wujud tanggapan
kreatif Jawa terhadap pengaruh sastra wiracarita India dalam dua wasilah
yang berlainan adalah perbedaan suasana antara teks dan relief-relief, yang
hemat saya cuma dapat dijelaskan sebagai reaksi artistik yang bercorak
kompensatif terhadap konflik dinasti yang traumatis. 76 Bila teks RJK,
barangkali karena ejekan-ejekan metaforisnya yang tersembunyi,
mengilhami Poerbatjaraka untuk mencapnya sebagai aiva fanatik, maka
relief-relief tersebut tidak pernah memicu penilaian semacam itu.
Sebaliknya, kebanyakan pakar Jawa Kuno, kita ingat, menekankan semangat
75 Cara yang agak menghina dalamnya teks RJK berbicara tentang Rakai Pikatan, yang

menyerupakannya dengan seekor burung (pikatan) yang terpikat oleh sebutan tekukur
(biksu Buddhis), tampaknya hanya mungkin setelah mangkatnya sang raja serta
pengusiran dinasti ailendra dari Jawa.
76 Kita boleh saja mereka-reka entahkah kehadiran yang berkelanjutan dari dinasti ailendra
di Sumatra dan Kedah, di Semenanjung Malaka, bisa menjelaskan ketenaran yang lebih
besar serta pengaruh sastra Rmyan a yang lebih kuat di wilayah ini, berlawanan dengan
di Jawa di mana Mahbhrata lebih dikenal (Braginsky 1983:31-58). Bila ditafsir dalam
rangka sebuah perjuangan demi kemerdekaan nasional, konflik dinasti ini malah boleh
jadi telah terbidik dalam pemilahan analitis Braginsky antara sebuah sistem sastra
kontinental dengan Sanskerta sebagai medium bahasanya dan sebuah sistem kepulauan
Jawa Kuno yang menggunakan bahasa pribumi (Braginsky 1993:16).

134

Candi Prambanan

Buddhis dari seni hias Prambanan, teristimewa relief-reliefnya. Sambil


mengakui bahwa bagi para sejarawan seni penilaian mereka masih tetap
dipertanyakan, khususnya setelah semua yang dikatakan sesudah itu yang
mendukung corak yang diduga berlanggam Jawa Timur dari Prambanan,
maka identifikasi atas relief-relief ini niscaya akan menuntaskan persoalan.
Sayangnya, justru di sinilah pengetahuan kita tentang teks yang diduga
berfungsi sebagai sebuah model bagi relief-relief tersebut masih kurang.
Namun demikian, jika tesis saya tentang keterlibatan dinasti ailendra dalam
pembangunan Prambanan ternyata benar, maka masuk akal bila diandaikan
bahwa teks Rma yang diikuti di Prambanan mesti lebih disukai mereka
daripada RJK. Hal ini kemudian menyajikan sebuah petunjuk bahwa kita
mesti mencari teks ini dalam ranah yang sampai saat ini belum dibedah,
yakni versi-versi Buddhis dari cerita Rma.
Sejauh ini pembedahan saya dalam arah tersebut telah mendatangkan
beberapa hasil yang menjanjikan.77 Angkat misalnya penemuan Sylvain Lvi
tentang jejak-jejak sebuah kisah Rma dalam satu teks avana Cina, yang
menunjukkan bahwa pada abad ke-5 M, legenda Rma beredar di wilayahwilayah tertentu di dunia Buddhis dalam bentuk sebagaimana yang
tercermin dalam versi Ki-kia-ye (Lvi 1893:379-381; lihat juga Raghu Vira
dan Chikyo Yamamoto 1938, IV:5). Teks-teks Cina itu, antara lain
menyinggung tentang kunjungan Bharata ke hutan guna meminta Rma agar
kembali ke ibu kota supaya naik takhta menggantikan ayahnya, beserta
penerimaannya walaupun Rma cuma mengenakan kasut. Kedua adegan ini
dilukiskan di Candi iva. Serupa pula, E.B. Cowell (1901:78-82) dan S.C.
Sarkar (1990:12-13) memberi perhatian pada teks Daaratha Jtaka, yang
berisikan penggalan lain dari versi Buddhis untuk episode yang sama.
Namun oleh karena di sini perbedaan-perbedaan lebih penting daripada
kemiripan-kemiripan, maka bukti pasti tentang pengaruh teks Buddhis hanya
dapat diperoleh dari sebuah kisah Buddhis yang berisikan cerita tentang
sebuah kejadian yang tidak ditemukan dalam VR, Bhk, atau

77 Ketika perhatian saya dibetotkan oleh penuntasan naskah Frank E. Reynolds (1991) yang

melakukan kaji banding atas tradisi Rma Hindu dan tradisi Rma Buddhis, sayangnya hal
itu sudah terlalu terlambat untuk disertakan dalam buku ini. Rujukan-rujukannya pada
beberapa teks Rma Buddhis Laos, yang sebagian darinya tampaknya berasal dari abad
pertengahan, khususnya menarik untuk dikaji lebih jauh (1991:53 dan 61, catatan kaki no.
9 dan 10).

135

Roy Jordaan

dalam HSR, tetapi dipahatkan pada relief-relief Prambanan. 78 Penemuan


unik semacam itu pada saat yang sama akan menafikan kecenderungan yang
masih kuat untuk menerangkan setiap relief yang tidak dapat dijelaskan
sebagai hasil adaptasi lokal dari sebuah tradisi lisan.
Banyak dari apa yang telah dikatakan tentang metode dan masalah
identifikasi atas relief-relief Rma berlaku pula untuk relief-relief Kr ishna
di Candi Vis n u. Sebenarnya, masalah-masalah di sini lebih rumit karena
kita malah tidak mempunyai sebuah gagasan kira-kira tentang teks mana
yang diikuti para pemahat di sini. 79 Sebagian besar relief yang berhasil
diidentifikasi sejauh ini melukiskan episode-episode terkenal dari kehidupan
pemuda-perwira Kr ishna, seperti pelarian Devak dari bhuta Kamsa dan
antek-anteknya; Devak yang tengah melahirkan Kr ishna; Kr ishna dan
Balarma diikat pada sebuah tiang tahanan; dan pertempuran mereka
selanjutnya dengan segala macam musuh (lihat Van Stein Callenfels, dalam
Lulius van Goor 1919:39-42; Soenarto 1991:43-55; Fontein 1997).
Relief-relief ini semuanya ditemukan pada bagian pertama pagar
langkan, dan memuncak pada episode kematian raja bhuta Kamsa, yang
dilukiskan pada relief ke-15, dan menurut pengamatannya yang cermat
Fontein mengatakan bahwa pembagian relief-relief di sini sama persis
dengan yang berlaku pada Candi Brahm, di mana relief-relief itu berujung
(walaupun secara sementara) pada adegan pertemuan kembali yang
membahagiakan antara Rma dan St pada relief ke-15. Hal ini merupakan
bukti lebih lanjut tentang perencanaan yang saksama dalam pengaturan
relief-relief tersebut.
Sayangnya, sejauh ini belum ada satu pun dari relief-relief Kr ishna
lainnya yang berhasil diidentifikasi. Sembari mempertimbangkan persebaran
yang identik dari relief-relief tersebut pada kedua candi itu, Fontein
menduga bahwa urutan tema-tema bersepadanan secara grosso moo
dengan yang ditampilkan dalam kehidupan Kr s n a di Prambanan,
78 Sebagai satu kemungkinan contoh tentang hal ini saya hendak menyinggung bas-relief

No. XIV di Candi iva yang ditafsir Van Stein Callenfels (1922) sebagai sebuah
interpolasi [sisipan] atas satu episode terkenal dari Mahbhrata (lihat juga Stutterheim
1925:135; Kats 1925, no. xxv). Contoh lain disajikan oleh tindakan-tindakan Lava dan
Kua yang sampai sejauh ini belum berhasil diidentifikasi sebagaimana yang dipahat pada
panel XXV dan XXVI di Candi Brahm (lihat Fontein 1997:197-198).
79 Walaupun sudah menjadi kelaziman untuk menyebut relief-relief ini sebagai relief-relief
Krsnyan a, namun benarlah yang dicatat Fontein bahwa relief-relief tersebut tampaknya
sama sekali tidak menjelaskan teks Jawa Kuno yang berjudul seperti itu, yang disunting
dan diterjemahkan oleh Soewito Santoso (1986).

136

Candi Prambanan

sama seperti relief-relief pada Candi Brahm mengikuti alur cerita umum
dalam Rmyan a (Fontein 1997:200). Namun Fontein sendiri meragukan
apakah hal ini bisa menyajikan sebuah petunjuk untuk mengidentifikasi teks
asli, sama seperti ia menyangsikan hal ini berkenaan dengan episode-episode
cerita yang diabaikan oleh para pemahat. Salah satu episode yang
ketidakhadirannya tampak mencolok, tandas Fontein, adalah kisah
Govardhana, di mana Kr ishna mengangkat gunung yang bernama
Govardhana untuk memberi perlindungan kepada para penggembala dan
sapi mereka ketika Indra menurunkan hujan selama tujuh hari. Pengabaian
lainnya yang juga mencolok adalah adegan tentang Gops dan Rdh.
Tidak banyak yang dapat saya tambahkan di sini kecuali mengatakan
bahwa sama seperti menyangkut Rmyan a, pencarian secara terpisah guna
menemukan teks asli harus diperluas agar mencakup versi-versi Buddhis
dari cerita Kr ishna. Salah satu cerita Buddhis semacam itu adalah Ghata
Jtaka, di mana Vasudeva dan para saudaranya konon dikatakan adalah para
putra dari Devagabha dan Upasagara, yaitu kedua saudari dari Kamsa (lihat
Bhattacharya 1978:179). Tidak perlu ditandaskan lagi, seni pahat Buddhis
India mesti dikaji juga. Beberapa relief Kr ishna telah berhasil ditemukan di
antara puing-puing reruntuhan Candi Buddhis Phrpur, yang sudah dirujuk
sebelumnya karena kemiripannya dengan desain arsitektural Loro
Jonggrang. Anehnya, justru relief-relief ini berisikan adegan-adegan yang
secara mencolok tidak terdapat di Prambanan, seperti adegan tentang
Kr ishna dan Rdh (Bhattacharya 1978:179). Hal-hal ini membutuhkan
penyelidikan lebih lanjut agar kita bisa menentukan apakah relief-relief
Phrpur mengikuti sebuah tradisi tekstual yang berbeda atau apakah reliefrelief tersebut membuktikan adanya sebuah adopsi selektif atas unsur-unsur
sastra.80

b. Relief-relief ikonis
Di antara relief-relief yang kurang-lebih berdiri sendiri, yang saya sebut
ikonis, yang selalu mendapat paling banyak perhatian adalah lokapla
(para penjaga mata angin utama) yang dilukiskan di Candi iva. Berbagai
80 Menyangkut sebuah kesejajaran yang mungkin, saya hendak merujuk pada Fontein, yang

mengandaikan bahwa para biksu di Borobudur memberi penekanan khusus pada


kengerian neraka guna mendatangkan perbaikan rohaniah pada kaum beriman di Jawa
(Fontein 1989:72-73; lihat juga Gonda 1970:340-341).

137

Roy Jordaan

kajian yang dilakukan Tonnet (1908), Soehamir (1948:11; 1954:35), Van


Lohuizen-de Leeuw (1955), dan saya sendiri (Jordaan 1992) telah
menunjukkan bahwa dari keseluruhan 24 relief, 16 relief dimaksudkan untuk
rangkaian 8 lokapla yang menjadi muasal penamaannya sebagai
ast aikpla,
atau delapan (ast a)

dewata, yang masing-masingnya menjaga


satu titik (i) atau bagian tertentu dari angkasa. Masing-masingnya juga
digambarkan dua kali. Para lokapla ini adalah Indra (Timur), Agni
(Tenggara), Yama (Selatan), Nairr t a (Barat Daya), Varun a (Barat), Vyu
(Barat Laut), Kuvera (Utara), dan ana (Timur Laut).
Tetap ada ketidakpastian tentang identitas delapan dewata tersisa pada
panel-panel yang ada di antara para lokapla itu. Guna memuluskan sebuah
penyelesaian pasti, saya akan memberi suatu ikhtisar ringkas dari informasi
yang paling penting. Pertama-tama menyangkut pengaturannya. Panel-panel
tersebut ditempatkan sedemikian rupa untuk memisahkan ast aikpla
satu

dari yang lain sehingga menghasilkan sebuah sebaran teratur dari dua pasang
dewata pada dinding luar. Tonnet (1908) mengajukan identifikasi berikut
atas kedelapan relief yang saling bersisipan itu: 1. Br haspati, 2. Hanumn, 3.
Brahman aspati, 4. Srya, 5. Krttikeya, 6. Kma, 7. Viva karman, dan 8.
Nrada; yang bersepadanan dengan plat No. D 2 (Guru), D 5 (Rma), D 8
(Agni), D 11, D 14, D 17, D 20, dan D 23 (Brahm) dalam Groneman
(1893).
Walaupun Krom menganggap bahwa beberapa identifikasi Tonnet masih
sangat diragukan dan membutuhkan bukti-bukti lebih lanjut yang
menguatkan, namun ia tidak menjelaskan lebih jauh kekhawatirannya
kecuali mencatat bahwa tidak cukup jelas bagaimana kedelapan dewata
[ast aikpla]
disebarkan di atas ke-24 panel. Masalah-masalah tersebut

tanpa sungkan-sungkan diasalkan pada para arsitek Hindu-Jawa, yang


menurut Krom: Para perancang kuil tersebut barangkali memiliki kesulitan
tertentu yang menjelaskan mengapa terbukti mustahil untuk menemukan
sebuah sistem yang pasti menyangkut Loro Jonggrang (Krom 1923a:466467). Stutterheim juga membuat suatu pernyataan yang mendua tentang
masalah ini, yaitu bahwa di Prambanan para penjaga keempat mata angin
utama, yang tidak ditemukan di Borobudur, muncul dalam rangkaian ganda
agar dapat menuntaskan kesulitan teknis tertentu (Stutterheim sebagaimana
dikutip Verslag Congres 1939:32). Tidak jelas apa yang dirujuk Stutterheim
dengan kesulitan-kesulitan teknis dimaksud.

138

Candi Prambanan

Gambar 8. Diagram lingkaran dengan nama-nama lokapla dan para pengiring


yang belum diketahui identitasnya.

Van Lohuizen-de Leeuw yang meninjau kembali identifikasi yang dike


mukakan Tonnet dalam tulisannya tentang ast aikpla
di Jawa kuno (1955),

tampaknya juga tidak melihat adanya masalah teknis apa pun. Ia secara
meyakinkan memperagakan bahwa para arsitek benar-benar mampu
membagi ast aikpla
secara merata di atas panel-panel yang tersedia.

Menyangkut identifikasi Tonnet atas dewa-dewa yang lain, Van Lohuizen-de


Leeuw berkomentar:
Beberapa dari identifikasi ini, termasuk Srya, tidak bisa kita terima; dengan
yang lain kita setuju. Kita akan terlibat dalam sebuah pembahasan yang terlalu
panjang bila kita mengkaji kedelapan panel di sini, dan karena panel-panel
tersebut tidak secara langsung bersinggungan dengan tema kita yang sekarang,
maka kami lebih suka untuk membahasnya nanti. (Van Lohuizen-de Leeuw
1955:380.)

139

Roy Jordaan

Disesalkan bahwa Van Lohuizen tidak pernah membahasnya, sehingga


kita dibiarkan berspekulasi tentang mengapa ia yakin bahwa identitas dewadewa yang tengah dipersoalkan itu tidak termasuk dalam tema ast aikpla,

dan mengapa ia setuju dengan beberapa identifikasi Tonnet dan menolak


yang lainnya hal yang tampaknya menyiratkan bahwa dewa-dewa itu dapat
diidentifikasi secara khusus dan bahwa dewa-dewa itu tidak mesti
membentuk satu kelompok yang tertata dengan baik atau sebuah gugusan
seperti ast aikpla.

Tidak sulit memahami mengapa Van Lohuizen menolak identifikasi


Srya, walaupun saya tidak setuju dengan alasan-alasannya untuk mengenali
Srya sebagai dewa penjaga penjuru Barat Daya, yang lazimnya dikawal
oleh Nairr t a. Tempat yang lebih cocok untuk Srya, hemat saya, adalah
pada relief di atas ambang bilik Agastya, di mana Srya mendapat posisi di
antara dewa-dewa dari rang yang lebih tinggi (lihat Jordaan dan Edi
Sedyawati 1990). Apa pun persoalannya, masalah identifikasi atas dewadewa ini yang terletak pada panel-panel yang saling berselingan itu tetap tak
terpecahkan.
Tampaknya muskil untuk membuat kemajuan dengan berupaya secara
induktif mengidentifikasi masing-masing dewa tadi secara tersendiri. Jika
kita mengikuti tata cara ini, maka kita akan sampai pada pendapat Van
Lohuizen-de Leeuw, yaitu bahwa beberapa identifikasi Tonnet tidak dapat
diterima, sedangkan yang lainnya lebih masuk akal. Kesimpulan ini akan
nirmakna sejauh ia tidak berhasil menyingkapkan sifat umum atau prinsip
yang mempersatukan para dewata tadi. Tampaknya lebih masuk akal untuk
bertolak dari gagasan bahwa kedelapan sosok ini tidak dikelompokkan
bersama secara serampangan, tetapi sebaliknya membentuk sebuah
rangkaian khas, yang diguguskan bersama di tempat ini karena suatu alasan
yang khusus.
Pencarian akan bacaan ilmiah sembari mencamkan gagasan ini sejauh
ini belum berhasil menemukan kelompok tertentu yang cocok dengan para
dewata misterius ini;81 namun hal itu telah membuat saya semakin
81 Lokesh Chandra, yang memperhatikan bahwa terdapat 12 Deva atau Juni-ten di Jepang,

menduga bahwa ke-24 ikpla di Prambanan bisa jadi adalah ke-12 Deva tersebut, yang
masing-masingnya memiliki dua variasi. Lebih jauh ia menduga bahwa kemungkinan
lain sekali lagi disajikan oleh tradisi Jepang, di mana masing-masing ikpla ditemani
oleh dua pengiring (8x3=24). Keseluruhan persoalan perlu dibuka kembali dan secara
saksama dibandingkan dengan lukisan-lukisan Jepang [...] (1989:xiv). Sambil
mencamkan kemungkinan penggabungan Loro Jonggrang ke dalam Dharmahtu
vagisvaraman ala, tampaknya layak dibuat sebuah kaji banding atas relief-relief pada kuil
induk Candi Sewu guna melihat apakah di sana dilukiskan pula kelompok delapan

140

Candi Prambanan

menyadari dengan sepenuhnya tentang kegemaran para arsitek Prambanan


akan angka delapan dan perkaliannya (lihat Bagian 8). Untuk saat ini,
penemuan yang mencolok ini tidak dapat dijelaskan, namun barangkali
berguna dalam menentukan sekte aiva (dan aliran seni) manakah yang
mengilhami rancangan kompleks percandian ini, dan pengetahuan
tentangnya barangkali bisa berujung pada identifikasi tentang gama atau
teks Tantrik yang kita butuhkan untuk memecahkan masalah tentang reliefrelief yang belum bisa diidentifikasi itu.
Dalam posisi yang bersepadanan dengan letak lokapla pada Candi
iva, kita menemukan di Candi Brahm serangkaian relief yang meng
gambarkan sosok-sosok berjanggut seperti pedanda, yang disebut Bosch
sebagai rs i (pelihat), yang tengah mengitari Dewa Brahm (lihat tulisan
Bosch dalam buku ini). Panel-panel yang sejajar pada Candi Vis n u, yang
masing-masingnya menunjukkan seorang dewa lelaki yang diapit dua
perempuan, belum dapat diidentifikasi.
Berkenaan dengan relief-relief pada kedua candi apit, kita tidak bisa
berbuat lain kecuali mencatat kurangnya informasi serupa. Menarik pula
untuk diingat oposisi simbolis di antara relief-relief ini: bila candi di sebelah
selatan dihiasi dengan relief-relief yang secara eksklusif memperlihatkan
dewi-dewi, maka yang sebaliknya berlaku untuk candi di sebelah utara
(darinya cuma tersisa tiga relief dewa-dewa yang berada dalam keadaan
rusak parah).
Bila kini kita melangkah ke bagian luar dari kaki pertama Candi iva, maka
mula pertama kita menjumpai relief-relief yang mencitrakan sosok-sosok
gemulai para penari dan pemusik di bagian luar pagar langkan, yang
sebagaimana telah dikatakan sebelumnya bisa jadi melukiskan gerakan-gerakan
dari tarian Tn ava.
Saya cuma tahu serba sedikit tentang tarian serta koreografi

India dan Jawa untuk menentukan apakah Tn ava


benar-benar berfungsi

sebagai sebuah model pandu di sini. Namun sehubungan dengan keterlibatan


dinasti ailendra dalam pembangunan Prambanan saya ingin mengingatkan para
pembaca budiman akan kata-kata Wayman (1987:472), yaitu bahwa banyak
sikap tangan dan pijakan kaki dari praktik Tantrik
dewa, yang boleh jadi menampilkan padanan Buddhis dari kelompok sama yang
ditemukan di Loro Jonggrang. Baru-baru ini, dikemukakan bahwa relief-relief pada sisisisi dari masing-masing keempat tangga pada kuil induk Candi Sewu boleh jadi
menampilkan delapan raja Yaks a, yang dikenal sebagai Mahyaks asenadhipatis (Anom
1992:62; lihat juga Bhattacharya 1958:380).

141

142
Foto 10. Salah satu lokapla beserta para pendampingnya yang belum diketahui identitasnya. (Foto oleh Mark Long.)

Candi Prambanan

Buddhis juga ditemukan dalam tarian India. Kata-kata ini bisa menjelaskan
dengan baik kenyataan bahwa keseluruhan jumlah karan a (gaya atau sikap
tari) dalam tarian iva yang disebut Tn ava
adalah sebanyak 108 [...].

Dalam ikonografi Buddhis Tantrik, kelompok penjelmaan Avalokitevara


[juga] diketahui berjumlah 108 (Edi Sedyawati 1994:170, catatan kaki no.
29). Menurut Liebert (1976:294) tarian ini juga khas Vajradhara. Sama
seperti menyangkut relief-relief Rma dan Vis n u, telaah tentang teks-teks
Tantrik Buddhis bisa menghasilkan data yang berguna untuk memecahkan
beberapa masalah rumit yang berkenaan dengan identifikasi.
Masih tetap diragukan apakah urutan penempatan kembali panel-panel
tersebut seluruhnya sudah tepat, sebab arkeolog Belanda pertama yang terlibat
dalam pemugaran tempat suci ini dicela dalam hal ini. Salah satu laporan
tahunan dari Dinas Purbakala Hindia Belanda (Ouheikunig Verslag 1937:6)
mengamati bahwa riset tersendiri menyangkut makna dan susunan relief-relief
ini memberi kejelasan bahwa sesungguhnya mesti ada suatu sistem yang
melandasi pengaturan relief-relief tersebut beserta hakikatnya, dan bahwa
susunan yang diamati pada masa itu sedemikian tidak sempurnanya sehingga
dijadikan alasan untuk melucuti pagar langkan sebelum pemugaran candi itu
dilanjutkan. Namun dalam laporan tahun berikutnya (Ouheikunig Verslag
1938:7) disebutkan bahwa upaya ter sebut ternyata gagal, rupanya tanpa
menunda lebih lanjut pemugaran candi itu sendiri. Tidak lama setelah Perang
Dunia II, Bernet Kempers sekali lagi menyinggung tentang panel-panel tarian
tersebut dalam sebuah catatan sing kat dalam laporan tahunan Dinas Purbakala
(Ouheikunig Verslag 1948:25-27), yang mengingat pentingnya saya kutip
sepenuhnya di bawah ini:
Percobaan pembangunan kembali yang tengah dilaksanakan dengan maksud
mengganti permukaan bagian luar pagar langkan di Candi iva dengan panelpanel tarian dan kelompok-kelompok apsara-viyhara harus dibongkar sekali
lagi karena ternyata bahwa pemugaran tersebut penuh dengan kekeliruan. Demi
kepentingan sebuah kaji banding, satu upaya telah dilakukan untuk
menuntaskan adegan-adegan tari pada bagian luar pagar langkan dari kuil induk
di Candi Sewu. Dalam upaya yang terakhir ini, terbukti ada kemungkinan
untuk menaruh kembali banyak batu pada tempatnya yang sebenarnya.
Gambar-gambar dari adegan-adegan ini sudah dibuat. Sebagaimana halnya
dengan Candi iva, di sini pun para penarinya semuanya laki-laki.

143

Roy Jordaan

Berbeda dengan Candi iva, di mana hampir semua panel menunjukkan


tiga sosok entah yang sedang menari atau memainkan musik, panel-panel yang
diperpanjang di Candi Sewu ini (empat pada masing-masing sisi, sehingga
seluruhnya 16 panel) menggambarkan lima sosok penari. Adegannya bercorak
pesta pora mabuk-mabukan. Ada beberapa lelaki berusia lanjut yang sedang
menari sambil menuangkan tuak dari tempayan anggur dan meminum dari
bejana-bejana panjang, yang mengingatkan kita pada bejana-bejana perunggu
panjang yang disimpan di kantor Dinas Purbakala di Prambanan.
Sebuah potongan ditemukan dari panel-panel yang hilang dari keseluruhan
70 kelompok apsara-viyhara yang bertentangan dengan skema pengaturan
sebagaimana yang didalilkan Van Erp. Alhasil, sistem ini, yang sebelumnya
sudah ditolak juga oleh De Haan tidak dipertimbangkan lagi dalam pemugaran
pagar langkan. Dari 62 panel, 21 berhasil dikembalikan ke tempatnya dengan
kepastian mutlak. Dalam upaya ini, foto-foto, termasuk yang diambil
Groneman, memainkan fungsi yang tiada berbanding, asalkan foto-foto itu
digunakan secara arif. Sebuah lokasi yang masuk akal dicari untuk panel-panel
yang tersisa, walaupun seluruhnya mengikuti data arsitektural belaka. Artinya
apa yang dicari itu adalah sendi-sendi yang cocok satu sama lain serta
kesinambungan dari relief-relief atau hiasan-hiasan. Menyangkut yang terakhir
tadi, cuma terdapat bingkai hias yang mesti diikuti, namun ternyata itulah yang
menyajikan satu-satunya petunjuk yang andal bila panel-panel tarian hilang.
Namun demikian, dengan bersandar pada [kesinambungan] relief-relief dan
hiasan, maka cuma ada kemungkinan untuk mencocokkan panel-panel tarian
dengan batu-batu yang berdekatan (dengan pilaster-pilaster dan relung-relung
dari kelompok-kelompok apsara-viyhara), sedangkan penempatan panelpanel tarian pada lapik-lapiknya tetap bermasalah. Pemotongan berbagai pasak
dan bagian yang menonjol oleh para pemugar awal mendatangkan kesulitankesulitan yang hampir tidak bisa diatasi. Itulah alasannya mengapa mesti dicari
metode-metode lain, yakni mengamati petunjuk-petunjuk arsitektural. Di sini
hipotesis-hipotesis berikut digunakan sebagai titik tolak:
1. Relung-relung dari kelompok-kelompok apsara-viyhara mesti setangkup
(simetris), yang berarti bahwa pilaster-pilaster yang berada di sisi kanan dan
kirinya mesti sama persis.
2. Hiasan-hiasan mesti berkesinambungan. Dengan kata lain, pilaster-pilaster
yang unsur-unsurnya berbeda dari yang lazim mesti seluruhnya terdapat pada
bagian muka yang sama, sebab para pemahat pasti melihat ke kiri dan ke kanan
untuk memeriksa apakah pilaster-pilaster yang tengah mereka bangun cocok
satu sama lain.

144

Candi Prambanan

Hanya dalam beberapa kasus khusus niscaya digunakan hipotesis kedua.


Sebagai pemeriksaan terakhir, tafsiran atas adegan-adegan tari barangkali
penting. Tak diragukan lagi bahwa apa yang dilukiskan di sini adalah tarian
Tn ava
iva. Aturan-aturan tarian ini dicatat dalam karya agung yang

membahas dramaturgi India yang ditulis oleh Bharata, yaitu Ntyastra.


Bab

keempat dari karya ini, yang berjudul Tn avalaks


an

a, berisikan sebuah uraian


terperinci tentang Tn ava.
Unsur-unsur tarian ini terdiri atas apa yang dikenal

dengan karan a, yakni penyerasian sikap-sikap tubuh tertentu (apa yang disebut
sebagai an ga) dan tungkai berikut lengan serta bagian-bagian tubuh lainnya
(apa yang disebut sebagai upn ga), yang bisa kita rujuk sebagai sikap-sikap tari
atau wujud-wujud tari. Terdapat 108 karan a, yang masing-masingnya memiliki
nama tersendiri. Ke-108 sikap tari itu, yang beberapa di antaranya dianggap
sebagai gaya kegemaran iva, dipahat pada dinding-dinding bagian dalam
gapura Candi Nat arja di Chidambaram.82 Berdasarkan bait-bait syair yang
dipahatkan pada bagian bawah panel-panel ini, yang dikutip dari bab keempat
Ntyastra
tadi, terbukalah kemungkinan untuk menemukan nama-nama

posisi tari tersebut (Maras Epigraphists Annual Report 1913-1914). Ternyata


bahwa banyak sosok yang sedang menari yang digambarkan di Candi iva
dipahat dalam sikap perawakan badan yang bisa diidentifikasi dengan salah
satu karan a tadi. Yang lain berbeda sedikit dari karan a tertentu. Seakan-akan
kita sedang diperhadapkan pada sebuah peralihan dari satu karan a ke karan a
lain, dengan kata lain dengan tarian yang sedang dipentaskan. Ntyastra
tadi

juga menguraikan 32 kelas/gugus karan a, yang disebut agahra, yaitu


masing-masing karan a mesti dipentaskan dalam satu urutan tertentu. Jadi,
sebuah agahra adalah apa yang disebut sebagai motif tari. Berdasarkan
jumlah panel-panel tarian pada Candi iva (62 buah, dan karenanya bila kita
juga memperhitungkan dua panel yang dibayangkan berada di candi-candi apit
pada gapura di sisi timur, 64 buah = 2x32), maka saya menduga bahwa adeganadegan ini dapat diserupakan dengan berbagai agahra tadi. Ini berarti bahwa
terdapat dua panel untuk mencitrakan setiap agahra. Gagasannya ialah
membagi ke-32 agahra tadi menjadi empat buah di setiap alun-alun di mana
tampak jelas
82

Berkait dengan hal ini Bernet Kempers mencatat bahwa: Teks dari bab empat Bharata
Nt yastra telah diterbitkan dengan sebuah terjemahan dan banyak sekali catatan oleh B.
Venkata Narayanaswami Naidu, P. Srinivasulu Naidu dan O. Venkata Rangayya Pantulu
dengan judul Tn ava Laksan am or The Funamentals of Ancient Hinu Dancing,
Madras 1936. Foto-foto Candi Nat arja dan adegan-adegan tari yang dipahatkan pada
gapura-gapuranya juga ditemukan dalam buku ini, bersama dengan sebuah ikhtisar dari
laporan pakar epigrafi Madras tahun 1913-1914. Reproduksi berbagai prasasti dan ukiran
kayu dari panel-panel tarian yang diterbitkan bersama laporan ini juga ada dalam buku
tersebut.

145

Roy Jordaan

bahwa pagar langkan tersebut dibagi oleh empat gapura. Di alun-alun sebelah
timur laut rata-rata terdapat satu panel untuk setiap agahra, oleh karena
banyak panel di sini ditempati oleh para pemusik. Biasanya pemeriksaan yang
dianjurkan sama sekali tidak mudah dilaksanakan karena satu agahra terdiri
atas banyak karan a, dan banyak dari karan a tersebut diulang kembali lebih dari
satu kali pada satu agahra, yang berarti bahwa sangat boleh jadi untuk setiap
adegan tari mesti dicocokkan dengan sejumlah agahra yang dianjurkan.
Dengan menggunakan metode ini, setelah rekonstruksi (arsitektural),
terbukalah kemungkinan untuk menempatkan semua panel tari berdasarkan
urutan yang ditetapkan praaksin
dalam susunan tepat dari ke-32 agahra
(tentu saja muskil bahwa karan a dari setiap agahra dicitrakan pada dua
panel), dengan kekecualian satu panel tunggal di alun-alun sebelah timur laut.
Barangkali hal ini terjadi karena salah penempatan, walaupun suatu
penempatan yang lebih baik berdasarkan data arsitektural tidaklah mungkin
sementara ini. Kenyataan bahwa penempatan panel-panel tersebut benar-benar
cocok dengan sistem tentu saja penting artinya. Walaupun penempatan panelpanel yang tersisa boleh jadi tidak pasti secara mutlak, namun peluang-peluang
bahwa pada akhirnya akan begitulah yang terjadi bisa ditaksir tinggi.
Pertanggungjawaban penuh atas rekonstruksi ini akan disajikan pada waktunya
oleh Bapak Samingun.83

Sepengetahuan saya, hanya arkeolog terkemuka Indonesia, Edi Sedyawati,


yang sejak itu telah memusatkan perhatiannya pada berbagai aspek dari
persoalan tersebut (1973, 1981, 1993).84 Karena tidak adanya informasi yang
lebih terperinci menyangkut tarian dan koreografi di istana dan candi Jawa
Tengah kuno, maka saya mesti membiarkan masalah itu sebagaimana
adanya.
Sedikit lebih jauh ke bawah pada dinding sebelah luar candi kita
menemukan relief-relief berupa singa-singa kecil yang tak terbilang
jumlahnya yang diapit oleh amat banyak pohon kalpataru yang bertatahkan
mutiara dan dengan burung-burung pada tajuknya. Di sebelah-menyebelah
83 Saya tidak berhasil menemukan informasi tentang penerbitan pertanggungjawaban
tersebut yang barangkali masih tersimpan dalam arsip Belanda atau Indonesia.
84 Profesor Edi Sedyawati konon juga mengkaji persoalan tentang susunan yang tepat dari
adegan-adegan tari Tan d ava dalam tesis MA-nya yang tidak diterbitkan pada Universitas
Indonesia (perbincangan pribadi dengan Profesor Boechari). Sayangnya, saya tidak
berhasil memperoleh salinan dari telaahnya ini, sebagaimana pula dengan beberapa
makalahnya yang terkait (Edi Sedyawati 1973, 1986), dan cuma bisa melaporkan adanya
kajian-kajian tersebut.

146

Candi Prambanan

batangnya terdapat aneka rupa binatang, seperti kelinci, kera atau angsa,
namun lebih sering berupa kinnara, yaitu makhluk kayangan yang memiliki
badan separuh manusia dan separuh binatang. Van Erp menganggap reliefrelief ini sedemikian khas bagi candi ini sehingga ia merujuk motifnya
sebagai motif Prambanan. Karena penjelasannya yang begitu persisi, saya
akan mengutip deskripsi terperinci Krom tentang ciri khas dari hiasan bagian
luar di bawah ini.
[Motif tersebut] berupa sebuah relung penampil dengan seekor singa yang
tampil ganas di antara dua panel yang berisikan sebuah pohon yang elok di
antara dua kinnara atau dua binatang. Singa-singa itu dilukiskan secara utuh
dalam posisi berdiri sebagai unsur-unsur terpisah di relung terbuka, yang diapit
sebuah hiasan makara yang bersandar pada pahatan batu memanjang berbentuk
mawar. Pita-pita yang muncul di atas makara bertemu pada hiasan penampil
relung, yang pada bagian tengahnya dihiasi dengan sebuah kepala kla yang
stilistik, dari kedua belah sisi muncul sebuah motif pilin yang melengkung ke
bawah dan ke dalam, yang menggambarkan sepasang makara yang memutar ke
dalam. Pada kedua belah sisinya terdapat satu pola serupa dengan garis-garis
yang memutar ke luar yang menggantikan rangkaian kedua dari kepala-kepala
makara. Dari bagian yang menggambarkan kepala kla, menggelantung sebuah
genta. Pohon-pohon yang berada dalam panel-panel berbingkai sederhana di
samping relung dinaungi oleh sebuah payung kecil pelindung matahari dan
muncul dari dalam sebuah jambangan bunga besar yang indah. Kenyataan ini,
dan juga perlakuan secara keseluruhan atas subjek tersebut sebagai buket,
lengkap dengan bunga-bunga teratai dalam empat tahap pemekaran yang
berbeda, bisa saja mendorong kita untuk berpikir tentang tata bunga, namun
karena kenyataan bahwa kadang kala seekor burung hinggap di dahandahannya, maka hal itu cenderung menyiratkan sebuah pohon. Burung-burung
kecil yang sedang beterbangan juga digambarkan di sudut-sudut bagian atas.
Sosok-sosok di kedua belah sisi batang pohon itu adalah kinnara lebih
disukai yang satu jantan dan yang lain betina namun juga segala macam
binatang, seperti kijang, merak, biri-biri jantan, kelinci, kera, angsa, dan
burung-burung lainnya. Sebuah setrip vertikal sempit menutupi keseluruhan
motif pada kedua belah sisi, di sampingnya terdapat sebuah setrip datar dan
luas yang diapit dua buah pilaster pahatan yang berdiri bebas memisahkan satu
kelompok relung terdiri atas singa dan tiga panel dari kelompok yang lain.
Kenyataan bahwa pemisahan ini mendapat penekanan tambahan oleh adanya
sebuah setrip atas dan bawah harus dicatat bahwa

147

148
Foto 11a dan 11b. Adegan-adegan tarian Tn ava.
(Foto OD nomor 8494 dan foto OD nomor 8487.)

Candi Prambanan

setrip itu dibiarkan seluruhnya rata yang ditonjolkan oleh hiasan-hiasan


berbentuk simbar miniatur, dan di atas setrip-setrip datar itu sendiri oleh
hiasan-hiasan berbentuk sebuah bingkai tambahan mungil berisikan satu hiasan
persegi panjang yang dilengkapi dengan sebuah batas pinggiran atas dan batas
pinggiran bawah. Dengan cara ini setrip-setrip datar tersebut beserta tekanan
dekoratifnya menghasilkan sudut yang cocok, baik pada sudut-sudut
sebenarnya maupun sudut-sudut dari bagian-bagian yang menonjol.
Dalam citraan pohon-pohon tersebut khususnya, motif yang dipahat di sini,
yang berulang pada keseluruhan enam candi besar, menyajikan cakupan yang
tak terbatas untuk rupa-rupa hiasan tambahan dalam segala perinciannya; di
antara beratus-ratus panel, yang pada dasarnya serupa, tidaklah mudah
menunjukkan dua panel yang hampir sama. Perhatian paling banyak dicurahkan
pada motif-motif candi induk, misalnya kaki-kaki jambangan dilingkari oleh
pasu-pasu yang lebih kecil, dan pada latar belakangnya diimbuh dengan bunga
serta untaian temali. Dalam pembagian binatang-binatang yang mengapit
pohon tadi terdapat persoalan menyangkut simetri pada satu kasus saja.
Pasangan kinnara paling sering ditemukan pada ketiga candi besar. Tidaklah
mungkin untuk membuat pemilahan menyangkut titik-titik perbedaan dalam
kajian tentang motif Prambanan ini di bangunan-bangunan berbeda dalam
hal-hal yang lainnya juga. Sebagai contoh, pada ketiga candi besar, makara
pada bingkai relung-relung singa mempertahankan satu sosok binatang tertentu,
sedangkan pada candi-candi lain makara itu berbentuk gulungan daun,
sementara itu pada hiasan relung-relung ini hanya makara pada Candi Brahm
dan Candi Vis n u yang digambarkan dalam bentuk-bentuk binatang, dan
makara-makara pada kelima candi lainnya diberi gaya berupa gulungan.
Ketika mengkaji relung-relung singa tersebut, kita mesti juga mem
perhitungkan candi-candi tambahan kecil, yang juga memperagakan hiasan ini,
walaupun tanpa tiga panel, sedangkan sebaliknya dalam kasus Candi Brahm
dan Candi Vis n u bagian-bagian yang berukuran menengah pada berbagai
sudut dan sisi dari bagian-bagian yang menjorok cuma memiliki panel di antara
pilaster-pilaster. Di deretan bertingkat sebelah barat, singa-singa itu dilukiskan
sebagai sosok-sosok yang berdiri bebas, namun pada deretan bertingkat sebelah
timur singa-singa tersebut dipahat dalam satu potongan bersama dengan
bingkainya. Sekali lagi, pada candi-candi apit, kaki-kaki sebelah belakang,
yang tidak terlihat di tempat lain dipahat dengan gaya yang agak kekanakkanakan, berdampingan dengan kaki-kaki depannya. Variasi-variasi semacam
ini dapat juga diamati pada karangan-karangan bunga dari bingkai penyangga,
yang dalam kasus Candi Brahm dan Candi

149

150
Foto 12. Motif Prambanan. (Foto oleh Mark Long.)

Candi Prambanan

Vis n u berupa burung kakatua, sedangkan semua yang lain berupa pahatanpahatan batu berbentuk teratai. Pada candi apit sebelah utara bingkai-bingkai
penyangga itu semuanya dibiarkan kosong tanpa hiasan apa pun. (Krom
1923a, I:454-456.)

Tidak tepat malah menyesatkan bila kita menafsir motif-motif Prambanan


melulu sebagai hiasan pengelok. Sebaliknya, sebagaimana yang gamblang
dari perbandingan yang dibuat Stutterheim antara Loro Jonggrang dan
Gunung Meru, motif-motif tersebut mesti dilihat sebagai simbol-simbol
yang tepat untuk Gunung Kosmos. Lebih dari itu, motif-motif tersebut harus
menjadi simbol-simbol yang berhasil secara fungsional:
Setiap candi kuno harus menjadi tiruan Gunung Buana (Meru atau Kailsa)
guna memberi peluang bagi sang pedanda untuk memanggil iva agar sudi
turun ke atas candi atau Meru-buatan itu. Alhasil, arsitektur dan hiasan setiap
candi harus meniru penampilan Gunung Buana itu sedekat mungkin. (Van
Lohuizen-de Leeuw 1957:41.)

Akhirnya, berkaitan dengan candi sebagai penjelmaan gunung para dewata


(Meru), satu lagi pertanyaan perlu diajukan, yakni apakah Prambanan
aslinya dicat. Ini bukanlah pertama kalinya pertanyaan ini diajukan. Van Erp
(1909:170) dan Krom (1923a:475) sebelumnya pernah menyinggung bahwa
bekas-bekas warna tampak samar-samar dan pudar pada bilik utama Candi
iva. Oleh karena pentingnya masalah ini maka saya akan mengedepankan
semua bukti yang tersedia.
Pertama-tama, Van Erp (1909:170) mengamati bahwa sama seperti
gapura-gapura demikian pula dinding-dinding pada bilik utama Candi iva
juga didandani dengan hiasan-hiasan datar yang memiliki dua desain
berbeda, yakni hiasan motif flora berbentuk cakra dan hiasan berupa
trilacakra, yang keduanya terlihat pada dinding-dinding bagian luar dari
kuil induk di Candi Sewu. Ia selanjutnya menyinggung bahwa, dalam
hiasan pada dinding, bekas-bekas masih dapat ditemukan dari sebuah lapisan
kuno plester berwarna cokelat kemerah-merahan, yang khususnya dapat
diamati setelah turunnya hujan. Krom (1923a:475) menandaskan dalam
kata-kata yang hampir sama, yaitu bahwa di sana-sini terdapat bekas-bekas
yang dengan jelas menunjukkan sebuah jejak lapisan plester

151

Roy Jordaan

berwarna merah kecokelatan, dan bayang-bayangnya yang hangat jelas


kelihatan setelah diguyur hujan.
Kedua pengamatan ini memicu penelitian yang lebih saksama oleh
Dinas Purbakala, sebagaimana yang terekam dalam Ouheikunig Verslag
yang terbit tahun 1927. Dalam laporan tersebut Stutterheim menulis:
Di Prambanan, teori bahwa permukaan-permukaan batu di kompleks
bangunan tersebut dahulunya dicat warna-warni sekali lagi menjadi sasaran
penelitian sangat saksama yang dilakukan oleh Tn. De Haan dan yang bertanda
tangan di bawah ini. Tempat utama di mana kehadiran lapisan cat itu dicatat di
masa lampau, yaitu dinding-dinding pada bilik utama Candi iva, harus
diabaikan di sini karena tidak lagi mungkin untuk menentukan apakah warna
kuning yang di sana-sini menutupi motif kertas tempel adalah bekas dari satu
lapisan cat kuno atau dari lapisan boreh (kuning tua) yang lebih belakangan
yang dioleskan pada dinding-dinding guna memudahkan pengambilan foto.
Menyangkut sudut fondasi sebelah tenggara, dan lebih khusus lagi singa-singa
kecil dalam posisi duduk di relung-relung candi induk, di mana kebanyakan
lapisan luar batu kuno itu masih utuh, terdapat lima situasi berbeda yang mesti
diamati:
1. semua bekas dari lapisan penutup telah hilang dan cuma terlihat batu polos;
2. sebuah lapisan tipis krem berupa plester/lepa dan unsur yang mirip batu tahu
(gipsum) yang sangat halus pernah dioleskan pada batu polos tersebut;
3. batu itu ditutupi oleh satu lapisan tipis berwarna cokelat kemerah-merahan;
4. urutan: batu lapisan plester berwarna cokelat;
5. urutan: batu plester lapisan berwarna cokelat plester.
Nyata bahwa lapisan lepa berwarna merah yang jelas kelihatan apabila lapisan
plester berwarna putih menghilang, bukan, sebagaimana yang selalu disangka,
satu lapisan cat, melainkan hanya diolesi pada batu untuk merekat plester.
Boleh jadi bahwa plester ini pada gilirannya berfungsi sebagai dasar untuk
lapisan cat (berwarna-warni?); namun tak secuil pun bekas dapat ditemukan
tentangnya. Oleh karena itu, tampaknya sangat boleh jadi bagi kita bahwa candi
ini dalam keadaan aslinya berwarna putih cemerlang, dan bahwa terdapat suatu
kontras yang lebih tajam antara bagian terang dan bagian remang-remang
daripada yang dapat diciptakan oleh bahan abu-abu tua yang kini kelihatan.
Apakah lapisan plester cuma berfungsi untuk memberi pada struktur itu
keindahan tambahan atau apakah plester itu digunakan sebagai

152

Candi Prambanan

pelindung melawan kerusakan atas bahan yang mudah keropos karena


perubahan iklim tentu saja tidak dapat ditentukan sekarang. Kami hanya ingin
menarik perhatian para rekan sejawat kami tentang kemungkinan bahwa suatu
perbandingan menyangkut perawatan terhadap permukaan batu di candi-candi
lain di Jawa Tengah barangkali bisa memberi petunjuk tentang penanggalan
atau sekurang-kurangnya klasifikasi bangunan bersangkutan. Kita pasti
terkesan oleh kenyataan bahwa misalnya di Candi Sewu dipakai lapisan plester
yang sama (dari jenis butiran yang lebih kasar) seperti di Candi Prambanan,
sedangkan di Candi Kalasan dan Candi Sari, dengan lapisan lepa batu tahu
yang kasar setebal beberapa sentimeter, dipakai sebuah teknik yang sama sekali
berbeda. (Ouheikunig Verslag 1927:11-12.)

Warna putih cemerlang candi itu niscaya membuatnya tampak megah.


Bagaimanapun juga, gagasan itu tampak sangat sepadan dengan pelukisan
seperti kegemerlapan, kemasyhuran, kecemerlangan, atau kemampuan untuk
memudarkan matahari dalam banyak teks kanonik, demikian menurut I.W.
Mabbett (1982:3). Meskipun begitu, saya tidak yakin apakah pernyataan
Stutterheim tentang tidak adanya bekas apa pun dari warna lain yang mana
pun memang absah.85 Sejauh menyangkut bilik utama, tampaknya masuk akal
untuk mengandaikan bahwa Van Erp dan Krom sangat mampu untuk
membedakan bahan kuning tua yang digunakan untuk pengambilan foto dengan
warna cokelat kemerah-merahan dari lapisan plester.
Tambahan pula, sulitlah untuk menentukan secara persis foto-foto
manakah yang dirujuk di sini. Terkaan yang paling wajar adalah foto-foto
yang dipesan Groneman (1893) dari fotografer Jawa, Kassian Cephas.
Mengingat begitu banyaknya foto yang diambil atas relief-relief tersebut
maka kita boleh mereka-reka seberapa banyak boreh yang telah digunakan,
dan apakah cukup banyak yang tersisa pada dinding-dinding bilik. Saya
sendiri tidak mengetahui satu pun foto-foto jarak dekat yang diambil Kassian
Chepas terhadap bagian dalam candi.
85 Dalam kunjungan-kunjungan terdahulu ke Candi iva saya heran melihat bekas-bekas

warna pudar pada beberapa batu di atas panel-panel dari beberapa arca pengawal yang
ditempatkan di mata angin utama. Sebagai contoh, pada D 10, yaitu Nairr ta, saya
mengamati adanya bekas-bekas berwarna merah/kekuning-kuningan, pada D 12 tampak
ada sisa-sisa warna kemerah-merahan di belakang para pembantu Varun a, dan pada D 13,
latar di balik Varun a tampaknya berwarna kemerah-merahan sedangkan ular tampaknya
bersinar kuning pudar. Pengamatan-pengamatan ini mendorong saya untuk bertanya-tanya
apakah sosok lokapla Nairr ta, yang dilukiskan sebagai seorang dewa mengerikan
berkulit legam barangkali aslinya memang dicat (lihat Jordaan 1992:65).

153

Roy Jordaan

Barangkali informasi tambahan bisa dikumpulkan tentang persoalan ini


dari teks-teks kuno dan melalui perbandingan timbal balik dengan candicandi Jawa dan candi-candi bukan Jawa. Walaupun prasasti Loro Jonggrang
cuma berbicara tentang candi itu sebagai kediaman yang indah untuk sang
dewa, dan bersifat kemuliaan dewata, namun berbagai puji-pujian yang
digunakan dalam deskripsi yang sudah disinggung sebelumnya dalam
Rmyan a, yang merujuk pada benda-benda semisal kristal, mutiara dan
bebatuan hitam berharga, juga tidak memberi banyak informasi bagi kita
untuk melangkah lebih jauh. Berlawanan dengan ini, terdapat informasi dari
Mabbett (1982:8) bahwa banyak sumber menandaskan sisi-sisi Meru
diwarnai sebagai cara untuk menunjukkan pentingnya mata angin utama.
Sejauh menyangkut persamaan timbal balik di antara candi-candi di
Jawa Tengah, maka sebuah perbandingan antara Candi Loro Jonggrang dan
Candi Sewu tampaknya secara khusus cukup masuk akal dan pasti akan
membawa hasil. Mencolok bahwa corak-corak hiasan serta warna cokelat
kemerah-merahan dari bilik utama dapat ditambahkan pada daftar banyak
kemiripan yang sudah tercatat di antara kedua tempat suci ini. Saya bisa
melakukan hal ini berdasarkan hasil-hasil dari riset Indonesia terkini tentang
bilik utama kuil di Candi Sewu, yang sudah saya rujuk sebelumnya
sehubungan dengan pergantian arca Majur oleh arca Vairocana. Kutipan
terkait dari laporan arkeologis Indonesia tersebut antara lain berbunyi:
Menarik perhatian bahwa inti bangunan induk Candi Sewu terbuat dari bata
merah, sedangkan candinya sendiri seluruhnya dibangun dengan batu andesit.
Pemilihan bata sebagai inti bangunan tentu bukan tanpa kesengajaan. Hal ini
pasti dilandasi oleh suatu konsep keagamaan tertentu. Konsep yang dapat
dihubungkan dengan bata merah yaitu berkaitan dengan arti candi sebagai
simbol prakrti yaitu kosmos yang menjadi asal-muasal segala sesuatu yang
bersifat kebendaan. Seperti diketahui bahwa dari prakrti muncul lima anasir
kasar (pancamahabuta) yang terdiri atas ether atau ruang (akasa), hawa (wayu),
api (agni), air (apah) dan bumi atau tanah (prthiwi). Kelima anasir kasar inilah
yang dipercaya sebagai unsur utama dari segala sesuatu yang bersifat
kebendaan (Hadiwiyono 1979:67). Batu bata pada hakikatnya mengandung
dalam dirinya kelima anasir kasar. Hal ini dapat ditunjukkan melalui anasiranasir alam yang terlibat dalam pembuatannya yaitu tanah, air, api, angin/hawa,
dan ether. Dengan demikian pemilihan bata sebagai lambang prakrti sangat
tepat. [...] Dengan inti yang melambangkan prakrti,

154

Candi Prambanan

pembangunan candi telah berpijak pada landasan yang kokoh menurut konsep
keagamaan yang berlaku. Candi yang dibuat dengan cara ini telah memenuhi
syarat sebagai tempat bersemayamnya purusa (dewa) yaitu azas kejiwaan alam
semesta. (Anom 1992:75.)

Sembari membiarkan penilaian menyangkut penjelasan yang bercorak


filosofis-agamawi ini pada peneliti lain, saya cuma ingin menambahkan
bahwa bilik-bilik pada kuil-kuil utama di Candi Sewu dan Candi Loro
Jonggrang dua-duanya berbeda dalam hal hiasan, warna merah yang meronai
dinding-dinding keduanya, beserta kurangnya pencahayaan keduanya, dari
bilik-bilik lain yang memiliki dinding-dinding sederhana tanpa hiasan yang
dilengkapi dengan beberapa batu penampil sebagai tempat untuk menaruh
dian. Perbedaan-perbedaan yang sistematis ini sekali lagi merupakan bukti
adanya perencanaan sangat cermat yang berlaku atas pembangunan candicandi di dataran Prambanan.

11. Beberapa kesimpulan umum


Dengan penggeseran mundur penanggalan berdirinya Candi Loro Jonggrang
dari pertengahan abad ke-9 ke waktu yang belum ditentukan pada abad ke-8,
saya tidak bisa berbuat lain daripada menganjurkan sejumlah perubahan
terhadap teori-teori yang lazim sekarang ini mengenai candi tersebut beserta
kondisi-kondisi sosial-politik yang melatari pembangunannya.
Pertama, teori yang diterima selama ini yaitu bahwa para pembangun
bermaksud menjadikan kompleks percandian di Prambanan sebagai saingan
Borobudur ditolak oleh penanggalan baru tersebut. Penanggalan berdirinya
Loro Jonggrang kini dilihat berdekatan dengan waktu berdirinya Borobudur,
dan juga dengan sejumlah candi Buddhis lainnya yang tidak jauh dari
Prambanan, semisal Sewu, Plaosan, dan Sojiwan. Alih-alih menjadi sebuah
monumen saingan, Loro Jonggrang sangat boleh jadi ada berdampingan
secara damai dengan tempat-tempat suci Buddhis. Benar-benar selaras
seluruhnya dengan suasana toleransi agama pada zaman itu, dinasti
ailendra Buddhis diandaikan memperbolehkan pembangunan Loro
Jonggrang begitu dekat dengan pusat kekuasaannya hanya karena hal
tersebut tidak dilihat sebagai ancaman. Hal ini dapat disimpulkan antara lain
dari prasasti-prasasti yang melaporkan bahwa sang penguasa aiva yang
memerintah ketika itu tidak saja menikah dengan seorang

155

Roy Jordaan

putri Buddhis, tetapi juga membantu pembangunan kompleks percandian


Buddhis Plaosan.
Kurangnya bukti epigrafis lebih lanjut sayangnya membuat mustahil
bagi kita untuk memperoleh suatu gagasan yang jelas tentang lingkup dan
suasana berlangsungnya kerja sama antaragama ini, atau sampai pada taraf
mana kedua agama utama tersebut serupa secara ideologis satu sama lain,
atau malah menyesuaikan diri dengan yang lain. Apa pun halnya, telaah
Prambanan ini yang saya sajikan ke hadapan para pembaca budiman telah
menyingkapkan bahwa terdapat petunjuk-petunjuk kuat bahwa proses
penyesuaian timbal balik ini barangkali telah dimulai jauh lebih awal dan
berlanjut terus lebih jauh daripada yang sampai sekarang ini diandaikan.
Petunjuk-petunjuk ini tidak hanya diberikan oleh sejumlah keserupaan
arsitektural dan gaya seni yang mencolok antara Loro Jonggrang dan candicandi Buddhis yang berdekatan dengannya seperti Sewu dan Plaosan, tetapi
juga oleh penemuan-penemuan belakangan ini atas arca-arca dari kedua
agama itu di situs Candi Sewu dan Candi Sambisari.
Selanjutnya, terdapat bukti tentang kurban-kurban manusia di situs Loro
Jonggrang dan Sojiwan yang, hemat saya, paling baik bila ditafsir dalam
rangka ritual yang serupa atau malah sama persis dengan persembahan
kurban Tantrik. Semua data ini bisa menjadi daya dorong untuk juga
mencermati Prambanan dari suatu perspektif Mantra Buddhis, sebagaimana
yang pada mulanya dibela oleh Moens (1925) dan Pott (1946, 1966). Riset
yang lama dinantikan dari sisi tilik ini, menurut saya, mesti memusatkan
perhatian tidak saja pada kemungkinan adanya kaitan antara Loro Jonggrang
dan candi-candi Buddhis di kawasan utama di dataran Prambanan (artinya,
penguraian yang terperinci tentang hubungan fisik maupun religius di antara
candi-candi tersebut), tetapi juga di kompleks percandian itu sendiri. Hasilhasil awal dari kajian penjajakan mengenai pengaruh-pengaruh Buddhis
dalam seni hias di Loro Jonggrang, saya kira cukup positif dan menjanjikan
untuk mendorong kelanjutan penyelidikan semacam ini.
Sama seperti penanggalan baru berdirinya Loro Jonggrang menam pik
teori persaingan antara Borobudur dan Prambanan, demikian pula
penanggalan tersebut meragukan dan menggugat teori tentang kesinam
bungan dalam perkembangan arsitektur Hindu-Buddhis di Jawa. Bagai
manapun juga, salah satu tiang penyangga terkuat dari teori ini adalah
keyakinan yang telah berurat akar akan penanggalan pada abad ke-10

156

Candi Prambanan

untuk masa berdirinya Prambanan. Keyakinan tersebut mengenakan pada


kompleks itu suatu fungsi penghubung antara arsitektur candi Jawa Tengah
dan Jawa Timur, dan peralihan di antara keduanya kurang-lebih terjadi
bersamaan waktunya dengan pergeseran pusat kekuasaan dari Jawa Tengah
ke Jawa Timur. Sebelum Perang Dunia II telah menjadi kebiasaan untuk
mengandaikan bahwa Jawa Tengah dan Jawa Timur untuk waktu yang
singkat dipersatukan di bawah pemerintahan satu atau beberapa raja Jawa
Timur persis sebelum terjadinya pergeseran pusat kekuasaan tersebut.
Pengandaian ini selanjutnya merangsang perkembangan paham yang
mendua tentang unsur-unsur gaya seni Jawa Timur, di mana kita dapat
memindai adanya suatu kerancuan antara dua hal, yaitu corak arsitektural
dan corak gaya seni yang sudah ada secara mencolok di Prambanan dan
dikembangkan lebih lanjut di Jawa Timur, dicampuradukkan dengan unsurunsur yang berasal dari Jawa Timur yang dipersangkakan diperkenalkan ke
dalam seni Prambanan. Namun riset saya terdahulu (Jordaan 1993) telah
memperlihatkan bahwa hal terakhir tadi hampir tidak atau malah tidak
pernah didokumentasikan, dan karenanya boleh jadi rekaan belaka. Alhasil,
apabila Prambanan mengandung unsur-unsur yang mengingatkan kita pada
candi-candi Jawa Timur, maka hal tersebut cuma membuktikan bahwa tidak
semua prinsip dan teknik arsitektural candi hilang bersamaan dengan
pergeseran pusat kekuasaan ke arah timur, tetapi bahwa terdapat
kesinambungan, biarpun lebih bebas, dengan corak khas tertentu yang tidak
lama kemudian menemukan bentuk ungkapannya dalam aneka rupa cara
baru. Akan tetapi, oleh karena kesinambungan ini diperagakan hanya dalam
segi-segi arsitektural yang agak umum dan tampaknya memudar menjadi
tetek bengek sepele bila dibandingkan dengan perbedaan-perbedaan yang
lebih banyak dan lebih kasatmata antara candi-candi di Jawa Tengah dan
Jawa Timur, maka kita tidak lagi, hemat saya, memiliki alasan yang sah
untuk berbicara tentang adanya sebuah kesinambungan yang tegas dan jelas
dalam perkembangan sejarah seni tersebut.
Dengan dihapuskannya peran Prambanan sebagai satu mata rantai
penghubung, maka perbedaan antara candi-candi di Jawa Tengah dan Jawa
Timur menjadi jauh lebih mencolok. Begitulah, di Jawa Timur tidak
ditemukan satu candi pun yang memiliki ukuran (khususnya ketinggian)
yang sama dengan Prambanan dan Borobudur. Candi Panataran adalah satusatunya kompleks percandian di Jawa Timur yang mendekati ukuran

157

Roy Jordaan

Prambanan, setidak-tidaknya sejauh yang menyangkut bidang permukaan.


