Sejarah Kabupaten Sumenep
Sejarah Kabupaten Sumenep
Etimologi
Nama Songnb sendiri dalam arti etimologinya merupakan Bahasa Kawi / Jawa Kuno yang
jika diterjemaahkan mempunyai makna sebagai berikut : Kata Sung mempunyai arti sebuah
relung/cekungan/lembah, dan kata nb yang berarti endapan yang tenang, maka jika
diartikan lebih dalam lagi Songnb / Songennep (dalam bahasa Madura) mempunyai arti
"lembah/cekungan yang tenang". Penyebutan Kata Songnb sendiri sebenarnya sudah
popular semenjak Kerajaan Singhasari sudah berkuasa atas Jawa, Madura dan Sekitarnya,
seperti yang telah disebutkan dalam kitab Pararaton tentang penyebutan daerah "Sumenep"
pada saat sang Prabu Kertanegara mendinohaken (menyingkirkan) Arya Wiraraja (penasehat
kerajaan dalam bidang politik dan pemerintahan) ke Wilayah Sumenep, Madura Timur tahun
1926 M 'Hanata Wongira, babatangira buyuting Nangka, Aran Banyak Wide, Sinungan
Pasenggahan Arya Wiraraja, Arupa tan kandel denira, dinohaksen, kinun adipati ring
Sungeneb, anger ing Madura wetan.' Yang artinya : Adalah seorang hambanya, keturunan
orang ketua di Nangka, bernama Banyak Wide, diberi sebutan Arya Wiraraja, rupa-rupanya
tidak dipercaya, dijauhkan disuruh menjadi adipati di Sumenep. Bertempat tinggal di Madura
timur.
Referensi
Keraton Sumenep
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Belum Diperiksa
Karaton Songenep
Lokasi
Alamat
Koordinat
Informasi umum
Sumenep, Jawa Timur
Jalan dr. Soetomo, Kota Sumenep
7127,3LU 1135324,74BT
Keraton Sumenep dulunya adalah tempat kediaman resmi para Adipati/Raja-Raja selain
sebagai tempat untuk menjalankan roda pemerintahan. Kerajaan Sumenep sendiri bisa
dibilang sifatnya sebagai kerajaan kecil (setingkat Kadipaten) kala itu, sebab sebelum
wilayah Sumenep dikusai VOC wilayah Sumenep sendiri masih harus membayar upeti
kepada kerajaan-kerajaan besar(Singhasari, Majapahit, dan Kasultanan Mataram).
Keraton Sumenep sejatinya banyak jumlahnya, selain sebagai kediaman resmi adipati/raja
yang berkuasa saat itu, karaton juga difungsikan sebagai tempat untuk mengatur segala
urusan pemerintahan kerajaan. Saat ini Bangunan Karaton yang masih tersisa dan utuh adalah
bangunan Karaton yang dibangun oleh Gusti Raden Ayu Tirtonegoro R. Rasmana dan
Kanjeng Tumenggung Ario Tirtonegoro (Bindara Saod) beserta keturunannya yakni
Panembahan Somala Asirudin Pakunataningrat dan Sri Sultan Abdurrahman Pakunataningrat
I (Raden Ario Notonegoro). Sedangkan untuk bangunan karaton-karaton milik Adipati/Raja
yang lainnya, seperti Karaton Pangeran Siding Puri di Parsanga, Karaton Tumenggung
Kanduruan, Karaton Pangeran Lor dan Pangeran Wetan di Karangduak hanya tinggal sisa
puing bangunannya saja yakni hanya berupa pintu gerbang dan umpak pondasi bangunan
Keraton.
Istilah penyebutan Karaton apabila dikaitkan dengan sistem pemerintahan di Jawa saat itu,
merasa kurang tepat karena karaton Sumenep memeliki strata tingkatan yang lebih kecil dari
bangunan keraton yang ada di Jogjakarta dan Surakarta. Karaton Sumenep sebenarnya adalah
bangunan kediaman keadipatian yang pola penataan bangunannya lebih sederhana dari pada
keraton-keraton besar seperti Jogjakarta dan Surakarta. Namun perlu dimaklumi bahwa
penggunaan penyebutan istilah karaton sudah berlangsung sejak dulu kala oleh masyarakat
Madura, karena kondisi geografis Sumenep yang berada di daerah mancanegara (wilayah
pesisir wetan) yang jauh dari Kerajaan Mataram. Begitu juga penyebutan Penguasa
Kadipaten yang lebih familiar dikalangan masyarakatnya dengan sebutan "Rato/Raja"
Daftar isi
1 Pendiri
2 Kompleks Bangunan Karaton
5 Warisan Budaya
6 Referensi
Pendiri
Karaton Pajagalan atau lebih dikenal Karaton Songennep dibangun di atas tanah pribadi milik
Panembahan Somala penguasa Sumenep XXXI. Dibangun Pada tahun 1781 dengan arsitek
pembangunan Karaton oleh Lauw Piango salah seorang warga keturunan Tionghoa yang
mengungsi akibat Huru Hara Tionghoa 1740 M di Semarang. Karaton Panembahan Somala
dibangun di sebelah timur karaton milik Gusti R. Ayu Rasmana Tirtonegoro dan Kanjeng
Tumenggung Ario Tirtonegoro (Bindara Saod) yang tak lain adalah orang tua beliau.
