Anda di halaman 1dari 19

Airin Alia H

1102011015
1.1. Definisi Sindrom Dispepsia
Dalam konsensus Roma II tahun 2000 disepakati dispepsia
merupakan kumpulan keluhan atau gejala klinis yang terdiri dari rasa
tidak enak atau sakit yang berpusat di perut bagian atas.1
Sindrom dispepsia juga didefinisikan sebagai kumpulan gejala
yang terdiri dari nyeri atau rasa tidak nyaman di epigastrium, mual,
muntah, kembung, cepat kenyang, rasa perut penuh, sendawa, atau rasa
panas yang menjalar di dada.2
1.3 Epidemiologi Sindrom Dispepsia
Keluhan

dispepsia

merupakan

keadaan

klinis

yang

sering

dijumpai dalam praktek sehari- hari. Diperkirakan hampir 30 % kasus


pada praktek umum dan 60% pada praktek gastroenterologist merupakan
kasus dispepsia. Berdasarkan penelitian pada populasi umum didapatkan
bahwa 15-30% orang dewasa pernah mengalami hal ini dalam beberapa
hari. Dari data pustaka negara barat didapatkan angka prevalensinya
berkisar 7- 41%, tapi hanya 10 - 20% yang mencari pertolongan medis.
Angka insiden dispepsia diperkirakan 1-8%. Sementara di Indonesia
belum ada data epidemiologinya.3

1.4 Klasifikasi
Klasifikasi dispepsia tebagi dua, yaitu:5
a. Dispepsia organik, bila telah diketahui adanya kelainan organik sebagai
penyebabnya
b. Dispepsia nonorganik

atau

dispepsia

fungsional,

atau

dispepsia

nonulkus (DNU), bila tidak jelas penyebabnya.

Tabel 1 Diagnosis banding nyeri atau ketidaknyamanan abdomen atas5

1.5 Etiologi
Etiologi sindroma dispepsi antara lain:6
1. Obat-obatan
Obat Anti Inflamasi Non Steroid (OAINS), antibiotik (makrolides,
metronidazole),
kortikosteroid,

besi,
levodopa,

KCl,

digitalis,

niacin,

estrogen,

gemfibrozil,

Etanol

narkotik,

(alkohol),
quinidine,

theophiline
2. Idiosinkrasi makanan (intoleransi makanan)
a. Alergi : susu sapi, putih telur, kacang, makanan laut, beberapa jenis
produk kedelai dan beberapa jenis buah-buahan
b. Non-alergi
-

Produk alam: laktosa, sucrosa, galactosa, gluten, kafein, dan lainlain.

Bahan kimia: monosodium glutamate (vetsin), asam benzoat,


nitrit, nitrat, dll.
2

Perlu diingat beberapa intoleransi makanan diakibatkan oleh


penyakit dasarnya, misalnya pada penyakit pankreas dan empedu tidak
bisa mentoleransi makanan berlemak, jeruk dengan PH yang relatif
rendah sering memprovokasi gejala pada pasien ulkus peptikum atau
esophagitis.
3. Kelainan struktural
a. Penyakit oesophagus
-

Refluks gastroesofageal dengan atau tanpa hernia

Akhalasia

Obstruksi esophagus

b. Penyakit gaster dan duodenum


-

Gastritis erosif dan hemorhagik; sering disebabkan oleh OAINS dan


sakit keras (stres fisik) seperti luka bakar, sepsis, pembedahan,
trauma, shock

Ulkus gaster dan duodenum

Karsinoma gaster

c. Penyakit saluran empedu


-

Kholelitiaasis dan Kholedokolitiasis

Kholesistitis

d. Penyakit pankreas
-

Pankreatitis

Karsinoma pankreas

e. Penyakit usus
-

Malabsorbsi

Obstruksi intestinal intermiten

Sindrom kolon iritatif

Angina abdominal

Karsinoma kolon

4. Penyakit metabolik / sistemik


a. Tuberculosis
b. Gagal ginjal
3

c. Hepatitis, sirosis hepatis, tumor hepar


d. Diabetes melitius
e. Hipertiroid, hipotiroid, hiperparatiroid
f. Ketidakseimbangan elektrolit
g. Penyakit jantung kongestif
5. Lain-lain
a. Penyakit jantung iskemik
b. Penyakit kolagen
Dispepsia biasanya diderita sudah beberapa minggu atau bulan
yang sifatnya hilang timbul atau terus menerus. Dispepsia disebabkan
oleh : Menelan udara (aerofagi), Regurgitasi (alir balik, refluks) asam dari
lambung,