Namun arah serta relasi ruang antara candi-candi di kompleks percandian ini
seluruhnya berbeda dan jauh kurang teratur. Hiasan-hiasan Candi Panataran,
khususnya keindahan relief-reliefnya, adalah khas Jawa Timur dan nyaris
tidak dapat dibandingkan dengan relief-relief di Prambanan.
Dalam arti tertentu, kesimpulan ini menyiratkan sebuah putar haluan
kembali dan pengokohan terhadap teori-teori Van Erp (1921:11-12) dan juga
pandangan-pandangan yang dibela Stutterheim (1925) dalam disertasinya
namun kemudian secara keliru ia sendiri tinggalkan. Terlepas dari persoalan
apakah dinasti ailendra memiliki asal-usul asing yang menurut kajian
Sarkar (1985) dan juga hemat saya bisa dijawab secara positif Prambanan
menyajikan kesaksian yang tidak dapat dibantah bahwa perbedaanperbedaan antara arsitektur candi Jawa Tengah dan Jawa Timur sedemikian
banyaknya dan sebegitu hakikinya sehingga perbedaan-perbedaan tersebut
hanya dapat dijelaskan secara memuaskan dengan mengandaikan bahwa
Jawa Tengah terkena pengaruh-pengaruh budaya secara lebih langsung dan
kuat dari anak benua India pada waktu pendirian Borobudur dan Prambanan.
Masa klasik ini tampaknya mulai berakhir bersamaan dengan Prambanan.
Apa yang menyusul adalah kesenian Hindu-Buddhis di Jawa Timur yang
baru dan lebih bercorak Jawa.

158

BAGIAN DUA

J.W. IJZERMAN

Perigi-perigi Candi di Prambanan


Sebagai ketua sebuah perkumpulan kepurbakalaan amatir di Yogyakarta,
IJzerman bertanggung jawab atas penggalian penjajakan pertama di kawasan
candi induk di Loro Jonggrang pada tahun 1885, di mana antara lain perigiperigi candi di bawah lapik-lapik berbagai arca disingkapkan. Hasil-hasil
penggalian penjelajahan tersebut mendatangkan suatu perubahan menyeluruh
atas gagasan-gagasan yang sedang berlaku ketika itu tentang Prambanan.
Pertama-tama, penemuan sebuah arca iva Mahdeva di bilik pusat candi induk
yang memapankan corak aiva dari kompleks percandian tersebut, sembari
menjungkirkan keyakinan yang dianut sampai saat itu mengenai latar belakang
Buddhisnya. Kedua, penggalian perigi-perigi candi dan penemuan peti-peti
kecil (selanjutnya disebut pripih) di dalam lubang-lubang itu yang terbuat dari
batu berisikan tumpukan abu dan tulang-belulang yang gosong memberi suatu
daya dorong baru terhadap pengandaian samar-samar bahwa Prambanan boleh
jadi merupakan sebuah mausoleum raja.
Baru belakangan inilah disadari bahwa kedua gagasan tadi tidak terlahir
berdasarkan fakta-fakta, dan membutuhkan sebuah pertimbangan kembali
secara sangat mendasar. Ketika membaca kembali laporan IJzerman, kita akan
dikejutkan oleh sejumlah komentar yang cukup sepadan dengan penemuanpenemuan riset terkini, dan hal itu menunjukkan bahwa IJzerman jauh lebih
piawai dan cermat daripada beberapa rekan sejawat dari masanya serta para
penerusnya yang mendayagunakan karyanya. Begitulah, ketika memutuskan
corak aiva dari kompleks percandian tersebut rupanya tidak cukup perhatian
dicurahkan pada berbagai komentarnya tentang pengaruh-pengaruh Buddhis
pada kesenian Loro Jonggrang dan menyangkut kemungkinan hidup
berdampingan secara rukun di antara kedua agama utama ini. Meskipun
IJzerman juga bisa dianggap sama-sama bertanggung jawab atas teori candi
sebagai makam menjadi sebuah paradigma yang diterima orang banyak, garagara penggunaannya atas istilah-istilah yang berkecondongan semisal
kremasi, pasu abu jenazah [urn], abu-abu jasad, dan pemakaman,
namun setidak-tidaknya ia menyinggung sebuah segi problematis yang penting
dalam laporannya. Itu adalah masalah tentang mengapa dianggap mutlak perlu
untuk menyimpan abu-abu jasad tadi sedemikian dalam jauh di bawah perigiperigi candi, jika hal itu sebenarnya dapat dibuat sama baiknya di sebuah
tempat persis di bawah lapik arca-arca tersebut. IJzerman selanjutnya
mempertimbangkan kemungkinan bahwa adanya sisa-sisa jasad manusia dan
bangkai binatang bersangkut paut dengan keterlibatan sebuah

161

J.W. IJzerman

sekte Tantrik dalam pembangunan candi tersebut, padahal pada waktu itu (dan
kadang kala malah sampai sekarang) umumnya diandaikan bahwa Tantrisme
baru berkembang sepenuhnya dalam kurun waktu Jawa Timur, dan dengan
demikian cuma memiliki sedikit kaitan, itu pun kalau ada, dengan bangunanbangunan semisal Borobudur dan Prambanan.
Walaupun tulisan yang diterbitkan ulang di sini bersama dengan berlalunya
waktu telah menjadi sebuah ulasan klasik, namun keputusan untuk
menyertakan satu terjemahan atasnya dalam buku ini tidak saja diambil karena
alasan-alasan historiografis. Sebagaimana yang telah ditandaskan di atas,
beberapa kesimpulan IJzerman, khususnya yang menyangkut benda-benda
yang dipendam dalam perigi-perigi candi, masih tetap penting untuk kaji
banding arkeologis saat ini. Justru karena tersimpan catatan yang cukup
saksama menyangkut penggalian berbagai perigi candi, maka sangat
bergunalah untuk membuat aneka perbandingan dengan hasil-hasil riset tentang
benda-benda ritual yang dipendam di pelbagai candi Hindu-Buddhis di Kedah,
semenanjung Melayu, seperti riset yang dilakukan Lamb (1960, 1961) yang
kemungkinan menegaskan riset terdahulu yang ditunaikan Bosch (1961:466,
catatan kaki no. 2), namun sayangnya anjurannya tidak ditindaklanjuti karena
tidak adanya sebuah terjemahan karangan IJzerman ke dalam bahasa Inggris
dan Indonesia. Suatu pengamatan yang lebih saksama atas benda-benda
berbentuk kertas emas dari Prambanan, dan juga dari candi-candi Jawa lainnya
bisa menghasilkan data-data yang menarik untuk dibandingkan dengan
penemuan-penemuan riset yang dilakukan Treloar (1972) dan Riederer (1994).

1. Perigi i Cani iva


Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, ketika tumpukan batu berhasil
dirapikan maka dapatlah diamati bahwa lapik dari arca besar tampaknya
agak miring dan merosot ke kedalaman sekitar 60 cm menerobos lantai.
Barangkali telah terjadi pelesakan tertentu sesudah arca yang berat itu
ditempatkan di atas perigi yang terisi sepenuhnya [dengan tanah dan
bebatuan], dan robohnya balok-balok batu besar dari bagian atap melakukan
yang selebihnya. Bagian sebelah atas dari perigi itu berukuran 1,80 m
persegi (Pelat XXII, Gbr. 90 dan 91, lihat Gambar 8) dan dikelilingi oleh
sebuah galur/lekukan di lantai dengan lebar 20 cm dan dalam 8 cm.
Tiga lapisan, masing-masing setebal kira-kira 25 cm, berupa blok-blok
Nukilan dari Beschrijving er ouheen nabij e grens e resienties Soerakarta en
Djogjakarta. Batavia: Landsdrukkerij 1891, hlm. 60-73. Catatan penyunting: Dengan
beberapa kekecualian, gambar-gambar yang sangat terperinci dari hasil-hasil penggalian
tidak dimuat kembali di sini karena ukuran, jumlah serta kerumitan gambar-gambar
tersebut. Kekecualian itu adalah Pelat XXII: Gbr. 90-103, Pelat XXIII: Gbr. 105, dan Pelat
XXIV: Gbr. 112-116, di mana dilukiskan kandungan perigi-perigi Candi iva dan Candi
Vis n u, antara lain berupa benda-benda yang terbuat dari kertas emas.

162

Perigi-perigi Candi

yang dipotong berbentuk persegi dan ditata secara apik dari batu paras (batu
pasir) berwarna kuning muda lembut ditemukan persis di bawah lapik,
namun ketika potongan-potongan batu itu berhasil diangkat maka hanya ada
tanah dan pecahan-pecahan batu, yang dihamburkan begitu saja. Beberapa
dari bebatuan tersebut tampak kasar dan tidak dipahat, yang lain cuma
separuhnya yang dipahat. Berbagai anggota tubuh arca-arca, seperti lengan
dan tangan, aneka hiasan dan dekorasi dinding ditemukan di bawah lapisan
ini, dan terdapat cukup banyak kepingan tembaga [perunggu] berkarat yang
berserakan di sana.
Penutup sebuah kotak [pripih] dengan ukuran 41 cm panjang dan lebar
serta 53 cm dalam ditemukan pada kedalaman 5,75 m di bawah lantai (Pelat
XXIII, Gbr. 105, lihat Gambar 8). Bagian atas penutup kotak ini, yang
terbuat dari batu napal lunak, berbentuk seperti wajik dan sebuah kotak yang
terbuat dari batu paras berwarna kuning muda lembut dicocokkan ke
dalamnya, dan dilindungi dari kerusakan oleh tumpukan bebatuan yang
dibangun secara saksama di sekitarnya.
Tanah yang terletak langsung di bawah peti ini dicampur dengan arang,
dan selama penggalian ditemukan potongan-potongan kecil tulang-belulang
binatang yang terbakar. Menurut pendapat Dr. Sluiter, yang dengan murah
hati mengambil tugas mengkaji tulang-belulang tersebut atas permintaan
[W.P.] Groeneveldt, sejauh masih dapat dikenal adalah berbagai bagian dari
kaki sebelah depan dari seekor kambing, yakni tulang hasta dengan lututnya
dan sepotong kecil tulang bagian atas, dan juga bagian tumit, beberapa
pergelangan kaki dan potongan-potongan tulang pergelangan kaki depan.
Juga terdapat satu potong tulang dada dari seekor ayam atau sejenis unggas.
Jenis tiap-tiap binatang ini tidak dapat dipastikan. Tulang-belulang itu
meninggalkan bekas-bekas pembakaran yang jelas.
Di antara bangkai-bangkai binatang kurban yang dibakar itu terdapat
sebuah pelat emas kecil yang bertorehkan sebuah prasasti, sebagaimana yang
diperlihatkan dalam Pelat XXII, Gbr. 92 (lihat Gambar 9). Selain itu tidak
ada penemuan yang layak dicatat dari perigi ini.
Tiga pecahan tembikar dari berbagai jenis keramik Cina, yang dite
mukan persis di bawah kotak tadi, berada di sana nyaris secara kebetulan
belaka.
Permukaan tanah mencapai ketinggian 13 m. Pada titik tersebut perigi
tadi berukuran lebih dari 2,20 m persegi, sehingga bentuknya menyerupai

163

164
Foto 13. Bagian dalam bilik utama Candi iva, sekitar tahun 1880. Arca iva Mahdeva dan lapiknya telah digeser dari tempat
aslinya dan ditidurkan di lantai dalam rangka penyeledikan IJzerman atas perigi-perigi candi Prambanan.
(Foto Kassian Cephas untuk buku Groneman 1893.)

Gambar 9. Gambar-gambar penggalian Candi iva oleh IJzerman


(lihat IJzerman 1891, jld. ke-2, Pelat XXII: Gbr. 90-91,
Pelat XXIII: Gbr. 105). (Ukuran diperkecil.)

165

J.W. IJzerman

piramida. Fondasinya terdiri atas tiga lapisan batu, yang bersama-sama


mencapai ketebalan 1,15 m; ketika digali lebih lanjut, ditemukan bebatuan
kali berbentuk bundar yang dijejali pasir, dan pada kedalaman 15,90 m
ditemukan air.
Ketika diungkai, kotak batu [pripih] tadi ternyata berisikan pelat-pelat
tembaga yang sebagiannya telah berkarat, yang disimpan secara saksama
dalam tanah yang dicampur arang dan abu. Menurut Dr. Cretier, tanah
tersebut mengandung karbon, karbonat, dan fosfat; dan juga potonganpotongan yang dikerat rapi dari pelat-pelat kecil yang terbuat dari emas,
perak dan tembaga, dengan potongan-potongan yang lebih besar dari
tembaga yang sudah sangat berkarat, barangkali sisa-sisa dari selubung luar.
Ketika dipanaskan abu tersebut menghasilkan bahan-bahan empyreumatik
[artinya, semacam ter], yang menyiratkan sebuah pembakaran yang tidak
sempurna atas zat binatang. Tampaknya bahwa bagian sebelah dalam dari
pelat-pelat tembaga tersebut dibagi menjadi bagian-bagian kecil berbentuk
persegi, yang masing-masingnya mengandung sebuah simbol huruf.
Di tanah ditemukan 20 keping uang logam kecil berbentuk bundar dan
cekung dengan diameter sekitar 15 mm, empat dengan diameter 11 mm, dan
delapan dengan diameter 8 mm, yang dimeterai pada kedua belah sisinya;
beberapa bebatuan yang kurang bernilai, barangkali dari cincin, termasuk
salah satu yang memiliki sekuntum bunga yang diukir ; dan juga sisa-sisa
hiasan lainnya seperti manik-manik hijau dan manik-manik lainnya,
kepingan-kepingan lembar emas dan perak, sebuah kerang laut asli yang
mungil, dan yang paling penting dari semuanya adalah selusin pelat emas
kecil, yang dilukiskan pada Pelat XXII, Gbr. 93-104 (lihat Gambar 9 dan
Gambar 10).
Tujuh dari selusin pelat kecil tadi berbentuk empat persegi panjang dan
mengandung huruf-huruf yang belum berhasil disingkapkan; lima lainnya
menggambarkan seekor kura-kura, seekor nga, sekuntum bunga teratai,
sebuah altar, dan sebutir telur (lihat Gambar 10).
Walaupun tidak terlalu penting, harus disinggung satu hal sehubungan
dengan lantai candi di belakang lapik arca iva. Ketika dibongkar, ditemukan
sebuah penurunan kecil di sana; ketika perigi dikosongkan dan dibersihkan
terlihat bahwa dinding pada sisi barat sampai pada kedalaman 1 m terdiri
Menurut insinyur pertambangan Schuurman: 5 batu akik yang berwarna merah tua, 2 batu
kristal, 1 diorit.

166

Perigi-perigi Candi

atas sejenis batu paras lunak, alih-alih teras/andesit yang digunakan untuk
dinding-dinding di sisi-sisi yang lain. Selain itu, keseluruhan permukaan
lantai candi terdiri atas sebuah lapisan penutup setebal 8 cm, kecuali di sisi
sebelah barat perigi, di mana ketinggian permukaan bagian atasnya berbedabeda. Ketika rongga di belakang arca Brahm di sisi selatan (akan dijelaskan
sebentar lagi) diketahui, maka bisa diandaikan bahwa sesuatu yang serupa
akan ditemukan di sana.
Namun ketika beberapa bebatuan, yang dipisahkan satu dari yang lain
oleh sebuah lapisan tanah yang cukup tebal, dipindahkan, maka ditemukan
pada kedalaman 0,94 m sebuah bidang kecil, dengan panjang 46 cm dan
lebar 52 cm, dan pada bagian depan di mana ia bertemu dengan perigi
memiliki kedalaman 15 cm, yang semata-mata berisikan arang bercampur
tanah. Tidak terdapat bekas apa pun mengenai adanya sebuah tempat
penyimpanan sebagaimana di Candi Brahm; satu-satunya fakta yang dapat
disimpulkan dari pengamatan di atas ialah bahwa bagian barat dari bilik
utama diselesaikan dan diratakan pada waktu yang lebih kemudian dari
bagian-bagian lainnya.
Ada kemungkinan bahwa konstruksi itu bertujuan untuk mengeringkan
air yang digunakan di dalam candi dengan mengalirkan ke dalam lubang.
Ruang-ruang yang cukup lebar di antara bebatuan, yang kini berupa lapisanlapisan tanah yang cukup tebal, tentunya memperlancar tujuan dimaksud.
Lapik berbentuk yoni membuat kita terbayang akan sosok arca yang tengah
dimandikan air, sama seperti liga di tempat-tempat lain, salah satu bentuk
peribadatan yang lazim. Demikianlah, air yang telah disucikan itu barangkali
kemudian ditampung di sini dan dijual. Air yang memercik selama upacara
boleh jadi mengalir melalui galur di seputar mulut perigi ke sisi sebelah
barat, dan di sana dikeringkan ke dalam tanah.

2. Perigi i Cani Visn u


Juga di sini lapik patung melorot ke dalam tanah, walaupun cuma 21 cm. Di
bawah saluran drainase di sisi sebelah utara lapik itu terjadi penurunan
berbentuk empat persegi panjang di lantai, dengan ukuran lebar 11 cm dan
kedalaman 2 m, yang tidak berhubungan dengan perigi tetapi dengan
Seandainya binatang-binatang kurban disembelih di tempat ini maka diperlukan cukup
banyak air untuk menghilangkan darah dari situ.

167

168
Gambar 10. Gambar-gambar penggalian yang memperlihatkan pelat-pelat kecil dan bertulis yang terbuat dari emas kerajang yang
ditemukan di perigi Candi iva. (IJzerman 1891, jld. ke-2, Pelat XXII: Gbr. 92-99.) (Ukuran yang ebenarnya.)

169
Gambar 11. Gambar-gambar penggalian yang memperlihatkan ukiran-ukiran kepingan-kepingan kertas emas yang ditemukan di
perigi Candi iva. (IJzerman 1891, jld. ke-2, Pelat XXII: Gbr. 100-104.) (Ukuran yang sebenarnya.)

J.W. IJzerman

sebuah celah kecil di lantai yang mengitari seluruh perigi, dan berujung di
sisi sebelah barat. Ini berarti bahwa seakan-akan perigi tadi, yang berukuran
1,42 m panjang dan lebar, dilingkari dengan sebuah batu penutup selebar 13
cm. Hal ini membuat pengandaian tentang pengeringan air itu menjadi kian
mungkin. Antara kedalaman 0,44 dan 0,76 m terdapat sebuah rongga kecil,
yang sama-sama dihubungkan dengan perigi dan juga diisi dengan tumpukan
tanah. Riset yang lebih terperinci mengungkapkan bahwa rongga itu
berisikan serakan beberapa tembikar dari sebuah gentong atau buyung tanah
liat yang pecah, sepotong batu bata merah yang dibakar dan beberapa arang.
Ketika lapik tadi dipindahkan, ditemukan sebuah potongan batu kapur
penutup yang telah pecah di bagian tengah. Pada ketiga sisinya batu itu
bersambungan dengan alur sebesar 2 cm dan menutupi sebuah perigi kecil
berukuran 33 cm persegi dengan kedalaman 50 cm. Ruang kecil ini menjadi
tempat penyimpanan untuk sebuah gentong atau buyung tanah liat berbentuk
seperti kebanyakan gentong atau buyung lain yang masih dibuat sampai saat
ini. Bentuk aslinya dapat dengan mudah dirancang kembali dari potonganpotongannya; lingkarannya yang paling luas berukuran 22 cm dan setinggi
18,5 cm. Pada bagian bawah gentong atau buyung ini terdapat sebuah cupu
perunggu dengan diameter 9 cm yang berisikan abu bercampur tanah dan
juga benda-benda berikut (Pelat XXIV, Gbr. 112-116; lihat Gambar 11):
sekuntum bunga teratai emas, seekor kura-kura perak yang disisipi relief,
sebuah cakra perak yang juga disisipi relief, demikian pula sebuah vajra dan
sebuah salib perak datar dengan titik-titik berbentuk segitiga bertepi miring ;
di samping benda-benda tersebut terdapat beberapa batu cincin, yang
sebagian darinya menunjukkan bekas-bekas retasan, termasuk sebentuk batu
akik dengan ukiran ikan di atasnya; dan akhirnya beberapa kepingan perak
dan emas.
Di bawah gentong atau buyung itu berserakan bebatuan dan tanah;
kemudian pada kedalaman 1,10 m terdapat lapisan bebatuan yang disusun
apik setebal 30 cm, yang dipisahkan dari lapisan bebatuan kedua oleh
Analisis kimiawi memperlihatkan bahwa komposisi abu ini sama dengan abu yang
ditemukan di perigi Candi iva. Cuma dalam kasus ini tidak ditemukan potonganpotongan tembaga yang agak besar, tetapi sebaliknya kepingan-kepingan gentong atau
buyung dari tanah liat.
Salib itu rupanya melambangkan svastika, walaupun biasanya dilukiskan dalam cara lain
dan belum dikenal dalam bentuk ini.

170

Perigi-perigi Candi

lapisan tipis tanah. Lapisan berikut berada pada kedalaman antara 1,75 dan
2,05 m, dan pada bagian tengahnya terdapat bidang seluas 50 cm persegi,
yang menyempit menjadi 30 cm ketika semakin dalam dan berakhir pada
kedalaman 2,47 m.
Bagian atas dari ruang sempit ini dibatasi oleh dua lapisan batu biru
yang dipahat secara apik, yang paling atas terdiri atas delapan batu
berukuran 48 cm panjang, 18 cm lebar dan 11 cm tebal, sedangkan lapisan
yang lebih rendah berukuran 4 cm panjang, 30 cm lebar dan 11 cm tebal. Di
antara kedua lapisan itu baik pada sisi sebelah utara maupun selatan terdapat
sebuah plaket perak kecil, sedangkan pada sisi sebelah timur terdapat
sepotong emas kecil tidak lebih besar dari sebutir beras.
Ruang antara kedalaman 1,75 hingga 2,47 m berisi tanah yang mengan
dung amat banyak arang dan sejumlah kecil tembaga. Pada dasar rongga ini
terdapat lapisan pipih batu napal setebal 10 cm dan di bawahnya terdapat
lapisan batu pasir setebal 28 cm, hingga kedalaman seluruhnya mencapai
2,85 m.
Sebuah rencana pasti untuk menciptakan rongga dapat diamati pada tiga
lapisan berikutnya antara kedalaman 2,85 hingga 3,80 m. Teras/andesit yang
ditata apik di bagian tengah dikelilingi oleh sebuah penutup yang terbuat
dari batu yang lebih lunak. Dua lapisan pertama berbentuk empat persegi
panjang berukuran 74 x 76 cm dengan kedalaman 32 cm. Yang ketiga
berukuran 40 x 50 cm dengan ketebalan 31 cm. Beberapa potongan kayu
lapuk ditemukan di bawah lapisan-lapisan ini.
Rongga tadi disusul oleh tumpukan tanah sampai kedalaman sekitar 4
m, tempat ditemukan lapisan kokoh kerikil yang melengkung dan berwarna
putih kecokelatan setebal 10 cm, disusul oleh kerikil berwarna putih kebirubiruan pada kedalaman 4,2 m. Di sampingnya ditemukan bahan-bahan yang
terdiri atas bebatuan kali berukuran besar dan kecil, yang bercampur dengan
taring seekor babi hutan, pecahan-pecahan tembikar, potongan-potongan
batu yang dipahat, dan beberapa potongan gentong atau buyung dari tanah
liat.
Pada kedalaman 7,62 m terdapat sebuah pelipit yang tak beraturan, yang
menjorok ke luar antara 13 hingga 21 cm. Sampai di sini perigi tersebut
berbentuk empat persegi panjang berukuran sekitar 1,66 m, yang
menyiratkan, seperti perigi pada Candi iva, bahwa telah terjadi perluasan
tertentu. Tidak ada bebatuan lain yang ditemukan antara pelipit ini dan

171

J.W. IJzerman

permukaan tanah, yang terletak 40 cm lebih dalam, kecuali pasir belaka. Di


tengah perigi itu terdapat sebongkah batu yang dipahat apik, dengan
ukuran 39 cm panjang dan lebar serta 53 cm tinggi, yang menyeruak dari
tanah. Batu itu bersandar pada sebongkah batu kedua berukuran panjang dan
lebar sama namun cuma setinggi 42 cm, yang pada gilirannya berdiri di atas
sebongkah batu lain yang berukuran sama. Di antara bebatuan ini, yang
menyiratkan pusat bangunan, terdapat sebuah campuran kapur yang belum
membatu, mirip dengan adonan putih.

3. Perigi i Cani Brahm


Lapik pada arca utama di sini telah merosot hingga ke kedalaman 23 cm ke
dalam perigi. Sebagaimana di Candi Vis n u, terdapat sebuah penurunan kecil
di lantai di bawah saluran drainase. Dalam proses pembersihan tanah dan
bebatuan, ditemukan potongan dari salah satu arca Brahm kecil yang
dilekatkan di lantai di belakang lapik, dan setelah beberapa bongkah batu
dipindahkan, termasuk salah satu bongkah batu yang memiliki lubang
bundar sepanjang 6 m, barangkali guna menyalurkan air, ditemukan sebuah
rongga dalam berukuran 94 cm.
Pada lubang berbentuk empat persegi panjang ini, yang berukuran 70
cm panjang dan 38 x 42 cm lebar, terdapat sejumlah gentong atau buyung
yang terbuat dari tanah liat yang dibakar, yang sangat serupa dengan yang
ditemukan di bawah arca Vis n u, namun agak berbeda satu sama lain baik
dalam ukuran maupun hiasan. Jumlah seluruhnya empat buah, selain dari
sebuah kendi yang cuma ditemukan bagian atasnya yang sempit, namun bisa
jadi berada di sana secara kebetulan. Tanah antara jambangan-jambangan
yang pecah itu bercampur dengan arang, beberapa potong tembaga dan
serpihan-serpihan teras/andesit; rupanya andesit tersebut digunakan untuk
menaruh berbagai gentong atau buyung pada tempatnya.
Rongga yang disebutkan di atas dihubungkan dengan rongga serupa
dalam perigi, yang kelihatan setelah tiga lapisan batu dipindahkan dari
bawah lapik. Sampai di sini mesti dicatat bahwa ada sebuah pembukaan
berbentuk bundar yang dipahat di tengah-tengah bebatuan tersebut dengan
lebar 10 cm pada bagian atas dan menyempit menjadi 6 cm pada bagian
bawah, menurut panjangnya berukuran 94 cm panjang x 40 cm lebar, dan 47
cm tinggi, yang tampaknya juga dimaksudkan untuk memperlancar

172

Gambar 12. Gambar-gambar penggalian yang memperlihatkan ukiran-ukiran


kepingan-kepingan kertas emas yang ditemukan di perigi Candi Vis n u.
(IJzerman 1891, jld. ke-2, Pelat XXIV: Gbr. 112-116.)
(Ukuran yang sebenarnya.)

173

J.W. IJzerman

saluran air. Isi rongga kedua ini sama dengan isi rongga pertama yang
terdapat di balik arca, dengan kekecualian bahwa di sana pun ditemukan
sebuah potongan kecil tembikar putih yang berasal dari sebuah mangkuk
kecil, serta potongan kecil uang logam emas yang pada salah satu sisinya
berterakan dua cetakan berbentuk wajik yang ditempatkan satu di samping
yang lain.
Di bawah permukaan tempat penyimpanan khusus ini terdapat sebuah
lapisan bebatuan putih lunak dengan kedalaman 1,95 m, tempat ditemukan
sebuah ceruk yang ditimbuni yang menunjukkan keserupaan dengan ceruk
sedalam 1,75 m di perigi Candi Vis n u.
Pada lapisan setebal 15 cm juga ditemukan sebuah lubang berbentuk
empat persegi panjang yang berukuran 33 cm. Pada sisi sebelah utara dan
selatan lubang ini, setelah lapisan batu tadi dipindahkan, terdapat dua batu
biru yang dipahat rapi berukuran 64 cm panjang x 18 cm lebar dan 11 cm
tebal; kedua batu tersebut ditempatkan lurus dengan arah timur-barat.
Keduanya bersandar pada dua batu yang lebih kecil, yang memiliki ukuran
lebar dan tinggi sama namun cuma 28 cm panjang, yang menutup ruang itu
pada keempat sisi dengan dua batu lain yang berukuran sama. Cekungan itu
diisi dengan tanah dan arang, namun selain itu tidak ada yang istimewa.
Napal lunak tadi berlanjut terus dalam lapisan-lapisan teratur hingga ke
kedalaman 2,78 m, lalu berganti dengan tanah bercampur bebatuan kali.
Pada kedalaman 3,50 m di perigi yang ditimbuni ini terdapat beberapa
potongan batu bata merah yang dibakar, sepotong kecil tembikar (kereweng)
dan sebuah gigi besar; pada kedalaman 5,25 m terdapat sejumlah kecil tanah
berwarna biru keabu-abuan dengan beberapa potong tulang burung yang
lembut; pada kedalaman 6,10 m ditemukan sebuah pot batu (lumpang atau
deplokan) yang dipahat secara kasar, serupa dengan yang masih digunakan
sekarang ini di Jawa untuk menumbuk sirih dan dedaunan lainnya sampai
halus; pada kedalaman 7,50 m terdapat sebuah penampil tak beraturan di
sisi-sisi tembok yang menunjukkan bahwa ketika perigi itu dibangun tidak
seluruh pekerjaan diselesaikan seturut rencana; pada kedalaman 7,80 m
ditemukan beberapa potongan kecil tulang yang sebagiannya telah lapuk;
pada kedalaman 8,40 m terdapat dua batu berbentuk silinder yang dipahat
secara kasar masing-masing memiliki sebuah lubang bundar di tengahnya,
potongan-potongan kendi yang pecah dan benda-benda tembikar lainnya;
pada kedalaman 9,50 m terdapat potongan-potongan sebuah kendi yang

174

Perigi-perigi Candi

dibentuk secara sempurna dan sepotong tulang.


Akhirnya, setelah bebatuan kali berkurang dan hanya pasir yang
ditemukan di dalam bagian akhir ini, kita sampai di permukaan tanah pada
kedalaman 9,64 m. Di tengah-tengahnya berdiri tegak sebuah batu setinggi
36 cm dan selebar 44 cm; bagian atasnya dihiasi dengan dua garis berbentuk
empat persegi panjang yang saling berpotongan, dan seakan-akan
menyiratkan titik pusat keseluruhan bangunan candi ini .

4. Perigi i Cani Nani


Sekarang bila kita berpaling ke candi-candi di bagian sebelah barat, sekali
lagi kita mengangkat candi pada bagian tengah dan paling penting sebagai
titik tolak kita. Candi Nandi terletak di atas sebuah perigi yang berukuran
1,22 panjang x lebar, sedemikian rupa sehingga mulut perigi itu hampir
ditutupi seluruhnya.
Pada sisi sebelah barat dan selatan terdapat beberapa anak tangga di
lantai, yang jelas-jelas ditempatkan di situ tanpa memikirkan kesesuaian atau
keteraturannya, dan dimaksudkan untuk ditutupi setelah perigi itu diisi. Agar
diperoleh arah yang tepat, yang telah diselisihi atau dialihkan, maka
dibangun sebuah penampil berukuran 12 cm pada sisi sebelah timur perigi
dan satunya lagi berukuran 10 cm pada sisi sebelah utara pada kedalaman
4,87 m.
Pada kedalaman 5,80 m terdapat tanah yang ditimbun hingga mencapai
kedalaman 9,95 m, yakni fondasi dasar bangunan. Pada kedalaman 8,05 m
terdapat permukaan bagian atas dari fondasi yang belum selesai.
Pembersihan atas perigi menyingkapkan beberapa penemuan yang
menarik; pada kedalaman 5,80 m terdapat bangkai seekor tenggiling
berukuran besar (Manis javanica, pangolin), yang tidak terbakar tetapi yang
mati di sana, sepotong rahang bawah dari seekor bajing, dua geraham landak
dan satu geraham sapi; pada kedalaman 7,75 m ditemukan potongan kecil
jambangan tembikar yang pecah, dan pada kedalaman 8,45 m terdapat
sebuah kepala kuda kecil yang patah dari lapik Srya.

Catatan penyunting: informasi ini disusul oleh sebuah petunjuk IJzerman ke beberapa
gambar penggalian (Pelat XXVI, gbr. 137-140) yang tidak dimuat kembali di sini.

175

J.W. IJzerman

5. Perigi i Cani iva yang terletak berhaapan engan Cani Visn u


[=Cani B]
Perigi yang berukuran 1,10 m x 1,04 m seluruhnya diisi dengan bebatuan
dan tanah. Baik lapik maupun arca tidak lagi berada pada tempat aslinya dan
sangat boleh jadi bahwa keduanya pun tidak ditempatkan di atas perigi. Di
sini, sekali lagi, perigi itu tidak memiliki dasar yang tepat, yang semestinya
terletak pada kedalaman 7,23 m, dan penimbunannya mulai dari dasar
fondasi [candi] pada kedalaman 8,90 m.
Sepasang batu sudut yang sangat besar dikeluarkan dari bagian atas
perigi, yang berasal dari bagian atap, pada titik di mana atap ini berubah
menjadi kubah berbentuk piramida. Tidak ditemukan sesuatu pun yang
menarik, kecuali kenyataan bahwa antara kedalaman 5,30 m dan 6 m
ditemukan sebuah kerangka manusia yang hampir utuh dan terawat dengan
baik. Mestikah hal ini dijelaskan sebagai penguburan secara sengaja di perigi
itu, atau apakah hal itu merupakan kebetulan belaka, suatu kecelakaan, atau
tindak kejahatan? Atau apakah itu barangkali merupakan kurban manusia,
yang memang sebenarnya sudah sejak lama tidak lagi menjadi kebiasaan di
India, namun secara teoretis sangat penting dalam peribadatan Kl,
sebagaimana yang disaksikan oleh pembunuhan atas gerombolan Thug
[salah satu kelompok pembunuh profesional yang pernah aktif di bagian
utara India]? Ada amat banyak ruang untuk berspekulasi, namun kita mesti
menahan diri untuk tidak memulainya di sini.

6. Perigi i cani yang terletak berhaapan engan Cani Brahm


[=Cani A]
Perigi ini memiliki ukuran yang sama dengan perigi sebelumnya, dan
dikelilingi oleh sebuah pinggiran yang ditinggikan secara apik. Pada
kedalaman 3,68 m terdapat sebuah penampil berukuran 6 cm di kedua
tembok pada sisi sebelah utara dan selatan.
Sampai pada kedalaman 5,80 m perigi ini kosong dan di bawahnya
terdapat bebatuan besar dan tanah. Pada kedalaman 7,80 m ditemukan
bagian atas dari fondasi yang belum selesai dibangun, dan di bawahnya,
pada kedalaman 8,40 m dekat dengan sebuah batu sudut besar, ditemukan
kerangka seekor anjing, dan lebih dalam lagi pada kedalaman 9 m ditemukan
tulang-belulang dari jenis binatang yang sama, namun tidak

176

Perigi-perigi Candi

memperlihatkan bekas-bekas dibakar dengan api. Bahkan lebih dalam lagi


terdapat beberapa batu pahatan yang berukuran sangat besar. Dasar fondasi
itu berada pada kedalaman 8,90 m di bawah permukaan lantai.

7. Perigi-perigi i cani-cani yang lain


Lantai pada kedua candi perwara yang terletak di bagian tengah di antara
tembok pembatas yang kedua dan ketiga, yang tidak terlalu ditinggikan di
atas tanah, sedemikian berantakan sehingga hanya salah satu darinya, yaitu
candi yang terletak di sebelah selatan, yang bisa ditentukan secara pasti
adanya perigi di situ.
Candi-candi perwara itu juga dilengkapi dengan perigi-perigi. Salah satu
darinya, yang terletak di sisi sebelah timur berhadapan dengan ruang terbuka
antara Candi Nandi dan Candi iva yang kecil [= Candi B], memiliki sebuah
perigi berukuran 0,75 x 0,80 m, dengan kedalaman 1,48 m. Di lubang ini,
pada kedalaman 0,95 m di bawah lapisan pasir dan keping-keping batu,
ditemukan setumpuk abu dengan pecahan-pecahan jambangan yang terbuat
dari tembikar yang dibakar dan sebuah cakra terbuka berukuran kecil dan
berbentuk bulat dengan diameter bagian atasnya berukuran sekitar 17 cm
dan kedalaman 8 cm. Sepotong jarum emas kecil ditemukan juga di antara
tumpukan abu ini.
Bila kita membandingkan perigi-perigi yang dijelaskan di atas satu sama
lain, maka dengan segera menjadi jelas bahwa persoalannya bukan tentang
perigi-perigi yang digali, melainkan di mana-mana menyangkut ruanganruangan berlubang yang dibiarkan [dengan sengaja] dalam fondasi-fondasi
pada candi-candi tersebut. Oleh karena itu, kedalaman candi bersepadanan
dengan ketinggiannya di atas permukaan lantai bilik candi; perigi-perigi
yang lebih dalam terdapat pada candi-candi induk.
Pada ketiga candi sebelah timur, perigi itu dimulai pada permukaan yang
sama dengan dasar fondasi, hanya di tiga candi di sebelah barat lebih tinggi 1-2
m. Dari kenyataan ini pertama-tama nian kita dapat menyimpulkan bahwa dasar
perigi dibangun kemudian sampai pada ketinggian yang di inginkan malah
persis sebelum ditimbuni. Perigi-perigi sebelah barat tidak pernah digunakan
sebagaimana mestinya; perigi-perigi tersebut tidak diperlengkapi dengan pasu
yang berisi abu jenazah; perigi-perigi itu separuhnya ditimbuni secara kebetulan
belaka. Keadaannya sama seperti

177

J.W. IJzerman

perigi-perigi yang lain sebelum penimbunan itu berlangsung.


Sebagai argumen tandingan terhadap pengandaian-pengandaian ini bisa
ditandaskan bahwa perigi-perigi pada Candi Vis n u dan Candi Brahm
ditempatkan secara sangat saksama di atas sebuah landasan batu yang
diletakkan di bagian tengah, malah pada Candi Brahm dilengkapi dengan
dua garis yang saling bersilangan pada sudut-sudut sebelah kanan;
tampaknya bahwa bebatuan itu dimaksudkan menjadi titik tolak untuk
proses pemeriksaan atas pembangunan tembok-tembok (walaupun tidak ada
satu pun darinya yang dibuat secara teliti), sehingga benarlah bila dikatakan
bahwa bebatuan tersebut dijadikan sebagai sarana untuk menghindari
kesalahan. Terdapat penampil-penampil tak beraturan di semua tempat, yang
digunakan untuk membetulkan kesalahan dan memperoleh arah yang tepat.
Oleh karena itu, tampaknya mungkin bahwa batu-batu utama ditempatkan di
sana pada waktu kemudian, agar di semua candi penutupan perigi dilakukan
secara bersamaan dengan peletakan dasar fondasi.
Pada bagian atas, bentuk perigi-perigi itu benar-benar empat persegi
panjang. Setiap sisi berukuran 0,25 sampai 0,5 x panjang atau lebar bilik di
mana perigi itu berada. Tak satu pun dari perigi itu yang sedemikian luas
sehingga tidak tersedia ruang bagi pedanda yang sedang bertugas. [J.F.G.]
Brumund tampaknya mengandaikan keberadaan rancangan semacam itu
pada bilik samping Loro Jonggrang [yakni, arca Durg Mahis suramardin],
sedangkan kami berpendapat bahwa, sama seperti pada bilik-bilik samping
lainnya, tidak pernah terdapat satu perigi pun.
Benda-benda yang digali dari perigi-perigi pada candi-candi utama
memberi informasi yang memadai mengenai kegunaan perigi-perigi itu. Peti
batu [pripih] dalam lubang di Candi iva persis sama dengan item no. 377
dalam koleksi Bataviaasch Genootschap, yang ditemukan di dusun Pucung,
distrik Ngantang, Malang; dengan satu-satunya kekecualian bahwa pasu
yang ditemukan di sana dihiasi dengan sebuah lipit-lipit bunga. Pasu itu
berisikan sebuah kotak perunggu persegi empat, sebuah liga dan yoni; tiga
plaket kecil, dua emas dan satu perak, satu darinya polos dan yang lain
ditulisi; dua potongan daun emas, satu berbentuk kura-kura, yang lain berupa
botol, dan beberapa keping uang perak. Selain benda tadi, Genootschap
memiliki dua pasu yang lebih kecil dengan bentuk sama, tiga pasu bulat, dan
juga sebuah pripih luar biasa yang bersandar pada
Bdk. C. Leemans, Br-Boeoer, hlm. 431 dst.

178

Perigi-perigi Candi

sebuah bantalan berbentuk teratai, yang digambarkan pada bagian sebelah


dari halaman 110 dalam karya Dr. W.R. van Hevell berjudul Reis over
Java, Maura en Bali, jilid ke-2. Pripih ini, yang digali di Jalatunda oleh
[W.] Wardenaar, berisi sembilan belahan berbentuk empat persegi panjang,
yang semuanya berisi sisa-sisa abu dan tulang yang terbakar. Pada belahan
bagian tengah terdapat sebuah kotak emas berbentuk bundar yang disekat
oleh satu penutup terpisah. Dua belahan lain berisi pelat-pelat perak tipis
yang sebagiannya telah berkarat, sedangkan sisanya enam belahan lain berisi
pelat-pelat emas, salah satunya dihiasi dengan seekor kura-kura, satu dengan
seekor naga, dan satu lagi dengan seekor singa. Selanjutnya, kepingankepingan uang perak ditemukan berserakan di semua belahan.
Semua pripih dan pasu ini berisi abu dari jasad yang dikremasi, yang
secara penuh hormat dan cermat diperlengkapi dengan segala macam
tambahan yang dianggap penting. Penghormatan terhadap orang-orang
meninggal telah lama ada di India jauh sebelum kedatangan Buddhisme.
Menurut Yajurveda, dalam ritual bagi si mati, beras, jewawut, serta
campuran air dan tola (Sesamum inicum) dipersembahkan kepada roh-roh
para leluhur, baik untuk memberi mereka makanan maupun untuk
memperoleh kemurahan mereka. Sebuah tempat tinggal bagi si mati
dibangun seturut model rumah orang hidup, dan dari tempat kediamannya
ini ia melaksanakan pengaruhnya atas nasib para keturunannya.
Gagasan ini tetap lestari selama berabad-abad dalam bentuk yang sedikit
berbeda. Dalam karyanya yang berjudul Miscellaneous Essays (jilid ke-1,
hlm. 172), Colebrooke mengatakan bahwa sebuah mausoleum, yang
dikenal dengan nama chhetri, sering kali dibangun guna menghormati
seorang penguasa atau bangsawan Hindu; dan bahwa malah lebih lazim
untuk membangun sebuah kuil untuk menghormati si mati, khususnya di
India Tengah. Dan lebih dari itu bahwa pada tempat pembakaran jenazah
mesti ditanam sebuah pohon, didirikan sebuah tugu batu, digali sebuah
kolam, atau dibangun sebuah tiang. Tulang-belulang dan abu dikumpulkan
dalam sebuah belanga tembikar dan dikuburkan di sebuah lubang dalam, dan
kemudian digali lagi lalu dihanyutkan di sungai.
Ketika peziarah Cina bernama Hsan-tsang mengunjungi kerajaan
Brahmanik Khotan pada tahun 510, ia menemukan kebiasaan yang sama.
Jasad sang raja dikremasi dan sebuah kuil dibangun di atas tumpukan abu
itu; orang-orang lain pun yang telah meninggal diperlakukan dengan cara

179

J.W. IJzerman

serupa dan menara-menara dibangun di atas sisa-sisa jasad mereka. Dalam


Mahbhrata kubur disebut chaitya; dalam Rmyan a kata yang sama
digunakan untuk candi.
Si mati itulah yang memiliki kekuasaan atas orang-orang yang masih
hidup, sedangkan mereka sendiri membutuhkan sama banyak bantuan dan
perlindungan melawan roh-roh jahat atau bhuta. Oleh karena itu, kuburankuburan mereka dikelilingi oleh pagar atau kisi-kisi pembatas, di mana
dipahatkan dewa-dewa pelindung atau binatang-binatang simbolis sebagai
penjaga. Inilah pula alasan mengapa selain uang dan batu-batu berharga
mereka diberi jimat yang diyakini memiliki kekuatan besar. Simbol-simbol
huruf rahasia dituliskan di atas wadah-wadah penyimpan abu jasad dan pada
pelat-pelat emas dan perak kecil yang dicampur dengan abu tersebut,
simbol-simbol mistik dari para dewata dan setengah-dewa, yang tampaknya
memiliki kemanjuran istimewa.
Dalam karya Lillie yang berjudul Buha an Early Buhism, terdapat
sebuah lukisan seekor kura-kura, yang rumah kerangnya dibagi ke dalam
beberapa persegi empat kecil yang berisikan huruf-huruf tertulis, yang
menurut Schlagintweit [1881] di Tibet kini dijadikan sebagai jimat
penangkal roh-roh jahat.
Dalam monografinya tentang prasasti-prasasti di Jawa dan Sumatra, jilid
XXVI, VBG, Friederich berkisah: Selama keberadaan saya di Bali
berlangsung kremasi atas jasad-jasad sebuah keluarga Satria [ksatriya]
di

Kuta, Badung. Pandita Made Alng Kacng telah berdiam di rumah mati
beberapa hari sebelum kremasi. Ketika saya pergi mengunjungi beliau, saya
menyaksikannya sedang sibuk menulis huruf-huruf di atas pelat-pelat emas
kecil. Pada saat yang sama, khususnya karena kehadiran sejumlah orang
lain, saya tidak berkesempatan untuk bertanya kepadanya tentang makna
huruf-huruf itu, dan cuma mendengar dan hal ini pun ditegaskan oleh para
saksi lainnya bahwa pelat-pelat ini, dan juga batu-batu berharga (yang
masih utuh atau sudah dipecahkan menjadi potongan-potongan kecil,
khususnya batu-batu delima) bersama dengan benda-benda lain, ditaruh di
dalam sebuah bejana kecil bercampur air, dan bahwa berkat ramuan ini,
namun terutama nian melalui kata-kata rahasia yang ditulis di atas pelatpelat kecil tersebut, maka air itu disucikan, dan kemudian dicurahkan ke atas
jasad persis sebelum dikremasi. Namun tampaknya bahwa pelat-pelat

180

Perigi-perigi Candi

itu keluarkan lagi dan kemudian disatukan dengan tulang-belulang yang


tersisa, yang dikumpulkan menjelang malam.
Tampaknya bahwa upacara serupa berlangsung ketika orang penting
dikuburkan pada masa kejayaan Prambanan. Begitu perigi telah ditimbuni
hingga ke ketinggian yang dibutuhkan, si mati yang dihormati itu
disemayamkan di tempat yang telah dipersiapkan untuk tujuan ini.
Mengapa perigi-perigi itu begitu dalam jika abu berharga tadi bisa
ditempatkan entah langsung di bawah arca, yang berarti akan menutupi
lubang, atau paling banter beberapa meter di bawahnya? Tentu saja bukan
untuk menghemat pekerjaan para tukang batu; mungkin hal itu untuk
menjamin peresapan yang lebih baik dari air yang telah digunakan.
Dari bangkai-bangkai binatang yang hangus terbakar di bawah batu
tempat penyimpanan di perigi Candi iva dapatlah disimpulkan bahwa
sebelum penguburan dilaksanakan upacara persembahan binatang kurban,
dan bila kita membandingkan hal ini dengan laporan-laporan dari India
Inggris, maka berdasarkan upacara kurban ini kita dapat menyimpulkan
bahwa sebuah sekte Tantrik yang membangun candi ini. Sia-sialah bila kita
mencari bangkai-bangkai serupa di kedua perigi candi di sebelah barat.
Batu-batu itu alih-alih dibuang bersama-sama secara serampangan, kita
justru menemukan pada kedalaman tiga atau empat meter batu-batu yang
disusun secara apik pada berbagai lapisan, yang membentuk ruang tertutup
aneh yang ditimbuni tanah dan arang. Apakah mungkin bila disimpulkan
adanya sisa-sisa pembakaran bahan persembahan berupa bebungaan dan
buah-buahan? Dan apakah makna dari lokasi batu-batu yang dipahat secara
apik yang diatur seturut arah mata angin? Bolehkah kompleks percandian
Prambanan dilihat sebagai sebuah makam besar, yang masih digunakan
sampai ia dilantakkan oleh gempa bumi dahsyat?
Di dalam tembok pembatas ketiga, di bawah arca-arca para dewata
utama, terletak tempat kehormatan yang dikhususkan bagi para raja dan
pedanda agung; di Candi iva barangkali untuk para raja Mataram dan
Colebrooke (Miscellaneous Essays, jilid ke-1, hlm. 189), merujuk pada aktasvin
Bhavani: Pengurbanan ternak di hadapan para dewata adalah kekhasan sekte ini. Dan
Coleman, Mythology of the Hinus, hlm. 68 dan 94: Di Kalighat, sebuah tempat di
sekitar Calcutta, berdiri kuil pengurbanan Kl, di mana di atas altarnya amat banyak
hewan yang setiap tahun dikurbankan. Pada kesempatan festival Kl, kuil-kuilnya secara
harfiah berubah menjadi kolam darah. Lihat juga Friederich [1876] tentang Dieng dan
Ungaran.

181

J.W. IJzerman

Candi Brahm untuk delapan pedandanya, di mana pasu berisikan abu jasad
mereka ditempatkan di sana bersamaan waktunya ketika arca itu dipasang di
situ. Tempat kehormatan juga disediakan di ketiga candi di sebelah timur,
menanti sampai ada orang mati yang dianggap layak untuk disemayamkan di
sana.
Pada tiga deretan berturut-turut terletak [tempat pemakaman] pendudukpenduduk terkemuka, di antara dua tembok bagian dalam yang melingkar;
tampaknya bahwa bangunan pada deretan keempat sama sekali belum
dimulai.
Orang-orang Hindu, seperti juga orang-orang Kristen, lebih suka
dikuburkan di bawah lengkungan-lengkungan kubah tempat-tempat suci
mereka atau di bawah naungan taman-taman candi di luar sana.

182

J. PH. VOGEL

Relief Rma Prambanan yang pertama

Tulisan Vogel yang disertakan kembali di bawah ini adalah ulasan pertama
yang membahas masalah identifikasi dari teks sastra yang mendasari reliefrelief Rmyan a di Candi iva di Prambanan. Metode-metode yang digunakan
Vogel patut dicontoh. Berbeda dari kebiasaan pada zamannya, Vogel
mendasarkan dirinya tidak semata-mata pada teks klasik Vlmk, lalu
kemudian mengasalkan perbedaan-perbedaan antara versi kisah itu dan yang
digambarkan pada relief-relief tersebut pada berbagai tafsiran pribadi dan
kekeliruan pada pihak si pemahat Jawa. Sebaliknya, ia mengkaji sejumlah teks
berbeda, yang beberapa darinya bersepadanan lebih dekat dengan adeganadegan pada relief-relief tadi daripada dengan teks Vlmk. Beberapa tahun
kemudian, Stutterheim (1925) juga menyertakan versi-versi berbeda yang
diambil dari tradisi-tradisi lisan kerakyatan dalam penelitiannya atas reliefrelief yang tersisa, seraya memberi pengakuan yang seharusnya kepada Vogel
atas ilham yang ia timba dari karyanya.

Setiap orang yang berkecimpung dalam bidang kepurbakalaan di Jawa


niscaya mengetahui berkas berisikan 62 foto lengkap dengan keterangannya
yang dipersembahkan untuk Candi Prambanan yang diterbitkan hampir tiga
puluh tahun lalu oleh Dr. J. Groneman. Pihak penerbit tak pelak lagi telah
menunaikan sebuah pelayanan yang besar dengan menyajikan liputan
fotografis pertama yang jelas atas sebuah candi Hindu-Jawa. Lebih dari itu,
candi dimaksud terbilang salah satu reruntuhan yang paling menakjubkan di
Jawa. Candi itu memperagakan serangkaian adegan yang dipahat yang
melukiskan petualangan sosok pahlawan dewata Rma dengan tingkat
kesenian yang sangat tinggi serta pelukisan yang begitu hidup yang malah
tiada tandingannya di anak benua India. Tanpa bermaksud untuk
Diterbitkan pertama kalinya dengan judul Het eerste Rma relief van Prambanan, dalam
Bijragen tot e Taal-, Lan- en Volkenkune 77 (1921):202-215.

183

J. Ph. Vogel

mengurangkan secuil pun rasa terima kasih kita kepada Dr. Groneman atas
penerbitan tersebut, namun saya kira bahwa bila kita mengamati penjelasanpenjelasan yang ia berikan atas relief-relief ini maka dalam beberapa segi
masih tersisa beberapa hal yang perlu dikaji lebih lanjut.
Begitulah kita menemukan komentar berikut tentang relief pertama dari
seri Rma itu:
Di sebuah belantara yang dipepaki oleh bebatuan dan binatang-binatang liar
(seekor ular, seekor kadal, dan burung-burung), kita melihat Garud a, elang
matahari dan kuda (vhana) Vis n u, digambarkan sebagai seorang manusia
yang memiliki paruh, sepasang sayap dan cakar-cakar seekor burung, yang
duduk dengan posisi hormat (sil). Garud a itu sedang memegang sekuntum
bunga teratai dengan kedua belah tangannya, sambil memalingkan
pandangannya kepada tuan dewatanya, yakni Nryan a, yang tengah bersandar
di lautan yang dihuni oleh makhluk-makhluk lautan, yang dilahirkan oleh ular
berkepala tujuh, yaitu es a atau Ananta (yang tak terbatas).
Nryan a berhasil dikenal, walaupun wajahnya rusak parah, oleh keempat
tangannya, di mana yang satu yaitu lengan kanan sebelah belakang sedang
memegang cakra atau roda, sedangkan yang lain yaitu lengan kiri sebelah
belakang sedang memegang aka atau kerang dewa, dan tangan ketiga yaitu
lengan kanan sebelah depan sedang memegang upavta atau tali suci yang
digantungkan menyilang di depan dada dan di atas bahu kiri oleh para dewata
dan juga semua orang yang terlahir untuk kedua kalinya (para anggota kastakasta atas), sedangkan lengan kiri sebelah depan disandarkan pada kain
pinggang atau cawat, yang direntangkan oleh lutut kiri yang ditegakkan.
Telapak tangan terbuka yang menghadap ke depan rusak parah, dan apa pun
yang diletakkan di situ tidak dapat dikenali lagi.
Sama seperti semua dewata, Vis n u Nryan a mengenakan sebuah
mahkota (makuta) dan hiasan-hiasan raja.
Kita tahu bahwa avatra Vis n u yang ketujuh menampakkan dirinya di
dunia para rksasa
dan manusia sebagai Rma, dan karenanya menyadari

bahwa legenda Rma, yang adegan-adegan utama tentangnya dipahatkan dalam


seri relief ini, mesti menjadikan sosok dewa ini sebagai titik tolak.
Terdapat lima sosok raja bermahkota (tanpa lingkaran cahaya apa pun)
sedang memberi penghormatan kepada sang dewa dan mempersembahkan
J. Groneman, Tjani Parambanan op Mien-Java, na e ontgraving; Met lichtrukken
van Cephas. s-Gravenhage: Koninklijk Instituut voor de Taal-, Land- en Volkenkunde
van Nederlandsch-Indi, 1893, hlm. 9 dst.

184

185
Foto 14. Relief Rma Prambanan yang pertama. (OD-foto 3467, diambil dari Bijragen tot e Taal-, Lan- en Volkenkune 77
[1921].)

J. Ph. Vogel

kepadanya sesajen berupa bebungaan. Salah satu dari mereka yang pertama
dicirikan oleh janggutnya yang lebat sebagai seorang laki-laki berusia lanjut.
Keempat yang lain adalah perempuan, walaupun mereka tidak dilukiskan
dengan buah dada membusung sebagaimana yang lazimnya dimiliki oleh
sosok-sosok perempuan Hindu. Namun hal ini, seperti ekstrem lainnya buah
dada yang kempis dan menggelantung bukanlah corak yang tidak lazim dari
pahatan-pahatan ini, dan bukan tanpa maksud tertentu. Hal ini lebih benar lagi
di sini, andai kata saya tidak keliru bila menyebut raja itu sebagai Daaratha,
Raja Ayodhy, yang sedang berdoa agar dikaruniai keturunan dari ketiga
istrinya yang mandul. Perempuan keempat sama sekali tidak disinggung dalam
berbagai terjemahan dan ikhtisar kisah Rmyan a yang saya ketahui, tetapi
boleh jadi berasal dari versi lain dari wiracarita itu. Mahkota yang
dikenakannya menafikan kita untuk menyebutnya sebagai dayang-dayang
perempuan.

Bagian pertama dari penjelasan Groneman tepat kecuali untuk beberapa


perinciannya. Bila kita mengamati sekilas pada foto maka akan tampak,
misalnya bahwa ular jagat es a yang menjadi sandaran Vis n u sebenarnya
cuma dilukiskan dengan satu kepala. Tiga kepala yang muncul di sebelah
kiri badan ular itu jelas-jelas adalah kepala ikan, yang bersama-sama dengan
makhluk-makhluk lautan lainnya menjadi ciri khas dari samudra. Namun
pada kedua belah sisi dari leher ular yang dijulurkan itu, kita dapat melihat
penggelembungan khas mirip sendok (Skt. phan atau phat)
dari kobra.
Tangan kiri Vis n u sebelah depan tidak menunjukkan tanda-tanda
adanya benda apa pun, sejauh yang dapat saya amati. Bahkan sangat boleh
jadi bahwa tangan ini benar-benar tidak memegang sesuatu, karena telapak
tangan yang terbuka (varamur ) itu sendiri memiliki makna simbolis
khusus dalam ikonografi India, yaitu sedang menyerahkan karunia
kemurahan dewata. Walaupun per kaidah, tangan kananlah yang melakukan
sikap ini, namun sang seniman rupanya memberanikan diri di sini mengubah
kaidah itu berdasarkan pengelompokkan lukisan-lukisannya. Bagaimanapun
juga makna dari posisi tangan itu seluruhnya jelas di sini.
Menyangkut tafsiran Groneman tentang kelompok lima orang yang
Foto yang direproduksi bersama tulisan ini berasal dari Dinas Purbakala Hindia Belanda.
[Foto OD 3467; lihat juga OD 2127.]
Sangat boleh jadi bahwa pada telapak itu aslinya dipahat sebuah roda, sebuah teratai, atau
tanda-tanda lain yang melambangkan nasib baik (Skt. laks an a).

186

Relief Rma Prambanan yang pertama

duduk berhadapan di depan Vis n u, terdapat keberatan-keberatan yang


sungguh-sungguh. Jika kita menyebut kelompok itu sebagai Raja Daaratha
bersama ketiga istrinya, maka kita punya satu orang lebih. Tidak ada versi
mitos ini yang mengisahkan bahwa Daaratha memiliki empat istri. Lebih
dari itu, sosok berjanggut panjang yang disangka raja jauh lebih mirip
dengan seorang petapa Brahmana daripada sosok raja, walaupun anggotaanggota badannya jelas-jelas dihiasi dengan rupa-rupa permata.
Keberatan-keberatan ini juga dengan tegas diajukan Van Stein
Callenfels yang dalam sebuah terbitan baru-baru ini dari Dinas Purbakala
Hindia Belanda memberi penjelasan berikut menyangkut relief yang tengah
dibicarakan :
Vis n u menunggangi ular, yang menyembul dari lautan, dan di belakangnya
ada Garud a. Di depannya berlutut Rs yar ga yang tengah mempersembahkan
kurban kepadanya, dan di belakangnya ada Raja Daaratha bersama ketiga
istrinya.

Maka, bagaimanapun juga seturut tafsiran ini masalah jumlah orang


diselesaikan. Di sini pemimpin dan juru bicara kelompok bukan sang raja
seperti yang disangka, melainkan sang petapa R s yar ga yang memainkan
peran utama dalam persembahan kurban Daaratha dengan tujuan agar
dianugerahi anak-anak lelaki (Skt. putry ishti).
Namun dalam hal ini,
bagaimana kita dapat menjelaskan lukisan sang petapa dan pedanda yang
tengah menjalankan tugasnya dalam upacara kurban tadi mengenakan
perhiasan-perhiasan? Keberatan ini dapat disangga dengan penjelasan bahwa
sang pelihat Vivmitra, yang lukisannya terdapat pada relief-relief
berikutnya (lihat Groneman: pelat XII-XIV), juga digambarkan mengenakan
anting-anting dan kalung. Namun terdapat sebuah keberatan yang lebih
penting lagi, yaitu bahwa keempat sosok yang menyertai tokoh yang diduga
Rs yar ga tak diragukan lagi semuanya laki-laki. Maka, penjelasan
Groneman bahwa tidak adanya buah dada yang barangkali dimaksudkan
sebagai tanda kemandulan para istri Daaratha, walaupun agak dibuat-buat,
jelas-jelas dikarangnya untuk mendukung keyakinannya.
M. Lulius van Goor, Korte gis voor e tempelbouwvallen in e Prambanan-vlakte, het
Ding-plateau en Geong Sanga, Weltevreden 1919. Sebuah daftar singkat namun akurat
mengenai relief-relief Rma dimuat dalam Lampiran II. Daftar itu menyajikan sebuah
penjelasan yang tepat tentang banyak hal yang tidak berhasil dipahami Groneman.

187

J. Ph. Vogel

Penjelasan tersebut kehilangan seluruh pijakannya.


