Anda di halaman 1dari 27

Sejarah Kabupaten Sumenep

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas


Belum Diperiksa
Artikel ini perlu diwikifikasi agar memenuhi standar kualitas Wikipedia. Anda
dapat memberikan bantuan berupa penambahan pranala dalam, atau dengan
merapikan tata letak dari artikel ini.
Untuk keterangan lebih lanjut, klik [tampilkan] di bagian kanan.[tampilkan]
Sumber referensi dari artikel atau bagian ini belum dipastikan dan mungkin isinya
tidak benar.
Tolong diperiksa, dan lakukan modifikasi serta tambahkan sumber yang benar pada
bagian yang diperlukan.

Asta Tinggi Sumenep yang merupakan peninggalan sejarah Sumenep.


Sejarah Sumenep bermula dari zaman Singhasari hingga sekarang, Indonesia. Sumenep
(bahasa Madura: Songnb) adalah sebuah kabupaten di provinsi Jawa Timur, Indonesia.
Kabupaten ini memiliki luas wilayah 2.093,45 km dan populasi 1.041.915 jiwa. Ibu kotanya
ialah Kota Sumenep.

Etimologi
Nama Songnb sendiri dalam arti etimologinya merupakan Bahasa Kawi / Jawa Kuno yang
jika diterjemaahkan mempunyai makna sebagai berikut : Kata Sung mempunyai arti sebuah
relung/cekungan/lembah, dan kata nb yang berarti endapan yang tenang, maka jika
diartikan lebih dalam lagi Songnb / Songennep (dalam bahasa Madura) mempunyai arti
"lembah/cekungan yang tenang". Penyebutan Kata Songnb sendiri sebenarnya sudah
popular semenjak Kerajaan Singhasari sudah berkuasa atas Jawa, Madura dan Sekitarnya,
seperti yang telah disebutkan dalam kitab Pararaton tentang penyebutan daerah "Sumenep"
pada saat sang Prabu Kertanegara mendinohaken (menyingkirkan) Arya Wiraraja (penasehat
kerajaan dalam bidang politik dan pemerintahan) ke Wilayah Sumenep, Madura Timur tahun
1926 M 'Hanata Wongira, babatangira buyuting Nangka, Aran Banyak Wide, Sinungan
Pasenggahan Arya Wiraraja, Arupa tan kandel denira, dinohaksen, kinun adipati ring
Sungeneb, anger ing Madura wetan.' Yang artinya : Adalah seorang hambanya, keturunan
orang ketua di Nangka, bernama Banyak Wide, diberi sebutan Arya Wiraraja, rupa-rupanya
tidak dipercaya, dijauhkan disuruh menjadi adipati di Sumenep. Bertempat tinggal di Madura
timur.

Referensi

Mulyana, Slamet (2006). Tafsir sejarah nagarakretagama (dalam bahasa Indonesia).


PT LKiS Pelangi Aksara. hlm. 121123. ISBN 978-979-2552-546.

Keraton Sumenep
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Belum Diperiksa

Karaton Songenep

Labhang Mesem (pintu tersenyum), merupakan salah


satu pintu gerbang menuju kompleks Karaton, terletak
di sebelah timur Gedhong Negeri

Lokasi
Alamat
Koordinat

Informasi umum
Sumenep, Jawa Timur
Jalan dr. Soetomo, Kota Sumenep
7127,3LU 1135324,74BT

Keraton Sumenep dulunya adalah tempat kediaman resmi para Adipati/Raja-Raja selain
sebagai tempat untuk menjalankan roda pemerintahan. Kerajaan Sumenep sendiri bisa
dibilang sifatnya sebagai kerajaan kecil (setingkat Kadipaten) kala itu, sebab sebelum
wilayah Sumenep dikusai VOC wilayah Sumenep sendiri masih harus membayar upeti
kepada kerajaan-kerajaan besar(Singhasari, Majapahit, dan Kasultanan Mataram).

Keraton Sumenep sejatinya banyak jumlahnya, selain sebagai kediaman resmi adipati/raja
yang berkuasa saat itu, karaton juga difungsikan sebagai tempat untuk mengatur segala
urusan pemerintahan kerajaan. Saat ini Bangunan Karaton yang masih tersisa dan utuh adalah
bangunan Karaton yang dibangun oleh Gusti Raden Ayu Tirtonegoro R. Rasmana dan
Kanjeng Tumenggung Ario Tirtonegoro (Bindara Saod) beserta keturunannya yakni
Panembahan Somala Asirudin Pakunataningrat dan Sri Sultan Abdurrahman Pakunataningrat
I (Raden Ario Notonegoro). Sedangkan untuk bangunan karaton-karaton milik Adipati/Raja
yang lainnya, seperti Karaton Pangeran Siding Puri di Parsanga, Karaton Tumenggung
Kanduruan, Karaton Pangeran Lor dan Pangeran Wetan di Karangduak hanya tinggal sisa
puing bangunannya saja yakni hanya berupa pintu gerbang dan umpak pondasi bangunan
Keraton.
Istilah penyebutan Karaton apabila dikaitkan dengan sistem pemerintahan di Jawa saat itu,
merasa kurang tepat karena karaton Sumenep memeliki strata tingkatan yang lebih kecil dari
bangunan keraton yang ada di Jogjakarta dan Surakarta. Karaton Sumenep sebenarnya adalah
bangunan kediaman keadipatian yang pola penataan bangunannya lebih sederhana dari pada
keraton-keraton besar seperti Jogjakarta dan Surakarta. Namun perlu dimaklumi bahwa
penggunaan penyebutan istilah karaton sudah berlangsung sejak dulu kala oleh masyarakat
Madura, karena kondisi geografis Sumenep yang berada di daerah mancanegara (wilayah
pesisir wetan) yang jauh dari Kerajaan Mataram. Begitu juga penyebutan Penguasa
Kadipaten yang lebih familiar dikalangan masyarakatnya dengan sebutan "Rato/Raja"

Daftar isi

1 Pendiri
2 Kompleks Bangunan Karaton

3 Struktur Penataan Kota

4 Prasasti Karaton Sumenep

5 Warisan Budaya

6 Referensi

Pendiri
Karaton Pajagalan atau lebih dikenal Karaton Songennep dibangun di atas tanah pribadi milik
Panembahan Somala penguasa Sumenep XXXI. Dibangun Pada tahun 1781 dengan arsitek
pembangunan Karaton oleh Lauw Piango salah seorang warga keturunan Tionghoa yang
mengungsi akibat Huru Hara Tionghoa 1740 M di Semarang. Karaton Panembahan Somala
dibangun di sebelah timur karaton milik Gusti R. Ayu Rasmana Tirtonegoro dan Kanjeng
Tumenggung Ario Tirtonegoro (Bindara Saod) yang tak lain adalah orang tua beliau.
Bangunan Kompleks Karaton sendiri terdiri dari banyak massa, tidak dibangun secara
bersamaan namun di bangun dan diperluas secara bertahap oleh para keturunannya.

Kompleks Bangunan Karaton

Lambang Kadipaten Sumenep Pada tahun 1811 - tahun 1965


Keraton Sumenep berdiri di atas tanah milik pribadi Pangeran Natakusuma I (Panembahan
Somala) (sebelah timur keraton lama milik Ratu R. Ayu Rasmana Tirtanegara). Kompleks
bangunan Karaton Sumenep lebih sederhana dari kompleks Karaton kerajaan Mataram,
bangunannya hanya meliputi Gedong Negeri, Pengadilan Karaton, Paseban, dan beberapa
bangunan Pribadi Keluarga Karaton.
Di depan keraton, ke arah selatan berdiri Pendapa Agung dan di depannya berdiri Gedong
Negeri (sekarang Kantor Disbudparpora) yang didirikan oleh Pemerintahan Belanda. Konon,
Pembangunan Gedong Negeri sendiri dimaksudkan untuk menyaingi kewibawaan keraton
Sumenep dan juga untuk mengawasi segala gerak-gerik pemerintahan yang dijalankan oleh
keluarga Keraton. Selain itu Gedong Negeri ini juga difungsikan sebagai kantor bendahara
dan pembekalan Karaton yang dikelola oleh Patih yang dibantu oleh Wedana Keraton.
Disebelah timur Gedong Negeri tersebut berdiri pintu masuk keraton Sumenep yaitu Labang
Mesem. Pintu gerbang ini sangat monumental, pada bangian atasnya terdapat sebuah loteng,
digunakan untuk memantau segala aktifitas yang berlangsung dalam lingkungan keraton.
Konon jalan masuk ke kompleks keraton ini ada lima pintu yang dulunya disebut ponconiti.
Saat ini tinggal dua buah yang masih ada, kesemuanya berada pada bagian depan tapak
menghadap ke selatan. Pintu yang sebelah barat merupakan jalan masuk yang amat
sederhana. Di bagian pojok disebelah timur bagian selatan Labhang Mesem berdiri Taman
Sare (tempat pemandian putera-puteri Adipati) dimana sekelilingnya dikelilingi tembok
tembok yang cukup tinggi dan tertutup.
Sedangkan di halaman belakang keraton sebelah timur berdiri dapur, sebelah barat berdiri
sisir (tempat tidur para pembantu keraton, emban, dayang-dayang Puteri Adipati), di sebelah
barat terdapat sumur. Di depan sumur agak ke arah barat berdiri Keraton Ratu R. Ayu
Rasmana Tirtanegara, dan di depannya berdiri pendapa. Namun pada jaman pemerintahan
Sultan Abdurahman Pakunataningrat pendapa tersebut dipindahkan ke Asta Tenggi dan
disana didirikan Kantor Koneng. Pembangunan Kantor Koneng (kantor kerajaan/adipati)
semula mendapat tentangan keras oleh pemerintah Hindia Belanda karena hal tersebut
bertentangan dengan peraturan pemerintah saat itu. Namun, untuk menghindari tuduhan
tersebut maka Sultan beninisiatif untuk mengubah seluruh cat bangunan tembok berwarna
kuning selaras dengan namanya yaitu "kantor koneng" (bahasa belanda :konenglijk=kantor
raja/adipati). Pada Masa Pemerintahan Sultan Abdurrahman, kantor Koneng difungsikan
sebagai tempat rapat-rapat rahasia para pejabat-pejabat tinggi Karaton. Di sebelah selatan
Kantor Koneng, di pojok sebelah barat pintu masuk berdiri pendapa (paseban).

