Anda di halaman 1dari 95

INDIKATOR KESEJAHTERAAN RAKYAT

PROVINSI PAPUA BARAT


2009
WELFARE INDICATORS OF
PAPUA BARAT PROVINCE
2009

ISSN :
No. Publikasi/Publication Number : 91522.1003
Katalog BPS/BPS Catalogue : 4102004.9100
Ukuran Buku/Book Size : 16,5 cm x 21 cm

Jumlah Halaman/Total Pages : xiv + 80 halaman /94 halaman

Naskah/Manuscript :
Bidang Statistik Sosial BPS Provinsi Papua Barat

Gambar Kulit/Cover Design :


Bidang Integrasi Pengolahan dan Diseminasi Statistik
BPS Provinsi Papua Barat

Diterbitkan Oleh/Published by :
K ATA   S A M B U TA N  
K E PA L A   B A P P E D A    
P R O V I N S I   PA P U A   B A R AT  

Dengan memanjatkan puji dan syukur kepada Tuhan Yang


Maha Esa, kami menyambut gembira penerbitan publikasi
Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Papua Barat 2009.
Publikasi ini dapat diterbitkan atas kerja sama Badan
Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Provinsi
Papua Barat dan Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Papua
Barat.
Data dan informasi yang disajikan dalam publikasi ini dapat
dijadikan sebagai input bagi perencanaan pembangunan
sekaligus mengukur dampak dari implementasi pembangunan
sosial dan ekonomi yang telah dilaksanakan di Provinsi Papua
Barat. Dengan demikian, publikasi ini dapat dimanfaatkan
oleh stake holder untuk merancang program pembangunan
dengan sasaran yang lebih terukur.
Kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam
penerbitan publikasi ini saya ucapkan terima kasih.

Manokwari, Agustus 2010


BAPPEDA Provinsi Papua Barat
Kepala,

Drs. Ishak L. Hallatu

Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Papua Barat, 2009 i


Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Papua Barat, 2009 ii
K ATA   P E N G A N TA R  
K E PA L A   B P S    
P R O V I N S I   PA P U A   B A R AT  

Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Papua Barat 2009


merupakan publikasi tahunan yang diterbitkan BPS Provinsi
Papua Barat. Publikasi ini merupakan terbitan ketiga yang
menyajikan tingkat perkembangan kesejahteraan rakyat
Provinsi Papua Barat. Perubahan taraf kesejahteraan dikaji
menurut berbagai bidang yaitu kependudukan, kesehatan,
pendidikan, ketenagakerjaan, pola dan taraf konsumsi,
perumahan, serta indikator sosial lainnya.
Data yang digunakan bersumber dari BPS. Kecuali indikator
ketenagakerjaan yang bersumber dari data hasil Survei
Angkatan Kerja Nasional (Sakernas), semua indikator
bersumber dari hasil pengolahan Survei Sosial Ekonomi
Nasional (Susenas) yang telah dilaksanakan di Provinsi
Papua Barat sejak tahun 2006.
Kepada semua pihak yang secara aktif memberikan
sumbangsih hingga terbitnya publikasi ini, kami sampaikan
penghargaan dan ucapkan terimakasih yang sebesar-
besarnya. Akhirnya, kami mengharapkan kritik dan saran
demi perbaikan publikasi serupa di masa mendatang.

Manokwari, Agustus 2010


Kepala BPS Provinsi Papua Barat

Ir. Tanda Sirait,MM

Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Papua Barat, 2009 iii


DA F TA R   I S I  

KATA SAMBUTAN ______________________________ i


KATA PENGANTAR _____________________________ iii
DAFTAR ISI ____________________________________ v
DAFTAR TABEL ________________________________ vii
DAFTAR GAMBAR ______________________________ ix
TINJAUAN UMUM _______________________________ xi

I. KEPENDUDUKAN ___________________________ 1
Jumlah dan Laju Pertumbuhan Penduduk ____________ 1
Persebaran dan Kepadatan Penduduk _______________ 3
Angka Beban Ketergantungan ____________________ 5
Fertilitas _____________________________________ 6

II. KESEHATAN________________________________ 9
Angka Harapan Hidup___________________________ 9
Imunisasi dan ASI ______________________________ 12
Morbiditas ____________________________________ 15

III. PENDIDIKAN _______________________________ 17


Angka Melek Huruf Dan Rata – Rata Lama Sekolah ___ 17
Angka Partisipasi Sekolah (APS) __________________ 22
Angka Partisipasi Murni (APM) ___________________ 25
Angka Putus Sekolah ___________________________ 27

Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Papua Barat, 2009 v


IV. KETENAGAKERJAAN _______________________ 29
Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja dan
Pengangguran Terbuka _________________________ 29
TPT Menurut Tingkat Pendidikan Tertinggi
Yang Ditamatkan ______________________________ 31
Penduduk Bekerja Menurut Lapangan Usaha ________ 33
Penduduk Bekerja Menurut Status Pekerjaan ________ 36
Penduduk Bekerja Menurut Jam Kerja _____________ 37

V. TARAF DAN POLA KONSUMSI _______________ 39


Perembangan Kemiskinan di Papua Barat, 2009 - 2010 39
Garis Kemiskinan Maret 2009 - Maret 2010 ________ 42
Indeks Kedalaman Kemiskinan dan Indeks Keparahan
Kemiskinan, 2009 - 2010 ________________________ 43
Perkembangan Tingkat Kesejahteraan ______________ 44
Perkembangan Distribusi Pendapatan ______________ 46
Konsumsi Rumah Tangga _______________________ 47

VI. PERUMAHAN DAN LINGKUNGAN ____________ 49


Kualitas Perumahan ____________________________ 50
Sanitasi ______________________________________ 51
Penerangan ___________________________________ 53

VII. SOSIAL LAINNYA ___________________________ 55


Program Penanggulangan Kemiskinan _____________ 55
Akses Teknologi Komunikasi dan Informasi _________ 58
Akses Internet ________________________________ 59

LAMPIRAN-LAMPIRAN ________________________ 61

Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Papua Barat, 2009 vi


DA F TA R   TA B E L  

Tabel 1.1 Jumlah dan Laju Pertumbuhan Penduduk Per Tahun


di Provinsi Papua Barat Tahun 2005—2009 _____ 2

Tabel 1.2 Angka Beban Ketergantungan Penduduk Per Tahun


di Provinsi Papua Barat Tahun 2005—2009 ______ 6
Tabel 2.1 Cakupan Layanan Imunisasi Pada Bayi Berumur
12—23 Bulan di Provinsi Papua Barat Tahun 2009 _ 13
Tabel 4.1 Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) dan
Pengangguran Terbuka (TPT) di Provinsi Papua Barat,
Tahun 2006-2009 ___________________________ 30
Tabel 4.2 Tingkat Pengangguran Terbuka Menurut Tingkat
Pendidikan Yang Ditamatkan di Provinsi Papua Barat,
Tahun 2007-2009 ___________________________ 32
Tabel 4.3 Persentase Penduduk 15 Tahun atau Lebih Yang
Bekerja Menurut Lapangan Usaha di Provinsi
Papua Barat, Tahun 2006-2009 _______________ 34
Tabel 4.4 Persentase Penduduk 15 Tahun atau Lebih Yang
Bekerja Menurut Status Pekerjaan di Provinsi
Papua Barat, Tahun 2006-2009 _______________ 36
Tabel 4.5 Persentase Penduduk 15 Tahun atau Lebih Yang
Bekerja Menurut Jam Kerja di Provinsi Papua Barat,
Tahun 2007-2009 ___________________________ 37
Tabel 5.1 Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin di Provinsi
Papua Barat Menurut Daerah, 2006 – 2010 _____ 40

Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Papua Barat, 2009 vii


Tabel 5.2 Pengeluaran Per Kapita Per Bulan di Provinsi
Papua Barat , 2006—2009 ____________________ 44
Tabel 5.3 Ukuran Tingkat Pemerataan Pendapatan di Provinsi
Papua Barat Menurut Bank Dunia dan Koefisien Gini,
2007 – 2009 _______________________________ 47
Tabel 5.4 Pola Konsumsi Makanan dan Non Makanan Menurut
Kabupaten/Kota di Provinsi Papua Barat,
2008 – 2009 _______________________________ 48

Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Papua Barat, 2009 viii


DA F TA R   G A M B A R  

Gambar 1.1 Persebaran Penduduk Menurut Kabupaten/Kota


di Provinsi Papua Barat Tahun 2009 __________ 3
Gambar 1.2 Kepadatan Penduduk Menurut Kabupaten/Kota
di Provinsi Papua Barat Tahun 2009 __________ 4
Gambar 1.3 Persentase Perempuan Menurut Umur Perkawinan
Pertama Kurang dari 16 Tahun di Provinsi Papua
Barat Tahun 2007—2009 __________________ 7
Gambar 2.1 Angka Harapan Hidup Provinsi Papua Barat
Tahun 2008—2009 ________________________ 10
Gambar 2.1 Asupan ASI Ekslusif di Papua Barat Tahun 2009 14
Gambar 2.2 Angka Keskitan Penduduk Papua Barat
Tahun 2009 ______________________________ 15
Gambar 3.1 Angka Melek Huruf Penduduk 15 Tahun atau Lebih
di Provinsi Papua Barat Menurut Jenis Kelamin,
Tahun 2008-2009 ________________________ 18
Gambar 3.2 Rata-rata Lama Sekolah Penduduk 15 Tahun atau
Lebih di Provinsi Papua Barat Menurut Jenis
Kelamin, Tahun 2008-2009 ________________ 20
Gambar 3.3 Tingkat Pendidikan Tertinggi Yang Ditamatkan
Penduduk 10 Tahun atau Lebih di Provinsi Papua
Barat Menurut Jenis Kelamin, Tahun 2008-2009 21

Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Papua Barat, 2009 ix


Gambar 3.4 Angka Partisipasi Sekolah Penduduk 7—18 Tahun
di Provinsi Papua Barat, Tahun 2008-2009 ____ 23
Gambar 3.5 Angka Partisipasi Sekolah Penduduk 7—18 Tahun
Menurut Jenis Kelamin di Provinsi Papua Barat,
Tahun 2008-2009 ________________________ 25
Gambar 3.6 Angka Partisipasi Murni Menurut Jenjang
Pendidikan di Provinsi Papua Barat,
Tahun 2008-2009 26 _____________________ 26
Gambar 3.7 Angka Putus Sekolah Menurut Umur Sekolah di
Provinsi Papua Barat, Tahun 2008-2009 _____ 27
Gambar 5.1 Sebaran Penduduk Miskin di Papua Barat
Tahun 2009 ______________________________ 41
Gambar 5.2 Kemampuan Daya Beli Masyarakat di Papua Barat
Tahun 2009 ______________________________ 45
Gambar 6.1 Kondisi Perumahan Di Provinsi Papua Barat,
Tahun 2008 – 2009 ______________________ 50
Gambar 6.2 Kondisi Perumahan Di Provinsi Papua Barat,
Tahun 2008 – 2009 ______________________ 52
Gambar 6.3 Persentase Rumah Tangga Yang Menggunakan
Penerangan Listrik Di Provinsi Papua Barat, Tahun
2008 – 2009 ____________________________ 53
Gambar 6.4 Persentase Rumah Tangga Yang Menggunakan
Penerangan Listrik PLN Di Provinsi Papua Barat,
Tahun 2009 _____________________________ 54
Gambar 7.1 Persentase Rumah Tangga Yang Mengakses
Pelayanan Kesehatan Gratis Di Provinsi Papua
Barat, Tahun 2009 ________________________ 56
Gambar 7.2 Persentase Rumah Tangga Yang Mengakses Internet
Di Provinsi Papua Barat, Tahun 2009 ________ 59

Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Papua Barat, 2009 x


Tinjauan Umum 

Ruang Lingkup
Publikasi Indikator Kesejahteraan Rakyat (Inkesra) Provinsi
Papua Barat 2009 menyajikan gambaran perkembangan
kesejahteraan rakyat di Provinsi Papua Barat. Analisis yang
disajikan memuat perbandingan kondisi kesejahteraan rakyat
selama periode 2008—2009.
Indikator yang disajikan dipilah menurut beberapa dimensi.
Dimensi yang dimaksud adalah kependudukan, kesehatan,
pendidikan, ketenagakerjaan, pola dan taraf konsumsi,
perumahan dan lingkungan, dan indikator sosial lain.

Perkembangan Tingkat Kesejahteraan Rakyat


Perkembangan tingkat kesejahteraan rakyat di Provinsi Papua
Barat selama periode 2008 dan 2009 menunjukkan
perbaikan. Beberapa di antaranya adalah:
Di bidang kesehatan:
♦ Angka harapan hidup meningkat dari 67,90 tahun pada
tahun 2008 menjadi 68,20 tahun pada tahun 2009.
♦ Angka kematian bayi per 100.000 kelahiran hidup turun

Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Papua Barat, 2009 xi


dari 31,6 pada tahun 2008 menjadi 30,5 pada tahun
2009.
Di bidang pendidikan:
♦ APS 7—12 tahun meningkat dari 93,18 persen pada
tahun 2008 menjadi 93,35 persen pada tahun 2009.
Pada periode yang sama, APS 16—18 tahun juga
meningkat dari 57,53 persen menjadi 57,95 persen.
♦ Angka melek huruf tahun 2009 meningkat
dibandingkan tahun 2008 yaitu dari 92,15 persen
menjadi 92,34 persen.
♦ Rata-rata lama sekolah meningkat dari 7,67 tahun pada
tahun 2008 menjadi 8,01 tahun pada tahun 2009.
Di bidang ketenagakerjaan:
♦ Kenaikan TPAK dari 68,15 persen pada tahun 2008
menjadi 68,52 persen pada tahun 2009.
♦ Tingkat pengangguran (TPT) turun dari 7,67 persen
pada tahun 2008 menjadi 6,97 persen pada tahun
2009.
Di bidang perumahan
♦ Terjadi peningkatan persentase rumah tangga yang
memiliki tempat tinggal yang layak huni di Provinsi
Papua Barat selama tahun 2008—2009; peningkatan
persentase rumah tangga yang menggunakan lantai
bukan tanah yaitu sebesar 0,52 poin. Pengguna atap
dedaunan berkurang sebesar 2,95 poin dari
keseluruhan rumah tangga di Provinsi Papua Barat.
♦ Persentase rumah tangga yang mengakses air bersih

Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Papua Barat, 2009 xii


untuk sumber air minum meningkat dari 42,81 persen
pada tahun 2008 menjadi 49,20 persen pada tahun
2009.
♦ Persentase rumah tangga yag memiliki jamban sendiri
meningkat dari 45,52 persen pada tahun 2008 menjadi
59,49 persen pada tahun 2009.
♦ Terjadi peningkatan persentase rumah tangga yang
menggunakan sumber penerangan listrik selama tahun
2008-2009, yakni dari 67,48 persen menjadi 68,98
persen. Peningkatan ini merupakan akibat dari
penambahan jumlah rumah tangga yang menggunakan
listrik PLN dari 51,21 persen pada tahun 2008 menjadi
57,67 persen pada tahun 2009.
Beberapa indikator lain menunjukkan hasil yang kurang
menggembirakan, di antaranya:
♦ Persentase penduduk miskin pada tahun 2009
meningkat 0,59 poin dibanding tahun 2008 yaitu dari
35,12 persen pada tahun 2008 menjadi 35,71 persen
pada tahun 2009.
♦ Tingkat kedalaman kemiskinan di Provinsi Papua Barat
naik dari 9,18 pada tahun 2008 menjadi 9,75 pada
tahun 2009; dan tingkat keparahan kemiskinan naik
dari 3,50 pada tahun 2008 menjadi 3,57 pada tahun
2009. Kondisi kemiskinan di Papua Barat pada tahun
2009 lebih dalam dan lebih parah dibandingkan
dengan kondisi kemiskinan pada tahun 2008.

Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Papua Barat, 2009 xiii


INDIKATOR KESEJAHTERAAN RAKYAT
PROVINSI PAPUA BARAT
2009

• Kependudukan
• Kesehatan
• Pendidikan
• Ketenagakerjaan
• Ta r a f d a n P o l a Ko n s u m s i
• Perumahan dan Lingkungan
• Sosial Lainnya
Bab 1 
Kependudukan 

Dalam lima tahun mendatang, penduduk Provinsi Papua Barat


tidak akan melebihi satu juta jiwa. Jumlah penduduk yang
pada tahun 2005 sebesar 688,2 ribu orang diperkirakan
meningkat mencapai sekitar 825,3 ribu orang pada tahun
2015 (BPS, Proyeksi Penduduk Indonesia Per Provinsi
Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin 2005—2015). Hal
ini diperkuat dengan fakta membaiknya beberapa parameter
demografi seperti menurunnya angka kelahiran, meningkatnya
angka harapan hidup, dan menurunnya angka kematian bayi.
Meskipun demikian, pengendalian kuantitas dan laju
pertumbuhan penduduk penting untuk diperhatikan agar
tercipta pertumbuhan penduduk yang seimbang.
Selain keseimbangan pertumbuhan penduduk, peningkatan
kualitas penduduk juga sangat penting. Dengan jumlah
penduduk yang relatif kecil, Pemerintah Provinsi Papua Barat
berpeluang besar dalam meningkatkan kualitas penduduk
yang dapat digerakkan untuk pembangunan di Tanah Papua.

Jumlah dan Laju Pertumbuhan Penduduk


Jumlah penduduk di Provinsi Papua Barat pada tahun 2009
diperkirakan mencapai 743,86 ribu jiwa. Laju pertumbuhan

Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Papua Barat, 2009 1


penduduk Papua Barat selama periode 2005—2009 sebesar
3,71 persen per tahun. Laju pertumbuhan penduduk tersebut
lebih rendah 1,81 poin daripada laju pertumbuhan penduduk
pada periode 2005—2007 (5,52 persen per tahun).
Penurunan laju pertumbuhan penduduk secara langsung akan
menambah jumlah penduduk usia produktif di satu sisi dan
pengurangan jumlah penduduk usia muda di sisi lain.

Tabel 1.1 Jumlah dan Laju Pertumbuhan Penduduk Per Tahun di


Provinsi Papua Barat Tahun 2005—2009

Laju Pertumbuhan per 
Tahun  Jumlah Penduduk 
Tahun (%) 
(1)  (2)  (3) 
        
2005  643.012    
      5.52 (2005‐2007) 
2007  715.999    
      3.71 (2005‐2009) 
2009  743.860    
        
Sumber: BPS (2007), Proyeksi Penduduk Indonesia Per Provinsi Menurut
Kelompok Umur dan Jenis Kelamin

Pemekaran wilayah di tingkat kabupaten/kota di Provinsi


Papua Barat diduga berdampak nyata bagi pertumbuhan
penduduk dari aspek migrasi masuk. Pada awal pembentukan
Provinsi Papua Barat, hanya ada tiga Kabupaten dan satu kota
yaitu Kabupaten Fakfak, Kabupaten Manokwari, Kabupaten
Sorong dan Kota Sorong. Berdasarkan Undang-undang Nomor
26 Tahun 2002, Kabupaten Manokwari dimekarkan menjadi
Kabupaten Manokwari, Kabupaten Teluk Wondama dan
Kabupaten Teluk Bintuni; Kabupaten Sorong dimekarkan

Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Papua Barat, 2009 2


menjadi Kabupaten Sorong, Kabupaten Raja Ampat dan
Kabupaten Sorong Selatan; dan Kabupaten Fakfak
dimekarkan menjadi Kabupaten Fakfak dan Kabupaten
Kaimana.
Lampiran I (1) menampilkan laju pertumbuhan penduduk per
tahun selama periode 2005—2009 di tingkat kabupaten/kota
di Provinsi Papua Barat. Wilayah dengan laju pertumbuhan
penduduk per tahun melebihi laju pertumbuhan penduduk
Provinsi Papua Barat adalah Kabupaten Manokwari,
Kabupaten Teluk Bintuni, dan Kota Sorong dengan besaran
masing-masing 3,81 persen; 4,16 persen dan 3,74 persen.

Persebaran dan Kepadatan Penduduk


Perbedaan pertumbuhan pusat pemerintahan dan
perekonomian di Papua Barat mengakibatkan perbedaan
perkembangan dan pemusatan penduduk di kabupaten/kota.

Gambar 1.1 Persebaran Penduduk Menurut Kabupaten/


Kota di Provinsi Papua Barat Tahun 2009

Fakfak; 9,16 Kaimana;  Teluk 


5,76 Wondama; 
Kota Sorong;  3,17
23,20
Raja Empat;  Teluk 
5,63 Bintuni; 
7,50
Sorong ; 13,40
Manokwari; 
23,77

Sorong Selatan; 
8,41

Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Papua Barat, 2009 3


Kabupaten Manokwari telah menjadi pusat pemerintahan
sejak 8 November 1898 sebagai bagian dari keresidenan
Ternate. Manokwari sendiri berasal dari bahasa Biak yang
berarti “Kampung Tua”. Hingga tahun 2009, Kabupaten
Manokwari telah dihuni oleh 176,8 ribu jiwa atau 23,77
persen dari total penduduk Papua Barat.
Meskipun Kota Sorong dahulunya bagian dari Kabupaten
Manokwari, tetapi perusahaan minyak bumi dari Belanda,
Nederlands Neauw Guinea Petroleum Matschcapeij atau
NNGPM mulai melakukan pengeboran minyak bumi di Sorong
pada tahun 1935. Hadirnya perusahaan minyak bumi tersebut
menjadi daya tarik bagi penduduk untuk datang dan tinggal di
Kota Sorong. Sebagaimana teori pemusatan industri (central
business theory), pemusatan penduduk dimulai dari sentra-

Gambar 1.2 Kepadatan Penduduk Menurut Kabupaten/Kota di


Provinsi Papua Barat Tahun 2009

KOTA SORONG
156.16 3.94
RAJA AMPAT SORONG MANOKWARI
6.88 12.24

2.10
SORONG SELATAN 2.99

TELUK BINTUNI

Kepadatan Penduduk FAKFAK 1.94


1.94 - 2.99 4.76 TELUK
WONDAMA
2.99 - 4.76
4.76 - 6.88 2.31
6.88 - 12.24 KAIMANA

12.24 - 156.16

Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Papua Barat, 2009 4


sentra industri dan berkembang ke wilayah di sekitarnya.
Karena itu, sejak lama Kota Sorong telah menjadi wilayah
pemusatan penduduk. Tahun 2009, Kota Sorong diperkirakan
dihuni oleh 172,5 ribu jiwa atau 23,20 persen dari total
penduduk Provinsi Papua Barat. Persebaran penduduk di
kabupaten lainnya dapat dilihat pada Gambar 1.1.
Di sisi lain, luas wilayah di setiap kabupaten/kota bervariasi.
Kabupaten Sorong Selatan dengan luas 29.810 Km persegi
merupakan kabupaten terluas dan Kota Sorong, hanya 1.105
Km persegi, merupakan wilayah dengan luas paling kecil.
Padahal di tahun 2009, Kabupaten Sorong Selatan dihuni
oleh 62,5 ribu jiwa. Artinya, hanya ada dua atau tiga jiwa di
setiap Km perseginya. Sebaliknya di Kota Sorong, dengan luas
kurang dari satu persen dihuni lebih dari 170 ribu jiwa.
Kepadatan penduduk per Km persegi 156—157 jiwa.
Kepadatan penduduk di kabupaten lainnya dapat dilihat pada
Lampiran 1.2
Angka Beban Ketergantungan
Dampak keberhasilan pengendalian penduduk tercermin dari
perubahan struktur umur penduduk yang terlihat dari
berkurangnya proporsi penduduk usia tidak produktif
khususnya 0—14 tahun. Di sisi lain, proporsi penduduk usia
produktif bertambah. Akibatnya, angka beban ketergantungan
penduduk usia tidak produktif terhadap penduduk usia
produktif berkurang.
Tabel 1.2 memperlihatkan penurunan angka beban
ketergantungan di Provinsi Papua Barat selama 2005—2009.
Angka beban ketergantungan pada tahun 2005 sebesar
53,11 persen turun menjadi 48,40 persen. Dengan
penurunan angka beban ketergantungan ini berarti penduduk

Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Papua Barat, 2009 5


Tabel 1.2 Angka Beban Ketergantungan Penduduk Per Tahun di
Provinsi Papua Barat Tahun 2005—2009

Rasio  
Tahun  0‐14   15‐64   65 + 
Ketergantungan 
(1)  (2)  (3)  (4)  (5) 
              

2005  33,33  65,31  1,35  53,11 


2007  32,00  66,49  1,51  50,39 
2009  31,08  67,39  1,53  48,40 
              

Sumber: BPS (2007), Proyeksi Penduduk Indonesia Per Provinsi Menurut


Kelompok Umur dan Jenis Kelamin

usia produktif mempunyai kesempatan yang lebih besar


untuk meningkatkan kualitas dirinya. Jika pada tahun 2005,
100 penduduk usia produktif harus menanggung 53—54
penduduk usia tidak produktif maka pada tahun 2009 beban
tersebut berkurang menjadi 48—49 penduduk usia tidak
produktif. Provinsi Papua Barat memasuki fase “bonus
demografi” yang ditandai dengan proporsi penduduk usia
produktif lebih besar daripada proporsi penduduk usia tidak
produktif. Fase ini harus dimaksimalkan sebaik mungkin agar
penduduk usia produktif tersebut memberikan kontribusi
optimal dalam pembangunan di Papua Barat.

Fertilitas
Salah satu sosialisasi Keluarga Berencana (KB) yang saat ini
gencar dilakukan adalah menyadarkan kaum perempuan agar
menunda usia nikah. Perkawinan yang terlalu dini berdampak
buruk bagi kesehatan reproduksi perempuan, menghilangkan
kesempatan memperoleh pendidikan tinggi, dan berpotensi
meningkatkan angka fertilitas. Perempuan yang menikah di

Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Papua Barat, 2009 6


usia remaja misalnya akan berada pada fase reproduksi aktif
yang lebih lama di bandingkan perempuan yang menikah di
usia dewasa.
Kampanye penundaan usia nikah sangat tepat dilakukan
karena tren perkawinan dini meningkat selama tahun 2007—
2009. Persentase perempuan yang menikah sebelum berusia
16 tahun pada tahun 2007 sebanyak 6,09 persen meningkat
menjadi 6,73 persen pada tahun 2008 dan meningkat lagi
menjadi 8,02 persen pada tahun 2009. Dampak nyata yang
terekam melalui Susenas (BPS, 2009), satu dari lima belas
perempuan berusia 10—18 tahun yang tidak bersekolah lagi
pada Tahun 2009 disebabkan karena lebih awal memasuki
jenjang perkawinan. Akibatnya, mereka disibukkan oleh
pekerjaan domestiknya khususnya merawat dan memelihara
anak.

Gambar 1.3 Persentase Perempuan Menurut Umur Perkawinan


Pertama Kurang dari 16 Tahun di Provinsi Papua
Barat Tahun 2007—2009

8.02
6.73
6.09

2007 2008 2009

Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Papua Barat, 2009 7


Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Papua Barat, 2009 8
Bab 2 
Kesehatan 

Salah satu agenda penting dalam rencana pembangunan


jangka panjang menengah 2004—2009 adalah meningkatkan
kesejahteraan rakyat. Sasaran pertama adalah menurunnya
jumlah penduduk miskin, kedua berkurangnya kesenjangan
antar wilayah, ketiga, meningkatnya kualitas manusia,
keempat adalah membaiknya mutu lingkungan hidup dan
pengelolaan sumber daya alam dan kelima, membaiknya
infrastruktur.
Guna mencapai sasaran peningkatan kualitas manusia maka
diperlukan peningkatan akses masyarakat terhadap
pelayanan kesehatan yang berkualitas. Peningkatan akses
masyarakat terhadap pelayanan kesehatan tersebut ditandai
oleh meningkatnya angka harapan hidup, menurunnya tingkat
kematian bayi dan kematian ibu melahirkan, dan perbaikan
status gizi.

Angka Harapan Hidup


Angka harapan hidup di Provinsi Papua Barat meningkat. Pada
tahun 2008, angka harapan hidup tercatat 67,90 tahun dan
pada tahun 2009 meningkat menjadi 68,20 tahun. Di sisi lain,
angka kematian bayi di Provinsi Papua Barat turun dari 32,7

Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Papua Barat, 2009 9


kematian bayi per 100.000
68.20
kelahiran hidup pada tahun
2007 menjadi 31,6
kematian per 100.000
kelahiran hidup pada tahun
2008 dan pada tahun 2009,
angka kematian bayi di 67.90
Papua Barat sebesar 30,5
kematian bayi per 100.000
kelahiran hidup.
Meningkatnya angka
harapan hidup dan
2008 2009
menurunnya angka
kematian bayi di Provinsi
Gambar 2.1 Angka Harapan Hidup Provinsi
Papua Barat menunjukkan Papua Barat Tahun 2008—2009

adanya perbaikan derajat kesehatan masyarakat. Meskipun


demikian, angka kematian bayi di Provinsi Papua Barat masih
tergolong tinggi.
Disparitas angka harapan hidup antar kabupaten/kota di
Provinsi Papua Barat menunjukkan adanya perbedaan akses
masyarakat terhadap pelayanan kesehatan. Angka harapan
hidup tertinggi di Kota Sorong yaitu 71,53 tahun dan terendah
di Kabupaten Raja Ampat yaitu 65,75 tahun. Dari sisi
ketersediaan fasilitas kesehatan, Kabupaten Raja Ampat
tertinggal jauh. Jika Kota Sorong telah dilengkapi dengan
enam rumah sakit maka di Kabupaten Raja Ampat hanya ada
satu unit rumah sakit dan layanan kesehatan masyarakat
dibebankan pada layanan puskesmas.
Karena angka kematian bayi berbanding terbalik dengan
angka harapan hidup, maka setiap upaya penurunan angka

Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Papua Barat, 2009 10


kematian bayi akan berdampak nyata pada peningkatan
angka harapan hidup. Penurunan angka kematian bayi
dimulai sejak bayi berada dalam kandungan. Program
antinatal care antara lain pemeriksaan minimal 4 kali selama
masa kehamilan, peningkatan akses masyarakat terhadap
pertolongan persalinan oleh tenaga medis, layanan imunisasi
lengkap kepada bayi berumur 12—23 bulan. Informasi
antinatal care yang dapat digali dari Susenas Kor adalah
persentase pertolongan kelahiran oleh tenaga kesehatan
(dokter, bidan atau suster) dan imunisasi bayi berumur 12—23
bulan.
Lampiran II (2) memperlihatkan persentase balita (0—59
bulan) menurut penolong kelahiran pada tahun 2009.
Meskipun lebih dari 60 persen peristiwa kelahiran telah
ditolong oleh tenaga kesehatan tetapi persentase pertolongan
kelahiran oleh tenaga non kesehatan masih cukup besar,
khususnya oleh dukun (27,26 perse). Di Kabupaten Raja
Ampat sendiri, sedikitnya tiga dari empat peristiwa kelahiran
ditolong oleh dukun dan pertolongan kelahiran oleh tenaga
kesehatan kurang dari 20 persen. Pertolongan kelahiran oleh
tenaga kesehatan cukup tinggi di Kabupaten Fakfak dan Kota
Sorong dengan per sentase lebih dari 70 persen.
Selain fasilitas kesehatan kurang, permasalahan lain
pembangunan di bidang kesehatan di Papua Barat adalah
kurangnya tenaga kesehatan khususnya dokter baik
kuantitas, kualitas dan penyebarannya. Hal ini tercermin dari
rendahnya peran dokter dalam pertolongan kelahiran.
Persentasenya pada tahun 2009 hanya 12,25 persen.
Sebagai gantinya, bidan memainkan peran yang sangat
dominan dalam memberikan pelayanan pertolongan
kelahiran. Persentase pertolongan kelahiran oleh bidan di

Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Papua Barat, 2009 11


Papua Barat mencapai 42,53 persen dengan persentase
tertinggi di Kabupaten Fakfak (67,29 persen) dan terendah di
Kabupaten Raja Ampat (16,13 persen).
Pengadaan tenaga dokter di Papua Barat masih sangat
tergantung dari kebijakan Pemerintah Pusat. Salah satunya
melalui pengangkatan dokter PTT (pegawai tidak tetap) yang
ditugaskan di puskesmas-puskesmas dalam rentan waktu 1—
2 tahun. Setelah masa itu, kembali ke daerah asalnya masing-
masing. Oleh karena itu, Pemerintah Provinsi Papua Barat dan
pemerintah kabupaten/kota sebaiknya mulai
memprogramkan pengadaan tenaga dokter lokal yang
diorbitkan dari putra-putri terbaik yang ada di Papua Barat.
Mereka diberikan bea siswa kedokteran. Dalam kurun waktu
enam—tujuh tahun mendatang, tenaga dokter lokal telah siap
bertugas dan menetap di Papua Barat. Dengan demikian,
kekurangan tenaga dokter sedikit demi sedikit dapat teratasi.

