Anda di halaman 1dari 133

G<ILD8?

8E
PERUMAHAN
Membentang Atap Berpilar Asa
BADAN REHABILITASI DAN REKONSTRUKSI NAD–NIAS
(BRR NAD–NIAS)
16 April 2005 ‑ 16 April 2009

Kantor Pusat Kantor Perwakilan Nias Kantor Perwakilan Jakarta


Jl. Ir. Muhammad Thaher No. 20 Jl. Pelud Binaka KM. 6,6 Jl. Galuh ll No. 4, Kabayoran Baru
Lueng Bata, Banda Aceh Ds. Fodo, Kec. Gunungsitoli Jakarta Selatan
Indonesia, 23247 Nias, Indonesia, 22815 Indonesia, 12110
Telp. +62‑651‑636666 Telp. +62‑639‑22848 Telp. +62‑21‑7254750
Fax. +62‑651‑637777 Fax. +62‑639‑22035 Fax. +62‑21‑7221570
www.e‑aceh‑nias.org
know.brr.go.id

Pengarah : Kuntoro Mangkusubroto Fotografi : Arif Ariadi


Penggagas : Bambang Sudiatmo Bodi Chandra
Kasru Susilo Desain Grafis : Bobby Haryanto (Kepala)
Wisnubroto Sarosa Edi Wahyono
Editor : Cendrawati Suhartono (Koordinator) Priscilla Astrini
Gita Widya Laksmini Soerjoatmodjo Surya Mediana
Margaret Agusta (Kepala) Penyelaras Akhir : Aichida Ul‑Aflaha
Editor Bahasa : Ihsan Abdul Salam Heru Prasetyo
Intan Kencana Dewi
Penulis : Bodie Wibowo
Ratna Pawitra Trihadji
Erwin Fahmi
Ricky Sugiarto (Kepala)
Douglas Y. Batubara
Rudiyanto
Juniawan
Lukman Age
Mirisa Hasfaria S.
T. Nirarta Samadhi
Widosari Jamil

Alih bahasa ke Inggris


Editor : Margaret Agusta
Editor Bahasa : Linda Hollands
Penerjemah : Narottama Notosusanto
Ratna Pawitra Trihadji
Tjandra Kerton
Thilma Komaling

Penyusunan Seri Buku BRR ini didukung oleh Multi Donor Fund (MDF)
melalui United Nations Development Programme (UNDP) Technical Assistance to BRR Project

ISBN 978‑602‑8199‑38‑4
Melalui Seri Buku BRR ini, Pemerintah beserta seluruh rakyat Indonesia dan BRR
hendak menyampaikan rasa terima kasih yang mendalam atas uluran tangan yang
datang dari seluruh dunia sesaat setelah gempa bertsunami yang melanda Aceh pada
26 Desember 2004 serta gempa yang melanda Kepulauan Nias pada 28 Maret 2005.
Empat tahun berlalu, tanah yang dulu porak‑poranda kini ramai kembali seiring dengan
bergolaknya ritme kehidupan masyarakat. Capaian ini merupakan buah komitmen yang
teguh dari segenap masyarakat lokal serta komunitas nasional dan internasional yang
menyatu dengan ketangguhan dan semangat para korban yang selamat meski telah
kehilangan hampir segalanya.
Berbagai dinamika dan tantangan yang dilalui dalam upaya keras membangun kembali
permukiman, rumah sakit, sekolah, dan infrastruktur lain, seraya memberdayakan para
penyintas untuk menyusun kembali masa depan dan mengembangkan penghidupan
mereka, akan memberikan pemahaman penting terhadap proses pemulihan di Aceh dan
Nias.
Berdasarkan hal tersebut, melalui halaman‑halaman yang ada di dalam buku ini,
BRR ingin berbagi pengalaman dan hikmah ajar yang telah diperoleh sebagai sebuah
sumbangan kecil dalam mengembalikan budi baik dunia yang telah memberikan
dukungan sangat berharga dalam membangun kembali Aceh dan Nias yang lebih baik
dan lebih aman; sebagai catatan sejarah tentang sebuah perjalanan kemanusiaan yang
menyatukan dunia.
Saya bangga,
kita dapat berbagi pengalaman, pengetahuan, dan pelajaran
dengan negara‑negara sahabat. Semoga apa yang telah kita lakukan
dapat menjadi sebuah standar dan benchmark bagi upaya‑upaya serupa,
baik di dalam maupun di luar negeri.

Sambutan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono


pada Upacara Pembubaran BRR di Istana Negara, 17 April 2009
tentang keberangkatan tim BRR untuk Konferensi Tsunami Global Lessons Learned
di Markas Besar PBB di New York, 24 April 2009
Tampak udara Kota Baru Beuramoe, Kabupaten Aceh Besar, 3 April 2009, yang dibangun sebagai kompleks relokasi
bagi para penerima manfaat rumah pascatsunami. Dengan tersedianya prasarana-sarana dasar yang lengkap dan
terintegrasi, kota satelit baru yang dibangun oleh sejumlah Mitra Pemulihan ini menjadi monumen nyata kerja sama
kemanusiaan antarbangsa. Foto: BRR/Arif Ariadi
Daftar Isi
Pendahuluan viii
Bagian 1. Ketika yang Tak Pernah Terbayangkan Datang 1
Bencana Tiada Bandingannya 1
Merumuskan Arah dan Langkah 8
Bagian 2. Ikhtiar Membangun Kembali menjadi Lebih Baik 17
Menetapkan Pedoman  17
Menyusun Kebijakan yang Bijak 21
Membangun Kembali dengan Strategi 21
Bagian 3. Membangun Harapan dan Masyarakat 29
Perencanaan Desa  29
Kerangka Kerja dan Rencana Aksi Tata Ruang Kecamatan 36
Proyek Rekonstruksi Tanah dan Sistem Administrasi di Aceh 41
ReKompak: Partisipasi Masyarakat dalam Rekonstruksi Perumahan 49
Kota Baru, Harapan Baru 54
Memberikan Tempat Berlindung bagi Penyewa 56
Penyediaan Infrastruktur Kawasan dan Permukiman 62
Membangun Perumahan dan Permukiman Bersama Kawan 63
Menguak Fakta Lewat Sistem Informasi Geospasial 68
Bagian 4. Jurus Penjawab Tantangan 75
Ketika Rumah Harus Sekejap Dibangun 75
Dilema di Persimpangan Jalan 78
Ribuan Rumah, Ribuan Kontraktor 79
Menghadapi Hambatan 81
Beradaptasi terhadap Kebutuhan  83
Bagian 5. Hikmah Ajar untuk Masa depan 93
Capaian Empat Tahun 93
Hikmah Ajar dari Lapangan 101
Renungan Penutup 113
Daftar Singkatan 114
PERUMAHAN: Membentang Atap Berpilar Asa

viii Pendahuluan
Selama tiga kali dua puluh empat jam, terhitung sejak 27 Desember 2004, Sang
Saka Merah Putih berkibar setengah tiang: bencana nasional dimaklumatkan. Aceh dan
sekitarnya diguncang gempa bertsunami dahsyat. Seluruh Indonesia berkabung. Warga
dunia tercengang, pilu.
Tsunami menghantam bagian barat Indonesia dan menyebabkan kehilangan berupa
jiwa dan sarana‑prasarana dalam jumlah yang belum pernah terbayangkan sebelumnya.
Bagi yang selamat (penyintas), rumah, kehidupan, dan masa depan mereka pun turut raib
terseret ombak.
Besaran 9,1 skala Richter menjadikan gempa tersebut sebagai salah satu yang terkuat
sepanjang sejarah modern. Peristiwa alam itu terjadi akibat tumbukan dua lempeng
tektonik di dasar laut yang sebelumnya telah “jinak” selama lebih dari seribu tahun.
Namun, dengan adanya tambahan tekanan sebanyak 50 milimeter per tahun secara
perlahan, dua lempeng tersebut akhirnya mengentakkan 1.600‑an kilometer patahan
dengan keras. Patahan itu dikenal sebagai patahan megathrust Sunda.
Episentrumnya terletak di 250 kilometer barat daya Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam. Retakan yang terjadi, yakni berupa longsoran sepanjang 10 meter, telah
melentingkan dasar laut dan kemudian mengambrukkannya. Ambrukan ini mendorong
dan mengguncang kolom air ke atas dan ke bawah. Inilah yang mengakibatkan
serangkaian ombak dahsyat.
Hanya dalam waktu kurang dari setengah jam setelah gempa, tsunami langsung
menyusul, menghumbalang pesisir Aceh dan pulau‑pulau sekitarnya hingga 6 kilometer
ke arah daratan. Sebanyak 126.741 jiwa melayang dan, setelah tragedi tersebut, 93.285
orang dinyatakan hilang. Sekitar 500.000 orang kehilangan hunian, sementara 750.000‑an
orang mendadak berstatus tunakarya.
Pada sektor privat, yang mengalami 78 persen dari keseluruhan kerusakan, 139.195
rumah hancur atau rusak parah, serta 73.869 lahan kehilangan produktivitasnya.
Sebanyak 13.828 unit kapal nelayan raib bersama 27.593 hektare kolam air payau
dan 104.500 usaha kecil‑menengah. Pada sektor publik, sedikitnya 669 unit gedung
pemerintahan, 517 pusat kesehatan, serta ratusan sarana pendidikan hancur atau mandek

