Anda di halaman 1dari 358

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 3 TAHUN 1992

TENTANG
JAMINAN SOSIAL TENAGA KERJA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Menimbang : a. bahwa pembangunan nasional sebagai pengamalan


Pancasila dilaksanakan dalam rangka pembangunan
manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan
masyarakat Indonesia seluruhnya, untuk
mewujudkan suatu masyarakat yang sejahtera, adil,
makmur dan merata baik materiil maupun spritual;

b. bahwa dengan semakin meningkatnya peranan


tenaga kerja dalam perkembangan pembangunan
nasional di seluruh tanah air dan semakin
meningkatnya penggunaan teknologi di berbagai
sektor, kegiatan usaha dapat mengakibatkan
semakin tinggi resiko yang mengancam keselamatan,
kesehatan dan kesejahteraan tenaga kerja sehingga
perlu upaya peningkatan perlindungan tenaga kerja;

c. bahwa perlindungan tenaga kerja yang melakukan


pekerjaan baik dalam hubungan kerja maupun diluar
hubungan kerja melalui program jaminan social
tenaga kerja selain memberikan ketenangan kerja
juga mempunyai dampak positif terhadap usaha-
usaha peningkatan disiplin dan produktivitas tenaga
kerja;

d. bahwa Undang-undang Nomor 2 Tahun 1951 tentang


Pernyataan Berlakunya Undang-undang Kecelakaan
Tahun 1947 Nomor 33 dari Republik Indonesia untuk
seluruh Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1951
Nomor 3) dan Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun
1977 tentang Asuransi Sosial Tenaga Kerja
(Lembaran Negara Tahun 1977 Nomor 54, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3112) belum mengatur
secara lengkap jaminan social tenaga kerja serta
tidak sesuai lagi dengan kebutuhan;
e. bahwa untuk mencapai maksud tersebut perlu
ditetapkan undang-undang yang mengatur
penyelenggaraan jaminan sosial tenaga kerja.

Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1) dan Pasal 27 ayat
(2) Undang-Undang Dasar 1945;

2. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1951 tentang


Pernyataan berlakunya Undang-Undang Pengawasan
Perburuhan Tahun 1948 Nomor 23 dari Republik
Indonesia untuk seluruh Indonesia (Lembaran Negara
Tahun 1951 Nomor 4);

3. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1969 tentang


Ketentuan-ketentuan pokok mengenai Tenaga Kerja
(Lembaran Negara tahun 1969 Nomor 55, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 2912);

4. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang


Keselamatan Kerja (lembaran Negara Tahun 1970
nomor 1 Tambahan Lembaran Negara Nomor 2918);

5. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1981 tentang Wajib


Lapor Ketenagakerjaan di Perusahaan (Lembaran
Negara Tahun 1981 Nomor 39, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3201).

Dengan Persetujuan

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN

UNDANG-UNDANG TENTANG JAMINAN SOSIAL TENAGA


Menetapkan :
KERJA

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan :


1.
Jaminan Sosial Tenaga Kerja adalah suatu perlindungan bagi tenaga kerja dalam
bentuk santunan berupa uang sebagai pengganti sebagian dan penghasilan yang hilang
atau berkurang dan pelayanan sebagai akibat peristiwa atau keadaan yang dialami oleh
tenaga kerja berupa kecelakaan kerja, sakit, hamil, bersalin, hari tua dan meninggal
dunia.

2. Tenaga Kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan baik di dalam
maupun di luar hubungan kerja, guna menghasilkan jasa atau barang untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat.

3. Pengusaha adalah :
a. Orang, persekutuan atau badan hukum yang menjalankan suatu perusahaan milik
sendiri;
b. Orang, persekutuan atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan
perusahaan bukan miliknya;
c. Orang, persekutuan atau badan hukum yang berada di Indonesia dalam huruf a dan
huruf b yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia

4. Perusahaan adalah setiap bentuk badan usaha yang memperkerjakan tenaga kerja
dengan tujuan mencari untuk atau tidak, baik milik swasta maupun milik negara

5.
Upah adalah suatu penerimaan sebagai imbalan dari pengusaha kepada tenaga kerja
untuk sesuatu pekerjaan yang telah atau akan dilakukan, dinyatakan atau dinilai dalam
bentuk uang ditetapkan menurut suatu perjanjian, atau peraturan perundang-undangan
dan dibayarkan atas dasar suatu perjanjian kerja antara pengusaha dengan tenaga
kerja, termasuk tunjangan baik untuk tenaga kerja sendiri maupun keluarganya.

6. Kecelakaan kerja adalah kecelakaan yang terjadi berhubung dengan hubungan kerja,
termasuk penyakit yang timbul karena hubungan kerja, demikian pula kecelakaan yang
terjadi dalam perjalanan berangkat dari rumah menuju tempat kerja, dan pulang ke
rumah melalui jalan yang biasa atau wajar dilalui.

7. Cacad adalah keadaan hilang atau berkurangnya fungsi anggota badan yang secara
langsung atau tidak langsung mengakibatkan hilang atau berkurangnya kemampuan
untuk menjalankan pekerjaan.

8. Sakit adalah setiap gangguan kesehatan yang memerlukan pemeriksaan, pengobatan,


dan/atau perawatan.
9. Pemeliharaan kesehatan adalah upaya penanggulangan dan pencegahan gangguan
kesehatan yang memerlukan pemeriksaan, pengobatan, dan/atau perawatan termasuk
kehamilan dan persalinan.

10. Pegawai Pengawas ketenagakerjaan adalah pegawai teknis berkeahlian khusus dari
Departemen Tenaga Kerja yang ditunjuk oleh Menteri.

11. Badan Penyelenggara adalah badan hukum yang bidang usahanya menyelenggarakan
program jaminan sosial tenaga kerja.

12. Menteri adalah Menteri yang bertanggung jawab dalam bidang ketenagakerjaan.

Pasal 2

Usaha sosial dan usaha-usaha lain yang tidak berbentuk perusahaan diperlakukan sama
dengan perusahaan, apabila mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain
sebagaimana layaknya perusahaan mempekerjakan tenaga kerja.

BAB II
PENYELENGGARAAN JAMINAN SOSIAL TENAGA KERJA

Pasal 3

(1) Untuk memberikan perlindungan kepada tenaga kerja diselenggarakan program jaminan
social tenaga kerja yang pengelolaannya dapat dilaksanakan dengan mekanisme
asuransi.

(2) Setiap tenaga kerja berhak atas jaminan social tenaga kerja.

Pasal 4

(1) Program jaminan social tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 wajib
dilakukan oleh setiap perusahaan bagi tenaga kerja yang melakukan pekerjaan di dalam
hubungan kerja sesuai dengan ketentuan Undang-undang ini.

(2) Program jaminan sosial tenaga kerja bagi tenaga kerja yang melakukan pekerjaan di
luar hubungan kerja diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

(3) Persyaratan dan tata cara penyelenggaraan program jaminan sosial tenaga kerja
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan pemerintah.
Pasal 5

Kebijakan dan pengawasan umum program jaminan sosial tenaga kerja ditetapkan
dengan Peraturan Pemerintah.

BAB III
PROGRAM JAMINAN SOSIAL TENAGA KERJA

Bagian Pertama
Ruang Lingkup

Pasal 6

(1) Ruang lingkup program jaminan sosial tenaga kerja dalam Undang-undang ini meliputi :
a. Jaminan Kecelakaan Kerja;
b. Jaminan Kematian;
c. Jaminan Hari Tua;
d. Jaminan Pemeliharaan Kesehatan.

(2) Pengembangan program jaminan sosial tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam ayau
(1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 7

(1) Jaminan Sosial tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 diperuntukkan bagi
tenaga kerja.

(2) Jaminan Sosial tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 huruf d berlaku pula
untuk keluarga tenaga kerja.

Bagian Kedua
Jaminan Kecelakaan Kerja

Pasal 8

(1) Tenaga kerja yang tertimpa kecelakaan kerja berhak menerima jaminan Kecelakaan
Kerja.

(2) Termasuk tenaga kerja dalam Jaminan Kecelakan Kerja ialah:


a. magang dan murid yang bekerja pada perusahaan baik yang menerima upah
maupun tidak;
b. mereka yang memborong pekerjaan kecuali jika yang memborong adalah
perusahaan;
c. narapidana yang dipekerjakan di perusahaan.
Pasal 9

Jaminan Kecelakaan Kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) meliputi :

a. biaya pengangkutan;
b. biaya pemeriksaan, pengobatan, dan/atau perawatan;
c. biaya rehabilitasi;
d. santunan berupa uang yang meliputi :
1. santunan sementara tidak mampu bekerja;
2. santunan cacad sebagian untuk selama-lamanya;
3. santunan cacad total untuk selama-lamanya baik fisik maupun mental;
4. santunan kematian.

Pasal 10

(1) Pengusaha wajib melaporkan kecelakaan kerja yang menimpa tenaga kerja kepada
Kantor Departemen Tenaga Kerja dan Badan Penyelenggaran dalam waktu tidak lebih
dari 2 kali 24 jam.

(2) Pengusaha wajib melaporkan kepada Kantor Departemen Tenaga Kerja dan Badan
Penyelenggara dalam waktu tidak lebih dari 2 kali 24 jam setelah tenaga kerja yang
tertimpa kecelakaan oleh dokter yang merawatnya dinyatakan sembuh, cacad atau
meninggal dunia.

(3) Pengusaha wajib mengurus hak tenaga kerja yang tertmpa kecelakaan kerja kepada
Badan Penyelenggara sampai memperoleh hak-haknya.

(4) Tata cara dan bentuk laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2)
ditetapkan oleh Menteri.

Pasal 11

Daftar jenis penyakit yang timbul karena hubungan kerja serta perubahannya
ditetapkan dengan Keputusan Presiden.

Bagian Ketiga
Jaminan Kematian

Pasal 12

(1) Tenaga kerja yang meninggal dunia bukan akibat kecelakaan kerja, keluarganya berhak
atas Jaminan Kematian.

(2) Jaminan Kematian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi :


a. biaya pemakaman;
b. santunan berupa uang.
Pasal 13

Urutan penerima yang diutamakan dalam pembayaran santunan kematian dan Jaminan
Kematian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 hurf d butir 4 dan Pasal 12 ialah :
a. janda atau duda;
b. anak;
c. orang tua;
d. cucu;
e. kakek atau nenek;
f. saudara kandung;
g. mertua.

Bagian Keempat
Jaminan Hari Tua

Pasal 14

(1) Jaminan Hari Tua dibayarkan secara sekaligus, atau berkala, atau sebagian dan berkala,
kepada tenaga kerja karena :
a. telah mencapai usia 55 (lima puluh lima) tahun, atau
b. cacad total tetap setelah ditetapkan oleh dokter.

(2) Dalam hal tenaga kerja meninggal dunia, Jaminan Hari Tua dibayarkan kepada janda
atau duda atau anak yatim piatu.

Pasal 15

Jaminan Hari Tua sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dapat dibayarkan sebelum
tenaga kerja mencapai usia 55 (lima puluh lima) tehun, setelah mencapai masa
kepesertaan tertentu, yang diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Kelima
Jaminan Pemeliharaan Kesehatan

Pasal 16

(1) Tenaga kerja, suami atau istri, dan anak berhak memperoleh Jaminan Pemeliharaan
Kesehatan.
(2) Jaminan Pemeliharaan Kesehatan meliputi :
a. rawat jalan tingkat pertama;
b. rawat jalan tingkat lanjutan;
c. rawat inap;
d. pemeriksaan kehamilan dan pertolongan persalinan;
e. penunjang diagnostik;
f. pelayanan khusus;
g. pelayanan gawat darurat.

BAB IV
KEPESERTAAN

Pasal 17

Pengusaha dan tenaga kerja wajib ikut serta dalam program jaminan sosial tenaga
kerja.

Pasal 18

(1) Pengusaha wajib memiliki daftar tenaga kerja beserta keluarganya, daftar upah beserta
perubahan-perubahan dan daftar kecelakaan kerja di perusahaan atau bagian
perusahaan yang berdiri sendiri.

(2) Selain kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pengusaha wajib
menyampaikan data ketenagakerjaan dan data perusahaan yangberhubungan dengan
penyelenggaraan program jaminan sosial tenaga kerja kepada Badan Penyelenggara.

(3) Apabila pengusaha dalam menyampaikan data sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
terbukti tidak benar, sehingga mengakibatkan ada tenaga kerja yang tidak terdaftar
sebagai peserta program jaminan sosial tenaga kerja, maka pengusaha wajib
memberikan hak-hak tenaga kerja sesuai dengan ketentuan Undang-undang ini.

(4) Apabila pengusaha dalam menyampaikan data sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
terbukti tidak benar, sehingga mengakibatkan kekurangan pembayaran jaminan kepada
tenaga kerja, maka pengusaha wajib memenuhi kekurangan jaminan tersebut.

(5) Apabila pengusaha dalam menyampaikan data sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
terbukti tidak benar, sehingga mengakibatkan kelebihan pembayaran jaminan, maka
pengusaha wajib mengembalikan kelebihan tersebut kepada Badan Penyelenggara.

(6) Bentuk daftar tenaga kerja, daftar upah, daftar kecelakaan kerja yang dimuat dalam
buku, dan tata cara penyampaian data ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan oleh Menteri.

Pasal 19

(1) Pentahapan kepesertaan program jaminan sosial tenaga kerja ditetapkan dengan
Peraturan Pemerintah.

(2) Dalam hal perusahaan belum ikut serta dalam program jaminan sosial tenaga kerja
disebabkan adanya pentahapan kepesertaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
maka pengusaha wajib memberikan JaminanKecelakaan Kerja kepada tenaga kerjanya
sesuai dengan Undang-undang ini.
(3) Tata cara pelaksanaan hak tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
ditetapkan oleh Menteri.

BAB V
IURAN, BESARNYA JAMINAN DAN TATA CARA PEMBAYARAN

Pasal 20

(1) Iuran Jaminan Kecelakaan Kerja, iuran Jaminan Kematian, dan iuran Jaminan
Pemeliharaan Kesehatan ditanggung oleh pengusaha.

(2) Iuran Jaminan Hari Tua ditanggung oleh pengusaha dan tenaga kerja.

Pasal 21

Besarnya iuran, tata cara, syarat pembayaran, besarnya denda, dan bentuk iuran
program jaminan sosial tenaga kerja ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 22

(1) Pengusaha wajib membayar iuran dan melakukan pemungutan iuran yang menjadi
kewajiban tenaga kerja melalui pemotongan upah tenaga kerja serta membayarkan
kepada Badan Penyelenggara dalam waktu yang ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah.

(2) Dalam hal keterlambatan pembayaran iuran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 23

Besarnya dan tatacara pembayaran Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan Kematian,


Jaminan Hari Tua, dan tatacara pelayanan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan ditetapkan
dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 24

(1) Perhitungan besarnya Jaminan Kecelakaan Kerja yang harus dibayarkan kepada
tenaga kerja dilakukan oleh Badan Penyelenggara sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
(2) Dalam hal perhitungan besarnya Jaminan Kecelakaan Kerja tidak sesuai dengan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka Pegawai Pengawas
Ketenagakerjaan menghitung kembali dan menetapkan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.

(3) Menteri menetapkan kecelakaan kerja, dan besarnya jaminan yang belum tercantum
dalam peraturan pelaksanaan Undang-undang ini.

(4) Perbedaan pendapat dan perhitungan besarnya jumlah Jaminan Kecelakaan Kerja
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) penyelesaiannya ditetapkan oleh
Menteri.

BAB VI
BADAN PENYELENGGARA

Pasal 25

(1) Penyelenggaraan program jaminan sosial tenaga kerja dialkukan oleh Badan
Penyelenggara.

(2) Badan Penyelenggara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah Badan Usaha Milik
Negara yang dibentuk dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(3) Badan Usaha Milik Negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), dalam
melaksanakan fungsi dan tugasnya mengutamakan pelayanan kepada peserta dalam
rangka peningkatan perlindungan dan kesejahteraan tenaga kerja beserta
keluarganya.

Pasal 26

Badan Penyelenggara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2), wajib membayar
jaminan sosial tenaga kerja dalam waktu tidak lebih dari 1 (satu) bulan.

Pasal 27

Pengendalian terhadap penyelenggaraan program jaminan sosial tenaga kerja oleh


Badan Penyelenggara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 dilakukan oleh Pemerintah,
sedangkan dalam pengawasan mengikutsertakan unsur pengusaha dan unsur tenaga kerja,
dalam wadah yang menjalankan fungsi pengawasan sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
Pasal 28

Penempatan investasi dan pengelolaan dana program jaminan sosial tenaga kerja oleh
Badan Penyelenggara diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB VII
KETENTUAN PIDANA

Pasal 29

(1) Barang siapa tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat
(1); Pasal 10 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3); Pasal 18 ayat (1), ayat (2), ayat (3),
ayat (4), dan ayat (5); Pasal 19 ayat (2); Pasal 22 ayat (1); dan Pasal 26, diancam
dengan hukuman kurungan selama-lamanya 6 (enam) bulan atau denda setinggi-
tingginya Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah).

(2) Dalam hal pengulangan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) untuk
kedua kalinya atau lebih setelah putusan akhir telah memperoleh kekuatan hukum
tetap, maka pelanggaran tersebut dipidana kurungan selama-lamanya 8 (delapan)
bulan.

(3) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pelanggaran.

Pasal 30

Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat
(1) dan ayat (2) terhadap pengusaha, tenaga kerja, dan Badan Penyelenggara yang tidak
memenuhi ketentuan Undang-undang ini dan peraturan pelaksanaannya dikenakan sanksi
administrasi, ganti rugi, atau denda yang akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah.

BAB VIII
PENYIDIKAN

Pasal 31

(1) Selain penyisik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia juga kepada pejabat
Pegawai Negeri Sipil tertentu di Departemen yang tugas dan tanggung jawabnya
meliputi ketenagakerjaan, diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana
dimaksud dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
(Lembaran Negara Tahun 1981 Nomor 76), Tambahan Lembaran tindak pidana
sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini.

(2) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berwenang :


a. melakukan penelitian atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan
dengan tindak pidana di bidang jaminan sosial tenaga kerja;
b. melakukan penelitian terhadap orang atau badan yang diduga melakukan
tindak pidana di bidang jaminan sosial tenaga kerja;
c. meminta keterangan dan barang bukti dari orang atau badan sehubungan
dengan peristiwa tindak pidana di bidang jaminan sosial tenaga kerja;
d. melakukan pemeriksaan di tempat tertentu yang diduga terdapat barang bukti
dan melakukan penyitaan terhadap barang yang dapat dijadikan barang bukti
dalam perkara tindak pidana di bidang jaminan sosial tenaga kerja;
e. melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian sehubungan
dengan tindak pidana di bidang jaminan sosial tenaga kerja.

BAB IX
KETENTUAN LAIN-LAIN

Pasal 32

Kelebihan pembayaran jaminan yang telah diterima oleh yang berhak tidak dapat
diminta kembali.

BAB X
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 33
(1) Selama peraturan perundang-undangan sebagai pelaksanaan Undang-undang ini
belum dikeluarkan, maka semua peraturan perundang-undangan yang mengatur
program asuransi sosial tenaga kerja dan penyelenggaraannya yang ada pada waktu
Undang-undang ini mulai berlaku, tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan
dengan Undang-undang ini.

(2) Selama peraturan perundang-undangan sebagai pelaksanaan Undang-undang ini


belum dikeluarkan, maka perusahaan yang telah menyelenggarakan program asuransi
sosial tenaga kerja dan jaminan sosial tenaga kerja lainnya tetap melaksanakannya.

(3) Tenaga kerja yang telah menjadi tertanggung atau peserta dalam program asuransi
sosial tenaga kerja dan jaminan sosial tenaga kerja lainnya dengan berlakunya
Undang-undang ini tidak boleh dirugikan.

BAB XI
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 34

Pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini, maka Undang-undang Nomor 2 Tahun 1951
tentang Pernyataan Berlakunya Undang-Undang Kecelakaan Tahun 1947 Nomor 33 dari
Republik Indonesia untuk seluruh Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1951 Nomor 3)
dinyatakan tidak berlaku lagi.
Pasal 35

Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang
mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
UU 3/1992, JAMINAN SOSIAL TENAGA KERJA

Oleh:PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Nomor:3 TAHUN 1992 (3/1992)

Tanggal:17 PEBRUARI 1992 (JAKARTA)

_________________________________________________________________

Tentang:JAMINAN SOSIAL TENAGA KERJA

Presiden Republik Indonesia,

Menimbang: a.bahwa pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila


dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan
pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya, untuk mewujudkan suatu
masyarakat yang sejahtera, adil, makmur, dan merata baik materiil
maupun spiritual;

b.bahwa dengan semakin meningkatnya peranan tenaga kerja dalam


perkembangan pembangunan nasional di seluruh tanah air dan semakin
meningkatnya penggunaan teknologi di berbagai sektor kegiatan usalia
dapat mengakibatkan semakin tinggi risiko yang mengancam keselamatan,
kesehatan dan kesejahteraan tenaga kerja, sehingga perlu upaya
peningkatan perlindungan tenaga kerja;

c.bahwa perlindungan tenaga kerja yang melakukan pekerjaan baik dalam


hubungan kerja maupun di luar hubungan kerja melalui program jaminan
sosial tenaga kerja, selain memberikan ketenangan kerja juga mempunyai
dampak positif terhadap usaha-usaha peningkatan disiplin dan
produktivitas tenaga kerja;

d.bahwa Undang- undang Nomor 2 Tahun 1951 tentang Pernyataan Berlakunya


Undang-undang Kecelakaan Tahun 1947 Nomor 33 dari Republik Indonesia
untuk seluruh Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1951 Nomor 3) dan
Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 1977 tentang Asuransi Sosial
Tenaga Kerja (Le mbaran Negara Tahun 1977 Nomor 54, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3112) belum mengatur secara lengkap jaminan sosial tenaga
kerja serta tidak sesuai lagi dengan kebutuhan;

e.bahwa untuk mencapai maksud tersebut perlu ditetapkan Undang- undang


yang mengatur penyelenggaraan jaminan sosial tenaga kerja; *6296
Mengingat: 1.Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1) dan Pasal 27 ayat (2)
Undang-Undang Dasar 1945;
2.Undang-undang Nomor 3 Tahun 1951 tentang Pernyataan Berlakunya
Undang-undang Pengawasan Perburuhan Tahun 1948 Nomor 23 dari Republik
Indonesia untuk scluruh Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1951 Nomor
4);

3.Undang-undang Nomor 14 Tahun 1969 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok


Mengenai Tenaga Kerja (Lembaran Negara Tahun 1969 Nomor 55, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 2912);

4.Undang-undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja (Lembaran


Negara Tahun 1970 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2918);

5.Undang-undang Nomor 7 Tahun 1981 tentang Wajib Lapor Ketenagakerjaan


di Perusahaan (Lembaran Negara Tahun 1981 Nomor 39, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3201);

Dengan Persetujuan DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN:

Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG JAMINAN SOSIAL TENAGA KERJA.

BAB I KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Undang- undang ini yang dimaksud dengan:

1.Jaminan Sosial Tenaga Kerja adalah suatu perlindungan bagi tenaga


kerja dalam bentuk santunan berupa uang sebagai pengganti sebagian
dari penghasilan yang hilang atau berkurang dan pelayanan sebagai
akibat peristiwa atau keadaan yang dialami oleh tenaga kerja berupa
kecelakaan kerja, sakit, hamil, bersalin, hari tua, dan meninggal
dunia.

2.Tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan baik
di dalam maupun di luar hubungan kerja, guna mengha silkan jasa atau
barang untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.

3.Pengusaha adalah: a.orang, persekutuan atau badan hukum yang


menjalankan suatu perusahaan milik sendiri; b.orang, persekutuan atau
badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan
miliknya; *6297 c.orang, persekutuan atau badan hukum yang berada di
Indonesia, mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan
huruf b yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia.
4.Perusahaan adalah setiap bentuk badan usaha yang mempekerjakan
tenaga kerja dengan tujuan mencari untung atau tidak, baik milik
swasta maupun milik negara.

5.Upah adalah suatu penerimaan sebagai imbalan dari pengusaha kepada


tenaga kerja untuk sesuatu pekerjaan yang telah atau akan dilakukan,
dinyatakan atau dinilai dalam bentuk uang ditetapkan menurut suatu
perjanjian, atau peraturan perundang-undangan dan dibayarkan atas
dasar suatu perjanjian kerja antara pengusaha dengan tenaga kerja,
termasuk tunjangan, baik untuk tenaga kerja sendiri maup un
keluarganya.

6.Kecelakaan kerja adalah kecelakaan yang terjadi berhubung dengan


hubungan kerja, termasuk penyakit yang timbul karena hubungan kerja,
demikian pula kecelakaan yang terjadi dalam perjalanan berangkat dari
rumah menuju tempat kerja, dan pulang ke rumah melalui jalan yang
biasa atau wajar dilalui.

7.Cacad adalah keadaan hilang alau berkurangnya fungsi anggota badan


yang secara langsung atau tidak langsung mengakibatkan hilang atau
berkurangnya kemampuan untuk menjalankan pekerjaan.

8.Sakit adalah setiap gangguan kesehatan yang memerlukan pemeriksaan,


pengobatan, dan/atau perawatan.

9.Pemeliharaan kesehatan adalah upaya penanggulangan dan pencegahan


gangguan kesehatan yang memerlukan pemeriksaan, pengobatan, dan/atau
perawatan termasuk keha milan dan persalinan.

10.Pegawai pengawas ketenagakerjaan adalah pegawai teknis berkeahlian


khusus dari Departemen Tenaga Kerja yang ditunjuk oleh Menteri.

11Badan penyelenggara adalah badan hukum yang bidang usahanya


menyelenggarakan program jaminan sosial tenaga kerja. 12. Menteri
adalah Menteri yang bertanggung jawab dalam bidang ketenagakerjaan.

Pasal 2

Usaha sosial dan usaha-usaha lain yang tidak berbentuk perusahaan


diperlakukan sama dengan perusahaan, apabila mempunyai pengurus dan
mempekerjakan orang lain sebagaimana layaknya perusahaan mempekerjakan
tenaga kerja.

BAB II PENYELENGGARAAN JAMINAN SOSIAL TENAGA KERJA

Pasal 3
(1)Untuk memberikan perlindungan kepada tenaga kerja *6298
diselenggarakan program jaminan sosial tenaga kerja yang
pengelolaannya dapat dilaksanakan dengan mckanisme asuransi. (2)Setiap
tenaga kerja berhak atas jaminan sosial tenaga kerja.

Pasal 4

(1)Program jaminan sosial tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 3 wajib dilakukan oleh setiap perusahaan bagi tenaga kerja yang
melakukan pekerjaan di dalam hubungan kerja sesuai dengan ketentuan
Undang-undang ini.

(2)Program jaminan sosial tenaga kerja bagi tenaga kerja yang


melakukan pekerjaan di luar hubungan kerja diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Pemerintah.

(3)Persyaratan dan tata cara penyelenggaraan program jaminan sosial


tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 5

Kebijaksanan dan pengawasan umum program jaminan sosial tenaga kerja


ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

BAB III

PROGRAM JAMINAN SOSIAL TENAGA KERJA Bagian Pertama Ruang Lingkup

Pasal 6

(1)Ruang lingkup program jaminan sosial tenaga kerja dalam


Undang-undang ini meliputi: a.Jaminan Kecelakaan Kerja; b.Jaminan
Kematian; c.Jaminan Hari Tua; d.Jaminan Pemeliharaan Kesehatan.

(2)Pengembangan program jaminan sosial tenaga kerja sebagaimana


dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah.

Pasal 7

(1)Jaminan sosial tenaga kerja sebagiamana dimaksud dalam Pasal 6


diperuntukkan bagi tenaga kerja.

(2)Jaminan sosial tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam pasal 6


huruf d berlaku pula untuk keluarga tenaga kerja.

Bagian Kedua Jaminan Kecelakaan Kerja

Pasal 8

(1)Tenaga kerja yang tertimpa kecelakaan kerja berhak menerima Jaminan


Kecelakaan Kerja.

*6299 (2)Termasuk tenaga kerja dalam Jaminan Kecelakaan Kerja ialah:


a.magang dan murid yang bekerja pada perusahaan baik yang menerima
upah maupun tidak; b.mereka ya ng memborong pekerjaan kecuali jika yang
memborong adalah perusahaan; c.narapidana yang dipekerjakan di
perusahaan.

Pasal 9

Jaminan Kecelakaan Kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat


(1)meliputi: a.biaya pengangkutan; b.biaya pemeriksaan, pengobatan,
dan/atau perawatan; c.biaya rehabilitasi; d.santunan berupa uang yang
meliputi: 1.santunan sementara tidak mampu bekerja; 2.santunan cacad
sebagian untuk selama- lamanya; 3.santunan cacad total untuk
selama- lamanya baik fisik maupun mental. 4.santunan kematian.

Pasal 10

(1)Pengusaha wajib melaporkan kecelakaan kerja yang menimpa tenaga


kerja kepada Kantor Departemen Tenaga Kerja dan Badan Penyelenggara
dalam waktu tidak lebih dari 2 kali 24 jam. (2)Pengusaha wajib
melaporkan kepada Kantor Departemen Tenaga Kerja dan Badan
Penyelenggara dalam waktu tidak lebih dari 2 kali 24 jam setelah
tenaga kerja yang tertimpa kecelakaan oleh dokter yang merawatnya
dinyatakan sembuh, cacad atau meninggal dunia.

(3)Pengusaha wajib mengurus hak tenaga kerja yang tertimpa kecelakaan


kerja kepada Badan Penyelenggara sampai memperoleh hak-haknya.

(4)Tata cara dan bentuk laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dan ayat (2) ditetapkan oleh Menteri.

Pasal 11

Daftar jenis penyakit yang timbul karena hubungan kerja serta


perubahannya ditetapkan dengan Keputusan Presiden.

Bagian Ketiga Jaminan Kematian


Pasal 12

(1)Tenaga kerja yang meninggal dunia bukan akibat kecelakaan kerja,


keluarganya berhak atas Jaminan Kematian.

(2)Jaminan Kematian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi:


a.biaya pemakaman; b.santunan berupa uang.

Pasal 13

*6300 Urutan penerima yang diutamakan dalam pembayaran santunan


kematian dan Jaminan Kematian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf
d butir 4 dan Pasal 12 ialah:

a.janda atau duda;


b.anak;
c.orang tua;
d.cucu;
e.kakek atau nenck;
f.saudara kandung;
g.mertua.

Bagian Keempat Jaminan Hari Tua

Pasal 14

(1)Jaminan Hari Tua dibayarkan secara sekaligus, atau berkala, atau


sebagian dan berkala, kepada tenaga kerja karena: a.telah mencapai
usia 55 (lima puluh lima) tahun, atau b.cacad total tetap setelah
ditetapkan oleh dokter. (2)Dalam hal tenaga kerja meninggal dunia,
Jaminan Hari Tua dibayarkan kepada janda atau duda atau anak yatim
piatu.

Pasal 15

Jaminan Hari Tua sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dapat dibayarkan


sebelum tenaga kerja mencapai usia 55 (lima puluh lima) tahun, sctelah
mcncapai masa kepesertaan tertentu, yang diatur dengan Peraturan
Pemerintah.

Bagian Kelima Jaminan Pemeliharaan Kesehatan

Pasal 16

(1)Tenaga kerja, suami atau isteri, dan anak berhak memperoleh Jaminan
Pemeliharaan Kesehatan. (2)Jaminan Pemeliharaan Kesehatan meliputi:
a.rawat jalan tingkat pertama; b.rawat jalan tingkat lanjutan; c.rawat
inap; d.pemeriksaan kehamilan dan pertolongan persalinan; e.penunjang
diagnostik; f.pelayanan khusus; g.pelayanan gawat darurat.

BAB IV KEPESERTAAN

Pasal 17

Pengusaha dan tenaga kerja wajib ikut serta dalam program jaminan
sosial tenaga kerja.

Pasal 18

(1)Pengusaha wajib memiliki daftar tenaga kerja beserta keluarganya,


daftar upah beserta perubahan-perubahan, dan daftar kecelakaan kerja
di perusahaan atau bagian perusahaan yang berdiri sendiri.

*6301 (2)Selain kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),


pengusaha wajib menyampaikan data ketenagakerjaan dan data perusahaan
yang berhubungan dengan penyelenggaraan program jaminan sosial tenaga
kerja kepada Badan Penyelenggara.

(3)Apabila pengusaha dalam menyampaikan data sebagaimana dimaksud


dalam ayat (2) terbukti tidak benar, sehingga mengakibatkan ada tenaga
kerja yang tidak terdaftar sebagai peserta program jaminan sosial
tenaga kerja, maka pengusaha wajib memberikan hak-hak tenaga kerja
sesuai dengan ketentuan Undang- undang ini.

(4)Apabila pengusaha dalam menyampaikan data sebagaimana dimaksud


dalam ayat (2) terbukti tidak benar, sehingga mengakibatkan kekurangan
pembayaran jaminan kepada tenaga kerja, maka pengusaha wajib memenuhi
kekurangan jaminan tersebut.

(5)Apabila pengusaha dalam menyampaikan data sebagaimana dimaksud


dalam ayat (2) terbukti tidak benar, sehingga mengakibatkan kelebihan
pembayaran jaminan, maka pengusaha wajib mengembalikan kelebihan
tersebut kepada Badan Penyelenggara.

(6)Bentuk daftar tenaga kerja, daftar upah, daftar kecelakaan kerja


yang dimuat dalam buku, dan tata cara penyampaian data ketenagakerjaan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan olch
Menteri.

Pasal 19
(1)Pentahapan kepesertaan program jaminan sosial tenaga kerja
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

(2)Dalam hal perusahaan belum ikut serta dalam program jaminan sosial
tenaga kerja disebabkan adanya pentahapan kepesertaan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), maka pengusaha wajib memberikan Jaminan
Kecelakaan Kerja kepada tenaga kerjanya sesuai dengan Undang- undang
ini.

(3)Tata cara pelaksanaan hak tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam


ayat (2) ditetapkan oleh Menteri.

BAB V IURAN, BESARNYA JAMINAN, DAN TATA CARA PEMBAYARAN

Pasal 20

(1)Iuran Jaminan Kecelakaan Kerja, luran Jaminan Kematian, dan Iuran


Jaminan Pemeliharaan Kesehatan ditanggung oleh pengusaha.

(2)Iuran Jaminan Hari Tua ditanggung oleh pengusaha dan tenaga kerja.

Pasal 21

Besarnya iuran, tata cara, syarat pembayaran, besarnya denda, dan


bentuk iuran program jaminan sosial tenaga kerja ditetapkan *6302
dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 22

(1)Pengusaha wajib membayar iuran dan melakukan pemungutan iuran yang


menjadi kewajiban tenaga kerja melalui pemotongan upah tenaga kerja
serta membayarkan kepada Badan Penyelenggara dalam waktu yang
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

(2)Dalam hal keterlambatan pembayaran iuran sebagaimana dimaksud dalam


ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 23

Besarnya dan tata cara pembayaran Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan


Kematian, Jaminan Hari Tua,dan tata cara pelayanan Jaminan
Pemeliharaan Kesehatan ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 24

(1)Perhitungan besarnya Jaminan Kecelakaan Kerja yang harus dibayarkan


kepada tenaga kerja dilakukan oleh Badan Penyelenggara sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(2)Dalam hal perhitungan besarnya Jaminan Kecelakaan Kerja tidak


sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka
Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan menghitung kembali dan menetapkan
sesuai dengan peraturan perundang- undangan yang berlaku.

(3)Menteri menetapkan kecelakaan kerja, dan besarnya jaminan yang


belum tercantum dalam peraturan pelaksanaan Undang- undang ini.

(4)Perbedaan pendapat dan perhitungan besarnya jumlah jaminan


Kecelakaan Kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2)
penyelesaiannya ditetapkan oleh Menteri.

BAB VI BADAN PENYELENGGGARA

Pasal 25

(1)Penyelenggaraan program jaminan sosial tenaga kerja dilakukan oleh


Badan Penyelenggara.

(2)Badan Penyelenggara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), adalah


Badan Usaha Milik Negara yang dibentuk dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.

(3)Badan Usaha Milik Negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), dalam
melaksanakan fungsi dan tugasnya mengutamakan pelayanan kepada peserta
dalam rangka peningkatan perlindungan dan kesejahteraan tenaga kerja
beserta keluarganya.

Pasal 26

*6303 Badan Penyelenggara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat


(2), wajib membayar jaminan sosial tenaga kerja dalam waktu tidak
lebih dari 1 (satu) bulan.

Pasal 27

Pengendalian terhadap penyelenggaraan program jaminan sosial tenaga


kerja oleh Badan Penyelenggara sebaga imana dimaksud dalam Pasal 25
dilakukan oleh Pemerintah, sedangkan dalam pengawasan mengikutsertakan
unsur pengusaha dan unsur tenaga kerja, dalam wadah yang menjalankan
fungsi pegawasan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Pasal 28

Penempatan investasi dan pengelolaan dana program jaminan sosial


tenaga kerja oleh Badan Penyclenggara diatur dengan Peraturan
Pemerintah.

BAB VII KETENTUAN PIDANA

Pasal 29

(1)Barang siapa tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 4 ayat (1); Pasal 10 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3); Pasal 18
ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5); Pasal 19 ayat
(2); Pasal 22 ayat (1); dan Pasal 26, diancam dengan hukuman kurungan
selama- lamanya 6 (enam) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp.
50.000.000,-(lima puluh juta rupiah).

(2)Dalam hal pengulangan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat


(1) untuk kedua kalinya atau lebih, setelah putusan akhir telah
memperoleh kekuatan hukum tetap, maka pelanggaran tersebut dipidana
kurungan selama- lamanya 8 (delapan) bulan.

(3)Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah


pelanggaran.

Pasal 30

Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 29 ayat (1) dan ayat (2) terhadap pengusaha, tenaga kerja, dan
Badan Penyelenggara yang tidak memenuhi ketentuan Undang-undang ini
dan peraturan pelaksanaannya dikenakan sanksi administratif, ganti
rugi, atau denda yang akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah.

BAB VIII

PENYIDIKAN

Pasal 31

(1)Selain penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, juga


kepada pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di Departemen yang tugas
dan tanggung jawabnya meliputi *6304 ketenagakerjaan, diberi wewenang
khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang- undang Nomor
8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Tahun 1981
Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3209) untuk melakukan
penyidikan tindak pidana sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini.

(2)Penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), berwenang a.melakukan


penelitian atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan
tindak pidana di bidang jaminan sosial tenaga kerja;

b.melakukan penelitian terhadap orang atau badan yang diduga melakukan


tindak pidana di bidang jaminan sosial tenaga kerja;

c.meminta keterangan dan barang bukti dari orang atau badan sehubungan
dengan peristiwa tindak pidana di bidang jaminan sosial tenaga kerja;

d.melakukan pemeriksaan di tempat tertentu yang diduga terdapat barang


bukti dan melakukan penyitaan terhadap barang yang dapat dijadikan
barang bukti dalam perkara tindak pidana di bidang jaminan sosial
tenaga kerja;

e.melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian sehubungan


dengan tindak pidana di bidang jaminan sosial tenaga kerja.

BAB IX

KETENTUAN LAIN-LAIN

Pasal 32

Kelebihan pembayaran jaminan yang telah diterima oleh yang berhak


tidak dapat diminta kembali.

BAB X KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 33

(1)Selama peraturan perundang-undangan sebagai pelaksanaan


Undang-undang ini belum dikeluarkan, maka semua peraturan
perundang-undangan yang mengatur program asuransi sosial tenaga kerja,
dan penyclenggaraannya yang ada pada waktu Undang-undang ini mulai
berlaku, telah berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan
Undang-undang ini. (2)Selama peraturan perundang-undangan sebagai
pelaksanaan Undang-undang ini belum dikeluarkan, maka perusahaan yang
telah menyelenggarakan program asuransi sosial tenaga kerja dan
jaminan sosial tenaga kerja lainnya tetap melaksanakannya.

(3)Tenaga kerja yang telah menjadi tertanggung atau peserta dalam


program asuransi sosial tenaga kerja dan jaminan sosial tenaga kerja
lainnya dengan berlakunya Undang-undang ini tidak boleh dirugikan.
*6305 BAB XI KETENTUAN PENUTUP

Pasal 34

Pada saat mulai berlakunya Undang- undang ini, maka Undang-undang Nomor
2 Tahun 1951 tentang Pernyataan Berlakunya Undang-undang Kecelakaan
Tahun 1947 Nomor 33 dari Republik Indonesia untuk seluruh Indonesia
(Lembaran Negara Tahun 1951 Nomor 3) dinyatakan tidak berlaku lagi.
Pasal 35

Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memcrintahkan pengundangan


Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Repub lik
Indonesia.

Disahkan di Jakarta pada tanggal 17 Pebruari 1992 PRESIDEN REPUBLIK


INDONESIA

SOEHARTO

Diundangkan di Jakarta pada tanggal 17 Pebruari 1992


MENTERI/SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA

MOERDIONO

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3


TAHUN 1992
TENTANG JAMINAN SOSIAL TENAGA KERJA

UMUM

Pembangunan sektor ketenagakerjaan sebagai bagian dari upaya


pembangunan sumberdaya manusia merupakan salah satu bagian yang tak
terpisahkan dengan pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila,
dan pelaksanaan Undang-Undang Dasar 1945, diarahkan pada peningkatan
harkat, martabat dan kemampuan manusia, serta kepercayaan pada diri
sendiri dalam rangka mewujudkan masyarakat sejahtera, adil, dan makmur
baik materiil maupun spiritual. Peranserta tenaga kerja dalam
pembangunan nasional semakin meningkat dengan disertai berbagai
tantangan dan risiko yang dihadapinya. Oleh karena itu kepada tenaga
kerja perlu diberikan perlindungan, pemeliharaan dan peningkatan
kesejahteraannya, sehingga pada gilirannya akan dapat meningkatkan
produktivitias nasional. Bentuk perlindungan, pemeliharaan, dan
peningkatan kesejahteraan dimaksud diselenggarakan dalam bentuk
program jaminan sosial tenaga kerja yang bersifat dasar, dengan
berasaskan usaha bersama, kekeluargaan, dan gotong-royong sebagaimana
terkandung dalam jiwa dan semangat Pancasila dan *6306 Undang-Undang
Dasar 1945. Pada dasarnya program ini menekankan pada perlindungan
bagi tenaga kerja yang relatif mempunyai kedudukan yang lebih lemah.
Oleh karena itu pengusaha memikul tanggung jawab utama, dan secara
moral pengusaha mempunyai kewajiban untuk meningkatkan perlindungan
dan kesejahteraan tenaga kerja. Di samping itu, sudah sewajarnya
apabila tenaga kerja juga berperan aktif dan ikut bertanggung jawab
atas pelaksanaan program jaminan sosial tenaga kerja demi terwujudnya
perlindungan tenaga kerja dan keluarganya dengan baik. Sudah menjadi
kodrat, bahwa manusia itu berkeluarga dan berkewajiban menanggung
kebutuhan keluarganya. Oleh karenanya, kesejahteraan yang perlu
dikembangkan bukan hanya bagi tenaga kerja sendiri, tetapi juga bagi
keluarganya dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam
arti luas, yang harus tetap terpelihara termasuk pada saat tenaga
kerja kehilangan sebagian atau seluruh penghasilannya sebagai akibat
terjadinya risiko-risiko sosial antara lain kecelakaan kerja, sakit,
meninggal dunia, dan hari tua. Dalam rangka menciptakan landasan untuk
meningkatkan kesejahteraan dan perlindungan tenaga kerja,
Undang-undang ini mengatur penyelenggaraan jaminan sosial tenaga kerja
sebagai perwujudan pertanggungan sosial sebagaimana dimaksud dalam
Undang-undang Nomor 14 Tahun 1969 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Mengenai Tenaga Kerja. Pada hakekatnya program jaminan sosial tenaga
kerja ini memberikan kepastian berlangsungnya arus penerimaan
penghasilan keluarga sebagai pengganti sebagian atau seluruh
penghasilan yang hilang. Jaminan sosial tenaga kerja mempunyai
beberapa aspek, antara lain:

a.memberikan perlindungan dasar untuk memenuhi kebutuhan hidup minimal


bagi tenaga kerja beserta keluarganya;
b.merupakan penghargaan kepada tenaga kerja yang telah menyumbangkan
tenaga (dan pikirannya kepada perusahaan tempat mereka bekerja.
Penyelenggaraan jaminan sosial tenaga kerja dimaksudkan dalam
Undang-undang ini sebagai pelaksanaan Pasal 10 dan Pasal 15
Undang-undang Nomor 14 Tahun 1969 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Mengenai Tenaga Kerja yang meliputi Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan
Kematia n, Jaminan Hari Tua, dan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan. Akan
tetapi mengingat objek yang mendapat jaminan sosial tenaga kerja yang
diatur dalam Undang-undang ini diprioritaskan bagi tenaga kerja yang
bekerja pada perusahaan, perorangan dengan menerima upah, maka kepada
tenaga kerja di luar hubungan kerja atau dengan kata lain tidak
bekerja pada perusahaan, pengaturan tentang jaminan sosial tenaga
kerjanya akan diatur tersendiri dengan Peraturan Pemerintah.

Adapun ruang lingkup yang diatur di dalam Undang-undang ini meliputi:


1. Jaminan Kecelakaan Kerja. Kecelakaan kerja maupun penyakit akibat
kerja merupakan risiko yang dihadapi oleh tenaga kerja yang melakukan
pekerjaan. Untuk menanggulangi hilangnya sebagian atau seluruh
penghasilannya yang diakibatkan oleh kematian atau cacad karena
kecelakaan kerja baik fisik maupun mental, maka perlu adanya jaminan
Kecelakaan Kerja. Mengingat gangguan mental akibat kecelakaan kerja
sifatnya sangat relatif sehingga sulit ditetapkan derajat cacadnya,
*6307 maka jaminan atau santunan hanya diberikan dalam hal terjadinya
cacad mental tetap yang mengakibatkan tenaga kerja yang bersangkutan
tidak bisa bekerja lagi.

2. Jaminan Kematian. Tenaga Kerja yang meninggal dunia bukan akibat


kecelakaan kerja akan mengakibatkan terputusnya penghasilan, dan
sangat berpengaruh pada kehidupan sosial ekonomi bagi keluarga yang
ditinggalkan. Oleh karena itu, diperlukan Jaminan Kematian dalam upaya
meringankan beban keluarga baik dalam bentuk biaya pemakaman maupun
santunan berupa uang.

3. Jaminan Hari Tua. Hari tua dapat mengakibatkan terputusnya upah


karena tidak lagi mampu bekerja. Akibat terputusnya upah tersebut
dapat menimbulkan kerisauan bagi tenaga kerja dan mempengaruhi
ketenangan kerja sewaktu mereka masih bekerja, terutama bagi mereka
yang penghasilannya rendah. Jaminan Hari Tua memberikan kepastian
penerimaan penghasilan yang dibayarkan sekaligus dan atau berkala pada
saat tenaga kerja mencapai usia 55 (lima puluh lima) tahun atau
memenuhi persyaratan tertentu.

4. Jaminan Pemeliharaan Kesehatan. Pemeliharaan kesehatan dimaksudkan


untuk meningkatkan produktivitas tenaga kerja sehingga dapat
melaksanakan tugas sebaik-baiknya dan merupakan upaya kesehatan di
bidang penyembuhan (kuratif). Oleh karena, upaya penyembuhan
memerlukan dana yang tidak sedikit dan memberatkan jika dibebankan
kepada perorangan, maka sudah selayaknya diupayakan penanggulangan
kemampuan masyarakat melalui program jaminan sosial tenaga kerja. Di
samping itu pengusaha tetap berkewajiban mengadakan pemeliharaan
kesehatan tenaga kerja yang meliputi upaya peningkatan (promotif),
pencegahan (preventif), penyembuhan (kuratif), dan pemulihan
(rehabilitatif). Dengan demikian diharapkan tercapainya derajat
kesehatan tenaga kerja yang optimal sebagai potensi yang produktif
bagi pembangunan. Jaminan Pemeliharaan Kesehatan selain untuk tenaga
kerja yang bersangkutan juga untuk keluarganya. Mengingat Jaminan
sosial tenaga kerja merupakan program lintas sektoral yang saling
mempengaruhi dengan usaha peningkatan kesejahteraan sosial lainnya,
maka program jaminan sosial tenaga kerja dilaksanakan secara bertahap
dan saling menunjang dengan usaha-usaha pelayanan masyarakat dalam
bidang kesehatan, kesempatan kerja, keselamatan dan kesehatan kerja.
Pengawasan terhadap Undang-undang ini, dan peraturan pelaksanaannya
dilakukan oleh Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud
dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 1951 tentang Pernyataan Berlakunya
Undang-undang Pengawasan Perburuhan Tahun 1948 Nomor 23 dan
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja.

PASAL DEMI PASAL

Pasal 1

Angka 1 sampai dengan Angka 12 Cukup jelas *6308 Pasal 2

Yang dimaksud dengan usaha sosial dan usaha-usaha lain yang


diperlakukan sama dengan perusahaan adalah yayasan, badan-badan,
lembaga- lembaga ilmiah serta badan usaha lainnya dengan nama apapun
yang mempunyai pengurus dan mempekerjakan tenaga kerja.

Pasal 3

Ayat (1)

Dalam penyelenggaraan program jaminan sosial tenaga kerja ini dapat


digunakan mekanisme asuransi untuk menjamin solvabilitas dan kecukupan
dana guna memenuhi hak-hak peserta dan kewajiban lain dari Badan
Penyelenggara dengan tidak meninggalkan watak sosialnya.

Ayat (2) Cukup jelas

Pasal 4

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan tenaga kerja yang melakukan pekerjaan di dalam


hubungan kerja adalah orang yang bekerja pada setiap bentuk usaha
(perusahaan ) atau perorangan dengan menerima upah termasuk tenaga
harian lepas, borongan, dan kontrak. Mengingat jaminan sosial tenaga
kerja merupakan hak dari tenaga kerja, maka ketentuan ini menegaskan
bahwa setiap perusahaan atau perorangan wajib menyelenggarakannya.

Ayat (2) Cukup jelas

Ayat (3) Cukup jelas

Pasal 5
Cukup jelas

Pasal 6

Ayat (1) Lihat Penjelasan Umum

Ayat (2)

Ketentuan ini dimaksudkan untuk mengatur jaminan sosial tenaga kerja


lainnya yang dapat diberikan kepada tenaga kerja dalam rangka
meningkatkan perlindungan dan kesejahteraan tenaga kerja itu sendiri,
beserta keluarganya antara lain program jaminan pesangon sebagai
akibat pemutusan hubungan kerja.

Pasal 7

*6309 Ayat (1)

Tenaga kerja yang melakukan pekerjaan, setiap saat menghadapi risiko


sosial berupa peristiwa yang dapat mengakibatkan berkurangnya atau
hilangnya penghasilan. Oleh karena itu, perlu adanya peningkatan
perlindungan tenaga kerja dalam program jaminan sosial tenaga kerja
yang bertujuan untuk memberikan ketenangan bekerja dan menjamin
kesejahteraan tenaga kerja berserta keluarganya.

Ayat (2) Cukup jelas

Pasal 8

Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2)

Huruf a

Magang merupakan tenaga kerja yang secara nyata belum penuh menjadi
tenaga kerja atau karyawan suatu perusahaan, tetapi telah melakukan
pekerjaan di perusahaan. Demikian pula murid atau siswa yang melakukan
pekerjaan dalam rangka kerja praktek, berhak atas Jaminan Kecelakaan
Kerja apabila tertimpa kecelakaan kerja.

Huruf b

Pemborong yang bukan pengusaha dianggap bekerja pada pengusaha yang


memborongkan pekerjaan.
Huruf c

Narapidana yang dipekerjakan pada perusahaan perlu diberi perlindungan


berupa jaminan Kecelakaan Kerja, jika tertimpa kecelakaan kerja.

Pasal 9

Huruf a Cukup jelas

Huruf b Cukup jelas

Huruf c Cukup jelas

Huruf d

Santunan berupa uang diberikan kepada tenaga kerja atau keluarganya.


Pembayaran santunan ini pada prinsipnya diberikan secara berkala
dengan maksud agar tenaga *6310 kerja atau keluarganya dapat memenuhi
sebagian kebutuhan hidupnya secara terus menerus. Selain pembayaran
santunan secara berkala dapat juga diberikan sekaligus. Hal ini
dimaksudkan untuk mendorong ke arah kegiatan yang bersifat produktif
dalam upaya meningkatkan kesejahteraannya.

Pasal 10

Ayat (1)

Di samping pengusaha wajib melaporkan kejadian kecelakaan, maka


keluarga, Serikat Pekerja, kawan-kawan sekerja serta masyarakat
dibenarkan memberitahukan kejadian kecelakaan tersebut kepada Kantor
Departemen Tenaga Kerja dan Badan Penyelenggara.

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3) Cukup jelas

Ayat (4) Cukup jelas

Pasal 11

Cukup jelas

Pasal 12
Ayat (1)

Yang dimaksud dengan keluarga yang ditinggalkan adalah isteri atau


suami, keturunan sedarah dari tenaga kerja menurut garis lurus ke
bawah, dan garis lurus ke atas, dihitung sampai derajat kedua termasuk
anak yang disahkan. Apabila garis lurus ke atas dan ke bawah tidak
ada, diambil garis ke samping dan mertua. Bagi tenaga kerja yang tidak
mempunyai keluarga, hak atas Jaminan Kematian dibayarkan kepada pihak
yang mendapat surat wasiat dari tenaga kerja yang bersangkutan atau
perusahaan untuk pengurusan pemakaman. Dalam hal magang atau murid,
mereka yang memborong pekerjaan, dan narapidana meninggal dunia bukan
karena akibat kecelakaan kerja, maka keluarga yang ditinggalkan tidak
berhak atas Jaminan Kematian.

Ayat (2)

Huruf a

Yang dimaksud dengan biaya pemakaman antara lain pembelian tanah, peti
mayat, kain kafan , transportasi, dan lain- lain yang bersangkutan
dengan tata cara pemakaman sesuai dengan adat- istiadat, agama dan
kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, serta kondisi daerah
masing- masing *6311 tenaga kerja yang bersangkutan.

Huruf b Cukup jelas

Pasal 13

Cukup jelas

Pasal 14

Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2)

Dalam hal tenaga kerja meninggal dunia, maka hak atas Jaminan Hari Tua
yang dibayarkan secara berkala, diberikan kepada janda atau duda, atau
anak yatim piatu. Apabila tenaga kerja meninggal dunia sebelum hak
Jaminan Hari Tua timbul, maka.hak atas Jaminan Hari Tua tersebut
diberikan kepada janda atau duda, atau anak yatim piatu secara
sekaligus atau berkala. Yang dimaksud dengan yatim piatu adalah anak
yatim atau anak piatu, yang ada pada saat janda atau duda meninggal
dunia masih menjadi tanggungan janda atau duda tersebut.

Pasal 15
Yang dimaksud dengan masa kepesertaan tertentu adalah jangka waktu
tenaga kerja telah mencapai masa kepesertaan sekurang-kurangnya 5
(lima) tahun. Pembayaran Jaminan Hari Tua berdasarkan masa kepesertaan
tertentu dapat diberikan kepada tenaga kerja yang mengalami pemutusan
hubungan kerja.

Pasal 16

Ayat (1)

Upaya pemeliharaan kesehatan meliputi aspek-aspek promotif, preventif,


kuratif, dan rehabilitatif secara tidak terpisah-pisah. Namun demikian
khusus untuk Jaminan Pemeliharaan Kesehatan bagi tenaga kerja lebih
ditekankan pada aspek kuratif dan rehabilitatif tanpa mengabaikan dua
aspek lain.

Ayat (2)

Huruf a

Yang dimaksud dengan rawat jalan tingkat pertama adalah semua jenis
pemeliharaan kesehatan perorangan yang dilakukan di Pelaksana
Pelayanan kesehatan tingkat pertama.

Huruf b

Yang dimaksud dengan rawat jalan tingkat lanjutan *6312 adalah semua
jenis pemeliharaan kesehatan perorangan yang merupakan rujukan
(lanjutan) dari Pelaksana Pelayanan Kesehatan rawat jalan tingkat
pertama.

Huruf c

Yang dimaksud dengan rawat inap adalah pemeliharaan kesehatan rumah


sakit dimana penderita tinggal/mondok sedikitnya satu hari berdasarkan
rujukan dari Pelaksana Pelayanan Kesehatan atau rumah sakit Pelaksana
Pelayanan Kesehatan lain.

Pelaksana Pelayanan Kesehatan rawat inap:

1. rumah sakit pemerintah pusat dan daerah; 2. rumah sakit swasta yang
ditunjuk.

Huruf d
Yang dimaksud dengan pemeriksaan kehamilan dan pertolonga n persalinan
adalah pertolongan persalinan normal, tidak normal dan/atau gugur
kandungan.

Huruf e

Yang dimaksud dengan penunjang diagnostic adalah semua pemeriksaan


dalam rangka menegakkan diagnosa yang dipandang perlu oleh pelaksana
pengobatan lanjutan dan dilaksanakan di bagian diagnostic, rumah sakit
atau di fasilitas khusus untuk itu, meliputi:

1. pemeriksaan laboratorium; 2. pemeriksaan radiologi; 3. pemeriksaan


penunjang diagnosa lain.

Huruf f

Yang dimaksud dengan pelayanan termasuk perawatan khusus adalah


pemeliharaan kesehatan yang memerlukan perawatan khusus bagi penyakit
tertentu serta pemberian alat-alat organ tubuh agar dapat berfungsi
seperti semula, yang meliputi:

1. kaca mata; 2. prothese gigi; 3. alat bantu dengar; 4. prothese


anggota gerak; 5. prothese mata.

Huruf g

Yang dimaksud dengan keadaan gawat darurat adalah suatu keadaan yang
memerlukan pemeriksaan medis segera, yang apabila tidak dilakukan akan
menyebabkan hal yang fatal bagi penderita.

*6313 Pasal 17

Cukup jelas

Pasal 18

Ayat (1)

Daftar keluarga merupakan keterangan penting sebagai bahan untuk


menetapkan siapa yang berhak atas jaminan atau santunan. Hal ini untuk
mencegah agar hak tersebut tidak jatuh kepada orang lain yang bukan
keluarganya. Daftar upah diperlukan untuk menentukan besarnya iuran
dan jaminan atau santunan yang menjadi hak tenaga kerja. Daftar
kecelakaan kerja diperlukan untuk mengetahui tingkat keparahan dan
frekuensi kecelakaan kerja di perusahaan yang gunanya untuk tindakan
preventif dan pelaksanaan pembayaran jaminan atau santunan.
Ayat (2) Cukup jelas

Ayat (3) Cukup jelas

Ayat (4) Cukup jelas

Ayat (5) Cukup jelas

Ayat (6) Cukup jelas

Pasal 19

Ayat (1)

Sesuai dengan tahap perkembangan pembangunan nasional yang berpengaruh


terhadap kemampuan masyarakat pada umumnya dan perusahaan pada
khususnya dalam membiayai program jaminan sosial tenaga kerja maupun
kemampuan administrasi, dipandang perlu diadakan pentahapan
kepesertaan.

Ayat (2)

Pada prinsipnya semua tenaga kerja berhak mendapatkan perlindungan


jaminan sosial tenaga kerja. Dengan adanya pentahapan kepesertaan dan
tidak diberlakukannya lagi Undang- undang Nomor 2 Tahun 1951 tentang
Pernyataan Berlakunya Undang-undang Kecelakaan Tahun 1947 Nomor 33
dari Republik Indonesia untuk seluruh Indonesia, maka terdapat tenaga
kerja yang tidak mendapatkan perlindungan terhadap risiko kecelakaan
kerja. Sesuai dengan prinsip risiko pekerjaan (risque profesionnel)
dimana risiko ditimpa kecelakaan dalam menjalankan pekerjaan merupakan
tanggung jawab *6314 pengusaha, maka pengusaha yang belum ikut serta
dalam program jaminan sosial tenaga kerja tetap bertanggung jawab atas
Jaminan Kecelakaan Kerja bagi tenaga kerjanya.

Ayat (3) Cukup jelas

Pasal 20

Ayat (1)

Kecelakaan kerja pada dasarnya merupakan suatu risiko yang seharusnya


menjadi tanggung jawab pengusaha. Oleh karena itu, pembiayaan-program
ini sepenuhnya ditanggung oleh pengusaha, sedangkan jaminan sosial
tenaga kerja lebih menekankan kepada aspek kemanusiaan, dimana
pengusaha perlu memperhatikan nasib tenaga kerja serta keluarganya.
Oleh karena itu, beban Jaminan Pemeliharaan Kesehatan dan Jaminan
Kematian (ditanggung oleh pengusaha.

Ayat (2) Cukup jelas

Pasal 21

Cukup jelas

Pasal 22

Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2)

Dalam hal pengusaha yang telah mempunyai itikad baik untuk membayar
iuran dan mengumpulkan iuran tenaga kerjanya, tetapi ternyata
terlambat membayarkan kepada Badan Penyelenggara dari waktu yang
ditentukan, dapat diwajibkan membayar tambahan presentase pembayaran
yang diperhitungkan dengan keterlambatannya.

Pasal 23

Cukup jelas

Pasal 24

Ayat (1)

Dalam rangka memberikan pelayanan, acara cepat kepada tenaga kerja


yang tertimpa kecelakaan, maka Badan Penyelenggara perlu segera
mengadakan perhitungan, dan secepatnya membayarkan jaminan dimaksud
kepada yang berhak.

Ayat (2) Cukup jelas

*6315 Ayat (3)

Dalam hal ketetapan Menteri belum ada, maka untuk mempercepat dan
memperlancar pemberian Jaminan Kecelakaan Kerja kepada tenaga kerja,
maka Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan menetapkan sementara kecelakaan
kerja, dan besarnya jaminan setelah memperoleh pertimbangan dokter
penasihat, sedangkan penetapan akhir oleh Menteri. Yang dimaksud
dengan dokter penasihat adalah dokter yang ditunjuk oleh Menteri
Kesehatan atas usul dan diangkat oleh Menteri untuk keperluan
pelaksanaan Undang-undang ini.
Ayat (4) Cukup jelas

Pasal 25

Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2)

Bentuk Badan Usaha Milik Negara sebagaimana dimaksud adalah Perusahaan


Perseroan (PERSERO). Mengingat luasnya program dan besarnya jumlah
kepesertaan maka program jaminan sosial tenaga kerja bila dipandang
perlu dapat diselenggarakan oleh lebih dari satu Badan Usaha Milik
Negara.

Ayat (3)

Mengingat Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Tenaga Kerja melaksanakan


program peningkatan perlindungan dan kesejahteraan tenaga kerja yang
dananya berasal dari iuran pengusaha dan tenaga kerja, maka Badan
Usaha Milik Negara yang diserahi tugas menyelenggarakan program
jaminan sosial tenaga kerja, sudah sewajarnya mengutamakan pelayanan
kepada peserta di samping melaksanakan prinsip solvabilitas,
likuiditas, dan rentabilitas. Dengan demikian Badan Penyelenggara
dapat melaksanakan kewajibannya dengan baik dan dapat membiayai
kebutuhannya sendiri sebagai perusahaan, sehingga tidak akan membebani
anggaran belanja Negara.

Pasal 26

Yang dimaksud dengan tidak lebih dari 1 (satu) bulan adalah setelah
dipenuhinya syarat-syarat teknis dan administratif oleh pengusaha dan
atau tenaga kerja.

Pasal 27

Pemberian peranan kepada unsur tenaga kerja, unsur pengusaha


bersama-sama dengan unsur pemerintah dalam penyelenggaraan program
jaminan sosial tenaga kerja akan meningkatkan rasa ikut memiliki, dan
rasa ikut bertanggung jawab dalam rangka upaya menyukseskan
penyelenggaraan program jaminan sosial *6316 tenaga kerja, mengingat
sebagian besar dari kekayaan yang dimiliki oleh Badan Penyelenggara
berasal dari iuran pengusaha dan tenaga kerja.

Pasal 28
Upaya pengamanan kekayaan/asset Badan Penyelenggara dan investasinya
harus memenuhi syarat aman, memberikan hasil, memenuhi kewajiban
(likuid), dan diversifikasi dalam bentuk yang menguntungkan serta
mencegah risiko yang tidak diinginkan. Mengingat program jaminan
sosial tenaga kerja menyangkut kepentingan tenaga kerja yang sebagian
besar mereka yang berpenghasilan rendah, maka upaya pengamanan
kekayaan baik investasi, pengelolaan maupun penyimpanan ua ng harus
terjamin.

Pasal 29

Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2) Cukup jelas

Ayat (3) Cukup jelas

Pasal 30

Cukup jelas

Pasal 31

Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2) Cukup jelas

Pasal 32

Kelebihan pembayaran jaminan disengaja ataupun tidak kepada yang


berhak akibat kekeliruan penetapan perhitungan, oleh Badan
Penyelenggara atau Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan tidak dapat
diminta kembali mengingat keadaan sosial ekonomi tenaga kerja atau
keluarganya.

Pasal 33

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur


program asuransi sosial tenaga kerja adalah semua peraturan
perundang-undangan yang mengatur Asuransi Kecelakaan Kerja, Tabungan
Hari Tua yang dikaitkan dengan Asuransi Kematian dan jaminan sosial
tenaga kerja lainnya yang selama ini telah dilaksanakan.

*6317 Ayat (2) Cukup jelas


Ayat (3)

Dengan berlakunya Undang-undang ini perusahaan yang telah


mempertanggungkan tenaga kerjanya pada program jaminan sosial tenaga
kerja yang lebih baik atau lebih tinggi, maka tenaga kerjanya tidak
boleh dirugikan.

Pasal 34

Cukup jelas

Pasal 35

Cukup jelas

--------------------------------

CATATAN

Kutipan:LEMBAR LEPAS SEKRETARIAT NEGARA TAHUN 1992


_________________________________________________________________
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 14 TAHUN 1993
TENTANG
PENYELENGGARAAN PROGRAM
JAMINAN SOSIAL TENAGA KERJA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Menimbang : a. bahwa dalam rangka pelaksanaan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1992


tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja, diperlukan adanya ketentuan yang
mengatur penyelenggaraan program jaminan sosial tenaga kerja;
b. bahwa sehubungan dengan hal tersebut, dipandang perlu menetapkan
Peraturan Pemerintah mengenai penyelenggaraan program jaminan sosial
tenaga kerja;
Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-undang Dasar 1945;

2 Undang-undang Nomor 3 tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja


(Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 14, Tambahan lembaran Negara Nomor
3468);

MEMUTUSKAN
Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA TENTANG PENYELENGGA
RAAN PROGRAM JAMINAN SOSIAL TENAGA KERJA.

BAB I

PENGERTIAN

Pasal 1

Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan :

1. Badan Penyelenggaraan adalah badan hukum yang bidang usahanya menyelenggarakan program
jaminan sosial tenaga kerja.
2. Peserta adalah Pengusaha dan tenaga kerja yang ikut serta dalam program jaminan sosial tenaga
kerja.
3. Upah sebulan adalah upah yang sebenarnya diterima oleh tenaga kerja selama satu bulan yang
terakhir dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Jika upah dibayarkan secara harian, maka upah sebulan sama dengan upah sehari dikalikan 30
(tiga puluh);
b. Jika upah dibayarkan secara borongan atau satuan, maka upah sebulan dihitung dari upah rata-
rata 3 (tiga) bulan terakhir;
c. Jika pekerjaan tergantung dari keadaan cuaca yang upahnya didasarkan pada upah borongan,
maka upah sebulan dihitung dari upah rata-rata 12 (dua belas) bulan terakhir.
4. Pelaksanaan Pelayanan Kesehatan adalah orang atau Badan yang ditunjuk oleh Badan
Penyelenggara untuk memberikan pelayanan kesehatan.
5. Menteri adalah Menteri yang bertanggung jawab dalam bidang ketenagakerjaan.