Bangunan Kompleks Karaton sendiri terdiri dari banyak massa, tidak dibangun secara
bersamaan namun di bangun dan diperluas secara bertahap oleh para keturunannya.
Pada mulanya antara keraton dengan pendopo letaknya terpisah. Namun, pada masa
pemerintahan Sultan Abdurrahman Pakunataningrat, kedua bangunan tersebut dijadikan satu
deret. Dahulu, Paseban (pendopo ageng) difungsikan sebagai tempat sidang yang dipimpin
langsung oleh sang Adipati dan dihadiri oleh seluruh pejabat tinggi karaton yang waktunya
dilaksanakan pada hari-hari tertentu. Paseban sendiri diurus oleh mantri besar dan dibantu
oleh kebayan.
Di sebelah selatan Taman Sare berdiri Pendapa atau Paseban dan sekarang dijadikan toko
souvenir. Di sebelah selatan keraton terbentang jalan menuju Masjid Jamik Sumenep (ke arah
barat), sedangkan ke arah timur menuju jalan Kalianget. Di sebelah timur keraton adalah
perkampungan,dan di arah timur jalan adalah Kampong Patemon. Artinya tempat pertemuan
aliran air taman keraton dan aliran-aliran air taman milik rakyat dan Taman Lake (tempat
pemandian prajurit keraton). Dari jalan Dr. Sutomo ke arah timur terdapat jalan menurun,
sebelum tikungan jalan berdiri pintu gerbang keluar atau Labang Galidigan. Di sebelah barat
pintu keluar terdapat jalan menurun, bekas undakan tujuh.
Di sebelah selatan jalan undakan terdapat Sagaran atau laut kecil merupakan tempat
bertamasya putera-puteri Adipati. Sekarang Sagaran tersebut ditempati perumahan rakyat
dan lapangan tennis. Di sebelah barat lapangan tennis, berdiri kamarrata merupakan tempat
kereta kencana, dan dibelakangnya berdiri kandang kuda lengkap dengan dua taman.
Komplek keraton Sumenep justru tidak menghadap ke barat tetapi ke selatan. Hal ini
berhubungan dengan legenda laut selatan ( selat Madura ) tempat bersemayamnya Raden
Segoro dan analog dengan legenda di Mataram tentang Nyai Roro Kidul yang konon istri dari
Sultan Agung yang bersemayam/bertahta di Segoro Kidul ( Lautan Indonesia ). Dari legenda
tersebut menimbulkan dogma turun temurun bahwa rumah tinggal yang baik harus
menghadap ke selatan. Ditinjau dari tapak ( site planning ) terlihat bahwa kompleks bangunan
keraton pada prinsipnya menganut keseimbangan simetri dengan menggunakan as/sumbu
yang cukup kuat. Hal ini merupakan usaha perencanaannya untuk memberikan kesan agung
dan berwibawa dari kompleks ini.
Mandiyoso, salah satu ruang didalam kompleks Karaton Sumenep yang menghubungkan
Karaton Dhalem dan Pendopo Agung
Warisan Budaya
Selain memiliki kemegahan bangunan, Karaton Sumenep juga memiliki suatu warisan
budaya yang tak ternilai. antara lain :
Tari Gambuh,
tersebut pernah ditampilkan di keraton Daha oleh para pengikut Raden Wijaya pada perayaan
Wuku Galungan yang dilaksanakan oleh Raja Jayakatong dalam suatu acara pasasraman di
Manguntur Keraton Daha yang selalu dilaksanakan setiap akhir tahun pada Wuku Galungan.
Para pengikut Raden Wijaya antara lain Lembusora, Ranggalawe dan Nambi diadu dengan
para Senopati Daha yakni Kebo Mundarang, Mahesa Rubuh dan Pangelet, dan kemenangan
berada pada pengikut Rade Wijaya.
Tari Keris ciptaan Arya Wiraraja ini lama sekali tidak diatraksikan. Pada masa kerajaan
Mataram Islam di Jawa yakni pada pemerintahan Raden Mas Rangsang Panembahan
AGUNG Prabu Pandita Cakrakusuma Senapati ing Alaga Khalifatullah (Sultan Mataram
1613-1645), seorang Raja yang sangat peduli dengan seni dan budaya. Maka kala itu
Sumenep diperintah oleh seorang Adipati kerabat Sultan Agung yang bernama Pangeran
Anggadipa tarian tersebut dihidupkan kembali sekiotar tahun 1630, diberi nama Kambuh
dalam bahasa Jawa berarti terulang kembali dan sampai detik ini terus diberi nama
Kambuh dan lama kelamaan berubah istilah menjadi tari Gambu (dalam logat Sumenep).
Mowang berarti membuang, Sangkal berarti sukerta, dan sukerta artinya gelap (sesuatu yg
menjadi santapan sebangsa setan, dedemit, jin rayangan, iblis, menurut ajaran Hindu).