Pendahuluan
berfungsi. Selain itu, pada subsektor lingkungan hidup, sebanyak 16.775 hektare hutan
pesisir dan bakau serta 29.175 hektare terumbu karang rusak atau musnah.
Kerusakan dan kehilangan tak berhenti di situ. Pada 28 Maret 2005, gempa 8,7 skala ix
Richter mengguncang Kepulauan Nias, Provinsi Sumatera Utara. Sebanyak 979 jiwa
melayang dan 47.055 penyintas kehilangan hunian. Dekatnya episentrum gempa
yang sebenarnya merupakan susulan dari gempa 26 Desember 2004 itu semakin
meningkatkan derajat kerusakan bagi Kepulauan Nias dan Pulau Simeulue.
Dunia semakin tercengang. Tangan‑tangan dari segala penjuru dunia terulur untuk
membantu operasi penyelamatan. Manusia dari pelbagai suku, agama, budaya, afiliasi
politik, benua, pemerintahan, swasta, lembaga swadaya masyarakat, serta badan nasional
dan internasional mengucurkan perhatian dan empati kemanusiaan yang luar biasa besar.
Dari skala kerusakan yang diakibatkan kedua bencana tersebut, tampak bahwa sekadar
membangun kembali permukiman, sekolah, rumah sakit, dan prasarana lainnya belumlah
cukup. Program pemulihan (rehabilitasi dan rekonstruksi) harus mencakup pula upaya
membangun kembali struktur sosial di Aceh dan Nias. Trauma kehilangan handai‑taulan
dan cara untuk menghidupi keluarga yang selamat mengandung arti bahwa program
pemulihan yang ditempuh tidak boleh hanya berfokus pada aspek fisik, tapi juga nonfisik.
Pembangunan ekonomi pun harus bisa menjadi fondasi bagi perkembangan dan
pertumbuhan daerah pada masa depan.
Pada 16 April 2005, Pemerintah Republik Indonesia, melalui penerbitan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang‑Undang Nomor 2 Tahun 2005, mendirikan Badan
Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah dan Kehidupan Masyarakat Provinsi Nanggroe
Aceh Darussalam dan Kepulauan Nias, Sumatera Utara (BRR). BRR diamanahi tugas untuk
mengoordinasi dan menjalankan program pemulihan Aceh‑Nias yang dilandaskan pada
partisipasi aktif masyarakat setempat. Dalam rangka membangun Aceh‑Nias secara
lebih baik dan lebih aman, BRR merancang kebijakan dan strategi dengan semangat
transparansi, untuk kemudian mengimplementasikannya dengan pola kepemimpinan
PERUMAHAN: Membentang Atap Berpilar Asa

dan koordinasi efektif melalui kerja sama lokal dan internasional.


Pemulihan Aceh‑Nias telah memberikan tantangan bukan hanya bagi Pemerintah
dan rakyat Indonesia, melainkan juga bagi masyarakat internasional. Kenyataan bahwa
tantangan tersebut telah dihadapi secara baik tecermin dalam berbagai evaluasi terhadap
program pemulihan.
Pada awal 2009, Bank Dunia, di antara beberapa lembaga lain yang mengungkapkan
hal serupa, menyatakan bahwa program tersebut merupakan “kisah sukses yang belum
pernah terjadi sebelumnya” dan “teladan bagi kerja sama internasional”. Bank Dunia
juga menyatakan bahwa kedua hasil tersebut dicapai berkat “kepemimpinan efektif dari
x Pemerintah”.
Upaya pengelolaan yang ditempuh Indonesia, tak terkecuali dalam hal kebijakan
dan mekanisme antikorupsi yang diterapkan BRR, telah menggugah kepercayaan para
donor, baik individu maupun lembaga, serta komunitas internasional. Tanpa kerja sama
masyarakat internasional, kondisi Aceh dan Nias yang porak‑poranda itu mustahil berbalik
menjadi lebih baik seperti saat ini.
Guna mengabadikan capaian kerja kemanusiaan tersebut, BRR menyusun Seri Buku BRR.
Kelima belas buku yang terkandung di dalamnya memerikan proses, tantangan, kendala,
solusi, keberhasilan, dan pelajaran yang dituai pada sepanjang pelaksanaan program
pemulihan Aceh‑Nias. Upaya menerbitkannya diikhtiarkan untuk menangkap dan
melestarikan inti pengalaman yang ada serta mengajukan diri sebagai salah satu referensi
bagi program penanganan dan penanggulangan bencana di seluruh dunia.
Buku berjudul Membentang Atap Berpilar Asa ini mengulas bagaimana rumah beserta
kelengkapan prasarana‑sarana dasarnya dibangun dan ditata agar tercipta lingkungan
yang ramah‑huni. Tanpa itu, sulit bagi masyarakat penyintas untuk bangun, beraktivitas,
merencanakan masa depan, serta merealisasikan harapan‑harapannya secara nyaman
dan damai. Pada titik inilah arti penting sektor ini diketengahkan.
Prioritas pembangunan perumahan adalah, jelas, untuk memenuhi kebutuhan
rumah bagi para penyintas. Sekalipun sempat tertatih‑tatih dan terganjal seabrek
tantangan, namun kini, rumah‑rumah terlihat berjajaran. Baru, indah, segar,
menjulur‑mengelompok sebagai kluster permukiman baru. Pelibatan masyarakat beserta
pewadahan aspirasi harapan‑harapannya, kendatipun terkadang susah diterapkan
secara utuh, telah menjadi tiang utama bagi diimplementasikannya sebagian besar
proses merumahkan kembali.
Capaian 4 Tahun
Rehabilitasi dan Rekonstruksi

635.384
orang kehilangan tempat tinggal
127.720
orang meninggal dan 93.285 orang hilang

104.500 155.182
usaha kecil menengah (UKM) lumpuh tenaga kerja dilatih xi
195.726
UKM menerima bantuan

139.195 140.304
rumah rusak atau hancur rumah permanen dibangun
73.869 69.979
hektare lahan pertanian hancur hektare lahan pertanian direhabilitasi
1.927 39.663
guru meninggal guru dilatih
13.828 7.109
kapal nelayan hancur kapal nelayan dibangun atau dibagikan
1.089 3.781
sarana ibadah rusak sarana ibadah dibangun atau diperbaiki
2.618 3.696
kilometer jalan rusak kilometer jalan dibangun
3.415 1.759
sekolah rusak sekolah dibangun
517 1.115
sarana kesehatan rusak sarana kesehatan dibangun
669 996
bangunan pemerintah rusak bangunan pemerintah dibangun
119 363
jembatan rusak jembatan dibangun
22 23
pelabuhan rusak pelabuhan dibangun
8 13
bandara atau airstrip rusak bandara atau airstrip dibangun
Ketika yang

Bagian 1. Ketika yang Tak Pernah Terbayangkan Datang


Tak Pernah
Terbayangkan
Datang 1

Bencana Tiada Bandingannya


Tersentak. Terhenyak. Tercekat. Itulah yang dirasakan ratusan ribu orang ketika
bagian barat daya Pulau Sumatera diguncang gempa dahsyat berkekuatan 9,1 Skala
Richter disusul gelombang tsunami setinggi pohon kelapa. Bukan main‑main, gempa
26 Desember 2004 adalah gempa dunia terbesar selama 40 tahun terakhir. Di Indonesia
sendiri, inilah peristiwa alam terburuk setelah Krakatau meletus pada 1883. Minggu pukul
8 pagi, yang tak pernah terbayangkan datang.
Dalam sekejap gelombang tsunami menyapu 800 kilometer wilayah pesisir Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam (NAD)—kira‑kira setara jarak Jakarta‑Surabaya. Gempa
disusul tsunami menelan begitu banyak korban. Di Aceh, 126.741 orang dipastikan tewas
dan 93.285 orang dilaporkan hilang. Dalam sektor perumahan dan permukiman, dampak
bencana sangat luar biasa—diperkirakan lebih dari setengah juta orang kehilangan
tempat tinggal. Ibu kota provinsi, Banda Aceh, termasuk kota yang paling parah terkena
dampak tsunami.
Tsunami telah menyulap panorama
Pada 28 Maret 2005 pukul 23.09 WIB, gempa berkekuatan 9,1 Skala Richter selama makmur desa‑desa pesisir di Pantai
sekitar lima menit mengguncang Pulau Sumatera. Gempa ini merupakan gempa bumi Barat Aceh, seperti di Lhok Nga,
terbesar kedua di dunia sejak 1964. Getarannya terasa hingga radius 1.000 kilometer Kabupaten Aceh Besar, 22 April 2005
ini, menjadi hamparan reruntuhan
sampai Bangkok, Simeulue, Singkil, dan Nias pun terguncang kembali. dan puing‑puing. Foto: Arif Ariadi
PERUMAHAN: Membentang Atap Berpilar Asa

