Barat, Indonesia.
dayeuh luhur adalah sebuah tempat yang terletak di kecamatan
Ganeas.Kira-kira empat puluh lima menit jika melakukan perjalanan dari
desa Ganeas.Dayeuh yang artinya kota dan luhur artinya adalah tinggi.
Karena letaknya ditempat yang tinggi maka dinamakan Dayeuh luhur.
Sejarah pernah mencatat bahwa di tempat ini pernah menjadi pusat
pemerintahan kerajaan sumedang ketika melawan penjajahan belanda. Di
tempat ini pula terdapat makam putri Haribaya istri dari prabu geusan
ulun.Karena itu tempat ini telah di kenal oleh masyarakat sumedang
sebagai tempat wisata ziarah. Sepanjang perjalanan ke tempat ini akan
terlihat pemandangan yang indah. Di sisi kana dan kiri maka akan terlihat
bukit-bukit kecil nan elok.Setiap bulan muharam tiba maka tempat ini
akan ramai di kunjungi oleh masyarakat. Baik dari sumedang maupun dari
kota lain.Ada yang ziarah maupun hanya sekedar melihat-lihat. Dan di
atas bukit ini terdapat pula peninggalan tongkat yang dikenal oleh
masyarakat sumedang sebagai tongkat mbah jaya perkoso yang tak lain
adalah patih dari kerajan sumedang. Dan dari tempat inilah kita dapat
melihat kota sumedang dan sekitarnya.
Makam
Dayeuh
Luhur
Prabu Geusan Ulun adalah tokoh yang cukup penting pada masa lampau.
Beliau adalah pengganti Ratu Pucuk Umun yang merupakan raja pertama
Kerajaan Sumedanglarang yang beragama Islam. Pada waktu Prabu
Geusan
Ulun
berkuasa
dengan
pusat
pemerintahan
di
Kutamaya,
Kerajaan
Sunda-Pajajaran
dengan
wilayah
yang
hampir
meliputi Tatar Sunda tanpa Banten, Sunda Kelapa, dan Cirebon. Dukungan
mengalir dari para pembesar Kerajaan Sunda-Pajajaran, antara lain dari
Jayaperkosa, Nangganan, Kondang Hapa, dan Sayang Hawu. Legitimasi
tersebut diperkuat dengan diserahkannya mahkota kerajaan Binokasih
yang sekarang disimpan di museum di Sumedang. Peristiwa yang cukup
penting lainnya adalah pemindahan pusat pemerintahan kerajaan dari
Kutamaya ke Dayeuh Luhur. Pemindahan ini salah satunya disebabkan
adanya konflik antara Kerajaan Sumedanglarang dengan Kesultanan
Cirebon. Prabu Geusan Ulun meninggal pada tahun 1601 dan dimakamkan
Desa Dayeuh
Sebagai alat musik gesek, tarawangsa tentu saja dimainkan dengan cara
digesek. Akan tetapi yang digesek hanya satu dawai, yakni dawai yang
paling dekat kepada pemain; sementara dawai yang satunya lagi
dimainkan dengan cara dipetik dengan jari telunjuk tangan kiri. Kemudian,
sebagai nama salah satu jenis musik, tarawangsa merupakan sebuah
ensambel kecil yang terdiri dari sebuah tarawangsa dan sebuah alat petik
tujuh dawai yang menyerupai kecapi, yang disebut Jentreng.
Kesenian Tarawangsa hanya dapat ditemukan di beberapa daerah tertentu
di Jawa Barat, yaitu di daerah Rancakalong (Sumedang), Cibalong,
Cipatujah
(Tasikmalaya
Selatan),
Banjaran
(Bandung),
yang
distem
ke
dalam
laras
pelog.
Demikian
pula
Ambing, Reundeuh
Reundang, Kembang
di
Banjaran
di
antaranya
terdiri
Kaso,
terdiri
Hejo, Kang
Sachs
dan
Hornbostel,
Tarawangsa
diklasifikasikan
sebagai
dan
perempuan.
Mereka
menari
secara
teratur.
Mula-mula
(Padepokan
Seni
Jentreng
Sumedanglarang)
atau
Tarawangsa
dari
Rancakalong
Jentreng
atau
lebih
terkenal
dengan
sebutan
Tarawangsa.
Seni Jentreng atau Tarawangsa adalah kesenian yang tumbuh dari pola
kehidupan bertani masyarakat Rancakalong Kabupaten Sumedang. Seni
Jentreng adalah upacara ritual yang berhubungan dengan magis religius untuk
menghormati Dewi Sri. Masyarakat Rancakalong menyebutnya dengan nama
Kersa Nyai dengan tujuan supaya Kersa Nyai tetap tinggal dan betah di
Rancakalong. Hal ini sesuai dengan kebiasaan masyarakat yang menempatkan
Seni Jentreng sebagai media pokok dalam penyelenggaraan upacara Nyalin atau
panen
padi.
Tidak diketahui dengan pasti kapan kesenian Jentreng mulai hidup. Namun asal
mula kesenian Jentreng menurut cerita yang beredar di masyarakat adalah,
konon pada jaman baheula, di Tatar Sunda tidak ada bibit padi. Sehingga
masyarakat Sunda pada waktu itu tidak dapat mengkonsumsi beras untuk makan
sehari-hari. Untuk memenuhi kebutuhan perutnya, mereka mengganti beras
dengan
biji
hajeli
(jelai).
utama.
Untuk mengungkap rasa syukurnya, masyarakat Sunda setiap selesai panen
melakukan upacara ritual untuk menghormati Dewi Sri. Pada masyarakat
Rancakalong,
upacara
itu
disebut
Jentreng
atau
Tarawangsa.