Pada mulanya antara keraton dengan pendopo letaknya terpisah. Namun, pada masa
pemerintahan Sultan Abdurrahman Pakunataningrat, kedua bangunan tersebut dijadikan satu
deret. Dahulu, Paseban (pendopo ageng) difungsikan sebagai tempat sidang yang dipimpin
langsung oleh sang Adipati dan dihadiri oleh seluruh pejabat tinggi karaton yang waktunya
dilaksanakan pada hari-hari tertentu. Paseban sendiri diurus oleh mantri besar dan dibantu
oleh kebayan.
Di sebelah selatan Taman Sare berdiri Pendapa atau Paseban dan sekarang dijadikan toko
souvenir. Di sebelah selatan keraton terbentang jalan menuju Masjid Jamik Sumenep (ke arah
barat), sedangkan ke arah timur menuju jalan Kalianget. Di sebelah timur keraton adalah
perkampungan,dan di arah timur jalan adalah Kampong Patemon. Artinya tempat pertemuan
aliran air taman keraton dan aliran-aliran air taman milik rakyat dan Taman Lake (tempat
pemandian prajurit keraton). Dari jalan Dr. Sutomo ke arah timur terdapat jalan menurun,
sebelum tikungan jalan berdiri pintu gerbang keluar atau Labang Galidigan. Di sebelah barat
pintu keluar terdapat jalan menurun, bekas undakan tujuh.
Di sebelah selatan jalan undakan terdapat Sagaran atau laut kecil merupakan tempat
bertamasya putera-puteri Adipati. Sekarang Sagaran tersebut ditempati perumahan rakyat
dan lapangan tennis. Di sebelah barat lapangan tennis, berdiri kamarrata merupakan tempat
kereta kencana, dan dibelakangnya berdiri kandang kuda lengkap dengan dua taman.
Komplek keraton Sumenep justru tidak menghadap ke barat tetapi ke selatan. Hal ini
berhubungan dengan legenda laut selatan ( selat Madura ) tempat bersemayamnya Raden
Segoro dan analog dengan legenda di Mataram tentang Nyai Roro Kidul yang konon istri dari
Sultan Agung yang bersemayam/bertahta di Segoro Kidul ( Lautan Indonesia ). Dari legenda
tersebut menimbulkan dogma turun temurun bahwa rumah tinggal yang baik harus
menghadap ke selatan. Ditinjau dari tapak ( site planning ) terlihat bahwa kompleks bangunan
keraton pada prinsipnya menganut keseimbangan simetri dengan menggunakan as/sumbu
yang cukup kuat. Hal ini merupakan usaha perencanaannya untuk memberikan kesan agung
dan berwibawa dari kompleks ini.

Mandiyoso, salah satu ruang didalam kompleks Karaton Sumenep yang menghubungkan
Karaton Dhalem dan Pendopo Agung

Struktur Penataan Kota


Konsep dasar perencanaan tata kota Sumenep ditentukan berdasarkan ajaran Islam : hablum
minallah wa hablum minannas artinya berhubungan dengan Allah dan berhubungan dengan

manusia. Maksudnya alun-alun sebagai pusatnya. Bila menghadap lurus ke barat


dimaksudkan kita berhubungan dengan Tuhan ( kiblat di Masjidil haram ) dan kita temukan
Masjid jamik. Sebaliknya bila kita menghadap ke timur dimaksudkan berhubungan dengan
manusia dan kita dapatkan keraton Sumenep. Hal ini juga dapat dikaitkan dengan ajaran
agama Hindu yang mengatakan bahwa timur, arah tempat matahari terbit adalah lambang
kehidupan, jadi tempat manusia di alam dunia. Sebaliknya barat tempat matahari terbenam
adalah lambang kematian, lambang akherat, dan lambang ketuhanan.

Prasasti Karaton Sumenep


Prasasti keraton Sumenep berisi wasiat Panembahan Somala tentang kompleks bangunan
Karaton dan sekitarnya. Prasasti tersebut ditulis pada tahun 1200 H atau tahun ba' Bulan
Muharram dengan huruf arab dan sekarang masih tersimpat di Museum Karaton Sumenep.
Tahun Hijriah Nabi SAW. 1200 (tahun ba') dibulan Muharram, inilah bangunan-bangunan
(tempat tinggal) serta tanah-tanah wakaf Pangeran Natakusuma Adipati Sumenep. Semoga
Allah SWT memberi ampun baginya dan kedua orang tuanya. Inilah bangunan serta tanah
yang tidak dapat dirusak dan tidak dapat diwaris sebabb bangunan (termasuk tanah
tersebut) adalah wakaf yang diperuntukkan untuk kebutuhan orang fair dan orang miskin.
Saya memberi perintah kepada sekalian keturunan, atau kalau tidak ada sanggup, kepada
lainnya guna memperbaiki mengawasi dan memlihara bangunan-bangunan dan tanah
tersebut, bagi keturunan lainnya yang telah memlihara dan mengawasi wakaf itu semoga
Allah SWT, mengaruniai keselamatan dunia maupun akherat.

Warisan Budaya
Selain memiliki kemegahan bangunan, Karaton Sumenep juga memiliki suatu warisan
budaya yang tak ternilai. antara lain :

Tari Gambuh,

Tari Gambu Keraton Sumenep


Pada awalnya tari Gambu lebih dikenal dengan Tari keris, dalam catatan Serat Pararaton tari
Gambu disebut dengan Tari Silat Sudukan Dhuwung, yang diciptakan oleh Arya Wiraraja dan
diajarkan pada para pengikut Raden Wijaya kala mengungsi di keraton Sumenep. Tarian

tersebut pernah ditampilkan di keraton Daha oleh para pengikut Raden Wijaya pada perayaan
Wuku Galungan yang dilaksanakan oleh Raja Jayakatong dalam suatu acara pasasraman di
Manguntur Keraton Daha yang selalu dilaksanakan setiap akhir tahun pada Wuku Galungan.
Para pengikut Raden Wijaya antara lain Lembusora, Ranggalawe dan Nambi diadu dengan
para Senopati Daha yakni Kebo Mundarang, Mahesa Rubuh dan Pangelet, dan kemenangan
berada pada pengikut Rade Wijaya.
Tari Keris ciptaan Arya Wiraraja ini lama sekali tidak diatraksikan. Pada masa kerajaan
Mataram Islam di Jawa yakni pada pemerintahan Raden Mas Rangsang Panembahan
AGUNG Prabu Pandita Cakrakusuma Senapati ing Alaga Khalifatullah (Sultan Mataram
1613-1645), seorang Raja yang sangat peduli dengan seni dan budaya. Maka kala itu
Sumenep diperintah oleh seorang Adipati kerabat Sultan Agung yang bernama Pangeran
Anggadipa tarian tersebut dihidupkan kembali sekiotar tahun 1630, diberi nama Kambuh
dalam bahasa Jawa berarti terulang kembali dan sampai detik ini terus diberi nama
Kambuh dan lama kelamaan berubah istilah menjadi tari Gambu (dalam logat Sumenep).

Tari Moang Sangkal,

Mowang berarti membuang, Sangkal berarti sukerta, dan sukerta artinya gelap (sesuatu yg
menjadi santapan sebangsa setan, dedemit, jin rayangan, iblis, menurut ajaran Hindu).
Sedangkan sangkal adalah mengadopsi dari bahasa Jawi Kuno yang maksudnya Sengkala
(sengkolo). Jadi sangkal yang dimaksudkan pada umumnya di Songennep adalah : bila ada
orang tua mempunyai anak gadis lalu dilamar oleh laki-laki, tidak boleh ditolak karena
membuat si gadis tersebut akan sangkal (tidak laku selamanya).Pada awalnya tari Mowang
Sangkal agak keras geraknya yang diiringi dengan gamelan dengan gending sampak lalu
mengalir pada gending oramba-orambe yang mengisyaratkan para putri keraton menuju
ke taman sare. Dan kemudian gerakannya tambah halus, gerakan yg lebih halus inilah
mengisyaratkan para putri sedang berjalan di Mandiyoso (korridor keraton keraton menuju
Pendopo Agung Keraton). Pada umumnya kostum yang dipakai adalah warna ciri khas
Songennep, merah dan kuning, karena perpaduan warna tersebut mengandung filosofi
kapodhang nyocco sare yang maksudnya Rato prapana bunga (raja sedang bahagia).
sedangkan paduan warna kostum merah dan hijau atau kuning dan hijau folosofinya
kapodang nyocco daun maksudnya Rato prapana bendhu (Raja sedang marah).

Odeng rek-kerek, salah satu kostum penutup kepala seorang laki-laki yang
diciptakan oleh Sultan Abdurrahman Pakunataningrat yang tak lain dimaksudkan
untuk merendahkan martabat pemerintahan Kolonial Belanda ketika menjajah
Sumenep kala itu, "rek-kerek" dalam bahasa Madura mempunyai arti anak anjing
(patek).