Rumah‑rumah yang tidak hancur Secara singkat, dalam melakukan rehabilitasi dan rekonstruksi, sektor perumahan
total oleh tsunami, misalnya di dan permukiman menghadapi serangkaian pekerjaan mahaberat. Mencari dan
Kampung Mulia, Banda Aceh,
26 Mei 2005 ini, temboknya banyak mempersiapkan tanah, mendata calon penerima manfaat, membangun rumah dan segala
yang dicoret‑coreti grafiti terutama prasarana, termasuk tata ruang yang dibutuhkan untuk membangun permukiman dan
untuk menandai kepemilikan menempatkan para korban bencana ke rumah‑rumah tersebut, sungguh sangat jauh dari
si empunya rumah yang telah
kata “mudah”.
meninggal atau mengungsi.
Foto: BRR/Arif Ariadi Tanah sendiri merupakan persoalan besar yang membutuhkan penanganan tersendiri.
Tercatat daerah yang terkena tsunami 13.610 hektare dari luas wilayah 5.736.577 hektare
sebelumnya. Sebagian wilayah di Kecamatan Meuraxa, Syiah Kuala, Kuta Raja, dan Jaya
Baru tenggelam. Selain itu, sebagian besar catatan terkait pertanahan di wilayah yang
tersapu gelombang tsunami hilang atau rusak.
Tak hanya itu, tsunami juga melenyapkan titik‑titik batas tanah. Banyak pemilik tanah
hilang tanpa dapat diketahui kabarnya. Badan Pertanahan Nasional, lembaga negara yang
berkewenangan di bidang pertanahan lumpuh karena sebagian besar kantornya hancur
dan 30 persen pegawainya hilang atau meninggal dunia. Belakangan juga diketahui
ternyata hanya 10 persen dari warga yang mengaku memiliki rumah sebelum tsunami
yang dapat menunjukkan sertifikat tanah seperti diatur dalam hukum pemerintah
Indonesia, sebagian besar dimiliki oleh perorangan dan diatur melalui adat.
Persoalan berikut yang cukup pelik adalah menghitung para calon penerima rumah,

Bagian 1. Ketika yang Tak Pernah Terbayangkan Datang


yaitu keluarga‑keluarga yang terdata sebagai penerima manfaat. Maka pendataan
menjadi langkah awal yang penting. Jika pendataan ini tidak akurat, mereka yang
berhak bisa‑bisa tidak menerima rumah sedangkan mereka yang tidak berhak justru
mendapat rumah bahkan lebih dari satu.
Di wilayah pascabencana seperti Aceh ini, kesenjangan, ketidakadilan dan
ketimpangan dalam pemenuhan kebutuhan dasar ini rawan memicu konflik. Sedangkan
kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa kondisi setelah tsunami membuat
keluarga‑keluarga korban sulit ditemui. Beberapa meninggal dunia, sebagian tidak lagi
tinggal di wilayah tersebut, sebagian lagi mengungsi ke wilayah lain, ke kota lain sampai
ke negara lain. Metode seperti sensus maupun survei menjadi sulit untuk dilakukan.
Dalam mengatasi hal ini disusunlah strategi unik dalam penghitungan penerima
manfaat.
3
Perumahan ini menjadi salah satu isu yang paling penting dalam penanganan
pascabencana. Hal ini karena rumah termasuk kebutuhan dasar manusia. Karena itu,
merumahkan kembali korban menjadi salah satu pekerjaan besar yang perlu segera
dikerjakan. Memenuhi kebutuhan dasar akan rumah menjadi jauh lebih penting lagi
mengingat wilayah pascabencana ini juga mengalami konflik selama berpuluh tahun.
Kesenjangan atau kegagalan memenuhi kebutuhan yang satu ini punya potensi besar
untuk memicu konflik yang jauh lebih parah lagi di wilayah ini.
Akan tetapi rumah yang dibangun tak bisa sekadar asal jadi. Data‑data lapangan
menyimpulkan bahwa kondisi perumahan dan permukiman adalah salah satu penyebab
tingginya jumlah korban meninggal dan cedera, antara lain
1. Tidak ada tempat tinggi sebagai ruang untuk menyelamatkan diri;
2. Tidak ada akses yang cepat dan lancar menuju ke tempat yang tinggi;
3. Terjebak bottleneck karena pola dan lebar jaringan jalan tidak dirancang untuk fungsi
evakuasi;
4. Terbentur bongkahan bangunan, kendaraan, pohon dan sebagainya yang dibawa
tsunami; dan
5. Bangunan runtuh karena tidak tahan gempa dan gelombang tsunami.

Oleh karena itu, rumah yang dibangun mutlak harus memenuhi syarat paling
penting, yaitu tahan gempa. Selain itu, wilayah permukiman harus memiliki prasarana
dan sarana dasar yang dibutuhkan untuk evakuasi dan mitigasi bencana. Baik rumah
maupun perencanaan tata ruang ini pun perlu melibatkan peran serta masyarakat
guna memastikan agar masyarakat nantinya menghuni rumah yang dibangun, punya
rasa memiliki sehingga terus merawat, memelihara serta menyempurnakan rumah dan
wilayah tempat mereka bermukim.
Ketika Tanah Tak Bertuan
Tanah punya nilai penting, baik sebagai pengadaan tanah tersebut dalam bentuk
PERUMAHAN: Membentang Atap Berpilar Asa

konsultasi publik baik melalui tatap muka,


simbol asal usul juga sebagai aset ekonomi.
media cetak maupun media elektronik agar
Berbagai kasus terkait hak waris juga perwalian
dapat diketahui oleh seluruh masyarakat
adalah hal‑hal yang perlu dipertimbangkan dalam
yang terkena rencana pembangunan atau
urusan soal tanah. Undang‑Undang No. 48/2007
pemegang hak atas tanah
tentang Penanganan Permasalahan Hukum
dalam Rangka Pelaksanaan Rehabilitasi dan • Mengadakan musyawarah dengan para
Rekonstruksi Wilayah dan Kehidupan Masyarakat pemegang hak atas tanah dan instansi
di Provinsi NAD dan Kepuluan Nias, Provinsi pemerintah atau pemerintah daerah
Sumatera Utara, dikeluarkan sebagai payung yang memerlukan tanah dalam rangka
hukum untuk mengurus hal‑hal ini. menetapkan bentuk dan besarnya ganti
rugi
Undang‑undang ini mengatur soal tanah yang
4 masih ada dan tanah musnah dan penggantiannya • Menyaksikan pelaksanaan penyerahan
serta soal relokasi juga pembebasan tanah ganti rugi kepada para pemegang hak atas
termasuk untuk pembangunan infrastruktur tanah, bangunan, tanaman, dan benda
seperti fasilitas umum, fasilitas sosial dan jalan, benda lain yang ada di atas tanah
juga pembangunan tanggul penahan air asin
maupun tanggul laut. Adapun harga terkait • Membuat berita acara pelepasan atau
pembebasan tanah tergantung pada proses penyerahan hak atas tanah
negosiasi yang disepakati dengan mengacu pada • Mengadministrasikan dan
referensi harga yang berlaku dengan bantuan tim mendokumentasikan semua berkas
penilai independen dari masyarakat. pengadaan tanah, dan menyerahkan
Panitia pengadaan tanah (PPT) kabupaten/ kepada pihak yang berkompeten
kota yang dibentuk oleh bupati/wali kota untuk Jika ada tanah yang tidak dapat diidentifikasi
mengatur penyediaan tanah untuk kepentingan pemiliknya, status kepemilikan dianggap sebagai
umum di wilayah kabupaten/kota, keanggotaannya Mr X. Prosedur penetapan kepemilikan Mr X
terdiri atas unsur perangkat daerah. dimulai dengan pengajuan nama‑nama pemilik
Adapun tugas panitia ini adalah tanah oleh tim yang diketuai wali kota. Kemudian
Mahkamah Syariah menetapkan bahwa tanah
• Mengadakan penelitian dan inventarisasi yang telah diukur itu tidak diketahui pemiliknya.
atas tanah, bangunan, tanaman dan Jika di kemudian hari pemilik tanah yang sah
benda‑benda lain yang ada kaitannya kembali dan mengklaim tanah miliknya, pemilik
dengan tanah yang haknya akan dilepaskan tersebut berhak mengajukan penarikan dana dari
atau diserahkan baitulmal (tempat pengumpulan zakat) dengan
menunjukkan bukti sah bahwa dia adalah sang
• Mengadakan penelitian mengenai status
ahli waris. Pengelolaan tanah akan diserahkan
hukum tanah yang haknya akan dilepaskan
kepada baitulmal setempat. Karena belum
atau diserahkan, dan dokumen yang
banyak baitulmal berdiri, maka tanah tersebut
mendukungnya
diawasi oleh kantor gampong (desa). Pengelolaan
• Menaksir dan mengusulkan besarnya tanah ini dialihkan kepada kepala gampong yang
ganti rugi atas tanah yang haknya akan biasa disebut geuchik, atau tuha peut (pemuka
dilepaskan atau diserahkan komunitas) dan semua manfaat dari tanah
tersebut akan digunakan untuk kepentingan
• Memberikan penjelasan atau penyuluhan
meunasah (sarana keagamaan di dan komunitas
kepada masyarakat yang terkena rencana
setempat.
pembangunan atau pemegang hak atas
tanah mengenai rencana dan tujuan
Bagian 1. Ketika yang Tak Pernah Terbayangkan Datang
5