Imunisasi dan ASI


Masa-masa awal pertumbuhan manusia setelah dilahirkan
adalah masa-masa paling kritis. Daya tahan hidup bayi
berumur satu tahun (0—23 bulan) sangat rentan kematian.
Karena itu, imunisasi bayi sangat dibutuhkan.
Departemen Kesehatan menetapkan bahwa imunisasi yang
wajib diberikan kepada bayi berumur satu tahun adalah BCG,
DPT, Polio, Campak, dan Hepatitis B. Waktu pemberiannya
sudah ditetapkan secara bertahap. Imunisasi BCG diberikan
satu kali pada anak usia 0-2 bulan. Imunisasi DPT dan Polio
diberikan secara bersamaan dan berulang pada usia 2, 3,
atau 4 bulan dan pengulangannya 4 bulan kemudian
sebanyak 3 kali. Imunisasi campak diberikan sebanyak 2 kali.

Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Papua Barat, 2009 12


Tabel 2.1 Cakupan Layanan Imunisasi Pada Bayi Berumur 12—23 Bulan di
Provinsi Papua Barat Tahun 2009

Kabupaten/Kota TBC DPT Polio Campak Hepatitis B


(1) (2) (3) (4) (5) (6)
Kab. Fakfak 100.00 85.96 57.81 100.00 67.23

Kab. Kaimana 100.00 29.60 29.60 83.39 22.14

Kab. Teluk Wondama 90.25 32.35 35.60 87.15 32.51

Kab. Teluk Bintuni 96.62 66.65 73.28 93.37 66.58

Kab. Manokwari 69.93 39.39 30.83 66.58 30.81

Kab. Sorong Selatan 95.46 77.30 72.76 95.46 68.22

Kab. Sorong 100.00 78.94 89.49 100.00 57.96

Kab. Raja Ampat 87.47 37.59 37.59 87.47 37.59

Kota Sorong 95.50 51.31 42.68 88.81 38.21

Provinsi Papua Barat 89.70 57.18 52.26 86.26 46.36

Sumber: BPS, Susenas 2009

Pertama, pada saat anak berumur 9 bulan atau lebih, dan


kedua diberikan pada usia 5-7 tahun. Pada kejadian luar
biasa dapat diberikan pada usia 6 bulan dan diulangi 6 bulan
kemudian.
Tabel 2.1 menunjukkan cakupan layanan imunisasi pada anak
berumur 12—23 bulan. Idealnya, semua bayi pada umur
tersebut telah diimunisasi lengkap. Faktanya tidak demikian.
Susenas 2009 mencatat hampir 90 persen bayi telah
diimunisasi BCG tetapi kurang separuhnya yang mendapat
imunisasi Hepatitis B. Padahal, TBC masih menjadi penyakit
yang banyak diderita penduduk Papua Barat. Ditemukan 114

Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Papua Barat, 2009 13


suspek TBC di Papua Barat pada tahun 2009 (Kemenkes RI,
Laporan Subdit TB Kemenkes 2000—2010). Demikian juga
dengan imunisasi DPT dan Polio, cakupannya kurang dari 60
persen.
Selain imunisasi, upaya meningkatkan ketahanan tubuh bayi
adalah dengan pemberian Air Susu Ibu (ASI) ekslusif. Bayi
memperoleh ASI ekslusif apabila dalam enam bulan hanya
diberikan ASI tanpa makanan tambahan. ASI ekslusif diyakini
merupakan asupan terbaik bagi bayi yang tidak dapat
digantikan oleh susu formula manapun. Keunggulan dan
manfaat menyusui dapat dilihat dari beberapa aspek yaitu:
aspek gizi, aspek imunologik, aspek psikologi, aspek
kecerdasan, neurologis, ekonomis dan aspek penundaan
kehamilan (http://www.f-buzz.com/2008/05/21/kelebihan-
air-susu-ibu-asi-dan-manfaat-menyusui/).

Gambar 2.1 Asupan ASI Ekslusif di Papua Barat Tahun 2009

RAJA AMPAT
SORONG
KOTA SORONG MANOKWARI

SORONG SELATAN
TELUK BINTUNI

Asi Eksklusif
0 - 19
20 - 39 TELUK
40 - 59 FAKFAK WONDAMA

60 - 79 KAIMANA
80 - 100

Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Papua Barat, 2009 14


Gambar 2.1 menunjukkan pemberian ASI eksklusif kepada
bayi di seluruh kabupaten/kota di Papua Barat. Tampak
pemberian ASI eksklusif di Kota Sorong dan Manokwari
terbilang rendah. Hal ini diduga akibat kemudahan
memperoleh susu formula. Berbagai merek susu formula
mudah diperoleh dikedua wilayah ini. Di samping itu,
kampanye ASI eksklusif masih harus terus digalakkan agar
bayi mendapatkan haknya sebagai anak.

Morbiditas
21.96
Daya tahan tubuh yang
lemah mengakibatkan
manusia mudah terserang
penyakit. Salah satu 19.62

indikatornya adalah
morbiditas atau angka
kesakitan. Angka kesakitan
menunjukkan persentase 2008 2009

penduduk yang mengalami Angka Kesakitan


keluhan kesehatan dan
mengakibatkan gangguan Gambar 2.2
Angka Keskitan Penduduk Papua Barat
terhadap aktivitas sehari- Tahun 2009
hari seperti bekerja, sekolah
atau mengerjakan pekerjaan rumah.
Secara umum, angka kesakitan penduduk Papua Barat
menurun dari 21,96 persen pada tahun 2008 menjadi 19,62
persen pada tahun 2009. Kecuali Kabupaten Manokwari dan
Kabupaten Raja Ampat, wilayah lain menunjukkan pola yang
sama dengan angka kesakitan provinsi, mengalami
penurunan morbiditas (Lihat Lampiran II (3)).

Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Papua Barat, 2009 15


Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Papua Barat, 2009 16
Bab 4 
Pendidikan 

Pendidikan merupakan salah satu modal dasar manusia


dalam meningkatkan kualitas kesejahteraan hidupnya.
Pentingnya pendidikan bagi warga negara tercermin dalam
UUD 1945 dan GBHN, dimana dinyatakan bahwa pendidikan
merupakan hak setiap warga negara. Pembangunan dalam
bidang pendidikan di suatu negara menentukan arah
kemajuan bangsa. Oleh karena itu, pendidikan menjadi modal
utama dalam menyongsong kehidupan bangsa yang lebih
sejahtera. Setiap warga negara Indonesia diberikan
kesempatan yang sama untuk mendapatkan pendidikan yang
seluas – luasnya. Keberhasilan pembangunan di sektor
pendidikan dapat dilihat dari beberapa indikator. Indikator
keberhasilan di bidang pendidikan yang biasa digunakan
adalah Angka Melek Huruf (AMH), rata – rata lama sekolah,
Angka Partisipasi Sekolah (APS), dan Angka Partisipasi Murni
(APM).

Angka Melek Huruf Dan Rata – Rata Lama Sekolah


Ukuran yang sangat dasar dalam pencapaian pembangunan di
bidang pendidikan adalah kemampuan membaca dan
menulis. Keberhasilan pemerintah dalam memberantas buta

Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Papua Barat, 2009 17


huruf di Indonesia, dapat dilihat dari tingginya angka buta
huruf. Kemampuan membaca dan menulis di suatu daerah
merupakan penggambaran kemampuan penduduk di suatu
wilayah untuk menyerap informasi dari berbagai media.
Seiring dengan perkembangan zaman, perkembangan
informasi pun semakin mengglobal dan hanya dapat diakses
dengan budaya literat. Biasanya buta huruf selalu diidentikkan
dengan kebodohan dan kemiskinan. Tingginya angka buta
huruf dapat disebabkan oleh angka putus sekolah yang tinggi,
terutama di tingkat SD, dan kebanyakan anak yang putus
sekolah dikarenakan keterbatasan ekonomi. Oleh karena itu,
menjadi hal yang sangat mengerikan apabila angka buta huruf
masih tinggi. Hal ini tentunya dapat diberantas dengan

Gambar 3.1 Angka Melek Huruf Penduduk 15 Tahun atau Lebih di


Provinsi Papua Barat Menurut Jenis Kelamin, Tahun
2008-2009

94,95

93,01
92,1592,34

89,56
88,35

Laki‐laki Perempuan Total

2008 2009

Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Papua Barat, 2009 18


memberikan akses pendidikan.
Gambar 3.1 menunjukkan bahwa, penduduk usia 15 tahun ke
atas mengalami kenaikan angka melek huruf yaitu dari 92,15
persen pada tahun 2008 menjadi 92,34 persen di tahun
2009. Baik penduduk laki – laki maupun perempuan usia 15
tahun ke atas mengalami kenaikan angka melek huruf
meskipun kenaikan angka melek huruf perempuan lebih kecil
daripada laki – laki. Sebesar 94,95 persen penduduk laki –
laki usia 15 tahun ke atas mampu membaca dan menulis, dan
untuk perempuan sebesar 89,56 persen pada tahun 2009.
Berarti dapat dikatakan bahwa perempuan masih
mendominasi tingginya angka buta huruf di Provinsi Papua
Barat. Faktor diskriminasi gender dalam bidang pendidikan
kemungkinan masih menjadi faktor penyebabnya.
Indikator keberhasilan di bidang pendidikan berikutnya adalah
rata – rata lama sekolah. Berdasarkan Gambar 3.2, rata –
rata lama sekolah penduduk Provinsi Papua Barat mengalami
kenaikan yang tipis (dari 7,67 tahun di tahun 2008 menjadi
8,01 tahun pada tahun 2009). Angka ini menunjukkan bahwa
penduduk usia 15 tahun ke atas di Papua Barat rata – rata
hanya dapat menempuh pendidikan sampai dengan kelas 2
SMP dan putus sekolah pada kelas 3 SMP. Hal ini berarti
pencapaian pendidikan di Provinsi Papua Barat belum
memenuhi Program Wajib Belajar 9 Tahun.
Selanjutnya, kedua indikator pendidikan ini (angka melek
huruf dan rata – rata lama sekolah), menunjukkan bahwa
penduduk laki – laki maupun perempuan mengalami
peningkatan. Rata – rata lama sekolah penduduk laki – laki
meningkat dari 8,39 tahun pada tahun 2008 menjadi 8,50
pada tahun di tahun 2009. Sebagaimana penduduk laki –

Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Papua Barat, 2009 19


laki, penduduk perempuan pun mengalami peningkatan rata –
rata lama sekolah yaitu sebesar 0,23 tahun. Meskipun
demikian, masih ada disparitas gender, dimana penduduk
perempuan belum sepenuhnya memperoleh pendidikan yang
setara dengan penduduk laki – laki. Sehingga perlu
Gambar 3.2 Rata-rata Lama Sekolah Penduduk 15 Tahun atau
Lebih di Provinsi Papua Barat Menurut Jenis Kelamin,
Tahun 2008-2009

8,39 8,50
8,01
7,67
6,92 7,15

Laki‐laki Perempuan Total

2008 2009

diperhatikan lagi faktor – faktor yang menjadi penyebab masih


lambatnya kemajuan peningkatan pendidikan bagi perempuan
di Provinsi Papua Barat ini.
Kualitas pendidikan masyarakat secara umum dapat dilihat
dari tingkatan ijazah terakhir yang dicapai. Dalam kehidupan
nyata, ukuran kualitas pendidikan seseorang paling mudah
dilihat dari tingkat pendidikan yang dicapai. Gambar 3.3
memberikan gambaran tentang pencapaian pendidikan

Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Papua Barat, 2009 20


penduduk usia 10 tahun ke atas. Pada tahun 2009,
persentase penduduk usia 10 tahun ke atas yang
menamatkan pendidikan minimal SMA mengalami kenaikan
sebesar 4,19 persen ( dari 24,91 persen pada tahun 2008
menjadi 29,1 persen pada tahun 2009). Kenaikan ini
merupakan akibat dari kenaikan persentase penduduk usia
10 tahun ke atas yang mempunyai ijazah SMA, Diploma III,
dan Universitas/Diploma IV.
Persentase penduduk yang tidak tamat SD mengalami
penurunan yaitu dari 27,76 persen menjadi 25,4 persen.
Begitu juga dengan persentase penduduk yang tamat SD dan
SMP, masing – masing mengalami penurunan sebesar 2,36
dan 1,05 persen. Secara umum, terjadi peningkatan tingkat
pendidikan penduduk usia 10 tahun ke atas walaupun
Gambar 3.3 Tingkat Pendidikan Tertinggi Yang Ditamatkan Penduduk 10
Tahun atau Lebih di Provinsi Papua Barat Menurut Jenis
Kelamin, Tahun 2008-2009

SMA  ke atas 29,1
24,91
Universitas/Diploma  IV 4,19
2,86
Akademi/Diploma III 1,67
1,18
0,85
Diploma I/II 0,93
21,44
SMA 19,94
18,94
SMP 19,53
SD 26,57
27,62
Tidak Tamat  SD 25,4
27,76
Tidak/belum pernah bersekolah 5,59
7,03

2009 2008

Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Papua Barat, 2009 21


persentase penduduk yang tidak tamat SD masih sangat
tinggi. Dari 100 orang penduduk usia 10 tahun ke atas, 25
orang yang tidak tamat SD. Selain dari kontribusi anak – anak
yang memang belum waktunya lulus SD, tingginya angka ini
juga disumbang oleh banyaknya masyarakat yang tidak
mampu mengakses pendidikan SD baik itu karena alasan
biaya, jangkauan wilayah, adat, atau pun yang lainnya.

