TUGAS II
Disusun Oleh:
2021
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kepada Allah SWT. yang atas rahmat dan karunia-Nya, sehingga
saya bisa menyelesaikan tugas ini dengan tepat pada waktunya. Adapun tema dari tugas ini
adalah “Sejarah Fotografi Indonesia”.
Saya menyadari sepenuhnya bahwa tugas ini masih jauh dari sempurna dikarenakan
terbatasnya pengalaman dan pengetahuan yang saya miliki. Oleh karena itu, saya
mengharapkan segala bentuk saran serta masukan atau bahkan kritik yang membangun dari
berbagai pihak. Akhirnya saya berharap semoga tugas ini dapat memberikan manfaat bagi
perkembangan fotografi kedepannya.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR …………………………………………………………………………………………………………. i
BAB I
LATAR BELAKANG
Fotografi berasal dari kata foto yang berarti cahaya dan grafis yang berarti gambar. Dengan
berkembangnya teknologi digital yang sangat pesat saat ini bahkan hampir semua orang.
Secara harfiah fotografi bisa diartikan sebagai teknik melukis dengan cahaya. Fotografi
merupakan gabungan ilmu, teknologi, dan seni. Perpaduan yang harmonis antara ketiganya
bisa menghasilkan sebuah karya yang mengagumkan. Tentunya dengan skill serta sentuhan
Fotografi memiliki bermacam-macam manfaat dan tujuan baik untuk dokumentasi, penelitian,
maupun sebagai media dalam ranah estetika. Dengan foto, suatu momen bisa bertutur.
Istilah ‘fotografi Kolonial’ (colonial photography) berkembang pada abad ke-19, di tengah
kolonialisme bangsa Eropa di sejumlah bagian Asia dan Afrika. Fotografi Kolonial lalu
berkembang menjadi suatu kajian tersendiri, khususnya namun tidak terbatas hanya di dalam
bidang sejarah dan sejarah fotografi. Namun demikian, para sarjana dan peneliti masih belum
RUMUSAN MASALAH
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kassian Cephas
Terlahir dengan nama Kasihan di Kota Yogyakarta pada tanggal 15 Januari 1845, merupakan putra
dari seorang ayah yang bernama Kartodrono dan seorang ibu yang bernama Minah. Tetapi beberapa
literatur menyebutkan bahwa Cephas merupakan anak asli orang belanda yang bernama Frederik
Bernard Franciscus Schalk dan lahir pada tanggal 15 Februari 1844. Setelah masuk kristen protestan
dan dibaptis pada tanggal 27 Desember 1860 di sebuah gereja di Kota Purworejo, nama Kasihan
berubah menjadi Kassian Cephas. Nama “Cephas” tersebut merupakan nama baptis yang sama
Cephas belajar fotografi untuk pertama kalinya kepada seorang fotografer dan pelukis yang bernama
Isodore Van Kinsbergen di Jawa Tengah poda kurun waktu 1863-1875. Selain Kinsbergen, Cephas
pun sempat berguru kepada Simon Willem Camerik, seorang fotografer dan pelukis yang kerap
mendapatkan tugas memotret kraton Yogyakarta dari Sultan Hamengkubuwono VII. Pada tahun 1870
ketika Camerik meninggalkan Yogyakarta, Cephas diberi amanat oleh Sultan Hamengkubuwono VII
sebagai fotografer dan pelukis resmi kraton Yogyakarta. Karya foto pertama Cephas
Cephas memiliki sebuah studio foto di daerah Loji Kecil yang sekarang letaknya berada di Jalan
Mayor Suryotomo dekat Sungai Code di Jawa Tengah. Cephas pun mempunyai seorang asisten foto
yang bernama Damoen. Nama Cephas semakin bersinar ketika Isaac Groneman yaitu seorang
belanda memujinya di sebuah artikel yang ia tulis untuk untuk Bataviaasch Genootschap van Kunsten
en Wetenschappen (Lembaga Kesenian dan Ilmu Pengetahuan Batavia) pada tahun 1884. Kemudian
Cephas bergabung dengan sebuah perkumpulan yang didirikan oleh Isaac Groneman dan J.W.
Ijzerman mendirikan Vereeniging voor Oudheid-, Land,- Taal- en Volskenkunde te Yogjakarta (Union
for Archeology, Geography, Language and Etnography of Yogyakarta) pada tahun 1885 ( yang
Oudheid). Karir Cephas pun semakin meningkat ketika ia bergabung dengan perkumpulan tersebut.
Terbukti
ketika karya-karya foto Cephas masuk ke dalam dua buah buku yang dibuat oleh Isaac Groneman, In
den Kedaton te Jogjakarta dan De garebeg’s te Ngayogyakarta dan diterbitkan oleh penerbit
komersial Brill di kota Leiden pada tahun 1888. In den Kedaton berisi tulisan dan
gambar collotypes tarian tradisional Jawa. Sedangkan De garebeg’s berisi tulisan dan gambar
upacara Garebeg. Semua gambar foto collotype dibuat Chepas atas ijin dari Sultan
Hamengkubuwono VII. Kompilasi karya Cephas pun kemudian dijadikan souvenir bagi kaum elit
eropa yang akan pulang ke negaranya serta kaum pejabat baru belanda yang mulai bertugas di Kota
Yogyakarta.
