Anda di halaman 1dari 13

SEJARAH FOTOGRAFI INDONESIA

KASSIAN CEPHAS-PRA KEMERDEKAAN

TUGAS II

Disusun Oleh:

NAMA: DWIAN FARREL NUGRAHA


NIM: 08305721
KELAS: A

FAKULTAS SENI RUPA DAN DESAIN


PRODI FOTOGRAFI

2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kepada Allah SWT. yang atas rahmat dan karunia-Nya, sehingga
saya bisa menyelesaikan tugas ini dengan tepat pada waktunya. Adapun tema dari tugas ini
adalah “Sejarah Fotografi Indonesia”.

Saya menyadari sepenuhnya bahwa tugas ini masih jauh dari sempurna dikarenakan
terbatasnya pengalaman dan pengetahuan yang saya miliki. Oleh karena itu, saya
mengharapkan segala bentuk saran serta masukan atau bahkan kritik yang membangun dari
berbagai pihak. Akhirnya saya berharap semoga tugas ini dapat memberikan manfaat bagi
perkembangan fotografi kedepannya.

Padang Panjang, September 2021

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR …………………………………………………………………………………………………………. i

DAFTAR ISI …………………………………………………………………………………………………………………... ii

KATA PENGANTAR …………………………………………………………………………………………………………. iii

BAB I PENDAHULUAN …………………………………………………………………………………………………..…. 1

1.1 Latar Belakang …………………………………………………………………………………………………….. 1

1.2 Rumusan Masalah ……...…………………………………………………………………………………………... 1

BAB II PEMBAHASAN ……………………………….……………………………………………………………………... 2

2.1 Sejarah Fotografi Indonesia ………………………………………………………………………..... 2


2.2 Kamera tua bersejarah di Indonesia ………..…………………………………………………………. 4
2.3 Sejarah Fotografi Pada Zaman Pra Kemerdekaan ……………………………………………………. 5

BAB III PENUTUP .……………………………………………………………………………………….…...… 10

3.1 Kesimpulan ………………………………………………………………………………….………. 10


3.2 Saran …………………………………………………………………………………………….…… 10

DAFTAR PUSTAKA ………………………………….………………………………………………………….. 11

BAB I
LATAR BELAKANG

Fotografi berasal dari kata foto yang berarti cahaya dan grafis yang berarti gambar. Dengan

berkembangnya teknologi digital yang sangat pesat saat ini bahkan hampir semua orang.

Secara harfiah fotografi bisa diartikan sebagai teknik melukis dengan cahaya. Fotografi

merupakan gabungan ilmu, teknologi, dan seni. Perpaduan yang harmonis antara ketiganya

bisa menghasilkan sebuah karya yang mengagumkan. Tentunya dengan skill serta sentuhan

seni sang fotografer, sebuah foto bisa menjadi berarti.

Fotografi memiliki bermacam-macam manfaat dan tujuan baik untuk dokumentasi, penelitian,

maupun sebagai media dalam ranah estetika. Dengan foto, suatu momen bisa bertutur.

Istilah ‘fotografi Kolonial’ (colonial photography) berkembang pada abad ke-19, di tengah

kolonialisme bangsa Eropa di sejumlah bagian Asia dan Afrika. Fotografi Kolonial lalu

berkembang menjadi suatu kajian tersendiri, khususnya namun tidak terbatas hanya di dalam
bidang sejarah dan sejarah fotografi. Namun demikian, para sarjana dan peneliti masih belum

dapat bersepakat di dalam menetapkan Kolonia kajian fotografi Kolonial.