BAB II

KEPESERTAAN

Bagian Pertama

Persyaratan Kepesertaan

Pasal 2

(1) Program jaminan sosial tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah ini,terdiri
dari :
A. Jaminan berupa uang yang meliputi :
1. Jaminan Kecelakaan kerja;
2. Jaminan kematian;
3. Jaminan Hari Tua;
B. Jaminan berupa pelayanan, yaitu Jaminan Pemeliharaan Kesehatan
(2) Program jaminan sosial tenaga kerja sebagaumana dimaksud dalam ayat (1) diselenggarakan oleh
Badan Penyelenggara.
(3) Pengusaha yang mempekerjakan tenaga kerja sebanyak 10 (sepuluh) orang atau lebih, atau
membayar upah paling sedikit Rp.1.000.000; (satu juta rupiah) sebulan, wajib mengikut sertakan
tenaga kerjanya dalam program jaminan sosial tenaga kerja, sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
(4) Pengusaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) yang telah menyelenggarakan sendiri program
pemeliharaan kesehatan bagi tenaga kerjanya dengan manfaat yang lebih baik dari Paket Jaminan
pemeliharaan Kesehatan Dasar menurut Peraturan Pemerintah ini, tidak wajib ikut dalam Jaminan
Pemeliharaan Kesehatan yang diselenggarakan oleh Badan Penyelenggara.
(5) Pengusaha dan tenaga kerja yang telah ikut program asuransi sosial tenaga kerja sebelum berlakunya
Peraturan Pemerintah ini, melanjutkan kepesertaannya dalam program jaminan sosial tenaga kerja
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
(6) Pengusaha yang telah ikut program jaminan sosial tenaga kerja tetap menjadi peserta meskipun tidak
memenuhi lagi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3).

Pasal 3

Kepesertaan tenaga kerja harian lepas, tenaga kerja borongan dan tenaga kerja kontrak dalam program
jaminan sosial tenaga kerja diatur lebih lanjut oleh Menteri.

Pasal 4

Dalam hal perusahaan belum ikut serta dalam program jaminan sosial tenaga kerja pengusaha wajib
memberikan Jaminan Kecelakaan Kerja kepada tenaga kerjanya sesuai dengan Peraturan Pemerintah ini.

Bagian Kedua
TATA CARA

Pendaftaran Kepesertaan

Pasal 5

(1) Pengusaha sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (3) wajib mendaftarkan perusahaan dan tenaga
kerjanya sebagai peserta program jaminan sosial tenaga kerja pada Badan penyelenggara dengan
mengisi formulir yang disediakan oleh Badan Penyelenggara.
(2) Pengusaha harus menyampaikan formulir jaminan sosial tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) kepada Badan Penyelenggara selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak diterimanya
formulir dari Badan Penyelenggara.
(3) Bentuk formulir sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan oleh Menteri.

Pasal 6

(1) Dalam waktu selambat- lambatnya 7 (tujuh) hari sejak formulir pendaftaran dan pembayaran iuran
pertama diterima, Badan Penyelenggara menerbitkan dan menyampaikan kepada pengusaha:
a. Sertifikat kepesertaan untuk masing-masing perusahaan sebagai tanda kepesertaan
perusahaan;
b. Kartu peserta untuk masing-masing tenaga kerja sebagai tanda kepesertaan dalam program
jaminan sosial tenaga kerja;
c. Kartu Pemeliharaan Kesehatan untuk masing-masing tenaga kerja bagi yang mengikuti program
jaminan pemeliharaan kesehatan.
(2) Pengusaha menyampaikan kepada masing-masing tenaga kerja kartu peserta program jaminan sosial
tenaga kerja dalam waktu paling lambat 7(tujuh) hari sejak diterima dari Badan Penyelenggara.
(3) Kartu peserta sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b dan c berlaku sampai dengan
berakhirnya masa kepesertaan tenaga kerja yang bersangkutan dalam program jaminan sosial tenaga
kerja.
(4) Tenaga kerja yang pindah tempat kerja dan masih menjadi peserta program jaminan sosial tenaga
kerja harus memberitahukan kepesertaannya kepada pengusaha tempat kerja yang baru dengan
menunjukan kartu peserta.
(5) Bentuk sertifikat kepesertaan,kartu peserta dan kartu pemeliharaan kesehatan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan oleh Badan Penyelenggara.

Pasal 7

Kepesertaan perusahaan dan tenaga kerja dalam program jaminan sosial tenaga kerja berlaku sejak
pendaftaran dan pembayaran iuran pertama dilakukan oleh pengusaha.

Pasal 8

(1) Pengusaha wajib melaporkan kepada Badan Penyelenggara apabila terjadi perubahan mengenai :

a. alamat perusahaan;

b. kepemilikan perusahaan;

c. jenis atau bidang usaha;


d. jumlah tenaga kerja dan keluarganya;dan

e. besarnya upah setiap tenaga kerja.


(2) Laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disampaikan paling lambat 7 (tujuh) hari sejak
terjadinya perubahan.
(3) Tenaga kerja peserta program jaminan sosial tenaga kerja wajib menyampaikan daftar susunan
keluarga kepada pengusaha, termasuk segala perubahannya.
(4) Dalam hal terjadi perubahan sebagaimana dimaksud dalam ayat : (1) huruf d,dalam waktu paling
lambat 7 (tujuh) hari sejak laporan diterima, Badan Penyelenggara wajib menerbitkan:
a. Kartu peserta tenaga kerja baru, kecuali tenaga kerja yang bersangkutan telah mempunyai kartu
peserta;
b. Kartu pemeliharaan kesehatan yang baru.

BAB III

IURAN

Bagian Pertama

Besarnya Iuran

Pasal 9

(1) Besarnya iuran program jaminan sosial tenaga kerja adalah sebagai berikut :
a. Jaminan Kecelakaan Kerja yang perincian besarnya iuran berdasarkan kelompok jenis usaha
sebagaimana tercantum dalam Lampiran 1,sebagai berikut :

Kelompok I : 0.24 % dan upah sebulan;

Kelompok II : 0,54 % dari upah sebulan;

Kelompok III : 0,89 % dari upah sebulan;

Kelompok IV : 1,27 % dari upah sebulan;

Kelompok V : 1,74% dari upah sebulan.


b. Jaminan Hari Tua,sebesar 5,70% dari upah sebulan;
c. Jaminan Kematian,sebesar 0,30 % dari upah sebulan;
d. Jaminan Pemeliharaan Kesehatan,sebesar 6% dari upah sebulan bagi tenaga kerja yang sudah
berkeluarga,dan 3 % dari upah sebulan bagi tenaga kerja yang belum berkeluarga
(2) Iuran Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan Kematian dan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan
ditanggung sepenuhnya oleh pengusaha.
(3) Iuran Jaminan Hari Tua sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, sebesar 3,70 % ditanggung
oleh pengusaha dan sebesar 2% ditanggung oleh tenaga kerja.
(4) Dasar perhitungan iuran Jaminan Pemeliharaan Kesehatan dari upah sebulan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) huruf d,setinggi-tingginya Rp.1.000.000; (satu juta).

Bagian Kedua
Tata Cara Pembayaran Iuran

Pasal 10

(1) Penyetoran iuran yang dilakukan oleh pengusaha kepada Badan Penyelenggara,dilakukan setiap bulan
dan disetor secara lunas paling lambat tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya dari bulan iuran yang
bersangkutan.
(2) Iuran Jaminan Hari Tua yang ditanggung tenaga kerja diperhitungkan langsung dari upah bulanan
tenaga kerja yang bersangkutan dan penyetorannya kepada Badan Penyelenggara dilakukan oleh
pengusaha.
(3) Keterlambatan pembayaran iuran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),dikenakan denda
sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah ini dan ditanggung sepenuhnya oleh pengusaha.
(4) Pembayaran denda sebagaimana dimaksud dalam ayat (3),dilakukan sekaligus bersama-sama dengan
penyetoran iuran bulan berikutnya.
(5) Iuran program jaminan sosial tenaga kerja dan denda yang belum dibayar lunas merupakan piutang
Badan Penyelenggara terhadap pengusaha yang bersangkutan

Pasal 11

(1) Badan Penyelenggara menghitung kelebihan atau kekurangan iuran program jaminan sosial tenga
kerja sesuai dengan upah tenaga kerja.
(2) Dalam hal terjadi kelebihan atau kekurangan pembayaran iuran sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1), Badan Penyelenggara memberitahukan secara tertulis kepada pengusaha yang bersangkutan
selambat-lambatnya 7(tujuh) hari sejak diterimanya iuran.
(3) Kelebihan atau kekurangan pembayaran iuran sebagaimana dimaksud dalam ayat (2),dapat
diperhitungkan dengan pembayaran iuran bulan berikutnya.

BAB IV

BESAR DAN TATA CARA

PEMBAYARAN DAN PELAYANAN JAMINAN

Bagian Pertama

Jaminan Kecelakaan Kerja

Pasal 12

(1) Tenaga kerja yang tertimpa kecelakaan kerja berhak atas Jaminan Kecelakaan Kerja berupa
penggantian biayai yang meliputi :
a. Biaya pengangkutan tenaga kerja yang mengalami kecelakaan kerja ke Rumah Sakit dan atau
kerumahnya,termasuk biaya pertolongan pertama pada kecelakaan;
b. Biaya pemeriksaan,pengobatan, dan atau perawatan selama di Rumah Sakit,termasuk rawat
jalan;
c. Biaya rehabilitasi berupa alat bantu (orthese) dan atau alat ganti (prothese) bagi tenaga kerja
yang anggota badannya hilang atau tidak berfungsi akibat kecelakaan kerja.
(2) Selain penggantian biaya sebagaimana dimaksud dalam ayat(1),kepada tenaga kerja yang tertimpa
kecelakaan kerja diberikan juga santunan berupa uang yang meliputi:
a. Santunan sementara tidak mampu bekerja;
b. Santunan cacat sebagai untuk selama-lamanya;
c. Santunan cacat total untuk selama-lamanya baik fisik maupun mental,dan atau
d. Santunan kematian.
(3) Besarnya jaminan kecelakaan kerja adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran II Peraturan
Pemerintah ini.

Pasal 13

Untuk keperluan perhitungan pembayaran Santunan Jaminan Kecelakaan kerja bagi tenaga kerja
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) Undang-undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan
Sosial Tenaga Kerja:

a. Magang atau murid ataunarapidana dianggap menerima upah sebesar upah sebulan tenaga kerja yang
melakukan pekerjaan yang sama pada perusahaan yang bersangkutan;
b. Perorangan yang memborong pekerjaan dianggap menerima upah sebesar upah tertinggi dari tenaga
kerja pelaksana yang bekerja pada perusahaan yang memborongkan pekerjaan.

Pasal 14

Biaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) huruf a dan b dibayar terlebih dahulu oleh
pengusaha.

Pasal 15

(1) Badan Penyelenggaraan berdasarkan surat keterangan dari Dokter Pemeriksa dan atau Dokter
Penasehat menetapkan dimaksud dalam pasal 12,paling lama 1 (satu) bulan sejak diterimanya
pengajuan pembayaran jaminan.
(2) Biaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dibayarkan kepada pengusaha.
(3) Santunan sebagimana dimaksud dalam ayat (1) dibayarkan langsung kepada tenaga kerja.
(4) Dalam hal tenaga kerja meninggal dunia,pembayaran santunan kematian dibayarkan kepada yang
berhak sesuai urutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22.

Pasal 16

(1) Dalam rangka pembayaran santunan, penetapan akibat kecelakaan kerja dilakukan oleh Badan
Penyelenggara berdasarkan surat keterangan Dokter Pemeriksa atau Dokter Penasehat.
(2) Dalam hal terjadi perbedaan pendapat mengenai akibat kecelakaan kerja sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), penetapan akibat kecelakaan kerja dilakukan oleh Pegawai Pengawas
Ketenagakerjaan.
(3) Dalam hal penetapan oleh Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2) tidak dapat diterima oleh Badan Penyelenggara atau pengusaha atau tenaga kerja,maka
penetapan akibat kecelakaan kerja dilakukan oleh Menteri.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyelesaian perbedaan pendapat tentang penetapan
akibat kecelakaan kerja ditetapkan oleh Menteri.

Pasal 17

(1) Dalam hal terjadi perbedaan pendapat mengenai kecelakaan kerja atau bukan kecelakaan kerja,
Menteri dapat menetapkan dan mewajibkan pengusaha untuk memberikan Jaminan Kecelakaan Kerja
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelesaian perbedaan pendapat sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) ditetapkan oleh Menteri.

Pasal 18

(1) Pengusaha wajib memberikan pertolongan pertama pada kecelakaan bagi tenaga kerja yang
tertimpa kecelakaan.
(2) Pengusaha wajib melaporkan setiap kecelakaan kerja yang menimpa tenaga kerjanya kepada Kantor
Departemen Tenaga Kerja dan Badan Penyelenggara setempat atau terdekat sebagai laporan
kecelakaan kerja tahap I, dalam waktu tidak lebih dari 2x24 (dua kali duapuluh empat ) jam terhitung
sejak terjadinya kecelakaan.
(3) Pengusaha wajib melaporkan akibat kecelakaan kerja tahap II dalam waktu tidak lebih dari 2 x 24
(dua kali dua puluh empat) jam setelah ada surat keterangan Dokter Pemeriksa atau Dokter
Penasahat yang menyatakan bahwa tenaga kerja tersebut :

a. Sementara tidak mampu bekerja telah berakhir;

b. Cacat sebagian untuk selama-lamanya;

c. Cacat total untuk selama-lamanya baik fisik maupun mental;

d. Meninggal dunia.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan
ayat (3) ditetapkan oleh Menteri.
(5) Laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) sekaligus merupakan pengajuan pembayaran
Jaminan kecelakaan Kerja kepada Badan Penyelenggara dengan melampirkan :

a. foto copy kartu peserta;

b. surat keterangan Dokter Pemeriksa atau Dokter Penasehat yang menerangkan mengenai
tingkat kecacatan yang diderita tenaga kerja;

c. kuitansi biaya pengobatan dan pengangkutan;

d. dokumen pendukung lain yang diperlukan oleh Badan Penyelenggara.


Pasal 19

Pengusaha wajib melaporkan penyakit yang timbul karena hubungan kerja dalam waktu tidak lebih dari 2 x
24 jam setelah ada hasil diagnosis dari Dokter Pemeriksa.

Pasal 20

(1) Selama tenaga kerja yang tertimpa kecelakaan kerja masih belum mampu bekerja, pengusaha tetap
membayar upah tenaga kerja yang bersangkutan, sampai penetapan akibat kecelakaan kerja yang
dialami diterima semua pihak atau dilakukan oleh Menteri.
(2) Badan Penyelenggara mengganti santunan sementara tidak mampu bekerja kepada pengusaha
yang telah membayar upah tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
(3) Dalam hal santunan yang dibayarkan oleh Badan Penyelenggara lebih besar dari yang dibayarkan
oleh pengusaha maka selisihnya dibayarkan langsung kepada tenaga kerja.
(4) Dalam hal penggantian santunan yang dibayarkan oleh Badan Penyelenggara lebih kecil dari upah
yang telah dibayarkan oleh pengusaha, maka selisihnya tidak dimintakan pengembaliannya kepada
tenaga kerja.

Pasal 21

Dalam hal jumlah santunan kematian dari jaminan kecelakaan kerja lebih kecil dari Jaminan Kematian,
maka yang didapatkan keluarga dari tenaga kerja yang meninggal dunia akibat kecelakaan kerja adalah
Jaminan Kematian.

Bagian Kedua

Jaminan Kematian

Pasal 22

(1) Jaminan kematian dibayar sekaligus kepada Janda atau Duda, atau Anak, dan meliputi:

a. Santunan kematian sebesar Rp.1.000.000,-(satu juta rupiah);dan

b. Biaya pemakaman sebesar Rp.200.000,- (dua ratus ribu rupiah).

(2) Dalam hal Janda atau Duda atau Anak tidak ada,maka Jaminan Kematian dibayar sekaligus
kepada keturunan sedarah yang ada dari tenaga kerja, menurut garis lurus kebawah dan garis
lurus keatas dihitung sampai derajat kedua.

(3) Dalam hal tenaga kerja tidak mempunyai keturunan sedarah sebagaimana dimaksud dalam ayat(2),
maka Jaminan Kematian dibayarkan sekaligus kepada pihak yang ditunjuk oleh tenaga kerja dalam
wasiatnya.
(4) Dalam hal tidak ada wasiat, biaya pemakaman dibayarkan kepada pengusaha atau pihak lain guna
pengurusan pemakaman.

(5) Dalam hal magang atau murid, dan mereka yang memborong pekerjaan, serta narapidana
meninggal dunia bukan karena akibat kecelakaan kerja, maka keluarga yang ditinggalkan tidak berhak
atas Jaminan Kematian.

Pasal 23

(1) Pihak yang berhak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 mengajukan pembayaran Jaminan
kematian kepada Badan Penyelenggara dengan disertai bukti-bukti:

a. Kartu Peserta;

b. Surat keterangan kematian.

(2) Berdasarkan pengajuan pembayaran jaminan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Badan
Penyelenggra membayarkan santunan kematian dan biaya pemakaman kepada yang berhak.

Bagian Ketiga

Jaminan hari Tua

Pasal 24

(1) Besarnya Jaminan Hari Tua adalah keseluruhan iuran yang telah disetor, beserta hasil
pengembangannya.

(2) Jaminan Hari Tua dibayarkan kepada tenaga kerja yang telah mencapai usia 55 tahun atau cacat
total untuk selama-lamanya, dan dapat dilakukan:

a. Secara sekaligus apabila jumlah seluruh Jaminan Hari Tua yang harus dibayar kurang dari
Rp.3.000.000,- atau

b. Secara berkala apabila seluruh jumlah Jaminan Hari Tua mencapai Rp.3.000.000,- atau
lebih, dan dilakukan paling lama 5(lima) tahun.

(3) Pembayaran Jaminan Hari Tua secara berkala sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf b
dilakukan atas pilihan tenaga kerja yang bersangkutan.

Pasal 25

(1) Dalam hal tenaga kerja meninggalkan wilayah Indonesia untuk selama-lamanya, pembayaran
Jaminan Hari Tua dilakukan sekaligus.
(2) Tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), mengajukan pembayaran Jaminan Hari Tua
kepada Badan Penyelenggara.

Pasal 26

(1) Pembayaran Jaminan Hari Tua dilakukan sekaligus kepada Janda atau Duda dalam hal:

a. Tenaga kerja yang menerima pembayaran jaminan secara berkala meninggal dunia, sebesar
sisa Jaminan Hari Tua yang belum dibayarkan;

b. Tenaga kerja meninggal dunia.


(2) Dalam hal tidak ada Janda atau Duda maka pembayaran Jaminan Hari Tua sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dilakukan kepada Anak.
(3) Janda atau Duda atau Anak mengajukan pembayaran Jaminan hari Tua kepada badan
penyelenggara.

Pasal 27

(1) Tenaga kerja yang telah mencapai usia 55 tahun tetapi masih tetap bekerja, dapat memiluh untuk
menerima pembayaran jaminan hari tuanya pada saat berusia 55 tahun atau pada saat tenaga kerja
yang bersangkutan berhenti bekerja.

(2) Dalam hal tenaga kerja memilih untuk tidak menerima pembayaran Jaminan Hari Tua pada usia 55
tahun, maka pembayaran Jaminan Hari Tua dilakukan sejak tenaga kerja yang bersangkutan berhenti
bekerja.
(3) Tenaga Kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat(2), mengajukan pembayaran Jaminan
Hari Tua kepada Badan Penyelenggara.

Pasal 28

Tenaga kerja yang telah mencapai usia 55 tahun dan tidak bekerja lagi mengajukan pembayaran Jaminan
Hari Tua kepada Badan Penyelenggara.

Pasal 29

Tenaga kerja yang cacat total tetap untuk selama-lamanya sebelum mencapai usia 55 tahun berhak
mengajukan pembayaran Jaminan Hari Tua kepada Badan Penyelenggara.

Pasal 30

Badan Penyelenggara menetapkan besarnya Jaminan Hari Tua paling lambat 30 hari sebelum tenaga kerja
mencapai usia 55 tahun dan memberitahukan kepada tenaga kerja yang bersangkutan.
Pasal 31

Berdasarkan pengajuan pembayaran sebagimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2), Pasal 26 ayat (3),
Pasal 27 ayat (3), Pasal 28 dan Pasal 29 Badan Penyelenggara membayarkan secara sekaligus atau
berkala sesuai dengan ketentuan pasal 24.

Pasal 32

(1) Dalam hal tenaga kerja berhenti bekerja dari perusahaan sebelum mencapai usia 55 tahun dan
mempunyai masa kepesertaan serendah-rendahnya 5 tahun dapat menerima Jaminan Hari Tua secara
sekaligus.

(2) Pembayaran Jaminan Hari Tua sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibayarkan setelah
melewati masa tunggu 6 bulan terhitung sejak saat tenaga kerja yang bersangkutan berhenti bekerja.

(3) Dalam hal tenaga kerja dalam masa tunggu sebagaimana diamksud dalam ayat (2) bekerja
kembali, jumlah Jaminan Hari Tua yang menjadi haknya diperhitungkan dengan Jaminan Hari Tua
berikutnya.

Bagian Keempat

Jaminan Pemeliharaan Kesehatan

Pasal 33

(1) Jaminan Pemeliharaan Kesehatah diberikan kepada tenaga kerja atau suami atau istri yang sah
dan anak sebanyak-banyaknya 3 orang dari tenaga kerja.

(2) Tenaga kerja atau suami atau istri dan anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berhak atas
pemeliharaan kesehatan yang sekurang-kurangnya sama dengan Paket Jaminan Pemeliharaan
Kesehatan Dasar yang diselenggarakan oleh Badan
Penyelenggara.

Pasal 34

(1) Jaminan Pemeliharaan kesehatan diselenggarakan secara terstruktur, terpadu dan


berkesinambungan.

(2) Jaminan Pemeliharaan Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bersifat menyeluruh dan
meliputi pelayanan peningkatan kesehatan, pencegahan dan penyembuhan penyakit, serta pemulihan
kesehatan.
Pasal 35

(1) Badan penyelenggara menyelenggarakan Paket Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Dasar, yang
meliputi pelayanan:

a. rawat jalan tingkat pertama;

b. rawat jalan tingkat lanjutan;

c. rawat inap;

d. pemeriksaan kehamilan dan pertolongan persalinan;

e. penunjang diagnostik;

f. pelayanan khusus;

g. gawat darurat;

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pelayanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
ditetapkan oleh Menteri setelah berkonsultasi dengan Menteri yang bertanggung jawab di bidang
kesehatan.

Pasal 36

Dalam menyelenggarakan paket jaminan pemeliharaan kesehatan dasar, Badan Penyelenggara wajib:

a. memberikan kartu pemeliharaan kesehatan kepada setiap peserta; dan

b. memberikan keterangan yang perlu diketahui peserta mengenai paket pemeliharaan kesehatan yang
diselenggarakan.

Pasal 37

(1) Pelaksanaan pemberian pelayanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1), dilakukan
oleh Pelaksana Pelayanan Kesehatan berdasarkan perjanjian secara tertulis dengan Badan
Penyelenggara.

(2) Badan Penyelenggara melakukan pembayaran kepada Pelaksana Pelayanan Kesehatan secara
praupaya dengan sistim kapitasi.

(3) Pemberian pelayanan oleh Pelaksana Pelayaran Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1), dilakukan sesuai dengan kebutuhan medis yang nyata dan standar pelayanan medis yang berlaku
dengan tetap memperhatikan mutu pelayanan.

Pasal 38

(1) Tenaga kerja atau suami atau isteri atau anak dapat memilih Pelaksana Pelayanan Kesehatan yang
ditunjuk oleh Badan Penyelenggara.
(2) Dalam hal tertentu yang ditetapkan oleh Menteri,tenaga kerja atau suami atau isteri atau anak
dapat memperoleh pelayanan pemeliharaan kesehatan diluar Pelaksana Pelayanan kesehatan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

(3) Untuk memperoleh pelayanan pelayanan pemeliharaan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1), tenaga kerja atau suami atau isteri atau anak harus menunjukan kartu pemeliharaan
kesehatan.

Pasal 39

(1) Pelaksanaan Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama harus memberikan pelayanan sesuai standar
pelayanan rawat jalan tingkat pertama.

(2) Dalam hal diperlukan pemeriksaan tingkat lanjutan bagi tenaga kerja atau suami atau isteri atau
anak, Pelaksana pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama harus memberikan surat rujukan kepada
Pelaksana Pelayanan Kesehatan Tingkat Lanjutan yang ditunjuk.

Pasal 40

Pelaksana Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama atau Tingkat Lanjutan memberikan surat rujukan dalam
hal tenaga kerja atau suami atau anak memerlukan pelayanan penunjang diagnostik atau rawat inap.

Pasal 41

(1) Tenaga Kerja, suami atau isteri atau anak yang memerlukan pelayanan gawat darurat dapat langsung
memperoleh pelayanan dari Pelaksana Pelayanan Kesehatan atau Rumah Sakit yang terdekat
dengan menunjukan kartu pemeliharaan kesehatan.
(2) Dalam hal pelayanan gawat darurat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memerlukan rawat inap di
Rumah Sakit, dalam waktu paling lambat 7 hari terhitung sejak mulai dirawat keluarga atau pihak lain
menyerahkan surat pernyataan dari Perusahaan kepada Rumah Sakit yang bersangkutan bahwa
tenaga kerja yang bersangkutan masih bekerja.
(3) Tenaga kerja atau suami atau isteri atau anak yang memerlukan rawat inap sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) dan memilih Rumah Sakit yang tidak ditunjuk, maka biayanya hanya ditanggung oleh
Badan penyelenggara paling lama 7 hari sesuai dengan standar biaya yang telah ditetapkan.

Pasal 42

(1) Tenaga kerja atau isteri tenaga kerja yang memerlukan pelayanan pemerikasaan kehamilan dan atau
persalinan, memperoleh pelayanan pemeliharaan kesehatan dari Rumah Bersalin yang ditunjuk.
(2) Dalam hal menurut pemeriksaan akan terjadi persalinan dengan penyulit,maka tenaga kerja atau isteri
tenaga kerja dapat dirujuk ke Rumah Sakit.

Pasal 43

(1) Tenaga kerja atau suami atau isteri atau anak yang mendapat resep obat, harus mengambil obat
tersebut pada apotik yang ditunjuk dengan menunjukan kartu pemeliharaan kesehatan.
(2) Apotik yang ditunjuk harus memberikan obat yang diperlukan tenaga kerja atau suami atau isteri atau
anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sesuai dengan standar obat yang berlaku.
(3) Dalam hal obat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diluar standar yang berlaku maka selisih biaya
obat tersebut ditanggung sendiri oleh tenaga kerja bersangkutan.

Pasal 44

Pelayanan khusus sebagaimana dimaksud dalam pasal 35 ayat (1) huruf f hanya diberikan kepada tenaga
kerja, berupa:

a. kacamata, dengan mengajukan permintaan kepada Optik yang ditunjuk dan menunjukan resep
kacamata dari dokter spesialis mata yang ditunjuk serta kartu pemeliharaan kesehatan;

b. prothese mata, dengan mengajukan permintaan kepada Rumah Sakit atau perusahaan alat-alat
kesehatan yang ditunjuk dan menunjukan surat pengantar dari dokter spesialis mata serta kartu
pemeliharaan kesehatan;

c. prothese gigi, dengan mengajukan permintaan kepada Balai Pengobatan gigi yang telah ditunjuk dan
menunjukkan resep dari dokter spesialis gigi yang ditunjuk serta kartu pemeliharaan kesehatan;

d. alat bantu dengar, dengan mengajukan permintaan kepada Rumah Sakit atau perusahaan alat-alat
kesehatan yang ditunjuk dan menunjukan surat pengantar dari dokterspesialis THT yang ditunjuk serta
kartu pemeliharaan kesehtan;

e. prothese anggota gerak, dengan mengajukan permintaan kepada Rumah Sakit Rehabilitasi atau
perusahaan alat-alat kesehatan yang ditunjuk dan menunjukan surat pengantar dari dokter spesialis
yang ditunjuk serta kartu pemeliharaan kesehatan.

Pasal 45

Tenaga kerja atau suami atau isteri atau anak yang memerlukan pelayanan rawat inap melebihi ketentuan
yang ditetapkan oleh Menteri, maka selisih biayanya menjadi tanggung jawab tenaga kerja yang
bersangkutan.

Pasal 46

(1) Dalam menjaga mutu pelayanan, Badan Penyelenggara melakukan pemantauan pemberian
pelayanan kesehatan yang dilakukan oleh Pelaksana Pelayanan Kesehatan dengan mengutamakan
kepentingan peserta.

(2) Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan dapat melakukan pemantauan pemberian pelayanan


kesehatan yang dilakukan oleh Pelaksana Pelayanan kesehatan.

BAB V

SANKSI

Pasal 47
Tanpa mengurangi ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 Undang-undang nomor 3
Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja, maka:

a. Pengusaha yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimna dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3), Pasal 4,
Pasal 5 ayat (1), Pasal 6 ayat(2), Pasal 8 ayat (2), Pasal 18 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), dan Pasal
19 serta Pasal 20 ayat (1), dan telah diberikan peringatan tetapi tetap tidak melaksanakan
kewajibannya dikenakan sanksi administratif berupa pencabutan ijin usaha.
b. Pengusaha yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 10 ayat (3)
dikenakan denda sebesar 2% untuk setiap bulan keterlambatan yang dihitung dari iuran yang
seharusnya dibayar.
c. Badan Penyelenggara yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26
Undang-undang Nomor 3 tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja dikenakan ganti rugi
sebesar 1% dari jumlah jaminan sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah ini, untuk setiap
hari keterlambatan dan dibayarkan kepada tenaga kerja yang bersangkutan.

BAB VI

KETENTUAN LAIN-LAIN

Pasal 48

Tenaga kerja yang telah menjadi peserta Program Asuransi Tenaga Kerja berdasarkan Peraturan
Pemerintah Nomor 33 tahun 1977, tabungan hari tuanya, diperhitungkan dan dilanjutkan sebagai Jaminan
Hari Tua berdasarkan Peraturan Pemerintah ini.

Pasal 49

(1) Dalam hal tenaga kerja telah mencapai usia 55 tahun tetapi tetap bekerja sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 27 ayat (2), maka kepesertaannya dalam program jaminan sosial tenaga kerja tetap
dilanjutkan.
(2) Pengusaha tetap membayar segala kewajiban yang berhubungan dengan kepesertaan tenaga kerja
dalam program jaminan sosial tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

Pasal 50
(1) Tenaga kerja yang berdasarkan keterangan dokter yang ditunjuk dinyatakan menderita penyakit yang
timbul karena hubungan kerja, berhak memperoleh Jaminan Kecelakaan kerja meskipun hubungan
kerja telah berakhir.
(2) Hak atas Jaminan Kecelakaan Kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diberikan apabila
penyakit tersebut timbul dalam jangka waktu paling lama 3 tahun terhitung sejak hubungan kerja
berakhir.
Pasal 51

Hak peserta program jaminan sosial tenaga kerja sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah ini, tidak
dapat dipindah tangankan, digadaikan, atau disita sebagai pelaksanaan putusan Pengadilan.

BAB VII

KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 52

Sebelum ditetapkannya Peraturan Pemerintah yang melaksanakan ketentuan Pasal 25 ayat (2) Undang-
undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja sebagaimana dimaksud dalam
peraturan pemerintah ini diselenggrakan oleh Perusahaan Perseroan Asuransi Sosial Tenaga Kerja.

BAB VIII

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 53

Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah ini, peraturan pelaksanaan dari Peraturan Pemerintah Nomor 33
tahun 1977 tentang Asuransi Sosial Tenaga Kerja dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan
dengan atau belum diganti dengan yang baru berdasarkan Peraturan Pemerintah ini.

Pasal 54

Pada saat mulai berlakunya Peraturan Pemerintah ini, maka Peraturan Pemerintah Nomor 3 tahun 1951
tentang Pernyataan Berlakunya Peraturan Kecelakaan Tahun 1947 dan Peraturan Pemerintah Nomor 33
Tahun 1977 tentang Asuransi Sosial Tenaga Kerja dinyatakan tidak berlaku lagi.

Pasal 55

Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya,
memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta

pada tanggal 27 Pebruari 1993

PERSIDEN REPUBLIK INDONESIA


ttd

SOEHARTO

Diundangkan di Jakarta

pada tanggal 27 Pebruari 1993

MENTERI/SEKRETARIS NEGARA

REPUBLIK INDONESIA

ttd

MOERDIONO

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1993 NOMOR 20

PENJELASAN

ATAS

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 14 TAHUN 1933

TENTANG

PENYELENGGARAAN PROGRAM

JAMINAN SOSIAL TENAGA KERJA

I. UMUM

Pembangunan nasional yang terus berlangsung selama ini telah memperluas kesempatan kerja dan
memberikan penghasilan untuk memenuhi kebutuhan hidup bagi tenaga kerja dan keluarganya.Namun
kemampuan bekerja dan penghasilan tersebut dapat berkurang atau hilang karena berbagai resiko yang
dialami tenaga kerja, yaitu kecelakaan, cacat, sakit, hari tua, dan meninggal dunia. Oleh karenannya untuk
menanggulangi risiko-risiko tersebut, Undang-undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga
Kerja mengatur pemberian jaminan kecelakaan kerja, jaminan pemeliharaan kesehatan, jaminan hari tua
dan jaminan kematian.

Jaminan sosial tenaga kerja yang menanggulangi risiko-risiko kerja sekaligus akan menciptakan
ketenangan kerja yang pada gilirannya akan membantu meningkatkan produktivitas kerja. Ketenangan kerja
dapat tercipta karena jaminan sosial tenaga kerja mendukung kemandirian dan harga diri manusia dalam
menghadapi berbagai risiko sosial ekonomi tersebut. Selain itu, jaminan sosial tenga kerja yang
diselenggarakan dengan metode pendanaan akan memupuk dana yang akan menunjang pembiayaan
pembangunan nasional.

Agar kepersertaan dapat merata dan kemanfaatannya dinikmati secara luas, maka kepesertaan pengusaha
dan tenaga kerja dalam jaminan sosial tenaga kerja bersifat wajib. Namun karena luasnya kepesertaan
tersebut,maka pelaksanaannya dilakukan secara bertahap sesuai kemampuan teknis, administratif dan
operasional baik dari Badan Penyelenggara maupun pengusaha dan tenaga kerja sendiri.

Pembiayaan jaminan sosial tenaga kerja ditanggung oleh pengusaha dan tenaga kerja s esuai dengan
jumlah yang tidak memberatkan beban keungan kedua belah pihak.Pembiayaan Jaminan Kecelakaan Kerja
ditanggung sepenuhnya oleh pengusaha, karena kecelakaan dan penyakit yang timbul dalam hubungan
kerja merupakan tanggung jawab penuh dari pemberi kerja. Pembiayaan Jaminan Kematian dan Jaminan
Pemeliharaan Kesehatan juga menjadi tanggung jawab pengusaha yang harus bertanggung jawab atas
kesejahteraan tenaga kerja dan keluarganya. Sedangkan pembiayaan Jaminan Hari Tua ditanggung
bersama oleh pengusaha dan tenaga kerja karena merupakan penghargaan dari pengusaha kepada tenaga
kerjanya yang telah bertahun-tahun bekerja di perusahaan dan sekaligus merupakan tanggung jawab
tenaga kerja untuk hari tuanya sendiri.

Kemanfaatan jaminan sosial tenaga kerja pada hakekatnya bersifat dasar untuk menjaga harkat dan
martabat tenaga kerja. Dengan kemanfaatan dasar tersebut, pembiayaannya dapat ditekan seminimal
mungkin sehingga dapat dijangkau oleh setiap pengusaha dan tenaga kerjanya. Pengusaha dan tenaga
kerja yang memiliki kemampuan keuangan yang lebih besar dapat meningkatkan kemanfaatan dasar
tersebut melalui berbagai cara lainnya.

Agar kepesertaan wajib dari jaminan sosial tenaga kerja dipatuhi oleh segenap pengusaha dan tenaga
kerja, maka Undang-undang Nomor 3 tahun 1992 dan Peraturan Pemerintah ini memberikan sanksi yang
tujuannya untuk mendidik yang bersangkutan dalam memenuhi kewajibannya. Sanksi tersebut merupakan
upaya terakhir, setelah upaya-upaya lain dilakukan, dalam rangka menegakan ketentuan-ketentuan yang
berlaku.

Untuk menjamin pelaksanaan program jaminan sosial tenaga kerja sesuai maksud dan tujuannya, maka
penyelenggaraannya dilakukan oleh Badan Usaha Milik Negara yang berbentuk Perusahaan Perseroan
dengan mengutamakan pelayanan kepada peserta.

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1

Angka 1

Yang dimaksud dengan Badan Hukum adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN)
yang ditunjuk untuk menyelenggarakan program jaminan sosial tenaga kerja.

Angka 2

Cukup jelas.

Angka 3

Cukup jelas.
Angka 4

Cukup jelas.

Angka 5

Cukup jelas.

Pasal 2

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Pada dasarnya setiap tenaga kerja berhak mengikuti program jaminan sosial tenaga kerja kepada
Badan Penyelenggara. namun mengingat kemampuan masyarakat pada umumnya dan
perusahaan pada khususnya dalam membiayai program dan administrasi, maka perusahaan yang
wajib mengikuti program jaminan sosial tenaga kerja kepada Badan Penyelenggara adalah
perusahaan yang mempekerjakan 10 (sepuluh) orang atau lebih, atau membayar upah
paling sedikit Rp.1.000.000,-(satu juta rupiah). Namun demikian bagi perusahaan yang belum wajib
mengikuti program jaminan sosial tenaga kerja kepada Badan Penyelenggara, dapat mengikuti
program jaminan sosial tenga kerja kepada Badan Penyelenggara atas kemauan sendiri sukarela.

Ayat (4)

Mengingat sifat penyelenggaraan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan berdasarkan Peraturan


Pemerintah ini adalah pelayanan kesehatan paket dasar, maka bagi pengusaha yang telah
memberikan jaminan kesehatan yang lebih baik pada saat ini tidak diperlukan lagi mengikuti
program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan yang diselenggarakan oleh Badan Penyelenggara.
Dengan demikian pengusaha tidak boleh mengurangi Jaminan Pemeliharaan Kesehatan yang
telah diberikan kepada tenaga kerja.

Ayat (5)

Peserta Asuransi Sosial Tenaga Kerja berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun1977
tentang Asuransi Sosial Tenaga Kerja yang telah menjadi peserta Asuransi Sosial Tenaga Kerja
pada Badan Penyelenggara tetap menjadi peserta program jaminan sosial tenaga kerja
berdasarkan Peraturan Pemerintah ini.

Ayat (6)

Cukup jelas.

Pasal 3
Mengingat sifat kepesertaan tenaga kerja harian lepas,borongan dan kontrak mempunyai
karakteristik tersendiri, maka penyelenggaraan program jaminan sosial tenaga kerjanya perlu
diatur dalam Peraturan menteri yang memuat hal-hal antara lain:

1. Persyaratan Kepesertaan;

2. Jenis program;

3. Besarnya iuran;

4. Besarnya jaminan;

5. Tata cara pelaksanaan.

Pasal 4

Cukup jelas.

Pasal 5

Ayat (1)

Formulir dimaksud sekurang-kurangnya memuat keterangan mengenai:

1. Data perusahaan;

2. Daftar tenaga kerja dan keluarganya;

3. Daftar upah.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Pasal 6

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (3)
Cukup jelas.

Ayat (4)

Dengan pindahnya tenaga kerja dari perusahaan yang satu ke perusahaan yang lain, tidak
berarti kepesertaannya pada program jaminan sosial tenaga kerja terputus. Pemberitahuan pindah
tempat kerja kepada Badan penyelenggara dimaksudkan agar tidak terjadi penerbitan dua kartu
peserta atau lebih untuk satu tenaga kerja.

Ayat (5)

Cukup jelas.

Pasal 7

Cukup jelas.

Pasal 8

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Jangka waktu paling lambat 7 hari tersebut dimaksudkan untuk melindungi hak tenaga kerja
atas jaminan sosial atau tidak langsung akan mempengaruhi manfaat yang akan diperoleh tenaga
kerja.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Pasal 9

Ayat (1)

Huruf a

cukup jelas.

Huruf b

cukup jelas

Huruf c

cukup jelas

Huruf d
Pembedaan besar iuran Jaminan Pemeliharaan Kesehatan bagi tenaga kerja yang sudah
berkeluarga dan yang belum berkeluarga dimaksudkan agar ada keseimbangan antara kewajiban
pengusaha dan pelayanan yang diberikan kepada tenaga kerja itu sendiri.

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Cukup jelas

Ayat (4)

Cukup jelas.

Pasal 10

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Besarnya denda sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini adalah sesuai dengan BAB V.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Ayat (5)

Cukup jelas.

Pasal 11

Ayat (1)

Upah tenaga kerja yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah sesuai dengan daftar upah yang
disampaikan oleh pengusaha kepada Badan Penyelenggara.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.
Pasal 12

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Pasal 13

Ketentuan ini dimaksudkan untuk menghitung besarnya pembayaran santunan Jaminan


Kecelakaan Kerja, karena tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini
tidak menerima upah seperti tenaga kerja tetap.

Huruf a

Cukup jelas.

Huruf b.

Yang dimaksud dengan tenaga kerja pelaksana,adalah tenaga kerja non manager.

Pasal 14

Cukup jelas.

Pasal 15

Ayat (1)

Jangka waktu 1 bulan dihitung sejak dipenuhi syarat-syarat teknis dan administrasi.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Penunjukan Pasal 22 dalam ketentuan ini, dimaksudkan hanya dalam rangka penerapan urutan
pihak yang berhak menerima santunan kematiaan dalam hal tenaga kerja meninggal dunia akibat
kecelakaan kerja.

Pasal 16
Ayat (1)

Yang dimaksud dengan Dokter Pemeriksa adalah dokter perusahaan atau dokter yang
ditunjuk oleh perusahaan atau dokter pemerintah yang memeriksa dan merawat tenaga
kerja.Yang dimaksud Dokter Penasehat adalah dokter yang ditunjuk oleh Menteri
Kesehatan atas usul Menteri.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Pasal 17

Ayat (1)

Dalam rangka meningkatkan perlindungan tenaga kerja,apabila tenaga kerja mengalami


kecelakaan tetapi sulit dibuktikan apakah kecelakaan tersebut akibat kecelakaan kerja
atau bukan,maka Menteri dapat menetapkan bahwa Jaminan Kecelakaan kerja
ditanggung oleh pengusaha.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Pasal 18

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Cukup jelas

Ayat (5)

Cukup jelas.
Pasal 19

Yang dimaksud dengan penyakit yang timbul karena hubungan kerja adalah penyakit
yang disebabkan oleh pekerjaan atau lingkungan kerja.

Pasal 20

Ayat (1)

Ketentuan ini dimasudkan untuk tetap menjamin kelangsungan penghasilan tenaga kerja
yang bersangkutan.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Pasal 21

Cukup jelas.

Pasal 22

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Ayat (5)

Cukup jelas.

Pasal 23

Ayat (1)
Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Pasal 24

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Ketentuan ini menegaskan bahwa pembayaran Jaminan Hari Tua secara sekaligus atau
berkala,sepenuhnya merupakan pilihan tenaga kerja yang bersangkutan dan bukan
ditetapkan oleh Badan Penyelenggara.

Pasal 25

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Pasal 26

Ayat (1)

Huruf a

Cukup jelas.

Huruf b

Ketentuan ini mencakup tenag kerja yang meninggal dunia meskipun belum berusia 55
tahun ataupun telah berusia 55 tahun tetapi belum menerima Jaminan Hari Tua.

Pasal 27

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)
Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Pasal 28

Cukup jelas.

Pasal 29

Walaupun tenaga kerja yang bersangkutan belum mencapai usia 55 tahun, namun
mengingat tenaga kerja yang bersangkutan sudah cacat total tetap sehingga tidak
mungkin bekerja lagi,maka kepada tenaga kerja diberikan Jaminan Hari Tua.

Pasal 30

Ketentuan ini dimaksudkan agar Jaminan Hari Tua dapat dibayarkan kepada tenaga kerja tepat
pada waktunya. Selain itu, untuk memberikan kesempatan kepada tenaga kerja
untuk memilih cara pembayaran Jaminan Hari Tua baik secara berkala maupun
sekaligus.

Pasal 31

Cukup jelas.

Pasal 32

Ayat (1)

Berdasarkan ketentuan ini,maka tenaga kerja yang belum mencapai usia 55 tahun tetapi
sudah mempunyai masa kepesertaan sekurang-kurangnya 5 tahun, dan tidak bekerja
lagi, berhak menerima Jaminan Hari Tua secara sekaligus dengan memperhatikan
masa tunggu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) Pasal ini.Masa kepesertaan dalam
ketentuan ini,mencakup masa kepesertaan aktif dan non aktif. Tenaga kerja mempunyai
kepesertaan aktif, apabila selama masa kepesertaannya iuran tetap dibayarkan.
Sedangkan kepesertaan non aktif, apabila iuran tidak lagi dibayarkan.

Ayat (2)

Ketentuan pembayaran setelah melewati masa tunggu 6 bulan berarti Badan


Penyelenggara harus sudah membayar pada bulan ketujuh.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Pasal 33

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)
Cukup jelas.

Pasal 34

Ayat (1)

Pemeliharaan kesehatan secara terstruktur yaitu pelayanan yang mengikuti pola dan
prinsip tertentu baik mengenai jenis maupun proses pembiayaannya. Terpadu dan
berkesinambungan berarti pelayanan bagi tenaga kerja,suami atau isteri dan anak
dijamin kelanjutannya sampai menuju suatu keadaan sehat.

Ayat (2)

Peningkatan kesehatan (prpmotif) misalnya pemberian konsultasi;pencegahan penyakit


(preventif) misalnya imunisasi ; penyembuhan penyakit (kuratif) misalnya tindakan
medik ; dan pemulihan kesehatan (rehabilitatif) misalnya pelayanan rehabilitasi dalam
pelayanan yang diberikan secara terpadu oleh Pelaksana Pelayanan Kesehatan.

Pasal 35

Ayat (1)

Paket Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Dasar yaitu pelayanan kesehatan yang minimal
diberikan oleh Badan Penyelenggara kepada tenaga kerja,suami atau isteri dan anak.
Apabila dipandang perlu, Badan Penyelenggara dapat menyelenggarakan Paket
Pemeliharaan Kesehatan Tambahan untuk tenaga kerja,suami atau isteri dan anak yang
telah mengikuti Paket Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Dasar. Jenis pelayanan
kesehatan dalam Paket Pemeliharaan Tambahan diberikan sesuai dengan kesepakatan
antara Badan Penyelenggara dengan peserta.

Huruf a

Yang dimaksud rawat jalan tingkat pertama adalah semua jenis pemeliharaan kesehatan
perorangan yang dilakukan di Pelaksana Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama.

Huruf b

Yang dimaksud dengan rawat jalan tingkat lanjutan adalah semua jenis pemeliharaan
kesehatan perorangan yang merupakan rujukan (lanjutan) dari Pelaksana Pelayanan
Kesehatan Rawat Jalan Tingkat Pertama.

Huruf c

Yang dimaksud dengan rawat inap adalah pemeliharaan kesehatan Rumah Sakit di
mana penderita tinggal/mondok sedikitnya satu hari berdasarkan rujukan dari Pelaksana
Pelayanan Pelayanan Kesehatan lain. Pelaksana Pelayanan Kesehatan Rawat Inap :

1. Rumah sakit pemerintah pusat dan daerah ;


2. Rumah sakit swasta yang ditunjuk.

Huruf d

Yang dimaksud dengan pemeriksaan kehamilan dan pertolongan persalinan adalah


pertolongan persalinan normal, tidak normal dan/atau gugur kandungan.

Huruf e
Yang dimaksud dengan penunjang diagnostikadalah semua pemeriksaan dalam rangka
menegakkan diagnosa yang dipandang perlu oleh Pelaksana Pengobatan Lanjutan dan
dilaksanakan di bagian diagnostik,rumah sakit atau di fasilitas khusus itu, meliputi :

1. Pemeriksaan labotarium ;
2. Pemeriksaan radiologi ;
3. Pemeriksaan penunjang diagnosa lain.

Huruf f

Yang dimaksud dengan pelayanan termasuk perawatan khusus adalah pemeliharaan


kesehatan yang memerlukan perawatan khusus bagi penyakit tertentu serta pemberian
alat-alat organ tubuh agar dapat berfungsi seperti semula,yang meliputi :

1. Kacamata ;
2. Prothese gigi;
3. Alat bantu dengan
4. Prothese anggota gerak ;
5. Prothese mata.

Huruf g

Yang dimaksud dengan keadaan gawat darurat suatu keadaan yang memerlukan
pemeriksaan medis segera,yang apabila tida dilakukan akan menyebabkan hal yang fatal bagi
penderita.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Pasal 36

Cukup jelas.

Pasal 37

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Pasal 38

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)
Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Pasal 39

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Pasal 40

Cukup jelas.

Pasal 41

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan pihak lain,antara lain: teman sekerja,pihak perusahaan atau
orang lain yang mengurusnya.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Pasal 42

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Yang dimaksud persalinan dengan penyulit adalah persalinan yang memerlukan khusus
yang tidak mungkin dilakukan Rumah Sakit Bersalin,antara lain: operasi,persalinan
dengan bantuan alat vacum dan pendarahan.

Pasal 43

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)
Cukup jelas.

Ayat (3)

Selisih harga obat dibayarkan oleh tenaga kerja yang bersangkutan kepada apotik dan
tidak dapat dimintakan penggantian kepada Badan Penyelenggara.

Pasal 44

Huruf a

Cukup jelas.

Huruf b

Cukup jelas.

Huruf c

Cukup jelas.

Huruf d

Cukup jelas.

Huerf e

Cukup jelas.

Pasal 45

Dalam menjaga kelangsungan Badan Penyelenggara yang harus selalu memelihara


keseimbangan antara kewajiban Badan Penyelenggara dengan hak tenaga kerja, maka
perlu ada pembatasan dalam pelayanan rawat inap baik jangka waktu maupun kelas
Rumah Sakit.

Pasal 46

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup kelas.

Pasal 47

Huruf a

Cukup jelas.

Huruf b
Cukup jelas.

Huruf c

Cukup jelas.

Huruf d

Cukup jelas.

Pasal 48

Cukup jelas.

Pasal 49

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Ketentuan ini menegaskan bahwa karena ke[esertaan tenaga kerja dalam program
jaminan sosial tenaga kerja masih berlanjut, maka Pengusaha tetap membayar Iuran
Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan Kematian dan Jaminan Pemeliharaan
Kesehatan, serta Jaminan Hari Tua yang menjadi kewajibannya.

Pasal 50

Ayat (1)

Mengingat penyakit yang timbul karena hubungan kerja tidak selalu dapat diketahui pada
saat tenaga kerja masih terkait dalam hubungan kerja,melainkan dapat saja baru timbul
setelah hubungan kerja berakhir maka tenaga kerja yang bersangkutan tetap harus
dijamin untuk mendapatkan Jaminan Kecelakaan Kerja.

Ayat (2)

Cukup jelas

Pasal 51

Cukup jelas.

Pasal 52

Ketentuan ini dimaksudkan agar tidak terjadi kekosongan penyelenggaraan program


Jaminan Sosial Tenaga kerja. Yang dimaksud dengan Perusahaan Perseroan
Astek, adalah Badan Usaha Milik Negara yang didirikan berdasarkan Peraturan Pemerintah
Nomor 19 Tahun 1990.

Pasal 53

Cukup jelas.
Pasal 54

Cukup jelas.

Pasal 55

Cukup jelas.

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3520.

LAMPIRAN
PERATURAN PEMERINTAH
REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 14 TAHUN 1993


TANGGAL 27 PEBRUARI 1993

LAMPIRAN I

KELOMPOK JENIS USAHA


I 1. Penjahitan/konveksi
2. Pabrik Topi
3. Industri pakaian lainnya (payung,kulit ikat pinggang, gantungan
( celana/bretel)
4. Pembikinan layar dan krey dari tekstil
5. Pabrik keperluan rumah tangga (sprei,selimut,terpal,gorden,dan lain-lain
yang ditenun)
6. Perdagangan ekspor impor
7. Perdagangan besar lainnya (agen-agen perdagangan
besar,distribotor,makelar,dan lain-lain).
8. Toko-toko Koperasi Konsumsi,dan lain-lain

9. Bank dan Kantor-kantor Dagang

10. Perusahaan pertamggungan

11. Jasa Pemerintahan (organisasi tentara,polisi,Departemen-departemen)

12. Pengobatan dan kesehatan lainnya

13.Organisasi - organisasi keagamaan

14. Lembaga kesejahteraan

15.Persatuan perdagangan dan organisasi buruh

16. Balai penyelidikan yang berdiri sendiri


17. Jasa-jasa umum lainnya seperti musium,perpustakaan, kebon
binatang,perkumpulan sosial.
18. Pemangkas rambut dan salon kecantikan

19. Peternakan

20. Pabrik alkohol dan spiritus

21. Pabrik minuman dan alkohol

22. Pabrik alkohol

23. Pabrik bir

24. Pabrik air soda,sari buah dan limun

25. Pabrik pemintalan

26. Pemintalan tali sepatu,perban

27. Pertenunan

28. Permadani

29. Pabrik triko (kaus,kaus kaki,dan pabrik rajut)

30. Pabrik tali temali (kabel,pukat,rami,sabut dan lain-lain)

31. Industri tekstil lainnya


32. Pabrik keperluan kaki,terkecualisepatu karet,sandal plastik,dan lain-lain
termasuk pabrik barang-barang plastik
33. Reparasi barang-barang keperluan kaki

34. Pabrik kayu gabus

35. Penggergajian kayu

36. Pabrik peti dan gentong kayu

37. Pembikinan barang-barang kayu lainnya

38. Pembikinan meubel dari rotan dan bambu

39. Pabrik meubel dan kayu dan bahan-bahan lainnya

40. Pabrik kertas koran dan karton

41. Pabrik barang-barang dari kertas dan karton

42. Perusahaan percetakan, penerbitan

43. Penyamakan kulit dan pekerjaan lanjutan

44. Pabrik barang dari kulit seperti kopor,tas dan lainnya

45.Remiling karet
46. Pabrik barang-barang dari karet (ban kendaraan luar dan dalam,mainan
anak-anak,dan lain-lain)
47. Perusahaan vulkanisir

48. Asam garam

49. Pabrik gas/zat asam arang dsb

50. Industri kimia pokok lainya (celupkan warna bahan sintetis,dan lain-lain)

51. Terpentin dan damar


52. Industri minyak

53. Industri minyak kelapa sawit

54. Industri minyak dan gemuk dari tumbuh-tumbuhan

55. Minyak dan gemuk dari hewan

56. Pabrik sabun

57. Pabrik obat-obatan/farmasi

58. Pabrik wangi-wangian dan kecantikan/kosmetik

59. Pabrik barang-barang untuk mengkilap

60. Pabrik kimia lainnya(lilin gambar,obat nyamuk,DDT,dan lain-lain)

61. Cokes oven(distribusi gas)

62. Pabrik bahan bengunan dari tanah liat

63. Pabrik gelas dan barang-barang dari gelas

64.Pabrik barang-barang dari tanah liat dan poeselin

65. Pabrik semen

66. Pembakaran gamping

67. Pabrik tegel,ubin,pipa beton

68.Pabrik pengecoran besi dan pembuatan baja

69. Pabrik barang-barang dari logam (batangan besi,pipa,corong)

70. Pabrik timbangan

71. Pabrik klise dan huruf cetak

72. Pabrik galvanisir (parnikel)

73. Pabrik barang-barang logam lainnya

74. Pabrik dan reparasi mesin-mesin listrik

75. Pembikinan dan reparasi kapal dari kayu

76. Reparasi sepeda dan becak

77.Industri potret dan optik

78.Industri arloji dan lonceng

79. Perusahaan perak

80. Industri barang-barang dari logam mulia

81. Pabrik es

82. Industri-industri lain seperti

83. Perusahaan listrik/pembangkit,pemindahan dan distribusi tenaga listrik

84. Pabrik gas,gas bumi,dan distribusi untuk rumah tangga dan pabrik-pabrik

85. Industri uap untuk tenaga

86. Perusahaan air


87. Pembersihan(sampah dan kotoran)

88. Jasa pengangkutan seperti ekspedisi laut dan udara

89. Penyiaran radio

90. Rumah makan dan minuman

91. Hotel, penginapan dan ruang sewa

IV 1. Pabrik dari hasil minyak tanah


2. Pabrik barang-barang dari minyak tanah atau batu bara

3. Pabrik bata merah dan genteng

4. Pabrik dan reparasi dan mesin-mesin(bengkel motor,mobil dan mesin)

5. Pembikinan dan reparasi kapal dari baja

6. Pembikinan dan reparasi alat-alat perhubungan kereta api

7. Pabrik kendaraan bermotor dan bagian-bagiannya

8. Reparasi kendaraan bermotor

9. Pabrik dan reparasi kapal udara

10. Perusahaan kereta api

11. Perusahaan trem dan bus

12. Pengangkutan penumpang dijalan selain bus

13. Penimbunan barang/veem

V 1. Penebangan dan pemotongan kayu/panglong


2. Penangkapan ikan laut

3. Penangkapan ikan laut lainnya

4. Pengumpulan hasil laut,terkecuali ikan

5. Asam belerang

6. Pabrik pupuk

7. Pabrik kaleng
8. Perbaikan rumah,jalan-jalan,terus -terusan konstruksi berat,pipa
air,jembatan kereta api dan instalasi listrik
9. Pengangkutan barang-barang dan penumpang laut

10. Pengangkutan barang-barang penumpang di udara

11. Pabrik korek api

12. Pertambangan minyak mentah dan gas bumi

13. Penggalian batu

14. Penggalian tanah liat

15. Penggalian pasir


16. Penggalian gamping

17. Penggalian belerang

18. Tambang intan dan batu perhiasan

19. Pertambangan lainnya

20. Tambang emas dan perak

21. Penghasilan batu bara

22. Tambang besi mentah

23. Tambang timah

24. Tambang bauksit

25. Tambang mangan

26. Tambang logam lainnya

27. Lori perkebunan

28. Pabrik bahan peledak,bahan petasan,pabrik kembang api.

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

ttd

SOEHARTO

LAMPIRAN II

BESARNYA JAMINAN KECELAKAAN KERJA

A.Santunan.

1. Santunan Sementara Tidak Mampu Bekerja (STMB) 4 bulan pertama 100% X upah
sebulan,4 bulan kedua 75%X upah sebulan dan bulan seterusnya 50% X upah
sebulan.

2. Santunan Cacad :

a. Santunan cacad sebagian untuk selama-lamanya dibayarkan secara sekaligus


(Lumpsum) dengan besarnya % sesuai tabel X 60 bulan upah .

b. Santunan cacad total untuk selama-lamanya dibayarkan secara sekaligus (Lumpsum)


dan secara berkala dengan besarnya santunan adalah :

b.1. Santunan sekaligus sebesar 70% X 60 bulan upah

b.2. Santunan berkala sebesar Rp.25.000,- selama 24 bulan

c. Santunan cacad kekurangan fungsi dibayarkan secara sekaligus (Lumpsum) dengan


besarnya santunan adalah : % berkurangnya fungsi X % sesuai tabel X 60 bulan upah.
3. Santunan Kematian dibayarkan secara sekaligus (Lumpsum) dan secara berkala
dengan besarnya santunan adalah :

a. Santunan sekaligus sebesar 60 % X 60 bulan upah,sekurang-kurangnya sebesar


Jaminan Kematian.

b. Santunan berkala sebesar Rp.25.000,- bulan.

c. Biaya pemakaman sebesar Rp.200.000,-

B. Pengobatan dan perawatan sesuai dengan biaya yang dikeluarkan:

1. Dokter;

2. Obat;

3. Operasi;

4. Rotgen,Labotarium;

5. Perawatan Puskesmas Rumah Sakit Umum kelas I;

6. Gigi;

7. Mata;

8. Jasa tabib/sinhse/tradisional yang telah mendapatkan ijin resmi dari instansi yang
berwenang. Seluruhnya biaya yang dikeluarkan untuk satu peristiwa kecelakaan untuk
satu peristiwa kecelakaan tersebut pada B1 sampai dengan B 8 dibayarkan maksimum
Rp.3.000.000,-

C. Biaya rehabilitasi harga berupa penggantian pembelian alat bantu (orthose)dan atau alat
pengganti (prothese) diberikan satu kali untuk setiap kasus dengan patokan harga yang
ditetapkan oleh Pusat Rehabilitasi Profesor Dokter Suharso Surakarta dan ditambah
40% dari harga tersebut.

D. Penyakit yang timbul karena hubungan kerja Besarnya santunan dan biaya
pengobatan/perawatan sama dengan A dan B.

E. Ongkos pengangkutan tenaga kerja dari tempat kejadian kecelakaan kerja ke Rumah Sakit
diberikan penggantian biaya sebagai berikut :

1. Bilamana hanya menggunakan jasa angkutan darat/sungaib maksimum sebesar


Rp.1000.000,-

2. Bilamana hanya menggunakan jasa angkutan laut maksimum sebesar Rp.200.000,-

3. Bilamana hanya menggunakan jasa angkutan udara maksimum sebesar Rp.250.000,-

II. TABEL PERSENTASE SANTUNAN TUNJANGAN CACAD TETAP SEBAGIAN DAN CACAD-
CACAD LAINNYA.
MACAM CACAD TETAP SEBAGIAN % X UPAH

* Lengan kanan dari sendi bahu ke bawah 40


* Lengan kiri dari sendi bahu ke bawah 35
* Lengan kanan dari atau dari atas siku ke bawah 35
* Lengan kiri dari atau dari atas siku kebawah 30
* Tangan kanan dari atau dari atas pergelangan ke bawah 32
* Tangan kiri dari atau dari atas pergelangan ke bawah 28
* Kedua belah kaki dari pangkal paha ke bawah 70
* Sebelah kaki dari pangkal paha ke bawah 35
* Kedua belah kaki dari mata kaki ke bawah 50
* Sebelah kaki dari mata kaki ke bawah 25
* Kedua belah mata 70
* Sebelah mata atau diplopia pada penglihatan dekat 35
* Pendengaran pada kedua belah telinga 40
* Pendengaran pada sebelah telinga 20
* Ibu jari tangan kanan 15
* Ibu jari tangan kiri 12
* Telunjuk tangan kanan 9
* Telunjuk tangan kiri 7
* Salah satu jari lain tangan kanan 4
* Salah satu jari lain tangan kiri 3
* Ruas pertama telunjuk kanan 4,5
* Ruas pertama telunjuk kiri 3,5
* Ruas pertama jari lain tangan kanan 2
* Ruas pertama jari lain tangan kiri 1,5
* Salah satu ibu jari kaki 5
* Salah satu jari telunjuk; kaki 3
* Salah satu jari kaki lain 2

CACAD - CACAD LAINNYA % X UPAH

* Terkelupasnya kulit kepala 10 - 30


* Impotensi 30
* Kaki memendek sebelah : kurang dari 5 cm 10
5 - 7,5 cm 20
7,5 cm atau lebih 30
* Penurunan daya dengar kedua belah telinga setiap 10 desibel 6
* Penurunan daya dengar sebelah telinga setiap 10 desibel 3
* Kehilangan daun telinga sebelah 5
* Kehilangan kedua belah daun telinga 10
* Cacad hilangnya cuping hidung 30
* Perforasi sekat rongga hidung 15
* Kehilangan daya penciuman 10
* Hilangnya kemampuan kerja phisik
- 50 % - 70 % 40
- 25 %-50 % 20
- 10 %- 25 % 5
* Hilangnya kemampuan kerja mental tetap 70
* Kehilangan sebagian fungsi penglihatan 7
Setiap kehilangan efisiensi tajam penglihatan 10 %
Apabila efisiensi penglihatan kanan dan kiri berbeda,maka efisiensi
penglihatan binokuler dengan rumus kehilangan
efisiensi penglihatan : (3 x % ef.peng.terbaik) + % ef.peng.terburuk.

Setiap kehilangan efisiensi tajam penglihatan 10 %


7
Kehilangan penglihatan warna 10
Setiap kehilangan lapangan pandang 10 % 7

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

ttd

SOEHARTO
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR : 64 TAHUN 2005

TENTANG

PERUBAHAN KEEMPAT
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 14 TAHUN 1993
TENTANG PENYELENGGARAAN PROGRAM
JAMINAN SOSIAL TENAGA KERJA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

a. bahwa besarnya santunan kematian dan biaya pemakaman bagi pekerja/buruh


yang meninggal dunia sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan keluarga
pekerja/buruh yang ditinggalkan;
b. bahwa besarnya biaya pengobatan dan perawatan untuk satu peristiwa kecelakaan
bagi pekerja/buruh yang mengalami kecelakan kerja sudah tidak sesuai lagi;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan pada huruf a dan huruf b perlu mengubah
ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 14 tahun 1993 tentang Penyelenggaraan
Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2002 dengan Peraturan
Pemerintah;

Mengingat :

1. Pasal 5 ayat (2) Undang-undang Dasar Negara Republik Tahun 1945;


2. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 14, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3468);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Program
Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1993
Nomor 20, Tambahan lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3520)
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah
Nomor 28 Tahun 2002 ( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002
Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4023);

MEMUTUSKAN

Menetapkan :
PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS
PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 14 TAHUN 1993 TENTANG
PENYELENGGARAAN PROGRAM JAMINAN SOSIAL TENAGA KERJA

Pasal 1

Beberapa ketentuan dalam Peraturan Pemerintah nomor 14 Tahun 1993 tentang


Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja sebagaimana beberapa kali
diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2002, diubah sebagai
berikut :

1. Ketentuan Pasal 22 ayat (1) diubah dan menambah 1 (satu) huruf yakni huruf c,
sehingga Pasal 22 berbunyi sebagai berikut :

Pasal 22

(1) Jaminan kematian dibayar sekaligus kepada janda atau duda atau anak, yang
meliputi :
a. santunan kematian diberikan sebesar Rp. 6.000.000,- (enam juta rupiah)
b. santunan berkala sebesar Rp. 200.000,- (dua ratus ribu rupiah) diberikan
selama 24 (dua puluh empat) bulan;
c. biaya pemakaman sebesar Rp. 1.500.000,- (satu juta lima ratus ribu rupiah)
(2) Dalam hal janda atau duda atau anak tidak ada, maka jaminan kematian dibayar
sekaligus kepada keturunan sedarah yang ada dari tenaga kerja, menurut garis
lurus ke bawah dan garis lurus ke atas dihitung sampai derajat kedua
(3) Dalam hal tenaga kerja tidak mempunyai keturunan sedarah sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2), maka jaminan kematian dibayarkan sekaligus kepada
pihak yang ditunjuk oleh tenaga kerja dalam wasiatnya.
(4) Dalam hal tidak ada wasiat, biaya pemakaman dibayarkan kepada pengusaha
atau pihak lain guna pengurusan pemakaman.
(5) Dalam hal magang atau murid, dan mereka yang memborong pekerjaan, serta
narapidana meninggal dunia bukan karena akibat kecelakaan kerja, maka
keluarga yang ditinggalkan tidak berhak atas jaminan kematian.

