Anda di halaman 1dari 37

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Dispepsia merupakan salah satu gangguan pada saluran pencernaan,
khususnya lambung. Dispepsia dapat berupa rasa nyeri atau tidak enak di perut
bagian tengah ke atas. Rasa nyeri tidak menentu, kadang menetap atau kambuh.
Dispepsia umumnya diderita oleh kaum produktif dan kebanyakan penyebabnya
adalah pola atau gaya hidup tidak sehat. Gejalanya pun bervariasi mulai dari nyeri ulu
hati, mual-muntah, rasa penuh di ulu hati, sebah, sendawa yang berlebihan bahkan
bisa menyebabkan diare dengan segala komplikasinya.1
Secara umum dispepsia terbagi menjadi dua jenis, yaitu dispepsia organik dan
dispepsia
non organik atau dispesia fungsional. Dispepsia dapat disebut dispepsia organik
apabila penyebabnya telah diketahui secara jelas. Dispepsia fungsional atau dispepsia
non-organik, merupakan dispepsia yang tidak ada kelainan organik tetapi merupakan
kelainan fungsi dari saluran makanan.2
1.2 EPIDEMIOLOGI
Dispepsia merupakan salah satu masalah pencernaan yang paling umum
ditemukan. Dialami sekitar 20%-30% populasi di dunia setiap tahun. 3 Data Depkes
tahun 2004 menempatkan dispepsia di urutan ke 15 dari daftar 50 penyakit dengan
pasien rawat inap terbanyak di Indonesia dengan proporsi 1,3%. Dispepsia yang oleh
orang awam sering disebut dengan sakit maag merupakan keluhan yang sangat
sering kita jumpai sehari hari. Sebagai contoh dalam masyarakat di negara negara
barat dispepsia dialami oleh sedikitnya 25% populasi. Di negara negara Asia belum
banyak data tentang dispepsia tetapi diperkirakan dialami oleh sedikitnya 20% dalam
populasi umum.4

Mengenai jenis kelamin, ternyata baik lelaki maupun perempuan bisa


terkena penyakit itu. Penyakit itu tidak mengenal batas usia, muda maupun tua, sama
saja. Di Indonesia sendiri, survei yang dilakukan dr Ari F Syam dari FKUI pada tahun
2001 menghasilkan angka mendekati 50 persen dari 93 pasien yang diteliti. Tidak
hanya di Indonesia di luar negeri juga, banyak orang yang tidak peduli dengan
dispepsia itu. Mereka tahu bahwa ada perasaan tidak nyaman pada lambung mereka,
tetapi hal itu tidak membuat mereka merasa perlu untuk segera ke dokter.4
Padahal, menurut penelitian- masih dari luar negeri-ditemukan bahwa dari
mereka yang memeriksakan diri ke dokter, hanya 1/3 yang tidak memiliki ulkus
(borok) pada lambungnya atau dispepsia non-ulkus. Angka di Indonesia sendiri,
penyebab dispepsi adalah 86 persen dispepsia fungsional, 13 persen ulkus dan 1
persen disebabkan oleh kanker lambung.4
Pada dispepsia fungsional, umur penderita dijadikan pertimbangan, oleh
karena 45 tahun ke atas sering ditemukan kasus keganasan, sedangkan dispepsia
fungsional diatas 20 tahun. Begitu pula wanita lebih sering daripada laki-laki.4
Pada ulkus peptik perbandingan laki-laki dan wanita 2 : 1. Insiden ulkus
meningkat pada usia pertengahan. Penyakit ulkus memperlihatkan interaksi kompleks
dari berbagai faktor lingkungan dan genetik yang menghasilkan penyakit ;
a. Genetik dan faktor yang berhubungan dengan penyakit. Insiden akan meningkat
pada keadaan:
Sanak keluarga tingkat pertama dari penderita, peningkatannya 3 kali lebih besar.
Penderita ulkus yang kembar meningkat 3 kali lebih besar.
Golongan darah O, meningkat 30 %
b. Perokok : Merokok berkaitan dengan peninggian frekuensi ulkus 33-110 %
dibandingkan dengan yang tidak merokok.
c. Aspirin : Penggunaan yang kronis meningkatkan insiden ulkus
d. Obat anti peradangan non steroid : Obat-obat seperti indometasin, ibuprofen dan
lain-lain, menyebabkan perubahan mekanisme pertahanan lambung.
2

e. Kopi dan alkohol


Kafein yang terkandung dalam kopi merupakan stimulan kuat dari sekresi asam,
seperti susu, bir dan minuman ringan.
f. Kortikosteroid : Sifat ulserogenik dari kortikosteroid secara umum masih
kontroversial
g. Stress Peran: stress dan tipe personal masih kontroversial, meskipun beberapa
penelitian
menghubungkan pepsinogen serum yang tinggi.5

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 DEFINISI
Dispepsia merupakan sindrom atau kumpulan gejala atau keluhan yang terdiri
dari nyeri atau rasa tidak nyaman di ulu hati, kembung, mual, muntah, sendawa, rasa
cepat kenyang, perut rasa penuh atau begah.1
Dispepsia berasal dari bahasa Yunani (Dys-), berarti sulit , dan (Pepse),berarti
pencernaan (N.Talley, et al., 2005). Dispepsia merupakan kumpulan keluhan/gejala
klinis yang terdiri dari rasa tidak enak/sakit di perut bagian atas yang menetap atau
mengalami kekambuhan. Keluhan refluks gastroesofagus klasik berupa rasa panas di
dada (heartburn) dan regurgitasi asam lambung, kini tidak lagi termasuk dispepsia.3
Ada berbagai macam definisi dispepsia. Salah satu definisi yang dikemukakan
oleh suatu kelompok kerja internasional adalah: Sindroma yang terdiri dari keluhan keluhan yang disebabkan karena kelainan traktus digestivus bagian proksimal yang
dapat berupa mual atau muntah, kembung, dysphagia, rasa penuh, nyeri epigastrium
atau nyeri retrosternal dan ruktus, yang berlangsung lebih dari 3 bulan. Dengan
demikian dispepsia merupakan suatu sindrom klinik yang bersifat kronik.2
Dalam klinik tidak jarang para dokter menyamakan dispepsia dengan gastritis.
Hal ini sebaiknya dihindari karena gastritis adalah suatu diagnosa patologik, dan tidak
semua dispepsia disebabkan oleh gastritis dan tidak semua kasus gastritis yang
terbukti secara patologi anatomik disertai gejala dispepsia. Karena dispepsia dapat
disebabkan oleh banyak keadaan maka dalam menghadapi sindrom klinik ini
penatalaksanaannya seharusnya tidak seragam.3
Pengertian dispepsia terbagi dua, yaitu :
1.Dispepsia organik, bila telah diketahui adanya kelainan organik sebagai
penyebabnya. Sindroma dispepsia organik terdapat kelainan yang nyata terhadap
organ tubuh misalnya tukak (luka) lambung, usus dua belas jari, radang pankreas,
radang empedu, dan lain-lain.1,6

2. Dispepsia non organik atau dispepsia fungsional, atau dispesia non ulkus, bila tidak
jelas penyebabnya. Dispepsi fungsional tanpa disertai kelainan atau gangguan
struktur organ berdasarkan pemeriksaan klinis, laboratorium, radiologi, dan
endoskopi setelah 3 bulan dengan gejala dispepsia.7
Manifestasi Klinis
Klasifikasi klinis praktis, didasarkan atas keluhan/gejala yang dominan,
membagi
dispepsia menjadi tiga tipe :
1. Dispepsia dengan keluhan seperti ulkus (ulkus-like dyspepsia), dengan gejala:
a. Nyeri epigastrium terlokalisasi
b. Nyeri hilang setelah makan atau pemberian antasid
c. Nyeri saat lapar
d. Nyeri episodik
2. Dispepsia dengan gejala seperti dismotilitas (dysmotility-like dyspesia), dengan
gejala:
a. Mudah kenyang
b. Perut cepat terasa penuh saat makan
c. Mual
d. Muntah
e.Upper abdominal bloating (bengkak perut bagian atas)
f. Rasa tak nyaman bertambah saat makan
3. Dispepsia nonspesifik (tidak ada gejala seperti kedua tipe di atas).2
2.2 ETIOLOGI
Gangguan atau penyakit dalam lumen saluran cerna; tukak gaster atau
duodenum, gastritis, tumor, infeksi Helicobacter pylori.
Obat obatan seperti anti inflamasi non steroid (OAINS), aspirin, beberapa
antibiotic, digitalis, teofilin dan sebagainya.

