Anda di halaman 1dari 21

Definisi

Regolith adalah bagian atas tanah dimulai dari bagian atas batu-batuan yang telah
mengalami pelapukan hingga batuan induknya yang praktis belum mengalami pelapukan.
Bagian ini tebalnya hanya beberapa cm saja ataupun beberapa meter saja. Bagian atas
regolith pada hakikatnya baru masih merupakan bahan induk tanah, dan tanah dibangun oleh
mikro dan makro flora yaitu mikro dan makro fauna yang dilanjutkan oleh tumbuh-tumbuhan
tingkat tinggi.
Regolith mempunyai tiga horison, yaitu Horison A, Horison B, dan Horison C
A) Horison A
Yang dimaksud Horison A yaitu bagian atas dari regolith yang berpenghuni mikro dan
makroflora. Mikro dan makrofauna banyak mengandung sisa-sisa tubuhnya serta sisa-sisa
tanaman, mengandung humus, berwarna kelam muda sampai tua. Horison A inilah yang
merupakan yang sebenarnya yang dapat dimanfaatkan bagi tanaman pangan (penghasil zat
karbohidrat, lemak dan Protein)
B. Horison B
Air hujan umumnya melakukan pencucian bagian-bagian yang halus yang terdapat
pada Horison A, yang selanjutnya mengalir kebawah dan mengendap pada suatu lapisan yang
disebut Horison B. Lapisan ini tebalnya sekitar 1 m sampai 2 m, umunya banyak menyerap
air, tidak mengandung bahan organis, tetapi banyak mengandung zat mineral karena
terendapkan air kebawah.
C. Horison C
Batu induk terletak dibagian bawah horison A dan B. Antara Horison B dan batu
induk terdapat suatu lapisan yang terbentuk karena pelapukan-pelapukan batu induk. Lapisan
ini selain banyak mengandung batu-batuan (ukuran besar hingga kecil) yang permukaan
tengahnya juga melapuk, juga zat-zat mineral. Lapisan ini tidak mengandung bahan organis.
Horison A,B dan C sampai pada batu induk lazim disebut pembentukan profil tanah.
Horison A penting sekali bagi pertumbuhan dan perkembangan tanaman pangan yang
berumur pendek. Horison B dan C biasanya dijadikan tempat pertumbuhan dan
perkembangan tanaman yang berumur panjang dan perakaran yang dalam.
Dalam profil regolith, proses utama yang terlibat dalam laterisasi dapat dibagi
menjadi eluviasi dimana lempung dan zat terlarut tercuci dari suatu horizon, dan iluviasi
dimana material hasil pencucian tersebut terakumulasi, biasanya di level bawahnya. Dasar
dari profil regolith dicirikan oleh adanya zona saprolit yang berasal dari pelapukan tinggi
batuan dimana tekstur primer dan kemasnya masih terjaga. Sementara itu, bagian atas dari
regolith dicirikan dengan zona pedolith yang telah mengalami destruksi komplit.

Genesa
Proses Pembentukan Tanah Proses pembentukan tanah diawali dari pelapukan
batuan, baik pelapukan fisik maupun pelapukan kimia. Dari proses pelapukan ini, batuan
akan menjadi lunak dan berubah komposisinya. Pada tahap ini batuan yang lapuk belum
dikatakan sebagai tanah, tetapi sebagai bahan tanah (regolith) karena masih menunjukkan
struktur batuan induk. Proses pelapukan terus berlangsung hingga akhirnya bahan induk
tanah berubah menjadi tanah. Nah, proses pelapukan ini menjadi awal terbentuknya tanah.
Pembentukan tanah di bagi menjadi empat tahap
1. Batuan yang tersingkap ke permukaan bumi akan berinteraksi secara langsung dengan
atmsosfer dan hidrosfer. Pada tahap ini lingkungan memberi pengaruh terhadap kondisi
fisik. Berinteraksinya batuan dengan atmosfer dan hidrosfer memicu terjadinya pelapukan
kimiawi.
2. Setelah mengalami pelapukan, bagian batuan yang lapuk akan menjadi lunak. Lalu air
masuk ke dalam batuan sehingga terjadi pelapukan lebih mendalam. Pada tahap ini di
lapisan permukaan batuan telah ditumbuhi calon makhluk hidup.
3. Pada tahap ke tiga ini batuan mulai ditumbuhi tumbuhan perintis. Akar tumbuhan tersebut
membentuk rekahan di lapisan batuan yang ditumbuhinya. Di sini terjadilah pelapukan
biologis.
4. Di tahap yang terakhir tanah menjadi subur dan ditumbuhi tanaman yang ralatif besar.
Batuan-batuan tersebut tidak selamanya berwujud batu. Dengan adanya dinamika
eksogen, terutama iklim yang terus menerus bekerja dipermukaan bumi dan umumnya
menyebabkan pelapukan secara mekanik maupun kimiawi, membuat batuan-batuan induk
yang tadinya bersifat keras dan padu menjadi bahan induk yang bersifat lepas-lepas dalam
ukuran yang relatif lebih halus dibandingkan sebelumnya. Bahan induk inilah yang
selanjutnya akan menjadi tanah.Bahan induk sendiri terdiri dari 2 jenis berdasarkan dari
bahan asalnya, yaitu :
1. Bahan Induk Anorganik, berasal dari pelapukan batuan-batuan yang ada di dalam bumi dan
mengandung mineral-mineral alam.
2. Bahan Induk Organik, berasal dari pelapukan sisa-sisa makhluk hidup yang membusuk di
permukaan bumi maupun yang telah terkubur.Bahan induk sebagai bahan dasar terbentuknya
tanah, diproses oleh iklim yang menyebabkan terjadinya pelapukan baik secara mekanik
maupun kimiawi.