Sedangkan sangkal adalah mengadopsi dari bahasa Jawi Kuno yang maksudnya Sengkala
(sengkolo). Jadi sangkal yang dimaksudkan pada umumnya di Songennep adalah : bila ada
orang tua mempunyai anak gadis lalu dilamar oleh laki-laki, tidak boleh ditolak karena
membuat si gadis tersebut akan sangkal (tidak laku selamanya).Pada awalnya tari Mowang
Sangkal agak keras geraknya yang diiringi dengan gamelan dengan gending sampak lalu
mengalir pada gending oramba-orambe yang mengisyaratkan para putri keraton menuju
ke taman sare. Dan kemudian gerakannya tambah halus, gerakan yg lebih halus inilah
mengisyaratkan para putri sedang berjalan di Mandiyoso (korridor keraton keraton menuju
Pendopo Agung Keraton). Pada umumnya kostum yang dipakai adalah warna ciri khas
Songennep, merah dan kuning, karena perpaduan warna tersebut mengandung filosofi
kapodhang nyocco sare yang maksudnya Rato prapana bunga (raja sedang bahagia).
sedangkan paduan warna kostum merah dan hijau atau kuning dan hijau folosofinya
kapodang nyocco daun maksudnya Rato prapana bendhu (Raja sedang marah).
Odeng rek-kerek, salah satu kostum penutup kepala seorang laki-laki yang
diciptakan oleh Sultan Abdurrahman Pakunataningrat yang tak lain dimaksudkan
untuk merendahkan martabat pemerintahan Kolonial Belanda ketika menjajah
Sumenep kala itu, "rek-kerek" dalam bahasa Madura mempunyai arti anak anjing
(patek).
Referensi
Sumenep adalah nama salah satu Kabupaten diujung paling timur Pulau Madura,
yang konon katanya merupakan Kadipaten berpangaruh atas lahirnya Kerajaan
Majapahit dahulu. Berdirinya Kabupaten ini tak luput dari peran tokoh zaman
kerajaan yang bijaksana dan pintar yakni Arya Wiraraja.
Dalam tulisan kali ini, Warta Giligenting mencoba mengingatkan akan sejarah
Sumenep dilihat dari asal usul nama Sumenep.
Dari kabar yang berkembang di kalangan masyarakat Kabupaten Sumenep, soal
asal usul nama Sumenep masih terdapat perbedaan dalam memaknainya.
Misalnya kalangan kelompok terpelajar dan tinggal di sekitar pusat kabupaten
Sumenep, umumnya menyebut dengan kata Sumenep.
Sedangkan masyarakat yang tinggal di pedesaan, menyebutnya dengan kata
Songennep. Namun dari sumber Pararaton disebutkan kata Songennep dikenal
atau lahir lebih awal daripada sebutan Sumenep.
Pararaton menyebutkan sejumlah bukti antara lain sebutan Songennep lebih
banyak dipakai atau dikenal oleh sebagian besar penduduk kabupaten Sumenep.
Kemudian, pengarang buku sejarah dari Madura R. Werdisastro menggunakan
istilah Songennep dalam bukunya berjudul Babad Songennep. Sementara
sebutan Songennep kurang populer di masyarakat pedesaan Sumenep, (80%
dari jumlah penduduk kabupaten Sumenep tinggal di desa).
Untuk menyeragamkan penyebutan Sumenep, maka pada ada inisiatif untuk
merubah nama Songennep menjadi Sumenep di zaman penjajahan Belanda.
Perubahan itu terjadi pada permulaan abad XVIII (1705), ketika Belanda memulai
peran dalam menentukan politik kekuasaan pemerintahan di Madura termasuk
Sumenep.
Perubahan nama Songennep menjadi Sumenep, antara lain untuk penyesuaian
atau kemudahan dalam pengucapan agar lebih sesuai dengan aksen Belanda.
Bagi mereka lebih mudah mengucapkan Sumenep daripada melafalkan
Songennep.
Selian itu perubahan nama juga untuk menanamkan pengaruh kekuasaan
lain, Prasasti Mua Manurung dari Raja Wisnuwardhana berangkat tahun 1255 M,
Prasasti Kranggan (Sengguruh) dari Raja Kertanegara berangkat tahun 1356 M,
Prasasti Pakis Wetan dari Raja Kertanegara berangkat tahun 1267 M, Prasasti
Sarwadharma dari Raja Kertanegara berangkat tahun 1269 M.
Sedangkan sumber naskah (manuskrip) yang digunakan untuk menelusuri lebih
lanjut tokoh Arya Wiraraja, antara lain Naskah Nagakertagama karya Rakawi
Prapanca pada tahun 1365 M, Naskah Peraraton di tulis ulang tahun 1631 M,
Kidung Harsa Wijaya, Kidung Ranggalawe, Kidung Pamancangan, Kidung Panji
Wijayakramah, Kidung Sorandaka.
Dari sumber sejarah tersebut, maka sumber sejarah Prasasti Sarwadharma yang
lengkapnya berangkat tahun 31 Oktober 1269 M, merupakan sejarah yang
sangat signifikan dan jelas menyebutkan bahwa saat itu Raja Kertanegara telah
menjadi Raja Singosari yang berdaulat penuh dan berhak mengangkat seorang
Adipati.
Prasasti Sarwadharma dari Raja Kertanegara di Desa Penampihan lereng barat
Gunung Wilis Kediri. Prasasti ini tidak lagi menyebut perkataan makamanggalya
atau dibawah pengawasan. Artinya saat itu Raja Kertanegara telah berkuasa
penuh, dan tidak lagi dibawah pengawasan ayahandanya Raja Wisnuwardhana
telah meninggal tahun 1268 M.