Pada tahun 1889-1890 Pemerintah Hindia Belanda menunjuk Cephas untuk membuat foto tentang
situs-situs Hindu-Jawa Kuno di Jawa Tengah. Dimana Candi Borubudur merupakan salah satu obyek
foto situs tersebut setelah penemuan dasar tersembunyi yang memuat relief Karmavibhanga pada
tahun 1885 oleh J.W. Ijzerman. Setelah berakhirnya proyek pengangkatan relief Candi Borobudur di
akhir tahun 1891, jumlah foto yang dihasilkan Chepas adalah 164 foto dasar tersembunyi, 160 foto
relief dan 4 foto situs Borobudur. Pada saat yang bersamaan, Cephas memperoleh
status gelijkgesteld met Europanen (sejajar dengan orang Eropa) untuk dirinya dan kedua anaknya,
Sem dan Fares dari Pemerintah Hindia Belanda. Pada tahun 1892 Chepas diangkat sebagai anggota
luar biasa Lembaga Kesenian dan Ilmu Pengetahuan Batavia. Cephas pun pernah mendapat
kesempatan untuk memotret kunjungan Raja Rama V (Chulalongkorn) dari Thailand ketika raja
tersebut menyambangi Yogyakarta pada tahun 1896. Salah satu jejak karya Cephas yang lain adalah
Buku Wajang orang Pregiwa yang dibuat oleh Sultan Hamengkubuwono VII untuk kemudian
diberikan kepada Ratu Wilhelmina dan Pangeran Hendrik dari Mecklenburg-Schwerin sebagai hadiah
Pada saat Cephas berumur 60 tahun, beliau mulai pensiun dari bisnis fotografi yang digelutinya.
Dimana Sem putra Cephas lah yang meneruskan karirnya di dunia fotografi. Tanggal 16 November
1912 menjadi hari yang bersejarah. Kassian Cephas meninggal dunia setelah mengalami sakit yang
berkepanjangan. Cephas dimakamkan di Kuburan Sasanalaya yang terletak antara pasar Beringharjo
Kamera Daguerre
Masuknya fotografi di Indonesia adalah tahun awal dari lahirnya teknologi fotografi, maka kamera
yang adapun masih berat dan menggunakan teknologi yang sederhana. Teknologi kamera pada
masa itu hanya mampun merekam gambar yang statis. Karena itu kebanyakan foto kota hasil karya
Woodbury dan Page terlihat sepi karena belum memungkinkan untuk merekam gambar yang
bergerak.
Terkadang fotografer harus menggiring pedagang dan pembelinya ke dalam studio untuk dapat
merekam suasana hirup pikuk pusat perbelanjaan. Oleh sebab itu telihat bahwa pedagang dan
pembelinya beraktifitas membelakangi sebuah layar. Ini karena teknologi kamera masih sederhana
Pada tahun 1900an, muncul penemuan kamera yang lebih sederhana dan mudah untuk dibawa
kemana-mana sehingga memungkinkan para fotografer untuk melakukan pemotretan outdoor. Bisa
dibilang ini adalah awal munculnya kamera modern.Karena bentuknya yang lebih sederhana, kamera
kemudian tidak dimiliki oleh fotografer saja tetapi juga dimiliki oleh masyarakat awam.
Banyak karya-karya fotografer maupun masyarakat awam yang dibuat pada masa awal
museum ini hanya menghadirkan foto-foto kota Jakarta pada jaman penjajahan Belanda saja. Karena
memang perkembangan teknologi fotografi belum masuk ke daerah. Salah satu foto yang dipamerkan
adalah
suasana Pasar Pagi, Glodok, Jakarta pada tahun 1930an. Pada awal dibangun, pasar ini hanya diisi
oleh
beberapa lapak pedagang saja. Ini berbeda dengan kondisi sekarang dimana Glodok merupakan
Kapal-kapal bangsa Spanyol dan Portugis telah mendarat di Maluku pada perempat awal
abad ke-16, tetapi Banten baru didarati pelaut Belanda pada akhir abad itu. Memasuki abad
ke-17, Belanda mendirikan VOC (Perusahaan Hindia Timur) dan mengobarkan perang di
dalam upaya menduduki sejumlah daerah di Jawa, yang masih berlangsung bahkan jauh
setelah VOC bangkrut dan dibubarkan pada 31 Desember 1799. Aceh telah menjalin
hubungan dengan sejumlah negara Eropa sejak abad ke-16, namun baru dapat ditaklukkan
Belanda pada awal abad ke-20, setelah Perang Aceh yang bekepanjangan (1873–1904).