Angka Partisipasi Sekolah (APS)


Peningkatan pemerataan pada pemanfaatan fasilitas
pendidikan dapat dicapai dengan melakukan perluasan
jangkauan pelayanan pendidikan. Dengan memperluas
jangkauan pendidikan berarti memberikan kesempatan yang
lebih besar kepada masyarakat untuk dapat bersekolah.
Sehingga dapat dikatakan bahwa makin banyak penduduk
yang dapat bersekolah maka makin luas jangkauan pelayanan
pendidikan. Papua Barat sebuah provinsi yang didominasi
oleh hutan dan pantai, banyak diantara penduduknya yang
masih hidup di daerah pedalaman, yang hanya sedikit dan
bahkan sama sekali belum tersentuh oleh pembangunan.
Wilayah geografis yang sulit terkadang menjadi penghambat
dalam pembangunan sarana pendidikan. Untuk memperluas
jangkauan pendidikan, perlu adanya sarana dan prasarana
yang memudahkan masyarakat untuk mengakses pendidikan.
Penempatan tenaga pengajar di daerah pedalaman
merupakan salah satu contoh bentuk usaha perluasan
pelayanan. Pembangunan sarana dan prasarana transportasi
juga merupakan bentuk kemudahan untuk mengakses
pendidikan. Terkadang masalah sulitnya transportasi dan
jauhnya sekolah dapat menjadi penghalang masyarakat untuk
menempuh pendidikan di sekolah. Jarak sekolah yang jauh

Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Papua Barat, 2009 22


dan medan yang sulit tentunya memberikan andil terhadap
rendahnya Angka Partisipasi Sekolah.
Angka Partisipasi Sekolah (APS) merupakan persentase
penduduk yang masih sekolah terhadap penduduk usia
sekolah pada kelompok jenjang usia tertentu misalnya, usia 7
– 12 tahun, 13 – 15 tahun, dan 16 – 18 tahun. Semakin
tinggi nilai APS mencerminkan semakin meratanya akses
pendidikan. Angka Partisipasi Sekolah ini akan semakin
menurun seiring dengan meningkatnya jenjang pendidikan
karena semakin tinggi jenjang pendidikan semakin sedikit
penduduk usia sekolah yang berpartisipasi.
Berdasarkan Gambar 3.4, diperoleh bahwa pada tahun 2009
sebanyak 93,35% penduduk usia 7 – 12 tahun berstatus
Gambar 3.4 Angka Partisipasi Sekolah Penduduk 7—18 Tahun di
Provinsi Papua Barat, Tahun 2008-2009

93,18 93,35
88,75 88,59

57,53 57,95

7‐12 13‐15 16‐18

2008 2009

Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Papua Barat, 2009 23


masih sekolah. Jumlah ini mengalami kenaikan sebesar 0,17
persen jika dibandingkan dengan tahun 2008. Jika penduduk
usia 7 – 12 tahun mengalami kenaikan Angka Partisipasi
Sekolah, penduduk usia 13 – 15 tahun mengalami hal yang
sebaliknya, yaitu 0,16 persen lebih kecil dari tahun 2008.
Walaupun perbedaan APS tahun 2008 dan 2009 sangat tipis,
akan tetapi angka ini menunjukkan bahwa belum ada
perbaikan di bidang pendidikan yang signifikan. Peningkatan
jangkauan pelayanan pendidikan masih sangat kecil.
Jika ditinjau dari segi gender, laki – laki mengalami penurunan
Angka Partisipasi Sekolah di semua jenjang usia sedangkan
perempuan mengalami kenaikan Angka Partisipasi Sekolah
pada jenjang usia 7 – 12 tahun dan 13 – 15 tahun. Meskipun
Angka Partipasi Sekolah penduduk laki – laki lebih tinggi
dibanding perempuan, kenaikan Angka Partisipasi Sekolah
penduduk perempuan ini cukup memberikan gambaran positif
mengenai peningkatan partisipasi perempuan dalam bidang
pendidikan. Angka Partisipasi Sekolah penduduk perdesaan
lebih rendah jika dibandingkan penduduk perkotaan. Hal ini
menandai adanya kesenjangan antara desa dan kota dalam
hal jangkauan pelayanan pendidikan. Pencapaian pendidikan
untuk semua belum sepenuhnya terlaksana.

Angka Partisipasi Murni (APM)

Selain Angka Partisipasi Sekolah, indikator selanjutnya yang


digunakan dalam mengukur kualitas keberhasilan di bidang
pendidikan adalah Angka Partisipasi Murni. Angka Partisipasi
Murni ini diukur menurut jenjang pendidikan tertentu,
misalnya SD, dihitung berdasarkan persentase antara murid

Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Papua Barat, 2009 24


Sekolah Dasar yang berusia 7 – 12 tahun dengan jumlah
penduduk usia 7 – 12 tahun. Secara khusus, APM digunakan
Gambar 3.5 Angka Partisipasi Sekolah Penduduk 7—18 Tahun Menurut
Jenis Kelamin di Provinsi Papua Barat, Tahun 2008-2009

100,00
90,00
80,00
70,00
60,00
50,00
40,00
30,00
20,00 2008
10,00
0,00 2009
Perempuan

Perempuan

Perempuan
Laki‐laki

Laki‐laki

Laki‐laki

7‐12 13‐15 16‐18

untuk mengukur proporsi anak yang bersekolah tepat waktu


atau sesuai dengan jenjang usia yang seharusnya.
Berdasarkan Gambar 3.6 terjadi peningkatan APM – SD di
tahun 2009, yakni 1,54 persen lebih tinggi dibanding APM –
SD tahun 2008. APM – SD tahun 2008 sebesar 90,71 persen
meningkat menjadi 91,25 persen. Hal ini berarti bahwa pada
tahun 2008, dari 100 anak berusia 7 – 12 tahun, sekitar 90
anak yang berstatus sebagai siswa Sekolah Dasar dan
meningkat menjadi 91 anak di tahun 2009. Begitu juga
dengan APM – SMP, mengalami peningkatan sebesar 0,09
persen, sebuah kenaikan yang sangat tipis. Kenaikan yang

Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Papua Barat, 2009 25


Gambar 3.6 Angka Partisipasi Murni Menurut Jenjang Pendidikan di Provinsi
Papua Barat, Tahun 2008-2009

SD SMP SMA

90,71 91,25

48,92 49,03
43,61 43,55

2008 2009

tipis ini, disebabkan oleh nilai APM daerah perkotaan yang


mengalami penurunan pada jenjang pendidikan SD dan SMA,
sedangkan daerah perdesaan justru mengalami kebalikannya,
yakni nilai APM – SD dan APM – SMA mengalami kenaikan,
dan untuk SMP mengalami penurunan (lihat Gambar 3.6).

Angka Putus Sekolah


Keberhasilan di bidang pendidikan juga dapat dilihat dari
banyaknya anak yang putus sekolah. Meski pencangan
program wajib belajar 9 tahun sudah berjalan, namun angka
putus sekolah di Papua Barat masih tergolong tinggi. Memang
terjadi penurunan angka putus sekolah dari tahun 2008 ke
tahun 2009 (lihat Gambar 3.7). Angka putus sekolah SD
berkurang dari 3,5 persen menjadi 1,21 persen. Jika dilhat

Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Papua Barat, 2009 26


dari angka persentase, angka ini memang terlihat kecil namun
apabila dilhat dari kondisi riel yakni misal dari 100.000 anak
usia SD sebanyak 1.210 anak yang putus sekolah. Sebuah
angka yang cukup mencengangkan. Masih tingginya angka
putus sekolah ini kemungkinan disebabkan oleh biaya
pendidikan yang semakin mahal, ketiadaan guru di
pedalaman ataupun karena jangkauan sekolah yang jauh
sehingga membuat anak enggan pergi ke sekolah. Meskipun
sudah ada program sekolah gratis untuk sekolah negeri,
namun keterbatasan daya tampung sekolah negeri
menyebabkan banyak anak yang harus masuk sekolah
swasta.

Gambar 3.7 Angka Putus Sekolah Menurut Umur Sekolah di Provinsi Papua
Barat, Tahun 2008-2009

18 16,51
16
14 11,97
12
10 8,3 2008
8 2009
6
3,5
2,89
4
1,21
2
0
7‐12 13‐15 16‐18

Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Papua Barat, 2009 27


Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Papua Barat, 2009 28
Bab 4 
Ketenagakerjaan 

Upaya meningkatkan kesejahteraan rakyat sebagai salah satu


agenda RPJMN 2004—2009 dengan menciptakan lapangan
kerja yang mampu menurunkan pengangguran terbuka
menjadi 5,1 persen pada tahun 2009. Di Papua Barat sendiri
belum ada target spesifik penurunan pengangguran terbuka.
Secara umum, Pemerintah Provinsi Papua Barat
mencanangkan pemberdayaan ekonomi mikro dan kecil di
tahun 2011. Namun, pengaruhnya terhadap penurunan angka
pengangguran masih membutuhkan kajian lebih lanjut.

Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja dan Pengangguran Terbuka


Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja pada tahun 2007
mengalami penurunan dibandingkan kondisi tahun 2006,
namun semenjak itu terus meningkat persentasenya pada
tahun 2008 hingga 2009. Keadaan yang baik yang
menunjukkan bahwa penduduk usia kerja yang masuk dalam
pasar kerja semakin banyak. Yang artinya bahwa semakin
banyak penduduk yang secara ekonomi aktif terlibat dalam
kegiatan produksi barang dan jasa. Ini sangat
menguntungkan perekonomian jika mereka memiliki
produktifitas kerja tinggi.

Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Papua Barat, 2009 29


Jika ingin dibandingkan antara perkotaan dan perdesaan,
tampak bahwa sekarang menuju kearah yang lebih tinggi,
meskipun terjadi penurunan pada tahun 2006 ke 2007. TPAK
perdesaan lebih besar dibandingkan TPAK perkotaan.
Kemudahan memasuki beberapa sektor pekerjaan di
perdesaan (contoh pertanian) bisa menjadi penyebab
mengapa TPAK di perdesaan lebih tinggi dibandingkan
perkotaan. Jelas sekali sektor pekerjaan di perkotaan jauh
lebih sukar dimasuki daripada diperdesaan.
Tabel 4.1 Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) dan Tingkat Pengangguran
Terbuka (TPT) di Provinsi Papua Barat, Tahun 2006-2009

Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja Tingkat Pengangguran Terbuka


Daerah (Agustus) (Agustus)
2006 2007 2008 2009 2006 2007 2008 2009
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9)

Perkotaan 65,84 56,65 59,27 61,80 19,59 16,40 15,72 14,91


Perdesaan 74,53 71,36 72,06 71,49 6,08 6,76 4,72 3,93
Total 71,67 66,52 68,15 68,52 10,17 9,46 7,65 6,97
                          
Sumber: BPS, Sakernas 2006—2009

Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) menggambarkan


banyaknya angkatan kerja yang menganggur. Semakin
banyak angkatan kerja yang berstatus pengangguran yaitu
mereka yang belum bekerja dan sedang mencari kerja atau
mempersiapkan suatu usaha, dan mereka yang sementara
belum mulai kerja walau sudah mendapat pekerjaan dan
mereka yang tidak mencari kerja karena merasa tidak
mungkin mendapatkan pekerjaan, maka semakin tinggi TPT.
Pengangguran akan menjadi permasalah sosial dan ekonomi

Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Papua Barat, 2009 30


yang harus ditanggulangi.
Dari tahun 2006 hingga 2009 terlihat bahwa penurunan TPT
terus berlangsung. TPT sekarang menjadi semakin kecil yaitu
mencapai 6,97 persen dan jauh lebih rendah dibandingkan
tahun 2006 yang mencapai 10,17 persen. Angkatan kerja
yang terserap dalam lapangan pekerjaan semakin banyak.
Jika dibandingkan antara perkotaan dan perdesaan terjadi
perbedaan yang sangat signifikan di mana TPT perkotaan jauh
lebih tinggi dibandingkan TPT Perdesaan. Wajar saja karena
seperti dijelaskan di atas bahwa sektor pekerjaan di
perdesaan sangat mudah dimasuki oleh karena di perdesaan
angkatan kerja dapat dengan mudahnya bergabung dalam
sektor-sektor subsisten seperti pertanian, kehutanan,
perkebunan, perikanan dll yang tidak menuntut kualifikasi
pendidikan tinggi. Tidak sama halnya dengan sektor – sektor
modern diperkotaan seperti industry, jasa-jasa dll yang
menuntut kualifikasi pendidikan jauh lebih tinggi. TPT
perdesaan pada tahun 2006 sebesar 6,08 persen menjadi
3,93 persen pada tahun 2009. Sedangkan TPT perkotaan
turun dari 19,59 persen pada tahun 2006 menjadi 14,91
persen. Kondisi TPT perkotaan tahun 2009 masih jauh lebih
tinggi dibandingkan TPT perdesaan pada tahun 2006.

TPT Menurut Tingkat Pendidikan Tertinggi Yang Ditamatkan


Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa sekarang TPT secara
umum semakin menurun. Jika dilihat dari tingkat pendidikan
angkatan kerja baik tingkat pendidikan rendah hingga yang
paling tinggi tampak bahwa dari tahun 2007 hingga tahun
2009 TPT semakin menurun. Apabila ingin membandingkan
antar tingkat pendidikan per tahunnya, maka dapat dijelaskan

Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Papua Barat, 2009 31


Tabel 4.2 Tingkat Pengangguran Terbuka Menurut Tingkat Pendidikan Yang Ditamatkan di Provinsi Papua
Barat, Tahun 2007-2009

Pendidikan Tertinggi yang Perkotaan Perdesaan Kota + Desa


ditamatkan
2007 2008 2009 2007 2008 2009 2007 2008 2009
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (8) (9) (10)
TDK/BLM SEKOLAH 74,81 0,00 0,00 0,65 0,73 0,00 1,10 0,73 0,00

TDK/BLM TAMAT SD 17,75 9,45 10,55 2,46 1,40 2,38 3,50 2,59 3,08

SD 10,12 10,30 9,39 3,27 1,86 1,81 4,24 2,78 3,00

SLTP 7,92 11,60 13,09 6,88 4,29 4,87 7,12 6,16 7,02

SLTA UMUM/SMU 18,71 19,02 16,75 16,74 13,93 11,63 17,67 16,42 14,27

SLTA KEJURUAN/SMK 25,33 19,65 21,32 18,69 17,22 10,33 22,66 18,49 16,30

DIPLOMA I/II dan AKADEMI 10,10 16,27 10,15 11,89 10,35 4,76 10,98 13,63 7,21

UNIVERSITAS 18,52 16,44 13,03 18,38 8,00 7,25 18,48 12,90 10,90

Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Papua Barat, 2009


Total 16,40 15,72 14,91 6,76 4,72 3,93 9,46 7,65 6,97

Sumber: BPS, Sakernas 2007—2009

32
semakin tinggi tingkat pendidikan maka semakin besar
TPTnya. Pada tahun 2007, 2008 dan 2009 terbentuk pola
yang serupa. Angkatan kerja dengan tingkat pendidikan
rendah jauh lebih mudah terserap dalam lapangan pekerjaan
daripada mereka yang berpendidikan tinggi. Bisa diamati
pada tahun 2009, tercatat bahwa angkatan kerja yang
berpendidikan SMP kebawah hanya kurang dari 8 persen saja
yang tidak terserap dalam lapangan pekerjaan. Berarti kurang
lebih 93 persen diantaranya memiliki perkerjaan. TPT SD 3
persen, SLTP 7,02 persen.
Sebaliknya yang berpendidikan SMA ke atas yang tidak
terserap dalam lapangan pekerjaan mencapai rata-rata lebih
dari 10 persen. Contoh TPT SMA sebesar 14,27 persen, SMA
kejuruan 16,30 persen, Diploma 7,21 persen, univeristas
10,90 persen.
Lebih ekstrem dan jelas lagi jika TPT pertingkat pendidikan
dibandingkan antara wilayah perdesaan dan perkotaan.
Semakin jelas bahwa daya serap lapangan pekerjaan
terhadap angkatan kerja di perkotaan tidak sekuat di
perdesaan. Angkatan kerja berpendidikan rendah (SD ke
bawah) yang terserap di perdesaan nyaris 4 kali lebih banyak
yang di perkotaan, sedangkan yang berpendidikan tinggi
hanya berbanding sekitar 1 : 2. Ini menunjukkan bahwa
angkatan kerja perdesaan lebih mudah terserap dibandingkan
angkatan kerja perkotaan.