Agar dapat mencapai sebuah tafsiran yang masuk akal, maka sebaiknya
kita merujuk pada teks-teks yang berkaitan. Teks pertama yang mesti diacu
dalam hal ini adalah wiracarita Rmyan a terkenal dari Vlmk. Sarga ke15 dari syair pertama (Blaknda) dalam terjemahannya berbunyi sebagai
berikut:
Rs yar ga untuk sejenak tenggelam dalam kontemplasi, dan setelah kembali
sadar ia berkata kepada sang raja [Daaratha], cendekiawan arif Veda, Saya akan
mempersembahkan kurban untuk memperoleh anak-anak lelaki seturut ketentuan
ritus dengan rumusan-rumusan yang ditetapkan dalam Atharva Veda. Ia yang
mulia kemudian memulai mempersembahkan kurban guna memperoleh anakanak lelaki dan menaruh kurban-kurban itu dalam perapian bersama dengan ulah
kebaktian suci yang dibarengi dengan doa-doa kurban. Kemudian para dewata dan
Gandharva serta kepala para Rsi agung berkumpul guna menerima bagian mereka ,
sesuai dengan tata aturan. Setelah berkumpul sebagaimana mestinya oleh kurbankurban ini, para dewata tadi mengujarkan kata-kata ini kepada Brahm, sang khalik
dunia: Wahai Penguasa, oleh perkenanmu kami semua disiksa oleh seorang
Rksasa,
bernama Rvan a, yang sedang memamerkan kekuatannya yang dashyat,

dan kami tidak sanggup untuk menghukumnya. Dikau telah berkenan memberinya
sebuah karunia, Wahai Penguasa, dan dengan selalu menghormati karunia yang satu
ini kami berkewajiban untuk menenggang semua tindakannya. Ia mendatangkan
kengerian pada tiga dunia, dalam kebodohannya ia membenci yang mahatinggi
[dewa-dewa], dan ia bertekad akan mengusik Indra, raja para dewata. Ia melampaui
para Rsi, Yaksa dan Ganharva, dan juga para Brahmana dan Asura, [tindakan]
yang tidak dapat dipersalahkan namun membingungkan karena karunia yang
diberikan kepadanya. Matahari tidak lagi bersinar, begitu pula angin tidak lagi
berhembus; lautan yang bersiap-siap dengan gelombangnya yang menggelora
merasa ngeri ketika melihatnya. Maka dari itu, bahaya teramat besar tengah
mengancam kami oleh ulah sang Rksasa,
yang mengerikan bila dilihat. Engkau

mesti memikirkan sebuah cara untuk membunuhnya, Wahai Penguasa.

Karena diserukan seperti itu oleh semua dewata, maka ia [Brahm] setelah
melakukan pertimbangan sebagaimana mestinya berkata: Baiklah, saya tahu
cara berikut untuk membunuh sang bajingan. Dahulu ia pernah
Saya mengikuti edisi Bombay.
Di sini saya memakai tafsiran bhgapratigrahrtham dalam edisi Von Schlegel [1829]. Di
sini saya menafsirnya sebagai wikampate, alih-alih na kampate.

188

Relief Rma Prambanan yang pertama

berkata, Saya memohon agar tidak dapat dilukai oleh para Ganharva dan
Yaksa,
dan saya telah mengabulkannya. Sang
oleh para Dewata dan Rksasa,

rksasa
itu dalam keangkuhannya tidak menyinggung tentang manusia;

karenanya ia mesti dibunuh oleh seorang manusia. Tidak ada cara lain untuk
membunuhnya. Mendengar kata-kata menggembirakan yang diucapkan
Brahm, maka para dewata dan sang Rsi agung semuanya bersuka cita.
Dalam pada itu, Vis n u telah muncul, penuh kegemerlapan, sang penguasa
dunia, gilang-gemilang dalam baju panjang kuningnya, seraya memegang
sebuah kerang, cakra, dan gada di kedua belah tangannya. Ia mengendarai
burung Garud a, bagaikan kilauan matahari di balik awan hujan. Ia mengenakan
kalung yang terbuat dari emas murni. Diiringi puja-puji para dewata
mahatinggi dan dipersatukan dengan Brahm, ia berdiri di sana penuh
perhatian. Semua dewata berbicara kepadanya, seraya memuji dia dengan
kepala tertunduk: Kami ingin memberimu sebuah tugas, Wahai Vis n u, oleh
hasrat demi keselamatan dunia. Lihatlah di sana, Wahai Penguasa, seorang
prabu bernama Daaratha, sang penguasa Ayodhy, yang murah hati dalam
segenap perbuatannya dan seorang ahli Hukum, dan sebanding dalam semangat
dengan sang Rsi agung. Turunlah untuk menjadi putranya melalui ketiga
istrinya, penjelmaan dari Kesahajaan, Keberuntungan, dan Kemuliaan, Wahai
Vis n u, dan bagilah dirimu menjadi empat. Tatkala engkau telah menjadi
seorang manusia, Wahai Vis n u, kalahkan dalam pertempuran onak dunia yang
telah matang itu, yakni Rvan a, yang tidak dapat dilukai oleh para dewata.
Rksasa
Rvan a, si pandir itu, saking congkaknya hendak menyiksa para

dewata dan Gandharva serta sang Rsi agung mahatinggi. Sang penindas zalim
itu telah menghinakan sang Rsi dan juga para Ganharva serta Apsara yang
tengah bermain-main di Taman Nandana. Kami telah bermusyawarah dengan
para Muni dengan tujuan mendatangkan kematian atasnya. Para Siha,
Ganharva, dan Yaksa berpaling kepadamu mencari perlindungan. Dikaulah
perlindungan kami yang terakhir, Wahai Penguasa, yang menjatuhkan siksa atas
para seteru. Palingkan perhatianmu ke dunia manusia demi menghancurkan
para seteru dewa-dewa.
Dipuja-puji demikian, maka sang penguasa segala dewata, yakni Vis n u,
yang menerobos angkasa, padanya seluruh dunia memberi penghormatan,
berbicara kepada permusyawaratan para dewata itu, dengan Bapak Segala
(Brahm) sebagai pemimpin mereka dan taat Hukum: Jika kalian sudi,
singkirkanlah ketakutanmu. Demi keselamatan [dunia] saya akan mengalahkan
Rvan a dalam pertempuran, dengan semua anaknya yang laki-laki dan semua
cucunya yang laki-laki, dengan para menterinya, dengan para anteknya, kaum

189

J. Ph. Vogel

kerabatnya dan para pengikutnya dia, yang ganas dan tidak dapat didekati,
yang mendatangkan kengerian di antara para Rsi kayangan. Dan saya akan
tinggal di dunia manusia selama puluhan ribu dan puluhan ratus tahun, seraya
melindungi bumi yang luas ini.
Begitulah sang dewa Vis n u, yang penuh penguasaan diri memberi
kepada para dewata sebuah karunia dan membuktikan sebuah tempat kelahiran
bagi dirinya sendiri di antara manusia. Kemudian, setelah membagi dirinya
menjadi empat, [sang dewa] dengan sepasang mata yang mirip dengan
dedaunan teratai itu menerima Raja Daaratha sebagai ayahnya. Setelah itu,
para Rsi kayangan dan Ganharva serta rombongan para Apsara memuji sang
penakluk Madhu itu (Vis n u) dengan kidung kayangan yang berbunyi:
Bunuhlah si Rvan a yang congkak itu, yang keranjingan mendatangkan
kengerian, yang penuh dengan kesombongan nan takabur, yang membenci para
dewata mahatinggi, yang membuat dunia meraung, yang menjadi duri [dalam
daging] para pentobat yang saleh, yang mendatangkan kengerian dalam hati
para pentobat. Bunuhlah dia bersama-sama dengan bala tentara dan para
pengikutnya, si Rvan a yang keberaniannya mengerikan itu, yang membuat
dunia meraung, dan tanpa rasa takut sama sekali ia telah naik ke kayangan,
yang bebas dari noda-noda dosa dan dijaga oleh raja para dewata.

Selanjutnya, sarga berikutnya mengisahkan bagaimana satu makhluk yang


aneh dan menakjubkan muncul di hadapan Raja Daaratha dari dalam api
pengurbanan ketika upacara kurban tengah berlangsung. Makhluk ini, yang
dilukiskan begitu terperinci, memperkenalkan dirinya kepada sang raja
sebagai seorang manusia Prajpati dan menyerahkan kepadanya sebuah
mangkuk emas berisikan makanan kayangan (sebenarnya bubur). Kalau para
istrinya memakannya maka keinginannya untuk memperoleh anak-anak
lelaki akan dikabulkan. Maka, kita menyaksikan bahwa menurut versi cerita
ini bukan sang raja, bukan pula pedanda melainkan R s yar ga yang pergi
menghadap Vis n u. Para dewata itulah, dengan Brahm sebagai pemimpin
mereka, yang mengadu kepada Vis n u tentang perilaku Rvan a dan
memohon kepadanya agar menjelma guna menumpas raja rksasa
jagat itu.
Terdapat sejumlah versi lain dari mitos populer Rma di samping
wiracarita akbar Vlmk dalam sastra India kuno. Demikianlah, kita
menemukan mitos itu disisipkan dalam bentuk yang disingkat secara

190

Relief Rma Prambanan yang pertama

drastis sebagai Rmopkhyna ke dalam wiracarita akbar lainnya, yaitu


Mahbhrata. Namun wiracarita ini cuma menyinggung secara sangat
singkat bagaimana para Brahmr s i dan Devar s i , sambil menjunjung dewa
api Agni di atas kepala mereka, datang ke hadapan Brahm untuk
mengadukan Rvan a. Brahm menenangkan pikiran mereka dengan
mengatakan bahwa Vis n u telah turun untuk membunuh Rvan a.
Di antara syair-syair kemudian yang dipersembahkan untuk tema yang
sama, Raghuwama gubahan Klidsa patut disinggung secara khusus. 10
Penyair agung yang menggubah karya sastra Sanskerta klasik ini kini pada
umumnya dianggap hidup sebagai penyair istana dari raja-raja dinasti Gupta
pada abad ke-5 M. Dalam wiracaritanya yang berjudul Raghuwama ia
mengagungkan para raja dari dinasti Matahari itu, yang menurut mitos
menjadi leluhur Rma. Namun pengembaraan para leluhur Rma, terutama
Raghu, dilukiskan secara sangat terperinci di sini daripada si pahlawan
kayangan itu sendiri, rupanya karena perbuatan-perbuatan Rma telah
diluhurkan secara sedemikian mengagumkan oleh bapak para pujangga,
yaitu Vlmk. Apa yang dikisahkan oleh wiracarita akbar berjilid lima itu
dengan banjir kata-kata yang sangat panjang-lebar, di sini cuma menjadi
sebuah miniatur bait dengan 104 larik saja, tulis Alexander Baumgartner. 11
Itu adalah sebuah ikhtisar yang sangat mempesona dan elok, sungguhsungguh sebuah ringkasan kilat dari syair yang lebih panjang. Namun tak
perlu ditandaskan lagi bahwa ikhtisar itu tidak bisa menjadi pengganti syair
dimaksud. Adegan yang satu mengikuti adegan yang lain dalam rentetan
yang cepat. Mustahil untuk mengembangkan sepenuhnya sebuah motif apa
pun. Hanya pertempuran memperebutkan Lak sekali lagi tampil mencolok
di sini, sedangkan banyak segi serupa dihilangkan dan segala sesuatunya
maju dengan cepat menuju sebuah kesimpulan tergesa-gesa.
Lebih-lebih lagi mesti dicatat bahwa hampir keseluruhan sarga ke-10
dari syair Klidsa dikhususkan untuk episode penjelmaan Vis n u menjadi
seorang manusia, dan karenanya menjadi sebuah pengantar yang agak
Mahbhrata III, ahy. 274-291. Lihat juga Vishn u Purn a, terjemahan Wilson, hlm.
383.
10 Alexander Baumgartner, Das Rmyan a un ie Rma-Literatur er Iner; Eine
literaturgeschichtliche Skitzze, Freiburg i. Breisgau, [1894], hlm. 91-102. Alfred
Hillebrandt, Klisa; Ein Versuch zu seiner literarischen Wrigung, Breslau, 1921, hlm.
40-66.
11 Alexander Baumgartner, Das Rmyan a un ie Rma-Literatur er Iner; Eine
literaturgeschichtliche Skitzze, Freiburg i. Breisgau, hlm. 96.

191

J. Ph. Vogel

panjang dibandingkan dengan versinya yang disingkat atas kisah Rma yang
sesungguhnya. Namun pemerincian yang berlebihan ini tidak bisa menjadi
alasan apa pun bagi kita untuk mengeluh, khususnya karena madah-madah
pujian para dewata kepada Vis n u (bait 16-32) merupakan mutiara dari
persajakan India klasik.
Saya memberanikan diri untuk mengutip keseluruhan madah pujian itu
dalam terjemahan di bawah ini.
1. Ketika ia (Daaratha) yang setara dalam semangatnya dengan Sang
Penghukum [Indra] para asura menegakkan suatu tata cara yang tegas
di seantero penjuru dunia, beribu-ribu musim gugur telah berlalu, namun
semuanya sekejap saja. Akan tetapi, tiada sesuatu pun yang berkurang
dalam kemaslahatannya.
2. Namun ia tidak memperoleh sarana untuk menebus utang kepada para
leluhur, yakni apa yang disebut anak laki-laki 12 sebuah cahaya yang
tiba-tiba menghalaukan kesuraman nan pekat dari jiwa yang murung.
3. Untuk waktu lama upaya sang raja untuk memperkembang-biakkan
bangsanya tetap bergantung pada faktor-faktor dari luar, sama seperti
lautan yang menghasilkan mutiara tetap tak tersingkap sampai lautan itu
diaduk [oleh para dewata dan asura].13
4. Karena [sang raja] merindukan kelanjutan garis keturunannya, maka
Rs yar ga dan para pedanda saleh dan bijaksana yang lain yang
bertugas mempersembahkan upacara kurban berusaha melaksanakan
kurban agar diperoleh anak-anak lelaki.
5. Ketika itu para dewata, yang diserang anak lelaki Pulastya [Rvan a],
berpaling kepada Vis n u, bagai para pengembara yang disengat panas
matahari yang mencari perlindungan di bawah naungan sebatang pohon.
6. Setibanya mereka di lautan, sang ciptaan Pertama (dipurus a, atau
Vis n u) terjaga [dari tidur yoganya]; sebab kewaspadaan adalah ciri khas
dari pertempuran-pertempuran di masa datang.
12 Seorang Arya memiliki utang rangkap tiga yang mesti dilunasi, yaitu kepada para dewata,

Rsi dan leluhur, yang masing-masingnya dibayarnya dengan mempersembahkan kurbankurban, mempelajari Veda, dan memperanakkan seorang putra. Anak lelaki itulah yang
harus mempersembahkan kurban kepada Manes. Bdk. Manu IV, 257, dan VI, 35-37
[Mnava Dharma-stra].
13 Hal ini merujuk pada mitos terkenal tentang pengadukan lautan (bahasa Sanskerta: amrta
manthana) di mana segala hal yang aneh menjadi kasatmata.

192

Relief Rma Prambanan yang pertama

7. Rombongan besar kayangan memandang dia duduk di atas takhta yang


terbuat dari gulungan seekor ular buas (ular jagat es a), bentuknya
bercahaya dengan kelap-kelip permata yang melingkar di kepalanya.
8. Kedua kakinya dirangkul oleh [istrinya] r, yang duduk di atas takhta
yang terbuat dari teratai, dengan kedua tangannya, yang lembut gemulai
seperti ranting pohon muda, terbuka di atas pangkuannya, sedangkan
pinggangnya diselubungi oleh kain yang indah.
9. Dengan mata seperti bunga-bunga teratai yang mekar seutuhnya, dengan
baju panjang yang berkilauan lembut seperti matahari yang barusan
terbit, Vis n u tampil bagaikan sebuah hari di musim gugur, elok
dipandang ketika baru saja dimulai.
10. Pada dadanya yang bidang ia mengenakan tetesan air samudra yang
sangat berharga, yaitu permata kaustubha, yang sinarnya lebih kemilau
daripada lambang rvatsa14 dan memantulkan lirikan mata Laks m ke
sebelah samping.
11. Dengan kedua lengan semampai seperti ranting pohon dan dihiasi
dengan permata-permata kayangan, ia menyembul di tengah-tengah air
seperti Pohon Nirwana yang lain,
12. Sementara lengkingan kemenangan dibahanakan oleh anak-anak panah
yang diperlengkapi dengan kesadaran telah merampok gelora
kegembiraan dari pipi rksas-rks
as.

13. Berdiri di sampingnya, dengan kedua tangannya yang terlipat naik


dengan lembut, adalah burung Garud a, yang masih membawa bekasbekas luka akibat sambaran petir Indra, dan menahan amarahnya ketika
berhadapan muka dengan es a.15
14. Dengan pandangannya yang murni, yang dijernihkan oleh akhir dari
tidur yoganya, Vis n u berpaling kepada Bhr gu dan para pelihat lain,
yang bertanya apakah ia menikmati istirahat yang menyenangkan.
15. Kini sambil merebahkan diri mereka di hadapannya, yaitu dia yang
menghancurkan makhluk-makhluk yang menghina para dewata (yakni
para Asura), para dewata memuji dia yang patut dipuji itu, yang tak
14 Permata kaustubha yang menghiasi dada Vis n u, yang memuat lambangrvatsa, tak pelak
lagi pada mulanya adalah lambang keberuntungan (ubhalaksan
a).

15 Mahbhrata (I, ahy. 31-34) menceritakan bagaimana Garud a bertempur dan mengalah
kan para dewata dalam pencariannya untuk menemukan minuman para dewata (amrta).

Indra menyerangnya dengan petirnya (vajra), namun ia cuma kehilangan sehelai bulunya.
Garud a adalah musuh bebuyutan dari para Nga, namun menyimpan dendamnya ketika
berhadapan dengan es a, sang ular jagat, karena hormatnya terhadap Vis n u.

193

J. Ph. Vogel

16.

17.

18.

19.

20.

21.

22.

terperikan oleh semua perkataan dan pikiran.


Terpujilah Dikau, yang pada permulaan telah menciptakan alam
semesta, yang selanjutnya memelihara alam semesta, dan yang akan
menampung kembali alam semesta. Terpujilah Dikau, yang berhakikat
rangkap tiga.
Sama seperti air dari langit, yang memiliki cita rasa tunggal, lalu
mengambil cita rasa lain dalam aneka jenis tanah, Engkau menerima
berbagai penampakan berbeda dalam sifat-sifat dasar 16 segala sesuatu,
sementara itu Engkau sendiri tetap tidak berubah.
Engkau sendiri tidak dapat diukur, namun Engkau telah mengukur dunia.
Engkau sendiri bebas dari segala keinginan, namun Engkau adalah
pemenuh segala kebutuhan. Tak terkalahkan, Engkau adalah sang
pemenang tanpa kecuali. Engkau sendiri tak tersingkapkan, namun
Engkau adalah asal mula dari segala sesuatu yang disingkapkan.
Engkau sungguh-sungguh berdiam di dalam hati manusia namun jauh
tak terjangkau. Engkau tak memiliki hasrat apa pun, namun sungguhsungguh menyilih dosa-dosa.17 Penuh bela rasa, namun Engkau tak
tersentuh oleh duka cita. Berada sejak dahulu kala, namun Engkau tak
pernah tua.
Engkau mengetahui segala sesuatu namun tidak diketahui. Engkau
adalah asal mula segala sesuatu namun sungguh-sungguh berada dalam
kesendirian. Engkau adalah penguasa segala sesuatu namun tidak
diperintah oleh siapa pun. Engkau adalah esa namun sungguh-sungguh
menjelma dalam semua bentuk.
Kidung pujian didendangkan kepada-Mu dalam tujuh cara. Engkau
sungguh-sungguh berbaring pada laut tujuh samudra. Api bercahaya
tujuh ada pada mulut-Mu. Engkau adalah satu-satunya tempat suci untuk
tujuh dunia.
Pengetahuan tentangnya membuahkan kelompok rangkap empat 18;

16

Filsafat India, khususnya ajaran tentang Smkhya, mengemukakan tiga sifat dasar (gun a)
yang merujuk pada sattva (kebenaran), rajas (hasrat/nafsu) dan tamas (kegelapan). Bdk.
R. Garbe, Die Smkhya-Philosophie; Eine Darstellung es inischen Rationalismus, 2te
Aufl., 1917, hlm. 272 dst.

17

Pertentangannya terletak dalam kenyataan bahwa para petapa India lazimnya melakukan
silih (tapas) agar keinginan tertentu yang mereka miliki dikabulkan, entah dalam hidup di
atas bumi ini atau di akhirat kelak.
Kelompok rangkap empat (Skt. caturwarga) terdiri atas empat hal yang menjadi sasaran
dari semua tindakan manusia, yaitu harma (hukum moral, kewajiban-kewajiban

18

194

Relief Rma Prambanan yang pertama

empat masa yang berabad-abad [aeon] di mana masa dan waktu


terpantul; dan dunia manusia dengan keempat kastanya semuanya itu
berasal dari Dikau, yang sungguh-sungguh mengenakan empat wajah.
23. Dengan pikiran yang dikendalikan oleh latihan, para yogi telah memilih
Dikau, yang sungguh-sungguh berdiam di dalam hati mereka dan
menjadi cahaya murni, bagi keselamatan mereka.
24. Siapakah yang mengetahui hakikat-Mu yang sejati, karena Engkau tidak
dilahirkan namun sungguh-sungguh memilih kelahiran, karena Engkau
tidak berubah namun sungguh-sungguh mengalahkan orang-orang yang
membenci-Mu, karena Engkau tidur pulas namun selalu terjaga?
25. Mampu menikmati bebunyian dan ranah-ranah pancaindra lainnya,
namun Engkau sanggup menjalankan tindak penyilihan yang sangat
berat. Engkau sanggup melindungi makhluk-makhluk ciptaan namun
mundur dalam kesendirian.
26. Jalan-jalan menuju kesempurnaan terbagi ke dalam cara yang bermacam
ragam, namun bertemu semata-mata di dalam Dikau, sama seperti aliran
Sungai Gangga [mengalir] ke [dalam] samudra.
27. Engkau adalah tempat pengungsian bagi orang-orang yang bebas dari
hasrat dan nafsu; pada-Mulah terpusat segala pikiran mereka; padaMulah tertuju segala amal bakti mereka. Engkau membebaskan mereka
dari kelahiran kembali.
28. Kekuasaan-Mu yang dahsyat, yang bermula dengan dunia seluasnya,
tampak nyata bagi mata kami namun tak terperikan. Apakah yang masih
dapat dikatakan tentang Dikau, yang bisa dikenal hanya dari kata-kata
Veda yang berwibawa dan dari akal budi?
29. Engkau sungguh-sungguh memurnikan manusia secara sempurna asal ia
sadar sepenuhnya akan Dikau. Betapa melimpahnya ganjaran yang
diramalkan oleh hal ini untuk semua tindakan lain yang dilaksanakan di
dalam Engkau!
30. Sama seperti mutiara-mutiara lautan dan cahaya matahari, karya-Mu
yang agung jauh melampaui segala kidung pujian.
31. Tidak ada suatu hal pun yang tak terjangkau oleh-Mu atau masih belum
Dikau peroleh. Semata-mata karena bela rasa terhadap dunia manusia
moral), artha (keuntungan, perolehan harta), kma (kenikmatan pancaindra), dan moksa
(pembebasan dari daur/lingkaran kelahiran atau kelahiran kembali).

195

J. Ph. Vogel

yang mendorong-Mu untuk lahir dan bertindak.


32. Kata-kata untuk mengagungkan kebesaran-Mu tidaklah memadai karena
telah habis atau terbatas, bukan karena keterbatasan dalam hakikatMu.
Bait-bait berikut dari sarga 10 selanjutnya menceritakan bagaimana Vis n u
setuju untuk dilahirkan kembali sebagai Rma. Ketika sang raja
mempersembahkan kurban, satu makhluk (yang juga di sini dirujuk sebagai
seorang manusia Prajpati) muncul dari dalam api, seraya memegang
sebuah mangkuk emas yang berisikan makanan kayangan, yang nyaris tidak
dapat diangkatnya karena mangkuk itu memuat Vis n u asali di dalamnya.
Tampak jelas bahwa gaya Klidsa sangat berbeda dari corak yang lebih
hemat kata-kata dari wiracarita kuno Vlmk itu. Namun dua-duanya
memiliki alur cerita yang hampir sama, cuma dengan satu kekecualian yang
mencolok. Menurut Vlmk, Vis n u datang ke upacara kurban Daaratha,
ketika Brahm dan para dewata lainnya telah lebih dahulu berkumpul,
dengan mengendarai burung Garud a. Namun dalam versi Klidsa, para
dewata itulah yang datang menjumpai Vis n u yang, sambil berbaring di
lautan, barusan terjaga dari tidurnya. Demikian pula dalam Meghata-nya
(bait 107), Klidsa jelas-jelas merujuk pada mitos terkenal yang
mengisahkan bahwa Vis n u yang di sini masih dapat dikenal secara jelas
seturut sosok aslinya sebagai dewa matahari menghabiskan waktu selama
empat bulan sepanjang musim hujan untuk tidur di Lautan Susu. Juga dalam
seni pahat India, Vis n u sering kali dilukiskan dalam keadaan tertidur lelap
yang gaib ini, berbaring pada ular jagat es a, di mana kepala ular itu yang
sebanyak lima atau tujuh membentuk sebuah langit-langit di atas kepala sang
dewa yang lagi tertidur itu, sedangkan tunangan Vis n u yaitu r atau
Laks m tengah memegang kedua belah kaki Vis n u di pangkuannya.19 Pada
umumnya terdapat setangkai bunga teratai, di mana Brahm duduk di
atasnya, yang menyembul dari pusar Vis n u. Sebuah lukisan yang sangat
menakjubkan dari abad ke-7 ditemukan di salah satu candi batu di
Mmallapuram, di Pantai Coromandel.20 Contoh
19 Sebenarnya, r atau Laks m tengah memijat kedua belah kaki Vis n u, yang, sebagaimana
diamati oleh seorang penyunting India, merupakan sebuah pelayanan yang dianggap oleh
setiap istri Hindu sebagai hak istimewa yang ia tunaikan kepada sang suaminya, malah
sampai pada hari ini.
20 Annual Report, Archaeological Survey of India, 1910-1911, hlm. 56; hlm. XXIX b.

196

Relief Rma Prambanan yang pertama

terkenal lainnya dari paruh pertama abad ke-6 (artinya, dari zaman Gupta)
disajikan oleh sebuah relief di Candi Deogarh. 21 Demikian pula, sebuah
panel terracotta [sejenis keramik kedap air yang diproses melalui
pembakaran] yang dahulunya menghiasi candi batu bata di Bhitargaon
melukiskan sosok yang sama dalam bentuk ringkas. 22 Di hadapan Vis n u
yang lagi tidur ada Asura Madhu dan Asura Kait abha yang bersenjatakan
gada. Lebih dari itu, saya pernah menemukan sejumlah lukisan Vis n u yang
tertidur di kawasan barat Himlaya, khususnya pada batu-batu yang
ditempatkan pada tangki-tangki air. Salah satu contoh paling mencolok
adalah batu besar di mata air Salhi, di Lembah Sechu, yang mengalir menuju
hulu lembah Sungai Chandrabhaga atau Chinab. 23 Sebagaimana tampak jelas
dari sebuah prasasti di sana, gambar Vis n u ini dinamakan Vis n u es a yi,
artinya Vis n u yang tertidur di atas es a.
Oleh karena itu, tidaklah mengherankan bahwa bila Klidsa berkisah
tentang para dewata yang datang menjumpai Vis n u dengan permohonan
mereka yang sangat mendesak, maka sudah semestinya ia menampilkan
Vis n u dalam posisi di mana ia secara populer dilukiskan dalam berbagai
seni pahat, dan lebih dari itu secara khusus benar-benar cocok untuk
berbagai gambaran puitis. Apakah pada saat yang sama Klidsa barangkali
mengikuti sebuah tradisi sastra yang dilestarikan dalam berbagai Purna,
tidaklah dapat dipastikan dan juga hemat saya tidak perlu diandaikan.
Namun yang paling luar biasa adalah bahwa terdapat sebuah kemiripan
dalam hal ini antara pemaparan Klidsa dan relief Prambanan. Walaupun
terdapat beberapa perbedaan seperti ketidakhadiran Dewi r serta tidak
ditemukannya ular jagat es a yang berkepala banyak yang dilukiskan sang
penyair itu dalam bait ke-7 sedang bermain-main namun relief yang
bercorak ke-Jawa-an itu dapat benar-benar dapat berfungsi sebagai sebuah
gambaran contoh terhadap penggalan Raghuwama yang dikutip di atas.
Kemiripan ini kian mencolok bila kita mempertimbangkan bahwa nyaris
tidak ditemukan sebuah lukisan pun tentang Vis n u yang tertidur dalam
kesenian Hindu-Jawa. Lebih dari itu, sebagaimana yang telah kita saksikan
bahwa pelukisan semacam itu menyimpang dari penggalan wiracarita kuno
21 V.A. Smith, History of fine art in Inia an Ceylon, Oxford, 1911, hlm. 162; pl. XXXV.
22 V.A. Smith, History of fine art in Inia an Ceylon, Oxford, 1911, hlm. 374; pl. LXXXIV,
gbr. D.

23 J.Ph. Vogel, Antiquities of Chamba State, Part I, Calcutta, 1911, hlm. 219; pl. XXXI.

197

J. Ph. Vogel

Vlmk yang dikutip di atas. Cukuplah bila ditambahkan dalam konteks ini
bahwa nyaris tidak disinggung tentang avatra Vis n u dalam saduran Jawa
Kuno atas mitos Rma. Cuma terdapat sebuah pernyataan singkat dalam
bait-bait pembuka dari syair ini, yang seakan-akan dibuat sambil lalu belaka,
bahwa Raja Daaratha adalah ayah dari Trivikrama, sebab ia menjadi
ayah dari Dewa Vis n u ketika sang dewa menjelma menjadi seorang
manusia.
Tentu saja terlalu dini bila disimpulkan dari kesejajaran yang
ditunjukkan di atas bahwa si pemahat di Prambanan dalam hal ini diilhami
oleh Klidsa, sebab tidak ada petunjuk lain bahwa Raghuwama memang
dikenal di Jawa. Lebih masuk akal bila keduanya menimba ilham mereka
dari sebuah tradisi sastra yang sejak itu tidak pernah ditemukan lagi. Juga
cukup masuk akal bila baik sang pujangga yang cemerlang itu maupun si
pemahat yang terampil itu masing-masing mengikuti ilhamnya sendirisendiri yang seluruhnya tidak berkaitan satu sama lain.
Bagaimanapun juga, yang pasti dan inilah yang menjadi sasaran
sesungguhnya yang hendak saya tunjukkan dalam tulian ini ialah bahwa
kelompok lima orang yang duduk berhadapan dengan Vis n u sebagaimana
yang dilukiskan si pemahat dari Prambanan itu tidak mewakili Raja
Daaratha bersama dengan para istrinya, tetapi para dewata 24 yang tengah
menghampiri Vis n u dengan permohonan mereka yang sangat mendesak.
Permohonan itu rupanya dikabulkan sebagaimana yang diungkapkan oleh
posisi luar biasa dari tangan kiri yang sudah kita bahas sebelumnya.
Pertanyaan yang kemudian muncul ialah siapakah yang dalam hal ini
bertindak sebagai pemimpin dan juru bicara para dewata. Bila kita mengikuti
teks klasik Vlmk maka tampaknya bahwa peran itu dimainkan oleh
Brahm, dan tampaknya tak ada sesuatu pun juga dalam penampilannya
(kecuali barangkali menyangkut permata yang sudah saya singgung
sebelumnya) yang menolak tafsiran semacam itu. Namun tidak terdapat
banyak alasan untuk membiarkan Vlmk memutuskan kata akhir di sini,
sebab keseluruhan pelukisan di Prambanan berbeda sedemikian
24 Tidak adanya prabha (nimbus) sebagai tanda corak kedewataan mereka tampaknya aneh

pada pandangan pertama. Namun kemudian, tampaknya bahwa si pemahat dari


Prambanan itu mulai terbiasa dengan memahatkan lambang ini. Ia tidak saja melukiskan
Rma, Laks man a, dan St, tetapi juga pelihat Vivmitra dan malah raja para kera, yaitu
Sugrva, lengkap dengan lingkaran cahaya di sekeliling kepala, sembari di lain pihak
meniadakan lingkaran cahaya itu dalam lukisannya atas dewa laut Sgara, yang tentu saja
jauh lebih berhak untuk dilukiskan lengkap dengannya.

198

Relief Rma Prambanan yang pertama

mencoloknya dari versi dia. Sebagaimana yang telah kita saksikan, sumbersumber India lainnya juga menampilkan Agni dan Bhgu sebagai pemimpin
para dewata.
Pertanyaan pokoknya adalah apakah si pemahat dari Prambanan itu
benar-benar mengikuti secara saksama sebuah teks tertulis tertentu, seperti si
pemahat dari Borobudur yang mengikuti Lalitavistara dalam pelukisannya
tentang legenda Buddha. Atau apakah ia menimba ilhamnya dari tradisi lisan
yang sedemikian berkembang luas di antara orang-orang India dan Jawa?
Menyangkut sebuah kisah sepopuler seperti mitos Rma, rupanya tradisi
lisan itulah yang lebih berpeluang. Seandainya kita melangkah dari sebuah
sisi tilik Hindu-Jawa maka kita memiliki alasan yang sangat masuk akal
untuk menyebut pemimpin berjanggut dari para dewata tadi sebagai iva
dalam bentuk Bhat t ra Guru, alih-alih sebagai Brahm.
Demikianlah, ada banyak hal tentang relief-relief Prambanan yang
masih membutuhkan penyelidikan dan penjelasan. Oleh karena sekarang ini
sudah tersedia sebuah risalah yang tepat yang dipersembahkan untuk kuil
Buddhis terbesar yakni Borobudur, maka tiada yang lebih dinantikan oleh
para pengagum seni pahat Hindu-Jawa daripada sebuah karya yang sarat
ilustrasi dan dibubuhi keterangan tentang relief-relief Rma di Prambanan.

199

N.J. KROM

Arca-arca Prambanan
Arti penting karya Krom bagi bidang arkeologi di Jawa sudah sedemikian
terkenal sehingga tidak membutuhkan uraian lebih lanjut. Sampai dengan
Perang Dunia II, penjelasannya tentang kompleks percandian Loro Jonggrang,
di mana bagian inti dari karyanya yang berjudul Inleiing tot e HinoeJavaansche Kunst menjadi sebuah panduan yang sarat guna baik bagi para
pengunjung biasa maupun para sarjana peneliti. Pelukisannya tentang arca-arca
yang ada di sana, yang terjemahannya disajikan di bawah ini, masih tetap
mutakhir. Bagian ini khususnya penting karena peneguhan yang dibuatnya atas
berbagai pengamatan tentang cacat teknis dan cacat artistik dalam beberapa
arca di Candi iva oleh beberapa cendekiawan sebelum Krom, dan juga
keputusannya menyangkut persoalan apakah cacat-cacat tersebut mesti
dijelaskan dalam rangka rupa-rupa kesalahan di pihak para pembuat atau
apakah cacat-cacat itu adalah hasil dari kenyataan bahwa arca-arca yang
sekarang kita temukan berada di sana bukanlah arca-arca yang aslinya,
melainkan dipasang di sana pada waktu kemudian sebagai pengganti arca-arca
lain yang identitasnya masih harus dikaji lebih lanjut.
[Mengikuti berbagai ketentuan yang ditetapkan untuk para pemuja agama
Hindu, Krom memasuki Candi iva melalui gapura di sebelah timur agar bisa
berjalan melingkar lantai selasar mengelilingi praaksin
. Setelah menjelaskan
relief-relief pada tiap sisi lorong, ia sekali lagi mengikuti jalan yang ditentukan
secara ritual untuk mengelilingi arca-arca itu, dan secara singkat menyinggung
tentang iva Mahdeva, iva-Guru (Agastya), Gan ea serta Durg. Namun
pelukisannya yang lebih terperinci mengenai arca-arca itu mengikuti sebuah
urutan yang berbeda: Gan ea, Agastya, Durg, dan
iva.]

Di sebelah barat Gan ea duduk di atas sebuah takhta. Sang dewa


ditunjukkan dalam penampilan lahiriahnya yang lazim, yang bisa dijumpai
ribuan kali di mana-mana di Jawa: dengan tengkorak dan bulan sabit sebagai
hiasan kepalanya, ikat pinggang kasta berupa ular, dan ia berlengan empat.
Di tangan kirinya yang sebelah depan ia memegang
Nukilan dari Inleiing tot e Hinoe-Javaansche Kunst, s-Gravenhage: Nijhoff, 1923,
Jilid-I, hlm. 472-487.

200

Arca-arca Prambanan

sebuah piring makanan kecil dengan ujung belalai, di tangan kanannya yang
sebelah depan tergenggam gadingnya yang patah; di tangan kirinya yang
sebelah belakang terdapat sebilah kapak, dan tangan kanannya yang sebelah
belakang memegang seuntai aksaml
(tasbih) dengan posisi agak

ditinggikan. Dasar takhtanya, yang berukuran luas 1,42 m dan menjorok


1,20 m dari dinding sebelah belakang, ditutupi oleh dasar alas tiang bilik,
terdiri atas dua panel datar, yang melintang di atasnya; bagian depan dihiasi
dengan bentuk dedaunan yang sangat indah; bagian ini dihubungkan dengan
sisi belakang yang dihiasi dengan sebuah lingkaran cahaya (nimbus) dan
dikelilingi oleh lidah-lidah api.
Bhat t ra-Guru [Agastya] di bilik sebelah selatan berdiri di atas sebuah
bantalan teratai yang bertumpu pada sepotong batu sandaran yang dihiasi
dengan sebuah lingkaran cahaya; ia mengenakan jenggot sebagaimana
biasanya dan badannya cukup berat. Di tangan kirinya dahulunya ia
membawa buyung air, sedangkan tangan kanannya yang ditaruh di depan
dada memegang seuntai aksaml.
Di sisi sebelah kanan batu sandaran

berdiri sebuah trila, dan sebuah alat pengusir lalat (cmara) meng
gelantung pada bahunya yang sebelah kanan; pada sisi yang sama ujung
busananya menjuntai pada batu sandaran. Dari lapik yang sekarang berhasil
dipugar, sisa-sisa peninggalannya jauh lebih sedikit daripada lapik-lapik di
kedua bilik yang lain. Namun takhta yang pernah ada di sana pasti berjenis
sama dengan kedua takhta dari kedua dewa yang lain; sebuah fragmen dari
batu sandaran dengan lidah-lidah api menunjukkan bahwa beberapa makara
yang elok dahulunya menghiasi bagiannya yang sebelah bawah. Namun
sesuatu yang serupa terjadi di sini, yaitu bahwa batu sandaran yang dipugar
sesuai dengan informasi yang ditimba dari fragmen tersebut tampaknya
sama sekali tidak cocok dengan arca dewa bersangkutan; bagian sebelah
belakang dari iva-Guru [Agastya] berukuran 80 cm lebar, sedangkan
menurut batu sandaran takhta di situ hanya bisa memuat oleh sebuah patung
berukuran 50 cm di tempat itu.
Yang mencolok, hal serupa juga terjadi di bilik sebelah utara, yang
dipersembahkan untuk Durg, yaitu Loro Jonggrang dalam tradisi Jawa.
Arca dewi itu yang tak diragukan lagi diselesaikan begitu indahnya, yang
sekali lagi diperlengkapi dengan sebuah batu sandaran dan lingkaran cahaya,
melukiskan Mahis surmardin yang mengenakan busana mewah

201

N.J. Krom

yang berdiri di atas seekor kerbau yang berpaling ke arah sebelah kiri
darinya. Dewi ini memiliki delapan lengan, dan pada tangan kanannya yang
di sebelah depan ia memegang ekor binatang itu, sedangkan dengan tangan
kirinya ia mencengkeram rambut Asura yang dengan gada di tangannya,
sebuah kalung dengan tengkorak menggelantung di lehernya dan sebuah
ornamen mencolok yang terdiri atas pita-pita yang menyembul berjumbaian
dari pinggangnya berdiri di atas binatang itu. Pada tangan-tangannya yang
lain di bagian kanan, sang dewi memegang sebatang panah, sebilah pedang
dan sebuah cakra bernyala, sedangkan di bagian kiri ada sebuah mangkuk,
perisai dan kerang bersayap. Arca itu terbilang cukup utuh; hanya bagian
hidungnya yang rusak. Walaupun cukup banyak bagian dari lapiknya telah
hilang, namun bentuk batu sandaran, lengkap dengan lidah-lidah api dan
makara-nya, dapat dipindai dengan serta-merta. Bila arca tadi ditempatkan
di depannya maka sebagian besar makara dan lidah-lidah api tadi
tersembunyi. Biarpun tidak ada keraguan apa pun bahwa arca Gan ea benarbenar menyatu dan sepadan dengan takhtanya, namun tidaklah demikian
halnya dengan arca-arca di bilik-bilik yang lain. Oleh karena itu, kita harus
menarik kesimpulan bahwa takhta-takhta ini pada mulanya diperuntukkan
bagi arca-arca yang ukurannya yang lebih kecil dan sederhana, atau bahwa
para pemahat dan arsitek tidak secukupnya mempertimbangkan karya
mitranya masing-masing sebagai hasil dari salah paham tertentu.
Pada sisi sebelah timur, sebagaimana juga yang terjadi di Kalasan dan
Sewu, ruang yang bersepadanan dengan bilik-bilik yang disebutkan di atas
berfungsi sebagai bilik depan selebar 1,66 m untuk masuk ke bilik candi utama
yang terletak di belakangnya. Pada kedua belah sisi jalan masuk ini terdapat arca
seorang dewa yang berfungsi sebagai penjaga candi. Arca-arca ini melukiskan
para abdi yang sudah terkenal itu, yang pada mulanya merupakan perwujudan
iva; tinggi masing-masing arca itu sekitar 1,25 m, tidak terhitung bantalan
teratai yang menjadi lapiknya. Arca-arca itu mengenakan dandanan busana yang
apik dan masing-masingnya memiliki sebuah lingkaran cahaya. Arca yang
berada di sebelah kanan menopang dirinya dengan tangan kirinya pada sebuah
gada yang ditempatkan di sisinya, sementara ia memegang lengan kirinya
berlawanan dengan badannya; arca yang berada di sebelah kiri pada tangan
kirinya memegang sebuah alat pengusir lalat yang menjuntai pada bahu kirinya,
dan seuntai aksaml

202

Arca-arca Prambanan

tampak terlihat pada telapak tangan kanannya yang menggelantung terbuka


ke bawah; pada sisi yang sama terdapat sebuah trisula yang dilukiskan pada
batu sandaran. Sebagaimana yang sudah dibahas sebelumnya, sosok-sosok
dewata ini, sama seperti yang ditemukan di Gedong Songo, Selagriya dan
Singasari, mesti ditafsir sebagai Mahkla dan Nandvara, yang juga
disebutkan dalam Smaraahana sebagai para penjaga gerbang iva.
Pada bagian belakang bilik itu, kita menaiki satu anak tangga dan
kemudian, setelah melintasi sebuah lantai selasar sepanjang 2,20 m, berdiri
di atas tempat suci yang sesungguhnya, seluas 7,14 m persegi; di sini, pada
lapik di bagian tengah bilik, tampillah dengan segenap kemuliaannya arca
utama dari tempat suci ini dan sekaligus juga dari kompleks percandian ini:
iva sang Mahdeva.
Lapik iva tampak kokoh dan sahaja; ia memiliki bentuk yoni seba
gaimana lazimnya dengan cetakan datar, termasuk yang berada di bagian
tengah antara panel sebelah atas dan panel sebelah bawah. Sebuah kepala
ular yang sangat cantik, yang menyangga terusan drainase yang membelok
ke sisi kiri iva, bisa diperhitungkan di antara karya-karya seni yang paling
berhasil di Loro Jonggrang. Lapik itu setinggi 1 m; walaupun ditemukan
dalam keadaan hancur berkeping-keping, namun arca sang dewa yang kini
berhasil dirakit kembali berukuran 3 m. iva berdiri di atas sebuah bantalan
teratai pada sebuah batu sandaran; tentu saja tubuhnya yang semampai itu
didandani dengan busana yang indah, lengkap dengan macam-macam kalung
dan ikat pinggang. Selembar kulit singa dililitkan di seputar pinggangnya
dan tampak jelas di atas sarung yang dikenakannya; tentu saja tak
terlewatkan baik ular sebagai tali kasta, hiasan kepala yang bertatakan
tengkorak dan bulan sabit, maupun mata ketiga pada dahi. Sang Mahdeva
memiliki empat lengan; tangan kanan sebelah depan terangkat di depan
dadanya, sedangkan tangan kirinya, yang diletakkan sejajar dengan
perutnya, membawa sebuah pita simpul berbentuk bulat; tangan kanan
sebelah belakang menggenggam aksaml,
sedangkan tangan kiri

memegang sebuah cmara. Lebih dari itu, pada sisi sebelah kanan terdapat
sebuah trila yang disandarkan pada batu sandaran.
Pengaturan bagian dalam dari kuil Brahm dan Vis n u terlihat serupa.
Bilik candi, yang mencakup ruang seluas 5,44 x 5,46 m di atas lantai,
dimasuki melalui sebuah jalan lintasan berukuran 4,28 m panjang dan 1,26
m lebar. Dinding-dindingnya halus, dengan kekecualian dua tonjolan

203

N.J. Krom

batu setinggi 1,58 m di atas permukaan lantai, barangkali sebagai tempat


gantungan lampu, pada masing-masing sisi dinding.
Pada bagian tengah berdiri sebuah arca besar, setinggi 2,40 m, dari sang
dewa yang kepadanya candi itu dipersembahkan; pada dinding sebelah
belakang terdapat tiga arca lain yang lebih kecil yang mewakili dewa yang
sama. Arca utama, sama seperti yang terdapat di Candi iva, ditegakkan di
atas sebuah lapik sederhana berbentuk yoni, dengan penyalur air yang
disangga ular yang berada pada sisi sebelah kiri sang dewa; di sebelah
bawah lapik itu sekali lagi ditemukan lubang candi.
Empat arca Brahm, yang mengingatkan kita bahwa iva pun juga
ditampilkan empat kali pada candinya (sebagai Mahdeva, Guru, Nandvara
serta Mahkla), semuanya telah hancur berkeping-keping. Kini arca utama
itu kurang-lebih telah berhasil disatukan kembali; potongan-potongan dari
dua arca lain masih berada di Prambanan; yang ketiga, setelah aneka rupa
pengembaraan, juga akhirnya kembali ke tempatnya di sana. Arca besar itu
tentu saja didandani dengan jazirah kayangan dan bisa serta-merta dikenal
oleh keempat kepalanya, di mana kepalanya yang paling belakang terjurus
ke arah batu sandaran. Para pengarang saling bersaing melambungkan pujian
atas kecakapan kerja yang halus serta bentuk nan agung dari arca Brahm
ini. Sedangkan ketiga patung yang lebih kecil itu semuanya berukuran 96,5
cm dan semuanya berdiri di atas bantalan teratai.
Arca yang berada persis di tengah dahulunya memiliki empat lengan; di
sebelah kanannya terdapat sebuah arca berlengan delapan dan di sebelah
kirinya terdapat sebuah arca berlengan enam yang menjadi jelmaan sang
dewa. Pada tangan kanannya yang sebelah belakang, arca berlengan empat
itu menggenggam sebuah trila, sedangkan tangan kirinya memegang
sebuah tongkat; boleh jadi tangan kirinya yang sebelah depan terjuntai ke
bawah dengan telapak menghadap ke atas, sedangkan tangan kanannya
mungkin memegang sekuntum teratai. Arca berlengan enam itu dilengkapi
dengan laksana-laksana yang menakjubkan, pada sisi sebelah kanan terdapat
sebilah pedang, sebuah perisai dan sebatang anak panah, dan pada sisi
sebelah kiri terdapat sebuah kerang dan busur, sedangkan lengan yang
keenam memperagakan sebuah mur; lima tangan dari Brahm berlengan
enam itu tidak dilengkapi dengan laksana-laksana dan memperagakan
sebuah mur, sedangkan tangan-tangan lain di sebelah

204

Arca-arca Prambanan

kanan memegang sekuntum teratai dan sebuah gagang dan di sebelah kiri
memegang sebuah jambangan bunga berukuran kecil. Tampak jelas bahwa
memang dimaksudkan untuk memberi penampilan fisik yang sama sekali
berlainan bagi patung-patung Brahm tersebut.
Arca besar yang terdapat di Candi Vis n u, seperti juga arca-arca utama
di candi-candi lainnya pada deretan ini, berada dalam posisi berdiri dan
memiliki empat lengan; kerusakan yang dialaminya relatif kecil. Tangan
kanan sebelah depan bersandar pada sebuah gada yang berada di samping
sang dewa; pada telapak tangan kiri jelas kelihatan sebuah benda berbentuk
segitiga dengan ujungnya menghadap ke bawah. Laksana-laksana pada
tangan-tangan sebelah belakang berupa cakra bernyala di sebelah kanan dan
kerang bersayap di sebelah kiri. Arca-arca yang bersandar pada dinding
sebelah belakang semuanya berukuran sekitar 1,20 m. Arca yang berada di
tengah menampilkan sang dewa dalam bentuknya yang berlengan dua; pada
tangan kanannya ia menggenggam sebuah kerang, sedangkan pada tangan
kirinya duduk Laksm kecil berlengan empat yang dihiasi dengan sebuah
lingkaran cahaya terpisah. Tangan kanannya yang sebelah depan berada
dalam posisi varamur, sedangkan tangan kirinya yang sebelah depan
menggenggam sekuntum teratai pada badannya; tangan kanan sebelah
belakang memegang aksaml
dan yang kiri membawa sebuah pataka. Arca

ini kini berada di Jakarta dan dua arca lainnya pernah berada di Yogyakarta,
namun sejak itu telah dikembalikan ke tempatnya yang sebenarnya. Pada sisi
sebelah kanan dari arca utama terdapat seorang Vmanvatra, yang
memegang kaki kanannya hingga tegak lurus ke atas, bersiap untuk
mengayunkan langkah-langkah yang sangat menentukan, dan tangan
kanannya diletakkan di depan dadanya, sedangkan tangan kirinya bersandar
pada sebuah gada. Arca kecil ketiga adalah Narasi ha yang dikenal dari
kepala singanya lengkap dengan surainya yang melambai-lambai yang
memeluk badan Hiran yakaipu yang tergeletak di atas paha dan lengan
kanannya, sembari merobek-robek perut Hiran yakaipu dengan cakar
kirinya hingga usus-ususnya terburai kelihatan.
Arca utama di Candi Nandi berupa patung wahana (hewan tunggangan)
iva setinggi lebih dari 2 m. Sapi jantan itu yang memiliki bongkol pada
punggungnya berdiri dengan kaki depan tertekuk di depan badannya; dan
ekornya, yang melingkar di tubuhnya ke arah kiri, dililitkan pada sebuah
lempeng batu; kedua tanduknya telah hilang. Candi Nandi ini tidak

205

N.J. Krom

dihiasi; letaknya berhadapan langsung dengan arca iva pada candi di


seberangnya, yang tampak jelas dari sudut pandang ini. Di depan dinding
sebelah belakang terdapat arca Srya dan Candra, dua-duanya berdiri di atas
bantalan teratai, yang bersandar pada sebuah kereta yang ditarik beberapa
ekor kuda. Seperti lazimnya, rombongan sang dewa matahari itu terdiri atas
delapan ekor kuda, sedangkan rombongan sang dewi rembulan terdiri atas
sepuluh ekor kuda. Arca-arca itu sendiri menyeruak sekitar 1 m di atas
bantalan-bantalan teratai tersebut. Semuanya dihiasi dengan sempurna.
Srya memegang sekuntum teratai di depan badannya dengan kedua belah
tangannya. Pada tangan kanannya Candra memegang tanaman soma dan
tangan kirinya menggenggam sebuah pataka. Corak aiva dari sang dewi
rembulan itu ditonjolkan oleh matanya yang ketiga.
Di candi yang berseberangan dengan Candi Vis n u [Candi B] pernah
terdapat sebuah arca iva berlengan empat dalam keadaan rusak parah,
namun lapik dan badannya masih ada. Kepalanya, berupa potongan yang
dipahat dengan sangat indah lengkap dengan hiasan kepala, tengkorak dan
bulan sabit, kini berada di Jakarta.
Setelah menyinggung arca-arca ini secara sambil lalu, kita tidak boleh
memusatkan perhatian kita pada perincian dari sejumlah besar arca dan
potongan yang masih dapat ditemukan pada situs tersebut, yang kebanyakan
darinya sudah dipilahkan seturut jenis-jenisnya. Kita harus membatasi diri
kita untuk menjelaskan sebuah arca Brahm besar yang belum selesai
dikerjakan yang ditemukan di dekat Candi Brahm. Oleh karena ukuran
serta laksana-laksananya bersepadanan dengan ukuran serta laksana dari arca
utama di candi itu, maka perkiraan yang dikemukakan Jochim, yaitu bahwa
potongan arca ini pada mulanya dimaksudkan untuk ditempatkan pada
tempat suci ini namun kemudian dibatalkan entah karena alasan apa dan
digantikan oleh arca yang lain, tampaknya sangat mungkin.

206

Arca-arca Prambanan

Daftar bacaan
Inventaris no. 1332; Lons (1773) dalam Leemans, Bijr. Kon. Inst. 3 (1885);
Mackenzie, Narrative of a journey to examine the remains of an ancient city and
temples at Brambana in Java, Verhan. Bat. Gen. 7 (1818) hlm. 2-9; Raffles,
History of Java (1817) II, hlm. 11-15; Crawfurd, Asiatic Researches 13 (1820)
hlm. 337-368; Brumund, Iniana I (1853) hlm. 51-66; Hoepermans, Hindoeoudheden van Java (1864-1867), Rapp. Ouh. Dienst 1913 hlm. 241-252;
Groeneveldt, Catalogus Batavia (1887) no. 783 a-d; IJzerman,
Beschrijving er ouheen nabij e grens er resienties Soerakarta en
Djogjakarta (1891) hlm. 38-73; Groneman, Tjani Parambanan op MienJava, na e ontgraving (1893) met lichtdrukken van Cephas; Von Saher, De
versierene kunsten in Neerlansch Oost-Ini (1900) hlm. 37-66; Van Erp,
Verslag betreffene e herstelling er nevencellas van en Hooftempel van
Prambanan (1903, tidak diterbitkan); Brandes dalam Rapp. 1903 hlm. 63sq.;
Brandes, De waarde van Tjandi Prambanan tegenover de andere oudheden van
Java, en een hartig woordje over de deblayeering, Tijschr. Bat. Gen. (1904)
hlm. 414-432; Tonnet, De godenbeelden aan den buitenmuur van den iwatempel de Tj. Prambanan en de vermoedelijke leeftijd van die tempelgroep,
Bijr. Kon. Inst. 7:VI (1908) hlm. 128-149; Van Erp dalam
Twentieth Century Impressions of Netherlans Inia (1909) hlm. 169-171;
Knebel, Inventarisatie der Hindoe-oudheden in de vlakten van Prambanan en
Srgedoeg, Rapp. 1909 hlm. 54-120 en platen 117-136; Van Erp, Vondst
van een merkwaardigen Garuda in de Prambanan-vlakte, Rapp. 1911 hlm.
74-76 en plaat 180; Jochim, Prambanan en omliggende tempels, Tijschr.
Bat. Gen 54 (1913) hlm. 471-498; Rouffaer, Oudheidkundige opmerkingen,
Bijr. Kon. Inst. 74 (1918) hlm. 151-163; Van Stein Callenfels dalam Lulius
van Goor, Korte gis voor e tempelbouwvallen in Prambanan-vlakte (1919)
hlm. 32-42; With, Java (1920) khususnya hlm. 68sq.; Vogel, Het eerste
Rma-relief van Prambanan, Bijr. Kon. Inst. 77 (1921) hlm. 202-215;
berbagai laporan pemugaran, khususnya Ouh. Verslag 1919, 4, hlm. 130136, 1920, 2, hlm. 46sq.; 4, hlm. 112sq.

207

F.D.K. BOSCH

Dewa Brahm dikelilingi oleh mahas i

Catatan berikut yang ditorehkan Bosch, yang barangkali cuma diketahui oleh
segelintir arkeolog Belanda, dicetak dalam bahasa Belanda dalam salah satu
laporan lama dari Dinas Purbakala Hindia Belanda. Mudah-mudahan
terjemahan ini akan membebaskannya dari kekaburan yang selama ini me
nimpanya. Lebih dari itu, diharapkan pula bahwa berdasarkan uraiannya yang
sangat gamblang menyangkut relevansi teks-teks Puranik yang menjelaskan
relief-relief yang dipelajari Bosch, catatan ini akan merangsang riset serupa
atas relief-relief Kr ishna di Candi Vis n u yang sampai kini belum berhasil
diidentifikasi semuanya, dan juga atas relief-relief pada candi apit.

Sebagaimana kita ketahui, permukaan-permukaan dinding baik yang di


turunkan maupun yang ditinggikan pada tubuh Candi Brahm di Pram banan
berisikan pahatan-pahatan pada permukaan lantai selasar tentang sosoksosok dalam posisi duduk yang jelas kelihatan sebagai rs i dari penampilan
lahiriah mereka yang agung, janggut-janggut mereka yang panjang
meruncing beserta jatmakut
a mereka. Gambar-gambar tersebut

menunjukkan hanya sedikit variasi. Sikap tangan menyiratkan bahwa sosoksosok itu sedang memberi pengajaran dan petunjuk. Kadang kala tangan
kanan memegang sebuah alat pengusir lalat, sedangkan tangan kiri
diletakkan di atas pangkuan atau di atas lutut. Di belakang bahu kanan
digambarkan sebuah trila dengan ujung-ujungnya menghadap ke atas,
lengkap dengan sebuah kendi air yang menggelantung pada trila tersebut.
Di sebelah bahu kiri terdapat sebuah cmara, kecuali bila cmara itu
digenggam dalam tangan, dengan pegangan menggantung di bagian depan.
Di salah satu sisi dari sosok utama yang duduk itu berdiri seorang rs i atau
rs i-magang,
juga lengkap dengan janggut yang panjang meruncing serta

Nukilan dari catatan-catatan epigrafis dan ikonografis dalam Ouheikunig Verslag,


1922, tweede en derde kwartaal, hlm. 66-67.

208

Foto 15. Relief Mahars i di Candi Brahm. (Foto oleh Roy Jordaan.)

sebuah jatmakut
a.

Apakah kelompok mahars i ini, yang seluruhnya berjumlah 27, sematamata dimaksudkan sebagai hiasan kuil itu, atau apakah mereka mewakili
sosok-sosok tertentu yang bisa disebutkan dengan namanya? Profesor Krom,
sambil merujuk pada tokoh-tokoh itu di tempat-tempat serupa di Candi iva
dan Vis n u, yang semuanya mengandung makna khusus, cenderung
berpendapat bahwa pengandaian terakhir layak diindahkan.
Pendapat beliau hampir pasti benar sebagaimana yang tampak gamblang
dari sebuah bagian dalam buku Visn u Purn a yang menjadi pusat perhatian
saya dalam tulisan ini. Dalam bagian tersebut sang arifin Parara
menegaskan sebagai jawaban atas pertanyaan yang diajukan Maitreya bahwa
setiap kurun waktu Dvpara, dewa Vis n u, dalam bentuk
N.J. Krom, Inleiing tot e Hinoe-Javaansche kunst, 1920, I:369.
H.H. Wilson, The Vishn u Purn a, 1840:272.

209

F.D.K. Bosch

seorang Vysa (editor), membagi Veda, yang pada mulanya esa dan tak
terbagi, ke dalam banyak bagian guna memajukan kesejahteraan umat
manusia. Artinya, ia menjadikan Veda ke dalam bentuk rangkap empat
sembari mempertimbangkan pemujaan terbatas, kekuatan batiniah serta
ketekunan makhluk fana. Bentuk materiil yang ia andaikan berdampak atas
pemilahan ini dikenal dengan sebutan editor Veda (Veda-vysa). Bukubuku Veda dalam Vaivasvata Manvantara sudah disunting ulang sebanyak 28
kali oleh Rsi agung dalam kurun waktu Dvpara, sedangkan ke-28 Vysa
yang membagi Veda ke dalam empat buku telah berlalu secara berturut-turut.
Mahars i pertama yang menjadi penyunting Veda rupanya adalah
Brahm sendiri. Ia diikuti oleh Prajpati (Manu), Uanas, Br haspati, Savitri,
Mr tyu, dan seterusnya, serta yang terakhir adalah Kr ishna Dvaipyana.
Jumlah 28 dari para Veda-vysa, dengan Dewa Brahm sendiri sebagai
yang pertama dan utama, bersepadanan dengan jumlah relief mahars i di
Candi Brahm, termasuk relief utama di tempat paling suci. Kita boleh
mengandaikan bahwa hal ini bukanlah kebetulan belaka, dan bahwa menjadi
niatan sang pemahat Candi Brahm untuk menggambarkan Brahm dalam
kapasitasnya sebagai editor kepala Veda di antara para stafnya mitra-editor,
yakni ke-27 mahars i. Hal tersebut kini memungkinkan kita untuk
menyebutkan nama dari ke-27 mahars i itu, bila kita sangat berkeinginan
untuk itu, mulai dengan Prajpati di sebelah kiri pintu masuk, terus di
sepanjang praaksin
dan daftar Visn u Purn a, dan berakhir dengan
Kr ishna Dvaipyana di sebelah kanan pintu masuk.