Serangkaian tugas berat ini perlu mempertimbangkan satu tugas lagi, yaitu mengelola Idul Fitri pertama pascatsunami
bantuan yang datang dari berbagai belahan dunia yang disalurkan melalui 900 lembaga bagi para penghuni barak
Neuheun, Kabupaten Aceh Besar,
yang mengambil peran dalam rehabilitasi dan rekonstruksi. Kata orang, koordinasi adalah 3 November 2005, tidak bisa tidak,
kata yang mudah diucapkan tetapi sangat sulit untuk dilakukan. Dalam situasi seperti ini, dilalui dengan keprihatinan akibat
koordinasi sangat penting karena jika tidak, beberapa daerah akan dibanjiri bantuan dan duka mendalam bencana tsunami.
Foto: BRR/Arif Ariadi
yang lain tidak. Beberapa kawasan tuntas dalam periode waktu tertentu, yang lain belum.
Beberapa wilayah ditangani dengan pendekatan dan metode tertentu, yang lain dengan
cara dan langkah yang berbeda.
Perbedaan‑perbedaan tersebut mungkin tidak dipandang sebagai keberagaman, tetapi
justru sebagai upaya sengaja melakukan diskriminasi. Di wilayah pascakonflik seperti
Aceh, persepsi seperti ini sangat rawan memicu konflik sosial.
Maka, tak berlebihan menyebut bahwa sektor perumahan dan permukiman
menghadapi pekerjaan dengan tingkat kesulitan yang sukar dicari bandingannya —mulai
dari kesukaran di tingkat perencanaan sampai pelaksanaan, risiko aspek teknis sampai
dampak sosial yang luar biasa besar. Oleh karena itu, sektor perumahan dan permukiman
tidaklah sekadar membangun rumah atau jalan, tetapi juga memberdayakan masyarakat
agar terlibat dalam proses tersebut.
Satu lagi. Semua rehabilitasi dan rekonstruksi perumahan dan permukiman ini harus
selesai dalam waktu empat tahun.
Tak Semudah Menghitung Hidung
PERUMAHAN: Membentang Atap Berpilar Asa

Agar rumah yang dibangun sesuai dengan Secara umum pendekatan penetapan penerima
bantuan dilakukan dengan cara menjadikan korban
kebutuhan, perlu ada data yang akurat dan terkini
(dalam hal ini kepala keluarga) sebagai subjek yang
yang menghitung para calon penerima manfaat.
layak menerima bantuan perumahan. Pendataan
Penetapan penerima bantuan perumahan
calon penerima bantuan perumahan dilaksanakan
menjadi awal dari semua kegiatan rehabilitasi dan
melalui pendekatan berbasis masyarakat desa
rekonstruksi perumahan dan permukiman. Di tahap
karena merekalah pihak yang paling memahami
awal rehabilitasi dan rekonstruksi pada 2005, data
korban yang berhak menerima bantuan serta tempat
calon penerima manfaat diperoleh dari survei yang
tinggalnya sebelum terjadi bencana.
dilakukan oleh LSM Garansi yang bekerja sama
dengan Dinas Sosial Provinsi NAD, United Nations Setiap anggota masyarakat yang merasa sebagai
Development Programme (UNDP), United Nations korban bencana aktif mendaftarkan diri ke KP4D
Information Management Service (UNIMS), United untuk didata dan diverifikasi serta divalidasi. KP4D
6 Nations Humanitarian Information Centre (UNHIC), sendiri melakukan pendataan secara aktif terhadap
dan Badan Pengelola Data Elektronik (BPDE) Dinas korban dan kelayakannya untuk mendapatkan
Informasi dan Komunikasi Provinsi NAD. bantuan. Hasil akhir proses ini adalah berupa daftar
korban yang berhak menerima bantuan perumahan.
Survei dilakukan dengan metode sensus
yang melibatkan struktur formal pemerintahan Daftar tersebut kemudian diumumkan di
khususnya di tingkat desa dan kecamatan, tanpa tempat‑tempat tertentu sebagai bentuk awal uji
melibatkan partisipasi aktif dari masyarakat. Data publik dan selanjutnya dilakukan rembuk warga
yang disampaikan ke Kedeputian Perumahan dan dengan melibatkan sebanyak‑banyaknya warga
Permukiman BRR menunjukkan jumlah kebutuhan masyarakat. Dengan cara demikian diharapkan
rumah yang perlu dibangun dan yang perlu diperbaiki bahwa calon penerima bantuan adalah benar‑benar
per desa berdasarkan jumlah kepala keluarga—tanpa penyintas dari warga setempat yang dikenal oleh
mencantumkan nama korban. masyarakat luas di desa yang bersangkutan.
Pendekatan partisipasi masyarakat yang dilakukan
Data yang dapat digunakan sebagai bahan
dalam pendataan dan verifikasi diakhiri dengan
perencanaan dalam penentuan jumlah kebutuhan
pembuatan suatu berita acara finalisasi data yang
pembangunan atau perbaikan rumah ini tidak
disahkan oleh geuchik, tuha peut, KP4D, kepala desa
memadai untuk pelaksanaan pemberian bantuan
atau lurah, dan camat masing‑masing wilayah.
bidang perumahan. Oleh karena itu, perlu ada
unit yang mengumpulkan data nama‑nama calon Prosedur pendaftaran, pendataan, dan verifikasi
penerima bantuan sekaligus melakukan verifikasi. calon penerima bantuan pada 2006‑2007 adalah
Maka pada 2006, dibentuk Direktorat Prakarsa seperti ditunjukkan dalam gambar berikut di bawah
Pembangunan Partisipatif (P3). Direktorat P3 ini.
dilengkapi dengan suatu struktur yang terdiri atas
petugas‑petugas yang ditempatkan di daerah yaitu Finalisasi pendataan dilakukan sejak akhir
Asisten Manajer Perumahan dan Permukiman di 2006 sampai akhir Mei 2007. Melalui media
tingkat kabupaten/kota dan fasilitator kecamatan massa, diumumkan bahwa pada 20 Mei 2007
yang berhubungan langsung dengan Komite adalah hari terakhir penerimaan data dari desa.
Percepatan Pembangunan Perumahan dan Pada Oktober 2006 dibentuk Komite Verifikasi
Permukiman di Desa (KP4D) dan masyarakat korban dan Penertiban Penerima Manfaat Bantuan
di tingkat desa. KP4D adalah kelompok masyarakat Perumahan (Komvertib). Komite ini bertugas untuk
korban di tingkat desa dengan anggota dari melakukan verifikasi ulang dan penertiban terhadap
unsur‑unsur perangkat desa dan tokoh masyarakat dugaan‑dugaan adanya penyimpangan penerimaan
desa. bantuan perumahan.
Gambar 1.1. Proses Pendataan dan Verifikasi Calon Penerima Bantuan

Bagian 1. Ketika yang Tak Pernah Terbayangkan Datang


Perumahan dan Kaitannya dengan Pelaksana Pembangunan

Masyarakat
Pemohon
Bantuan rumah

Gampong/
Kelurahan KP4D Uji Publik
Penerima 7
Manfaat
Rembuk
Warga

Fascam
Pengumuman
Valid

Kompilasi Berita Acara


Verifikasi

Asperkim

Direktur
PPP

Berita Acara
Serah Terima

Direktorat
Direktorat
LSM Perencanaan
MK1, MK2, Satker
dan
Pemrograman Kantor Perwakilan
PERUMAHAN: Membentang Atap Berpilar Asa

Perawatan sehari‑hari barak seperti


membersihkan saluran pembuangan Merumuskan Arah dan Langkah
di Barak Sigli, Kabupaten Pidie,
Tempat berlindung merupakan salah satu kebutuhan yang paling mendasar bagi
13 Mei 2005, ini dilakukan para
penghuninya demi menciptakan manusia. Tempat berlindung melindungi manusia dari panas dan hujan, memberikan rasa
hunian yang sehat dan nyaman. aman, dan tempat menyusun kembali semangat untuk bertahan melampaui beragam
Foto: BRR/Arif Ariadi kesukaran serta memperkuat rasa saling membutuhkan antarmanusia.
Tsunami dan gempa bumi yang menghancurkan Aceh di pengujung 2004 semakin
menegaskan kebutuhan korban akan tempat berlindung yang aman. Mereka yang
selamat dapat bertemu dengan sesama penyintas, berbagi kesedihan dan bersama‑sama
berusaha menyembuhkan luka‑luka batin.
Di awal 2005, barak bermunculan di Aceh, berkat kerja sama antara Departemen
Pekerjaan Umum yang mendukung dari sisi penyediaan dana serta pembangunannya
dan pemerintah daerah (pemda) yang mencarikan lokasi. Sebagian barak berdiri di
atas tanah milik pemerintah, baik pemda, Tentara Nasional Indonesia atau pemerintah
pusat, dan sebagian lagi di atas tanah milik warga atau yayasan pesantren. Beberapa
LSM ikut berpartisipasi dalam mendirikan sejumlah barak. Barak tidak hanya dilengkapi
dengan fasilitas fisik seperti sanitasi, tetapi juga fasilitas sosial dan kemanusiaan.
Pada Desember 2006, jumlah titik barak menjadi 190 titik.
Bagian 1. Ketika yang Tak Pernah Terbayangkan Datang
9