2. Ketentuan pada Lampiran II Romawi I huruf A angka 2 butir b. b2, angka 3 butir b dan
c dan huruf B serta Romawi II diubah, sehingga Lampiran II berbunyi sebagai berikut :

LAMPIRAN II

I. BESARNYA JAMINAN KECELAKAAN KERJA


A. Santunan
1. Santunan Sementara Tidak Mampu Bekerja (STMB) 4 bulan pertama 100%
upah sebulan, 4 bulan kedua 75% x upah sebulan dan bulan seterusnya 50% x
upah sebulan.
2. Santunan cacat :
a. santunan cacat sebagian untuk selama-lamanya dibayarkan secara
sekaligus (lumpsum) dengan besarnya % sesuai tabel x 70 bulan upah;
b. santunan cacat total untuk selama- lamanya dibayarkan secara sekaligus
(lumpsum) dan secara berkala dengan besarnya santunan adalah :
b.1. santunan sekaligus sebesar 70% x 70 bulan upah;
b.2. santunan berkala sebesar Rp. 200.000,- (dua ratus ribu rupiah) selama
24 (dua puluh empat) bulan;
c. santunan cacat kekurangan fungsi dibayarkan secara sekaligus (lumpsum)
dengan besarnya santunan adalah :
% berkurangnya fungsi x % sesuai tabel x 70 bulan upah.
3. Santunan kematian dibayarkan secara sekaligus (lumpsum) dan secara berkala
dengan besarnya santunan adalah :
a. santunan sekaligus sebesar 60% x 70 bulan upah, sekurang-kurangnya
sebesar santunan kematian;
b. santunan berkala sebesar Rp. 200.000,- (dua ratus ribu rupiah) selama 24
(dua puluh empat) bulan;
c. biaya pemakaman sebesar Rp. 1.500.000,- (satu juta lima ratus ribu
rupiah)
B. Pengobatan dan perawatan sesuai dengan biaya yang dikeluarkan :
1. dokter;
2. obat;
3. operasi;
4. rontgen, laboratorium;
5. perawatan Puskesmas, Rumah Sakit Umum Kelas I;
6. gigi;
7. mata;
8. jasa tabib/sinshe/tradisional yang telah mendapatkan ijin resmi dari instansi
yang berwenang.

Seluruh biaya yang dikeluarkan untuk satu peristiwa kecelakaan tersebut pada
BI sampai dengan B8 dibayarkan maksimum Rp. 8.000.000,- (delapan juta
rupiah)
C. Biaya rehabilitasi harga berupa penggantian pembelian alat bantu (orthose) dan
atau alat pengganti (prothese) diberikan satu kali untuk setiap kasus dengan
patokan harga yang ditetapkan oleh Pusat Rehabilitasi Profesor Dokter Suharso
Surakarta dan ditambah 40% (empat puluh persen) dari harga tersebut.
D. Penyakit yang timbul karena hubungan kerja.
Besarnya santunan dan biaya pengobatan/perawatan sama dengan A dan B.
E. Ongkos pengangkutan tenaga kerja dari tempat kejadian kecelakaan kerja ke
rumah sakit diberikan penggantian biaya sebagai berikut :
1. Bilamana hanya menggunakan jasa angkutan darat/sungai maksimum sebesar
Rp. 150.000,- (seratus lima puluh ribu rupiah);
2. Bilamana hanya menggunakan jasa angkutan laut maksimal sebesar Rp.
300.000,- (tiga ratus ribu rupiah);
3. Bilamana hanya menggunakan jasa angkutan udara maksimal sebesar Rp.
400.000,- (empat ratus ribu rupiah);

II. TABEL PERSENTASE SANTUNAN TUNJANGAN CACAT TETAP


SEBAGIAN DAN CACAT-CACAT LAINNYA
MACAM CACAT TETAP SEBAGIAN % x UPAH
• Lengan kanan dari sendi bahu ke bawah 40
• Lengan kiri dari sendi bahu ke bawah 35
• Lengan kanan dari atau dari atas siku ke bawah 35
• Lengan kiri dari atau dari atas siku ke bawah 30
• Tangan kanan dari atau dari atas pergelangan ke 32
bawah
• Tangan kiri dari atau dari atas pergelangan ke 28
bawah
• Kedua belah kaki dari pangkal paha ke bawah 70
• Sebelah kaki dari pangkal paha ke bawah 35
• Kedua belah kaki dari mata kaki ke bawah 50
• Sebelah kaki dari mata kaki ke bawah 25
• Kedua belah mata 70
• Sebelah mata atau diplopia pada penglihatan 35
dekat
• Pendengaran pada kedua belah telinga 40
• Pendengaran pada sebelah telinga 20
• Ibu jari tangan kanan 15
• Ibu jari tangan kiri 12
• Telunjuk tangan kanan 9
• Telunjuk tangan kiri 7
• Salah satu jari lain tangan kanan 4
• Salah satu jari lain tangan kiri 3
• Ruas pertama telunjuk kanan 4,5
• Ruas pertama telunjuk kiri 3,5
• Ruas pertama jari lain tangan kanan 2
• Ruas pertama jari lain tangan kiri 1,5
• Salah satu ibu jari kaki 5
• Salah satu jari telunjuk kaki 3
• Salah satu jari kaki lain 2

CACAT-CACAT LAINNYA % x UPAH


• Terkelupasnya kulit kepala 10 - 30
• Impotensi 30
• Kaki memendek sebelah :
o kurang dari 5 cm 10
o 5 - 7,5 cm 20
o 7,5 cm atau lebih 30
• Penurunan daya dengar kedua belah telinga 6
setiap 10 desibel
• Penurunan daya dengar sebelah telinga setiap 10 3
desibel
• Kehilangan daun telinga sebelah 5
• Kehilangan kedua belah daun telinga 10
• Cacat hilangnya cuping hidung 30
• Perforasi sekat rongga hidung 15
• Kehilangan daya penciuman 10
• Hilangnya kemampuan kerja fisik
o 51% - 70% 40
o 25% - 50% 20
o 10% - 25% 5
• Hilangnya kemampuan kerja mental tetap 70
• Kehilangan sebagian fungsi penglihatan 10%, 7
Apabila efisiensi penglihatan kanan dan kiri
berbeda, maka efisiensi penglihatan binokuler
dengan rumus kehilangan efisiensi penglihatan :
(3 x % ef.peng.terbaik)+% ef.peng.terburuk
• Setiap kehilangan efisiensi tajam penglihatan 7
10%
• Kehilangan penglihatan warna 10
• Setiap kehilangan pandang 10% 7

Pasal II

Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah


ini dengan penempatannya dalam Lembaga Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal : 22 Desember 2005
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
ttd
Dr. H. SUSILO BAMBANG
YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal : 22 Desember 2005

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI


MANUSIA REPUBLIK INDONESIA
AD INTERIM
ttd
YUSRIL IHZA MAHENDRA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2005 NOMOR 147

PENJELASAN

ATAS

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 64 TAHUN 2005

TENTANG

PERUBAHAN KEEMPAT
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 14 TAHUN 1993
TENTANG PENYELENGGARAAN PROGRAM
JAMINAN SOSIAL TENAGA KERJA

I. UMUM

Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja merupakan program perlindungan dasar bagi
tenaga kerja dan keluarganya, oleh karena itu perlu selalu diupayakan peningkatan
jaminan sesuai perkembangan keadaan.

Tenaga kerja yang meninggal dunia atau mengalami cacat total atau cacat sebagian
mengakibatkan hilangnya atau berkurangnya penghasilan yang sangat berpengaruh pada
kehidupan sosial ekonomi bagi tenaga kerja dan keluarganya. Sehubungan dengan hal itu
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja memberikan
kepastian perlindungan melalui jaminan kematian dan cacat total atau cacat sebagian
sebagai upaya meringankan beban tenaga kerja dan atau keluarga dalam bentuk santunan
kematian, biaya pemakaman, santunan kematian karena kecelakaan kerja, santunan cacat
total dan cacat sebagian karena kecelakaan kerja.

Berdasarkan pertimbangan di atas dan ketersediaannya dana Badan Penyelenggara, maka


besarnya jumlah santunan kematian, biaya pemakaman, santunan kematian karena
kecelakaan kerja, santunan cacat total dan cacat sebagian karena hilangnya kemampuan
kerja fisik yang telah diatur berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1993
tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja sebagaimana telah
beberapa kali diubah, terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2002 perlu
diubah.
Sehubungan dengan hal tersebut, perlu untuk mengubah ketentuan Pasal 22 ayat (1) dan
Lampiran II Romawi I huruf A angka 2 butir b.b2, angka 3 butir b dan c dan huruf B
serta Romawi II Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan
Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2002, dengan Peraturan Pemerintah ini.

PASAL DEMI PASAL

Pasal I

Cukup jelas

Pasal II

Cukup jelas

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4528


KEPUTUSAN
DIREKTUR JENDERAL PEMBINAAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DAN
PENGAWASAN KETENAGAKERJAAN
NOMOR : KEP-338/BW/98

TENTANG

TATA CARA PENYELENGGARAAN


JAMINAN PEMELIHARAAN KESEHATAN
DENGAN MANFAAT LEBIH BAIK

DIREKTUR JENDERAL PEMBINAAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DAN


PENGAWASAN KETENAGAKERJAAN

Menimbang a. Bahwa untuk keseragaman pemberian persetujuan


penyelenggaraan program jaminan pemeliharaan kesehatan
dengan manfaat lebih baik, maka perlu diatur tindak lanjut tugas
Kepala Kantor Wilayah Departemen Tenaga Kerja, Kepala
Kantor Departemen Tenaga Kerja dan Pegawai Pengawas
Ketenagakerjaan, serta ditetapkan bentuk surat permohonan,
laporan hasil pemeriksaan dan persetujuan permohonan ;
b. Bahwa sebagai pelaksanaan pasal 16 Peraturan Menteri Tenaga
Kerja Nomor PER-01/MEN/1998 tentang Penyelenggaraan
: Pemeliharaan Kesehatan Bagi Tenaga Kerja Dengan Manfaat
lebih Baik Dari Paket Jaminan Pemeliharaan Kesehatan dasar
Jaminan Sosial Tenaga Kerja, perlu ditetapkan bentuk formulir
laporan secara triwulan yang disampaikan perusahaan kepada
Kepala Kantor Wilayah Departemen Tenaga Kerja kepada
Direktur Jenderal Pembinaan Ketanagakerjaan ;
c. Bahwa untuk itu perlu ditetapkan dengan Keputusan Direktur
Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Pengawasan
Ketenagakerjaan.

Mengingat : 1. Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1993 tentang


Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja
(Lembaran Negara RI Tahun 1993 Nomor 20, Tambahan
Lembaran Negara RI. Nomor 3520) ;
2. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 213/M Tahun
1997 tentang Pengangkatan Direktur Jenderal Pembinaan
Hubungan Industrial dan Pengawasan Ketenagakerjaan ;
3. Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor PER-01/MEN/1998
tentang Penyelenggaraan Pemeliharaan Kesehatan Bagi Tenaga
Kerja Dengan Manfaat Lebih Baik Dari Paket Jaminan
Pemeliharaan Kesehatan Dasar Jaminan Sosial Tenaga Kerja ;
4. Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor 147/MEN/1998
tentang Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan Kerja Bagi Program
Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Dasar Jaminan Sosial Tenaga
Kerja.

M E M UT U S K A N :

Menetapkan :
PERTAMA : Perusahaan yang menyelenggarakan program jaminan pemeliharaan
kesehatan bagi tenaga kerja dan keluarganya dengan manfaat lebih
baik harus mengajukan permohonan persetujuan kepada Kepala
Kantor Wilayah Departemen Tenaga Kerja setempat dengan
tembusan disampaikan kepada Kantor Departemen Tenaga Kerja
dan kepada P.T. Jamsostek (Persero) setempat dengan
menggunakan bentuk permohonan sebagaimana contoh Lampiran I
Keputusan ini.
KEDUA : Setelah menerima permohonan sebagaimana dimaksud dalam Amar
Pertama Kepala Wilayah Departemen Tenaga Kerja :

1. Menugaskan kepada Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan


Wilayah Departemen Tenaga Kerja dan atau
Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan Kantor Departemen
Tenaga Kerja setempat untuk melakukan pemeriksaan
disertai Surat Perintah Tugas.
2. Surat Perintah Tugas sebagaimana dimaksud pada angka 1
memuat ketentuan :
a. Pemeriksaan dilakukan selambat- lambatnya 2 (dua)
hari setelah menerima Surat Perintah Tugas.
b. Hasil pemeriksaan harus sudah dilaporkan sesuai
dengan ketentuan yang berlaku paling lama 4 (empat)
hari terhitung sejak melakukan pemeriksaan.

KETIGA : Laporan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Amar


Kedua angka 2 huruf b dengan menggunakan bentuk sebagaimana
tercantum dalam Lampiran II Keputusan ini.
KEEMPAT : Kepala Kantor Wilayah Departemen Tenaga Kerja paling lama 30
(tiga puluh) hari terhitung sejak menerima permohonan,
memberikan persetujuan atau penolakan permohonan dengan
menggunakan bentuk sebagimana tercantum dalam Lampiran III A
dan III B Keputusan ini.
KELIMA : Dalam hal Kepala Kantor Wilayah Departemen Tenaga Kerja
menolak permohonan maka segera mewajibkan perusahaan untuk
mengikuti Program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan yang
diselenggarakan oleh P.T. Jamsostek (Persero).
KEENAM : Perusahaan yang memperoleh persetujuan sebagaimana dimaksud
dalam Amar Keempat harus menyampaikan laporan triwulan
pelaksanaan penyelenggaraan program jaminan pemeliharaan
kesehatan dengan manfaat lebih baik kepada Kepala Kantor
Wialayah Departemen Tenaga Kerja setempat dengan tembusan
disampaikan kepada Kepala Kantor Departemen Tenaga Kerja
setempat dengan menggunakan bentuk sebagaimana tercantum
dalam Lampiran IV Keputusan ini.
KETUJUH : Kepala Kantor Wilayah Departemen Tenaga Kerja melaporkan
setiap triwulan pemberian persetujuan atau penolakan permohonan
kepada Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industeri dan
Pengawasan Ketenagakerjaan, dengan menggunakan bentuk
sebagaimana tercantum dalam Lampiran V Keputusan ini.
KEDELAPAN : Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di : J a k a r t a
Pada tanggal : 20 Nopember 1998

DIREKTUR JENDERAL PEMBINAAN


HUBUNGAN INDUSTRIAL DAN PENGAWASAN
KETENAGAKERJAAN,

MOHD. SYAUFII SYAMSUDDIN


NIP : 160008975
No. : B.337/DJPPK/IX/05 Jakarta, 29 September 2005
Lamp :
Perihal : Masa tunggu pengambilan Jaminan Hari Tua Dalam Program Jamsostek

Kepada Yth :
1. Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi/Kabupaten dan Kota
2. Kepala Ka ntor Wilayah/Kepala Kantor Cabang PT. Jamsostek (Persero)
Di-
Seluruh Indonesia

Sehubungan dengan banyaknya pertanyaan yang diajukan kepada kami tentang masa tunggu 6 (enam)
bulan pengambilan Jaminan Hri Tua, dimana ada beberapa pihak yang menghendaki agar masa tunggu
tersebut dihapuskan, dengan ini dapat kami jelaskan hal- hal sebagai berikut :

1. Program Jaminan Hari Tua pada hakekatnya ditujukan untuk memberikan kepastian jaminan bagi tenaga kerja
dan keluarganya mengenai keberlangsungan penerimaan penghasilan, sebagai pengganti penghasilan ya ng
hilang apabila tenaga kerja mencapai usia pensiun.

2. Dalam ketentuan pasal 15 Undang -Undang No. 3 Tahun 1992 jo. Pasal 32 PP No. 14 tahun 1993, diatur tentang
pengecualian pembayaran Jaminan Hari Tua yang dapat dilakukan sebelum tenaga kerja mencapai usia 55 (lima
puluh lima) tahun, apabila tenaga kerja tersebut mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), tetapi telah
mempunyai masa kepesertaan serendah-rendahnya 5 (lima) tahun dan telah melewati masa tunggu 6 bulan
terhitung sejak saat tenaga kerja yang bersangkutan berhenti kerja.
Maksud dari masa tunggu ini adalah untuk memberi kesempatan kepada PT. Jamsostek untuk mempersiapkan
administrasinya dan kepada tenaga kerja, dimana apabila dalam masa tunggu tersebut yang bersangkutan
bekerja kembali, maka jamina n hari tua tersebut diteruskan kepesertaannya pada perusahaan baru, sesuai
hakekat dari program Jaminan Hari Tua itu sendiri untuk memberikan perlindungan kepada tenaga kerja di masa
tuanya pada saat bersangkutan tidak mampu bekerja lagi karena faktor lanjut usia.

3. Oleh karena itu Surat Edaran Direksi PT. Jamsostek (Persero) No. 13/4061/0698 tanggal 12 Juni 1998 mengenai
penghapusan masa tunggu 6 (enam) bulan adalah bertentangan dengan ketentuan pasal 32 Peraturan
Pemerintah No. 14 tahun 1993, sehingga Surat Edaran tersebut batal demi hukum dan dianggap tidak pernah
ada.

Untuk itu diminta agar Saudara tetap berpedoman pada ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang no. 3
tahun 1992 dan Peraturan Pemerintah No. 14 tahun 1993.

Demikian untuk menjadi perhatian dan atas kerjasamanya disampaikan terimakasih.

Direktur Jenderal
Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan

Ttd.

MSM. Simanihuruk, S.H.,M.M.


Nip : 130 353 033

Tembusan kepada Yth :


1. Menteri Tenaga Kerja dan Transigrasi.
2. Direktur Utama PT. Jamsostek (Pe rsero)
SISTEM DAN PROSEDUR Formulir
LAMPIRAN SURAT KEPUTUSAN DIREKSI NOMOR: KEP/289/112004 PELAYANAN TERPADU PROGRAM JAMSOSTEK
JAMSOSTEK
LAPORAN KECELAKAAN TAHAP I AKUNTANSI DAN KEUANGAN
MODUL: 3

Diisi oleh Petugas Kantor Departemen Tenaga Kerja

Nomor KLUI
Wajib dilaporkan dalam 2 x 24 jam BENTUK
Nomor Kecelakaan
setelah terjadi kecelakaan K.K.3 Diterima tanggal
Nomor Agenda JAMSOSTEK *)

1. Nama Perusahaaan NPP :

Alamat dan Nomor Telepon


Kode Pos : No. Telepon :

Jenis Usaha

Nomor Pendaftaran (Bentuk K.K.1)

Nomor Akte Pengawasan

No. KPJ :
2. Nama Tenaga Kerja

Alamat dan Nomor Telepon Kode Pos : No. Telepon :

Laki-laiki
Tempat dan tanggal lahir Jenis Kelamin : Perempuan

Jenis Pekerjaan/jabatan

Unit/Bagian Perusahaan

3. Upah Tenaga Kerja Sehari Sebulan Borongan

a. Upah berupa uang (pokok dan tunjangan) Rp.

b. Penerimaan lain-lain Rp.

c. jumlah (a +b) Rp.

4. a. Tempat kecelakaan

Jam :
b. Tanggal kecelakaan

*) F **)
5. a. Uraian kejadian kecelakaan :
1) Bagaimana terjadinya kecelakaan G **)

2) Sebutkan bagian mesin, instalasi, bahan atau lingkungan *)


H **)
yang menyebabkan cidera atau meninggal
dunia.
b. Penyakit yang timbul karena hubungan kerja : *)
E **)
1) Sebutkan jenis penyakit yang timbul karena hubungan
kerja : - jabatan/pekerjaan yang bersangkutan
- berapa lama kerja
2) Sebutkan bahan, proses, lingkungan atau cara *)
bekerja yang menyebabkan penyakit yang timbul
karena hubungan kerja.

6. a. Akibat yang diderita korban. Meninggal Dunia Sakit Luka-luka

b. Jelaskan bagian tubuh yang sakit/luka C **)

7. Nama dan alamat Dokter/Tenaga Medik yang memberikan


pertolongan pertama (dalam hal penyakit yang timbul
karena hubngan kerja, nama dokter yang pertama kali
mendiagnosa).

8. Keadaan penderita setelah pemeriksaan pertama :

a. Berobat jalan Sambil bekerja Tidak bekerja

Rumah Sakit Puskesmas Poliklinik


b. Dirawat di Alamat

9. Kecelakaan dicatat dalam Buku Kecelakaan pada No. Urut

10. Perkiraan kerugian : a. Waktu (dalam Hari-Orang)

Rp. Jam kerja :


b. Material

11. Keterangan lain-lain yang perlu

*) Jika perlu dapat ditambah dalam kertas/lembaran lain


**) Diisi oleh PT JAMSOSTEK Dalam waktu 2 x 24 jam setelah tenaga kerja
Dibuat dengan sesungguhnya, meninggal dunia, atau sembuh baik cacad
atau tidak (setelah menjalani perawatan).
Perusahaan wajib memasukkan Laporan
Kecelakaan Kerja Bentuk K.K.3

Nama dan tanda tangan pimpinan perusahaan Jabatan, Tanggal

[ 214 ] J A M S O S T E K
SISTEM DAN PROSEDUR Formulir
LAMPIRAN SURAT KEPUTUSAN DIREKSI NOMOR: KEP/289/112004 PELAYANAN TERPADU PROGRAM JAMSOSTEK
JAMSOSTEK
SURAT KETERANGAN DOKTER
MODUL: AKUNTANSI DAN KEUANGAN 3c

Dengan ini saya, dokter

Nama :

Jabatan :
BENTUK (khusus untuk penyakit yang timbul
K.K.5 karena hubungan kerja)
menerangkan dengan sesungguhnya :

No. KPJ :
1. Nama Tenaga Kerja

Alamat dan Nomor Telepon


Kode Pos : No. Telepon :

Laki-laiki
Tempat dan tanggal lahir Jenis Kelamin : Perempuan

Jenis Pekerjaan/jabatan

Unit/Bagian Perusahaan

NPP :
2. Nama Perusahaan

Alamat dan Nomor Telepon


Kode Pos : No. Telepon :

Jenis Usaha

Nomor Pendaftaran (Bentuk K.K.1)

Nomor Akte Pengawasan

3. Tanggal diagnosis penyakit akibat kerja

4. a. Resume

Berpedoman kepada Kepmen No. 333.MEN/1989


dan Kepmen No. 62A/MEN/1992

b. Diagnosis

6. Setelah hasil pengobatan :

Sembuh tanpa cacad

Penilaian cacad penyakit akibat kerja

Berpedoman kepada Kepmen No. 333/MEN/1989


dan Kepmen No. 62A/MEN/1992

Memerlukan prothese/orthese

7. Setelah sembuh ia dapat melakukan pekerjaan Biasa Ringan Tidak dapat bekerja sama sekali

Terhitung tanggal

8. Lamanya perawatan/pengobatan dari tanggal s/d tanggal

9. Diberikan Istirahat dari tanggal s/d tanggal

10. Tanggal meninggal dunia

11. Keterangan lain-lain yang perlu

Dibuat oleh dokter Rumah Sakit Puskesmas Poliklinik Dokter Swasta

Alamat

Dibuat dengan sesungguhnya,

Nama dan tanda tangan dokter pemeriksa Jabatan, Tanggal

J A M S O S T E K [ 217 ]
SISTEM DAN PROSEDUR Formulir
LAMPIRAN SURAT KEPUTUSAN DIREKSI NOMOR: KEP/289/112004 PELAYANAN TERPADU PROGRAM JAMSOSTEK
JAMSOSTEK
SURAT KETERANGAN DOKTER
MODUL: AKUNTANSI DAN KEUANGAN 3b

Dengan ini saya, dokter

Nama :

Jabatan :
BENTUK (khusus untuk akibat kecelakaan kerja)
K.K.4
menerangkan dengan sesungguhnya :

1. Nama Tenaga Kerja No. KPJ :

Alamat dan Nomor Telepon


Kode Pos : No. Telepon :

Laki-laiki
Tempat dan tanggal lahir Jenis Kelamin : Perempuan

Jenis Pekerjaan/jabatan

Unit/Bagian Perusahaan

NPP :
2. Nama Perusahaan

Alamat dan Nomor Telepon


Kode Pos : No. Telepon :

Jenis Usaha

Nomor Pendaftaran (Bentuk K.K.1)

Nomor Akte Pengawasan

3. Kecelakaan pada tanggal

4. Pemeriksaan pada tanggal

5. Dari hasil pemeriksaan didapatkan :


a. Keadaan, tempat dan ukuran luka-lukanya

b. Diagnosis

c. Perlu Dirawat berobat jalan sambil bekerja


berobat jalan tidak bekerja

6. Tindakan medis yang dilakukan

7. Setelah hasil pengobatan

Sembuh tanpa cacad

Cacad anatomis akibat kehilangan anggota badan.


Jelaskan. (Tunjukkan juga pada gambar)

Apabila terdapat cacad tetapi tidak mengakibatkan


kehilangan anggota badan, berapa persen berku-
rangnya fungsi anggota badan yang cacad tersebut.

........... % terbilang (...................................................)

8. Setelah sembuh ia dapat melakukan pekerjaan Biasa Ringan Tidak dapat bekerja sama sekali

Terhitung tanggal

9. Lamanya perawatan/pengobatan dari tanggal s/d tanggal

10. Diberikan Istirahat dari tanggal s/d tanggal

11. Tanggal meninggal dunia

Dibuat oleh dokter Rumah Sakit Puskesmas Poliklinik Dokter Swasta

Alamat

Dibuat dengan sesungguhnya,

Nama dan tanda tangan dokter pemeriksa Jabatan, Tanggal

[ 216 ] J A M S O S T E K
KEPUTUSAN

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI


REPUBLIK INDONESIA

NOMOR : KEP-67/MEN/IV/2004

TENTANG

PELAKSANAAN PROGRAM JAMINAN SOSIAL TENAGA KERJA


BAGI TENAGA KERJA ASING

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI


REPUBLIK INDONESIA

Menimbang :

a. bahwa berdasarkan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan sosial


Tenaga Kerja pelaksanaan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja diberlakukan
kepada setiap tenaga kerja yang bekerja di Indonesia:
b. bahwa perlu ditetapkan kewajiban bagi pengusaha untuk mengukutsertakan
tenaga kerja asing yang dipekerjakannya dalam Program Jaminan Sosial Tenaga
Kerja dengan Keputusan Menteri;

Mengingat :

1. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1951 tentang Pernyataan Berlakunya Undang-


undang Pengawasan Perburuhan Tahun 1948 Nomor 23 dari Republik Indonesia
untuk seluruh Indonesia (Lembaran negara Republik Indonesia Tahun 1951
Nomor 4 );
2. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial tenaga Kerja
(Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1992 Nomor 14, Tambaha n
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3468) ;
3. Undang-undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran
negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4279);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1993 tentang Penyelenggraan Program
Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1993
Nomor 20, Tambahan Lembaran negara Republik Indonesia Nomor 3520);
5. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 228/ M Tahun 2001 tentang
Pembentukan Kabinet Gotong Royong ;
6. Peraturan Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia Nomor PER-05/MEN/1993
tentang Petunjuk Teknis Pendaftaran Kepesertaan, Pembayaran Santunan dan
Pelayanan Jaminan Sosial Tenaga Kerja;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK


INDONESIA TENTANG PELAKSANAAN PROGRAM JAMINAN SOSIAL
TENAGA KERJA BAGI KERJA ASING.

Pasal 1

Dalam Keputusan Menteri ini yang dimaksud :

1. Jaminan Sosial Tenaga Kerja adalah suatu perlindungan bagi tenaga kerja dalam
bentuk santunan berupa uang sebagai pengganti sebagian dari penghasilan yang
hilang atau berkurang dan pelayanan sebagai akibat peristiwa atau keadaan yang
dialami oleh tenaga kerja berupa kecelakaan kerja,sakit,hamil,bersalin,hari tua
dan meninggal dunia.
2. Pengusaha adalah :
a. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan
suatu perusahaan milik sendiri;
b. orang perseorangan, atau badan hukum yang secara berdiri sendiri
menjalankan perusahaan bukan miliknya;
c. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di
Indonesia mewakili perusahaan sebagimana dimaksud dalam huruf a dan b
yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia.

Pasal 2

Pengusaha yang mempekerjakan tenaga kerja asing di Indonesia wajib mengikutsertakan


tenaga kerja asing yang bersangkutan dalam Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja.

Pasal 3
Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja sebagimana dimaksud dalam Pasal 2 meliputi
jaminan kecelakaan kerja, jaminan kematian, jaminan hari tua dan jaminan pemeliharaan
kesehatan.

Pasal 4

Persyaratan dan tata cara penyelenggaraan program jaminan sosial tenaga kerja
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dilaksanakan sesuai peraturan perundang-undangan
yang berlaku.

Pasal 5

Segala ketentuan bertentangan dengan Keputusan Menteri ini dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 6

Keputusan Menteri ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta

pada tanggal 26 April 2004

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI


REPUBLIK INDONESIA

ttd

JACOB NUWAWEA
PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA

NOMOR : PER-24/MEN/VI/2006

TENTANG

PEDOMAN PENYELENGGARAAN
PROGRAM JAMINAN SOSIAL TENAGA KERJA
BAGI TENAGA KERJA YANG MELAKUKAN PEKERJAAN
DI LUAR HUBUNGAN KERJA

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA

Menimbang : a. bahwa tenaga kerja yang melakukan pekerjaan di luar hubungan kerja
kemungkinan mengalami kecelakaan kerja, sakit, hamil. bersalin, hari
tua dan meninggal dunia sehingga perlu mendapatkan perlindungan
melalui program Jaminan Sosial Tenaga Kerja.
b. bahwa mengingat tenaga kerja yang melakukan pekerjaan di luar
hubungan kerja mempunyai kekhususan tertentu maka program
perlindungan jaminan sosial tenaga kerja tersebut perlu diatrur
sendiri.
c. bahwa berdasarkan pertimbanganb pada huruf a dan huruf b perlu
ditetapkan Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja di
Luar Hubungan Kerja dengan Peraturan Menteri.

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga


Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 14
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3468);
2. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1993 tentang Badan
Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1993 Nomor 20, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3520);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1995 tentang Penetapan Badan
Penyelenggara Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 59);
5. Peraturan Pemerintah Nomor 64 Tahun 2005 tentang Perubahan
Keempat atas Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1993 tentang
Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 147, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4582);
6. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor PER-
05/MEN/1993 tentang Petunjuk Teknis Pendaftran Kepesertaan,
Pembayaran Iuran, Pembayaran Santunan, dan Pelayanan Jaminan
Sosial Tenaga Kerja;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

KESATU : Menetapkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi tentang


Pedoman Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja bagi
Tenaga Kerja yang Melakukan Pekerjaan di Luar Hubungan Kerja
sebagaimana tercantum dalam Lampiran Peraturan Menteri ini.

KEDUA : Pedoman sebagaimana dimaksud pada Diktum KESATU sebagai dasar


penyelenggaraan program jaminan sosial bagi tenaga kerja yang
melakukan pekerjaan di luar hubungan kerja.

KETIGA : Peraturan Menteri ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 1 Juni 2006.
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI

REPUBLIK INDONESIA

ttd

ERMAN SUPARNO

Salinan sesuai dengan aslinya.


Kepala biro Hukum
Andi Syahrul Pangerang, SH
NIP. 160043638

LAMPIRAN

PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI


REPUBLIK INDONESIA

NOMOR : PER-24/MEN/VI/2006

TENTANG

PEDOMAN PENYELENGGARAAN
PROGRAM JAMINAN SOSIAL TENAGA KERJA
BAGI TENAGA KERJA YANG MELAKUKAN PEKERJAAN
DI LUAR HUBUNGAN KERJA

BAB I
PENDAHULUAN

A . Latar Belakang.

Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Pasal 28 H menekankan bahwa setiap pekerja berhak
atas atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai
manusia yang bermartabat. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan
Sosial Tenaga kerja menekankan bahwa "Tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu
melakukan pekerjaan baik di dalam maupun di luar hubungan kerja, guna menghasilkan
jasa atau barang untuk memenuhi kebutuhan masyarakat". Namun hingga saat ini
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial tersebut baru berlaku
efektif bagi tenaga kerja yang bekerja di dalam hubungan kerja.

Pada dasarnya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 memerintahkan agar program


jaminan sosial bagi bagi tenaga kerja yang melakukan pekerjaan di luar hubungan kerja
diatur tersendiri dengan Peraturan Pemerintah. Tenaga kerja yang melakukan pekerjaan
di luar hubungan kerja adalah tenaga kerja yang melakukan kegiatan ekonomi tanpa
dibantu orang lain (berusaha sendiri tanpa buruh/pekerja). Berdasarkan hasil Survey
Angkatan Kerja Nasional (SAKERNAS) yang dilakukan oleh BPS pada bulan Februari
tahun 2005, jumlah orang yang berusaha sendiri tanpa dibantu orang lain (pekerja yang
melakukan pekerjaan di luar hubungan kerja) berkisar 17.480.227. orang.

Orang yang berusaha sendiri atau tenaga kerja yang melakukan pekerjaan di luar
hubungan kerja pada umumnya melakukan usaha-usaha pada ekonomi informal. Usaha
ekonomi informal selama ini dianggap telah berjasa sebagai katub pengaman, karena
mampu menyerap tenaga kerja yang tidak terserap oleh usaha-usaha ekonomi formal. Hal
ini disebabkan usaha- usaha ekonomi formal tersebut mudah dimasuki oleh tena ga kerja
karena pada umumnya tidak mensyaratkan tingkat pendidikan dan keterampilan tertentu.
Pada umumnya tenaga kerja pada usaha-usaha ekonomi informal tersebut belum
terjangkau oleh upaya- upaya pembinaan dan perlindungan tenaga kerja yang
berkesinambungan. Jaminan Sosial Tenaga Kerja sangat diperlukan oleh tenaga kerja
yang melakukan pekerjaan di luar hubungan kerja yang pada umumnya berusaha pada
usaha- usaha ekonomi informal dengan ciri-ciri antara lain :
- berskala mikro dengan modal kecil;
- menggunakan teknologi sederhana/rendah;
- menghasilkan barang dan/atau jasa dengan kualitas relatif rendah;
- tempat usaha tidak tetap;
- mobilitas tenaga kerja sangat tinggi;
- kelangsungan usaha tidak terjamin;
- jam kerja tidak teratur;
- tingkat produktivitas dan penghasilan relatif rendah dan tidak tetap;

Selain tenaga kerja dengan ciri-ciri sebagaimana tersebut di atas juga termasuk tenaga
kerja di luar hubungan kerja yang profesional seperti dokter, pengacara artis, seniman dan
sebagainya perlu mendapatkan perlindungan jaminan sosial.

Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi bersama dengan PT. Jamsotek (Persero)
telah melakukan pengkajian tentang kebutuhan akan jaminan sosial bagi para tenaga
kerja yang melakukan pekerjaan di luar hubungan kerja di beberapa Propinsi. Hasil
kajian tersebut menunjukkan bahwa pada dasarnya para tenaga kerja yang melakukan
pekerjaan di luar hubungan kerja mempunyai minat yang besar untuk menjadi peserta
program Jaminan Sosial Tenaga Kerja, dalam rangka mengatasi resiko kecelakaan kerja,
sakit, hamil, bersalin, hari tua, dan meninggal dunia. Namun kemampuan untuk
membayar iuran terbatas karena penghasilan yang tidak teratur dan ada yang
penghasilannya tergantung pada musim. Oleh sebab itu tenaga kerja yang melakukan
pekerjaan di luar hubungan kerja tidak mungkin diwajibkan untuk mengikuti seluruh
program Jaminan Sosial Tenaga Kerja sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor
3 Tahun 1992.

Sehubungan dengan keterbatasan kemampuan tenaga kerja yang melakukan pekerjaan di


luar hubungan kerja dalam membayar iuaran, maka program Jaminan Sosial Tenaga
Kerja bagi para tenaga kerja yang melakukan pekerjaan di luar hubungan kerja
dilaksanakan secara bertahap sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan membayar iuaran
dari tenaga kerja yang bersangkutan.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga


Kerja, pengertian jaminan sosial tenaga kerja adalah suatu perlindungan bagi tenaga kerja
dalam bentuk santunan berupa uang sebagai pengganti sebagian dari penghasilan yang
hilang atau berkurang, dan pelayanan sebagai akibat peristiwa atau keadaan yang dialami
oleh tenaga kerja berupa kecelakaan kerja, sakit, hamil, bersalin, hari tua dan meninggal
dunia.
Saat ini sedang dilakukan pembahasan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang
Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja bagi Tenaga Kerja yang Melakukan Pekerjaan di
Luar Hubungan Kerja sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja sambil menunggu
ditetapkannya Peraturan Pemerintah tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja di luar
hubungan kerja perlu disusun Pedoman Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial
Tenaga Kerja bagi Tenaga Kerja yang Melakukan Pekerjaan di Luar Hubungan Kerja.

B. .Tujuan.

Pedoman Penyelenggaraan Jaminan Sosial Tenaga Kerja yang Melakukan Pekerjaan di


Luar Hubungan Kerja disusun dengan tujuan agar dapat digunakan sebagai acuan bagi
para pihak yang berkepentingan/stakeholders dalam rangka penyelenggaraan program
jaminan sosial bagi tenaga kerja yang melakukan pekerjaan di luar hubungan kerja.

C. .Dasar Hukum

1. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga


Kerja.
2. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
3. Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan
Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja ;
4. Peraturan Pemerintah Nomor 36 Thaun 1995 tentang Penetapan Badan
Penyelenggara Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja;
5. Peraturan Pemerintah Nomor 64 Tahun 2005 tentang Perubahan Keempat
atas Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan
Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja;
6. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor PER-
05/MEN/1993 tentang Petunjuk Teknis, Pendaftaran Kepesertaan,
Pembayaran Iuran, Pembayaran Santunan dan Pelayanan Jaminan Sosial
Tenaga Kerja.

D. . Ruang Lingkup.

Ruang lingkup pedoman ini dibatasi hanya bagi tenaga kerja yang melakukan pekerjaan
di luar hubungan kerja yaitu orang yang berusaha sendiri.

E.. Pengertian.

1. Jaminan Sosial Tenaga Kerja adalah suatu perlindungan bagi tenaga kerja dalam
bentuk santunan berupa uang sebagai pengganti sebagian penghasilan yang hilang atau
berkurang dan pelayanan sebagai sebagai akibat peristiwa atau keadaan yang dialami
oleh tenaga kerja berupa kecelakaan kerja, sakit, hamil.bersalin, ha ri tua dan
meninggal dunia.
2. Tenaga Kerja yang Melakukan Pekerjaan di Luar Hubungan Kerja adalah setiap orang
yang bekerja atau berusaha atas resiko sendiri.
3. Peserta adalah tenaga kerja yang melakukan pekerjaan di luar hubungan kerja yang
telah membayar iuran.
4. Wadah adalah organ yang dibentuk oleh, dari dan untuk peserta dalam rangka
membantu
penyelenggaraan program Jaminan Sosial Tenaga Kerja yang melakukan pekerjaan di
luar
hubungan kerja.
5. Penanggung Jawab Wadah adalah Pihak yang ditunjuk oleh peserta untuk mewakili
peserta dalam hal menyelesaikan hak dan kewajiban para peserta yang meliputi
pengumpulan iuran, penyetoran iuran dan pengurusan klaim.
6. Mitra Kerja adalah Wadah atau Institusi atau Organisasi yang telah melakukan Ikatan
Kerjasama (IKS) dengan PT.Jamsotek (Persero) sebagai Badan Penyelenggara Program
Jaminan Sosial Tenaga Kerja bagi tenaga kerja di Luar Hubungan Kerja.
7. Penghasilan adalah perolehan dari hasil usaha atau pekerjaan dalam proses produksi
barang dan jasa yang dinilai dalam bentuk uang.
8. Kecelakaan Kerja adalah kecelakaan yang terjadi pada saat tenaga kerja melakukan
aktifitas sesuai dengan pekerjaannya.
9. Cacat adalah keadaan hilang atau berkurangnya fungsi anggota badan yang secara
langsung atau tidak langsung mengakibatkan hilang atau berkurangnya kemampuan
untuk menjalankan pekerjaan.
10. Sakit adalah setiap gangguan kesehatan yang memerlukan pemeriksanaan,
pengobatan dan atau perawatan.

F. Sistematika Penulisan.

Pedoman Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja bagi Tenaga Kerja
yang Melakukan Pekerjaan di Luar Hubungan Kerja terdiri dari 6 (enam) BAB, sebagai
berikut :

BAB I Pendahuluan, memuat latar belakang dan tujuan disusunnya Buku Pedoman,
Dasar Hukum, Ruang Lingkup,Pengertian dan Sistematika Penulisan
BAB II Pengorganisasian, memuat pembinaan yang dilakukan Instansi Pemerintah
Pusat, Pemerintah Daerah (Propinsi, dan Kabupaten/ Kota), Badan
Penyelenggaraan dan Kelompok Peserta.
BAB III Pedoman Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja bagi
Tenaga Kerja yang Melakukan Pekerjaan di Luar Hubungan Kerja, memuat
Tujuan Program, Prinsip Penyelenggaraan, Jenis Program dan Mekanisme
Pelaksanaan.
BAB IV Pembinaan memuat sasaran yang akan dibina melalui sosialisasi, materi
sosialisasi yang akan diberikan dan metode sosialisasi untuk bimbingan
masyarakat.
BAB V Pengendalian memuat monitoring pelaporan dan evaluasi.
BAB VI Penutup

BAB II
PENGORGANISASIAN

Organisasi pembinaan penyelenggaraan program jaminan sosial tenaga kerja bagi tenaga
kerja di luar hubungan kerja dilakukan melalui pembagian tugas dan tanggung jawab dari
masing- masing instansi terkait yang terdiri dari :

A . Instansi Pemerintah.

1. Instansi Pusat.
Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi bertugas menetapkan kebijakan, standar,
prosedur, pengendalian program,bimbingan teknis dan pembinaan bagi tenaga kerja yang
melakukan pekerjaan di luar hubungan kerja, yang pelaksanaannya dilakukan oleh
Direktorat Jenderal yang secara teknis menangani pembinaan Jaminan Sosial
Tenaga Kerja.

2. Instansi Propinsi.
Instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan Propinsi, bertanggung jawab
merumuskan kebijakan operasional di Propinsi melakukan pembinaan, pemantauan dan
evaluasi dalam lingkup Propinsi. Instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan Propinsi menyampaikan laporan pelaksanaan program Jaminan Sosial
Tenaga Kerja yang melakukan pekerjaan di luar hubungan kerja setiap 3 (tiga) bulan
sekali kepada Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi R.I. cq. Direktorat Jenderal
yang secara teknis menangani pembinaan Jaminan Sosial Tenaga Kerja.

3. Instansi Kabupaten.
Instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan Kabupaten/Kota bertanggung
jawab atas dilaksanakannya program Jaminan Sosial Tenaga Kerja bagi tenaga kerja di
luar hubungan kerja dengan melakukan pembinaan dalam rangka perluasan kepesertaan
program Jaminan Sosial Tenaga Kerja.

Bupati/Walikota menyampaikan laporan pelaksanaan program Jaminan Sosial Tenaga


Kerja yang melakukan pekerjaan di luar hubungan kerja setiap 3 (tiga) bulan sekali
kepada Gubernur dengan tembusan kepada Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi R.I.

B . Badan Penyelenggara.
Badan Penyelenggara program Jaminan Sosial Tenaga Kerja bagi tenaga kerja yang
melakukan pekerjaan di luar hubungan kerja adalah PT. Jamsostek (Persero).

C. Penanggung jawab Wadah/Kelompok


Penanggung jawab Wadah/Kelompok bertugas untuk :
1. Menghimpun tenaga kerja di luar hubungan kerja;
2. Mendaftarkan peserta ke PT. Jamsostek (Persero);
3. Menghimpun dan menyetor iuran kepada PT. Jamsostek (Persero);
4. Membantu mendistribusikan Kartu Peserta Jamsostek (KPJ) kepada peserta;
5. Mengurus hak-hak peserta atas jaminan;
6. Memperingatkan peserta yang menunggak pembayaran iuran dan melaporkan kepada
PT. Jamsostek (Persero).
BAB III

PENYELENGARAAN PROGRAM
JAMINAN SOSIAL TENAGA KERJA BAGI TENAGA KERJA
YANG BEKERJA DI LUAR HUBUNGAN KERJA

A. Tujuan Program
1. Memberikan perlindungan jaminan sosial bagi tenaga kerja di luar hubungan kerja
pada saat tenaga kerja tersebut kehilangan sebagian atau seluruh penghasilannya sebagai
akibat terjadinya risiko-risiko antara lain kecelakaan kerja, sakit, hamil, bersalin, hari tua
dan
meninggal dunia.

2. Memperluas cakupan kepesertaan program Jaminan Sosial Tenaga Kerja.

B. Program.
Jenis Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja berdasarkan Undang-Undang Nomor 3
Tahun
1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja terdiri dari :
1. Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK);
2. Jaminan Kematian (JK);
3. Jaminan Hari Tua (JHT);
4. Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK).

Tenaga Kerja di luar hubungan kerja dapat mengikuti seluruh program Jaminan Sosial
Tenaga Kerja atau sebagian sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan peserta.

C. Kepesertaan.
Setiap tenaga kerja di luar hubungan kerja yang berusia maksimal 55 tahun dapat
mengikuti program Jaminan Sosial Tenaga Kerja secara sukarela.

D. Iuran.

Iuran program Jaminan Sosial Tenaga Kerja bagi tenaga kerja yang bekerja di luar
hubungan kerja ditetapkan berdasarkan nilai nominal tertentu. Niali nominal tertentu
tersebut sekurang-kurangnya setara dengan Upah Minimum Provinsi/Kabupaten/ Kota
setempat.

Untuk menghitung besarnya iuran program jamsostek sebagai berikut :


a. Jaminan Kecelakaan Kerja, sebesar 1 % dari penghasilan sebulan;
b. Jaminan Hari Tua, minimal sebesar 2 % dari penghasilan sebulan;
c. Jaminan Kematian, sebesar 0,3 % dari penghasilan sebulan;
d. Jaminan Pemeliharaan Kesehatan, sebesar 6 % dari penghasilan sebulan bagi tenaga
kerja yang sudah berkeluarga, dan 3 % dari penghasilan sebulan bagi tenaga kerja lajang.

Dasar perhitungan pembayaran iuran dari penghasilan sebulan tersebut di atas adalah
sebagaimana tercantum dalam Lampiran I Pedoman ini.

Iuran Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan Kematian, Jaminan Hari Tua dan Jaminan
Pemeliharaan Kesehatan ditanggung sepenuhnya oleh peserta.

E. Cara Pembayaran Iuran.


Pembayaran iuran dapat dilakukan secara bulanan atau setiap tiga bulan dengan
menyetorkan langsung kepada Badan Penyelenggara atau melalui Penanggung Jawab
Wadah/Kelompok secara lunas.

a. Pembayaran iuran melalui Wadah/Kelompok.


Pembayaran iuran secara bulanan dari peserta paling lambat tanggal 10 pada bulan
berjalan. Penanggung Jawab Wadah/Kelompok diwajibkan menyetorkan dana iuran yang
dikumpulkan dari peserta kepada Badan Penyelenggara paling lambat tanggal 13 bulan
berjalan. Penanggung jawab Wadah/Kelompok wajib menjamin kelangsungan
pembayaran iuran dari peserta setiap bulannya kepada Badan Penyelenggara.

Bagi peserta yang membayar iuran secara triwulan besarnya iuran adalah 3 (tiga) kali
iuran bulanan yang dibayarkan untuk 3 bulan kedepan. Pembayaran iuran 3 bulan
berikutnya paling lambat tanggal 10 bulan berjalan. Penanggung Jawab
Wadah/Kelompok diwajibkan menyetorkan dana iuran yang dikumpulkan dari peserta
kepada Badan Penyelenggara paling lambat tanggal 13 bulan berjalan.

Dalam hal peserta menunggak pembayaran iuran masih diberikan grace periode selama 1
(satu) bulan untuk mendapatkan hak jaminan program yang diikuti.

Peserta yang telah kehilangan hak untuk mendapatkan jaminan program dapat
memperoleh haknya kembali apabila peserta kembali membayar iuran termasuk
membayar satu bulan iuran yang tertunggak dalam masa grace periode.

b. Pembayaran iuran secara langsung oleh peserta.


Pembayaran iuran secara langsung oleh peserta kepada Badan Penyelenggara, dilakukan
setiap bulan dan disetor paling lambat tanggal 15 bulan berjalan.
F. Manfaat.
Manfaat program Jaminan Sosial tenaga Kerja yang diberikan kepada tenaga kerja yang
melakukan pekerjaan di luar hubungan kerja sesuai dengan jaminan sebagaimana diatur
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Program
Jaminan Sosial Tenaga Kerja beserta peraturan pelaksanaannya.

1. Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), terdiri :


- Biaya pengangkutan tenaga kerja yang mengalami kecelakaan kerja;
- Penggantian Upah Sementara Tidak Mampu Bekerja (STMB);
- Biaya perawatan medis;
- Santunan cacat tetap sebagian;
- Santunan cacat total tetap;
- Santunan kematian;
- Santunan berkala bagi yang meninggal dunia dan cacat total tetap;
- Biaya rehabilitasi.

2. Jaminan Kematian (JK), terdiri dari :


- Jaminan Kematian;
- Biaya pemakaman;
- Santunan berkala.

3. Jaminan Hari Tua (JHT), terdiri dari keseluruhan iuran yang telah disetor beserta hasil
pengembangannya.Dasar perhitungan pembayaran manfaat program JKK, JK dan JHT
adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran II Pedoman ini.

4. Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK), terdiri dari :

- Rawat jalan tingkat pertama meliputi : pemeriksaan dan pengobatan dokter umum dan
dokter gigi, pemeriksaan diberikan tindakan medis sederhana.
- Rawat jalan tingkat lanjutan berupa pemeriksaan dan pengobatan oleh dokter spesialis.
- Rawat Inap;
- Pertolongan persalinan;
- Penunjang diagnostic berupa pemeriksaan laboratorium, radiologi, EEG, dsb.
- Pelayanan khusus berupa penggantian biaya prothese, orthose dan kacamata;
- Pelayanan gawat darurat;

Tenaga kerja yang mengalami kecelakaan kerja berhak atas Jaminan Kecelakaan Kerja
berupa penggantian biaya yang meliputi :

a. Biaya pengangkutan tenaga kerja yang mengalami kecelakaan kerja ke rumah sakit dan
atau ke rumahnya termasuk biaya pertolongan pertama pada kecelakaan;
b. Biaya pemeriksaan, pengobatan, dan atau perawatan selama di rumah sakit; termasuk
rawat jalan;
c. Biaya rehabilitasi berupa alat bantu (orthese) dan atau alat ganti (prothese) bagi tenaga
kerja yang anggota badannya hilang atau tidak berfungsi akibat kecelakaan kerja;

Selain penggantian biaya kepada tenaga kerja yang mengalami kecelakaan kerja
diberikan juga santunan berupa uang yang meliputi :

a. Santunan sementara tidak mampu bekerja (STMB);


b. Santunan cacat sebagian untuk selama- lamanya.
c. Santunan cacat total untuk selama- lamanya baik fisik maupun mental;
d. Santunan kematian dan uang kubur;
e. Santunan berkala.

Berdasarkan surat keterangan dari dokter pemeriksaan dan atau dokter penasehat PT.
Jamsostek (Persero) menetapkan dan membayar semua biaya dan santunan paling lama 1
(satu) bulan sejak diterimanya pengajuan pembayaran jaminan. Dalam hal tenaga kerja
meninggal dunia, pembayaran santunan kematian dibayarkan kepada ahli warisnya.

Berdasarkan surat keterangan dari dokter pemeriksa dan atau dokter penasehat PT.
Jamsostek (Persero) menetapkan akibat kecelakaan kerja dan membayar santunan.

Peserta berhak atas manfaat program Jaminan Sosial Tenaga Kerja setelah membayar
iuran. Pembayaran iuran untuk bulan tertentu merupakan jaminan untuk mendapatkan
manfaat antara peserta mengalami risiko pada bulan berikutnya. Oleh sebab itu baik
peserta maupun Penanggung Jawab Wadah/Kelompok, wajib menyetorkan iuran secara
lunas kepada PT. Jamsostek (Persero) sesuai dengan waktu yang telah ditentukan.

BAB IV

PEMBINAAN

Untuk penyelenggaraan program Jaminan Sosial Tenaga Kerja bagi tenaga kerja yang
melakukan pekerjaan di luar hubungan kerja secara efektif, efisien dan
berkesinambungan, maka perlu dilakukan pembinaan antara lain melalui sosialisasi.

Adapun sasaran, materi dan metode sosialisasi adalah sebagai berikut :


A. Sasaran.

Sosialisasi program Jaminan Sosial Tenaga Kerja bagi tenaga kerja di luar hubungan
kerja
dilakukan terhadapsemua pemangku kepentingan (stakeholder) baik di Pusat, Provinsi,
Kabupaten/Kota, Kecamatan maupun Desa.

B. Materi
Materi Sosialisasi berkaitan dengan manfaat program Jaminan Sosial Tenaga Kerja bagi
tenaga kerja yang melakukan pekerjaan di luar hubungan kerja, jenis program
ditawarkan, besarnya iuran, cara membayar iuran, serta hak dan kewajiban setelah
menjadi peserta
program Jaminan Sosial Tenaga Kerja.

C. Metode
Metode sosialisasi disesuaikan dengan kemampuan dan kondisi serta kebiasaan masing-
masing daerah, misalnya penyuluhan melalui media elektronik, media cetak, atau tatap
muka dengan masyarakat/tenaga kerja yang melakukan pekerjaan di luar hubungan kerja.

BAB V
PENGENDALIAN

Untuk mengetahui pelaksanaan penyelenggaraan program jamsostek bagi tenaga kerja


yang melakukan pekerjaan di luar hubungan kerja perlu dilakukan :

A. Monitoring

Monitoring dilaksanakan dengan tujuan untuk mengendalikan arah, kegiatan,


memberikan bimbingan dan pengarahan dalam rangka pengelolaan kegiatan serta
membantu mengatasi masalah- masalah yang timbul di lapangan. Monitoring
dilaksanakan secara terus menerus dan dilaporkan secara periodik setiap 3 bulan sekali
yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat (Deparemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi) dan
Pemerintah Provinsi (Unit kerja yang bertanggung jawab di bidang Ketenagakerjaan).
B. Pelaporan.

Kantor Cabang PT. Jamsostek (Persero) wajib melaporkan pelaksanaan penyelenggaraan


program Jaminan Sosial Tenaga Kerja bagi tenaga kerja yang melakukan pekerjaan di
luar hubungan kerja kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
di Kabupaten/Kota dengan tembusan ke Provinsi.

Instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan Kabupaten/Kota yang


berkaitan dengan penyelenggaraan program Jaminan Sosial Tenaga Kerja bagi tenaga
kerja yang melakukan pekerjaan di luar hubungan kerja wajib melaporkan kepada
instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan Propvinsi.

Instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan Provinsi yang berkaitan


dengan penyelenggaraan program Jaminan Sosial Tenaga Kerja bagi tenaga kerja yang
melakukan pekerjaan di luar hubungan kerja wajib melaporkan kepada Menteri Tenaga
Kerja dan Transmigrasi.

C. Evaluasi

Evaluasi merupakan suatu kegiatan untuk menilai keberhasilan penyelenggaraan program


Jaminan Sosial Tenaga Kerja bagi tenaga kerja yang melakukan pekerjaan di luar
hubungan kerja. Berdasarkan kegiatan evaluasi ini akan diketahui keberhasilan, hambatan
dan kendala di lapangan yang nantinya dapat dijadikan dasar penyempurnaan dan
perumusan program pada tahun berikutnya.

BAB VI
PENUTUP

Penyelenggaraan program Jaminan Sosial Tenaga Kerja bagi tenaga kerja yang
melakukan pekerjaan di luar hubungan kerja pada dasarnya merupakan salah satu
instrumen perlindungan dalam hal jaminan sosial dan peningkatan kesejahteraan.

Penyelengaaraan program Jamina Sosial Tenaga Kerja bagi tenaga kerja yang melakukan
pekerjaan di luar hubungan kerja merupakan hal yang menjadi prioritas mengingat bahwa
tenaga kerja di luar hubungan kerja mendominasi angkatan kerja di Indonesia. Namun
demikian, efektifitas suatu rencana dan suatu program perlu didukung oleh hardware,
software dan brainware yang handal. Pedoman ini dimaksudkan sebagai salah satu
software dalam melaksanakan penyelenggaraan program Jaminan Sosial Tenaga Kerja
bagi tenaga kerja yang melakukan pekerjaan di luar hubungan kerja.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA

ttd

ERMAN SUPARNO

Salinan sesuai dengan aslinya


Kepala Biro Hukum

Andi Syahrul Pangerang, SH


NIP. 160043638.

LAMPIRAN I - TABEL UMP, DASAR UPAH DAN IURAN


LAMPIRAN II - TABEL MANFAAT
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 40 TAHUN 2004

TENTANG

SISTEM JAMINAN SOSIAL NASIONAL

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA


PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang a. bahwa setiap orang berhak atas jaminan sosial untuk dapat
memenuhi kebutuhan dasar hidup yang layak dan meningkatkan
:
martabatnya menuju terwujudnya masyarakat Indonesia yang
sejahtera, adil dan makmur;
b. bahwa untuk memberikan jaminan sosial yang menyeluruh, negara
mengembangkan Sistem Jaminan Sosial Nasional bagi seluruh
rakyat Indonesia;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam
huruf a dan huruf b, perlu membentuk Undang-Undang tentang
Sistem Jaminan Sosial Tenaga Kerja;

Mengingat Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, Pasal 28 H ayat (1), ayat (2), dan Ayat (3),
: dan Pasal 34 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;

Dengan Persetujuan Bersama


DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN :

: UNDANG-UNDANG TENTANG SISTEM JAMINAN SOSIAL


Menetapkan
NASIONAL

BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1

Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:


1. Jaminan sosial adalah salah satu bentuk perlindungan sosial untuk
menjamin seluruh rakyat agar dapat memenuhi kebutuhan dasar
hidupnya yang layak.

2. Sistem Jaminan Sosial Nasional adalah suatu tata cara


penyelenggaraan program jaminan sosial oleh beberapa badan
penyelenggaraan jaminan sosial.

3. Asuransi sosial adalah suatu mekanisme pengumpulan dana yang


bersifat wajib yang berasal dari iuran guna memberikan
perlindungan atas resiko sosial ekonomi yang menimpa peserta
dan/atau anggota keluarganya.

4. Tabungan wajib adalah simpanan yang bersifat wajib bagi peserta


program jaminan sosial.

5. Bantuan iuran adalah iuran yang dibayar oleh Pemerintah bagi fakir
miskin dan orang mampu sebagai peserta program jaminan sosial.

6. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial adalah badan hukum yang


dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan sosial.

7. Dana Jaminan Sosial adalah dana amanat milik seluruh peserta yang
merupakan himpunan iuran beserta hasil pengembangannya yang
dikelola oleh Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial untuk
pembayaran manfaat kepada peserta dan pembiayaan operasional
penyelenggaraan program jaminan sosia l.

8. Peserta adalah setiap orang, termasuk orang asing yang bekerja


paling singkat 6 (enam) bulan di Indonesia, yang telah membayar
iuran.

9. Manfaat adalah faedah jaminan sosial yang menjadi hak peserta


dan/atau anggota keluarganya.

10. Iuran adalah sejumlah uang yang dibayar secara teratur oleh peserta,
pemberi kerja, dan/atau Pemerintah.

11. Pekerja adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima gaji,
upah, atau imbalan dalam bentuk lain.

12. Pemberi kerja adalah orang perseorangan, pengusaha, badan hukum


atau badan-badan lainnya yang mempekerjakan pegawai negeri
dengan membayar gaji, upah atau imbalan dalam bentuk lainnya.

13. Gaji atau upah adalah hak pekerja yang diterima dan dinyatakan
dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pemberi kerja kepada
pekerja ditetapkan dan dibayar menurut suatu perjanjian kerja,
kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan, termasuk
tunjangan bagi pekerja dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan
/atau jasa yang telah atau akan dilakukan.

14. Kecelakaan kerja adalah kecelakaaan yang terjadi dalam hubungan


kerja, termasuk kecelakaan yang terjadi dalam perjalanan dari
rumah menuju tempat kerja atau sebaliknya, dan penyakit yang
disebabkan oleh lingkungan kerja.

15. Cacat adalah keadaan berkurangnya atau hilangnya fungsi tubuh


atau hilangnya anggota badan yang secara langsung atau tidak
langsung mengakibatkan berkurang atau hilangnya kemampuan
pekerja untuk menjalankan pekerjaannya.

16. Cacat total tetap adalah cacat yang mengakibatkan ketidakmampuan


seseorang untuk melakukan pekerjaan.

BAB III
ASAS, TUJUAN, DAN PRINSIP PENYELENGGARAAN
Pasal 2

Sistem Jaminan Sosial Nasional diselenggarakan berdasarkan asas


kemanusiaan, asas manfaat, dan asas keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia.

Pasal 3

Sistem Jaminan Sosial Nasional bertujuan untuk memberikan jaminan


terpenuhinya kebutuhan dasar hidup yang layak bagi setiap peserta dan/atau
anggota keluarganya.

Pasal 4

Sistem Jaminan Sosial Nasional diselenggarakan berdasarkan pada prinsip :


a. kegotong-royongan;
b. nirlaba;
c. keterbukaan;
d. kehati-hatian;
e. akuntabilitas;
f. portabilitas;
g. kepesertaan bersifat wajib;
h. dan amanat , dan
i. hasil pengelolaan Dana Jaminan Sosial dipergunakan seluruhnya
untuk pengembangan program dan untuk sebesar-besar kepentingan
peserta.

BAB III
BADAN PENYELENGGARAAN JAMINAN SOSIAL
Pasal 5

1. Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial harus dibentuk dengan


Undang-Undang.

2. Sejak berlakunya Undang-Undang ini, badan penyelenggara


jaminan sosial yang ada dinyatakan sebagai Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial menurut Undang-Undang ini.

3. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial sebagaimana dimaksud pada


ayat (1) adalah :
a. Perusahaan Perseroan (Persero) Jaminan Sosial Tenaga Kerja
(JAMSOSTEK);
b. Perusahaan Perseroan (Persero) Dana tabungan dan Asuransi
Pegawai Negeri (TASPEN);
c. Perusahaan Perseroan (Persero) Asuransi Sosial Angkatan
Bersenjata Republik Indonesia (ASABRI); dan
d. Perusahaan Perseroan (Persero) Asuransi Kesehatan Indonesia
(ASKES);

4. Dalam hal diperlukan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial selain


dimaksud pada ayat (3), dapat dibentuk yang baru dengan Undang-
Undang.

BAB IV
DEWAN JAMINAN SOSIAL NASIONAL
Pasal 6
Untuk penyelenggaraan Sistem Jaminan Sosial Nasional dengan Undang-
Undang ini dibentuk Dewan Jaminan Sosial Nasional.

Pasal 7

Dewan Jaminan Sosial Nasional bertanggung jawab kepada


1.
Presiden.

2. Dewan Jaminan Sosial nasional berfungsi merumuskan kebijakan


umumdan sinkronisasi penyelenggaraan Sistem Jaminan Sosial Nasional.

3. Dewan Jaminan Sosial Nasional bertugas :


a. melakukan kajian dan penelitian yang berkaitan dengan
penyelenggaraan jaminan sosial;
b. mengusulkan kebijakan investasi dana Jaminan Sosial nasional ;
dan
c. mengusulkan anggaran jaminan sosial bagi penerima bantuan
iuran dan tersedianya anggaran operasional kepada Pemerintah.

4. Dewan Jaminan Sosial Nasional berwenang melakukan monitoring


dan evaluasi penyelenggaraan program jaminan sosial.

Pasal 8

(1) Dewan Jaminan Sosial Nasional beranggotakan 15 (lima belas)


orang, yang terdiri dari unsur Pemerintah, tokoh dan / atau ahli yang
memahami bidang jaminan sosial, organisasi pemberi kerja, dan
organisasi pekerja.

(2) Dewan Jaminan Sosial Nasional dipimpin oleh Ketua merangkap


anggota dan anggota lainnya diangkat dan diberhentikan oleh
Presiden.

(3) Ketua sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berasal dari unsur
Pemerintah.

(4) Dalam melaksanakan tugasnya, Dewan Jaminan Sosial Nasional


dibantu oleh Sekretariat Dewan yang dipimpin oleh seorang
sekretaris yang diangkat dan diberhentikan oleh Ketua Dewan
Jaminan Sosial Nasional .
(5) Masa jabatan anggotan Dewan Jaminan Sosial Nasional adalah 5
(lima) tahun, dan dapat diangkat kembali untuk satu kali masa
jabatan.

(6) Untuk dapat diangkat menjadi anggota Dewan Jaminan Sosial


Nasional harus memenuhi syarat sebagai berikut :
a. Warga Negara Indonesia;
b. bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c. sehat jasmani dan rohani;
d. berkelakuan baik;
e. berusia sekurang-kurangnya 40 (empat puluh) tahun dan
setinggi-tingginya 60 (enam puluh) tahun pada saat menjadi
anggota;
f. lulusan pendidikan paling rendah jenjang strata 1 (satu);
g. memiliki keahlian di bidang jaminan sosial;
h. memiliki kepedulian terhadap bidang jaminan sosial; dan
i. tidak pernah dipidana berdasarkan keputusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan
tindak pidana kejahatan.

Pasal 9

Dalam melaksanakan tugasnya, Dewan Jaminan Sosial Nasional dapat


meminta masukkan dan bantuan tenaga ahli sesuai dengan kebutuhan.

Pasal 10

Susunan organisasi dan tata kerja Dewan Jaminan Sosial Nasional


sebagaimana dimaksud dalam Paal 6, Pasal 7, Pasal 8, dan Pasal 9 diatur
lebih lanjut dengan Peraturan Presiden.

Pasal 11

Anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional dapat berhenti atau diberhentikan


sebelum berakhir masa jabatan karena :
a. meninggal dunia;
b. berhalangan tetap;
c. mengundurkan diri;
d. tidak memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat
(6).

Pasal 12

(1) Untuk pertama kali, Ketua dan anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional
diusulkan oleh Menteri yang bidang tugasnya meliputi kesejahteraan
sosial.

(2) Tata cara pengangkatan, penggantian, dan pemberhentian anggota Dewan


Jaminan Sosial Nasional diatur lebih lanjut dalam Peraturan Presiden.

BAB V
KEPESERTAAN DAN IURAN
Pasal 13

(1) Pemberi kerja secara bertahap wajib mendaftarkan dirinya dan


pekerjaannya sebagai peserta kepada Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial, sesuai dengan program jaminan sosial yang diikuti.

(2) Pentahapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Presiden.

Pasal 14

(1) Pemerintah secara bertahap mendaftarkan penerima bantuan iuran sebagai


peserta kepada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.

(2) Penerima bantuan iuran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah fakir
miskin dan orang tidak mampu.

(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat(2) diatur lebih
lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 15

(1) Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Wajib memberikan nomor idntitas


tunggal kepada setiap peserta dan anggota keluarganya.

(2) Badan Penyelenggara Jaminan Sosial wajib memberikan informasi


tentang hak dan kewajiban kepada peserta untuk mengikuti ketentuan
yang berlaku.

Pasal 16

Setiap peserta berhak memperoleh manfaat dan informasi tentang


pelaksanaan program jaminan sosial yang diikuti.

Pasal 17

(1) Setiap peserta wajib membayar iuran yang besarnya ditetapkan


berdasarkan persentase dari upah atau suatu jumlah nominal tertentu.

(2) Setiap pemberi kerja wajib memungut iuran dari pekerjanya,


menambahkan iuran yang menjadi kewajibannya dan membayarkan iuran
tersebut kepada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial secara berkala.

(3) Besarnya iuran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
ditetapkan untuk setiap jenis program secara berkala sesuai degan
perkembangan sosial, ekonomi dan kebutuhandasar hidup yang layak.

(4) Iuran program jaminan sosial bagi fakir miskin dan orang yang tidak
mampu dibayar oleh Pemerintah.

(5) Pada tahap pertama, iuran sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dibayar
oleh Pemerintah untuk program jaminan kesehatan,

(6) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) diatur lebih
lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

BAB VI
PROGRAM JAMINAN SOSIAL
Bagian Kesatu
Jenis Program Jaminan Sosial
Pasal 18

Jenis program jaminan sosial meliputi :


a. jaminan kesehatan;
b. jaminan kecelakaan kerja;
c. jaminan hari tua;
d. jaminan pensiun; dan
e. jaminan kematian.