Prasasti Sarwadharma berisi penetapan daerah menjadi daerah suatantra
(berhak mengurus dirinya sendiri) dan lepas dari pengawasan wilayah thani bala
(nama wilayah/daerah saat itu di Singosari). Sehingga daerah swatantra
tersebut, yaitu daerah Sang Hyang Sarwadharma tidak lagi diwajibkan
membayar bermacam-macam pajak, pungutan dan iuran.
Atas dasar fakta sejarah ini maka pelantikan Arya Wiraraja ditetapkan tanggal 31
Oktober 1269 M, dan peristiwa itu dijadikan rujukan yang sangat kuat untuk
menetapkan Hari Jadi Kabupaten Sumenep pada tanggal 31 Oktober 1269 M,
yang diperingati pada setiap tahun dengan berbagai macam peristiwa seni
budaya, seperti prosesi Arya Wiraraja dan rekan seni Budaya Hari Jadi Kabupaten
Sumenep. (*)
Sumber: Warta Giligenting, Minggu, 19/02/2012
PENGANTAR
Sejarah Sumenep jaman dahulu diperintah oleh seorang Raja. Ada 35 Raja yang telah
memimpin kerajaan Sumenep. Dan, sekarang ini telah dipimpin oleh seorang Bupati. Ada 14
Bupati yang memerintah Kabupaten Sumenep.
Mengingat sangat keringnya informasi/data yang otentik seperti prasati, pararaton, dan
sebagainya mengenai Raja Sumenep maka tidak seluruh Raja-Raja tersebut kami ekspose
satu persatu, kecuali hanya Raja-Raja yang menonjol saja popularitasnya.
Pendekatan yang kami gunakan dalam penulisan ini adalah pendekatan historis dan kultural,
selain itu kami gunakan juga pendekatan ekonomis, psikologis dan edukatif.
JAMAN PEMERINTAH KERAJAANARYA WIRARAJA
Arya Wiraja dilatik sebagai Adipati pertama Sumenep pada tanggal 31 Oktober 1269, yang
sekaligus bertepatan dengan hari jadi Kabupaten Sumenep. Selama dipimpin oleh Arya
Wiraja, banyak kemajuan yang dialami kerajaan Sumenep. Pria yang berasal dari desa
Nangka Jawa Timur ini memiliki pribadi dan kecakapan/kemampuan yang baik. Arya Wiraja
secara umum dikenal sebagai seorang pakar dalam ilmu penasehat/pengatur strategi,
analisanya cukup tajam dan terarah sehingga banyak yang mengira Arya Wiraja adalah
seorang dukun.
Adapun jasa-jasa Arya Wiraja :
- Mendirikan Majapahit b ersama dengan Raden Wijaya.
- Menghancurkan tentara Cina/tartar serta mengusirnya dari tanah Jawa.
Dalam usia 35 Tahun, karier Arya Wiraja cepat menanjak. Mulai jabatan Demang Kerajaan
Singosari kemudian dipromosikan oleh Kartanegara Raja Singosari menjadi Adipati Kerajaan
Sumenep, kemudian dipromosikan oleh Raden Wijaya menjadi Rakyan Menteri di Kerajaan
Majapahit dan bertugas di Lumajang. Setelah Arya Wiraja meninggalkan Sumenep, kerajaan
di ujung timur Madura itu mengalami kemunduran. kekuasaan diserahkan kepada saudaranya
Arya Bangah dan keratonnya pindah dari Batuputih ke Banasare di wilayah Sumenep juga.
Selanjutnya diganti oleh anaknya, yang bernama Arya Danurwendo, yang keratonnya pindah
ke Desa Tanjung. Dan selanjutnya diganti oleh anaknya, yang bernama Arya asparati. Diganti
pula oleh anaknya bernama Panembahan Djoharsari. Selanjutnya kekuasaan dipindahkan
kepada anaknya bernama Panembahan Mandaraja, yang mempunyai 2 anak bernama
Pangeran Bukabu yang kemudian menganti ayahnya dan pindah ke Keratonnya di Bukabu
(Kecamatan Ambunten). Selanjutnya diganti oleh adiknya bernama Pangeran Baragung yang
kemudian pindah ke Desa Baragung (Kecamatan Guluk-guluk).
PANGERAN JOKOTOLE (Pangeran Secodiningrat III)
Pangeran Jokotole menjadi raja Sumenep yang ke 13 selama 45 tahun (1415-1460). Jokotole
da adiknya bernama Jokowedi lahir dari Raden Ayu Potre Koneng, cicit dari Pangeran
Bukabu sebagai hasil dari perkawinan bathin (melalui mimpi) dengan Adipoday (Raja
Sumenep ke 12). Karena hasil dari perkawinan Bathin itulah, maka banyak orang yang tidak
percaya. Dan akhirnya, seolah-olah terkesan sebagai kehamilan diluar nikah. Akhirnya
menimbulkan kemarahan kedua orang tuanya, sampai akan dihukum mati. Sejak
kehamilannya, banyak terjadi hal-hal yang aneh dan diluar dugaan. Karena takut kepada
orang tuanya maka kelahiran bayi RA Potre Koneng langsung diletakkan di hutan oleh
dayangya. Dan, ditemukan oleh Empu Kelleng yang kemudian disusui oleh kerbau miliknya.