Referensi

Zulkarnaen, Iskandar. 2003. Sejarah Sumenep. Sumenep: Dinas Pariwisata dan


kebudayaan kabupaten Sumenep.
Adurrahchman, Drs.1971.Sejarah Madura Selajang Pandang. Sumenep

Asal usul Nama dan Berdirinya Kabupaten Sumenep

Sumenep adalah nama salah satu Kabupaten diujung paling timur Pulau Madura,
yang konon katanya merupakan Kadipaten berpangaruh atas lahirnya Kerajaan
Majapahit dahulu. Berdirinya Kabupaten ini tak luput dari peran tokoh zaman
kerajaan yang bijaksana dan pintar yakni Arya Wiraraja.
Dalam tulisan kali ini, Warta Giligenting mencoba mengingatkan akan sejarah
Sumenep dilihat dari asal usul nama Sumenep.
Dari kabar yang berkembang di kalangan masyarakat Kabupaten Sumenep, soal
asal usul nama Sumenep masih terdapat perbedaan dalam memaknainya.
Misalnya kalangan kelompok terpelajar dan tinggal di sekitar pusat kabupaten
Sumenep, umumnya menyebut dengan kata Sumenep.
Sedangkan masyarakat yang tinggal di pedesaan, menyebutnya dengan kata
Songennep. Namun dari sumber Pararaton disebutkan kata Songennep dikenal
atau lahir lebih awal daripada sebutan Sumenep.
Pararaton menyebutkan sejumlah bukti antara lain sebutan Songennep lebih
banyak dipakai atau dikenal oleh sebagian besar penduduk kabupaten Sumenep.
Kemudian, pengarang buku sejarah dari Madura R. Werdisastro menggunakan
istilah Songennep dalam bukunya berjudul Babad Songennep. Sementara
sebutan Songennep kurang populer di masyarakat pedesaan Sumenep, (80%
dari jumlah penduduk kabupaten Sumenep tinggal di desa).
Untuk menyeragamkan penyebutan Sumenep, maka pada ada inisiatif untuk
merubah nama Songennep menjadi Sumenep di zaman penjajahan Belanda.
Perubahan itu terjadi pada permulaan abad XVIII (1705), ketika Belanda memulai
peran dalam menentukan politik kekuasaan pemerintahan di Madura termasuk
Sumenep.
Perubahan nama Songennep menjadi Sumenep, antara lain untuk penyesuaian
atau kemudahan dalam pengucapan agar lebih sesuai dengan aksen Belanda.
Bagi mereka lebih mudah mengucapkan Sumenep daripada melafalkan
Songennep.
Selian itu perubahan nama juga untuk menanamkan pengaruh kekuasaan

Belanda terhadap Masyarakat Sumenep, sama seperti perubahan nama


Jayakarta menjadi Batavia.
Arti Kata
Dilihat dari arti katanya, Songennep adalah nama asal pada masa kuno.
Songennep menurut arti etimologis (asal-usul kata), yaitu :Song berarti relung,
geronggang (bahasa Kawi), Ennep berarti mengendap (tenang). Jadi, Songennep
berarti lembah bekas endapan yang tenang. Selain itu ada juga yang
mengartiikan bahwa Song berarti sejuk, rindang, payung. Ennep berarti
mengendap (tenang). Jadi, Songennep berarti lembah endapan yang sejuk dan
rindang.
Arti yang kata lainnya juga menyebutkan bahwa Song berarti relung atau
cekungan. Ennep berarti tenang. Jadi, Songennep berarti lembah, cekungan yang
tenang atau sama dengan pelabuhan yang tenang.
Dalam masyarakat Sumenep sendiri juga berkembang pengartian Songennep
dibagi menjadiMoso ngenep.Moso dalam bahasa Madura berarti lawan atau
musuh, Ngenep berarti bermalam. Jadi, Songennep berarti lawan atau musuh
menginap atau bermalam. Cerita mengenai asal-usul nama Songennep
berdasarkan versi ini sangat popular di lingkungan masyarakat Sumenep.
Cerita atau pendapat ini dihubungkan dengan suatu peristiwa bersejarah di
Sumenep tahun 1750, yaitu saat diserangnya dan didudukinya keraton Sumenep
oleh Ke Lesap yang berhasil menaklukkan Sumenep dan selama 1/2 bulan
tinggal di keraton Sumenep. Karena peristiwa tersebut, maka dinamakan Moso
Ngenep yang artinya musuh bermalam.
Meski demikian, pengartian Moso Nginep dinilai tidak benar, sebab kitab
Pararaton yang ditulis tahun 1475-1485 sudah menuliskan nama Songennep. Ini
berarti nama Songennep sudah lahir sebelum Ke Lesap menyerang Sumenep.
Kitab itu menyatakan bahwa, Songennep berasal dari kata-kata Ingsun
Ngenep.Ingsun artinya saya, sedangkan Nginep artinya bermalam. Jadi
Songennep berarti saya bermalam. Pendapat ini kurang popular di kalangan
rakyat dibandingkan dengan versi lainnya. Ada orang yang menghubungkan
dengan peristiwa ini dengan kejadian 700 tahunyang lalu, ketika Raden Wijaya
mengungsi ke Madura akibat dikejar-kejar Jayakatwang.
Kadipaten Sumenep
Saat itu Kadipaten Sumenep berada dibawah kekuasaan Kerajaan Singosari,
dengan penguasanya Raja Kertanegara. Dengan demikian Arya Wiraraja dilantik
oleh Raja Kertanegara, sehingga sumber prasasti yang berhubungan dengan
Raja Kertanegara dijadikan rujukan bagi penetapan Hari Jadi Kabupaten.
Sumber prasasti yang dapat dijadikan sebagai rujukan adalah prasasti antara

lain, Prasasti Mua Manurung dari Raja Wisnuwardhana berangkat tahun 1255 M,
Prasasti Kranggan (Sengguruh) dari Raja Kertanegara berangkat tahun 1356 M,
Prasasti Pakis Wetan dari Raja Kertanegara berangkat tahun 1267 M, Prasasti
Sarwadharma dari Raja Kertanegara berangkat tahun 1269 M.
Sedangkan sumber naskah (manuskrip) yang digunakan untuk menelusuri lebih
lanjut tokoh Arya Wiraraja, antara lain Naskah Nagakertagama karya Rakawi
Prapanca pada tahun 1365 M, Naskah Peraraton di tulis ulang tahun 1631 M,
Kidung Harsa Wijaya, Kidung Ranggalawe, Kidung Pamancangan, Kidung Panji
Wijayakramah, Kidung Sorandaka.
Dari sumber sejarah tersebut, maka sumber sejarah Prasasti Sarwadharma yang
lengkapnya berangkat tahun 31 Oktober 1269 M, merupakan sejarah yang
sangat signifikan dan jelas menyebutkan bahwa saat itu Raja Kertanegara telah
menjadi Raja Singosari yang berdaulat penuh dan berhak mengangkat seorang
Adipati.
Prasasti Sarwadharma dari Raja Kertanegara di Desa Penampihan lereng barat
Gunung Wilis Kediri. Prasasti ini tidak lagi menyebut perkataan makamanggalya
atau dibawah pengawasan. Artinya saat itu Raja Kertanegara telah berkuasa
penuh, dan tidak lagi dibawah pengawasan ayahandanya Raja Wisnuwardhana
telah meninggal tahun 1268 M.
Prasasti Sarwadharma berisi penetapan daerah menjadi daerah suatantra
(berhak mengurus dirinya sendiri) dan lepas dari pengawasan wilayah thani bala
(nama wilayah/daerah saat itu di Singosari). Sehingga daerah swatantra
tersebut, yaitu daerah Sang Hyang Sarwadharma tidak lagi diwajibkan
membayar bermacam-macam pajak, pungutan dan iuran.
Atas dasar fakta sejarah ini maka pelantikan Arya Wiraraja ditetapkan tanggal 31
Oktober 1269 M, dan peristiwa itu dijadikan rujukan yang sangat kuat untuk
menetapkan Hari Jadi Kabupaten Sumenep pada tanggal 31 Oktober 1269 M,
yang diperingati pada setiap tahun dengan berbagai macam peristiwa seni
budaya, seperti prosesi Arya Wiraraja dan rekan seni Budaya Hari Jadi Kabupaten
Sumenep. (*)
Sumber: Warta Giligenting, Minggu, 19/02/2012

Label: arya wiraraja, dokumentasi, sejarah, songenep, sumenep

Mendalami Sejarah Dari Ratusan Benda Kerajaan Di


Sumenep
3 Agustus 2011 pukul 2:42

Sumenep-Keraton sumenep terletak di tengah-tengah kota. Keraton Sumenep dibangun pada


masa pemerintahan Panembahan Sumolo I Tahun 1762. Bangunan keraton ini mempunyai
corak budaya islam, Cina dan Eropa. Di dalam keraton terletak peninggalan-peninggalan
bersejarah seperti pendopo agung, kantor koneng, dan bekas keraton Raden Ayu Tirto
Negoro yang saat ini dijadikan tempat penyimpanan benda-benda kuno. Bagian lain dari
keraton Sumenep adalah pintu gerbang Labang Mesem, yang artinya pintu yang tersenyum.
Pintu ini menjadi simbol dari keramahan dan keramahtamahan masyarakat Sumenep terhadap
setiap orang yang datang ke keraton.
Keraton sumenep juga menyimpan berbagai benda-benda bersejarah. Antara lain kereta kuda
kencana kerajaan Sumenep, dan kereta kuda pemberian Ratu Inggris, yang sampai sekarang
masih dapat dipergunakan dan dikeluarkan pada saat upacara peringatan hari jadi kota
Sumenep. Didalam Museum Keraton Sumenep juga dipajang sebuah Al Quran raksasa. Al
Quran ini tergolong unik, pasalnya cara penulisannya yaitu dengan menggunakan tangan.
Selain Al-Quran, museum keraton juga menyimpan berbagai koleksi benda-benda kerajaan
seperti gentong air dan sejumlah peralatan dapur. Anda penasaran dengan museum keraton
Sumenep, silahkan langsung berkunjung kesana ya.