Bagian Kedua
Jaminan Kesehatan
Pasal 19

(1) Jaminan kesehatan diselenggarakan secara nasional berdasarkan prinsip


asuransi sosial dan prinsip ekuitas.

(2) Jaminan kesehatan diselenggarakan dengan tujuan menjamin agar peserta


memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam
memenuhi kebutuhan dasar kesehatan.

Pasal 20

(1) Peserta jaminan kesehatan adalah setiap orang yang telah membayar iuran
atau iurannya dibayar oleh Pemerintah.

(2) Anggota keluarga peserta berhak menerima manfaat jaminan kesehatan.

(3) Setiap peserta dapat mengikutsertakan anggota keluarga yang lain


menjadi tanggungannya dengan penambahan iuran.

Pasal 21

(1) Kepesertaan jaminan kesehatan tetap berlaku paling lama 6 (enam) bulan
sejak seorang peserta mengalami pemutusan hubungan kerja.

(2) Dalam hal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setelah 6 (enam) bulan
belum memperoleh pekerjaaan dan tidak mampu, iurannya dibayar oleh
Pemerintah.

(3) Peserta yang mengalami cacat total tetap dan tidak mampu, iurannya
dibayar oleh Pemerintah.

(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3)
diatur lebih lanjut dengan Peraturan Presiden.

Pasal 22
(1) Manfaat jaminan kesehatan bersifat pelayanan perseorangan berupa
pelayanan kesehatan yang mencakup pelayanan promotif, preventif,
kuratif, dan rehabilitatif, termasuk obat dan bahan medis habis pakai yang
diperlukan.

(2) Untuk jenis pelayanan yang dapat menimbulkan penyalahgunaan


pelayanan, peserta dikenakan urun biaya.

(3) Ketentuan mengenai pelayanan kesehatan dan urun biaya sebagaimana


dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dalam Peraturan
Presiden.

Pasal 23

(1) Manfaat jaminan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22


diberikan pada fasilitas kesehatan milik Pemerintah atau swasta yang
menjalin kerjasama dengan Badan Penelenggara Jaminan Sosial.

(2) Dalam keadaan darurat, pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
dapat diberikan pada fasilitas kesehatan yang tidak menjalin kerja sama
dengan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.

(3) Dalam hal di suatu daerah belum tersedia fasilitas kesehatan yang
memenuhi syarat guna memenuhi kebutuhan medik sejumlah peserta,
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial wajib memberikan Kompensasi.

(4) Dalam hal peserta membutuhkan rawat inap di rumah sakit, maka kelas
pelayanan di rumah sakit diberikan berdasarkan kelas standar.

(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) diatur lebih
lanjut dalam Peraturan Presiden.

Pasal 24

(1) Besarnya pembayaran kepada fasilitas kesehatan untuk setiap wilayah


ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial dan asosiasi fasilitas kesehatan di wilayah tersebut.

(2) Badan Penyelenggara Jaminan Sosial wajib membayar fasilitas kesehatan


atas pelayanan yang diberikan kepada peserta paling lambat 15 (lima
belas) hari sejak permintaan pembayaran diterima.
(3) Badan Penyelenggara Jaminan Sosial mengembangkan sistem pelayanan
kesehatan, sistem kendali mutu pelayanan, dan sistem pembayaran
pelayanan, kesehatan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas

Pasal 25
Daftar dan harga tertinggi obat-obatan, serta bahan medis habis pakai yang
dijamin oleh Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial ditetapkan sesuai
dengan peraturan perundang- undangan.

Pasal 26
Jenis-jenis pelayanan yang tidak dijamin Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Presiden.

Pasal 27
(1) Besarnya jaminan kesehatan untuk peserta penerima upah ditentukan
berdasarkan persentase dari upah sampai batas tertentu, yang secara
bertahap ditanggung bersama oleh pekerja dan pemberi kerja.

(2) Besarnya iuran jaminan kesehatan untuk peserta yang tidak menerima
upah ditentukan berdasarkan nominal yang ditinjau secara berkala.

(3) Besarnya iuran jaminan kesehatan untuk penerima bantuan iuran


ditentukan berdasarkan nominal yang ditetapkan secara berkala.

(4) Batas upah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditinjau secara berkala.

(5) Besarnya iuran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat
(3), serta batas upah sebagaimana pada ayat (4) diatur lebih lanjut dalam
Peraturan Presiden.

Pasal 28
(1) Pekerja yang memiliki anggota keluarga lebih dari 5 (lima) orang dan
ingin mengikutsertakan anggota keluarga yang wajib membayar
tambahan iuran.

(2) Tambahan iuran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut
dalam Peraturan Presiden.

Bagian Ketiga
Jaminan kecelakaan Kerja
Pasal 29

(1) Jaminan kecelakaan kerja diselenggarakan secara nasional berdasarkan


prinsip asuransi sosial.

(2) Jaminan kecelakaan kerja adalah seseorang yang telah membayar iuran.

Pasal 30
Peserta jaminan kecelakaan kerja adalah seseorang yang telah membayar
iuran.

Pasal 31
(1) Peserta yang mengalami kecelakaan kerja berhak mendapatkan manfaat
berupa pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medisnya dan
mendapatkan manfaat berupa uang tunai apabila terjadi cacat total tetap
atau meninggal dunia.

(2) Manfaat jaminan kecelakaan kerja yang berupa uang tunai diberikan
sekaligus kepada ahli waris pekerja yang meninggal dunia atau pekerja
yang cacat sesuai dengan tingkat kecacatan.

(3) Untuk jenis-jenis pelayanan tertentu atau kecelakaan tertentu, pemberi


kerja dikenakan urun biaya.

Pasal 32
(1) Manfaat jaminan kecelakaan kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31
ayat (1) iberikan pada fasilitas kesehatan milik Pemerintah atau swasta
yang memenuhi syarat dan menjalin kerja sama dengan Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial.

(2) Dalam keadaan darurat, pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat diberkan pada fasilitas kesehatan yang tidak menjalin kerja sama
dengan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.

(3) Dalam hal kecelakaan kerja terjadi disuatu daerah yang belum tersedia
fasilitas kesehatan yang memenuhi syarat, maka guna memenuhi
kebutuhan medis bagi peserta, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
wajib memberikan kompensasi.

(4) Dalam hal peserta membutuhkan rawat inap di rumah sakit, maka kelas
perawatan di rumah sakit diberikan kelas standar.

Pasal 33
Ketentuan lebih lanjut mengenai besarnya manfaat uang tunai, hak ahli waris,
kompensasi, dan pelayanan medis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 dan
Pasal 32 diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 34
(1) Besarnya iuran jaminan kecelakaan kerja adalah sebesar persentase
tertentu dari upah atau penghasilan yang ditanggung seluruhnya oleh
pemberi kerja.

(2) Besarnya iuran jaminan kecelakaan kerja untuk peserta yang tidak
menerima upah adalah jumlah nominal yang ditetapkan secara berkala
oleh Pemerintah.

(3) Besarnya iuran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bervariasi untuk
setiap kelompok pekerja sesuai dengan risiko lingkungan kerja.

(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur lebih
lanjut dalam Peraturan Pemerintah.

Bagian Keempat
Jaminan Hari Tua
Pasal 35
(1) Jaminan hari tua diselenggarakan secara nasional berdasarkan prinsip
asuransi sosial atau tabungan wajib.

(2) Jaminan hari tua diselenggarakan dengan tujuan untuk menjamin agar
peserta menerima uang tunai apabila memasuki masa pensiun, mengalami
cacat total tetap, atau meninggal dunia.

Pasal 36
Peserta jaminan hari tua adalah peserta yang telah membayar iuran.

Pasal 37
(1) Manfaat jaminan hari tua berupa uang tunai dibayarkan sekaligus pada
saat peserta memasuki usia pensiun, meninggal dunia, atau mengalami
cacat total tetap.
(2) Besarnya manfaat jaminan hari tua ditentukan berdasarkan seluruh
akumulasi iuran yang telah disetorkan ditambah hasil pengembangannya.

(3) Pembayaran manfaat jaminan hari tua dapat diberikan sebagian sampai
batas tertentu setelah kepesertaan mencapai minimal 10 (sepuluh) tahun.

(4) Apabila peserta meninggal dunia, ahli warisnya yang sah berhak
menerima manfaat jaminan hari tua.

(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) diatur lebih
lanjut dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 38
(1) Besarnya iuran jaminan hari tua untuk peserta penerima upah ditetapkan
berdasarkan persentase tertentu dari upah atau penghasilan tertentu yang
ditanggung bersama oleh pemberi kerja dan pekerja

(2) Besarnya iuran jaminan hari tua untuk peserta yang tidak menerima upah
ditetapkan berdasarkan jumlah nominal yang ditetapkan berdasarkan
jumlah nominal yang ditetapkan secara berkala.

(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih
lanjut dalam Peraturan Pemerintah.

Bagian Kelima
Jaminan Pensiun
Pasal 39
(1) Jaminan pensiun diselenggarakan secara nasional berdasarkan prinsip
asuransi sosial atau tabungan wajib.

(2) Jaminan pensiun diselenggarakan untuk mempertahankan derajat


kehidupan yang layak pada saat peserta kehilangan atau berkurang
penghasilannya karena memasuki usia pensiun atau mengalami cacat total
tetap.

(3) Jaminan pensiun diselenggarakan berdasarkan manfaat pasti.

Usia pensiun ditetapkan menurut ketentuan peraturan perundang-


(4)
undangan.

Pasal 40
Peserta jaminan pensiun adalah pekerja yang telah membayar iuran.

Pasal 41
(1) Manfaat jaminan pensiun berwujud uang tunai yang diterima setiap bulan
sebagai :
a. Pensiun hari tua, diterima peserta setelah pensiun sampai meninggal
dunia;
b. Pensiun cacat, diterima peserta yang cacat akibat kecelakaan atau akibat
penyakit sampai meninggal dunia;
c. Pensiun janda/duda,diterima janda/duda ahli waris peserta sampai
meninggal dunia atau menikah lagi;

d. Pensiun anak, diterima anak ahli waris peserta sampai mencapai 23 (dua
puluh tiga) tahun, bekerja, atau menikah; atau

e. Pensiun orang tua, diterima orang tua ahli waris peserta lajang sampai
batas waktu tertentu sesuai dengan peraturan perundang- undangan.

(2) Setiap peserta atau ahli warisnya berhak mendapatkan pembayaran uang
pensiun berkala setiap bulan setelah memenuhi masa iuran minimal 15
(lima belas) tahun, kecuali ditetapkan lain oleh peraturan perundang-
undangan.

(3) Manfaat jaminan pensiun dibayarkan kepada peserta yang telah mencapai
usia pensiun sesuai formula yang ditetapkan.

(4) Apabila peserta meninggal dunia masa iur 15 (lima belas) tahun ahli
warisnya tetap berhak ,mendapatkan manfaat jaminan pensiun.

(5) Apabila peserta mencapai usia pensiun sebelum memenuhi masa iur (lima
belas) tahun, peserta tersebut berhak mendapatkan seluruh akumulasi
iurannya ditambah hasil pengembangannya.

(6) Hak ahli waris atas manfaat pensiun anak berakhir apabila anak tersebut
menikah, bekerja tetap, atau mencapai usia 23 (dua puluh tiga) tahun.

(7) Manfaat pensiun cacat dibayarkan kepada peserta yang mengalami cacat
total tetap meskipun peserta tersebut belum memasuki usia pensiun.

(8) Ketentuan mengenai manfaat pensiun sebagaimana dimaksud pada ayat


(3), diatur lebih lanjut dalam Peraturan Presiden.
Pasal 42
(1) Besarnya iuran jaminan pensiun untuk peserta penerima upah ditentukan
berdasarkan persentase tertentu dari upah atau penghasilan atau suatu
jumlah nominal tertentu yang ditanggung bersama antara pemberi kerja
dan pekerja.

(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur oleh lebih lanjut
dalam Peraturan Pemerintah.

Bagian Keenam
Jaminan Kematian
Pasal 43
(1) Jaminan kematian diselenggarakan secara nasional berdasarkan prinsip
asuransi sosial.

(2) Jaminan kematian diselenggarakan dengan tujuan untuk memberikan


santunan kematian yang dibayarkan kepada ahli waris peserta yang
meninggal dunia.

Pasal 44
Peserta jaminan kematian adalah setiap orang yang telah membayar iuran.

Pasal 45
(1) Manfaat jaminan kematian berupa uang tunai dibayarkan paling lambat 3
(tiga) hari kerja setelah klaim diterima dan disetujui Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial.

(2) Besarnya manfaat jaminan kematian ditetapkan berdasarkan suatu jumlah


nominal tertentu.

(3) Ketentuan mengenai manfaat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur
lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 46
(1) Iuran jaminan kematian ditanggung oleh pemberi kerja.

(2) Besarnya iuran jaminan kematian bagi peserta penerima upah ditentukan
berdasarkan persentase tertentu dari upah atau penghasilan.
(3) Besarnya iuran jaminan kematian bagi peserta bukan penerima upah
ditentukan berdasarkan jumlah nominal tertentu dibayar oleh peserta.

(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3)
diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah.

BAB VII
PENGELOLAAN DANA JAMINAN SOSIAL
Pasal 47
(1) Dana Jaminan Sosial wajib dikelola dan dikembangkan oleh Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial secara optimal dengan mempertimbangkan
aspek likuiditas, solvabilitas, kehati-hatian, keamanan dana, dan hasil
yang memadai.

(2) Tata cara pengelolaan dan pengembangan Dana Jaminan Sosial


sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dalam Peraturan
Pemerintah.

Pasal 48
Pemerintah dapat melakukan tindakan-tindakan khusus guna menjamin
terpeliharanya tingkat kesehatan keuangan Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial.

Pasal 49
(1) badan Penyelenggara Jaminan Sosial mengelola pembukuan sesuai
dengan standar akuntasi yang berlaku.

(2) Subsidi silang antar program dengan membayarkan manfaat suatu


program dari dana prgram lain yang tidak diperkenankan.

(3) Pesera berhak setiap saat memperoleh infromasi tentang akumulasi iuran
dan hasil pengembangannya serta manfaat dari jenis program jaminan
hari tua, jaminan pensiun, dan jaminan kematian.

(4) Badan Penyelenggara Jaminan Sosial wajib memberikan informasi


skumulasi iuran berikut hasil pengembangannya kepada setiap peserta
jaminan hari tua sekurang-kurangnya sekali alam satu tahun.

Pasal 50
(1) Badan Penyelenggara Jaminan Sosial wajib membentuk cadangan teknis
sesuai dengan standar praktek aktuaria yang lazim dan berlaku umum.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dalam
Peraturan Pemerintah.

Pasal 51
Pengawasan terhadap pengelolaan keuangan Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial dilakukan oleh instansi yang berwenang sesuai dengan peraturan
perundangan-undangan.

BAB VIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 52
(1) Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku :
a. Perusahaan Perseroan (Persero) Jaminan Sosial Tenaga Kerja
(JAMSOSTEK) yang dibentuk dengan Peraturan Pemerintah Nomor
36 Tahun 1995 tentang Penetapan Badan penyelenggara Program
Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1995 Nomor 59), berdasarkan Undang-Undang Nomor 3
Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja ( Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1992 nomor 14, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3468);

b. Perusahaan perseroan (Persero) Dana Tabungan dan Asuransi


Pegawai Negeri (TASPEN) yang dibentuk dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 26 tahun 1981 tentang Pengalihan Bentuk
Perusahaan Umum Dana Tabungan dan Asuransi Pegawai Negeri
Menjadi Perusahaan Perseroan (Persero) (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 38), berdasarkan Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 1969 tentang pensiun Pegawai dan
pensiun Janda/Duda Pegawai (Lembaran Negara Nomor 2906),
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok
Kepegawaian (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun1974
Nomor 55, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3014) sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 43 tahun 1999
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 169,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3890), dan Peraturan
Pemerintah Nomor 25 Tahun 1981 tentang Asuransi Sosial Pegawai
Negeri Sipil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981
Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3200);

c. Perusahaan Perseroan (Persero) Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata


Republik Indonesia (ASABRI) yang dibentuk dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 68 Tahun 1991 tentang Pengalihan Bentuk
Perusahaan Umum (Perum) Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata
Republik Indonesia menjadi Perusahaan perseroan (persero)
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1991 Nomor 88);

d. Perusahaan Perseroan (Persero) Asuransi Kesehatan Indonesia


(ASKES) yang dibentuk denganPeraturan Pemerintah Nomor 6
Tahun 1992 tentang Pengalihan Bentuk Perusahaan Umum (Perum)
Husada Bhakti menjadi Perusahaan Perseroan (Persero) (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 16);

tetap berlaku sepanjang belum disesuaikan dengan Undang-Undang ini.

(2) Semua ketentuan yang mengatur mengenai Badan Penyelenggara


Jaminan Sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disesuaikan dengan
Undang-Undang ini paling lambat 5 (lima) tahun sejak Undang-Undang
ini diundangkan.

BAB IX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 53
Undang-Undang ini mulai berlaku sejak tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-
Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.

Disahkan di Jakarta
pada tanggal 19 Oktober 2004
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd
MEGAWATI SOEKARNOPUTRI

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 19 Oktober 2004
SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK
INDONESIA,
TTD
BAMBANG KESOWO

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2004 NOMOR 150


Salinan sesuai dengan aslinya
Deputi Sekretaris
Bidang Hukum dan
perundang-undangan

Lambock V. Nahattands

PENJELASAN

ATAS

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 40 TAHUN 2004

TENTANG

SISTEM JAMINAN SOSIAL NASIONAL

UMUM

Pembangunan sosial ekonomi sebagai salah satu pelaksanaan kebijakan pembangunan


nasional telah menghasilkan banyak kemajuan, diantaranya telah meningkatkan
kesejahteraan rakyat. Kesejahteraan tersebut harus dapat dinikmati secara berkelanjutan,
adil, dan merata menjangkau seluruh rakyat.

Dinamika pembangunan bangsa Indonesia telah menumbuhkan tantangan berikut


tuntutan penanganan berbagai persoalan yang belum terpecahkan. Salah satunya adalah
penyelenggaraan jaminan sosial bagi seluruh rakyat, yang diamanatkan dalam Pasal 28
ayat (3) mengenai hak terhadap jaminan sosial dan Pasal 34 ayat (2) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia tahun1945. Jaminan sosial juga dijamin dalam
Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak asasi Manusia Tahun 1948 dan
ditegaskan dalam Konvensi ILO Nomor 102 Tahun 1952 yang menganjurkan semua
negara untuk memberikan perlindungan minimum kepada setiap tenaga kerja. sejalan
dengan ketentuan tersebut, Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia dalam
TAP Nomor X/MPR/2001 menugaskan Presiden untuk membentuk Sistem Jaminan
Sosial Nasional dalam rangka memberikan perlindungan sosial yang menyeluruh dan
terpadu.
Sistem Jaminan Sosial Nasional pada dasarnya merupakan program Negara yang
bertujuan memberi kepastian perlindungan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia. Melalui program ini, setiap penduduk diharakan dapat memenuhi kebutuhan
dasar hidup yang layak apabila tejadi hal- hal yang dapat mengakibatkan hilang atau
berkurangnya pendapatan, karena menderit a sakit, mengalami kecelakaan, kehilangan
pekerjaan, memasuki usia lanjut, atau pensiun.

Selama beberapa dekade terakhir ini, Indonesia telah menjalankan beberapa program
jaminan sosial. Undang-Undang yang secara khusus mengatur jaminan sosial bagi tenaga
kerja swasta adalah Undang-Undang Nomor 3 tahun 1992 tenang Jaminan Tenaga Kerja
(JAMSOSTEK), yang mencakup program jaminan pemeliharaan kesehatan, jaminan
kecelakaan kerja, jaminan hari tua dan jaminan kematian.

Untuk Pegawai Negeri Sipil (PNS), telah dikembangkan program Dana Tabungan dan
Asuransi Pegawai Negeri (TASPEN) yang dibentuk dengan Peraturan Pemerintah Nomor
26 Tahun1981 dan program Asuransi Kesehatan (ASKES) yang diselenggarakan
berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1991 yang bersifat wajib bagi
PNS/Penerima Pensiun/Perintis Kemerdekaan/Veteran dana anggota keluarganya.

Untuk prajurit Tentara Nasional Indonesia (TNI), anggota Kepolisian Republik Indonesia
(POLRI), dan PNS Departemen Pertahanan/TNI/POLRI beserta keluarganya telah
dilaksanakan program Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia
(ASABRI) sesuai dengan Peraturan Pemrintah Nomor 67 Tahun 1991 yang merupakan
perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1971.

Berbagai program tersebut diatas baru mencakup sebagian kecil masyarakat. Sebagian
besar rakyat belum memperoleh perlindungan yang memadai. Disamping itu,
pelaksanaan berbagai program jaminan sosial tersebut mampu memberikan perlindungan
yang adil dan memadai kepada para peserta sesuai dengan manfaat program yang
menjadi hak peserta.

Sehubungan dengan hal di atas, dipandang perlu menyusun Sistem Jaminan Nasional
yang mampu mensinkronisasikan penyelenggaraan berbagai bentuk jaminan sosial yang
dilaksanakan oleh beberapa penyelenggara agar dapat menjangkau kepesertaan yang
lebih luas serta memberikan manfaat yang lebih besar bagi setiap peserta.

Prinsip Sistem Jaminan Sosial Nasional adalah sebagai berikut :

• Prinsip kegotong royongan. Prinsip ini diwujudkan dalam mekanisme gotong-


royong dari peserta yang mampu kepada peserta yamg kurang mampu dalam
bentuk kepesertaan wajib bagi seluruh rakyat; peserta yang berisiko rendah
membantu yang berisiko tinggi; dan peserta yang sehat membantu yang sakit.
Melalui prinsip kegotong-royongan ini jaminan sosial dapat menumbuhkan
keadalan sosial bagi keseluruhan rakyat Indonesia.
• Prinsip nirlaba. Pengelolaan dana amanat tidak dimaksudkan mencari laba
(nirlaba) bagi Badan Penyelenggara Jaminan sosial, akan tetapi tujuan utama
penyelenggaraan jaminan sosial adalah untuk memenuhi sebesar-besarnya
kepentingan peserta. Dana amanat, hasil pengembangannya, dan surplus anggaran
akan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan peserta.
• Prinsip keterbukaan, kehati- hatian, akuntabilitas, efisiensi dan efektivitas. Prinsip-
prinsip manajemen ini diterapkan dan mendasari seluruh kegiatan pengelolaan
dana yang berasal dari iuran peserta dan hasil pengembangannya.
• Prinsip portabilitas. Jaminan sosial dimaksudkan untuk memberikan jaminan yang
berkelanjutan meskipun peserta berpindah pekerjaan atau tempat tinggal dalam
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
• Prinsip kepesertaan bersifat wajib. Kepesertaan wajib dimaksudkan agar seluruh
rakyat menjadi peserta sehingga dapat terlindungi. Meskipun kepesertaan bersifat
wajib bagi seluruh rakyat, penerapannya tetap disesuaikan dengan kemampuan
ekonomi rakyat dan pemerintah serta kelayakan penyelenggaraan program.
Tahapan pertama dimulai dari pekerja di sektor formal, bersamaan dengan itu
sektor informal dapat menajdi peserta secara mandiri, sehingga pada akhirnya
Sistem Jaminan Sosial Nasional dapat mencakup seluruh rakyat.
• Prinsip dana amanat. Dana yang terkumpul dari iuran peserta merupakan titipan
kepada badan-badan penyelenggara untuk dikelola sebaik-baiknya dalam rangka
mengoptimalkan dana tersebut untuk kesejahteraan peserta.
• prinsip hasil pengelolaan Dana Jaminan Sosial Nasional dalam Undang-Undang
ini adalah hasil berupa dividen dari pemegang saham yang dikembalikan untuk
kepentingan peserta jaminan sosial.

Dalam Undang-Undang ini diatur penyelenggaraan Sistem Jaminan Sosial Nasional yang
meliputi jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, jaminan pensiun, jaminan hari tua,
dan jaminan kematian bagi seluruh penduduk melalui iuran wajib pekerja. Program-
program jaminan sosial tersebut diselenggarakan oleh beberapa Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial dalam Undang-Undang ini adalah
transformasi dari Badan Penyelenggara Jaminan Sosial yang sekarang telah berjalan dan
dimungkinkan membentuk badan penyelenggara baru sesuai dengan dinamika
perkembagan jaminan sosial.

PASAL DEMI PASAL

Pasal 1

Cukup Jelas.

Pasal 2

Asas kemanusiaan berkaitan dengan penghargaan terhadap martabat manusia. Asas


manfaat merupakan asas yang bersifat operasional menggambarkan pengelolaan yang
efisien dan efektif. Asas keadilan merupakan asas yang bersifat ideal. Ketiga asas
tersebut dimaksudkan utnuk menjamin kelangsungan program dan hak peserta.
Pasal 3

Yang dimaksud dengan kebutuhan dasar hidup adalah kebutuhan esensial setiap
orang agar dapat hidup layak, demi terwujudnya kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia.

Pasal 4

Prinsip kegotong-royongan dalam ketentuan ini adalah prinsip kebersamaan antar


peserta dalam menanggung beban biaya jaminan sosial, yang diwujudkan dengan
kewajiban setiap peserta membayar iuran sesuai dengan tingkat gaji, upah, atau
penghasilannya.

Prinsip nirlaba dalam ketentuan ini adalah prinsip pengelolaan usaha yang
mengutamakan penggunaan hasil pengembangan dana untuk memberikan manfaat
sebesar-besarnya bagi seluruh peserta.

Prinsip keterbukaan dalam ketentuan ini adalah prinsip dalam ketentuan ini adalah
prinsip mempermudah akses informasi yang lengkap, benar, dan jelas bagi setiap peserta.

Prinsip kehati- hatian dalam ketentuan ini adalah prinsip pengelolaan dana secara
cermat, teliti, aman, dan tertib.

Prinsip akuntabilitas dalam ketentuan ini adalah prinsip pelaksanaan program dan
pengelolaan keuangan yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan.

Prinsip portabilitas dalam ketentuan ini adalah prinsip memberikan jaminan yang
berkelanjutan meskipun peserta berpindah pekerjaan atau tempat tinggal dalam wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Prinsip kepesertaan wajib dalam ketentuan ini adalah prinsip yang mengharuskan
seluruh penduduk menjadi peserta jaminan sosial, ya ng dilaksanakan secara bertahap.

Prinsip dana amanat dalam ketentuan ini adalah bahwa iuran dan hasil
pengembangannya merupakan dana titipan dari peserta untuk digunakan sebesar-
besarnya bagi kepentingan peserta jaminan sosial.

Prins ip hasil pengelolaan dana Jaminan Sosial Nasional dalam ketentuan ini adalah
hasil dividen dari pemegang saham yang dikembalikan untuk kepentingan peserta
jaminan sosial.

Pasal 5

Ayat (1)

Cukup Jelas
Ayat (2)

Cukup Jelas

Ayat (3)

Cukup Jelas

Ayat (4)

Pembentukan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial menurut ketentuan ini


dimaksudkan untuk menyesuaikan dengan dinamika perkembangan jaminan sosial
dengan tetap memberi kesempatan kepada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial yang
telah ada/atau yang baru, dalam mengembangkan cakupan kepesertaan dan program
jaminan sosial.

Pasal 6

Cukup jelas

Pasal 7

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Huruf a

Kajian dan penelitian yang dilakukan dalam ketentuan ini antara lain
penyesuainan masa transisi, standar opersional dan prosedur Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial, besaran iuran dan manfaat, pentahapan kepesertaan dan perluasan
program, pemenuhan hak peserta, dan kewajiban Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.

Huruf b

Kebijakan investasi yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah


penempatan dana dengan memperhatikan prinsip kehati- hatian, optimalisasi hasil,
keamanan dana, dan transparansi.

Huruf c
Cukup jelas.

Ayat (4)

Kewenangan melakukan monitoring dan evaluasi dalam ketentuan ini


dimaksudkan untuk menjamin terselenggaranya program jaminan sosial, termasuk
tingkat kesehatan keuangan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.

Pasal 8

Ayat (1)

Jumlah 15 (lima belas) orang anggota dalam ketentuan ini terdiri dari unsur
pemerintah 5 (lima) orang , unsur tokoh dan/ atau ahli 6 (enam) orang, unsur organisasi
pemberi kerja 2 (dua) orang, dan unsur organisasi pekerja 2 (dua) orang

Unsur pemerintah dalam ketentuan ini berasal dari departemen yang


bertanggung jawab di bidang keuangan, ketenagakerjaan, kesehatan, sosial, dan
kesejahteraan rakyat dan/atau bidang pertahanan dan keamanan, masing- masing 1 (satu)
orang.

Unsur ahli dalam ketentuan ini meliputi ahli di bidang asuransi, keuangan,
investasi, dan aktuaria.

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Cukup jelas

Ayat (4)

Cukup jelas.

Ayat (5)

Cukup jelas

Ayat (6)

Pasal 9

Cukup jelas
Pasal 10

Cukup jelas

Pasal 11

Cukup jelas

Pasal 12

Cukup jelas

Pasal 13

Cukup jelas

Pasal 14

Ayat (1)

Frasa "secara bertahap" dalam ketentuan ini dimaksudkan agar memperhatikan


syarat-syarat kepesertaan dan program yang dilaksanakan dengan memperhatikan
kemampuan anggaran negara, seperti diawali dengan program jaminan kesehatan.

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Cukup jelas.

Pasal 15

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Informasi yang dimaksud dalam ketentuan ini mencakup hak dan kewajiban
sebagai peserta, akun pribadi secara berkala minimal satu tahun sekali, dan
perkembangan program yang diikutinya.

Pasal 16
Cukup jelas

Pasal 17

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Yang dimaksud pembayaran iuran secara berkala dalam ketentuan ini adalah
pembayaran setiap bulan.

Ayat (3)

Cukup jelas

Ayat (4)

Fakir miskin dan orang yang tidak mampu dalam ketentuan ini adalah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Ayat (5)

Cukup jelas

Ayat (6)

Cukup jelas

Pasal 18

Cukup jelas

Pasal 19

Ayat (1)

Prinsip asuransi sosial meliputi :

a. kegotong-royongan antara yang kaya dan miskin, yang sehat dan sakit, yang
tua dan muda, dan yang berisiko tinggi dan rendah;

b.kepesertaan yang bersifat wajib dan tidak selektif;


c. iuran berdasarkan persentase upah/penghasilan;

d. bersifat nirlaba.

Prinsip ekuitas yaitu kesamaan dalam memperoleh pelayanan sesuai dengan


kebutuhan medisnya yang tidak terikat dengan besaran iuran yang telah dibayarkannya.

Ayat (2)

Cukup jelas

Pasal 20

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Anggota keluarga adalah istri/suami yang sah, anak kandung, anak tiri dari
perkawinan yang sah, dan anak angkat yang sah, sebanyak-banyaknya 5 (lima) orang.

Ayat (3)

Yang dimaksud dengan anggota keluarga yang lain dalam ketentuan ini
adalah anak ke 4 dan seterusnya, ayah, ibu, dan mertua.

Untuk mengikut sertakan anggota keluarga yang lain, pekerja memberikan


surat kuasa kepada pemberi kerja untuk menambah iurannya kepada Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial sebagaimana ditetapkan dalam Undang-Undang ini.

Pasal 21

Ayat (1)

Ketentuan ini memungkinkan seorang peserta yang mengalami pemutusan


hubungan kerja dan keluarganya tetap dapat menerima jaminan kesehatan hingga 6
(enam) bulan berikutnya tanpa mengangsur.

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Cukup jelas
Ayat (4)

Cukup jelas

Pasal 22

Ayat (1)

Yang dimaksud pelayanan kesehatan dalam pasal ini meliputi pelayanan dan
penyuluhan kesehatan, imunisasi, pelayanan Keluarga Berencana, rawat jalan, rawat inap,
pelayanan gawat darurat dan tindakan medis lainnya, termasuk cuci darah dan operasi
jantung. Pelayanan ersebut diberikan sesuai dengan pelayanan standar, baik mutu
maupun jenis pelayanannya dalam rangka menjamin kesinambungan program dan
kepuasan peserta. Luasnya pelayanan kesehatan disesuaikan dengan kebutuhan peserta
yang dapat berubah dan kemampuan keuangan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Hal
ini diperlukan untuk kehati- hatian.

Ayat (2)

Jenis pelayanan yang dimaksud adalah pelayanan yang membuka peluang moral
hazaard (sangat dipengaruhi selera dan perilaku peserta), misalnya pemakaian obat-obat
suplemen, pemeriksaan diagnostik, dan tindakan yang tidak sesuai dengan kebutuhan
medik.

Urun biaya harus menjadi bagian upaya pengendalian, terutama upaya


pengendalian dalam menerima pelayanan kesehatan. Penetapan urun biaya dapat berupa
nilai nominal atau persentase tertentu dari biaya pelayanan, dan dibayarkan kepada
fasilitas kesehatan pada saat peserta memperoleh pelayanan kesehatan.

Ayat (3)

Cukup jelas

Pasal 23

Ayat (1)

Fasilitas kesehatan meliputi rumah sakit, dokter praktek, klinik, laboratorium,


apotek dan fasilitas kesehatan lainnya. Fasilitas kesehatan memenuhi syarat tertentu
apabila kesehatan tersebut diakui dan memiliki izin dari instansi Pemerintah yang
bertanggung jawab di bidang kesehatan.

Ayat (2)

Cukup jelas
Ayat (3)

Kompensasi yang diberikan pada peserta dapat dalam bentuk uang tunai, sesuai
dengan hak pesera.

Ayat (4)

Peserta yang menginginkan kelas yang lebih tinggi dari haknya (kelas standar),
dapat meningkatkan haknya dengan mengikuti asuransi kesehatan tambahan, atau
membayar sendiri selisih antara biaya yang dijamin oleh Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial dengan biaya yang harus dibayar akibat peningkatan kelas perawatan.

Ayat (5)

Cukup jelas

Pasal 24

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Ketentuan ini menghendaki agar Badan Penyelenggara Jaminan Sosial


membayar fasilitas kesehatan secara efektif dan efisien. Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial dapat memberikan anggaran tertentu kepada suatu rumah sakit di suatu daerah
untuk melayani sejumlah peserta atau membayar sejumlah tetap tertentu per kapita per
bulan (kapitasi). Anggaran tersebut sudah mencakup jasa medis, biaya perawatan, biaya
penunjang, dan biaya obat-obatan yang penggunaan rincinya diatur sendiri oleh pimpinan
rumah sakit. Dengan demikian, sebuah rumah sakit akan lebih leluasa menggunakan
dana seefektif dan seefisien mungkin.

Ayat (3)

Dalam pengembangan pelayanan kesehatan, Badan Penyelenggara Jaminan


Sosial menerapkan sistem kendali mutu dan kendali biaya termasuk menerapkan iuran
biaya untuk mencegah penyalahgunaan pelayanan kesehatan.

Pasal 25

Penetapan daftar dan plafon harga dalam ketentuan ini dimaksudkan agar
mempertimbangkan perkembangan kebutuhan medik ketersediaaan, serta efektifitas dan
efisiensi obat atau bahan medis habis pakai.

Pasal 26
Cukup jelas

Pasal 27

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Pengertian secara berkala dalam ketentuan ini adalah jangka waktu tertentu
untuk melakukan peninjauan atau perubahan sesuai dengan perkembangan kebutuhan.

Ayat (4)

Cukup jelas

Ayat (5)

Cukup jelas

Pasal 28

Cukup jelas

Pasal 29

Cukup jelas

Pasal 30

Cukup jelas

Pasal 31

Cukup jelas

Pasal 32

Ayat (1)

Cukup jelas
Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Kompensasi dalam ketentuan ini dapat berbentuk penggantian uang tunai,


pengiriman tenaga kesehatan, atau penyediaan fasilitas kesehatan tertentu.

Ayat (4)

Peserta yang menginginkan kelas yang lebih tinggi dari pada haknya (kelas
standar), dapat meningkatkan kelasnya dengan mengikuti asuransi kesehatan tambahan,
atau membayar sendiri selisih antara biaya yang dijamin oleh Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial dengan biaya yang harus dibayar akibat peningkatan kelas perawatan.

Pasal 33

Cukup jelas

Pasal 34

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Variasi besarnya iuran disesuaikan dengan tingkat risiko lingkungan kerja


dimaksudkan pula untuk mendorong pemberi kerja menurunkan tingkat risiko
lingkungan kerjanya dan teciptanya efisiensi usaha.

Ayat (4)

Cukup jelas

Pasal 35

Ayat (1)

Prinsip asuransi sosial dalam jaminan hari tua didasarkan pada mekanisme
asuransi dengan pembayaran iuran antara pekerja dan pemberi kerja.
Prinsip tabungan wajib dalam jaminan hari tua didasarkan pada pertimbangan
bahwa manfaat jaminan hari tua didasarkan pada pertimbanga n bahwa manfaat jaminan
hari tua berasal dari akumulasi iuran dan hasil pengembangannya.

Ayat (2)

Jaminan hari tua diterimakan kepada peserta yang belum memasuki usia
pensiun karena mengalami cacat total tetap sehingga tidak bisa lagi bekerja dan iurannya
berhenti.

Pasal 36

Cukup jelas

Pasal 37

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Pemerintah menjamin terselenggaranya pengembangan dana jaminan hari tua


sesuai dengan prinsip kehati- hatian minimal setara tingkat suku bunga deposito bank
Pemerintah jangka waktu satu tahun sehingga peserta memperoleh manfaat yang sebesar-
besarnya.

Ayat (3)

Sebagian jaminan hari tua dapat dibayarkan untuk membantu peserta


mempersiapkan diri memasuki masa pensiun.

Ayat (4)

Cukup jelas

Ayat (5)

Cukup jelas

Pasal 38

Ayat (1)

Cukup jelas
Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Yang akan diatur oleh Pemerintah adalah persentase iuran yang dibayar oleh
pekerja dan pemberi kerja.

Pasal 39

Ayat (1)

Pada dasarnya mekanisme jaminan pensiun berdasarkan asuransi sosial, namun


ketentuan ini memberi kesempatan kepada pekerja yang memasuki usia pensiun tetapi
masa iurannya tidak mencapai waktu ditentukan, untuk diberlakukan sebagai tabungan
wajib dan dibayarkan pada saat yang bersangkutan berhenti bekerja, ditambah hasil
pengembangannya.

Ayat (2)

Derajat kehidupan yang layak yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah besaran
jaminan pensiun mampu memenuhi kebutuhan pokok pekerja dan keluarganya.

Ayat (3)

Yang dimaksud dengan manfaat pasti adalah terdapat batas minimun dan
maksimum manfaat yang akan diterima peserta.

Ayat (4)

Cukup jelas

Pasal 40

Cukup jelas

Pasal 41

Ayat (1)

Huruf a

Cukup jelas

Huruf b
Cukup jelas

Huruf c

Cukup jelas

Huruf d

Manfaat pensiun anak adalah pemberian uang pensiun berkala kepada


anak sebagai ahli waris peserta, paling banyak 2 (dua) orang yang belum bekerja, belum
menikah, atau sampai berusia 23 (dua puluh tiga) tahun, yang tidak mempunyai sumber
penghasilan apabila seorang peserta meninggal dunia.

Huruf e

Manfaat orang tua adalah pemberian uang pensiun berkala kepada orang
tua sebagai ahli waris peserta lajang apabila seorang peserta meninggal dunia.

Ayat (2)

Ketentuan 15 (lima belas) tahun diperlukan agar ada kecukupan dari


akumulasi dana untuk memberi jaminan pensiun sampai jangka waktu yang ditetapkan
dalam bentuk Undang-Undang ini.

Ayat (3)

Formula jaminan pensiun ditetapkan berdasarkan masa kerja dan upah


terakhir.

Ayat (4)

Meskipun peserta belum memenuhi masa iur selama 15 (lima belas) tahun,
sesuai dengan prinsip asuransi sosial, ahli waris berhak menerima jaminan pensiun sesuai
dengan formula yang ditetapkan.

Ayat (5)

Karena belum memenuhi syarat masa iur, iuran jaminan pensiun


diberlakukan sebagai tabungan wajib.

Ayat (6)

Cukup jelas

Ayat (7)
Cukup jelas

Ayat (8)

Cukup jelas

Pasal 42

Cukup jelas

Pasal 43

Cukup jelas

Pasal 44

Cukup jelas

Pasal 45

Cukup jelas

Pasal 46

Cukup jelas

Pasal 47

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan likuiditas adalah kemampuan keuangan Badan


Penyelenggara Jaminan Sosial dalam memenuhi kewajibannya jangka pendek.

Yang dimaksud dengan solvabilitas adalah kemampuan keuangan Badan


Penyelenggara Jaminan Sosial dalam memenuhi semua kewajiban jangka pendek dan
jangka panjang.

Ayat (2)

Cukup jelas

Pasal 48

Cukup jelas

Pasal 49
Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Subsidi silang yang tidak diperkenankan dalam ketentuan ini misalnya dana
pensiun tidak dapat digunakan untuk membiayai jaminan kesehatan dan sebaliknya.

Ayat (3)

Cukup jelas

Ayat (4)

Cukup jelas

Pasal 50

Ayat (1)

Cadangan teknis menggambarkan kewajiban Badan Penyelenggara Jaminan


Sosial yang timbul dalam rangka memenuhi kewajiban di masa depan kepada peserta.

Ayat (2)

Cukup jelas

Pasal 51

Cukup jelas

Pasal 52

Cukup jelas

Pasal 53

Cukup jelas

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4456


PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA

NOMOR: PER – 12/MEN/VI/2007

TENTANG
PETUNJUK TEKNIS PENDAFTARAN KEPESERTAAN,
PEMBAYARAN IURAN, PEMBAYARAN SANTUNAN DAN PELAYANAN
JAMINAN SOSIAL TENAGA KERJA.

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA

Menimbang : a. bahwa dalam rangka pelaksanaan Peraturan


Pemerintah Nomor 14 Tahun 1993 tentang
Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga
Kerja, perlu diatur petunjuk teknis pendaftaran
kepesertaan, pembayaran iuran, pembayaran
santunan, dan pelayanan jaminan sosial tenaga kerja;

b. bahwa Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor : Per-


05/MEN/1993 tentang Petunjuk Teknis Pendaftaran
Kepesertaan, Pembayaran Iuran, Pembayaran
Santunan dan Pelayanan Jaminan Sosial Tenaga
Kerja perlu diubah dan disesuaikan dengan
perkembangan kebutuhan;

c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana


tersebut pada huruf a dan huruf b perlu ditetapkan
dengan Peraturan Menteri.

Mengingat : 1. Undang–Undang No. 3 Tahun 1992 tentang Jaminan


Sosial Tenaga Kerja ( LN RI Tahun 1992 No.14
Tambahan LN RI No. 3468).
2. Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 1993 tentang
Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga
Kerja (Lembaran Negara RI Tahun 1993 No. 20,
Tambahan Lembaran Negara RI No. 3520):
3. Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1995 tentang
Penetapan Badan Penyelenggara Program Jaminan
Sosial Tenaga Kerja;
4. Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2004 tentang
Pengelolaan dan Investasi Dana Jaminan sosial
Tenaga Kerja;
5. Peraturan Pemerintah Nomor 64 Tahun 2005 tentang
Perubahan Keempat Atas Peraturan Pemerintah
Nomor 14 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan
Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja
6. Keputusan Presiden RI Nomor 22 tahun 1993
tentang Penyakit yang timbul karena hubungan kerja
7. Keputusan Presiden Nomor : 187/M tahun 2004
tentang Pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu;
8. Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor PER-
06/MEN/1990 tentang Kewajiban Pengusaha Untuk
Membuat, Memiliki dan Memelihara Buku Upah;
9. Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor PER-
01/MEN/1998 tentang Penyelenggaraan Jaminan
Pemeliharaan Kesehatan Dengan Manfaat Lebih
Baik.
MEMUTUSKAN

Menetapkan : PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN


TRANSMIGRASI TENTANG PETUNJUK TEKNIS
PENDAFTARAN KEPESERTAAN, PEMBAYARAN
IURAN, PEMBAYARAN SANTUNAN DAN
PELAYANAN JAMINAN SOSIAL TENAGA
KERJA.

BAB I
PENGERTIAN
Pasal 1

Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan :

(1) Badan Penyelenggara adalah PT. Jamsostek (Persero).

(2) Pelaksana Pelayanan Kesehatan tingkat pertama adalah dokter umum, dokter gigi
Pusat Kesehatan Masyarakat atau pelayanan kesehatan lainnya yang ditunjuk oleh
Badan Penyelenggara.

(3) Pelaksana Pelayanan Kesehatan tingkat lanjutan adalah dokter spesialis dan rumah
sakit yang ditunjuk oleh Badan Penyelenggara.

(4) Tertanggung adalah tenaga kerja dan atau keluarga yang terdaftar dalam program
jaminan pemeliharaan kesehatan.

(5) Keluarga adalah :


a. Suami atau isteri yang sah menjadi tanggungan tenaga kerja dan terdaftar pada
Badan Penyelenggara.
b. Anak kandung, anak angkat, anak tiri yang belum berusia 21 (dua puluh satu)
tahun, belum menikah, tidak mempunyai pekerjaan, yang menjadi tanggungan
tenaga kerja maksimal 3 (tiga) orang dan terdaftar pada Badan Penyelenggara.

(6) Menteri adalah Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi.

BAB II
PENDAFTARAN KEPESERTAAN
Pasal 2

(1) Setiap pengusaha yang mengajukan pendaftaran kepesertaan program jaminan


sosial tenaga kerja kepada Badan Penyelenggara harus mengisi formulir:
a. Pendaftaran perusahaan (formulir Jamsostek 1).
b. Pendaftaran tenaga kerja (formulir Jamsostek 1a).
c. Daftar upah/rincian iuran tenaga kerja (formulir Jamsostek 2a).

(2) Setiap tenaga kerja yang telah menjadi peserta program jaminan sosial tenaga kerja
sebelum Peraturan Menteri ini berlaku yang akan diikutsertakan pada program
jaminan pemeliharaan kesehatan harus mengisi formulir Jamsostek 1a dan
menyerahkan kepada Badan Penyelenggara.

(3) Pengusaha harus menyampaikan formulir Jamsostek sebagaimana dimaksud dalam


ayat (1) kepada Badan Penyelenggara selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak
diterimanya formulir tersebut oleh pengusaha yang bersangkutan yang dibuktikan
dengan tanda terima atau tanda terima pengirirman pos dan diterima oleh Badan
Penyelenggara sebelum efektif berlakunya kepesertaan.

(4) Kepesertaan dalam program jaminan sosial tenaga kerja dimulai sejak tanggal 1
(satu), bulan sebagaimana dinyatakan pada formulir Jamsostek 1.
Pasal 3

(1) Berdasarkan pengajuan pendaftaran dari pengusaha sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 2 ayat (1), Badan Penyelenggara menetapkan besarnya iuran Jaminan
Kecelakaan Kerja sesuai dengan kelompok jenis usahanya dan memberitahukan
besarnya iuran program jaminan sosial tenaga kerja kepada pengusaha.

(2) Badan Penyelenggara menerbitkan sertifikat kepesertaan, kartu peserta dan kartu
pemeliharaan kesehatan paling lambat 7 (tujuh) hari sejak formulir pendaftaran
diterima secara lengkap dan iuran pertama dibayar.

(3) Bentuk sertifikat kepesertaan untuk pengusaha, kartu peserta untuk tenaga kerja dan
kartu pemeliharaan kesehatan untuk tertanggung sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) ditetapkan oleh Badan Penyelenggara.

Pasal 4

(1) Pengusaha wajib melaporkan kepada Badan Penyelenggara apabila terjadi :


a. Perubahan data perusahaan dengan mengisi formulir Jamsostek 1.
b. Penambahan tenaga kerja dengan mengisi formulir Jamsostek 1a.
c. Pengurangan tenaga kerja karena tenaga kerja berhenti bekerja atau meninggal
dunia dengan mengissi formulir Jamsostek 1b;
d. Perubahan terhadap identitas data tenaga kerja dan susunan keluarga, dengan
mengisi formulir 1a;
e. Perubahan upah dan atau tenaga kerja dengan mengisi formulir Jamsostek 2a.

(2) Pelaporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan pada bulan
terjadinya penambahan dan atau pengurangan tenaga kerja serta perubahan terhadap
identitas data tenaga kerja dan susunan keluarga yang harus sudah diterima oleh
Badan Penyelenggara paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak terjadi perubahan.

(3) Dalam hal perubahan identitas data tenaga kerja dan keluarganya sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) terlambat dilaporkan oleh pengusaha kepada Badan
Penyelenggara, apabila terjadi risiko yang dialami oleh tenaga kerja dan
keluarganya menjadi tanggung jawab pengusaha.

BAB III
PEMBAYARAN IURAN
Pasal 5

(1) Pengusaha wajib membayar iuran pertama kali secara lunas untuk bulan mulainya
menjadi peserta sebagaimana dinyatakan oleh pengusaha dalam formulir Jamsostek
1, pada bulan yang bersangkutan.

(2) Besarnya iuran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dihitung berdasarkan rincian
iuran untuk masing-masing tenaga kerja sesuai dengan program jaminan sosial
tenaga kerja sebagaimana tercantum dalam formulir Jamsostek 2a.

(3) Iuran setiap bulan wajib dibayar oleh pengusaha secara berurutan dihitung
berdasarkan upah bulan yang bersangkutan yang diterima oleh tenaga kerja dan
dibayarkan paling lambat tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya kepada Badan
Penyelenggara dengan melampirkan formulir Jamsostek 2 dan formulir Jamsostek
2a untuk bulan yang bersangkutan beserta data pendukungnya.

(4) Dalam hal tidak terdapat perubahan upah, jumlah tenaga kerja dan program jaminan
sosial tenaga kerja yang diikuti pembayaran iuran setiap bulan oleh perusahaan
kepada Badan Penyelenggara cukup dengan melampirkan formulir Jamsostek 2.

(5) Apabila pengusaha membayar iuran setiap bulan tidak berurutan, Badan
Penyelenggara memperhitungkan sebagian atau seluruh iuran bulan berikutnya
untuk melunasi kekurangan iuran bulan sebelumnya.
(6) Apabila pengusaha membayar iuran kurang dari yang sebenarnya maka Badan
Penyelenggara memperhitungkan sebagian atau seluruh iuran bulan berikutnya
untuk melunasi kekurangan iuran bulan sebelumnya.

(7) Apabila pengusaha karena sesuatu hal tidak dapat memenuhi kewajibannya
membayar iuran setiap bulan, tetap wajib menyampaikan formulir Jamsostek 2 dan
formulir Jamsostek 2a untuk bulan yang bersangkutan kepada Badan Penyelenggara
atau hanya menyampaikan formulir Jamsostek 2 apabila pada bulan yang
bersangkutan tidak terjadi perubahan upah, jumlah tenaga kerja dan program
jaminan sosial tenaga kerja yang diikuti.

(8) Pengusaha yang tidak memenuhi ketentuan iuran sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan ayat (3), dikenakan denda sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan
merupakan piutang Badan Penyelenggara terhadap pengusaha.

(9) Iuran yang diterima oleh Badan Penyelenggara diberikan bukti penerimaan
iuran yang bentuknya ditetapkan oleh Badan Penyelenggara.

Pasal 6

(1) Badan Penyelenggara wajib menyampaikan surat pemberitahuan kepada pengusaha


yang belum memenuhi kewajiban membayar iuran dan atau belum menyampaikan
formulir 2a sebagaimana dimaksud pada Pasal 5 ayat (3), paling lambat 7 (tujuh)
hari kerja setelah batas hari terakhir kewajiban pengusaha membayar iuran dengan
tembusan kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.
(2) Badan Penyelenggara menyampaikan surat pemberitahuan kelebihan atau
kekurangan pembayaran iuran kepada pengusaha yang bersangkutan selambat
lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak diterimanya iuran dan atau formulir Jamsostek
2a.

(3) Pengusaha wajib menyelesaikan kelebihan atau kekurangan iuran sebagaimana


dimaksud ayat (2), dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja setelah diterimanya surat
pemberitahuan dari Badan Penyelenggara, selambat-lambatnya bersamaan dengan
pembayaran iuran bulan berikutnya.

(4) Apabila terjadi kelebihan pembayaran iuran oleh pengusaha maka akan
diperhitungkan dengan iuran bulan berikutnya.

(5) Apabila iuran yang diterima oleh Badan Penyelenggara belum sama dengan jumlah
iuran yang tercantum pada formulir Jamsostek 2a untuk bulan yang bersangkutan,
maka iuran tersebut belum dapat dirinci kedalam akun individu Jaminan Hari Tua
masing-masing peserta dan program lainnya oleh Badan Penyelenggara.

Pasal 7

Dalam hal pengusaha menunggak iuran 1 (satu) bulan maka:


1. Pengusaha wajib membayar terlebih dahulu Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan
Kematian yang menjadi hak tenaga kerja.

2. Pengusaha wajib memberikan terlebih dahulu pelayanan pemeliharaan kesehatan


kepada tenaga kerja.

3. Badan Penyelenggara akan mengganti jaminan yang menjadi hak tenaga kerja
kepada pengusaha sebagaimana dimaksud pada angka 1 (satu) dan angka 2 (dua)
sesuai dengan ketentuan yang berlaku setelah pengusaha membayar seluruh
tunggakan iuran beserta dendanya.

4. Permintaan penggantian jaminan yang menjadi hak tenaga kerja oleh pengusaha
kepada Badan Penyelenggara sebagaimana dimaksud pada angka 1 (satu) dan angka
2 (dua), tidak boleh melebihi jangka waktu 3 (tiga) bulan.
5. Badan Penyelenggara wajib membayar penggantian jaminan sebagaimana dimaksud
angka 4 (empat) paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak dokumen pendukung
dinyatakan lengkap.

BAB IV
PELAPORAN PENGAJUAN DAN PEMBAYARAN JAMINAN KECELAKAAN
KERJA.

Pasal 8

(1) Pengusaha wajib melaporkan setiap kecelakaan kerja yang menimpa tenaga
kerjanya kepada Instansi yang bertanggung jawab di bidang Ketenagakerjaan dan
Badan Penyelenggara setempat sebagai laporan kecelakaan kerja tahap I dalam
waktu tidak lebih dari 2 x 24 (dua kali dua puluh empat) jam terhitung sejak
terjadinya kecelakaan dengan mengisi formulir Jamsostek 3, serta melampirkan foto
copy kartu peserta.

(2) Pengusaha wajib mengirimkan laporan kecelakaan kerja tahap II kepada Instansi
yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan dan Badan Penyelenggara
setempat dengan mengisi formulir Jamsostek 3a dalam waktu tidak lebih dari 2 x 24
(dua kali dua puluh empat) jam setelah tenaga kerja yang tertimpa kecelakaan kerja
berdasarkan surat keterangan dokter yang menerangkan:
a. keadaan sementara tidak mampu bekerja telah berakhir; atau
b. keadaan cacat sebagian untuk selama-lamanya; atau
c. keadaan cacat total untuk selama-lamanya baik fisik maupun mental; atau
d. meninggal dunia.

(3) Surat keterangan dokter sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) menggunakan
formulir Jamsostek 3b.

Pasal 9

(1) Pengusaha wajib melaporkan penyakit yang timbul karena hubungan kerja dalam
waktu tidak lebih dari 2 x 24 (dua kali dua puluh empat) jam dengan mengisi
formulir Jamsostek 3 sejak menerima hasil diagnosis dari dokter pemeriksa.

(2) Dalam hal penyakit yang timbul karena hubungan kerja surat keterangan dokter
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) menggunankan Formulir Jamsostek 3c.

Pasal 10

(1) Laporan Kecelakaan Kerja tahap II (Form.Jamsostek 3 a) yang disampaikan kepada


Badan Penyelenggara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) berfungsi
sebagai pengajuan permintaan pembayaran Jaminan Kecelakaan Kerja kepada
Badan Penyelenggara.

(2) Penyampaian Formulir Jamsostek 3a sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disertai
bukti-bukti :
a. Fotocopy kartu peserta ;
b. Surat Keterangan Dokter formulir Jamsostek 3b atau 3c ;
c. Kuitansi Biaya Pengobatan dan Pengangkutan ;
d. Dokumen pendukung lain yang diperlukan.

(3) Dalam hal bukti-bukti sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak lengkap, maka
Badan Penyelenggara memberitahukan kepada Pengusaha selambat-lambatnya 7
(tujuh) hari sejak Laporan Kecelakan Kerja tahap II diterima.
Pasal 11

(1) Berdasarkan pengajuan permintaan pembayaran jaminan sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 10 ayat (1), Badan Penyelenggara menghitung besarnya santunan dan
penggantian biaya.

(2) Berdasarkan perhitungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Badan


Penyelenggara membayar penggantian biaya kepada pengusaha dan membayar
santunan kepada tenaga kerja atau keluarga.

(3) Dalam hal Jaminan Kecelakaan Kerja dibayar terlebih dahulu oleh Pengusaha maka
Badan Penyelenggara membayar penggantian jaminan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) kepada Pengusaha sebesar perhitungan Badan Penyelenggara.

(4) Dalam hal perhitungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) lebih besar dari
Jaminan Kecelakaan Kerja yang telah dibayarkan oleh Pengusaha, kelebihannya
diserahkan kepada tenaga kerja yang bersangkutan.

Pasal 12

(1) Dalam hal terjadi perbedaan penetapan mengenai Kecelakaan Kerja atau bukan
Kecelakaan Kerja, maka Pengusaha atau tenaga kerja/keluarga atau Badan
Penyelenggara mememinta Penetapan kepada Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan.

(2) Berdasarkan permintaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pegawai


pengawas ketenagakerjaan dan petugas Badan Penyelenggara mengadakan
penelitian dan pemeriksaan atas kecelakaan dimaksud;

(3) Berdasarkan hasil penelitian dan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2) pegawai pengawas ketenagakerjaan membuat penetapan kecelakaan kerja atau
bukan kecelakaan kerja.

(4) Dalam hal penetapan pegawai pengawas ketenagakerjaan tidak dapat diterima oleh
salah satu pihak maka pihak yang bersangkutan mengajukan kepada Menteri.

(5) Sambil menunggu penetapan Menteri sebagaimana dimaksud dalam ayat (4),
maka pengusaha wajib membayar terlebih dahulu biaya pengangkutan, pengobatan
dan perawatan kepada tenaga kerja sesuai ketentuan yang berlaku.

(6) Dalam hal menteri menetapkan kecelakaan kerja maka Badan Penyelenggara wajib
membayar Jaminan Kecelakaan Kerja sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

(7) Dalam hal Menteri menetapkan bukan kecelakaan kerja dan tenaga kerja yang
bersangkutan diikut sertakan dalam program JPK, maka biaya pengobatan dan
perawatan dapat dibebankan dalam program JPK sesuai ketentuan yang berlaku.

Pasal 13.

(1) Dalam hal terjadi perbedaan besarnya santunan yang diterima oleh tenaga
kerja/keluarganya disebabkan adanya pelaporan yang tidak benar oleh pengusaha
kepada Badan Penyelenggara maka tenaga kerja yang bersangkutan meminta
perhitungan kembali kepada pegawai pengawas ketenagakerjaan.

(2) Berdasarkan permintaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pegawai pengawas
ketenagakerjaan meminta pertimbangan dokter penasehat untuk menetapkan
presentase cacat.

(3) Dalam hal penetapan pegawai pengawas ketenagakerjaan tidak dapat diterima oleh
salah satu pihak, maka pihak yang bersangkutan dapat mengajukan keberatan
kepada menteri.
(4) Sambil menunggu penetapan menteri sebagaimana dimaksud ayat (3) dan tenaga
kerja dinyatakan sembuh oleh dokter yang merawat, Badan Penyelenggara
membayar biaya penggantian pengangkutan, pengobatan, perawatan dan santuan
sementara tidak mampu bekerja kepada pengusaha, sedangkan santuan cacat baru
dibayarkan setelah ada penetapan menteri.

(5) Apabila Menteri menetapkan presentase cacat sebagaimana dimaksud ayat (3),
maka Badan Penyelenggara menghitung dan membayarkan besarnya JKK kepada
yang berhak.

Pasal 14

(1) Dalam hal terjadi perbedaan besarnya santunan yang diterima oleh tenaga
kerja/keluarganya disebabkan adanya pelaporan yang tidak benar oleh pengusaha
kepada Badan Penyelenggara maka tenaga kerja yang bersangkutan meminta
perhitungan kembali kepada pegawai pengawas ketenagakerjaan

(2) Berdasarkan permintaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pegawai pengawas
ketenagakerjaan menghitung kembali besarnya santunan berdasarkan upah satu
bulan terakhir sebelum terjadinya kecelakaan.

(3) Dalam hal besarnya santunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) lebih besar
daripada santunan yang dibayarkan oleh Badan Penyelenggara, maka pengusaha
wajib membayar kekurangannya.

(4) Dalam hal penetapan pegawai pengawas ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud


dalam ayat (3) tidak dapat diterima oleh pengusaha atau tenaga kerja/keluarganya,
maka pihak yang bersangkutan dapat mengajukan kepada menteri.

(5) Penetapan menteri sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) merupakan keputusan
akhir dan wajib dilaksanakan oleh pihak yang bersangkutan.

BAB V
PENGAJUAN DAN PEMBAYARAN JAMINAN KEMATIAN.

Pasal 15

(1) Dalam hal tenaga kerja meninggal dunia bukan akibat kecelakaan kerja, pengusaha
atau keluarga tenaga kerja mengajukan permintaan pembayaran Jaminan Kematian
kepada Badan Penyelenggara dengan mengisi formulir Jamsostek 4. dengan
melampirkan :
a. Kartu peserta Jamsostek (KPJ) asli;
b.Surat keterangan kematian dari rumah sakit/kepolisian/kelurahan
c. Identitas keluarga yang masih berlaku (foto copy kartu tanda penduduk/Surat ijin
mengemudi dan kartu keluarga) yang masih berlaku.

(2) Berdasarkan pengajuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka Badan
Penyelenggara membayar Jaminan Kematian dan santunan berkala kepada keluarga
tenaga kerja yang bersangkutan.

Pasal 16

(1) Peserta program kematian masih berhak mendapat perlindungan Jaminan Kematian
selama 6 (enam) bulan sejak tenaga kerja yang bersangkutan berhenti bekerja

(2) Keluarga dari peserta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengajukan permintaan
pembayaran Jaminan Kematian kepada Badan Penyelenggara dengan melampirkan
:
a. Formulir Jamsostek 4;
b. Surat keterangan kematian dari rumah sakit/kepolisian/kelurahan;
c. Identitas keluarga yang masih berlaku (foto copy kartu tanda penduduk/Surat
ijin mengemudi dan kartu keluarga) yang masih berlaku.

BAB VI
PENGAJUAN DAN PEMBAYARAN JAMINAN HARI TUA

Pasal 17

(1) Tenaga kerja yang telah menerima pemberitahuan 30 (tiga puluh) hari sebelum usia
55 (lima puluh lima) tahun, maka tenaga kerja yang bersangkutan melalui
pengusaha mengajukan permintaan pembayaran Jaminan Hari Tua kepada Badan
Penyelenggara dengan mengisi formulir Jamsostek 5 selambat-lambatnya 15 (lima
belas) hari setelah menerima pemberitahuan tersebut.

(2) Berdasarkan pengajuan permintaan pembayaran sebagaimana dimaksud dalam ayat


(1), Badan Penyelenggara menetapkan dan membayarkan Jaminan Hari Tua secara
sekaligus atau berkala sesuai dengan pilihan tenaga kerja yang bersangkutan.

(3) Dalam hal tenaga kerja meninggal dunia dan masih berhak menerima Jaminan Hari
Tua secara berkala, maka keluarga tenaga kerja yang bersangkutan mengajukan
permintaan pembayaran sisa jaminannya kepada Badan Penyelenggara dengan
disertai surat kematian dan selanjutnya Badan Penyelenggara membayarkan secara
sekaligus kepada ahli waris tenaga kerja yang bersangkutan

Pasal 18

(1) Tenaga kerja yang berhenti bekerja dari perusahaan sebelum usia 55 (lima puluh
lima) tahun dan telah mempunyai masa kepesertaan aktif (membayar iuran )
maupun non aktif (tidak membayar iuran) sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun, dan
setelah melewati masa tunggu 6 (enam) bulan maka tenaga kerja dapat mengajukan
permintaan pembayaran Jaminan Hari Tua kepada Badan Penyelenggara dengan
mengisi formulir Jamsostek 5 dengan melampirkan:
a. Kartu Peserta Jamsostek (KPJ) asli.
b. Surat keterangan pemberhentian bekerja dari perusahaan atau penetapan
pengadilan hubungan industrial;
c. Kartu Identitas (foto copy kartu tanda penduduk/Surat ijin mengemudi dan kartu
keluarga) yang masih berlaku.

(2) Masa kepesertaan sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun sebagaimana dimaksud dalam


ayat (1) dihitung sejak pembayaran iuran pertama program Jaminan Hari Tua
berdasarkan PP No. 14 Tahun 1993.

(3) Berdasarkan pengajuan permintaan pembayaran sebagaimana dimaksud dalam ayat


(1) Badan Penyelenggara menghitung dan membayar Jaminan Hari Tua secara
sekaligus kepada tenaga kerja yang bersangkutan.

Pasal 19

(1) Tenaga kerja yang meninggalkan wilayah Republik Indonesia untuk selama-
lamanya, dapat mengajukan permintaan pembayaran Jaminan Hari Tua dengan
menyerahkan kartu peserta dan mengisi formulir Jamsostek 5 disertai dengan bukti-
bukti:
a. Pernyataan tidak bekerja lagi di Indonesia.
b.Foto copy pasport.
c. Foto copy Visa bagi tenaga kerja Warga Negara Indonesia.

(2) Berdasarkan pengajuan permintaan pembayaran sebagaimana dimaksud dalam ayat


(1) Badan Penyelenggara menghitung dan membayarkan Jaminan Hari Tua secara
sekaligus kepada tenaga kerja yang bersangkutan.
Pasal 20

(1) Tenaga Kerja yang menyandang cacat total tetap untuk selama-lamanya, berhak
mengajukan permintaan pembayaran Jaminan Hari Tua dengan mengisi formulir
Jamsostek 5, disertai bukti-bukti:
a. kartu peserta Jamsostek
b. surat keterangan dokter.

(2) Berdasarkan permintaan pembayaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Badan
Penyelenggara menghitung dan membayar Jaminan Hari Tua secara sekaligus atau
berkala kepada tenaga kerja sesuai pilihan tenaga kerja yang bersangkutan.

Pasal 21

(1) Besarnya Jaminan Hari Tua adalah keseluruhan iuran Jaminan Hari Tua yang telah
disetorkan oleh pengusaha kepada Badan Penyelenggara beserta hasil
pengembangannya.

(2) Hasil pengembangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Badan
Penyelenggara yang besarnya sesuai dengan hasil pengelolaan dan investasi dana
iuran Jaminan Hari Tua.

(3) Hasil pengembangan Jaminan Hari Tua untuk masing-masing tenaga kerja dihitung
sejak tanggal iuran dibayar lunas.

(4) Iuran dan hasil pengembangan akan dibukukan dalam akun individu masing-masing
tenaga kerja.

(5) Tenaga kerja yang telah mencapai usia 55 (lima puluh lima) tahun maka tenaga
kerja yang bersangkutan melalui pegusaha mengajukan permintaan pembayaran
Jaminan Hari Tua kepada Badan Penyelenggara dengan mengisi formulir Jamsostek
5

(6) Jaminan Hari Tua akan dibayar oleh Badan Penyelenggara sebesar sebagaimana
dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (4).

(7) Dalam hal terjadi kekurangan pembayaran Jaminan Hari Tua yang menjadi hak
tenaga kerja yang disebabkan pengusaha menunggak atau kurang membayar iuran
maka pengusaha wajib membayar kekurangan Jaminan Hari Tua yang menjadi hak
tenaga kerja

(8) Badan Penyelenggara membayar kekurangan Jaminan Hari Tua setelah pengusaha
melunasi kewajibannya sebagaimana dimaksud pada ayat (7).