Pelapukan secara mekanik pada iklim berasal dari suhu udara, kelembababn udara,
kecepatan angin dan curah hujan. Bahan induk yang mengalami pelapukan tidak hanya
berupa batuan saja, tetapi juga terjadi pada bahan induk yang berasal dari sisa-sisa mahkluk
hidup. Pelapukan secara kimiawi merupakan proses penghancuran batuan sekaligus merubah
susunan zat kimianya. Batuan di atas permukaan bumi mengandung bermaca-macam mineral
yang mengandung berbagai zat kimia yang berasal dari alam. Ada beberapa mineral yang
adapt larut dalam air. Contoh umum zat yang dapat melarutkan batuan adalah air hujan yang
sering kali membasahi permukaan bumi. Air hujan sendiri mengandung zat kimia Hidrogen
(H2O) dan Karbondioksida (CO2). Zat CO2 yang berperan sebagai bahan pelarut,
memnyebabkan batuan yang dilaluinya mengalami perubahan-perubahan pada struktur zat
kimianya serta mengangkat zat-zat yang telah dilatutkannya tersebut.
Aktifitas organisme biasanya menyebabkan pelapukan yang terjadi secara biologios.
Seperti tumbukan lumut kerak diatas permukaan batuan dapat menghancurkan batuan karena
lumut tersebut menghisap makanan dari batu yang ditumpanginya. Selain batuan lumut,
hewan tertentu juga dapat menghancurkan batuan menjadi tanah. Seperti semut, rayap, dan
cacing yang membuat sarang di batuan, membuat batuan hancur yang lama-kelamaan
menjadi tanah.
Semua faktor yang menyebabkan terjadinnya pelapukan pada batuan induk menjadi tanah
yang sudah dijelaskan di atas, membutuhkan waktu yang sesuai dengan kemungkinan pada
letak topografi dan tingkat intensitas iklim dan organisme yang memproses pelapukan batuan
induk
Regolith (Lapisan Bahan Induk Tanah)
Lapisan ini merupakan bahan asal atau bahan induk dari lapisa tanah bagian bawah.
Lapisan regolith ini berwarna kelabu keputih-putihan, sifatnya lebih tidak subur dibanding
dengan lapisan subsoil karena kandungan zat haranya yang sedikit sekali. Struktur regolith
sangat keras, hingga akar tumbuhan pun sulit untuk menembusnya. Lapisan tanah ini sering
terlihat di lereng-lereng bukit.
Earth's regolith includes the following subdivisions and components:

Soil or pedolith
Alluvium and other transported cover, including that transported by aeolian, glacial,
marine, and gravity flow processes.
"Saprolith'", generally divided into the
upper saprolite: completely oxidised bedrock
lower saprolite: chemically reduced partially weathered rocks
saprock: fractured bedrock with weathering restricted to fracture margins.
Volcanic ash and lavas
Duricrust, formed by cementation of soils, saprolith and transported material
by clays, silicates, iron oxides and oxyhydroxides,carbonates and sulfates, as well as
less common agents, into indurated layers resistant to weathering and erosion.
Droundwater- and water-deposited salts.
Biota and organic components derived from it.