Penduduk Bekerja Menurut Lapangan Usaha


Gambaran ketenagakerjaan berdasarkan lapangan usaha/
sektor dari tahun 2006 – 2009 menjelaskan terjadinya
pergeseran struktur pekerjaan di Papua Barat. Semakin lama

Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Papua Barat, 2009 33


sektor pertanian semakin menurun karena semakin
ditinggalkan angkatan kerja yang lebih memilih sektor Industri
(manufacture) dan Jasa-jasa (Services). Persentase angkatan
kerja yang bekerja pada kedua sektor terakhir semakin
meningkat dari tahun-ke tahun. Ciri-ciri terjadinya kotanisasi
ketika sektor modern semakin diminati para pencari kerja.
Tabel 4.3 Persentase Penduduk 15 Tahun atau Lebih Yang Bekerja
Menurut Lapangan Usaha di Provinsi Papua Barat, Tahun
2006-2009

Lapangan Usaha
Daerah
Pertanian Industri Jasa
(1) (2) (3) (4)
 
Perkotaan
2006 19,29 12,83 67,87
2007 15,63r 15,84r 68,52r
2008 10,16 20,81 69,03
2009 11,95 17,95 70,10
Perdesaan
2006 84,93 4,37 10,69
r r
2007 79,85 6,11 14,04r
2008 74,39 7,84 17,77
2009 70,43 9,64 19,94
Kota + Desa
2006 67,18 6,66 26,16
r r
2007 63,14 8,62 28,24r
2008 58,79 10,99 30,22
2009 55,68 11,73 32,59
           
Sumber: BPS, Sakernas 2006—2009

Keterangan: r = angka revisi

Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Papua Barat, 2009 34


Selama pertanian terus menjadi sektor yang subsisten dengan
tingkat pendapatan yang lebih rendah dibandingkan sektor
lain maka pertanian akan semakin ditinggalkan. Mereka yang
memasuki sektor ini adalah mereka yang tidak punya
kesempatan masuk ke sektor industri dan jasa-jasa dan kalah
bersaing dengan pencari kerja lain yang lebih berkualitas.
Namun perlu diperhatikan juga bahwa separuh lebih
penduduk yang bekerja berkecimpung di pertanian. Meskipun
sumbangan pertanian terhadap perekonomian Papua Barat
jauh lebih kecil dibandingkan Industri dan jasa-jasa, namun
daya serapnya jauh lebih besar. Kecanggihan teknologi
semakin lama semakin mengurangi porsi tenagakerja
manusia sebagai faktor produksi dalam kegiatan industri dan
akan semakin mengurangi kesempatan tenagakerja. Jasa-jasa
menuntut keterampilan dan keahlian yang ditunjukkan oleh
kualitas angkatan kerja yang akan menjagal kesempatan
mereka yang mayoritas berpendidikan rendah. Sehingga lebih
baik pemerintah memberi perhatian khusus kepada para
pekerja sektor pertanian yang sangat melimpah dengan
memberikan stimulus-stimulus penting yang mampu
merangsang mereka dengan tujuan meningkatkan
produktifitas.
Tiap tahun, di perkotaan mayoritas sektor yang paling banyak
menyerap angkatan kerja adalah sektor jasa-jasa (service)
diikuti sektor industri dan terakhir pertanian dan sebaliknya di
perdesaan pertanian merupakan yang paling banyak
menyerap angkatan diikuti jasa-jasa dan industri.

Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Papua Barat, 2009 35


Penduduk Bekerja Menurut Status Pekerjaan
Yang lebih menarik lagi untuk dianalisa adalah status
pekerjaan pekerja yang mengelompokkan pekerja ke dalam
kegiatan pekerjaan informal atau fomal. Secara umum telihat
bahwa pekerja di Papua Barat lebih dominan bekerja di sektor
informal. Persentase pekerja informal semakin menurun yaitu
dari 68,12 persen pada tahun 2007 menjadi 66,18 persen
pada tahun 2009. Sebaliknya pekerja formal meningkat 0,94
poin dari 31,88 persen pada tahun 2007 menjadi 33,82
persen pada tahun 2009. Kecenderung yang menunjukkan
bahwa para pencari kerja mengincar pekerjaan-pekerjaan
formal seiiring dengan semakin terbukanya kesempatan
memasuki sektor industri dan jasa.
Tabel 4.4 Persentase Penduduk 15 Tahun atau Lebih Yang Bekerja Menurut
Status Pekerjaan di Provinsi Papua Barat, Tahun 2006-2009

Status Perkotaan Perdesaan Kota + Desa


Pekerjaan 2007 2008 2009 2007 2008 2009 2007 2008 2009
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10)

Formal 63,09 57,59 68,97 21,07 19,01 21,96 31,88 28,38 33,82

Informal 36,91 42,41 31,03 78,93 80,99 78,04 68,12 71,62 66,18

Sumber: BPS, Sakernas 2007—2008

Apabila ingin melihat tipe daerahnya, ternyata di Papua Barat


pekerjaan informal lebih terbuka di perdesaan. Penyumbang
besarnya sektor informal di perdesaan adalah banyak pekerja
di sektor pertanian. Sebaliknya di daerah perkotaan, sektor
formal lebih banyak diminati para pencari kerja. Di perkotaan
persentase pekerja sektor formal sekitar dua kali lipatnya

Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Papua Barat, 2009 36


persentase pekerjaan informal. Pusat-pusat industri dan
usaha jasa-jasa perusahaan terkonsentrasi di daerah
perkotaan.

Penduduk Bekerja Menurut Jam Kerja


Informasi persentase pekerja berdasarkan jam kerja tersaji
pada Tabel 4.5 di bawah. Persentase yag bekerja di bawah
jam kerja normal terus meningkat dari 32,34 persen pada
tahun 2007 menjadi 35,91 persen pada tahun 2009.
Meskipun cukup banyak yang bekerja di bawah jam kerja
normal, persentase pekerja yang bekerja dengan jam kerja
normal masih lebih banyak dibandingkan yang bekerja di
bawah jam kerja normal. Namun jika dilihat dari
persentasenya yang terus menurun maka perlu perhatian
khusus pemerintah. Penurunan persentase pekerja dengan
jam kerja normal menunjukkan adanya penurunan
produktifitas pekerja yang akan berdampak pada penurunan
output yang dihasilkan.
Tabel 4.5 Persentase Penduduk 15 Tahun atau Lebih Yang Bekerja Menurut
Jam Kerja di Provinsi Papua Barat, Tahun 2007-2009

Jam Kerja 
Daerah Tempat 
   < 15 jam    < 35 jam 
Tinggal 
2007  2008  2009     2007  2008  2009 
(1)     (2)  (3)  (4)     (5)  (6)  (7) 
Perkotaan    1,42  3,44  3,97    14,66  18,23  19,91 

Perdesaan    5,47  4,31  6,17    38,46  39,42  41,31 


Perkotaan + 
   4,43  4,10  5,62     32,34  34,28  35,91 
Perdesaan 
Sumber: BPS, Sakernas 2007—2009

Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Papua Barat, 2009 37


Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Papua Barat, 2009 38
Bab 5 
Taraf dan Pola Konsumsi 

Agenda pokok keempat pembangunan Papua Barat adalah


penanggulangan kemiskinan. Penurunan persentase
penduduk miskin dapat dimaknai adanya peningkatan tingkat
pendapatan penduduk dan juga menunjukkan peningkatan
tingkat kesejahteraannya. Yang menjadi permasalahan adalah
apakan peningkatan tingkat pendapatan tersebut telah
dinikmati oleh semua penduduk secara merata atau hanya
dinikmati oleh segelintir penduduk dalam kategori beruntung.
Pembahasan bab ini mengulas jawaban permasalahan
tersebut dengan meneliti bagaimana taraf dan pola konsumsi
sebagai proksi dari taraf dan pola pendapatan penduduk
Papua Barat.

Perkembangan Kemiskinan di Papua Barat, 2009 - 2010


Di tahun 2011, persentase penduduk miskin di Papua Barat
ditargetkan turun menjadi 30 persen. Selama periode tahun
2006 – 2010, perkembangan jumlah dan persentase
penduduk miskin di Provinsi Papua Barat menunjukkan tren
menurun. Jumlah penduduk miskin di Provinsi Papua Barat
pada tahun 2009 sebanyak 256.840 jiwa (35,71 persen)
turun menjadi 256.250 jiwa (34,88 persen) pada tahun 2010.

Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Papua Barat, 2009 39


Selama periode 2009 – 2010, jumlah penduduk miskin turun
0,23 persen dan persentase penduduk miskin turun 0,83
poin.
Tabel 5.1 Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin di Provinsi
Papua Barat Menurut Daerah, 2006 – 2010

Jumlah Penduduk Miskin (000) Persentase Penduduk Miskin


Tahun Kota+ Kota+
Kota Desa Kota Desa
Desa Desa
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)
2006 13,3 270,80 284,10 8,42 51,17 41,34
2007 11,0 255,80 266,80 7,14 48,82 39,31
2008 9,48 237,02 246,50 5,93 43,74 35,12
2009 8,55 248,29 256,84 5,22 44,71 35,71
2010 9,59 246,66 256,25 5,73 43,48 34,88

Penurunan angka kemiskinan Provinsi Papua Barat selama


tahun 2009 – 2010 sejalan dengan penurunan angka
kemiskinan di perdesaan. Jumlah penduduk miskin di
perdesaan pada tahun 2009 tercatat 248.290 jiwa (44,71
persen) turun menjadi 246.660 jiwa (43,48 persen) pada
tahun 2010. Penurunan jumlah dan persentase penduduk
miskin di perdesaan 0,66 persen dan 1,23 poin, lebih tinggi
daripada penurunan jumlah dan persentase penduduk miskin
di Provinsi Papua Barat.
Di sisi lain, jumlah dan persentase penduduk miskin di
perkotaan selama tahun 2009 – 2010 naik. Jumlah penduduk
miskin di perkotaan naik dari 8.550 jiwa (5,22 persen) pada
tahun 2009 menjadi 9.590 jiwa pada tahun 2010 (5,73
persen). Kenaikan jumlah dan persentase penduduk miskin di
perkotaan cukup besar yaitu 12,16 persen dan 0,51 poin.

Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Papua Barat, 2009 40


Jika memperhatikan tren penurunan penduduk miskin di
Papua Barat maka target 30 persen penduduk miskin pada
tahun 2011 merupakan target yang terlalu optimistik. Tanpa
kerja keras yang nyata, pencapaian target tersebut adalah
keniscayaan.

Masalah lain dari


penanggulangan kemiskinan
di Papua Barat adalah
KOTA SORONG
SORONG
RAJA AMPAT
MANOKWARI
perbedaan persentase
penduduk miskin antar
SORONG SELATAN TELUK BINTUNI
kabupaten kota yang terlalu
besar. Gambar 5.1 di
Persentase Penduduk Miskin
0-9
FAKFAK
TELUK WONDAMA samping memetakan
10 - 19
20 - 29
30 - 39
persentase penduduk miskin
40 - 60
KAIMANA menurut kabupaten/kota di
Papua Barat tahun 2009.
Gambar 5.1 Sebaran Penduduk Miskin di Zona hijau menunjukkan
Papua Barat Tahun 2009. persentase penduduk miskin
kurang dari 30 persen sebagaimana target penanggulangan
kemiskinan di Papua Barat pada tahun 2011. Zona merah
menunjukkan keadaan sebaliknya. Tampak bahwa persentase
penduduk miskin di Kabupaten Kaimana, Kabupaten Sorong
Selatan, dan Kabupaten Raja Ampat telah melampaui target
tersebut meskipun dengan persentase lebih dari 20 persen.
Demikian juga dengan persentase penduduk miskin di Kota
Sorong telah lebih rendah dari separuh target penanggulangan
kemiskinan di Papua Barat.
Memperhatikan Gambar 5.1, penanggulangan kemiskinan di
Kabupaten Teluk Wondama dan Kabupaten Teluk Bintuni
membutuhkan effort yang sangat besar. Kedua kabupaten ini

Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Papua Barat, 2009 41


terbilang cukup terisolir. Dampaknya pada tingginya biaya
transportasi dalam pengadaan kebutuhan barang dan jasa di
kedua kabupaten ini yang berakibat pada tingkat kemahalan
di kedua kabupaten tersebut tertinggi di Papua Barat.

Garis Kemiskinan Maret 2009 - Maret 2010


Penduduk miskin didefinisikan sebagai penduduk yang
memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah
garis kemiskinan. Kenaikan garis kemiskinan yang tidak diikuti
peningkatan kemampuan daya beli berpotensi meningkatkan
angka kemiskinan. Garis kemiskinan Provinsi Papua Barat
tahun 2010 sebesar 294.727 rupiah per kapita per bulan
terdiri dari garis kemiskinan makanan sebesar 237.147
rupiah dan garis kemiskinan non makanan sebesar 57.580
rupiah. Kontribusi garis kemiskinan makanan terhadap garis
kemiskinan 80,46 persen.
Dibanding tahun 2009, garis kemiskinan Papua Barat tahun
2010 mengalami kenaikan sebesar 6,24 persen. Kenaikan
garis kemiskinan pada tahun 2010 di perkotaan (4,74 persen)
lebih rendah daripada kenaikan garis kemiskinan di
perdesaan (6,74 persen). Sebagai pembanding, inflasi year on
year pada Maret 2010 tercatat 3,31 persen sementara inflasi
year on year (y-o-y) perdesaan tercatat sebesar 7,13 persen.
Pada umumnya, inflasi kurang dari 5 persen tidak
mengakibatkan pada kenaikan angka kemiskinan. Hal ini
sejalan dengan penurunan angka kemiskinan Papua Barat
dari tahun 2009 ke tahun 2010 sebesar 2,32 persen tetapi
berlaku sebaliknya bagi kenaikan persentase penduduk
miskin di perkotaan sebesar 9,77 persen dan penurunan
penduduk miskin di perdesaan sebesar 2,75 persen.

Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Papua Barat, 2009 42


Walaupun inflasi y-o-y Maret 2010 di Papua Barat hanya 3,31
persen tetapi pada Februari 2010 mengalami kenaikan angka
pengangguran. Tingkat pengangguran terbuka (TPT) Papua
Barat pada Februari 2010 sebesar 7,77 persen lebih tinggi
dari TPT Februari 2009 (7,73 persen). Kenaikan angka
pengangguran Februari 2010 berdampak nyata pada
penurunan daya beli masyarakat di perkotaan sehingga tidak
mampu mengatasi kenaikan garis kemiskinan perkotaan
4,74 persen.
Di sisi lain, meskipun garis kemiskinan perdesaan mengalami
kenaikan sebesar 6,74 persen dan inflasi perdesaan
mencapai 7,77 persen selama periode Maret 2009 – Maret
2010 tetapi Nilai Tukar Petani (NTP) pada Maret 2010 tercatat
104,21. Artinya, indeks yang diterima lebih tinggi daripada
indeks yang dibayarkan petani. NTP Subsektor Tanaman
Hortikultura, Tanaman Perkebunan Rakyat, Peternakan, dan
Perikanan masing-masing sebesar 110,21; 120,54; 112,76;
dan 113,56. Hanya NTP Subsektor Tanaman Pangan yang
nilai NTP-nya kurang dari 100 yaitu 89,19. Hal ini pertanda
bahwa kenaikan pendapatan petani dinikmati oleh sebagian
besar petani. Karena itu, kenaikan garis kemiskinan
perdesaan masih dapat diimbangi oleh kenaikan pendapatan
masyarakat perdesaan.

Indeks Kedalaman Kemiskinan dan Indeks Keparahan Kemiskinan,


2009 - 2010

Meskipun angka kemiskinan di Papua Barat selama periode


Maret 2009 – Maret 2010 turun tetapi Indeks Kedalaman
Kemiskinan (P1) dan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) naik.

Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Papua Barat, 2009 43


Kenaikan nilai P1 dan P2 terjadi baik di perkotaan maupun di
perdesaan (Lihat Lampiran V (3)).
Kenaikan nilai P1 dan P2 dapat dimaknai kondisi kemiskinan
di Papua Barat semakin dalam dan semakin parah. Untuk itu,
pemerintah Provinsi Papua Barat sebaiknya memprioritaskan
program-program pembangunan yang pro penduduk miskin
(pro poor policy). Pengarusutamaan penanggulangan
kemiskinan ditujukan untuk meningkatkan pendapatan
penduduk miskin dan mengurangi pengeluaran penduduk
miskin dalam hal kebutuhan dasar pendidikan dan kesehatan.

Perkembangan Tingkat Kesejahteraan


Selaras dengan penurunan penduduk miskin selama periode
tahun 2006—2009, rata-rata pengeluaran perkapita
penduduk dalam satu bulan meningkat. JIka pada tahun
2006, setiap penduduk mengeluarkan 322.396 rupiah untuk
kebutuhan konsumsi makanan dan non makanan dalam satu
bulan maka pada tahun 2009 meningkat menjadi 552.162
rupiah atau mengalami kenaikan 23,76 persen per tahunnya.
Peningkatan pengeluaran perkapita ini dipicu oleh
Tabel 5.2 Pengeluaran Per Kapita Per Bulan di
Provinsi Papua Barat , 2006—2009

Pengeluaran Per Kenaikan Nominal


Tahun
Kapita Per Bulan Per Tahun (%)
(1) (2) (3)
2006 322,396.90
23.76
2009 552,162.22
Sumber: BPS, Susenas 2006—2009

Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Papua Barat, 2009 44


KOTA SORONG
RAJA AMPAT SORONG
MANOKWARI

SORONG SELATAN
TELUK BINTUNI

Kemampuan Daya Beli


560.49 TELUK
560.49 - 588.11 FAKFAK
WONDAMA
588.11 - 597.49
597.49 - 600.79 KAIMANA
600.79 - 633.78

Gambar 5.2 Kemampuan Daya Beli Masyarakat di Papua Barat


Tahun 2009.

peningkatan kemampuan daya beli masyarakat di samping


kenaikan harga-harga.
Gambar 5.2 memperlihatkan kemampuan daya beli
masyarakat di Kabupaten/Kota di Papua Barat Tahun 2009.
Gradasi warna menunjukkan bahwa semakin hijau tua
semakin tinggi kemampuan daya beli masyarakatnya. Tampak
bahwa kemampuan daya beli masyarakat terendah di
Kabupaten Raja Ampat dan tertinggi di Kota Sorong.
Kemampuan daya beli masyarakat ini menjadi salah satu
komponen penting dalam penghitungan indeks pembangunan
manusia (IPM). Perhatikan Lampiran V (4) untuk kemampuan
daya beli masyarakat di kabupaten/kota di Papua Barat yang
lebih terperinci.

Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Papua Barat, 2009 45


Perkembangan Distribusi Pendapatan
Di samping meningkatkan tingkat pendapatan,
penanggulangan kemiskinan juga perlu memperhatikan
perkembangan distribusi pendapatan di antara strata
ekonomi. Dua pendekatan yang dapat digunakan untuk
mengukur tingkat kemerataan pendapatan adalah Koefisien
Gini dan Tingkat Kemerataan Menurut Bank Dunia. Koefisien
Gini didasarkan pada kurva Lorenz, yaitu sebuah kurva
pengeluaran kumulatif yang membandingkan distribusi dari
suatu variabel tertentu (misalnya pendapatan) dengan
distribusi uniform (seragam) yang mewakili persentase
kumulatif penduduk. Nilai koefisien gini antara nol, untuk
pemerataan sempurna dan satu, untuk ketimpangan parah.
Bank Dunia mengelompokkan penduduk ke dalam tiga
kelompok sesuai dengan besarnya pendapatan: 40%
penduduk dengan pendapatan rendah, 40% penduduk
dengan pendapatan menengah dan 20% penduduk dengan
pendapatan tinggi. Ketimpangan pendapatan diukur dengan
menghitung persentase jumlah pendapatan penduduk dari
kelompok yang berpendapatan 40% terendah dibandingkan
total pendapatan seluruh penduduk. Apabila persentasenya
kurang dari 12 persen maka termasuk dalam kategori
ketimpangan tinggi; antara 12—17 persen kategori
ketimpangan sedang; dan lebih dari 17 persen kategori
ketimpangan rendah.
Tabel 5.3 menyajikan kedua ukuran ketimpangan
pendapatan. Koefisien gini pada tahun 2007 sebesar 0,33
naik menjadi 0,35 pada tahun 2009. Meskipun terjadi
kenaikan koefisien gini namun status ketimpangan
pendapatan masih pada posisi di antara ketimpangan rendah.

Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Papua Barat, 2009 46


Tabel 5.3 Ukuran Tingkat Pemerataan Pendapatan di Provinsi Papua Barat
Menurut Bank Dunia dan Koefisien Gini , 2007 – 2009

Tingkat Kemerataan Menurut Bank Dunia


Tahun 40 Persen 40 Persen 20 Persen Gini Ratio
Terbawah Menengah Teratas
(1) (2) (3) (4) (5)
2007 28.29 44.59 27.13 0.33
2008 29.61 43.09 27.30 0.36
2009 22.75 41.11 36.14 0.35
Sumber: BPS, Susenas 2007—2009

Dilihat dari tingkat kemerataan menurut Bank Dunia, Provinsi


Papua Barat masih dalam kategori ketimpangan rendah.
Proporsi pengeluaran dari kelompok penduduk 40 persen
terbawah terhadap total pengeluaran seluruh penduduk masih
di atas 17 persen baik pada tahun 2007, 2008 maupun
2009.

Konsumsi Rumah Tangga


Pola konsumsi rumah tangga memberikan gambaran
dominasi pengeluaran rumah tangga. Apabila konsumsi rumah
tangga didominasi untuk komoditi makanan maka rumah
tangga tersebut memiliki sedikit bujet untuk pendidikan dan
kesehatan. Besaran proporsi konsumsi makanan dapat
digunakan untuk mengidentifikasi rumah tangga miskin
(Koefisien Engel).
Meskipun proporsi konsumsi rumah tangga terhadap komoditi
makanan masih cukup dominan tetapi persentasenya
menunjukkan penurunan selama tahun 2008—2009. Tabel
5.4 memperlihatkan pada tahun 2008 proporsi konsumsi

Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Papua Barat, 2009 47


Tabel 5.4 Pola Konsumsi Makanan dan Non Makanan Menurut Kabupaten/
Kota di Provinsi Papua Barat, 2008 – 2009

Makanan Non Makanan


Kabupaten/Kota
2008 2009 2008 2009
(1) (2) (3) (4) (5)
Fakfak 65.34 65.70 34.66 34.30
Kaimana 61.11 63.96 38.89 36.04
Teluk Wondama 69.26 64.60 30.74 35.40
Teluk Bintuni 56.52 66.90 43.48 33.10
Manokwari 50.99 48.75 49.01 51.25
Sorong Selatan 66.94 67.26 33.06 32.74
Sorong 54.42 60.57 45.58 39.43
Raja Ampat 68.56 71.59 31.44 28.41
Kota Sorong 53.49 51.09 46.51 48.91
Provinsi Papua Barat 58.79 55.84 41.21 44.07
Sumber: BPS, Susenas 2008—2009

makanan oleh penduduk Papua Barat mendekati 60 persen


tetapi pada tahun 2009 persentasenya berkurang menjadi
55,84 persen. Di sisi lain, proporsi konsumsi non makanan
meningkat dari 41,21 persen pada tahun 2008 menjadi
44,07 persen pada tahun 2009. Peningkatan proporsi
konsumsi non makanan ini berimbas pada peningkatan
pengeluaran rumah tangga untuk biaya pendidikan dan
kesehatan. Sebagian beban biaya pendidikan ini khususnya di
tingkat SD dan SMP telah dibebaskan dengan Bantuan
Operasional Sekolah (BOS). Demikian juga dengan biaya
kesehatan, pengobatan di tingkat puskesmas telah
digratiskan.

Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Papua Barat, 2009 48


Bab 6 
Perumahan  dan Lingkungan 

Perumahan dan permukiman merupakan salah satu


kebutuhan dasar manusia yang pemenuhannya terus
diupayakan agar semakin besar lapisan masyarakat dapat
menempati rumah dengan lingkungan permukiman yang
layak, sehat, aman dan serasi. Pembangunan perumahan dan
permukiman pada dasarnya merupakan tugas dan tanggung
jawab masyarakat sendiri. Dalam hubungan ini, pemerintah
berkewajiban memberikan kemudahan dan menciptakan iklim
yang dapat mendorong bagi tumbuh dan berkembangnya
prakarsa dan swadaya masyarakat, serta membina agar
pelaksanaan pembangunan dapat berlangsung dengan tertib.
Pembangunan perumahan pada masa Kabinet Indonesia
Bersatu Jilid I diprioritaskan pada upaya untuk meningkatkan
jumlah penduduk yang memiliki dan mendiami rumah layak
huni melalui peningkatan akses kapital untuk melakukan
pembangunan dan perbaikan rumah, terutama bagi
masyarakat berpendapatan rendah dan sektor informal;
mengembangkan pembangunan rumah susun sederhana
sewa (Rusunawa) bagi masyarakat berpendapatan rendah,
baik yang dibiayai oleh pemerintah maupun swasta; serta
mengurangi luasan kawasan kumuh di kawasan perkotaan,
desa nelayan, dan desa eks transmigran.

Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Papua Barat, 2009 49


Kualitas Perumahan
Terjadi peningkatan persentase rumah tangga yang memiliki
tempat tinggal yang layak huni di Provinsi Papua Barat, tingkat
kenaikan rumah tangga yang menggunakan lantai bukan
tanah yaitu sebesar 0,52 poin. Pengguna atap dedaunan
berkurang sebesar 2,95 poin dari keseluruhan rumah tangga
di Provinsi Papua Barat. Peningkatan penggunaan dinding
permanen pada rumah, juga menandakan terdapat perbaikan
kondisi perumahan di Provinsi Papua Barat. Adanya perbaikan
dalam segi fisik perumahan belum menjamin kenyaman
penghuni rumah jika luas lantai perkapita masih dibawah
angka minimum yakni 10 meter per segi. Sebuah rumah yang
mewah tidak akan menjadi nyaman jika banyaknya orang yang
Gambar 6.1 Kondisi Perumahan Di Provinsi Papua Barat, Tahun 2008 –
2009

100 91,08 91,6 90,64 93,6


90
80
70
60 51,3452,27
50 43,26
38,36
40 2008
30 2009
20
10
0
Lantai Bukan  Atap Layak *) Dinding  Luas lantai  per 
Tanah Permanen Kapita < 10 
m2

Keterangan: * Tidak Beratap Dedaunan

Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Papua Barat, 2009 50


menghuni melebihi daya tampung rumah. Terjadi penurunan
jumlah rumah tangga yang menikmati perumahan dengan
luas lantai kurang dari 10 meter per segi. Hal ini sama dengan
semakin banyak rumah tangga yang menikmati perumahan
yang memenuhi nilai minimum luas lantai per kapita.
Sehingga secara keseluruhan terjadi peningkatan jumlah
rumah tangga yang menikmati rumah yang layak huni.

Sanitasi
Masalah yang dianggap remeh dan kurang menarik perhatian
akan tetapi dapat menjadi isu global adalah masalah sanitasi.
Sanitasi kurang mendapatkan perhatian dari pemerintah
dikarenakan terkait langsung dengan cara hidup atau
kebiasaan masyarakat. Berbagai masalah sanitasi baru
mendapat perhatian jika sudah terjadi permasalahan yang
besar. Semisal daerah ibu kota yang mengalami kesulitan air
bersih disebabkan oleh terganggunya sistem penyedia air
bersih. Berhari-hari masyarakat harus membeli air bersih yang
dijual pedagang air keliling. Adanya bencana banjir yang
disebabkan oleh sistem drainase kota yang membuat
peresapan air di ibu kota kurang maksimal. Selain itu masih
banyaknya masyarakat yang hidup di pinggir sungai dan tidak
memiliki fasilitas buang air besar yang memenuhi standar.
Penggunaan air sungai untuk mencuci, minum, dan kakus
tentunya bukan cara hidup yang sehat. Berbagai penyakit
dapat disebabkan oleh adanya cara hidup yang tidak sehat.
Diare, penyakit kulit, dan semacamnya merupakan contoh
penyakit yang biasa diderita dikarenakan cara hidup tersebut.
Dan masih banyak lagi contoh peristiwa yang disebabkan oleh
kurangnya perhatian kita semua pada masalah sanitasi.

Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Papua Barat, 2009 51


Gambar 6.2 Kondisi Perumahan Di Provinsi Papua Barat, Tahun 2008 –
2009

59,49
Jamban Sendiri
45,52

49,2
Air Minum bersih *)
42,81

27,55 2009
Air Minum Leding dan kemasan
25,91 2008

0 10 20 30 40 50 60 70

Di Papua Barat, masalah sanitasi menjadi sangat penting


guna meningkatkan taraf atau derajat kesehatan masyarkat.
Melalui peningkatan penggunaan air bersih dan fasilitas
buang air besar yang memenuhi standar diharapkan mampu
menciptakan cara hidup yang sehat dan pada akhirnya akan
meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Terjadi
peningkatan persentase rumah tangga yang menggunakan air
leding dan kemasan sebagai sumber air minum, yakni 25,91
persen di tahun 2008 menjadi 27,55 persen di tahun 2009.
Air leding dan air kemasan dianggap sebagai sumber air
minum yang lebih baik dari pada yang lainnya. Sebesar 49,20
persen rumah tangga sudah menikmati air bersih, 6,39 poin
lebih tinggi dari tahun sebelumnya. Berarti bahwa terjadi
peningkatan jumlah rumah tangga yang menikmati air bersih.

Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Papua Barat, 2009 52


Begitu juga dengan status kepemilikan fasilitas buang air
besar, rumah tangga yang sudah memiliki jamban sendiri
meningkat dari 45,52 persen pada tahun 2008 menjadi
59,49 persen pada tahun 2009.