Penyakit pada hati, pankreas, system bilier, hepatitis, pancreatitis, kolesistetis


kronik. Penyakit sistemik: diabetes mellitus, penyakit tiroid, penyakit jantung
koroner.
Bersifat fungsional, yaitu dispepsia yang terdapat pada kasus yang tidak
terbukti adanya kelainan atau gangguan organic atau structural biokimia, yaitu
dispepsia fungsional atau dispepsia non ulkus.1
Klasifikasi Dispepsia Berdasarkan Etiologi
A. Organik
I. Obat-obatan
Obat Anti Inflamasi Non Steroid (OAINS), Antibiotik (makrolides,
metronidazole), Besi, KCl, Digitalis, Estrogen, Etanol (alkohol), Kortikosteroid,
Levodopa, Niacin, Gemfibrozil, Narkotik, Quinidine, Theophiline.8-10
II. Idiosinkrasi makanan (intoleransi makanan)
a. Alergi susu sapi, putih telur, kacang, makanan laut, beberapa jenis produk
kedelai dan beberapa jenis buah-buahan
b. Non-alergi

produk alam : laktosa, sucrosa, galactosa, gluten, kafein.

bahan kimia : monosodium glutamate (vetsin), asam benzoat, nitrit, nitrat.

Perlu diingat beberapa intoleransi makanan diakibatkan oleh penyakit dasarnya,


misalnya pada penyakit pankreas dan empedu tidak bisa mentoleransi makanan
berlemak, jeruk dengan pH yang relatif rendah sering memprovokasi gejala pada
pasien ulkus peptikum atau esophagitis.10
III.Kelainan struktural
A. Penyakit oesophagus

Refluks gastroesofageal dengan atau tanpa hernia

Akhalasia

Obstruksi esophagus

B. Penyakit gaster dan duodenum

Gastritis erosif dan hemorhagik; sering disebabkan oleh OAINS dan sakit
keras (stres fisik) seperti luka bakar, sepsis, pembedahan, trauma, shock

Ulkus gaster dan duodenum

Karsinoma gaster

C. Penyakit saluran empedu

Kholelitiasis dan Kholedokolitiasis

Kholesistitis

D. Penyakit pankreas

Pankreatitis

Karsinoma pankreas

E. Penyakit usus

Malabsorbsi

Obstruksi intestinal intermiten

Sindrom kolon iritatif

Angina abdominal

Karsinoma kolon

IV.Penyakit metabolik / sistemik


a. Tuberculosis
b. Gagal ginjal
c. Hepatitis, sirosis hepatis, tumor hepar
d. Diabetes melitius
e. Hipertiroid, hipotiroid, hiperparatiroid
f. Ketidakseimbangan elektrolit
g. Penyakit jantung kongestif

V. Lain-lain
a. Penyakit jantung iskemik
b. Penyakit kolagen5-11
B. Idiopatik atau Dispepsia Non Ulkus
Dispepsia fungsional
Keluhan terjadi kronis, tanpa ditemukan adanya gangguan struktural atau
organik

atau

metabolik

tetapi

merupakan

kelainan

fungsi

dari

saluran

makanan.Termasuk ini adalah dispepsia dismotilitas, yaitu adanya gangguan motilitas


diantaranya; waktu pengosongan lambung yang lambat, abnormalitas kontraktil,
abnormalitas mioelektrik lambung, refluks gastroduodenal. Penderita dengan
dispepsia fungsional biasanya sensitif terhadap produksi asam lambung yaitu
kenaikan asam lambung.
Kelainan psikis, stress dan faktor lingkungan juga dapat menimbulkan
fungsional.12

dispepsia
Kelainan non organik saluran cerna:
- Gastralgia
- Dispepsia karena asam lambung
- Dispepsia flatulen
- Dispepsia alergik
- Dispepsia essensial
- Pseudoobstruksi intestinal kronik
- Kelainan susunan saraf pusat (CVD, epilepsi).
-

Psikogen : Histeria, psikosomatik

2.3 Anatomi dan Fisiologi Gaster


Lambung atau ventrikulus berupa suatu kantong yang terletak di bawah
diafragma, berbentuk huruf J. Fungsi lambung secara umum adalah tempat di mana

makanan dicerna dan sejumlah kecil sari-sari makanan diserap. Lambung dapat
dibagi menjadi tiga daerah, yaitu daerah kardia, fundus dan pilorus. Kardia adalah
bagian atas, daerah pintu masuk makanan dari oesofagus . Fundus adalah bagian
tengah, bentuknya membulat. Pilorus adalah bagian bawah, daerah yang
berhubungan dengan usus 12 jari duodenum.13
Dinding lambung tersusun menjadi empat lapisan, yakni mukosa, submukosa,
muscularis, dan serosa. Mukosa ialah lapisan dimana sel-sel mengeluarkan berbagai
jenis cairan, seperti enzim, asam lambung, dan hormon. Lapisan ini berbentuk seperti
palung untuk memperbesar perbandingan antara luas dan volume sehingga
memperbanyak volume getah lambung yang dapat dikeluarkan. Submukosa ialah
lapisan dimana pembuluh darah arteri dan vena dapat ditemukan untuk menyalurkan
nutrisi dan oksigen ke sel-sel perut sekaligus untuk membawa nutrisi yang diserap,
urea, dan karbon dioksida dari sel-sel tersebut. Muscularis adalah lapisan otot yang
membantu perut dalam pencernaan mekanis. Lapisan ini dibagi menjadi 3 lapisan
otot, yakni otot melingkar, memanjang, dan menyerong. Kontraksi dari ketiga macam
lapisan otot tersebut mengakibatkan gerak peristaltik (gerak menggelombang). Gerak
peristaltik menyebabkan makanan di dalam lambung diaduk-aduk. Lapisan terluar
yaitu serosa berfungsi sebagai lapisan pelindung perut. Sel-sel di lapisan ini
mengeluarkan sejenis cairan untuk mengurangi gaya gesekan yang terjadi antara
perut dengan anggota tubuh lainnya.13

Gambar 1. Anatomi Gaster: 1.Esofagus, 2.Kardia, 3.Fundus, 4.Selaput Lendir,


5.Lapisan Otot, 6.Mukosa Lambung, 7.Korpus, 8.Antrum Pilorik, 9.Pilorus,
10.Duodenum
Di lapisan mukosa terdapat 3 jenis sel yang berfungsi dalam pencernaan, yaitu
sel goblet [goblet cell], sel parietal [parietal cell], dan sel chief [chief cell]. Sel goblet
berfungsi untuk memproduksi mucus atau lendir untuk menjaga lapisan terluar sel
agar tidak rusak karena enzim pepsin dan asam lambung. Sel parietal berfungsi untuk
memproduksi asam lambung [Hydrochloric acid] yang berguna dalam pengaktifan
enzim pepsin. Diperkirakan bahwa sel parietal memproduksi 1.5 mol dm-3 asam
lambung yang membuat tingkat keasaman dalam lambung mencapai pH 2 yang
bersifat sangat asam. Sel chief berfungsi untuk memproduksi pepsinogen, yaitu enzim
pepsin dalam bentuk tidak aktif. Sel chief memproduksi dalam bentuk tidak aktif agar
enzim tersebut tidak mencerna protein yang dimiliki oleh sel tersebut yang dapat
menyebabkan kematian pada sel tersebut.13