RUMUSAN MASALAH

1. Siapa nama fotografer pertama di Indonesia?

2. Kamera apa yang dipakai pada masa itu?

3. Pada tahun berapa Cassian Cephas lahir dan meninggal?

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 SEJARAH FOTOGRAFI INDONESIA

A. Kassian Cephas

Terlahir dengan nama Kasihan di Kota Yogyakarta pada tanggal 15 Januari 1845, merupakan putra

dari seorang ayah yang bernama Kartodrono dan seorang ibu yang bernama Minah. Tetapi beberapa

literatur menyebutkan bahwa Cephas merupakan anak asli orang belanda yang bernama Frederik

Bernard Franciscus Schalk dan lahir pada tanggal 15 Februari 1844. Setelah masuk kristen protestan

dan dibaptis pada tanggal 27 Desember 1860 di sebuah gereja di Kota Purworejo, nama Kasihan

berubah menjadi Kassian Cephas. Nama “Cephas” tersebut merupakan nama baptis yang sama

artinya dengan Petrus dalam bahasa indonesia.

Cephas belajar fotografi untuk pertama kalinya kepada seorang fotografer dan pelukis yang bernama

Isodore Van Kinsbergen di Jawa Tengah poda kurun waktu 1863-1875. Selain Kinsbergen, Cephas

pun sempat berguru kepada Simon Willem Camerik, seorang fotografer dan pelukis yang kerap
mendapatkan tugas memotret kraton Yogyakarta dari Sultan Hamengkubuwono VII. Pada tahun 1870

ketika Camerik meninggalkan Yogyakarta, Cephas diberi amanat oleh Sultan Hamengkubuwono VII

sebagai fotografer dan pelukis resmi kraton Yogyakarta. Karya foto pertama Cephas

menggambarkan obyek Candi Borobudur yang dibuat pada tahun 1872.

Foto Cassian Cephas

Cephas memiliki sebuah studio foto di daerah Loji Kecil yang sekarang letaknya berada di Jalan

Mayor Suryotomo dekat Sungai Code di Jawa Tengah. Cephas pun mempunyai seorang asisten foto

yang bernama Damoen. Nama Cephas semakin bersinar ketika Isaac Groneman yaitu seorang

dokter resmi sultan asal

belanda memujinya di sebuah artikel yang ia tulis untuk untuk Bataviaasch Genootschap van Kunsten

en Wetenschappen (Lembaga Kesenian dan Ilmu Pengetahuan Batavia) pada tahun 1884. Kemudian

Cephas bergabung dengan sebuah perkumpulan yang didirikan oleh Isaac Groneman dan J.W.

Ijzerman mendirikan Vereeniging voor Oudheid-, Land,- Taal- en Volskenkunde te Yogjakarta (Union

for Archeology, Geography, Language and Etnography of Yogyakarta) pada tahun 1885 ( yang

selanjutnya disebut Vereeniging voor

Oudheid). Karir Cephas pun semakin meningkat ketika ia bergabung dengan perkumpulan tersebut.

Terbukti

ketika karya-karya foto Cephas masuk ke dalam dua buah buku yang dibuat oleh Isaac Groneman, In

den Kedaton te Jogjakarta dan De garebeg’s te Ngayogyakarta dan diterbitkan oleh penerbit

komersial Brill di kota Leiden pada tahun 1888. In den Kedaton berisi tulisan dan

gambar collotypes tarian tradisional Jawa. Sedangkan De garebeg’s berisi tulisan dan gambar

upacara Garebeg. Semua gambar foto collotype dibuat Chepas atas ijin dari Sultan

Hamengkubuwono VII. Kompilasi karya Cephas pun kemudian dijadikan souvenir bagi kaum elit
eropa yang akan pulang ke negaranya serta kaum pejabat baru belanda yang mulai bertugas di Kota

Yogyakarta.