Regolith can vary from being essentially absent to hundreds of metres in thickness. Its
age can vary from instantaneous (for an ash fall or alluvium just deposited) to hundreds of
millions of years old (regolith of Precambrian age occurs in parts of Australia).[5]
Regolith on Earth originates from weathering and biological processes; if it contains a
significant proportion of biological compounds it is more conventionally referred to as soil.
People also call various types of earthly regolith by such names as dirt, dust, gravel, sand, and
(when wet) mud.
On Earth, the presence of regolith is one of the important factors for most life, since
few plants can grow on or within solid rock and animals would be unable to burrow or build
shelter without loose material.
Regolith is also important to engineers constructing buildings, roads and other civil
works. The mechanical properties of regolith vary considerably and need to be documented if
the construction is to withstand the rigors of use.
Regolith may host many mineral deposits, for example mineral sands, calcrete uranium,
and lateritic nickel deposits, among others. Elsewhere, understanding regolith properties,
especially geochemical composition, is critical to geochemical and geophysical exploration
for mineral deposits beneath it.[6][7] The regolith is also an important source of construction
material, including sand, gravel, crushed stone, lime, and gypsum.
The regolith is the zone through which aquifers are recharged and through which aquifer
discharge occurs. Many aquifers, such as alluvial aquifers, occur entirely within regolith. The
composition of the regolith can also strongly influence water composition through the
presence of salts and acid-generating materials.

Klasifikasi
Sistem klasifikasi tanah yang dibuat oleh Pusat Penelitian Tanah (PPT) Bogor tahun
1982 merupakan pengembangan dan modifikasi dari sistem klasifikasi tanah yang dibuat oleh
Dudal Dan Supraptoharjo tahun 1957 dan 1961. Sistem yang dibuat oleh Dudal dan
Supraptoharjo digunakan untuk keperluan survey tanah di Indonesia. Sistem ini mirip dengan
sistem klasifikasi Amerika Serikat tahun 1937 serta sistem Thorp dan Smith tahun 1949.
Modifikasi sistem klasifikasi tanah Indonesia juga dilakukan setelah dikeluarkannya sistem
klasifikasi tanah FAO/UNESCO pada tahun 1974.
Dasar-dasar klasifikasi tanah yang dibuat oleh Dudal dan Supraptoharjo adalah: (1)
Morfologi tanah merupakan kriteria untuk pengklasifikasian tanah, (2) klasifikasi tanah
dilakukan pada kategori yang berbeda-beda, (3) klasifikasi tanah harus dikaitkan dengan
keperluan survey tanah dan (4) dilakukannya korelasi yang sistematik dan berkelanjutan

antara klasifikasi tanah dan survey tanah. Pada sistem klasifikasi tanah tahun 1957 terdapat
13 tanah dan 1961 terdapat 19 jenis tanah di Indonesia. Tanah dibedakan atasada atau
tidaknya terjadi perkembangan profil tanah, susunan horison utama, berdasarkan warna, dan
sifat fisik utama tanah (tekstur) pada kedalam 50 cm. Kategori yang digunakan adalah (1)
Golongan, (2) Kumpulan, (3) Jenis, (4) Macam, (5) Rupa dan (6) Seri.
Jenis tanah menurut Dudal dan Suparaptoharjo (1957) terdiri dari:
1. Latosol: adalah tanah yang telah mengalami pelapukan lanjut dengan
kandungan bahan organik, mineral primer dan unsur hara rendah, bereaksi
masam (pH 4.5 5.5), terjadi akumulasi seskuioksida, tanah berwarna merah,
coklat kemerahan hingga coklat kekuningan atau kuning. Tanah terdapat mulai
dari daerah pantai hingga 900 m dengan curah hujan antara 2500 7000 mm
per tahun.
2. Andosol: adalah tanah yang berwarna hitam sampai coklat tua dengan
kandungan bahan organik tinggi, remah dan porous, licin (smeary) dan reaksi
tanah antara 4.5 6.5. Horison bawah-permukaan berwarna coklat sampai
coklat kekuningan dan kadang dijumpai padas tipis akibat semenatsi silika.
Tanah ini dijumpai pada daerah dengan bahan induk vulkanis mulai dari
pinggiran pantai sampai 3000 m diatas permukaan laut dengan curah hujan
yang tinggi serta suhu rendah pada daerah dataran tinggi.
3. Podsolik Merah Kuning: merupakan tanah sangat tercuci yang berwarna abuabu muda sampai kekuningan pada horison permukaan sedang lapisan bawah
berwarna merah atau kuning dengan kadar bahan organik dan kejenuhan basa
yang rendah serta reaksi tanah yang masam sampai sangat masam (pH 4.2
4.8). Pada horison bawah permukaan terjadi akumulasi liat dengan struktur
tanah gumpal dengan permeabilitas rendah. Tanah mempunyai bahan induk
batu endapan bersilika, napal, batu pasir dan batu liat. Tanah ini dijumpai pada
ketinggian antara 50 350 m dengan curah hujan antara 2500 3500
mm/tahun.
4. Mediteran Merah Kuning: merupakan tanah yang berkembang dari bahan
induk batu kapur dengan kadar bahan organik rendah, kejenuhan basa sedang
sampai tinggi, tekstur berat dengan struktur tanah gumpal, reaksi tanah dari
agam masam sampai sedikit alkalis (pH 6.0 7.5). Dijumpai pada daerah
mulai dari muka laut sampai 400 m pada iklim tropis basah dengan bulan
kering nyata dan curah hujan tahunan antara 800 2500 mm.