iritasi

lambung

(gastritis),

Ulkus

gastrikum

atau

Ulkus

duodenalis, kanker lambung, peradangan kandung empedu (kolesistitis),


intoleransi laktosa (ketidakmampuan mencerna susu dan produknya),
kelainan gerakan usus, pengeluaran asam lambung berlebih pertahanan
dinding lambung yang lemah, infeksi Helicobacter pylori ( sejenis bakteri
yang hidup di dalam lambung, dalam jumlah kecil ) ketika asam lambung
yang dihasilkan keluar lebih banyak kemudian pertahanan dinding
lambung menjadi lemah, bakteri ini bisa bertambah banyak jumlahnya,
apalagi disertai kebersihan makanan yang kurang, gangguan gerakan
saluran cerna dan stres psikologis.6
1.6 Patofisiologi
Patofisiologi dari sindroma dispepsia diantaranya:1,3
1. Abnormalitas Motorik Gaster
Dengan studi Scintigraphic Nuklear dibuktikan lebih dari 50%
pasien dispepsia fungsional mempunyai keterlambatan pengosongan
makanan dalam gaster. Demikian pula pada studi monometrik didapatkan
gangguan motilitas antrum postprandial, tetapi hubungan antara kelainan
tersebut dengan gejala- gejala dispepsia tidak jelas.
Penelitian terakhir menunjukkan bahwa fundus gaster yang
4

"kaku" bertanggung jawab terhadap sindrom dispepsia. Pada keadaan


normal seharusnya fundus relaksasi, baik saat mencerna makanan
maupun bila terjadi distensi duodenum. Pengosongan makanan bertahap
dari corpus gaster menuju ke bagian fundus dan duodenum diatur oleh
refleks vagal. Pada beberapa pasien dispepsia fungsional, refleks ini tidak
berfungsi dengan baik sehingga pengisian bagian antrum terlalu cepat.
2. Perubahan sensitivitas gaster
Lebih 50% pasien dispepsia fungsional menunjukkan sensitivitas
terhadap distensi gaster atau intestinum, oleh karena itu mungkin akibat:
makanan yang sedikit mengiritasi seperti makanan pedas, distensi udara,
gangguan kontraksi gaster intestinum atau distensi dini bagian antrum
postprandial dapat menginduksi nyeri pada bagian ini.
3. Stres dan faktor psikososial
Penelitian menunjukkan bahwa didapatkan gangguan neurotik
dan morbiditas psikiatri lebih tinggi secara bermakna pada pasien
dispepsia fungsional dari pada subyek kontrol yang sehat. Banyak pasien
mengatakan bahwa stres mencetuskan keluhan dispepsia. Beberapa studi
mengatakan stres yang lama menyebabkan perubahan aktifitas vagal,
berakibat gangguan akomodasi dan motilitas gaster.
Kepribadian dispepsia fungsional menyerupai pasien Sindrom
Kolon Iritatif dan dispepsia organik, tetapi disertai dengan tanda neurotik,
ansietas dan depresi yang lebih nyata dan sering disertai dengan keluhan
nongastrointestinal seperti nyeri muskuloskletal, sakit kepala dan mudah
letih. Mereka cenderung tiba-tiba menghentikan kegiatan sehari-harinya
akibat nyeri dan mempunyai fungsi sosial lebih buruk dibanding pasien
dispepsia organik. Demikian pula bila dibandingkan orang normal.
Gambaran psikologik dispepsia fungsional ditemukan lebih banyak
ansietas, depresi dan neurotik.
4. Gastritis Helicobacter pylori
Gambaran gastritis Helicobacter pylori secara histologik biasanya
gastritis non-erosif non-spesifik. Di sini ditambahkan non-spesifik karena
5

gambaran histologik yang ada tidak dapat meramalkan penyebabnya dan


keadaan klinik yang bersangkutan. Diagnosis endoskopik gastrtitis akibat
infeksi Helicobacter pylori sangat sulit karena sering kali gambarannya
tidak khas. Tidak jarang suatu gastritis secara histologik tampak berat
tetapi gambaran endoskopik yang tampak tidak jelas dan bahkan normal.
Beberapa gambaran endoskopik yang sering dihubungkan dengan adanya
infeksi Helicobacter pylori adalah:
a. Erosi kronik di daerah antrum
b. Nodularitas pada mukosa antrum
c. Bercak-bercak eritema di antrum
d. Area gastrika yang menonjol dengan bintik-bintik eritema di daerah
korpus
Peranan infeksi Helicobacter pylori pada gastritis dan ulkus
peptikum

sudah

menyebabkan

diakui,

dispepsia

tetapi

apakah

fungsional

Helicobacter

masih

pylori

kontroversi.