Selasa, 02 September 2008

Kronologis sejarah Kerajaan Sumenep dan Selayang


Pandang

PENGANTAR
Sejarah Sumenep jaman dahulu diperintah oleh seorang Raja. Ada 35 Raja yang telah
memimpin kerajaan Sumenep. Dan, sekarang ini telah dipimpin oleh seorang Bupati. Ada 14
Bupati yang memerintah Kabupaten Sumenep.
Mengingat sangat keringnya informasi/data yang otentik seperti prasati, pararaton, dan
sebagainya mengenai Raja Sumenep maka tidak seluruh Raja-Raja tersebut kami ekspose
satu persatu, kecuali hanya Raja-Raja yang menonjol saja popularitasnya.
Pendekatan yang kami gunakan dalam penulisan ini adalah pendekatan historis dan kultural,
selain itu kami gunakan juga pendekatan ekonomis, psikologis dan edukatif.
JAMAN PEMERINTAH KERAJAANARYA WIRARAJA
Arya Wiraja dilatik sebagai Adipati pertama Sumenep pada tanggal 31 Oktober 1269, yang
sekaligus bertepatan dengan hari jadi Kabupaten Sumenep. Selama dipimpin oleh Arya
Wiraja, banyak kemajuan yang dialami kerajaan Sumenep. Pria yang berasal dari desa
Nangka Jawa Timur ini memiliki pribadi dan kecakapan/kemampuan yang baik. Arya Wiraja
secara umum dikenal sebagai seorang pakar dalam ilmu penasehat/pengatur strategi,
analisanya cukup tajam dan terarah sehingga banyak yang mengira Arya Wiraja adalah
seorang dukun.
Adapun jasa-jasa Arya Wiraja :
- Mendirikan Majapahit b ersama dengan Raden Wijaya.
- Menghancurkan tentara Cina/tartar serta mengusirnya dari tanah Jawa.
Dalam usia 35 Tahun, karier Arya Wiraja cepat menanjak. Mulai jabatan Demang Kerajaan
Singosari kemudian dipromosikan oleh Kartanegara Raja Singosari menjadi Adipati Kerajaan
Sumenep, kemudian dipromosikan oleh Raden Wijaya menjadi Rakyan Menteri di Kerajaan
Majapahit dan bertugas di Lumajang. Setelah Arya Wiraja meninggalkan Sumenep, kerajaan
di ujung timur Madura itu mengalami kemunduran. kekuasaan diserahkan kepada saudaranya
Arya Bangah dan keratonnya pindah dari Batuputih ke Banasare di wilayah Sumenep juga.
Selanjutnya diganti oleh anaknya, yang bernama Arya Danurwendo, yang keratonnya pindah
ke Desa Tanjung. Dan selanjutnya diganti oleh anaknya, yang bernama Arya asparati. Diganti
pula oleh anaknya bernama Panembahan Djoharsari. Selanjutnya kekuasaan dipindahkan
kepada anaknya bernama Panembahan Mandaraja, yang mempunyai 2 anak bernama
Pangeran Bukabu yang kemudian menganti ayahnya dan pindah ke Keratonnya di Bukabu

(Kecamatan Ambunten). Selanjutnya diganti oleh adiknya bernama Pangeran Baragung yang
kemudian pindah ke Desa Baragung (Kecamatan Guluk-guluk).
PANGERAN JOKOTOLE (Pangeran Secodiningrat III)
Pangeran Jokotole menjadi raja Sumenep yang ke 13 selama 45 tahun (1415-1460). Jokotole
da adiknya bernama Jokowedi lahir dari Raden Ayu Potre Koneng, cicit dari Pangeran
Bukabu sebagai hasil dari perkawinan bathin (melalui mimpi) dengan Adipoday (Raja
Sumenep ke 12). Karena hasil dari perkawinan Bathin itulah, maka banyak orang yang tidak
percaya. Dan akhirnya, seolah-olah terkesan sebagai kehamilan diluar nikah. Akhirnya
menimbulkan kemarahan kedua orang tuanya, sampai akan dihukum mati. Sejak
kehamilannya, banyak terjadi hal-hal yang aneh dan diluar dugaan. Karena takut kepada
orang tuanya maka kelahiran bayi RA Potre Koneng langsung diletakkan di hutan oleh
dayangya. Dan, ditemukan oleh Empu Kelleng yang kemudian disusui oleh kerbau miliknya.
Peristiwa kelahiran Jokotole, terulang lagi oleh adiknya yaitu Jokowedi. Kesaktian Jokotole
mulai terlihat pada usia 6 tahun lebih, seperti membuat alat-alat perkakas dengan tanpa
bantuan dari alat apapun hanya dari badanya sendiri, yang hasilnya lebih bagus ketimbang
ayah angkatnya sendiri. Lewat kesaktiannya itulah maka ia membantu para pekerja pandai
besi yang kelelahan dan sakit akibat kepanasan termasuk ayah angkatnya dalam pengelasan
membuat pintu gerbang raksasa atas pehendak Brawijaya VII. Dengan cara membakar
dirinya dan kemudian menjadi arang itulah kemudian lewat pusarnya keluar cairan putih.
Cairan putih tersebut untuk keperluan pengelasan pintu raksasa. Dan, akhirnya ia diberi
hadiah emas dan uang logam seberat badannya. Akhirnya ia mengabdi di kerajaan Majapahit
untuk beberapa lama.
Banyak kesuksessan yang ia raih selama mengadi di kerajaan Majapahit tersebut yang
sekaligus menjadi mantu dari Patih Muda Majapahit. Setibanya dari Sumenep ia bersama
istrinya bernama Dewi Ratnadi bersua ke Keraton yang akhirnya bertemu dengan ibunya RA
Potre Koneng dan kemudian dilantik menjadi Raja Sumenep dengan Gelar Pangeran
Secodiningrat III. Saat menjadi raja ia terlibat pertempuran besar melawan raja dari Bali yaitu
Dampo Awang, yang akhirnya dimenangkan oleh Raja Jokotole dengan kesaktiannya
menghancurkan kesaktiannya Dampo Awang. Dan kemudian kekuasaannya berakhir pada
tahun 1460 dan kemudian digantikan oleh Arya Wigananda putra pertama dari Jokotole.
RADEN AYU TIRTONEGORO DAN BINDARA SAOD
Raden Ayu Tirtonegoro merupakan satu-satunya pemimpin wanita dalam sejarah kerajaan
Sumenep sebagai Kepala Pemerintahan yang ke 30. Menurut hikayat RA Tirtonegoro pada
suatu malam bermimipi supaya Ratu kawin dengan Bindara Saod. Setelah Bindara Saod
dipanggil, diceritakanlah mimpi itu. Setelah ada kata sepakat perkawinan dilaksanakan,
Bindara Saodmenjadi suami Ratu dengan gelar Tumenggung Tirtonegoro.
Terjadi peristiwa tragis pama masa pemerintahan Ratu Tirtonegoro. Raden Purwonegoro
Patih Kerajaan Sumenep waktu mencintai Ratu Tirtonegoro, sehingga sangat membenci
Bindara Saod, bahkan merencanakan membunuhnya. Raden Purwonegoro datang ke keraton
lalu mengayunkan pedang namun tidak mengenai sasaran dan pedang tertancap dalam ke
tiang pendopo. Malah sebaliknya Raden Purwonegoro tewas di tangan Manteri Sawunggaling
dan Kyai Sanggatarona. Seperti diketahui bahwa Ratu Tirtonegoro dan Purwonegoro samasama keturunan Tumenggung Yudonegoro Raja Sumenep ke 23. Akibatnya keluarga kerajaan
Sumenep menjadi dua golongan yang berpihak pada Ratu Tirtonegoro diperbolehkan tetap
tinggal di Sumenep dan diwajibkan merubah gelarnya dengan sebutan Kyai serta berjanji

untuk tidak akan menentang Bindara Saod sampai tujuh turunan. Sedang golongan yang tidak
setuju pada ketentuan tersebut dianjurkan meninggalkan kerajaan Sumenep dan kembali ke
Pamekasan, Sampang atau Bangkalan.
PANEMBAHAN SOMALA
Bandara Saod dengan isterinya yang pertama di Batu Ampar mempunyai 2 orang anak. Pada
saat kedua anak Bindara Saod itu datang ke keraton memenuhi panggilan Ratu Tirtonegoro,
anak yang kedua yang bernama Somala terlebih dahulu dalam menyungkem kepada Ratu
sedangkan kakaknya mendahulukan menyungkem kepada ayahnya (Bindara Saod). Saat itu
pula keluar wasiat Sang Ratu yang dicatat oleh sektretaris kerajaan. Isi wasiat menyatakan
bahwa di kelak kemudian hari apabila Bindara Saod meninggal maka yang diperkenankan
untuk mengganti menjadi Raja Sumenep adalah Somala. Setelah Bindara Saod meninggal 8
hari kemudian Ratu Tirtonegoro ikut meninggal tahun 1762, sesuai dengan wasiat Ratu yang
menjadi Raja Sumenep adalah Somala dengan gelar Panembahan Notokusumo I.
Beberapa peristiwa penting pada zaman pemerintahan Somala antara lain menyerang negeri
Blambangan dan berhasil menang sehingga Blambangan dan Panarukan menjadi wilayah
kekuasaan Panembangan Notokusumo I. Kemudian beliau membangun keraton Sumenep
yang sekarang berfungsi sebagai Pendopo Kabupaten. Selanjutnya beliau membangun Masjid
Jamik pada tahuhn 1763, Asta Tinggi (tempat pemakaman Raja-Raja Sumenep dan
keluarganya) juga dibangun oleh beliau.
SULTAN ABDURRACHMAN PAKUNATANINGRAT
Sultan Abdurrachman Pakunataningrat bernama asli Notonegoro putra dari Raja Sumenep
yaitu Panembahan Notokusumo I. Sultan Abdurrachman Pakunataningrat mendapat gelar
Doktor Kesusastraan dari pemerintah Inggris, karena beliau pernah membantu Letnan
Gubernur Jendral Raffles untuk menterjemahkan tulisan-tulisan kuno di batu kedalam bahasa
Melayu. Beliau memang meguasai berbagai bahasa, seperti bahasa Sansekerta, Bahasa Kawi,
dan sebagainya. Dan, juga ilmu pengetahuan dan Agama. Disamping itu pandai membuat
senjata Keris. Sultan Abdurrachman Pakunataningrat dikenal sangat bijaksana dan
memperhatikan rakyat Sumenep, oleh karena itu ia sangat disegani dan dijunjung tinggi oleh
rakyat Sumenep sampai sekarang.
Diposkan oleh Sebar Brosur Profesional di 20.53