5. Regur: merupakan tanah yang berwarna kelabu tua sampai hitam, kadar bahan
organik rendah, tekstur liat berat, reaksi tanah netral sampai alkalis. Tanah
akan retak-retak jika kering dan lekat jika basah. Bahan induk tanah dari marl,
shale (napal), berkapur, endapan alluvial atau volkanik. Ditemukan mulai dari
muka laut sampai 200 m dengan iklim tropis basah sampai subtropics dengan
curah hujan tahunan antara 800 2000 mm.
6. Podsol: merupakan tanah dengan bahan organik cukup tinggi yang terdapat
diatas lapisan berpasir yang mengalami pencucian dan berawrna kelabu pucat
atau terang. Dibawah horison berpasir terdapat horison iluviasi berwarna
coklat tua sampai kemerahan akibat adanya iluviasi bahan organik dengan
oksida besi dan alumunium. Tanah ini berkembang dari bahan induk endapan
yang mengandung silika , batu pasir atau tufa volkanik masam. Tanah
dijumpai mulai dari permukaan laut sampai 2000 m dengan curah hujan 2500
3500 mm/tahun.
7. Tanah Sawah: disebut juga sebagai paddy soil yang mempunyai horison
permukaan berwarna pucat karena terjadi reduksi Fe dan Mn akibat genangan
air sawah. Senyawa Fe dan Mn akan mengendap dibawah lapisan reduski dan
membentuk konkresi dan horison agak memadas. Sifat tanah sawah beragam
tergantung dari bahan induk penyusunnya. Oleh sebab itu istilah tanah sawah
tidak digunakan lagi pada sistem klasifikasi tanah selanjutnya.
8. Hidrosol: merupakan tanah yang banyak dipengaruhi oleh kadar air tanah.
Nama Hidrosol terlalu umum maka nama ini tidak lagi digunakan. Tanah yang
termasuk Hidrosol ini dapat dibedakan atas glei humus, hidromorf kelabu,
planosol, glei humus rendah dan laterit air tanah. Dasar pembeda dari jenisjenis tanah ini adalah tinggi rendahnya kadar air tanah.
9. Calcisol: merupakan nama kelompok tanah yang kaya akan kalsium. Tanah
dapat dibedakan menjadi: rendzina, brown forest soil, mediteran kalsimorfik.
10. Regosol: merupakan tanah muda yang berkembang dari bahan induk lepas
(unconsolidated)

yang

bukan

dari

bahan

endapan

alluvial

dengan

perkembangan profil tanah lemah atau tanpa perkembangan profil tanah.


11. Litosol: merupakan tanah yang dangkal yang berkembang diatas batuan keras
dan belum mengalami perkembangan profil akibat dari erosi. Dijumpai pada
daerah dengan lereng yang curam.
12. Aluvial: merupakan tanah yang berasal dari endapan alluvial atau koluvial
muda dengan perkembangan profil tanah lemah sampai tidak ada. Sifat tanah

beragam

tergantung

dari

bahan

induk

yang

diendapkannya

serta

penyebarannya tidak dipengaruhi oleh ketinggian maupun iklim.