10

Di bagian dinding lambung sebelah dalam terdapat kelenjar-kelenjar yang


menghasilkan getah lambung. Aroma, bentuk, warna, dan selera terhadap makanan
secara refleks akan menimbulkan sekresi getah lambung. Getah lambung
mengandung asam lambung (HCI), pepsin, musin, dan renin. Asam lambung berperan
sebagai pembunuh mikroorganisme dan mengaktifkan enzim pepsinogen menjadi
pepsin. Pepsin merupakan enzim yang dapat mengubah protein menjadi molekul
yang lebih kecil. Musin merupakan mukosa protein yang melicinkan makanan. Renin
merupakan enzim khusus yang hanya terdapat pada mamalia, berperan sebagai
kaseinogen menjadi kasein. Kasein digumpalkan oleh Ca 2+ dari susu sehingga dapat
dicerna oleh pepsin. Tanpa adanya renim susu yang berwujud cair akan lewat begitu
saja di dalam lambuing dan usus tanpa sempat dicerna.13
Kerja enzim dan pelumatan oleh otot lambung mengubah makanan menjadi
lembut seperti bubur, disebut chyme (kim) atau bubur makanan. Otot lambung bagian
pilorus mengatur pengeluaran kim sedikit demi sedikit dalam duodenum. Caranya,
otot pilorus yang mengarah ke lambung akan relaksasi (mengendur) jika tersentuh
kim yang bersifat asam. Sebaliknya, otot pilorus yang mengarah ke duodenum akan
berkontraksi (mengerut) jika tersentuh kim. Jadi, misalnya kim yang bersifat asam
tiba di pilorus depan, maka pilorus akan membuka, sehingga makanan lewat. Oleh
karena makanan asam mengenai pilorus belakang, pilorus menutup. Makanan
tersebut dicerna sehingga keasamannya menurun. Makanan yang bersifat basa di
belakang pilorus akan merangsang pilorus untuk membuka. Akibatnya, makanan
yang asam dari lambung masuk ke duodenum. Demikian seterusnya. Jadi, makanan
melewati pilorus menuju duodenum segumpal demi segumpal agar makanan tersebut
dapat tercerna efektif. Seteleah 2 sampai 5 jam, lambung kosong kembali.13
Pengaturan peristiwa ini terjadi baik melalui saraf maupun hormon. Impuls
parasimpatikus yang disampaikan melalui nervus vagus akan meningkatkan motilitas,
secara reflektoris melalui vagus juga akan terjadi pengosongan lambung. Refleks

11

pengosongan lambung ini akan dihambat oleh isi yang penuh, kadar lemak yang
tinggi dan reaksi asam pada awal duodenum. Keasaman ini disebabkan oleh hormon
saluran cerna terutama sekretin dan kholesistokinin-pankreo-zimin, yang dibentuk
dalam mukosa duodenum dan dibawa bersama aliran darah ke lambung. Dengan
demikian proses pengosongan lambung merupakan proses umpan balik humoral.13
Kelenjar di lambung tiap hari membentuk sekitar 2-3 liter getah lambung,
yang merupakan larutan asam klorida yang hampir isotonis dengan pH antara 0,8-1,5,
yang mengandung pula enzim pencemaan, lendir dan faktor intrinsik yang
dibutuhkan untuk absorpsi vitamin B12. Asam klorida menyebabkan denaturasi
protein makanan dan menyebabkan penguraian enzimatik lebih mudah. Asam klorida
juga menyediakan pH yang cocok bagi enzim lambung dan mengubah pepsinogen
yang tak aktif menjadi pepsin. 13
Asam klorida juga akan membunuh bakteri yang terbawa bersama makanan.
Pengaturan sekresi getah lambung sangat kompleks. Seperti pada pengaturan
motilitas lambung serta pengosongannya, di sini pun terjadi pengaturan oleh saraf
maupun hormon. Berdasarkan saat terjadinya, maka sekresi getah lambung dibagi
atas fase sefalik, lambung (gastral) dan usus (intestinal).13
Fase Sekresi Sefalik diatur sepenuhnya melalui saraf. Penginderaan
penciuman dan rasa akan menimbulkan impuls saraf aferen, yang di sistem saraf
pusat akan merangsang serabut vagus. Stimulasi nervus vagus akan menyebabkan
dibebaskannya asetilkolin dari dinding lambung. Ini akan menyebabkan stimulasi
langsung pada sel parietal dan sel epitel serta akan membebaskan gastrin dari sel G
antrum. Melalui aliran darah, gastrin akan sampai pada sel parietal dan akan
menstimulasinya sehingga sel itu membebaskan asam klorida. Pada sekresi asam
klorida ini, histamin juga ikut berperan. Histamin ini dibebaskan oleh mastosit karena

12

stimulasi vagus (gambar 3). Secara tak langsung dengan pembebasan histamin ini
gastrin dapat bekerja.13
Fase Lambung. Sekresi getah lambung disebabkan oleh makanan yang
masuk ke dalam lambung. Relaksasi serta rangsang kimia seperti hasil urai protein,
kafein atau alkohol, akan menimbulkan refleks kolinergik lokal dan pembebasan
gastrin. Jika pH turun di bawah 3, pembebasan gastrin akan dihambat.13
Fase Usus mula-mula akan terjadi peningkatan dan kemudian akan diikuti
dengan penurunan sekresi getah lambung. Jika kim yang asam masuk ke usus
duabelas jari akan dibebaskan sekretin. Ini akan menekan sekresi asam klorida dan
merangsang pengeluaran pepsinogen. Hambatan sekresi getah lambung lainnya
dilakukan oleh kholesistokinin-pankreozimin, terutama jika kim yang banyak
mengandung lemak sampai pada usus halus bagian atas.13
Di samping zat-zat yang sudah disebutkan ada hormon saluran cerna lainnya
yang berperan pada sekresi dan motilitas. GIP (gastric inhibitory polypeptide)
menghambat sekresi HC1 dari lambung dan kemungkinan juga merangsang sekresi
insulin dari kelenjar pankreas.13
Somatostatin, yang dibentuk tidak hanya di hipothalamus tetapi juga di
sejumlah organ lainnya antara lain sel D mukosa lambung dan usus halus serta
kelenjar pankreas, menghambat sekresi asam klorida, gastrin dan pepsin lambung dan
sekresi sekretin di usus halus. Fungsi endokrin dan eksokrin pankreas akan turun
(sekresi insulin dan glukagon serta asam karbonat dan enzim pencernaan). Di
samping itu, ada tekanan sistemik yang tak berubah, pasokan darah di daerah n.
Splanchnicus akan berkurang sekitar 20-30%.13

13

Rangsang bau
dan rangsang
kecap

Degranulasi
mastosit

Pembebasan
histamin

Rangsang n.
Vagus

Rangsang
Lokal
(makanan)

Rangsang
Ganglion

Stimulasi sel
G

Pembebasa
n
asethilkolin

Pembebasan
Gastrin

Stimulasi Sel
Parietal

Pembebasan
HCl

Bagan 1. Pengaruh Sekresi Sel Parietal

2.4 PATOFISIOLOGI
Patofisiologi dispepsia non ulkus masih sedikit diketahui, beberapa faktor berikut
mungkin berperan penting (multifaktorial):

Abnormalitas Motorik Gaster


Dengan studi Scintigraphic Nuklear dibuktikan lebih dari 50% pasien
dispepsia non ulkus mempunyai keterlambatan pengosongan makanan dalam
gaster. Demikian pula pada studi monometrik didapatkan gangguan motilitas

14

antrum postprandial, tetapi hubungan antara kelainan tersebut dengan gejalagejala dispepsia tidak jelas.
Penelitian terakhir menunjukkan bahwa fundus gaster yang "kaku"
bertanggung jawab terhadap sindrom dispepsia. Pada keadaan normal
seharusnya fundus relaksasi, baik saat mencerna makanan maupun bila terjadi
distensi duodenum. Pengosongan makanan bertahap dari corpus gaster
menuju ke bagian fundus dan duodenum diatur oleh refleks vagal. Pada
beberapa pasien dyspepsia non ulkus, refleks ini tidak berfungsi dengan baik
sehingga pengisian bagian antrum terlalu cepat.2