Pada tahun 1889-1890 Pemerintah Hindia Belanda menunjuk Cephas untuk membuat foto tentang

situs-situs Hindu-Jawa Kuno di Jawa Tengah. Dimana Candi Borubudur merupakan salah satu obyek

foto situs tersebut setelah penemuan dasar tersembunyi yang memuat relief Karmavibhanga pada

tahun 1885 oleh J.W. Ijzerman. Setelah berakhirnya proyek pengangkatan relief Candi Borobudur di

akhir tahun 1891, jumlah foto yang dihasilkan Chepas adalah 164 foto dasar tersembunyi, 160 foto

relief dan 4 foto situs Borobudur. Pada saat yang bersamaan, Cephas memperoleh

status gelijkgesteld met Europanen (sejajar dengan orang Eropa) untuk dirinya dan kedua anaknya,

Sem dan Fares dari Pemerintah Hindia Belanda. Pada tahun 1892 Chepas diangkat sebagai anggota

luar biasa Lembaga Kesenian dan Ilmu Pengetahuan Batavia. Cephas pun pernah mendapat

kesempatan untuk memotret kunjungan Raja Rama V (Chulalongkorn) dari Thailand ketika raja

tersebut menyambangi Yogyakarta pada tahun 1896. Salah satu jejak karya Cephas yang lain adalah

Buku Wajang orang Pregiwa yang dibuat oleh Sultan Hamengkubuwono VII untuk kemudian

diberikan kepada Ratu Wilhelmina dan Pangeran Hendrik dari Mecklenburg-Schwerin sebagai hadiah

pernikahan mereka berdua.

Pada saat Cephas berumur 60 tahun, beliau mulai pensiun dari bisnis fotografi yang digelutinya.

Dimana Sem putra Cephas lah yang meneruskan karirnya di dunia fotografi. Tanggal 16 November

1912 menjadi hari yang bersejarah. Kassian Cephas meninggal dunia setelah mengalami sakit yang

berkepanjangan. Cephas dimakamkan di Kuburan Sasanalaya yang terletak antara pasar Beringharjo

dan Loji kecil.

2.2 Kamera tua bersejarah di Indonesia

Kamera Daguerre
Masuknya fotografi di Indonesia adalah tahun awal dari lahirnya teknologi fotografi, maka kamera

yang adapun masih berat dan menggunakan teknologi yang sederhana. Teknologi kamera pada

masa itu hanya mampun merekam gambar yang statis. Karena itu kebanyakan foto kota hasil karya

Woodbury dan Page terlihat sepi karena belum memungkinkan untuk merekam gambar yang

bergerak.

Terkadang fotografer harus menggiring pedagang dan pembelinya ke dalam studio untuk dapat

merekam suasana hirup pikuk pusat perbelanjaan. Oleh sebab itu telihat bahwa pedagang dan

pembelinya beraktifitas membelakangi sebuah layar. Ini karena teknologi kamera masih sederhana

dan masih riskan jika terlalu sering dibawa kemana-mana.

Pada tahun 1900an, muncul penemuan kamera yang lebih sederhana dan mudah untuk dibawa

kemana-mana sehingga memungkinkan para fotografer untuk melakukan pemotretan outdoor. Bisa

dibilang ini adalah awal munculnya kamera modern.Karena bentuknya yang lebih sederhana, kamera

kemudian tidak dimiliki oleh fotografer saja tetapi juga dimiliki oleh masyarakat awam.

Banyak karya-karya fotografer maupun masyarakat awam yang dibuat pada masa awal

perkembangan fotografi di Indonesia tersimpan di Museum Sejarah Jakarta. Seperti namanya,

museum ini hanya menghadirkan foto-foto kota Jakarta pada jaman penjajahan Belanda saja. Karena

memang perkembangan teknologi fotografi belum masuk ke daerah. Salah satu foto yang dipamerkan

adalah

suasana Pasar Pagi, Glodok, Jakarta pada tahun 1930an. Pada awal dibangun, pasar ini hanya diisi

oleh

beberapa lapak pedagang saja. Ini berbeda dengan kondisi sekarang dimana Glodok merupakan

pusat perbelanjaan terbesar di Jakarta.