Peristiwa kelahiran Jokotole, terulang lagi oleh adiknya yaitu Jokowedi. Kesaktian Jokotole
mulai terlihat pada usia 6 tahun lebih, seperti membuat alat-alat perkakas dengan tanpa
bantuan dari alat apapun hanya dari badanya sendiri, yang hasilnya lebih bagus ketimbang
ayah angkatnya sendiri. Lewat kesaktiannya itulah maka ia membantu para pekerja pandai
besi yang kelelahan dan sakit akibat kepanasan termasuk ayah angkatnya dalam pengelasan
membuat pintu gerbang raksasa atas pehendak Brawijaya VII. Dengan cara membakar
dirinya dan kemudian menjadi arang itulah kemudian lewat pusarnya keluar cairan putih.
Cairan putih tersebut untuk keperluan pengelasan pintu raksasa. Dan, akhirnya ia diberi
hadiah emas dan uang logam seberat badannya. Akhirnya ia mengabdi di kerajaan Majapahit
untuk beberapa lama.
Banyak kesuksessan yang ia raih selama mengadi di kerajaan Majapahit tersebut yang
sekaligus menjadi mantu dari Patih Muda Majapahit. Setibanya dari Sumenep ia bersama
istrinya bernama Dewi Ratnadi bersua ke Keraton yang akhirnya bertemu dengan ibunya RA
Potre Koneng dan kemudian dilantik menjadi Raja Sumenep dengan Gelar Pangeran
Secodiningrat III. Saat menjadi raja ia terlibat pertempuran besar melawan raja dari Bali yaitu
Dampo Awang, yang akhirnya dimenangkan oleh Raja Jokotole dengan kesaktiannya
menghancurkan kesaktiannya Dampo Awang. Dan kemudian kekuasaannya berakhir pada
tahun 1460 dan kemudian digantikan oleh Arya Wigananda putra pertama dari Jokotole.
RADEN AYU TIRTONEGORO DAN BINDARA SAOD
Raden Ayu Tirtonegoro merupakan satu-satunya pemimpin wanita dalam sejarah kerajaan
Sumenep sebagai Kepala Pemerintahan yang ke 30. Menurut hikayat RA Tirtonegoro pada
suatu malam bermimipi supaya Ratu kawin dengan Bindara Saod. Setelah Bindara Saod
dipanggil, diceritakanlah mimpi itu. Setelah ada kata sepakat perkawinan dilaksanakan,
Bindara Saodmenjadi suami Ratu dengan gelar Tumenggung Tirtonegoro.
Terjadi peristiwa tragis pama masa pemerintahan Ratu Tirtonegoro. Raden Purwonegoro
Patih Kerajaan Sumenep waktu mencintai Ratu Tirtonegoro, sehingga sangat membenci
Bindara Saod, bahkan merencanakan membunuhnya. Raden Purwonegoro datang ke keraton
lalu mengayunkan pedang namun tidak mengenai sasaran dan pedang tertancap dalam ke
tiang pendopo. Malah sebaliknya Raden Purwonegoro tewas di tangan Manteri Sawunggaling
dan Kyai Sanggatarona. Seperti diketahui bahwa Ratu Tirtonegoro dan Purwonegoro samasama keturunan Tumenggung Yudonegoro Raja Sumenep ke 23. Akibatnya keluarga kerajaan
Sumenep menjadi dua golongan yang berpihak pada Ratu Tirtonegoro diperbolehkan tetap
tinggal di Sumenep dan diwajibkan merubah gelarnya dengan sebutan Kyai serta berjanji
untuk tidak akan menentang Bindara Saod sampai tujuh turunan. Sedang golongan yang tidak
setuju pada ketentuan tersebut dianjurkan meninggalkan kerajaan Sumenep dan kembali ke
Pamekasan, Sampang atau Bangkalan.
PANEMBAHAN SOMALA
Bandara Saod dengan isterinya yang pertama di Batu Ampar mempunyai 2 orang anak. Pada
saat kedua anak Bindara Saod itu datang ke keraton memenuhi panggilan Ratu Tirtonegoro,
anak yang kedua yang bernama Somala terlebih dahulu dalam menyungkem kepada Ratu
sedangkan kakaknya mendahulukan menyungkem kepada ayahnya (Bindara Saod). Saat itu
pula keluar wasiat Sang Ratu yang dicatat oleh sektretaris kerajaan. Isi wasiat menyatakan
bahwa di kelak kemudian hari apabila Bindara Saod meninggal maka yang diperkenankan
untuk mengganti menjadi Raja Sumenep adalah Somala. Setelah Bindara Saod meninggal 8
hari kemudian Ratu Tirtonegoro ikut meninggal tahun 1762, sesuai dengan wasiat Ratu yang
menjadi Raja Sumenep adalah Somala dengan gelar Panembahan Notokusumo I.