13. Tanah Organik: merupakan tanah dengan kadar bahan organik tinggi dan
lapisan gambut yang tebal. Tanah jenuh air sepanjang tahun dengan reaksi
tanah masam, dranase sangat buruk dan curah hujan yang tinggi.
Pusat Penelitian Tanah (PPT) Bogor melakukan penyempurnaan sistem
klasifikasi tanah Dudal dan Suparaptoharjo tersebut pada tahun 1982. Pada
modifikasi ini terdapat pengaruh dari sistem FAO/UNESCO. Perbaikan yang
dilakukan seperti tidak digunakannya warna tanah sebagai kriteria penciri
pada kategori Macam. Ini dikarenakan warna tanah tidak memperlihatkan sifat
lain yang nyata dari tanah. Terjadi juga perubahan nama tanah dari Regur
menjadi Grumosol, Podsolik Merah Kuning menjadi Podsolik, Hidrosol dan
Tanah Sawah dihilangkan dalam sistem klasifikasi tanah. Dalam sistem
klasifikasi tanah PPT-Bogor dikenal 20 golongan tanah yaitu:
1. Organosol: merupakan tanah yang mempunyai horison histik setebal 50 cm
atau lebih dengan bulk density (berat volume) yang rendah.
2. Litosol: merupakan tanah yang dangkal yang terdapat pada batuan yang kukuh
sampai kedalaman 20 cm dari permukaan tanah.
3. Ranker: merupakan tanah dengan horison A umbrik dengan ketebalan 25 cm
dan tidak mempunyai horison daignostik lainnya.
4. Rendzina: merupakan tanah dengan horison A molik yang terdapat diatas batu
kapur dengan kadar kalsium karbonat lebih dari 40 persen.
5. Grumosol: merupakan tanah dengan kadar liat lebih dari 30 persen, bersifat
mengembang jika basah dan retak-retak jika kering. Retak (crack) dengan
lebar 1 cm dan dengan kedalaman retak hingga 50 cm dan dijumpai gilgai atau
struktur membaji pada kedalaman antara 25 125 cm dari permukaan.
6. Gleisol: merupakan tanah yang memperlihatkan sifat hidromorfik pada
kedalaman 0 50 cm dari permukaan dan dijumpai horison histik, umbrik,
molik, kalsik atau gipsik.
7. Aluvial: merupakan tanah yang berkembang dari bahan induk alluvial muda,
terdapat stratifikasi dengan kadar C organik yang tidak teratur. Horison
permukaan dapat berupa horison A okrik, horison histik atau sulfuric.
8. Regosol: merupakan tanah yang bertekstur kasar dari bahan albik dan tidak
dijumpai horison penciri lainnya kecuali okrik, hostol atau sulfuric dengan

kadar pasir kurang dari 60 persen pada kedalaman antara 25 100 cm dari
permukaan tanah.
9. Koluvial: merupakan tanah yang tidak bertekstur kasar dari bahan albik, tidak
mempunyai horison diagnostik lainnya kecuali horison A umbrik, histik atau
sulfurik.
10. Arenosol: merupakan tanah yang bertekstur kasar dari bahan albik yang
terdapat pada kedalaman kurang dari 50 cm dari permukaan tanah dan hanya
mempunyai horison A okrik.
11. Andosol: merupakan tanah yang berwarna hitam sampai coklat tua dengan
kandungan bahan organik tinggi, remah dan porous, licin (smeary) dan reaksi
tanah antara 4.5 6.5. Horison bawah-permukaan berwarna coklat sampai
coklat kekuningan dan kadang dijumpai padas tipis akibat semenatsi silika.
Horison A dapat terdiri dari molik atau umbrik yang terdapat diatas horison
kambik. Cri lainnya adalah BV rendah (< 85 g/cm3). dan kompleks pertukaran
didominasi oleh bahan amorf. Tanah ini dijumpai pada daerah dengan bahan
induk vulkanis mulai dari pinggiran pantai sampai 3000 m diatas permukaan
laut dengan curah hujan yang tinggi serta suhu rendah pada daerah dataran
tinggi.
12. Latosol: merupakan tanah yang mempunyai distribusi kadar liat tinggi
(>60%), KB < 50%, horison A umbrik dan horison B kambik.
13. Brunizem: merupakan tanah yang mempunyai distribusi kadar liat tinggi
(>60%), gembur, KB > 50%, horison A molik dan horison B kambik.
14. Kambisol: merupakan tanah yang mempunyai horison B kambik dan horison
A umbrik atau molik, tidak terdapat gejala hidromorfik.
15. Nitosol: merupakan tanah yang mempunyai horison B argilik dengan
penurunan liat kurang dari 20% terhadap liat maksimum, tidak ada plintit,
tidak mempunyai sifat vertik tetapi mempunyai sifat ortoksik (KTK dengan
amoniumasetat < 24 cmpl/kg liat).
16. Podsolik: merupakan tanah yang mempunyai horison B argilik, kejenuhan
basa < 50% dan tidak mempunyai horison albik.
17. Mediteran: merupakan tanah yang mempunyai horison argilik dengan
kejenuhan basa > 50% dan tidak mempunyai horison albik.
18. Planosol: merupakan tanah yang mempunyai horisol E albik yang terletak
diatas horison argilik atau natrik, perubahan tekstur nyata, adanya liat berat
atau fragipan di dalam kedalam 125 cm. Pada horison E albik dijumpai cirri
hidromorfik.
19. Podsol: merupakan tanah yang mempunyai horison B spodik.
20. Oksisol: merupakan tanah yang mempunyai horison B oksik.