Perubahan sensifitas gaster


Lebih 50% pasien dispepsia non ulkus menunjukkan sensifitas terhadap
distensi gaster atau intestinum, oleh karena itu mungkin akibat: makanan yang
sedikit mengiritasi seperti makanan pedas, distensi udara, gangguan kontraksi
gaster intestinum atau distensi dini bagian Antrum postprandial dapat
menginduksi nyeri pada bagian ini.10

Stres dan faktor psikososial


Penelitian menunjukkan bahwa didapatkan gangguan neurotik dan morbiditas
psikiatri lebih tinggi secara bermakna pada pasien dispepsia non ulkus
daripada subyek kontrol yang sehat.
Banyak pasien mengatakan bahwa stres mencetuskan keluhan dispepsia.
Beberapa studi mengatakan stres yang lama menyebabkan perubahan aktifitas
vagal, berakibat gangguan akomodasi dan motilitas gaster.
Kepribadian dispepsia non ulkus menyerupai pasien Sindrom Kolon Iritatif
dan dispepsia organik, tetapi disertai dengan tanda neurotik, ansietas dan
depresi yang lebih nyata dan sering disertai dengan keluhan nongastrointestinal ( GI ) seperti nyeri muskuloskletal, sakit kepala dan mudah
letih. Mereka cenderung tiba-tiba menghentikan kegiatan sehari-harinya
akibat nyeri dan mempunyai fungsi sosial lebih buruk dibanding pasien

15

dispepsia organik. Demikian pula bila dibandingkan orang normal. Gambaran


psikologik dispepsia non ulkus ditemukan lebih banyak ansietas, depresi dan
neurotik.5

Gastritis Helicobacter pylori


Gambaran gastritis Helicobacter pylori secara histologik biasanya gastritis
non-erosif non-spesifik. Di sini ditambahkan non-spesifik karena gambaran
histologik yang ada tidak dapat meramalkan penyebabnya dan keadaan klinik
yang bersangkutan. Diagnosa endoskopik gastritis akibat infeksi Helicobacter
pylori sangat sulit karena sering kali gambarannya tidak khas. Tidak jarang
suatu gastritis secara histologik tampak berat tetapi gambaran endoskopik
yang tampak tidak jelas dan bahkan normal. Beberapa gambaran endoskopik
yang sering dihubungkan dengan adanya infeksi Helicobacter pylori adalah:

a. Erosi kronik di daerah antrum.


b. Nodularitas pada mukosa antrum.
c. Bercak-bercak eritema di antrum.
d. Area gastrika yang menonjol dengan bintik-bintik eritema di daerah korpus.13
Peranan infeksi Helicobacter pylori pada gastritis dan ulkus peptikum sudah
diakui, tetapi apakah Helicobacter pylori dapat menyebabkan dispepsia non ulkus
masih kontroversi. Di negara maju, hanya 50% pasien dispepsia non ulkus menderita
infeksi Helicobacter pylori, sehingga penyebab dispepsia pada dispepsia non ulkus
dengan Helicobacter pylori negatif dapat juga menjadi penyebab dari beberapa
dispepsia non ulkus dengan Helicobacter pylori positif. Bukti terbaik peranan
Helicobacter pylori pada dispepsia non ulkus adalah gejala perbaikan yang nyata
setelah eradikasi kuman Helicobacter pylori tersebut, tetapi ini masih dalam taraf
pembuktian studi ilmiah. Banyak pasien mengalami perbaikan gejala dengan cepat
walaupun dengan pengobatan plasebo. Studi "follow up" jangka panjang sedang
dikerjakan, hanya beberapa saja yang tidak kambuh.2

16

Kelainan gastrointestinal fungsional


Dispepsia non ulkus cenderung dimasukkan sebagai bagian kelainan
fungsional GI, termasuk di sini Sindrom Kolon Iritatif, nyeri dada non-kardiak
dan nyeri ulu hati fungsional. Lebih dari 80% dengan Sindrom Kolon Iritatif
menderita dispepsia dan lebih dari sepertiga pasien dengan dispepsia kronis
juga mempunyai gejala Sindrom Kolon Iritatif. Pasien dengan kelainan seperti
ini sering ada gejala extra GI seperti migrain, myalgia dan disfungsi kencing
dan ginekologi.
Pada anamnesis dispepsia jangan lupa menanyakan gejala Sindrom Kolon
Iritatif seperti nyeri abdomen mereda setelah defikasi, perubahan frekuensi
buang air besar atau bentuknya mengalami perubahan, perut tegang, tidak
dapat menahan buang air besar dan perut kembung. Beberapa pasien juga
mengalami aerophagia, lingkaran setan dari perut kembung diikuti oleh
masuknya udara untuk menginduksi sendawa, diikuti oleh kembung yang
lebih parah. Ini memerlukan perbaikan tingkah laku.
Abnormalitas di atas belum semua diidentifikasi oleh semua peneliti dan tidak
selalu muncul pada semua penderita. Hasil yang kurang konsisten dari
bermacam terapi yang digunakan untuk terapi dispepsia non ulkus mendukung
keanekaragaman kelompok ini. 2,12,14.

Gastritis adalah suatu keadaan peradangan atau pendarahan mukosa lambung.


Gastritis karena bakteri H. pylori dapat mengalami adaptasi pada linkungan dengan
pH yang sangat rendah dengan menghasilkan enzim urease yang sangat kuat. Enzim
urease tersebut akan mengubah urea dalam lambung menjadi ammonia sehingga
bakteri Helicobacter pylori

yang diselubungi awan amoniak yang dapat

melindungi diri dari keasaman lambung. Kemudian dengan flagella Helicobacter


pylori menempel pada dinding lambung dan mengalami multiplikasi. Bagian yang
menempel pada epitel mukosa lambung disebut adheren pedestal. Melalui zat yang

17

disebut adhesin , Helicobacter pylori dapat berikatan dengan satu jenis gliserolipid
yang terdapat di dalam epitel.13
Selain urease, bakteri juga mengeluarkan enzim lain misalnya katalase, oksidase,
alkaliposfatase, gamma glutamil transpeptidase, lipase, protease, dan musinase.
Enzim protease dan fosfolipase diduga merusak glikoprotein dan fosfolipid yang
menutup mukosa lambung. H. Pylori juga mengeluarkan toksin yang beperan dalam
peradangan dan reaksi imun local.13
Obat anti-inflamasi non-steroid merusak mukosa lambung melalui beberapa
mekanisme. Obat-obat ini menghambat siklooksigenase mukosa lambung sebagai
pembentuk prostaglandin dari asam arakidonat yang merupakan salah satu faktor
defensif mukosa lambung yang sangat penting. Selain itu, obat ini juga dapat merusak
secara topikal. Kerusakan topikal ini terjadi karena kandungan asam dalam obat
tersebut bersifat korosif, sehingga merusak sel-sel epitel mukosa. Pemberian aspirin
juga dapat menurunkan sekresi bikarbonat dan mukus oleh lambung, sehingga
kemampuan faktor defensif terganggu.13