210

B. DE HAAN

Candi A dan Candi B

Seperti tulisan Bosch yang dimuat sebelumnya, karangan De Haan tetap kurang
dikenal, khususnya di antara para arkeolog bukan Belanda, sebagaimana
terbukti dari penggunaan mereka secara terus-menerus atas istilah yang salah,
yaitu candi-candi wahana (vhana). Keputusan untuk menyertakan tulisan ini
dalam terjemahan di sini tidak saja berdasarkan perbaikan yang dibuatnya atas
kekeliruan tadi, tetapi juga sebagai pengakuan terhadap sumbangsih keilmuan
yang ditunaikan De Haan sebagai seorang arsitek, yang sayangnya meninggal
dunia dalam usia terlalu muda dan ketika sedang memimpin beberapa proyek
pemugaran di Prambanan. Tulisannya ini merujuk secara tidak langsung pada
sejumlah perbedaan sistematis yang menarik menyangkut konstruksi serta
hiasan antara candi-candi di halaman pusat kompleks percandian yang
barangkali ada faedahnya bila dikaji dan dipelajari lebih lanjut. *

Sampai sekarang ini, tiga bangunan suci di sebelah timur yang terletak pada
teras sebelah atas lebih dari sekali disebut sebagai candi-candi vhana. Bila
datang dari arah selatan, maka kita akan melintasi bangunan suci Hamsa, Nandi,
dan Garud a secara berturut-turut. Seandainya memang pasti bahwa bangunanbangunan itu adalah candi-candi vhana, maka nama Hamsa dan seterusnya
niscaya benar. Namun saya memiliki kesangsian yang sangat besar apakah
ketiga bangunan suci itu benar-benar adalah candi-candi vhana. Pandangan
bahwa ketiganya adalah candi vhana didasarkan pada keadaan bahwa
dahulunya pernah ada seekor Nandi di candi tengah, dan sama sekali tidak ada
alasan untuk meragukan bahwa Nandi itu benar-benar berada di situ. Namun
keadaannya berbeda berkenaan dengan apa yang disebut sebagai bangunan suci
Garud a . IJzerman yakin bahwa aslinya pernah ada sebuah arca iva di dalam
candi itu. Maka, kita menemukan kutipan berikut dalam
Nukilan dari Ouheikunig Verslag, eerste en tweede kwartaal, 1927, hlm. 14-17.

211

penjelasannya: Candi ini dahulunya pernah berisikan arca iva di mana


kepala dan tubuhnya yang terpotong-potong ditemukan kembali dari antara
puing-puing reruntuhan. Lebih dari itu, kita tahu bahwa Garud a yang
ditem patkan di arca ini pada saat sekarang dipasang di sana hanya pada
waktu yang lebih kemudian. Maka, benarlah bila kita meragukan apakah
arca itu sudah ada di sana sejak saat permulaan.
Sehubungan dengan hal ini, barangkali ada faedahnya untuk menunjuk
kan sebuah gejala yang aneh dan mengherankan, yang bisa saja menggoda
seorang pakar untuk mencoba dan memapankan kejelasan yang lebih besar
menyangkut persoalan yang sudah disebutkan di atas, yakni tentang tiga
bangunan suci di sebelah timur Prambanan. Yang tengah saya pikirkan di
sini adalah tata letak khas dari berbagai candi aiva, yang hemat saya
memantulkan sebuah sistem teratur yang mencakup candi-candi sederhana
dan juga berbagai kompleks percandian yang sangat rumit susunannya.
Candi yang terbilang sederhana dan tidak membentuk sebuah kompleks
percandian harus dianggap sebagai intipati dan titik tolak di sini. Hal ini
memang masuk akal karena jenis bangunan suci itu sendiri membentuk
sebuah candi seutuhnya yang mewujudkan saripati agama bersangkutan. Di
sini kita menemukan pengelompokan berikut:
iva 3

iva

Linga

atau
Liga Guru

Gan ea

Durg

Gan ea

Agastya

Gambar 13. Susunan panteon pada sebuah candi yang berdiri sendiri.
Lihat IJzerman 1891:57.
Saya tidak akan membahas Kla dan Nandivara, yang tidak lagi termasuk dalam
pengelompokan ini, sebab keduanya tidak lagi memiliki relevansi lebih jauh. [Catatan
penyunting: agar lebih jelas, kami sedikit mengubah istilah dan ilustrasi yang dipakai De
Haan. Misalnya, nama Agastya menggantikan istilah Guru yang dulu lazim dipakai.
Susunan atau pengelompokan candi yang dibicarakan De Haan digambarkan dengan
ilustrasi baru yang lebih jelas.]

212

Candi A dan Candi B

Sebelum saya menggariskan tata letak bangunan suci jenis yang kedua, yaitu
kompleks percandian yang lebih kecil, barangkali perlu dibuat sedikit
penyimpangan mengingat tak satu pun dari benda-benda pemujaan dari
candi-candi jenis ini berhasil ditemukan dalam keadaan utuh.
Candi-candi yang dirujuk dengan sebutan kompleks-kompleks yang
lebih kecil itu mencakup Candi Badut, Merak, Ijo serta Sumbernanas
(namun Candi Sumbernanas tidak akan disertakan dalam pembahasan
selanjutnya karena sayangnya candi itu tidak menghasilkan informasi yang
berguna untuk penyelidikan kita). Semua candi ini terdiri atas satu candi
induk dan tiga candi perwara yang lebih kecil yang berdiri menghadap ke
candi utama. Pada candi-candi perwara yang lebih kecil itu ditemukan
pengelompokan berikut :

Candi Badut:
Candi Batu Gono:
Candi Ijo:

Kiri
Liga
?
Liga

Tengah
Nandi
Nandi
Nandi

Kanan
?
Mahyogi(?)
?

Bila kita memadukan data-data ini untuk candi-candi perwara, maka kita
akan sampai pada pengelompokan berikut untuk kompleks percandian yang
lebih kecil itu, misalnya Candi Badut (lihat gambar 14).
Saya ingin menandaskan di sini bahwa di Candi Badut lima dari tujuh
benda tersebut ditemukan. Yang hilang cuma Gan ea dan Mahyogi.
Menyangkut Prambanan, yakni bangunan suci aiva paling utuh yang kita
ketahui di Jawa, kita bisa melihat pada gambar 15.

Keadaan ini dijelaskan dari sudut pandang seseorang yang sedang berdiri dengan
punggungnya membelakangi arca utama dan muka menghadap ke candi-candi perwara
yang lebih kecil.
Arca di Candi Merak belum dapat ditentukan secara pasti. Arca itu berupa sosok seorang
laki-laki dalam posisi duduk seperti sikap termashyur dari Guru [Agastya] dengan dua
orang pemuja yang sedang berlutut.

213

B. de Haan

Gambar 14. Denah kompleks Candi Badut (diadaptasi dari OV, 1929, gambar V).

Gambar 15. Denah sederhana kompleks percandian Loro Jonggrang.

214

Candi A dan Candi B

Apa yang serta-merta mencengangkan kita di sini ialah bahwa di candi


terbesar ini semuanya terdiri atas unsur-unsur yang sama dalam susunan
yang persis sama seperti di jenis-jenis candi yang lebih kecil. Di sini pun,
candi yang sederhana merupakan intipati dan unsur kunci dari bagan di atas,
sedangkan bila dipadukan dengan tiga candi di sebelah timur bagan itu
memperagakan pengelompokan kompleks-kompleks yang lebih kecil. Bila
kita beralih dari bangunan suci yang sederhana, maka kita akan menemukan
sebuah perubahan yang kian pelik dan rumit yang diatur oleh hukum-hukum
yang baku, yang sejalan dengan kerangka kaidah dan aturan tegas yang
mesti juga dipatuhi oleh para arsitek dan tukang dari masa Jawa Tengah
dalam hal-hal yang lain. Sama sekali tidak dapat dibayangkan mengingat
kesatuan yang mencirikan kesenian Jawa Tengah secara keseluruhan
bahwa ada petunjuk yang terkecil sekalipun tentang kesewenang-wenangan
yang berkenaan dengan hal penting semisal tata letak itu.
Apabila pengandaian tentang pembangunan secara sistematis dari
susunan sebagaimana yang dipaparkan di atas ternyata benar adanya, maka
kita boleh menduga bahwa bangunan suci di sebelah selatan yang terletak di
deretan timur, yang sekarang ini kosong, dahulunya ditempati oleh sebuah
arca Mahyogi.
Barangkali tampaknya bahwa analisis tentang tata letak ini seakan-akan
membuat Candi Brahm dan Candi Vis n u kelihatannya agak terpisah dari
candi-candi yang lain, alih-alih membentuk sebuah bagian penting dari
keseluruhan sebagaimana yang tak pelak lagi diperlihatkan persis seperti itu
oleh rancangan arsitekturalnya. Namun berkaitan dengan hal ini, kenyataan
bahwa iva di sini dihormati sebagai dewa tertinggi mesti dipertimbangkan.
Alhasil, dipersembahkannya tiga candi di sebelah timur dan juga candi induk
kepada sang dewa tidak lagi mengherankan kita. Sebaliknya, tampaknya hal
ini menjadi cara jitu untuk memberi bentuk ungkapan yang kasatmata
tentang gagasan bahwa, sebagai Mahdeva, sang iva menjulang tinggi di
atas kedua dewata lain dari trio dewata itu.
Pertanyaannya ialah apakah kita bisa menemukan salah satu ciri di
candi-candi itu sendiri yang mendukung hipotesis ini. Walaupun pertanyaan
ini agaknya diajukan pradini, sebab penyelidikan atas candi-candi di sebelah
timur itu masih berada pada tahap awal, namun saya mampu menjuruskan
perhatian pada beberapa perincian yang terbilang aneh.
Pertama, kita boleh mencatat bahwa bingkai penyangga yang dihiasi

215

B. de Haan

di puncak lantai pertama memperagakan motif serupa dengan bingkai sejenis


di Candi iva, sedangkan puncak lantai pertama di Candi Brahm, Vis n u
dan candi-candi apit yang lebih kecil memperagakan jenis motif yang sama
sekali berbeda. Pada Candi iva dan di tiga candi di sebelah timur kita
menemukan motif karangan perangkaian mawar, sedangkan di Candi
Brahm dan candi-candi lainnya mawar tadi digantikan oleh seekor burung
beo. Kesejajaran yang serupa ditemukan pada puncak-puncak pilaster di
antara rangkaian pertama Candi A dan Candi B dengan pilaster-pilaster dari
rangkaian pertama relung-relung pada candi induk. Boleh jadi perincian ini
menyangkut hal-hal yang kecil, namun semuanya sangat mencolok.
Penelitian lebih lanjut kelak masih harus memastikan apakah terdapat
kesejajaran yang lebih banyak lagi dan malah yang lebih mencolok lagi. Satu
corak khas lain yang hendak saya kemukakan ialah bahwa tumpuan di Candi
A (yang saya anggap sebagai kuil Mahyogi) dihiasi dengan dua rangkaian
arca yang ditempatkan satu di atas yang lain, yang secara bersama-sama
memperagakan motif hiasan sebanyak 35 kali. Semuanya ini mendorong
saya untuk sementara waktu menamakan candi-candi di sisi selatan dan utara
dari deretan candi di sebelah timur itu masing-masing dengan nama Candi A
dan Candi B.
[Catatan editor: pernyataan De Haan bahwa Candi Prambanan terdiri
atas unsur-unsur yang sama dalam susunan yang persis sama seperti di jenisjenis candi yang lebih kecil di tempat-tempat lain sebenarnya tidak
seluruhnya benar. Unsur-unsurnya memang sama namun susunan mereka
berbeda, sebagaimana yang terlihat dari penempatan yang terbalik antara
Durg dan Agastya. Sebagaimana yang ditandaskan IJzerman (1887:268,
1891:50), susunan yang berbeda itu barangkali menyangkut orientasi
berbeda dari kompleks percandian Loro Jonggrang: menghadap ke timur
alih-alih ke barat. Menyangkut corak rancang bangun yang sangat sistematis,
kita bisa menandaskan bahwa sebagai konsekuensinya maka Candi A mesti
berisikan sebuah liga alih-alih sebuah arca Mahyogi sebagaimana yang
didalilkan De Haan, dan Candi B mesti berisikan sebuah arca Mahyogi.
Kita tentu ingat bahwa Candi B memang berisikan sebuah arca iva,
walaupun bukan dengan berkedok sebagai seorang yogi, hal yang
mendorong kita untuk mempertanyakan makna penandaan Mahyogi.
Berdasarkan catatan kaki no. 4, rupanya De Haan menyerupakan Mahyogi

216

Candi A dan Candi B

dengan Guru yang, sebagaimana telah dibuktikan Poerbatjaraka (1924),


sebenarnya mewakili orang suci Agastya. Selain hal-hal ini, kita mesti juga
mempertimbangkan arca pada puncak kepala Kla di atas pintu masuk ke
bilik iva Mahdeva, yang masih membutuhkan identifikasi (lihat Bagian
Satu, seksi 6).]

217

W.F. STUTTERHEIM

Susunan relief-relief Rma di Candi Loro


Jonggrang dan perlintasan matahari

Walaupun hipotesis Stutterheim tentang kesejajaran antara perlintasan matahari


dan riwayat hidup Rma yang dibabarkan di relief-relief Prambanan
sebagaimana yang dituangkan dalam tulisan di bawah ini tampaknya cukup
masuk akal, namun suatu pemeriksaan yang saksama atas argumenargumennya akan menyingkapkan segala macam masalah yang masih
membutuhkan penjernihan sesuatu yang juga disadari oleh sang penulis
sendiri. Justru oleh karena corak provokatif dari berbagai pertanyaan dan
komentar yang diajukan Stutterheim, maka tulisan ini dipilih untuk disertakan
terjemahannya dalam buku ini. Selain mengemukakan berbagai penemuan riset
khusus tentang cara bagaimana peredaran matahari ditampilkan dalam segala
macam perincian pada panel-panel di Prambanan serta mengaitkannya dengan
gagasan-gagasan astronomi India, Stutterheim menunjukkan beberapa segi
keagamaan yang menarik dari simbolisme matahari yang diusulkan. Ia
mengemukakan India Barat dan Timur sebagai dua wilayah yang barangkali
menjadi asal-muasal upacara kebaktian kepada matahari yang juga diperkirakan
menarik para penganut di Jawa dan Bali kuno. Pendapat Stutterheim bahwa
rancangan kompleks percandian Loro Jonggrang bisa dijelaskan dengan sangat
baik dalam rangka Tantrisme Buddhis, dan bahwa misalnya trio dewata ivaBrahm-Viu boleh dianggap sebagai sebuah penjelmaan Vairocana, yakni
sang hynibuha dengan corak suryawi yang mencolok, juga terbilang
menggugah rasa ingin tahu. Pendapat-pendapat tersebut tampaknya menopang
seruan kami untuk membuka kembali penyelidikan tentang latar belakang
Buddhis dari Candi Prambanan, olehnya relasi simbolik yang pelik antara
Candi Loro Jonggrang dan Candi Sewu (di mana Vairocana pernah ditakhtakan
di sana sebagai dewa utama pada suatu kurun tertentu) barangkali bisa juga
diuraikan dari kekusutannya.

Diterbitkan pertama kalinya dengan judul De plaatsing der Rma-reliefs van tjandi LaraDjonggrang en de zonne-omloop, dalam Bijragen tot e Taal-, Lan- en Volkenkune 84
(1928), hlm. 118-131.

218

Susunan relief-relief Rma

Suatu kenyataan yang nyaris tak terbantahkan dan tidak dapat diulang-ulangi
terlalu sering ialah bahwa kita mengetahui cuma serba sedikit tentang arti
sebenarnya dari puing-puing reruntuhan Jawa kuno, menyangkut maknanya
bagi orang-orang yang membangun dan mempergunakannya, dan mengenai
fungsinya dalam kehidupan sehari-hari. Semua kesimpulan sementara yang
ditarik menyangkut hal ini dengan berdasarkan pada kurang-lebih silogisme
intelektual, dan semua penjelasan tentang sosok-sosok para dewata dan
pahlawan beserta penempatan mereka pada candi bersangkutan singkat
kata, tentang apa makna mereka bagi orang-orang dari kurun bersangkutan
yang telah dikumpulkan dan dicatat dengan begitu rajin dan tekun oleh kita
para arkeolog paling banter hanya akan membuat para pedanda dan pendeta
Jawa kuno, seandainya mereka bisa menyadari hal itu, tersenyum tanda
maklum atau mengangkat bahu tanda tak peduli gara-gara begitu banyaknya
keluguan dan kurangnya wawasan dari pihak kita. Analisis kita tetap di
permukaan saja dan dangkal belaka. Tak pelak lagi inilah alasannya
mengapa agama kuno di Jawa kadang kala cenderung ditampilkan sebagai
suatu susunan yang membingungkan dan nirmakna, yang diilhami dan
diperkokoh oleh tradisi, di mana para pedanda dan pendeta itu sendiri
kehilangan arah dan tersesat, serta menyajikan cakupan luas penyimpangan
dari jalan ortodoksi yang lurus dan sempit. Tidak jarang kita diperhadapkan
dengan apa yang kita rasa mesti dianggap sebagai penyimpangan dari sistem
logis rancang-bangun kita. Lalu kita serta-merta melompat ke kesimpulan
bahwa si pemahat niscaya melakukan suatu kesalahan, khususnya
menyangkut sosok-sosok para dewata atau rangkaian-rangkaian dari
berbagai adegan, dan dengan demikian sekurang-kurangnya reputasi sang
pedanda atau pendeta tetap tak tercemar. Namun demikian, saya sering kali
berkesempatan untuk meluruskan kesimpulan semacam itu dan
memperlihatkan bahwa kesalahan tersebut barangkali ada pada pihak kita
para arkelog alih-alih pada si pemahat, dan bahwa niscaya terdapat sebuah
penjelasan logis untuk ketidaklogisan yang dipersangkakan itu, walaupun
penjelasan tersebut bersepadanan dengan sebuah sistem konseptual yang
berbeda, yang tidak diketahui sama sekali atau cuma sebagiannya kita
ketahui. Sebagaimana yang telah ditandaskan W.H. Rassers [1922]
teristimewa dalam telaahnya tentang Panji, kurangnya pemahaman yang
tepat tentang sistem konseptual ini, menyangkut cara membayangkan dunia
ini, yang berbeda sedemikian radikalnya dari yang

219

W.F. Stutterheim

kita punyai, hanya dapat menghasilkan rupa-rupa kesalahan tafsir atas sosoksosok tersebut beserta tindakan-tindakan mereka. Malah kita dapat menarik
kesimpulan umum bahwa semakin baik kita mampu menerobosi dunia
konseptual ini, maka semakin baik pula pemahaman yang akan kita gapai.
Sejauh menyangkut peninggalan-peninggalan Jawa kuno, terutama
gambaran-gambaran pada berbagai relief itulah yang acapkali membuat
penyelidik terperosok ke dalam sikap putus asa, sebab sekian sering susunan
pokok-pokok gambaran yang terpahat itu tampaknya tidak memiliki logika,
dan kita seakan-akan diperhadapkan dengan sebuah penempatan adeganadegan yang seluruhnya bercorak sewenang-wenang di atas bidang-bidang
yang tersedia.
Kenyataan bahwa relief-relief ini dipahatkan pada bangunan paling suci
dari kurun itu tentu saja dengan sendirinya harus menjadi sebuah awasan
bagi kita untuk mencurahkan perhatian khusus serta kesabaran bila
penempatan aktual relief-relief tersebut sama sekali tidak cocok dengan
dugaan kita. Begitulah sebenarnya kenyataan yang berkenaan dengan
berbagai adegan pada relief-relief di Loro Jonggrang, dekat Prambanan.
Penafsiran atas relief-relief tersebut dipepaki oleh aneka rupa kesulitan.
Mula pertama, kita menemukan kisah Rma disebarkan di dua dari ketiga
candi yang terletak di sana, yakni Candi iva dan Candi Brahm, padahal
kita sebenarnya menyangka bahwa Candi Viu adalah calon yang secara
mencolok sangat cocok untuk dihiasi dengan kisah-kisah Rma yang adalah
seorang avatra Viu. Lagi pula kita tentu saja mengharapkan agar bisa
menemukan kisah-kisah iva dipahatkan pada Candi iva, padahal
senyatanya sosok-sosok pertama yang tercatat pada relief-relief yang
menghiasi candi ini adalah Garuda dan Viu yang kedua itu sendiri!
Kesimpulan yang terpaksa harus kita tarik ialah para pedanda dan pendeta
yang memerintahkan pengaturan relief-relief yang tampaknya ganjil ini pada
saat candi-candi tersebut dirancang entah telah kehilangan kepakarannya
dalam pekerjaan mereka atau bertindak semaunya sendiri.
Corak khas lain yang kita rasa mengganggu adalah penyebaran berbagai
adegan. Pada yang satu terlalu banyak ruang tampaknya diberikan, pada
yang lain terlalu sedikit dan malah tidak ada sama sekali. Sebagian darinya
ditafsir sebagai kekeliruan dan selanjutnya coba dibenahi oleh si peneliti.
Maka di sini misalnya seorang laki-laki ditafsir seharusnya perempuan;

220

Susunan relief-relief Rma

terdapat terlalu banyak sosok yang ditempatkan bersama-sama dalam satu


adegan, dan tampaknya ada dua Rma, dua Lakamaa, dan seterusnya,
yang tengah berkelana melintasi hutan; dan ada amat banyak keganjilan
tentang hal-hal kecil yang tak terpahami yang kemudian coba dibetulkan
secara sambil lalu.
Saya sendiri pernah berkesempatan memeriksa beberapa dari
kekeliruan yang dibuat si pemahat dengan membandingkannya dengan
beberapa kisah dan dongeng yang populer di kalangan orang-orang Melayu
dan Jawa, dan menemukan bahwa kesalahan-kesalahan tersebut berada di
pihak sang arkeolog bersangkutan. Lebih dari itu, tampak kasatmata bagi
saya bahwa apa yang kita hadapi di sini bukanlah kisah sebagaimana yang
dituturkan dalam puisi resmi Rma gubahan sang penyair agung Vlmki,
yang tanpa kekecualian dianggap sebagai asal-muasal dari amat banyak
varian kisah Rma di seantero India, melainkan bentuk resmi tertentu dari
kisah Rma semacam itu yang bersepadanan hanya dalam garis besarnya
semata-mata dengan karya adihulung sang pujangga istana itu. Malah sangat
boleh jadi bahwa versi-versi varian tersebut lebih dekat dalam
kandungannya dengan arketipe kisah Rma daripada karya sang pujangga
itu. Sayangnya, saya tidak berhasil merunut asal-muasal dari versi-versi
varian ini, walaupun saya benar-benar memiliki alasan untuk menduga
bahwa India barat memainkan suatu peran yang teramat penting dalam
penyebarluasan kisah-kisah semacam itu di negeri kepulauan ini. Akan
tetapi, hal ini telah melambungkan masalah asal-muasal dari kebudayaan
Hindu di negeri kepulauan tersebut ke sebuah fase baru, di mana setiap
petunjuk, tidak peduli betapapun remeh-temehnya, mesti dinilai kembali
dalam terang orientasi baru ini, olehnya cakupan pandangan kita tidak boleh
lagi terbatas semata-mata pada India tenggara, yang tidak mengalami jenis
perkembangan apa pun sampai pada tahap yang jauh lebih kemudian, tetapi
mesti dijuruskan ke arah barat, dan barangkali juga ke arah timur, sebagai
dua wilayah dari mana pengaruh-pengaruh utama menyebar jauh melampaui
tapal-tapal batas India pada saat merebaknya milenium pertama kurun
Kekristenan. Petunjuk-petunjuk tersebut mencakup gejala yang akan saya
bahas di bawah ini.
Rangkaian-rangkaian dari berbagai panel relief yang dipahat pada sisi
sebelah dalam pagar langkan sepanjang lantai selasar Candi iva di
Stutterheim, 1925, Rma-Legenen un Rma-Reliefs in Inonesien, Mnchen.

221

W.F. Stutterheim

Prambanan, dan yang berkat beberapa perbaikan kecil kini bisa lagi terlihat
dengan kondisi penerangan yang memadai, lazimnya dibagi ke dalam empat
seksi yang sama atau hampir sama oleh empat rangkaian anak tangga dan
gapura. Mengikuti berbagai penafsiran atas masing-masing adegan yang
sudah saya paparkan sebelumnya, maka kita dapat mencatat bahwa seksi
pertama dari rangkaian-rangkaian tersebut mencakup adegan-adegan mulai
dari penjelmaan Viu sampai dengan dan mencakup kembalinya Rma ke
Ayodhy ; seksi kedua mencakup adegan-adegan mulai dari permahkotaan
Bharata sampai dengan dan mencakup perjumpaan dengan rpaakh ;
seksi ketiga mencakup adegan-adegan mulai dari pemerkosaan St oleh
Rvaa sampai dengan dan mencakup kemenangan atas Blin ; dan seksi
terakhir mencakup rupa-rupa pertimbangan tentang upaya mencari mempelai
perempuan yang diculik itu sampai dengan dan mencakup penyeberangan ke
Lank.
Secara sepintas lalu, tidak ditemukan sistem khusus menyangkut pe
nempatan ini, sedangkan dalam beberapa kasus, misalnya menyangkut
pemerkosaan St, adegan-adegan kijang emas dan pemerkosaan itu sendiri,
disela secara tiba-tiba oleh tangga. Namun sesungguhnya terdapat sebuah
sistem tertentu yang bisa dipantau dalam pengaturan empat rangkaian di
seberang empat seksi candi. Sungguh mencolok bagaimana Rma
berpapasan dengan rentetan para musuh sejak saat ia kembali ke istananya
hingga pertempurannya dengan Blin. Seluruh kisah tentang pembuangan
dan pemerkosaan istrinya berada di antara kedua titik ini. Di lain pihak,
semua peristiwa yang dipahatkan pada paruh yang berseberangan dengan
candi bercorak lebih positif dan lebih menyenangkan bagi Rma; sejak
keberangkatan hingga kepulangan Rma, peristiwa-peristiwa tersebut
membentuk serangkaian pergantian sukses baik besar maupun kecil
(terpilihnya Rma dari antara para saudaranya oleh Vivamitra, penaklukan
atas berbagai buta, dipersuntingnya mempelainya dan, yang
Krom, 1923, Inleiing tot e Hinoe-Javaansche Kunst I, hlm. 453 dst.
Stutterheim 1925, Rma-Legenen II, plat 2-16; untuk penafsiran lihat I, hlm. 148-151.
Stutterheim 1925, Rma-Legenen II, plat 17-33; untuk penafsiran lihat I, hlm. 152-161.
Stutterheim 1925, Rma-Legenen II, plat 34-51; untuk penafsiran lihat I, hlm. 161-169.
Stutterheim 1925, Rma-Legenen II, plat 52-65; untuk penafsiran lihat I, hlm. 170-173.

222

Susunan relief-relief Rma

terakhir namun bukan yang paling tidak penting, ditaklukkannya seterunya


yang paling berbahaya, yang memiliki nama serupa engannya, yaitu
Rmaparau). Kemudian, seksi terakhir rangkaian-rangkaian tersebut
menandai dimulainya rantai pergantian sukses yang lain, dengan sasaran
tertinggi yakni merebut kembali mempelainya. Seandainya Blin tidak
berhasil dikalahkan, maka Surgrva tidak akan pernah naik takhta, dan
Hanumat tidak akan pernah diutus, dan alhasil St tidak akan pernah
ditemukan kembali. Maka dari itu, keempat titik di mana rangkaianrangkaian tadi disela oleh tangga tampaknya teramat penting bagi Rma,
yakni, mengikuti praakia, kelahirannya, puncak keberhasilannya,
pembuangannya, pemerkosaan istrinya, pertempuran dengan seterunya yang
berbahaya yakni Blin, bantuan yang ia terima, serta penyeberangan ke
Lank. Bila kita mencermati lebih saksama titik-titik yang mencolok ini,
maka kita bisa membaginya sekali lagi menjadi dua sub-kategori, yaitu pada
tempat pertama titik-titik peralihan, dan pada tempat kedua titik-titik balik.
Kelahiran dan pemerkosaan dapat dikelompokkan dalam kategori pertama
(kelahirannya sebagai seorang avatra Viu, dan karenanya tidak lebih
daripada sebuah peralihan ke sebuah fase baru), sedangkan kepulangan serta
kemenangan atas Blin adalah titik-titik balik di mana berturut-turut
keberhasilan berubah menjadi permusuhan dan permusuhan berubah
menjadi keberhasilan.
Kita dapat memberi penekanan pada pemilahan bahan-bahan cerita ini
secara lebih kuat lagi dengan mempertimbangkan tempat dari titik-titik
mencolok yang memainkan sebuah peran di sini. Kelahiran terletak di sebelah
timur, puncak di sebelah selatan, pemerkosaan dan penampilan pertama sang
seteru utama yakni Rvaa di sebelah barat, dan permulaan kebangkitan baru di
sebelah utara. Dengan mempertimbangkan corak tempat-tempat ini, maka
tampak bagiku bahwa bukanlah sebuah pengandaian yang serampangan bila
peralihan dan titik-titik balik dalam riwayat hidup Rma sebagaimana yang
dipahatkan pada Candi iva sejalan dengan titik-titik yang bersepadanan pada
perlintasan matahari. Tentu saja bukanlah kebetulan bila kebangkitan,
kemerosotan, dan kebangkitan yang kedua dari Rma sejalan dengan terbit,
tenggelam, dan terbitnya lagi matahari dalam urutannya sehari-hari, bila kita
berbicara tentang titik-titik mata angin sebelah timur, selatan, barat, dan utara
dalam urutan tersebut, atau berdasarkan perguliran tahunan matahari yakni
musim semi, musim panas,

223

W.F. Stutterheim

musim gugur dan musim dingin. Matahari Rma terbit menurut urutannya
dari titik mata angin sebelah timur sampai ia mencapai puncaknya pada titik
mata angin sebelah selatan. Kemudian ia turun dari rumah mataharinya (titik
mata angin sebelah selatan = Ayodhy), walaupun ia masih terik, untuk
kemudian terbenam artinya, untuk memulai pertempurannya dengan para
buta dari dunia bawah, yang telah merampok darinya sinar cahayanya (St)
di titik mata angin sebelah barat. Ia mencapai titik terendahnya di sebelah
utara, di mana sang seteru terakhir (Blin) dikalahkan, namun di sanalah
pula ia memulai kenaikannya yang baru. Ia akhirnya mencapai pantai di
seberang dengan bantuan rupa-rupa kekuatan baik dari dunia bawah, dan
begitulah hari baru merekah (di Lank).10
Di sini perlintasan selama satu hari dari matahari Rma berakhir dan
perlintasan baru dimulailah. Hal ini tidak akan saya jelaskan kepada para
pembaca budiman, karena pengaturan relief-relief di Candi Brahm tidaklah
pasti dan masih meninggalkan terlalu banyak ruang bagi kesangsian. 11
Rangkaian ini dibuka dengan burung matahari Garuda.
Dalam seksi ini, patut diperhatikan adegan-adegan penyelamatan (Stutterheim 1925,
Rma-Legenen II, plat 36 dan 37), mengingat dalam sistem lama, matahari yang sedang
terbenam itu, dalam perjalanannya melintasi dunia bawah, bisa saja mengemban peran
sebagai penyelamat jiwa-jiwa yang merana di sana, yang berkat bantuannya boleh
mendapat satu kesempatan untuk sampai ke dunia atas bersama dengannya (bandingkan
Mesir). Tafsiran semacam ini tentu saja tidak memiliki kaitannya dengan persebaran
sistematis relief-relief tersebut, tetapi hanya dengan kemungkinan corak matahari dari
kisah Rma, dan kedua hal itu mesti kita bedakan secara tegas.
10 Hemat saya, sangat boleh jadi bahwa corak demonik yang kasatmata dari sosok-sosok
monyet, yang pada waktu kemudian menjadi sangat mencolok, bisa ditafsir sebagai
sebuah ciri khothonik [yang berhubungan dengan makhluk-makhluk dari dunia bawah].
Para rkasa tentu saja bukan kekuatan dunia bawah, sebaliknya penguasa mereka, yakni
Rvaa, tampaknya lebih merupakan sisi lawan atau sisi sebaliknya dari Rma, yang
bangkit ketika Rma jatuh (sisi paling barat dari Candi iva) dan yang jatuh ketika Rma
bangkit. Maka, apakah Rvaa adalah seorang sosok bulan? Namun hal ini bertentangan
dengan keseluruhan watak raksasa itu. Jawaban-jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini,
seandainya bisa diberikan, akan amat membantu untuk memecahkan persoalan
menyangkut sampai sejauh mana sistem tata surya sebagai sebuah legenda mitos dialami
dan dihayati oleh para penduduk dalam kehidupan nyata. Sayangnya, keadaan rusak dari
Candi Brahm bisa menjadi kendala untuk hal ini.
11 Tn. De Haan, yang saat ini tengah terlibat dalam berbagai upaya untuk memugar panelpanel relief yang copot di Candi Brahm dengan terutama menggunakan petunjukpetunjuk arsitektural (bentuk, arkitraf, tiang, alur, dan sambungan), sudah sampai pada
urutan berikut: keberangkatan bala tentara sampai dengan dan mencakup pertempuran
antara Rma dan Indrajit dari timur ke selatan; adegan Kumbhakarna sampai dengan dan
mencakup pertemuan kembali antara Rma dan St dari selatan ke barat; adegan
pembuangan sampai dengan dan mencakup pengembaraan St bersama dengan Vlmki
dari barat ke utara; dan akhir kisah dari utara ke timur. [catatan: KBBI, hlm.

224

Susunan relief-relief Rma

Maka, untuk saat ini lebih baik bila kita membatasi diri pada Candi iva
saja.
Tentulah tidak luput dari perhatian para pembaca yang awas bahwa
penetrapan tamsilan matahari ini pada urutan adegan-adegan di relief-relief
tersebut dibarengi dengan sejumlah persoalan berupa adanya ketidakcocokan
yang mencolok dengan beberapa fakta. Sebagai contoh, kita barangkali
mengharapkan bahwa segala sesuatu yang berada di sebelah timur dari titik
mata angin selatan bersaksi tentang adanya suatu kenaikan atau pendakian
yang teratur dan tidak terputus. Namun demikian, persis sebelum titik balik
ini terdapat sebuah adegan, yakni adegan tentang tipu daya Kaikey, yang
sebaliknya justru agak tidak menyenangkan dan membahayakan.
Sebagaimana umum diketahui, ada semacam ketidakpastian menyangkut
identifikasi adegan ini, sehingga kita dapat mengandaikan bahwa tafsiran
yang benar atasnya masih harus diupayakan. 12 Namun dalam kaitan dengan
hal ini, saya hendak menegaskan bahwa sebuah adegan atau serangkaian
adegan yang terdapat persis sebelum peralihan ke rangkaian-rangkaian seksi
baru memiliki satu kaitan yang jelas kelihatan dengan rangkaian-rangkaian
seksi berikutnya, dan gejala ini dapat diamati secara tetap. Di sebelah barat,
adegan kijang emas mendahului pemerkosaan, namun pemerkosaan itu baru
terjadi setelah peralihan. Di sebelah selatan, pemulihan Surgrva ke tampuk
kekuasaannya di negeri para kera terjadi sebelum peralihan ke timur.
Akhirnya di sebelah timur, sama sekali berlawanan dengan apa yang kita
perkirakan, si pemahat justru melukiskan sepotong Lank pada sisi paling
luar, padahal kita barangkali lebih suka menempatkannya di Candi Brahm.
Begitulah, corak unik ini yang ditemukan secara teratur dan mencolok
adalah bagian yang tak terpisahkan dari sistem yang digunakan, sehingga
kita boleh dengan aman mengandaikan bahwa tafsiran kita atas adegan
65 mengenal lema arkitraf = balok horizontal utama yang langsung disangga tiangtiang].

12

Mesti dicatat bahwa adegan puncak (dikalahkannya Rvaa dan persatuan kembali dengan
St) di sini ditempatkan di sebelah barat, hal yang tampaknya tidak bersepadanan dengan
pengamatan-pengamatan kita menyangkut Candi iva dalam teks utama karangan saya
ini. Namun mengingat adanya beberapa pembahasan lebih lanjut yang akan dijelaskan di
bawah ini, maka tidak mesti begitulah penafsiran yang diberikan atasnya. Saya akan
kembali lagi ke masalah ini nanti.
Stutterheim 1925, Rma-Legenen I, hlm. 151; bdk. II, plat 16.

225

W.F. Stutterheim

Kaikey memang tepat. Apa yang kita punyai di sini barangkali adalah
kebiasaan, yang masih ditemukan di Jawa hingga hari ini, untuk tidak pernah
membiarkan berbagai peralihan dalam kisah-kisah tersebut dan hal-hal
sejenis terjadi secara tiba-tiba dan tak terduga. 13
Sebuah pertanyaan yang dimunculkan oleh sisi tilik yang tampaknya
berbeda ini atas persebaran cerita Rma di atas bangunan candi itu ialah
apakah terdapat keteraturan tertentu yang bisa dipindai dalam persebaran
masing-masing panel. Saya percaya bahwa pertanyaan ini bisa dijawab
secara positif.
Sebagaimana kita ketahui, setiap seksi dari empat rangkaian itu secara
keseluruhan terbagi menjadi enam panel, sehingga seluruhnya ada 24 panel.
Untuk sementara waktu, dengan mengandaikan bahwa perlintasan tahunan
matahari dilambangkan di sini, maka hemat saya kesimpulan yang
tampaknya bisa diandalkan ialah setiap panel mewakili 1/24 bagian dari
perlintasan tersebut. Selanjutnya, itu sama dengan separuh bulan, atau lebih
tepat satu paka, mengingat bahwa tidak secara eksklusif seluruh bulan
sebanyak satu paka digunakan sebagai satuan kronologis. Sayangnya, saya
belum berhasil menemukan pembagian lebih lanjut ke dalam ukla dan
ka paka dalam hal ini, walaupun kadang kala persis seperti itulah
keadaannya. Namun di sini kita dinafikan oleh pengetahuan kita yang tidak
lengkap mengenai nilai-nilai yang dikenakan pada pembagian bulan dalam
hubungan kosmik, sehingga kita cenderung menggolongkan sebagai ukla
apa yang oleh seorang Jawa-Hindu pahami sebagai ka.14
Di lain pihak, barangkali ada kemungkinan untuk memerincikan
13 Bandingkan kebiasaan menyinggung syair berikutnya dalam bagian akhir dari syair
sebelumnya. Kebiasaan ini, yang bertujuan menghindari sejauh mungkin perbedaan tajam
dan perubahan secara tiba-tiba, sesungguhnya bukan khas milik orang-orang Jawa,
melainkan mesti dianggap sebagai ciri khas dari setiap sistem pemikiran tradisional, yang
lebih mencolok di mana jejak-jejak sebuah sistem yang merangkum keseluruhan hidup
sosial dan pribadi kurang-lebih bisa dipindai secara jelas. Dalam beberapa hal (tentu saja
di sini termasuk halnya orang-orang Jawa) sikap ini dihela hingga ke suatu titik ekstrem
sehingga identifikasi atasnya menjadi salah satu prasyarat utama untuk dapat memahami
secara tepat masyarakat bersangkutan.
14 Pengamatan di atas, misalnya bahwa ada kemungkinan untuk menemukan bekas-bekas
penanganan berdasarkan zodiak di berbagai panel tersebut, tentu saja memiliki dampakdampak tertentu, namun bukan terutama atas bangunan candinya melainkan atas
ceritanya; dan pengamatan tersebut berlaku pula di sini. Paling banter hal itu memiliki
kaitan tertentu dengan adaptasi cerita Rma pada candi. Dalam konteks ini tampaknya
lebih cocok untuk membagi panel-panel relief tersebut ke dalam pasangan tepat, walaupun
hal ini pun tidak luput dari masalah-masalah tertentu.

226

Susunan relief-relief Rma

pembagian tersebut selangkah lebih jauh dan menemukan bukti tentang


penggunaan suatu sistem tertentu dalam persebaran adegan-adegan tadi,
yang sedemikian berbedanya daripada yang ditemukan pada panel-panel di
atas. Walaupun saya pun tidak bisa memberi sebuah jawaban yang pasti atas
pertanyaan ini, namun saya ingin menunjukkan suatu fakta yang
mengherankan yaitu bahwa panel-panel dari tiap-tiap separuh candi dapat
dibagi ke dalam 30 adegan, sehingga satu candi secara keseluruhan memiliki
60 adegan persis bersepadanan dengan jumlah n dari kronologi 24 jam
peredaran matahari!15 Namun pembagian ini belum pasti secara mutlak,
sebab upaya-upaya yang saya lakukan untuk memilah adegan-adegan yang
berbeda satu dari yang lain kadang kala secara sangat gamblang
menunjukkan bahwa masih tersisa satu peluang kesalahan tertentu di sanasini, walaupun peluang tersebut sama sekali tidak begitu besar untuk
menghasilkan suatu perubahan yang berarti dalam jumlah keseluruhan. 16
15

16

Berkaitan dengan pembagian ke dalam 30 adegan yang didalilkan De Haan dalam upayaupayanya menata kembali urutan relief-relief di Candi Brahm, saya mesti mengingatkan
para pembaca budiman di sini tentang kenyataan aneh menyangkut penempatkan klimaks
cerita pada sisi sebelah barat candi itu, sebagaimana yang telah disinggung dalam catatan
sebelumnya. Bila relief-relief pada Candi iva bisa dibagi ke dalam 60 adegan, sedangkan
relief-relief di Candi Brahm hanya bisa dibagi ke dalam 30 adegan (dengan cuma 24
panel yang tersisa), maka kita boleh mengandaikan bahwa garis tengah dari Candi Brahm
hanya separuh dari garis tengah Candi iva. Namun hal ini menghasilkan suatu pergeseran
dalam penjajaran titik-titik kompas, sebab dengan demikian Candi Brahm hanya
mewakili setengah hari. Barangkali setengah hari lainnya disajikan oleh Candi Viu.
Maka, kompleks percandian itu secara keseluruhan merupakan sebuah lakon selama dua
hari, dengan dua avatra yang berturutan. Pembagian ini juga bisa menjelaskan mengapa
batas antara rangkaian-rangkaian di penjuru selatan jauh lebih tidak kentara di Candi
Brahm ketimbang di Candi iva, sebab klimaks cerita masih sangat jauh dari titik ini,
sehingga peralihan yang lancar ke rangkaian-rangkaian selebihnya di jalan terusan timurutara terbilang sangat penting. Dalam pada itu, mesti pula dicatat bahwa batas semacam
ini dalam pengaturan panel-panel memang mutlak diperlukan. Dan memang senyatanya
terdapat satu batas semacam itu, namun batas tersebut tidak dibuat dengan menyertakan
sebuah gapura tangga tetapi hanya berupa satu panel hiasan dalam rangkaian-rangkaian
tadi.
Mengingat bahwa pembagian adegan-adegan ini, sama halnya dengan pembagian panelpanel, bukanlah akibat logis dari tata letak arsitektural candi, maka saya akan memberi
penjelasan singkat tentangnya di bawah ini. Angka Romawi merujuk pada panel
bersangkutan, sedangkan angka Arab mengacu pada adegan.
I

Pemujaan Garuda

Viu di hadapan raja-raja

227

W.F. Stutterheim

Istana Daaratha

II

Kunjungan Daaratha kepada Vivmitra

II

Para putra Daaratha bergabung dengan Vivmitra (?)

III

Rma membunuh Taka

IV

Pengorbanan Vivmitra

IV

Rma membunuh buta-buta

Rma di Janaka

10

Rma sedang memanah

VI

11

Perjalanan pulang bersama St

VI

12

Perjumpaan dengan Paraurma

VI

13

Kemenangan Rma atas Paraurma

VI

14

Tipu muslihat Kaikey

VII

15

Permahkotaan Bharata

VII

16

Pesta-pesta permahkotaan

VII

17

Perkabungan Daaratha atas Rma

VII

18

Kepergian Rma dll

VIII 19

Kremasi Daaratha

VIII 20

Pembagian sedekah kepada kaum miskin

IX

21

Bharata mencari Rma

IX

22

Bharata di hadapan Rma

23

Rma berangkat menuju hutan belantara

24

Rma membunuh Virdha

XI
XI

25
26

=
=

Adegan hutan belantara


Rma membutakan mata seekor burung dengan sebatang
panah

XII

27

Adegan kedua tentang hutan belantara

XII

28

Kedatangan rpaakh

XII

29

rpaakh di hadapan saudaranya

XII

30

Adegan tentang kijang emas

Sebagaimana tampak gamblang, sebuah perubahan kecil guna menggabungkan dua


adegan menjadi satu atau membagi satu adegan menjadi dua terlihat di sana-sini. Namun
bila jumlah keseluruhan nyaris mencapai 30 dalam cara apa pun dibagi, saya kira bahwa
pembagian menjadi 30 bukan tidak wajar. Seksi ketiga dan keempat dari rangkaianrangkaian itu menampilkan beberapa kesulitan yang lebih banyak.
XIII

31

Rvaa menggoda St

XIII

32

Pertempuran melawan Jayus

XIII

33

Jayus di hadapan Rma

228

Susunan relief-relief Rma

Bila pengandaian-pengandaian kita benar, maka perlintasan harian dan


tahunan matahari diperagakan dalam cerita Rma sebagaimana yang
XIII

34

Rma membunuh Kabandha (adegan penyelamatan yang


pertama)

XIV
XIV

35
36

=
=

Perjalanan melintasi hutan belantara


Rma membunuh seekor buaya (adegan penyelamatan yang
kedua)

XV

37

Perjumpaan dengan para kera

XV

38

Perpisahan dengan para kera

XVI

39

Adegan dahaga

XVI

40

Lakamaa mencari air

XVI

41

Perjumpaan dengan Surgrva

XVII

42

Cobaan kekuatan

XVIII 43

Pertempuran pertama melawan Blin

XVIII 44

Pertempuran kedua melawan Blin

XVIII 45

Pemulihan Surgrva ke atas takhtanya

XVIII 46

Kera-kera berpesta (banyolan?)

XIX

47

Perjalanan ke pantai

XIX

48

Pertimbangan-pertimbangan

XIX

49

Bala tentara menerima pengarahan untuk maju berperang

XIX

50

Adegan kera (banyolan?)

XX

51

Hanumat di Lank

XX

52

Hanumat menemukan St

XXI
XXI

53
54

=
=

Ekor Hanumat dipasang api


Hanumat membakar Lank dengan api yang dipasang pada
ekornya

XXII

55

Hanumat melapor kepada Rma

XXIII 56

Rma memaksa dewa laut untuk datang

XXIII 57

Dewa laut muncul

XXIV 58

Pembangunan dam

XXIV 59

Perusakan dam oleh ikan

XXIV 60

Penyeberangan

Dalam pada itu, harus dicatat bahwa pembagian yang dianjurkan di atas menimbulkan
ketidakteraturan tertentu, yang menghasilkan perulangan dua kali 14 adegan untuk paruh
sebelah timur candi, dan perulangan dua kali 16 adegan untuk paruh sebelah barat.
Seandainya kita bisa sampai pada rangkaian 15 adegan untuk setiap paruh, maka akan
terdapat keseimbangan yang sempurna. Namun mengingat adanya ketidakpastian di
sekitar persoalan ini secara keseluruhan maka pentinglah untuk bersikap hati-hati di sini,
sebab bisa saja pembagian ke dalam dua paruh yang tidak seimbang itu sebenarnya
merupakan hal yang menjadi sifat sistem bersangkutan.

229

W.F. Stutterheim

dipahatkan pada candi ini (dan juga pada dua candi yang lain) ditempatkan satu
di samping yang lain dan terjalin satu sama lain. Jelas bahwa pengandaian
tentang adanya persebaran yang sistematis atas bahan cerita pada ruang yang
tersedia menangkis banyak keberatan yang sebelumnya diajukan untuk
menentang persebaran semacam itu. Bila sebelumnya kita berpendapat bahwa
menyangkut suatu adegan tertentu terlalu banyak yang dipahatkan di sini dan
terlalu sedikit adegan lain yang dipahatkan di sana, maka kini tampaknya masuk
akal bahwa sang pemahat dipengaruhi oleh sistem tersebut dalam berbagai
pilihan yang ia ambil, dan kita tentu saja tidak bisa mendalilkan adanya berbagai
penyimpangan dari sistem itu di pihak sang pemahat. Namun sama-sama jelas
pula bahwa, di satu pihak, kita tengah berhadapan dengan sesuatu yang memiliki
kaitan-kaitan yang erat dengan pementasan wayang dewasa ini, dan di lain pihak
dengan rupa-rupa penyimpangan yang sangat banyak dari pementasan tersebut.
Menyangkut hal pertama, penemuan-penemuan kita bisa memperkokoh sampai
ke taraf penting berbagai pengamatan Brandes tentang corak Jawa Timur dari
Candi Loro Jonggrang.17 Malah apa yang kita hadapi di sini dalam arti tertentu
tidak lain kecuali sebuah pementasan wayang selama dua (tiga) hari, di mana isi
cerita yang diperagakan dalam cara serupa dimaksudkan untuk membangkitkan
suasana batin berbeda di antara para penontonnya bersamaan dengan berlalunya
waktu. Suasana batin ini bercorak sukacita mulai dari pagi hari hingga siang,
kecemasan hingga matahari terbenam, dukacita hingga tengah malam 18 dan
akhirnya sarat harapan lagi hingga subuh, di mana suasana batin yang sarat
harapan ini barangkali akan berubah menjadi sukacita seperti yang terjadi pada
permulaan hari pertama dalam rentetan pementasan pada hari kedua.

Menyangkut hal kedua, mesti dikatakan bahwa terdapat juga perbedaanperbedaan penting dengan struktur lakon yang dapat diamati. Perbedaan
utama ialah bahwa sang pahlawan dalam kisah itu yang dipahatkan pada
candi jelas-jelas bukan seorang pahlawan bulan, sebagaimana yang
didalilkan untuk kasus Indonesia oleh Rassers, melainkan seorang pahlawan
matahari. Inilah pula perbedaan antara kesenian Jawa Tengah dan Jawa
Timur yang bersepadanan dengan banyak perbedaan lainnya di antara
paham-paham kesenian di kedua pusat kebudayaan ini yang sudah
17 TBG XLVII:414 dst.
18 Saya akan merujuk secara sambil lalu pada tema ganrung Rma yang sedemikian
mencolok dalam salah satu bagian cerita Serat Rma gubahan Yasadipura.

230

Susunan relief-relief Rma

saya uraikan di tempat lain.


Dalam kaitan dengan hal terakhir tadi, saya ingin merujuk kembali
untuk sejenak pada pengamatan yang sudah saya kemukakan pada awal
tulisan ini, yaitu bahwa tampaknya aneh menyaksikan cerita Rma
dipahatkan pada Candi iva. Betapapun banyaknya penemuan tentang
ketaatan pada sebuah sistem yang tegas dalam persebaran bahan cerita itu
bisa menjelaskan bagi kita berbagai corak aneh yang mula pertama tampak
asing bagi kita, namun ketaatan itu tetap membuat kita galau dengan
kejanggalan tersebut. Akan tetapi, hemat saya, penerapan tanpa pandang
bulu pada kasus Jawa dari sistem 10 avatra Viu sebagaimana yang
ditemukan dalam sastra India belakangan ini justru menjadi sebuah kendala
bagi kita di sini. Bagaimanapun juga, kita memiliki alasan untuk
mempercayai bahwa rangkaian-rangkaian pada kurun Candi Loro Jonggrang
sama sekali berbeda.19 Dan hal ini berkaitan erat dengan posisi
19 Tentang hal ini Krom (Inleiing dst. I:97) mengatakan: Jumlah yang pada mulanya tak

terbatas dari para avatra ini kemudian ditetapkan menjadi 10 saja, yang sebagian besar
juga ditemukan di Jawa. Hal ini menyiratkan bahwa Krom berharap bisa menemukan
rangkaian 10 avatra di Jawa, dan karenanya juga seorang Viu, dalam kedudukan
sebagai Dewa Tertinggi yang berkaitan dengan rangkaian sejenis di India. Dalam
kenyataannya, hanya ada enam penjelmaan avatra yang sudah ditemukan sejauh ini di
Jawa. Keenam avatra itu adalah Varha, Nsingha, Vmana, Paraurma, Rma, dan
Ka. Tentang empat avatra selebihnya, yakni Matsya, Kurma, Buddha, dan Kalkya,
tidak ditemukan satu penjelmaan pun yang bisa dipastikan secara mutlak. Batu penjuru
dari Candi Sawentar (OV 1922, gambar 11) mesti ditafsir sebagai sebuah perlambangan
matahari ([Stutterheim dalam] Djw 1926:338), sehingga tidak mungkin ia merupakan
penjelmaan Kalkyavatra. Apa yang disebut-sebut sebagai Pengadukan Lautan [Susu]
sebagaimana yang dipersangkakan dipahatkan di relief terkenal dari Sirah Kencong, yang
boleh jadi secara tidak langsung berisikan sebuah lukisan Krmvatra, sebenarnya
merupakan sebuah adegan yang sama sekali lain (Djw 1926:336), sedangkan mengenai
kedua avatra lainnya tidak pernah ditemukan jejak apa pun (bdk. Drewes 1925, Drie
Javaansche Goeroes: Hun leven, onerricht en messiaspreiking, hlm. 153-154).
Lebih dari itu, bila kita menganalisis informasi yang disajikan oleh puing-puing
reruntuhan Candi Loro Jonggrang menyangkut rangkaian-rangkaian avatra yang
digunakan di sana, maka kita menemukan bahwa Candi Viu mesti berisikan empat arca
penjelmaan dewa: satu sebagai Vmanvatra, satu sebagai Varhvatra, satu sebagai
Nsinghvatra, dan terakhir arca utama. Bukti bahwa di sana tidak ditemukan lebih
banyak arca penjelmaan barangkali bisa dijelaskan oleh kenyataan bahwa Candi Brahm
dan Candi iva pun berisikan empat arca penjelmaan dewa kepada siapa kedua candi itu
dipersembahkan (Krom 1923, Inleiing I:482 dst.). Hal ini bisa diandaikan dari adanya
keteraturan serta simetri yang sedemikian jelas ditunjukkan oleh Candi Loro Jonggrang.
Dalam pada itu, saya ingin menandaskan bahwa kita cuma memiliki arca-arca sembahan
dari tiga avatra Viu di sana, sedangkan tiga lainnya dari rangkaian-rangkaian avatra
yang tersaksikan di candi ini dipahatkan secara sama sekali berbeda: K a dan Rma
mesti diakui tampil kurang resmi dibandingkan dengan tiga avatra Viu tadi, dan
Paraurma malah jauh lebih tidak resmi lagi dan seolah-olah cuma kebetulan ada dalam
cerita Rma.

231

W.F. Stutterheim

yang ditempati Viu itu sendiri dalam Trimrti.


Di wilayah-wilayah di mana muncul rangkaian-rangkaian avatra yang
diciutkan jumlahnya menjadi 10 pada waktu yang lebih belakangan, Viu
dipuja sebagai prinsip dan dewa tertinggi alam semesta, di samping dan
tanpa suatu kaitan hakiki dengan kedua dewa yang lain dari tritunggal itu.
Sejalan dengan apa yang kita ketahui dari teks-teks Buddhis serta praktik
orang-orang Bali dewasa ini, maka kita boleh mengandaikan bahwa di Jawa
tritunggal ini mesti dilihat sebagai perwujudan rangkap tiga dari Wujud
Tertinggi, yakni Matahari. Bila di Bali sampai dewasa ini Srya adalah
hakikat kosmos, di mana iva, Viu dan Brahm tidak lebih daripada
perwujudan Sang Srya; di mana Sryasevana (harfiah: Pemujaan
Matahari) adalah upacara keagamaan yang tiada bandingannya 20 di Bali; di
mana dalam sistem Buddhis menyangkut Sang Hyang Kamahynikan
yang tak pelak lagi sangat kuat pada kurun Candi Loro Jonggrang
kaitan penghubung dengan aivisme disajikan oleh paham trimurti dari
agama (atau lebih tepat, sekte) tersebut sebagai sebuah penjelmaan dari
hynibuha yang memiliki corak matahari yang mencolok, yakni
Vairocana21; dan akhirnya di mana kurun Jawa Tengah mesti amat banyak
dipengaruhi oleh ajaran-ajaran Buddhis dinasti ailendra yang berkuasa di
Sumatra ketika itu, yang wilayahnya pada gilirannya barangkali berada di
bawah pengaruh ranah kekuasaan Raja Har avardhana, putra Raja
Rjvardhana, Sang Pemuja Matahari maka di sana pengaruh sistem tata
surya yang sedemikian mencolok sebagaimana yang kini tampil bagi kita
pada relief-relief di Candi Loro Jonggrang semestinya tidak akan
Namun tak satu pun dari semuanya ini menunjukkan dengan cara apa pun kepada
rangkaian 10 avatra yang digunakan pada kurun itu. Sebaliknya, hal ini malah
menyiratkan adanya rangkaian 5, paling tinggi 6, avatra di mana rangkaian tiga avatra
terakhir (Paraurma, Rma Darathi dan K a) kurang penting dibandingkan dengan
tiga avatra pertama (Varhvatra, Vmanavatra, dan Nsinghvatra).
Bila kita melacak perkembangan ajaran avatra di India, maka kita dicengangkan oleh
kenyataan bahwa pada mulanya terdapat jumlah yang jauh lebih kecil yang dicantumkan
di sana, dengan rangkaian-rangkaian yang terdiri atas jumlah yang persis sama yang sudah
kita catat untuk Jawa (Mahbhrata XII:349, 37). Rangkaian-rangkaian ini kemudian
diperluas (Hemacandra Raycaudhuri, Materials [...] 1920:105; Bhandarkar,
Vaiavism [...] 1913:41, 42).
20 Lihat khususnya Goris 1926:9 dst, dan teristimewa hlm. 11, di mana kita baca: [...]
mantra yang paling penting dan yang paling sering dirapalkan dalam keseluruhan ulah
kebaktian orang-orang Bali, yakni Ka mantra adalah rumusan kunci Om hrm hrm
parmawdityya namah, yang berarti Terpujilah Sang Matahari iva tertinggi.
21 Kats 1910, lampiran 1.