Pengelolaan barak berada di bawah manajemen pemerintah daerah. Tanggung jawab Mengangkat rangka
operasional barak secara khusus berada di bawah muspika masing‑masing kecamatan, bongkar‑pasang hunian sementara
(huntara) secara bersama‑sama
yang terdiri atas camat, danramil, dan kapolsek. Camat melaporkan kepada bupati/ seusai dirakit, di Neuheun,
wali kota untuk hal‑hal yang tidak mampu diatasi. Gubernur sebagai kepala daerah Kabupaten Aceh Besar, 9 Juni 2006,
bertanggung jawab kepada Menteri Sosial terkait dengan penanganan barak secara menunjukkan betapa tradisi
meuseuraya (gotong‑royong) pada
keseluruhan.
masyarakat Aceh masih belum
Sering kali penghuni barak tidak sepenuhnya adalah warga yang sebelumnya tinggal luntur. Foto: BRR/Bodi CH
di desa tempat barak tersebut berada. Lokasi barak tidak selalu mencerminkan lokasi asal
penghuninya. Selain itu, terdapat barak‑barak yang tidak terletak di daerah tsunami, jauh
dari daerah bencana, seperti di Jantho, Samahani, dan Sibreh di Aceh Besar yang dihuni
sebagian besar oleh pengungsi dari Aceh Jaya.
Secara umum, pada masa tanggap darurat pengorganisasian pengungsi lebih banyak
ditangani atau dikoordinasikan satuan koordinasi dan pelaksanaan (Satkorlak), yang fokus
pada pemenuhan kebutuhan individual sehari‑hari seperti makanan, obat‑obatan, air
bersih, dan sanitasi. Satkorlak juga mengumpulkan data tetapi lebih pada jumlah jiwa,
bukan kepala keluarga, dan sering kali tidak memperhatikan asal usul daerah serta status
tempat tinggal sebelum bencana.
Selain itu, terhitung sejak Januari 2005, para pengungsi di barak mendapatkan bantuan
kehidupan dari Departemen Sosial. Bantuan yang dikenal dengan istilah jatah hidup
(jadup) ini mencakup biaya beras, lauk‑pauk, dan makanan tambahan.
PERUMAHAN: Membentang Atap Berpilar Asa

Luasnya wilayah bencana, besarnya kerusakan infrastruktur, dan lumpuhnya aparat


pemerintahan setempat, membuat penanganan barak pun berbeda‑beda antara satu
kecamatan dan kecamatan lain, masing‑masing melakukan improvisasi. Sejumlah barak
menerima banyak bantuan, sebagian lagi justru kekurangan. Kualitas kehidupan di barak
menjadi sangat tergantung pada kemampuan ketua barak dalam berkoordinasi dengan
camat dan berbagai upayanya dalam mencari bantuan dari berbagai pihak. Di sisi lain,
sebagian barak menyuburkan sikap bergantung pada bantuan. Belakangan seiring
berjalannya waktu, sanitasi, privasi, dan fasilitas anak di beberapa tenda maupun barak
pun dinilai kurang layak huni.
Kebijakan barak dan “jadup” ini berlaku sejak masa tanggap darurat sampai April 2005,
10
yaitu di saat BRR berdiri. Pada awalnya, penanganan barak ditangani satuan koordinasi
dan pelaksanaan di bawah pemerintah daerah, kemudian penanganan pelayanan
terhadap penghuni barak secara gradual sepanjang 2005 beralih pada Direktorat Sosial
yang berada di bawah Kedeputian Agama, Sosial, dan Budaya BRR bekerja sama dengan
dinas sosial dan lembaga‑lembaga seperti World Food Programme (WFP).
Dalam skema pembagian tugas dalam BRR, Direktorat Sosial berkonsentrasi pada
keberlangsungan hidup pengungsi yang tinggal di barak tanpa memperhatikan tempat
mereka tinggal nantinya. Barak‑barak ini banyak yang berlokasi di luar daerah bencana.
Sedangkan Kedeputian Perumahan dan Permukiman BRR menitikberatkan pada
rekonstruksi rumah‑rumah yang hancur di wilayah yang terkena tsunami. Pendataannya
pun difokuskan pada daerah‑daerah bencana di sepanjang pantai.
Kurangnya koordinasi antarkedeputian di masa awal pembentukan BRR memang
sempat menyebabkan tersisanya kantong‑kantong penyintas yang terabaikan
penyediaan bantuan perumahannya. Bagi organisasi yang baru dibangun, dengan
SDM dari berbagai asal dan latar belakang, maka kebijakan pembagian tugas untuk
mempercepat rekonstruksi dengan mempertajam fokus masing‑masing bidang ternyata
menyisakan masalah.
Fokus, kebutuhan membangun interaksi dengan pihak ketiga yang berbeda, serta
keyakinan bahwa anggota pimpinan organisasi memiliki kepakaran yang cukup, agaknya
membuat koordinasi rinci antarunit organisasi dianggap terjadi dengan sendirinya.
Persoalan koordinasi ini perlahan‑lahan dapat diselesaikan dengan baik, meski setelah
melampaui masa satu tahun rekonstruksi.
Setahun pascatsunami di
Krueng Raya, Kabupaten Aceh Di lapangan, beberapa saat setelah terjadinya bencana, sebagai tempat berlindung
Besar, 13 Juli 2006, satu per darurat, tenda‑tenda menjadi suatu penanganan yang cepat untuk segera memenuhi
satu rumah baru dibangun
kebutuhan para penyintas. Akan tetapi seiring dengan perjalanan waktu, bahan tenda
—meski belum marak—demi
mempercepat pulihnya kehidupan tidak berumur panjang dan cepat lapuk akibat hujan dan panas. Oleh karena itu, penting
masyarakat. Foto: BRR/Arif Ariadi untuk mencarikan alternatif tempat tinggal lain.
Bagian 1. Ketika yang Tak Pernah Terbayangkan Datang
11
Sebuah desain rumah sementara yang diperkenalkan oleh International Federation
of Red‑Cross (IFRC) dipandang sebagai pilihan yang lebih baik dibandingkan dengan
tenda karena konstruksi fisiknya yang terdiri atas kerangka baja ringan dengan dinding
PERUMAHAN: Membentang Atap Berpilar Asa

kayu sehingga lebih kuat dan permanen. Rumah sementara ini pun dapat dirakit dengan
mudah dan cepat serta hanya membutuhkan sedikit orang. Dibandingkan dengan barak
yang bersifat komunal, rumah sementara ini juga lebih baik karena merupakan unit
individual untuk satu keluarga sehingga privasi lebih terjamin.
Di akhir 2005, ditempuh kebijakan untuk memindahkan para pengungsi dari tenda
ke rumah sementara yang didukung oleh IFRC dan dilaksanakan oleh beberapa
organisasi kemanusiaan seperti Palang Merah Indonesia (PMI) dan organisasi‑organisasi
nonpemerintah misalnya Catholic Relief Service (CRS), International Organization for
Migration (IOM), dan United Nations Human Settlements Programme (UN‑HABITAT).
Rumah sementara tersebut pada umumnya didirikan di lokasi yang sama dengan tenda
12
atau di atas bekas pertapakan rumah mereka di atas tanah mereka sendiri. Namun, di
beberapa tempat rumah sementara juga didirikan di atas tanah negara atau tanah publik
untuk menampung mereka yang tidak mendapatkan tempat di barak penampungan.
BRR dan United Nations Office of the Recovery Coordinator (UNORC) terlibat dalam
koordinasi pendistribusian dan pelaksanaan pembangunan rumah sementara tersebut.
Pj. Gubernur Musthafa Abubakar saat itu sangat mendukung pengadaan rumah
sementara, yang mencanangkan bahwa per 1 Juni 2006 Aceh harus bersih dari tenda.
Setelah melalui proses realisasi bantuan, ribuan rumah sementara pun berdiri di Aceh
sejak April 2006.
Di pertengahan September 2006, terjadi demonstrasi di Kantor BRR Aceh yang
melibatkan sekitar 200‑an pengungsi yang dikoordinasikan oleh LSM Forum
Komunikasi Antarbarak (Forak). Salah satu aspirasi yang dikemukakan para demonstran
mengindikasikan perlunya diberikan perhatian lebih besar terhadap masalah perumahan
untuk para penghuni barak. Percepatan pengadaan rumah, khususnya bagi mereka yang
masih tinggal di barak, segera diprogramkan.
Secara khusus, hal ini seakan menyadarkan BRR bahwa strategi melibatkan bidang
sosial budaya dalam program perumahan ternyata kurang efektif pada tingkat
implementasi. Integrasi unsur Kedeputian Agama, Sosial, dan Budaya dalam penyelesaian
masalah transisi dari barak ke rumah perlu dan segera ditingkatkan secara signifikan
dengan dibentuknya tim penyelesaian masalah barak.
Kesadaran ini mempertajam fokus dan memperkuat komitmen BRR.
Pertimbangan‑pertimbangan ini diambil dengan mempertimbangkan kondisi Aceh, yaitu
pascakonflik puluhan tahun dan pascabencana dahsyat yang tak ada bandingnya. Dapat
dibayangkan bahwa situasi batin dan luka menahun yang dirasakan masyarakat Aceh sulit
dipulihkan dengan cepat. Intervensi yang dilakukan BRR, terutama lewat rehabilitasi dan
rekonstruksi di bidang perumahan dan permukiman ini, diharapkan bisa memberikan
Membangun Rumah Baru,