2.3 SEJARAH FOTOGRAFI PADA ZAMAN PRA KEMERDEKAAN

Kapal-kapal bangsa Spanyol dan Portugis telah mendarat di Maluku pada perempat awal

abad ke-16, tetapi Banten baru didarati pelaut Belanda pada akhir abad itu. Memasuki abad

ke-17, Belanda mendirikan VOC (Perusahaan Hindia Timur) dan mengobarkan perang di

dalam upaya menduduki sejumlah daerah di Jawa, yang masih berlangsung bahkan jauh
setelah VOC bangkrut dan dibubarkan pada 31 Desember 1799. Aceh telah menjalin

hubungan dengan sejumlah negara Eropa sejak abad ke-16, namun baru dapat ditaklukkan

Belanda pada awal abad ke-20, setelah Perang Aceh yang bekepanjangan (1873–1904).

Bali juga baru sepenuhnya dijajah setelah Belanda memenangi Perang Puputan (perang

habis-habisan) di Badung pada 1906 dan kemudian di Klungkung pada 1908. Cara pandang

semacam ini jadi terlalu menyederhanakan aspek-aspek lain di dalam percakapan fotografi

kolonial, yang sejatinya multilapisan dan lintas disiplin.

Potret perempuan asli Dayak

Woodbury & Page, Kurkdjian, dan Weissenborn tidak memfoto Hindia Belanda sebagai

petugas kolonial; mereka pengusaha jasa fotografi. Di samping itu, banyak pula klub

fotografi dan juru foto

amatir bermunculan di sejumlah daerah.


Pasukan Marechaussee Belanda (KNIL) pimpinan Letnan Jenderal Gotfried Coenraad Ernst

van Daalen (atas, ketiga dari kiri) dengan warga Koeto Reh yang terbunuh seusai perang di

dalam

kampanye militer di Aceh. Di tengah foto terlihat seorang anak kecil yang masih hidup. Van

Daalen

kemudian diangkat menjadi Gubernur Aceh pada 1905–1908. Foto oleh H.M. Neeb, 14 Juni

1904.

Yang bisa dibilang termasuk agenda kolonial di dalam bidang citraan visual misalnya

menggambarkan penaklukan dan pembangunan daerah jajahan, demi melanggengkan

pendudukan. Banyak kepentingan yang saling berkelindan di dalam hal ini. Daerah jajahan

di Asia dan Afrika sering dipandang sebagai kawasan yang terbelakang dan dihuni

bumiputra yang primitif. Orang Eropa, di sisi lain, melihat diri mereka sebagai bangsa yang

lebih maju. Dengan menaklukkan dan menduduki daerah jajahan, mereka mencitrakan diri

sebagai bangsa yang lebih unggul yang sedang memajukan peradaban lokal.

Penggambaran kegiatan memajukan peradaban lokal ini menjadi penting di dalam menarik

minat orang dari Eropa untuk datang dan tinggal di tanah jajahan. Tanah jajahan yang

sudah ditaklukkan ini lantas dicitrakan sebagai kawasan baru yang penuh peluang dan

menjanjikan kemakmuran, agar para pengusaha swasta membuka usaha di sini:

perkebunan, pabrik, dan perusahaan, termasuk jasa fotografi guna melayani kebutuhan citra

diri para pendatang dari Eropa itu kebutuhan yang lantas ditiru pula oleh golongan ningrat

lokal yang ingin menjadi modern.


Potret studio Antoinette Westerman dan babunya di Jawa. Foto oleh Studio Charls & Co. (Semarang), sekitar

1915–1916.

Oleh karena nilai guna pencitraan inilah, arsip fotografi kolonial yang masih tersimpan dan dapat kita

temui kini banyak yang berwujud album foto yang berjudul “Souvenir” (cendera mata), sebuah praktik

yang umum dijumpai di Hindia Belanda kala itu—juga di India Inggris, Malaya Inggris, dan Indocina

Prancis. Pendatang bangsa Eropa dapat membayar juru foto untuk mengambil gambar mereka, atau

membeli stok foto (pemandangan alam atau pemandangan kota) yang ditawarkan oleh juru foto di

studio mereka. Foto-foto yang dibuat di tanah jajahan itu kemudian dikirim balik ke negara asal para

pembelinya sebagai sebuah cendera mata.