KERATON SUMENEP DAN SEJARAH ASTA TINGGI


PENELURUSAN JEJAK BINDARA SAUD
Oleh: Laili Rahma Dewi, S.Sos

Daftar Raja yang pernah memerintah di Sumenep


NO NAMA TEMPAT KERATON TAHUN KETERANGAN
1. Aria Banyak Wedi
( Aria Wiraraja ) Batuputih 1269-1292 Otak pendiri Ker. Majapahit
2. Ario Bangah( Wiraraja ) Banasare 1292-1301
3. Ario Danurwendo
( Lembu Sarenggono ) Aeng Anyar 1301-1311
4. Ario Assrapati 1311-1319
5. Panembahan Joharsari Bluto 1319-1331
6. Panembahan Mandaraga
( R. Piturut ) Keles 1331-1339
7. P. Bukabu Wotoprojo Bukabu 1339-1348
8. P. Baragung Notoningrat Baragung 1348-1358
9. R. Agung Rawit
( Secodiningrat I ) Banasare 1358-1366
10. Tumenggung Gajah Pramono
( Secodiningrat II ) Banasare 1366-1386
11. Panembahan Blongi
( Aryo Pulang Jiwo ) Bolingi / Poday 1386-1399
12. Pangeran Adipoday
(Ario Baribin ) Nyamplong / Poday 1399-1415
13. Pangeran Jokotole( P. Secodiningrat III ) Banasare 1415-1460 Pendiri Benteng
Kalimo'okmelawan orang-orang Bali . Awang pendiri pintuGerbang Ker.
Majapahit>
14. R. Wigonando
( P. Secodiningrat IV ) Gapura 1460-1502
15. P. Siding Purih
( P. Secodingrat V ) Parsanga 1502-1559 Patoh Takundur
16. RT. Kanduruwan Karang Sabu 1559-1562
17. P. Wetan dan P Lor 1562-1567
18. R. Keduk ( P. Keduk II ) 1567-1574
19. R. Rajasa ( P. Lor II ) 1574-1589
20. R. Abdullah( P. Cokronegoro I ) Karang Toroy 1589-1626
21. P. Anggadipa Karang Toroy 1626-1644
22. Tumenggung JaingPatih dari Sampang Karang Toroy 1644-1648
23. R. Bugan
( Tumenggung Yudonegoro ) Karang Toroy 1648-1672
24. P.T. Pulang Jiwo dan P. Sepuh Karang Toroy 1672-1678
25. P. Romo
( P. Cokronegoro II ) Karang Toroy 1678-1709
26. RT. Wiromenggolo( Purwonegoro ) Karang Toroy 1709-1721
27. R. Ahmat alias P. Jimat
( T. Aryo Cokronegoro III ) Karang Toroy 1721-1744
28. R. Alza Alias P. Lolos Karang Toroy 1744-1749 Lolos dalam penyergapan K.
Lesap
29. K. Lesap Karang Toroy 1749-1750 Pimpinan sementara diserahkan T.
Tirtonegoro

30. R. Ayu Tirtonegoro


R. Rasmana & Bindara Saod Pajagalan 1750-1762 Pemerintahan diserahkanpada
suaminya
31. Panembahan Sumolo Asiru Pajagalan 1762-1811 Pendiri Masjid Jamik
32. Sri Sultan Abdurrahman
( Pakunataningrat I ) Pajagalan 1811-1854 Kerajaan Sumenep
33. Panembahan Moh. Saleh
( Notokusumo II ) Pajagalan 1854-1879
34. P. Mangkudiningrat
( P. Pakunataningrat II ) Pajagalan 1879-1901
35. P. Ario Prataningkusumo Pajagalan 1901-1926
36. RP. Ario Prabuwinoto Pajagalan 1926-1929

SEJARAH SUMENEP
Sejarah Sumenep jaman dahulu diperintah oleh seorang Raja. Ada 35 Raja yang
telah memimpin kerajaan Sumenep. Dan, sekarang ini telah dipimpin oleh
seorang Bupati. Ada 14 Bupati yang memerintah Kabupaten Sumenep.
Mengingat sangat keringnya informasi/data yang otentik seperti prasati,
pararaton, dan sebagainya mengenai Raja Sumenep maka tidak seluruh RajaRaja tersebut kami ekspose satu persatu, kecuali hanya Raja-Raja yang menonjol
saja popularitasnya.
Pendekatan yang kami gunakan dalam penulisan ini adalah pendekatan historis
dan kultural, selain itu kami gunakan juga pendekatan ekonomis, psikologis dan
edukatif.
JAMAN PEMERINTAH KERAJAAN ARYA WIRARAJA
Arya Wiraja dilatik sebagai Adipati pertama Sumenep pada tanggal 31 Oktober
1269, yang sekaligus bertepatan dengan hari jadi Kabupaten Sumenep. Selama
dipimpin oleh Arya Wiraja, banyak kemajuan yang dialami kerajaan Sumenep.
Pria yang berasal dari desa Nangka Jawa Timur ini memiliki pribadi dan
kecakapan/kemampuan yang baik. Arya Wiraja secara umum dikenal sebagai
seorang pakar dalam ilmu penasehat/pengatur strategi, analisanya cukup tajam
dan terarah sehingga banyak yang mengira Arya Wiraja adalah seorang dukun.
Adapun jasa-jasa Arya Wiraja :
- Mendirikan Majapahit b ersama dengan Raden Wijaya.
- Menghancurkan tentara Cina/tartar serta mengusirnya dari tanah Jawa.
Dalam usia 35 Tahun, karier Arya Wiraja cepat menanjak. Mulai jabatan Demang
Kerajaan Singosari kemudian dipromosikan oleh Kartanegara Raja Singosari
menjadi Adipati Kerajaan Sumenep, kemudian dipromosikan oleh Raden Wijaya
menjadi Rakyan Menteri di Kerajaan Majapahit dan bertugas di Lumajang.
Setelah Arya Wiraja meninggalkan Sumenep, kerajaan di ujung timur Madura itu
mengalami kemunduran. Kekuasaan diserahkan kepada saudaranya Arya
Bangah dan keratonnya pindah dari Batuputih ke Banasare di wilayah Sumenep
juga. Selanjutnya diganti oleh anaknya, yang bernama Arya Danurwendo, yang
keratonnya pindah ke Desa Tanjung. Dan selanjutnya diganti oleh anaknya, yang
bernama Arya asparati. Diganti pula oleh anaknya bernama Panembahan

Djoharsari.
Selanjutnya kekuasaan dipindahkan kepada anaknya bernama Panembahan
Mandaraja, yang mempunyai 2 anak bernama Pangeran Bukabu yang kemudian
menganti ayahnya dan pindah ke Keratonnya di Bukabu (Kecamatan Ambunten).
Selanjutnya diganti oleh adiknya bernama Pangeran Baragung yang kemudian
pindah ke Desa Baragung (Kecamatan Guluk-guluk).
PANGERAN JOKOTOLE (Pangeran Secodiningrat III)
Pangeran Jokotole menjadi raja Sumenep yang ke 13 selama 45 tahun (14151460). Jokotole da adiknya bernama Jokowedi lahir dari Raden Ayu Potre Koneng,
cicit dari Pangeran Bukabu sebagai hasil dari perkawinan bathin (melalui mimpi)
dengan Adipoday (Raja Sumenep ke 12). Karena hasil dari perkawinan Bathin
itulah, maka banyak orang yang tidak percaya. Dan akhirnya, seolah-olah
terkesan sebagai kehamilan diluar nikah. Akhirnya menimbulkan kemarahan
kedua orang tuanya, sampai akan dihukum mati. Sejak kehamilannya, banyak
terjadi hal-hal yang aneh dan diluar dugaan. Karena takut kepada orang tuanya
maka kelahiran bayi RA Potre Koneng langsung diletakkan di hutan oleh
dayangya. Dan, ditemukan oleh Empu Kelleng yang kemudian disusui oleh
kerbau miliknya.
Peristiwa kelahiran Jokotole, terulang lagi oleh adiknya yaitu Jokowedi. Kesaktian
Jokotole mulai terlihat pada usia 6 tahun lebih, seperti membuat alat-alat
perkakas dengan tanpa bantuan dari alat apapun hanya dari badanya sendiri,
yang hasilnya lebih bagus ketimbang ayah angkatnya sendiri. Lewat
kesaktiannya itulah maka ia membantu para pekerja pandai besi yang kelelahan
dan sakit akibat kepanasan termasuk ayah angkatnya dalam pengelasan
membuat pintu gerbang raksasa atas pehendak Brawijaya VII. Dengan cara
membakar dirinya dan kemudian menjadi arang itulah kemudian lewat pusarnya
keluar cairan putih. Cairan putih tersebut untuk keperluan pengelasan pintu
raksasa. Dan, akhirnya ia diberi hadiah emas dan uang logam seberat badannya.
Akhirnya ia mengabdi di kerajaan Majapahit untuk beberapa lama.
Banyak kesuksessan yang ia raih selama mengadi di kerajaan Majapahit tersebut
yang sekaligus menjadi mantu dari Patih Muda Majapahit. Setibanya dari
Sumenep ia bersama istrinya bernama Dewi Ratnadi bersua ke Keraton yang
akhirnya bertemu dengan ibunya RA Potre Koneng dan kemudian dilantik
menjadi Raja Sumenep dengan Gelar Pangeran Secodiningrat III. Saat menjadi
raja ia terlibat pertempuran besar melawan raja dari Bali yaitu Dampo Awang,
yang akhirnya dimenangkan oleh Raja Jokotole dengan kesaktiannya
menghancurkan kesaktiannya Dampo Awang. Dan kemudian kekuasaannya
berakhir pada tahun 1460 dan kemudian digantikan oleh Arya Wigananda putra
pertama dari Jokotole.
RADEN AYU TIRTONEGORO DAN BINDARA SAOD
Raden Ayu Tirtonegoro merupakan satu-satunya pemimpin wanita dalam sejarah
kerajaan Sumenep sebagai Kepala Pemerintahan yang ke 30. Menurut hikayat RA
Tirtonegoro pada suatu malam bermimipi supaya Ratu kawin dengan Bindara
Saod. Setelah Bindara Saod dipanggil, diceritakanlah mimpi itu. Setelah ada kata
sepakat perkawinan dilaksanakan, Bindara Saodmenjadi suami Ratu dengan
gelar Tumenggung Tirtonegoro.