dapat

Pravelensi

Helicobacter pylori pada pasien dispepsia fungsional tidak berbeda


dengan kontrol. Di negara maju, hanya 50% pasien dispepsia fungsional
menderita infeksi Helicobacter pylori, sehingga penyebab dispepsia pada
dispepsia fungsional dengan Helicobacter pylori negatif dapat juga
menjadi

penyebab

dari

beberapa

dispepsia

fungsional

dengan

Helicobacter pylori positif.7


5. Kelainan fungsional gastrointestinal
Dispepsia fungsional cenderung dimasukkan sebagai bagian
kelainan fungsional gastrointestinal, termasuk di sini Sindrom Kolon
Iritatif, nyeri dada non-kardiak dan nyeri ulu hati fungsional. Lebih dari
80% dengan Sindrom Kolon Iritatif menderita dispepsia dan lebih dari
sepertiga pasien dengan dispepsia kronis juga mempunyai gejala Sindrom
Kolon Iritatif. Pasien dengan kelainan seperti ini sering ada gejala ekstra
gastrointestinal seperti migrain, myalgia dan disfungsi kencing dan
ginekologi.
Pada anamnesis dispepsia jangan lupa menanyakan gejala
6

Sindrom Kolon Iritatif seperti nyeri abdomen mereda setelah defekasi,


perubahan

frekuensi

buang

air

besar

atau

bentuknya

mengalami

perubahan, perut tegang, tidak dapat menahan buang air besar dan perut
kembung. Beberapa pasien juga mengalami aerophagia,yaitu perut
kembung diikuti oleh masuknya udara untuk menginduksi sendawa,
diikuti oleh kembung yang lebih parah. Abnormalitas di atas belum semua
diidentifikasi oleh semua peneliti dan tidak selalu muncul pada semua
penderita.

1.7 Manifestasi klinis


Klasifikasi klinis praktis, didasarkan atas keluhan atau gejala
yang dominan, membagi dipepsia menjadi tiga tipe:

1,7

1. Dispepsia dengan keluahan seperti ulkus (ulcus-like dyspepsia),


dengan gejala:
-

Nyeri epigastrium terlokalisasi

Nyeri hilang setelah makan atau pemberian antasid

Nyeri saat lapar

Nyeri episodik

2. Dispepsia degan gejala seperti dismotilitas (dysmotility-like dyspepsia),


dengan gejala :
-

Mudah kenyang

Perut cepat terasa penuh saat makan

Mual

Muntah

Upper abdominal bloating

Rasa tidak nyaman bertambah saat makan

3. Dispepsia nonspesifik (tidak ada gejala seperti kedua tipe diatas).


Pembagian akut dan kronik berdasarkan atas jangka waktu tiga bulan.
7

1.8 Diagnosis
Untuk
anamnesis

menegakkan

yang

baik,

diagnosis

pemeriksaan

dispepsia
fisis

diperlukan

yang

akurat,

data

disertai

pemeriksaan penunjang untuk mengeksklusi penyakit organik/struktural.


Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik1,8
Riwayat minum obat termasuk minuman yang mengandung
alkohol dan jamu yang dijual bebas di masyarakat perlu ditanyakan dan
kalau mungkin harus dihentikan. Hubungan dengan jenis makanan
tertentu perlu diperhatikan. Tanda dan gejala "alarm"(peringatan) seperti
disfagia, berat badan turun, nyeri menetap dan hebat, nyeri yang
menjalar ke punggung, muntah yang sangat sering, hematemesis, melena
atau jaudice kemungkinan besar adalah merupakan penyakit serius yang
memerlukan pemeriksaan seperti endoskopi dan / atau "USG" atau "CT
Scan" untuk mendeteksi struktur peptik, adenokarsinoma gaster atau
esophagus, penyakit ulkus, pankreatitis kronis atau keganasan pankreas
empedu.
Perlu ditanyakan hal-hal yang berhubungan dengan stresor
psikososial misalnya: masalah anak, hubungan antar manusia, hubungan
suami-istri, pekerjaan dan pendidikan. Hal ini berakibat eksaserbasi gejala
pada beberapa orang. Harus diingat gambaran khas dari beberapa
penyebab dispepsia:
-