Bali juga baru sepenuhnya dijajah setelah Belanda memenangi Perang Puputan (perang
habis-habisan) di Badung pada 1906 dan kemudian di Klungkung pada 1908. Cara pandang
semacam ini jadi terlalu menyederhanakan aspek-aspek lain di dalam percakapan fotografi
Woodbury & Page, Kurkdjian, dan Weissenborn tidak memfoto Hindia Belanda sebagai
petugas kolonial; mereka pengusaha jasa fotografi. Di samping itu, banyak pula klub
van Daalen (atas, ketiga dari kiri) dengan warga Koeto Reh yang terbunuh seusai perang di
dalam
kampanye militer di Aceh. Di tengah foto terlihat seorang anak kecil yang masih hidup. Van
Daalen
kemudian diangkat menjadi Gubernur Aceh pada 1905–1908. Foto oleh H.M. Neeb, 14 Juni
1904.
Yang bisa dibilang termasuk agenda kolonial di dalam bidang citraan visual misalnya
pendudukan. Banyak kepentingan yang saling berkelindan di dalam hal ini. Daerah jajahan
di Asia dan Afrika sering dipandang sebagai kawasan yang terbelakang dan dihuni
bumiputra yang primitif. Orang Eropa, di sisi lain, melihat diri mereka sebagai bangsa yang
lebih maju. Dengan menaklukkan dan menduduki daerah jajahan, mereka mencitrakan diri
sebagai bangsa yang lebih unggul yang sedang memajukan peradaban lokal.
Penggambaran kegiatan memajukan peradaban lokal ini menjadi penting di dalam menarik
minat orang dari Eropa untuk datang dan tinggal di tanah jajahan. Tanah jajahan yang
sudah ditaklukkan ini lantas dicitrakan sebagai kawasan baru yang penuh peluang dan
perkebunan, pabrik, dan perusahaan, termasuk jasa fotografi guna melayani kebutuhan citra
diri para pendatang dari Eropa itu kebutuhan yang lantas ditiru pula oleh golongan ningrat
1915–1916.
Oleh karena nilai guna pencitraan inilah, arsip fotografi kolonial yang masih tersimpan dan dapat kita
temui kini banyak yang berwujud album foto yang berjudul “Souvenir” (cendera mata), sebuah praktik
yang umum dijumpai di Hindia Belanda kala itu—juga di India Inggris, Malaya Inggris, dan Indocina
Prancis. Pendatang bangsa Eropa dapat membayar juru foto untuk mengambil gambar mereka, atau
membeli stok foto (pemandangan alam atau pemandangan kota) yang ditawarkan oleh juru foto di
studio mereka. Foto-foto yang dibuat di tanah jajahan itu kemudian dikirim balik ke negara asal para
Di samping untuk menekankan relasi kuasa penjajah atas tanah jajahannya dan kebutuhan citra diri
masyarakat yang mulai modern, kamera sebagai alat perekam gambar pada masa kolonial digunakan
pula untuk sejumlah penjelajahan ilmiah. Pendatang Eropa membuat sejumlah dokumentasi segi-segi
kehidupan masyarakat lokal, dengan pendekatan ilmu pasti dan ilmu sosial, seperti geografi dan
antropologi, termasuk antropometri (ilmu ukur tubuh manusia). Pendokumentasian ini turut
membentuk stereotipe yang cenderung rasis dan menunjang tatapan kolonial (colonial gaze), yang
melihat komunitas setempat sebagai Liyan (the Other) yang lebih rendah derajatnya. Representasi
komunitas lokal non-Eropa secara visual sebagai objek penelitian seperti ini membuat bangsa Eropa
Petugas kesehatan dan antropolog fisik Dr. H.J.T. Bijlmer sedang mengukur tubuh seorang kuli angkut Dayak.
Selain juru foto dan ilmuwan, medium fotografi pada masa kolonial dipakai pula oleh
golongan diplomat dan agamawan. Fotografi pada mulanya amat teknis dan mahal,
sehingga hanya kelompok masyarakat terpelajar dan berduit yang dapat menikmatinya
dan kerap menghasilkan foto-foto awal dari daerah jajahan. Sementara itu, golongan
kepada masyarakat pribumi di daerah jajahan. Misi penyebaran agama merupakan satu dari
tiga tujuan utama penjelajahan bangsa Eropa ke Dunia Baru (gold, glory, gospel). Maka
tidak mengherankan, jika karya para misionaris tersebut, terutama dari Ordo Fransiskan,
lantas berkembang menjadi salah satu arsip fotografi terbesar abad ke-19 hingga awal abad
ke-20.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Saran
Saran dari saya Dwian Farrel Nugraha sebagai mahasiswi fotografi Institut Seni
Padang Panjang, saya harus lebih mengeksplore atau membedah ilmu ilmu fotografi
lebih dalam lagi dan dapat lebih kreatif dalam menghasilkan karya, tidak boleh
sembarangan dalam menghasilkan sebuah karya, karna sebuah karya yang indah
1. http://budinddharmawan.wordpress.com | http://budinddharmawan.tumblr.com
2. https://beginnerfotografi.wordpress.com/2013/01/12/sejarah-fotografi-indonesia/
4. "Sejarah Fotografi Indonesia “Kassian Cephas” | Fotografi Indonesia." 2013. 22 Oct. 2013
<http://fotografiindonesia.net/sejarah-fotografi-indonesia-kassian-cephas/>