Komposisi Kimia
1 Colloidal properties:
A major portion of the clay fraction (2mu) exists in the colloidal state (1 to 200 mu).
This fraction exhibit the typical polloidal properties such as Tyndall effect, Brownian
movement and possession of electric charges.

2 Ion adsorption:
The soil particles due to the presence of charges adsorb and exchange ions in solution.
When fertilizers are added to agricultural soils or ponds, most of the nutrients in the fertilizer
(cations as well as anions) are adsorbed on the negatively and positively charged sites of the
soil or pond mud and released slowly to the soil water or pond water over a long period of
time. This explains why fertilizers added to a pond may remain active for many years. In the
case of phosphorus fertilizer, not much of the original fertilizer applied is washed out of the
pond at each draining. The pond mud acts as a buffer system for many elements which could
control the concentrations in the overlying waters because of the large concentrations of some
elements present in the mud sediments. The effects of this buffer system could be to keep the
concentrations in the overlying waters relatively constant even though the concentrations of
the element in the water is altered. The large quantity of lime required to increase the pH of
ponds is often due to the neutratization of the potential or exchange acidity resulting from
adsorbed hydrogen and aluminium ions.
3 Origin of charges in soil and ion exchange:
Electric charges on soil colloids arise from principally three sources:
i.

from isomorphous substitution of one ion by another of different valency within the
clay mineral structure. This gives rise to mainly negative charges. The charges are
permanent and do not change with change in pH of the external solution.

ii.

from ionisation of OH groups attached to the Al, Si, Fe at the edges of clay minerals.
The charges created by this process are negative, zero or positive depending on the
pH. Ionisation of OH groups attached to the Al at the edge of clay minerals can be
represented as follows:
Clay - Al OH+2

Clay - Al - OH

Clay - Al
O-

Very low pH

Intermediate
pH

High pH

(below 3)

(about 3)

(above 3)

iii.

The pH at which the soil has net zero charge, positive charge or negative charge
depends on the type and amount of the various clay minerals present in the soil.

iv.

from ionisation of - NH2, - OH and - COOH functional groups in the organic matter of
soils. This too gives rise to positive, neutral and negative charges as in (ii) depending
on the pH.
Organic matter Organic

Organic

- COOH+2

matter COOH

(pH < 2)

(pH < 2)

matter COO(pH < 2)

v.

In a soil, charges arise from all the above 3 sources. Negative charges increase with
increase in pH of the water surrounding the soil particles and positive charges increase
with decrease in pH (Fig. 1.11). At very low pH, the soil or pond mud adsorbs anions
and acts as an anioh exchanger (Fig. 1.12). At higher pH, it adsorbs cations and acts as
a cation exchanger (Fig. 1.13).

As the pH of most agricultural soils and ponds muds are generally higher than 4, the soil or
mud is principally a cation exchanger, though it has some anion exchange properties. On the
negatively charged sites or cation exchange sites, exchangeable cations are adsorbed and on
the positively charged sites or anion exchange sites, exchangeable anions are adsorbed.
Exchangeable cations can be acidic or basic cations. Acidic cations are those which produce
acidity in soil. Common exchangeable cations and anions in soils are given below:
Exchangeable

cations:
Exchangeable anions: SO2-4, BO2-3, CO2-3, HCO3-, OH-, H2PO4-, HPO2-4, PO3-4, etc.
The quantity of cations which are adsorbed on the muds is expressed as milliequivalents of
cations per 100 g (meq/100 g) of dry mud and is termed the cation exchange capacity (CEC).
CEC is a measure of the total negative charges in the soil. CEC increase with increase in pH,
% clay and % organic matter content in the soil.
The fraction of CEC occupied by basic cations is called base saturation and the fraction of
CEC occupied by acidic cations is base unsaturation.
A sample calculation of CEC, base saturation and base unsaturation of a soil from Port
Harcourt, Nigeria is given in Table IV.
Table IV.: CEC, base saturation and base unsaturation of a Typic Paleudult soil from
Port Harcourt, Nigeria
Exchangeable cations (meq/100g soil)
Ca

2+

1.9

Mg
0.6

2+

3+

CEC
+

Na

Al

0.8

0.2

1.2

0.8

Base

Base

meq/100g soil saturation unsaturation


5.5

0.64

0.36

Relationships between base unsaturation and soil pH and between base unsaturation and total
hardness of water are presented in Fig. 1.14.