232

Susunan relief-relief Rma

menimbulkan terlalu banyak keheranan.22


Lebih dari itu, kita boleh mengandaikan bahwa justru pilihan cerita ini
ditentukan oleh peran yang dimainkan oleh sang penguasa sebagai
penjelmaan matahari, di mana candi yang dibangunnya menjadi pokok
pembahasan kita di sini. Maka, boleh jadi bahwa riwayat hidup sang
penguasa itulah, di mana kontak magisnya dengan orang yang masih hidup,
yang diperagakan dengan memakai sarana candi ini, dan cerita yang
dipahatkan di sana boleh jadi sepenuhnya merupakan perlambangan khas
Jawa tentang berbagai peristiwa dalam hidup sang penguasa. Walaupun hal
ini benar namun kunci untuk semuanya itu barangkali tetap tersembunyi bagi
kita untuk selama-lamanya. 23 Jadi, tema Rma di sini
22 Stutterheim 1925, I:211 dst. Menyangkut pengaruh India saya juga ingin menandaskan
bahwa di antara kaum Saura sebuah sekte yang berdasarkan berbagai prasasti mesti juga
pernah ada di Jawa (Bosch 1920b:510), dan yang menurut namanya (yang berarti para
pemuja matahari) menyingkapkan corak sistem tata surya dalam pandangan-pandangan
mereka matahari dalam perlintasannya sehari-hari dipuja sebagai Brahm ketika terbit,
sebagai iva ketika berada pada puncaknya, dan sebagai Viu ketika terbenam. Rma
adalah pahlawan mereka yang paling kenamaan (Bhandarkar 1913:152).
Namun di samping itu terdapat kultus pemujaan matahari lainnya. Maka, ayah dari
Haravardhana yang disinggung di atas adalah seorang penganut dari sebuah kultus yang
berasal-usul dari kultus pemujaan matahari di Persia kuno, yang khususnya ditemukan di
bagian barat India, mulai dari Gujart hingga Multn (Bhandarkar 1913:155). Hal ini
barangkali memiliki relevansi khusus dalam kaitan dengan hipotesis tentang berbagai
pengaruh melalui bagian barat India (lihat juga Jahn 1908:xx, di mana ia mengatakan
bahwa berbagai pengaruh Persia tidak dapat dinafikan). Dalam konteks ini saya ingin
mengokohkan perkiraan saya tentang peran keayahan Rma atas Hanumat (Stutterheim
1925, I:95-96).
Kultus-kultus pemujaan matahari lainnya yang lebih tua dari ini adalah kultus-kultus yang
dirujuk dalam karya Upanisa (Kautakibrh-mopaniad), di mana matahari dipuja
dengan mempersembahkan air dan bunga di pagi, sore dan malam hari. Khususnya di
Bali, bebungaan dan air suci memainkan suatu peran penting dalam upacara Sryasevana
(Bhandarkar 1913:151; De Kat Angelino 1922:passim; Goris 1926:passim).
De Kat Angelino menemukan sebuah mantra kepada Srya dan Candra, bersama dengan
sebuah rujukan tentang umur panjang, dalam sebuah rumusan sangupati (yang dijelaskan
terdiri atas kata sangu dan pati, yang berarti berbagai perlengkapan untuk kematian,
walaupun sangat boleh jadi berasal dari kata Sanskerta samutpatti) di Bali. Hal ini tak
pelak lagi berkaitan erat dengan adat-istiadat India di mana sang guru berpaling kepada
matahari dengan permohonan umur panjang bagi iya-nya dalam upacara pelantikan
dengan tali pinggang. Keserupaan tersebut kian mencolok apabila kita mengingat bahwa
sangupati adalah sebuah rumusan yang ditemukan di halaman sebelah belakang dari
panugraha, yakni ijazah diploma untuk para calon pedanda atau pendeta ketika
menamatkan pendidikan mereka (De Kat Angelino 1928:28).
23 Pertanyaan apakah Candi Loro Jonggrang barangkali merupakan sebuah kuil pemakaman
sejauh ini belum terpecahkan. Dalam kaitan dengan hal ini saya cuma ingin mencatat

233

W.F. Stutterheim

bisa saja telah memainkan peran yang sama seperti tema Panji di Jawa
Timur, yang menjadi leitmotiv atau motif pandu bagi historiografi. Kedua
tema ini berkaitan dalam intinya, namun berbeda dalam pembahasannya.
Masih tetap menjadi kebiasaan lazim di antara orang-orang Jawa dan Bali
dewasa ini untuk mengadopsi tokoh wayang tertentu sebagai leitmotiv bagi
kehidupannya. Di Siam hal ini telah menemukan ungkapan resminya dalam
gelar Rma bagi raja; di sana pun setiap raja memiliki tragedi Rma
sendiri.24
Namun kita sudah melenceng jauh dari tema utama kita di sini dengan
risiko mengabaikan banyak fakta. Tidaklah mungkin merancang berbagai
hipotesis berdasarkan pada data-data di atas sampai nilainya yang
sebenarnya telah diuji. Namun bagaimanapun juga sangat pasti bahwa
persebaran relief-relief di Candi Loro Jonggrang bukanlah sesuatu yang
sewenang-senang, melainkan sebaliknya diilhami oleh sebuah sistem yang
ketat yakni sistem perlintasan matahari. Mudah-mudahan para peneliti
lainnya berdasarkan hal ini akan sanggup untuk melanjutkan karya
pemugaran atas candi tersebut seturut struktur kosmik yang niscaya
melandasi pembangunan candi-candi dari kurun Jawa Tengah.

24

bahwa tidak ditemukannya abu jenazah dari raja yang dimakamkan di sana sama sekali
tidak bisa dijadikan bukti kebalikannya. Pada kurun tersebut abu itu bisa saja sudah
dihanyutkan ke laut atau ditaburkan di sebuah sungai agar bisa sampai ke laut juga
akhirnya. Pemakaman rupanya memiliki suatu makna yang berbeda dari arti yang
biasanya kita maksudkan dengan kata itu, dan penggunaan kata cai/cinai di Bali
mengisyaratkan bahwa sangat boleh jadi bahan-bahan lain (cairan-cairan dari tubuh si
mati, dan seterusnya) dikuburkan di tanah itu dan di atasnya didirikan sebuah bangunan
(Van der Tuuk 1897, I:566). Jadi, barangkali kita terutama nian sebaiknya berpikir dalam
rangka sebuah tempat di mana berlangsung kontak magis setelah kematian dari sang raja
yang dikremasikan itu. Saya berharap bisa masuk ke dalam perincian yang lebih banyak
lagi pada pembahasan selanjutnya mengenai hal ini.
Dhring 1923, I:36.

234

V.R. VAN ROMONDT

Pemugaran Candi iva di Prambanan

Tulisan berikut dari Van Romondt, yang selaku kepala bagian arsitektur Dinas
Purbakala Hindia Belanda terlibat erat dalam pemugaran Candi iva di
Prambanan selama dua dasawarsa, antara lain membedah persoalan
menyangkut kapan pemugaran kompleks percandian itu dimulai, bagaimana
pemugaran itu dilaksanakan, panduan-panduan resmi manakah yang diikuti
untuk pemugaran itu, serta kesulitan-kesulitan teknis manakah yang ditemukan
dan bagaimana kesulitan-kesulitan itu diatasi. Pernyataan Van Romondt bahwa
tidak boleh dilaksanakan pemugaran sampai setiap bagian asli candi telah
ditempatkan kembali ke posisi yang sebenarnya, dan tidak boleh ada sebongkah
batu pun yang digantikan bila tidak ada kepastian tentangnya, perlu disinggung
secara terpisah.

Puing-puing reruntuhan, yang terletak di jalan antara Yogyakarta dan


Surakarta, telah dikenal sejak lama nian. Puing-puing tersebut sudah
berulang kali didatangi dan sebagiannya dibersihkan guna mempermudah
kajian dan penyelidikan yang lebih saksama. Namun demikian, sampai
dengan akhir abad ke-19, puing-puing itu tidak lebih daripada sekadar
tumpukan bongkahan batu dan bukit kecil yang ditutupi semak belukar.
Tahun 1885 IJzerman menjadi orang pertama yang berupaya membuat
penataan tertentu atas kompleks Loro Jonggrang. Bongkahan-bongkahan
batu yang ambruk ke bilik-bilik candi dipindahkan. Ia sama sekali tidak
bermaksud untuk melakukan pemugaran dalam bentuk apa pun, tidak pula
dengan Groneman, yang tak lama setelah itu mulai bertindak dan
memindahkan semua puing yang ambruk di sekitar reruntuhan itu dan
mengumpulkannya ke sebuah tumpukan besar. Ia barangkali tidak
Diterbitkan pertama kalinya dalam Djw 20 (1940), hlm. 234-239. Catatan penyunting:
Tidak semua pelat dari tulisan asli dimuat kembali di sini. Beberapa pelat yang tidak dapat
dilacak lagi keberadaannya digantikan oleh foto-foto serupa.

235

V.R. van Romondt

menyadari bahwa tindakan-tindakannya ini kelak membuat Brandes sangat


terkejut, karena harapannya akan kemungkinan pemugaran menjadi
berantakan seluruhnya. Kemudian terbukti bahwa sikap Brandes terlalu
muram, walaupun cara kasar pembukaan fondasi kemudian menyebabkan
para pekerja mesti menghadapi kesulitan-kesulitan besar dan tidak perlu.
Tahun 1902 dan 1903, Van Erp, seorang arsitek kawakan yang telah
berhasil memugar Borobudur, melaksanakan langkah-langkah arsitektural
ketika ia memperbaiki bilik-bilik dari candi utama, yang ketika itu berada
dalam keadaan runtuh.
Pemugaran atas Prambanan oleh Dinas Purbakala dimulai tahun 1918.
Arsitek P.J. Perquin, yang baru saja menyelesaikan pemugaran yang indah
atas Candi Panataran, dipercayakan untuk tugas itu. Kita harus mengagumi
keberanian yang dia punyai berhadapan dengan kekacau-balauan itu, dan
langkah demi langkah ia berjuang keras menemukan bentuk lama dari ribuan
tumpukan bebatuan tersebut. Ketika De Haan mengambil alih pekerjaan itu
tahun 1926, bukan cuma kerangka pintu masuk bilik di sisi selatan berhasil
dibangun kembali, melainkan juga bentuk bangunan itu sampai dengan
ketinggian penampil sudah dapat dibayangkan. Beginilah keadaannya ketika
gagasan menyangkut pemugaran lengkap mula pertama bersemi, alih-alih
gagasan awal yakni sekadar menggantikan beberapa bagian atau pemugaran
sebagian atas beberapa dinding depan candi itu.
Perubahan sikap terhadap pekerjaan yang direncanakan ini menim
bulkan Perkara pemugaran, yang pada gilirannya berujung pada permintaan
nasihat yang ditujukan kepada arsitek [H.P.] Berlage, yang ketika itu (1923)
untuk beberapa waktu sedang berada di Hindia Belanda. Namun nasihatnya
terlalu condong pada prinsip-prinsip Belanda untuk dapat sungguh-sungguh
dipenuhi. Tidak lama setelah itu, permasalahan tersebut diajukan ke hadapan
sebuah panitia pemugaran yang dibentuk di Hindia Belanda untuk tujuan ini,
dan yang anggotanya mencakup sosok semisal Van Erp. Panitia ini
menyusun panduan-panduan yang sangat mendasar agar diikuti dalam
kegiatan pemugaran dan pembangunan kembali.
Berdasarkan keputusan ini, dan mencontohi karya Perquin, De Haan
melanjutkan proyek tersebut hingga tahun 1930, ketika sebuah penyakit
berat merenggut nyawanya. Dalam pada itu, ia telah berkesempatan, di
samping kerjanya yang lain, untuk mempersiapkan pemugaran atas apa yang
disebut sebagai dua candi apit.

236

Pemugaran Candi iva

Pada permulaan tahun 1931, saya diserahi tanggung jawab untuk


pekerjaan ini. Langkah-langkah penghematan drastis di bidang ekonomi
yang dikenakan pemerintah, yang memangkas hari kerja hingga separuh
hari, berarti bahwa pada tahun 1932 laju pekerjaan melambat. Selain itu,
inspektur pengawas bangunan [Stutterheim] juga harus mengemban
kedudukan sebagai seorang guru purna waktu, yang berarti bahwa ia cuma
punya waktu satu hari setiap minggu dan hari-hari libur sekolah untuk
mencurahkan perhatiannya pada tugas-tugas yang sesungguhnya di Dinas
Purbakala. Selama jangka waktu ini jalannya kegiatan sehari-hari berada di
tangan wakil pengawas bangunan, P.H. van Coolwijk. Walaupun ada aneka
rupa kendala semacam ini, namun keseluruhan bentuk bangunan berhasil
diselamatkan; artinya, setelah melakukan suatu pemeriksaan yang sangat
cermat atas pemugaran sementara yang sudah dibuat, maka rekonstruksi
yang sesungguhnya bisa dimulai pada akhir tahun 1937. Pekerjaan ini
dibiayai dengan dana sebesar 25 juta [gulden] dari Welvaartsfons [Dana
Kesejahteraan]. Diperkirakan bahwa pekerjaan itu akan berlangsung sekitar
tujuh tahun, sehingga diharapkan bahwa pada tahun 1945 Jawa akan
diperkaya oleh satu lagi monumen budaya yang tidak memiliki tandingannya
di seantero Hindia Belanda.
Sebagaimana yang bisa terbayang dari pengantar historis ini, ikhtiar
dahsyat ini sedemikian memikat minat para arkeolog dan arsitek sehingga
segera terdengar suara-suara yang mendesak diadakannya suatu peninjauan
kembali atas metode pemugaran. Pada mulanya kegiatan ini dilaksanakan
secara serampangan, yakni cuma berupa pemugaran sebagian yang
dilaksanakan dengan tujuan menjadikan bagian muka bangunan yang paling
mencolok lebih rapi. Oleh karena itu, dengan pemikiran semacam ini maka
mudah dimaklumi bila potongan-potongan terlepas dari bagian muka
bangunan lainnya digunakan untuk menggantikan batu-batu asli yang entah
tidak dapat diperbaiki lagi atau telah hilang lenyap seluruhnya. Juga samasama dapat dimaklumi bila metode ini tidak mendapat kepercayaan ataupun
persetujuan dari setiap orang, dan orang mulai bertanya apakah hal-hal ini
bukan merupakan langkah pertama di jalan licin yang akhirnya tergelincir ke
pemalsuan, yang dalam hal ini berupa kesembronoan malah bila tidak
cukup dikontrol dalam menempatkan bingkai-bingkai dan bagian-bagian
bangunan. Mengingat pemugaran yang tidak seluruhnya dapat
dipertanggungjawabkan atas Candi Pawon dan Candi Mendut, maka

237

V.R. van Romondt

muncul pertanyaan apakah pembangunan kembali betul-betul mungkin.


Perang tulisan berkobar, yang sebagiannya ditempuri di halamanhalaman majalah Djw. Satu pendirian dianut oleh kelompok yang
bersepihak dengan Berlage dan setuju dengan berbagai syarat ketentuan
yang sudah ditetapkan oleh Neerlansche Ouheikunigen Bon
(Paguyuban Arkeologi Belanda), yang menandaskan bahwa bangunanbangunan yang tidak lagi digunakan, jadi termasuk candi-candi Hindu-Jawa,
dianggap hanya cocok untuk diambil langkah-langkah pelestarian.
Kelompok yang lain terdiri atas orang-orang yang mendukung pemugaran
atas monumen-monumen budaya, sejauh hal tersebut dilaksanakan seturut
cara yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Sisi tilik terakhir
itulah yang diterima secara sementara oleh panitia pemugaran a hoc, yang
berarti bahwa kerja pemugaran yang dilakukan oleh Dinas Purbakala mesti
tunduk pada berbagai syarat ketentuan yang sangat ilmiah; tidak boleh ada
upaya apa pun untuk melakukan pemugaran yang sesungguhnya sampai
diperoleh kepastian mutlak bahwa setiap potongan batu asli telah berhasil
dikembalikan ke tempatnya yang semula. Biarlah ditandaskan secara tegas di
sini bahwa tidak boleh ada sebongkah batu pun yang diganti bila masih ada
keraguan yang paling kecil sekalipun; batu semacam itu dicadangkan
sebagai yang tak bisa ditempatkan.
Sebelum memulai rekonstruksi atas sebuah benda peninggalan kuno,
monumen itu dirakit di atas tanah bagian demi bagian dalam apa yang kita
kenal sebagai susunan percobaan. Bagian-bagian candi tersebut setinggi
kira-kira tiga sampai empat meter, tempat batu-batu asli telah ditaruh
kembali di tempatnya diselang-selingi dengan bahan-bahan tambahan, yang
digunakan untuk sementara waktu guna menggantikan tempat potonganpotongan batu yang hilang. Bahan-bahan yang mudah dibentuk (yakni batu
napal dan batu kapur yang langsung dicetak di tempat kerja itu) dipakai
untuk membuat batu-batu pengganti, sambil berharap bahwa batu-batu asli
akan ditemukan lagi sebelum pemugaran pasti atas bangunan itu
dilaksanakan. Sususan percobaan ini, yang dikenal sebagai lingkaran (dari
bahasa Belanda, gorel), merupakan pemeriksaan terakhir tentang ketepatan
rancang bangun yang sudah dibuat sebelumnya di atas kertas, tentangnya
akan kita bicarakan lebih lanjut nanti.
Demikian pula, sebelum upaya apa pun dapat diambil untuk melakukan
sebuah susunan percobaan, terdapat kegiatan pemilahan dan penyaringan

238

Pemugaran Candi iva

secara besar-besaran, yang mencakup beberapa susunan percobaan parsial.


Hal ini harus ditangani secara mekanis, sebab pada permulaan penyelidikan
jarang sekali terdapat isyarat apa pun tentang rincian-rincian bangunan
tersebut. Orang yang berupaya melakukan rancang bangun tidak memiliki
denah kuno atau data stilistik sebagai pegangannya. Setiap bangunan
menampilkan kejutan-kejutan tersendiri yang khas dan buku-buku pedoman
tentang seni merancang bangunan yang masih bisa diselamatkan, yakni
ilpstra, tidak berasal dari Jawa, juga buku-buku tersebut tidak mudah
dipahami oleh seorang yang tidak memiliki pengetahuan filologi agar dapat
digunakan sebagai buku pegangan selama pemugaran. Pada dasarnya hanya
ada bahan-bahan yang ditemukan untuk dikerjakan, tidak ada cara lain.
Menyangkut Candi iva di Prambanan, satu-satunya petunjuk, selain dari
bahan-bahan itu sendiri (yakni tempat ditemukannya bahan-bahan itu, yang
setidak-tidaknya memberi semacam petunjuk potongan mana yang termasuk
bagian muka bangunan yang mana), telah hilang gara-gara semangat
berlebihan dari Groneman. Oleh karena itu, kita mesti menyatakan
kekaguman kita atas keberanian di balik kerja keras memilah dan memilih
tumpukan besar puing yang terdapat di sebelah barat situs candi di
Prambanan itu. Menyangkut hal ini pun kita mesti menambahkan rasa
hormat kita yang tinggi terhadap para mandor Jawa, yang dengan naluri
tajam dan ketelitian yang luar biasa mampu memadukan kembali potonganpotongan batu yang nyaris mustahil dirakit kembali. Bagaimana semuanya
ini bisa terjadi akan dijelaskan di bawah ini.
Guna mengendus gagasan tentang besarnya jumlah tebakan dan tekateki yang terlibat di sini, hal terbaik yang dapat kita bayangkan adalah
penyusunan potongan-potongan puzzle yang terdiri atas penggalanpenggalan papan kayu tripleks yang dipotong secara aneh. Setelah
menyusunnya kita masih harus menambah sebuah matra ketiga, sebab masih
harus dicari dan ditemukan juga bagian-bagian yang cocok di atas dan di
bawah setiap potongan. Sama halnya dengan teka-teki menyusun potonganpotongan puzzle itu, potongan-potongan tadi mula pertama dipilih
berdasarkan warna atau ciri khas lainnya, sehingga batu-batu yang
menunjukkan keunikan khusus dirakitsatukan untuk sementara waktu.
Setelah pembagian kasar pertama misalnya seturut cetakan rata, cetakan
berhias, potongan-potongan dengan rancangan-rancangan geometris, dengan
bebungaan dan sulur daun atau dengan adegan-adegan

239

V.R. van Romondt

cerita dibuat sebuah pemilahan yang lebih teliti. Akhirnya, potonganpotongan yang serupa bisa ditempatkan bersama, dan setelah itu terserah
pada wawasan sang arsitek untuk menyusun semua potongan yang
dirakitsatukan itu menjadi sebuah kesatuan arkitektonik. Prakarsa ada di
tangan orang yang melaksanakan pekerjaan, namun batu-batu itulah yang
mengokohkan hipotesisnya. Setiap kali hipotesis ini terbukti salah maka
sebuah penyelesaian baru mesti dicari.
Manakah ciri-ciri khas olehnya batu-batu berjenis serupa disusun dan
metode-metode kontrol apa saja yang bisa berguna dalam proses ini?
Jawabannya muncul dari teknik bangunan kuno, dan darinya corak
mencolok yang paling langsung kasatmata adalah: pertama, bahwa batu-batu
itu memiliki ukuran yang berbeda-beda; kedua, bahwa batu-batu dari tingkat
yang lebih tinggi dipasang pada potongan-potongan di bawahnya dengan
cara memasang sebuah lidah pada satu galur; ketiga, bahwa di banyak
tempat batu-batu itu dijangkarkan ke samping dengan paku-paku batu, dan
di bagian belakang dengan sambungan terdiri atas bagian-bagian yang
dimasukkan ke celah-celah pada bagian yang akan disambung (bahasa
Inggris: ovetail joints); keempat, bahwa hiasan dipahatkan kemudian, dan
dengan demikian meliputi sambungan tadi; kelima, bahwa batu-batu asli
dipotong dan diperhalus pada situs (di bangunan itu sendiri); keenam, bahwa
batu-batu itu tidak selalu dipotong dengan bentuk empat persegi panjang,
namun demikian dicocokkan satu sama lain dengan pasak.
Apa yang ditunjukkan hal-hal di atas adalah bahwa pada zaman dahulu
setiap batu mengalami pengolahan secara tersendiri, dan dengan demikian
memiliki ciri khas yang unik. Lidah dan galur pada dua bongkah batu yang
dipasang satu di atas yang lain memiliki ukuran-ukurannya tersendiri, yang
berarti bahwa keduanya tidak cocok dengan potongan-potongan yang lain.
Di beberapa tempat kita dapat menemukan bekas-bekas penghalusan ulang,
setelah batu-batu itu ditaruh pada tempatnya. Paku-paku atau sambungan
berbentuk garpu pada dua bongkah batu yang terletak satu di samping yang
lain mesti saling bersepadanan, seperti seharusnya juga atas sebuah galur
yang berkesinambungan pada sejumlah batu. Tidak saja hiasan mesti
sinambung pada batu-batu yang berdampingan, tetapi tanda-tanda pahat juga
harus runtut di sepanjang sambungan. Akhirnya, penghalusan batu-batu itu
dikerjakan sedemikian teliti sehingga secara umum dapat diandaikan bahwa
sambungan tadi mesti juga terkunci dari dalam.

240

Pemugaran Candi iva

Sarana-sarana kendali ini sedemikian banyaknya sehingga begitu kita


menjadi terbiasa dengannya maka kita dapat merasa pasti bahwa batu-batu
yang sekarang tampaknya cocok satu sama lain juga di masa lampau saling
berpautan. Pekerjaan menjadi lebih sulit ketika berbagai ciri khas terhapus
oleh kehancuran atau rusak karena iklim. Kesulitan khusus ditimbulkan oleh
batu-batu yang dipotong selama proses pemugaran terdahulu. Mustahil
untuk memperkirakan berapa banyaknya jumlah batu yang dipotong dan
dibuang, kecuali melalui reduksi, artinya dengan mengandaikan bahwa ada
sebuah batu yang hilang antara batu ini dan batu itu yang berada di
sebelahnya.
Hal ini mengantar kita pada hal-hal paling sukar dalam karya pemu
garan, yakni penentuan ukuran ruang oleh karena hilangnya potonganpotongan asli. Secara teoretis, di atas denah rancang bangun, ada
kemungkinan untuk menentukan secara cukup akurat ukuran dari ruangruang terbuka yang tersisa. Namun dalam praktik, ukuran tersebut harus
diteliti secara sangat saksama, sebab dalam kerja yang dilakukan secara
manual (termasuk candi semacam itu) selalu terdapat ukuran yang tidak
sama persis. Dalam hal ini, metode-metode riset yang semata-mata mekanis
itu benar-benar menentukan. Dalam contoh semacam itu, susunan percobaan
harus dibuat sampai pada suatu tingkat yang lebih tinggi hingga tercapai satu
garis sinambung, dan celah yang ditimbulkan oleh hilangnya bahan-bahan
telah ditutupi pada semua sisinya oleh batu-batu asli. Hal ini menuntut kerja
yang sangat teliti dan susunan percobaan harus dibongkar dan disusun ulang
beberapa kali. Kesulitan yang sama muncul di mulut-mulut gapura, di mana
lebih celaka lagi sambungan horizontal untuk tiang-tiang pintu tidak sama
tinggi.
Sebagai ikhtisar, dalam sebuah rekonstruksi kegiatan-kegiatan berikut
dilaksanakan:
1. memilah batu-batu seturut bentuk dan ukuran,
2. pemilahan yang lebih teliti berdasarkan ciri khas rincian-rinciannya,
3. pemugaran sebagian,
4. penyusunan gambar-gambar rekonstruksi,
5. susunan percobaan dari bagian-bagian horizontal.
Setelah ini, sesudah memperoleh satu taraf kepastian yang memuaskan
tentang bentuk asli, kerja pemugaran yang sebenarnya dapat dimulai.

241

V.R. van Romondt

Pada pertengahan tahun 1937, tersedia dana untuk membangun kembali


Candi iva itu. Mengingat kenyataan bahwa candi ini sudah pernah dirakit
dalam susunan percobaan di situs, maka kegiatan pemugaran, yang telah
direncanakan sebelumnya, dapat segera dilaksanakan. Langkah pertama
ialah membeli 270 m balok kayu untuk mendirikan perancah (pengaram),
dengan dua lift yang diderek dengan kerekan-kerekan tangan yang mesti
mencapai ketinggian melampaui penampil bangunan. Ketika pekerjaan ini
tengah dilaksanakan, bagian-bagian yang diambil dari bagian muka
bangunan dipreteli dan ditambahkan sekali lagi pada susunan percobaan di
tempat yang sebenarnya. Bagian-bagian dinding lainnya yang tersisa yang
tergeser dan nyaris ambruk, dibongkar dan kemudian dipasang pada
tempatnya yang sebenarnya. Setelah semuanya ini dituntaskan bagian-bagian
dinding digabungkan satu sama lain dengan ikatan-ikatan dinding, dan bila
mungkin ikatan-ikatan tersebut dibuat juga pada bagian belakang. Ketika
perancah sudah siap, yang seluruhnya menghabiskan waktu satu tahun
penuh, susunan-sususan percobaan pada situs bisa dicopot satu persatu dan
dipasang secara pasti serta mantap pada bangunan.
Dalam proses pembangunan kembali, keniscayaan akan ketepatan
ukuran yang mutlak jauh lebih dituntut daripada selama jangka waktu
susunan percobaan. Malah semakin tinggi bangunan itu berhasil dipugar,
setiap ketidaktelitian pada jenjang-jenjang bawah bisa berlipat ganda dan
akhirnya berujung pada situasi di mana tingkat-tingkat paling atas menjadi
sama sekali tidak cocok.
Betapapun menggodanya bagi seorang arsitek untuk memasang
sambungan-sambungan dan unsur-unsur menonjol di atas tembok dengan
sebuah bandul (timbangan pengukur garis tegak lurus) dan waterpas, namun
ketika batu-batu kuno disusun kembali pada tempatnya persis itulah yang
mesti dihindarkan. Penyimpangan-penyimpangan yang tampak sangat
kasatmata, khususnya pada garis-garis horizontal, memperlihatkan bahwa
kedua alat tadi tidak digunakan para tukang asli. Karena alasan ini maka
selama pemugaran metode-metode yang dipakai sebagai pengontrol dalam
susunan percobaan mesti digunakan dengan ketelitian yang lebih besar lagi.
Apakah dua bidang mengalir lancar melintasi sebuah galur ditentukan
dengan menarik mistar meraba-raba di atasnya, sedangkan unsur-unsur
menonjol dicocokkan dengan mata kepala saja. Tali bubutan, bandul, dan
waterpas cuma memainkan peran yang kurang penting.

242

Pemugaran Candi iva

Sejauh mungkin, penggalan-penggalan yang telah mengelupas ditaruh


kembali di tempatnya yang asli dengan logam anti karat. Batu-batu baru
yang terpaksa ditambahkan dipotong dengan panjang yang persis sama
dengan garis-garis patahan yang terdapat pada batu-batu kuno itu, yang tidak
boleh dipotong secuil pun, guna memastikan bahwa tidak ada satu fakta pun
yang boleh dihilangkan sebab siapa tahu bisa ditemukan kembali tempatnya
yang sebenarnya.
Batu-batu itu disusun secara hati-hati, satu di atas yang lain, tanpa
tambahan semen apa pun, baru setelah itu sambungan-sambungan dituangi
dengan cairan berbagai jenis semen yang sangat encer (satu ukuran semen
dicampur dengan satu ukuran pasir), atau semata-mata dengan air semen bila
sambungan itu sangat sempit. Namun sebelum diisi, sambungan yang
terkena sinar matahari langsung ditutupi dengan tanah liat lembab, agar
semen tadi tidak tergerus. Setelah tanah liat itu dibuang, cairan semen tadi
tidak kelihatan lagi dan bangunan tersebut mempertahankan penampilan
lahiriahnya yang asli.
Dalam pemugaran ini penggunaan besi dihindari pada setiap tempat
karena besi itu bisa terkena lembab atau udara terbuka. Pipa-pipa besi yang
ditambahkan pada lubang-lubang erong di lantai selasar selama rekonstruksi
terdahulu digantikan dengan konstruksi beton penguat. Demikian juga
balok-balok besi penopang yang ditempatkan di bawah berbagai jenang
digantikan dengan memasang konstruksi beton penguat di dalam jenangjenang tersebut. Ikatan-ikatan dinding dari besi, dengannya dinding bagian
luar dicantolkan pada badan beton di belakangnya, diperlengkapi dengan
semen tambahan agar terhindar dari proses pengaratan.
Agar badan beton yang barusan disinggung itu tidak boleh menjadi ter lalu
mahal, maka bentuknya dijaga agar tetap tipis dan sisa selebih dari karya di
bagian dalam bangunan dilaksanakan dengan memakai batu kali biasa.
Tidaklah mungkin untuk melindungi secara sempurna kumpulan batu
raksasa itu dari gempa bumi. Seandainya bangunan raksasa ini mulai
bergerak, maka tersirat adanya kekuatan yang sedemikian dahsyat yang
cuma bisa ditandingi oleh bangunan-bangunan yang luar biasa beratnya.
Dinding bagian luar dilindungi dari keretakan dari tubuh bangunan utama
bila terjadi sebuah goncangan bumi yang sangat kuat dengan sebuah
kerangka beton berupa sebuah konstruksi balok-balok bundar horizontal dan
tiang-tiang vertikal.

243

V.R. van Romondt

Sebagaimana yang barusan disinggung, jenang-jenang yang patah


disambung lagi dengan menggunakan balok silang atau kasau beton penguat.
Hal ini dibuat dengan melubangi seluruh jenang, dan kemudian kasau beton
itu diselipkan ke dalam rongga tersebut. Sistem serupa digunakan untuk
langit-langit pada pintu dengan memakai lempeng-lempeng batu, yang
diletakkan di lantai beton penguat.
Sayangnya, bentuk yang tepat dari lengkungan langit-langit atau
sungkup-sungkup semu [di atap], yang dipugar Van Erp, tidak diketahui.
Inilah alasan mengapa digunakan sungkup-sungkup beton yang jelas
kelihatan bahan buatannya, sehingga gamblang bahwa sungkup asli tidak
berhasil dipugar tetapi ditukar dengan sebuah tiruan pengganti modern.
Kini kita telah sampai pada penyelesaian akhir bangunan itu. Kebenaran
ilmiah menuntut agar dibuat suatu pemilahan yang jelas dan tegas antara apa
yang asli dan apa yang dibarui. Tuntutan ini hanya dipenuhi sebagian karena
dengan keyakinan bahwa hiasan bebas, sebagaimana yang pada mulanya
diterapkan, tidak dapat ditiru tidak ada hiasan baru yang dipahatkan pada
bangunan batu yang dipugar itu, dan para pemugar sudah membatasi diri
mereka pada penempatan pilaster dan lis hias tembok serta penanda hiasan
geometris sederhana. Lebih dari itu, setiap batu baru diperlengkapi dengan
sebuah segel timah.
Banyak pihak yang cemas bahwa tidak dilanjutkannya hiasan pada batubatu baru akan mengganggu penampilan bagian muka bangunan itu. Namun
pelunturan warna yang terjadi secara cepat atas batu-batu tersebut serta
dominasi garis arsitektural yang tetap kuat akan menciptakan sebuah
kesatuan citra sehingga kecemasan ini mesti dianggap tidak berdasar.
Bidang-bidang bagian muka bangunan itu dengan panel utama dan
berbagai relung, sejumlah besar garis vertikal pilaster dan lis hias tembok,
garis horizontal dari hiasan relung, yang semuanya itu dilanjutkan pada
pahatan batu baru, menampilkan gradasi cahaya dan bayangan yang kaya
sehingga tidak adanya hiasan bebas tidak akan dapat diamati dengan segera.
Untuk menghindari adanya ketidaksesuaian yang terlalu besar antara bagianbagian kuno yang bobrok dan batu-batu mulus tanpa hiasan yang disisipkan
di antara bagian-bagian tadi, maka di sana-sini mutlak diperlukan untuk
menutup atau menggantikan kerusakan yang sangat mencolok (lubanglubang dan seterusnya). Cara ini hanya digunakan sesedikit mungkin agar
tidak melenceng dari ciri khas monumen tersebut.

244

Pemugaran Candi iva

Gambar 16. Gambar rekonstruksi Candi iva. (Diadaptasi dari Djw 20 [1940].)

245

Gambar rekonstruksi menunjukkan bagaimanakah kiranya para tukang


bahari itu memahami kompleks tersebut. Tentu saja tidak mungkin dikatakan
apakah kompleks tersebut persis kelihatan seperti gambar itu. Banyak
indikasi yang masih tersisa di reruntuhan bangunan itu tampaknya
menunjukkan bahwa kompleks tadi tidak pernah tuntas. Malah ada
kemungkinan bahwa beberapa dari antara candinya tidak pernah
memperoleh bagian atasnya. Hal ini barangkali dapat dibuktikan oleh
penelitian berkelanjutan.
Ketika bangunan yang nyaris mencapai ketinggian 50 m itu (20 m lebih
tinggi daripada perancah sekarang ini) akhirnya menjulang sekali lagi
sebagai hasil dari 18 tahun lebih pencarian dan penelitian serta tujuh tahun
pembangunan, curahan perasaan kita yang pertama tentulah berupa rasa
terima kasih kepada pemerintah Belanda yang telah memungkinkan kita
untuk menyumbang kepada pemulihan sebagian dari salah satu monumen
budaya dari masa lampau Jawa yang semarak dalam kemegahannya.

246

Foto 16a dan 16b. Puing-puing reruntuhan candi di Prambanan. Gambar


16a dibuat oleh C. Springer, sekitar tahun 1852; Foto 16b diambil oleh
Woodbury & Page sebelum tahun 1880. (Sumber: KITLV.pictura-dp.nl)

247

Foto 17a dan 17 b. Candi iva (tampak Barat) sebelum dan sesudah
pembersihan kasar yang dilakukan Groneman pada tahun 1880.
(Sumber: KITLV.pictura-dp.nl)

248

Foto 18. Pemandangan puing reruntuhan Candi Vis n u sekitar tahun 1880.
(Sumber: KITLV.pictura-dp.nl)

Foto 19. Relief-relief Tn d ava di sisi luar pagar langkan.


(Sumber: KITLV.pictura-dp.nl)

249

Foto 20. Para tukang Jawa sedang memeriksa tumpukan besar bebatuan.
(Foto OD 4018, direproduksi dari Djw 20 ([1940].)

Foto 21. Pemilahan batu-batu berdasarkan ukuran dan bentuk.


(Direproduksi dari Djw 20, 1940.)

250

Foto 22. Susunan percobaan atas sebuah kepala Kla. (Direproduksi dari Djw 20,
1940.)

251

Foto 23. Susunan percobaan atas sebuah bidang horizontal dari dinding Candi
iva. (Foto OD 13297, direproduksi dari Djw 20, 1940.)

Foto 24. Sedang dalam proses: susunan percobaan terhadap bagian atas Candi
iva. (Foto OD 4216, Sumber: Perpustakaan Universitas Leiden.)

252

Foto 25. Kegiatan pemugaran yang sesungguhnya dengan menggunakan derek


dan penggerek putar. (Foto OD 13255, Sumber: Perpustakaan Universitas
Leiden.)

Foto 26a dan Foto 26b. Penguatan bangunan rekonstruksi dengan beton cor
bertulang di sungkup ke-3 tertutup dari atap Candi iva. (Direproduksi dari
Bernet Kempers 1978: 168.)

253

Foto 27. Perancah yang digunakan untuk pemugaran Candi iva.


(Foto OD 13255, Sumber: Perpustakaan Universitas Leiden.)

254

Foto 28. Candi iva dipugar kembali. (Direproduksi dari Bernet


Kempers 1955.)

255

256
Foto 29. Gapura timur Candi iva. Di sebelah tangga ada candi sudut yang berisikan batu-batu yang menandai pusat
geometris dari kompleks percandian. (Foto oleh Siebolt Kok.)

Foto 30. Beberapa batu baru dengan permukaan datar di salah satu relung
luar Candi iva. (Foto oleh Mark Long.)

257

258
Foto 31a. Candi apit di sisi selatan halaman pusat.
(Foto OD 11395, Sumber: Institut Kern Leiden.)

Foto 31b. Candi perwara di halaman kedua.


(Foto oleh Marije Duyker.)

Foto 32. Arca yang belum teridentifikasi pada puncak kepala Kla di atas ruang
masuk yang menuju ke bilik utama Candi iva. (Foto oleh editor.)

259

Foto 33. Arca iva Mahdeva. (Direproduksi dari Bernet Kempers 1955.)

260

Foto 34. Pemandangan puncak Candi iva. (Direproduksi dari Bernet Kempers
1955.)

261

262
Foto 35. Pemandangan Taman Wisata Candi Prambanan. (Foto oleh Mark Long.)

A.J. BERNET KEMPERS

Prambanan 1954

Walaupun sedikit tumpang tindih dengan tulisan-tulisan lain dalam buku ini,
namun karangan Bernet Kempers yang dimuat ulang di bawah ini layak
disajikan kembali kepada khalayak pembaca yang lebih luas melalui sebuah
terjemahan. Dengan ketelitian yang menjadi ciri khasnya, Bernet Kempers
menyajikan suatu tinjauan tentang sejarah pemugaran kompleks percandian
Prambanan, khususnya Candi iva, di mana ia sendiri terlibat secara langsung
sebagai direktur pertama Dinas Purbakala Indonesia. Oleh perincian serta
ketuntasan tulisan ini, maka uraian tentang segi-segi arsitektural dari candi
induk terbukti menjadi sebuah panduan yang sarat manfaat untuk menjelaskan
candi-candi lainnya di kompleks ini yang masih harus dibuat.

Setahun kini sudah berlalu sejak penyelesaian pemugaran Candi iva di


kompleks Loro Jonggrang di Prambanan dirayakan dengan sebuah pesta
besar pada tanggal 20 Desember 1953 (lihat Foto 28). Pesta ini menandai
akhir yang semarak dari proyek terbesar yang dikerjakan Dinas Purbakala di
Indonesia. Sebagai seorang pengunjung berkala, sasaran saya dalam tulisan
ini ialah memberanikan diri memberikan laporan seorang saksi mata
menyangkut beberapa hal yang masih harus dilihat dan sedang terjadi saat
ini, pada penghujung tahun 1954, di Prambanan bagi orang-orang yang tidak
beruntung menyaksikan sendiri hal ini. Sampai pada taraf tertentu tulisan ini
seumpama potret, sebab walaupun saat ini candi induk telah tuntas namun
pekerjaan yang masih harus dilakukan di kompleks yang besar ini sama
sekali masih jauh dari penyelesaiannya. Inilah alasan untuk pemilihan judul
Prambanan 1954.
Diterbitkan pertama kalinya dengan judul Prambanan 1954, dalam Bijragen tot e
Taal-, Lan- en Volkenkune 111 (1955), hlm. 6-37. Catatan penyunting: Tidak semua foto
dari tulisan asli dimuat kembali di sini; karena kurangnya identifikasi yang pasti dari fotofoto tersebut, maka tidak semuanya berhasil dilacak lokasinya. Beberapa foto digantikan
oleh foto-foto lain yang dapat dibandingkan.

263

A.J. Bernet Kempers

Sebentar lagi saya terpaksa akan menyinggung beberapa angka tahun


dan fakta lagi guna menggariskan pentingnya apa yang telah berlangsung di
sini. Namun, sebelum itu saya akan memulai dengan satu penjajakan umum
tentang situs tersebut.
Anda pasti ingat bahwa selain Candi iva, kompleks Loro Jonggrang
berisikan sejumlah besar bangunan lain. Di sebelah utara dan selatan candi
induk ini, dan sejajar dengannya, terdapat dua candi yang masing-masing
dipersembahkan kepada Vis n u dan Brahm; berseberangan dengan candi-candi
tersebut terdapat tiga bangunan yang lebih kecil yang dahulunya dirujuk sebagai
candi-candi vhana. Sebutan ini agaknya tidak tepat sebab hanya candi di
tengah yang berisikan vhana, yakni binatang yang digunakan sang dewa
sebagai tunggangan: Nandi, sapi jantan iva. Dua candi lainnya, yang kini
secara tidak menarik disebut Candi A dan Candi B, boleh jadi ditempati bentukbentuk khusus (penjelmaan) dari Sang iva. Malah Candi B (yang di sebelah
utara) pernah berisikan sebuah arca iva, yang kepalanya tersimpan di Museum
di Jakarta. Sang Garud a , yang ditakhtakan di candi ini untuk waktu yang lama,
kini setelah sebuah petualangan singkat ke Museum Sono Budoyo, sudah
dipasang di depan Kantor Dinas Purbakala di Prambanan. Arca itu aslinya tidak
berasal dari Candi B, malah juga tidak dari tempat lain mana pun di kompleks
itu, tetapi pada saat arca tersebut diyakini menjadi milik kompleks itu arca
tersebut ditempatkan di candi di seberang Candi Vis n u. Agar diperoleh
gambaran tentang ukuran keenam candi ini: Candi iva berukuran 34 x 34 m
luas dan 47 m tinggi, Candi Brahm dan Candi Vis n u berukuran 20 x 20 m luas
dan 23 m tinggi, Candi A dan Candi B berukuran 13 x 13 m luas dan 22 m
tinggi, dan Candi Nandi berukuran 15 x 15 m luas dan 25 m tinggi. Dengan
kekecualian candi induk, semua ukuran ketinggian tadi tentu saja cuma
perkiraan semata.
Pada sisi utara dan selatan dari halaman yang berisikan keenam candi
tadi berdiri apa yang disebut candi-candi apit (dalam bahasa Belanda
Ukuran-ukuran ini diambil dari Stutterheim, Djw 20 (1940), hlm. 225 dst. Menyangkut
uraian-uraian tentang kompleks itu dari waktu terdahulu, lihat tulisan Stutterheim tadi dan
juga Krom, Inleiing tot e Hinoe-Javaansche Kunst (1923); Lulius van Goor, Korte
gis (1919); Groneman, Tjani Prambanan (1893); IJzerman, Beschrijving er ouheen
(1891). Kementrian PPK di Yogyakarta menerbitkan sebuah panduan singkat ke kompleks
percandian Loro Jonggrang (cet. ke-2, 1950) yang disusun oleh Soehamir dari seksi
kebahasaan pada Jawatan Kebudayaan, berjudul Petunjuk tentang Tjani Rara (baca:
Lara) Djonggrang i Prambanan (1953). Denah-denah dapat ditemukan dalam Djw 20
pada halaman yang berhadapan dengan hlm. 235 dan dalam Amerta 1 (Dinas Purbakala)
(1952), hlm. 23.

264

Prambanan 1954

hoftempeltje, harfiah: kuil kecil di halaman dalam, sedangkan kata apit


diartikan sebagai ajudan, pendamping). * Ukurannya 6 x 6 m dan memiliki
ketinggian sekitar 16 m. Semua bangunan itu terletak dalam sebuah
lapangan bujur sangkar yang ditandai oleh candi-candi patok dan candicandi kelir (1,55 x 1,55 m luas dan 4,10 m tinggi), yang dikelilingi oleh
tembok pembatas yang paling dalam atau pertama dari kompleks tersebut,
yang sisi-sisinya memiliki panjang 110 m. Pusat lapangan persegi itu tidak
terletak pada situs arca iva, yang menjadi titik pusat keagamaan dari tempat
suci di bilik utama Candi iva, tetapi pada menara sudut di sebelah sisi
selatan dari tangga timur. Dari luar menara sudut itu cuma bisa dibedakan
dari tujuh menara di sudut lainnya yang mengapit tangga-tangga di Candi
iva (lihat Foto 29) oleh karena bagian depannya yang terbuka. Namun di
dalamnya terdapat sebuah lapik yang dilubangi dan di bawahnya tidak
kelihatan dari luar terdapat sebuah tiang terdiri atas tiga parallelepipeon
yang tegak, padanya pusat situs itu ditunjukkan oleh garis-garis yang halus
(lihat Gambar 7). Dengan kata lain, arca utama tidak terletak pada pusat
geometris, tetapi di sebelah barat laut darinya. Penempatan bukan pada titik
pusat sakral itu juga ditemukan pada berbagai candi lainnya (misalnya
Gunung Wukir, Merak, Badut, Kidul). Di luar Indonesia juga terdapat
contoh-contoh terkenal: dalam teks-teks India dilarang untuk menempatkan
arca-arca atau bagian-bagian penting bangunan pada titik potong rencana
dasar bangunan. Diagram semacam ini dibentuk oleh pola papan catur yang
terdiri atas kotak persegi empat sebanyak 64 atau 81 buah, di mana titik yang
paling lemah adalah titik potong antara poros dan sudut-sudut.
Menyangkut bagian utama, denah Loro Jonggrang tidak sama ketat
setangkup semisal denah Sewu; namun demikian tampaknya bahwa masih
ada kemungkinan untuk menemukan garis-garis lain pada diagram itu selain
titik pusat yang bersepadanan dengan bagian-bagian penting dari
Catatan penyunting: tafsiran saya berbeda dari interpretasi Bernet Kempers. (H)apit lebih
baik diterjemahkan sebagai dijepit di dalam seperti dalam kasus semisal bulan apit,
yang merujuk pada bulan Zulkaidah yang terjepit di antara pesta-pesta Islam yang utama
(lihat Juynboll 1930:100, catatan kaki no. 2; Teeuw 1990:36). Bagaimanapun juga, harus
diingat bahwa istilah candi apit ini dan beberapa istilah-istilah lazim yang lain, seperti
candi wahana, candi kelir dan candi patok, tidak diturunkan melalui teks oleh para arsitek
kuno tapi diciptakan oleh para arkeolog di abad ke-19 dan abad ke-20.
O.V. 1938, hlm. 6-7, pl. 2-3 dan A.
Heine-Geldern, Weltbild und Bauform in Sdostasien. Wiener Beitrge Kunst un
Kulturgeschichte Asiens (1930); Stella Kramrisch, The Hinu Temple 1 (1946).

265

A.J. Bernet Kempers

denah kompleks percandian, termasuk dan di dalamnya terletak candi-candi


perwara yang akan disinggung sebentar lagi. Ini berarti bahwa dibutuhkan
denah yang sangat terperinci untuk kompleks percandian itu secara
keseluruhan dan untuk masing-masing candinya. Di Prambanan, setelah
kerusakan yang menimpa dinas itu dalam perang kemerdekaan Indonesia,
hanya tersisa beberapa denah saja.
Berdasarkan data yang tersedia padaku, terus-menerus saya menarik
kesimpulan-kesimpulan berbeda, malah tentang ukuran-ukuran dari Candi
iva. Oleh karena itu, walaupun tanpa bayangan keraguan apa pun bahwa
sebuah sistem tertentu mesti melandasi kompleks tersebut, namun saya tidak
akan masuk ke persoalan itu di sini. Dalam hal ini mesti dipertimbangkan
tidak saja diagram-diagram tetapi juga kaitan-kaitan kosmologisnya:
keseluruhan kompleks dibangun sebagai sebuah teras bertingkat, yang
dipadukan dengan tembok-tembok melingkar serta deretan atau jajaran
candi-candi, yang akan kita bahas sebentar lagi. Faktor ketiga dalam tata
letak ialah kesetiaan pada jenis pengelompokan yang lebih kuno di mana
candi-candi itu menghadap satu sama lain: candi indukcandi perwara, candi
induktiga candi perwara, candi indukcandi-candi apitcandi-candi perwara
(tiga berhadapan dengan tiga).
Denah setangkup ini menjadi jelas khususnya di kawasan antara tembok
pembatas pertama (tembok paling dalam) dan tembok pembatas kedua. Pada
lapangan itu sendiri kita tidak terlalu menyadari bentuk simetris tersebut
karena kenyataan bahwa satu tembok batu candi ditumpukkan secara
serampangan guna membangun pagar di sekeliling kompleks itu
sebagaimana adanya sekarang. Lebih dari itu, dengan kekecualian beberapa
candi perwara yang kini telah berhasil dipugar atau sedang dalam proses
pemugaran, tembok tersebut tidak lebih dari satu tumpukan besar puingpuing reruntuhan. Gambaran yang lebih baik tentang tata letak itu bisa
diperoleh dari denah. Tembok pembatas kedua melingkari tembok pembatas
pertama, namun sisi-sisinya masing-masing berukuran 222 m. Kawasan di
antara kedua tembok pembatas ini ditinggikan dalam bentuk teras bertingkat
dan ditata sedemikian rupa sehingga candi-candi perwara (yang berukuran 6
x 6 m luas dan 14 m tinggi) yang terletak pada teras bertingkat ini
membentuk empat lapangan persegi yang masing-masing berisikan 68, 60,
52 dan 44 bangunan, sehingga keseluruhannya berjumlah
Heine-Geldern l.c.

266

Prambanan 1954

224 buah. Istilah Indonesia yang digunakan untuk candi-candi tambahan ini
adalah candi perwara dari kata perwara = gadis pengiring raja; calon
permaisuri. Sesungguhnya sangat sedikit yang tersisa dari tembok yang
dahulunya pernah melingkari kompleks percandian ini. Kedua lapangan
persegi yang melingkar itu sendiri terletak di dalam satu tembok pembatas
ketiga yang sisi-sisinya berukuran 390 m, namun kini miring ke arah barat
daya. Lapangan persegi yang berada paling dalam diarahkan semata-mata
menurut penjuru mata angin dengan pintu masuk pada poros-poros di
keempat sisi. Gapura-gapura pada tembok pembatas ketiga terletak kira-kira
berkesinambungan dengan poros-poros bagian tengah. Gapura di sisi paling
selatan masih bisa dilihat di bagian selatan kompleks tersebut, tidak jauh dari
pintu masuk. Sejauh mungkin sedang diupayakan pemugaran sebagian dari
gapura-gapura paling dalam.
Di antara lebih dari 230 candi perwara di kompleks tersebut yang
menyangkut jumlahnya belaka tidak kalah dari tandingan utamanya yakni
Candi Sewu yang sampai sejauh ini berhasil dipugar adalah: Candi iva,
dua candi apit, candi-candi patok dan candi-candi kelir, yang semuanya
terletak di kawasan utama, salah satu dari candi-candi perwara yang terletak
di sisi timur, dan pekerjaan pemugaran masih dilangsungkan atas candi
perwara kedua yang terletak di sudut tenggara. Juga sedang dibuat susunan
percobaan terhadap Candi Brahm dan Candi Vis n u yang terletak di
belakang candi-candi itu sendiri, namun sebagian besar terletak di luar
tembok-tembok di sisi tenggara kompleks tersebut.
Setelah orientasi pendahuluan ini, mula pertama saya akan mencurahkan
perhatian pada kejadian-kejadian pokok dalam sejarah kompleks itu yang
lebih belakangan ini. Sangat sedikit yang dapat dibicarakan tentang masa
lampaunya yang sudah lewat: sementara orang pada umumnya merujuk pada
masa pemerintahan [Raja] Balitung (awal abad ke-10) sebagai saat
pembangunan kompleks tersebut, namun belakangan ini ada kalangan yang
lebih mendukung suatu penanggalan yang lebih awal. Nah, mengingat
bahwa sekarang ada lebih banyak hal tentang monumen itu sendiri yang
dapat dipelajari dan juga lebih banyak bangunan-bangunan Jawa Tengah
sudah diketemukan, maka ada kemungkinan untuk mendapat kepastian
tentang masalah ini. Namun pada saat ini saya tidak ingin menyelisik
Lihat a.l. Stutterheim, De stichter der Prambanan-tempels, Djw 20 (1940), hlm. 218233.

267

A.J. Bernet Kempers

persoalan itu lebih jauh. Apa pun halnya, sekitar tahun 930 M pusat
kebudayaan Hindu-Jawa bergeser ke Jawa Timur, dan monumen-monumen
Jawa Tengah mulai dilupakan. Peninggalan-peninggalan tersebut rusak dan
ditutupi belukar, namun ada dampak yang menguntungkan dalam hal ini,
yaitu ketika bagian atas candi itu roboh maka bagian-bagian yang lebih
rendah tertimbun dengan aman. Seandainya hal ini tidak terjadi maka saya
kira hampir mustahil bahwa begitu banyak bagian yang lebih rendah dari
bangunan itu yang tetap utuh. Keruntuhan tersebut terjadi sekitar tahun 1600
, namun penanggalan itu sendiri tidak terlalu penting. Kini saya akan
menyajikan sejarah yang lebih belakangan dalam bentuk daftar kronologis
dengan diberi keterangan singkat.
1733, 1744, 1746, laporan-laporan pertama tentang para duta dari Eropa
dalam perjalanan kehormatan ke Mataram. Mereka menemukan sebuah bukit
besar yang pada puncaknya menyeruak atap-atap reruntuhan candi-candi
utama induk. Beberapa arca masih dapat dilihat di bilik-bilik samping [dari
candi induk]. Termasuk di antaranya Durg, Sang Gadis Semampai (Loro
Jonggrang), yang namanya dipakai untuk keseluruhan kompleks percandian
tersebut. Bilik utama masih dipenuhi puing-puing reruntuhan.
1805-1897, perjalanan pertama oleh insinyur militer Cornelius.
1864, Prambanan masih berupa tumpukan besar bebatuan.
1885, pengagum terkini dari Loro Jonggrang, yakni Ir. J.W. IJzerman,
setelah Raden Bandung dalam tradisi lisan, mempedulikan nasib candi itu
dan mulai membersihkan bilik-biliknya. Karyanya yang berjudul
Beschrijving er ouheen diterbitkan pada tahun 1891. Di beberapa tempat,
bagian dari kedua tembok yang sebelah luar masih terlihat bekas-bekasnya;
tembok yang sebelah dalam pada umumnya tertutup tanah namun jalurnya
masih terlihat sepenuhnya. Ketiga puing reruntuhan yang paling besar
membentuk bukit-bukit berdekatan berwujud seperti pelana, di mana
puncak-puncaknya lebih tinggi daripada lantai gapura candi. Bagian-bagian
bawah dan tangga-tangga ditutupi oleh puing-puing reruntuhan. Ini berarti
bahwa IJzerman belum dapat memperoleh suatu tinjauan menyeluruh atas
keadaan sebenarnya, dan berpikir tentang kemungkinan bahwa ketiga candi
besar itu berdiri saling berhubungan di atas sebuah fondasi. Banyak candi
yang saling berhadapan itu hancur berantakan. Candi apit di sebelah
Krom, Inleiing I, hlm. 445-446 (mengikuti pendapat D. van Hinloopen Labberton, Djw
1 1921, hlm. 198-199).

268

Prambanan 1954

utara hampir seluruhnya sirna. Sedangkan di sisi sebelah selatan hampir


tidak ada yang tersisa kecuali alas atau kaki candi, tangga serta sebagian dari
dindingnya.
1889, lebih banyak lagi kawasan utama yang dibersihkan di bawah
pimpinan Groneman, pada waktu itu semua batu yang longgar di belakang
candi dipreteli dan dionggokkan pada sebuah tumpukan: sebuah pem
bantaian arkeologis secara besar-besaran, kata Brandes.
1902-1903, Van Erp melakukan pemugaran atas bilik-bilik samping di
candi induk serta menyusun sebuah laporan penting menyangkut hal-hal
teknis.
1918, setelah penuntasan yang berhasil atas pemugaran candi di Jawa
Timur, yang dilaksanakan seturut berbagai wawasan dan metode mutakhir,
atas prakarsa pemimpinnya, F.D.K. Bosch, maka Dinas Purbakala Hindia
Belanda menceburkan dirinya dalam ihwal memilah timbunan batu di
Prambanan, dipimpin P.J. Perquin. Sasarannya ialah untuk memeriksa
kemungkinan untuk memugar sebagian dari menara dinding depan bangunan
itu. Sepanjang tahun-tahun sesudahnya pekerjaan itu dilanjutkan, kecuali
dengan beberapa selaan, malah hingga tahun 1953 untuk kasus Candi iva.
Namun, sejak tahun 1921 metode-metode kerja beserta prinsip pemugaran
menjadi sasaran kritik tajam baik di Indonesia maupun di Belanda. Oleh
karena hal ini maka Dinas Purbakala terpaksa meninggalkan untuk
selamanya menara gadingnya untuk pentas publik.
1923, dalam kunjungan pribadinya ke Indonesia Dr. H.P. Berlage
[arsitek Belanda ternama] memberikan nasihatnya.
1924, dibentuk sebuah Panitia Penasihat untuk Pemugaran MonumenMonumen Hindu-Jawa. Van Erp, yang mendapat sarana untuk mengunjungi
Indonesia dari sejumlah Sahabat Kesenian Asia, menjadi salah seorang
anggota panitia penasihat ini, dan laporannya yang paling belakangan
tentang soal teknis monumen-monumen tersebut (1926) pada umumnya
didasarkan pada laporan rahasia panitia itu.
1926, penyelidikan atas kawasan antara tembok pembatas kedua dan
ketiga (paling luar), dipimpin oleh Stutterheim.
Berdasarkan rupa-rupa kesalahan, kesalahan-kesalahan serius yang

Selain Beschrijving dari IJzerman, lihat juga Groneman l.c. dan Inische Gis 1887, II,
hlm. 1431 dst.

269

A.J. Bernet Kempers

dibuat10 selama pemugaran Candi iva, maka pada tahun 1926 pekerjaan itu
dilimpahkan kepada B. de Haan, ajun inspektur, dan kemudian inspektur,
pemugaran tersebut. Namun demikian, prinsip pemugaran atas monumenmonumen budaya, asalkan hal itu dilaksanakan dalam cara yang dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah, diterima oleh Panitia Penasihat, dan
sejak itu dilancarkan sejumlah pemugaran dalam bentuk rekonstruksi.
1927, dibentuk sebuah Panitia Arkeologi tetap yang dimaksudkan untuk
memberi dukungan kepada kepala Dinas Purbakala dalam hal ihwal rancang
bangun dan latar belakang budaya. Namun sebagai akibat perbaikan metodemetode yang diperkenalkan setelah Perkara pemugaran, tampaknya bahwa
kurang dibutuhkan dukungan (= pengawasan?) semacam itu. Panitia tadi
segera saja terhenti.
1930, B. de Haan meninggal dunia persis pada saat apa yang dianggap
mustahil oleh Panitia Prambanan justru tercapai, yaitu khususnya semua
potongan candi induk yang ditumpukkan di tanah berhasil dikembalikan ke
posisinya yang sebenarnya, hingga ke dan mencakup bagian paling atas dari
bingkai mahkota (yaitu dalam sebuah susunan percobaan). Penelitian
menyangkut bentuk bagian-bagian atap masih dikerjakan. Sejak tahun 1927
bahan-bahan untuk memugar dua candi apit juga terus dikumpulkan. Antara
tahun 1930-1933 kedua candi itu berhasil dikembalikan ke keagungan
sebagaimana yang pernah dimilikinya.
1931, pimpinan tugas diambil alih oleh Ir. V.R. van Romondt, yang
diangkat sebagai inspektur pemugaran. Tugas tersebut dilanjutkan dalam
kerja sama dengan P.H. van Coolwijk, yang memimpin pengelolaan urusan
sehari-hari selama masa Depresi, ketika Ir. van Romondt menghabiskan
sebagian besar waktunya bekerja sebagai seorang pengajar. Selama beberapa
tahun sebelum Perang Dunia II, terutama nian para mandor Indonesia, yakni
Suhamir dan Samingoen, yang sedang bekerja di candi itu di bawah
pimpinan kedua tokoh yang sudah disebutkan tadi.
1937, bahan-bahan dasar untuk susunan percobaan sudah siap: berkat
Welvaartsfons [Dana Kesejahteraan] pekerjaan dapat dilanjutkan menjadi
pemugaran yang sesungguhnya atas keseluruhan candi, yang diperkirakan
akan berlangsung selama delapan tahun. Pembuatan perancah kayu jati itu
sendiri menghabiskan waktu selama satu tahun penuh.
10

Bosch, O.V. 1930, hlm. 5.

270

Prambanan 1954

1942, semua pejabat Belanda di dinas itu ditawan Jepang, dan pekerjaan
dilanjutkan oleh Bapak Suhamir (sampai dengan permulaan tahun 1949),
Bapak Soewarno dan Bapak Samingoen, dan yang disebutkan terakhir tadi
bertanggung jawab atas pengelolaan Prambanan sehari-hari.
Pada waktu penyerahan kekuasaan [yaitu oleh Jepang], candi tersebut
sudah dibangun sampai sejauh bagian-bagian paling atas dari bingkai
mahkota, walaupun penyelesaian akhir tidak maju-maju juga. Selama tahuntahun perang [kemerdekaan], pemugaran sampai ke ketinggian sedemikian
rupa sehingga perancah mesti dinaikkan. Teramat sulit untuk memperoleh
semen dan bahan-bahan lain yang diperlukan. Namun sejauh mungkin
pekerjaan terus dilanjutkan, sedangkan pada waktu yang sama dilancarkan
sebuah penyelidikan tentang bentuk Candi Brahm dan Candi Vis n u.
Kemudian diadakan juga penyelidikan untuk memeriksa kemungkinan
pemugaran terhadap satu atau beberapa candi perwara yang terletak di luar
tembok pembatas pertama.
1948, Aksi Polisional Kedua. Penghentian atas semua kegiatan.
Pertempuran sengit terus berlanjut di sekitar Prambanan; kantor Bagian
Arsitektur dihantam granat dan dijarah, sedangkan Candi iva juga men
derita kerusakan akibat dibom.
Pertengahan 1949, pekerjaan dilanjutkan kembali oleh Dinas Purbakala
RI.
Akhir 1950, kedua organisasi purbakala (RIS/Republik Indonesia
Serikat dan RI) sekali lagi berada di bawah satu pimpinan, dan Ir. Van
Romondt lagi-lagi dipercayakan untuk memimpin Bagian Arsitektur.
Januari 1952, puncak candi dicapai! Prestasi ini dirayakan. Beberapa
bulan kemudian puncak candi disambar petir, yang menyebabkan penundaan
yang serius atas penyelesaiannya. Dalam pada itu, gapura-gapura dan
mahkota pagar langkan dituntaskan.
20 Desember 1953, kerja itu buah dari kerja sama yang menakjubkan
diselesaikan. Candi itu diresmikan oleh Presiden RI. 11
Bila orang awam melihat foto-foto Candi iva atau candi lainnya
sebelum pemugaran, satu pertanyaan selalu diajukan: Apakah orang tahu
11 Menyangkut nasib yang menimpa Dinas Purbakala selama dan setelah perang: O.V.
1942-47; 1948, hlm. 20-41; Laporan Tahunan Dinas Purbakala 1950, hlm. 10-21;
Tijschr. Bat. Gen. 83 (1949), hlm. 286-300; Inonesi (1954), hlm. 481-513 [Van
Romondt]. Menyangkut sejarah pemugaran, lihat msl. Cultureel Nieuws Inonesi
(Sticusa) 1954, no. 36-37.