18

Ulkus peptikum merupakan keadaan di mana kontinuitas mukosa esophagus,


lambung ataupun duodenum terputus dan meluas sampai di bawah epitel. Kerusakan
mukosa yang tidak meluas sampai ke bawah epitel disebut erosi, walaupun seringkali
dianggap juga sebagai ulkus. Ulkus kronik berbeda dengan ulkus akut, karena
memiliki jaringan parut pada dasar ulkus. Menurut definisi, ulkus peptik dapat
ditemukan pada setiap bagian saluran cerna yang terkena getah asam lambung, yaitu
esofagus, lambung, duodenum, dan setelah gastroduodenal, juga jejunum.13
Sawar mukosa lambung penting untuk perlindungan lambung dan duodenum.
Obat anti inflamasi non steroid termasuk aspirin menyebabkan perubahan kualitatif
mucus lambung yang dapat mempermudah terjadinya degradasi mucus oleh pepsin.
Prostaglandin yang terdapat dalam jumlah berlebihan dalam mucus gastric dan
tampaknya berperan penting dalam pertahanan mukosa lambung.13
Aspirin, alkohol, garam empedu dan zat zat lain yang merosak mukosa lambung
mengubah permeabilitas sawar epitel, sehingga memungkinkan difusi balik asam
klorida yang mengakibatkan kerosakan jaringan, terutama pembuluh darah. Histamin
dikeluarkan, merangsang sekresi asam dan pepsin lebih lanjut dan meningkatkan
permeabilitas kapiler terhadap protein. Mukosa menjadi edema dan sejumlah besar
protein plasma dapat hilang. Mukosa kapiler dapat rusak, mengakibatkan terjadinya
hemoragi interstitial dan perdarahan. Sawar mukosa tidak dipengaruhi oleh
penghambatan vagus atau atropine, tetapi difusi balik dihambat oleh gastrin.13
Destruksi sawar mukosa lambung diduga merupakan faktor penting dalam
patogenesis ulkus peptikum. Ulkus peptikum sering terletak di antrum karena mukosa
antrum lebih rentan terhadap difusi balik disbanding fundus. Selain itu, kadar asam
19

yang rendah dalam analisis lambung pada penderita ulkus peptikum diduga
disebabkan oleh meningkatnya difusi balik dan bukan disebabkan oleh produksi yang
berkurang. 13
Daya tahan duodenum yang kuat terhadap ulkus peptikum diduga akibat fungsi
kelenjar Brunner (kelenjar duodenum submukosa dalam dinding usus)

yang

memproduksi sekret mukoid yang sangat alkali, pH 8 dan kental untuk menetralkan
kimus asam. Penderita ulkus peptikum sering mengalami sekresi asam berlebihan.
Faktor penurunan daya tahan jaringan juga terlibat dalam ulkus peptikum. Daya tahan
jaringan juga bergantung pada banyaknya suplai darah dan cepatnya regenerasi sel
epitel (dalam keadaan normal diganti setiap 3 hari). kegagalan mekanisme ini juga
berperan dalam patogenesis ulkus peptikum. 13
2.5 GEJALA KLINIK
Sindroma dispepsia dapat bersifat ringan, sedang, dan berat, serta dapat akut
atau kronis sesuai dengan perjalanan penyakitnya. Pembagian akut dan kronik
berdasarkan atas jangka waktu tiga bulan.
Nyeri dan rasa tidak nyaman pada perut atas atau dada mungkin disertai
dengan sendawa dan suara usus yang keras (borborigmi). Pada beberapa penderita,
makan dapat memperburuk nyeri; pada penderita yang lain, makan bisa mengurangi
nyerinya.
Gejala lain meliputi nafsu makan yang menurun, mual, sembelit, diare dan flatulensi
(perut kembung).6
Dispepsia Organik
a. Dispepsia Ulkus
Dispepsia ulkus merupakan bagian penting dari dispepsia organik. Di negara
negara barat prevalensi ulkus lambung lebih rendah dibandingkan dengan ulkus
duodeni. Sedang di negara berkembang termasuk Indonesia frekuensi ulkus lambung
lebih tinggi. Ulkus lambung biasanya diderita pada usia yang lebih tinggi
dibandingkan ulkus duodeni.4
20

Gejala utama dari ulkus peptikum adalah hunger pain food relief. Untuk ulkus
duodeni nyeri umumnya terjadi 1 sampai 3 jam setelah makan, dan penderita sering
terbangun di tengah malam karena nyeri. Tetapi banyak juga kasus kasus yang
gejalanya tidak jelas dan bahkan tanpa gejala. Pada ulkus lambung seringkali gejala
hunger pain food relief tidak jelas, bahkan kadang kadang penderita justru merasa
nyeri setelah makan.15
Penelitian menunjukkan bahwa penyebab utama ulkus duodenum adalah
infeksi H. pylori, dan ternyata sedikitnya 95% kasus ulkus duodeni adalah H. pylori
positif, sedang hanya 70% kasus ulkus lambung yang H. pylori positif.13
b.GERD(GastroesophagealRefluxDisease)
Dahulu GERD dimasukkan dalam dispepsia fungsional tetapi setelah ditemukan
dasar-dasar organik maka GERD dimasukan kedalam dispepsia organik. Penyakit ini
disebabkan Inkompetensi/relaksasi sphincter cardia yang menyebabkan regurgitasi
asam lambung ke dalam esofagus.
Dulu sebelum penyebab GERD diketahui dengan jelas, GERD dimasukkan ke
dalam kelompok dispepsia fungsional. Setelah penyebabnya jelas maka GERD
dikeluarkan dari kelompok tersebut dan dimasukkan ke dalam dispepsia organik.7
Gejala GERD :
Gejala khas, terdiri dari :
- Heart Burn
- Rasa panas di epigastrium
- Rasa nyeri retrosternal
- Regurgitasi asam
- Pada kasus berat : ada gangguan menelan
Gejala tidak khas :
- Nafas pendek
- Wheezing
- Batuk-batuk
21

Gejala GERD lebih menonjol pada waktu penderita terbaring terlentang dan
berkurang bila penderita duduk.
Gambaran Endoskopi:
Didapatkan lesi berupa robekan pada daerah spinter esophagus yang dibagi menjadi 4
derajat (Pembagian Los Angeles) :
Grade A :
Robekan mukosa tidak lebih dari 5 mm
Grade B :
Ada robekan mukosa yang lebih dari 5 mm dan kalau ada robekan mukosa di tempat
lain tidak berhubungan dengan robekan mukosa yang pertama.
Grade C :
Robekan mukosa pada 1 lipatan mukosa berhubungan dengan lipatan mukosa yang
lain tetapi tidak difus.
Grade D :
Robekan mukosa difus.15
Dispepsia Fungsional
Gejala dispepsia fungsional (menurut kriteria Roma) :
a. Gejala menetap selama 3 bulan dalam 1 tahun terakhir.
b. Nyeri epigastrium yang menetap atau sering kambuh (recurrent).
c. Tidak ada kelainan organik yang jelas (termasuk endoskopi)
d. Tidak ada tanda-tanda IBS (Irritable Bowel Syndrome)
- symptom tidak hilang dengan defekasi
- tidak ada perubahan frekuensi dan konsistensi tinja.2,6-11
2.6 ANAMNESIS
Jika pasien mengeluh mengenai dispepsia, dimulakan pertanyaan atau
anamnesis dengan lengkap. Berapa sering terjadi keluhan dispepsia, sejak kapan
terjadi keluhan, adakah berkaitan dengan konsumsi makanan? Adakah pengambilan
obat tertentu dan aktivitas tertentu dapat menghilangkan keluhan atau memperberat
22

keluhan? Adakah pasien mengalami nafsu makan menghilang, muntah, muntah darah,
BAB berdarah, batuk atau nyeri dada?11
Pasien juga ditanya, adakah ada konsumsi obat obat tertentu? Atau adakah
dalam masa terdekat pernah operasi? Adakah ada riwayat penyakit ginjal, jantung
atau paru? Adakah pasien menyadari akan kelainan jumlah dan warna urin? 11
Riwayat minum obat termasuk minuman yang mengandung alkohol dan jamu
yang dijual bebas di masyarakat perlu ditanyakan dan kalau mungkin harus
dihentikan. Hubungan dengan jenis makanan tertentu perlu diperhatikan. Tanda dan
gejala "alarm"(peringatan) seperti disfagia, berat badan turun, nyeri menetap dan
hebat, nyeri yang menjalar ke punggung, muntah yang sangat sering, hematemesis,
melena atau jaundice kemungkinan besar adalah merupakan penyakit serius yang
memerlukan pemeriksaan seperti endoskopi dan / atau "USG" atau "CT Scan" untuk
mendeteksi struktur peptik, adenokarsinoma gaster atau esophagus, penyakit ulkus,
pankreatitis kronis atau keganasan pankreas empedu.11
Perlu ditanyakan hal-hal yang berhubungan dengan stresor psikososial
misalnya: masalah anak (meninggal, nakal, sakit, tidak punya), hubungan antar
manusia (orang tua, mertua, tetangga, adik ipar, kakak), hubungan suami-istri (istri
sibuk, istri muda, dimadu, bertengkar, cerai), pekerjaan dan pendidikan (kegiatan
rutin, penggusuran, pindah jabatan, tidak naik pangkat). Hal ini berakibat eksaserbasi
gejala pada beberapa orang.5
Harus diingat gambaran khas dari beberapa penyebab dispepsia. Pasien ulkus
peptikum biasanya berumur lebih dari 45 tahun, merokok dan nyeri berkurang dengan
mencerna makanan tertentu atau antasid. Nyeri sering membangunkan pasien pada
malam hari banyak ditemukan pada ulkus duodenum. Gejala esofagitis sering timbul
pada saat berbaring dan membungkuk setelah makan kenyang yaitu perasan terbakar
pada dada, nyeri dada yang tidak spesifik (bedakan dengan pasien jantung koroner),
regurgitasi dengan gejala perasaan asam pada mulut. Bila gejala dispepsia timbul
23