Bagian 1. Ketika yang Tak Pernah Terbayangkan Datang


Membangun Masa Depan
Bagi yang pernah membangun rumah, tumbuh berukuran 36 m2 dengan dua kamar
tidur dan satu ruang tamu/makan, ditambah
atau masih sekadar memimpikannya, tentunya
mengerti bahwa perdebatan soal rumah dimulai dapur dan kamar mandi serta teras di luar
jauh sebelum fondasi diletakkan. Desain atau besaran 36 m2 tersebut. Standar minimum ini
rancangan rumah, inilah yang sebenar‑benarnya disusun dengan asumsi bahwa sebagian besar
jadi dasar semua langkah. Hal serupa terjadi di keluarga terdiri atas suami‑istri dan dua orang
Aceh, karena desain ini menentukan kualitas, anak, serta kebutuhan ruang minimal setiap
harga, tenaga kerja yang dibutuhkan, dan individu adalah 9 m2.
waktu pengerjaan. Sedapat mungkin desain BRR memberi ruang untuk
rumah ini memanfaatkan materi yang mudah mempertimbangkan keragaman aspirasi, suara,
diperoleh tanpa merusak lingkungan sekaligus keinginan serta ungkapan hati masyarakat. Hal
menyesuaikan dengan persil lahan yang ada. ini penting bagi BRR karena di rumah inilah, 13
Tak boleh ketinggalan, rumah haruslah tahan harapan akan masa depan yang lebih baik
gempa bumi dan bencana dan memperhatikan dirajut. Maka secara sadar, rumah‑rumah ini
building code yang berlaku. Satu syarat lagi pun dibuat dalam berbagai desain supaya tidak
yang juga penting, perencanaan ini harus serba seragam. Keberagaman ini, selain dipicu
dibicarakan dengan warga penerima manfaat oleh alasan praktis banyak dan berbagainya
secara bersama‑sama alias partisipatif. pihak yang berniat luhur untuk membantu
Adapun standar minimum rumah bantuan membangun, diharapkan menjadi satu simbol
yang akan dibangun adalah “tipe‑36 plus”, yaitu perjalanan masyarakat dalam mewujudkan jati
rumah yang dibangun dengan konsep rumah dirinya menjadi masyarakat yang plural dan
kosmopolit.

Gambar 1.2. Membangun Rumah Baru: Prinsip Rumah Inti


Memperhatikan
tampilan
arsitektural
Rumah inti tipe 36
dengan konsep
rumah tumbuh

Aman terutama
terhadap gempa

Dapat dilaksanakan
dengan cepat
Dikonsultasikan
dengan warga

Logistik mudah
ditangani Hemat
Bukan rumah tenaga kerja
semi permanen
PERUMAHAN: Membentang Atap Berpilar Asa

14

Tak sedikit rumah bantuan kepada masyarakat Aceh pengalaman‑pengalaman menerima manfaat dan merasakan
telah dibangun di Desa Deah keberhasilan pembangunan. Semua ini diharapkan menjadi batu‑batu fondasi yang kuat dan
Geulumpang, Banda Aceh,
1 November 2008, belum kunjung kokoh bagi masyarakat Aceh. Di atas fondasi inilah nantinya masa depan Aceh dibangun.
dihuni. Kendala seperti ini Oleh karena itu, rehabilitasi dan rekonstruksi di bidang perumahan dan permukiman
telah dipetik hikmah ajarnya
bagi pekerjaan‑pekerjaan tidak terpaku pada penggunaan kacamata yang sempit. Walau ketegasan mandat untuk
serupa pada masa mendatang. merekonstruksi wilayah yang terkena bencana tetap dipegang sebagai pedoman utama,
Foto: BRR/Arif Ariadi fleksibilitas untuk menjangkau wilayah terkait juga dipertimbangkan. Pendekatan yang
lebih meluas dan lebih menyeluruh ini digunakan demi mengurangi kemungkinan
terjadinya kesenjangan antara wilayah‑wilayah terkena bencana dan yang tidak terkena
bencana, terutama yang berisiko tinggi menimbulkan konflik baru.
Pendekatan yang lebih meluas dan menyeluruh tersebut juga menjadi alasan mengapa
rehabilitasi dan rekonstruksi di bidang perumahan dan permukiman menjangkau
kantong‑kantong kemiskinan. Jangan sampai upaya rehabilitasi dan rekonstruksi
ini justru menanam benih‑benih yang nantinya akan tumbuh sebagai kesenjangan
sosial, sehingga berpotensi merusak apa yang sudah terbangun kembali—baik secara
fisik maupun nonfisik. Para pegiat lembaga nonpemerintah atau lembaga swadaya
masyarakat (LSM) yang terjun dan bersentuhan langsung dengan masyarakat mengambil
keputusan secara arif bersama masyarakat untuk mencegahnya.
Pendekatan seperti ini tidak berarti semuanya tidak terencana atau serba asal.

Bagian 1. Ketika yang Tak Pernah Terbayangkan Datang


Perencanaan dan segala perhitungan tetap dibuat, tetapi ruang‑ruang untuk bersikap
fleksibel, responsif, dan berorientasi pada kebutuhan tetap dipertahankan. Di sisi
lain, segala perangkat pengawasan terkait terus ditingkatkan. Contohnya, proses
pengumpulan data, verifikasi sampai reverifikasi penerima manfaat di bidang perumahan
dan permukiman dilakukan berkali‑kali oleh berbagai pihak dalam waktu cukup lama. Ini
semua untuk memastikan agar pihak penerima manfaat adalah benar‑benar mereka yang
berhak.
Kesulitan demi kesulitan dalam kegiatan ini terus dihadapi karena sumber informasi,
masyarakat itu sendiri, ternyata memiliki interpretasi berbeda mengenai apa yang hak
dan apa yang tidak. Ini misalnya terjadi dalam kasus‑kasus yang disebut sebagai ”pecah
kartu keluarga”. Satu rumah yang sebelumnya ditinggali oleh beberapa kepala keluarga
diharapkan dapat diganti dengan jumlah rumah bantuan yang lebih banyak untuk
15
menampung semua kepala keluarga, dengan alasan antara lain karena ukuran satu rumah
hibah tipe‑36 yang jauh lebih kecil dari rumah asal.
Ada ketentuan yang mengatur hal tersebut, tetapi hasrat masyarakat yang didorong
kebutuhan nyata pun bukan tidak berdasar. Kebijakan yang hati‑hati diterapkan karena
potensi manipulasi tak dapat diingkari ada. Keakuratan hasil terus diusahakan sampai
batas kemampuan yang ada, agar rasa keadilan, baik antarwarga serta antara warga dan
pemerintah yang selama ini terpuruk, kembali bangkit mengisi lahan bagi pembangunan
masyarakat yang sebenarnya.
Kesulitan lain yang dihadapi terjadi sebagai dampak perubahan organisasi BRR sendiri.
Semua kegiatan rekonstruksi perumahan dan permukiman yang tadinya terpusat di
Kantor Kedeputian Perumahan di Banda Aceh didelegasikan ke masing masing kantor
wilayah. Manfaat nyata kebijakan ini adalah kebijakan yang diambil BRR (dan masalah yang
dihadapi) makin didekatkan dengan situasi lapangan yang mungkin saling berbeda. Akan
tetapi, waktu transisi yang sangat singkat, karena ketatnya jadwal dan banyaknya sektor,
maka serah terima masalah ke kepala wilayah yang baru ditunjuk tak jarang membuahkan
reaksi.
Akibatnya berbagai kerancuan dihadapi, misalnya dalam determinasi jumlah rumah
yang harus dibangun. Dalam kondisi ini kebijakan yang diambil didasarkan pada prinsip
lebih baik membangun lebih daripada kurang sambil tetap memperhatikan kehati‑hatian.
Diharapkan kalau memang terjadi kelebihan pembangunan rumah di suatu lokasi
tertentu, kelebihannya dapat digunakan Pemda sebagai sarana untuk memfasilitasi
kebutuhan yang timbul dari program reintegrasi pascakonflik yang juga dicanangkan
pemerintah.
Bagian 2. Ikhtiar Membangun Kembali menjadi Lebih Baik
Ikhtiar Membangun
Kembali menjadi
Lebih Baik 17