(9) Berdasarkan pengajuan permintaan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat


(5) Badan Penyelenggara menetapkan dan membayarkan Jaminan Hari Tua
sekaligus atau berkala sesuai dengan pilihan tenaga kerja yang bersangkutan sesuai
ketentuan yang berlaku.

(10) Dalam hal tenaga kerja meninggal dunia dan masih berhak menerima Jaminan Hari
Tua secara berkala sebagaimana dimaksud pada ayat (9), maka keluarga tenaga
kerja yang bersangkutan mengajukan permintaan pembayaran sisa Jaminan Hari
Tuanya kepada Badan Penyelenggara dengan disertai surat kematian dan
selanjutnya Badan Penyelenggara membayarkan secara sekaligus kepada ahli waris
tenaga kerja yang bersangkutan.
BAB VII
PENGAJUAN DAN PELAYANAN JAMINAN
PEMELIHARAAN KESEHATAN.

Pasal 22

Untuk memberikan pelayanan pemeliharaan kesehatan kepada peserta Badan


Penyelenggara menunjuk Pelaksana Pelayanan Kesehatan terdiri dari :
a. Balai Pengobatan;
b. Puskesmas;
c. Dokter praktek swasta;
d. Rumah Sakit;
e. Rumah Bersalin;
f. Rumah Sakit Bersalin;
g. Apotek;
h. Optik;
i. Perusahaan alat-alat kesehatan.

Pasal 23

(1) Badan Penyelenggara menyelenggarakan paket jaminan Pemeliharaan Kesehatan


Dasar.

(2) Paket Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Dasar sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) meliputi pelayanan :
a. Rawat jalan tingkat pertama;
b.Rawat jalan tingkat lanjutan;
c. Rawat inap;
d.Pemeriksaan kehamilan dan pertolongan persalinan;
e. Penunjang diagnostik
f. Pelayanan khusus;
g.Gawat darurat.
Pasal 24
(1) Pelayanan rawat jalan tingkat pertama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat
(2) huruf a, meliputi :
a. Bimbingan dan konsultasi kesehatan;
b.Pemeriksaan kehamilan,nifas dan ibu menyusui;
c. Keluarga berencana;
d.Imunisasi bayi, anak dan ibu hamil;
e. Pemeriksaan dan pengobatan dokter umum;
f. Pemeriksaan dan pengobatan dokter gigi;
g.Pemeriksaan laboratorium sederhana;
h.Tindakan medis sederhana.
i. Pemberian obat-obatan sesuai dengan standard program JPK Jamsostek yang
berpedoman pada DOEN Plus.
j. Rujukan ke rawat tingkat lanjutan.

(2) Pelayanan rawat jalan tingkat pertama dilakukan di Pelaksana Pelayanan Kesehatan
Tingkat pertama.
Pasal 25
(1) Pelayanan rawat jalan tingkat lanjutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat
(2) huruf b, meliputi :
a. Pemeriksaan dan pengobatan oleh dokter spesialis;
b.Pemeriksaan penunjang diagnostik lanjutan;
c. Pemberian obat-obatan sesuai dengan standard obat program JPK Jamsostek yang
berpedoman pada DOEN Plus
d.Tindakan khusus lainnya.
(2) Pelayanan rawat jalan tingkat lanjutan dilakukan di Pelaksana Pelayanan Kesehatan
Tingkat Lanjutan yang ditunjuk Badan Penyelenggara.
Pasal 26
(1) Pelayanan rawat inap sebagaimana dimaksud dalam pasal 23 ayat (2) huruf c
meliputi:
a. Pemeriksaan dokter.
b.Tindakan medis
c. Penunjang diagnostik.
d.Pemberian obat-obatan DOEN Plus atau Generik.
e. Menginap dan makan.
(2) Pelayanan rawat inap dilakukan di semua rumah sakit

Pasal 27

(1) Pemeriksaan kehamilan dan pertolongan persalinan sebagaimana dimaksud


dalam pasal 23 ayat (2) huruf d meliputi:
a. Pemeriksaan kehamilan oleh dokter umum atau bidan.
b.Pertolongan persalinan oleh dokter umum atau bidan atau dukun beranak yang
diakui.
c. Perawatan ibu dan bayi.
d.Pemberian obat-obatan sesuai dengan standar obat program JPK Jamsostek yang
berpedoman pada Daftar Obat Esensial Nasional Plus (DOEN Plus).
e. Menginap dan makan.
f. Rujukan ke Rumah Sakit atau Rumah Sakit Bersalin.
(2) Pelayanan persalinan (partus) sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
diberikan kepada tenaga kerja atau istri tenaga kerja yang melahirkan anak setelah
hamil sekurang-kurangnya 26 minggu.
(3) Pertolongan persalinan bagi tenaga kerja atau istri tenaga kerja dilakukan pada
pelaksana pelayanan kesehatan tingkat pertama atau Rumah Bersalin dengan
ketentuan sebagai berikut:
a. Persalinan kesatu, kedua dan ketiga;
b.Tenaga kerja pada permulaan kepesertaan sudah mempunyai tiga anak atau lebih,
tidak berhak mendapat pertolongan persalinan.
c. Untuk persalinan dengan penyulit yang memerlukan tindakan spesialistik maka
berlaku ketentuan rawat inap di Rumah Sakit.
d.Rawat inap minimum 3 hari dan maksimum 5 hari .
(4) Biaya persalinan normal ditetapkan maksimal Rp. 500.000,- (Lima Ratus ribu
rupiah).
Pasal 28
(1) Pelayanan penunjang diagnostik sebagaimana dimaksud dalam pasal 23 ayat (2)
huruf e meliputi :
a. Pemeriksaan laboratorium .
b.Pemeriksaan Radiologi.
c. Pemeriksaan :
− Electro Encephalograpy (EEG)
− Electro Cardiografi (ECG)
− Ultra Sonografi (USG).
− Computerized Tomograpy Scaning (CT.Scaning).
d.Pemeriksaan diagnostik lanjutan lainnya.
(2) Pelaksanaan pelayanan diagnostik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
disesuaikan dengan tersedianya fasilitas pelayanan kesehatan daerah.
(3) Pemeriksaan diagnostik dilakukan di Rumah Sakit atau Pelaksana Pelayanan
Kesehatan.
Pasal 29
(1) Pelayanan khusus sebagaimana dimaksud dalam pasal 23 ayat (2) huruf f,
meliputi:
a. Kacamata.
b. Prothese mata.
c. Prothese gigi.
d. Alat Bantu dengar
e. Prothese anggota gerak.

(2) Pelayanan khusus dilakukan di optik, balai pengobatan, rumah sakit dan perusahaan
alat kesehatan yang ditunjuk oleh Badan Penyelenggara.

(3) Penggantian biaya pelayanan khusus diberikan kepada tenaga kerja sesuai standard
yang ditetapkan dan atas indikasi medis dengan pengaturan sebagai berikut :
a. Tenaga Kerja yang mendapat resep kacamata dari dokter spesialis mata dapat
memperoleh kacamata dioptik dengan ketentuan:
a.1. biaya untuk frame dan lensa sebesar Rp. 200.000,- (dua ratus ribu rupiah).
a.2. penggantian lensa dua tahun sekali sebesar Rp. 80.000,- (delapan puluh ribu
rupiah).
a.3. penggantian frame tiga tahun sekali sebesar Rp. 120.000,- (seratus dua
puluh ribu rupiah).
b. Tenaga kerja yang memerlukan prothese mata dapat diberikan atas anjuran
dokter spesialis mata dan diambil di rumah sakit atau perusahaan alat-alat
kesehatan, dengan biaya penggatian maksimum Rp. 300.000,- (tiga ratus ribu
rupiah).
c. Tenaga kerja yang memerlukan prothese gigi dapat diberikan dibalai
pengobatan gigi dengan maksimum biaya Rp. 408.000,- (empat ratus delapan
ribu rupiah) dan prothese gigi yang diberikan adalah jenis Removable dengan
bahan acrylic dengan ketentuan per rahang:
c.1. gigi pertama sebesar Rp. 100.000,- (seratus ribu rupiah).
c.2. gigi kedua dan seterusnya sebesar Rp. 8.000,- (delapan ribu rupiah)

(4) Tenaga kerja yang memerlukan prothese kaki dan prothese tangan dapat diberikan
atas anjuran dokter spesialis di rumah sakit, dengan pengaturan sebagai berikut:
a. prothese tangan dengan penggantian biaya maksimum Rp. 350.000,- (tiga ratus
lima puluh ribu rupiah)
b.prothese kaki dengan penggantian biaya maksimum Rp, 500.000,- (lima ratus ribu
rupiah).
c. Tenaga kerja yang memerlukan alat Bantu dengar atas anjuran dokter
spesialis di rumah sakit dapat diberikan biaya maksimum sebesar Rp.
300.000,- (tiga ratus ribu rupiah).
(5) Kerusakan atau kehilangan prothese dan orthese sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) tidak mendapat penggantian dari Badan Penyelenggara.

Pasal 30

(1) Pelayanan gawat darurat sebagaimana dimaksud dalam pasal 23 ayat (2) huruf g,
meliputi:
a. Pemeriksaan dan pengobatan.
b.Tindakan medik
c. Pemberian obat-obatan sesuai dengan standar obat program JPK Jamsostek yang
berpedoman pada DOEN Plus atau Generik.
d.Rawat inap.
(2) Gawat Darurat yang memerlukan pelayanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
meliputi:
a. Kecelakaan dan ruda paksa bukan karena kecelakaan kerja.
b.Serangan jantung.
c. Serangan Asma berat.
d.Kejang.
e. Pendarahan berat.
f. Muntah berak disertai dehidrasi.
g.Kehilangan kesadaran (koma) termasuk epilepsy atau ayan
h.Keadaan gelisah pada penderita gangguan jiwa
i. Colic renal/colic abdomen atau kelahiran mendadak, pendarahan, ketuban pecah
dini.
(3) Pelayanan gawat darurat dilakukan di semua pelaksana pelayanan kesehatan

Pasal 31

(1) Pelayanan kesehatan tingkat lanjutan harus melalui rujukan dari pelayanan
kesehatan tingkat pertama.

(2) Pelaksana pelayanan kesehatan tingkat lanjutan yang tidak lengkap dapat
melakukan rujukan kepada pelaksana pelayanan kesehatan tingkat lanjutan yang
lebih lengkap.

Pasal 32

Dalam hal tertanggung memerlukan rawat jalan tingkat pertama:


a. Tertanggung memlih satu pelaksana pelayanan kesehatan tingkat pertama yang
diingini
b. Setiap kali Tertanggung memerlukan pelayanan kesehatan harus menunjukkan kartu
pemeliharaan kesehatan.
c. Tertanggung mendapat pelayanan kesehatan sesuai standard yang telah ditetapkan
d. Bila memerlukan pemeriksaan lebih lanjut Tertanggung dirujuk ke pelaksana
pelayanan kesehatan tingkat lanjutan yang ditentukan.

Pasal 33

Dalam hal diperlukan rawat jalan tingkat lanjutan:


a. Tertanggung membawa surat rujukan dan kartu pemeliharaan kesehatan ke pelaksana
pelayanan kesehatan tingkat lanjutan untuk mendapatkan pelayanan.
b. Apabila diperlukan konsultasi dengan bagian lain atau penunjang diagnostik maka
dokter spesialis memberikan surat jalan.
c. Apabila diperlukan rujukan ke rumah sakit lain maka dokter spesialis memberikan
surat rujukan.
d. Apabila tertanggung mendapat resep obat harus diambil di apotik yang sudah
ditunjuk oleh Badan Penyelenggara

Pasal 34
(1) Dalam hal diperlukan rawat inap:
a. Tertanggung yang akan rawat inap harus membawa surat rujukan dari pelaksana
pelayanan kesehatan tingkat pertama atau surat rawat dari dokter poli rumah sakit
dan kartu pemeliharaan kesehatan.
b.Bagi tertanggung yang memerlukan pelayanan gawat darurat dapat langsung ke
rumah sakit.
c. Dalam waktu 3 (tiga) hari sejak mulai dirawat tenaga kerja atau keluarganya harus
mengurus surat jaminan dari Badan Penyelenggara.

(2) Jumlah hari rawat inap maksimum 60 (enam puluh) hari termasuk perawatan
ICU/ICCU untuk setiap jenis penyakit dalam satu tahun.

(3) Jumlah hari perawatan ICU/ICCU sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
maksimum 20 (dua puluh) hari.

(4) Standard rawat inap sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan sebagai
berikut:
a. Kelas dua pada Rumah Sakit Pemerintah.
b.Kelas tiga pada Rumah Sakit swasta

Pasal 35

(1) Pelayanan Persalinan diberikan oleh pelaksana pelayanan kesehatan tingkat pertama
atau rumah bersalin dengan membawa kartu pemeliharaan kesehatan

(2) Dalam hal persalinan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dapat ditangani
maka tenaga kerja/isteri dirujuk ke rumah sakit bersalin.

Pasal 36

(1) Pembayaran kepada pelaksana kesehatan dilakukan secara praupaya dengan


system kapitasi.
(2) Badan Penyelenggara menunjuk pelaksana pelayanan kesehatan dengan
pembayaran system kapitasi yang disepakati oleh kedua belah pihak yang
dituangkan dalam perjanjian tertulis
(3) Perjanjian tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) sekurang-kurangnya
memuat:

a. Ruang lingkup pelayanan kesehatan.


b. Pembiayaan.
c. Tata cara pembayaran.
d. Tata cara penagihan.
e. Harga masing-masing jenis pelayanan.
f. Kewajiban dan tanggung jawab pelaksana pelayanan kesehatan.
g. Perselisihan.
h. Masa berlaku.

Pasal 37

(1) Setiap peserta memilih pelaksana pelayanan kesehatan tingkat pertama yang ada di
wilayah tempat tinggal atau tempat kerja.
(2) Bagi peserta dan atau keluarganya yang sedang bepergian dapat memperoleh
pelayanan kesehatan pada pelaksana pelayanan kesehatan yang ditunjuk oleh Badan
Penyelenggara selain yang telah dipilih oleh peserta.
(3) Peserta dan keluarganya dapat dirujuk pada pelaksana pelayanan kesehatan
lanjutan/lengkap di daerah lain dalam hal dipandang perlu oleh dokter yang
merawat.
(4) Bagi peserta dan keluarga yang terpisah alamat domisilinya memperoleh pelayanan
kesehatan pada pelaksana pelayanan kesehatan yang ditunjuk oleh Badan
Penyelenggara di masing-masing domisili sesuai dengan pilihannya.
(5) Biaya transportasi dan biaya akomodasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (3)
menjadi beban peserta.
Pasal 38
Badan Penyelenggara menilai setiap pelaksana pelayanan kesehatan antara lain mengenai
kunjungan, pemakaian obat, rujukan penunjang diagnostik, lamanya perawatan dalam
rangka memenuhi efisiensi dan efektivitas pelaksana pelayanan kesehatan.

Pasal 39
Dalam pelaksanaan penilaian kerja sejawat dilakukan bersama-sama antara Badan
Penyelenggara dengan kantor wilayah Departemen Kesehatan setempat dan dokter ahli
atau direktur medik di rumah sakit, terutama bila terjadi keluhan pasien atas tindakan
dokter kepada pasien.
Pasal 40
(1) Tiap pelaksana pelayanan kesehatan mengadakan administrasi yang khusus dalam
penyelenggaraan program jaminan pemeliharaan kesehatan termasuk pembuatan
kartu pasien per keluarga (Family Folder) sesuai prinsip dokter keluarga
(2) Tiap pelaksana pelayanan kesehatan membuat laporan setiap bulan dan
menyerahkan kepada Badan Penyelenggara selambat-lambatnya tanggal 10 bulan
berikutnya.
Pasal 41

Hal-hal yang tidak ditanggung dalam program jaminan pemeliharaan kesehatan oleh
Badan Penyelenggara:
a. Pelayanan:
a.1 Pelayanan kesehatan diluar pelaksana pelayanan kesehatan yang ditunjuk.
a.2 Penyakit atau cidera yang diakibatkan karena hubungan kerja dan karena
kesengajaan.
a.3 Penyakit yang diakibatkan oleh alkohol dan narkotik, penyakit kelamin dan
AIDS.
a.4 Perawatan kosmetik untuk kecantikan.
a.5 Pemeriksaan kesehatan umum/berkala.
a.6 Transplantasi organ tubuh termasuk sumsum tulang.
a.7 Pemeriksaan dan tindakan untuk mendapatkan kesuburan.
a.8 Penyakit kanker dan
a.9 Hemodialisa
b. Obat-obatan:
b.1 Obat-obatan kosmetik untuk kecantikan.
b.2. Semua obat/vitamin yang tidak ada kaitannya dengan penyakit.
b.3. Obat-obatan berupa makanan antara lain susu untuk bayi.
b.4. Obat-obat gosok seperti minyak kayu putih dan sejenisnya.
b.5. Obat-obatan untuk kesuburan dan.
b.6. Obat-obat kanker.
c. Alat-alat perawatan kesehatan antara lain termometer, dan eskap.
d. Pembiayaan :
d.1. Biaya pengangkutan untuk memperoleh pelayanan kesehatan dan pengurusan
administrasi.
d.2. Biaya tindakan medik super spesialistik.

Pasal 42

(1) Pengusaha yang telah mengusahakan sendiri pelayanan kesehatan bagi tenaga
kerjanya, diwajibkan melaporkan kepada Kantor Departemen Tenaga Kerja
setempat dengan tembusan kepada Badan Penyelenggara setempat.
(2) Laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara triwulan yang
memuat:
a. Standar pelayanan yang diberikan.
b.Tertanggung yang mendapat pelayanan pemeliharaan kesehatan.
c. Jenis dan jumlah pelaksana pelayanan kesehatan.
d.Jumlah tenaga kerja dan keluarganya yang mendapat pelayanan pemeliharaan
kesehatan.

Pasal 43
Peningkatan manfaat jaminan dan perluasan cakupan layanan sebagaimana dimaksud
dalam pasal 27, pasal 29 dan pasal 41, untuk selanjutnya ditetapkan oleh Menteri.

BAB VIII
BENTUK FORMULIR JAMSOSTEK
Pasal 44

(1) Bentuk-bentuk formulir yang dipergunakan dalam penyelenggaraan program


jaminan sosial tenaga kerja sebagaimana tercantum dalam lampiran Peraturan
Menteri ini yang terdiri dari :
a. Formulir pendaftaran kepesertaan meliputi:

- Formulir Jamsostek 1 : Pendaftaran Perusahaan

- Formulir Jamsostek 1a : Pendaftaran Tenaga Kerja dan


Pemberitahuan Perubahan Indentitas
Tenaga Kerja dan Susunan Keluarga

- Formulir Jamsostek 1b : Daftar Tenaga Kerja Keluar

b. Formulir pembayaran iuran meliputi:

- Formulir Jamsostek 2 : Rekapitulasi Rincian Pembayaran Iuran

- Formulir Jamsostek 2a : Rincian Iuran Tenaga Kerja

c. Formulir pengajuan dan pembayaran Jaminan Kecelakaan Kerja meliputi:

- Formulir Jamsostek 3 : Laporan Kecelakaan Kerja Tahap I

- Formulir Jamsostek 3a : Laporan Kecelakaan Kerja Tahap II

- Formulir Jamsostek 3b : Surat Keterangan Dokter

- Formulir Jamsostek 3c : Surat keterangan dokter untuk penyakit


yang timbul karena hubungan kerja
d. Formulir pengajuan Jaminan Kematian:

- Formulir Jamsostek 4 : Pengajuan Pembayaran Jaminan


Kematian, Santunan Berkala dan
Jaminan Hari Tua.

e. Formulir pengajuan Jaminan Hari Tua:

- Formulir Jamsostek 5 : Pengajuan pembayaran Jaminan Hari


Tua
(2) Contoh bentuk-bentuk formulir sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), terlampir
dalam Peraturan Menteri ini.
(3) Perubahan bentuk Formulir Jamsostek sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
ditetapkan oleh Badan Penyelenggara.

BAB. IX
KETENTUAN LAIN

Pasal 45

(1) Badan Penyelenggara wajib memberitahukan secara tertulis kepada pengusaha,


tenaga kerja atau ahli waris tenaga kerja mengenai perhitungan jaminan sosial
tenaga kerja yang menjadi hak pengusaha, tenaga kerja atau ahli waris.

(2) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sebanyak 3 (tiga)
kali dalam jangka waktu 70 (tujuh puluh) hari.

(3) Dalam hal jangka waktu 70 (tujuh puluh) hari sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
telah berakhir maka perhitungan jaminan tersebut dibatalkan.

(4) Dalam hal pengusaha, tenaga kerja atau ahli waris tenaga kerja mengajukan
permintaan pembayaran jaminan kembali setelah melewati jangka waktu
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) maka Badan Penyelenggara wajib menghitung
dan membayar jaminan sesuai ketentuan yang berlaku.

BAB X
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 46

(1) Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor Per-05/MEN/1993 tentang Petunjuk


Teknis Pendaftaran Kepesertaan, Pembayaran Iuran, Pembayaran Santunan dan
Pelayanan Jaminan Sosial Tenaga Kerja, masih tetap berlaku sampai dengan
berlakunya Peraturan Menteri ini.
(2) Bagi tenaga kerja yang menjadi peserta program jaminan sosial tenaga kerja
sebelum berlakunya peraturan Menteri ini wajib mengisi formulir Jamsostek 1a
sebagaimana ditetapkan dalam lampiran Peraturan Menteri ini dan menyerahkan
kepada Badan Penyelenggara.

BAB XI
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 47
Dengan ditetapkan Peraturan Menteri ini maka Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor
Per-05/MEN/1993 tentang Petunjuk Teknis Pendaftaran Kepesertaan, Pembayaran Iuran,
Pembayaran Santunan dan Pelayanan Jaminan Sosial Tenaga Kerja, Keputusan Menteri
Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. Kep-236/MEN/2003 tentang Perubahan Atas Pasal
23, Pasal 25, Pasal 27 dan Pasal 43 Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor PER-
05/MEN/1993 tentang Petunjuk Teknis Pendaftaran Kepesertaan, Pembayaran Iuran,
Pembayaran Santunan dan Pelayanan Jaminan Sosial Tenaga Kerja, serta Peraturan
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. Per-01/MEN/I/2005 tentang Perubahan
Formulir Jamsostek 1, 1a, 1b, dan 2a pada Lampiran Peraturan Menteri Tenaga Kerja
Nomor PER-05/MEN/1993 tentang Petunjuk Teknis Pendaftaran Kepesertaan,
Pembayaran Iuran, Pembayaran Santunan dan Pelayanan Jaminan Sosial Tenaga Kerja
sebagaimana diubah terakhir Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor
KEP-03/MEN/2001, dinyatakan tidak berlaku lagi.
Pasal 48
Peraturan Menteri ini berlaku sejak tanggal 1 Januari 2008.

Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 19 – 6 – 2007
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 76 TAHUN 2007

TENTANG

PERUBAHAN KELIMA ATAS PERATURAN PEMERINTAH


NOMOR 14 TAHUN 1993 TENTANG PENYELENGGARAAN PROGRAM
JAMINAN SOSIAL TENAGA KERJA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa besarnya santunan cacat total dan cacat sebagian


karena hilangnya kemampuan kerja fisik, penggantian
biaya pengobatan, perawatan dan pengangkutan yang
diberikan kepada pekerja/buruh serta santunan
kematian karena kecelakaan kerja, santunan kematian
bukan karena kecelakaan kerja, dan biaya pemakaman
yang diberikan kepada keluarganya, tidak sesuai lagi
dengan kondisi saat ini;

b. bahwa dalam rangka meningkatkan pelayanan bagi


pekerja/buruh yang mengalami cacat karena kecelakaan
kerja perlu dilakukan pelayanan rehabilitasi medik
untuk dapat mengembalikan fungsi tubuh yang
mengalami kecacatan;

c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana


dimaksud pada huruf a dan huruf b, perlu menetapkan
Peraturan Pemerintah tentang Perubahan Kelima Atas
Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1993 tentang
Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja;

Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik


Indonesia Tahun 1945;

2. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan


Sosial Tenaga Kerja (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1992 Nomor 14, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3468);

3. Peraturan . . .
-2-

3. Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1993 tentang


Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1993
Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3520), sebagaimana diubah terakhir
dengan Peraturan Pemerintah Nomor 64 Tahun 2005
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005
Nomor 147, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4582);

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PERUBAHAN


KELIMA ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 14
TAHUN 1993 TENTANG PENYELENGGARAAN PROGRAM
JAMINAN SOSIAL TENAGA KERJA.

Pasal I

Beberapa ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 14


Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan
Sosial Tenaga Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1993 Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3520) yang telah beberapa kali
diubah dengan Peraturan Pemerintah:
a. Nomor 79 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1998 Nomor 184, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3792);
b. Nomor 83 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2000 Nomor 164, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4003);
c. Nomor 28 Tahun 2002 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2002 Nomor 53, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4023);
d. Nomor 64 Tahun 2005 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2005 Nomor 147, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4582);
diubah sebagai berikut:

1. Ketentuan Pasal 22 ayat (1) diubah, sehingga


keseluruhan Pasal 22 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 22 . . .
-3-

Pasal 22

(1) Jaminan kematian dibayar sekaligus kepada janda


atau duda atau anak, yang meliputi:
a. santunan kematian sebesar Rp10.000.000,-
(sepuluh juta rupiah);
b. santunan berkala sebesar Rp200.000,- (dua
ratus ribu rupiah) per bulan diberikan selama
24 (dua puluh empat) bulan; dan
c. biaya pemakaman sebesar Rp2.000.000,- (dua
juta rupiah).
(2) Dalam hal janda atau duda atau anak tidak ada,
maka jaminan kematian dibayar sekaligus kepada
keturunan sedarah yang ada dari tenaga kerja,
menurut garis lurus kebawah dan garis lurus ke
atas dihitung sampai derajat kedua.

(3) Dalam hal tenaga kerja tidak mempunyai


keturunan sedarah sebagaimana dimaksud pada
ayat (2), maka jaminan kematian dibayarkan
sekaligus kepada pihak yang ditunjuk oleh tenaga
kerja dalam wasiatnya.

(4) Dalam hal tidak ada wasiat, biaya pemakaman


dibayarkan kepada pengusaha atau pihak lain
guna pengurusan pemakaman.

(5) Dalam hal magang atau murid, dan mereka yang


memborong pekerjaan, serta narapidana meninggal
dunia bukan karena akibat kecelakaan kerja,
maka keluarga yang ditinggalkan tidak berhak atas
jaminan kematian.

2. Ketentuan pada Lampiran II Romawi I huruf A angka 2


dan angka 3 serta huruf B, huruf C dan huruf E dan
Romawi II diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut :

LAMPIRAN II . . .
-4-

LAMPIRAN II

I. BESARNYA JAMINAN KECELAKAAN KERJA

A. Santunan.
1. Santunan Sementara Tidak Mampu
Bekerja (STMB) 4 bulan pertama 100% x
upah sebulan, 4 bulan kedua 75% x upah
sebulan dan bulan seterusnya 50% x upah
sebulan.
2. Santunan cacat:
a. santunan cacat sebagian untuk
selama-lamanya dibayarkan secara
sekaligus (lumpsum) dengan besarnya
% sesuai tabel x 80 bulan upah.
b. santunan cacat total untuk selama-
lamanya dibayarkan secara sekaligus
(lumpsum) dan secara berkala dengan
besarnya santunan adalah:
b.1. santunan sekaligus sebesar 70%
x 80 bulan upah;
b.2. santunan berkala sebesar
Rp200.000,- (dua ratus ribu
rupiah) per bulan selama 24
(dua puluh empat) bulan.
c. Santunan cacat kekurangan fungsi
dibayarkan secara sekaligus (lumpsum)
dengan besarnya santunan adalah:
% berkurangnya fungsi x % sesuai
tabel x 80 bulan upah.

3. Santunan kematian dibayarkan secara


sekaligus (lumpsum) dan secara berkala
dengan besarnya santunan adalah:
a. santunan sekaligus sebesar 60% x 80
bulan upah, sekurang-kurangnya
sebesar santunan kematian.
b. santunan berkala sebesar
Rp200.000,- (dua ratus ribu rupiah)
per bulan selama 24 (dua puluh
empat) bulan.
c. Biaya pemakaman sebesar
Rp2.000.000,- (dua juta rupiah).

B. Pengobatan . . .
-5-

B. Pengobatan dan perawatan sesuai dengan


biaya yang dikeluarkan untuk:
1. dokter;
2. obat;
3. operasi;
4. rontgen, laboratorium;
5. perawatan Puskesmas, Rumah Sakit Umum
Pemerintah Kelas I atau Swasta yang setara;
6. gigi;
7. mata; dan/atau
8. jasa tabib/sinshe/tradisional yang telah
mendapat ijin resmi dari instansi yang
berwenang.
Seluruh biaya yang dikeluarkan untuk
peristiwa kecelakaan tersebut pada B.1. sampai
dengan B.8. dibayar maksimum Rp12.000.000,-
(dua belas juta rupiah).

C. Biaya rehabilitasi harga berupa penggantian


pembelian alat bantu (orthose) dan/atau alat
pengganti (prothese) diberikan satu kali untuk
setiap kasus dengan patokan harga yang
ditetapkan oleh Pusat Rehabilitasi Rumah Sakit
Umum Pemerintah dan ditambah 40 % (empat
puluh persen) dari harga tersebut serta biaya
rehabilitasi medik maksimum sebesar
Rp2.000.000,- (dua juta rupiah).

D. Penyakit yang timbul karena hubungan kerja.


Besarnya santunan dan biaya
pengobatan/biaya perawatan sama dengan
huruf A dan huruf B.

E. Ongkos pengangkutan tenaga kerja dari tempat


kejadian kecelakaan ke rumah sakit diberikan
penggantian biaya sebagai berikut :
1. Bilamana hanya menggunakan jasa
angkutan darat/sungai/danau maksimum
sebesar Rp400.000,- (empat ratus ribu
rupiah).

2. Bilamana . . .
-6-

2. Bilamana hanya menggunakan jasa


angkutan laut maksimal sebesar
Rp750.000,- (tujuh ratus lima puluh ribu
rupiah).
3. Bilamana hanya menggunakan jasa
angkutan udara maksimal sebesar
Rp1.500.000,- (satu juta lima ratus ribu
rupiah).

II. TABEL PERSENTASE SANTUNAN TUNJANGAN CACAT TETAP


SEBAGIAN DAN CACAT-CACAT LAINNYA.

MACAM CACAT TETAP SEBAGIAN % X UPAH


• Lengan kanan dari sendi bahu ke bawah 40
• Lengan kiri dari sendi bahu ke bawah 35
• Lengan kanan dari atau dari atas siku ke 35
bawah
• Lengan kiri dari atau dari atas siku ke bawah 30
• Tangan kanan dari atau dari atas pergelangan ke bawah 32
• Tangan kiri dari atau dari atas pergelangan ke bawah 28
• Kedua belah kaki dari pangkal paha ke bawah 70
• Sebelah kaki dari pangkal paha ke bawah 35
• Kedua belah kaki dari mata kaki ke bawah 50
• Sebelah kaki dari mata kaki ke bawah 25
• Kedua belah mata 70
• Sebelah mata atau diplopia pada penglihatan dekat 35
• Pendengaran pada kedua belah telinga 40
• Pendengaran pada sebelah telinga 20
• Ibu jari tangan kanan 15
• Ibu jari tangan kiri 12
• Telunjuk tangan kanan 9
• Telunjuk tangan kiri 7
• Salah satu jari lain tangan kanan 4
• Salah satu jari lain tangan kiri 3
• Ruas pertama telunjuk kanan 4,5
• Ruas pertama telunjuk kiri 3,5
• Ruas pertama jari lain tangan kanan 2

• Ruas . . .
-7-

MACAM CACAT TETAP SEBAGIAN % X UPAH


• Ruas pertama jari lain tangan kiri 1,5
• Salah satu ibu jari kaki 5
• Salah satu jari telunjuk kaki 3
• Salah satu jari kaki lain 2

CACAT-CACAT LAINNYA % X UPAH


• Terkelupasnya kulit kepala 10-30
• Impotensi 30
• Kaki memendek sebelah :
• kurang dari 5 cm 10
• 5 cm sampai kurang dari 7,5 cm 20
• 7,5 cm atau lebih 30
• Penurunan daya dengar kedua belah telinga setiap 10 6
desibel
• Penurunan daya dengar sebelah telinga setiap 10 3
desibel
• Kehilangan daun telinga sebelah 5
• Kehilangan kedua belah daun telinga 10
• Cacat hilangnya cuping hidung 30
• Perforasi sekat rongga hidung 15
• Kehilangan daya penciuman 10
• Hilangnya kemampuan kerja phisik
• 51% - 70% 40
• 26% - 50% 20
• 10% - 25% 5
• Hilangnya kemampuan kerja mental tetap 70
• Kehilangan sebagian fungsi penglihatan. 7
Setiap kehilangan efisiensi tajam penglihatan 10%.
Apabila efisiensi penglihatan kanan dan kiri berbeda,
maka efisiensi penglihatan binokuler dengan rumus
kehilangan efisiensi penglihatan: (3 x % efisiensi
penglihatan terbaik) + % efisiensi penglihatan terburuk
• Setiap kehilangan efisiensi tajam penglihatan 10% 7
• Kehilangan penglihatan warna 10
• Setiap kehilangan lapangan pandang 10% 7

Pasal II
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar . . .
- 8 -

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan


Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 10 Desember 2007
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd

DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 10 Desember 2007
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

ttd

ANDI MATTALATTA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2007 NOMOR 160

Salinan sesuai dengan aslinya


SEKRETARIAT NEGARA RI
Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan
Bidang Politik dan Kesejahteraan Rakyat,

Wisnu Setiawan
PENJELASAN

ATAS

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 76 TAHUN 2007

TENTANG

PERUBAHAN KELIMA ATAS PERATURAN PEMERINTAH


NOMOR 14 TAHUN 1993 TENTANG PENYELENGGARAAN PROGRAM
JAMINAN SOSIAL TENAGA KERJA

I. UMUM

Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja merupakan program


perlindungan dasar bagi tenaga kerja dan keluarganya, oleh karena itu
perlu selalu diupayakan peningkatan jaminan sesuai perkembangan
keadaan.
Tenaga kerja yang meninggal dunia atau mengalami cacat total atau
cacat sebagian mengakibatkan hilangnya atau berkurangnya
penghasilan yang sangat berpengaruh pada kehidupan sosial ekonomi
bagi tenaga kerja dan/atau keluarganya.
Sehubungan dengan hal itu Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992
tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja memberikan kepastian
perlindungan melalui jaminan kematian dan jaminan kecelakaan kerja
yang dapat mengakibatkan cacat total atau cacat sebagian.
Sebagai upaya meringankan beban tenaga kerja serta keluarganya,
perlu peningkatan santunan cacat total, cacat sebagian karena
kecelakaan kerja serta santunan kematian karena kecelakaan kerja,
santunan kematian bukan karena kecelakaan kerja, dan biaya
pemakaman.
Mengingat biaya pelayanan kesehatan dan pengangkutan semakin
meningkat maka perlu penyesuaian penggantian biaya pengobatan,
perawatan, dan pengangkutan akibat kecelakaan kerja serta
rehabilitasi medik dalam rangka mengembalikan fungsi tubuh yang
mengalami kecacatan.

Berdasarkan . . .
-2-

Berdasarkan pertimbangan di atas dan ketersediaan dana Badan


Penyelenggara, maka besarnya jumlah santunan cacat total dan cacat
sebagian karena hilangnya kemampuan kerja fisik, penggantian biaya
pengobatan, perawatan dan pengangkutan yang diberikan kepada
pekerja/buruh serta santunan kematian karena kecelakaan kerja,
santunan kematian bukan karena kecelakaan kerja, biaya pemakaman
yang diberikan kepada keluarganya perlu ditingkatkan sehingga
ketentuan Pasal 22 ayat (1) dan ketentuan pada Lampiran II Romawi I
huruf A angka 2 dan angka 3 serta huruf B, huruf C dan huruf E dan
Romawi II Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1993 tentang
Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah
Nomor 64 Tahun 2005, perlu diubah dengan Peraturan Pemerintah ini.

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal I
Cukup jelas.
Pasal II
Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4789


MENTERI TENAGA KERJA
REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA R.I


NOMOR: PER.02/MEN/1993

TENTANG

USIA PENSIUN NORMAL DAN BATAS USIA PENSIUN MAKSIMUM


BAGI PESERTA PERATURAN DANA PENSIUN

MENTERI TENAGA KERJA;

Menimbang : a. bahwa sebagai pelaksana pasal 27 ayat (2) dan (5) Undang-undang
no. 11 tahun 1992 tentang Dana Pensiun. Menteri Tenaga Kerja
perlu menetapkan usia pensiun normal dan batas usia pensiun
maksimum bagi peserta peraturan dana pensiun;
b. bahwa penetapan usia pensiun sebagaimana tersebut pada huruf a
merupakan upaya perlindungan terhadap tenaga kerja yang telah
mencapai pensiun normal dan maksimum.
Mengingat : 1 Undang-undang no. 3 tahun 1951 tentang Pernyataan Berlakunya
Undang-undang Pengawasan perburuhan Tahun 1948 No. 23 dari
Republik Indonesia untuk Seluruh Indonesia (Lembaran Negara
tahun 1951 No. 4).
2. Undang-undang No. 14 tahun 1969 tentang Ketentuan-ketentuan
Pokok mengenai Tenaga Kerja (Lembaran Negara tahun 1969 No.
55, Tambahan Lembaran Negara No. 2912);
3. Undang-undang No. 11 tahun 1992 tentang Dana Pensiun
(Lembaran Negara Tahun 1992 No. 37, Tambahan Lembaran
Negara No. 3477);
4. Peraturan Pemerintah No. 76 tahun 1992 tentang dana Pensiun
Pemberi Kerja (Lembaran Negara Tahun 1992, No. 126,
Tambahan Lembaran negara No. 3507);
5. Keputusan Presiden Ri. No. 96/M tahun 1993 tentang
Pembentukan Kabinet Pembangunan VI.

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA TENTANG USIA


PENSIUN NORMAL DAN BATAS USIA PENSIUN MAKSIMUM
BAGI PESERTA PERATURAN DANA PENSIUN.
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan :
a. Peserta adalah setiap orang yang memenuhi persyaratan peraturan dana pensiun
b. Usia pensiun normal adalah usia tertentu bagi peserta setelah memenuhi persyaratan
peraturan Dana Pensiun berhak mendapat manfaat pensiun normal.
c. Batas usia pensiun maksimum adalah suatu batas usia tertentu bagi peserta peraturan
Dana Pensiun yang telah mencapai usia pensiun normal yang belum mendapat
manfaat pensiun dan wajib pensiun.
d. Pengusaha adalah:
1. Orang, persekutuan atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan
perusahaan bukan miliknya.
2. Orang, persekutuan atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan
perusahaan bukan miliknya.
3. Orang, persekutuan atau badan hukum yang berada di Indonesia mewakili
perusahaan sebagaimana dimaksud dalam angka 1 dan angka 2 yang
berkedudukan di luar wilayah Indonesia.

Pasal 2

(1) Usia pensiun normal bagi peserta ditetapkan 55 (lima puluh lima) tahun
(2) Dalam hal pekerja tetap dipekerjakan oleh Pengusaha setelah mencapai usia 55
(lima puluh lima tahun), maka batas usia pensiun maksimum ditetapkan 60 (enam
puluh) tahun.
Pasal 3
Pengawasan terhadap ditaatinya Peraturan Menteri ini dikerjakan oleh Pegawai Pengawas
Ketenagakerjaan

Pasal 4
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta

Pada tanggal 29 Mei 1995

MENTERI TENAGA KERJA R.I

ttd

Drs. ABDUL LATIEF


PERATURAN

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA


NOMOR : PER.17/MEN/XI/2008.

TENTANG

PENGANGKATAN, PEMBERHENTIAN, DAN TATA KERJA DOKTER PENASEHAT.

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA

Menimbang : a. Bahwa dalam rangka memberikan perlindungan terhadap tenaga kerja yang
mengalami kecelakaan kerja dan/atau penyakit akibat kerja perlu diangkat
dokter penasehat yang dapat memberikan pertimbangan medis atas kasus
kecelakaan kerja dan/atau penyakit akibat kerja;
b. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a,
perlu menetapkan pengangkatan, pemberhentian, dan tata kerja dokter
penasehat dengan Peraturan Menteri;

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga


Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 14,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3468);
2. Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan
Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1993 Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3520), sebagaimana telah beberapa kali diubah yang
terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 76 Tahun 2007 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor160, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4789);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1995 tentang Penetapan Badan
Penyelenggara Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Lembaran Negara
Nomor 59);
4. Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 1993 tentang Penyakit Yang Timbul
Karena Hubungan Kerja;
5. Keputusan Presiden Nomor 187/M Tahun 2005 tentang Pembentukan
Kabinet Indonesia Bersatu, sebagaimana telah beberapa kali diubah yang
terakhir dengan Keputusan Presiden Nomor 31/P Tahun 2007;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI


TENTANG PENGANGKATAN, PEMBERHENTIAN DAN TATA KERJA
DOKTER PENASEHAT.

BAB I

PENGERTIAN

Pasal 1.

Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan :


1. Kecelakaan Kerja adalah kecelakaan yang terjadi berhubung dengan
hubungan kerja, termasuk penyakit yang timbul karena hubungan kerja,
demikian pula kecelakaan yang tejadi dalam perjalanan dari rumah menuju
tempat kerja, dan pulang kerumah melalui jalan yang biasa atau wajar
dilalui.
2. Penyakit Akibat Kerja adalah setiap penyakit yang disebabkan oleh
pekerjaan atau lingkungan kerja.
3. Cacat anatomis adalah hilangnya sebagian atau seluruh anggota tubuh
tenaga kerja akibat kecelakaan .

4. Cacat fungsi adalah keadaan berkurangnya kemampuan atau tidak


berfungsinya sebagian anggota tubuh tenaga kerja akibat kecelakaan kerja
untuk selama-lamanya.
5. Dokter Penasehat adalah dokter yang berfungsi memberikan pertimbangan
medis kepada pegawai pengawas ketenagakerjaan dan/atau badan
penyelenggara atau Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi.
6. Dokter Pemeriksa adalah dokter yang memeriksa, mengobati, dan merawat
tenaga kerja.
7. Badan penyelenggara adalah badan hukum yang bidang usahanya
menyelenggarakan program jaminan sosial tenaga kerja.
8. Pegawai pengawas ketenagakerjaan adalah pegawai tehnis yang
berkeahlian khusus di unit kerja yang membidangi ketenagakerjaan yang
ditunjuk oleh Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi.
9. Direktur Jenderal, yang selanjutnya disebut Dirjen, adalah Direktur
Jenderal Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan.
10. Menteri adalah Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi.

BAB II

FUNGSI DAN TUGAS DOKTER PENASEHAT.

Pasal 2

Dokter penasehat mempunyai fungsi memberikan pertimbangan medis kepada


pegawai pengawas ketenagakerjaan dan/atau badan penyelenggara atau menteri
dalam menyelesaikan kasus kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja.

Pasal 3.

Untuk melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, dokter


penasehat mempunyai tugas :
a. Melakukan pemeriksaan rekam medis dan bila dipandang perlu melakukan
pemeriksaan ulang kepada tenaga kerja;
b. Menetapkan besarnya persentase cacat fungsi, cacat anatomis, dan/atau
penyakit akibat kerja bila tejadi perbedaan pendapat antara badan
penyelenggara dengan pengusaha dan/atau tenaga kerja/ahli warisnya.
c. Memberikan pertimbangan medis kepada menteri untuk menetapkan
besarnya persentase cacat dan penyakit akibat kerja yang tidak diatur dalam
peraturan perundang-undangan.
d. Mengadakan konsultasi dengan dokter pemeriksan dan/atau dokter
spesialis bila terdapat keraguan dalam menetapkan penyakit akibat kerja
atau persentase cacat.

Pasal 4.

Dokter penasehat menyampaikan laporan pelaksanaan tugas kepada menteri


setiap 3 (tiga) bulan melalui koordinator yang tembusannya disampaikan kepada
unit kerja di bidang ketenagakerjaan setempat.

BAB III

PENGANGKATAN DAN PEMBERHENTIAN DOKTER PENASEHAT

Pasal 5

(1) Menteri mengangkat dan memberhentikan dokter penasehat.


(2) Dokter penasehat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari dokter
penasehat pusat dan dokter penasehat wilayah.

(3) Pengangkatan dokter penasehat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)


berdasarkan penunjukkan dari Menteri Kesehatan dengan memperhatikan :
a. Perkembangan kepesertaan jaminan sosial tenaga kerja dan/atau;
b. Kejadian kecelakaan kerja dan/atau penyakit akibat kerja.

Pasal 6

(1) Untuk dapat diangkat menjadi dokter penasehat pusat dan wilayah, harus
memenuhi persyaratan :
a. Warga Negara Indonesia;
b. Pegawai Negeri Sipil dengan pangkat/golongan paling rendah Penata
(III/c);
c. Berbadan sehat;
d. Dokter umum atau spesialis;
e. Memiliki surat tanda registrasi dokter yang masih belaku;
f. Tidak sedang bekerja sebagai dokter perusahaan; dan
g. Memiliki keahlian hyperkes atau kesehatan keja.
(2) Dokter penasehat yang telah pensiun dan Pegawai Negeri Sipil dapat
diangkat kembali sebagai dokter penasehat.
(3) Pengangkatan kembali dokter penasehat sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) harus memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
kecuali ketentuan huruf b, usia paling tinggi 65 (enam puluh lima) tahun,
dan pernah diangkat sebagai dokter penasehat.
(4) Dokter Penasehat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
diangkat untuk masa kerja paling lama 5 (lima) tahun dan dapat diangkat
kembali.

Pasal 7

(1) Usulan pengangkatan dokter penasehat pusat disampaikan oleh dokter yang
bersangkutan kepada menteri melalui dirjen.
(2) Usulan pengangkatan dokter penasehat wilayah disampaikan oleh instansi
yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota atau
provinsi kepada menteri melalui dirjen.

Pasal 8

Menteri atau pejabat yang ditunjuk menyampaikan usulan nama-nama dokter


untuk mendapatkan surat penunjukan sebagai dokter penasehat kepada Menteri
Kesehatan.

Pasal 9

Menteri mengangkat dokter penasehat berdasarkan surat penunjukan dari


Menteri Kesehatan.

Pasal 10

(1) Usulan pengangkatan dokter penasehat pusat atau wilayah sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) dengan melampirkan :
a. Copy Kartu Tanda Penduduk.
b. Copy surat kekeputusan kepengangkatan/golongan terakhir sebagai
Pegawai Negeri Sipil.
c. Surat keterangan sehat dari dokter.
d. Copy ijazah dokter umum atau spesialis.
e. Copy surat tanda dokter registrasi yang masih berlaku.
f. Surat pernyataan tidak sedang bekerja sebagai dokter perusahaan; dan
g. Copy sertifikat keahlian dibidang hiperkes atau kesehatan kerja.

(2) Usulan pengangkatan dokter penasehat yang telah pensiun sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) dengan melampirkan persyaratan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kecuali huruf b, copy surat keputusan
pensiun dan copy surat keputusan pernah diangkat sebagai dokter
penasehat.

Pasal 11

Pengangkatan sebagai dokter penasehat dapat berakhir karena :


a. Berakhirnya masa pengangkatan sebagai dokter penasehat;
b. Mengundurkan diri;
c. Dicabut penunjukannya oleh Menteri Kesehatan;
d. Mutasi ke luar wilayah kerjanya;
e. Tidak menjalankan tugas dokter penasehat sebagaimana mestinya;
f. Mencapai usia 65 (enam puluh lima) tahun; atau
g. Meninggal dunia.

Pasal 12

(1) Untuk meningkatkan kelancaran tugas dokter penasehat, menteri


mengangkat seorang koordinator dokter penasehat untuk seluruh Indonesia
yang berkedudukan di Ibukota Jakarta.
(2) Pengangkatan koordinator dokter penasehat sebagaimana dimaksud ada
ayat (1) diusulkan oleh dirjen.
(3) Koordinator dokter penasehat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
bertugas :
a. Mengkoordinasikan pelaksanaan tugas dokter penasehat pusat;
b. Melaksanakan pembinaan bersama-sama dengan badan penyelenggara
dan pegawai pengawas ketenagakerjaan;
c. Melakukan koordinasi dengan instansi dan profesi terkait;
d. Membantu menteri melakukan evaluasi kinerja dokter penasehat pusat
dan wilayah.

Pasal 13

(1) Koordinator dokter penasehat dapat menunjuk dokter penasehat pusat


lainnya untuk membantu tugas-tugas koordinator.
(2) Dalam melaksanakan tugas koordinator dokter penasehat dibantu oleh
kesekretariatan.
(3) Susunan organisasi dan tata kerja kesekretariatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) ditetapkan oleh dirjen.

Pasal 14

Koordinator dokter penasehat melaporkan kegiatannya kepada menteri melalui


dirjen secara periodik setiap 6 (enam) bulan.

BAB IV

TATA CARA PEMBERIAN PERTIMBANGAN MEDIS.

Pasal 15

(1) Dalam hal badan penyelenggara memerlukan pertimbangan medis, maka


badan penyelenggara menyampaikan permintaan secara tertulis kepada
pegawai pengawas ketenagakerjaan.
(2) Pegawai pengawas ketenagakerjaan menyampaikan permintaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada dokter penasehat dalam
jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak diterimanya
permintaan tertulis.
(3) Permintaan pertimbangan medis sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dengan melampirkan rekam medis dan/atau data kecelakaan lainnya.

Pasal 16

(1) Dokter penasehat setelah menerima permintaan dari pegawai pengawas


ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2) harus
segera mempelajari rekam medis dan/atau data kecelakaan kerja lainnya.
(2) Dalam hal rekam medis dan/atau data kecelakaan kerja lainnya
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) masih meragukan atau belum
mencukupi, maka dokter penasehat melakukan pemeriksaan ulang.
(3) Pemeriksaan ulang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) termasuk
pemeriksaan penunjang diagnostik dan konsultasi kepada dokter spesialis.

Pasal 17

(1) Dokter penasehat setelah meneliti rekam medis, data kecelakaan kerja
lainnya dan/atau melakukan pemeriksaan ulang, memberikan pertimbangan
medis mengenai :
a. Diagnosis penyakit akibat kerja atau bukan;
b. Besarnya persentasi cacat akibat kecelakaan kerja dan/atau penyakit
akibat kerja yang tercantum dalam peraturan perundang-undangan.
(2) Selain ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dokter penasehat
pusat memberikan pertimbangan medis mengenai besarnya persentase
cacat akibat kecelakaan kerja dan/atau penyakit akibat kerja yang tidak
diatur dalam peraturan perundang-undangan.
(3) Pertimbangan medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebagai masukan
bagi pegawai pengawas ketenagakerjaan dalam menetapkan besarnya
penyakit akibat kerja atau bukan serta besarnya jaminan kecelakaan kerja.

Pasal 18

(1) Dokter penasehat memberikan pertimbangan medis secara tertulis kepada


pegawai pengawas ketenagakerjaan paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja
terhitung sejak diterimanya surat permintaan dari pegawai pengawas
ketenagakerjaan.
(2) Pemberian pertimbangan medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
menggunakan formulir sebagaimana tercantum dalam Lampiran Peraturan
Menteri ini.

BAB V

PEMBINAAN DAN PEMBIAYAAN

Pasal 19

(1) Pembinaan operasional dokter penasehat dilakukan oleh menteri atau


pejabat yang ditunjuk.
(2) Pembinaan operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
antara lain dengan penataran, penyuluhan, atau temu konsultasi baik
tingkat regional maupun tingkat nasional.
(3) Biaya operasional dan pembinaan dokter penasehat dibebankan kepada
badan penyelenggara.
BAB VI

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 20

Dengan ditetapkannya Peraturan Menteri ini, maka Peraturan Menteri Tenaga


Kerta Nomor : PER-04/MEN/1998 tentang Pengangkatan, Pemberhentian, dan
Tata Kerja Dokter Penasehat, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Ditetapkan di Jakarta.
Pada tanggal 6 November 2008.

MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA

ttd

Dr.Ir. ERMAN SUPARNO, MBA, M.Si.

Salinan sesuai dengan aslinya

Kepala Biro Hukum,

Sunarno, SH,MH.
NIP. 730 001 630.
LAMPIRAN

PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI


REPUBLIK INDONESIA
NOMOR : PER-17/MEN/XI/2008.

TENTANG

PENGANGKATAN, PEMBERHENTIAN, DAN TATA KERJA DOKTER


PENASEHAT.

FORMULIR DOKTER PENASEHAT.

Nomor :
Lampiran :
Perihal : Pertimbangan Medis Dokter Penasehat.

Kepada Yth : Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan.


Di unit yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.
Provinsi/kabupaten/kota …………………………………..

Berdasarkan surat permintaan pertimbangan medis No……………, tanggal


……………..
Dengan ini saya, Dokter …………………………., jabatan Dokter Penasehat, sesuai
dengan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor
:………………….., menerangkan dengan sesungguhnya bahwa :

1. Nama tenaga kerja :


Nomor KPJ (Kartu Peserta Jamsostek) :
Jenis Pekerjaan Jabatan :
2. Nama Perusahaan :
Jenis Usaha :
NPP (Nomor Pendaftaran Perusahaan) :
Alamat perusahaan :
3. Kecelakaan kerja pada tanggal :
4. Pemeriksaan pada tanggal :
5. Setelah membaca dan mempelajari :
a. Laporan kecelakaan kerja Tahap I.
b. Laporan kecelakaan kerja Tahap II.
c. Surat keterangan dokter bentuk KK4/KK5, yang ditandatangani oleh dokter
…………………………, jabatan : dokter
umum/spesialis……………………..dengan keterangan sebagai berikut :
……………………………………………………………..
d. Melakukan pemeriksaan ulang pada tanggal …………………………
Kepada :
Nama : ……………………
Umur : ……………………
Pekerjaan : …………………….
Berdasarkan hal tersebut di atas, dapat diberikan pertimbangan medis sebagai
berikut :
- Penyakit akibat kerja/bukan penyakit akibat kerja.
- Sembuh tanpa cacat.
- Cacat fungsi : %
- Cacat sebagian/anatomis : %
- Cacat total : %

6. Keterangan lain-lain yang diperlukan.

Dokter Penasehat

(………………….)

Ditetapkan di Jakarta.
Pada tanggal 6 November 2008.

MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK NDONESIA

ttd

Dr.Ir. ERMAN SUPARNO, MBA, M.Si.

Salinan sesuai dengan aslinya


Kepala Biro Hukum,

Sunarno, SH,MH
NIP. 730 001 630
KEPUTUSAN MENTERI

TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA


NOMOR : KEP-227/MEN /XI /2008

TENTANG

PENGANGKATAN DOKTER PENASEHAT

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA

Menimbang : a. Bahwa dalam rangka perlindungan bagi tenaga kerja peserta program jaminan sosial
tenaga kerja, perlu diangkat dokter penasehat untuk memberikan pertimbangan
medis penetapan kecelakaan kerja atau penyakit akibat kerja;
b. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimkasud dalam huruf a perlu
diatur mengenai pengangkatan dokter penasehat yang ditetapkan dengan Keputusan
Menteri.

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 14, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3468);
2. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4431);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Program
Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1993
Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3520),
sebagaimana telah beberapa kali diubah yang terakhir dengan Peraturan Pemerintah
Nomor 76 Tahun 2007 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007
Nomor160, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4789);
4. Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 1993 tentang Penyakit Yang Timbul Karena
Hubungan Kerja;
5. Keputusan Presiden Nomor 187/M Tahun 2005 tentang Pembentukan Kabinet
Indonesia Bersatu, sebagaimana telah beberapa kali diubah yang terakhir dengan
Keputusan Presiden Nomor 31/P Tahun 2007;
6. Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor :PER-04/MEN/1993 tentang Jaminan
Kecelakaan Kerja;
7. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor :PER-12/MEN/2007
tentang Petunjuk Tehnis Pendaftaran Kepesertaan, Pembayaran Iuran, Pembayaran
Santunan, dan Pelayanan Jaminan Sosial Tenaga Kerja;
8. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Nomor :PER-17/MEN/XI/2008 tentang Pengangkatan, Pemberhentian, dan Tata
Kerja Dokter Penasehat.

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

KESATU : Mengangkat Dokter Penasehat yang telah memenuhi persyaratan sebagaimana telah
diatur dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Nomor :PER-17/MEN/XI/2008 tentang Pengangkatan, Pemberhentian, dan Tata Kerja
Dokter Penasehat, yang nama-nama dan wilayah kerjanya sebagaimana tercantum dalam
Lampiran Keputusan Menteri ini.
KEDUA : Masa Kerja Dokter Penasehat sebagaimana dimaksud dalam Diktum KESATU paling
lama 5 (lima) tahun.
KETIGA : Dokter Penasehat sebagaimana dimaksud dalam Diktum KESATU melaksanakan tugas
sesuai dengan peraturan perundang-undangan..
KEEMPAT : Semua biaya yang timbul akibat dari ditetapkannya Keputusan Menteri ini dibebankan
pada anggaran PT. Jamsostek (Persero).
KELIMA : Dengan ditetapkanya Keputusan Menteri ini, maka Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan
Tansmigrasi Nomor KEP-204/MEN/2002 tentang pengangkatan Dokter Penasehat,
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
KEENAM : Keputusan Menteri ini mula belaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta.
Pada tanggal 7 Nopember 2008

MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA

ttd

Dr.Ir. ERMAN SUPARNO,MBA,M.Si

Salinan Keputusan ini disampaikan kepada Yth :


1. Menteri Kesehatan R.I.
2. Menteri Keuangan R.I.
3. Direktur Jenderal Anggaran Departemen Keuangan R.I.
4. Kepala Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan;
5. Direktur Utama PT. Jamsostek (Persero).
6. Kepala Instansi yang betanggungjawab di bidang ketenagakejaan seluruh Indonesia.

LAMPIRAN

KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI


REPUBLIK INDONESIA

NOMOR : KEP-227/MEN/XI/2008
TENTANG
PENGANGKATAN DOKTER PENASEHAT

DAFTAR NAMA DOKTER PENASEHAT

NO. NAMA/NIP/TGL. LAHIR WILAYAH KERJA KETERANGAN


1. Dr. Slamet chsan,M.S. Sp.Ok. Seluruh Indonesia Koordinator
14006867. Dokter Penasehat
Tulung Agung, 20 Pebruari 1947.
2. Dr. Kadwirini Lestari, M.K3. Seluruh Indonesia Dokter Penasehat
140150349.
Jakarta, 7 Juli 1953.
3. Dr. Huliselas Nicholas. Seluruh Indonesia Dokter Penasehat
140221567.
Namlea, 18 Agustus 1958.
4. Dr. Amarudin Seluruh Indonesia Dokter Penasehat
160048072.
Boyolali, 30 Desember 1964.
5. Dr. Sudi Astono, M.S. Seluruh Indonesia Dokter Penasehat
160018141.
Cilacap, 18 Juni 1966.
6. Dr. Erwin Anjasmara Ichsan Seluruh Indonesia Dokter Penasehat
160049047.
Tomohon, 18 Juli 1976.
7. Dr. Syaiful Bahri, Sp.M. Prov.Sumatera Utara Dokter Penasehat
140135564.
Padang, 16 April 1955.
8. Dr. Naik Suryanta. Prov.Sumatera Utara Dokter Penasehat
040070669
Medan, 28 Agustus 1965.
9. Dr. Richard Andreas Hariandja. Prov.Sumatera Utara Dokter Penasehat
160049154.
Jakarta, 10 Agustus 1971.
10. Dr. M. Sobri. Kab.Indragiri Hulu, Kab. Indragiri Dokter Penasehat
140328451. Hilir, Prov. Riau
Tebing Tinggi, 1 Juli 1966.
11. Dr. Desio Isanov, MARS Kota Dumai, Kab. Bengkalis, Dokter Penasehat
140140271. Kab. Rokan Hilir, Prov. Riau.
Sei Rampah, 10 Mei 1960.
12. Dr. Nur Al Rasyid Saragih. Kab. Pelalawan, Kab Siak. Kab Dokter Penasehat
140354079. Kuantan Singingi, Prov. Riau.
Medan, 8 Juli 1968.
13. Dr.SusanaEndangSusilowati. Prov. Kepulauan Riau. Dokter Penasehat
140222067.
Pasaman, 3 Juni 1957.

14. Dr. Yohanes Hilas H. Simorangkir. Prov. Bengkulu. Dokter Penasehat


140169958.
Solo, 18 Maret 1957.

15. Dr. Chairil Zaman, MSc. Prov. Sumatera Selatan. Dokter Penasehat
140099879.
Lahat, 29 Agustus 1952.
16. Dr. Hj. Rosdiana. Prov. Sumatera Selatan. Dokter Penasehat
140255159.
Palembang, 24 Agustus 1958.
17. Dr. Sri Rokhmani. Prov. DKI Jakarta Dokter Penasehat
160048955.
Karanganyar,26Oktober1968.
18. Dr.Hj. Sri Lestari,MS,Sp.OK. Kota Serang, Kab. Cilegon, Dokter Penasehat
14050490 Kab.Pandeglang, Kab. Lebak, Prov.
Purwokerto,13 Januari 1957. Banten.
19. Dr.Hj. Kenalin Intan Poppy Antika. Kab. Karawang. Prov. Jawa Barat. Dokter Penasehat
140224109.
Palembang, 3 November 1960.
20. Dr. Diah Wahyuni. Prov. Jawa Tengah. Dokter Penasehat
160048843.
Semarang, 15 Juni 1961.
21. Dr. Budiastuti Dwi Hapsari.M.Kes. Prov. Jawa Tengah. Dokter Penasehat
160048688.
Surakarta, 28 Juni 1967.
22. Dr. Tinon Martanita. Prov. Jawa Tengah. Dokter Penasehat
160048111.
Klaten, 23 Maret 1967.
23. Dr. Maria Paulina Inggrid Tanesha, Prov. Jawa Tengah. Dokter Penasehat
MBA
140166172.
Jakarta, 3 Desember 1953.
24. Dr. Ugik Setyo Darmoko. Prov. Jawa Timur. Dokter Penasehat
140366596.
Nganjuk, 5 Maret 1971.
25. Prof. Dr.Dr. Tjipto Suwandi, MOH, Prov. Jawa Timur. Dokter Penasehat
Sp.OK.
130517177.
Bojonegoro, 17 Nopember 1946.
26. Dr. Jauhari. M.S. Prov. Jawa Timur. Dokter Penasehat
140166037.
Kebumen, 30 April 1954.
27. Dr. H. Faisal Lubis,MPH. Kota Pontianak, Prov. Kalimantan Dokter Penasehat
140122622. Barat.
P.Sidempuan, 9 Agustus 1953.
28. Dr. Widi Rahardjo, M.Kes. Kota Pontianak, Prov. Kalimantan Dokter Penasehat
140219086. Barat.
Surakarta, 1 Juni 1962.
29. Dr. Manahan K. Pangaribuan. Prov. Kalimantan Selatan. Dokter Penasehat
M.Kes.
140081186.
Laguboti, 25 Sept 1948.
30. Dr. Murlin R. Simangunsong, Prov. Kalimantan Tengah. Dokter Penasehat
M.Kes.
140191208.
Tapanuli Utara, 8 Mei 1960.
31. Dr. Samsudin, M.Kes. Prov. Kalimantan Tengah. Dokter Penasehat
140328800.
Magelang, 21 Maret 1963.

32. Dr. Jozeb HF. Rumouw. Kotawaringin Barat/Timur, Dokter Penasehat


140268392. Seruyan,Lamandau,Sukamara,
Tahuna, 12 Sept 1964. Prov.Kalimantan Tengah.
33. Dr. Balerina Juul Plandrina Kota Balikpapan, Kab. Panajam Dokter Penasehat
Pontolumiju, MM. Paser Utara, Kab. Paser, Prov.
140222149. Kalimantan Timur.
Manado, 20 April 1959.
34. Dr. Muhammad Jabir. Kota Bontang, Kab. Kutai Timur, Dokter Penasehat
160048133. Prov. Kalimantan Timur.
Ganra, 26 Mei 1965.
35. Dr. H.Khairul, M.Kes. Kota Tarakan, Kab.Bulungan, Kab. Dokter Penasehat
550014269. Nunukan, Kab. Malinau, Prov.
Pare-Pare, 3 Juni 1964. Kalimantan Timur.
36. Dr. Mathius Maus Popang. Kab. Berau, Prov. Kalimantan Dokter Penasehat
140327801. Timur.
Rantepao, 13 Mei 1963.

37. Dr. Sinatra Gunawan. MK3,SP.Ok. Kota Samarinda, Kab. Kutai Dokter Penasehat
550017916. Kertanegara, Kab.KutaiBarat, Prov.
Jakarta, 16 Nop 1968. Kalimantan Timur.
38. Dr. Hj. Aminah AS Prov. Sulawesi Selatan. Dokter Penasehat
160048805.
Ujung Pandang, 5 Peb. 1965.
39. Dr. Hj. Andi Tjudai. Prov. Sulawesi Selatan. Dokter Penasehat
140344492.
Ujung Pandang, 20 Jan 1958.
40. Dr. Isharwati, M.Kes. Prov. Sulawesi Tengah. Dokter Penasehat
140203012.
Ponorogo, 20 Jan 1959.
41. Dr. Liem Lie Ping, M.Med (OM), Prov. Sulawesi Utara. Dokter Penasehat
SpOK.
140223715.
Jakarta, 10 Jan 1955.
42. Dr. H. Tryogo Suhadi. Prov. Gorontalo. Dokter Penasehat
140363072.
Manado, 10 April 1966.

Ditetapkan di Jakarta.
Pada tanggal 7 Nopember 2008.

MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA

ttd

Dr.Ir. ERMAN SUPARNO, MBA,M.Si.


LAPORAN HASIL PEMERIKSAAN

1. Identitas Perusahaan

1. Nama Perusahaan :
2. Alamat Perusahaan :
3. Jenis Usaha :
4. Kepemilikan / Status : PMA / PMDN
5. Nomor Pendaftaran Perusahaan ( NPP)
Jamsostek : DD
6. Jumlah Tenaga Kerja + Keluarga : Orang

: Lajang : Orang
: Berkeluarga : Orang
: Suami : Orang
: Isteri : Orang
: Anak : Orang
_____________________
Jumlah : Orang
II. Penyelenggara


1. Mempunyai PPK Sendiri :

2. Bekerjasama dengan PPK lain :

3. Bekerjasama dengan Badan Penyeleng :
gara selain PT. Jamsostek
4. Bersama beberapa perusahaan menye : -

lenggarakan suatu pelayanan kesehatan :

III. Kepesertaan
- Tenaga Kerja :
- Tenaga Kerja + Keluarga :
- Jumlah Anak yang ditanggung perusahaan
untuk setiap pekerja paling banyak 3 ( tiga )
orang

IV. Paket Pelayanan Kesehatan * )

1. Rawat jalan tingkat pertama : Ya Tidak



- Dokter Umum

- Dokter Gigi

- Obat – obatan

- Imunisasi Dasar

- Keluarga Berencana

- Lab Sederhana

- Pemeriksaan kehamilan

2. Rawat jalan tingkat Lanjutan
- Pemeriksaan Dokter Spesialis

3. Rawat Inap : **)


Maksimum Rawat Inap : 62 hari
Termasuk Perawatan Khusus ICCU : 21 hari JPK Dasar 60 hari
termasuk ICCU
20 hari

Kelas I Kelas II Kelas III

Ruang Rawat RS. Pemerintah ( JPK Dasar Kelas II


)

RS. Swasta ( JPK Dasar Kelas III )

4. Persalinan : **)

Yang ditanggung : 3 Orang / Anak


Biaya per- Kasus Persalinan Normal : Rp. 525.000,- JPK-Dasar Rp. 500.000,-
Lama rawat inap yang ditanggung : 3 hari (kecuali ada indikasi medis)

5. Pelayanan Gawat Darurat :


Ya Tidak

6. Penunjang Diagnostik Lanjutan Ya Tidak

- EKG

- EEG

- USG

- CT. Scanning

- Lain – lain Radiologi, EMG, Endoscopy

7. Pelayanan Khusus :

a. Kacamata : Rp. 175.000,- JPK Dasar Rp. 150.000,-


b. Prothesa Mata : Rp. 300.000,- JPK Dasar Rp. 175.000,-
c. Prothesa Gigi : Rp. 250.000,- JPK Dasar Rp. 250.000,-
d. Alat Bantu Dengar : Rp. 500.000,- JPK Dasar Rp. 300.000,-
e. Prothesa Anggota Gerak :
Tangan : Rp. 500.000,- JPK Dasar Rp. 350.000,-
Kaki : Rp. 700.000,- JPK Dasar Rp. 500.000,-
f. Alat kesehatan ( Pen / penyam
bung tulang : Rp. 350.000,- JPK Dasar Rp. ------
V. Lain – Lain

Pengaturan Penyelenggaraan tercantum secara rinci :

a. Dalam Peraturan Perusahaan / KKB


b. Pada tempat yang mudah dilihat
dan dibaca oleh Pekerja

VI. Pendapat Pegawai Pengawas :

Berdasarkan hasil pemeriksaan angka I s/d V dapat disimpulkan bahwa :


Perusahaan PT. ........................................ ternyata : ** )

1. Memenuhi Ketentuan Penyelenggaraan JPK dengan manfaat lebih baik.


2. Belum memenuhi ketentuan penyelenggaraan JPK dengan manfaat lebih baik

Demikian hasil pemeriksaan ini dibuat dengan sebenarnya.