Relative affinities of ions for adsorption on soils depend on the:


i.

valency of the ions (higher the valency, higher the adsorptive power)

ii.

concentration of the ions in the water (higher the concentration, higher the adsorptive
power).

iii.

nature of the ions (i.e. ions having same concentration and valency but different
hydrated ionic radii have different affinities for adsorption)
e.g. Li+ < Na+ < K+ < Rb+ < Cs+ ;
Ca2+ < Sr2+ < Ba2+
Lyotropic series (order of adsorptive power or replacing power). Ions having
lower hydrated ionic radii have higher adsorptive power.

Most ions are adsorbed at charged sites on the soil by electrostatic attraction (physical
adsorption). Some ions are adsorbed by the formation of chemical bonds at neutral sites in the
soil (chemical adsorption). The latter type of adsorption gives rise to fixation of the ion in the
pond mud thereby the ion may not become available to the phytoplankton in the water for a
long time. Here, the mud acts as a temporary sink for the nutrient (Fig. 1.15).

Fig. 1.11. Influence of pH on surface charge of soil.

Fig. 1.12. Anion exchange equilibria.

Fig. 1.13. Cation exchange equilibria.

Fig. 1.14. Relationships of base unsaturation with pH and total hardness of water
When nutrients in the pond water are removed by phytoplankton or by any other
process, the soil exchange complex releases more nutrients to the soil solution phase - the soil
exchange complex acts as a store-house for these nutrients. Similarly when lime or fertilizers
are added to the pond water, a major portion of these materials get adsorbed on to the pond
mud (Fig. 1.16) (Hickling, 1974).
4 Soil acidity:
A soil is said to be acidic if its pH is less than 7. Soil acidity can be further divided into:
pH
Extremely acidic <4.5
Very strongly
acidic

4.5
5.0

Strongly acidic

5.1
5.5

Moderately acidic

5.6
6.0

Slightly acidic

6.1
6.5

Neutral

6.6
7.5

Acidity in the soil is caused by the following:


i.

Adsorbed H+, Fe3+ and Al3+ as well as solution H+, Fe3+ and
Al3+. Hydrolyses of Fe3+ and Al3+ produces H+

3+

Al

Al(OH)2
+

Al(OH)
+
2

+
Al
+
2+
H2 = (OH) H
+
O
+
Al
+
H2 = (OH)+2 H
+
O
+
+
Al
H2 =
H
(OH)3 +
O
precipitat
e

ii.

Leaching of basic cations such as Ca, Mg, K and Na from the soil by heavy rainfall
leaving acidic cations to remain in the soil. This is the reason for the occurance of
acidic soils in humid regions and alkaline or neutral soils in arid regions.

iii.

Oxidation of NH+4 and S2- in soils by micro-organisms.


NH+4 + 3O2 = 2NO-2 + 4 H+ + H2O
bacteria involved is nitrosomones
This reaction along with the following:
2NO-2 + O2 = 2NO-3
bacteria involved is nitrobacter is called the nitrification process
Acid sulphate soils on aeration produce acidity by the oxidation of sulphide to
sulphuric acid.
4 Fe S2 + 15O2 + 2H2O = 2 Fe2(SO4)3 + 2
H2SO4
(pyrite)

bacteria involved is Thiobacillus ferroxidans


Fe(SO4)3 + Fe S2 = 3 Fe SO4 + 2S
2S + 6 Fe2(SO4)3 + 8 H2O = 12 Fe SO4 + 8 H2SO4
Oxidation of sulphur to sulphuric acid is caused by Thiobacillus thicxidans
S + 3/2 O2 + H2O = H2SO4
The yellow mottles found in most acid sulphate soils are due to jarosite, a basic ferric
sulphate compound K Fe3(SO4)2 (OH)6 which is produced during pyrite oxidation with the
hydrolysis of ferric sulphate and oxidation of ferrous sulphate.
Fe (SO4)3 + 2H2O = 2 Fe (OH) SO4 + H2SO4
4 Fe (SO4) + 2 H2O + O2 = 4 Fe(OH) SO4.
Soil acidity can be classified into two types:
i.

active acidity

ii.

potential acidity, exchange acidity or reserve acidity.