Penerangan
Kriteria selanjutnya yang digunakan dalam mengamati kondisi
perumahan di Papua Barat adalah fasilitas penerangan.
Penerangan menjadi sarana pendukung anggota rumah
tangga dalam melakukan aktifitas sehari-hari di rumah.
Pemakaian listrik sebagai sumber penerangan juga dapat
menjadi indikasi besarnya akses rumah tangga terhadap
informasi di luar, baik melalui televisi, radio, atau bahkan
internet. Terjadi peningkatan persentase rumah tangga yang

Gambar 6.3 Persentase Rumah Tangga Yang Menggunakan Penerangan


Listrik Di Provinsi Papua Barat, Tahun 2008 – 2009

68,98

69
68,8
68,6
68,4
68,2 67,48
68
67,8
67,6
67,4
67,2
67
66,8
66,6
2008 2009

Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Papua Barat, 2009 53


menggunakan sumber penerangan listrik selama tahun 2008-
2009, yakni dari 67,48 persen menjadi 68,98 persen.
Peningkatan ini merupakan akibat dari penambahan jumlah
rumah tangga yang menggunakan listrik PLN dari 51,21
persen pada tahun 2008 menjadi 57,67 persen pada tahun
2009. Sebaliknya, persentase rumah tangga yang
menggunakan listrik non PLN turun dari 16,27 persen menjadi
11,31 persen.
Sumber penerangan listrik di Papua Barat belum dapat
sepenuhnya diusahakan oleh PLN. Akses listrik PLN terbanyak
di Kota Sorong dengan lebih dari 90 persen rumah tangga
yang menikmati listrik PLN. Sebaliknya, persentase rumah
tangga pengguna listrik PLN di Kabupaten Teluk Wondama,
Kabupaten Kaimana dan Kabupaten Teluk Bintuni masih
sangat rendah (kurang dari 20 persen). Upaya yang dilakukan
masyarakat di ketiga kabupaten tersebut adalah dengan
mengadakan genset. Selain itu, di pemerintah kabupaten
sendiri mengusahakan listrik daerah yang dikelola oleh PLTD.

Gambar 6.4 P e r s e n t a s e R u m a h T a n g g a Y a n g
Menggunakan Penerangan Listrik PLN Di
Provinsi Papua Barat, Tahun 2009

KOTA SORONG
SORONG
RAJA AMPAT MANOKWARI

SORONG SELATAN
TELUK BINTUNI

Penerangan Listrik
0 - 19.99 FAKFAK TELUK WONDAMA
20 - 39.99
40 - 59.99 KAIMANA
60 - 79.99
80 - 100

Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Papua Barat, 2009 54


Bab 7 
Sosial Lainnya 

Indikator sosial lainnya yang menunjukkan tingkat


kesejahteraan penduduk adalah akses penduduk terhadap
program pengentasan kemiskinan dan akses terhadap
teknologi dan informasi (TI). Program penanggulangan
kemiskinan yang dihimpun melalui pengumpulan data
Susenas meliputi pengurangan pengeluaran rumah tangga
miskin untuk kebutuhan dasar yaitu biaya kesehatan dan
pembelian beras miskin (raskin) dan peningkatan pendapatan
rumah tangga miskin melalui bantuan langsung tunai (BLT)
kredit usaha. Akses penduduk terhadap TI meliputi
penguasaan media komunikasi seperti telepon, komputer, dan
handphone; dan akses penduduk terhadap media internet.

Program Penanggulangan Kemiskinan


Pengarusutamaan penanggulangan kemiskinan mencakup
dua sasaran. Pertama, mengurangi beban rumah tangga
miskin untuk kebutuhan dasar dan meningkatkan
pendapatannya. Pengurangan beban rumah tangga miskin
antara lain melalui program raskin, pembebasan biaya
kesehatan dan dana BOS.
Gambar 7.1 memperlihatkan bahwa akses masyarakat

Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Papua Barat, 2009 55


Gambar 7.1 Persentase Rumah Tangga Yang Mengakses
Pelayanan Kesehatan Gratis Di Provinsi Papua
Barat, Tahun 2009

KOTA SORONG
RAJA AMPAT SORONG
MANOKWARI

TELUK BINTUNI
SORONG SELATAN

Layanan Kesehatan Gratis


FAKFAK TELUK WONDAMA
15.47 - 16.14
16.14 - 18.68
18.68 - 24.06 KAIMANA
24.06 - 62.49
62.49 - 86.01

terhadap layanan kesehatan gratis berbeda antar satu


kabupaten/kota. Akses tertinggi tercatat di Kabupaten Teluk
Wondama. Lebih dari 85 persen penduduk Kabupaten Teluk
Wondama telah menikmati layanan kesehatan gratis.
Sementara layanan kesehatan gratis di Kabupaten Teluk
Bintuni, Kabupaten Sorong Selatan, dan Kabupaten Raja
Ampat telah dinikmati oleh lebih dari separuh penduduk.
Layanan kesehatan gratis di kabupaten lainnya dinikmati oleh
kurang dari 25 persen penduduk dengan persentase terendah
di Kabupaten Kaimana (15,47 persen). Data akses layanan
kesehatan gratis di Papua Barat selengkapnya dapat dilihat
pada Lampiran VII (1).
Dibandingkan dengan akses layanan kesehatan gratis, lebih
banyak rumah tangga yang dapat mengakses program raskin.

Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Papua Barat, 2009 56


Di Kabupaten Raja Ampat, lebih dari 90 persen rumah tangga
menyatakan membeli beras raskin. Persentase rumah tangga
yang membeli raskin di Kabupaten Kaimana, Kabupaten
Sorong, Kabupaten Teluk Wondama, dan Kabupaten Fakfak
cukup tinggi dengan besaran masing-masing 86,59; 77,09;
76,01 dan 71,87 persen. Di tingkat provinsi sendiri layanan
raskin telah dinikmati oleh 59,06 persen.
Program peningkatan pendapatan rumah tangga miskin dibagi
menjadi tiga kluster. Kluster pertama adalah rumah tangga
yang sangat miskin dalam pengertian harus diberi “ikan”
melalui BLT (Bantuan Langsung Tunai) telah dilaksanakan
pada tahun 2005, 2006 dan 2008. Program ini pada awalnya
untuk meringankan dampak langsung kenaikan bahan-bakar
minyak akibat melonjaknya harga minyak mentah di pasar
internasional. Kenaikan BBM pada tahun 2005 terjadi dua kali
yaitu pada bulan Mei dan Oktober.
Kluster kedua adalah rumah tangga yang mendekati miskin
yang harus diberi “kail”. Umumnya rumah tangga ini telah
memiliki usaha namun tidak dapat berkembang karena
keterbatasan modal. Untuk itu pemerintah menyediakan
program kredit usaha agar rakyat miskin memiliki akses
pinjaman kredit usaha melalui PNPM Mandiri, KUR, atau
Koperasi. Kluster ketiga adalah rumah tangga yang
membutuhkan bantuan pemasaran hasil “tangkapan
ikannya”.
Informasi penanggulangan kemiskinan yang dapat diperoleh
dari Susenas 2009 terbatas pada BLT dan kredit usaha.
Lampiran VII (1) memperlihatkan rumah tangga yang
menyatakan menerima BLT pada tahun 2008/2009 adalah
55,59 persen dengan persentase tertinggi di Kabupaten

Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Papua Barat, 2009 57


Sorong Selatan (93,75 persen) dan terendah di Kota Sorong
(20,36 persen). Sebaliknya, akses penduduk terhadap kredit
usaha masih sangat kecil. Kurang dari lima persen rumah
tangga yang mengakses kredit usaha. Persentase tertinggi di
Kabupaten Kaimana yaitu 14,72 persen.

Akses Teknologi Komunikasi dan Informasi


Perkembangan akses teknologi komunikasi dan informasi di
Papua Barat hingga tahun 2009 cukup pesat. Delapan dari
sepuluh rumah tangga di Papua Barat telah menguasai
telepon seluler (handphone). Persentase rumah tangga
pengguna telepon selular tertinggi di Kota Sorong dan
terendah di Kabupaten Raja Ampat. Hal ini dapat dimaklumi
karena pembukaan jaringan telepon selular pertama di Papua
Barat pertama kali di Kota Sorong. Sementara di Kabupaten
Raja Ampat akses telepon selular masih terbatas di ibu kota
kabupaten dan pembukaan jaringan baru membutuhkan biaya
yang sangat besar karena kondisi geografis Kabupaten Raja
Ampat berupa kepulauan.
Pesatnya perkembangan telepon selular berdampak pada
penurunan akses rumah tangga terhadap telepon (analog).
Persentase rumah tangga pengguna telepon di Papua Barat
turun dari 10,63 persen pada tahun 2008 menjadi 7,90
persen pada tahun 2010. Sifatnya yang statis dan jaringan
line telepon yang terbatas menyebabkan banyak rumah
tangga yang enggan untuk memasang telepon di rumah.
Penguasaan media komputer baik berupa PC/Desktop
ataupun laptop di Papua Barat masih sangat rendah.
Meskipun persentase rumah tangga yang menguasai
komputer meningkat tetapi besarannya kurang dari 10

Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Papua Barat, 2009 58


Gambar 7.2 Persentase Rumah Tangga Yang Mengakses
Internet Di Provinsi Papua Barat, Tahun 2009

KOTA SORONG
RAJA AMPAT SORONG
MANOKWARI

SORONG SELATAN TELUK BINTUNI

TELUK WONDAMA
Akses Internet FAKFAK
0 - 2.99
3 - 9.99 KAIMANA
10 - 20

persen. Hal ini menunjukkan masih banyak penduduk Papua


Barat yang “gagap teknologi” komputer Lihat Lampiran VII (2).

Akses Internet
Perkembangan mutakhir teknologi internet mengakibatkan
dunia seakan tidak lagi berjarak dan bersekat. Informasi dari
belahan dunia manapun dengan sangat mudah diakses
dengan layanan internet. Internet dapat diakses melalui line
telepon, handphone dengan kabel atau tanpa kabel (wireless).
Akses internet bisa di rumah, kantor, pusat perniagaan atau
hotel.
Sayangnya, rumah tangga yang mengakses internet masih
sangat sedikit. Hanya 7,86 persen rumah tangga yang anggota
rumah tangganya pernah mengakses intenet. Persentase
terbesar di Kabupaten Manokwari dan Kota Sorong dengan
persentase masing-masing 16,91 persen dan 11,39 persen.

Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Papua Barat, 2009 59


Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Papua Barat, 2009 60
Lampiran-Lampiran
I (1) Indikator Kependudukan

Jumlah dan Laju Pertumbuhan Penduduk Menurut Kabupaten/Kota di


Provinsi Papua Barat Tahun 2005—2009

Jumlah Penduduk Laju Pertum-


Kabupaten/ buhan Per
Kota Tahun
2005 2007 2009 2005 - 2009
(1) (2) (3) (4) (5)
Fakfak 58.953 65.645 68.116 3,68

Kaimana 37.132 41.346 42.810 3,62

Teluk Wondama 20.414 22.731 23.569 3,66

Teluk Bintuni 47.419 52.801 55.805 4,16

Manokwari 152.302 169.590 176.847 3,81

Sorong Selatan 54.246 60.404 62.583 3,64

Sorong 87.048 96.928 99.712 3,45

Raja Empat 36.510 40.654 41.860 3,48

Kota Sorong 148.988 165.900 172.558 3,74

Prov. Papua Barat 643.012 715.999 743.860 3,71


Sumber: BPS, Proyeksi Penduduk Indonesia 2005—2015.

Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Papua Barat, 2009 62


I (2) Indikator Kependudukan

Kepadatan Penduduk Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Papua


Barat Tahun 2005—2009

Kepadatan Penduduk (jiwa/km2)


Kabupaten/Kota
2005 2007 2009
(1) (2) (3) (4)

Fakfak 4,12 4,58 4,76

Kaimana 2,01 2,23 2,31

Teluk Wondama 1,68 1,87 1,94

Teluk Bintuni 2,54 2,83 2,99

Manokwari 10,54 11,74 12,24

Sorong Selatan 1,82 2,03 2,10

Sorong 3,44 3,83 3,94

Raja Empat 6,00 6,68 6,88

Kota Sorong 134,83 150,14 156,16

Prov. Papua Barat 4,58 5,10 5,30

Sumber: BPS, Provinsi Papua Barat Dalam Angka Tahun 2009

Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Papua Barat, 2009 63


I
Umur Perkawinaan Pertama Perempuan 10 Tahun Atau Lebih Menurut Kabupaten /
Kota di Provinsi Papua Barat Tahun 2008—2009

Umur Perkawinan Pertama (Tahun)


Kabupaten/
10 - 15 16 - 18 19 - 24 25+
Kota
2008 2009 2008 2009 2008 2009 2008 2009
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9)
Fakfak 3.15 7.74 21.96 16.21 56.53 57.40 18.35  18.65
Kaimana 3.91 2.17 15.31 17.86 56.43 61.64 24.35  18.32
Teluk Wondama 4.95 7.77 20.79 25.58 54.95 49.29 19.31  17.35
Teluk Bintuni 11.32 16.06 29.71 22.50 43.88 47.64 15.09  13.80
Manokwari 10.61 8.10 43.30 30.71 34.09 43.67 11.99  17.52
(3) Indikator Kependudukan

Sorong Selatan 5.61 7.37 24.12 27.93 60.12 53.66 10.15  11.04
Sorong 18.65 13.88 31.65 23.04 40.11 50.73 9.59  12.35
Raja Ampat 3.47 2.78 31.41 25.06 57.05 56.59 8.07  15.57
Kota Sorong 8.02 5.08 20.96 26.51 50.90 53.71 20.13  14.70

Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Papua Barat, 2009


Prov. Papua Barat 7.52 8.02 24.53 25.29 50.73 51.27 17.22 15.42

Sumber: BPS, Susenas 2008 dan 2009

64
II (1) Kesehatan

Angka Harapan Hidup di Provinsi Papua Barat Tahun 2008—2009.

Angka Harapan Hidup


Kabupaten/Kota  (tahun)
2008 2009
(1)  (2)  (3) 

Fak-Fak 69,81 70,16

Kaimana 69,26 69,48

Teluk Wondama 67,00 67,25

Teluk Bintuni 67,55 67,88

Manokwari 67,38 67,67

Sorong Selatan 66,33 66,49

Sorong 67,12 67,49

Raja Ampat 65,43 65,75

Kota Sorong 71,12 71,53

Prov. Papua Barat 67,90 68,20

Sumber: BPS Provinsi Papua Barat, IPM Provinsi Papua Barat 2009.

Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Papua Barat, 2009 65


Persentase Balita Menurut Penolong Kelahiran Terakhir dan Kabupaten/Kota di
II
Provinsi Papua Barat Tahun 2009 2008—2009.
Penolong Kelahiran Pertama
Tenaga
Kabupaten/Kota para- Famili/
Dokter Bidan Dukun Lainnya TT
medis keluarga
lain
(2) Kesehatan

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8)


Kab. Fakfak 17.53 67.29 0.96 14.21 0.00 0.00 0.00
Kab. Kaimana 7.05 35.35 20.36 26.75 10.48 0.00 0.00
Kab. Teluk Wondama 10.03 42.24 3.38 22.85 20.83 0.68 0.00
Kab. Teluk Bintuni 6.60 24.29 11.75 35.93 19.22 2.21 0.00
Kab. Manokwari 18.23 46.44 0.42 12.14 21.11 1.65 0.00
Kab. Sorong Selatan 0.88 28.94 21.06 30.71 18.42 0.00 0.00
Kab. Sorong 5.38 43.04 2.16 39.75 6.46 3.22 0.00
Kab. Raja Ampat 1.08 16.13 2.16 78.49 2.14 0.00 0.00
Kota Sorong 20.77 50.04 2.94 22.52 3.31 0.42 0.00

Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Papua Barat, 2009


Provinsi Papua Barat 12.25 42.53 5.65 27.26 11.20 1.11 0.00

Sumber: BPS, Susenas 2009

66
II (3) Kesehatan

Angka Kesakitan Penduduk di Provinsi Papua Barat, 2008—2009.