Beberapa peristiwa penting pada zaman pemerintahan Somala antara lain menyerang negeri
Blambangan dan berhasil menang sehingga Blambangan dan Panarukan menjadi wilayah
kekuasaan Panembangan Notokusumo I. Kemudian beliau membangun keraton Sumenep
yang sekarang berfungsi sebagai Pendopo Kabupaten. Selanjutnya beliau membangun Masjid
Jamik pada tahuhn 1763, Asta Tinggi (tempat pemakaman Raja-Raja Sumenep dan
keluarganya) juga dibangun oleh beliau.
SULTAN ABDURRACHMAN PAKUNATANINGRAT
Sultan Abdurrachman Pakunataningrat bernama asli Notonegoro putra dari Raja Sumenep
yaitu Panembahan Notokusumo I. Sultan Abdurrachman Pakunataningrat mendapat gelar
Doktor Kesusastraan dari pemerintah Inggris, karena beliau pernah membantu Letnan
Gubernur Jendral Raffles untuk menterjemahkan tulisan-tulisan kuno di batu kedalam bahasa
Melayu. Beliau memang meguasai berbagai bahasa, seperti bahasa Sansekerta, Bahasa Kawi,
dan sebagainya. Dan, juga ilmu pengetahuan dan Agama. Disamping itu pandai membuat
senjata Keris. Sultan Abdurrachman Pakunataningrat dikenal sangat bijaksana dan
memperhatikan rakyat Sumenep, oleh karena itu ia sangat disegani dan dijunjung tinggi oleh
rakyat Sumenep sampai sekarang.
Diposkan oleh Sebar Brosur Profesional di 20.53
SEJARAH SUMENEP
Sejarah Sumenep jaman dahulu diperintah oleh seorang Raja. Ada 35 Raja yang
telah memimpin kerajaan Sumenep. Dan, sekarang ini telah dipimpin oleh
seorang Bupati. Ada 14 Bupati yang memerintah Kabupaten Sumenep.
Mengingat sangat keringnya informasi/data yang otentik seperti prasati,
pararaton, dan sebagainya mengenai Raja Sumenep maka tidak seluruh RajaRaja tersebut kami ekspose satu persatu, kecuali hanya Raja-Raja yang menonjol
saja popularitasnya.
Pendekatan yang kami gunakan dalam penulisan ini adalah pendekatan historis
dan kultural, selain itu kami gunakan juga pendekatan ekonomis, psikologis dan
edukatif.
JAMAN PEMERINTAH KERAJAAN ARYA WIRARAJA
Arya Wiraja dilatik sebagai Adipati pertama Sumenep pada tanggal 31 Oktober
1269, yang sekaligus bertepatan dengan hari jadi Kabupaten Sumenep. Selama
dipimpin oleh Arya Wiraja, banyak kemajuan yang dialami kerajaan Sumenep.
Pria yang berasal dari desa Nangka Jawa Timur ini memiliki pribadi dan
kecakapan/kemampuan yang baik. Arya Wiraja secara umum dikenal sebagai
seorang pakar dalam ilmu penasehat/pengatur strategi, analisanya cukup tajam
dan terarah sehingga banyak yang mengira Arya Wiraja adalah seorang dukun.
Adapun jasa-jasa Arya Wiraja :
- Mendirikan Majapahit b ersama dengan Raden Wijaya.
- Menghancurkan tentara Cina/tartar serta mengusirnya dari tanah Jawa.
Dalam usia 35 Tahun, karier Arya Wiraja cepat menanjak. Mulai jabatan Demang
Kerajaan Singosari kemudian dipromosikan oleh Kartanegara Raja Singosari
menjadi Adipati Kerajaan Sumenep, kemudian dipromosikan oleh Raden Wijaya
menjadi Rakyan Menteri di Kerajaan Majapahit dan bertugas di Lumajang.
Setelah Arya Wiraja meninggalkan Sumenep, kerajaan di ujung timur Madura itu
mengalami kemunduran. Kekuasaan diserahkan kepada saudaranya Arya
Bangah dan keratonnya pindah dari Batuputih ke Banasare di wilayah Sumenep
juga. Selanjutnya diganti oleh anaknya, yang bernama Arya Danurwendo, yang
keratonnya pindah ke Desa Tanjung. Dan selanjutnya diganti oleh anaknya, yang
bernama Arya asparati. Diganti pula oleh anaknya bernama Panembahan
Djoharsari.
Selanjutnya kekuasaan dipindahkan kepada anaknya bernama Panembahan
Mandaraja, yang mempunyai 2 anak bernama Pangeran Bukabu yang kemudian
menganti ayahnya dan pindah ke Keratonnya di Bukabu (Kecamatan Ambunten).
Selanjutnya diganti oleh adiknya bernama Pangeran Baragung yang kemudian
pindah ke Desa Baragung (Kecamatan Guluk-guluk).
PANGERAN JOKOTOLE (Pangeran Secodiningrat III)
Pangeran Jokotole menjadi raja Sumenep yang ke 13 selama 45 tahun (14151460). Jokotole da adiknya bernama Jokowedi lahir dari Raden Ayu Potre Koneng,
cicit dari Pangeran Bukabu sebagai hasil dari perkawinan bathin (melalui mimpi)
dengan Adipoday (Raja Sumenep ke 12). Karena hasil dari perkawinan Bathin
itulah, maka banyak orang yang tidak percaya. Dan akhirnya, seolah-olah
terkesan sebagai kehamilan diluar nikah. Akhirnya menimbulkan kemarahan
kedua orang tuanya, sampai akan dihukum mati. Sejak kehamilannya, banyak
terjadi hal-hal yang aneh dan diluar dugaan. Karena takut kepada orang tuanya
maka kelahiran bayi RA Potre Koneng langsung diletakkan di hutan oleh
dayangya. Dan, ditemukan oleh Empu Kelleng yang kemudian disusui oleh
kerbau miliknya.