Di samping untuk menekankan relasi kuasa penjajah atas tanah jajahannya dan kebutuhan citra diri

masyarakat yang mulai modern, kamera sebagai alat perekam gambar pada masa kolonial digunakan

pula untuk sejumlah penjelajahan ilmiah. Pendatang Eropa membuat sejumlah dokumentasi segi-segi

kehidupan masyarakat lokal, dengan pendekatan ilmu pasti dan ilmu sosial, seperti geografi dan

antropologi, termasuk antropometri (ilmu ukur tubuh manusia). Pendokumentasian ini turut

membentuk stereotipe yang cenderung rasis dan menunjang tatapan kolonial (colonial gaze), yang

melihat komunitas setempat sebagai Liyan (the Other) yang lebih rendah derajatnya. Representasi
komunitas lokal non-Eropa secara visual sebagai objek penelitian seperti ini membuat bangsa Eropa

seakan-akan lebih unggul secara kebudayaan dan keilmuan.

Petugas kesehatan dan antropolog fisik Dr. H.J.T. Bijlmer sedang mengukur tubuh seorang kuli angkut Dayak.

Fotografer tidak diketahui, 1920.

Selain juru foto dan ilmuwan, medium fotografi pada masa kolonial dipakai pula oleh

golongan diplomat dan agamawan. Fotografi pada mulanya amat teknis dan mahal,

sehingga hanya kelompok masyarakat terpelajar dan berduit yang dapat menikmatinya

sebagai semacam kemewahan. Diplomat Eropa berkeliling dunia membawa daguerreotype

dan kerap menghasilkan foto-foto awal dari daerah jajahan. Sementara itu, golongan

misionaris Katolik juga menggunakan medium fotografi untuk memperkenalkan Yesus

kepada masyarakat pribumi di daerah jajahan. Misi penyebaran agama merupakan satu dari

tiga tujuan utama penjelajahan bangsa Eropa ke Dunia Baru (gold, glory, gospel). Maka

tidak mengherankan, jika karya para misionaris tersebut, terutama dari Ordo Fransiskan,

lantas berkembang menjadi salah satu arsip fotografi terbesar abad ke-19 hingga awal abad

ke-20.

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan

Dari Pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa, masuknya Fotografi Ke


Indonesia itu di mulai dari muncul nya kedatangan Jurrian Munnich, kemudian ada
tokoh tokoh dari Indonesia yang mulai mengembangkan fotografi di Indonesia Seperti
hal nya Kassian Cephas.
Lalu disusul oleh Alex Mendur dan Frans Mendur, mereka adalah salah satu tokoh
fotografi di zaman kemerdekaan. Mereka sangat berjasa di fotografi jaman
kemerdekaan dulu, berkat karya foto mereka kita bisa melihat bukti sejarah
kemerdekan bangsa kita dulu.

Saran

Saran dari saya Dwian Farrel Nugraha sebagai mahasiswi fotografi Institut Seni

Padang Panjang, saya harus lebih mengeksplore atau membedah ilmu ilmu fotografi

lebih dalam lagi dan dapat lebih kreatif dalam menghasilkan karya, tidak boleh

sembarangan dalam menghasilkan sebuah karya, karna sebuah karya yang indah

berasal dari niat didalam hati kita.


DAFTAR PUSTAKA

1. http://budinddharmawan.wordpress.com | http://budinddharmawan.tumblr.com

2. https://beginnerfotografi.wordpress.com/2013/01/12/sejarah-fotografi-indonesia/

3. "Fotografi | Fotografi Indonesia." 2013. 22 Oct. 2013


<http://fotografiindonesia.net/category/fotografi/>

4. "Sejarah Fotografi Indonesia “Kassian Cephas” | Fotografi Indonesia." 2013. 22 Oct. 2013
<http://fotografiindonesia.net/sejarah-fotografi-indonesia-kassian-cephas/>

Anda mungkin juga menyukai