Batam tgl 2007

Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan :

NIP :

Catatan :

*) Beri tanda pada kotak isian

**) Isi Data Paket Pelayanan Kesehatan


yang diberikan kepada Pekerja yang
upah terendah

***) Lingkari salah satu.


_____________________
Nomor : YTH
Lampiran
Perihal : Laporan Penyelenggaraan KEPALA DINAS
JPK dari bulan TENAGA KERJA KOTA BATAM
s.d DI
BATAM

Bersama ini kami sampaikan laporan penyelenggaraan pelayanan pemeliharaan kesehatan dengan manfaat
lebih baik dari Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Dasar JAMSOSTEK , sebagai berikut :

I. Identitas Perusahaan

1. Nama Perusahaan :
2. Alamat Perusahaan :
3. Jenis Usaha :
4. Kepemilikan / Status : PMA / PMDN
5. Nomor Pendaftaran Perusahaan ( NPP)
Jamsostek : DD
6. Jumlah Tenaga Kerja + Keluarga : Orang

: Lajang : Orang
: Berkeluarga : Orang
: Suami : Orang
: Isteri : Orang
: Anak : Orang
_____________________
Jumlah : Orang

II.Persetujuan Nomor : Tanggal

II. Penyelenggara *) TETAP BERUBAH

1. Mempunyai PPK Sendiri :


/ Bekerjasama dengan PPK lain :
2. Bekerjasama dengan Badan Penyeleng :
gara selain PT. Jamsostek
3. Bersama beberapa perusahaan menye :
lenggarakan suatu pelayanan kesehatan :

III. Kepesertaan *)
- Meliputi Pekerja & :
Keluarga Pekerja

IV. Paket Pelayanan Kesehatan * )


a. Rawat jalan tingkat I :

b. Rawat jalan tingkat II :


(Dokter Spesialis)

c. Rawat Inap :

d. Penunjang Diagnostik :

e. Pertolongan Persalinan :

f. Pelayanan Khusus :

g. Pelayanan Gawat Darurat :

Bila berubah , sebutkan perubahannya ** ):


a. .......................................................
b. .......................................................
c. ........................................................

Demikian kami sampaikan laporan ini untuk menjadi perhatian

Batam , Tanggal ...............................

Pimpinan Perusahaan

(..........................................)

Tembusan :
1.Yth KaKACAB PT.JAMSOSTEK (Persero)
di BATAM

Catatan :
*) Beri tanda √ pada kotak isian
**) Jika ada perubahan harus dilampirkan dokumen pendukung perubahan
_____________________
Keputusan Presiden No. 22 Tahun 1993
Tentang : Penyakit Yang Timbul Karena
Hubungan Kerja

Oleh : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA


Nomor : 22 TAHUN 1993 (22/1993)
Tanggal : 27 PEBRUARI 1993 (JAKARTA)

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA


Presiden Republik Indonesia,

Menimbang:

bahwa untuk lebih meningkatkan perlindungan terhadap tenaga kerja,


Undang-undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja
menetapkan perlunya pengaturan mengenai penyakit yang timbul karena
hubungan kerja dengan Keputusan Presiden.

Mengingat:

1. Pasal (1)">4 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945;

2. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga


Kerja;

3. Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan


Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Lembaran Negara Tahun 1993
Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3520);

MEMUTUSKAN:

Menetapkan:

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA TENTANG PENYAKIT YANG


TIMBUL KARENA HUBUNGAN KERJA.

Pasal 1
Penyakit yang timbul karena hubungan kerja adalah penyakit yang
disebabkan oleh pekerjaan atau lingkungan kerja.

Pasal 2

Setiap tenaga kerja yang menderita penyakit yang timbul karena hubungan
kerja berhak mendapat jaminan Kecelakaan Kerja baik pada saat masih
dalam hubungan kerja maupun setelah hubungan kerja berakhir.

Pasal 3

(1) Hak atas Jaminan Kecelakaan Kerja bagi tenaga kerja yang hubungan
kerjanya telah berakhir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
diberikan, apabila menurut hasil diagnosis dokter yang merawat
penyakit tersebut diakibatkan oleh pekerjaan selama tenaga kerja
yang bersangkutan masih dalam hubungan kerja.

(2) Hak jaminan kecelakaan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
diberikan, apabila penyakit tersebut timbul dalam waktu paling lama 3
(tiga) tahun terhitung sejak hubungan kerja tersebut berakhir.

Pasal 4

Penyakit yang timbul karena hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 1, sebagaimana tercantum dalam Lampiran Keputusan Presiden ini.

Pasal 5

Keputusan Presiden ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 27 Pebruari 1993
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

ttd.

SOEHARTO

Salinan sesuai dengan aslinya


SEKRETARIAT KABINET RI
Kepala Biro Hukum
dan perundang-undangan

ttd.

Bambang Kesowo, S.H., LL.M.

CATATAN

LAMPIRAN
KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 22 TAHUN 1993 TANGGAL 27 Pebruari 1993

PENYAKIT YANG TIMBUL KARENA HUBUNGAN KERJA

NO. PENYAKIT
-----------------------------------------------------------------

1. Pnemokoniosis yang disebabkan debu mineral pembentuk jaringan


parut (silicosis, antrakosilikosis, asbestosis) dan silikotuberkolosis
yang silikosisnya merupakan faktor utama penyebab cacat atau
kematian.

2. Penyakit paru dan saluran pernapasan (bronkhopulmoner) yang


disebabkan oleh debu logam keras.

3. Penyakit paru dan saluran pernapasan (bronkhopulmoner) yang


disebabkan oleh debu kapas, vlas, henep dan sisal (bissinosis).

4. Asma akibat kerja yang disebabkan oleh penyebab sensitisasi dan zat
perangsang yang dikenal yang berada dalam proses pekerjaan.

5. Alveolitis allergika yang disebabkan oleh faktor dari luar sebagai akibat
penghirupan debu organik.

6. Penyakit yang disebabkan oleh berilium atau persenyawaannya yang


beracun.

7. Penyakit yang disebabkan oleh kadmium atau persenyawaannya yang


beracun.
8. Penyakit yang disebabkan fosfor atau persenyawaannya yang beracun.

9. Penyakit yang disebabkan oleh krom atau persenyawaannya yang


beracun.

10. Penyakit yang disebabkan oleh mangan atau persenyawaan-nya yang


beracun.

11. Penyakit yang disebabkan oleh arsen atau persenyawaan-nya yang


beracun.

12. Penyakit yang disebabkan oleh raksa atau persenyawaan-nya yang


beracun.

13. Penyakit yang disebabkan oleh timbal atau persenyawaan-nya yang


beracun.

14. Penyakit yang disebabkan oleh fluor atau persenyawaan-nya yang


beracun.

15. Penyakit yang disebabkan oleh karbon disulfida. beracun.

16. Penyakit yang disebabkan oleh derivat halogen dari persenyawaan


hidrokarbon alifatik atau aromatik yang beracun.

17. Penyakit yang disebabkan oleh benzena atau homolognya yang


beracun.

18. Penyakit yang disebabkan oleh derivat nitro dan amina dari benzena
atau homolognya yang beracun.

19. Penyakit yang disebabkan oleh nitrogliserin atau ester asam nitrat
lainnya.

20. Penyakit yang disebabkan oleh alkohol, glikol atau keton.

21. Penyakit yang disebabkan oleh gas atau uap penyebab asfiksia atau
keracunan seperti karbon monoksida, hidrogensianida, hidrogen
sulfida, atau derivatnya yang beracun, amoniak seng, braso dan nikel.

22. Kelainan pendengaran yang disebabkan oleh kebisingan.

23. Penyakit yang disebabkan oleh getaran mekanik (kelainan-kelainan


otot, urat, tulang persendian, pembuluh darah tepi atau syaraf tepi.

24. Penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan dalam udara yang


berkenaan lebih.
25. Penyakit yang disebabkan oleh radiasi elektro magnetik dan radiasi
yang mengion.

26. Penyakit kulit (dermatosis) yang disebabkan oleh penyebab fisik,


kimiawi atau biologik.

27. Kanker kulit epitelioma primer yang disebabkan oleh ter, pic, bitumen,
minyak mineral, antrasena atau persenyawaan, produk atau residu
dari zat tersebut.

28. Kanker paru atau mesotelioma yang disebabkan oleh asbes.

29. Penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus, bakteri atau parasit yang
didapat dalam suatu pekerjaan yang memiliki risiko kontaminasi
khusus.

30. Penyakit yang disebabkan oleh suhu tinggi atau rendah atau radiasi
atau kelembaban udara tinggi.

31. Penyakit yang disebabkan bahan kimia lainnya termasuk bahan obat.

______________________________________
PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR PER.25/MEN/XII/2008

TENTANG

PEDOMAN DIAGNOSIS DAN PENILAIAN CACAT


KARENA KECELAKAAN DAN PENYAKIT AKIBAT KERJA

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa penggunaan peralatan kerja, mesin dan bahan kimia


berbahaya dalam proses produksi dapat menyebabkan tenaga
kerja menderita kecelakaan dan penyakit akibat kerja;

b. bahwa untuk menetapkan kompensasi bagi tenaga kerja yang


menderita karena kecelakaan dan penyakit akibat kerja, perlu
dilakukan diagnosis dan penilaian serta penetapan tingkat
kecacatannya;

c. bahwa dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi


di bidang kedokteran yang berpengaruh terhadap penilaian
cacat akibat kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja
sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Nomor KEP.79/MEN/2003 tentang Pedoman
Diagnosis dan Penilaian Cacat karena Kecelakaan dan Penyakit
Akibat Kerja, perlu dilakukan penyempurnaan;

d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam


huruf a, huruf b dan huruf c perlu menetapkan Peraturan Menteri
Tenaga Kerja dan Transmigrasi tentang pedoman diagnosis dan
penilaian cacat karena kecelakaan dan penyakit akibat kerja;

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1951 tentang Pernyataan


Berlakunya Undang-Undang Pengawasan Perburuhan Tahun 1948
Nomor 23 dari Republik Indonesia untuk Seluruh Indonesia
(Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1951);

2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan


Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1970 Nomor
1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
2918);

3. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial


Tenaga Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992
Nomor 14, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3468);

1
4. Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 1993 tentang Penyakit
Yang Timbul Karena Hubungan Kerja;

5. Keputusan Presiden Nomor 187/M Tahun 2004 tentang


Pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu, sebagaimana telah
beberapa kali diubah, terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor
31/P Tahun 2007;

6. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor PER.


02/MEN/1980 tentang Pemeriksaan Kesehatan Tenaga Kerja
Dalam Penyelenggaraan Keselamatan Kerja;

7. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor PER.


01/MEN/1981 tentang Kewajiban Melapor Penyakit Akibat Kerja;

8. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor PER.


03/MEN/1982 tentang Pelayanan Kesehatan Kerja;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

KESATU : Pedoman Diagnosis dan Penilaian Cacat karena Kecelakaan dan


Penyakit Akibat Kerja sebagaimana tercantum dalam lampiran
Peraturan Menteri ini.

KEDUA : Pedoman sebagaimana dimaksud dalam Diktum KESATU digunakan


sebagai acuan untuk menetapkan diagnosis dan penilaian cacat karena
kecelakaan dan penyakit akibat kerja guna menghitung kompensasi
yang menjadi hak tenaga kerja.

KETIGA : Dengan ditetapkan Peraturan Menteri ini, maka Keputusan Menteri


Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor KEP. 79/MEN/2003 tentang
Pedoman Diagnosis dan Penilaian Cacat Karena Kecelakaan dan
Penyakit Akibat Kerja, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

KEEMPAT : Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 18 Desember 2008
MENTERI PARAF TANGGAL

Pembuat draft MENTERI


TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
Penanggung jawab materi REPUBLIK INDONESIA,
Pengendali aspek hukum
ttd
Penanggung jawab administrasi
Dr. Ir. ERMAN SUPARNO, MBA., M.Si

Salinan sesuai dengan aslinya


Kepala Biro Hukum,

Sunarno, SH, MH
NIP. 730001630

2
3
LAMPIRAN
PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR PER. 25/MEN/XII/2008

TENTANG

PEDOMAN DIAGNOSIS DAN PENILAIAN CACAT


KARENA KECELAKAAN DAN PENYAKIT AKIBAT KERJA

BIDANG PENYAKIT KULIT

I. BATASAN

Penyakit kulit akibat kerja, ialah setiap penyakit kulit yang disebabkan oleh pekerjaan
atau lingkungan kerja yang berupa faktor risiko mekanik, fisik, kimia, biologik dan
psikologik.
Kelainan yang terjadi dapat berupa :
– Dermatitis kontak
– Dermatitis kontak foto
– Acne
– Infeksi kulit (bakteri, virus, jamur, infestasi parasit)
– Neoplasi kulit
– Kelainan pigmentasi kulit.

II. DIAGNOSIS

Setelah identifikasi dan assesment potensial hazards di tempat kerja, maka data
pemeriksaan penderita dapat dievaluasi kemungkinannya berupa penyakit akibat kerja.

A. Anamnesis.

1. Keluhan

2. Riwayat pekerjaan sekarang


– sudah berapa lama bekerja di perusahaan ?
– riwayat pekerjaan dalam perusahaan (pernah dibagian mana saja ?)

3. Riwayat pekerjaan sebelumnya.


– perusahaan apa saja ?
– berapa lama ?

Dibandingkan catatan medik sebelum bekerja di perusahaan ("pre-employment


medical check up").

4. Riwayat penyakit keluarga

5. Riwayat perjalanan penyakit


– Waktu kejadian ?
– Rasa gatal ?
– Perbaikan selama cuti ?
– Pengobatan yang pernah/telah didapat ?

3
B. Pemeriksaaan Fisik

1. Inspeksi
– Pemeriksaan seluruh badan termasuk lipatan kulit, misal lipat paha, celah
antar jari.
– Kondisi higiene umum
– Lokasi kelainan

2. Palpasi

3. Pemeriksaaan dengan kaca pembesar

C. Pemeriksaaan penunjang

1. Pemeriksaaan Laboratorium

1.1. Pemeriksaan hasil kerokan kulit dengan KOH 20% (pemeriksaan jamur).

1.2. Tes serologi untuk sifilis :


– VDRL < 1/4 bukan sifilis, bukan pada pasien berisiko tinggi.
– VDRL > 1/4 kemungkinan sifilis (perlu dirujuk ke spesialis kulit dan
kelamin.

1.3. Kelainan kulit karena HIV :


– Western Blot, atau
– Elisa 3x dengan metoda berbeda.
– Bagi yang tidak punya fasilitas Western Blot dapat dikirim sample
darahnya ke laboratorium rujukan

2. Pemeriksaan dengan Lampu Wood :

2.1. Untuk perubahan warna kulit berupa hipo atau hiper pigmentasi tanpa
disertai radang.

2.2. Untuk pemeriksaan psoriasis versicolor (panu)

3. Histopatologi.
Khususnya untuk neoplasma pada kulit.

4. Uji tempel.

Ada 2 (dua) cara :

4.1. Uji tempel terbuka.


Terutama untuk bahan yang bersifat iritan (biasanya bahan mudah
menguap, bahan yang dicurigai sebagai iritan dioleskan dibelakang telinga
dan dievaluasi 24 jam kemudian).

4.2. Uji tempel tertutup


– Dilakukan baik dengan alergen standar ataupun bukan standar dengan
pengenceran 1/1000 - 1/100.
– Lokasi penempelan di punggung atau lengan atas bagian lateral atau
punggung, alergen dioleskan pada unit uji tempel dan setelah 48 jam
dibuka, setelah terbuka 15 menit kemudian dievaluasi.

III. URAIAN PENILAIAN CACAT

Sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, cacat bidang penyakit


kulit sulit diperhitungkan terhadap penurunan kemampuan kerja dan tidak tercakup
dalam lampiran Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1993 yang telah disempurnakan
dengan Peraturan Pemerintah Nomor 64 Tahun 2005.

4
BIDANG NEUROLOGI

I. BATASAN

Penyakit akibat kerja bidang neurologi adalah penyakit yang mengenai sistem syaraf
pusat dan perifer yang penyebabnya antara lain adalah trauma, gangguan vaskuler,
infeksi, degenerasi, keganasan, gangguan metabolisme, dan intoksikasi yang
bermanifestasi berupa keluhan-keluhan subjektif seperti nyeri, rasa berputar, kehilangan
keseimbangan, penglihatan kabur/double, gangguan kognitif (atensi, bahasa, kalkulasi,
memory) dan gangguan emosi. Dan keluhan objektif berupa gangguan fungsi sistem
motorik, sistem sensorik, sistem autonom.

II. DIAGNOSIS

Diagnosis ditegakkan berdasarkan :

1. Anamnesis.

2. Pemeriksaan fisik :

a. Umum
b. Pemeriksaan Neurologi
Pemeriksaan neurologis harus meliputi riwayat pekerjaan dan medis yang akurat
mengenai fungsi saraf, hal-hal berikut perlu dievaluasi, status mental, saraf
kranial, sistem motorik dan sensorik, refleks, koordinasi, gaya berjalan dan
postur tubuh. Evaluasi sistem saraf otonom (refleks cahaya pupil dan fungsi
kelenjar lakrimal, ludah, dan pencernaan, kencing dan seksual) harus dilakukan.
Pemeriksaan refleks tendon dalam dan kekuatan otot di anjurkan diperiksa dan
evaluasi dengan teliti.

3. Pemeriksaan Penunjang Neurologi :

a. Pengukuran sensitivitas getaran.

Pengukuran sensitivitas getaran memberi informasi tentang informasi serabut


saraf yang membawa sensasi dalam, dan dianggap sebagai sarana yang baik
untuk menilai ganggguan sensorik. Uji ini termasuk pemeriksaan garpu tala
(antara 128 – 256 Hz) pada suatu tonjolan tulang. Akhir-akhir ini ada
kecenderungan untuk menghitung sensitivitas vibrasi dengan getaran yang
ditimbulkan secara elektromagnetik atau elektrik.

b. Uji neurofisiologis.

Elektromiografi dapat membantu mendeteksi denervasi serat otot akibat


degenerasi akson. Selain itu dapat pula mendemonstrasikan potensial llistrik
pada otot yang sedang istirahat, menurunnya rekruitmen unit motorik saat
kontraksi otot, dan variasi parameter unit motorik. Elektroneurografi
memungkinkan pengukuran kecepatan konduksi impuls serabut motorik maupun
sensorik.

c. Elektroensefalografi.

Elektroensefalografi tidak dapat dianjurkan sebagai uji deteksi dini gangguan


fungsional sistem saraf pusat. Demikian pula teknik-teknik baru seperti analisis
frekuensi elektroensefalografi dan potensial yang dibangkitkan otak.

d. Uji psikologis (neuro behavior).

Para pekerja yang berisiko tinggi terpapar zat neurotoksik hendaknya menjalani
pemeriksaan psikologis secara berkala untuk mencegah terjadinya kemunduran
fungsi yang irreversible pada sistem saraf yang lebih tinggi. Kalau mungkin,
hendaknya didapat suatu profil dasar sebelum paparan, guna rujukan untuk

5
pemeriksaan selanjutnya. Uji profil dasar dan pengendalian lebih lanjut
hendaknya meliputi :

Pengukuran dinamisme intelektual (mis., tes RavenPM38)


• uji daya ingat, meliputi komponen mekanis, visual dan logis (mis., uji daya
ingat Wechsler)
• skrining kepribadian untuk melihat kemungkinan ciri-ciri kepribadian seperti
neurotik
• waktu reaksi.

Perhatian khusus hendaknya diberikan pada laporan subjektif tentang


kegelisahan emosional dan mental. Perasaan-perasaan ini seringkali merupakan
satu-satunya bukti dini dari gangguan fungsi saraf yang lebih tinggi. Bila gejala-
gejala tersebut memberi kesan keterlibatan sistem saraf pusat yang lebih berat,
pemeriksaan psikodiagnostik yang seksama hendaknya dilaksanakan untuk
menggali integritas fungsi sistem saraf pusat termasuk : dinamisme mental
dalam hubungannya dengan kapasitas intelektual budaya, daya ingat jangka
pendek dan panjang, kemampuan menahan, menyimpan, mereproduksi
informasi, kemampuan psikomotor, dan perubahan kepribadian yang
mempengaruhi individu tersebut dan lingkungan sosial yang ada.
Uji psikologis dianggap dengan indikator yang sensitif untuk gangguan mental
dan emosional dini. Akan tetapi seringkali sulit membedakan gangguan
psikogenik fungsional dari proses-proses kemunduran organik. Dalam hal ini,
profil dasar individual tentu saja merupakan bantuan yang besar untuk diagnosis.
Tetapi jika profil dasar tidak ada, hal-hal berikut hendaknya dipertimbangkan
dalam diagnosis :

• gangguan fungsional bersifat kurang spesifik dibandingkan tanda-tanda


proses kemunduran organik
• gangguan fungsional mempunyai pengaruh yang lebih besar pada
kepribadian daripada fungsi mental
• gangguan fungsional berubah sesuai dengan waktu dan dapat pulih.

Dengan mempertimbangkan fasilitas yang terbatas untuk pemeriksaan psikologis


yang seksama di banyak negara, maka sulit untuk menganjurkan selang waktu
yang dapat diterapkan pada semua situasi. Akan tetapi, selang waktu yang
pantas mungkin sekitar 2 tahun.

Bilamana mungkin, subjek-subjek dengan gangguan kondisi emosional atau


mental hendaknya tidak ditempatkan pada pekerjaan yang melibatkan paparan
terhadap agen-agen neurotoksis.

e. Pemeriksaan Radiologi dengan CT Scan dan MRI


Pemeriksaan penunjang
Lumbal punctie/cairan otak
Elektro Fisiologi (EEG, EMG)
Radiologi (foto kepala, CT Scan, MRI)

III. URAIAN CACAT DAN PENILAIAN TINGKAT CACAT

Penilaian cacat dilakukan sesuai dengan gangguan fungsi :

A. Penilaian cacat factor motorik menggunakan metode Manual Muscle Test (MMT)

Nilai Tingkat Cacat Menurut MMT Penilaian tingkat cacat


0 Kelumpuhan sama dengan amputasi 100%
1 Ada gerak otot tanpa gerak sendi 80%
2 Dapat menggerakkan anggota badan 60%
tersebut pada seluruh lingkup gerak sendi
tanpa factor gravitasi

6
3 Dapat menggerakkan anggota badan 40%
tersebut pada seluruh “LGS” dengan faktor
gravitasi
4 Nilai 3+ melawan tahanan ringan 20%
5 Nilai 3+ melawan tahanan kuat/penuh 0%

B. Penilaian cacat pada sistem saraf otonom

Ggn Fungsi Otonom Tak ada Ggn Sebagian Ggn Total


Berkeringat 0% 50% 100%
Miksi/defekasi 0% 50% 100%

C. Penilaian cacat penurunan libido


- untuk yang belum punya anak 40%
- untuk yang sudah punya anak 20%

D. Syaraf Kranial
- N.I. lihat bidang penyakit mata
- N. VIII, lihat bidang penyakit THT
- N, IX – X, lihat bidang penyakit orthopaedi.

E. Penilaian tingkat disabilitas dan cacat perdarahan subarachnoid traumatika.


Penilaian dilakukan setelah menjalani neurorehabilitasi selama 6 bulan berdasarkan
Glasgow Outcome Scale (GOS) :

0 = death
1 = vegetatif state (patients exhibits no obvious cortical functions)
2 = severe disability (concious but disable. Patients depends upon others for
daily support due to mental or physical disability or both)
3 = moderate disability (disable but independent. Patient is independent as far as
daily life is concerned. The disabilities found include. Varying degrees of
dysphasia, hemiparesis, or ataxia, as well as intelectual and memory deficits
and personal changes)
4 = Good recovery (resumption of normal activities even though there may be
minor neurological or psychological deficits)

GOS 1 Status vegetatif, nilai fungsi yang hilang diatas 75%


GOS 2 Disabilitas berat, nilai fungsi yang hilang 51 - 75%
GOS 3 Disabilitas sedang, nilai fungsi yang hilang diatas 25 – 50%
GOS 4 Disabilitas ringan, nilai fungsi yang hilang 1 – 25%

F. Penilaian kecacatan tetap fisik trauma Medula Spinalis.

Klasifikasi tingkat dan keparahan trauma medula spinalis ditegakkan pada saat 72
jam sampai 7 hari setelah trauma, kemudian penilaian kecacatan tetap fisik setelah
dilakukan neurorehabilitasi 6 bulan.
Impairment scale :

Grade Tipe Gangguan medula spinalis Persentasi fungsi yang


ASIA/IMSOP hilang
A Komplit Tidak ada fungsi motorik dan sensorik >75%
sampai S4-S5
B Inkomplit Fungsi sensorik masih baik tapi >50 – 75%
motorik terganggu sampai segmen
sakral S4-S5
C Inkomplit Fungsi motorik terganggu dibawah >25 – 50%
level, tapi otot-otot motorik utama
masih punya kekuatan<3
D Inkomplit Fungsi motorik terganggu dibawah 1 – 25%
level, otot-otot motorik utama punya
kekuatan >3
E Normal Fungsi motorik dan sensorik normal 0%

7
G. Penilaian gangguan fungsi Ischialgia dan Brachialgia.

Penilaian gangguan fungsi setelah program terapi selesai selama 6 bulan dengan
kemampuan daya kerja > 50 – 75% sesuai persentase santunan 40%.

H. Penilaian gangguan fungsi neuritis akibat jebakan.

Penilaian gangguan fungsi setelah program terapi selesai selama 6 bulan dengan
kemampuan daya kerja > 25 – 50% sesuai persentase santunan 20%.

I. Pekerja yang mengalami Stroke yang terjadi pada saat melaksanakan pekerjaan di
tempat kerja kemudian dibawa ke Rumah Sakit dan mengakibatkan kematian tidak
lebih dari 24 jam sejak terjadinya stroke dapat di kategorikan sebagai kecelakaan
kerja.

Penentuan ganti rugi mengacu pada Lampiran Peraturan Pemerintah Nomor 14


Tahun 1993 yang telah disempurnakan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 76 Tahun
2007. Penentuan ganti rugi didasarkan pada persentase cacat fungsi neurologik 100%
sama dengan 70% dari upah.

BIDANG PENYAKIT DALAM

I. BATASAN

Penyakit akibat kerja dalam lingkup penyakit dalam adalah penyakit yang timbul akibat
pemaparan oleh faktor risiko di tempat kerja yang mengenai organ :

1. Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah (sistem kardio vaskuler)


2. Penyakit Ginjal dan Saluran Kemih
3. Penyakit Saluran Cerna dan Hati
4. Penyakit Sistem Endokrin
5. Penyakit Darah dan Sistem Pembentuk Darah (hemopoetik)
6. Penyakit Otot dan Kerangka
7. Penyakit Infeksi

Kelainan yang terjadi dapat berupa kelainan akut, kelainan kronis dan penyakit keganasan.
Yang tersering terjadi adalah penyakit otot dan kerangka, penyakit infeksi dan penyakit
darah.

II. DIAGNOSIS

A. Secara umum sistematika pemeriksaan penderita adalah sebagai berikut :

1. Anamnesis

Dalam melakukan anamnesis penyakit akibat kerja hendaknya meliputi hal-hal


sebagai berikut :
- Riwayat pekerjaan saat ini (apa yang dikerjakan setiap hari ?, bahan-bahan/alat
yang dipakai, lingkungan sekitar tempat kerja dan lain-lain)
- Riwayat pekerjaan sebelumnya (sama seperti diatas)
- Riwayat pekerjaan sampingan/hobi
- Hubungan antara keluhan penyakit dan waktu kerja :
- Kapan keluhan paling sering timbul (bandingkan frekwensi keluhan waktu
kerja/hari-hari kerja dengan hari libur)
- Kapan keluhan tersebut pertama kali timbul (dihitung mulai saat masuk kerja
sampai timbulnya keluhan)
- Riwayat penyakit keluarga
- Riwayat penyakit dahulu

8
2. Pemeriksaan Fisik

Sama seperti penyakit pada umumnya disesuaikan dengan diagnosis yang ada.

3. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang disesuaikan dengan diagnosis yang dibuat meliputi


pemeriksaan :
- Laboratorium darah, urin, feses dan lain-lain
- Radiologi
- Patologi anatomi

B. Sistematika diagnostik dan penilaian tingkat cacat untuk kelainan setiap sistem adalah
sebagai berikut :
1. Penyakit jantung dan pembuluh darah akibat kerja
2. Penyakit ginjal dan saluran kemih akibat kerja
3. Penyakit saluran pencernaan dan penyakit hati akibat kerja
4. Penyakit endokrin akibat kerja
5. Penyakit darah dan sistem pembentuk darah akibat kerja
6. Penyakit otot dan kerangka akibat kerja
7. Penyakit insfeksi akibat kerja

ad 1. Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah Akibat Kerja


a. Iskemia dengan menyebabkan penyakit koroner (PJK)
1) Contoh penyebab :
- karbon disulfida
- karbon monoksida
- metilin klorida
- debu fibrogenik
- nitrat
- arsen
2) Kriteria diagnostik :
- ada kontak dengan agen
- angina pektoris
- faktor risiko PJK lainnya harus disingkirkan terlebih dahulu
- EKG : perubahan ST-T
- Exercise stress test
3) Tingkat cacat menetap
- ringan : tak ada angina pektoris pada beban fisik ringan (sesuai
Class I Canadian Cardiovascular Sosial Function Classification).
- Sedang : angina pektoris pada beban fisik sedang (sesuai Class II –
III Canadian Cardiovascular Social Function Classification).
- Berat : angina pektoris pada keadaan istirahat (sesuai Class IV
Canadian Cardiovascular Social Function Classification).

b. Iskemia tanpa menyebabkan PJK


1) Contoh penyebab :
- karbon monoksida
- metilin klorida
- nitrat
2) Kriteria diagnostik
- ada kontak dengan agen
- angina pektoris
- faktor risiko dapat disingkirkan
- EKG : perubahan ST-T
- Exercise stress test
3) Tingkat cacat : tidak menimbulkan cacat menetap

9
c. Disritmia
1) Contoh penyebab :
- fluorocarbon
- chlorinated hydrocarbon
- nitrat
- semua faktor risiko penyebab iskemia
2) Kriteria diagnostik :
- ada kontak dengan agen
- palpitasi
- sinkope
- EKG : disritmia atrium atau ventrikel yang patologis
3) Tingkat cacat yang menetap :
Disritmia yang menetap sesudah melalui pemeriksaan yang berulang
baik yang berhubungan iskemia maupun tidak.
d. Kardiomiopati
1) Contoh penyebab :
- cobalt
- antimon
2) Kriteria diagnostik :
- ada kontak dengan agen
- sesak nafas
- tekanan darah yang rendah, tekanan nadi kecil
- gallop
- kardiomegali
3) Tingkat cacat menetap yang timbul adalah cacat menetap sedan.
e. Penyakit pembuluh darah perifer :
1) Contoh penyebab :
- karbon disulfida
- karbon monoksida
- metilin klorida
2) Kriteria diagnostik :
- ada kontak dengan agen
- klaudikasio/ fenomena Raynaud
- faktor risiko penyakit pembuluh darah perifer lain harus disingkirkan
3) Tingkat cacat menetap yang timbul adalah cacat menetap sedang.
f. Cor pulmonale :
1) Contoh penyebab : debu fibrogenik
2) Kriteria diagnostik :
- ada kontak dengan agen
- gagal jantung kanan
- insufisiensi pernapasan (lihat penyakit paru akibat kerja)
3) Tingkat cacat menetap sesuai dengan penilaian tingkat cacat bidang
paru :
- ringan : tanpa gejala atau dalam stadium kompensasi (sesuai
Class I NYHA)
- sedang : dengan gagal jantung ringan – sedang (sesuai Class II – III
NYHA)
- berat : dengan gagal jantung berat (sesuai Class IV NYHA)

ad. 2. Penyakit Ginjal dan Saluran Kemih Akibat Kerja


a. Gagal ginjal Akut
1) Contoh penyebab :
a) Langsung :
- hidrokarbon halogenated misal karbon tetraklorid
- glikol, misalnya etilen glikol
- pestisida :
- organopospat misal paration
- organoklorin misal DDT
- biripidil misal paraquat

10
b) Tak langsung :
- agen hemolitik misal arsen
- agen rabdomiolitik misal etilen-glikol
- pelarut hidrokarbon
- logam berat.
2) Kriteria diagnostik :
- ada kontak dengan agen
- gejala timbul dalam waktu kurang dari 1 minggu
- gejala gastrointestinal misal mual, muntah
- kreatinin serum > 1,5 mg%
- asidosis metabolik
- hiperkalemi (K>5.5 meq/l)
- oliguri atau anuri
3) Tingkat cacat menetap penilaiannya dilakukan setelah fase akut diatasi.

b. Gagal ginjal kronik


1) Contoh penyebab :
- logam berat misal cadmium, timah hitam, berilium
- fisik misal radiasi mengion
2) Kriteria diagnostik
- ada kontak dengan agen
- gangguan gastrointestinal misal mual, muntah
- oliguria dan anuria
- hipertensi
- edema
- kreatinin serum > 1,5 mg%
- asam urat > 7 mg%
- asidosis metabolik
- hiperkalemia (K > 5,5 meq/l)

3) Tingkat cacat menetap :


- ringan : - tes kliren kreatinin 50 – 75 ml/menit
- kreatinin serum 1,5 – 4 mg%
- tidak ada asidosis metabolik
- tidak ada hiperkalemia
- sedang : - tes kliren kreatinin 25 – 50 ml/menit
- kreatinin serum 4 - 6 mg%
- tidak ada asidosis metabolik
- tidak ada hiperkalemia
- berat : - tes kliren kreatinin 5 - 25 ml/menit
- kreatinin serum 6 - 8 mg%
- tidak ada asidosis metabolik
- tidak ada hiperkalemia
- sangat berat : - tes kliren kreatinin < 5 ml/menit
- kreatinin serum > 8 mg%
- ada asidosis metabolik
- ada hiperkalemia

c. Neoplasma pada kandung kemih


1) Contoh penyebab :
- beta naftilamin
- benzidin
- 4-aminodifenil
- 4-nitrodifenil
- auramin
- magenta
2) Kriteria diagnostik :
- ada kontak dengan agen
- gangguan miksi misal sakit, berdarah dan susah pada waktu kencing
- sistoskopi ada massa di kandung kemih
- biopsi kandung kemih ditemukan tanda ganas

11
3) Tingkat cacat menetap tergantung pada jenis keganasan dan stadium
pada waktu ditemukan

d. Neoplasma pada ginjal


1) Contoh penyebab : paparan asbes, coke-oven workers
2) Kriteria diagnostik :
- ada kontak dengan agen
- gangguan miksi misal berdarah
- benjolan pada daerah ginjal
- pielografi intravena ditemukan gangguan fungsi dan ginjal yang
membesar
- USG ginjal ditemukan ginjal membesar
- Gambaran histopatologi keganasan ginjal
3) Tingkat cacat menetap tergantung kepada jenis keganasan dan stadium
pada waktu diketemukan.

CATATAN :
RUMUS PERHITUNGAN TES KLIREN KREATININ (TKK) :

T.K.K (LAKI-LAKI) = (140 – UMUR) X BERAT BADAN


KREATININ PLASMA X 72

T.K.K (WANITA) = 0,85 X T.K.K LAKI-LAKI

Ad.3. Penyakit Saluran Pencernaan dan Penyakit Hati Akibat Kerja

a. Penyakit saluran pencernaan :


1) Esofagitis erosif korosif
a) Contoh penyebab adalah zat korosif asam/basa yang tertelan
b) Kriteria diagnostik :
- Klinik :
- Odinofagia (nyeri waktu menelan)
- Heart burn (nyeri di bawah tulang dada)
- Disfagia
- Esofagografi
- Esofagoskopi

c) Tingkat cacat menetap :


- ringan misal odinofagia, heart burn
- sedang :
- odinofagia, heart burn
- disfagia makanan padat
- makanan halus masih bisa ditelan
- berat :
- odinofagia, heart burn
- disfagia terhadap makanan cair ataupun halus
- berat sekali misal pada disfagia total

2) Pancreatitis akut
a) Contoh penyebab adalah metanol, seng, cobalt, merkuri klorid,
cadmium, cresol

b) Kriteria diagnostik :
- klinik
- panas
- nyeri epigastrium yang berat/hebat
- muntah
- nyeri tekan pada epigastrium bisa di seluruh abdomen
- laboratorium :
- lekositosis
- amilase meningkat

12
- lipase meningkat
- kalsium menurun
- gula darah meningkat
- ultrasonografi

c) Tingat cacat menetap dinilai sesudah perawatan fase akut teratasi

3) Pankreatitis kronik
a) Contoh penyebab :
- sama dengan pankreatitis akut
- sebagai kelanjutan pankreatitis akut

b) Kriteria diagnostik
- klinik :
- nyeri epigastrium yang menjalar ke punggung
- rasa sakit hilang timbul
- sindrom malabsorbsi
- berat badan menurun
- diare kronik
- laboratorium : dalam keadaan eksaserbasi didapat kenaikan
kadar amilase
- ultrasonografi

c) Tingkat cacat menetap :


- ringan :
- nyeri masih dapat di tolerir
- diare yang dapat diatasi dengan diit dan obat preparat enzim.
- Sedang :
- Nyeri tidak dapat ditolerir, harus dengan analgetik
- Diare menimbulkan malnutrisi
- Berat :
- Nyeri tidak dapat ditolerir, harus dengan analgetik
- Diare menimbulkan malnutrisi

4) Kanker esofagus
a) Contoh penyebab :
- asbestos
- akrilonitrile

b) Kriteria diagnostik :
- klinik : disfagia

- endoskopi
- biopsi

c) Tingkat cacat menetap dipandang cacat berat

5) Kanker lambung
a) Contoh penyebab sama dengan kanker esofagus
b) Kriteria diagnostik :
- Klinik :
- Nyeri epigastrium
- Nausea
- Anoreksia
- Berat badan turun
- Anemia
- Foto lambung
- Gastroskopi
- Biopsi

c) Tingkat cacat menetap dipandang tingkat cacat berat

13
6) Kanker kolon
a) Contoh penyebab :
- asbestos
- akrilonitrile
b) Kriteria diagnostik :
- klinik :
- perubahan pola defekasi
- diare atau obstipasi
- perdarahan per-anum
- mules
- feses berlendir
- berat badan turun
- foto kolon
- kolonoskopi
c) Tingkat cacat menetap dipandang tingkat berat.
b. Penyakit hati
1) Penyakit hepatitis akut
a) Contoh penyebab :
- Anorganik : bahan kimia anorganik misal tembaga, timah hitam,
fosfor, antimon, thallium, krom, brom, merkuri.
- Organik : bahan kimia organik misal senyawa hidrokarbon alifatik
dan aromatik dengan ikatan klor maupun lain (dinitro benzene,
hidrazin, eter, alkohol).

b) Kriteria diagnostik :
- klinik :
- riwayat adanya pemaparan dengan agen sebelum timbulnya
gejala
- rasa lemas, cepat lelah, mual, intoleransi lemak, urin warna air
teh/kopi
- ikterus, hepatomegali dan nyeri tekan
- singkirkan penyebab lain (alkohol, obat, infeksi)
- laboratorium :
- hiperbilirubinemia (libirubin D>1)
- SGOT dan SGPT ↑↑
SGOT < SGPT
- Fosfatase lindi dan GGT sedikit ↑
- HBs Ag negatif
IgM anti HAV negatif
IgM anti HCV negatif

c) Tingkat cacat menetap : tidak ada.


2) Hepatitis akut kolestatik
a) Contoh penyebab : resin
b) Kriteria diagnostik : sama dengan penyakit hepatitis akut yang sering
disertai keluhan gatal.
c) Tingkat cacat menetap : sama dengan penyakit hepatitis akut

3) Disfungsi hepatoseluler kronik persisten


a) Contoh penyebab : aromatik “chlorinated” (bifenil poliklorida, benzen
heksaklorida, dioksin, pestisida).
b) Kriteria diagnostik :
- ada kontak dengan agen
- gangguan faal hati hilang timbul (bilirubin, SGOT, SGPT)
- sering disertai kelainan kulit (porfiria tarda)
- singkirkan penyakit hati kronik lain (histopatologik tidak khas)
c) Tingkat cacat menetap : ringan

14
4) Sirosis hati
a) Contoh penyebab :
- ikatan logam (arsenik)
- haloalkil (vinil klorida)
- hidrokarbon “chlorinated” (CCI4)
- aromatik “chlorinated” (PCB, benzen heksaklorida, dioksin,
pestisida).
b) Kriteria diagnostik :
- riwayat adanya penyakit yang disebut di atas (pernah alami
penyakit 1 s/d 3)
- tanda/ stigmata sirosis hati
- USG untuk usus yang stigmatanya minimal
c) Tingkat cacat menetap : berat

5) Hepatoma (karsinoma hepatoseluler)


a) Contoh penyebab :
- ikatan logam (arsenik)
- haloalkil (vinil klorida)
- hidrokarbon chlorinated (CCI4, CHCI3, trikloroetilin)
b) Kriteria diagnostik :
- ada kontak dengan agen
- eksklusi penyebab lain (virus hepatitis B, aflatoksin)
- asites
- hepatomegali, keras, berbenjol, kadang terdengar “bruit”
- gangguan faal hati
- AFP meninggi
- Lesifokal (SOL) pada USG
c) Tingkat cacat menetap : berat

6) Angiosarkoma
a) Contoh penyebab :
- ikatan logam (arsenik)
- haloalkil (vinil klorida)
b) Kriteria diagnostik :
- riwayat adanya paparan dengan agen
- hepatomegali, nyeri spontan dan nyeri tekan
- asites
- gangguan faal hati
- lesi fokal (SOL) pada USG
c) Tingkat cacat menetap berat

7) Hepatitis granulomatosa (beriliosis)


a) Contoh penyebab : ikatan logam (berilium)
b) Kriteria diagnostik :
- riwayat paparan dengan agen
- demam lama
- anikterik
- fosfatase alkali ↑
- transaminase dan globulin sedikit ↑ ,
bilirubin normal
- berilium dalam urin dan kulit (skin patch)
- laparoskopi – biopsi
c) Tingkat cacat menetap :
- sedang :
- kenaikan SGOT dan atau SGPT sampai dengan 2 x nilai
normal tertinggi

- Berat :
- Kenaikan SGOT dan atau SGPT lebih dari 2 x normal tertinggi

15
8) Sklerosis hepatoportal.
a) Contoh penyebab :
- ikatan logam (arsenik, torium dioksida)
- haloalken (vinil klorida)
b) Kriteria diagnostik :
- adanya kontak dengan agen
- kelainan fisik tidak jelas, dapat timbul manifestasi hipertensi
portal (asistes, edema)
- kelainan histologik khas perlu untuk diagnosis pasti
- gangguan faal hati ringan, tidak khas

c) Tingkat cacat menetap :


- ringan :
- tes faal hati (bilirubin dan transaminase) sedikit meninggi
- tidak ada tanda-tanda hipertensi portal
- berat
- tes faal hati jelas meninggi
- ada tanda-tanda hipertensi portal ( asites, edema, varises
esofagus dan hemoroid)

Dalam penyakit hati :


- klasifikasi tingkat cacat menetap berat berarti nilai cacat 70% dari
upah sehari
- klasifikasi tingkat cacat menetap sedang berarti nilai cacat 50% dari
upah sehari
- klasifikasi tingkat cacat menetap ringan berarti nilai cacat adalah 30%
dari upah sehari.

ad.4. Penyakit Endokrin Akibat Kerja.

Sistem endokrin.

Masalah terpenting dalam sistem ini ditemukan pada fungsi gonad, yaitu
gangguan fungsi reproduksi.

Bahan yang sudah diketahui dapat menyebabkan kemandulan ialah :


- dibromklorpropan
- kepone (klordekon = insektisida organoklor)
- timah hitam (batere)
- timah putih organik (plastik, cat, pestisida)
- dietilstilbestrol (produksi DES)
- radiasi mengion

Derajat cacat untuk kemandulan sukar ditetapkan. Walaupun demikian


kewaspadaan harus ditingkatkan demi keselamatan pekerja.

ad.5. Penyakit Hematologi Akibat Kerja

a. Anemia hemolitik
1) Contoh penyebab :
- arsen
- stibine
- trinitrotoluen (TNT)
- naftalen
- timah hitam
- oksigen hiperbarik (lebih-lebih pada G6PD)

2) Kriteria diagnostik :
- ada kontak dengan agen
- klinis
- kelelahan umum

16
- sakit kepala difus
- mata : - konjunctiva pucat
- sklera ikterik +/-
- laboratorium :
- Hb ↓
- Rt ↑
- SDM : - sferosit
- fragmented
- basophilic stippling (timah hitam dan arsen)
- Hein’bodies (naftalen dan TNT)
- Kimia darah : bilirubin indirek
- Urin : hemosiderin (+) ↑
3) Tingkat cacat menetap dinilai sesudah fase akut diatasi.

b. Anemia hipoplasia
1) Contoh penyebab : radiasi mengion, benzene, timah hitam
2) Kriteria diagnostik :
- ada kontak dengan agen
- klinis :
Gejala umum :
- konstipasi, muntah
- lead line (pada gusi)
- neuritis perifer
- pucat
- hematologi :
- Hb
- SDM : - basophilic stippling
- normokrom, normositer
- Kimia darah : kadar timah dalam darah > 40 Ug/ dl
3) Tingkat cacat menetap : dinilai setelah fase akut diatasi

c. Methemoglobinemia
1) Contoh penyebab :
- aniline dyes
- aromatic amine
- senyawa nitro substituted benzene
- organic/inorganic nitrit/nitrat
2) Kriteria diagnostik :
- ada kontak dengan agen
- klinis : sianosis
- laboratorium : - darah warna coklat
- methemoglobin ↑
3) Tingkat cacat menetap : dinilai sesudah fase akut diatasi

d. Trombositopenia
1) Disertai depresi sumsum tulang
a) Contoh penyebab :
- benzene
- pestisida
- radiasi mengion
- arsen
- TNT
b) Kriteria diagnostik :
- ada kontak dengan agen
- klinis : - ptekia, purpura, ekimosis
- perdarahan mukosa

- laboratorium : trombosit ↓
- aspirasi sumsum tulang : hipoplasia
c) Tingkat cacat menetap dinilai sesudah pengobatan.

17
2) Dengan sumsum tulang normal
a) Contoh penyebab : oksigen hiperbarik (scuba divers)
b) Kriteria diagnostik :
- ada kontak dengan agen
- klinis : seperti pada trombositopenia yang disertai depresi
sumsum tulang
- laboratorium : trombosit ↓
- aspirasi sumsum tulang: normal atau megakariosit ↑
c) Tingkat cacat menetap : dinilai sesudah pengobatan

e. Anemia aplasi
1) Contoh penyebab :
- benzene
- arsen
- pestisida
- TNT
- Radiasi
2) Kriteria diagnostik :
- ada kontak dengan agen
- klinis :
- kelelahan umum
- pucat
- sering infeksi
- perdarahan mukosa
- ptekia, purpura, ekimosis
- laboratorium :
- HB ↓ , Rt ↑
- Lekosit ↓
- Trombosit ↓
- Aspirasi sumsum tulang : hypoplasia
3) Tingkat cacat menetap :
- ringan : HB : 10 – 12 gr%
L : 3.000 – 4.000
Tr : 80 – 140.000
- sedang : Hb : 7,5 – 9,9 gr%
L : 1500 – 2900
Tr : 30.000 – 79.000
- berat : Hb : < 7,49
L : < 1500
Tr : < 30.000
f. Paroxysmal nocturnal hemoglobinuria
1) Contoh penyebab :
- benzene
- radiasi
2) Kriteria diagnostik :
- ada kontak dengan agen
- klinis :
- pucat
- urin : coklat kehitam-hitaman
- sering nyeri pada abdomen
- laboratorium : Hb ↓
3) Tingkat cacat menetap :
- ringan : Hb : 10 – 12 gr%
- sedang : Hb : 7,5 – 9,9 gr%
- berat : Hb : < 7,4%

g. Leukemia akut
1) Contoh penyebab
- benzene
- etilen

18
- pestisida
- arsen
- TNT
- Radiasi
2) Kriteria diagnostik :
- ada kontak dengan agen
- klinis :
- kelelahan umum
- sering infeksi
- perdarahan mukosa
- pucat
- ptekia, purpura, ekimosis
- hepatosplenomegali
- laboratorium :
- HB
- Leukosit ↑
- Trombosit
- Sel blas (+)
- Aspirasi sumsum tulang : sel blas > 30%
3) Tingkat cacat menetap : dinilai sesudah pengobatan (sedang sampai
berat)

h. Leukemia limfositik kronik


1) Contoh penyebab :
- benzen
- radiasi
2) Kriteria diagnostik :
- ada kontak dengan agen
- klinis :
- kelelahan umum
- pucat
- hepatosplenomegali
- limphadenopati
- laboratorium :
- HB N / ↓
- Leukosit ↑ ↑
- Trombosit N / ↓
- Sel blas (+)
3) Tingkat cacat menetap :
- Ringan : - HB, trombosit normal
- Limfosit > 15.000
- Limfoid terkena < 3 area
- Sedang : - HB, trombosit normal
- Limfoid terkena > 3 area
- Splenomegali/ hepatomegali
- Berat : - Hb < 10 g%
- Tr < 100.000
- Hepatosplenomegali
- Limfoid terkena > 3 area

i. Leukemia mielositik kronik


1) Contoh penyebab :
- benzen
- radiasi
2) Kriteria penyebab :
- ada kontak dengan agen
- klinis :
- kelelahan umum
- pucat
- hepatosplenomegali

19
- laboratorium :
- Hb ↓
- Leukosit ↑
- Trombosit N / ↓
- Aspirasi sumsum tulang : sel blas (+)
3) Tingkat cacat menetap :
- ringan : - HB, 10 – 12 g%
- leukosit < 100.000
- trombosit normal
- sel blas 1 – 5%

- Sedang : - HB, 7,5 – 9,9 g%


- leukosit 101 – 200.000
- trombosit normal
- sel blas 6 – 25 %

- Berat : - Hb < 7,5 g%


- leukosit > 200.000
- trombosit < 100.000
- sel blas > 25 %

Dalam hal penyakit hematologi akibat kerja :


- klasifikasi tingkat cacat menetap berat berarti nilai cacat adalah 70% dari
upah sehari
- klasifikasi tingkat cacat menetap sedang berarti nilai cacat adalah 50% dari
upah sehari
- klasifikasi tingkat cacat menetap ringan berarti nilai cacat adalah 30% dari
upah sehari

ad.6. Penyakit Otot dan Kerangka Akibat Kerja

a. Fenomena Raynaud :
- vibration white finger
- akroosteolisis

1) Contoh penyebab :
- trauma vibrasi
- vinil klorida
2) Kriteria diagnostik :
- pemaparan terhadap pekerjaan atau alat tersebut, beberapa bulan
hingga lebih dari 20 tahun
- gejala prodromal : parastesia, anestesia, ujung jari pucat
- radiologi : adanya ostreoporis falang distal/ perubahan-perubahan
kistik kecil

b. Carpal tunnel syndrome


1) Contoh penyebab : sering pada macam-macam pekerjaan operator
mesin asembling, yang melakukan pengepakan, pekerjaan tekstil,
pekerja lainnya (vibrasi & fleksi yang kuat pada pergelangan tangan
maupun ekstensi atau deviasi)

2) Kriteria diagnostik :
- karakteristik parastesia, nyeri, lemah pada jari-jari menurut distribusi
N. medianus distal
- gejala khas tadi memburuk malam hari ataupun sesudah fleksi yang
lama misal : pengemudi mobil
- hilangnya rasa raba permukaan tangan sebelah medial
- kelemahan tenar/atrofi
- kesemutan dari pergelangan ke bawah

20
- EMG, hubungan dengan kerja dinilai secara hati-hati, penggunaan
tangan, posisi tangan & sering atau beratnya kekuatan atau tekanan
pada pergelangan tangan atau vibrasi.
- Gejala berkurang sesudah istirahat kerja

c. Sindroma kompresi lain :


1) Sindroma pronator
a) Contoh penyebab
- pronasi yang kuat berlangsung lama menjepit N. medianus di
lengan bawah
- tugas kerja memutar tuas atau roda.

b) Kriteria diagnostik : mirip carpal tunnel syndrome, tetapi kesemutan


meluas ke lengan bawah

2) Cubital tunnel syndrome


a) Contoh penyebab : N. ulnaris dapat rusak pada siku oleh tekanan
langsung atau oleh fleksi ekstensi yang berulang
b) Kriteria diagnostik :
- pekerja kantor, supir, operator mesin dan juru gambar
- semutan daerah ulnar dari telapak tangan dan kelemahan-
kelemahan otot-otot tangan yang dipersarafi N. ulnaris.

3) Wrist drop
a) Contoh penyebab :
- N. radialis oleh tekanan langsung pada humerus posterior
- Mengangkat barang berat yang terus menerus atau menggunakan
ban kompresif yang dipakai terus menerus

b) Kriteria diagnostik : kelemahan pada pergelangan dan gejala Wirst


Drop

4) Obstruksi mulut rongga dada


a) Contoh penyebab :
- mengangkat barang berat di bahu dan bekerja dengan lengan ke
belakang kepala
- penggunaan otot-otot bahu yang berlebihan menyebabkan
hipertropi otot subclavius.

b) Kriteria diagnostik :
- riwayat adanya paparan dengan agen
- kompresi plexus Brachialis dan arteri Brachialis
- insuffisiensi intermitten neurovasculer lengan.

5) Ischialgia
a) Contoh penyebab : kompresi eksternal saraf ischiadicus oleh karena
duduk yang lama atau duduk pada tempat yang sempit.
b) Kriteria diagnostik : gejala sama dengan akibat penyakit discus
intervertebrata lumbalis.

6) Sindroma N. cutaneous femoralis lateralis.

a) Contoh penyebab :
– Kompresi saraf sensoris
– Trauma pada pelvis oleh tempat duduk ataupun oleh sabuk yang
digunakan.
– Tarikan atau gerakan-gerakan tubuh maupun tungkai bawah
pada posisi tertentu yang berlebihan.

b) Kriteria diagnostik : gejala nyeri yang terasa seperti terbakar dan


parestesia pada paha lateral.

21
7) Foot Drop

a) Contoh penyebab : N. Peroneous mengalami kompresi langsung


atau akibat posisi bungkuk atau melipat badan, jongkok, berlutut.
b) Kriteria diagnostik : kelemahan dorsofleksi kaki, bisa juga
kehilangan sensoris pada punggung kaki dan tungkai bawah
lateral.

8) Tarsal Tunnel Syndrome

a) Contoh penyebab : N. tibialis posterior yang melalui bagian bawah


pergelangan kaki medial tertekan sepatu yang tidak tepat dan
terlalu sempit sebagai penyebab utama.
b) Kriteria diagnostik : seperti pada syndrome carpal tunnel
menyebabkan parestesia dan rasa terbakar pada jari-jari kaki dan
telapak bagian distal.

d. Artritis degeneratif (termasuk pinggang)


1) Contoh penyebab :
Sehubungan dengan pekerjaan tertentu yaitu penggunaan berulang dan
pembebanan pada sendi-sendi tertentu :
- pergelangan siku & bahu : alat-alat vibrasi (bor, gerinda,
gergaji)
- kaki & pergelangan kaki : penari
- siku : pekerja pengecoran
- siku & genu : pekerja tambang
- genu : pramu wisma
- jari tangan dan pergelangan : pekerja tekstil
- jari tangan : pemetik kapas

2) Kriteria diagnostik :
Kelainan radiologi yang jelas disertai pemeriksaan fisik :
- Lokasi sesuai dengan pekerjaan (hanya beberapa sendi)
- Telah melakukannya sedikit-dikitnya 10 th dengan gerakan berulang
dari sendi yang terkena.
- Struktur kontra-lateral tidak kena kecuali pengunaan secara simetris.

e. Tendinitis
1) Contoh penyebab :
– Inflamasi bursa, tendo, ligamen ataupun jaringan sekitar sendi
lainnya
– Gerakan yang berulang atau trauma langsung.
2) Kriteria diagnostik :
– Nyeri setempat atau bengkak. Nyeri terutama pada gerakan tertentu
yang diberi perlawanan (tahanan) misal : epicondilitis di samping
nyeri setempat juga pronasi yang ditahan.
– Radiologi menyingkirkan kelainan pada sendi atau tulang
– Jelas pekerjaannya mengenai gerakan berulang atau keras pada
sendi tersebut.
– Perlu disingkirkan faktor bukan pekerjaan (Gout, RA, GO)

f. Kontraktur Dupuytren's
1) Contoh penyebab :
– Adanya proliferasi noduler jaringan fibrosa pada fascia palmaris
– disangka ada kaitannya dengan trauma pekerjaan yang berulang
– sekarang diragukan benar tidaknya pengaruh kerja dan trauma

2) Kriteria diagnostik :
– Gejala dan tanda jelas
– Menimbulkan fleksi jari-jari yang menetap dan progresif
– Singkirkan penyebab lain.

22
g. Nyeri pinggang bawah
1) Contoh penyebab :
– Sering menyebabkan cacat temporer
– Ada kaitannya kerja mengangkat ataupun mengerjakan & mengepak
barang
– Walaupun pekerjaan apapun sering menunjukkan hampir sama
terjadinya kelainan ini.

2) Kriteria diagnostik :
– Osteofit maupun penyempitan diskus (radiologi)
– Perlu disingkirkan adanya infeksi atau penyakit tulang, saraf,
vaskuler dan lain-lain.
– Kecenderungan eksaserbasi pada waktu bekerja.

h. Nekrosis tulang yang aseptik

1) Contoh penyebab :
– Penyelam atau pekerja di bawah air lainnya mempunyai risiko
meningkat terutama mengenai tulang panjang.
– Ada kaitannya dengan obstruksi vaskuler oleh gelembung nitrogen
atau oleh karena dekompresi yang terlalu cepat mengakibatkan
ischemia dan infark tulang.

2) Kriteria diagnostik :
– Radiografi dan/atau radionuklir
– Genu, coxae, bahu, dengan mulainya pelan-pelan berbulan-bulan
dan berulang-ulang.

i. Kelainan kolagen
1) Skleroderma
a) Contoh penyebab :
– Pelarut hidrokarbon aromatik
– Debu silikon
– Debu karbon (batu bara).

b) Kriteria diagnostik :
– Kecenderungan pada penderita pneumokoniosis dan silikosis
– Kriteria diagnostik sama dengan skleroderma sebab lain.

2) Akroosteolitis
a) Contoh penyebab : vinyl clorida monomer
b) Kriteria diagnostik :
– Kontak dengan vynil chlorida monomer
– Waktu laten kurang dari 2 tahun
– Hiperglobulinemia
– Tes fungsi hati terganggu
– Biopsi : - kulit
- pembuluh darah

j. Gout sekunder
1) Contoh penyebab :
– Timah hitam (Pb)
– Berilium

2) Kriteria diagnostik :
– Pemaparan sedikitnya 10 - 20 tahun
– Klinis sama seperti Gout Primer
– Gangguan fungsi organ (hati, ginjal, otak)
– Kadar Pb dalam darah tinggi.

23
k. Gangguan tulang metabolik
1) Fluorosis
a) Penyebab : fluor
b) Kriteria diagnostik :
– Kontak kronik (beberapa tahun) dengan fluorida pada tulang dan
jaringan
– Mobilitas tulang punggung berkurang
– Radiologis :
- bentuk tulang berubah, ligamen dan tendon mengalami
kalsifikasi
- osteosklerosis dan kalsifikasi pelvis dan ligamen spinal
– laboratorium :
- kadar fluor di urine 24 jam, > 1,5 Ng/dl kreatinin
- kadar fluor di darah
- biopsi tulang.

2) Phosphorous (Phossy Jaw)


a) Contoh penyebab : posfor
b) Kriteria diagnostik :
– Sakit gigi
– Gigi tanggal secara progresif
– Pyorhea
– Disfungsi rahang
– Radiologik : nekrosis aseptik progresif pada tulang rahang

l. Artralgia & myalgia difus

1) Akut difus

a) Contoh penyebab :
– Uap logam
– Pestisida
– Pelarut kimia

b) Kriteria diagnostik :
– Nyeri difus akut
– Myalgia difus

2) Kronik difus

a) Artralgia Pb
(1) Penyebab : timah hitam inorganik
(2) Kriteria diagnostik :
– Kontak kronik
– Myalgia difus kronik
– Terkena sendi besar
– Gejala tidak khas, ada gejala umum akibat keracunan Pb.
– Kadar timah hitam > 40 Ug/dl

b) Fluorosis sistemik
(1) Penyebab : fluor
(2) Kriteria diagnostik :
– Biopsi tulang
– Kadar fluor dalam darah.

24
Penyakit kelainan otot dan kerangka akibat kerja, penentuan tingkat cacat
menetap dengan menggunakan kriteria tingkat cacat pada orthopaedi.

III. PENENTUAN TINGKAT CACAT


PENYAKIT OTOT DAN KERANGKA AKIBAT KERJA

GANGGUAN FUNGSI

1. Keterbatasan ROM (RGS = Ruang Gerak Sendi)


a. Ringan : Keterbatasan sendi 30%
b. Sedang : Keterbatasan sendi 30 - 70%
c. Berat : Keterbatasan sendiri 70 - 100%

2. Stabilitas sendi
a. Ringan : Sendi masih dapat digunakan dengan sedikit gangguan
b. Sedang : Sendi sukar digunakan/terbatas
c. Berat : Sendi sangat sukar digunakan/sangat terbatas

3. Deviasi/Malformasi
a. Ringan : Sedikit menimbulkan kesukaran
b. Sedang : Menyukarkan gerakan sendi
c. Berat : Sangat terbatas dalam gerakan sendi/tak dapat digunakan

4. Kelemahan otot / Syaraf Tepi


a. Ringan : Kekuatan otot 4 - 5
b. Sedang : Kekuatan otot 3 - 2
c. Berat : Kekuatan otot 1 - 0

SENDI – SENDI YANG DAPAT TERKENA

- Bahu − Coxae
- Siku − Genu
- Pergelangan − Subtarsal
- MCP (Metacarpo Phalangeal) − Tarso - Metatarsal
- PIP (Proximal Inter Phalangeal) − MTP (Metatarso Phalangeal)
- DIP (Distal Inter Phalangeal)

GANGGUAN FUNGSI (STEINBROCKER)

1. Dapat melaksanakan tugas / kegiatan sehari-hari : 25%


2. Ada beberapa kesukaran dalam melaksanakan tugas / kegiatan sehari-hari : 50%
3. Melaksanakan kegiatan sehari-hari dengan terbatas / perlu dibantu : 75 %
4. Sangat sukar melaksanakan kegiatan / tugas sehari-hari : 100%

Penyakit infeksi akibat kerja

a. Hepatitis B/C
1. Penyebab : virus hepatitis B/C
2. Kriteria diagnostik :
– Adanya riwayat kontak dengan cairan tubuh penderita (petugas kesehatan,
laboratorium, kebersihan), demam/sindroma flu (tak selalu), rasa kelemahan umum,
cepat lelah, mual, intoleransi lemak, urin berwarna coklat tua (teh), konjungtiva
ikterik, hepatomegali.

– Laboratorium: SGOT/SGPT ↑, Bilirubin↑ (direk > indirek), Fosfat alkali↑.


Hbs Ag (+), lg M Anti HCV (+)

3. Tingkat kecacatan : Tingkat kecacatan menetap tidak ada bila sembuh


ƒ Ringan : bila menjadi hepatitis kronis
ƒ Sedang : bila menjadi sirosis hati
ƒ Berat : bila menjadi hepatoma atau fulminan

25
b. Tuberkulosis
1. Penyebab : Mycobacterium tuberculosis
2. Kriteria diagnostik :
– Ada kontak dengan droplet (petugas kesehatan, laboratorium), batuk-batuk, demam
tak tinggi, hemoptoe, berat badan↓.Paru: ronchi basah, efusi pleura, CNS :
meningitis dll.
– Laboratorium : ditemukan kuman Mycobacterium tubercolusis,
– Pemeriksaan Radiologis.
3. Tingkat kecacatan : dinilai setelah terapi.

c. HIV (Human Immunodeficiency Virus)


1. Penyebab : virus HIV
2. Kriteria diagnostik :
– Adanya kontak dengan cairan tubuh penderita (petugas kesehatan, laboratorium,
kebersihan). Gejala sindrom flu, bila sudah menjadi AIDS terdapat infeksi
oportunistik seperti : TBC, Pneumonia P. carinii, infeksi jamur, infeksi virus
Citomegalo, virus Epstein Barr, mudah terjadi infeksi.
– Laboratorium : serologi HIV (+), Western Blot (+)

3. Tingkat kecacatan : Berat

BIDANG PSIKIATRI

I. BATASAN

Psikiatri atau ilmu kedokteran jiwa adalah cabang dari ilmu kedokteran yang menangani
sebab-musabab (patogenesis), diagnosis, prevensi, terapi dan rehabilitasi gangguan
jiwa serta promosi kesehatan jiwa (Maramis, 1980). Psikiatri industri atau psikiatri
okupasional berkaitan dengan prevensi, diagnosis, terapi dan rehabilitasi di tempat kerja

Penyakit akibat kerja dan cacat akibat kecelakaan kerja di bidang psikiatri adalah
gangguan jiwa yang bersifat sementara maupun menetap, yang berhubungan dengan
pekerjaan.

Gangguan jiwa yang dapat terjadi berupa :

A. Kondisi kejiwaan yang khas di tempat kerja :


Anxiestas, depresi, lesu kerja (burn-out), absenteisme dan Histeria Massal

B. Gangguan jiwa yang paling banyak terkait dengan kondisi kerja menurut ICD - 10
adalah :
1. Gangguan Neurotik
2. Gangguan Somatoform
3. Gangguan yang berkaitan dengan Stress

C. Gangguan jiwa yang kadang-kadang terkait dengan kondisi kerja menurut ICD - 10
adalah :
1. F00-F09 : 1. Gangguan Organik, termasuk Gangguan Mental
Simptomatik : Demensia dan Delirium
2. Anxietas, Depresi dan Gangguan Kepribadian Akibat Zat
Toksik.
2. F10-F19 : Gangguan Mental dan Perilaku Akibat Penggunaan Zat
Psikoaktif.
3. F30-F39 : Gangguan Suasana Perasaan (Mood)
4. F50-F59 : Sindrom Perilaku yang Berhubungan dengan Gangguan
Fisiologik dan Faktor Fisik : Disfungsi Seksual, Gangguan
Makan dan Tidur yang Berkaitan dengan pekerjaan.