Terjadi peristiwa tragis pama masa pemerintahan Ratu Tirtonegoro. Raden


Purwonegoro Patih Kerajaan Sumenep waktu mencintai Ratu Tirtonegoro,
sehingga sangat membenci Bindara Saod, bahkan merencanakan
membunuhnya. Raden Purwonegoro datang ke keraton lalu mengayunkan
pedang namun tidak mengenai sasaran dan pedang tertancap dalam ke tiang
pendopo. Malah sebaliknya Raden Purwonegoro tewas di tangan Manteri
Sawunggaling dan Kyai Sanggatarona. Seperti diketahui bahwa Ratu Tirtonegoro
dan Purwonegoro sama-sama keturunan Tumenggung Yudonegoro Raja Sumenep
ke 23.
Akibatnya keluarga kerajaan Sumenep menjadi dua golongan yang berpihak
pada Ratu Tirtonegoro diperbolehkan tetap tinggal di Sumenep dan diwajibkan
merubah gelarnya dengan sebutan Kyai serta berjanji untuk tidak akan
menentang Bindara Saod sampai tujuh turunan. Sedang golongan yang tidak
setuju pada ketentuan tersebut dianjurkan meninggalkan kerajaan Sumenep dan
kembali ke Pamekasan, Sampang atau Bangkalan.
PANEMBAHAN SOMALA
Bandara Saod dengan isterinya yang pertama di Batu Ampar mempunyai 2
orang anak. Pada saat kedua anak Bindara Saod itu datang ke keraton
memenuhi panggilan Ratu Tirtonegoro, anak yang kedua yang bernama Somala
terlebih dahulu dalam menyungkem kepada Ratu sedangkan kakaknya
mendahulukan menyungkem kepada ayahnya (Bindara Saod). Saat itu pula
keluar wasiat Sang Ratu yang dicatat oleh sektretaris kerajaan. Isi wasiat
menyatakan bahwa di kelak kemudian hari apabila Bindara Saod meninggal
maka yang diperkenankan untuk mengganti menjadi Raja Sumenep adalah
Somala. Setelah Bindara Saod meninggal 8 hari kemudian Ratu Tirtonegoro ikut
meninggal tahun 1762, sesuai dengan wasiat Ratu yang menjadi Raja Sumenep
adalah Somala dengan gelar Panembahan Notokusumo I.
Beberapa peristiwa penting pada zaman pemerintahan Somala antara lain
menyerang negeri Blambangan dan berhasil menang sehingga Blambangan dan
Panarukan menjadi wilayah kekuasaan Panembangan Notokusumo I. Kemudian
beliau membangun keraton Sumenep yang sekarang berfungsi sebagai Pendopo
Kabupaten. Selanjutnya beliau membangun Masjid Jamik pada tahuhn 1763, Asta
Tinggi (tempat pemakaman Raja-Raja Sumenep dan keluarganya) juga dibangun
oleh beliau.
SULTAN ABDURRACHMAN PAKUNATANINGRAT
Sultan Abdurrachman Pakunataningrat bernama asli Notonegoro putra dari Raja
Sumenep yaitu Panembahan Notokusumo I. Sultan Abdurrachman
Pakunataningrat mendapat gelar Doktor Kesusastraan dari pemerintah Inggris,
karena beliau pernah membantu Letnan Gubernur Jendral Raffles untuk
menterjemahkan tulisan-tulisan kuno di batu kedalam bahasa Melayu. Beliau
memang meguasai berbagai bahasa, seperti bahasa Sansekerta, Bahasa Kawi,
dan sebagainya. Dan, juga ilmu pengetahuan dan Agama. Disamping itu pandai
membuat senjata Keris. Sultan Abdurrachman Pakunataningrat dikenal sangat
bijaksana dan memperhatikan rakyat Sumenep, oleh karena itu ia sangat
disegani dan dijunjung tinggi oleh rakyat Sumenep sampai sekarang.
[sumber: http://sumenep.go.id/]

SIAPAKAH BENDORO SAUD ITU


Bendoro Saud keturunan dari Pangeran Katandur. Pangeran ini cucu dari Sunan
Kudus, Pangeran Katandur adalah pemimpin pertanian yang mula-mula memberi
contoh bercocok tanam didesa Parsanga dan desa-desa disekitarnya dalam
pertengahan abad ke- 17.
Waktu didaerah Sumenep ditimpa bencana kelaparan hujan lama tidak turun dan
rakyat disibukkan oleh macam-macam peperangan tetapi berkat petunjukpetunjuk dari Pangeran Katandur dibidang pertanian maka hasil produksi dapat
dilipat gandakan dan kelaparan dapat segera diatasi.
Pangeran Katandur memang mempunyai darah keturunan Arab maka disamping
memimpin pertanian ia juga menyebarkan Agama Islam, setelah beberapa
keturunan sampailah pada Bendoro Saud, dengan demikian ia mempunyai
keturunan Arab. Bendoro Saud diambil oleh pamannya ialah Kyai Pekke, Kyai ini
mempunyai banyak santri termasuk pula Bendoro Saud.
Pada malam hari santri-santrinya tidur bersama-sama dilanggar, pada suatu
malam Kyai Pekke melihat-lihat santrinya yang sedang tidur dalam malam yang
gelap itu tampaklah sinar yang datang dari salah seorang santrinya.
Kyai Pekke menghampiri santri tersebut dan memberi tanda sarungnya dilobangi
dengan api rokok, pada keesokan harinya Kyai Pekke memeriksa santri-santrinya
dan ternyata sarung yang diberi tanda disarungnya berlobang ialah Bendoro
Saud, Isteri Bendoro Saud ialah Nyai Isza dan mempunyai dua orang anak yang
bernama Ario Pacinan dan Sumolo bergelar Panembahan Notokusumo I.
Diceritakan selanjutnya bahwa Ratu Tirtonegoro bermimpi supaya ia kawin
dengan Bendoro Saud anak dari Bendoro Bungso yang tinggal di Batu Ampar
oleh karena itu ia menyuruh menterinya untuk memberi tahu Bendoro Saud
supaya menghadap kekeraton dan Bendoro Saud diberitahunya atas mimpinya.
Setelah ada kata sepakat dari keduanya perkawinan dilaksanakan dengan
mengambil gelar isterinya ialah Tumenggung Tirtonegorodan terus menetap di
keraton.
Selanjutnya diceritakan bahwa Patih Sumenep ialah Purwonegoro mendengar
adanya pelaksanaan perkawinan di keraton ia amat marah karena ia sendiri
bermaksud mengawini Ratu Tirtonegoro, ia tidak sudi menghadap kekeraton
meskipun berkali-kali dipanggil oleh Ratu, bahkan ia membalas panggilan itu
dengan nada menantang Bendoro Saud untuk berperang.
Pada suatu waktu di Pendopo keraton diadakan pertemuan dan sekaligus untuk
memperkenalkan R.T. Tirtonegoro (Bendoro Saud). Juga patih Purwonegoro
diharuskan hadir oleh Ratu Tirtonegoro, pada saat itu seorang menteri yang
bernama K. Sawunggaling disuruh berpakaian kerajaan dan didudukkan diatas

kursi kerajaan sehingga jika orang kurang teliti akan mengira bahwa ia adalah
Rajanya.
Sebelah belakang kanan berdiri pemegang tombak upacara keraton tidak antara
lama patih Purwonegoro datang dengan kelihatan sangat marah dan terus
menuju orang yang duduk disinggasana (dikiranya Bendoro Saud) dengan
pedang terhenus serta terus memukulkan pedangnya dengan sangat keras,
untunglah pedangnya tidak mengenai sasarannya akan tetapi tertancap ditiang
pendopo sehingga tidak mudah ditarik kembali. Setelah Sawunggaling
mengelakkan diri dari bacokan pedang terus ia menghunuskn pedangnya
ditusukkan keperut patih Purwonegoro meninggal seketika itu juga, peristiwa
yang tragis itu menimbulkan banyak akibat.
Sebagaimana telah diceritakan bahwa antar Ratu Tirtonegoro dan Purwonegoro
ada hubungan famili ialah sama-sama keturunan Judonegoro karena peristiwa
tersebut, maka kerajaan Sumenep pecah menjadi dua ialah golongan yang ada
dipihak Tirtonegoro diperbolehkan tinggal di Sumenep dan diwajibkan berubah
gelarnya dengan sebutan Kyai serta berjanji tidak akan menentang Bendoro
Saud sampai tujuh keturunannya.
Bagi mereka yang tidak setuju terhadap ketentuan diatas dianjurkan lebih baik
meninggalkan kerajaan Sumenep dan kembali ke Pamekasan, Sampang atau
Bangkalan.diceritakan bahwa yang tinggal di Sumenep masih cukup banyak
karena masih banyak yang cinta kepada Ratu Tirtonegoro.
Sebagaimana telah diceritakan bahwa Bendoro Saud dengan Isterinya yang
pertama Nyai Isza mempunyai dua orang anak sedangkan dengan Ratu
Tirtonegoro tidak mempunyai keturunan.
Pada suatu waktu Ratu Tirtonegoro memanggil dua orang anak dari Bendoro
Saud dan disuruh untuk menghadap kekeraton, setelah mereka sampai
kekeraton mereka menyembag dan duduk berjauhan dengan Bapak dan ibu
tirinya karena itu satu persatu dipanggilnya dan yang datang pertama ialah yang
tertua dengan menyungkem kepada ayahnya terlebih dulu, setelah itu datanglah
yang putera yang kedua dan ialah Somala yang menyungkem terlebih dahulu
pada ibu tirinya dan dilanjutkan pada Bapaknya.
Ratu Tirtonegoro lalu berkata sebagai wasiat yang diingat oleh sekretaris
Kerajaan ialah sebagai berikut : "kelak kemudian hari apabila ayah dari kedua
orang anak ini meninggal maka yang diperkenankan untuk mengganti menjadi
Raja Sumenep adalah anaknya yang nomor dua yang bernama Somala".
Kedua anak itu atau diijinkan tinggal dikerajaan beberapa waktu lamanya setelah
itu ia minta diri untuk kembali kerumah ibunya di Batu Ampar, setelah
Tirtonegoro (Bendoro Saud) meninggal dunia dalam tahun 1762, maka sesuai
wasiat Ratu Tirtonegoro yang menggantikannya ialah Somala dengan bergelar
Panembahan Notokusumo I.