Menetapkan Pedoman
Pascabencana, Aceh rusak berat. Rumah, sekolah, gedung‑gedung, berbagai fasilitas
umum, jalan, jembatan, pelabuhan, dan infrastruktur lainnya remuk redam. Dari
semua ini, bagian paling mendesak dan vital adalah perumahan atau lebih tepatnya
permukiman.
Secara konkret, dalam pengertian kasat mata, hal‑hal di atas yang perlu direhabilitasi
dan direkonstruksi. Upaya membangun kembali wilayah, kota, kawasan dan lingkungan
permukiman yang rusak akibat bencana gempa dan tsunami ini diarahkan sehingga
masyarakat dapat segera melakukan aktivitasnya dalam kondisi lebih baik dan aman dari
bencana. Ini yang ingin dicapai dalam pemulihan tata ruang pascabencana.
Akan tetapi, aman dari bencana bukanlah tujuan satu‑satunya. Aceh ingin dibangun
sedemikian rupa sehingga kondisi lingkungan kehidupannya menjadi lebih baik.
Lebih baik di sini bukanlah diukur dari indikator fisik atau rekayasa teknik belaka. Lebih
jauh dari itu, pembangunan demi mencapai yang lebih baik ini berpegang pada prinsip Bak penampungan limbah rumah
pembangunan berkelanjutan. Prinsip pembangunan berkelanjutan ini mengutamakan tangga di Leupung, Kabupaten Aceh
Besar, 4 November 2006, salah satu
keseimbangan antarsejumlah aspek, antara lain keseimbangan antara pertimbangan
unsur prasana dan sarana dasar
ekonomi, sosial serta lingkungan dan pembangunan antar dan intragenerasi. (PSD) untuk menciptakan hunian
lebih sehat. Foto: BRR/Arif Ariadi
Dua Saku dalam Membangun
Perumahan dan Permukiman
PERUMAHAN: Membentang Atap Berpilar Asa

Seperti bidang‑bidang lain, pinjaman atau hibah luar negeri (PHLN).


Untuk bidang perumahan dan permukiman
secara umum sumber pendanaan
rehabilitasi dan rekonstruksi bidang sebagian besar bersumber dari dana
perumahan dan permukiman dapat RM dikelola langsung oleh sekitar 20
dikelompokkan menjadi dua mekanisme. satuan kerja dalam BRR, baik di tingkat
Ada dua bentuk mekanisme bantuan, kedeputian atau pusat maupun di kantor
yaitu dana bantuan dari pemerintah dan perwakilan. Sedangkan beberapa program
donor yang dikelola dan dimasukkan ke yang didanai melalui PHLN adalah
dalam mekanisme Anggaran Pendapatan pogram ReKompak (MDF/Bank Dunia),
dan Belanja Negara (APBN) atau program perumahan dan permukiman
dikenal dengan on‑budget; dan dana Bank Pembangunan Asia (ADB)
18 Earthquake and Tsunamy Emergency
bantuan dikelola oleh donor/LSM yang
bersangkutan dan tidak melalui APBN, Sector Project (ETESP), Japan Fund for
atau dikenal dengan off‑budget. Poverty Reduction‑Seismically Upgraded
Housing in Aceh Darussalam and North
Dalam skema on‑budget, dikenal istilah Sumatera, dan Non Project Type Grant Aid
on‑treasury dan off treasury. Intinya Jepang (keempat‑empatnya mencakup
dengan skema on‑budget, baik maupun pembangunan rumah dan infrastruktur
off treasury, BRR dapat berperan langsung permukiman), serta Reconstruction of
sebagai pelaksana pembangunan atau Aceh Land Administration System (RALAS)
menjalin kerja sama secara kelembagaan MDF untuk sertifikasi tanah.
dengan pemberi dana atau donor, baik
yang bersifat bilateral (seperti Jerman Sedangkan off treasury merupakan
melalui KfW‑Bank Pembangunan Jerman) suatu mekanisme atau skema pengelolaan
maupun multilateral seperti Multi Donor anggaran PHLN sesuai dengan grant
Fund (MDF) yang dikelola oleh Bank agreement antara kedua pemerintah,
Dunia atau Bank Pembangunan Asia dana dicatatkan dalam DIPA tetapi dana
lewat mekanismeperjanjian hibah (grant tersebut tidak disimpan dalam KPPN‑K,
agreement) ataupun tidak, yaitu yang melainkan dikelola dan disalurkan
datang dari jalur donor nontradisional, langsung oleh pihak pemberi bantuan.
seperti LSM internasional. Skema on‑budget off treasury ini tidak
terlalu lazim.
On‑treasury merupakan suatu
Dalam rehabilitasi dan rekonstruksi
mekanisme atau skema pengelolaan
bidang perumahan dan permukiman,
anggaran yang tercatat dalam daftar
hanya ada satu program yang
isian pelaksanaan anggaran (DIPA) APBN
menggunakan skema ini, yaitu program
dan dana yang ada disimpan di Kantor
Rehabilitation and Reconstruction
Pelayanan Perbendaharaan Negara
of Housing and Settlements (RRHS)
Khusus (KPPN‑K) sebagai bendahara
yang didanai KfW Jerman dan dikelola
negara, sehingga penarikan anggaran
konsultan Jerman GITEC Consult GmbH
tersebut juga sepenuhnya mengikuti
bekerja sama dengan PT Darena dan
mekanisme yang diatur dalam peraturan
Yayasan Mamamia Indonesia. Contoh
perundang‑undangan yang berlaku.
lainnya merupakan program di bidang
Skema on‑budget on‑treasury terbagi infrastruktur yang dikelola Japan
dalam dua jenis sumber pembiayaan, International Coorporate System (JICS)
yaitu yang pertama sering disebut sebagai yang tidak dibahas di sini.
“rupiah murni (RM)” dan yang kedua,
Gambar 2.1 Skema Pendanaan dalam Penyediaan Rumah

Bagian 2. Ikhtiar Membangun Kembali menjadi Lebih Baik


Treasury
ON OFF

On-budget & On-treasury On-budget & Off-treasury


Tercantum dalam DIPA, Tercantum dalam DIPA,
dibayarkan melaui KPPN dibayarkan langsung dari donor
ON

kepada pelaksana
Satker Pusat/Regional, Program RRHS/KfW-Gitec: 19
Hibah Luar Negeri ± 46 juta euro
(MDF, ADB, JFPR-SUHA):
± Rp 7,5 triliun
Budget

Off-budget & Off-treasury


Tidak melalui skema APBN,
Off-budget & On-treasury dikelola sendiri secara langsung
OFF

Tidak dapat diterapkan oleh lembaga

Lembaga PBB, Palang Merah, LSM:


± US$ 700 juta

Sedangkan dalam skema off‑budget pencarian sumber dana dan pengelolaan


BRR berperan sebagai koordinator pendanaannya. Bidang Perumahan dan
dan fasilitator. Pelaksanaan termasuk Permukiman BRR memberikan dukungan,
pengelolaan dananya sepenuhnya pendampingan, fasilitasi serta melakukan
ditangani masing‑masing lembaga atau koordinasi agar kegiatan mereka dapat
LSM yang bersangkutan. Sementara berjalan dengan sebaik‑baiknya. Bentuk
itu untuk skema off‑budget, donor/ dan tingkat hubungan kerja sama dalam
LSM mengorganisasikan pelaksanaan skema ini antara BRR dan LSM sangat
kegiatannya oleh mereka sendiri, termasuk bervariasi.
PERUMAHAN: Membentang Atap Berpilar Asa

20

Deretan rumah di Kabupaten Tidak hanya itu, pelaksanaan berbagai aspek pembangunan bidang sumber daya alam
Simeulue, 2 April 2009, kini dan lingkungan hidup yang berkelanjutan ini juga perlu mempertimbangkan aspek
telah dilengkapi sarana
pendukung lainnya, antara lain penggunaan teknologi terkini, tepat guna, dan ramah
bak penampungan air
bersih. Foto: BRR/Arif Ariadi lingkungan. Keseimbangan ini acapkali tak mudah diterapkan di lapangan, tetapi inilah
yang terus‑menerus diupayakan.
Langkah‑langkah tersebut diarahkan untuk mencapai visi rehabilitasi dan rekonstruksi,
khususnya bidang perumahan dan permukiman, yakni mewujudkan kawasan
permukiman di daerah yang terkena bencana sebagai tempat tinggal yang lebih baik
bagi keluarga korban bencana gempa bumi dan tsunami.
Sedangkan di tingkat lebih konkret dan operasional, misi yang ingin dicapai adalah
melaksanakan proses rehabilitasi dan rekonstruksi bidang perumahan dan permukiman
secara efektif dan efisien, baik melalui pelaksanaan langsung pembangunan yang
didanai secara on‑budget, yaitu melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)
maupun melalui koordinasi dan fasilitasi mitra kerja nonpemerintah Indonesia yang
dananya bersumber dan dikelola oleh mereka sendiri (non‑APBN atau off‑budget).
Semua ini ibarat bintang penunjuk arah yang dijadikan pegangan BRR dalam
menggerakkan roda proses rehabilitasi dan rekonstruksi di Aceh. Inilah yang dijadikan
pedoman demi membangun yang lebih baik.
Menyusun Kebijakan yang Bijak