26
D. Gangguan jiwa yang mengakibatkan cacat mental
1. Skizofrenia
2. Gangguan Paranoid
3. Psikosis Organik

II. DIAGNOSIS

Diagnosis psikiatri didasarkan atas gejala-gejala yang diperoleh atas dasar wawancara
psikiatrik dan pengamatan (observasi) klinik. Kemudian gejala-gejala tersebut disusun
menurut kriteria diagnostik yang sudah dibakukan dalam Pedoman Penggolongan
Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ) di Indonesia.

Gangguan jiwa biasanya terjadi melalui suatu proses perjalanan penyakit yang panjang.
Gangguan ini dilandasi oleh faktor-faktor dasar (predisposing factors) dan dibangkitkan
oleh faktor pencetus (precipitating factor). Faktor dasar sudah ada sejak awal
perkembangan kepribadian seseorang. Individu tersebut telah memiliki kondisi-kondisi
tertentu yang diperolehnya melalui proses genetik (herediter, keturunan), atau kondisi
yang telah ada pada saat itu, yaitu proses konstitusional. Kondisi awal ini berkembang,
baik melalui proses maturasi (pematangan) akibat bertambahnya usia, maupun akibat
pengaruh lingkungan. Faktor herediter, organobiologik, konstitusional dan psikososial
dapat berkembang menjadi kekuatan dan kelemahan pada individu tersebut. Apabila
mendapat pencetus yang berat dan tepat (spesifik), jatuhlah orang tersebut dalam
keadaan terganggu jiwanya. Pencetus tersebut misalnya adalah stresor dalam
pekerjaan.

Kesulitan untuk menentukan adanya hubungan kausalistas antara gangguan jiwa dan
kondisi kerja adalah karena hakikat gangguan jiwa yang multi-kasual dan multifaktorial.
Lain halnya dengan gangguan mental organik seperti demensia, delirium dan epilepsi
yang dapat secara kausal dihubungkan dengan akibat kerja yang bersifat fisik seperti
cedera kepala dan intoksikasi otak.

Dalam psikiatri, penyebab umum gangguan jiwa terdiri dari faktor organobiologik
misalnya faktor hereditas dan lingkungan yang mempengaruhi tubuh, faktor psikologis
terutama dari pengalaman belajar dari lingkungan, terutama hubungan interpersonal,
dan faktor sosio-kultural yang dipengaruhi oleh masyarakat dan budaya yang ia hidup di
dalamnya. Manusia bereaksi secara holistik (keseluruhan) yaitu secara somato-
psikososial, sehingga yang sakit dan menderita adalah manusia seutuhnya.

Perlu ditentukan seberapa jauh hubungan antara akibat kerja sebagai kausa dan
gangguan jiwa sebagai akibatnya. Kadang-kadang faktor predisposisinya terlalu kuat,
misalnya Skizofrenia dan Psikosis Afektif yang bersifat endogen, artinya memang telah
terdapat kelainan neurotransmiter di dalam otak seperti dopamin dan serotonin.

Gangguan jiwa tersebut akan timbul walaupun faktor pencetusnya tidak spesifik,
misalnya setelah giginya dicabut, dimarahi oleh atasan atau tidak dinaikkan pangkatnya.
Dengan demikian keterkaitan dengan kondisi kerja sangat lemah. Berbeda dengan
gangguan jiwa yang dikelompokkan dalam Gangguan Neurotik, Gangguan Somatoform,
dan Gangguan yang Berhubungan dengan Stres (di tempat) kerja dapat lebih mudah
ditentukan.

Telah terbukti secara empiris bahwa untuk timbulnya gangguan jiwa kelompok ini
memerlukan waktu sedikitnya enam bulan. Misalnya seorang pekerja yang menderita
Fobia untuk naik helikopter ke lepas pantai. Depresi Reaktif setelah merasa
pekerjaannya tidak cocok dengan yang dijanjikan atau gangguan Stres Pasca-trauma
setelah mendapat kecelakaan kerja.

Gangguan jiwa atau kondisi kejiwaan yang dianggap khas akibat kerja ialah gangguan
jiwa ringan seperti anxietas dan depresi akibat stres yang tak dapat ditanggulangi,
gangguan psikosomatik, kecelakaan kerja, absenteisme, lesu kerja (burn-out), histeria
massal (mass hysteria atau behavioral contagion), writer's cramp dan sebagainya.

27
Ditentukan melalui pemeriksaan :

A. Anamnesis
1. Identitas : nama, umur, gender

2. Riwayat :
a. Perkembangan kepribadian
b. Pendidikan
c. Penyakit dalam keluarga

3. Riwayat penyakit :
a. Timbul mendadak atau pelan-pelan
b. Apakah pernah menderita gejala semacam ini sebelumnya
c. Adakah stresor psiko-sosial

4. Riwayat pekerjaan :
a. Hubungan dengan stres
b. Hubungan dengan kelainan organik pada susunan saraf-pusat akibat
pekerjaan (pada gangguan psikosis organik)

B. Pemeriksaan Fisik Diagnostik


C. Pemeriksaan Neurologik
D. Pemeriksaan Psikiatrik Khusus

1. Penampilan umum :
a. Kesadaran
b. Perilaku dan aktivitas psikomotor
c. Pembicaraan
d. Sikap

2. Keadaan afektif :
a. Perasaan dasar
b. Ekspresi afektif
c. Empati

3. Fungsi kognitif
a. Daya ingat
b. Daya konsentrasi
c. Orientasi
d. Kemampuan menolong diri sendiri

4. Gangguan persepsi : halusinasi, ilusi, depersonalisasi, derealisasi


5. Proses pikir : waham, gangguan asosiasi pikiran
6. Daya nilai sosial
7. Persepsi tentang diri dan kehidupannya

E. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan laboratorium
2. Pemeriksaan rontgen
3. Pemeriksaan psikologik, laporan social worker

F. Penentuan Hubungan Kausatif Atau Kausalitas Antara Kondisi Kerja Dengan


Gangguan Psikiatrik

1. Pasien telah bekerja selama minimal 6 (enam) bulan. Hal ini untuk menghindari
kemungkinan bahwa gangguan psikiatrik diakibatkan oleh stress atau kausa
sebelum bekerja.

28
2. Didapatkan faktor pencetus yang objektif pada tempat kerja yang dinyatakan
tidak hanya oleh pasien tersebut.

3. Apabila ditemukan beberapa faktor pencetus, harus dapat ditentukan bahwa


kondisi kerja merupakan faktor yang paling dominan.

III. URAIAN CACAT DAN PENILAIAN TINGKAT CACAT

Penilaian tingkat cacat penyakit akibat kerja bidang psikiatrik diberikan apabila :
Menurut perjalanan penyakit, gangguan jiwa dapat menimbulkan cacat mental(mental
disability) misalnya pada gangguan mental organik, skizofrenia, neurosis berat,
gangguan kepribadian dan ketergantungan zat. Hal ini dapat ditentukan apabila
gangguan jiwa tersebut masih terdapat gejala sisa sehingga merupakan hendaya dalam
fungsi sosial dan pekerjaan.

Cacat Mental Akibat Kecelakaan Kerja

American Medical Association pada tahun 1985 menerbitkan Guides to the Evaluation
of Permanent Impairment.
Sedangkan Pemerintah Federal Amerika Serikat (1980) mendefinisikan disabilitas
sebagai ketidakmampuan untuk berperan dalam setiap aktivitas substansial karena
sebab medik yang ditentukan oleh hendaya mental yang berlangsung terus menerus
lebih dari 12 bulan.

Kaplan (1995) dalam upaya rehabilitasi psikiatrik mendefinisikan sebagai berikut :


1. Hendaya (impairment) adalah gejala positif dan negatif yang khas dan gangguan
yang berhubungan dengan abnormalitas kognitif dan afektif, seperti pada
Skizofrenia, Gangguan Autistik dan Gangguan Bipolar.
2. Disabilitas (disability) adalah pembatasan (restriksi) yang diakibatkan oleh hendaya
dalam ranah (domain) fungsi kehidupan seperti higiene pribadi, mengelola
pengobatan sendiri, rekreasi pada waktu luang, dan hubungan keluarga dan sosial.
3. Cacat (handicap) kondisi yang dirugikan sebagai akibat hendaya dan disabilitas
yang membatasi atau mencegah pemenuhan peranan yang normal, seperti sebagai
pekerja, mahasiswa, warga negara dan anggota keluarga.

Pedoman yang diterbitkan oleh American Medical Association tersebut mempunyai lima
asas, yaitu :

1. Asas I :
Dalam menentukan hendaya yang diakibatkan oleh gangguan mental dan fisik,
kriteria empirik harus dilaksanakan secara tepat. Penilaian perlu diperhatikan tiga
faktor yaitu derajat hendaya, derajat disabilitas dan derajat kecacatannya.

Pada gangguan jiwa, hendaya dapat ditujukan sebagai kehilangan fungsi penting
yang disebabkan oleh gangguan mental organik, gangguan fungsi pikir atau
gangguan afektif.

Disabilitas merujuk pada taraf fungsi sosial dan pekerjaan yang telah diubah oleh
hendaya , misalnya seseorang dapat tidak mampu melaksanakan pekerjaan yang
normal karena pikiran yang menetap, atau tidak mampu berhubungan secara
produktif terhadap teman sekerjanya karena anxietas atau persepsi yang salah
terhadap tindakannya.

Untuk menentukan tingkat disabilitas, dapat terjadi dilema untuk membedakan


antara orang-orang yang tidak mampu bekerja dan mereka yang tidak mau bekerja
karena keuntungan sekunder (secondary gain) yang mereka peroleh dari hendaya.

Seorang penyandang cacat (mental) apabila kemampuannya untuk berfungsi dalam


sosial dan pekerjaan menghilang atau berkurang karena hendaya yang menetap,
dan tidak ada gejala atau perubahan fundamental yang diharapkan. Seorang
penyandang cacat mental tidak mampu untuk berfungsi secara memuaskan karena

29
defisit yang khas seperti gangguan pikiran dengan interpretasi salah terhadap
realitas. Derajat kecacatan sosial atau pekerjaan sebagian ditentukan oleh reaksi
individu terhadap hendaya.

2. Asas II
Diagnosis adalah diantara faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam menilai
parahnya dan lamanya hendaya, untuk kriteria diagnostik dan deskriptif, penilaian
harus menggunakan Diagnostic dan Statistical Manual of Mental Disorders dari
American Pshychiatric Association, Edisi ke empat (DSM-IV). Karena DSM-IV telah
diterbitkan pada tahun 1994, maka evaluasi multiaksialnya sudah berubah. Evaluasi
multiaksial tersebut juga sudah diresmikan oleh Depkes RI pada tahun 1995 melalui
buku Suplemen Pedoman Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III
(Suplemen PPDGJ-III), sebagai berikut :

Aksis I : Gangguan Klinis


Kondisi Lainnya yang Mungkin Merupakan Fokus Perhatian Klinis
Aksis II : Gangguan Kepribadian
Retardasi Mental
Aksis III : Kondisi Medis Umum
Aksis IV : Problem Psikososial dan Lingkungan
Aksis V : Penilaian Fungsi Secara Global

Penggunaan sistem multiaksial memungkinkan evaluasi yang komprehensif dan


sistematik dengan memperhatikan berbagai gangguan jiwa dan kondisi medis
umum, problem psikososial dan lingkungan, dan taraf fungsional, yang mungkin
saja terlewatkan bila fokus perhatian hanya pada penilaian terhadap problem utama
yang diungkapkan saja. Misalnya seorang yang mendapat kecelakaan kerja hingga
mengakibatkan cacat fisik, dapat ditegakkan diagnosisnya menurut evaluasi
multiaksial sebagai berikut :

Aksis I : Depresi
Aksis II : Gangguan kepribadian Organik
Aksis III : Post-contusio cerebri
Epilepsi
Aksis IV : Problem pekerjaan
Problem yang berkaitan dengan lingkungan sosial
Aksis V : Skala GAF (Global Assessment of Functioning Scale) = 41 - 50 :
Gejala berat, hendaya berat.

Dari semua aksis yang banyak terkait dengan cacat karena kecelakaan kerja
adalah aksis V, karena Aksis V digunakan untuk melaporkan penilaian klinik
terhadap taraf seseorang secara menyeluruh. Informasi ini berguna dalam
perencanaan terapi dan pengukuran hasilnya, memprediksi hasil terapi dan taraf
pemulihan, serta derajat kecacatan mentalnya. Pada kondisi tertentu, mungkin
bermanfaat untuk menilai disabilitas sosial dan okupasional.

3. Asas III
Dalam hal terdapat ketidaksamaan pada evaluasi terhadap sistem organ yang lain,
faktor-faktor yang berkaitan dengan situasi keluarga, pendidikan keuangan dan
sosial hendaknya diperhatikan, demikian pula taraf fungsi seseorang.

Evaluasi perlu dilakukan terhadap fungsi yang sekarang dan masa lampau, dan
potensi untuk fungsi yang akan datang. Hal ini meliputi perawatan diri, tanggung
jawab terhadap anggota keluarga yang lain dan rumah tangga, serta tanggung
jawab terhadap masyarakat.

Fungsi pekerjaan pasien yang sekarang harus ditentukan, ketrampilan apa yang
masih utuh, dan keterbatasan apa yang terjadi. Misalnya apakah orang tersebut
dapat bekerja kembali pada taraf yang lebih rendah daripada sebelum sakit.

30
Pemeriksaan status mental merupakan hal yang utama terhadap evaluasi
menyeluruh, atau membantu untuk menentukan derajat defisit yang mempengaruhi
cacat kerja dalam taraf berat, sedang atau tidak ada sama sekali. Penilaian juga
harus menentukan derajat dan kemungkinan lamanya hendaya, sebagian atau
seluruh, merupakan problem jangka pendek atau panjang, dan apakah akan makin
memburuk.

4. Asas IV
Karakter (kepribadian) dan sistem nilai dari seseorang merupakan faktor yang
penting dalam perjalanan gangguan jiwa fisik. Motivasi untuk sembuh merupakan
faktor utama untuk prognosisnya.

Untuk beberapa orang, motivasi yang kurang merupakan suatu penyebab utama
untuk berlanjutnya malfungsi. Kepribadian seseorang dapat pula merupakan faktor
dominan dalam memperoleh keuntungan pada rehabilitasi.

Keuntungan sekunder (secondary gain) timbul tidak hanya karena besarnya


kompensasi atau keuntungan finansial yang akan diperoleh, tetapi juga gaya hidup
seseorang. Hendaya ditambah motivasi yang rendah dapat mengakibatkan cacat
menyeluruh, sedangkan hendaya ditambah motivasi yang tinggi dapat
mengakibatkan cacat yang minimal.

5. Asas V
Suatu tinjauan yang berkali-kali harus dilaksanakan terhadap metode terapi dan
rehabilitasi. Keputusan akhir belum boleh diambil hingga seluruh riwayat penyakit,
fase terapi dan rehabilitasi, status mental, fisik dan perilaku yang sekarang terus
diperhatikan.
Penilaian yang penting adalah terhadap derajat keterbatasan kerja yang diderita
oleh seseorang, yang dapat mulai dari minimal hingga menyeluruh. Rehabilitasi
merupakan hal yang mutlak untuk dilaksanakan dalam pengobatan pasien yang
telah sembuh dari fase akut pada gangguan jiwa, terutama gangguan jiwa yang
berat. Dengan upaya rehabilitasi yang tepat, jarang didapati hendaya total yang
permanen, kecuali pada pasien dengan penyakit organik. Terdapat berbagai
derajat hendaya, dan rehabilitasi total dapat dimungkinkan. Sebagai contoh
kedokteran fisik, tungkai yang diamputasi dapat diganti dengan tungkai palsu, yang
diharapkan dapat berjalan kembali walaupun tidak seperti semula.
Analog dengan kehilangan tungkai adalah kehilangan kemampuan sebagai akibat
dari gangguan jiwa. Hendaya yang tersisa dari gangguan jiwa berat, dapat seperti
hendaya berat sebagai akibat dari penyakit fisik atau kecelakaan. Hubungan antara
motivasi dan pemulihan memerlukan pengamatan pada orang-orang yang
menderita penyakit fisik dan gangguan jiwa, dan hal ini merupakan tugas dari
psikiatri rehabilitasi.
Dengan mempertimbangkan latar belakang seseorang dan kepribadian serta sistem
nilainya, taraf pendidikan dan sumber keuangan keluarga perlu diperhatikan.
Metode untuk penilaian hendaya psikiatrik dapat dilihat pada Tabel I, Tabel ini
digunakan apabila telah dilakukan keputusan klinik yang cermat, setelah semua
faktor diagnosis, klinik, terapi dan rehabilitasi telah dilaksanakan. Suatu contoh
kasus yang memberikan derajat menyeluruh dari seorang pasien setelah dievaluasi
menurut status mental seperti pada Tabel II.

31
Tabel I. Evaluasi Hendaya Psikiatrik

Derajat 1 2 3 4 5
Hendaya

Persentase 0-5% 10 - 20% 25 - 50% 55 - 75% >75%


Hendaya

1. Inteligensi Normal atau Retartasi ringan Retadarsi sedang Retardasi Retardasi


lebih baik - ringan sedang-berat berat

2. Daya fikir Tak ada defisit Defisit ringan Defisit sedang Defisit sedang- Defisit berat
berat

3. Persepsi Tak ada defisit Defisit ringan Defisit sedang Defisit sedang- Defisit berat
berat

4. Daya nilai Tak ada defisit Defisit ringan Defisit sedang Defisit sedang- Defisit berat
berat

5. Afek Normal Problem ringan Problem sedang Problem Problem


sedang- berat berat

6. Perilaku Normal Problem ringan Problem sedang Problem Problem


sedang- berat berat

AKTIVITAS KEHIDUPAN SEHARI-HARI

Kemampuan Mandiri Perlu sedikit Perlu bantuan Perlu bantuan Tidak dapat
bantuan teratur besar dibantu

AKTIVITAS REHABILIASI DAN TERAPI

Potensi Baik sekali Baik Baik untuk Kondisi statis Kondisi akan
pemulihan lebih buruk
parsial

Tabel II. Contoh profil Hendaya Psikiatrik

Kategori Deskripsi Hendaya Gabungan Hendaya

Setatus Mental

1. Intelegensi Normal 1

2. Daya fikir Defisit sedang-berat, tidak mampu menarik kesimpulan 4


minimal dari pernyataan tunggal

3. Persepsi Defisit ringan, tetapi tidak ada gejala waham 2

4. Afek Antara defisit sedang dan berat, suasana perasaan dari 4


permusuhan hingga ramah

5. Perilaku Defisit sedang hingga berat 4

Aktivitas Mandiri
kehidupan sehari- 1
hari

Potensi Baik untuk pemulihan parsial


rehabilitasi 3
Dan terapi

Hendaya kolektif Sedang hingga berat 55% - 75% 4

A. Telah dilakukan terapi psikiatrik yang optimal selama 1 (satu) tahun

B. Terdapat cacat psikiatrik yang menyebabkan pekerja sama sekali tidak mampu bekerja.

32
BIDANG PENYAKIT TELINGA, HIDUNG, DAN TENGGOROK (THT)

I. BATASAN

Penyakit akibat kerja bidang Telinga, Hidung, dan Tenggorok adalah penyakit atau
kelainan pada telinga, hidung dan tenggorok akibat pemaparan faktor-faktor risiko di
tempat kerja

Kelainan bidang THT yang terjadi dapat berupa :


A. Gangguan telinga, sistem pendengaran dan keseimbangan, antara lain :
– Gangguan pendengaran akibat bising
– Gangguan pendengaran akibat cedera kepala
– Gangguan keseimbangan

B. Gangguan hidung dan sistem penciuman, antara lain :


– Rinitis alergi
– Rinitis dan sinusitis kronis
– Hiposmia atau anosmia (gangguan penciuman)

C. Gangguan tenggorok, antara lain :


– Gangguan suara - afoni (tidak ada suara)
- disfoni (suara parau)
– Cidera laring dan trakea
– Gangguan menelan/disfagia, misalnya pada Esofagitis korosi.

II. DIAGNOSIS

A. TELINGA, SISTEM PENDENGARAN DAN KESEIMBANGAN

Diagnosis ditegakkan berdasarkan :


1. Anamnesis
a. umur penderita
b. riwayat gangguan pendengaran dalam keluarga
c. riwayat penyakit :
1) penyakit telinga yang diderita sebelumnya
2) riwayat trauma sebelumnya
3) gangguan pendengaran datangnya mendadak atau berlahan.
4) Riwayat menggunakan bahan-bahan toksik
5) Apakah mempunyai hobi yang berhubungan dengan bising
6) Apakah ada gangguan keseimbangan

d. Riwayat pekerjaan :
1) Apakah pernah atau sedang bekerja di tempat yang bising, apakah
pernah ada ledakan keras dekat telinga ?
2) Apakah menggunakan alat pelindung telinga ? kalau ya jenis apa ?
3) Selama bekerja, apakah dilakukan pemeriksaan berkala, khususnya
pendengaran ?
4) Lama bekerja di tempat bising perhari kerja dan lamanya masa kerja
.
2. Pemeriksaan fisik
a. Keadaan umum dan pemeriksaan THT lengkap
b. Pemeriksaan telinga bagian luar yang mencakup :
– Liang telinga, apakah ada serumen, sekret, perdarahan
– Membran timpani, apakah ada tanda-tanda peradangan Otitis Media Akut
(OMA), Otitis Media Efusi (OME), Otitis Media Supuratif Kronik (OMSK).
c. Pemeriksaan keseimbangan dengan cara :
– Pemeriksaan keseimbangan sederhana seperti : Tes Romberg, Stepping,
Nudge, Past pointing dan tes tunjuk hidung.
– Tes posisi dan tes Perasat Hallpike
– Tes posturografi (keseimbangan postural)
– Tes kalori menggunakan elektro nistagmografi (ENG)

33
d. Pemeriksaan pendengaran untuk menentukan :
– Apakah ada kesulitan ?
– Apakah jenis kesulitan ?
Cara : - tes berbisik jarak 6 meter
- tes garpu tala
- tes audiometrik
e. Pemeriksaan laboratorium
f. Pemeriksaan audiometri, dengan persiapan optimal terhadap individu dan
tempat (16 – 36 jam bebas pajanan bising).

Diagnosis Tuli akibat Bising :

1. Keadaan sebelum kerja : umur, penyakit telinga, pemeriksaan THT,


Audiometri.
2. Keadaan bising lingkungan kerja
3. Pekerja : lama pajanan/hari, alat pelindung telinga, pemeriksaan
pendengaran tiap 6 bulan.
4. Pemeriksaan pendengaran : tes berbisik dalam jarak 6 meter, audiometri
nada murni dengan waktu 16 – 36 jam bebas pajanan bising, dan
perhatikan malingering.

GANGGUAN KESEIMBANGAN

Keseimbangan tergantung dari sistem visual, proprioseptif dan sistem vestibuler


sendiri. Untuk mempertahankan keseimbangan sedikitnya 2 atau 3 sistem
tersebut dapat berfungsi dengan baik. Bentuk gangguan keseimbangan yang
sering dijumpai adalah rasa tidak seimbang (sempoyongan), kepala terasa
ringan (melayang), vertigo (berputar). Gangguan keseimbangan tersering
dijumpai disebabkan karena gangguan fungsi vestibuler perifer. Hal ini dapat
terjadi unilateral atau bilateral dan dapat terjadi kompensasi sentral. Keluhan
vertigo dapat disertai rasa mual, muntah dan timbulnya nistagmus. Keluhan ini
sering berhubungan dengan gangguan pendengaran dan tinitus.

Diagnosis gangguan keseimbangan :

1. anamnesis :

ditanyakan apakah timbulnya gangguan keseimbangan bila terjadi perubahan


sikap atau posisi tertentu?. Adakah rasa tidak stabil, takut berjalan atau
bertambah buruk pada kegelapan. Apakah ada rasa mual dan muntah.
Apakah disertai gangguan pendengaran atau keluhan berdenging.

2. Pemeriksaan keseimbangan dengan cara :


a. Pemeriksaan keseimbangan sederhana seperti : Tes Romberg, Shap
Romberg, Stepping, Post pointing dan tes ujung hidung
b. Tes posisi dan tes perasat Hallpike
c. Tes postugrafi (keseimbangan postural)
d. Tes kalori menggunakan elektro nystagmography (ENG).

B. HIDUNG DAN SISTEM PENGHIDU

Batasan :

Gangguan pada mukosa hidung yang dipengaruhi oleh suhu, kelembaban dan
tekanan udara serta polusi.

Pengaruh pajanan polusi terhadap mukosa saluran napas dapat menimbulkan


berbagai gangguan pada saluran nafas terutama mukosa hidung dan sistem
penciuman, terutama disebabkan asap, iritasi bahan industri.

34
Rongga hidung merupakan lapisan pertama bagi udara yang diisap dari lingkungan.
Faktor yang mempengaruhi mukosa hidung ialah suhu udara, kelembaban udara,
tekanan udara serta polusi. Polusi udara sering kali terjadi dan mempunyai dampak
negatif terhadap mukosa hidung, sehingga insidens rinosinusitis dan alergi
meningkat oleh pemaparan asap, seperti asap rokok. Selain itu akibat iritasi bahan
industri dapat menyebabkan penyakit kanker.

Diagnosis ditegakkan berdasarkan :


1. Anamnesis
a. umur.
b. riwayat keluarga
c. riwayat penyakit :
- penyakit hidung yang pernah diderita
- keluhan yang dirasakan saat ini
- kapan mulai dirasakan
- apakah ada : - trauma
- infeksi kronis
- alergi
- terpajan oleh zat tertentu
d. Riwayat pekerjaan :
- Apakah bekerja di tempat dengan faktor risiko kimia ? Kalau ya bahan
kimia apa ? dan berapa lama ?
- Apakah menggunakan alat pelindung pernapasan ?
- Apa jenis alat pelindungnya, apakah selalu digunakan dengan baik?

2. Pemeriksaan fisik
a. Keadaan umum
b. Pemeriksaan THT lengkap
c. Pemeriksaan hidung dan penciuman :
Rinoskopi anterior :
- Dilihat keadaan mukosa , konka : edema, hipertrofi, hiperemis atau livide
- Apakah ada polip atau sekret di meatus medius
- Kelainan sinus paranasal
d. Pemeriksaan penciuman secara subyektif
Kehilangan penciuman disebut anosmia
Pemeriksaan penciuman secara subyektif, dipakai 2 zat yaitu:
- amonia, selain merangsang alat penciuman, juga merangsang
N.Trigeminus
- Kopi, hanya merangsang alat penciuman, Cara pemeriksaan penderita
diminta untuk menyebutkan nama zat yang diciumkan pada penderita
dengan mata tertutup.
Perlu diingat adanya malingering

3. Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium.
Sekret hidung dan darah tepi , biasanya jumlah eosinofil meningkat dan
konsentrasi lgE total meningkat pada alergi.
b. Pemeriksaan tes kulit
Dilakukan dengan alergen yang terdapat di tempat kerja (pabrik)
c. Pemeriksaan radiologik
Dilakukan dengan posisi Waters dan lateral untuk melihat keadaan sinus
paranasal.
d. Pemeriksaan Histopatologik
e. Bila ditemukan jaringan yang mencurigakan pada mukosa hidung maka
dilakukan usapan mukosa hidung untuk pemeriksaan sitologi dan diambil
jaringan dengan biopsi untuk pemeriksaan histopatologi. Hal ini dilakukan
pada industri seperti tempat produksi nikel, krom, pembuat sepatu dan
tukang kayu/mebel, karena berdasarkan kepustakaan, lingkungan tersebut
bersifat karsinogen. Bahan karsinogen dapat menyebabkan displasia epitel
mukosa hidung yang merupakan keadaan prekanker.

35
Diagnosis Rinitis Alergi akibat kerja :

1. Pemeriksaan klinis : anamnesis, rinoskopi antrior


2. Pemeriksaan laboratorium : skret hidung, darah tepi (eosinofil, IgE total)
3. pemeriksaan kulit : dengan jenis alegen yang ada di tempat kerja.

Diagnosis Rinitis Kronis dan Rinosinusitis Akibat Kerja :

1. Pemeriksaan klinis : anamnesis, rinoskopi anterior


2. Pemerikaan radiologi : posisi waters, lateral
3. pemeriksaan histopatologi : jaringan abnormal pada industri nikel, krom, sepatu,
kayu (diplasia epitel mukosa , merupakan tanda pre kanker)
4. pemeriksaan penghidu : rinitis kronis (hiposmia, anosmia)

C. TENGGOROK

1. Anamnesis
a. umur
b. Riwayat penyakit keluarga
c. Riwayat penyakit :
1) Apakah ada gangguan menelan ?
2) Apakah ada sakit tenggorok ?
3) Apakah ada suara parau ?
4) Apakah ada gangguan pernapasan ?
d. Riwayat pekerjaan :
1) Apakah ada trauma (mekanis, kimia) di daerah leher ?
2) Apakah bekerja di tempat kerja dengan risiko faktor kimia?
kalau ya : - apa saja
- sudah berapa lama

2. Pemeriksaan fisik
a. Keadaan umum dan pemeriksaan THT lengkap
b. Pemeriksaan tenggorok secara khusus :
1) Inspeksi
Apakah ada tanda cidera
- Bengkak/kemerahan
- Perdarahan atau luka pada selaput lendir
2) Palpasi
Apakah ada krepitasi pada struktur laring dan trakea ?
3) Pemeriksaan laring tidak langsung dengan kaca tenggorok
3. Pemeriksaan penunjang
Radiologik : foto jaringan lunak leher
.

D. CIDERA LARING DAN TRAKHEA

Cidera laring atau trakea dapat berupa cedera tumpul atau tajam akibat luka
sayat, luka tusuk dan luka tembak. Cedera tumpul pada daerah leher selain dapat
menghancurkan struktur laring juga dapat menyebabkan cedera pada jaringan lunak
seperti otot, saraf, pembuluh darah dll. Hal ini sering terjadi dalam kehidupan sehari-
hari seperti leher terbentur alat-alat kerja. Cedera dapat ringan, hanya terdapat
edema atau laserasi mukosa saja. Pada cedera berat, tulang rawan laring dan
trakea hancur serta sebagian jaringan hilang. Selain itu dapat ditemukan luka
terbuka atau luka tertutup.

Ballanger membagi penyebab cedera laring atas :


1. Cidera mekanik eksternal (cedera tumpul dan tajam) dan mekanik internal
2. Cidera akibat luka bakar oleh panas (gas, cairan panas) dan kimia (cairan
alkohol, amoniak, natrium hipoklorid dan lisol) yang terhirup.
3. Cidera Otogen akibat pemakaian pita suara yang berlebihan.

36
Boyes membagi cedera laring dan trakea berdasarkan beratnya kerusakan yang
timbul, dalam 3 golongan :
1. Cidera dengan kelainan mukosa saja, berupa edema, hematoma, emfisema
submukosa, luka tusuk atau sayat tanpa kerusakan tulang rawan.
2. Cidera yang mengakibatkan tulang rawan hancur.
3. Cidera yang mengakibatkan sebagian jaringan hilang.

Pembagian ini erat hubungannya dengan prognosis fungsi primer laring dan trakea,
yaitu sebagai saluran napas yang adekuat.

Penegakan Diagnosis
1. Gejala
Suara parau, rasa nyeri di daerah yang terkena cedera. Pada keadaan yang
berat terdapat sesak napas dan sianosis. Pada luka terbuka terdapat
perdarahan.
2. Pemeriksaan
2.1. Inspeksi : Melihat daerah yang terkena cedera, bengkak dan kemerahan,
perdarahan ringan atau berat.
2.2. Palpasi : Meraba struktur laring dan trakea, adakah krepitasi
2.3. Pemeriksaan laring tak langsung dengan kaca tenggorok. Kadang-kadang
sukar untuk menentukan kelainan.
2.4. Pemeriksaan laring langsung: dapat dilihat kelainan di laring berupa edema,
Hiperemis dan perdarahan.
2.5. Pemeriksaan Radiologik : foto jaringan lunak leher.

Prognosis :
1. Pada luka terbuka, dengan melakukan penjahitan luka akan dapat sembuh
sempurna.
2. Pada kerusakan tulang rawan serta mukosa laring dan trakea mungkin terdapat
gejala sisa :
2.1. Suara tetap parau
2.2. Tidak dapat bernafas melalui laring, sehingga harus dilakukan
trakeostomi permanen.

E. CIDERA KEPALA

Cidera kepala dapat disebabkan oleh kecelakaan yang menyebabkan benturan


di kepala.

Kelainan THT yang disebabkan oleh cedera kepada ialah :


1. Tuli saraf yang disebabkan oleh kerusakan di koklea
2. Kelainan alat keseimbangan
3. Kelumpuhan saraf wajah (nervus fasial)
4. Tuli konduktif, karena membran timpani pecah.
5. Kebocoran likuor serebrospinal ke telinga

Pemeriksaan

Pada pemeriksaan, selain memperhatikan keadaan kesadaran dengan


menentukan skala Glasgow, perlu dilakukan pemeriksaan sebagai berikut:
1. Keadaan umum dan kesadaran
2. Adanya sekret di liang telinga, dapat berupa darah atau likuor serebrospinal.
3. Keadaan membran timpani :
Terdapat ruptur, dan tampak darah mengalir ke liang telinga.
Membran timpani utuh, tetapi berwarna kebiruan, berarti terdapat darah di kavum
timpani.
4. Pemeriksaan audiologik : tuli konduktif atau tuli saraf.
5. Pemeriksaan alat keseimbangan :
5.1. Memeriksa adanya nistagmus posisi. Penderita yang ditidurkan telentang
tiba-tiba kepalanya diangkat dan dimiringkan ke satu sisi. Diperhatikan
adanya nistagmus yang timbul
5.2. Tes kalori cara Halklpike – Fitzgeral.

37
5.3. Pemeriksaan yang lebih canggih ialah dengan melakukan pemeriksaan
elektronistagmosgrafi (ENG).
6. Pemeriksaan gerak otot wajah, untuk memeriksa adanya kelumpuhan nervus
fasial perifer atau sentral. Penderita diminta untuk menutup mata,
mengernyitkan dahi, menggelembungkan pipi dan lain-lain. Dilihat apakah
simetris atau tidak.

F. OESOFAGITIS KOROSIF

Kecelakaan karena terminum zat korosif di suatu industri yang menggunakan zat
korosif besar kemungkinan terjadi.
Keluhan dan gejala yang timbul sebagai akibat tertelannya zat korosif tergantung
pada jenis zat korosif (basa kuat, asam kuat atau zat organik). Konsentrasi zat
korosif (zat dengan konsentrasi tinggi menyebabkan kerusakan yang lebih hebat),
volume yang tertelan, serta lama zat korosif melalui saluran cerna (kerusakan oleh
benda padat lebih berat dibandingkan dengan zat cair).

Diagnosis
1. Anamnesis : rasa terbakar di mulut dan tenggorok setelah meminum zat korosif.
Keluhan ini dapat lebih berat sampai sama sekali tidak dapat menelan.
2. Pemeriksaan fisik : dapat berbagai tingkat, dari keadaan umum masih baik,
sampai syok.
3. Pemeriksaan radiologik : dilakukan setelah seminggu kejadian, untuk melihat
apakah ada penyempitan esofagus.
4. Esofagoskopi : untuk diagnostik dan terapi dengan melakukan businasi pada
penyempitan esofagus.

Gambaran Klinik Esofagitis Korosif

Keluhan dan gejala yang timbul akibat tertelan zat korosif tergantung pada jenis
zat korosif, konsentrasi zat korosif, jumlah zat korosif, lamanya kontak dengan
dinding esofagus, sengaja diminum atau tidak dan dimuntahkan atau tidak. Bila
muntah, maka mukosa esofagus dua kali dikenai zat korosif, sehingga kerusakan
lebih berat.

Esofagitis korosif dibagi dalam 5 bentuk klinis berdasarkan beratnya luka bakar
yang ditemukan yaitu :

1. Esofagitis korosif tanpa ulserasi.


Penderia mengalami ganguan menelan yang ringan. Pada esofagoskopi tampak
mukosa hiperemis tanpa disertai ulserasi.

2. Esofagitis korosif dengan ulserasi ringan


Penderita mengeluh disfagia ringan. Pada esofagoskopi tampak ulkus yang tidak
dalam yang mengenai mukosa esofagus saja.

3. Esofagitis korosif ulserasi sedang


Ulkus sudah mengenai lapisan otot. Biasanya ditemukan satu ulkus atau lebih
(multipel)

4. Esofagitis korosif ulserasi berat tanpa komplikasi


Terdapat pengelupasan mukosa serta nekrosis yang letaknya dalam, dan telah
mengenai seluruh lapisan esofagus. Keadaan ini jika dibiarkan akan menimbulkan
striktur esofagus.

5. Esofagitis korosif ulseratif berat dengan komplikasi


Terdapat perforasi esofagus yang dapat menimbulkan mediastinitis dan peritonitis.
Kadang-kadang ditemukan tanda-tanda obstruksi jalan napas atas dan gangguan
keseimbangan asam dan basa.

Berdasarkan gejala klinis dan perjalanan penyakitnya esofagitis korosif dibagi dalam
3 fase, yaitu; fase akut, fase laten (intermediate) dan fase kronik (obstruktif).

38
III. URAIAN CACAT DAN PENILAIAN TINGKAT CACAT

A. TELINGA DAN SISTEM PENDENGARAN

1. Tingkat cacat ditentukan dengan mengukur nilai ambang dengar (Hearing


Threshold Level = HTL), yaitu angka rata-rata penurunan ambang dengan
dengan dB pada frekuensi 500, 1000, 2000, 4000 Hz.

Penurunan nilai ambang dengar dilakukan pada kedua telinga

1.1. Telinga normal : Pada pemeriksaan audio metrik ambang dengar


tidak melebihi 25 dB dan di dalam pembicaraan
biasa tidak ada kesukaran mendengar suara
perlahan
1.2. Tuli ringan : Pada pemeriksaan audio-metrik ambang dengar 25 -
40 dB dan terdapat kesukaran mendengar.
1.3. Tuli sedang : Pada pemeriksaan audio-metrik terdapat ambang
dengar antara 40 – 55 dB Seringkali terdapat
kesukaran untuk mendengar pembicaraan biasa.
1.4. Tuli sedang berat : Pada pemeriksaan audiometri terdapat ambang
dengar rata-rata antara 55 - 70 dB. Kesukaran
mendengar suara pembicaraan kalau tidak dengan
suara keras.
1.5. Tuli berat : Ambang dengar rata-rata antara 70 - 90 dB. Hanya
dapat mendengar suara yang sangat keras.
1.6. Tuli sangat berat : Ambang dengar 90 dB atau lebih. Sama sekali tidak
mendengar pembicaraan.

Tingkat cacat :
American Medical Association (AMA) Committee on Medical Rating of Physical
Imparment, menyatakan bahwa cacat total pendengaran, apabila ambang
dengar diatas 92 dB. Jadi ambang tertinggi ialah 93 dB dan batas terendah untuk
tuli ialah 25 dB.

2. Penentuan tingkat cacat


a. Ketulian monaural dinilai sebagai berikut :
1) Periksa pendengaran pada frekuensi 500, 1000, 2000, 4000 Hz,
kemudian ambil rata-ratanya.
2) Kurangi dengan 25 dB.
3) Perkalikan sisanya dengan 1,5%, Hasilnya ialah persentase ketulian dari
suatu telinga (monaural)

b. Ketulian-binaural dihitung sebagai berikut :


1) Perkalikan monaural pada telinga yang lebih baik dengan 5.
2) Perkalikan monaural pada telinga yang lebih buruk dengan 1
3) Tambahkan nilai ketulian monaural dari telinga yang lebih baik dan lebih
buruk
4) Bagi jumlah ini dengan 6. Hasilnya persentase ketulian binaural (dua
telinga).

c. Pada pekerja di atas usia 40 tahun, dikurangi 0,5 dB per tahun, tetapi tidak
melebihi 12,5 dB.

Contoh penentuan tingkat cacat


Penentuan tingkat cacat, dilakukan dengan pemeriksaan monaural (satu
telinga) dan binaural (dua telinga)

1) Cara perhitungan cacat dengan monaural :


Tentukan nilai ambang dengan pada frekuensi 500, 1000, 2000 dan 4000
Hz.

39
Contoh :
Telinga kanan : Telinga kiri :
- 500 Hz = 35 cB - 500 Hz = 40 dB
- 1000 Hz = 40 dB - 1000 Hz = 50 dB
- 2000 Hz = 45 dB - 2000 Hz = 50 dB
- 4000 Hz = 60 dB - 4000 Hz = 60 dB
180 dB 200 dB

Hasil penjumlahan di bagi 4, didapat nilai ambang dengan rata-rata


(average Hearing Threshold Level = HTL rata -rata) :
Telinga kanan : 180 : 4 = 45 dB
Telinga kiri : 200 : 4 = 50 dB

2) Cara perhitungan cacat pendengaran monaural


Pada orang muda (usia di bawah 40 tahun) :
HTL rata-rata dikurangi 25 dB :
Telinga kanan : 45 - 25 = 20dB
Telinga kiri : 50 - 25 = 25 dB
Konversi HTL rata-rata yang melebihi 25 dB ke dalam presentasi daya
dengan dengan mengalikan 1,5 % :
Telinga kanan : 20 x 1,5 % = 30% (penurunan) pendengaran monaural
Telinga kiri : 25 x 1,5 % = 37,5% (penurunan) pendengaran monaural

3) Cara perhitungan cacat pendengaran binaural adalah 5 (lima) kali


penurunan pendengaran monaural terkecil ditambah 1 (satu) kali
penurunan pendengaran monaural terbesar dibagi 6 (enam).
Konversikan penurunan pendengaran monaural kedalam presentasi
binaural.
Telinga kanan (lebih baik) : 30% x 5 = 150 %
Telinga kiri (lebih buruk) : 37,5 % x 1 = 37,5 %
Jumlah : 150 % + 37,5% = 187,5
Jumlah ini dibagi 6 = 187,5 % : 6 = 31,25%
Jadi nilai penurunan pendengaran binaural ialah : 31,25%.

Penentuan ganti rugi cacat di dasarkan pada cacat pendengaran


binaural, sesuai dengan lampiran Peraturan Pemerintah No.14 tahun
1993 yang telah disempurnakan dengan Peraturan Pemerintah No. 64
tahun 2005. Pada contoh diatas perhitungan presentase cacatnya adalah
: 31,25% x 40% = 12,5%.

4) Cara perhitungan cacat pendengaran pada orang tua (presbiakusis)


Presbiakusis diasumsikan menyebabkan kenaikan ambang dengar 0,5
dB tiap tahun, dimulai dari usia 40 tahun.
Misalnya seorang pekerja sekarang berusia 43 tahun, maka kenaikan
ambang dengar karena faktor usia ialah :
(43-40) x 0,5 dB = 1,5 dB

Contoh pada butir a di atas :

- HTL rata-rata dikurangi 25 dB, dikurangi lagi dengan ambang dengan


oleh presbiakusis (pada contoh ini = 1,5 dB), sehingga :
Telinga kanan : 45 - 25 - 1,5 = 18,5 dB
Telinga kiri : 50 - 25 - 1,5 = 23,5 dB
- Konversikan HTL rata-rata ke dalam presentase penurunan daya
dengan, dengan mengalikan 1,5 :
Teling kanan : 18,5 x 1,5 % = 25,75 % (penurunan pendengaran
monaural)
Telinga kiri : 23,5 x 1,5% = 35,25 % (penurunan pendenganran
monaural)
- Konversikan penurunan pendengaran monaural ke dalam presentase
binaural :

40
Telinga kanan (lebih baik) = 25,75% x 5 = 128,75%
Telinga kiri (lebih buruk) = 35,25 % x 1 = 35,25 %
Jumlah : 128,75 % + 35,25 % = 164 %
Jumlah ini dibagi 6 : 164 % : 6 = 27,33%.
- Jadi nilai prosentase penurunan pendengaran binaural ialah 27,33% x
40% = 10,93 %.

Penilaian cacat juga dapat dilakukan dengan melihat tabel.

Contoh : Pasien A.
Telinga kanan Telinga kiri
- 500 Hz = 15 dB - 500 Hz = 30 dB
- 1000 Hz = 25 dB - 1000 Hz = 45 dB
- 2000 Hz = 45 dB - 2000 Hz = 60 dB
- 4000 Hz = 55 dB - 4000 Hz = 85 dB
140 dB 220 dB

Pasien B.
Telinga kanan Telinga kiri
- 500 Hz = 80 dB - 500 Hz = 75 dB
- 1000 Hz = 90 dB - 1000 Hz = 80 dB
- 2000 Hz = 100 dB - 2000 Hz = 90 dB
- 4000 Hz = 100 dB - 4000 Hz = 95 dB
370 dB 340 dB

Dapat dilihat pada tabel 1 (di halaman berikut)


Perhitungan persentase kehilangan pendengaran monaural, pada:
Pasien A : tingkat pendengaran telinga kanan adalah 140 dB sesuai
dengan 15%, pendengaran telinga kiri adalah 220 dB
Pasien B : tingkat pendengaran telinga kanan adalah 370 dB sesuai
dengan 100%, pendengaran telinga kiri adalah 340 dB sesuai
dengan 90%

Dilihat pada tabel 2 (halaman berikut)


Perhitungan persentase kehilangan pendengaran binaural, pada :
Pasien A : Jumlah tingkat pendengaran telinga kanan adalah 140 dB (lebih
baik) kombinasi dengan jumlah tingkat pendengaran telinga kiri
yaitu 220 dB (lebih buruk), maka didapat persentase kehilangan
pendengaran binaural sebesar 20 %

Pasien B : Jumlah tingkat pendengaran telinga kiri adalah 340 dB (lebih


baik), kombinasi dengan jumlah tingkat pendengaran telinga
kanan yaitu 370 dB (lebih buruk), maka didapat persentase
kehilangan pendengaran binaural sebesar 92 % (catatan :
digunakan jumlah tingkat pendengaran maksimum yaitu 368
dB.

Dilihat pada tabel 3 (dibawah) :

Perhitungan persentase kehilangan pendengaran dari seluruh tubuh manusia.


Pasien A : Persentase kehilangan pendengaran binaural sebesar 20% sesuai
dengan 7 % dari kecacatan seluruh tubuh.

Pasien B : Persentase kehilangan pendengaran binaural sebesar 92 %


sesuai dengan 32% dari kecacatan seluruh tubuh.

41
Tabel 1. Monaural Hearing Loss Impairment (%). *

DSHL = % DSHL % DSHL %

100 0.0 190 33.8 285 69.3


195 35.6 290 71.2
105 1.9 200 37.5 295 73.1
110 3.8 300 75.0
115 5.6 205 39.4
120 7.5 210 41.2 305 76.9
215 43.1 310 78.8
125 9.4 220 45.0 315 80.6
130 11.2 320 82.5
135 13.1 225 46.9
140 15.0 230 48.9 325 84.4
235 50.5 330 86.2
145 16.9 240 52.5 335 88.1
150 18.8 340 90.0
155 20.6 245 54.4
160 22.5 250 56.2 345 90.9
255 58.1 350 93.8
165 24.4 260 60.0 355 95.6
170 26.2 360 97.5
175 28.1 265 61.9
180 30.0 270 63.8 365 99.4
275 65.6 368 100.0
185 31.9 280 67.5 or
greater

TABLE 3 Relationship of Binaural Hearing


Impairment to Impairment of the Whole person

% Binaural hearing % Impairment % Binaural hearing % Impairment


Impairment of the Impairment of the
whole person whole person

0 - 1.7 0 50.0 - 53.1 18


1.8 - 4.2 1 54.2 - 55.7 19
4.3 - 7.4 2 55.8 - 58.8 20
7.5 - 9.9 3 58.9 - 61.4 21
10.0 - 13.1 4 61.5 - 64.5 22
13.2 - 15.9 5 64.6 - 67.1 23
16.0 - 18.8 6 67.2 - 70.0 24
18.9 - 21.4 7 70.1 - 72.8 25
21.5 - 24.5 8 72.9 - 75.9 26
24.6 - 27.1 9 76.0 - 78.5 27
27.2 - 30.0 10 78.6 - 81.7 28
30.1 - 32.8 11 81.8 - 84.2 29
32.9 - 35.9 12 84.3 - 87.4 30
36.0 - 38.5 13 87.5 - 89.9 31
38.6 - 41.7 14 90.0 - 93.1 32
41.8 - 44.2 15 93.2 - 95.7 33
44.3 - 47.4 16 95.8 - 98.8 34
47.5 - 49.9 17 98.9 - 100.0 35

42
Guides to the Evaluation of Permanent Impairment

Table 2. Computation of Binaural Hearing Impairment

Worse ear
100 0
105 0.3 1.9
110 0.6 2.2 3.8
115 0.9 2.5 4.1 5.6
120 1.3 2.8 4.4 5.9 7.5
125 1.6 3.1 4.7 6.3 7.8 9.4
130 1.9 3.4 5 6.6 8.1 9.7 11.3
135 2.2 3.8 5.3 6.9 8.4 10 11.6 13.1
140 2.5 4.1 5.6 7.2 8.8 10.3 11.9 13.4 15
145 2.8 4.4 5.9 7.5 9.1 10.6 12.2 13.8 15.3 16.9
150 3.1 4.7 6.3 7.8 9.4 10.9 12.5 14.1 15.6 17.2 18.6
155 3.4 5 6.6 8.1 9.7 11.3 12.8 14.4 15.9 17.5 19.1 20.6
160 3.8 5.3 6.9 8.4 10. 11.6 13.1 14.7 16.3 17.8 19.4 20.9 22.5
165 4.1 5.6 7.2 8.8 10.3 11.9 13.4 15 16.6 18.1 19.7 21.3 22.8 24.4
170 4.4 5.9 7.5 9.1 10.6 12.2 13.8 15.3 16.9 18.4 20 21.6 23.1 24.7 26.3
175 4.7 6.3 7.8 9.4 10.9 12.5 14.1 15.6 17.2 18.8 20.3 21.9 23.4 25 26.6 28.1
180 5 6.6 8.1 9.7 11.3 12.8 14.4 15.9 17.5 19.1 20.6 22.2 23.8 23.8 26.9 28.4 30
185 5.3 6.9 8.4 10 11.6 13.1 14.7 16.3 17.8 19.4 20.9 22.5 24.1 25.6 27.2 28.8 30.3 31.9
190 5.6 7.2 8.8 10.3 11.9 13.4 15 16.6 18.1 19.7 21.3 22.8 24.4 25.9 27.5 29.1 30.6 32.2 33.8
195 5.9 7.5 9.1 10.6 12.2 13.8 15.3 16.9 18.4 20 21.6 23.1 24.7 26.3 27.8 29.4 30.9 32.5 34.1 35.6
200 6.3 7.8 9.4 10.9 12.5 14.1 15.6 17.2 18.8 20.3 21.9 23.4 25 26.6 28.1 29.7 31.3 32.8 34.4 35.9 37.5
205 6.6 8.1 9.7 11.3 12.8 14.4 15.9 17.5 19.1 20.6 22.2 23.6 25.3 26.9 28.4 30 31.5 33.1 34.7 36.3 37.8 39.4
210 6.9 8.4 10 11.6 13.1 14.7 16.3 17.8 19.4 20.9 22.5 24.1 25.6 27.2 28.8 30.3 31.9 33.4 35 36.6 38.1 39.7 41.3
215 7.2 8.8 10.3 11.9 13.4 15 16.6 18.1 19.7 21.3 22.8 24.4 25.9 27.5 29.1 30.6 32.2 33.8 35.3 36.9 38.4 40 41.6 43.1
220 7.5 9.1 10.6 12.2 13.8 15.3 16.9 18.4 20 21.6 23.1 24.7 26.3 27.8 29.4 30.9 32.5 34.1 35.6 37.2 38.8 40.3 41.9 43.4 45
225 7.8 9.4 10.9 12.5 14.1 15.6 17.2 18.8 20.3 21.9 23.4 25 26.6 28.1 29.7 31.3 32.8 34.4 5.9 37.5 39.1 40.6 42.2 43.8 45.3 46.9
230 8.1 9.7 11.3 12.8 14.4 15.9 17.5 19.1 20.6 22.2 23.8 25.3 26.9 28.4 30 31.6 33.1 34.7 36.3 37.8 39.4 40.9 42.5 44.1 45.6 47.2 48.8
235 8.4 10 11.6 13.1 14.7 16.3 17.8 19.4 20.9 22.5 24.1 25.6 27.2 28.8 30.3 31.9 33.4 35 36.6 38.1 39.7 41.3 42.8 44.4 45.9 47.5 49.1
240 8.8 10.3 11.9 13.4 15 16.6 18.1 19.7 21.3 22.8 24.4 25.9 27.5 29.1 30.6 32.2 33.8 35.3 36.9 38.4 40 41.6 43.1 44.7 46.3 47.8 49.4
245 9.1 10.6 12.2 13.8 15.3 16.9 18.4 20 21.6 23.1 24.7 26.3 27.8 29.4 30.9 32.5 34.1 35.6 37.2 38.8 40.3 41.9 43.4 45 46.6 48.1 49.7
250 9.4 10.9 12.5 14.1 15.6 17.2 18.8 20.3 21.9 23.4 25 26.6 28.1 29.7 31.3 32.8 34.4 35.9 37.5 39.1 40.6 42.2 43.8 45.3 46.9 48.4 50
255 9.7 11.3 12.8 14.4 15.9 48.8 50.3
260 10 11.6 13.1 14.7 16.3 49.1 50.6
265 10.3 11.9 13.4 15 16.6 49.4 50.9
270 10.6 12.2 13.8 15.3 16.9 49.7 51.3
275 10.9 12.5 14.1 15.6 17.2
280
285
290
295
300
305
310
315
320
325
330
335
340
345
350
355
360
365
368

ANSI 100 105 110 115 120 125


1969

Catatan : Tuli saraf penilaiannya sama seperti pada tuli akibat bising. Tuli hantar dan
campuran : tambahnya nilai hantaran udara dan hantaran tulang pada 500,
100, 2000 dan 4000 Hz, kemudian dibagi 8 (delapan). Selanjutnya
perhitungannya sama dengan tuli akibat bising.

Penentuan ganti rugi mengacu lampiran Peraturan Pemerintah No.14 tahun 1993 yang
telah disempurnakan dengan Peraturan Pemerintah No. 64 tahun 2005.

GANGGUAN KESEIMBANGAN

Evaluasi gangguan keseimbangan sebaiknya dilakukan bila kondisi tubuh telah stabil,
sehingga dapat dilakukan penilaian secara adekuat.

Penilaian gangguan keseimbangan dibagi sebagai berikut:


1. Persentase gangguan keseimbangan dari seluruh tubuh = 0%, bila terdapat gejala
gangguan keseimbangan tanpa ditemukan gejala klinis yang obyektif dan dapat
melakukan aktivitas sehari-hari tanpa bantuan.
2. Persentase gangguan keseimbangan dari seluruh tubuh = 5 - 10 %, bila terdapat
gejala gangguan keseimbangan dengan adanya gejala klinis yang obyektif dapat
melakukan aktivitas sehari-hari tanpa bantuan, kecuali aktivitas yang kompleks
seperti bersepeda.

43
3. Persentase gangguan keseimbangan dari seluruh tubuh = 15 - 30 %, bila terdapat
gejala gangguan keseimbangan dengan adanya gejala klinis yang obyektif dan tidak
dapat melakukan aktivitas sehari-hari tanpa bantuan, kecuali aktivitas ringan seperti
berjalan, pekerjaan rumah ringan dan menolong diri sendiri.
4. Persentase gangguan keseimbangan dari seluruh tubuh = 35 - 60%, bila terdapat
gangguan keseimbangan dengan adanya gejala klinis yang obyektif dan tidak dapat
melakukan aktivitas sehari-hari tanpa bantuan, kecuali menolong diri sendiri.
5. Persentase gangguan keseimbangan dari seluruh tubuh = 65 - 95 %, bila terdapat
gejala gangguan keseimbangan dengan adanya gejala klinis yang obyektif, tidak
dapat melakukan aktivitas sehari-hari tanpa bantuan dan menjalani perawatan di
rumah.

B. HIDUNG DAN SISTEM PENCIUMAN

Penentuan Tingkat Cacat


1. Terdapat perubahan suhu dan kelembaban udara, pada umumnya hidung dapat
menyesuaikan diri, sehingga tidak menyebabkan kelainan.
2. Tentang rinitis alergi akibat kerja, disebabkan oleh kontak alergen di lingkungan
kerja. Bila pekerja dipindahkan dari lingkungan itu, maka gejala akan berkurang
atau hilang sama sekali, Hal ini tidaklah mudah, oleh karena :
2.1. Kemampuan/keahlian pekerja pada pekerjaan yang khusus, yang kebetulan
di daerah yang mengandung alergen itu.
2.2. Lowongan kerja di tempat kerja itu akan dipindahkan, tidak ada atau tidak
cocok dengan keahliannnya.
3. Kelainan penciuman dapat merupakan cacat, oleh karena sering kali tidak dapat
sembuh lagi, misalnya yang disebabkan oleh trauma.
Penentuan tingkat cacatnya ialah dengan menghitung persentase zat yang dapat
dicium oleh penderita pada waktu pemeriksaan, misalnya yang tidak dapat
diketahuinya zat yang diciumnya sebanyak 5 buah dari 10 zat yang harus diciumnya
= 50% apabila ditentukan bahwa anosmia merupakan cacat 40%, maka tingkat
cacat disini ialah 50 x 40% = 20%.
4. Kelainan hidung yang menyebabkan keluhan menahun / berulang :
4.1. Sinusitis kronis yang meskipun telah dilakukan pengobatan dengan operasi,
akan selalu kambuh, apabila lingkungannya mengandung polusi. Hal ini
dapat disebut sebagai cacat. Jadi cacatnya 40%.
4.2. Hidung tersumbat sebagai akibat konka hipertrofi pada rinitis kronis,
meskipun telah dilakukan tindakan operasi dengan melakukan konkotomi
untuk mengurangi konka yang hipertrofi, kadang-kadang akibatnya akan
ditemukan gejala "open space syndrome", penderita terus menerus
merasakan pusing dan kepala nyeri.
Pada keadaan yang demikian pekerja tidak dapat berproduksi dengan baik.
Nilai cacatnya ialah 40%.
5. Tumor ganas hidung dan sinus paranasal :
Bila tumor ganas ditemukan pada stadium dini, dan diobati secara dini juga dengan
tepat, maka masa bertahan 5 tahun dapat mencapai 90 - 100%. Akan tetapi bila
diketahui setelah dalam stadium lanjut, maka prognosisnya tidak baik. Perlu diingat,
bahwa waktu inkubasi untuk terjadinya tumor ganas memerlukan waktu, sehingga
ada kemungkinan setelah pekerja tidak terpapar lagi oleh zat karsinogenik barulah
penyakit itu tampak.

Penentuan ganti rugi mengacu kepada lampiran Peraturan Pemerintah No.14 tahun
1993 yang disempurnakan dengan Peraturan Pemerintah No. 64 tahun 2005. Ganti rugi
fungsi penciuman sama dengan 10% dari upah.

C. TENGGOROK

CIDERA LARING DAN TRAKEA

Penentuan tingkat cacat.


1. Suara tidak keluar sama sekali : 40%
2. Suara parau masih dapat dimengerti kata-kata yang diucapkan : 50 x 40% = 20%.

44
3. Tidak dapat bernafas melalui laring/trakea, sehingga bernafas melalui lubang
trakeostomi : 40%.

Presentase cacat akibat kerja atau kecelakaan diambil dari buku tentang perubahan
kemampuan daya kerja pekerja di Hongaria :
0 - 40% = sakit akibat kecelakaan
0 - 15% = sakit ringan, kesembuhan dalam waktu singkat dan setelah sembuh
dapat bekerja pada profesi semula.
15 - 40% = sakit berat, kesembuhan dalam waktu lama, setelah sembuh dapat
bekerja pada profesi semula.
40 - 90% = cacat
40 - 67% = cacat sementara akibat kecelakaan, diharapkan akan tetap bekerja
ringan pada profesi lain tanpa mengganggu kesehatannya.
67 - 90% = cacat tetap akibat kecelakaan, tidak dapat bekerja sama sekali, dan
karena itu mempunyai hak pensiun.

D. CIDERA KEPALA

Penilaian cacat :
1. Tuli saraf yang terjadi tidak dapat sembuh. Untuk penilaian cacatnya dihitung seperti
pada tuli akibat bising.
2. Kelainan alat keseimbangan dapat disembuhkan, tetapi pengobatannya lama.
3. Kelumpuhan saraf wajah yang letaknya perifer, bila sarafnya tidak terputus, dapat
disembuhkan dengan jalan operasi apabila dilakukan dalam waktu tidak lebih dari 2
minggu.

E. ESOFAGITIS KOROSIF

Penilaian Cacat :
Sebagai komplikasi esofagitis korosif ialah terjadinya striktur esofagus. Hanya sebagian
kecil dari striktur esofagus yang dapat disembuhkan dengan businasi. Bila tidak
tertolong, maka dilakukan reseksi esofagus, serta mengganti esofagus dengan kolon,
atau dengan membuat gastrostomi untuk makan penderita. Pada keadaan ini tingkat
cacat 40%.

BIDANG ORTHOPAEDI

I. BATASAN
Orthopaedi adalah suatu spesialisasi yang mencakup investigasi, prevensi, restorasi
dan perkembangan dari bentuk dan fungsi ekstremitas, tulang belakang dan struktur
yang berkaitan secara medikamentosa, pembedahan dan dengan metoda fisik (AAOS
1960).
Sehingga dengan demikian yang dimaksud dengan penyakit orthopaedi adalah penyakit
yang mengenai sistem muskuloskeletal sehingga menimbulkan gangguan fungsi
pergerakan yang kemudian menimbulkan hambatan pada kegiatan si penderita.
Terdapat 3 stadia gangguan kegiatan penderita akibat dari suatu penyakit.

1. Stadia 'Impairment' (cacat)


Stadia dimana seseorang kehilangan kemampuan untuk merawat diri (self care)
sebagai akibat penyakit yang diderita, baik secara anatomi-fisiologis maupun
psikologis. Dalam stadia ini penderita tidak mampu melaksanakan tugas pekerjaan
sehari-hari, yang biasanya dapat dilaksanakan. Penderita masih memerlukan terapi
aktif.

2. Stadia 'Disability' (ilat)


Stadium dimana seseorang mendapatkan keterbatasan atau kekurangan
kemampuan (akibat impairment) dalam melaksanakan kegiatan dibanding dengan
orang sehat. Penderita masih mengalami perbaikan, sehingga sedikit demi sedikit
dapat kembali melaksanakan beberapa macam pekerjaan walaupun masih terbatas;
dalam stadia ini mungkin masih diperlukan terapi atau modalitas alat bantu.

45
3. Stadia 'Handicapped' (tuna)
Stadia keadaan akhir dimana keadaan penyakit dan gejala sesudah menetap dan
disebut cacat menetap (tuna), baik sebagian maupun keseluruhan. Tindakan yang
diperlukan, tujuannya adalah membantu semaksimal mungkin agar si penderita
secara keseluruhan dapat mandiri (independent) dengan bantuan modalitas untuk
mengatasi kecacatan.

Gangguan fungsi muskuloskeletal dapat terjadi sebagai akibat :


1. Kelainan sebagian atau seluruh anggota tubuh
2. Kelainan bentuk / anatomi
3. Kekakuan sendi
4. Kelumpuhan

Penentuan tingkat kecacatan secara medis sangat penting karena konsekuensinya pada
bidang administrasi, finansial dan sosial dalam menentukan bahwa seseorang tidak lagi
dapat melakukan pekerjaan seperti semula. Karena itu perlu ada keseragaman dan
ketepatan dalam penentuan kecacatan secara medis.

II. DIAGNOSIS
A. Anamnesis
1. Apa ada trauma ?
2. Apakah penderita tak dapat kerja sama sekali ?
3. Kidal atau kinan ?
4. Sudah berapa lama ?
5. Sudah dapat terapi ?
6. Sejak kapan dapat terapi ?
7. Masih perlu pengobatan rehabilitasi ?
8. Berapa lama waktu yang diperlukan untuk kembali kerja ?
9. Keadaan tersebut sudah hasil maksimum/stabil (permanen)?

B. Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan umum
2. Pemeriksaan orthopaedik tentang anggota gerak atas, bawah dan tulang
belakang secara keseluruhan dengan dasar pemeriksaan :
– Look (inspeksi)
– Feel (palpasi)
– Move (gerakan aktif dan pasif)
Kelainan yang dapat ditemukan :
– Amputasi
– Kelainan sensorik dan motorik
– Kelainan tonus otot/lingkar (diameter)
– Ukuran panjang atau pendek
– Kekakuan atau kelainan sendi
– Stabilitas dan gerak lingkup sendi
– Kelainan lain seperti: sikatriks, trofi (pertumbuhan), deformitas.
– Kelemahan (manual Muscle Test)

3. Pemeriksaan laboratorium rutin

4. Pemeriksaan penunjang :
a. Pemeriksaan rongent minimal dalam 3 proyeksi
Bila perlu dilakukan :
– Proyeksi khusus untuk daerah tertentu
– Tomografi
– Kontras (arthrografi, mielografi, arteriografi)
– CT scan/scintigrafi
– M.R.I (Magnetic Resonance Imaging) / N.M.R (Nuclear Magnetic
Resonance)
b. Ultrasonografi (U.S.G)
c. Pemeriksaan neurologik
Dengan pemeriksaan EMG (Elektromyography) untuk menyatakan apakah
gangguan fungsi akibat neurogical deficit, saraf perifer, neuro
muscularfunction atau otot.

46
C. Penyakit pada Ortopaedi
1. Trauma
Trauma pada muskuloskeletal dapat menimbulkan penyakit/kerusakan fungsi
akibat kecelakaan kerja :
a. kerusakan/perlukaan jaringan lunak
b. kerusakan tulang (patah/fraktur)
c. kerusakan persendian (merupakan kombinasi 1&2)

a. Jaringan lunak
- gangguan pada sirkulasi (peredaran darah) dan perdarahan
- gangguan pada persyarafan tepi (peripheral nerve)
- kerusakan pada otot dan jaringan komponen sendi (ligament serupa
sendi)

b. Tulang
- Patah tulang
- Patah tulang rawan

c. Sendi
- Cerai sendi/dislokasi
- Perdarahan sendi
- Kerusakan ligament dan simpai sendi (capsul) mengakibatkan:
ketidakstabilan (instability) dan kekakuan.

2. Penyakit Menahun
Beberapa macam penyakit pekerjaan dapat timbul akibat keadaan kerja antara
lain:
- Caisar`s disease : tekanan tinggi yang mendadak berkurang dapat
menimbulkan avasculair necrosis dari kaput femoris, menyebabkan
kerusakan tulang dan sakit di pinggul
- Postural/sikap posisi mengerjakan pekerjaan secara menahun yang dikenal
sebagai Low Back Pain (LBP) otot-otot menjadi fatigue menimbulkan
unstability dari tulang belakang sehingga timbul proses degenerasi yang
dapat menimbulkan keluhan sakit, pegal di daerah pinggang
- Pekerjaan kasar, yang harus mengangkat beban, dapat cedera pada diskus
yang dikenal sebagai HNP (Hernia Nucleus Pulposus)

III. URAIAN CACAT DAN PENILAIAN TINGKAT CACAT


A. Amputasi
Sebagian atau seluruhnya dari bagian anggota gerak
Uraian :
– Jelaskan bagian yang hilang
– Tentukan daerah / regio amputasi
– Tentukan tinggi / level amputasi
– Tentukan tingkat gangguan fungsi
– Penilaian tingkat cacat mengacu pada lampiran Peraturan Pemerintah Nomor :
14 tahun 1993 dan telah disempurnakan Peraturan Pemerintah No. 64 tahun
2005.