Beberapa kejadian selama pemerintahan Somala ialah sebagai berikut :


pemisahan Kabupaten Panarukan dari daerah Sumenep, yang sebelumnya
memang termasuk wilayah kerajaan Madura, pembikinan keraton Sumenep yang
sekarang menjadi Rumah Kabupaten dan pembangunan Masjid Jamik dikota
Sumenep tahun 1763.
Pada tahun 1810 Panembahan Somala diminta datang oleh Kompeni ke daerah
Semarang untuk ikut serta menjaga daerah pesisiran berhubung dengan
timbulnya peperangan antara Belanda dan Inggris, sewaktu Somala tidak ada di
Sumenep inggris datang menyerang dari lautan dengan kapal perangnya yang
mempergunakan meriam sampai di Pantai Soroka.
Berhubung pemerintahan tidak ada di Sumenep maka Patih Sumenep ialah Kyai
Mangundi Rejo mengambil keputusan untuk menyerang Inggris dan bersama
sama anaknya berangkat ke pantai Soraka yang diikuti pula oleh tentara
Sumenep, dalam pertempuran itu Patih Mangundirejo beserta anak-anaknya
Gugur demikian pula banyak anggota-anggota yang tewas dalam peperangan
itu.
Sewaktu Somala datang dari Semarang dan mendengar kabar itu ia sangat
terharu dan terus menyusul ke Saroka, sesampinya di Saroka ternyata tentara
inggris sudah meninggalkan medan pertempuran dan mereka sudah naik keatas
kapal dan terus berlayar meninggalkan perairan daerah Sumenep.
Dikutip dari :
Buku Selayang Pandang Sejarah Madura
Oleh :DR. Abdurrahman
SULTAN ABDURRACHMAN PAKUNATANINGRAT
Setelah Panembahan Somala meninggal dunia maka putera yang tertua ialah
Pangeran Panggung dengan gelar Kusumodiningrat yang menggantinya tetapi
oleh Kompeni tidak lama ia dipindah menjadi Bupati Pasuruan karena itu pada
ahirnya yang mengganti Somala ialah Abdurrachman yang semula bergelar
Raden Ario Tirtodiningrat dan terakhir berubah lagi gelarnya ialah Sultan
Abdurrachman Pakutaningrat I.
Sultan Abdurrachman pernah bertugas keluar Madura guna membasmi
pemberontakan Japan, Cirebon, Bali dan Sulawesi. Dalam tahun 1811 sampai
tahun 1816 Pulau Nusantara jatuh ketangan Inggris, Gubernur Jendral Lord Minto
membagi bagi daerah taklukannya dalam 4 Gubernemen ialah :
1. Malaka
2. Sumatera Barat
3. Maluku
4. Jawa
Pimpinan untuk Jawa-Madura dan sekitarnya (Palembang, Banjarmasin, Makassar
dan Sunda kecil) diserahkan kepada Letnan Gubernur Jendral Thomas Stamford
Raffles. Pada suatu waktu Raffles mengirimkan batu tertulis kepada Sultan

Abdurrachman untuk dapat disalin kedalam Bahasa Melayu.


Pakutaningrat menerima tugas ini dengan baik asal saja batu itu beberapa
lamanya ditinggalkan kekaraton Sumenep, menurut berita batu itu didapat di
Pulau Bali dan tidak seorangpun orang yang dapat menterjemaahkan tulisan 2
kuno yang tersurat diatas batu itu, tugas tersebut dikerjakan olae Pakutaningrat
dibantu oleh seorang Jaksa yang bernama Pratalikromo, setelah tulisan kuno itu
selesai disalin kedalam Bahasa Melayu, terus batu itu beserta salinannya dikirim
kembali kepada Raffles.
Setelah dua tahun lamanya baru Pakutaningrat menerima surat balasan bahwa
penterjemahan dari Sumenep itu cocok dengan penterjemahan yang diusahakan
di Hindustan. Oleh karena itu Sultan Pakutaningrat menerima gelar Doktor
didalam kesastraan dari Pemerintahan Ingris, memang Sultan Pakutaningrat
pandai sekali dalam macam2 bahasa dan ilmu pengetahuan ia pandai pula
dalam ilmu agama, pandai Bahasa Sansakerta, Bahasa Kawi dan pandai pula
membuat senjata2 semacam keris, dan lain sebagainya.
Di Museum Kota Sumenep ada kitab Suci Alquran yang berukuran besar hasil
tulisan Sultan Abdurrachman Pakutaningrat. Dalam pemerintahannya
Pakutaningrat masuk seorang pemimpin yang dihormati dan disegani oleh
rakyatnya karena kebijaksanaanya, keamanan dan ketentraman dapat dibina
sebaik-baiknya sehingga memberi kesempatan membangun dan meningkatkan
hasil produksi yang dikerjakan oleh masyarakat.
Perekonomian dan perdagangan berjalan lancar sehingga dapat meningkatkan
taraf hidu rakyat Madura, nama Sultan Pakutaningrat sampai sekarang masih
dijunjung tinggi oleh masyarakat Sumenep karena mempunyai banyak jasa
terhadap masyarakat ia meninggal usia dalam usia tinggi ialah setelah berumur
73 tahun jenazah dikuburkan di Asta Tinggi desa Kebonagung berkumpul dengan
makam ayahnya Somala beserta Pembesar-Pembesar kerajaan Sumenep lainnya.
Dikutip dari :
Buku Selayang Pandang Sejarah Madura
Oleh :DR. Abdurrahman

Sejarah Singkat Sumenep


10:51 PM Arya Wiraraja, kekunaan, Sejarah Singkat Sumenep, the History of
Sumenep No comments
Sumenep yang sekarang menjadi salah satu nama Kabupaten yang berada di
Pulau Madura, tergolong sudah tua. Di dalam Kitab Pararaton, mencantumkan
kata Songennep untuk menyebutkan wilayah Sumenep, sehingga Songennep
merupakan nama paling awal untuk Sumenep. Sebutan kata Songennep lebih
sesuai dengan logat Madura yang lebih banyak mempergunakan kata O
ketimbang kata U.
Secara etimologi, Songennep berasal dari bahasa Kawi yang terdiri dari kata
song dan ennep. Song artinya relung, dan ennep berarti mengendap. Jadi,
Songennep diartikan sebagai lembah bekas endapan yang tenang.
Perubahan nama dari Songennep menjadi Sumenep terjadi sekitar abad ke-18
pada saat pemerintah Hindia Belanda, karena bagi bangsa Belanda, lafal U lebih
mudah diucapkan daripada lafal O.
Sumenep sebagai daerah pemerintahan mulai dipimpin oleh seorang Adipati
pada abad ke-13, dengan ditugaskannya Arya Wiraraja oleh Kertanegara, Raja
Singasari kala itu, untuk menjadi Adipati di Sumenep. Pelantikan Arya Wiraraja
sebagai Adipati merupakan titik awal berlangsungnya sistem pemerintahan di
Sumenep, yang sebelumnya Pulau Madura hanya diperintah oleh seorang yang
berpangkat Akuwu yang namanya tak pernah tercatat dalam sejarah.
Pemindahan Arya Wiraraja ke Sumenep sebagai Adipati disebabkan oleh adanya
perbedaan pendapat antara Kertanegara dengan Arya Wiraraja menyangkut
kebijakan Kertanegara kala itu. Tentang tujuan pengangkatan Arya Wiraraja
sebagai Adipati Sumenep ini memang ada beberapa pendapat. Akan tetapi, dari
riwayat dan latar belakang kedekatannya dengan Wangsa Rajasa, kita bisa
menilai jikalau Arya Wiraraja yang merupakan penasihat utamanya berusaha
dijauhkan dari lingkaran kelompok politiknya dengan jalan diangkat menjadi
Adipati yang merupakan kenaikan jabatan yang luar biasa mengingat tokoh ini
sebelumnya hanya menjabat sebagai babatangan atau juru ramal.
Slamet Moeljono dalam bukunya, Pemugaran Persada Sejarah Leluhur Majapahit
(1983:102) mengatakan bahwa atas pengangkatannya menjadi Adipati
Sumenep, Arya Wiraraja merasa tidak puas terhadap kebijakan Kertanegara.
Saat itu dia baru berumur kurang lebih 41 tahun. Sebagai orang yang banyak
makan garam dalam dunia politik, Arya Wiraraja mengetahui bahwa pada saat
itu Jayakatwang, Raja Gelang-gelang, menaruh dendam kepada Kertanegara.
Karena dahulu Raja Kediri, Dandang Gendis pernah dikalahkan oleh Ken Arok
yang notabene merupakan nenek moyang Kertanegara. Akibatnya, Daha harus
tunduk berada di bawah kekuasaan Singasari. Hal itu dijadikan kesempatan oleh
Arya Wiraraja untuk mempengaruhi Jayakatwang agar mengadakan perhitungan
terhadap Singasari. Ia menulis surat yang isinya berbunyi: Tuanku, hamba