segera setelah makan biasanya didapatkan pada penyakit esofagus, gastritis erosif dan
karsinoma. Sebaliknya bila muncul setelah beberapa jam setelah makan sering terjadi
pada ulkus duodenum. Pasien dispepsia non ulkus lebih sering mengeluhkan gejala
di luar GI, ada tanda kecemasan atau depresi, atau mempunyai riwayat pemakaian
psikotropik. 2, 6-11
2.7 PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik untuk mengidentifikasi kelainan intra-abdomen atau intra
lumen yang padat misalnya tumor, organomegali, atau nyeri tekan sesuai dengan
adanya ransang peritoneal/peritonitis.1
Tumpukan pemeriksaan fisik pada bagian abdomen. Inspeksi akan distensi,
asites, parut, hernia yang jelas, ikterus, dan lebam. Auskultasi akan bunyi usus dan
karekteristik motilitasnya. Palpasi dan perkusi abdomen, perhatikan akan tenderness,
nyeri, pembesaran organ dan timpani.6 Pemeriksaan tanda vital bisa ditemukan
takikardi atau nadi yang tidak regular.10
Kemudian, lakukan pemeriksaan sistem tubuh badan lainnya. Perlu
ditanyakan perubahan tertentu yang dirasai pasien, keadaan umum dan kesadaran
pasien diperhatikan. Auskultasi bunyi gallop atau murmur di jantung. Perkusi paru
untuk mengetahui konsolidasi. Perhatikan dan lakukan pemeriksaan terhadap
ektremitas, adakah terdapat perifer edema dan dirasakan adakah akral hangat atau
dingin. Lakukan juga perabaan terhadap kelenjar limfa.6-11
2.8 PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan untuk penanganan dispepsia terbagi beberapa bagian, yaitu:
1. Pemeriksaan laboratorium untuk mengidentifikasi adanya faktor infeksi
(leukositosis), pakreatitis (amylase, lipase), keganasan saluran cerna (CEA, CA 19-9,
AFP). Biasanya meliputi hitung jenis sel darah yang lengkap dan pemeriksaan darah
dalam tinja, dan urine. Dari hasil pemeriksaan darah bila ditemukan lekositosis berarti
ada tanda-tanda infeksi. Pada pemeriksaan tinja, jika tampak cair berlendir atau

24

banyak mengandung lemak berarti kemungkinan menderita malabsorpsi. Seseorang


yang diduga menderita dispepsia tukak, sebaiknya diperiksa asam lambung. Pada
karsinoma saluran pencernaan perlu diperiksa petanda tumor, misalnya dugaan
karsinoma kolon perlu diperiksa CEA, dugaan karsinoma pankreas perlu diperiksa
CA 19-9. 1
2.Barium enema untuk memeriksa esofagus, lambung atau usus halus dapat
dilakukan pada orang yang mengalami kesulitan menelan atau muntah, penurunan
berat badan atau mengalami nyeri yang membaik atau memburuk bila penderita
makan. Pemeriksaan ini dapat mengidentifikasi kelainan struktural dinding/mukosa
saluran cerna bagian atas seperti adanya tukak atau gambaran ke arah tumor.1,3,15
3.Endoskopi bisa digunakan untuk memeriksa esofagus, lambung atau usus
halus dan untuk mendapatkan contoh jaringan untuk biopsi dari lapisan lambung.
Contoh tersebut kemudian diperiksa dibawah mikroskop untuk mengetahui apakah
lambung terinfeksi oleh Helicobacter pylori. Endoskopi merupakan pemeriksaan
baku emas, selain sebagai diagnostik sekaligus terapeutik.2,3,7 Pemeriksaan ini sangat
dianjurkan untuk dikerjakan bila dispepsia tersebut disertai oleh keadaan yang disebut
alarm symptoms, yaitu adanya penurunan berat badan, anemia, muntah hebat dengan
dugaan adanya obstruksi, muntah darah, melena, atau keluhan sudah berlangsung
lama, dan terjadi pada usia lebih dari 45tahun.1

Pemeriksaan yang dapat dilakukan dengan endoskopi adalah:


a. CLO (rapid urea test)
b. Patologi anatomi (PA)
c. Kultur mikroorgsanisme (MO) jaringan
d. PCR (polymerase chain reaction), hanya dalam rangka penelitian15
4. Pemeriksaan penunjang meliputi pemeriksaan radiologi, yaitu OMD
dengan kontras ganda, serologi Helicobacter pylori, dan urea breath test (belum
tersedia di Indonesia). Pemeriksaan radiologis dilakukan terhadap saluran makan
25

bagian atas dan sebaiknya dengan kontras ganda. Pada refluks gastroesofageal akan
tampak peristaltik di esofagus yang menurun terutama di bagian distal, tampak antiperistaltik di antrum yang meninggi serta sering menutupnya pilorus, sehingga sedikit
barium yang masuk ke intestin.
Pada tukak baik di lambung, maupun di duodenum akan terlihat gambar yang disebut
niche, yaitu suatu kawah dari tukak yang terisi kontras media. Bentuk niche dari
tukak yang jinak umumnya reguler, semisirkuler, dengan dasar licin). Kanker di
lambung secara radiologis, akan tampak massa yang ireguler tidak terlihat peristaltik
di daerah kanker, bentuk dari lambung berubah. Pankreatitis akut perlu dibuat foto
polos abdomen, yang akan terlihat tanda seperti terpotongnya usus besar (colon cut
off sign), atau tampak dilatasi dari intestin terutama di jejunum yang disebut sentina
loops.1
5. Kadang dilakukan pemeriksaan lain, seperti pengukuran kontraksi esofagus
atau respon esofagus terhadap asam.10

26

Management of dyspepsia based on age and alarm features. EGD,


esophagogastroduodenoscopy.
2.9 DIAGNOSIS
Dispepsia melalui simptom-simptomnya sahaja tidak dapat membedakan
antara dispepsia fungsional dan dispepsia organik. Diagnosis dispepsia fungsional
adalah diagnosis yang telah ditetapkan, dimana pertama sekali penyebab kelainan