Pasien ulkus peptikum biasanya berumur lebih dari 45 tahun, merokok


dan nyeri berkurang dengan mencerna makanan tertentu atau antasid

Nyeri

sering

membangunkan

pasien

pada

malam

hari

banyak

ditemukan pada ulkus duodenum


-

Gejala esofagitis sering timbul pada saat berbaring dan membungkuk


setelah makan kenyang yaitu perasan terbakar pada dada, nyeri dada
yang

tidak

spesifik

(bedakan

dengan

pasien

jantung

koroner),

regurgitasi dengan gejala perasaan asam pada mulut.


-

Bila gejala dispepsia timbul segera setelah makan biasanya didapatkan


pada penyakit esofagus, gastritis erosif dan karsinoma
8

Sebaliknya, bila muncul setelah beberapa jam setelah makan sering


terjadi pada ulkus duodenum

Pasien dispepsia fungsional lebih sering mengeluhkan gejala di luar


gastrointestinal, ada tanda kecemasan atau depresi, atau mempunyai
riwayat pemakaian psikotropik. Pemeriksaan fisik untuk menemukan
organomegali,

tumor

abdomen,

ascites,

jaundice

tetap

penting

dikerjakan untuk menyingkirkan penyakit organik.


Pemeriksaan Penunjang1,3
Pemeriksaan radiologi

yaitu,

OMD

dengan kontras

ganda,

serologi Helicobacter
pylori, dan urea breath test (belum tersedia di Indonesia). Endoskopi
merupakan

pemeriksaan

baku

emas,

selain

diagnostik

sekaligus

terapeutik. Pemeriksaan yang dapat dilakukan dengan endoskopi adalah:


-

CLO (rapid urea test)

Patologi anatomi (PA)

Kultur mikoorganisme (MO) jaringan

PCR (polymerase chain reaction), hanya dalam rangka penelitian.

1. Laboratorium
Pemeriksaan

laboratorium

perlu

dilakukan,

setidak-tidaknya

perlu diperiksa darah, urine dan tinja secara rutin. Dari hasil pemeriksaan
darah bila ditemukan leukositosis berarti ada tanda tanda infeksi. Pada
pemeriksaan tinja, jika tampak cair berlendir atau banyak mengandung
lemak berarti kemungkinan menderita malabsorpsi. Seseorang yang
diduga menderita dispepsi tukak, sebaiknya diperiksa asam lambung.
Pada karsinoma saluran pencernaan perlu diperiksa pertanda tumor,
misalnya dugaan karsinoma kolon perlu diperiksa CEA, dugaan kearah
karsinoma pankreas perlu diperiksa CA 19-9. Dan lain lain pemeriksaan
laboratorium yang ada relevansi terhadap penyakit yang menimbulkan
sindroma dispepsia.
2. Radiologi
Pemeriksaan radiologi banyak menunjang diagnosis sesuatu
9