memberi tahu, jika Tuanku ingin berburu di tegal lama, sebaiknya sekarang
Tuanku berburu. Pada saat ini tidak ada buaya, tak ada harimau, tak ada
bantengnya, tak ada ularnya, tak ada durinya, yang ada macan tanpa gigi.
Wiraraja mengutus anaknya Wiranjaya mengantarkan surat itu kepada
Jayakatwang yang merasa dendam kepada keturunan Ken Arok, yang telah
memporak-porandakan Kerajaan Kediri di bawah tahta Prabu Kertajaya yang tak
lain adalah nenek moyang dari Jayakatwang. Dengan surat itu, Jayakatwang
menyambut gembira dan mulai menghimpun kekuatan untuk menyerang
Singasari.
Setelah pasukan Daha dirasa kuat, Jayakatwang mulai mengatur strategi untuk
menaklukkan Kertanegara. Pasukan lalu diberangkatkan lengkap dengan senjata
perangnya. Tiba di Singasari, penyerangan pun dilancarkan. Karena pasukan
Kertanegara banyak dikirim melakukan ekspansi ke luar Jawa (dikenal dengan
ekspedisi Pamalayu), meskipun dipertahankan oleh tentara yang gagah berani,
akhirnya pasukan Singasari harus menderita kekalahan. Raja Kertanegara
menemui ajalnya.
Raden Wijaya yang merupakan salah satu menantu Prabu Kertanegara, terpaksa
harus menyingkir ke Madura guna menghindari perburuan dari pasukan
Jayakatwang. Pelarian Raden Wijaya beserta kedua belas pengikut setianya ke
Madura diterima dengan baik oleh Arya Wiraraja karena hubungan Arya Wiraraja
dengan Raden Wijaya yang telah berjalan baik mengingat dulunya Arya Wiraraja
pernah mengabdi kepada leluhur Raden Wijaya menjadi penasihat utamanya. Di
Madura, sambutan hangat kepada Raden Wijaya ini tetap dilakukan dengan
member segala keperluan Raden Wijaya, seperti makanan, pakaian, dan fasilitas
kerajaan serta nasihat-nasihat kenegaraan yang berguna.
Sambutan Arya Wiraraja yang luar biasa disertai saran-sarannya yang sangat
berharga telah membuat semangat Raden Wijaya bangkit kembali. Setelah
beberapa waktu mengungsi di Madura, Arya Wiraraja menyarankan agar Raden
Wijaya untuk menggunakan taktik seolah-olah menyerah kepada Adipati
Jayakatwang yang sekarang telah mengangkat dirinya menjadi raja dengan
kedudukan di Kediri. Pada mulanya saran itu ditolak, tetapi melihat yang
mengeluarkan saran seperti itu adalah seorang penasihat utama Wangsa Rajasa
yang telah terbukti kelihaian, kecerdikan serta kesetiannya terhadap
keluarganya, Raden Wijaya akhirnya menuruti. Raden Wijaya kemudian
berangkat menyerahkan diri ke Kediri dengan diantar oleh para keluarga besar
Arya Wiraraja sendiri yang telah menjadi pengikutnya sejak lama. Raja
Jayakatwang sendiri yang berhubungan baik dengan Arya Wiraraja menyambut
baik kabar ini dan kemudian mengutus menteri Segara Winotan untuk
menyambut rombongan ini di pelabuhan Jung Biru.
Sambutan hangat dilakukan oleh Raja Jayakatwang, di mana kedatangan Raden
Wijaya di Kediri dianggap merupakan kemenangan besar bagi dirinya sebagai
legitimasi persatuan antara dua keluarga besar yang berseteru dan menjadikan
Raden Wijaya sebagai tahan kota. Apalagi jika melihat Arya Wiraraja yang berada
di Madura sebagai penjaminnya sehingga Raja Jayakatwang sangat

memperhitungkannya karena posisi daerah Madura yang merupakan wilayah


strategis dan perlu dirangkul serta ide-ide Arya Wiraraja yang sangat cemerlang
sehingga akan diperlukannya dalam memperkuat kedudukannya sebagai Raja
Jawa. Raden Wijaya sendiri selama ada di ibu kota Kediri selalu menunjukkan
sikap sopan dan sangat menghargai
Raja Jayakatwang sebagaimana saran dari penasihatnya. Segala yang
diperintahkan Raja Jayakatwang dilakukannya dengan senang hati sehingga
menyebabkan kecurigaan Sang Raja berangsur-angsur menjadi memudar.
Karena kepercayaan Raja Jayakatwang, maka ketika Raden Wijaya mengusulkan
untuk membangun suatu desa di sebelah utara sebagai tempat peristirahatan
Raja Jayakatwang jika sedang berburu sehingga usulan ini diterima dengan
memberikan tanah di hutan Terik. Raja Jayakatwang juga meminta kesanggupan
Arya Wiraraja dalam membangun desa ini sebagai tanda kesetiaan Adipati
Madura tersebut kepada penguasa yang baru.
Setelah disetujui pembukaan desa di hutan Terik tersebut, segera Adipati Arya
Wiraraja mengirimkan orang-orag Madura untuk membuka hutan dan akan
dijadikan desa persinggahan. Orang-orang Madura yang terbiasa bekerja di
dalam lingkungan dan tanah yang tandus bekerja dengan senang hati karena
suburnya daerah yang baru di buka ini. Dalam kisah pembangunannya,
diceriterakan orang-orang Madura kehabisan bekal dan memakan buah maja
yang banyak tumbuh di hutan Terik tersebut sehingga nama daerah baru itu
dinamakan Majapahit. Setelah selesai pembangunan Desa Majapahit tersebut,
banyak orang-orang Madura menempati tanah baru ini dengan senang hati
karena kesuburan tanahnya.
Berkat siasat yang yang telah diatur dengan baik oleh Arya Wiraraja, Raden
Wijaya dengan rakyat Madura akhirnya bisa mengalahkan Jayakatwang, serta
mengusir Raja Tartar, dan kemudian mendirikan Kerajaan Majapahit.
Setelah pengangkatan Raden Wijaya sebagai Raja Majapahit dengan bergelar
Kertarajasa Jayawardhana, Raden Wijaya memenuhi janjinya untuk membagi dua
tanah Jawa yang dikuasainya, yaitu di bagian barat yang kerajaannya dikenal
dengan nama Majapahit yang beribu kota di daerah sekitar Trowulan, Mojokerto
sekarang. Adipati Arya Wiraraja sendiri kemudian mendapatkan bagian timur di
mana kerajaannya bernama Lamajang Tigang Juru dengan ibu kota
berkedudukan di Kabupaten Lumajang sekarang.
Setelah pemerintahan Arya Wiraraja, hubungan Sumenep dengan Majapahit
terus berlangsung, dan bahkan kemudian hubungan dipererat dengan
perkawinan Jakatole dengan Dewi Ratnadi, putri Prabu Brawijaya. Ditaklukkannya
Majapahit oleh Sultan Demak, maka terjalin hubungan antara Sumenep dengan
Sultan Demak. Suatu hubungan politik yang kemudian membawa perkembagan
Islam di Sumenep, selanjutnya mempengaruhi pada kerabat kraton untuk
menuntut ilmu di beberapa pesantren di Jawa.
Pada saat kekuasaan di jawa beralih kepada Mataram, maka hubungan Sumenep
dengan Mataram dapat terjalin, dan menjadikan Sumenep sebagai raja bawahan

Mataram. Hubungan politik Sumenep sebagai raja bawahan Mataram,


mengakibatkan munculnya kewajiban membayar pajak dan upeti yang harus
diserahkan kepada Sultan Mataram. Sumenep sebagai kerajaan bawahan tidak
memiliki hak otonomi untuk mengelola pemerintahannya.
Ditaklukkannya Mataram oleh VOC, merupakan kesempatan bagi pemerintahan
Sumenep untuk meminta perlindungan VOC dengan menyerahkan beberapa
upeti seperti yang diserahkan kepada Sultan Mataram. Ketika Sumenep
kemudian di bawah lindungan VOC, penguasa di Sumenep diberi hak otonomi
untuk mengelola pemerintahannya secara mandiri.
Namun hak otonomi yang diberikan kemudian berakibat dicabutnya hak-hak
istimewa yang pernah diberikan Mataram kepada Sumenep. Jabatan Adipati
berubah menjadi pegawai bawahan yang digaji oleh pemerintah kolonial
Belanda. Orang Sumenep yang dikenal ulet, berani dan pantang menyerah
kemudian diperalat oleh pemerintah kolonial untuk membantu menumpas para
pemberontak yang melawan pemerintahan kolonial Belanda.
Untuk melawan kelihaian politik Belanda, maka kemudian Sultan Abdurrahman,
penguasa Sumenep yang ke-32, menjalankan politik ajala sotra untuk membatu
perlawanan terhadap pemerintah kolonial Belanda yang terjadi di berbagai
daerah Nusantara. Politik ajala sotra, yaitu sejenis taktik dan siasat untuk
melawan politik devide et impera milik Belanda. Politik ajala sotra tidak bisa
dilakukan secara tergesa-gesa, tapi harus secara halus dan hati-hati. Kalau tidak
bisa, akan berbahaya pada dirinya sendiri.
Bangkitnya rasa nasionalisme di berbagai wilayah dengan berbagai organisasi
kepemudaan dan politik, membangkitkan pula nasionalisme di daerah Sumenep
untuk menentang penjajahan. Perubahan politik yang kemudian mengakibatkan
pemecatan dan penangkapan kerabat Kraton Sumenep yang dicurigai sebagai
pemberontak terhadap kolonial Belanda. ***

Kepustakaan:
Mansur Hidayat, 2013, Arya Wiraraja dan Lamajang Tigang Juru: Menafsir Ulang
Sejarah Majapahit Timur, Denpasar: Pustaka Larasan
Tim Penulis Sejarah Sumenep, 2003, Sejarah Sumenep, makalah yang disampaikan
pada Seminar Buku Penulisan Sejarah Sumenep pada 10 Desember 2003

Anda mungkin juga menyukai