B. Kelumpuhan (plegia) atau kelemahan (parese)

Kelumpuhan dan kelemahan


Tentukan daerah/gerakan sendi yang terganggu
Tentukan tingkat kekuatan otot (Manual Muscle Test : 0 sampai 5)
Tentukan tingkat gangguan fungsi

Nilai :
– 0 : tidak ada gerakan otot kehilangan fungsi 100 %
– 1 : Ada gerakan otot, tanpa gerakan sendi kehilangan fungsi 80 %
– 2 : Dapat menggerakkan sendi pada seluruh lingkup gerak sendi, dan dapat
melawan gravitasi kehilangan fungsi 60%
– 4 : Nilai 3 ditambah dengan tahanan ringan kehilangan fungsi 20%
– 5 : Nilai 3 ditambah dengan tahanan penuh (normal kehilangan fungsi 0 %.

47
C. Kekakuan

Kehilangan fungsi dihitung dari perubahan derajat lingkup gerak sendi (LGS)/ range
of motion (ROM) dengan cara :

1. Membandingkan dengan catatan medik awal


2. Bandingkan dengan LGS sisi yang lain
3. Bandingkan dengan LGS pemeriksa yang normal

Contoh :
1) LGS awal 90 ’ (normal)
Setelah terjadi kekakuan 60o : kehilangan LGS 90o - 60o = 30o
Maka kehilangan fungsi menjadi 30/90 x 100% = 33,3%.

2) Bila suatu sendi terdapat gerakan yaitu fleksi, ekstensi dan abduksi :

Gerak Normal Hasil pemeriksaan Kehilangan LGS

Fleksi 175 90 85
Ekstensi 45 30 15
Abduksi 180 30 150

400 150 250

250
Maka kehilangan fungsi akibat kekakuan : x 100% = 62,5%
400

D. Perpendekan (discrepancy)

Cacat akibat perpendekan hanya berlaku untuk anggota gerak bawah (tungkai).
Setiap perpendekan 0,5 inchi (2,5 cm) salah satu tungkai, mengakibatkan
kehilangan fungsi sebesar 5% dari fungsi kedua tungkai dari pangkal paha ke
bawah.

Penilaian tingkat cacat mengacu pada lampiran Peraturan Pemerintah Nomor : 14


tahun 1993 dan telah disempurnakan Peraturan Pemerintah No. 64 tahun 2005.

E. Kasus khusus

1. Sendi panggul (nilai/terhadap seluruh badan 50%) :


– Non union tanpa koreksi perbaikan : 75%
– Dengan arthroplasti, dapat jalan dan berdiri waktu bekerja 40% gerak : 50%
– Lingkup gerak dan kedudukan kelainan : 50%

2. Sendi lutut :
– Pasca minisektomi 5%
– Ruptur ligament krusiatum : 20 % - 30%
– Patelektomi 20%
– Gangguan gerak : 0 - 110 5%
0 - 80 15%
0 - 60 35%
15 - 90 40%

3. Pergelangan kaki/kaki
Impairment and loss physical handicap (diperhitungkan 80% dari anggota gerak
bawah)

Sedangkan kekakuan sendi pergelangan kaki lebih besar dari tulang-tulang


tarsalia dan tarsal - metatarsal lebih dari jari-jari kaki.

4. Nyeri pada anggota gerak dan tulang belakang :


Nyeri sulit dinilai secara objektif dan harus ditentukan apakah merupakan suatu
akibat kelainan fisik atau bukan. Bila bukan maka pemeriksaaan dilakukan
sesuai dengan pemeriksaan psikiari/psikologi.

Penentuan kecacatan sebaiknya dilakukan setelah menjalani pengobatan


minimal 6 bulan untuk periode penyembuhan luka dan selama lamanya 24 bulan
untuk penyembuhan komplikasi vaskuler.

48
Penilaian kecacatan juga ditentukan sisi mana yang terkena. Sisi yang bukan sisi
dominan maka nilai kecacatan dikurangi 5% bila penurunan fungsi sebesar 5% -
50% dan dikurangi 10% bila penurunan fungsi sebesar 51% - 100%.

Penilaian kecacatan yang disebabkan oleh penyakit akibat kerja, sebaiknya


dilakukan dengan membandingkan dengan kondisi / kemampuan penderita
sebelum mengalami penyakit tersebut. Karena itu penting adanya catatan
kecacatan yang telah ada pada setiap pekerja saat akan mulai bekerja.

Penilaian akhir suatu kecacatan sebaiknya juga dengan mempertimbangkan


kemampuan pasien bekerja kembali dibandingkan dengan kemampuannya
sebelum mengalami penyakit tersebut. Karena itu juga penting mengetahui
kemampuan bekerja pekerja (misalnya : jumlah huruf yang mampu diketik oleh
seorang juru ketik dalam waktu satu menit).

Sebagai pertimbangan dapat digunakan pedoman penentuan kecacatan yang


dikemukakan oleh Steinbocker (kemampuan penderita setelah penyembuhan
untuk kegiatannya sehari-hari) :

a. Dapat melakukan tugas / kegiatan sehari-hari : 25 %


b. Terdapat kesukaran melakukan tugas /kegiatan sehari-hari : 50%
c. Dapat melaksanakan tugas / kegiatan sehari-hari dengan bantuan : 75%
d. Dapat melakukan tugas / kegiatan sehari-hari dengan banyak kesulitan :
100%

F. Ketentuan dalam bidang orthopaedi :

1. Penilaian cacat bidang orthopaedi meliputi :


a. Penilaian cacat Anatomi akibat kecelakaan kerja / Penyakit Akibat Kerja bisa
dilakukan kurang dari 6 bulan s/d 2 tahun setelah luka sembuh.

b. Penilaian cacat Fungsi anggota tubuh akibat kecelakaan kerja / Penyakit


Akibat Kerja selambat-lambatnya 6 bulan s/d 2 tahun setelah usaha medis
secara maksimal dilakukan termasuk rehab medis.

2. Kriteria akibat kecelakaan kerja bidang orthopaedi yaitu :


a. Sembuh sempurna :
1) Luka sembuh.
2) Radiologi Union (pada kasus fraktur).
3) Tidak di dapat komplikasi.
4) Fungsi kembali lagi 100%.
5) Waktu maksimal 2 tahun.
6) Tidak ada implant kecuali protesa.

b. Sembuh belum sempurna


1) Luka sembuh.
2) Radiologi Union (pada kasus fraktur).
3) Tidak di dapat komplikasi.
4) Fungsi bisa kembali normal, bisa berkurang.
5) Waktu maksimal 2 tahun.
6) Masih ada implant.

c. Sembuh tidak sempurna (fungsi berkurang).


1) Telah dilakukan terapi medis secara maksimal.
2) Fungsi berkurang dan dianggap tidak bisa pulih serta tidak dapat
dikoreksi dengan terapi medis apapun (hasil akhir).
3) Waktu maksimal 2 tahun.

d. Tidak sembuh.
1) Tidak sembuh setelah menjalani terapi maksimal selama 2 tahun karena
penyakit tersebut.
2) Selanjutnya pasien dapat ditentukan kecacatannya.

3. Penetapan cacat di bidang Orthopaedi dilakukan setelah dilaksanakan terapi


maksimal selambat-lambatnya sampai dengan 2 tahun.

49
4. Apabila tenaga kerja dinyatakan sembuh akibat kecelakaan kerja/penyakit akibat
kerja oleh dokter pemeriksa maka selanjutnya diberikan surat keterangan
dengan mengisi formulir bentuk KK4 untuk kecelakaan kerja, KK5 untuk
penyakit akibat kerja dan ditulis bahwa penilaian kecacatan klinis dilakukan pada
hari/dan tanggal penilaian, serta apabila nilai kecacatan dimungkinkan dapat
berubah, pasien diberi formulir inform concern yang ditanda tangani oleh pasien.
Apabila kondisi tenaga kerja belum sembuh Badan Penyelenggara belum wajib
membayar santunan / Jaminan Kecelakaan Kerja.

5. Hernia Nucleus Pulposus (HNP) termasuk kasus Kecelakaan Kerja apabila


memenuhi kriteria : Ada riwayat trauma ditempat kerja; ada keluhan
akut/mendadak dan ada penyebabnya.

6. Penyakit yang berkaitan dengan otot, urat, tulang persendian, pembuluh darah
tepi atau syaraf tepi dapat di kategorikan sebagai penyakit akibat kerja apabila
dapat dibuktikan faktor penyebabnya dalam pekerjaan atau lingkungan kerja.

7. Orthose/prothese dan alat bantu lainnya diberikan saat layanan rehabilitasi


medik dalam masa pemulihan fungsi mencapai stadium lanjut dengan keadaan
cacat yang sudah menetap atau permanen.

BIDANG PENYAKIT PARU

I. BATASAN

Penyakit paru akibat kerja adalah penyakit atau kelainan paru yang disebabkan oleh
pajanan faktor-faktor risiko di tempat kerja antara lain berupa : debu, gas dan uap.

Kelainan yang terjadi dapat berupa :

A. Kelainan akut
1. Trauma inhalasi akut akibat gas iritan, fosgen, asap ; termasuk Reactive Airways
Dysfunction Syndrome (RADS)
2. Toxic Pneumonitis
3. Edema paru akut, misalnya akibat asap, nitrogen, SO2, fosgen
4. Bronkitis akut
5. Hipersensitiviti pneumonitis

B. Kelainan kronik
1. Pneumokoniosis
Misalnya akibat debu asbes (asbestosis), batubara (pneumoconiosis batubara),
silica (silicosis), beryllium (beriliosis) dan lain lain
2. Penyakit pleura (efusi pleura, mesotelioma, plak pleura)
Misalnya akibat pajanan debu asbes
3. Bronkitis kronik
Misalnya akibat pajanan debu tambang, tepung, talk, asap, gas
4. Asma kerja
Misalnya akibat :
• Isosianat ; Heksametilen diisosianat (HDI), toluene diisosianat (TDI)
• Tepung gandum
• Kolofoni pada proses solder elektronik
• Enzim, seperti alkalase, makstalase, lipase dan amilase
• Lateks
• Bulu binatang tertentu
• Dan lain-lain
5. Bisinosis
Timbul akibat pajanan debu kapas
6. Hipersensitiviti pneumonitis
Timbul akibat respons hiperimun terhadap antigen inhalasi antara lain berasal
dari mikroorganisme, binatang, tumbuhan dan zat kimia.

50
7. Kanker paru
Kanker paru akibat pajanan di tempat kerja dapat disebabkan antara lain oleh
arsen, asbes, krom, uranium, metal eter, nikel, cadmium.
8. Penyakit infeksi :
• Antraks
• Coccodiodomycosis
• Echinococcosis
• Psitacosis
• Tuberkulosis

II. DIAGNOSIS

A. Anamnesis
1. Riwayat pekerjaan.
a. Pencatatan pekerjaan dan kegemaran/hobby yang terus menerus atau “part
time “ secara kronologis
b. Identifikasi bahan berbahaya di tempat kerja :
- bahan yang digunakan oleh pekerja
- bahan yang digunakan oleh pekerja pembantu.
c. Hubungan antara paparan dan gejala yang timbul :
- waktu antara mulai bekerja dan gejala pertama
- urutan-urutan dan perkembangan gejala
- hubungan antara gejala dengan tugas tertentu
- perubahan gejala dan waktu libur, jauh dari tempat kerja

2. Keluhan penyakit :
Ditanyakan tentang adanya keluhan penyakit berupa :
a. Batuk :
• sifat batuk (kering atau berdahak)
• waktu batuk (pagi/siang/malam/terus-terusan)
• frekuensi
• sejak kapan ?
- batuk selama 3(tiga) bulan, terjadi tiap-tiap tahun
- peningkatan batuk selama 3 minggu atau lebih, selama 3 tahun
terakhir
b. Dahak
• Warna
• Jumlah
• Konsistensi
• Waktu (pagi/siang/malam/terus-menerus)
• Sejak kapan ?
- batuk selama 3(tiga) bulan, terjadi tiap-tiap tahun
- peningkatan batuk selama 3 minggu atau lebih, selama 3 tahun
terakhir.
c. Sesak napas/Napas pendek
• Ditanyakan sesuai dengan kriteria sesak napas menurut American
Thoracic Society (ATS)
0 tidak ada Tidak ada sesak napas kecuali
exercise berat
1 ringan Rasa napas pendek bila berjalan
cepat mendatar atau mendaki
2 sedang Berjalan lebih lambat dibandingkan
orang lain sama umur karena sesak
atau harus berhenti untuk bernapas
saat berjalan mendatar
3 berat Berhenti untuk bernapas setelah
berjalan 100 meter/beberapa menit,
berjalan mendatar
4 Sangat berat Terlalu sesak untuk keluar rumah,
sesak saat mengenakan/
melepaskan pakaian

51
• Sejak 12 bulan terakhir pernah mengalami/tidak waktu terbangun dari tidur
malam
d. Nyeri dada
• Lokasi
• Waktu nyeri dada (inspirasi atau ekspirasi)
• Deskripsi nyeri dada
• Sejak 3 tahun terakhir pernah mengalami/tidak, yang lamanya 1 minggu
e. Mengi
• Waktu mengi (pagi/siang/malam) ; Inspirasi/ekspirasi
• Disertai napas pendek atau napas normal
• Sejak kapan?.

3. Riwayat Penyakit Dahulu


Ditanyakan tentang adanya penyakit / keluhan penyakit yang pernah dideritanya
berupa :
a. Penyakit-penyakit lain yang pernah diderita :
- kecelakaan / operasi daerah dada
- gangguan jantung
- bronkitis
- pneumoni
- pleuritis
- T B paru
- Asma bronkial
- Gangguan dada yang lain
- Hay fever
- Dal lain-lain
b. Riwayat atopi/alergi.

4. Riwayat kebiasaan
Ditanyakan kebiasaan merokok meliputi :
a. Jumlah rokok yang dihisap :
- 1 (satu) batang rokok perhari atau 1 batang rokok perbulan atau lebih dari
1 batang rokok
- jumlah batang rokok / tembakau perhari / perminggu.
b. Lama merokok :
Kurang dari 1 tahun / lebih dari 1 tahun.
c. Cara mengisap rokok :
- dangkal
- sedang
- dalam
d. Umur waktu mulai merokok dengan teratur.
e. Jenis rokok :
- buatan pabrik / buatan sendiri
- menggunakan filter / tidak
- rokok tipe kecil / sedang
- sering berganti-berganti rokok / kombinasi / tidak
- kretek / putih
f. Kontinuitas merokok :
- pernah mengalami / berhenti merokok / tidak, lamanya
- jumlah hari selama merokok (jumlah bulan / tahun )
g. Derajat berat merokok dengan indeks Brinkman (IB), yaitu perkalian jumlah
rata-rata batang rokok yang dihisap sehari dikalikan lama merokok dalam
tahun :
- Ringan : 1 – 200
- Sedang : 201 – 600
- Berat : >600

B. Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan umum dan tanda vital
2. Pemeriksaan pulmonologik
a. Inspeksi
b. Palpasi

52
c. Perkusi
d. Auskultasi

C. Pemeriksaan Penunjang

1. Rutin :

- laboratorium : darah, urine


- foto toraks : PA dan lateral
- spirometri.

2. Khusus :

- uji alergi pada kulit


- uji provokasi bronkus dengan bahan spesifik/non spesifik di tempat kerja
- sputum BTA 3x
- Sputum sitologi
- bronkoskopi
- patologi anatomi : biopsi
- radiologi : tomogram, bronkografi, CT – scan
- kapasitas difusi terhadap CO (DLCO)
- uji Cardio Pulmonary Exercise (CPX).

D. Penetapan diagnosis Penyakit Akibat Kerja dalam bidang paru diperlukan data
pendukung berupa kondisi lingkungan kerja apakah terdapat faktor dan bahan-
bahan yang menimbulkan penyakit akibat kerja.

III. URAIAN CACAT DAN PENILAIAN TINGKAT CACAT

A. Uraian Cacat.

1. Kelainan fungsi paru (restriktif dan obstruktif atau campuran)

Restriksi Obstruksi
(KVP% atau (VEP1/KVP)% atau VEP1%
KVP/prediksi%) (VEP1/prediksi)
Normal >80% >75%
Ringan 60-79% 60-74%
Sedang 30-59% 30-59%
Berat <30% <30%

2. Kelainan anatomi seperti kehilangan sebagian jaringan paru, misalnya lobektomi.

B. Penilaian derajat sesak

Derajat O : Tidak sesak kecuali exercise berat


Derajat I : Sesak ringan, rasa napas pendek bila berjalan cepat mendatar atau
mendaki
Derajat II : Sesak sedang, berjalan lebih lambat dibandingkan orang lain sama
umur karena sesak atau harus berhenti untuk bernapas saat berjalan
mendatar
Derajat III : Sesak berat, berhenti untuk bernapas setelah berjalan 100
meter/beberapa menit, berjalan mendatar
Derajat IV : Sangat berat terlalu sesak untuk keluar rumah, sesak saat
mengenakan/melepaskan pakaian

53
C. Penilaian Cacat.

Penilaian cacat pada penyakit paru akibat kerja didasarkan kepada hasil penentuan
pemeriksaan spirometri dan derajat sesak sebagai berikut:

Derajat sesak VEP 1 Persentase cacat fungsi


(fungsional disability)

0 > 2,5 L -
1 Ringan 1,6 – 2,5 L 25 %
2 Sedang 1,1 – 1,5 L 50 %
3 Berat 0,5 - 1 L 75 %
4 Sangat berat < 0,1 L 100 %

Penilaian dilakukan setelah penderita mendapat terapi maksimal (bronkodilator)


selama 3 bulan dengan hasil menetap.

Cara menetapkan penilaian kecacatan fungsi (Functional disability) ditentukan


dengan menilai secara subyektif keluhan sesak napas dan penilaian obyektif dengan
pemeriksaan spirometri

Penentuan ganti rugi didasarkan pada persentase cacat fungsi 100% sama
dengan 70%.

BIDANG PENYAKIT MATA

I. BATASAN

Kecelakaan Kerja dan Penyakit Akibat Kerja (PAK) bidang mata adalah penyakit atau
kelainan pada mata akibat pemaparan antara lain faktor-faktor risiko di tempat kerja yang
dapat menyebabkan gangguan fungsi penglihatan yang dapat mengurangi kemampuan
seseorang untuk melakukan pekerjaan dan menjalankan aktivitas normal.

Kelainan mata akibat kecelakaan kerja dan PAK yang terjadi dapat berupa:
1. Kelainan jaringan penunjang dan adneksa mata:
- Kelopak mata : laserasi atau ruptur kelopak mata akibat trauma
- Tulang orbita : fraktur dinding orbita akibat trauma
- Sistem air mata (lakrima): sumbatan sistem lakrima oleh trauma
- Konjungtiva : radang konjungtiva (konjungtivitis) akibat kontak iritan atau bahan
kimia, benda asing di konjungtiva
- Otot mata : kelumpuhan otot mata akibat trauma.

2. Kelainan bola mata


- Kornea : ruptur kornea akibat trauma, trauma kimia asam dan basa, trauma
termal (panas atau dingin), trauma radiasi (misalnya akibat lampu ultraviolet,
ledakan nuklir, sinar-X atau radio-isotop), trauma akibat kontak dengan
serangga/tumbuhan, benda asing kornea, dan erosi / abrasi kornea, dry eye
syndrome
- Sklera : ruptur sklera akibat trauma

54
- Lensa : katarak traumatik, luksasi/subluksasi lensa
- Bilik mata depan : hifema akibat trauma
- Iris : iridodialisis, siklodialisis, ruptur iris akibat trauma, midriasis atau miosis
traumatik
- Badan kaca (vitreus) : perdarahan vitreus akibat trauma, benda asing dalam
vitreus, endoftalmitis pasca trauma
- Koroid : ruptur koroid akibat trauma
3. Kelainan saraf/jaras penglihatan
- Retina : edema makula, komosio retina, perdarahan retina dan/atau robekan
retina akibat trauma, retinopati toksik (terutama kloroquin), retinopati radiasi
(misalnya pada radioterapi), atau retinopati akibat cahaya (efek mekanik, termal
atau fotokimia, contohnya solar retinopathy pada pekerja las)
- Saraf optik : neuropati optik akibat kontak, inhalasi atau ingesti zat toksik atau
nutrisional (lihat tabel), neuropati optik akibat trauma, neuropati akibat radiasi (>
3000 rad), dan avulsi papil n.optik.

Berbagai Zat yang dapat menyebabkan Neuropati Optik Toksik

• Metanol
• Etilen glikol (antifreeze)
• Kloramfenikol
• Isoniazid
• Etambutol
• Digitalis
• Klorokuin
• Streptomisin
• Amiodaron
• Kuinin
• Vinkristin and metotreksat
• Sulfonamides
• Melatonin dengan Zoloft dalam diet protein tinggi
• Karbon monoksida
• Timah
• Merkuri
• Talium
• Malnutrisi dengan defisiensi vitamin B-1
• Anemia pernisiosa (fenomena malabsorpsi vitamin B-12)
• Arsenik pentavalen
• Nitrobenzol
• Karbon disulfida
• Disulfiram

- Korteks penglihatan : akibat trauma kepala atau intoksikasi, misalnya oleh metil
merkuri

II. DIAGNOSIS

Diagnosis gangguan mata akibat kerja harus dilaksanakan berdasarkan anamnesis dan
pemeriksaan oftalmologis yang baik, serta pemeriksaan penunjang yang tepat.

55
A. Anamnesis:
1. Umur penderita
2. Jenis pekerjaan
3. Apa keluhan okular yang dirasakan pasien? Perlu dirinci: penglihatan buram, mata
merah, nyeri pada mata, keluar darah dari mata, melihat ganda/diplopia, floaters,
atau fotopsia, dll
4. Apakah terdapat trauma? Bila ya, kapan terjadinya trauma?
5. Bagaimana perjalanan penyakit (misalnya: akut atau kronik)?
6. Apakah terdapat risiko di lingkungan kerja? (termasuk: iritan/polutan, tidak adanya
sarana proteksi, dsb)
7. Berapa lama terpapar faktor risiko?
8. Dicari apakah terdapat penyakit sistemik, penyakit dalam keluarga atau riwayat
penyakit mata mata sebelumnya.

B. Pemeriksaan fisik
1. Keadaan umum
2. Pemeriksaan oftalmologis
a. Pemeriksaan tajam penglihatan, baik monokular maupun binokular
b. Pemeriksaan mata luar, meliputi pemeriksaan terhadap:
• kelopak mata
• konjungtiva
• sklera
• kornea
• bilik mata depan
• iris
• pupil
• lensa
Pemeriksaan menggunakan loupe dan senter atau biomikroskop slit lamp di
tingkat rujukan. Semua kelainan yang dicatat harus dideskripsikan secara
sistematis. Pada kasus trauma, jenis luka (tajam/tembus atau tumpul atau
trauma kimia) harus dideskripsikan.
c. Pemeriksaan refleks pupil. Dilakukan dengan menyinari mata dengan senter,
dicari kelainan pupil seperti anisokoria atau afferent pupillary defect.
d. Posisi (alignment) dan gerakan bola mata; dinilai secara binokular ke 8 arah
(cardinal gaze). Pada pemeriksaan posisi bola mata dicari tanda-tanda
strabismus (esotropia, eksotropia, dan hipertropia). Pada pemeriksaan gerakan
bola mata dicari tanda-tanda hambatan gerak.
e. Pemeriksaan lapang pandang. Cara paling sederhana yang dapat dilakukan di
layanan primer adalah tes Konfrontasi, namun pemeriksaan di tingkat rujukan
adalah dengan kampimetri Goldmann.
f. Pemeriksaan fundus dengan oftalmoskop. Dilakukan penilaian terhadap bagian
dalam mata meliputi badan kaca, retina dan pupil saraf optik.

56
g. Pemeriksaan khusus, antara lain meliputi :
• Tonometri : mengukur tekanan intraokular (TIO). Nilai normal adalah 10-
21 mmHg; peningkatan TIO dapat ditemukan pada glaukoma.
• Penglihatan warna : menilai kemampuan melihat warna, mendeteksi buta
warna.
• Binokularitas : menilai kemampuan kedua mata saat melihat secara
bersamaan. Dinilai adakah penglihatan ganda, dan apakah kedua mata
melihat secara stereoskopis .

Berdasarkan Lampiran II, PP No.14 tahun 1993 dan Peraturan Pemerintah No. 64
Tahun 2005 tentang Perubahan Keempat atas Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun
1993 tentang Penyelenggaraan Jaminan Sosial Tenaga Kerja, paramater gangguan
mata akibat kerja adalah tajam penglihatan, lapang pandang, penglihatan warna dan
binokularitas. Pemeriksaan terhadap keempat parameter ini akan dibahas dalam uraian
di bawah.

C. Pemeriksaan terhadap parameter gangguan fungsi penglihatan.

1. Pemeriksaan tajam penglihatan


a. Pemeriksaan tajam penglihatan jauh
Dasar pemeriksaan:
2 buah titik akan terlihat terpisah bila kedua titik sudah membentuk 1 (satu) menit
busur derajat sudut penglihatan mata.

Peralatan yang digunakan:


Kartu Snellen (Snellen Chart) dan Kartu Kipas Astigmatisme.
Alat tersebut dapat tersedia baik di pelayanan mata tingkat primer, sekunder
maupun tersier.
1) Untuk penilaian tajam penglihatan jauh:
- Setiap huruf tertentu pada jarak tertentu akan membentuk 5 menit busur
derajat sudut penglihatan
- Besar huruf pada kartu untuk dapat dilihat, telah diatur
- Warna huruf/angka hitam dengan dasar putih; dan warna huruf/angka
putih di atas dasar hitam
- Pencahayaan latar belakang sebesar 50 lux, sedangkan pencahayaan
pada Kartu Snellen (yang menggunakan lampu) adalah sebesar 500 lux
- Jarak baca 6 meter, atau setidaknya 3 meter dengan menggunakan
cermin. Pada jarak ini dianggap mata yang diperiksa tidak lagi
berakomodasi
- Kedua mata diperiksa bergantian, dengan cara menutup satu mata
bergantian
- Pada orang buta huruf dapat digunakan kartu E atau kartu Landolt
dengan prinsip yang sama

57
2) Refraksi dengan set lensa dan bingkai coba (trial lens dan trial frame)
Lensa coba yang tersedia naik bertahap sebesar minimal 0.5 dioptri dimulai
dari lensa terkecil 0.5 dioptri. Kekuatan lensa silinder bertahap naik sebesar
minimal 0.5 dioptri dimulai dari lensa terkecil 0.5 dioptri dan tersedia
minimum sampai 3 dioptri.

Teknik pemeriksaan :
• Pemeriksaan dilakukan dalam jarak 6 meter
• Dipasang bingkai coba, mata yang tidak diperiksa ditutup dengan occluder
• Penderita diminta untuk membaca sampai baris terkecil yang masih dapat
dibaca olehnya.
• Hasil yang didapat merupakan tajam penglihatan sebelum koreksi.
• Apabila hasil tajam penglihatan yang didapat tidak mencapai penglihatan
normal (6/6), dilakukan koreksi kacamata.
• Dicoba dengan lensa negatif/positif terkecil dan bila tajam penglihatan
menjadi lebih baik ditambah kekuatannya perlahan-lahan hingga dapat
membaca huruf pada baris terbawah.
• Apabila dengan penambahan lensa negatif/positif belum juga dapat
mencapai tajam penglihatan normal, dilakukan pemeriksaan melalui lubang
intip (pinhole). Apabila dengan teknik ini tidak terdapat kemajuan tajam
penglihatan, maka penglihatan tidak bisa diperbaiki lebih lanjut (kelainan
retina / saraf optik).
• Apabila terdapat kemajuan tajam penglihatan maka diperiksa kemungkinan
adanya astigmatisme.
• Dengan lensa negatif/positif yang memberi hasil terbaik pada masa
tersebut ditambahkan lensa positif yang cukup besar (kira-kira S+3 dioptri),
membuat kekaburan penglihatan, kemudian diminta untuk melihat kartu
kipas astigmat.
• Ditanyakan adanya garis pada kipas yang paling jelas terlihat (yang paling
hitam dan tajam gambarannya). Apabila belum terlihat perbedaan tebal
garis kipas astigmat, maka lensa S+3.0 dioptri diperlemah sedikit demi
sedikit, hingga penderita dapat menentukan perbedaan garis yang terjelas
dan terkabur.
• Lensa silinder negatif dipasang dengan sumbu sesuai dengan garis terkabur
pada kipas astigmat.
• Lensa silinder negatif diperkuat sedikit demi sedikit hingga semua garis
terlihat sama tebalnya pada kipas astigmat tersebut.
• Pembacaan kartu Snellen dilanjutkan sampai baris terkecil, dengan
pengurangan lensa positif yang terpasang atau penambahan lensa negatif.
• Diperiksa mata sebelahnya, seperti di atas.

58
Penilaian :
• Tajam penglihatan dinyatakan dalam pecahan dengan pembilang
merupakan jarak pemeriksaan (biasanya 6 meter) dan penyebut adalah
angka yang terkecil yang masih dapat dibaca.
• Contoh:
• Tajam penglihatan 6/12 berarti penderita tersebut hanya dapat membaca
dalam jarak 6 meter huruf/gambar yang seharusnya dapat dibaca oleh
orang normal pada jarak 12 meter.
• Tajam penglihatan normal adalah 6/6
• Hasil koreksi kacamata sesuai dengan ketentuan lensa negatif / positif,
dengan / tanpa lensa silinder negatif pada sumbu terpasang.
• Apabila penderita tidak dapat membaca huruf terbesar pada kartu Snellen,
maka dilakukan hitung jari (counting fingers=CF). Tajam penglihatan pada
tes hitung jari diberi simbol angka 1/60 hingga 5/60. Pembilang merupakan
jarak yang masih dapat dilihat oleh penderita dalam satuan meter.
• Apabila penderita tidak juga dapat menghitung jari, maka dilakukan tes
gerakan tangan (hand movement = HM). Tajam penglihatan pada tes ini
diberikan simbol angka 1/300.
• Apabila penderita hanya dapat membedakan gelap dan terang, tajam
penglihatannya diberikan simbol 1/∼ (light perception = LP). Ditentukan pula
kemampuan menentukan arah sumber cahaya (proyeksi baik atau salah)
• Bila sama sekali tidak dapat menerima langsung rangsang cahaya
dinyatakan tajam penglihatan nol (no light perception = NLP)

b. Pemeriksaan Tajam Penglihatan Dekat


Dasar : sama dengan dasar penglihatan jauh.
Daya akomodasi yaitu kemampuan mata untuk menambah daya bias lensa
dengan kontraksi otot siliar, yang menyebabkan penambahan tebal dan
kecembungan lensa sehingga bayangan benda pada jarak yang berbeda akan
terfokus di retina

Peralatan dan persyaratan :


Besar huruf bervariasi dalam ukuran 0.5 mm hingga 19.5 mm, dan dinyatakan
dalam tingkat Jaeger 1 sampai dengan Jaeger 20. Pencahayaan minimal 100
footcandles pada kartu.

Teknik Pemeriksaan :
• Penderita diperiksa terlebih dahulu penglihatan jauhnya, kemudian diberikan
ukuran kacamata yang sesuai.
• Mata yang tidak diperiksa ditutup.
• Jarak baca 30-40 cm.
• Penderita diminta untuk membaca huruf terkecil yang masih bisa dibaca
pada kartu baca

59
Penilaian
Tajam penglihatan dekat normal adalah Jaeger 1
Kriteria klinik ini dapat dilihat kuantifikasinya secara fungsional sebagai Efisiensi
Penglihatan.

2. Pemeriksaan Lapang Pandang


Lapang pandang adalah bagian dari ruang di mana semua obyek dapat dilihat
secara serentak pada waktu mata berfiksasi ke suatu arah.

Dasar :
• Retina perifer mempunyai kemampuan melihat yang berbeda dengan retina
sentral
• Perimetri merupakan metode klinis untuk mengukur fungsi penglihatan di luar
daerah sentral (fovea).
• Perimetri mampu mendeteksi berbagai kelainan fungsi penglihatan akibat
kelainan saraf optik maupun retina.

Peralatan :
• Pada pelayanan mata tingkat primer dan sekunder, pemeriksaan dapat
dilakukan dengan cara sederhana, yaitu tes konfrontasi di mana tidak
diperlukan alat.
• Perimeter Goldmann tersedia di pelayanan mata tingkat rujukan/tersier

Tes Konfrontasi :
Dasar : membandingkan lapang pandang penderita dengan lapang pandang
pemeriksa. Pemeriksa harus mempunyai fungsi mata yang baik, sehingga lapang
pandangnya dianggap normal

Teknik pemeriksaan :
• Penderita dan pemeriksa berhadapan muka dengan jarak kira-kira 75 cm (dua
kali jarak baca).
• Mata kiri pemeriksa dan mata kanan penderita ditutup.
• Mata yang terbuka saling berpandangan; sebuah obyek (misalnya tangan
pemeriksa) pada jarak yang sama dari pemeriksa-penderita (bidang tengah)
digerakkan dari tidak terlihat ke arah tengah pada 8 meridian.
• Penderita diminta menyebutkan dengan segera, pada saat obyek (benda,
warna) terlihat.
• Dibandingkan luasnya lapang pandang antara pemeriksa dan penderita
• Cara lain adalah dengan menyuruh penderita menghitung jari pemeriksa pada
ke-empat kuadran yaitu superotemporal. Inferotemporal, superonasal dan
inferonasal.
• Pemeriksaan dilakukan pada mata sebelahnya

60
Penilaian
• Lapang pandang dianggap normal apabila sama luasnya dengan pemeriksa.
• Lapang pandang dianggap menyempit apabila lebih kecil dari lapang pandang
pemeriksa.
• Apabila penderita tidak dapat menghitung jumlah jari di salah satu kuadran atau
lebih, dianggap sebagai abnormal

Pada tingkat rujukan (pelayanan mata tingkat tersier) dilakukan pemeriksaan lapang
pandang dengan Perimeter Goldmann

Perimeter Goldmann :
Berupa mangkuk besar berwarna putih (kepala pasien dihadapkan pada alat
tersebut, dengan pemeriksa di balik mangkuk tersebut). Pencahayaan 10 apostilb,
diameter obyek target 64 mm, persegi (V), pencahayaan obyek 1000 apostilb (4) dan
warna obyek target putih.

Teknik pemeriksaan :
• Perlu diterangkan terlebih dahulu perlunya kerjasama pada pemeriksaan dan
perlunya fiksasi terus menerus, serta penderita diminta untuk bereaksi cepat
bila sudah melihat sinar yang datang dari arah pinggir.
• Penderita duduk di depan perimetri dengan dagu pada bantalan dagu, mata
sebelah ditutup.
• Mata yang terbuka diberi koreksi penglihatan jauh dan adisi penglihatan
dekatnya, lalu diminta berfiksasi pada target yang terletak 33 cm di depan
matanya.
• Obyek yang bercahaya digeser dari pinggir (tidak terlihat), ke arah sentral
(daerah terlihat) daerah fiksasi.
• Penderita diminta segera memberitahu bila melihat cahaya, dengan cara
memencet bel yang tersedia, kemudian dicatat pada kartu lapang pandang. Bila
ditemukan defek lapang pandang, pemeriksaan diulang
• Hal ini dilakukan pada 18-20 meridian
• Pemeriksaan ini juga dapat dilakukan untuk mengetahui adanya diplopia
(diplopia chart)

Penilaian :
• Gambaran normal adalah apabila batas lapang pandang di daerah temporal
85o, daerah nasal 60 o, superior 45 o, dan inferior 65 o.
• Hasil pemeriksaan dengan ukuran obyek IV atau V dan pencahayaan obyek 4
pada alat perimetri.
• Hasil perhitungan dapat menyatakan hilangnya persentase lapang pandang
• Bentuk defek lapang pandang umumnya menunjukkan lokasi kelainan pada
jaras penglihatan.
• Contoh: neuropati optik akibat intoksikasi akan memberikan skotoma (defek
lapang pandang) sekosentral atau sentral

61
3. Pemeriksaan binokularitas
Penglihatan binokular terdiri atas beberapa gradasi yaitu :
a. Penglihatan serentak (simultaneous perception), yaitu keadaan di mana kedua
mata dapat melihat sekaligus.
b. Fusi, yaitu keadaan di mana kedua mata dapat bekerja sama
c. Stereopsis, yaitu kemampuan untuk membedakan ruang.

Pemeriksaan terhadap binokularitas dapat dilakukan dengan:


Tes Worth Four-Dot
Pemeriksaan ini bertujuan untuk mengetahui adanya supresi, deviasi, ambliopia dan
fusi. Pemeriksaan ini dapat dilakukan di pelayanan mata baik tingkat primer,
sekunder maupun tersier.

Dasar :
Melalui suatu filter berwarna hanya dapat dilihat benda dengan warna filternya.
Warna putih akan berubah oleh filter sesuai dengan warna filternya

Peralatan :
• Kacamata filter merah (pada mata kanan)
• Kotak hitam dengan 4 lubang (diameter 2-3 cm), susunan ketupat; 2 lubang
lateral atau horizontal berwarna hijau, lubang di atas berwarna merah dan
lubang bawah berwarna putih. Kotak berjarak 6 meter dari tempat pemeriksaan.
• Kotak hitam di atas dapat digantikan oleh slide Worth Four-Dot Test, yang
umumnya termasuk dalam proyektor Snellen yang dapat tersedia di pelayanan
mata tingkat primer, sekunder maupun tersier.

Teknik pemeriksaan :
• Penderita memakai kacamata koreksi diberikan sesuai kacamata dan diberi
kaca filter merah pada mata kanan dan filter hijau pada mata kiri.
• Penderita diperiksa pada jarak 6 meter dan 30 cm
• Kepala penderita harus dalam posisi tegak dan melihat lurus ke depan.
• Penderita diminta menerangkan apa yang dilihat dengan kedua mata, sewaktu
melihat ”Worth Four Dot”

Penilaian :
Bila terlihat :
• 4 sinar berarti ada fusi (melihat dengan 2 mata)
• 2 merah atau 3 hijau saja, berarti penderita hanya melihat dengan salah
satu matanya dan mata lain dalam keadaan tersupresi.
• Sumber cahaya putih kadang-kadang berwarna merah dan berganti menjadi
hijau, berarti pada setiap saat penderita hanya melihat dengan satu mata,
berganti-ganti.
• Bila terlihat 5 titik berarti terdapat diplopia.

62
Catatan :
• Penilaian ini hanya bermakna apabila tajam penglihatan mata terburuk minimal
6/18
• Penilaian ini harus ditunjang dengan pemeriksaan obyektif untuk menilai
adanya juling.
• Bila terdapat diplopia dianggap kehilangan satu mata dengan tajam
penglihatan terburuk.
• Dinilai adanya diplopia pada penglihatan jauh dan penglihatan dekat.
• Pemeriksaan ini hanya untuk posisi primer, keluhan pada posisi lain harus
diperiksa di tingkat rujukan.

4. Penglihatan Warna
Orang normal memiliki kemampuan untuk membedakan warna sinar yang masuk
berdasarkan fotoreseptor dan reaksi fotokimia retina yang berbeda. Warna dasar
yang terlihat adalah hitam-putih, hijau-merah dan kuning-biru.

Tes Ishihara :
Dasar : dipakai untuk mengenal adanya cacat warna merah-hijau

Peralatan : Kartu Ishihara

Teknik pemeriksaan :
• Pemeriksaan dilakukan dalam ruangan dengan pencahayaan yang cukup
• Penderita diminta melihat kartu dan menentukan gambar yang terlihat dalam
waktu tidak lebih dari 10 detik

Penilaian :
• Ditentukan ada atau tidaknya buta warna hijau merah. Orang normal dapat
mengenali warna gambar dalam waktu 3-10 detik, bila terdapat kelambatan atau
kesalahan dalam pengenalan gambar berarti terdapat kelainan penglihatan
warna.
• Dari aspek kompensasi cacat penglihatan penilaian ini hanya bermakna apabila
keadaan sebelumnya diketahui, tajam penglihatan 6/6 (dengan koreksi), dan
lapang pandang normal.

III. URAIAN CACAT DAN PENILAIAN TINGKAT CACAT

Perhitungan kecacatan dilakukan adalah setelah semua usaha medis yang optimal telah
dilakukan, berdasarkan tajam penglihatan dengan koreksi terbaik (baik dengan kacamata,
lensa kontak maupun lensa intraokular). Perhitungan kecacatan dilakukan dalam waktu 3
bulan setelah usaha medis optimal selesai dilakukan.

Penghitungan tingkat cacat dilakukan dengan menilai komponen – komponen fungsi


penglihatan. Komponen ini dinilai masing-masing mata dan kemudian diberikan nilai dalam
fungsi binokular.

63
A. Tajam penglihatan

Pada pemeriksaan tajam penglihatan jauh dan dekat, dilakukan koreksi kacamata yang
terbaik.
Dilakukan konversi ke dalam nilai kehilangan penglihatan.

1. Persentase kehilangan penglihatan jauh (dengan koreksi terbaik)

Efisiensi
Tajam Penglihatan Tajam Penglihatan % Kehilangan

6/6 100 0
6/7,5 95 5
6/12 85 15
6/15 75 25
6/24 60 40
6/30 50 50
6/48 30 70
6/60 20 80
3/60 10 90
1/60 5 95

2. Persentase kehilangan tajam penglihatan dekat (dengan koreksi terbaik)

Efisiensi
Tajam Penglihatan Tajam Penglihatan % Kehilangan

Jaeger 1 100 0
Jaeger 2 100 0
Jaeger 3 90 10
Jaeger 6 50 50
Jaeger 7 40 60
Jaeger 11 15 85
Jaeger 14 5 95

3. Persentase kehilangan tajam penglihatan


Jumlah aljabar penglihatan jauh dan dekat dibagi 2. Nilai kehilangan penglihatan
jauh dan penglihatan dekat adalah sama.
Contoh :
penglihatan jauh 6/24 J efisiensi penglihatan 40%;
penglihatan dekat Jaeger 6 J efisiensi penglihatan 50%

64
berarti orang ini mempunyai kehilangan tajam penglihatan sebesar :

( % kehilangan X.P.jauh ) + ( % kehilangan X.P. dekat)

= 40 % + 50 % = 45 %

4. Perhitungan Efisiensi Tajam Penglihatan


Rumus :

Efisiensi penglihatan = 100 % - % kehilangan penglihatan

Efisiensi tajam penglihatan pada contoh di atas adalah 100 - 45 = 55%

B. Lapang Pandang
1. Lapang pandang dilakukan pemeriksaan lapang pandang dengan perimeter Goldman
2. Dihitung luasnya lapang pandang yang hilang
3. Dihitung luas pandang yang masih ada

C. Binokularitas
1. Dilakukan pemeriksaan ”Worth Four Dot” atau dengan perimeter Goldmann
2. Bila terdapat diplopia pada posisi utama dan konvergensi (penglihatan dekat) dianggap
telah kehilangan satu mata terburuk
3. Pada pemeriksaan dengan perimeter Goldman, diplopia pada daerah 20 derajat berarti
kehilangan penglihatan 100%.

D. Penglihatan warna
1. Hanya berlaku apabila keadaan penglihatan warna sebelumnya diketahui
2. Dilakukan pemeriksaan Ishihara
3. Dinilai ada tidaknya kehilangan penglihatan warna merah-hijau
4. Pada kehilangan penglihatan warna, dianggap kehilangan efisiensi penglihatan sebesar
10%

Efisiensi penglihatan satu mata


Menggunakan rumus efisiensi tajam penglihatan.

Efisiensi penglihatan dua mata

( Efisiensi penglihatan terbaik X 3 ) + ( Efisiensi penglihatan terburuk X 1 )

65
• Hasil yang didapat dikalikan dengan persentase kompensasi kecacatan dua mata
(Lampiran II, PP No.14 tahun 1993 dan Peraturan Pemerintah No. 64 Tahun 2005
tentang Perubahan Keempat atas Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 1993
tentang Penyelenggaraan Jaminan Sosial Tenaga Kerja)

Bila Kehilangan efisiensi penglihatan hanya terjadi pada satu mata, maka penilaian
tingkat cacat didasarkan pada rumus efisiensi penglihatan satu mata.

BIDANG PENYAKIT AKIBAT RADIASI MENGION

I. BATASAN

Penyakit akibat kerja karena radiasi mengion ialah ganguan kesehatan yang disebabkan
pemaparan radiasi mengion ditempat kerja.
Kelainan yang terjadi dapat berupa :

A. Gangguan Stokastik
Perubahan biologis karena radiasi mengion yang menimbulkan perubahan sifat sel
kearah teratogenik dan karsiogenik, terjadi karena pemaparan dalam waktu yang
lama yang tidak tergantung pada Nilai yang Boleh Diterima, antara lain :
• Kanker:
- tulang
- paru
- thiroid
- payudara
• Leukemia.

B. Gangguan non Stokastik


Efek biologis yang bersifat akut dan kronik akibat radiasi mengion yang
menimbulkan kerusakan sel / jaringan akibat pemaparan diatas Nilai Batas Dosis
(NBD), antara lain :
- luka bakar
- radiodermatitis
- sindroma radiasi akut
- katarak
- infertilitas / sterilitas

II. DIAGNOSIS

A. Anamnesis
1. Umur penderita
2. Riwayat penyakit Keluarga
3. Riwayat Penyakit :
a. Timbul gejala mendadak
b. Penyakit-penyakit yang pernah diderita sebelumnya.
4. Riwayat Pekerjaan :
a. Apakah pernah atau sedang bekerja di lingkungan radiasi mengion. Kalau ya,
sudah berapa lama ?
b. Apakah menggunakan alat pelindung diri? Terus menerus atau terputus-
putus. Kalau ya, jenis apa? Apakah selalu digunakan dengan baik?.
c. Selama bekerja, apakah dilakukan pemeriksaan kesehatan badan berkala?
Apakah selalu menggunakan alat pantau diri (misal: film badge).
d. Apakah pernah dinyatakan melebihi dosis nilai batas hasil pemantauan? Bila
ya, kapan?.

66
B. Pemeriksaan Fisik.
1. Diagnosis fisik secara umum
2. Pemeriksaan lokal sesuai dengan kelainan / penyakit.

C. Pemeriksaan Laboratorium.
1. Rutin :
- Hb
- Iekosit
- S.D.M.
- Hitung jenis

2. Khusus :
- morfologi lekosit
- hitung thrombosit
- hitung retikulosit

D. Pemeriksaan penunjang.
1. Patologi anatomi
2. Radiologi

III. PENILAIAN TINGKAT CACAT

Penentuan tingkat cacat penyakit akibat radiasi mengion didasarkan pada penilaian
tingkat cacat pada masing-masing sistem organ yang terkena.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 18 Desember 2008

MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA,

ttd

Dr. Ir. ERMAN SUPARNO, MBA., M.Si

Salinan sesuai dengan aslinya


Kepala Biro Hukum,

Sunarno, SH, MH
NIP. 730001630

MENTERI PARAF TANGGAL

Pembuat draft

Penanggung jawab materi

Pengendali aspek hukum

Penanggung jawab administrasi

67
68
MENTERI TENAGA KERJA
REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA


NOMOR : PER-01/MEN/1998.

TENTANG

PENYELENGGARAAN PEMELIHARAAN KESEHATAN


BAGI TENAGA KERJA DENGAN MANFAAT LEBIH BAIK
DARI PAKET JAMINAN PEMELIHARAAN KESEHATAN DASAR
JAMINAN SOSIAL TENAGA KERJA.

MENTERI TENAGA KERJA,

Menimbang : a. Bahwa dalam rangka pelaksanaan Pasal 2 ayat (4)


Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 1993 tentang
Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga
Kerja, pengusaha yang menyelenggaraan sendiri
program pemeliharaan kesehatan bagi tenaga
kerjanya dengan manfaat lebih baik dari Paket
Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Dasar, tidak wajib
ikut dalam pemeliharaan kesehatan yang
diselenggarakan oleh Badan Penyelenggara.
b. Bahwa untuk memberikan kepastian hukum dan
kesatuan pendapat dalam pelaksanaan di lapangan
mengenai penyelenggaraan pemeliharaan kesehatan
dengan manfaat yang lebih baik maka perlu
pengaturan lebih lanjut.
c. Bahwa untuk itu perlu ditetapkan dengan Peraturan
Menteri.

Mengingat : 1. Undang-Undang No.3 Tahun 1992 tentang Jaminan


Sosial Tenaga Kerja (Lembaran Negara R.I. Tahun
1992 No.14. Tambahan Lembaran Negara No.3468).
2 Undang-Undang No.23 Tahun 1992 tentang
Kesehatan (Lembaran Negara Tahun 1992 No.1100.
Tambahan Lembaran Negara No.3495).
3. Peraturan Pemerintah No.14 Tahun 1993 tentang
Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga
Kerja (Lembaran Negara R.I. Tahun 1993 No.20.
Tambahan Lembaran Negara R.I. No.3520).
4. Peraturan Pemerintah No.36 Tahun 1995 tentang
Penetapan Badan Penyelenggara Program Jaminan
Sosial Tenaga Kerja (Lembaran Negara R.I. Tahun
1995 No.59).
5. Keputusan Presiden R.I. No.96/M tahun 1993 tentang
Pembentukan Kabinet Pembanguan VI.
6. Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. PER-
03/MEN/1982 tentang Pelayanan Kesehatan Kerja.
7. Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. PER-
05/MEN/1993 tentang Petunjuk Teknis Pedaftaran
Kepesertaan, Pembayaran Iuran, Pembayaran
Santunan dan Pelayanan Jaminan Sosial Tenaga
Kerja.
8. Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. PER-
02/MEN/1997 tentang Peningkatan Biaya Bersalin,
Kacamata dan Prothesa Gigi Bagi Tenaga Kerja
Peserta Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja.

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA TENTANG


PENYELENGGARAAN PEMELIHARAAN KESEHATAN
BAGI TENAGA KERJA DENGAN MANFAAT LEBIH
BAIK DARI PAKET JAMINAN PEMELIHARAAN
KESEHATAN DASAR JAMINAN SOSIAL TENAGA
KERJA.

BAB I
PENYELENGGARA

Pasal 1

Perusahaan yang menyelenggarakan sendiri pemeliharaan


kesehatan dapat dengan cara :
a. Menyediakan sendiri atau bekerjasama dengan
fasilitas Pelaksana Pelayanan Kesehatan (PPK).
b. Bekerjasama dengan badan yang menyelenggarakan
pemeliharaan kesehatan; dan
c. Bersama beberapa perusahaan menyelenggarakan
suatu pelayanan kesehatan.

Pasal 2

Perusahaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1


dinyatakan dengan manfaat lebih baik dari Paket Jaminan
Pemeliharaan Kesehatan Dasar Jaminan Sosial Tenaga
Kerja apabila memenuhi ketentuan sebagai berikut :
a. Liputan pelayanan kesehatan yang diberikan
sekurang-kurangnya harus memenuhi ketentuan
sebagaimana tercantum dalam BAB II dan BAB III
peraturan ini.
b. Pelaksana pelayanan kesehatan yang ditunjuk harus
memiliki izin sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
c. Pelaksana pelayanan kesehatan harus mudah
dijangkau oleh tenaga kerja dan keluarganya.
BAB II
KEPESERTAAN

Pasal 3

(1) Kepesertaan meliputi seluruh tenaga kerja baik laki-laki


maupun wanita dan keluarga yang terdiri dari suami atau
istri dan anak yang sah.
(2) Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah anak
kandung, anak angkat dan anak tiri yang berusia sampai
dengan 21 tahun, belum bekerja, belum menikah dengan
pembatasan jumlah sebanyak-banyaknya 3 (tiga) orang
anak.

BAB III
PAKET PELAYANAN KESEHATAN

Pasal 4

Paket jaminan pemeliharaan kesehatan dengan manfaat


lebih baik daripada jaminan pemeliharaan kesehatan dasar
Jamsostek yang diberikan kepada tenaga kerja dan
keluarganya sekurang-kurangnya meliputi :
a. Rawat jalan tingkat pertama;
b. Rawat jalan tingkat lanjutan;
c. Rawat inap;
d. Pemeriksaan kehamilan dan persalinan;
e. Penunjang diagnostik;
f. Pelayanan khusus; dan
g. Gawat darurat.

Pasal 5

(1) Pelayanan rawat jalan tingkat pertama sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 4 huruf a, sekurang-kurangnya
meliputi :
a. Bimbingan dan konsultasi kesehatan;
b. Pemeriksaan kehamilan, nifas dan ibu menyusui;
c. Keluarga berencana;
d. Imunisasi bayi, anak dan ibu hamil;
e. Pemeriksaan dan pengobatan dokter umum;
f. Pemeriksaan dan pengobatan dokter gigi;
g. Pemeriksaan laboratorium sederhana;
h. Tindakan medis sederhana;
i. Pemberian obat-obatan dengan berpedoman kepada
daftar obat esensial nasional plus (DOEN PLUS) atau
generik; dan
j. Rujukan ke rawat tingkat lanjutan.

(2) Pelayanan rawat jalan tingkat pertama dilakukan di


Pelaksana Pelayanan Kesehatan tingkat pertama.
Pasal 6

(1) Pelayanan rawat jalan tingkat jalanan sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 4 huruf b sekurang-kurangnya
meliputi :
a. Pemeriksaan dan pengobatan oleh dokter spesialis;
b. Pemeriksaan penunjang diagnostik lanjutan;
c. Pemberian obat-obatan DOEN PLUS atau generik;
dan
d. Tindakan khusus lainnya.

(2) Pelayanan rawat jalan tingkat lanjutan dilakukan di


Pelaksana Pelayanan Kesehatan tingkat lanjutan, atas
dasar rujukan dari Pelaksana Pelayanan Kesehatan tingkat
pertama.

Pasal 7

(1) Pelayanan rawat inap sebagaimana dimaksud dalam Pasal


4 huruf c sekurang-kurangnya meliputi :
a. Pemeriksaan dokter;
b. Tindakan medis;
c. Penunjang diagnostik;
d. Pemberian obat-obatan DOEN PLUS atau generik;
dan
e. Menginap dan makan.

(2) Pelayanan rawat inap dilakukan di rumah sakit yang


ditunjuk.

Pasal 8

(1) Pemeriksaan kehamilan dan pertolongan persalinan


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf d, sekurang-
kurangnya meliputi :
a. Pemeriksaan kehamilan oleh dokter umum atau
bidan;
b. Pertolongan persalinan oleh dokter umum atau bidan
atau rumah bersalin;
c. Perawatan ibu dan bayi;
d. Pemberian obat-obatan DOEN PLUS atau generik;
e. Menginap dan makan; dan
f. Rujukan ke rumah sakit atau rumah bersalin.

(2) Pertolongan persalinan bagi tenaga kerja atau istri tenaga


kerja diberikan untuk :
a. Persalinan kesatu, kedua dan ketiga;
b. Rawat inap sekurang-kurangnya 3 (tiga) hari.
(3) Biaya persalinan normal tiap anak sekurang-kurangnya
sama dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku bagi peserta program jaminan sosial tenaga
kerja.

Pasal 9

(1) Pelayanan penunjang diagnostik sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 4 huruf e, meliputi :
a. Pemeriksaan laboratorium.
b. Pemeriksaan radiologi.
c. Pemeriksaan :
- Electro Encephalography (EEG).
- Electro Cardiolography (ECG).
- Ultra Sonography (USG).
- Computerized Tomography Scanning (CT
Scanning) dan
d. Pemeriksaan diagnostik lanjutan lainnya.

(2) Pelaksanaan Pelayanan Kesehatan sebagaimana dimaksud


pada ayat (1) disesuaikan dengan tersedianya fasilitas
pelayanan kesehatan daerah.
(3) Pemeriksaan diagnostik dilakukan di Rumah Sakit atau
Pelaksana Pelayanan Kesehatan.

Pasal 10

(1) Pelayanan khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4


huruf f, sekurang-kurangnya meliputi :
a. Kacamata;
b. Prothesa mata;
c. Prothesa gigi;
d. Alat bantu dengar; dan
e. Prothesa anggota anggota gerak.
(2) Pelayanan khusus dilakukan di Pelaksana Pelayanan
Kesehatan yang ditunjuk.
(3) Standar yang ditetapkan atas indikasi medis dengan
pengaturan sebagai berikut :
a. Peserta yang mendapat resep kacamata dari dokter
spesialis mata dapat memperoleh kacamata di Optik
dengan ketentuan :
- Harga pembelian untuk frame dan lensa harus lebih
besar dari ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku bagi peserta Program Jaminan
Pemeliharaan Kesehatan Jamsostek.
- Penggantian lensa sekurang-kurangnya 2 (dua)
tahun sekali dan 50 % dari harga pembelian untuk
frame dan lensa; dan
- Penggantian frame sekurang-kurangnya 3 (tiga)
tahun sekali dan 50 % dari harga pembelian untuk
frame dan lensa.
b. Peserta yang memerlukan prothesa mata dapat
diberikan atas anjuran dokter spesialis mata dan
diambil di Rumah Sakit atau perusahaan alat-alat
kesehatan, dengan penggantian harus lebih besar dari
ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku bagi peserta Program Jaminan Pemeliharaan
Kesehatan Jamsostek.
c. Peserta yang memerlukan prothesa gigi dapat
diberikan di Balai Pengobatan Gigi dengan
penggantian harus lebih besar dari ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi
peserta Program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan
Jamsostek.
d. Peserta yang memerlukan prothesa kaki dan prothesa
tangan dapat diberikan atas anjuran dokter spesialis
di Rumah Sakit, dengan penggantian harus lebih
besar dari ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku bagi peserta Program Jaminan
Pemeliharaan Kesehatan Jamsostek.
e. Peserta yang memerlukan alat bantu dengar dapat
diberikan atas anjuran dokter spesialis di Rumah
Sakit dengan penggantian harus lebih besar dari
ketentuan peraturan perundang- undangan yang
berlaku bagi peserta Program Jaminan Pemeliharaan
Kesehatan Jamsostek.

Pasal 11

(1) Pelayanan gawat darurat sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 4 huruf g, meliputi :
a. Pemeriksaan pengobatan;
b. Tindakan medik;
c. Pemberian obat-obatan DOEN PLUS atau generik;
dan
d. Rawat inap.

(2) Gawat darurat yang memerlukan pelayanan sebagaimana


dimaksud pada ayat (1) meliputi :
a. Kecelakaan dan ruda paksa bukan karena kecelakaan
kerja;
b. Serangan jantung;
c. Serangan asma berat;
d. Kejang;
e. Pendarahan berat;
f. Muntah berak disertai dehidrasi;
g. Kehilangan kesadaran (koma) termasuk epilepsi atau
ayan;
h. Keadaan gelisah pada penderita gangguan jiwa; dan
i. Persalinan dengan melahirkan mendadak,
pendarahan, ketuban pecah dini.
(3) Pelayanan gawat darurat dilakukan di Pelaksana
Pelayanan Kesehatan yang ditunjuk.

Pasal 12

(1) Batas maksimal hari rawat inap harus lebih besar dari 60
(enam puluh) hari termasuk perawatan ICU/ICCU untuk
setiap jenis penyakit dalam satu tahun.
(2) Batas maksimal hari perawatan ICU/ICCU sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus lebih besar dari 20 (dua
puluh) hari.
(3) Standar rawat inap ditetapkan sebagai berikut :
a. Sekurang-kurangnya kelas dua pada rumah sakit
pemerintah atau
b. Sekurang-kurangnya kelas tiga pada rumah sakit
swasta.

Pasal 13

Ketentuan mengenai dasar perhitungan Iuran Jaminan


Pemeliharaan Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9 ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun
1993 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial
Tenaga Kerja tidak berlaku dalam perhitungan Jaminan
Pemeliharaan Kesehatan dengan manfaat lebih baik.

BAB IV
KETENTUAN LAIN-LAIN

Pasal 14

(1) Pengaturan Penyelenggaraan Program Jaminan


Pemeliharaan Kesehatan bagi tenaga kerja dan
keluarganya harus tercantum secara rinci dalam Peraturan
Perusahaan dan Kesepakatan Kerja Bersama atau pada
tempat yang mudah dilihat dan dibaca oleh pekerja.
(2) Pengaturan penyelenggaraan pemeliharaan kesehatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus lengkap
meliputi : penyelenggaraan kepesertaan dan paket
pelayanan.

Pasal 15

(1) Dalam hal perusahaan telah menyelenggarakan program


jaminan pemeliharaan kesehatan bagi tenaga kerja dan
keluarganya dengan manfaat lebih baik, pengusaha harus
mengajukan permohonan persetujuan kepada Kepala
Kantor Wilayah Departemen Tenaga Kerja setempat
dengan dilampiri data Penyelenggara, Kepesertaan, dan
paket pelayanan.
(2) Kepala Kantor Wilayah Departemen Tenaga Kerja
setempat memberikan rekomendasi persetujuan atau
menolak permohonan pengusaha berdasarkan hasil
pemeriksaan Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan.
(3) Apabila dalam waktu 30 (tiga puluh) hari Kepala Kantor
Wilayah Departemen Tenaga Kerja setempat belum
memberikan jawaban atas permohonan pengusaha
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), permohonan
pengusaha tersebut dianggap disetujui.

Pasal 16

(1) Perusahaan yang telah mendapat persetujuan untuk


menyelenggarakan sendiri program jaminan pemeliharaan
kesehatan bagi tenaga kerja dan keluarganya, wajib
membuat laporan secara triwulan kepada Kepala Kantor
Wilayah Departemen Tenaga Kerja setempat.
(2) Laporan secara triwulan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dibuat dengan mengisi formulir yang akan diatur lebih
lanjut oleh Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan
Industrial Dan Pengawasan Ketenagakerjaan.

Pasal 17

(1) Penyelenggara Pemeliharaan Kesehatan yang telah


disetujui oleh Kepala Kantor Wilayah Departemen Tenaga
Kerja tidak boleh meniadakan Pelayanan Kesehatan Kerja
yang telah ada di perusahaan dan harus memanfaatkannya
untuk meningkatkan penyelenggaraan pemeliharaan
kesehatan.
(2) Tata cara dan mekanisme pemanfaatan Pelayanan
Kesehatan Kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur lebih lanjut oleh Menteri.

BAB V
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 18

Perusahaan yang memenuhi ketentuan Peraturan Menteri


ini dinyatakan telah menyelenggarakan program
pemeliharaan kesehatan dengan manfaat lebih baik dari
Paket Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Dasar Jaminan
Sosial Tenaga Kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1993
tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga
Kerja.
Pasal 19

Dengan ditetapkannya Peraturan Menteri ini, maka


Pasal 4, Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor
PER-05/MEN/1993 tentang Petunjuk Teknis Pendaftaran
Kepesertaan, Pembayaran Iuran, Pembayaran Santunan
dan Pelayanan Jaminan Sosial Tenaga Kerja dinyatakan
tidak berlaku lagi.

Pasal 20

Peraturan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 17 Februari 1998

MENTERI TENAGA KERJA R.I.

ttd

DRS. ABDUL LATIEF


PERATURAN PEMERINTAH
NOMOR: 01 TAHUN 2009

TENTANG

PERUBAHAN KEENAM ATAS PERATURAN PEMERINTAH


NOMOR 14 TAHUN 1993 TENTANG PENYELENGGARAAN PROGRAM
JAMINAN SOSIAL TENAGA KERJA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Menimbang : a. Bahwa program Jaminan Hari Tua yang diatur berdasarkan


Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan
Sosial Tenaga Kerja pada prinsipnya merupakan program
pemupukan dana untuk jangka panjang, yang tujuannya
memberikan kepastian adanya dana pada saat tenaga kerja
yang bersangkutan tidak produktif lagi;
b. Bahwa Pasal 32 Peraturan Pemerintah Nomor 14
Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan
Sosial Tenaga Kerja memberi peluang bagi tenaga kerja
yang mengalami pemutusan hubungan kerja, untuk
mencairkan Jaminan Hari Tua sebelum waktunya, dengan
masa tunggu 6 (enam) bulan;
c. Bahwa masa tunggu 6 (enam) bulan yang diatur dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1993 sudah tidak
sesuai lagi dengan kondisi saat ini sehingga perlu diubah;
d. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
pada huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan
Peraturan Pemerintah tentang Perubahan Keenam Atas
Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1993 tentang
Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja;

Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik


Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan
Sosial Tenaga Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1992 Nomor 14, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3468);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1993 tentang
Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1993 Nomor
20, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3520) sebagaimana telah lima kali diubah, terakhir dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 76 Tahun 2007 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 160,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4789);
MEMUTUSKAN :

Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PERUBAHAN


KEENAM ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 14
TAHUN 1993 TENTANG PENYELENGGARAAN
PROGRAM JAMINAN SOSIAL TENAGA KERJA.

Pasal 1

Beberapa ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun


1993 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1993 Nomor 20,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3520)
sebagaimana telah 5 (lima) kali diubah dengan Peraturan Pemerintah :
a. Nomor 79 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1998 Nomor 184, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3792);
b. Nomor 80 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2000 Nomor 164, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4003);
c. Nomor 28 Tahun 2002 (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2002 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4023);
d. Nomor 64 Tahun 2005 (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2005 Nomor 147, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4582);
e. Nomor 76 Tahun 2007 (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2007 Nomor 160, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4789);

Diubah sebagai berikut :


Ketentuan Pasal 32 ayat (2) diubah dan ditambah 1 (satu) ayat, yakni
ayat (4), sehingga keseluruhan Pasal 32 menjadi berbunyi sebagai
berikut :

Pasal 32

(1) Dalam hal tenaga kerja berhenti bekerja sebelum mencapai


usia 55 (lima puluh lima) tahun dan mempunyai masa
kepesertaan serendah-rendahnya 5 (lima) tahun dapat
menerima Jaminan Hari Tua secara sekaligus.
(2) Jaminan Hari Tua sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dibayarkan setelah melewati masa tunggu 1 (satu) bulan
terhitung sejak saat tenaga kerja yang bersangkutan berhenti
bekerja.
(3) Dalam hal tenaga kerja dalam masa tunggu sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) bekerja kembali, jumlah Jaminan
Hari Tua yang menjadi haknya diperhitungkan dengan
Jaminan Hari Tua berikutnya.
(4) Ketentuan mengenai tata cara pembayaran Jaminan Hari Tua
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Menteri.

Pasal II

Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan


Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta.
Pada tanggal 12 Januari 2009.

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

ttd

DR.H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO.


Diundangkan di Jakarta.
Pada tanggal 12 Januari 2009.

MENTERI HUKUM DAN


HAK MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA

ttd

ANDI MATTALATTA.

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 6.

Salinan Sesuai dengan aslinya


SEKRETARIAT NEGARA R.I.
Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan
Bidang Politik dan Kesejahteraan Rakyat,

ttd

Wisnu Setiawan.
PENJELASAN

ATAS

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

NOMOR. 01 TAHUN 2009.

TENTANG

PERUBAHAN KEENAM ATAS PERATURAN PEMERINTAH


NOMOR 14 TAHUN 1993 TENTANG PENYELENGGARAAN
PROGRAM JAMINAN SOSIAL TENAGA KERJA

I. UMUM.

Jaminan Hari Tua merupakan program jangka panjang yang dimaksudkan untuk
memberikan kepastian tersedianya sejumlah dana bagi tenaga kerja pada saat yang
bersangkutan tidak produktif lagi. Namun dalam beberapa kondisi tertentu, dana jaminan
hari tua yang sebagian dihimpun dari tenaga kerja sangat diperlukan juga untuk
menopang kehidupannya walaupun yang bersangkutan masih dalam usia produktif.

Pasal 32 Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Program


Jaminan Sosial Tenaga Kerja sebagai peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor
3 Tahun 1992 tentang Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja memberi peluang bagi
tenaga kerja peserta program jaminan sosial tenaga kerja untuk mencairkan Jaminan Hari
Tua dengan masa tunggu 6 (enam) bulan. Ketentuan masa tunggu tersebut dirasakan
tidak sesuai lagi mengingat kebutuhan tenaga kerja yang mengalami pemutusan
hubungan kerja, sehingga masa tunggu perlu diubah menjadi 1 (satu) bulan.

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal I. Pasal 32.


Cukup jelas.

Pasal II Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4961.

Anda mungkin juga menyukai