Peristiwa kelahiran Jokotole, terulang lagi oleh adiknya yaitu Jokowedi. Kesaktian
Jokotole mulai terlihat pada usia 6 tahun lebih, seperti membuat alat-alat
perkakas dengan tanpa bantuan dari alat apapun hanya dari badanya sendiri,
yang hasilnya lebih bagus ketimbang ayah angkatnya sendiri. Lewat
kesaktiannya itulah maka ia membantu para pekerja pandai besi yang kelelahan
dan sakit akibat kepanasan termasuk ayah angkatnya dalam pengelasan
membuat pintu gerbang raksasa atas pehendak Brawijaya VII. Dengan cara
membakar dirinya dan kemudian menjadi arang itulah kemudian lewat pusarnya
keluar cairan putih. Cairan putih tersebut untuk keperluan pengelasan pintu
raksasa. Dan, akhirnya ia diberi hadiah emas dan uang logam seberat badannya.
Akhirnya ia mengabdi di kerajaan Majapahit untuk beberapa lama.
Banyak kesuksessan yang ia raih selama mengadi di kerajaan Majapahit tersebut
yang sekaligus menjadi mantu dari Patih Muda Majapahit. Setibanya dari
Sumenep ia bersama istrinya bernama Dewi Ratnadi bersua ke Keraton yang
akhirnya bertemu dengan ibunya RA Potre Koneng dan kemudian dilantik
menjadi Raja Sumenep dengan Gelar Pangeran Secodiningrat III. Saat menjadi
raja ia terlibat pertempuran besar melawan raja dari Bali yaitu Dampo Awang,
yang akhirnya dimenangkan oleh Raja Jokotole dengan kesaktiannya
menghancurkan kesaktiannya Dampo Awang. Dan kemudian kekuasaannya
berakhir pada tahun 1460 dan kemudian digantikan oleh Arya Wigananda putra
pertama dari Jokotole.
RADEN AYU TIRTONEGORO DAN BINDARA SAOD
Raden Ayu Tirtonegoro merupakan satu-satunya pemimpin wanita dalam sejarah
kerajaan Sumenep sebagai Kepala Pemerintahan yang ke 30. Menurut hikayat RA
Tirtonegoro pada suatu malam bermimipi supaya Ratu kawin dengan Bindara
Saod. Setelah Bindara Saod dipanggil, diceritakanlah mimpi itu. Setelah ada kata
sepakat perkawinan dilaksanakan, Bindara Saodmenjadi suami Ratu dengan
gelar Tumenggung Tirtonegoro.
kursi kerajaan sehingga jika orang kurang teliti akan mengira bahwa ia adalah
Rajanya.
Sebelah belakang kanan berdiri pemegang tombak upacara keraton tidak antara
lama patih Purwonegoro datang dengan kelihatan sangat marah dan terus
menuju orang yang duduk disinggasana (dikiranya Bendoro Saud) dengan
pedang terhenus serta terus memukulkan pedangnya dengan sangat keras,
untunglah pedangnya tidak mengenai sasarannya akan tetapi tertancap ditiang
pendopo sehingga tidak mudah ditarik kembali. Setelah Sawunggaling
mengelakkan diri dari bacokan pedang terus ia menghunuskn pedangnya
ditusukkan keperut patih Purwonegoro meninggal seketika itu juga, peristiwa
yang tragis itu menimbulkan banyak akibat.
Sebagaimana telah diceritakan bahwa antar Ratu Tirtonegoro dan Purwonegoro
ada hubungan famili ialah sama-sama keturunan Judonegoro karena peristiwa
tersebut, maka kerajaan Sumenep pecah menjadi dua ialah golongan yang ada
dipihak Tirtonegoro diperbolehkan tinggal di Sumenep dan diwajibkan berubah
gelarnya dengan sebutan Kyai serta berjanji tidak akan menentang Bendoro
Saud sampai tujuh keturunannya.
Bagi mereka yang tidak setuju terhadap ketentuan diatas dianjurkan lebih baik
meninggalkan kerajaan Sumenep dan kembali ke Pamekasan, Sampang atau
Bangkalan.diceritakan bahwa yang tinggal di Sumenep masih cukup banyak
karena masih banyak yang cinta kepada Ratu Tirtonegoro.
Sebagaimana telah diceritakan bahwa Bendoro Saud dengan Isterinya yang
pertama Nyai Isza mempunyai dua orang anak sedangkan dengan Ratu
Tirtonegoro tidak mempunyai keturunan.
Pada suatu waktu Ratu Tirtonegoro memanggil dua orang anak dari Bendoro
Saud dan disuruh untuk menghadap kekeraton, setelah mereka sampai
kekeraton mereka menyembag dan duduk berjauhan dengan Bapak dan ibu
tirinya karena itu satu persatu dipanggilnya dan yang datang pertama ialah yang
tertua dengan menyungkem kepada ayahnya terlebih dulu, setelah itu datanglah
yang putera yang kedua dan ialah Somala yang menyungkem terlebih dahulu
pada ibu tirinya dan dilanjutkan pada Bapaknya.