271

A.J. Bernet Kempers

bagaimanakah rupa bangunan itu sebelum karya pemugaran dimulai?


Apakah ada denah-denah kuno tentangnya? Malah bisa jadi bahwa foto-foto
kuno dapat membantu dalam pemugaran. De Haan, sang pemugar Candi
Sewu, memiliki foto-foto dari berbagai candi perwara yang diambil oleh Van
Kinsbergen pada abad ke-19, beberapa tahun sebelum terjadi gempa bumi
yang menyebabkan ambruknya puncak candi yang sudah rusak itu. Namun
ini adalah persoalan menyangkut perincian. Secara umum dapatlah
dikatakan bahwa hasil yang tercapai malah mengejutkan sang pemugar
sendiri, walaupun terlaksana secara bertahap. Tentu saja kita sudah memiliki
sebuah paham yang luas tentang tata letak seumumnya dari sebuah candi
Jawa Tengah, namun tiap-tiap candi memiliki bentuk yang khas serta ruparupa keunikan. Kita tidak pernah boleh, juga di atas kertas, berupaya
menarik sebuah analogi antara pemugaran satu bangunan dan bangunan lain.
Satu-satunya cara yang tepat untuk menyelisik persoalan tersebut ialah
dengan berupaya menggapai sebuah wawasan menyangkut bentuk asli
dengan menajamkan perasaan dan mencoba menyusun potongan-potongan
bangunan, dan inilah sesungguhnya metode yang dipakai oleh Dinas
Purbakala.12 Seluruh persoalannya ialah menebak, mencocokkan dan
mengukur, di sana dan di sini secara tiga dimensional. Alasan mengapa
metode ini menghasilkan buah disebabkan oleh kenyataan bahwa para
tukang batu Hindu-Jawa tidak bekerja dengan batu-batu yang berbentuk
lazim, seperti batu bata yang kita punyai, dan juga berkat hiasan yang
disebarkan di atas bidang permukaan yang luas. Setiap batu yang digunakan
untuk membangun candi mendapat penghalusan yang terakhir di situs candi,
dan memiliki ukuran serta ciri-ciri khas lain yang berkaitan dengan tempat
khususnya di dinding; dengan kata lain, batu itu dicocokkan di sini dan
bukan di tempat lain. Maka, kiatnya ialah sekadar menemukan di antara
amat banyak batu satu batu yang cocok untuk dipasang pada tempat tertentu
itu. Tugas ini tidak dipermudah di Prambanan oleh kenyataan bahwa banyak
batu telah dibawa pergi, batu-batu lain sudah diperhalus oleh pemugar
pertama (sesuatu yang tentu saja amat terlarang dalam kerja pemugaran),
dan pada prinsipnya segala sesuatu yang berantakan ditimbun begitu saja
selama pembersihan yang dilakukan pada tahun 1889
12 Lihat Van Romondt, Djw 20 (1940), hlm. 234-239 [disertakan dalam buku ini]; tulis an
yang sama dimuat dalam Amerta 1 (1952) dan Orintatie 46 (1954) (tentang Candi
Gebang).

272

Prambanan 1954

itu. Selain itu, kita masih punya satu petunjuk yakni tempat ditemukannya
batu tersebut: sebongkah batu yang jatuh pada umumnya berasal dari
bangunan yang berdekatan dengan tempat ditemukannya. Dalam hal ini kita
harus mulai dengan memilah batu-batu dari tumpukannya berdasarkan
ukuran; pemilahan ini sudah dimulai pada tahun 1918. Lalu disusul dengan
penyelidikan yang lebih saksama sembari mencurahkan perhatian pada
kecocokan sambungan serta tonjolan penghubung antara rupa-rupa potongan
batu, patahan dan garis hiasan, dan seterusnya. Semua pekerjaan ini
menuntut kesabaran, ketelitian yang luar biasa dan juga ingatan yang benarbenar tajam atas berbagai perincian suatu jenis pekerjaan yang dalam
jangka panjang berhasil dikuasai dengan baik oleh para mandor maupun
tukang Jawa. Inilah salah satu alasan mengapa karya semacam ini tidak
tergilas hingga terhenti selama keadaan paling buruk dalam masa Depresi.
Begitu kita kehilangan tenaga yang terlatih maka kita kalah dalam
pertempuran. Selama pemugaran Candi iva, pekerjaan dilaksanakan oleh
para pendukung musiman yang sebelumnya sudah melakukan kerja serupa
selama banyak dasawarsa terdahulu. Dan bahkan sekarang pun, walaupun
yang paling tua dari mereka telah purna bakti sejak beberapa tahun silam,
kita masih bisa bertemu dengan orang-orang di Prambanan yang telah
mendarmakan hampir seluruh masa hidupnya di Dinas Purbakala.
Selanjutnya, batu-batu dan potongan-potongan bangunan digabungkan
kembali dalam sebuah susunan percobaan, sedangkan bagian-bagian yang
masih hilang untuk sementara waktu diisi dengan batu yang lebih lunak.
Dengan melakukan hal ini, lingkaran batu itu, yang ditempatkan satu di
atas yang lain sehingga membentuk candi, perlahan-lahan dipersatukan.
Untuk sementara waktu, bagian-bagian itu dibiarkan berada satu di samping
yang lain, tidak lebih dari kira-kira empat meter, di atas tanah. Bersamaan
dengan berlalunya waktu, ada kemungkinan untuk membuat sebuah denah
rekonstruksi berdasarkan susunan percobaan tersebut. Semuanya sudah
tersedia bagi Candi iva beberapa tahun sebelum pemugaran yang
sesungguhnya mulai diupayakan pada tahun 1937. 13 Hal ini menafikan
kemungkinan terjadinya kejutan-kejutan yang berarti, walaupun tidak ada
seorang pun yang mampu membayangkan kenyataan sedemikian
13

Djw 20, gbr. 11 setelah hlm. 234 [lihat tulisan Van Romondt dalam buku ini] dan
Amerta 1 (1952), hlm. 30.

273

A.J. Bernet Kempers

kuatnya sehingga ketika selesai bangunan itu bukan merupakan suatu


pewahyuan.14
Dalam kerja menggantikan susunan percobaan, keadaan asli harus
dibangun kembali secara teliti batu demi batu. Di lain pihak, perhatian
saksama harus dicurahkan agar terdapat suatu kaitan yang tepat antara batubatu dan inti batu atau beton penguat di belakang batu-batu itu. Kalau dari
bentuk luar keadaan kuno itu berhasil dipugar, namun di bagian dalamnya
diterapkan suatu rancang bangun modern. Lazimnya dalam pekerjaan bagian
luar, batu-batu yang belum berhasil ditemukan digantikan oleh batu-batu
baru. Hal ini tidak akan mempengaruhi kesejatian keseluruhan sejauh
berhenti di situ. Menyulap hiasan atau pahatan ukir adalah muskil, juga
tidak pernah dibuat. Foto-foto kami memberi kesan tertentu tentang cara
bagaimana para pemugar mulai bekerja. Batu-batu yang hilang digantikan
oleh batu dengan permukaan datar, hiasan cuma ditunjukkan dalam garis
besarnya saja jika potongan-potongan asli telah hilang. Setiap potongan baru
ditandai sedemikian rupa oleh sebuah kepingan timah dan pada gambarangambaran terperinci diberi keterangan dengan warna berbeda dari yang
digunakan untuk batu-batu asli. Batu baru dengan permukaan datar yang
terasa mengganggu masih bisa, bila diperlukan, dibuat tampak kasar, dan
sambungan diisi guna menghilangkan dampak bopeng.
Kita menyadari betapa hebatnya kemahiran pemugaran itu setelah kita
menaruh foto-foto terkenal dari masa lampau di sebelah foto-foto dari masa
kita sekarang atau membaca kembali uraian Krom dalam Bab 12 dari buku
Inleiing-nya. Betapa hanya sangat sedikit bagian dari candi itu yang
diketahui pada tahun 1923 dan betapa banyaknya ketidakpastian yang masih
ada tentangnya ketika itu. Telaah Krom cuma membahas teras, bagian luar
pagar langkan serta bores-bores [panggung di ujung tangga yang
menyambung dengan lantai selasar], kaki (yang kedua), bidang dinding
dengan para penjaga mata angin, bagian paling bawah dari tubuh candi, arcaarca pada bilik utama dan bilik samping. Ketika membolak-balik halaman
buku itu, pandangan mata kita terpikat oleh kata-kata berikut pada halaman
470:
Bagian yang sesungguhnya dari atap akan [...] selalu tinggal sebuah misteri,
kecuali potongan-potongannya berhasil ditemukan yang akan menyajikan
14

Lihat kata-kata yang dikutip dalam Inonesia oleh Van Romondt, l.c. hlm. 503-504.

274

Prambanan 1954

data bagi pemugaran di antara serpihan-serpihan yang sudah dibuang dari


sana dan kemudian memilahnya secara benar. Bentuk bangunannya niscaya
akan rumit, dengan penampil-penampil, pelipit-pelipit mendatar dan
perangkaian candi-candi atap yang kecil.

Sebagaimana yang ditunjukkan oleh foto-foto kami, kami telah berhasil


menemukan kembali bentuk atap yang rumit itu. Nah, karena kini kita dapat
melihatnya secara kasat mata dan dengan kepastian mutlak di hadapan mata
kita, maka kita berhak untuk berbicara tentang sebuah keajaiban alih-alih
sebuah misteri. Berkenaan dengan kepastian tadi kita dapat mengutip katakata yang diujarkan Van Romondt pada tahun 1940, yakni kata-kata yang
sama sekali bukan pernyataan yang angkuh melainkan perumusan tentang
sebuah kaidah yang mesti ditaati sepenuhnya sampai ke puncak:
tidak boleh ada upaya apa pun untuk melakukan pemugaran yang
sesungguhnya sampai diperoleh kepastian mutlak bahwa setiap potongan batu
asli telah berhasil dikembalikan ke tempatnya yang semula. Biarlah
ditandaskan secara tegas di sini bahwa tidak boleh ada sebongkah batu pun
yang diganti bila masih ada keraguan yang paling kecil sekalipun; batu
semacam itu dicadangkan sebagai yang tak bisa ditempatkan.

Sebelum mengkaji Candi iva, mari kita mula pertama menyelisik sebuah
bangunan yang lebih sederhana, yakni satu dari dua candi apit yang
keadaannya lebih terpelihara yang berada di sisi selatan. Sekitar 20 tahun
silam, setelah lama tergeletak sebagai puing-puing reruntuhan, kedua candi
tadi sekali lagi menjadi mutiara arsitektur Jawa Tengah. Walaupun candi
induk yang jauh lebih besar mendominasi kompleks itu, namun kedua
bangunan kecil tadi, dengan ketinggian sekitar 16 m, masih saja menarik
perhatian. Keduanya memiliki jenis yang sama. Keduanya sama-sama
merupakan bangunan yang sangat ramping, berkat tangganya yang lancip
serta kaki berganda, puncak yang tinggi dari ruang muka serta atap yang
menjulang tajam. Garis-garis horizontal, yang selalu ada di sini seperti juga
di mana-mana dalam kesenian Jawa Tengah dan diberi penekanan tambahan
oleh sebuah pelipit di bagian tengah yang melintas sepanjang arkitraf [yakni
balok horizontal utama yang langsung disangga tiang-tiang], disela dan
didesak ke latar belakang, khususnya di bangunan bagian atas, oleh kelapkelip vertikal dari motif-motif genta dengan

275

A.J. Bernet Kempers

puncaknya yang ramping. 15 Di sini, dalam bentuk yang disederhanakan, kita


menemukan segala macam hal yang bisa ditemukan di candi induk: motif
Prambanan pada kaki, berbagai simbar dan genta. Pada candi induk, ruang
muka dipisahkan dari arkitraf dan dicondongkan ke depan pada setiap sisi
sebagai bangunan gapura yang terpisah.
Menyangkut hiasan lain, saat ini saya cuma ingin menyinggung arcaarca singa kecil nan mungil yang dipahat pada anak tangga di sebelah pintu
masuk serta pipi-pipi tangga yang dihias dengan ukiran sulur-suluran yang
seakan-akan menjulur dari singa-singa kecil itu. Di sini pipi-pipi tangga
tidak seperti lazim berasal dari berbagai kla, tetapi dari potongan-potongan
hiasan berbentuk segitiga dan berujung pada berbagai makara dengan sosok
manusia pada mulut mereka, dan salah satu darinya sebagai belalai yang
berujung pada sebuah kepala singa. Motif Prambanan di kaki, tentangnya
akan kita kaji secara lebih terperinci ketika membahas candi induk, tidak
memiliki panel-panel yang dihiasi dengan pohon kalpataru yang biasanya
membuatnya sangat memikat. Di sana-sini relung-relung yang berisi singasinga tadi dipisahkan oleh sebuah panel datar dan dua pilaster kecil lengkap
dengan simbar-simbar pada bingkai yang menjorok persis di atasnya. Corak
vertikal dari bagian-bagian ini diperkokoh oleh simbar-simbar besar di atas
bingkai mahkota dari kaki, yang seakan-akan merupakan kelanjutan darinya.
Walaupun di sini tidak ada pagar langkan yang membetotkan pandangan
mata dari tubuh candi sebagaimana yang terjadi pada candi-candi yang lebih
besar, yang berarti bahwa pagar langkan itu mesti ditinggikan, namun tubuh
candi ini juga ditinggikan di atas sebuah pelipit dengan panel-panel hiasan.
Ke-17 panel ini mempertontonkan rupa-rupa mutiara, jambangan serta
kerang-kerangan sebagai bagian utama dari sebuah sulur-suluran yang
sedang mekar. Sedangkan kaki dan perbingkaian atasnya berbentuk empat
persegi panjang, bagian tengah tubuh candi dan bagian atapnya di atas kaki
dan perbingkaian tadi sedikit menjorok di keempat sisinya. Ruang depan
ditempatkan pada penampil di sebelah utara (tentu saja di candi sebelah
utara gapura tersebut berada di sisi selatan). Di atas bagian tengah, yang
bersamaan di candi-candi apit dan candi-candi perwara maupun Candi iva,
bagian atas dari arkitraf cenderung menyusut. Bagian muka

15

Di sini dan dalam tulisan ini selanjutnya, saya menggunakan istilah puncak, ketinggian dan
atap, yang memiliki arti sama, guna memberi variasi.

276

Prambanan 1954

bangunan terbagi ke dalam 22 panel oleh penampil-penampil dan seksi


tengahnya, yang masing-masingnya bila masih utuh berisikan sebuah
arca dalam posisi berdiri, atau menyangkut panel-panel bagian tengah
berisikan sebuah arca dalam posisi duduk. Walaupun perincian-perincian
ikonografis memperlihatkan sangat sedikit hal yang menarik, namun saya
akan menyajikan sebuah daftar berdasarkan urutan praaksin:

hiasan melintang sebelah bawah: Utara 1, sosok lelaki yang sedang berdiri
dengan bunga; Timur 2, sosok lelaki yang sedang berdiri dengan bunga dan
daun; 3, sosok perempuan dalam posisi duduk, di sebelah kanannya terdapat
sebuah kitab pada sebuah penyangga, di sebelah kirinya terdapat sebuah
cmara; 4, sosok lelaki yang sedang berdiri dengan bunga dan daun; 5, rusak; 6,
sosok perempuan dalam posisi duduk, di sebelah kanannya terdapat sebuah kitab
pada sekuntum teratai, di sebelah kirinya terdapat sebuah cmara yang rusak; 7,
sosok lelaki dengan utpala dari akar umbi, dan sebatang lilin pedupaan 16 di
samping sisi sebelah kanannya; Barat 8, sosok perempuan dengan sebuah
cmara; 9a, sosok perempuan dengan sebuah cmara, yang melilitkan tongkat
seperti sebuah kumparan; 9b, rusak, satu tangan dengan posisi varamur; 10,
sosok perempuan dengan sebuah utpala pada tangan kirinya, dan di atasnya
terdapat sekuntum bunga atau sebentuk permata yang rumit susunannya; Utara
11, sosok lelaki dengan sekuntum bunga.
Hiasan melintang sebelah atas: Utara 1, sosok lelaki yang sedang
berlutut dengan bunga dan lilin pedupaan (yang terbungkus dalam selembar
kain sulaman); Timur 2, sosok perempuan yang sedang berlutut dengan
sekuntum teratai; 3, posisi duduk, rusak; 4. perempuan yang sedang berlutut
dengan sekuntum teratai; Selatan 5, perempuan yang sedang berlutut dengan
utpala; 6, perempuan dalam posisi duduk, dengan sebuah utpala pada sisi
sebelah kanannya, sebulir padi pada sisi sebelah kirinya; 7, sosok perempuan
yang sedang berlutut dengan sebatang lilin pedupaan dan kipas; Barat 8,
sosok perempuan dengan utpala dan lilin pedupaan yang separuh terbakar;
9, sosok perempuan dengan utpala dan alat pengusir lalat atau bulir padi; 10,
perempuan dalam posisi duduk, rusak; Utara 11, sosok dalam posisi duduk
dengan obor dan bunga.
Sosok-sosok pada bagian tengah sebelah bawah diapit oleh singa-singa,
sejauh masih bisa dikenal karena keadaannya rusak berat. Busana
16 Lilin pedupaan serupa terdapat juga di Borobudur, Bb. - mon. pl. DB 22, Vol. III [Krom
1931a].

277

A.J. Bernet Kempers

yang dikenakan oleh beberapa sosok perempuan mengingatkan kita pada


gaya khas busana dari berbagai perempuan di relief-relief yang terdapat di
candi-candi yang lebih besar.17
Hampir semua panel di candi sebelah utara harus dibangun kembali
dengan memakai batu dengan permukaan datar. Di sini hanya mungkin
dicatat tentang panel sebelah tengah di sisi-sisinya dan di bagian belakang:
Barat, seorang sosok bertangan enam dalam posisi duduk, belum selesai
dikerjakan, tangan-tangan sebelah depan ditaruh di atas kedua lutut,
pasangan tangan kedua dilipat di depan dada, tangan kanan dari pasangan
paling luar memegang sebuah aksaml
(sejenis tasbih), yang kiri sebuah

cmara; Utara, sosok bertangan enam lainnya, mirip dengan sosok yang
barusan dijelaskan, namun pasangan tangan yang paling luar kini memegang
sebuah aksaml
dan sebuah kapak; Timur, sosok bertangan empat, tangan

kanan yang paling luar: di depan dada (rusak), yang kiri di atas pangkuan,
tangan kanan sebelah depan: aksaml,
yang kiri: rusak. Semua sosok ini

adalah laki-laki.
Baik candi apit di sisi utara maupun candi apit di sisi selatan tidak
ditempati satu arca pun. Kegunaan yang dikenakan kepada kedua bangunan
ini tidak jelas.
Corak yang paling menarik perhatian kita menyangkut candi-candi ini
adalah atapnya yang menakjubkan. Kombinasi yang diulang-ulangi dari
arkitraf, bingkai mahkota ganda serta rangkaian genta-genta mesti dilihat
sebagai satu kesatuan. Tema ini bermula pada tubuh candi itu sendiri, yang
pada kaki berganda dan pelipit berupa jilid pertama dari sebuah menara lipat
empat. Pada Candi iva kita menemukan perpaduan serupa dari arkitraf
bingkai mahkota(relung-relung)genta-genta malah di bagian yang lebih
rendah lagi, yaitu di teras tempat keseluruhan bangunan candi didirikan.
Bentuk ringkas arkitraf dan puncak juga tersirat dalam sistem India, yang
beranggapan bahwa pilar yang terdiri atas tiang dan kepala tiang yang bisa
dibandingkan dengan bentuk ringkas tadi membentuk satu kesatuan dan
disebut demikian. Pada Candi iva kita malah menemukan kesatuan antara
arkitrafbingkai mahkota (relung-relung)genta-genta tampak kasatmata
langsung pada bagian teras. Menyangkut bagian atap, cara bagaimana
kesatuan-kesatuan tersebut saling dicocokkan guna
17 Termasuk Stutterheim, Rma-Legenen un Rma-Reliefs (1925), pl. 37, 50, 57, dan
Foto-Foto O.D. 7325 (Seri Krishna).

278

Prambanan 1954

membentuk sebuah keseluruhan yang tak terbagi-bagi jauh lebih mudah


diamati pada candi-candi apit. Tak perlu ditandaskan lagi bahwa bagian atas
candi induk mengikuti sebuah rancangan yang jauh lebih rumit. Namun
demikian prinsipnya tetap sama. Pada candi-candi apit, kesatuan pertama
yang kita saksikan di atas kakinya adalah tubuh candibingkai mahkota
genta-genta, lalu arkitrafbingkai mahkotagenta-genta pada tingkat pertama
atap, disusul oleh kesatuan yang sama pada tingkat kedua atap. Di antara
rangkaian genta-genta yang paling tinggi ini sekali lagi arkitraf berfungsi
sebagai dasar untuk genta utama, yang menggantikan tempat rangkaianrangkaian dari tingkat-tingkat yang lebih rendah. Bagian dari tubuh candi
dan bagian atasnya bagaimanapun juga tidak dapat dibedakan dengan jelas
satu dari yang lainnya oleh sebuah bidang horizontal, hal yang justru berlaku
pada kubus-kubus yang ditempatkan satu di atas yang lain. Hal ini hanya
mungkin seandainya kita memindahkan genta-genta tadi 18, namun gentagenta tersebut merupakan suatu kesatuan dari arsitektur candi dan karenanya
diperlukan. Dan genta-genta ini adalah alasan sebenarnya mengapa setiap
bagian cocok dengan bagian sebelumnya: setiap blok yang membentuk
arkitraf dari rangkaian baru terdiri atas arkitrafbingkai mahkotagentagenta termuat dalam rangkaian genta-genta yang sebelumnya. Ditilik secara
keseluruhan, rancangan tersebut bercorak seperti sebuah teleskop, di mana
teropong yang satu cocok dengan teropong yang lain. Dalam bahasa Inggris
boleh-boleh saja kita memakai kata telescoping untuk hal ini, yang berarti
menyelipkan, mencocokkan atau dirakit seperti sebuah teleskop yang dapat
dipreteli. Saya lebih suka melihat candi sebagai sebuah teleskop panjang
alih-alih teleskop lipat, sebab tusukan keluar dan ke atas disingkapkan dalam
setiap perinciannya. Hal terpenting ialah bahwa kita melihat bangunan itu
seutuhnya sebagai sebuah komposisi organis dari rupa-rupa bagian.
Begitulah senyatanya dahulu bangunan tersebut ditata, dengan menggunakan
sarana arsitektural dan sarana ornamental. Unsur teleskopis memainkan
suatu peran yang teramat penting dalam hal ini.
Dari segi peristilahan tidaklah mudah membuat suatu pemilahan yang
tegas antara tubuh candi dan bagian atasnya. Pada bagian atas kita dapat
18 Bandingkan rancang bangun skematik dari Candi Kalasan yang disusun Profesor Van

Romondt, yang beruntung dapat saya gunakan dalam buku saya, berjudul Kalasan an
Sari (Seri Tjandi 1), yang diterbitkan oleh Penerbitan dan Balai Buku Indonesia (=
Moderne Boekhandel), 1954, hlm. 5.

279

A.J. Bernet Kempers

menyebut perulangan pertama dari arkitraf candi sebagai tingkat I, yang


berikutnya tingkat II dan seterusnya. Dalam catatan-catatanku sendiri saya
memakai istilah tingkat 0 untuk rangkaian genta-genta yang pertama,
khususnya bila rangkaian tersebut diperluas oleh serangkaian relung
sebagaimana yang terdapat di Candi iva; tingkat 0 dapat diartikan sebagai
tingkat zero (0) atau tingkat peralihan. Sebutan ini menekankan fungsinya
yakni memadukan tubuh candi dengan bagian atasnya, serta posisinya yang
ambivalen di antara kedua bagian bangunan tersebut.
Dalam susunan percobaan terhadap Candi iva, tentu saja atap mesti
dibagi menjadi lapisan atau lingkaran horizontal yang mudah dirakit dan
tidak terlalu tinggi. Lingkaran tersebut terdiri atas satu tingkat saja setiap
kali disusun dengan genta-genta bersinggungan pada taraf yang sama.
Namun lingkaran itu bukanlah bagian-bagian organis dari bangunan tadi
melainkan semata-mata lapisan yang tercipta dengan memotong secara
melintang rangkaian arkitrafbingkai mahkotagenta-genta. Bila bangunan
itu dilihat secara keseluruhan maka kita harus mengabaikan pemilahan ke
dalam lingkaran tadi. Candi adalah suatu keseluruhan yang utuh di mana
setiap bagian secara organis cocok satu sama lain. Sejauh menyangkut unsur
ini, bingkai mahkota dengan tiruan ulangnya serta rangkaian genta-genta
membentuk puncak atas dari tubuh candi, namun pada saat yang sama gentagenta tersebut (ditambah dengan rangkaian relung) menciptakan sebuah
peralihan yang kokoh ke bagian berikut bangunan: perulangan pertama dari
tubuh candi (dan seterusnya) pada bagian sebelah atas, dan di atasnya
menyusul perulangan-perulangan yang lain. Sebagaimana yang sudah
menjadi kelaziman dalam arsitektur Jawa Tengah, di sini pun sang tukang
batu sekali lagi memadukan bagian-bagian yang sebelumnya ia pilah
menjadi satu keseluruhan yang utuh. 19 Kesatuan tersebut terutama nian
diperoleh dalam ornamentasi plastis. Di sini kita menyaksikan apa yang
sering kali sudah dicatat sebelumnya: arsitektur India dan arsitektur HinduJawa sampai pada taraf tertentu bercorak plastis. 20
Lebih dari itu, pada candi-candi ini kita dapat melihat sesuatu yang juga
berlaku di Borobudur, yaitu bahwa sekaligus terdapat sebuah bentuk dalam
dan sebuah bentuk luar. Di Borobudur, bentuk dalam tersebut adalah
19 Lihat Kalasan an Sari (1954).
20 Cohn, Inische Plastik (1921); With, Java cet. ke-2 (1921); Kramrisch, The Hinu temple,
hlm. 183 dst.

280

Prambanan 1954

sejenis piramida teras yang diratakan yang terdiri atas alas persegi empat dan
atap lingkaran. Begitulah Borobudur yang kita ketahui dari denah, potonganlintang serta foto-foto dari udara. Namun diamati dari lantai dasar, kesatuan
itu sudah tampak kasatmata sebagai segmen berbentuk bola, walaupun cuma
kesannya belaka. Inilah hasil ornamentasi plastis dari teras serta garis kontur
yang terputus-putus dari piramida, yang disatukan untuk membentuk siluet
dari segmen lingkaran, dan dengan demikian menciptakan kesan bahwa di
Borobudur kita tengah menyaksikan segmen bulatan. 21 Bentuk asli dari
sebuah stpa, belahan bumi atau segmen bulatan, dipadukan dengan
bangunan teras sedemikian canggihnya sehingga nyaris menjadi sama
pentingnya untuk stpa dalam perlintasan sejarahnya. Tidak boleh pula kita
lupakan sejumlah pernak-pernik hiasan lain untuk stpa, namun untuk
sementara harus kita tinggalkan dahulu.
Di candi-candi di Prambanan, bentuk piramida tadi juga memainkan
suatu peran dalam rancang bangun dalam, yang di sini berupa sebuah
menara ramping seperti piramida berjenjang. Bentuk luar dibuat sketsanya di
seputar bagian dalam tadi oleh garis kontur yang agak melengkung dan
meruncing. Pada titik ini baiklah untuk sejenak bila kita melupakan
ornamentasi dan berupaya untuk memusatkan perhatian semata-mata pada
tumpukan besar blok, sambil mencamkan bahwa ini cuma satu segi dari
bangunan, dan bahwa tumpukan tersebut baru menjadi kenyataan setelah
dipadukan dengan bentuk luarnya. Maka, kita menemukan sebuah bangunan
yang terutama nian mengingatkan kita pada jenis-jenis candi langka seperti
kedua prsa di Pulau Serangan di pantai selatan Bali 22, yang kurang-lebih
merupakan kelanjutan dari Sat Mahal Psda di Polonnaruwa (Sri Lanka)
dan Wat Kukut (Thailand): menara-menara blok yang tersusun dengan
sendirinya dan tanpa hiasan.23
Prsa Serang dan prsa Sat Mahal Psda terbilang kokoh. Yang
terakhir tadi malah dianggap sebagai tiruan Meru, yang bisa kita andaikan
juga berlaku untuk kedua yang pertama. Kita bahkan bisa mengatakan
bahwa semuanya ini wajar belaka karena kita bisa juga menyaksikan
21 Bdk. Van Erp, Barabaur-mon, II (1931), hlm. 411 dan Mus, Barabaur (1935).
22 Barang-barang peninggalan kuno dari Bali, juga dalam Seri Tjandi, sedang dicetak (Bali
Purbakala, 1955).
23 Rowland, The art an architecture of Inia (1953), pl. 142 B dan 171; Paranavitana, The
stpa in Ceylon (1947), hlm. 98 dst., pl. XXI. Stella Kramrisch juga menyinggung tentang
Sat Mahal Psda dalam kaitan serupa.

281

A.J. Bernet Kempers

candi-candi dari berbagai macam jenis sebagai tiruan Meru dalam aneka
bentuknya. Pemilahan yang paling umum dari bentuk-bentuk ini dapat
ditemukan pada candi-candi di India dengan tingkat-tingkat beratap
horizontal, yang ditumpukkan satu di atas yang lain seperti piramidapiramida berjenjang, dan candi-candi dengan menara-menara beratap tinggi
(ikhara, walaupun kata ini digunakan dengan makna lain), yang menjulang
tinggi dengan kontur-kontur yang melengkung. Di India, corak terakhir tadi
terutama ditemukan di wilayah-wilayah selatan (misalnya di Bhubanevara
dan Khajuraho).24 Peruasan yang sangat cermat, yang membuat beberapa
bangunan itu mengingatkan kita pada tongkol jagung, dan kadang kala
hiasan yang begitu banyaknya tidak melenceng dari garis-garis umum
kontur-kontur tadi. Bagian-bagian horizontal yang sangat mencolok dari atap
khususnya banyak ditemukan di wilayah selatan India. Setiap tingkat atap
memiliki sebuah rangkaian menara atap yang kecil, yang pada dasarnya
adalah tiruan-tiruan mungil dari candi itu sendiri, yang berbentuk empat
persegi panjang pada sudut-sudutnya dan melingkar di sepanjang sisisisinya. Kadang kala semuanya itu kelihatan seperti birai bangunanbangunan kecil di sepanjang sampiran tingkat atap, lain kali mereka seperti
bergerak mendekati massa atap. Candi-candi ikhara di sisi utara kadangkadang merupakan perulangan atau tiruan dari candi itu sendiri berhadaphadapan dengan menara, namun dalam kasus ini tidak dicantolkan pada satu
tingkat tertentu malah mereka tidak dipilah ke dalam tingkat-tingkat
seperti pada candi-candi di sisi selatan tetapi menjulang tinggi, tidak jarang
seperti roket yang sedang ditembakkan ke arah yang jauh di sepanjang garis
menara atap, di mana mereka bertengger dengan manjanya. Menara itu
dimahkotai dengan sebuah hiasan yang berbentuk umbi atau buah keben
berukir (malaka), yang bagian bubungannya dibentuk oleh sebuah hiasan
puncak meruncing (stpi atau stpika). Masing-masing ikhara tambahan
sama-sama dimahkotai dengan sebuah malaka, yang mencirikan mereka
sebagai tiruan-tiruan ikhara.
Kita cuma perlu membolak-balik sebuah buku tentang foto-foto
berbagai candi India dan serta-merta dicengangkan oleh aneka ragam bentuk
yang bisa diperoleh rancangan umum ini. Terdapat amat banyak
24 Lihat misalnya, Coomaraswamy, History of Inia an Inonesian art (1927), gbr. 214 dst.,
untuk candi-candi India Selatan, ibidem gbr. 202 dst.; Rowland, l.c. pl. 103, 106, 112 dst.
Lihat juga Kramrisch, l.c. dan Jeannine Auboyer, Arts et styles e lIne (1951).

282

Prambanan 1954

kombinasi baik di India itu sendiri maupun di luar India di semua tempat,
termasuk Jawa, di mana unsur-unsur arsitektural India dikembangkan. Salah
satu dari aneka ragam variasi India tersebut, berupa kombinasi antara India
Selatan dan India Utara, yang mempertahankan pemilahan yang mudah
namun dapat dipersoalkan ini, adalah sebagai berikut: atap dipilah menjadi
bagian-bagian horizontal yang mencolok, yang berbeda dari lapisan-lapisan
kecil ala India Utara maupun dari tingkat-tingkat ala India Selatan. Setiap
kalinya, satu kelompok yang terdiri atas tiga bagian dicirikan sebagai satu
rangkaian yang terpadu dengan menempatkan sebuah malaka pada sudutsudut dari lapisan ketiga. Hal ini diulangi lagi beberapa kali sampai satu
malaka besar membentuk hiasan puncak.25
Menyangkut Jawa, di candi-candi Dieng yang berjenis biasa kita
menemukan tingkat-tingkat atap yang jelas-jelas ditandai, yang dihiasi pada
sudut-sudutnya dengan menara-menara beratap. Candi Bima, yang juga
terletak di Dieng, memperagakan sebuah rancangan yang sama sekali
berbeda. Candi itu memiliki bagian-bagian horizontal namun bukan dalam
bentuk bertingkat. Masing-masing bagian dihiasi dengan relung-relung yang
berisikan rupa-rupa kepala atau jambangan, dan pada sudut-sudut yang
sebenarnya di relung kedua dihiasi dengan sebentuk mutiara. Relung-relung
yang berisikan rupa-rupa kepala mirip hiasan kuu dari India: lengkunganlengkungan berbentuk ladam atau sepatu kuda yang berisikan rupa-rupa
kepala, yang mengingatkan kita pada para penonton seni India kuno yang
melongok ke luar jendela. Di India semuanya itu menjadi hiasan belaka; di
Jawa kita menemukannya berulang kali sebagai pengisi untuk berbagai
simbar. Karena setiap segmen memiliki serentetan relung maka pemilahan
atap menjadi blok-blok horizontal mendapat penekanan. Krom
mengemukakan hal ini karena tidak menyetujui pendapat IJzerman yang,
dalam upayanya mencari kesejajaran dengan arsitektur Calukya India,
cenderung menjadi lebih terkesan dengan atap yang menjulang tinggi. Kedua
pendapat ini sama-sama benar. Seperti apakah bagian atas dari mahkota
candi itu tetap tidak diketahui; namun bentuk itu bisa diandaikan
berdasarkan hiasan yang mirip umbi atau buah keben berukir (malaka)
pada puncak rangkaian ganda relung-relung pada sudut-sudut yang
sebenarnya. Hiasan puncak tentu juga diperlengkapi dengan sebuah
25

Rowland, l.c. pl. 76 (Aihole), 102 (Pat t adakal), 103 A (Bubhanevara: Candi
Paraurmevara).

283

A.J. Bernet Kempers

benda semacam itu pada puncak beberapa segmen berlanjut. Malah relungrelung yang dipuncaki dengan berbagai malaka justru merupakan bagian
yang paling menarik dari puncak candi: dua bagian dengan sebuah malaka
pada sudut yang ketiga. Ini sama seperti jenis campuran yang sudah kita
bicarakan sebelumnya, namun kini malah jauh lebih mencolok dipengaruhi
oleh gaya bertingkat di mana sebuah hiasan tembok pada relung-relung atau
menara-menara beratap ditempatkan pada setiap tingkat. Inilah yang
membuat Candi Bima memiliki corak yang agak mendua, yang
menempatkannya dalam kategorinya tersendiri.26 Bila bentuk-bentuk atap
Jawa Tengah lainnya, khususnya di sini di Prambanan, memperlihatkan
sebuah campuran dari berbagai unsur dan jenis, maka cara penyelesaian
yang ditempuh di Candi Bima berbeda secara mencolok dari hal ini, dan
walaupun menggugah namun kurang luwes.
Setelah pelanturan ini mari kita kini berpaling kembali ke Prambanan.
Istilah genta, seperti yang saya gunakan sebelumnya, sering kali dijelaskan
sebagai ghant (lonceng) atau sebagai ratna (mutiara). Bentuknya yang
umum dengan kuat mengingatkan kita pada berbagai stpa yang kita
temukan, misalnya pada atap Candi Kalasan, juga karena genta-genta
tersebut ditempatkan pada sebuah lapik.27 Saya mendapat kesan bahwa pada
unsur-unsur hiasan yang indah ini kita dapat menemukan kenangan akan
lebih dari satu jenis hiasan atap kuno. Hal ini terungkap tidak saja dalam
bentuk, tetapi juga dalam penempatan. Menyangkut yang pertama, kita bisa
berbicara tentang pembauran bentuk stpa dari Kalasan dengan bentuk dari
tempat-tempat lain, malah tanpa secara khusus mencamkan berbagai
pertalian Buddhis, dengan unsur hiasan berukir, yaitu malaka, ala India.
Kalau kita menghendakinya maka kita bisa juga membubuhinya dengan
bentuk-bentuk mutiara. Sebagai varian dari malaka, genta-genta tersebut
paling cocok bila ditempatkan pada hiasan puncak dan di sudut-sudut yang
sebenarnya, yakni tempat yang dirancang untuk unsur-unsur hiasan ini.
Seandainya genta-genta tadi cuma ditemukan di kedua tempat tersebut maka
kita dengan gampang membayangkannya sebagai malaka, biarpun dalam
bentuk campuran. Namun genta-genta tersebut juga ditaruh di sisi-sisi dari
berbagai bidang penampil: pada candi-candi induk dalam
26 Stutterheim, Cultuurgeschieenis van Java in beel (1926), pl. 9; R.O.C. 1902, hlm. 16
dst., pl. 9-11; IJzerman, Album Kern (1903), hlm. 287 dst.; Krom, Inleiing I, hlm. 186.

27 Kalasan an Sari, gbr. 16.

284

Prambanan 1954

tri-kelompok yang gemulai dengan penekanan pada satu genta yang terletak
di tengah, pada Candi iva satu di samping yang lain. Pada dasar dari atap
candi induk dan puncak candi apit genta-genta itu berbentuk lingkaran.
Dalam penempatannya di sini genta-genta tersebut bersepadanan dengan
tiruan-tiruan miniatur candi menara-menara beratap mungil yang meniru
gaya candi dari India Selatan namun berdasarkan bentuknya genta-genta
itu sekali lagi adalah malaka berukir. Tanpa membiarkan diriku
dibingungkan oleh istilah yang digunakan, saya yakin kita dapat
menyimpulkan dari semua yang telah dikatakan sebelumnya bahwa bukan
hanya sehubungan dengan rencana besar atap candi (yang dibangun dalam
bentuk bertingkat yang dipadukan dengan kontur-kontur ikhara), melainkan
juga dalam berbagai perincian hiasan (bentuk-bentuk malaka yang
dipadukan dengan penempatan secara tradisional dari menara-menara
beratap) kita tengah berhadapan dengan sebuah kontaminasi atau lebih baik
kita katakan sebuah sintesis, dari sejumlah gaya arsitektural dan unsur-unsur
bangunan. Maka di sini tidak ada tiruan belaka dari sebuah contoh atau
ajaran, tetapi sebaliknya penciptaan bentuk-bentuk baru dari harta khazanah
yang sangat kaya dan beragam dari aneka tradisi, dan barangkali juga
berdasarkan pengamatan pribadi atas bangunan-bangunan di tempat-tempat
lain, bahkan di India itu sendiri.28
Prinsip perulangan unsur-unsur penting tertentu dalam bentuk miniatur,
entah dalam bentuk umum candi atau menyangkut keseluruhan hiasan yang
ditempatkan secara lebih tinggi, semisal dalam unsur-unsur hiasan yang
berbentuk genta, mesti mendapat perhatian yang sepantasnya. Kita
menemukan prinsip tersebut dalam bentuk yang lain lagi di Borobudur
dengan perulangan bentuk utama dari stpa (bagian luar), namun jauh lebih
jelas lagi pada stpa utama, dalam hiasan rupa-rupa agoba pada teras
melingkar serta tak terbilang banyaknya unsur hiasan stpa pada berbagai
relung dan gapura. Kita dapat menyaksikannya, tingkat demi tingkat, sebagai
pemusatan yang kian bertambah dari bentuk besar melalui menara-menara
beratap hingga ke mahkota puncak, saripati dari semuanya Kramrisch
berbicara tentang Candi Agung atau hampir serupa dengan perluasan yang
secara tersendat-sendat dari puncak utama dan inti ke dalam rancangan
agung. Sementara Borobudur tampaknya bergetar dengan gerakan-gerakan
28

Bdk. Bosch, Local genius en Oud-Javaanse kunst, Me. Kon. Ne. Aka. Wet., af.
Lett. N.R. 15: 1 (1952), hlm. 20 dst.

285

A.J. Bernet Kempers

ke atas dan ke bawah yang saling berlawanan di atas seluruh permukaannya,


maka di Prambanan garis menanjaklah yang mencolok. Segala sesuatu pada
puncak candi-candi menunjuk ke arah atas, seperti peninggian kaki oleh
perulangan kembali, penempatan yang mulia dari arca iva di candi induk,
malah setiap penekanan memancarkan sebuah kecondongan ke atas dan
didesak maju dari yang duniawi ke yang surgawi.
Kini kita membuat putaran 90 derajat dari candi apit, setinggi 16 m, ke
candi induk, hampir tiga kali lipat lebih tinggi (47 m). Untuk sebagiannya
candi ini mengandung unsur-unsur serupa, namun lebih kaya, lebih besar
dan lebih dahsyat. Sekali lagi di sini tampak corak menjulang, bagian demi
bagian. Hal ini bisa disaksikan secara paling baik bila kita berdiri di sisi
seberang dari salah satu sudut yang sebenarnya di dasar candi. Sebelumnya,
pada gambar rekonstruksi kita sudah melihatnya secara langsung dari depan,
dan tanpa perbedaan kedalaman apa pun di antara bidang-bidang dinding
muka yang berdampingan. Hal ini memberi kesan tentang sebuah bangunan
yang cukup lebar. Selama tahun-tahun belakangan ini, ketika semakin
banyak perancah diturunkan, yang membuat pandangan terhadap candi
makin kurang terhalangi, maka semakin kentara betapa tinggi bangunan ini
sebenarnya. Dari jembatan di atas Sungai Opak dekat Prambanan kita sudah
memiliki pandangan yang menakjubkan atas kompleks itu dari arah barat
daya. Tentu saja sekarang keadaannya lebih baik lagi.
Sejauh menyangkut bagian-bagian yang lebih rendah, desain ini tidak
serumit rancangan Candi Kalasan. Ia jauh lebih sederhana daripada candi
induk di Sewu. Bila diambil ornamentasi plastis dan figuratifnya, yang
merupakan harta khazanahnya yang paling besar, juga terlihat kesederhanaan
konstruksi vertikalnya. Rencana dasar bangunan terdiri atas denah berbentuk
empat persegi sepanjang kira-kira 30 m dengan penampil-penampil lebar
searah mata angin. Jarak dari sudut-sudut yang sebenarnya hingga ke
permulaan masing-masing penampil sama dengan kedalaman penampil ini
yang sekaligus berfungsi sebagai modul atau satuan pengukur untuk
berbagai proporsi dalam monumen tersebut. 29 Denah 20 sudut serupa
diulangi lagi dalam semua bagian horizontal sampai dengan dan mencakup
bagian terakhir, yang terdapat persis di bawah genta-genta besar yang
membentuk hiasan puncak, dengan kata lain sampai dengan dan mencakup
skanha (bahu) atap. Namun pada bagian puncak candi,
29

Van Erp, l.c. hlm. 433.

286

Prambanan 1954

sudut-sudut yang sebenarnya dalam setiap tingkat berturut-turut mundur


lebih tajam daripada penampil-penampil. Sebaliknya, di mana penampilpenampil tersebut menjadi semakin sempit, maka hasilnya ialah bahwa
tingkat-tingkat sebelah atas kian bercorak seperti sebuah salib bertangkai
sama panjang dengan sudut-sudut persegi kecil di antara tangkai-tangkai
tersebut. Kontur-kontur dari puncak candi, yakni corak ikhara dari candi
sebelah luar, karenanya ditentukan oleh rangkaian penampil-penampil
tadi. Di tubuh candi itu sendiri bagian muka dari penampil-penampil tersebut
bersama dengan bingkai hiasan di pintu masuk tiap-tiap bilik (termasuk
ruang depan) juga jauh lebih penting daripada ke-16 panel vertikal lain pada
bidang-bidang bagian muka bangunan.
Konstruksi vertikal meliputi sebuah teras atau kaki pertama; sebuah kaki
yang kedua sebagai landasan untuk candi; kemudian tubuh candi itu sendiri
dimahkotai dengan sebuah lingkaran relung-relung yang dipuncaki dengan
sebuah mahkota genta-genta, yang bisa kita namakan sebagai tingkat atap 0
namun cocok seluruhnya dengan arkitraf yang terdapat di bawahnya; empat
tingkat atap berturut-turut, yang masing-masingnya dihiasi dengan mahkota
genta-gentanya tersendiri; dan akhirnya genta utama sebagai bubungan
tertinggi dan bagian puncak dari keseluruhan struktur. Bahaya bahwa
bangunan itu tampaknya terlalu berat pada bagian puncak bagi seorang
penonton dinafikan oleh rancangan luas terasnya serta hiasan kaya padanya.
Rupa-rupa tangga, yang bermuara pada bagian sebelah atas dari teras,
muncul dari tengah-tengah berbagai penampil pada setiap empat sisi. Kita
sudah membahas tentang menara-menara sudut di sisi tangga-tangga tersebut
sehubungan dengan pusat geometris situs itu. Dengan pengecualian candi
pusat, yang merangkum titik pusat ini, menara-menara sudut tersebut
semuanya masif. Kedua sisi yang tidak menyambung dengan kaki dan juga
tidak dengan tangga dihiasi dengan relung-relung untuk sosok-sosok dalam
relief. Tampaknya bahwa sosok-sosok itu semuanya laki-laki, dengan ruparupa utpala atau bebungaan lainnya, kadang kala dimahkotai dengan
sebentuk mutiara. Satu sosok memiliki mutiara yang ditaruh di sebelah
kanan dan kirinya. Bentuk rancang bangun ini, khususnya rancang bangun
candi pusat, yang terbuka ke arah depan, bersepadanan dengan candi-candi
kelir dan candi-candi patok, yang menjadi tapal batas gaib dari situs itu.
Semuanya ini pada gilirannya mengingatkan kita pada relung-

287

A.J. Bernet Kempers

relung sesajen yang terkenal yang dipakai orang-orang Bali, di mana sesajen
ditaruh di halaman rumah pada setiap pagi dan senja.
Tangga di sisi timur, yang pada akhirnya berujung pada bilik utama dan
karenanya merupakan pintu masuk paling penting menuju candi, lebih luas
daripada ketiga tangga yang lain. Namun pada mulanya tidak demikianlah
keadaannya, karena sebuah tangga yang lebih tua berhasil ditemukan di
dalam tangga yang ada sekarang ini, yang memiliki ukuran serupa dengan
tangga-tangga yang ada di bilik-bilik samping. Rupanya pada bagian ini
terjadi sebuah perubahan yang berpengaruh atas denah pembangunan candi.
Juga terjadi perluasan atas tangga di candi apit sebelah selatan. 30 Pipi-pipi
tangga dihiasi dengan sebuah motif sulur-suluran yang sangat indah, yang
menyembul keluar dari sebuah mutiara yang berbentuk tombak. Pada candicandi apit, titik mulanya, seperti yang sudah dikatakan, adalah seekor singa,
yang serupa pula halnya di Candi Brahm dan Candi Vis n u. Pipi-pipi
tangga di Candi A dan Candi B tetap dibiarkan tanpa hiasan, sedangkan pipi
tangga di Candi Nandi berisikan seekor gajah yang mengenakan sebuah
genta. Candi perwara yang berhasil dipugar dihiasi pada titik pertemuan ini
dengan seekor kelinci bertelinga bulat; pada yang lain kita menemukan
kijang, dan di satu lainnya berisikan seekor kera.
Berbagai makara pada tangga-tangga ini juga tidak selalu sama. Pada
Candi iva, belalai diubah menjadi kepala seekor singa dan terdapat seekor
singa kecil di dalam mulutnya. Pada candi-candi yang lain memang
ditemukan kombinasi singa-belalai itu, namun singa kecil di dalam mulutnya
tadi digantikan oleh seorang sosok manusia yang muncul pada titik separuh
jalan. Berbagai makara pada Candi iva disandarkan pada lapik-lapik yang
dihiasi, sedangkan makara pada Candi Brahm dan Candi Vis n u memiliki
seorang gan a di depan kaki candi dan seekor gajah yang sedang berlutut
pada sisi-sisinya. Menyangkut Candi A, makara-makara itu berupa blokblok batu yang belum dikerjakan, sedangkan di Candi B tidak ada sama
sekali jejak makara-makara tersebut. Berbagai makara pada candi-candi
perwara berupa sebuah belalai biasa dengan sekuntum teratai di atasnya dan
seorang sosok manusia di dalam mulutnya.
Pada pertemuan antara makara di bawah dan kepala singa di atas pipi
tangga terbentuk sebuah variasi dari kombinasi kla-makara. Begitu pula
halnya dengan corot-corot pada bingkai mahkota dari kaki Candi iva:
30

O.V. 1938, pl. 4; 1936, pl. 5 (candi apit).

288

Prambanan 1954

sebuah kepala-kla dengan sebuah makara yang didorong masuk ke dalam


mulutnya. Corot-corot tadi adalah satu-satunya bentuk saluran-saluran
drainase yang ditemukan di seantero tubuh candi ini.
Dalam bukunya Inleiing, Krom sudah membahas secara panjang-lebar
hiasan yang dijuluki Van Erp sebagai motif Prambanan, yang ditemukan
diulang sebanyak 32 kali pada dinding-dinding teras dan juga ditemukan
pada candi-candi besar lainnya. Walaupun motif itu tampak lebih indah pada
candi induk daripada di tempat-tempat lain, namun selalu menyenangkan
untuk memandang pohon-pohon kalpataru serta sosok-sosok binatang jenaka
di samping pohon-pohon tersebut: biri-biri jantan, merak-merak, kera-kera,
kijang-kijang dan sekali lagi kelinci-kelinci bertelinga bulat yang barusan
kita sebutkan leluhur dari binatang bertelinga sirip di Jawa Timur dan
sama sekali tidak boleh dilupakan para penghuni kayangan, yaitu rupa-rupa
kinnara yang di sini masih terbilang unik. Bila dibandingkan dengan
semuanya ini maka singa-singa di relung-relung tampak kaku dan sama
sekali tidak bernyawa, jauh kurang berhasil daripada rekan-rekan mereka di
gapura menuju candi apit di sebelah selatan. Hiasan atas pada relung terdiri
atas motif sulur-suluran dan gulungan-gulungan tebal yang merujuk kembali
pada jenis kla-makara yang kita temukan di relung-relung pada bagian
muka Candi Kalasan. Di sana kepala kla itu memiliki lengan-lengan yang
pendek, memutar ke arah dalam dan berujung pada berbagai makara. Sang
pemahat rupanya sedemikian tidak terbiasa dengan makara-makara yang
memutar ke arah dalam ini, yang sangat jarang ditemukan di Jawa, sehingga
ia memasang sebuah tiruan yang sangat melengkung ke arah luar pada
bagian luar masing-masing makara.31 Walaupun di Candi Kalasan banyak
motif telah berubah bentuk menjadi tumbuh-tumbuhan, namun bentukbentuk binatang dan makara-makara yang memutar ke arah dalam juga
jelas-jelas menarik perhatian tersendiri. Menyangkut motif Prambanan, yang
benar justru yang sebaliknya: di sini kepala kla itu telah berubah
seluruhnya ke dalam bentuk tumbuh-tumbuhan. Di simbar-simbar pada
bingkai mahkota di atasnya kita sekali lagi berjumpa dengan sebuah motif
serupa. Di sini kepala kla itu telah berubah menjadi sebuah hiasan
berbentuk mutiara (berbentuk permata), yang diapit oleh makara-makara
yang melengkung. Di samping lengan-lengan yang melengkung, pada bagian
luarnya
31

Kalasan an Sari, gbr. 11-12.

289

A.J. Bernet Kempers

ditempatkan makara-makara berjenis binatang dan sekali lagi makaramakara yang stilistik. Bagian paling atas dari motif tersebut tampil sebagai
perulangan dalam bentuk miniatur dari bagian paling bawah.
Bagian luar dari pagar langkan sampai dengan teras sekaligus puncak
hiasan dari dinding teras, seperti pula pagar-pagar langkan di Borobudur
pada saat yang sama merupakan puncak dari pagar-pagar tembok yang ada
di bawahnya menampilkan perulangan sebanyak 70 kali dari satu motif
tunggal: sebuah relung diisi dengan sekelompok ganharva dan apsara. Di
atas setiap relung ada sebuah genta beralur. Mengingat kenyataan bahwa
pada sudut-sudut penampil, dua dari relung-relungnya ditutupi oleh sebuah
genta, dan sebaliknya terdapat genta-genta tanpa relung-relung pada sudutsudut yang menyurut, maka jumlah dari hiasan puncak ini adalah sebanyak
66 buah, yaitu 2 x 17 dan 2 x 16. Malah terdapat kekurangan dua buah
relung pada bagian muka bangunan karena adanya bilik-bilik samping yang
mengapit gapura masuk. Mahkla (selatan) dan Nandivara (utara) yang
terletak di bilik utama sebelum pemugaran gapura, kini ditempatkan pada
bilik-bilik samping ini.
Di antara relung-relung tadi, pagar langkan menyurut secara tajam ke
arah dalam. Kotak-kotak (casement) yang terbentuk dengan cara itu diisi
dengan sekelompok sosok yang sedang menari dan bermain musik yang
dipahat dalam bentuk relief tinggi. Karena terletak pada ketinggian dua kali
tinggi orang dewasa, maka sosok-sosok tersebut mendapat perhatian yang
jauh lebih sedikit daripada yang seharusnya menjadi nasib mereka
seandainya saja yang terjadi adalah sebaliknya. Foto-foto yang diambil
sebelum perang menyajikan sebuah kesan yang luar biasa tentang sosoksosok yang menakjubkan itu, di mana gerakan mereka yang berlenggaklenggok dengan kuat mengingatkan kita pada tarian dan relief-relief tarian
India. Penelitian koreografis dan ikonografis telah menunjukkan dengan
kepastian mutlak bahwa penempatan sosok-sosok itu mengikuti sebuah
rancangan. Dalam upaya-upaya pertama pemugaran candi itu pada tahun
1918 dan selanjutnya, relief-relief relung dan bagian-bagian tengah
ditempatkan secara serampangan, malah kadang kala dibuat cocok dengan
menetak atau memotong tonjolan-tonjolan yang tidak dikehendaki pada
sisinya. Lebih dari itu, tidak ada catatan apa pun yang tersimpan mengenai
posisi relief-relief yang masih berada pada letak aslinya ketika kerja
pemugaran dimulai. Hal ini menyebabkan kesulitan-kesulitan yang luar

290

Prambanan 1954

biasa besar dalam pemugaran, yang mesti diatasi sebaik mungkin, namun
tidak dengan kepastian 100%. Tidak selalu mungkin untuk berpatokan pada
petunjuk-petunjuk arsitektural; kadang kala data koreografis harus
didayagunakan, atau kita terpaksa bergantung semata-mata pada
pertimbangan-pertimbangan tentang simetri bangunan. Dari ke-62 panel
tarian, 21 buah berhasil dikembalikan ke tempatnya dengan kepastian
mutlak, sering kali berdasarkan pada foto-foto lama. Komentar berikut
tentang data koreografis, diperoleh dari sang pemugar bagian ini, yaitu
Bapak Suhamir. Tarian yang dipahatkan pada relief sejajar dengan tarian
Tn d ava iva semacam ini diterangkan dalam Ntyastra.
Ke-108 sosok

yang terkelompok dalam 32 rangkaian, dibicarakan di dalamnya. Ke-32


panel tarian di Prambanan sebetulnya angka ini harus ditambah dengan
dua panel yang tidak jadi guna memberi tempat kepada relung-relung
sampingan di sebelah gapura memberi peluang untuk memahat delapan
agahra ini atau rangkaian sosok-sosok [yang ditampilkan] secara sama
rata pada dua panel sekaligus pada setiap kuadran [seperempat lingkaran] di
antara dua gapura. Kuadran di timur laut berisikan lebih banyak pemusik dan
penari lagi. Lebih dari itu, hal yang menarik tentang mereka ialah bahwa,
sama seperti sosok-sosok tertentu di Candi Sari, kita diperhadapkan bukan
dengan posisi tarian yang dibuat kaku melainkan dengan sosok yang sedang
bergerak, yang melenggang dari satu gerakan ke gerakan yang lain. 32
Walaupun ada serba macam tindak pencegahan dan penelitian namun tidak
ada jaminan tentang kepastian bahwa panel-panel itu dikembalikan ke
tempat aslinya. Namun peluang kebenaran besar adanya. Asalkan saja
didokumentasikan dan dijelaskan secara tepat di masa depan yang tidak
terlalu lama lagi, maka hal ini bisa diterima walaupun bila dibandingkan
dengan pemugaran secara keseluruhan, perincian dari kerja ini tetap kurang
memuaskan sejauh menyangkut kepastian. Kesalahan tidak dapat ditimpakan
ke atas para pemugar sekarang ini, sebab kesalahan tadi terletak di masa
lampau.33
Sisi dalam dari pagar langkan dihiasi dengan relief-relief Ramyn a
yang terkenal itu (sampai dengan dan mencakup penyeberangan ke La k).
Kelanjutannya terdapat di Candi Brahm. Bila rangkaian-rangkaian relief
32 Kalasan an Sari, hlm. 21.
33 Van Erp, Verslag Commisie Avies Restauratie (1926), Bijl. (Append.) hlm. 6, 10-11; O.V.
1937, hlm. 6; 1938, hlm. 7 dengan perbaikan 1939, hlm. 9 dan n; Soehamir, O.V. 1948,
hlm. 25-26.