27

organik atau struktural harus disingkirkan melalui pemeriksaan. Pemeriksaan yang


pertama dan banyak membantu adalah pemeriksaan endoskopi. Oleh karena dengan
pemeriksaan ini dapat terlihat kelainan di oesophagus, lambung dan duodenum.
Diikuti dengan USG (Ultrasonography) dapat mengungkapkan kelainan pada saluran
bilier, hepar, pankreas, dan penyebab lain yang dapat memberikan perubahan
anatomis. Pemeriksaan hematologi dan kimia darah akan dapat mengungkapkan
penyebab dispepsia seperti diabetes, penyakit tyroid dan gangguan saluran bilier.
Pada karsinoma saluran pencernaan perlu diperiksa pertanda tumor.1,5
Kriteria Diagnostik Dispepsia Fungsional berdasarkan Kriteria Rome III,
Harus termasuk:
1. berasa terganggu setelah makan
2. cepat kenyang
3. nyeri epigastrik
4. panas/ rasa terbakar di epigastrik
serta terbukti tidak ada penyakit struktural termasuk endoskopi proksimal yang dapat
menjelaskan penyebab terjadinya gejala klinis tersebut.
Kriteria haruslah terjadi dalam masa 3 bulan terakhir dengan onset gejala
klinis sekurang-kurangnya 6 bulan sebelum diagnosis.3
2.10 DIFERENSIAL DIAGNOSIS
Dispepsia adalah merupakan suatu simptom atau kelompok keluhan atau
gejala dan bukan merupakan suatu diagnosis. Diferensial diagnosis dyspepsia adalah
seperti box 1. Sangat penting mencari clue atau penanda akan gejala dan keluhan
yang merupakan etiologi yang bisa ditemukan berdasarkan anamnesis dan
pemeriksaan fisik. 50%60% kasus, didapati tidak ada penyebab yang terdeteksi di
mana pasien dikatakan merupakan dispepsia fungsional. Prevalensi ulkus peptikum
adalah 15%- 25% dan prevalensi esofagitis adalah 5%-15%. Kanker digestif bagian
atas < 2%. Disebabkan kanker digestif bagian atas jarang pada umur <50 tahun,

28

pemeriksaan endoskopi direkomendasi pada pasien yang berusia > 50 tahun. Juga
direkomendasi pada pasien yang mangalami penurunan berat badan yang signifikan,
terjadi pendarahan, dan muntah yang terlalu teruk.2

Box 1: Diagnosis banding dispepsia

Dispepsia non ulkus

Gastro-oesophageal reflux disease.

Ulkus peptikum.

Obat-obatan: obat anti inflamasi non-steroid, antibiotik, besi, suplemen


kalium, digoxin.

Malabsorbsi Karbohidrat (lactose, fructose, sorbitol).

Cholelithiasis or choledocholithiasis.

Pankreatitis Kronik.

Penyakit sistemik (diabetes, thyroid, parathyroid, hypoadrenalism, connective


tissue disease).

Parasit intestinal.

Keganasan abdomen (terutama kanser pancreas dan gastrik).

Mesenterika iskemik kronik

2.11 PENATALAKSANAAN
Berdasarkan Konsensus Nasional Penanggulangan Helicobacter pylori 1996,
ditetapkan skema penatalaksanaan dispepsia, yang dibedakan bagi sentra kesehatan
dengan tenaga ahli (gastroenterolog atau internis) yang disertai fasilitas endoskopi

29

dengan
penatalaksanaan dispepsia di masyarakat.
Pengobatan dispepsia mengenal beberapa golongan obat, yaitu:
1. Antasid
Golongan obat ini mudah didapat dan murah. Antasid akan menetralisir sekresi asam
lambung. Antasid biasanya mengandungi Na bikarbonat, Al(OH)3, Mg(OH)2, dan
Mg triksilat. Pemberian antasid jangan terus- menerus, sifatnya hanya simtomatis,
untuk mengurangi rasa nyeri. Mg triksilat dapat dipakai dalam waktu lebih lama, juga
berkhasiat sebagai adsorben sehingga bersifat nontoksik, namun dalam dosis besar
akan menyebabkan diare karena terbentuk senyawa MgCl 2. Sering digunakan adalah
gabungan Aluminium hidroksida dan magnesium hidroksida.Aluminum hidroksida
boleh menyebabkan konstipasi dan penurunan fosfat; magnesium hidroksida bisa
menyebabkan BAB encer. Antacid yang sering digunakan adalah seperti Mylanta,
Maalox, merupakan kombinasi Aluminium hidroksida dan magnesium hidroksida.
Magnesium kontraindikasi kepada pasien gagal ginjal kronik karena bisa
menyebabkan

hipermagnesemia, dan aluminium bisa menyebabkan kronik

neurotoksik pada pasien tersebut.15


2. Antikolinergik
Perlu diperhatikan, karena kerja obat ini tidak spesifik. Obat yang agak
selektif yaitu pirenzepin bekerja sebagai anti reseptor muskarinik yang dapat
menekan seksresi asam lambung sekitar 28-43%. Pirenzepin juga memiliki efek
sitoprotektif.10
3. Antagonis reseptor H2
Golongan obat ini banyak digunakan untuk mengobati dispepsia organik atau
esensial seperti tukak peptik. Obat yang termasuk golongan antagonis reseptor H 2
antara lain simetidin, roksatidin, ranitidin, dan famotidin.10,15
4. Penghambat pompa asam (proton pump inhibitor = PPI).

30

Golongan obat ini mengatur sekresi asam lambung pada stadium akhir dari
proses sekresi asam lambung. Obat-obat yang termasuk golongan PPI adalah
omeperazol, lansoprazol, dan pantoprazol. Waktu paruh PPI adalah ~18jam ; jadi,
bisa dimakan antara 2 dan 5 hari supaya sekresi asid gastrik kembali kepada ukuran
normal. Supaya terjadi penghasilan maksimal, digunakan sebelum makan yaitu
sebelum sarapan pagi kecuali omeprazol.15
5. Sitoprotektif
Prostoglandin sintetik seperti misoprostol (PGE1) dan enprostil (PGE2). Selain
bersifat sitoprotektif, juga menekan sekresi asam lambung oleh sel parietal. Sukralfat
berfungsi meningkatkan sekresi prostoglandin endogen, yang selanjutnya
memperbaiki mikrosirkulasi, meningkatkan produksi mukus dan meningkatkan
sekresi bikarbonat mukosa, serta membentuk lapisan protektif (site protective), yang
bersenyawa dengan protein sekitar
lesi mukosa saluran cerna bagian atas. Toksik daripada obat ini jarang, bisa
menyebabkan konstipasi (23%). Kontraindikasi pada pasien gagal ginjal kronik.
Dosis standard adalah 1 g per hari.15
6. Golongan prokinetik
Obat yang termasuk golongan ini, yaitu sisaprid, domperidon, dan
metoklopramid. Golongan ini cukup efektif untuk mengobati dispepsia fungsional
dan refluks esofagitis dengan mencegah refluks dan memperbaiki bersihan asam
lambung (acid clearance).10
7. Antibiotik untuk infeksi Helicobacter pylori
Eradikasi bakteri Helicobacter pylori membantu mengurangi simptom pada sebagian
pasien dan biasanya digunakan kombinasi antibiotik seperti amoxicillin (Amoxil),
clarithromycin (Biaxin), metronidazole (Flagyl) dan tetracycline (Sumycin).6

31

Kadang kala juga dibutuhkan psikoterapi dan psikofarmakoterapi (obat anti- depresi
dan cemas) pada pasien dengan dispepsia fungsional, karena tidak jarang keluhan
yang muncul berhubungan dengan faktor kejiwaan seperti cemas dan depresi.2,6-12
Terapi Dispepsia Fungsional :
1. Farmakologis
- pengobatan jangka lama jarang diperlukan kecuali pada kasus-kasus berat. (regular
medication)
- mungkin perlu pengobatan jangka pendek waktu ada keluhan. (on demand
medication)
2. Psikoterapi
- Reassurance
- Edukasi mengenai penyakitnya
3. Perubahan diit dan gaya hidup
- Dianjurkan makan dalam porsi yang lebih kecil tetapi lebih sering.
- Makanan tinggi lemak dihindarkan
Pengobatan terhadap dispepsia fungsional adalah bersifat terapi simptomatik.
Pasien dengan dispepsia fungsional lebih dominan gejala dan keluhan seperti nyeri
pada abdomen bagian atas (ulcer - like) bisa diobati dengan PPI (Proton Pump
Inhibitors). Pasien dengan keluhan yang tidak jelas di bagian abdomen atas di mana
yang gagal dengan pengobatan PPI, bisa diobati dengan tricyclic antidepressants,
walaupun data yang menyokong masih kurang.16
Pasien dengan keluhan dismotility like symptom bisa diobati dengan sama
ada dengan acid suppressive therapy, prokinetic agents, atau 5-HT1 agonists.
Metoclopramide dan domperidone menunjukkan antara obat placebo dalam
pengobatan dispepsia fungsional.16
2.12 PENCEGAHAN

32

Makan secara benar. Hindari makanan yang dapat mengiritasi terutama


makanan yang pedas, asam, gorengan atau berlemak. Yang sama pentingnya
dengan pemilihan jenis makanan yang tepat bagi kesehatan adalah bagaimana
cara memakannya. Makanlah dengan jumlah yang cukup, pada waktunya dan
lakukan dengan santai.