penyakit

di

pemeriksaan

saluran

makan. Setidak

radiologi

terhadap

saluran

- tidaknya
makan

perlu dilakukan

bagian

atas,

dan

sebaiknya menggunakan kontras ganda. Pada refluks gastroesofageal


akan tampak peristaltik di esophagus yang menurun terutama dibagian
distal, tampak antiperistaltik di antrum yang meninggi serta sering
menutupnya pylorus, sehingga sedikit barium yang masuk ke intestine.
Pada tukak baik di lambung, maupun di duodenum akan terlihat
gambar yang disebut niche, yaitu suatu kawah dari tukak yang terisi
kontras media. Bentuk niche dari tukak yang jinak umumnya regular,
semisirkuler, dengan dasar licin.
Kanker di lambung secara radiologi, akan tampak massa yang
ireguler tidak terlihat peristaltic di daerah kanker, bentukdari lambung
berubah. Pankreatitis akuta perlu dibuat foto polos abdomen, yang akan
terlihat ganda seperti terpotongnya usus besar, atau tampak dilatasi dari
intestine terutama di yeyenum yang disebut Sentinel loops.
3. Endoskopi
Pemeriksaan endoskopi dari saluran makan bagian atas akan
banyak membantu menentukan diagnosis. Yang perlu diperhatikan ada
tidaknya kelainan di esofagus, lambung, dan duodenum. Di tempat
tersebut perlu diperhatikan warna mukosa , lesi tumor jinak atau ganas.
Kelainan di esofagus yang sering ditemukan dan perlu diperhatikan di
antaranya ialah: esofagitis, tukak esofagus, varises esofagus, tumor jinak
atau ganas yang umumnya lokasinya di bagian distal esofagus. Lokasi
kelainan di lambung yang terbanyak ialah disekitar angulus, antrum, dan
prepilorus, diantaranya berupa gastritis, tukak lambung, tumor jinak atau
ganas. Kelaianan di duodenum yang sering ditemukan ialah tanda
peradangan (duodenitis), tukak yang lokasinya terbanyak di bulbus dan
pars desenden.
Bila pada endoskopi ditemukan tukak baik di esofagus , lambung
maupun di duodenum, maka dapat dibuat diagnosis dispepsi tukak.
Sedangkan bila tidak ditemukan tukak tetapi hanya tanda peradangan
10

maka dapat dibuat diagnosis dispepsia bukan tukak.


4. Ultrasonografi
Ultrasonografi (USG) merupakan sarana diagnostik yang tidak
invasif, akhir- akhir ini makin banyak dimanfaatkan untuk membantu
menentukan diagnosis dari sesuatu penyakit. Apalagi alat ini tidak
menimbulkan efek samping, dapat digunakan setiap saat dan pada
kondisi pasien yang beratpun dapat dimanfaatkan. Pemanfaatan alat USG
pada sindroma dispepsia terutama bila ada dugaan kearah kelainan di
traktus biliaris , pankreas, kelainan di tiroid, bahkan juga ada dugaan
tumor di esofagus dan lambung.
5. Sidik abdomen
Juga dipakai sebagai pemeriksaan untuk mengeksklusi penyebab
organik.
6. Manometri Esofago-gastro-duodenum
Sampai saat ini merupakan sarana penunjang diagnosis yang
banyak dikembangkan. Dapat ditemukan kelainan manometrik berupa
gangguan

fase

berpendapat

III

migrating

bahwa

saat

motor
ini

complex.

dispepsia

Banyak

merupakan

ahli

yang

gangguan

pengosongan lambung.
7. Waktu Pengosongan Lambung
Dapat dilakukan dengan scintigrafi atau dengan pellet radioopak.
Pada dispepsia terdapat perlambatan pengosongan lambung 30-40%.
1.9 Penatalaksanaan Umum1,2,4,6
Berdasarkan Konsensus Nasional Penanggulangan Helicobacter
pylori

1996,

ditetapkan

skema

penatalaksanaan

dispepsia,

yang

dibedakan bagi sentral kesehatan dengan tenaga ahli (gastroenterolog


atau internis) yang disertai fasilitas endoskopi dengan penatalaksanaan
dispepsia di masyarakat.

11

12

Pengobatan dispepsia antara lain:


1. Diet
Merupakan peranan yang terpenting. Pada garis besarnya yang
dipakai adalah cara pemberian diet seperti yang diajukan oleh Sippy 1915
hingga dikenal pula Sippy Diet. Sekarang lebih dikenal dengan diit
lambung yang sudah disesuaikan dengan masyarakat Indonesia. Dasar
diet

ialah

makan

sedikit

berulang

kali,

makanan

yang

banyak

mengandung susu dalam porsi kecil. Jadi makanan yang dimakan harus
lembek, mudah dicerna, tidak merangsang dan kemungkinan dapat
menetralisir asam HCl. Pemberiannya dalam porsi kecil dan berulang kali.
Dilarang makan pedas, masam, dan alkohol.
13