291

A.J. Bernet Kempers

di Candi iva telah dikenal secara luas melalui karya-karya fotografis


Groneman, Stutterheim dan Kats, sangat sedikit diterbitkan tentang
lanjutannya selain dari beberapa foto tua dari beberapa fragmen yang
tersendiri. Hal yang sama dapat dikatakan tentang rangkaian-rangkaian yang
sangat menarik yang melukiskan petualangan Kr ishna semasa mudanya,
yang tersaji bagi kita pada Candi Vis n u. Walaupun kedua rangkaian
dimaksud kurang-lebih telah berhasil dipasang kembali untuk sementara
waktu di candi-candi yang disebutkan tadi, namun masih tersisa sejumlah
masalah yang belum berhasil diselesaikan secara memuaskan, baik
berdasarkan petunjuk-petunjuk arsitektural maupun bila membandingkannya
dengan teks-teks atau rangkaian-rangkaian di India.
Tubuh candi memuat bilik utama dan empat bilik samping, darinya yang
terdapat di sisi timur berfungsi sebagai ruang muka. Dinding muka
bangunan itu yang di sisi timur juga tampak berbeda [dengan yang lain] oleh
karena ruang masuknya yang lebih tinggi dan sejumlah perincian dalam
hiasan. Selain dari itu, di sini, seperti juga di Candi Kalasan, denah pada
keempat sisinya seluruhnya setangkup. Ruang depan yang menjorok, yang
juga terdapat di candi-candi dari jenis yang lebih sederhana, misalnya pada
candi-candi apit, di sini ditempatkan berlawanan dengan tiap-tiap ruang
masuk sebagai gapura pada pagar langkan. Gapura di sebelah timur memiliki
relung-relung samping. Kepala kla yang sejajar dengan permukaan ambang
pintu diapit oleh berbagai makara, namun tiang-tiang pintu juga memiliki
sebuah hiasan makara pada dasarnya, yang bersandar pada sebuah panel
dengan seorang gan a (yang satu dengan sebuah genta besar dan yang lain
dengan sebuah genta kecil melingkar di sekeliling leher masing-masing),
yang kedua dengan seekor kla, dan akhirnya sebuah pilaster. Atap gapura
mirip atap candi-candi perwara, namun lebih tinggi dan lebih berbelit-belit.
Dalam kedua kasus tersebut, bentuk bagian atas secara keseluruhan dan
menara-menara atap yang secara horizontal bertakuk tampak lebih bersikusiku daripada menara-menara yang terdapat baik di Candi iva maupun di
candi-candi apit. Sejauh menyangkut atap candi-candi, terdapat suatu irama
pemersatu tertentu di kompleks itu: candi-candi yang besar dan candi-candi
apit mencerminkan bentuk gemulai dari ikhara dalam kontur-kontur mereka
serta hiasan berbentuk bulat, sedangkan gapura-gapura dari Candi iva,
ruang-ruang depan dari candi-candi apit, menara-menara sudut di samping
tangga-tangga, candi-

292

Prambanan 1954

candi kelir dan candi-candi patok di kawasan utama serta candi-candi


perwara, semuanya memperagakan bentuk bersiku-siku. Unsur-unsur hiasan
di sana ditata secara horizontal, sedangkan unsur-unsur hiasan di berbagai
ikhara (yaitu genta-genta berukir) ditata secara vertikal. Bagian-bagian
yang lebih rendah dari candi besar dan dari candi-candi perwara karenanya
memperagakan bentuk yang kurang menanjak daripada yang terdapat di
bangunan-bangunan yang lebih tinggi. Pada yang pertama sisi-sisi yang
menanjak secara miring dari kontur atap disela oleh sebuah rangkaian cepat
garis-garis horizontal, besar dan kecil, sedangkan pada yang terakhir
kecondongan vertikal menusuk garis-garis horizontal dari struktur bertingkat
itu.
Begitu melintasi gapura, kita lantas sampai pada sebuah bordes
(panggung), pada sebelah kiri dan kanannya terdapat anak-anak tangga kecil
di bawah pintu-pintu kecil yang menuju ke lantai selasar. Langsung
berhadapan dengan bordes tadi terdapat sebuah tangga yang lebih tinggi
yang berujung pada bilik tambahan, atau lebih tepat pada ruang depan bilik
utama. Sebuah hiasan kla-makara yang menakjubkan membingkai tiap-tiap
pintu masuk: sebuah kepala rksasa,
menganjur keluar secara sangat

mencolok, sebelah kiri dan kanan berubah bentuk menjadi seekor singa
dengan cakar terangkat seperti hendak mengancam. Sama seperti berbagai
kla yang terdapat di atas relung-relung pada tubuh candi, kla yang di sini
dimahkotai dengan sebuah relief atap candi; di sini motif pandu atap itu,
yakni genta berukir rangkap tiga (sebanding dengan puncak dari candi-candi
apit), menjadi puncak perbingkaian pintu. Antara ambang pintu dan kepala
kla terdapat rupa-rupa dewata yang dipahatkan pada relief; pada sisi
sebelah timur terdapat seorang dewa bertangan empat yang diapit oleh dua
pendamping perempuan (lihat Foto 2). Di sini, berbeda dengan bagianbagian muka bangunan yang lain, terdapat seorang dewa yang ditempatkan
di atas kepala kla (lihat Foto 32). Pada sisi sebelah barat, dewa yang
berkuasa adalah seorang perempuan. Dua penghuni kayangan yang
berjanggut melayang di samping jambul sang kla pada sisi sebelah utara. Di
sisi sebelah barat dan selatan sosok-sosok itu adalah makhluk kayangan
biasa; sosok pada sisi sebelah selatan berbentuk lebih kecil. Berbagai
makara pada tiang-tiang pintu di sini disandarkan pada panel-panel persegi
yang ditempatkan satu di atas yang lain: tiang-tiang sebelah bawah
menunjukkan sebuah pahatan batu berbentuk teratai, sedangkan

293

A.J. Bernet Kempers

tiang-tiang sebelah atas memperlihatkan seekor singa dengan seorang


penunggang.
Saya tidak akan masuk ke dalam pembahasan apa pun tentang hiasan
penting pada dasar tubuh candi: motif jambangan teratai pada pelipit, 24
panel besar dengan sosok-sosok kosmologis beserta para pengikut mereka
pada bagian sentral dari penggalan klasik. Hal yang sama berlaku pula untuk
arca-arca kenamaan di bilik-bilik samping. Selama pemugaran ditemukan
beberapa potongan dari arca iva dan dipasang atau dirakit kembali ke
posisinya yang semula. Sejumlah foto menyangkut bagian yang paling suci
ini diambil dari suatu tempat ketinggian. Walaupun tentu saja tidaklah
pernah terkandung maksud di pihak si pematung bahwa arcanya akan dilihat
dari posisi ketinggian semacam ini, namun bagaimanapun juga sisi tilik
tersebut menyingkapkan perincian-perincian tertentu yang menguntungkan.
Keagungan dari sang dewa mahatinggi itu bila dipandang dari posisi
ketinggian seperti itu diganti oleh sesuatu yang lembut, nyaris kekanakkanakan, yang jauh berbeda dari arcanya bila dilihat dari lantai dasar. Foto
yang direproduksi di sini [Foto 33] berbeda dari foto yang sedemikian sering
diambil selama beberapa tahun belakangan ini dari posisi yang sama di atas
perancah.
Setelah pemugaran, sekali lagi, seperti dahulu kala, bilik utama candi
diselimuti cahaya temaram, untuk pertama kalinya sejak puncak candi itu
ambruk berabad-abad silam. Langit-langit dibuat dari beton penguat dan
bagian dalam atap sebenarnya keseluruhan bangunan adalah juga sebuah
konstruksi modern. Guna mengurangi tekanan dari massa tumpukan batu
besar itu maka didirikan tiga sungkup tambahan yang dibangun satu di atas
yang lain, dan yang paling tinggi darinya berlanjut terus hingga ke puncak
candi.34 Puncak itu sendiri bersandar pada sebuah pilar beton penguat.
Barangkali kita sah-sah saja bila bertanya apakah semua benda besi inilah
yang menyebabkan petir menyambar puncak candi itu pada tahun 1952.
Baru-baru ini saya membaca di suatu tempat bahwa Badan Meteorologi
beranggapan bahwa sangat tidak mungkin candi disambar petir (hal ini
sehubungan dengan Candi Jawi, yang diandaikan pernah disambar petir pada
zaman dahulu dan kemudian dibangun kembali). Pengalaman justru
menunjukkan hal yang sebaliknya, petir bisa menyambar bahkan pada
bangunan-bangunan di mana tidak ada sepotong besi pun yang digunakan.
34

Laporan tahunan 1950, pl. 1.

294

Prambanan 1954

Puing-puing reruntuhan candi induk Sewu juga pernah disambar petir, ketika
itu berbagai makara pada takhta di bilik utama rusak. Baru-baru ini salah
satu candi perwara di Plaosan dan puncak Borobudur (1953) juga menjadi
korban sambaran petir. Apa pun kebenarannya, kini Candi iva sudah
diperlengkapi dengan sejumlah penangkal petir.
Di atas bingkai mahkota dari kaki (kedua) dengan panel-panel para
penjaga mata angin, atau apa pun nama mereka, terdapat permulaan dari lislis kaki tubuh candi: takuk ganda, padma rata, bingkai setengah lingkaran
rata, disusul sekali lagi oleh padma. Kali ini padma tersebut berhias dan
dipahat sebagai sebuah bantal teratai, dan karenanya ia mendapat
kehormatan untuk memakai nama India yakni pama. Di atasnya terdapat
lagi bingkai setengah lingkaran, kali ini dihiasi dengan cetakan cembung
bulat singkatnya, sebuah penggandaan yang berat dari bingkai biasa.
Sekali lagi ada sebuah petunjuk ke arah kesenian Jawa Timur dalam cara
bagaimana perbingkaian-perbingkaian itu dipahat.
Arkitraf tinggi pada tubuh candi dibagi secara horizontal ke dalam dua
bagian yang sama luas oleh sebuah pelipit tengah atau perbingkaian antara.
Kita menemukan hal ini sudah pada candi-candi apit, rupanya sebagai
peniruan dari candi induk. Di banyak tempat di Jawa Tengah, sehubungan
dengan pemilahan bagian dalam menjadi dua tingkat, kita melihat hal ini
terpantul dalam rancang bangun luar di Candi Sari dan Candi Plaosan. Di
Jawa Timur pelipit tengah itu menjadi kaidah. Di luar Jawa kita menemukan
pemilahan arkitraf ini ke dalam dua bagian ala Prambanan pada candi besar
Tanjore di kawasan selatan India. 35 Pelipit itu di Prambanan disela pada
pertengahan penampil-penampil oleh pintu-pintu masuk bermahkota.
Masing-masing dari 2 X 24 bidang muka bangunan yang dibentuk oleh
pemilahan arkitraf ini mengandung sebuah relung kecil, di mana niscaya
dahulunya pernah berdiri sebuah arca. Baik di sini, di lingkaran relungrelung di atas hiasan puncak, maupun di bagian tengah puncak candi tidak
ada satu arca pun yang berhasil dikembalikan ke tempatnya yang semula.
Kemungkinan itu ada dengan menemukan satu-dua arca di sana-sini di situs,
namun itu semata-mata pada relung-relung paling bawah karena semua yang
lain telah roboh dan baru ditemukan lagi pada pemugaran.
Pelipit tengah diimbuhi dengan simbar-simbar: berbagai kla pada
sudut-sudut yang menganjur, dengan mutiara-mutiara yang dibingkai di
35

Kramrisch, l.c. gbr. pada hlm. 187.

295

A.J. Bernet Kempers

antaranya. Hiasan tembok pada tubuh candi juga sama, namun dengan skala
lebih luas (dengan kepala-kepala yang dibingkai pada simbar-simbar) seperti
sebelumnya yang kita temukan pada kaki (kedua). Di situ kla-kla pada
simbar-simbar sudut diapit oleh makara.
Berbagai pilaster pada sudut-sudut yang menyurut dan sudut-sudut yang
menjorok, baik di atas maupun di bawah pelipit tengah, dibagi sekali lagi
menjadi dua. Sebagai hasil dari semua pemangkasan ini terhadap ketinggian
Prambanan, maka corak tubuh candi ini jauh kurang agung daripada corak
tubuh Candi Kalasan, di mana relung-relung menggunakan keseluruhan
ketinggian. Selain dari itu, panel-panel menakjubkan dengan hiasanhiasannya yang berbentuk spiral, yang juga mencakup seluruh ketinggian
candi, menarik pandangan ke atas, dan lubang relung-relung jauh lebih elok
daripada padanannya yang sangat mirip dengan tingkap di Prambanan. Pada
umumnya horizontalisme di Prambanan, yang tercipta oleh perbingkaian
horizontal yang berat dari kakinya, pelipit-pelipit dasar dan tengah, bingkai
mahkota pada tubuh candi serta bagian-bagian yang jelas-jelas kelihatan
pada atap candi, lebih tegas daripada di Kalasan, walaupun kecondongankecondangan vertikal juga menonjol di Prambanan. Bobot pengimbang
terhadap unsur-unsur vertikal lebih mencolok di Kalasan; garis-garis
horizontal di Kalasan juga lebih tegas namun sering kali kurang menonjol
dan kurang banyak daripada di Prambanan.
Bila kita berhenti sejenak guna membuat perbandingan mengenai hiasan
pada bidang-bidang muka Candi Prambanan dan Candi Kalasan, maka
terpaksa kita mesti menarik kesimpulan bahwa para seniman penghias di
Candi iva itu kurang berhasil dalam tugas mereka daripada para seniman
penghias di Kalasan. Kesan ini juga timbul dari suatu perbandingan
menyangkut arca pada bagian-bagian bawah dari Candi iva itu sendiri:
motif Prambanan, jambangan-jambangan teratai, panel-panel relief serta
arca-arca tampak mengecewakan di samping perhiasan relung berbentuk
atap candi dan jenang-jenang dengan sulur-suluran ikal musral. Dalam hal
ini, Candi Kalasan tidak memiliki kesulitan untuk mempertahankan
gelarnya: hiasannya tetap tak tertandingi.
Di Prambanan jenang-jenang itu menjulur dari seekor singa kecil di atas
seekor gajah pada pita hiasan horizontal yang pertama, dan dari seorang
sosok manusia pada yang kedua, dan keduanya termuat dalam sebuah relung
sempit. Sejajar dengan sulur-suluran tadi dan dipisahkan

296

Prambanan 1954

darinya dengan sebuah jenang licin meliuk seutas pita kecil dengan pahatan
berbentuk mawar. Pada panel-panel di kedua belah pintu masuk, relung tadi
diperkecil bentuknya dan jenang-jenang berbentuk sulur-suluran tersebut
tidak lagi dipergunakan. Perhiasan relung lebih mengingatkan kita pada
bagian atas pintu-pintu masuk daripada relung-relung di candi itu sendiri.
Relung-relung ditunjang oleh kla yang kelihatan alamiah. Makhlukmakhluk kayangan melayang-layang di samping dinding muka yang
berbentuk segitiga.
Bingkai-bingkai utama di atas arkitraf berisikan beragam jenis bingkai
hiasan: sebuah bingkai dengan pahatan-pahatan berbentuk mawar separuh
oktagonal, sebuah bingkai dengan karangan-karangan bunga dan pahatanpahatan berbentuk mawar, sebuah bingkai mahkota dengan simbar-simbar,
sebuah bingkai yang menyurut dengan motif-motif bebungaan. 36 Di atasnya
dimulailah lingkaran relung-relung yang bersama dengan rangkaian gentagenta pertama membentuk puncak dari tubuh candi, dan pada saat yang sama
berfungsi sebagai peralihan ke atap (tingkat atap 0). Di atasnya menyeruak
empat tingkat lagi (I-IV), masing-masingnya dipuncaki dengan sebuah
rangkaian genta-genta, dan kemudian genta utama. Genta-genta itu berdiri di
sudut-sudut yang sebenarnya dan di sepanjang sisi-sisi berbagai penampil,
dengan kekecualian sudut-sudut yang sebenarnya dari bagian ketiga di atas
lingkaran relung-relung. Sebagaimana yang telah kita bahas sebelumnya,
tubuh candi dari tingkat berikutnya menyeruak dari dalam setiap rangkaian
horizontal dari genta-genta ini. Rangkaian terakhir melingkari genta utama
(lihat Foto 34).
Malah lingkaran relung-relung terdiri atas beberapa parallelepipeon di
atas penampil-penampil dan kubus-kubus di atas sudut-sudut yang
sebenarnya. Di sepanjang sisi-sisi dari blok-blok ini ditempatkan relungrelung di atas penampil 2-3-2, di atas sudut-sudut yang sebenarnya 1-1,
seluruhnya 36 buah. Tidak ada jejak apa pun menyangkut arca-arca yang
menurut bentuk lekukan pada relung-relung tersebut pernah ditempatkan di
sana. Di antara relung-relung itu terdapat panel-panel dengan hiasan berupa
pahatan berbentuk mawar-wajik. Walaupun berbagai parallelepipeon dan
kubus-kubus tadi didirikan sebagai wujud satuan tersendiri oleh sebuah
bagian yang menyurut pada pinggiran penampil dan bentuk persegi
36

Salah satu uraian tentangnya adalah karya Van der Hoop, Inonesische siermotieven
(194), pl. XXXIV, kanan bawah motif pahatan dari Candi Sewu.

297

A.J. Bernet Kempers

pada denah atap, namun bagaimanapun juga rangkaian-rangkaian relung


tersebut seakan-akan menghasilkan sebuah lingkaran relung-relung yang
sambung-menyambung. Dan baik efek maupun penonton adalah dua hal
penting di bangunan ini. Pada dasarnya, permulaan atap candi seturut cara
ini serupa dengan yang di Candi Kalasan dan kesinambungannya pada
penampil-penampil juga dapat dibandingkan satu sama lain. Namun apabila
di Kalasan, yang jauh kurang tinggi, hanya terdapat satu kubus pada puncak
parallelepipeon pertama dengan kemungkinan terdapat satu lagi blok lebih
kecil di atasnya 37, maka Prambanan memperagakan sebuah tumpukan blok,
yang berkurang secara mencolok dalam keluasannya namun tetap
mempertahankan suatu kedalaman yang cukup besar. Kita sudah melihat
bahwa hal ini membuat denah dari tingkat-tingkat yang lebih tinggi jauh
lebih kuat mengambil bentuk salib. Siluet ketinggian candi menampilkan
sebuah lengkungan kecil, khususnya karena perlintasan penampil-penampil
di mana potongan-potongan ornamentasi plastis menciptakan sebuah
peralihan yang gemulai di antara segmen-segmen horizontal. Garis
melengkung ini menentukan corak ikhara dari atap bagian luar candi.
Di Kalasan tidak ditemukan segmen susulan pada puncak kubus yang
dimahkotai oleh sebuah stpa di atas sudut-sudut yang sebenarnya. Di sini
bagian-bagian yang lebih tinggi dari puncak terdiri atas dua oktagon besar,
yang tersusun menumpuk sebagai intipati puncaknya serta landasan atap,
rupanya sebuah stpa besar.38 Blok-blok di atas berbagai penampil
ditempatkan berseberangan dengannya. Prambanan tidak memiliki intipati
yang masif seperti itu. Di sini bujur sangkar tengah malah semakin mengecil
ketika sampai pada puncak ketinggiannya, dan penampil-penampil semakin
membesar (lihat di atas). Di sini, karena sudut-sudut yang sebenarnya
menyajikan sebuah siluet yang menyeruak secara tajam, lebih curam
daripada penampil-penampil, maka pada sisi-sisi dari berbagai penampil ini
di tingkat-tingkat yang lebih tinggi terdapat sejumlah besar ruang sebanding
yang tersisa. Hal ini meniscayakan penempatan dua jenis genta yang lebih
besar, dan pada dua-duanya di tingkat-tingkat yang paling tinggi digunakan
tiga jenis genta yang lebih ramping di sana, di atas genta37

Bdk. denah yang dibuat Profesor Van Romondt dalam Kalasan an Sari, gbr. 3.
38 Lihat denah pemugaran (ibidem, sebelah belakang) yang dibuat Bagian Arsitektur Dinas
Purbakala.

298

Prambanan 1954

genta dari lingkaran relung-relung itu. Genta-genta di atas sudut-sudut yang


sebenarnya sebagai keturunan yang lebih langsung dari berbagai
malaka sekali lagi merupakan model yang lebih besar daripada gentagenta yang terdapat di lingkaran relung-relung. Pada tingkat-tingkat sebelah
atas genta-genta itu lebih kecil, sedangkan pada tingkat-tingkat sebelum
yang terakhir, seperti yang sudah dikatakan, sama sekali tidak terdapat ruang
seandainya sebuah rangkaian terdiri atas delapan genta mesti ditempatkan di
sekitar dasar puncak. Lingkaran paling atas ini berdiri berpaling dan secara
langsung berlawanan dengan dasar genta utama dan agak berjarak darinya.
Jumlah genta-genta itu adalah 28+4, 36+4, 32+4, 4, 4+4 pada atap, 66 pada
pagar langkan, 4 x 3 di atas kepala-kepala kla pada pintu masuk, sehingga
jumlah keseluruhannya adalah 199 buah.
Pada bagian atap I di atas lingkaran relung-relung (0) masih ada bebe
rapa relung, namun hanya di sebelah sudut-sudut yang sebenarnya, dengan
kata lain di sebelah kanan dan kiri genta-genta di atas kubus-kubus dari
lingkaran relung. Pada bagian-bagian yang lainnya terdapat hiasan datar.
Di setiap tingkat ada sebuah bingkai mahkota campuran: tingkat 0
(lingkaran relung) didandani dua pelipit dengan simbar-simbar, dipisah kan
oleh sebuah pita hiasan, tingkat I dan tingkat II dihiasi pelipit-pelipit
penyangga, sebuah bingkai mahkota datar, simbar-simbar dengan hiasanhiasan di antaranya, simbar-simbar dengan sebuah pelipit datar di antaranya.
Di atasnya secara bergantian terdapat panel-panel menjorok dan kotak-kotak
menyurut. Pada panel-panel itu terdapat beberapa gan a, yaitu sosok-sosok
manusia penyangga pilar, satu di tengah, dua di sudut-sudut. Sekurangkurangnya beginilah halnya pada berbagai penampil; tidak ada gan a, panel
ataupun kotak di atas sudut-sudut yang sebenarnya, karena di sini bagian
bawah genta-genta itu dihiasi dengan simbar-simbar. Pada tingkat I dan
tingkat II juga terdapat beberapa gan a di sudut-sudut yang sebenarnya.
Di antara genta-genta pada ketinggian tengah terdapat delapan relung
kecil, yang sekarang kosong. Relung-relung itu mencakup bagian sebelah
bawah dari genta, dipisahkan dari bagian sebelah atas yang dipahat oleh
sekelompok simbar tengah. Dua lis hias tembok melingkar dengan simbarsimbar dan dua setengah lingkaran sekaligus membentuk garis pemisah dan
dasar untuk seluruh puncak, yang pada 47 meter adalah bagian tertinggi
monumen itu.

299

A.J. Bernet Kempers

Jika memandang candi yang agung ini kita bertanya-tanya bagaimana


mungkin, berabad-abad silam, untuk mengangkat satu potongan batu yang
berbobot ratusan kilo ke ketinggian semacam itu. Di sekitar fondasi Candi
iva ditemukan blok-blok napal, beberapa dengan galur-galur dangkal dan
nyaris persegi, yang lain dengan lubang-lubang bulat yang dalam. 39 Boleh
jadi bahwa blok-blok tersebut dahulunya menjadi fondasi untuk perancah.
Apakah rancang bangun tersebut barangkali digunakan untuk bagian-bagian
bangunan yang lebih tinggi berujud sebuah jalan lintasan yang melandai,
yang masih dapat kita jumpai dalam pembangunan gapura-gapura dan
bangunan-bangunan semacam itu di Bali? Malah, ketika sedang melintasi
konstruksi bangunan Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta baru-baru ini,
saya menyaksikan sebuah perancah yang sedang digunakan di sana untuk
konstruksi tingkat-tingkat atas, juga menyerupai sebuah jalur melandai.
Persoalan teknis lainnya ialah menyangkut fondasi. Halaman induk di
Prambanan terletak empat meter di atas kawasan sekitarnya dan tidak
didirikan di atas ketinggian alamiah seperti Borobudur, tetapi pada sebuah
gundukan buatan, yang ditinggikan menurut model teras antara pagar
tembok pembatas pertama dan kedua. Tiap-tiap candi berdiri di atas sebuah
landasan batu, dan hal itu mendapat perhatian paling besar di candi induk.
Landasan ini dibuat dari napal yang didirikan di atas sebuah fondasi batubatu kali yang dicampur pasir, kira-kira setebal satu meter, 4,60 m di bawah
permukaan halaman induk tadi. Kalau di candi-candi lain bagian dalam dari
kaki di candi-candi lain juga terbuat dari napal, maka pada candi induk, dari
60 cm di bawah level permukaan, terbuat dari andesit. Dinding-dinding
perigi candi di candi-candi yang lebih besar juga terbuat dari andesit,
sedangkan perigi pada candi-candi apit terbuat dari batu pasir (paras). 40
Pengetahuan yang menarik menyangkut bagian-bagian dalam candi
semacam itu disajikan belum lama berselang (1953) oleh candi besar pada
sisi selatan di Plaosan, yang terletak di timur laut Prambanan. Sebelum kerja
pemugaran dimulai, yang kini masih sedang berlangsung, fondasinya diteliti.
Tampaknya bahwa tubuh candi dan dinding-dinding dari teras yang
merupakan lorong keliling (pada kakinya) secara terpisah
39 O.V. 1938, hlm. 8, gbr. 5. Dapatkah batu serupa batu kenong yang terdapat di sekitar

Selogriyo (R.O.C. 1912, hlm. 89, pl. 23) menjalankan fungsi yang sama? Batu kenong
(batu-batu berbentuk alat musik kenong) yang diketahui dari situs-situs lain adalah alas
tiang untuk pemukiman di atas pancang-pancang.
40 Krom, Inleiing I, hlm. 153, 488.

300

Prambanan 1954

diperlengkapi dengan sebuah landasan napal di atas fondasi batu-batu kali.


Karya kosmetik ini, yakni dinding andesit dengan profil dan ornamentasi,
bersandar pada landasan kaki yang luas. Di dalamnya adalah karya interior
yang juga terbuat dari andesit, dan di dalamnya lagi terdapat napal. Massa
batu yang disusun secara vertikal ini bermaksud untuk menyokong landasan
napal dari tubuh candi, yang berlanjut hingga ke ketinggian selanjutnya,
dipisahkan oleh sebuah isian berupa batu-batu kali.
Dasar yang ditinggikan di antara landasan candi-candi di Prambanan
diperkuat dengan sebuah jaringan pagar-pagar tembok di bawah tanah yang
terbuat dari batu-batu kali. Hal ini paling jelas kelihatan selama penggalian
kawasan itu antara deretan pertama dan kedua dari candi-candi apit pada
tangga sebelah utara dari pagar tembok pembatas yang paling dalam. Namun
hal tersebut juga ditemukan di kawasan tengah (lihat Foto 5). 41
Selanjutnya, sebuah catatan singkat tentang pemugaran candi-candi
perwara. Pada puing-puing reruntuhan candi pertama pada situs antara pagar
tembok pembatas pertama dan kedua, di mana pemugaran pernah dicoba,
hasilnya mengecewakan. Percobaan berikutnya lebih berhasil. Candi ini,
pada deretan dalam kedua yang terletak di sebelah utara dari poros timurbarat di sisi timur, telah berhasil dipugar seutuhnya dengan ketinggian
seluruhnya sekitar 14 meter. Kita sudah mengatakan sesuatu tentang
keserupaan yang relatif dengan gapura-gapura di Candi iva. Pelipit tengah
di sini juga merupakan peniruan dari pelipit tengah pada candi induk;
arkitraf tidak sedemikian tingginya sehingga perlu dipisahkan karena alasanalasan lain daripada peniruan ini. Pada atap, alih-alih genta-genta berukir ala
candi-candi induk dan candi-candi apit, terdapat menara-menara beratap
kecil. Juga di sini pun, menara-menara itu didirikan di atas penampilpenampil dalam kelompok tiga dengan penekanan pada yang di tengah, sama
seperti genta-genta di candi-candi induk. Di atas tingkat 0 menyeruak tingkat
I, II dan III, dengan puncak di dalam tingkat III.
Perigi bangunan kecil ini cuma berisikan puing-puing reruntuhan,
namun di bawah puing-puing itu, yang menjadi dasar bangunan, ditemukan
sebuah peti kecil yang terbuat dari batu yang dikuburkan di dalam tanah,
41

O.V. 1931-1935, gbr. 9; 1936, hlm. 8 dan gbr. 4. Foto O.D. 11401 dan 11786. Krom,
Jaarboek Kon. Aka. Wet. 1939-1940 menyiratkan kemungkinan bahwa pancangpancang dari batu-batu kali ini adalah sisa-sisa dari kuil berteras kuno Indonesia pada
situs tersebut. Saya kira tidak demikianlah adanya.

301

A.J. Bernet Kempers

berisikan tiga potong benda yang ditempatkan satu di atas yang lain. Isi dari
peti itu belum diteliti.
Kini pekerjaan pemugaran sedang dilangsungkan pada candi perwara di
sudut timur laut. Yang mencolok dari candi ini, dan malah untuk semua
candi perwara yang terdapat di semua sudut lapangan persegi itu, ialah
bahwa terdapat dua tangga dan dua pintu masuk ke bilik candi.
Tampaknya bahwa pembangunan salah satu dari candi-candi perwara itu
tidak pernah berhasil dituntaskan; para tukang tidak maju lebih jauh daripada
permulaan atap.
Pekerjaan atas candi-candi perwara ini memperlihatkan bahwa
penelitian tentang dan pemugaran terhadap Prambanan sama sekali tidak
berhenti. Malah justru sebaliknya yang benar, dan Dinas Purbakala sedang
melaksanakan berbagai kegiatannya dengan penuh semangat di lain tempat
juga. Siapa pun yang bertanya-tanya tentang apa yang terjadi dengan
perancah raksasa di Candi iva itu tidak perlu pergi jauh-jauh untuk melihat
bahwa apa yang masih dapat digunakan kini sekali lagi terbukti manfaatnya.
Setelah menuntaskan pelayanannya di Prambanan sejak tahun 1937, tiangtiang jati yang berat itu kini berdiri di sebelah selatan candi induk di Plaosan
yang, sama seperti Candi iva, akan dipugar kembali secara tuntas dalam
masa depan yang tidak terlalu lama lagi.

302

Lampiran
Prambanan 1995: Dikokohkannya Sebuah Hipotesis42
Dalam rangka penerbitan buku tentang Candi Loro Jonggrang ini, Roy Jordaan
mengadakan sebuah kunjungan singkat ke Jawa Tengah, dengan sokongan
hibah perjalanan IIAS [International Institute of Asian Studies, di Leiden], guna
memastikan keadaan terkini pemugaran kompleks percandian Hindu-Jawa itu.
Beberapa dari penemuan-penemuannya disajikan di bawah ini.

Hal pertama yang mesti dilaporkan ialah pemugaran tiga buah candi, yaitu
Candi A, Candi Nandi dan Candi B, yang berdiri berhadapan dengan candi
induk [lihat denah], dan sering kali secara salah disebut candi wahana atau
candi-candi vhana. Pemugaran candi-candi ini dimulai pada tahun 1991,
persis sebelum saya meninggalkan Indonesia, dan diselesaikan pada tahun
1994. Di sini bukanlah tempatnya untuk menjelaskan bentuk lahiriah dari
candi-candi yang dipugar itu, yang keindahannya dapat dikagumi dan dikaji
secara terperinci oleh setiap pengunjung. Sebaliknya, saya ingin
menjuruskan perhatian pada fakta yang jarang diketahui, yaitu bahwa dalam
kerangka kerja pemugaran, Dinas Purbakala Indonesia telah melakukan
sebuah kajian yang terperinci mengenai fondasi Candi Nandi dengan
mempreteli seluruh candi ini hingga ke batu yang paling akhir. Sasaran dari
kegiatan ini ialah untuk menjelaskan komposisi serta struktur fondasi
sebelum candi itu dipugar secara definitif. Selama berlangsungnya kegiatan
ini muncul beberapa hal menarik, seperti sisa-sisa dari apa yang disebut
benda-benda ritual yang dipendam (ritual eposits). Selanjutnya dipastikan
bahwa Candi Nandi (kemungkinan begitu pula dengan semua candi lain di
halaman pusat) dibangun secara kokoh di tanah, atau katakanlah,
dijangkarkan (lihat di bawah), oleh karena fondasi yang tidak kelihatan itu
dibangun dari sebuah lapisan antrasit dan bebatuan kali berukuran besar
setebal 3 meter. Lapisan ini pada gilirannya berada di atas sebuah lapisan
tebal lain berupa blok-blok batu gamping (batu kapur)
42 Laporan singkat ini pernah dimuat dalam IIAS Newsletter 6 (1995): 37, dalam bahasa
Inggeris dengan judul Prambanan 1995: A hypothesis confirmed.

303

Memuji Prambanan

setebal kira-kira 6 meter, yang ditempatkan secara rapi satu di atas yang lain
(percakapan pribadi dengan Drs. Bambang Prasetya Wahyuhono).
Berdasarkan hasil-hasil analisis stratigrafis atas tanah di sekitar Candi
Nandi dan di tempat-tempat lain, maka dapatlah dicatat bahwa profil tanah
di halaman candi ditata sedemikian rupa sehingga berganti-ganti ditemukan
berbagai jenis lapisan tanah dan bahan-bahan lainnya, semisal pasir, tanah
liat, kerikil, serta bebatuan kali baik yang berukuran besar maupun kecil.
Bertentangan dengan pendapat Krom (1923:451), tanah setempat tidak
mengandung pasir yang mudah dirembesi air. Sebaliknya, berdasarkan
struktur khusus tanah di halaman candi pusat, keteresapan air nyaris nol. Hal
ini tentu saja benar menyangkut lapisan paling atas yang, karena secara
intensif diinjak-injak dan ditimbuni oleh bahan-bahan bangunan, mesti telah
sedemikian melorot/merosot sejak permulaan pembangunan pada
penghujung abad ke-8 hingga permulaan abad ke-9, sehingga terbentuklah
apa yang disebut permukaan mati atau tertutup (slaking surface atau sealing
surface) yang hampir mustahil ditembusi air (percakapan pribadi dengan Dr.
W. Hoogmoed, pakar penggarapan tanah, Universitas Wageningen). Hal ini
didukung oleh pengamatan Soekmono (1985:688) yaitu bahwa tanah
berpasir halus itu sesungguhnya adalah lumpur kering.
Data-data ini sudah memadai untuk menjelaskan minimnya drainase
pada halaman candi pusat (sebuah persoalan yang sudah disinggung dalam
berbagai laporan arkeologis dari masa kolonial), dan menjadi alasan di balik
diambilnya langkah-langkah yang sangat ketat oleh Dinas Purbakala
Indonesia guna memperbaiki saluran air di halaman candi pusat. Langkahlangkah ini terbukti jauh lebih ekstensif daripada beberapa selokan yang
digali secara manual yang saya temukan di bagian barat halaman candi pada
tahun 1991. Tidak kurang dari 20 lubang drainase beton yang dilibatkan di
sini, dan disebarkan di seantero halaman pusat. Dari beberapa perbincangan
dengan para pejabat yang terlibat secara langsung, dan dari sebuah laporan
yang tidak diterbitkan berjudul Laporan pembenahan halaman pusat Candi
Prambanan (1993), tampaknya bahwa lubang-lubang drainase tersebut
dihubungkan satu sama lain dengan sebuah sistem drainase berupa jalur pipa
pralon yang dibangun di bawah tanah. Lebih dari itu, di sekitar masingmasing candi di halaman pusat telah digali sebuah selokan yang diisi dengan
sebuah lapisan kerikil. Selokan-selokan ini juga dihubungkan dengan
lubang-lubang drainase tadi.

304

Lampiran

Walaupun dapat dimaklumi, dan sampai pada taraf tertentu dapat dibela,
namun langkah-langkah tersebut terbuka untuk dibahas dan dikritik dari sisi
tilik ilmiah tertentu, oleh karena pertanyaan menyangkut alasan yang
mendasari masalah-masalah drainase di halaman candi pusat tidak pernah
diajukan. Haruskah kita mengandaikan, sebagaimana yang lazimnya dibuat,
bahwa hal itu bersangkut paut dengan kelemahan atau kesalahan desain yang
dilakukan oleh para arsitek Hindu-Jawa pada dahulu kala, atau
sesungguhnya para arsitek ini benar-benar bermaksud agar halaman candi
pusat itu diisi dengan air, yang dilandaskan pada berbagai pertimbangan
yang tidak sepenuhnya dipahami, atau tidak kita diindahkan sepenuhnya.
Sudah selama beberapa tahun saya telah berupaya menunjukkan bahwa yang
benar adalah pengandaian terakhir (Jordaan 1989; 1991).
Sebagai ikhtisar singkat, saya berpendapat bahwa menyangkut
pemahaman mereka tentang kompleks percandian itu, para arsitek tadi ingin
memberi bentuk nyata pada sebuah mitos Hindu tentang Pengadukan Lautan
Susu yang, sebagaimana diketahui, merupakan asal-usul dari amerta, air
suci. Berlandas pada mitos ini, maka kompleks percandian itu dibangun
sedemikian rupa sehingga halaman candi pusat bisa dibanjiri air pada harihari pesta keagamaan tertentu, dan berfungsi sebagai sebuah kolam (tandon)
atau waduk untuk air suci yang diadakan oleh para pedanda dalam sebuah
upacara khusus di candi.
Menggenangi halaman tersebut dengan air membawa saya ke persoalan
tentang pasokan air, sebuah masalah yang sampai sekarang cuma bisa
ditebak. Namun tampaknya bahwa sebuah jawaban yang memuaskan telah
berhasil ditemukan. Ketika mengumpulkan foto-foto dan berbagai ilustrasi
untuk buku saya yang diterbitkan, saya memperoleh kesempatan untuk
mengacu pada bagian kedua karya IJzerman berjudul Beschrijving er
ouheen..., apa yang disebut Atlas, yang tidak berhasil saya rujuk
sebelumnya [yaitu selama saya tinggal di Indonesia]. Pada Pelat XVII, gbr.
67, terdapat sebuah garis (yang bersepadanan dengan garis titik-titik pada
denah) yang menunjukkan sebuah jalur pipa saluran air bawah tanah yang
terbuat dari batu: berawal dari bagian utara tembok ketiga, jalur itu
mengarah langsung masuk ke dalam dan keluar lagi dari kompleks
percandian tersebut, dan alurnya benar-benar mengikuti kontur halaman
candi pusat, khususnya di bawah deretan keempat candi-candi perwara yang
kini telah musnah. Alur pipa saluran air itu niscaya mesti

305

Memuji Prambanan

dilandaskan pada berbagai pertimbangan teknis, berkaitan dengan usahausaha menjamin pengaliran air, yang dialihkan dari sungai pada titik yang
lebih tinggi. Pengaliran air ini tidak dapat dipertahankan di halaman pusat,
yang dibangun sebagai sebuah teras yang ditinggikan. Foto-foto lama
tentang talang dari batu serta sebuah erong-erong yang berkaitan dengannya,
yang ditemukan dalam berbagai arsip Dinas Purbakala (lihat foto OD no.
7760 dan foto OD no. 11403-11404) yang, karena minimnya informasi
dalam laporan yang menyertainya (Oudheidkundig Verslag 1931-1935),
tidak dapat dirujuk sebelumnya, memberi kesan yang baik tentang ukuran
pipa saluran air di Prambanan itu. Bagaimanapun juga erong-erongnya
cukup luas bagi seorang dewasa untuk berdiri di dalamnya sampai pada
ketinggian pinggang, suatu hal yang menyiratkan bahwa niscaya cukup
gampang untuk menaikkan air dari sungai pada titik-titik ini, dan
memikulnya ke teras tadi. Informasi baru mengenai jalur bawah tanah dari
pipa saluran air itu, demikian pula menyangkut struktur khas tanah di
halaman candi pusat, mengokohkan hipotesis bahwa Prambanan dipikirkan,
dirancang dan dibangun sebagai sebuah kuil air suci (holy water
sanctuary). Maka secara arsitektural, Candi Prambanan tak kurang
menakjubkannya daripada Candi Borobudur.

306

Daftar kata

dibuddha

dipurus a
gama
aks ml
malaka
amr ta
amr tamanthana
aga
agahra
ajalimudr
apsara
arkitraf
sana
as t adikpla
Asura
avadna
avatra
Bhairava

Buddha utama, seorang Buddha yang menjadi sumber


utama dari kenyataan dan sasaran serta motif akhir bagi
pencerahan; Buddha yang paling mencolok dalam aliran
Mahyna
Manusia pertama, suatu ciptaan bahari
yang telah diturunkan, yakni ajaran agama tradisional
yang terkandung dalam teks-teks non-Veda
sejenis tasbih, rosario atau untaian manik-manik
benda hiasan berbentuk umbi atau buah keben
tidak mati, abadi, tidak dapat binasa; obat mujarab
untuk kehidupan, air suci
Pengadukan Lautan Susu guna memperoleh amrta

anggota tubuh utama; sebuah istilah teknis dalam ilmu


tari India (Ntyastra)

istilah India untuk satu ragam tari tertentu


sikap tangan untuk menyampaikan salam penghormatan
peri kayangan yang menggiurkan, seorang penari
kayangan para dewata
balok horizontal utama yang langsung disangga tiangtiang
tempat duduk/kursi, takhta, sebuah posisi sedang duduk
delapan penjaga mata angin
seteru para dewata
dongeng Buddhis
seorang penjelmaan/titisan dewa
yang mengerikan, nama salah satu segi ganas dari
iva

307

Memuji Prambanan

bingkai mahkota pelipit yang paling atas tiap bagian candi dan yang
letaknya paling menjorok ke luar (bhs. Inggris cornice,
bhs. Belanda kroonlijst)
bodhisattava
calon Buddha; makhluk yang akan menjadi tercerahkan
sepenuhnya atau memiliki bohi (pencerahan)
caitya
kuil, bangunan peringatan, monumen makam
cakra
roda/jantera atau senjata berbentuk bundar dan tajam
cmara
alat pengusir lalat
Can d /Can d
salah satu nama dari Mahis suramardin
candi
istilah Jawa untuk sebuah kuil Hindu-Buddhis; puingpuing reruntuhan pra-Islam
culik
(korban) penculikan untuk tujuan dipersembahkan
sebagai kurban
d kin
makhluk bengis, setengah-dewa dalam tantrisme Hindu
dan Buddhis, dan juga dalam cerita rakyat
dharma
sokoguru, penyangga, prinsip, hukum moral: ajaran
Buddhis
dhynibuddha
julukan untuk makhluk yang tercerahkan secara
sempurna, dalam teks-teks Buddhis dirujuk sebagai
kaum Tathgata atau Jina
dikpla
penjaga mata angin
dvpara
lihat yuga
dvrapla
penjaga pintu, arca besar penjaga pintu yang diletakkan
pada gapura candi
gan a
kelompok makhluk setengah-dewa; para abdi/pelayan
iva
gandharva
anggota paduan suara kayangan
gr ha
rumah, seperti dalam sebutan Majugr ha dan
ivagr ha
guru
pengajar, pembimbing rohani
hikayat
jenis sastra Melayu
jtaka
kisah tentang kelahiran terdahulu dari seorang Buddha
jat makut a
sejenis mahkota
kakawin
jenis sastra Jawa Kuno
kla
waktu, maut, hitam; sebuah hiasan mencolok dalam
bentuk satu kepala rksasa
dalam arsitektur candi Jawa

308

Daftar kata

kalpa
kalpataru
kapla
karan a
kaustubha
kelir
keraton
kinnara
koeksistensi
kr ishna (paks a )
kudu
lakon
laks an a
lin ga
lokapla
Mahyna

makara

makut a
man d ala

mantra
mudr
muni
nd
nga
Nt yastra
padma
paks a

perputaran/peredaran waktu
pohon permohonan/pengharapan
tengkorak; cangkir tengkorak; mangkok tengkorak
istilah teknis dalam tarian India
mutiara, permata gaib
layar dalam sebuah pertunjukan wayang
istana, tempat tinggal raja
makhluk dongeng setengah-dewa
hidup berdampingan secara rukun
gelap, paruh gelap peredaran bulan dari purnama
hingga bulan baru
lengkungan hias berbentuk sepatu kuda/ladam acapkali
berisikan gambar sebuah kepala
karya dramatik Jawa
tanda tentang nasib baik, tanda yang menguntungkan
tanda, ciri khas; lambang kelamin iva
penjaga mata angin
Wahana Agung, merujuk pada sebuah bentuk
terkembangkan dari Buddhisme di mana Buddha dan
para bohisattava disembah sebagai para dewata
binatang air mitologis; sebuah hiasan yang mencolok
dalam arsitektur Hindu-Buddha di Asia Selatan dan
Asia Tenggara
mahkota
peranti peribadatan atau meditasi, misalnya sebuah
diagram, lingkaran, denah atau rancangan bangunan
keramat
rumusan gaib atau jampi-jampi
sikap tangan
orang kudus, petapa
akar umbi, batang/tangkai; urat atau pembuluh darah;
ukuran waktu
ular raksasa dari dunia dongeng
ilmu tentang tarian
jenis teratai
paruh peredaran bulan (paksa krishna
dan paksa ukla)

30
9

Memuji Prambanan

pacakuika

Lima Kuika, kelompok kenamaan dari para orang


kudus aiva bahari yang terdiri atas Kuika, Garga,
Maitri, Kurusya dan Patajala
pacamahbhta lima unsur utama (kasar) yang dapat ditangkap oleh
pancaindra
pendheman
persembahan binatang kurban berupa seekor kerbau
pradaks i n
berjalan keliling searah jarum jam
prsda
bangunan candi
pr thivi/pr t hvi
yang luas atau diperluas, bumi; bumi sebagai unsur;
tanah; pertiwi
purn a
langgam teks-teks Sanskerta
purus amedha
persembahan manusia sebagai kurban
rks asa
makhluk jahat atau bhuta
ratna
permata
r s i
orang kudus atau orang bijaksana; seorang petapa atau
seorang yang lengser dari kedudukannya (beberapa
tarekat disebutkan antara lain Devar s i, Brahmar s i,
Rjar s i, Mahr s i, dll)
rudra
dewa-dewi yang mengerikan
aiva
yang berkenaan dengan iva; seorang pemuja iva
aiva Siddhnta sastra bahari dari sekte-sekte aiva; nama dari salah
satu sekte aiva tertentu
aka
kurun waktu dalam tawarikh atau perhitungan waktu
India; sebuah sistem penanggalan yang lazimnya
digunakan dalam prasasti-prasasti Indonesia
sagha
paguyuban;
dalam
Buddhisme
menunjukkan
perkumpulan para biarawan
akha
kerang dewa
sarga
bagian, bab, buku, bait (khususnya dalam sebuah syair
kepahlawanan)
sattva
makhluk hidup; ciptaan; daya sentripetal dari kohesi/
perpaduan (lihat juga tamas)
siddha
tercapai; berhasil; dikaruniai dengan kemampuankemampuan adikodrati; keramat
siddhaytra/
kekuatan gaib
siddhiytra

31
0

Daftar kata

ikhara
sila
ilpastra
ilpin
rvatsa
stpa
stpi(ka)
ukla (paks a )
sryasavena
svastika

tamas

tambak/tamwak
Tn d ava
tantra
Tantrisme

tapas
trtha
Trimrti
Triratna

bubungan, menara, puncak, ujung yang menjulang;


menara menjulang dalam bangunan India
posisi sedang duduk dengan kaki berlipat dan bersilang
langgam teks-teks Sanskerta pada barang-barang
kerajinan, seni rupa dan seni bangunan
tukang, juru bangunan, seniman
ciri atau tanda keberuntungan yang melambangkan
orang terkemuka, atau menandai kedudukan ilahi
monumen, agoba Buddhis (sering kali berbentuk
genta)
hiasan puncak menyerupai sungkup atau berbentuk
jambangan
terang, paruh peredaran bulan dari bulan baru hingga
purnama
pemujaan kepada matahari
tanda atau motif gaib lambang keberuntungan berbentuk
salib dengan silang-silang membengkok dalam sudut
siku-siku
kegelapan,
keterpecahan,
keterpencaran,
kelembaman kekuatan sentrifugal yang berujung pada
keterpecahan (lihat juga sattva)
kolam, tebat
tarian kosmis iva tentang penciptaan dan peng
hancuran
bagian/bab, teks; ajaran rahasia
ajaran-ajaran rahasia Hinddu atau Buddhis; bentukbentuk terkembangkan dari Hinduisme dan Buddhisme
Mahyna ketika praktik-praktik sihir sangat mencolok
kehangatan, panas; panas yang dihasilkan oleh praktikpraktik tapa brata, khususnya kemurnian/pertarakan
arung, penyeberangan, perlintasan, titik suci; lebih luas:
tempat pemandian keramat, kolam, air suci
triade dewata Hindu yang terdiri atas Brahm, Vis n u
dan iva
Tiga permata, istilah yang merujuk pada Buddha,
Dharma dan Sagha

311

Memuji Prambanan

trila
upga

Upanis ad
upavta
utpala
vhana
vajra

Vajrayna
vara(da)mudr
vstupurus a
Veda

Vedavysa
vidydhara/
vidydhari
wayang
wayang kulit
yaks a
yoga

tombak bermata tiga


anggota tubuh tambahan atau bagian-bagian yang
membentuk kesatuan dari Agas, sebuah istilah yang
digunakan dalam kaitan dengan tarian India
sebuah kumpulan teks India kuno, teks-teks Veda yang
berisikan ajaran-ajaran rahasia
dawai suci; dawai Brahmanik
bunga teratai biru
wahana atau binatang tunggangan seorang dewa
petir/halilintar; berlian, senjata suci; sebuah istilah
simbolis dalam Tantrisme yang merujuk pada ke
berkanjangan serta daya terobos/daya gugah dari kebi
jaksanaan
wahana vajra, sinonim dengan Buddhisme Mantrayna
atau Tantrayna
posisi tangan, telapak tangan terbuka menghadap keluar;
sikap sedang mengabulkan permohonan
arketipe atau rancangan ideal sebuah rumah atau bangun
an yang dipersonifikasikan sebagai seorang dewa
pengetahuan, sebuah istilah yang dikenakan secara
khusus pada pengetahuan suci tertinggi yang termuat
dalam empat kumpulan (samhit) doa dan kidung India
yang terdiri atas Rgveda, Smaveda, Yajurveda dan
Atharvaveda. Juga termasuk dalam kumpulan teks Veda
ini adalah berbagai Brman a (risalah tentang upacara
suci), yang ditambahkan pada teks-teks di atas, serta
berbagai ran yaka dan Upanis ad (spekulasi metafisis
dan filosofis tentang realitas tertinggi)
penyusun, editor atau pengumpul teks-teks Veda
pembawa kebijaksanaan, roh kayangan nan dermawan
yang sangat cantik, bidadari
jenis pementasan Jawa
pementasan wayang Jawa
kelompok makhluk setengah dewa; roh-roh pelindung
praktik pemusatan pikiran atau meditasi abstrak; upaya

312

Daftar kata

yogi
yoni
yuga

yang dituntut agar menggapai kesatuan antara jiwa


individual dan Jiwa Kosmis atau Wujud Tertinggi
praktisi yoga
vagina, dalam arca Hindu, tumpuan untuk sebuah lin ga
ukuran waktu; salah satu dari empat kurun waktu atau
zaman keberadaan dunia (yaitu kr ta, tret, dvpara,
kali)

313

Daftar pustaka

Aichele, W.
1969
Amerta
1952
Annual Report
1911
Anom, I.G.N.
1991
[1992]
[1993]
Auboyer, J.
1951
Ayatrohaedi et al.
1981
Bastin, J.
1953
Baumgartner, A.
1894

Vergessene Metaphern als Kriterien der Datierung des altjavanischen


Rmyan a , Oriens Extremus 16:127-67.
Amerta; Warna Warta Kepurbakalaan 1. [Djakarta]: Dinas Purbakala
Indonesia. [Cetakan ulang 1985 sebagai Amerta; Berkala Arkeologi
1 oleh Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Jakarta.]
Annual Report 1910-1911; Archaeological Survey of India. Calcutta:
Superintendent Government Printing.
Album peninggalan sejarah an purbakala. Jakarta: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan.
(ed.) Cani Sewu; Sejarah an pemugarannya. Yogyakarta: Suaka
Peninggalan Sejarah dan Purbakala Jawa Tengah.
(ed.) Cani Wahana; Pelestarian an pemanfaatan. [Yogyakarta]:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Art et styles e lIne. Paris: Larousse.
Kamus istilah arkeologi I, Jakarta: Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Colonel Colin Mackenzie and Javanese antiquities, Bijragen tot e
Taal-, Lan- en Volkenkune 109:273-5.
Das Rmyan a un ie Rma-literatur er Iner; Eine
literaturgeschichtliche Skizze. Freiburg: Herder.

Behrend, Timothy
1989
Kraton and cosmos in traditional Java, Archipel 37:173-87.
Bernet Kempers, A.J.
1949
De oudheidkundige dienst in en na de oorlog, Tijschrift voor
Inische Taal-, Lan- en Volkenkune (TBG) 83:286-300.
1954
Oudheidkundig werk in Indonesi na de oorlog, Inonesi 7:481513.
1955a
Bali Purbakala; Petunjuk tentang peninggalan2 purbakala i Bali.
Djakarta: Penerbitan dan Balai Buku Indonesia. [Seri Tjandi 2.]
[Cetakan ulang 1960, Djakarta: Ichtiar.]
1955b
Prambanan, 1954, Bijragen tot e Taal-, Lan- en Volkenkune
111: 6-37.
1959
Ancient Inonesian art. Amsterdam: Van der Peet.

314

1978

Herstel in eigen waare; Monumentenzorg in Inonesi. Zutphen:


Walburg.
Bernet Kempers, A.J. dan R. Soekmono
1954
Kalasan an Sari. Jakarta: Balai Buku Indonesia. [Seri Tjandi 1.]
Bhandarkar, R.G.
1913
Vaisnavism, aivism and minor religious systems, Grunriss er
Ino-Arischen Philologie un Altertumskune (Encyclopeia of InoAryan Research) III. Band, 6. Heft, hlm. 1-170. Strassburg: Trbner.
Bhattacharya, Kamaleswar
1955
La secte des Pupata dans lancien Cambodge, Journal Asiatique
243: 479-90.
1961
Les rligions brahmaniques ans lancien Camboge aprs
lpigraphie et liconographie. Paris: cole Franaise dExtrmeOrient.
1973
LAtman-Brahman ans le Bouhisme ancien. Paris: cole Franaise
dExtrme-Orient.
Bhattacharya, S.K.
1978
Krs n a-cult. New Delhi: Associated Publishing House.
Bhattacharyya, Benoytosh
1958
The Inian Buhist iconography mainly base on the Shanaml
an other cognate Tantric texts of rituals. Edisi revisi kedua. Kalkuta:
Mukhopadhyay. [Diterbitkan pertama kali pada tahun 1924, London:
Oxford University Press.]
Blom, J.R. van
1935
Tjani Sajiwan. Leiden/Amsterdam: Stenfert Kroese. [Tesis PhD
Rijksuniversiteit Leiden.]
Boechari
1965
Epigraphy and Indonesian historiography, dalam: An introuction
to Inonesian historiography, hlm. 47-74. Ithaca: Cornell University
Press.
1978
Bahan kajian arkeologi untuk pengajaran sejarah, Majalah Arkeologi
1:3-26.
1982
Aneka catatan epigrafi dan sejarah kuna Indonesia, Majalah
Arkeologi 5:15-38.
Bonheur, Albert le
1971
La sculpture inonsienne au Muse Guimet; Catalogue et tue
iconographique. Paris: Presses Universitaire de France.
Bosboom, H.D.H.
1903
Tempelwachters te Prambanan?, Bijragen tot e Taal-, Lan- en
Volkenkune 55:281-2.
Bosch, F.D.K.
1920a
Een hypothese omtrent den oorsprong der Hindoe-Javaansche
kunst, dalam: Hanelingen van het Eerste Congres van Taal-, Lanen Volkenkune van Java, Solo 25-26 Desember 1919, hlm. 93119. Weltevreden: Albrecht. [Dicetak ulang dalam bahasa Inggris,
1924.]
1920b
De inscriptie op het Aksobya-beeld van Gondang-Lor, Tijschrift
voor Inische Taal-, Lan- en Volkenkune (TBG) 59:498-528.
1921
De inscriptie op het Majur-beeld van 1265 Saka, dalam: Verslag
van het Eerste Congres van het Oostersch Genootschap, hlm. 46-7.
Leiden: Brill.
God Brahm omringd door Mhar s is (Epigrafische en
1923
iconografische
aanteekeningen), Ouheikunig Verslag 1922:66-70.
1924
A hypothesis as to the origin of Indo-Javanese art, Rupam 17:6-41.

31
5

Memuji Prambanan

1928
1929a
1929b
1939
1946
1952
1954
1958
1959
1961a
1961b

Braginsky, V.I.
1983
1993
Brandes, J.
1904
Brockington, J.L.
1984
Bronson, Bennet
1977

Brumund, J.F.G.
1853-54
1868

De inscriptie van Kloerak, Tijschrift voor Inische Taal-, Lanen Volkenkune (TBG) 68:1-65.
[Resensi:] W.F. Stutterheim; A Javanese period in Sumatran
history, Surakarta: 1929, Tijschrift voor Inische Taal-, Lan- en
Volkenkune (TBG) 69:135-56.
Buddhistische gegevens uit Balische handschriften, Meeeelingen
van e Koninklijke Neerlanse Akaemie van Wetenschappen 68:4377.
De relifreeks aan de voorzijde der eerste balustrade van
Baraboedoer, dalam: Verslag van het Negene Congres van het
Oostersch Genootschap, hlm. 31-2. Leiden: Brill.
Het vraagstuk van e Hinoe-kolonisatie van en archipel. Leiden:
Stenfort Kroese. [Pidato pengukuhan.]
Local genius en Oud-Javaanse kunst, Meeeelingen er
Koninklijke Akaemie van Wetenschappen, Afeling Letterkune 151:1-26.
Uit de grensgebieden tussen Indische invloedsfeer en oud-inheems
volksgeloof op Java, Bijragen tot e Taal-, Lan- en Volkenkune
110:1-19.
[Resensi:] J.G. de Casparis, Prasasti Indonesia II, Bandung, 1956,
Bijragen tot e Taal-, Lan- en Volkenkune 114:306-19.
On some groups of Yaks a figures in Indonesian and Khmer art,
Artibus Asi 22:227-39.
[Resensi:] Alastair Lamb, Chandi Bukit Batu Pahat; Idem: Chandi
Bukit Batu Pahat; Three additional notes, Bijragen tot e Taal-,
Lan- en Volkenkune 117:485-91.
The problem of the Hindu colonisation of Indonesia [Terjemahan
pidato pengukuhan pada tahun 1946], dalam: Selecte Stuies in
Inonesian archeology, hlm. 3-23. The Hague: Nijhoff. [KITLV,
Translation Series 5.].
Istorya Malayskoy literartury VII-XIX Vekov (Sebuah sejarah
kesusastraan Melayu aba ke-7 sampai aba ke-9). Moskva: Nauka.
The system of classical Malay literature. Leiden: KITLV Press.
[Working Papers 11.]
De waarde van tjandi Prambanan tegenover de andere oudheden
van Java, en een hartig woord over de deblayeering, Tijschrift voor
Inische Taal-, Lan- en Volkenkune (TBG) 47:414-32.
Righteous Rma, the evolution of an epic. Delhi: Oxford University
Press.
Angkor, Anuradhapura, Prambanan, Tikal: Maya subsistence in
Asian perspective, dalam: P.D. Harrison dan B.L. Turner (ed.), PreHispanic Maya agriculture, hlm. 255-300. Albuquerque: University
of New Mexico.
Iniana; Verzameling van stukken van onerscheien aar, over
lanen, volken, ouheen en geschieenis van en Inischen archipel.
Amsterdam: Van Kampen. 2 jilid.
Bijdrage tot de kennis van het hindoesme op Java, Verhanelingen
van het Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen
33:1-310.

316

Daftar pustaka

Casparis, J.G. de
1950
1956
1958
1964
Chandra, Lokesh
1967
1986
1989

Prasasti Inonesia I; Inscripties uit e ailenra-tij. Bandung: Nix.


Prasasti Inonesia II; Selecte inscriptions from the 7th to the 9th
century AD. Bandung: Masa Baru.
Short inscriptions from Tjani Plaosan Lor. Djakarta: Dinas
Purbakala. [Bulletin of the Archaeological Service of Indonesia 4.]
New evidence on cultural relations between Java and Ceylon in
ancient times, Artibus Asi 24:241-8.
Unto the iva temple of Indonesia, Bulletin of the Institute of
Traitional Cultures in Maras 2:246-52.
Cultural contacts of Indonesia and Sri Lanka in the eight century and
their bearing on the Barabudur, Journal of the Asiatic Society 28:3856.
Preface, in: W.F. Stutterheim, Rma-legens an Rma-reliefs in
Inonesia, hlm. xi-xx. Delhi: Abhinav.
Christie, Jan Wisseman
1992
Water from the ancestors; Irrigation in early Java and Bali, dalam: J.
Rigg (ed.), The gift of water; Water management, cosmology an the
state in South East Asia, hlm. 7-26. London: School of Oriental and
African Studies, University of London.
Coeds, G.
1934
On the origin of the ailendras of Indonesia, Journal of the Greater
Inian Society 1-2:61-71.
1959
Linscription de la stle de Ligor; tat prsent de son interpretation,
Oriens Extremus 6:42-8.
1968
The Inianize states of Southeast Asia. Honolulu: The University
Press of Hawaii. [Diedit oleh Walter F. Vella, diterjemahkan oleh
Susan Brown Cowing.]
Cohn, W.
1921
Inische Plastik. Berlin: Cassirer.
Colebrooke, H.T.
1837
Miscellaneous essays. London: Allen. 2 jilid.
Coleman, Ch.
1832
The mythology of the Hinus, with notices of the various mountain
an islan tribes inhabiting the two peninsulas of Inia an the
neighbouring islans; An an appenix comprising the minor
avatars, an the mythological an religious terms, etc. of the Hinus;
With plates illustrative of the principal Hinu eities, etc. London:
Colless, Brian E.
Parbury.