Ratu Tirtonegoro lalu berkata sebagai wasiat yang diingat oleh sekretaris
Kerajaan ialah sebagai berikut : "kelak kemudian hari apabila ayah dari kedua
orang anak ini meninggal maka yang diperkenankan untuk mengganti menjadi
Raja Sumenep adalah anaknya yang nomor dua yang bernama Somala".
Kedua anak itu atau diijinkan tinggal dikerajaan beberapa waktu lamanya setelah
itu ia minta diri untuk kembali kerumah ibunya di Batu Ampar, setelah
Tirtonegoro (Bendoro Saud) meninggal dunia dalam tahun 1762, maka sesuai
wasiat Ratu Tirtonegoro yang menggantikannya ialah Somala dengan bergelar
Panembahan Notokusumo I.
memberi tahu, jika Tuanku ingin berburu di tegal lama, sebaiknya sekarang
Tuanku berburu. Pada saat ini tidak ada buaya, tak ada harimau, tak ada
bantengnya, tak ada ularnya, tak ada durinya, yang ada macan tanpa gigi.
Wiraraja mengutus anaknya Wiranjaya mengantarkan surat itu kepada
Jayakatwang yang merasa dendam kepada keturunan Ken Arok, yang telah
memporak-porandakan Kerajaan Kediri di bawah tahta Prabu Kertajaya yang tak
lain adalah nenek moyang dari Jayakatwang. Dengan surat itu, Jayakatwang
menyambut gembira dan mulai menghimpun kekuatan untuk menyerang
Singasari.
Setelah pasukan Daha dirasa kuat, Jayakatwang mulai mengatur strategi untuk
menaklukkan Kertanegara. Pasukan lalu diberangkatkan lengkap dengan senjata
perangnya. Tiba di Singasari, penyerangan pun dilancarkan. Karena pasukan
Kertanegara banyak dikirim melakukan ekspansi ke luar Jawa (dikenal dengan
ekspedisi Pamalayu), meskipun dipertahankan oleh tentara yang gagah berani,
akhirnya pasukan Singasari harus menderita kekalahan. Raja Kertanegara
menemui ajalnya.
Raden Wijaya yang merupakan salah satu menantu Prabu Kertanegara, terpaksa
harus menyingkir ke Madura guna menghindari perburuan dari pasukan
Jayakatwang. Pelarian Raden Wijaya beserta kedua belas pengikut setianya ke
Madura diterima dengan baik oleh Arya Wiraraja karena hubungan Arya Wiraraja
dengan Raden Wijaya yang telah berjalan baik mengingat dulunya Arya Wiraraja
pernah mengabdi kepada leluhur Raden Wijaya menjadi penasihat utamanya. Di
Madura, sambutan hangat kepada Raden Wijaya ini tetap dilakukan dengan
member segala keperluan Raden Wijaya, seperti makanan, pakaian, dan fasilitas
kerajaan serta nasihat-nasihat kenegaraan yang berguna.
Sambutan Arya Wiraraja yang luar biasa disertai saran-sarannya yang sangat
berharga telah membuat semangat Raden Wijaya bangkit kembali. Setelah
beberapa waktu mengungsi di Madura, Arya Wiraraja menyarankan agar Raden
Wijaya untuk menggunakan taktik seolah-olah menyerah kepada Adipati
Jayakatwang yang sekarang telah mengangkat dirinya menjadi raja dengan
kedudukan di Kediri. Pada mulanya saran itu ditolak, tetapi melihat yang
mengeluarkan saran seperti itu adalah seorang penasihat utama Wangsa Rajasa
yang telah terbukti kelihaian, kecerdikan serta kesetiannya terhadap
keluarganya, Raden Wijaya akhirnya menuruti. Raden Wijaya kemudian
berangkat menyerahkan diri ke Kediri dengan diantar oleh para keluarga besar
Arya Wiraraja sendiri yang telah menjadi pengikutnya sejak lama. Raja
Jayakatwang sendiri yang berhubungan baik dengan Arya Wiraraja menyambut
baik kabar ini dan kemudian mengutus menteri Segara Winotan untuk
menyambut rombongan ini di pelabuhan Jung Biru.
Sambutan hangat dilakukan oleh Raja Jayakatwang, di mana kedatangan Raden
Wijaya di Kediri dianggap merupakan kemenangan besar bagi dirinya sebagai
legitimasi persatuan antara dua keluarga besar yang berseteru dan menjadikan
Raden Wijaya sebagai tahan kota. Apalagi jika melihat Arya Wiraraja yang berada
di Madura sebagai penjaminnya sehingga Raja Jayakatwang sangat
Kepustakaan:
Mansur Hidayat, 2013, Arya Wiraraja dan Lamajang Tigang Juru: Menafsir Ulang
Sejarah Majapahit Timur, Denpasar: Pustaka Larasan
Tim Penulis Sejarah Sumenep, 2003, Sejarah Sumenep, makalah yang disampaikan
pada Seminar Buku Penulisan Sejarah Sumenep pada 10 Desember 2003