2. Antasida 20-150ml/hari
Antasida akan menetralisir sekresi asam HCl. Obat ini biasa
digunakan untuk sindroma dispepsia. Golongan obat ini mudah didapat
dan murah. Antasid akan menetralisir sekresi asam lambung. Antasid
biasanya mengandung Na bikarbonat, Al(OH)3, Mg(OH)2, dan Mg triksilat.
Pemberian antasid jangan terus-menerus, sifatnya hanya simtomatis,
untuk mengurangi rasa nyeri. Mg triksilat dapat dipakai dalam waktu lebih
lama, juga berkhasiat sebagai adsorben sehingga bersifat nontoksik,
namun dalam dosis besar akan menyebabkan diare karena terbentuk
senyawa MgCl2.
3. Antikolinergik
Perlu diperhatikan, karena kerja obat ini tidak spesifik. Obat yang
agak selektif yaitu pirenzepin bekerja sebagai anti reseptor muskarinik
yang dapat menekan seksresi asam lambung sekitar 28-43%. Pirenzepin
juga memiliki efek sitoprotektif.
4. Antagonis reseptor H2
Golongan obat ini banyak digunakan untuk mengobati dispepsia
organik atau esensial seperti tukak peptik. Obat yang termasuk golongan
antagonis respetor H2 antara lain simetidin, roksatidin, ranitidin, dan
famotidin.

14

5. Penghambat pompa asam (proton pump inhibitor = PPI)


15

Golongan obat ini mengatur sekresi asam lambung pada stadium


akhir dari proses sekresi asam lambung. Obat-obat yang termasuk
golongan PPI adalah omeperazol, lansoprazol, dan pantoprazol.

6. Sitoprotektif
Prostoglandin sintetik seperti misoprostol (PGE1) dan enprostil
(PGE2). Selain bersifat sitoprotektif, juga menekan sekresi asam lambung
oleh sel parietal. Sukralfat berfungsi meningkatkan sekresi prostoglandin
endogen, yang selanjutnya memperbaiki mikrosirkulasi, meningkatkan
produksi mukus dan meningkatkan sekresi bikarbonat mukosa, serta
membentuk lapisan protektif (site protective), yang bersenyawa dengan
protein sekitar lesi mukosa saluran cerna bagian atas (SCBA).
7. Golongan prokinetik
Obat yang termasuk golongan ini, yaitu sisaprid, domperidon,
dan

metoklopramid.

Golongan

ini

cukup

efektif

untuk

mengobati

dispepsia fungsional dan refluks esofagitis dengan mencegah refluks dan


memperbaiki bersihan asam lambung (acid clearance).
16

1.10 Pencegahan1
Pencegahan dispepsia antara lain:
-

Atur pola makan seteratur mungkin.

Olahraga teratur.

Hindari makanan berlemak tinggi yang menghambat pengosongan isi


lambung (coklat, keju, dan lain-lain).

Hindari makanan yang menimbulkan gas di lambung (kol, kubis,


kentang, melon, semangka, dan lain-lain).

Hindari makanan yang terlalu pedas.

Hindari minuman dengan kadar caffeine dan alkohol.

Hindari

obat

yang

mengiritasi

dinding

lambung,

seperti

obat

antiinflammatory, misalnya yang mengandung ibuprofen, aspirin,


naproxen, dan ketoprofen. Acetaminophen adalah pilihan yang tepat
untuk mengobati nyeri karena tidak mengakibatkan iritasi pada
dinding lambung.
-

Kelola stres psikologi se-efisien mungkin.

1.11 Prognosis
Sindrom dispepsia yang ditegakkan setelah pemeriksaan klinis
dan
penunjang yang akurat, mempunyai prognosis yang baik.1

17

DAFTAR PUSTAKA

1. Djojoningrat, Dharmika.2009. Dispepsia Fungsional dalam Buku Ajar


Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi ke-5,p 529-33. Jakarta: Internal
Publishing
2. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. 2009. Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ke-5. Jakarta : Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia
3. Tarigan, Pengarapen. 2009. Tukak Gaster dalam Buku Ajar Ilmu
Penyakit

Dalam.Jilid

I.

Edisi

ke-5.

Jakarta

Pusat

Penerbitan

Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas


Indonesia
4. Dikutip

dari

http://payayat.blogspot.com/2011/11/anatomi-

lambung.html. Tanggal 15 Desember 2012


5. Rani A, Soegondo S, Nasir A, Wijaya I. 2009. Panduan Pelayanan Medik
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Jakarta :
Interna Publishing
6. Mansjoer, Triyani, Savitri, Wardhani, Setiowulan. 1999. Kapita Selekta
Kedokteran Jilid 1. Edisi Ke-3. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia
7. Hirlan.2009. Gastritis dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.Jilid I. Edisi
ke-5. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
8. Jawetz, Melnick, Adelbergs. Medical Microbiology. Edisi ke-24. United
States of America : McGraw-Hill ; 2007.

18

19

Anda mungkin juga menyukai