Hindari alkohol. Penggunaan alkohol dapat mengiritasi dan mengikis lapisan


mukosa dalam lambung dan dapat mengakibatkan peradangan dan
pendarahan.

Jangan merokok. Merokok mengganggu kerja lapisan pelindung lambung,


membuat lambung lebih rentan terhadap gastritis dan borok. Merokok juga
meningkatkan asam lambung, sehingga menunda penyembuhan lambung dan
merupakan penyebab utama terjadinya kanker lambung. Tetapi, untuk dapat
berhenti merokok tidaklah mudah, terutama bagi perokok berat.
Konsultasikan dengan dokter mengenai metode yang dapat membantu untuk
berhenti merokok.

Lakukan olah raga secara teratur. Aerobik dapat meningkatkan kecepatan


pernapasan dan jantung, juga dapat menstimulasi aktifitas otot usus sehingga
membantu mengeluarkan limbah makanan dari usus secara lebih cepat.

Kendalikan stress. Stress meningkatkan resiko serangan jantung dan stroke,


menurunkan sistem kekebalan tubuh dan dapat memicu terjadinya
permasalahan kulit. Stress juga meningkatkan produksi asam lambung dan
melambatkan kecepatan pencernaan. Karena stress bagi sebagian orang tidak
dapat dihindari, maka kuncinya adalah mengendalikannya secara effektif
dengan cara diet yang bernutrisi, istirahat yang cukup, olah raga teratur dan
relaksasi yang cukup.

33

Ganti obat penghilang nyeri. Jika dimungkinkan, hindari penggunaan OAINS,


obat-obat golongan ini akan menyebabkan terjadinya peradangan dan akan
membuat peradangan yang sudah ada menjadi lebih parah. Ganti dengan
penghilang nyeri yang mengandung acetaminophen.

Ikuti rekomendasi dokter.6-11

2.13 PROGNOSIS
Statistik menunjukkan sebanyak 20% pasien dispepsia mempunyai ulkus
peptikum, 20% mengidap Irritable Bowel Syndrome, kurang daripada 1% pasien
terkena kanker, dan dispepsia fungsional dan dyspepsia non ulkus adalah 5-40%.17
Terkadang dispepsia dapat menjadi tanda dari masalah serius, contohnya
penyakit ulkus lambung yang parah. Tak jarang, dispepsia disebabkan karena kanker
lambung, sehingga harus diatasi dengan serius. Ada beberapa hal penting yang harus
diperhatikan bila terdapat salah satu dari tanda ini, yaitu: Usia 50 tahun ke atas,
kehilangan berat badan tanpa disengaja, kesulitan menelan, terkadang mual-muntah,
buang air besar tidak lancar dan merasa penuh di daerah perut.

34

BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Dispepsia merupakan keluhan yang sangat umum, terjadi pada lebih dari
seperempat populasi, tetapi hanya kurang lebih seperempatnya berkonsultasi ke
dokter.

Terdapat banyak penyebab dispepsia, antaranya adalah gangguan atau

penyakit dalam lumen saluran cerna; tukak gaster atau duodenum, gastritis, tumor,
infeksi Helicobacter pylori. Obat obatan seperti anti inflamasi non steroid
(OAINS), aspirin, beberapa antibiotik, digitalis, teofilin dan sebagainya. Penyakit
pada hati, pankreas, sistem bilier, hepatitis, pankreatitis, kolesistetis kronik. Penyakit
sistemik: diabetes mellitus, penyakit tiroid, penyakit jantung koroner. Bersifat
fungsional, yaitu dispepsia yang terdapat pada kasus yang tidak terbukti adanya
kelainan atau gangguan organik atau struktural biokimia, yaitu dispepsia fungsional
atau dispepsia non ulkus. Dispepsia adalah merupakan suatu simptom atau kelompok
keluhan atau gejala dan bukan merupakan suatu diagnosis. Sangat penting mencari
clue atau penanda akan gejala dan keluhan yang merupakan etiologi yang bisa
ditemukan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Disebabkan kanker digestif
bagian atas jarang pada umur <50 tahun, pemeriksaan endoskopi direkomendasi pada
pasien yang berusia > 50 tahun. Juga direkomendasi pada pasien yang mangalami
penurunan berat badan yang signifikan, terjadi pendarahan, dan muntah yang terlalu
teruk. Penatalaksanaan dispepsia adalah meliputi pola hidup sehat, berpikiran positif

35

dan pemakanan yang sehat dan seimbang, selain daripada pengobatan. Pengobatan
dispepsia adalah antaranya seperti antasid, antikolinergik, antagonis reseptor
histamin2, Proton Pump Inhibitor, sitoprotektif, golongan prokinetik, antibiotik untuk
infeksi Helicobacter pylori dan kadang kadang diperlukan psikoterapi.

DAFTAR PUSTAKA
1. Djojoningrat D. Pendekatan klinis penyakit gastrointestinal. Sudoyo AW,
Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editor. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Edisi ke 4. FKUI; 2007.h.285.
2. Jones MP. Evaluation and treatment of dyspepsia. Post Graduate Medical
Journal 2003;79:25-29.
3. Tack J, Nicholas J, Talley, Camilleri M, Holtmann G, Hu P, et al. Functional
Gastroduadenal. Gastroenterology 2006;130:1466-1479.
4. Karakteristik Penderita Dispepsia Rawat Inap Di RS Martha Friska Medan
Tahun 2007. Edisi 2010. Diunduh dari,
http://library.usu.ac.id/index.php/index.php?option=com_journal_review&id.
5. Citra JT. Perbedaan depresi pada pasien dispepsia organik dan fungsional.
Bagian Psikiatri FK USU 2003.
6. Dyspepsia. Edition 2010. Available from:
http://www.mayoclinic.org/dyspepsia/.
7. Talley N, Vakil NB, Moayyedi P. American Gastroenterological Association
technical review: evaluation of dyspepsia. Gastroenterology 2005;129:1754
8. Indigestion (Dyspepsia, Upset Stomach). Edition 2010. Available from:
http://www.medicinenet.com/dyspepsia/article.htm, 5 Juni 2010.
9. Dyspepsia, What It Is and What to Do About It? Edition 2009. Available from:
http://familydoctor.org/online/famdocen/home/common/digestive/disorders/47
4.html.
10. Greenburger NJ. Dyspepsia. The Merck Manuals Online Medical Library.
2008 March. Available from:
http://www.merck.com/mmpe/sec02/ch007/ch007c.html.
11. Delaney BC. 10 Minutes consultation dyspepsia. BMJ. 2001. Available from:
http://www.bmj.com/cgi/content/full/322/7289/776.
36

12. Ringerl Y. Functional dyspepsia. UNC Division of Gastroenterology and


Hepatology. 2005;1:1-3.
13. Glenda NL. Gangguan lambung dan duodenum. Patofisiologi. Edisi ke-6.
EGC; 2006.h.417-19.
14. Riza TC, Bushra S. Dyspepsia. Prim Care Clinical Office Pract 34 2007;1:99
108.
15. Fauci AS, Braunwald, Kasper DL, Hauser SL, Longo DL, Jameson LJ et al.
Peptic ulcer disease. Harrisons Principle of Internal Medicine. 17th.Mc
Graw-Hills; 2008.p.287.
16. David JB. Test and Treat or PPI Therapy for Dyspepsia? Journal Watch
Gastroenterology April 18, 2008.
17. Dyspepsia. Edition 2001. Available from:
http://mercyweb.org/MICROMEDEX/health_information.

37

Anda mungkin juga menyukai