Angka Kesakitan
Kabupaten/kota
2008 2009
(1) (2) (3)
Fakfak 12.27 11.61
Kaimana 10.82 10.03
Teluk Wondama 26.73 25.24
Teluk Bintuni 31.46 20.61
Manokwari 19.44 30.74
Sorong Selatan 21.49 18.60
Sorong 25.82 16.79
Raja Ampat 8.25 13.78
Kota Sorong 27.30 16.10
Provinsi Papua Barat 21.96 19.62
Sumber: BPS, Susenas 2008 dan 2009

Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Papua Barat, 2009 67


III (1) Pendidikan

Angka Melek Huruf dan Rata-rata Lama Sekolah Penduduk Berumur


15 Tahun atau Lebih di Provinsi Papua Barat, 2008—2009

Rata-rata Lama
Angka Melek Huruf
Kabupaten/kota Sekolah
2008 2009 2008 2009
(1) (2) (3) (4) (5)
Fakfak 97,17 97,18 8,93 9,09
Kaimana 95,48 95,49 7,10 7,32
Teluk Wondama 82,85 83,13 6,39 6,44
Teluk Bintuni 82,67 82,98 6,85 6,88
Manokwari 85,37 85,67 7,59 7,95
Sorong Selatan 88,07 88,20 7,90 7,94
Sorong 91,39 91,40 8,00 8,04
Raja Ampat 92,69 92,77 7,00 7,26

Kota Sorong 99,10 99,12 10,52 10,54

Provinsi Papua Barat 92,15 92,34 7,67 8,01


Sumber: BPS Provinsi Papua Barat, IPM Provinsi Papua Barat 2009.

Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Papua Barat, 2009 68


III (2) Pendidikan

Angka Partisipasi Sekolah di Provinsi Papua Barat, 2008—2009

Angka Partisipasi Sekolah /


Kabupaten/Kota 7 - 12 Tahun 13 - 15 Tahun 16 - 18 Tahun
2008 2009 2008 2009 2008 2009
(1) (3) (4) (7) (8) (11) (12)
Fakfak 96,48 93,65 89,74 87,97 71,98 53,02
Kaimana 95,76 97,20 94,84 82,31 56,03 39,03

Teluk Wondama 90,62 89,07 84,79 91,35 49,32 62,31


Teluk Bintuni 90,34 96,12 87,95 81,18 34,06 56,94
Manokwari 88,32 91,24 84,04 89,79 56,80 79,15

Sorong Selatan 96,95 90,78 91,97 71,09 78,93 41,83


Sorong 95,75 88,79 87,15 86,36 36,92 53,62
Raja Ampat 90,74 94,34 82,26 95,17 31,03 61,76
Kota Sorong 96,70 98,26 95,67 96,81 79,32 45,93

Prov. Papua Barat 93,18 93,35 88,75 88,59 57,53 57,95

Sumber: BPS, Susenas 2008 dan 2009

Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Papua Barat, 2009 69


III (3) Pendidikan

Angka Partisipasi Murni di Provinsi Papua Barat, 2008—2009

Angka Partisipasi Murni


Kabupaten/Kota SD SMP SMA
2008 2009 2008 2009 2008 2009
(1) (3) (4) (7) (8) (11) (12)
Fakfak 95,77 91,94 68,15 47,22 68,21 44,03
Kaimana 95,01 96,71 52,99 31,05 51,75 33,67

Teluk Wondama 86,98 88,07 31,63 20,35 32,85 31,16


Teluk Bintuni 84,91 94,73 41,32 49,33 14,25 28,83
Manokwari 87,32 88,40 48,69 55,16 45,44 56,74

Sorong Selatan 96,95 90,78 49,62 22,22 55,78 27,27


Sorong 94,68 88,79 53,86 36,37 18,46 43,86
Raja Ampat 89,23 93,40 15,77 35,44 23,82 52,70
Kota Sorong 92,77 93,10 77,53 73,85 64,38 38,82

Prov. Papua Barat 90,71 91,25 48,92 49,03 43,61 43,55

Sumber: BPS, Susenas 2008 dan 2009

Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Papua Barat, 2009 70


V (1) Taraf dan Pola Konsumsi

Perkembangan Kemiskinan Menurut Kabupaten/Kota di Papua Barat


Tahun 2008 dan 2009

Kemiskinan Tahun 2008 Kemiskinan Tahun 2009


Kabupaten/ Pen- Pen-
Kota GK P0 duduk GK P0 duduk
Rp./kap/bln (%) Miskin Rp./kap/bln (%) Miskin
(000) (000)
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)

Fakfak 245,342 37.55 24.47 289,107 35.29 23.40


Kaimana 216,657 23.25 10.61 226,850 23.51 9.80
Teluk Wondama 227,686 47.36 11.98 296,732 48.47 11.12
Teluk Bintuni 274,014 50.39 30.06 350,817 51.91 28.21
Manokwari 289,442 43.57 82.62 341,271 40.80 70.24
Sorong Selatan 204,720 26.66 16.37 209,315 26.76 16.31
Sorong 213,899 33.95 32.55 223,625 34.45 33.44
Raja Ampat 220,837 23.76 10.45 221,776 23.71 9.66
Kota Sorong 387,984 14.93 18.19 402,953 15.12 25.40
Sumber: BPS, Susenas 2008 dan 2009

Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Papua Barat, 2009 71


V (2) Taraf dan Pola Konsumsi

Garis Kemiskinan di Papua Barat Tahun 2007—2010

Garis Kemiskinan (Rp/Kapita/Bln)


Daerah/Tahun
Makanan Non Makanan Total
(1) (2) (3) (4)

Perkotaan
Maret 2007 154.698 54.820 209.518
Maret 2008 180.866 63.941 244.807
Maret 2009 223.357 81.373 304.730
Maret 2010 233.764 85.406 319.170

Perdesaan
Maret 2007 176.025 28.933 204.958
Maret 2008 197.785 32.469 230.254
Maret 2009 223.592 45.762 269.354
Maret 2010 238.145 49.367 287.512
Kota+Desa
Maret 2007 172.145 33.853 205.998
Maret 2008 193.930 39.641 233.570
Maret 2009 223.538 53.878 277.416
Maret 2010 237.147 57.580 294.727

Sumber: BPS, Susenas Panel 2007 dan 2010

Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Papua Barat, 2009 72


V (3) Taraf dan Pola Konsumsi

Indeks Kedalaman (P1) dan Indeks Keparahan (P2) Kemiskinan di


Papua Barat Tahun 2007—2010

Kota dan
Daerah/Tahun Kota Desa
Desa
(1) (2) (3) (4)

Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1)


Maret 2007 0,73 16,58 12,97
Maret 2008 0,73 11,67 9,18
Maret 2009 0,43 12,51 9,75
Maret 2010 1,14 13,22 10,47

Indeks Keparahan Kemiskinan (P2)


Maret 2007 0,12 7,29 5,66
Maret 2008 0,24 4,46 3,50
Maret 2009 0,04 4,61 3,57
Maret 2010 0,36 5,47 4,30

Sumber: BPS, Susenas Panel 2007 dan 2010

Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Papua Barat, 2009 73


V (4) Taraf dan Pola Konsumsi

Kemampuan Daya Beli Masyarakat di Papua Barat, 2008—2009

Pengeluaran Per Kapita Disesuaikan (PPP)


Kabupaten/Kota
2008 2009
(1) (2) (3)

Fak-Fak 582.51 585.63

Kaimana 596.37 599.40

Teluk Wondama 597.65 600.79

Teluk Bintuni 596.30 597.49

Manokwari 584.87 588.11

Sorong Selatan 585.70 587.90

Sorong 596.11 597.45

Raja Ampat 558.87 560.49

Kota Sorong 633.78 634.63

Prov. Papua Barat 593.13 595.28

Sumber: BPS, Susenas 2008 dan 2009

Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Papua Barat, 2009 74


VI (1) Perumahan dan Lingkungan

Kondisi Perumahan di Papua Barat, 2008—2009

Lantai Bukan Dinding


Atap Layak
Kabupaten/kota Tanah Permanen

2008 2009 2008 2009 2008 2009


(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)

Kab. Fakfak 94,92 93,21 98,30 100,00 67,94 75,32

Kab. Kaimana 77,34 75,37 100,00 99,23 61,37 53,99

Kab. Teluk Wondama 90,09 97,20 70,29 83,55 14,63 14,79

Kab. Teluk Bintuni 95,75 96,86 96,92 97,31 7,67 8,30

Kab. Manokwari 93,91 96,40 97,74 99,22 45,73 51,72

Kab. Sorong Selatan 88,68 96,87 82,14 68,76 26,16 18,23

Kab. Sorong 87,56 80,20 97,64 90,11 41,97 42,71

Kab. Raja Ampat 93,61 91,65 90,38 80,72 31,28 56,78

Kota Sorong 96,15 92,35 100,00 97,07 79,09 80,59

Prov. Papua Barat 91,08 91,60 92,44 93,42 51,34 52,27

Sumber: BPS, Susenas 2008 dan 2009

Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Papua Barat, 2009 75


VI (2) Perumahan dan Lingkungan

Kondisi Perumahan di Papua Barat, 2008—2009

Air Minum Bersih Jamban Sendiri


Kabupaten/kota
2008 2009 2008 2009
(1) (2) (3) (6) (7)

Kab. Fakfak 75,12 56,49 57,06 65,83

Kab. Kaimana 55,05 54,58 36,54 19,96

Kab. Teluk Wondama 30,19 29,64 18,86 24,73

Kab. Teluk Bintuni 36,06 42,80 59,25 77,87

Kab. Manokwari 50,28 57,03 51,54 57,58

Kab. Sorong Selatan 47,23 19,79 19,17 58,31

Kab. Sorong 5,92 22,40 72,18 55,72

Kab. Raja Ampat 40,83 17,69 26,89 13,56

Kota Sorong 39,90 77,59 72,83 82,58

Prov. Papua Barat 42,81 49,20 45,52 59,49

Sumber: BPS, Susenas 2008 dan 2009

Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Papua Barat, 2009 76


VI (3) Perumahan dan Lingkungan

Sumber Penerangan di Papua Barat, 2008—2009

Listrik PLN Listrik Non PLN


Kabupaten/kota
2008 2009 2008 2009
(1) (2) (3) (6) (7)

Kab. Fakfak 75,77 70,69 9,21 7,90

Kab. Kaimana 52,88 12,58 17,88 44,67

Kab. Teluk Wondama 30,67 4,01 23,57 15,20

Kab. Teluk Bintuni 19,09 17,61 59,11 49,31

Kab. Manokwari 58,17 66,41 2,94 4,36

Kab. Sorong Selatan 36,29 35,39 9,74 2,60

Kab. Sorong 71,55 48,96 ,00 10,42

Kab. Raja Ampat 8,41 39,04 15,42 15,09

Kota Sorong 95,54 92,95 2,67 2,79

Prov. Papua Barat 51,21 57,67 16,27 11,31

Sumber: BPS, Susenas 2008 dan 2009

Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Papua Barat, 2009 77


VII (1) Sosial Lainnya

Akses Penduduk/Rumah Tangga Terhadap Program Penanggulangan


Kemiskinan di Papua Barat Tahun 2009

Pelayanan
Kabupaten/Kota Kesehatan BLT Raskin Kredit Usaha
Gratis
(1) (2) (3) (4) (5)
Kab. Fakfak 24.06 58.12 71.87 3.92
Kab. Kaimana 15.47 80.19 86.59 14.72

Kab. Teluk Wondama 86.01 74.83 76.01 6.41

Kab. Teluk Bintuni 58.33 70.18 20.02 2.96

Kab. Manokwari 18.68 46.59 51.56 3.74

Kab. Sorong Selatan 62.49 93.75 60.96 2.08

Kab. Sorong 16.14 70.32 77.09 1.04

Kab. Raja Ampat 57.26 80.73 93.75 3.12


Kota Sorong 15.63 20.36 43.93 6.72

Provinsi Papua Barat 28.53 55.59 59.06 4.45

Sumber: BPS, Susenas 2008 dan 2009

Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Papua Barat, 2009 78


VII (2) Sosial Lainnya

Persentase Rumah Tangga yang Mempunyai Alat Komunikasi Informasi dan


Teknologi di Provinsi Papua Barat Tahun 2008 dan 2009

Telepon Laptop/
Handphone Destop/PC
Kabupaten/Kota Rumah notebook
2008 2009 2008 2009 2008 2009 2008 2009
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9)

Kab. Fakfak 17.00 8.91 51.58 53,52 3.67 10.71 3.67 7.45

Kab. Kaimana 6.11 0.32 43.94 44,21 7.78 3.03 9.18 1.70

Kab. Teluk Wondama 0.47 0.00 23.60 25,94 2.84 1.99 3.78 3.18

Kab. Teluk Bintuni 1.53 0.86 45.85 46,24 10.27 5.23 11.43 6.10

Kab. Manokwari 7.52 15.05 46.09 61,25 11.07 8.55 7.76 12.72

Kab. Sorong Selatan 2.63 0.00 21.24 21,62 1.07 1.04 1.07 2.08

Kab. Sorong 2.36 1.04 49.09 49,36 2.37 2.08 0.00 2.08

Kab. Raja Ampat 0.00 0.00 12.11 13,27 0.52 0.52 0.52 0.52

Kota Sorong 22.54 13.91 79.95 80,92 6.22 7.84 5.93 9.30

Prov. Papua Barat 10.63 7.90 50.68 54,09 5.49 5.90 5.46 7.08

Sumber: BPS, Susenas 2008 dan 2009

Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Papua Barat, 2009 79


VII (3) Sosial Lainnya

Persentase Rumah Tangga yang Mengakses Intenet di Provinsi Papua Barat


Tahun 2009

% Rumah Tempat Mengakses Internet


Tangga
Kabupaten/Kota Yang Men-
gakses Rumah Warnet Kantor Sekolah Lainnya
Internet
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)
Kab. Fakfak 3.99 0.00 1.59 2.00 0.00 0.40

Kab. Kaimana 0.93 0.00 0.54 0.39 0.00 0.00

Kab. Teluk Wondama 1.59 0.00 0.40 0.79 0.00 0.40

Kab. Teluk Bintuni 2.89 0.99 0.00 1.49 0.00 1.41

Kab. Manokwari 16.91 4.03 3.88 12.10 4.81 1.55

Kab. Sorong Selatan 1.56 0.00 0.00 1.56 0.00 0.00

Kab. Sorong 1.56 0.00 1.04 0.00 0.52 0.00

Kab. Raja Ampat 1.05 0.00 0.00 1.05 0.00 0.00

Kota Sorong 11.39 3.78 3.20 7.19 1.20 1.00

Prov. Papua Barat 7.86 1.91 2.02 5.16 1.57 0.76

Sumber: BPS, Susenas 2009

Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Papua Barat, 2009 80

Anda mungkin juga menyukai