Active acidity is due to the Al3+ and H+ (and to a less extent Fe3+) in the water surrounding the
soil particles and is measured by the pH meter. It is related to the degree of base unsaturation.
Potential or exchange acidity is many times higher than the active acidity and is due to the
adsorbed H+ and Al3+. The magnitude of potential acidity is more dependent on CEC than the
base unsaturation. Two soils with different CEC may have the same pH and base unsaturation
but the soil with greater CEC will have the larger potential acidity.

Fig. 1.15. Phosphate fixation in soil (note adsorption of phosphate ions at neutral sites)

Fig. 1.16. Reaction of lime and fertilizers with soil.


Acidity may give rise to Fe, Al, and Mn, toxicities, phosphorus unavailability (due to
fixation), reduction in total hardness and total alkalinity, reduction in nitrification, increase in
the amount of undecomposed organic matter, risk of liberation of certain parasitic and
bacterial diseases.
Some redox elements in the regolith

Iron: Fe2+ <> Fe3+ (FeOOH)


Manganese: Mn2+ <> Mn3+, Mn4+ (MnO2)
Carbon: C <> (CO3)2- (CaCO3), C+4(CO2)
Sulfur: S2- <> S6+ ( (SO4)2-), S0 (FeS2)
Arsenic: As3+ <> As5+ (AsO43-)
Gold: Auo <> Au+, Au3+ (AuCl4-)
Chrominum: Cr3+ <> Cr6+ (CrO42-)
Uranium: U4+(UO2) <> U6+ (UO2)

More states exist for some elements but are relatively rare in the regolith environment.
Each state can have several solute and solid species.
A regolith profile example - ferrolysis

Manfaat Regolith

National Parks
Most national, etc., parks depend on scenery and/or ecological niches for their existence:

Wilsons Promontory - dissected Cretaceous ? weathering profiles with younger


weathering and materials;
Kosciuszko - dissected planated and uplifted Mesozoic? land surface;
Uluru - desert landscapes, monoliths;
Kakadu - Quaternary and Proterozoic landscapes and ecology;
Yosemite - glacial landscapes with active uplift due to hotspot volcanism;
Stonehenge - regolith materials (sarsen stones or silcrete).

Natural Resource Management


Recent regolith work in Central western NSW:

salts shown to be largely aeolian, minor rock weathering;


salts stored in weathered rock (regolith);
salt released by rising groundwaters;
groundwater flow controlled by buried landscapes.

Understanding salinity depends on

weathering history;
landscape evolution;
climate past and present;
realization that Australia has always been salty.

Engineering

2:1 lattice clays and self-mulching clay soils expand when wetted (smectite 9.6 dry
- 15.5 wet), strong pressures are developed during wetting/drying.
Optical fibre cable laying is a problem; cables can be progressively strained and
snapped in swelling soils.
Building foundations in swelling ground must be specially treated.
Road pavement stabilization a problem in areas with swelling ground.
Aggregate from regolith materials for road/rail base (silcrete, calcrete, ferricrete).
Each with own problems.

Agriculture
All agriculture occurs within the regolith
What about hydroponics?

Where do they get their fertilisers from?

Agriculture strongly relies on the upper part of the regolith, soil.


Regolith studies are crucial for soil management:

Stability/erodability;
Salinity issues;
Plant health (soil nutrient deficiencies/overabundances).

Mineral exploration
Positive effects of regolith processes:

larger target halo;


Useful sampling media:
Regolith carbonates and Au;
Ferruginous regolith and base metals/Au/PGE;
Biota and base metals/Au/PGE

Negative effects of regolith processes:

deposits hidden by transported regolith.

Need to first understand regolith structure and landscape relationships, then choose
appropriate sampling media and exploration strategies.

Resources

Regolith-derived natural resources:

Daftar Pustaka

http://amarikhsanpalamgeotanah.blogspot.com/2014/04/proses-pembentukan-tanah.html
https://rioardi.wordpress.com/2009/02/25/regolith-horison-ab-dan-c-tanah/
http://finniyulyoni.blogspot.com/2014/05/proses-pembentukan-tanah.html
http://azanulahyan.blogspot.com/2012/09/tanah-dan-jenis-jenis-tanah.html
https://geologistwannabe.wordpress.com/category/geokimia-soil/
http://en.wikipedia.org/wiki/Regolith#Etymology
http://softilmu.blogspot.com/2014/07/pelapukan.html
http://www.minerals.dmitre.sa.gov.au/__data/assets/pdf_file/0018/210384/SHill_AIG_Keyn
ote_Sept_2013.pdf
http://crcleme.org.au/Educ/what_is_regolith.pdf
http://novaliarosa65.blogspot.com/
http://www.fao.org/docrep/field/003/ac172e/AC172E03.htm

Anda mungkin juga menyukai