1970

Walaing and the ailendras of Java, Journal of the Oriental Society


of Australia 7:15-22.
Coomaraswamy, Ananda K.
1927
History of Inian an Inonesian art. London: Goldston.
1986
Hinuism an Buhism. New Delhi: Munshiram Manoharlal. [Edisi
India kedua; Edisi pertama 1943.]
Cowell, E.B.
1901
The Jtaka or stuies of the Buhas former births. Jilid ke-4.
Cambridge: Cambridge University Press.
Crawfurd, J.
1820a
The ruins of Prambanan in Java. Asiatick Researches 13:337-68.
1820b
History of the Inian archipelago, containing an account of the

31
7

Memuji Prambanan

manners, arts, languages, religions, institutions, an commerce of its


inhabitants. Edinburgh: Constable. 2 jilid.
1856
A escriptive ictionary of the Inian islans an ajacent countries.
London: Bradbury.
Cultureel Nieuws Inonesi
1954
Oudheidkunde-nummer, Cultureel Nieuws Inonesi 36-37:1095168.
Damais, L.-Ch.
1952
tudes dpigraphie indonsienne III; Liste des principales
inscriptions dates de lIndonsie, Bulletin e lcole Franaise
Extrme-Orient 46:1-105.
1968
Bibliographie indonsienne, Bulletin e lcole Franaise
Extrme-Orient 54:295-522.
Dhring, K.
1923
Siam. Darmstadt: Folkwang. 3 jilid. [Der Indische Kulturkreis in
Einzelndarstellungen.]
Drewes, G.W.J.
1925
Drie Javaansche goeroes, hun leven, onerricht en Messiaspreiking.
Leiden: Vros. [Tesis PhD Rijksuniversiteit Leiden.]
Dumaray, Jacques
1954
Les charpentes figures de Prambanan, Archipel 7:139-150.
1981
Cani Sewu et larchitecture bouhique u centre e Java. Paris:
cole Franaise dExtrme-Orient. [Mmoires Archologiques 14.]
1986a
Cani Sewu an arsitektur bangunan agama Bua i Jawa Tengah.
Jakarta: Puslit Arkenas.
1986b
Lespace architectural indo-javanais, Archipel 31:73-85.
1986c
The temples of Java. Singapore: Oxford University Press.
[Diterjemahkan dan diedit oleh Michael Smithies].
1991
Borobuur. Kuala Lumpur: Oxford University Press. [Diedit dan
diterjemahkan oleh Michael Smithies; Diterbitkan pertama kali
tahun 1986.]
1993
Histoire e larchitecture e Java. Paris: cole Franaise dExtrmeOrient. [Mmoires Archologiques 14.]
1994
The beamwork illustrated at Prambanan, Inonesia 57:5-14.
Dutt, Nalinaksha
1978
Mahyna Buhism. Delhi: Motilal Banarsidass.
Dwiyanto, Djokjo
1986
Pengamatan terhadap data kesejarahan dari prasasti Wanua Tengah
III tahun 908 M., dalam: Pertemuan Ilmiah Arkeologi 4-IIa, hlm. 92111. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.
Echols, J.M. dan Hassan Shadily
1990
Kamus Inonesia-Inggris; An Inonesian-English ictionary. Edisi
ketiga. Jakarta: Gramedia. [Edisi pertama 1961.]
Eerde, J.C. van
1911
Hindu-Javaansche en Balische eeredienst, Bijragen tot e Taal-,
Lan- en Volkenkune 65:1-39.
Eliade, Mircea
1976
The world, the city, the house, dalam: M. Eliade (ed.), Occultism,
witchcraft an cultural fashions; Essays in comparative religions,
hlm.18-31. Chicago: University of Chicago Press.
Encyclopeie
1982
De grote Winkler Prins encyclopeie in 25 elen. Edisi ke-8.
Amsterdam/Brussel: Elsevier. [Edisi pertama 1870-1882.]

31
8

Daftar pustaka

Ensink, J.
1978

Erp, Th. Van


1903
1909
1911

1917
1921
1923
1926

1927
1931
1943a
1943b
1943c
Fontein, Jan
1989

1990
1997

Friederich, R.
1854-57

iva-Buddhism in Java and Bali, dalam: H. Bechert (ed.), Buhism


in Ceylon an stuies on religious syncretism in Buhist countries;
Report on a symposium in Gttingen, hlm. 178-99. Gttingen:
Vandenhoeck and Ruprecht.
Verslag betreffene e herstelling er nevencellas van en hooftempel
van Prambanan. [Laporan yang tidak diterbitkan.]
Hindu monumental art in Central Java, dalam: A. Wright (ed.),
Twentieth century impressions of Netherlans Inia, hlm. 136-72.
London: Lloyd.
Vondst van een merkwaardige Garuda van de Prambanan-vlakte,
dalam: Rapporten van e commissie in Neerlansch-Ini voor
ouheikunig onerzoek op Java en Maoera, hlm. 74-6. Batavia:
Albrecht.
Eenige mededeelingen betreffende de beelden en fragmenten van
Boroboedoer in 1896 geschonken aan Z.M. den Koning van Siam,
Bijragen tot e Taal-, Lan- en Volkenkune 73:285-310.
Het ornament in de Hindoe bouwkunst op Midden Java, dalam:
Verslag van het Eerste Congres van het Oostersch Genootschap, hlm.
10-2. Leiden: Brill.
Hindu-Javaansche beelden thans te Bangkok, Bijragen tot e Taal, Lan- en Volkenkune 73:285-310.
Overzicht van bedenkingen tegen de details der op het terrein
uitgevoerde reconstructies van den iwa-tempel van Prambanan,
dalam: Verslag van e commisie van avies inzake e restauratie er
Hinoe-Javaansche monumenten, nopens e reconstructie van en
iwatempel te Prambanan, hlm. 25-34. Weltevreden: Kolff.
Nog eens de Hindu-Javaansche beelden te Bangkok, Bijragen tot
e Taal-, Lan- en Volkenkune 83:503-13.
Bouwkunige beschrijving; Beschrijving van Barabuur, disusun oleh
N.J. Krom dan T. van Erp, jil. 2. s-Gravenhage: Nijhoff. [KITLV.]
Een prachtige Wanaspati in het Rijkmuseum voor Volkenkunde te
Leiden, Maanbla voor Beelene Kunsten 20:69-72.
Iets over de verlichting der cella van Hindoe-Javaansche
heiligdommen, Maanbla voor Beelene Kunsten 20:145-54.
De Indische geluksgodin met de olifant, Maanbla voor Beelene
Kunsten 20:190-20, 214-6.
The law of cause an effect in ancient Java. Amsterdam: NorthHolland Publishing Company. [Verhandelingen Koninklijke
Nederlandse Akademie van Wetenschappen, Afdeling Letterkunde,
Nieuwe Reeks 140.]
The sculpture of Inonesia. Washington: National Gallery of Art.
Preliminary notes on the narrative reliefs of Candi Brahm and
Candi Vis n u at Loro Jonggrang, Prambanan, dalam: Natasha
Eilenberg, M.C. Subhadradis Diskul, Robert L. Brown (ed.), Living
a life in accor with Dhamma: Papers in honor of Professor Jean
Boisselier on his eightieth birthay, hlm. 191-204. Bangkok:
Silpakorn University.
Over inscriptin van Java en Sumatra voor het eerst ontcijferd,
Verhanelingen van het Bataviaasch Genootschap van Kunsten en
Wetenschappen 26:1-99.

31
9

Memuji Prambanan

1876
Garbe, R.
1917

Rapport over reizen gedaan op Java, Tijschrift voor Inische Taal-,


Lan- en Volkenkune (TBG) 23:42-111.

Die Smkya-Philosophie; Eine Darstellung es Inischen


Rationalismus. Leipzig: Haessel.
Gericke, J.F.C. dan T. Roorda
1901
Javaansch-Neerlansch hanwoorenboek. Amsterdam Mller,
Leiden: Brill. 2 jilid.
Ghosh, Mallar
1980
Development of Buhist iconography in Eastern Inia; A stuy of
Tr, Prajs of five Tathgatas an Bhrikut
. New Delhi: Munshiram
Manoharlal.
Gomez, Luis O.
1987
Buddhism in India, dalam: Mircea Eliade (ed.), The encyclopeia of
religion, jilid ke-2, hlm. 351-85. New York: Macmillan.
Gonda, J.
1970
Karman and retributive justice in ancient Java, in H.B. Sarkar
(ed.), R.C. Majumar felicitation volume, hlm. 225-37. Calcutta:
Mukhopadhyay.
Goris, R.
1926
Bijrage tot e kennis er Ou-Javaansche en Balineesche Theologie.
[Tesis Ph.D. Rijksuniversiteit Leiden.]
Groeneveldt, W.P.
1887
Catalogus er archaeologische verzameling van het Bataviaasch
Genootschap van Kunsten en Wetenschappen. Batavia: Albrecht.
Groneman, J.
1887
De Vereeniging voor Oudheid-, Land- Taal- en Volkenkunde te
Jogjakarta, en de Tjandi Parambanan, Inische Gis 9,II:1426-46.
1893
Tjani Parambanan op Java, na e ontgraving; Met lichtrukken
van Cephas. Leiden: Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en
Volkenkunde van Nederlandsch-Indi.
Grnwedel, A.
1900
Mythologie es Buhismus in Tibet un er Mongolei; Fhrer urch
ie lamaistische Sammlung es Frsten E. Uchtomsky. Leipzig:
Brockhaus.
Gupta, S., D.J. Hoens dan T. Goudriaan
1979
Hinu Tantrism. Leiden/Kln: Brill. [Handbuch der Orientalistik, II.
Abt., 4 Band, 2 Abschnitt.]
Hardjowardojo, R.P. Pitono
1967
Prambanans temples honour Hindu deities, Hemisphere 11(12):104.
Heine-Geldern, Robert von
1930
Weltbild und Bauform in Sdostasien, Wiener Beitrge zur Kunstun Kulturgeschichte Asiens 4:28-79.
1967
The cosmological foundations of Southeast Asian architecture,
Journal of the Historical Society of Singapore 2:50-3.
Helfritz, H.
1979
Inonesi; Kunst en kultuur van Java, Sumatra, Bali en Sulawesi. De
Bilt: Cantecleer. [Aslinya diterbitkan di Jerman, Kln: Dumont,
1977.]
Hillebrandt, A.
1921
Klisa; Ein Versuch zu seiner literarischen Wrigung. Breslau:
Marcus.

320

Daftar pustaka

Hoepermans, N.W.
1914
Hovell, W.R. van,
1849
Holt, Claire
1967

Huntington, S.L.
1985
Jahn, W.
1908

Jochim, E.F.
1913
Jordaan, Roy E.
1989
1991a
1991b
1991c
1992
1993
1995

Hinloopen Labberton, D. van


1921
Oud-Javaansche gegevens omtrent de vulkanologie van Java,
Djw 1:185-201.
Hindoe-oudheden van Java, dalam: Rapporten van en
Ouheikunigen Dienst in Neerlansch-Ini (ROD) 1913, hlm. 73355. Batavia: Albrecht.
Reis over Java, Maura, en Bali, in het mien van 1847. Amsterdam:
Van Kampen.
Art in Inonesia; Continuities an change. Ithaca: Cornell University
Press.
Hoop, A.N.J. Thomassen Thuessink van der
1949
Inonesische siermotieven (Ragam-ragam perhiasan Inonesia;

Inonesian ornamental esign). Bandoeng: Nix. [Koninklijk


Bataviaasch Genootschap voor Kunsten en Wetenschappen.]
The art of ancient Inia. New York: Weatherhill.
Das Saurapurnam; Ein Kompenium sptinischer Kulturgeschichte
un es ivaimus. Strassburg: Trbner.
Prambanan en omliggende tempels, Tijschrift voor Inische Taal-,
Lan- en Volkenkune (TBG) 55:470-514.
A holy water sanctuary at Prambanan, Amerta; Berkala Arkeologi
11:17-41.
Text, temple, tirtha, dalam: Lokesh Chandra (ed.), The art an
culture of South-East Asia, hlm. 165-81. Delhi: Aditya Prakashan.
Ancient Javanese temple ruins identified, Review of Inonesian an
Malaysian Affairs (RIMA) 25:64-74.
Mengenal deskripsi reruntuhan candi di dalam karya sastra Jawa
kuno, Majalah Arkeologi 7-1:3-21.
Srya and Nairr ta on the iva temple of Prambanan, Bijragen tot e
Taal-, Lan- en Volkenkune 148:59-67.
Imagine Buha in Prambanan; Reconsiering the Buhist
backgroun of the Loro Jonggrang temple complex. Leiden: Vakgroep
Talen en Culturen van Zuidoost-Azi en Oceani. [Semaian 7.]
Prambanan 1995; A hypothesis confirmed [Report on a journey to
Java.], IIAS Newsletter 6:37.
Jordaan, Roy E. dan Edi Sedyawati
1990
Some iconographic notes on the iva temple of Prambanan, Archipel
40:15-23.
Juynboll, Th.W.
1930
Hanleiing tot e kennis van e Mohammeaansche wet volgens e
leer er Sjafiitische school. Leiden: Brill.
Kaelan
1960
Tjani Lara Djonggrang; Petunjuk singkat. Jogjakarta: Tjabang
Bagian Bahasa Kebudajaan, Dep. P.P. & K.
Kat Angelino, P. De
1922
Muras op Bali; Hanhouingen er priesters. s-Gravenhage/Hagen:
Folkwang.

321

Memuji Prambanan

Kats, J.
1910
1925
Kern, H.
1888

1916
1917
Khanna, Amar Nath
1992

Sang hyang Kamahynikan; Ou-Javaansche tekst met inleiing,


vertaling en aanteekeningen. s-Gravenhage: Nijhoff.
Het Rmyana op Javaansche tempel reliefs; The Ramayana as
sculpture in reliefs in Javanese temples. Batavia: Kolff.
Over de vermenging van ivasme en Buddhisme op Java, naar
aanleiding van het Oudjavaansch gedicht Sutasoma, Verslagen en
Meeeelingen er Koninklijke Akaemie van Wetenschappen,
Afdeling Letterkunde, Seri 3, 5:150-77.
Over den vermoedelijken oorsprong der Nga-vereering, Bijragen
tot e Taal-, Lan- en Volkenkune 72:395-8.
Het Sanskrit-opschrift te Tugu (distr. Bekasih, Batavia); 450 A.D.,
dalam: H. Kern, Verspreie geschriften 7, hlm. 129-38. s-Gravenhage:
Nijhoff.
Archaeology of Inia; Retrospect an prospect. Edisi revisi kedua.
New Delhi: Clarion. [Edisi pertama 1981.]
Khanna, Vinod dan Malini Saran
1993
The Rmyan a Kakawin; A product of Sanskrit scholarship and
independent literary genius, Bijragen tot e Taal-, Lan- en
Volkenkune 149:226-49.
Klokke, Marijke J.
1993
The Tantri reliefs on ancient Javanese cani. Leiden: KITLV Press.
[Verhandelingen 153.]
Knebel, J.
1911
Inventarisatie der Hindoe-oudheden in de vlakten van Prambanan en
Saregedoeg (Residentie Jogjakarta en Soerakarta) met beschrijving
van de steenen Hindoe-beelden, behalve de reeds beschrevene in de
rapporten der Oudheidkundige Commisie in 1902 (Archaeologische
verzameling ter hoofdplaats Jogjakarta en op het erf van den Heer
E. Krag , aldaar, 305 en 29 nummers), dalam: Rapporten van e
commissie in Neerlansch-Ini voor ouheikunig onerzoek op
Java en Maoera 1909, hlm. 20-138. Batavia: Albrecht.
Kompas
1990a
Penemuan 13 kg perhiasan emas kuno di Klaten, Kompas; Harian
untuk Umum 26-122:1, 11.
1990b
Emas kuno itu memendam sejarah, Kompas; Harian untuk Umum
26-161:1.
1993
Penemuan prasasti di Borobudur, mata rantai sinkretisme

Kramrisch, Stella
1946
1976
Krom, N.J.
1920
1923a
1923b
1924
1927
1931a

keagamaan, Kompas; Harian untuk Umum 29-20:16.


The Hinu Temple. Calcutta: University of Calcutta. 2 jilid.
The Hinu Temple. Delhi: Motilal Banarsidass. 2 jilid.
Inleiing tot e Hinoe-Javaansche kunst. s-Gravenhage: Nijhoff. 3
jilid.
Inleiing tot e Hinoe-Javaansche kunst. s-Gravenhage: Nijhoff. 3
jilid. [Edisi revisi kedua.]
Het oue Java en zijn kunst. Haarlem: Bohn.
Over het ivasme van Midden-Java, Meeeelingen er Koninklijke
Akaemie van Wetenschappen, Afeling Letterkune 58(B):199-226.
Barabuur; Archaeological escription. The Hague: Nijhoff. 2 jilid.
Beschrijving van Barabuur. Disusun oleh N.J. Krom dan T. van Erp.

32
2

Daftar pustaka

s-Gravenhage: Nijhoff. 3 jilid.


Hinoe-Javaansche geschieenis. Cetakan kedua. s-Gravenhage:
Nijhoff. [Cetakan pertama 1926.]
1939
Indisch en Indonesisch, Jaarboek Koninklijke Akaemie van
Wetenschappen, Afeling Letterkune, hlm. 185-201. Amsterdam:
Koninklijke Akademie van Wetenschappen.
Kuntara Wiryamartana, I.
1992
The sea in Old Javanese literature, dalam: V.J.H. Houben, H.M.J.
Maier dan W. van der Molen (ed.), Looking in o mirrors; The Java
sea, hlm. 97-112, Leiden: Vakgroep Talen en Culturen van ZuidoostAzi en Oceani. [Semaian 5.]
Lamb, A.
1960a
Chani Bukit Batu Pahat; A report on the excavation of an ancient
temple in Keah. Singapore: Eastern Universities Press. [Monograph
on Southeast Asian Subjects 1.]
1960b
Report on the excavation and reconstruction of Chandi Bukit Batu
Pahat, Central Kedah, Feeration Museums Journal, New Series 5:1108.
1961
Chani Bukit Batu Pahat; Three aitional notes. Singapore: Eastern
Universities Press. [Papers on Southeast Asian Subjects 5.]
Laporan
1952
Laporan tahunan Dinas Purbakala Inonesia. 1950. Djakarta: Dinas
Purbakala Indonesia.
1993
Laporan pembenahan halaman pusat Cani Prambanan tanggal
15 Juni s/ 15 September 1993. [Bogem: Panitia Pemugaran Candi
Wahana Lorojonggrang Prambanan Daerah Istimewa Yogyakarta,
Dinas Purbakala.]
Leemans, C.
1855
Javaansche temples bij Prambanan, Bijragen tot e Taal-, Lanen Volkenkune 3:1-26.
1873
Br-Boeoer op het eilan Java, afgebeel oor en oner toezigt
van F.C. Wilsen, met toelichtenen en verklarenen tekst, naar
e geschreven en gerukte verhanelingen van F.C. Wilsen, J.F.G.
Brumun en anere bescheien, bewerkt en uitgegeven op last van
Zijne Excellentie en Minister van Kolonin. Leiden: Brill. 4 jilid.
Lvi, Sylvain
1903
La lgende de Rma dans un avadna Chinois, dalam: Album Kern,
hlm. 279-81. Leiden: Brill.
Liebert, Gsta
1976
Iconographic ictionary of the Inian religions: Hinuism, Buhism,
Jainism. Leiden: Brill.
Liere, W.J. van
1980
Traditional water management in the Lower Mekong basin, Worl
Archaeology 11-3: 265-80.
Lillie, A.
1881
Buha an early Buhism. London: Trbner.
Lohuizen-de Leeuw, J.E. van
1955
The Dikplakas in ancient Java, Bijragen tot e Taal-, Lan- en
Volkenkune 111:356-84.
1956
South-East Asian architecture and the stpa of Nandagarh, Artibus
Asi 19:279-91.
1957
The ancient monastery at Phrpur, Antiquity an Survival 2-1:2943.
1980
The stpa in Indonesia, dalam A.L. Dallapiccola dan Stephanie
1931b

323

Memuji Prambanan

Lorenzen, David N.
1972
1989
Lulius van Goor, M.
1919
1929

Zingel-Ave Lallemant (ed.), The stpa; Its religious, historical, an


architectural significance, hlm. 277-300. Wiesbaden: Steiner.
The Kplikas an Klmukhas; Two lost ivaite sects. Berkeley:
University of California Press.
New data on the Kplikas dalam: A. Hiltebeitel (ed.), Criminal gos
an emon evotees; Essays on the guarians of popular Hinuism,
hlm. 231-8. Albany: State University of New York Press.

Mabbett, I.W.
1982
Mackenzie, C.
1814

Korte gis voor tempelbouwvallen in e Prambanan-vlakte, het Dingplateau en Geong Sanga. Weltevreden: Landsdrukkerij. Prambanan,
dalam: Fourth Pacific Science Congress, Java 1929; Excursion guies.
Buitenzorg: Archipel. [Diterjemahkan dari bahasa Belanda oleh H.S.
Banner.]
A sketch of Mount Meru. Makalah yang disiapkan untuk Asosiasi
Studi Asia di Australia, Konferensi Nasional IV, Monash University
10-14 Mei.

Narrative of a journey to examine the remains of an ancient city and


temples at Brambana in Java, Verhanelingen van het Bataviaasch
Genootschap van Kunsten en Wetenschappen 7:1-54.
Maras Epigraphical Report
1914
Maras epigraphical report for the year 1914. Madras: Government
Press.
Mnava Dharma-stra
1887
Mnava Dharma-stra; The coe of Manu original Sanskrit text
critically eite accoring to the stanar Sanskrit commentaries,
with critical notes by J. Jolly. London: Trbner.
Martowikrido, Wahyono
1994
The gold of Wonoboyo, dalam: W.H. Kal (ed.), Ol Javanese
gol (4th-15th century); An archaeometrical approach, hlm. 30-46.
Amsterdam: KIT-Tropenmuseum.
Mengenal Cani Sambisari
[s.a.]
Mengenal Cani Sambisari. [Yogyakarta:] Suaka Peninggalan Sejarah
dan Purbakala, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Miksic, J.
1990
Borobuur; Golen tales of the Buhas. Berkeley/Singapore:
Periplus.
1994
[Resensi terhadap:] Roy E. Jordaan, Imagine Buddha in Prambanan,
Leiden 1993, Journal of Southeast Asian Stuies, 25-2:442-4.
Mitchell, G.
1977
The Hinu temple; An introuction to its meaning an forms. London:
Elek.
Moens, J.L.

1924
1953
Moertjipto et al.
1991

Het Buddhisme op Java en Sumatra in zijn laatse bloeiperiode,


Tijschrift voor Inische Taal-, Lan- en Volkenkune (TBG) 64:52180.
Lara Djonggrang en Prambanan; Van een sprookje dat werkelijkheid
was, De Rone Tafel 2-48:4, 12-3.
The Ramayana reliefs of Prambanan. Yogyakarta: Kanisius.

324

Daftar pustaka

Monier-Williams, M.
1986

Mus, P.
1935

A Sanskrit-English ictionary etymologically an philologically


arrange with special reference to cognate Ino-European languages.
Delhi: Motilal Banarsidass. [Diterbitkan pertama kali oleh Oxford
University Press, 1899.]
Barabuur; Esquisse une histoire u Bouhisme fone sur la
critique archologique es textes. Hanoi: Imprimerie dExtrmeOrient. 2 jilid.
Naidu, Bijayeti Venkata Narayanaswami et al.
1936
Tnava Laksanam or the funamentals of ancient Hinu ancing;
Being a translation into English of the fourth chapter of the Ntyastra of Bharata, with a glossary of the technical ance terms
compile from the eight, ninth, tenth, an eleventh chapters of the
same work, illustrate with original photographs of the sculpture
ance poses in the great temple of iva Natarja at Chiambaram,
an containing special appenices of aesthetic an archaeological
interest. Madras: G.S. Press.
OConnor, S.J.
1966
Ritual deposit boxes in southeast Asian sanctuaries, Artibus Asi
28:53-61.
Ouheikunig verslag
1912-49
Ouheikunig verslag van e Ouheikunig Dienst in NeerlanschIni. Batavia: Albrecht, Bandung: Nix.
Paranavitana, S.
1947
The stpa of Ceylon; Memoirs of the Archaelogical Survey of Ceylon
5. Colombo: Government of Ceylon Press.
Parmentier, H.
1948
Lart architectural hinou ans lIne et en Extrme-Orient. Paris:
Van Oest. [Les editions dart et dhistoire.]
Paul, Debjani
1978
Deity or deified king? Reflections on a unique Vais n avite sculpture
from Java, Artibus Asi 40:311-33.
Pelliot, P.
1904
Deux itinraires de Chine en Inde la fin du VIIIe sicle, Bulletin
e lcole Franaise Extrme-Orient 4:131-413.
Pigeaud, Th.
1938
Javaans-Neerlans
hanwoorenboek.
Groningen/Batavia:
Wolters.
Poerbatjaraka, Lesya.
1926
Agastya in e Archipel. Leiden: Brill. [Tesis Ph.D. Rijksuniversiteit
Leiden.]
1927
De dateering van het Oud-jav. Rmyana, dalam: Geenkschrift
uitgegeven ter gelegenhei van het 75-jarig bestaan op 4 juni 1926
[KITLV], hlm. 265-72. s Gravenhage: Nijhoff.
1932
Het Oud-Javaansche Rmyan a, Tijschrift voor Inische Taal-,
Lan- en Volkenkune (TBG) 72:151-601.
Pott, P.H.
1946
Yoga en yantra in hunne beteekenis voor e Inische archaeologie.
Leiden: Brill. [Tesis PhD Rijksuniversiteit Leiden.]

1956
1966

The influence of Tantric Buddhism on ancient Indonesian


civilization, Mrg 9:53-65.
Yoga an Yantra; Their interrelation an their significance for Inian
archaeology. The Hague: Nijhoff. [KITLV, Translation Series 8.]

325

Memuji Prambanan

Rassers, W.H.
1922

Raffles, Th. S.
1817
The history of Java. London: Black, Parbury and Allen. 2 jilid.
Raghu Vira and Chikyo Yamamoto
1938
Rmyan a in China. Nagpur: International Academy of Indian
Culture. [Sarasvati Vihara Series 8.]
Rapporten Ouheikunige Commissie
1902-1912
Rapporten Ouheikunige Commissie van Neerlansch-Ini voor
ouheikunig onerzoek op Java en Maoera. Batavia: Albrecht.
[Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen.]
Rapporten Ouheikunige Dienst
1912-1915
Rapporten Ouheikunige Dienst in Neerlansch-Ini. Batavia:
Albrecht, s-Gravenhage: Nijhoff.
De Panji-roman. Antwerpen: De Vos van Kleef. [Tesis PhD
Rijksuniversiteit Leiden.]
Raychaudhuri, Hemacandra
1920
Materials for the stuy of the early history of the Vaishnava sect.
Calcutta: University of Calcutta. [Dicetak ulang 1975, New Delhi:
Oriental Books Reprint Corporation.]
Reynolds, Frank E.
1991
Rmyan a, Rm Jtaka, and Ramakien; A comparative study of
Hindu and Buddhists traditions, dalam: P. Richman (ed.), Many
Rmyan as; The iversity of a narrative traition in South Asia, hlm.
50-63, Berkeley: University of California Press.
Riederer, Josef
1994
The goldsmiths techniques, dalam: W.H. Kal (ed.). Ol Javanese
gol (4th-15th century): an archaeometrical approach, hlm. 46-58.
Amsterdam: KIT-Tropenmuseum.
Romondt. V.R. van
1940
De wederopbouw van den iwa-tempel te Prambanan, Djw
20:234-40.
1952
Pekerjaan membina kembali Candi Prambanan, Amerta; Berkala
Arkeologi 1:37-43. [Dicetak ulang 1985.]
1954
Een tempel komt tevoorschijn, Orintatie 46:665-73.
Rouffaer, G.P.
1918
Oudheidkundige opmerkingen, Bijragen tot e Taal-, Lan-en
Volkenkune 74:138-66.
Rowland, B.
1953
The art an architecture of Inia; Buhist, Hinu, Jain. Baltimore:
Penguin.
Saher, E.A. von
1900
De versierene kunsten in Neerlansch Oost-Ini; Eenige Hinoe-

Santiko, Hariani
1987
1990
Santoso, Soewito
1963
1980

monumenten op Mien-Java. Haarlem: Bohn.


Kedudukan bhatari Durg di Jawa pada abad X-XV Masehi. [Tesis
Ph.D. Universitas Indonesia.]
Kehidupan beragama golongan rsi di Jawa, dalam: Edi Sedyawati et
al. (ed.). Monumen; Karya persembahan untuk Prof. Dr. R. Soekmono,
hlm.156-72. Depok: Fakultas Sastra, Universitas Indonesia.
Lorojonggrang (rama satu babak). [S.l.]: Balai Pustaka.
Ramayana kakawin. New Delhi: International Academy of Indian
Culture, Singapore: Institute of Southeast Asian Studies. [Seri SataPitaka Sastra Indo-Asia 345.]

326

Daftar pustaka

1986
Saraswati, S.K.
1962
Sarkar, H.B.
1937
1967
1972
1985
1989

Sarkar, S.C.
1990
Scheltema, J.F. 1912
Schlagintweit, E. de
1881

Krsn yana, the Krs n legen in Inonesia. New Delhi: International


Academy of Indian Culture. [Seri Sata-Pitaka Sastra Indo-Asia 345.]
Early sculpture of Bengal. Edisi kedua. Calcutta: Sambodhi.
The cultural contact between Java and Bengal, Inian Historical
Quarterly 13:589-99.
The evolution of the iva-Buddha cult in Java, Journal of Inian
History 45:637-46.
Corpus of the inscriptions of Java. Calcutta: Mukhopadhyay. 2 jilid.
The kings of ri ailam and the foundation of the ailendra dynasty
of Indonesia, Bijragen tot e Taal-, Lan- en Volkenkune 141:32338.
Rmyan a in Javanese epigraphy, literary tradition and monumental
art, dalam: D.P. Sinha dan S. Sahai (ed.), Rmyan a traitions an
national cultures in Asia , hlm. 40-6. Lucknow: Directorate of Cultural
Affairs, Government of Uttar Pradesh.
Stuies in the common Jtaka an Avana tales. Calcutta: Sanskrit
College.
Monumental Java. London: Macmillan.

Schlegel, A.G. von


1829
Schnitger, F.M.
1934

Le Bouhisme au Tibet prc un rsume es prcents systmes


bouhiques ans lIne. Lyon. [Annales du Muse Guimet III.]
Ramayana i est carmen epicum e Ramae rebus gestis poeta
antiquissimi Valmicis opus [Libris Septem]. Bonneae ad Rhenum.
Enkele oudheidkundige opmerkingen over het Tantrisme op Java,
Bijragen tot e Taal-, Lan- en Volkenkune 92:149-59.

Sedyawati (Hadimulyo), Edi


1973
Serangkai relief tari pada Candi Lara Jonggrang, Musika; Brosur
Ilmu Musik an Koreografi. Jakarta: Dirjen Kebudayaan.
1978
Kesatuan gaya seni arca antara Candi Rara Jonggrang dan Plaosan
Lor, Arkeologi 1-3:25-53.
1981
The question of Indian influence on ancient Javanese dance, Review
of Inonesian an Malaysian Affairs (RIMA) 16-2:59-83.
1985
Pengarcaan Gansa masa Kadiri dan Singasari; Sebuah tinjauan
sejarah kesenian. [Tesis PhD Universitas Indonesia.]
1986
The devotional function of space arrangement; An observation on the
Prambanan and Plaosan temples of Central Java, Paper International
Seminar Cidakasa-Bhutakasa/Inner and Outer Space, Indira Gandhi
National Centre for the Arts, New Delhi, 20-26 November 1986.
1993
The dramatic principle of Javanese narrative temple reliefs, dalam:
Ben Arps (ed.), Performance in Java an Bali; Stuies of narrative,
theatre, music, an ance, hlm. 174-85. London: School of Oriental
and African Studies, University of London.
1994
Gan sa statuary of the Ka iri an Sihasri perios. Leiden: KITLV
Press. [Verhandelingen 160.]
Smith, V.A.
1911
A history of fine art in Inia an Ceylon. Oxford. [Edisi kedua,
Oxford: Clarendon Press, 1930.]

32
7

Memuji Prambanan

Snodgrass, A.
1985
Soebadio, Haryati
1971
Soediman
1969
Soehamir
1948
1950

Soekmono, R.
1965
1967
1974
1979

1985

1993
Soenarto, Th.A.
1991
Stargardt, Janice
1992

The symbolism of the stupa. Ithaca: Southeast Asia Program, Cornell


University.
Jnasihnta. The Hague: Nijhoff. [KITLV, Bibliotheca Indonesica
7.]
Chani Larajonggrang at a glance. Jogjakarta: Kanisius.
A short guie to the Lara Djonggrang temples at Prambanan.
Surakarta: Ministry of Education and Cultural Affairs, Republic of
Indonesia.
The Lara Djonggrang temples at Prambanan, dalam: A short guie
to the Borobuur an the Lara Djonggrang temples, hlm. 23-48.
Jogjakarta: Ministry of Education and Cultural Affairs, Republic of
Indonesia.
Archaeology and Indonesian history, dalam: Soedjatmoko (ed.) An
introuction to Inonesian historiography, hlm. 35-47. Ithaca: Cornell
University Press.
A geographical reconstruction of northeastern Central Java and the
location of Medang, Inonesia 4:2-7.
Candi; Fungsi dan pengertiannya. [Tesis PhD Universitas Indonesia,
Jakarta.]
The archaeology of Central Java before 800 AD, dalam: R.B. Smith
dan W. Watson (ed.), Early South East Asia; Essays in archaeology,
history an historical geography, hlm. 457-73. New York/Kuala
Lumpur: Oxford University Press.
Lumpur dalam konstruksi candi, dalam: Sulastin Sutrisno et al.
(ed.), Bahasa-sastra-buaya; Ratna manikam untaian persembahan
kepaa Prof. Dr. P.J. Zoetmuler, hlm. 684-96. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press.
The candi as a cultural pusaka, dalam: H. Soebadio (ed.), Art of
Inonesia, hlm. 51-7. London: Tauris Parke.
Cani Wisnu ahulu an sekarang. Yogyakarta: Departemen
Pendidikan dan kebudayaan.

Water for courts or countryside; Archaeological evidence from


Burma and Thailand reviewed, dalam: J. Rigg (ed.), The gift of water;
Water management, cosmology an the state in South East Asia, hlm.
59-72. London: School of Oriental and African Studies, University
of London.
1992
Le cosmos, les anctres et riz; Leau dans lespace urbain des Pyus
en Birmanie, dalam: G. Condominas et al. (ed.), Disciplines croises;
Homage Bernar Phillipe Groslier, hlm. 311-35. Paris: ditions de
lcole des Hautes tudes en Sciences Sociales.
Stencel, R., F. Gifford dan E. Moron
1976
Astronomy and cosmology at Angkor Vat; Measurements of the
temple are related to practical astronomy and religious symbolism,
Science 192:281-7.
Stein Callenfels, P.V. van
1919
De Rmyan a-reliefs op den iwa-tempel te Prambanan; De
Kr s n a-reliefs op den Wisnoe-tempel, dalam: M. Lulius van Goor

32
8

Daftar pustaka

(ed.), Korte gis voor e tempelbouwvallen in e Prambanan-vlakte,


het Ding-plateau en Geong Sanga, hlm. 31-43. Weltevreden:
Landsdrukkerij.
1922
Een basrelif van Prambanan, dalam: Verslag van het Tweee
Congres van het Oostersch Genootschap, hlm. 46-7. Leiden: Brill.
Stutley, M. dan J. Stutley
1977
A ictionary of Hinuism; Its mythology, folklore an evelopment
1500 BC-AD 1500. London: Routledge dan Kegan Paul.
Stutterheim, W.F.
1923
Oudjavaansche kunst, Bijragen tot e Taal-, Lan- en Volkenkune
79:323-46.
1925
Rma-legenen un Rma-reliefs in Inonesien. Mnchen: Georg
Mller. 2 jilid.
1926a
De bouwvallen op den heuvel van Ratoe Baka bij Prambanan,
Djw 6:129-36
1926b
Cultuurgeschieenis van Java in beel. Weltevreden: Kolff. [Java
Instituut.]
1926c
Oost-Java en de hemelberg, Djw 6:333-49.
1926d
The story of ancient Java, Inter-Ocean 7-8:439-46.
1927
Een belangrijke oorkonde uit de Kedoe, Tijschrift voor Inische
Taal-, Lan- en Volkenkune (TBG) 67:172-215.
1928a
The temple ruins of Java, Inter-Ocean 7-8:439-46.
1928b
De plaatsing der Rma-reliefs van tjandi Lara-Djonggrang en de
zonneomloop, Bijragen tot e Taal-, Lan- en Volkenkune 84:11831.
1929a
The meaning of the Kla-Makara ornament, Inian Art an Letters
(Seri baru) 3:27-52.
1929b
A Javanese perio in Sumatran history. Surakarta: De Bliksem.
1929c
Een bronzen schedelnap, Djw 9:14-5.
1930
Gis voor e ouheen van Soekoeh en Tjeta. Soerakarta: De
Bliksem.
1931
The meaning of the Hindu-Javanese candi, Journal of the American
Oriental Society 51:1-16.
1932
Oudheidkundige aanteekeningen, Bijragen tot e Taal-, Lan- en
Volkenkune 89:278-82.
1933
Oudheidkundige aanteekeningen, Bijragen tot e Taal-, Lan- en
Volkenkune 90-267-99.
1935
Een monografie over Tjandi Sadjiwan bij Jogjakarta, Djw 15:8390. [Resensi buku.]
1939
Iets over prae-hinduistiche bijzettingsgebruiken op Java,
Meeelingen er Koninklijke Akaemie van Wetenschappen, Afeling
Letterkune, Nieuwe Reeks 2, 5:105-40.
1940
De stichter der Prambanan tempels, Djw 20-218-33.
1989
Rma-legens an Rma-reliefs in Inonesia. New Delhi: Abhinav.
[Diterjemahkan dari bahasa Jerman oleh C.D. Paliwal dan R.P.
Jain.]
Sugianti, Sri
1986
Penafsiran mengenai relief Ramayana Candi Loro Jonggrang,
Prambanan; Sanggahan atas Stutterheim dan Purbatjaraka, dalam:
Pertemuan Ilmiah Arkeologi 4-IIb: 529-49. Jakarta: Pusat Penelitian
Arkeologi Nasional.
Suleiman, Satyawati
1976
Monuments of ancient Inonesia. Jakarta: Pusat Penelitian Purbakala
dan Peninggalan Nasional.

32
9

Memuji Prambanan

1977
Teeuw, A.
1990
Teeuw, A. et al.
1969
Temu
1993
Tonnet, M.
1908
Treloar, F.E.
1972
Tuuk, H.N. van der
1897-1912
Verslag
1926
Verslag Congres
1921-39
Verwey, A.H.N.
1962
Vogel, J. Ph.
1911
1921
Vogler, E.B.
1949
1953
Voordracht
1925
Voorhoeve, P.
1958
Walker, B.
1968
Wayman, Alex
1987

Concise ancient history of Inonesia. Edisi revisi kedua. Jakarta:


Archaeological Foundation.
Inonesisch-Neerlans woorenboek. Dordrecht: Foris. [KITLV.]
iwartrikalpa of Mpu Tanaku; An Ol Javanese poem, its Inian
source an Balinese illustrations. The Hague: Nijhoff. [KITLV,
Bibliotheca Indonesica 3.]
Temu evaluasi penelitian Wonoboyo, Berkala Arkeologi 13, Edisi
khusus.
De godenbeelden aan den buitenmuur van den iwa-tempel te
Tjan di Prambanan en de vermoedelijke leeftijd van die tempelgroep,
Bijragen tot e Taal-, Lan- en Volkenkune 60:128-49.
The use of mercury in metal ritual objects as a symbol of iva,
Artibus Asi 34:232-40.
Kawi-Balineesch-Neerlansch woorenboek. Batavia: Landsdrukkerij.
4 jilid.
Verslag van e Commisie van Avies inzake e restauratie er
Hinoe-Javaansche Monumenten, nopens e reconstructie van en
iwatempel te Prambanan. Weltevreden: Kolff.
Verslag Congres van het Oostersch Genootschap. Leiden: Brill.
A distant relative of the silver Majur from Ngemplak Semongan,
Meeelingen van het Rijksmuseum voor Volkenkune 15:132-47.
Antiquites of Chamba state. Calcutta: Superintendent Government
Press. [Archaeological Survey of India. New Imperial Series 36.]
Het eerste Rma relief van Prambanan, Bijragen tot e Taal-,
Lan- en Volkenkune 77:202-15.
De Monsterkop uit het omlijstingsornament van tempeloorgangen en
-nissen in e Hinoe-Javaanse bouwkunst. Leiden: Brill.
Ontwikkeling van de gewijde bouwkunst in het hindoestische
Midden Java, Bijragen tot e Taal-, Lan- en Volkenkune 109:24972.
De voordracht van Dr. Bosch, Djw 5:162-6.
Batakse buffelwichelarij, Bijragen tot e Taal-, Lan- en
Volkenkune 109:249-72.
Numbers, dalam: B. Walker, Hinu worl, jilid ke-2, hlm. 136-7.
London: Allen and Unwin.
Esoteric Buddhism, dalam: Mircea Eliade (ed.), The encyclopeia
of religion, jilid ke-2, hlm. 472-82. New York: Macmillan.

330

Daftar pustaka

Wessing, R.
1991
Williams, J.
1981

Wilson, H.H.
1840
Winter, C.F.
1839

An enclosure in the Garden of Love, Journal of Southeast Asian


Stuies 22:1-15.
The date of Barabudur in relation to other Central Javanese
monuments, dalam: L. Gomez dan H.W. Woodward (ed.),
Barabuur; History an significance of a Buhist monument, hlm.
25-47. Berkeley: Asian Humanities Press. [Berkeley Buddhist Studies
Series 2.]
Vishnu Purana; A system of Hinu mythology an traition;
Translate from the original Sanscrit an illustrate by notes erive
chiefly from other Puranas. London: Murray.
Oorsprong van de oudheden te Brambanan, Tijschrift voor
Nerlans Ini 2, I:459-74; 2, II:139-40.
Winter, C.F. dan R.Ng. Ranggawarsita
1988
Kamus Kawi-Jawa; Menurut Kawi-Javaansch woorenboek.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. [Diterbitkan pertama kali
dalam bahasa Belanda, 1879.]
With, K.
1920
Java; Brahmanische, Buhistische un eigenlebige Architektur un
Plastik auf Java. Hagen: Folkwang.
Wolters, O.W.
1982
History, culture, an region in Southeast Asian perspectives.
Singapore: Institute of Southeast Asian Studies.
1979
Studying rvijaya, Journal of the Malaysian Branch of the Royal
Asiatic Society 52-2:1-32.
IJzerman, J.W.
1887
Iets over de tempelrunen van Prambanan, Verslagen en
Meeeelingen Koninklijke Akaemie van Wetenschappen, Seri
3,4:263-91.
1891
Beschrijving er ouheen nabij e grens er resienties Soerakarta
en Djogjakarta [bersama Atlas.] Batavia: Landsdrukkerij.
1903
De Chalukyasche bouwstijl op den Ding, dalam: Album Kern, hlm.
287-96. Leiden: Brill.
Zieseniss, A.
1963
The Rma saga in Malaysia, its origin an evelopment. Singapore:
Malaysian Sociological Research Institute. [Aslinya diterbitkan di
Jerman, Hamburg, 1928; diterjemahkan oleh P.W. Burch.]
Zoetmulder, P.J.
1982
Ol Javanese-English ictionary. The Hague: Nijhoff. 2 jilid.

331

Indeks

Abhayagiri, vihra 30
Aceh 100
dibuddha 35, 129, 307
gama 103, 141
Agastya 8, 106, 108, 109, 110, 115, 140,
200, 201, 212, 213, 216, 217
Aichele, W. 54-55, 63
air suci 68, 72, 74, 75, 84, 126, 233, 305,
306, 307, 311
amrta
67, 76, 192, 193, 307
amrtamanthana
307 Angkor

Vat 127
ajalimur 113, 307
Anom, I.G.N. 314
ast aikpla
65, 94, 121, 138, 139, 140, 307

Asia Tenggara 68, 88, 99-100


Auboyer, J. 282
avatra 129, 184, 198, 220, 223, 227, 231,
232, 307

Bastin, J. 18, 314


Batara, Bhat t ra Guru 8, 199
Baumgartner 191, 314
Behrend, T 90, 314, 332
benda ritual yang dipendam 64, 65, 162,
303
Bengali 57, 58, 91, 127
Berlage, H.P. 236, 238, 269
Bernet Kempers vi, xi, xiv, 17-18, 21-23,
28, 29, 54, 64, 71, 72, 78, 84, 87,
91, 102, 104, 105, 119, 120, 143,
145, 253, 255, 260-261, 263, 265,
314-315
Bhairava 100, 101, 307
Bhandarkar, R.G. 232, 233
Bhattacharya 13, 57, 59, 95, 113, 137, 141,
Bhattacharya, S.K. 113

Bhattikvya
xviii, 39, 133

bilik utama viii, ix, 6, 70, 91, 110, 111,


119, 151, 152, 153, 154, 164, 167,
259, 265, 274, 288, 290, 292, 293,
294, 295
Birma 30, 57
Blom, J.R. van 65, 90, 98
bohisattva 37
Boechari 54, 56, 73, 75, 107, 146, 315
Borobudur xiii, xiv, xvi, 3-4, 11, 20, 33-35,
38-39, 41, 43-44, 46, 50, 53, 56, 61,
62, 91, 96, 102, 108, 116, 120-125,
127, 129, 137-138, 155-158, 162,
199, 236, 277, 280-281, 285, 290,
295, 300, 306, 318
Bosboom, H.D.H. 17
Bosch, F.D.K. 141
Braginsky, V.I. 134
Brahmana viii, 12, 13, 17, 97, 102, 130,
132, 187, 188, 332
candi 8
Brandes, J.L.A 20, 36-38, 40-44, 47, 50, 53
Brockington, J.L. 127
Brumund, J.F.G. 12 Bubrah
(candi) 44-45, 112
Buddhisme 27, 35, 38, 55, 57, 58, 60, 61,
94, 96, 101, 102, 108, 129, 179, 309,
310, 311, 312, 322, 324

Candi (nama)
A 10, 179, 215, 217, 219, 267, 291, 306
Apit 10, 120, 146, 211, 219, 268-270,
271, 272-273, 281-282, 288, 289,
291, 292, 295, 296, 297, 298, 303,
304
B 10, 24, 99, 180, 209, 215, 219, 220,
267, 291, 306

33
2

Indeks

Badut 217
Bima 286-287
Gebang 275
Ijo 217
Jawi 297
Kalasan 27, 127, 154, 282, 289, 292, 299,
301
kelir 6, 22, 93
Kidul 268
Merak 217
Nandi 10, 24, 89, 90, 99, 178, 180, 209
perwara 3, 10, 23, 33, 217, 261
Pawon 238
Plaosan 11, 52, 53-54, 56, 61, 106, 109,
113, 155-156, 295, 300, 302, 317,
327
Sambisari 62, 100, 113, 156
Sari 153, 291, 295
Sewu 11-12, 17-18, 41-42, 44, 45, 54,
56-57, 59, 61, 62, 101, 103, 112-116,
118, 126, 129, 131, 140-141, 143,
144, 151, 153-156, 202, 218, 265,
267, 272, 286, 295, 297, 314, 318
Sojiwan 11, 54, 91, 98-100, 103, 114
Sumbernanas 217
Wukir 268
Candra 10, 102, 206, 233
Casparis, J.G. de 17, 29, 32, 52-56, 62
Champa 103
Chandra, Lokesh 30, 64, 94-95, 140
Cina 30, 50, 95, 100, 135, 166, 180
Coeds, G. 20, 30
Cohn, W. 280
Colebrooke, H.T. 49, 96, 181
Coleman, Ch. 63, 96, 181
Coomaraswamy, Ananda K. 131, 282
cosmicization 74
Cowell, E.B. 135
Crawfurd, J. 12, 17-18, 31, 35

dekadensi 36, 43
desain 25, 61, 62, 73, 85, 87, 93, 103, 104,
137, 151, 286, 305
di bawah tanah viii, 77, 84, 301, 304
Dhring, K. 234
drainase 21, 24, 25, 69, 71, 84, 170, 172,
203, 289, 304-305
Drewes, G.W.J. 318

Dumaray, J. xii, 33, 53, 93, 103, 105, 114


Durg viii, 8, 13, 14, 16, 17, 44, 50, 106,
108-111, 115, 120, 178, 200, 202,
212-216, 268, 326
vrapla 110
Echols, J.M. 74
Eerde, J.C. van
Ensink, J. 52

Friederich, R.

62

110

Gan ea 8, 17, 20, 50, 106, 108-111, 120


Garbe, R. 194
Garuda 184, 187, 189, 193, 196, 211-212,
220, 224
Gaudvis aya 57
gaya seni v, 34-35, 40, 42, 46, 51, 53, 107,
110, 114, 131, 156, 157, 327, 334
Gebang 272
Gericke, J.F.C. 74
Gifford, F. 127
Gonda, J. 122
Goris, R. 232
Grobogan 27, 28, 30
Groneman, J. 127
Grnwedel, A. 101
Gupta, S. 101

Hardjowardojo, Pitono 14, 88


Helfritz, H. 320
Hikayat Sri Rama 122
Hinayna 100
Hoepermans, N.W. 207
Hovell, W.R. van 179
Hoop, A.N.J. Thomassen 297
Hsan-tsang (Xuanzang) 95

IJzerman, J.W. xiv, 14, 19, 25, 50, 61, 77,


96-98, 105, 109-111, 120, 161-182,
211, 216, 264, 268, 283-284, 305
ikonis 121, 137

333

Memuji Prambanan

India 39, 40, 47-48, 57, 58, 60, 85, 88, 90,
91, 93, 95, 96, 100, 103, 107-108,
113, 121, 123, 126, 128, 134, 137,
141, 143, 145, 158, 176, 179, 180,
181, 184, 186, 191-192, 194, 196,
197, 199, 207, 218, 221-222, 231233, 265, 278, 280-285, 290, 292,
295, 307, 309, 310-312
Institut Jawa 41-42, 44

Lulius van Goor, M. 195, 136, 187


Lumbung (candi) 44

Jepang 23, 112, 140, 271


Jochim, E.F. 101
Juynboll, Th.W. 265

Kamboja 88, 95, 127


Kla 24, 70, 119, 212, 217, 251, 259
Kl 96, 176, 181
Klidsa 133, 191, 192, 196, 197, 198
Kpalik 13, 96, 100-101
Karmavibhaga 122, 124
Kats, J. 232
Kedah 66, 134, 162
keraton 25, 26, 27, 28, 29, 30, 31, 39, 61, 62,
90, 309, 335
koreografi 141, 146
kota candi 26
kultus iva-Buddha 35, 36
Kuntara Wiryamartana 126, 323
Kusen 113, 114, 118

Lalitavistara 123, 199


Lamb, A. 323
Lanka 30, 281, 317
Laos 135
Lautan Susu v, 62, 63, 66, 67, 68, 72, 74,
76, 78, 84, 126, 196, 305, 307, 332
Leemans, C. 17, 35, 73, 111, 178
Lillie, A. 180
lingga 10, 29, 61, 77
Lohuizen-de Leeuw, J.E. van 138-140
lokapla 8, 37, 63, 137, 138, 139, 141, 142,
153, 309
Lons, C.A. 17
Lorenzen, D.N. 100-101

Mabbett, I.W. 62, 153-154


Mackenzie, C. 12, 17-18, 34, 111
Mahbhrata 134, 136, 180, 191, 193, 232
Mahkla 203, 204, 290
Mahyna 4, 30, 38, 96, 100, 129
makam 27-28, 47-50, 52, 64, 96, 100, 161,
182, 308
makara 109, 147, 149, 201, 202, 276, 288289, 290, 292-293, 295, 296, 309
Malaysia 65, 127, 331, 336
Mnasra 90, 91
Mandara, gunung 63
man ala 45, 101, 112-115, 119, 121, 309
Majur 44, 45, 57, 59, 101, 112, 113, 114,
115, 118, 154, 315, 330
Manu 192, 210, 324
Martowikrido, Wahyono 31
masa klasik 3, 123
Mataram 26-28, 182, 268
mausoleum 27, 50, 52, 62, 64, 161, 180
Medang Kemulan 13
Mendut (candi) 237
Merak 213, 265
Merapi, gunung 30
Meru, gunung 62-64, 151
Merbabu, gunung 30
Miksic, J. 11, 53, 56
Mitchell, G. xii
mitos 66, 68, 74, 76, 78, 101, 187, 191, 192,
196, 198, 199, 224, 305
Moens, J.L. 50, 56, 96, 102, 156
Moertjipto 131 Monier-Williams,
M. xvi, 49 Mus, P. 281
Museum
Museum Bangkok 20
Museum Nasional 32
Sono Budoyo 264
Nland 48, 58, 59, 91, 100
Nandi 10, 23, 89, 90, 98, 175, 177, 206, 211,
212, 213, 215, 264, 288, 303, 304,
333, 336
Nandivara 6, 212, 290
Natyastra
145, 291

334

Indeks

OConnor, S.J. 28, 52, 65


Opak, sungai 19, 25, 31, 41, 72
oposisi ganda 102
orang Bali 232, 288
orang Jawa 11, 20, 21, 25, 40, 41, 48, 49, 89,
98, 116, 128, 226, 234
Orissa 100
Ouheikunig Verslag xii, xviii, 14, 23,
72, 91, 92, 93, 102, 104, 105, 106,
143, 152, 153, 208, 211, 306, 315

Padang Lawas 102


Phrpur 57, 58, 137
Pla 48, 57, 58
Panataran (candi) 39-40, 157-158, 236
pacakuika 95, 310
pacamahbhta 310
pacamakra 102
pandai besi 12
panteon 35, 41, 58-59, 62, 112-113, 115, 131
parallelepipedon 91, 265, 297, 298
Parambrahma 59, 129
Paranavitana, S. 325
Parmentier, H 325
patok 6, 21, 91, 265, 267, 287, 293
pemugaran v, ix, xi, xiv, xv, xviii, 17, 18,
20, 21, 22, 23, 24, 61, 72, 73, 87, 89,
103, 106, 119, 143, 144, 207, 211,
234, 235, 236, 237, 238, 239, 241,
242, 243, 253, 254, 263, 266, 267,
269-275, 290, 291, 294, 295, 298,
300-303
penanggalan xiv, 31, 32, 34, 36, 42, 46, 49,
50, 51, 52, 53, 61, 75, 96, 101, 107,
115, 127, 132, 134, 153, 155, 156,
157, 267, 268
penemuan xiii, xiv, 13, 18, 21, 31, 35, 47,
61, 62, 96, 98, 99, 101, 106, 111,
112, 113, 114, 133, 135, 141, 156,
161, 162, 166, 176, 218, 230, 231
penggalian v, vii, xiv, 17, 18, 19, 21, 28, 34,
35, 58, 72, 87, 105, 111, 118, 161,
162, 163, 165, 168, 169, 173, 175
pengusiran 26, 31, 33, 38, 40, 41, 48, 59, 87,
116, 132, 134
Perang Dunia II 23, 28, 32, 51, 96, 117,
143, 157, 200, 270
Perkara pemugaran 22, 236, 270

perwara ix, 3, 10, 19, 23, 26, 33, 64, 72, 88,
93, 99, 104-106, 114, 121, 177, 213,
258, 266, 267, 271, 272, 276, 288,
292, 293, 295, 301, 302, 305
Pitono Hardjowardojo 14, 88
Poerbatjaraka, Lesya 63, 66, 68, 77, 107,
217
Pott, P.H. 56-57, 96, 115, 156
praaks in 124, 146, 200, 211
Prambanan
nama 11-12
motif 147, 149, 151, 276 289, 286
pripih 161, 163, 166, 179

Raffles, Th. S. 13, 15, 17-18, 27, 34, 111


Raghu Vira 135, 326
Raghuvaa 133
Rakai Pikatan 52, 53, 54, 55, 56, 75, 134
Rma
cerita 39, 125, 131, 135, 226, 229, 231
relief 122-128, 131-136, 143, 183, 185,
187
rancang bangun 22, 24, 71, 87, 90, 119,
216, 238, 239, 241, 270, 274, 279,
281, 287, 295, 300
Ranggawarsita, R.Ng. 74
Rassers, W.H. 219, 230
Ratu Boko 26-27, 29-30, 61, 106, 117
rekonstruksi vii, ix, 55, 146, 237, 238, 241,
243, 245, 246, 253, 270, 273, 286
Roorda T. 11, 74
Rouffaer, G.P. 36, 50
Rowland, B. 57, 281-283

Saher, E.A. von 207


ailendra
dinasti 26-27, 29, 33, 34, 38-41, 45-48,
54, 56, 59, 87, 96, 107, 115, 232
monumen 47
tradisi 38
Sambisari 62, 100, 113, 156, 324
Samingoen 270-271
Sang Hyang Kamahynikan 232
Sajaya 30, 54
Santiko, Hariani 326
Santoso, Soewito 14, 66, 77, 136

335

Memuji Prambanan

Saraswati, S.K. 58
Sari 11, 153, 279, 280, 284, 289, 291, 295,
298, 315
Sarkar, H.B. 58-59, 94
Sarkar, S.C. 135
Scheltema, J.F. 14, 40, 65, 69
Schlagintweit, E. de 180
Schlegel, A.G. von 188
Schnitger, F.M. 96
Sedyawati, Edi 61, 102, 106-107, 119, 140,
146
sekte v, 13, 84, 86, 94, 95, 96, 100, 101,
103, 141, 162, 181, 232, 233, 310
Siam, Thailand 234
sihaytra 72-73, 310
ilpastra 85-86, 90, 94, 103, 108, 111,
121, 126, 311
sinkretisme 116, 322
iva
arca 35, 50, 91, 113, 119, 161, 166, 206,
211-212, 216, 264-265, 286, 294
candi 6-8, 15-16, 21-24, 31, 37, 54, 59, 63,
65-66, 70, 78-84, 87, 89, 91, 102, 104,
108, 110-111, 119, 121-122, 125-126,
128, 131-132, 135-137, 141
Mahdeva ix, 6, 8, 35, 50, 89, 111, 119,
161, 164, 200, 203, 204, 215, 217,
260
Mahyogi 214, 215, 216, 217
racun 67
relief 24, 102
ivagrha
32, 33, 60
iwartrikalpa 76, 77, 330
Smith, V.A. 197
Snodgrass, A. 62
Soebadio, Haryati 59-60
Soehamir 138, 264, 291
Soekarto 61
Soekmono, R. 28, 52, 54, 64, 69, 99, 104,
304
Soenarto, Th.A. 24, 120, 131
Sojiwan 11, 54, 90, 98, 99, 100, 102, 113,
155, 156
Sono Budoyo 264
r Kahulunan 56
Sri Lanka 281
rvijaya 30, 39, 40, 48, 59, 96, 331
Stargardt, J. 68
Stein Callenfels, P.V. van 20, 123, 131,
136, 187

Stencel, R. 127
Stutley, M. dan J. 121
Stutterheim, W.F. xiv, 3, 27-28, 38-41, 4752, 60
Sugianti, Sri 131
Suleiman, Satyawati 54
Sumatra 30, 38-39, 42, 48, 102, 134, 180,
233, 319, 320, 324
Sumbernanas 213
Srya 10, 102, 138-140, 176, 206, 232233, 321
Sutasoma 35

tambak/tamwak 33, 74, 76


Tantra, Tantric 58, 85, 101
Tantrisme 56, 60, 96, 100-101, 103, 162,
218
Tn ava (tarian) 102, 121, 141, 143, 145,
148, 249
Teeuw, A. 10, 76, 265
teori v, 27, 28, 30, 34, 37, 38, 39, 46, 47, 48,
51, 52, 53, 54, 55, 64, 96, 100, 111,
112, 129, 152, 155, 156, 158, 161
Thuessink van der 321
Tibet 101, 180, 320, 327
trtha 55, 72, 73, 75, 76, 311
Tlaga Lor 73
toleransi 35, 116, 155
Tonnet, M. 36-37, 63, 138-140
tradisi lisan 122, 123, 136, 183, 199, 268
Treloar, F.E. 64, 162
Trimrti 6, 23, 45, 46, 60, 89, 112, 115, 232
Triratna 45, 112
Tuuk, H.N. van der 234

Vairocana 112, 114-115, 118,-119, 154,


218-219, 233
Vajrapn i 62, 113
Vlmki 39, 122, 131, 132, 133, 221, 225
Van Liere, W.J. 64, 68
Verslag 1926 19, 22, 61, 89, 105, 106
Verslag Congres 101, 138, 330
Vis n
u
41, 45, 66, 109, 113, 115, 126, 129,
136, 143, 151, 170, 172-174, 176,
178, 184, 186-187, 189-193, 196198, 204-206, 208, 210, 215, 216,

336

Indeks

249, 264, 267, 271, 288, 292


Candi 8, 20, 23, 121, 129, 131-132, 136,
141, 149, 162,
Patung 6, 49, 69, 120
Vis n u Purn a 209, 210
Vogel, J.Ph. 183,
Vogler, E.B. 53, 85
Voorhoeve, P. 66

wahana xi, 10, 23, 67, 68, 206, 211, 265,


303, 312
Wailang (Ho-ling) 30
Walker, B. 94
wayang 13, 39, 44, 90, 230, 234, 309, 312
Wayman A. 141
Welvaartsfons 237
Wessing, R. 100
Williams, J. 54
Wilson, H.H. 191, 209
Winter, C.F. 74
Wolters, O.W. 68
Wukir 265

Yaks a 102, 141, 188, 189, 316


Yamamoto, Chikyo 135

Zieseniss, A. 122
Zoetmulder, P.J. 12, 74, 76

337

Anda mungkin juga menyukai