Bagian 2. Ikhtiar Membangun Kembali menjadi Lebih Baik


Untuk bidang perumahan dan permukiman, kebijakan yang diambil sebagai berikut.
Pertama, memprioritaskan penyediaan prasarana dan sarana untuk memenuhi kebutuhan
dasar serta prasarana untuk memperlancar logistik. Hal ini dilakukan dengan secara
bersamaan memberikan prioritas utama pada pembangunan kembali perumahan, air
minum, sanitasi, dan drainase serta sekaligus pelaksanaan rehabilitasi prasarana akses
masuk, antara lain pelabuhan laut dan bandara udara strategis beserta jaringan jalan
pendukungnya.
Kedua, membantu dan melaksanakan rehabilitasi dan rekonstruksi perumahan beserta
prasarana dan sarana dasar pendukungnya bagi para korban bencana. Hal ini dilakukan
dengan membantu korban yang ingin kembali ke tempat tinggal semula dalam bentuk
tunai (in‑cash) atau barang (in‑kind), juga dengan membantu penyediaan perumahan
dan prasarana dan sarana dasar pendukungnya bagi korban bencana yang berkeinginan 21
pindah ke tempat baru (resettlement). Selain itu, hal ini juga dilakukan dengan
mendorong dan memfasilitasi penyelesaian bantuan dan penyediaan perumahan bagi
korban bencana yang dilakukan pihak donor dan pemangku kepentingan lain.

Membangun Kembali
dengan Strategi Tak Ada Kayu,
Rehabilitasi dan rekonstruksi di Aceh dan Nias berjalan Baja pun Jadi
dengan berpegang pada serangkaian strategi yang
Rehabilitasi dan rekonstruksi besar‑besaran akan
dijabarkan berikut ini. Pertama, memantapkan proses
berakibat pada meroketnya kebutuhan bahan dan
pengambilan keputusan partisipatif dan berkeadilan. materi bangunan, salah satunya kayu. Jika kebutuhan
Agar proses ini bisa tercapai, dilakukanlah pemberdayaan ini tidak dipenuhi, selain harga meningkat pesat,
dan partisipasi aktif masyarakat dengan seluas‑luasnya. muncullah praktik‑praktik tercela seperti penyelundupan
atau pembalakan liar. Oleh karena itu, BRR pun perlu
Agar kelompok‑kelompok masyarakat yang rentan dan memutar otak agar rehabilitasi dan rekonstruksi di
kaum cacat tidak dimarginalkan dari proses rehabilitasi bidang perumahan dan permukiman tidak merugikan
dan rekonstruksi serta harus mendapatkan manfaat lingkungan hidup.
seluas‑luasnya. Selain itu, agar seluruh proses berlangsung Solusi yang muncul ke permukaan, selain
transparan, maka masyarakat terlibat dalam keseluruhan menetapkan syarat ketat untuk kayu yang digunakan,
adalah menggunakan rangka baja prafabrikasi. Selain
proses, antara lain melalui community self assessment.
tahan gempa, baja juga tahan api dan tahan cuaca
Kedua, rencana tata ruang disusun bersama‑sama (tidak keropos). Kelemahan potensialnya, yaitu korosi
jika kena air dan udara lembab bisa diatasi dengan
dengan masyarakat. Penyusunan rencana tata ruang ini
mudah dengan melapisinya dengan bahan antikarat di
dilakukan lewat empat langkah. Keempat langkah itu pabrik (galvanished).
meliputi pelibatan masyarakat mulai dari mengidentifikasi Solusi rekayasa teknik ini tak hanya menyelesaikan
daerah dan kawasan yang dapat ditempati kembali dan masalah rehabilitasi dan rekonstruksi secara teknis,
yang tidak dapat ditempati kembali sampai pembersihan tetapi juga masalah lingkungan hidup serta masalah
puing‑puing. sosial.
PERUMAHAN: Membentang Atap Berpilar Asa

22

Baharuddin, Geuchik Lamtutui, Selain itu, dilakukan juga fasilitasi penentuan kembali kebutuhan dan perencanaan
Kabupaten Aceh Besar, bersama prasarana dan sarana dasar pada kawasan yang terkena bencana. Bagi mereka
para fasilitator desa mendata
warganya yang selamat dari prahara yang kehilangan lahan akibat tsunami, dilakukan pengalokasian lahan dengan
tsunami terkait bantuan rumah, mempertimbangkan tata letak permukiman sementara serta preferensi mereka. Selain
7 Agustus 2006. Foto: BRR/Arif Ariadi itu, dilakukan juga pengumpulan informasi, identifikasi, dan penyusunan kembali
rencana tata ruang kawasan permukiman melalui partisipasi masyarakat dalam rangka
membangun kepercayaan masyarakat pada proses rekonstruksi.
Strategi ketiga adalah menetapkan status kepemilikan lahan dan peruntukannya.
Strategi ini juga melalui peningkatan peran masyarakat. Masyarakat terlibat dalam
penelusuran status dan pemetaan kepemilikan lahan bersama Badan Pertanahan
Nasional berdasarkan pemilik lama. Selain itu, difasilitasi juga berbagai solusi inovatif
untuk pensertifikatan, penerbitan sertifikat tanah sementara, dan penerbitan sertifikat
tanah secara kolektif, land readjustment dan konsolidasi tanah.
Selain itu, strategi keempat adalah melakukan penataan ruang kawasan permukiman
dalam rehabilitasi dan rekonstruksi dalam batas suatu ruang kawasan permukiman, yang
diharapkan bisa lebih cepat, murah, mudah, dan sederhana dalam implementasinya.
Pendekatan yang digunakan adalah perencanaan partisipatif dimulai dari penataan
Bersakit‑sakit Dahulu,
Bersenang‑senang Kemudian

Bagian 2. Ikhtiar Membangun Kembali menjadi Lebih Baik


Rekonstruksi dan rehabilitasi
rehabilitasi dan rekonstruksi yang digerakkan BRR. Kedua
pilihan memiliki dampak jangka panjang yang perlu
membutuhkan pengerahan sumber daya secara
dipertimbangkan dengan teliti.
besar‑besaran. Salah satu yang perlu digerakkan adalah
penyediaan bahan baku serta sumber daya manusia Setelah menimbang‑nimbang berbagai pemikiran,
misalnya kontraktor, tenaga tukang, dan tenaga terampil pilihan yang diambil adalah yang kedua, yaitu berpihak
lainnya. pada masyarakat setempat. BRR menyadari bahwa
pilihan tersebut bukan tak punya risiko. Selain potensi
Di masa‑masa awal, terdapat dua pemikiran. Pertama
keterlambatan dan kemungkinan kenaikan biaya
adalah memasok segala bahan baku yang diperlukan
lantaran mekanisme pasar, yang masih terbelakang
serta memobilisasi sumber daya dari kantong‑kantong
dan infrastruktur jalur pasokannya rusak oleh bencana
yang selama ini diketahui mampu memasok tenaga‑tenaga
tidak memungkinkan adanya kontrol ketat terhadap
terampil tersebut. Kedua adalah membuka partisipasi
ketersediaan dan keragaman material, juga tingkat dan
masyarakat setempat seluas‑luasnya dengan cara
keterampilan sumber daya manusianya. Kemungkinan
melibatkan tenaga dan sumber material yang ada di
seperti eskalasi dan fluktuasi biaya menjadi sangat 23
tingkat lokal.
mungkin terjadi.
Pertimbangan pertama memungkinkan kontrol sangat
BRR mengambil opsi tersebut karena ada harapan
ketat pada ongkos‑ongkos dan biaya terkait dengan
yang besar di ujung pilihan ini, yaitu masyarakat yang
pengadaan material serta sumber daya manusia. Semua
berdaya. Pelibatan masyarakat ini akan memberikan
bahan ada dengan kualitas yang serba terstandar dan
pengalaman untuk berperan aktif dalam proses rehabilitasi
relatif terkontrol, tenaga sudah tersedia dengan tingkat
dan rekonstruksi—mulai dari perencanaan, pelaksanaan
keterampilan yang relatif seragam dan kemampuan kerja
sampai evaluasi, juga keberlanjutan industri konstruksi di
yang umumnya sama. Masyarakat tinggal menerima
masa datang, yang diharapkan diwarnai perdamaian.
manfaat dari proses rehabilitasi serta rekonstruksi.
Akumulasi pengalaman ini bisa mengarah pada dua
Pertimbangan kedua adalah membuka ruang pada
kemungkinan, keberhasilan sekaligus kegagalan. Akan
mekanisme pasar untuk bekerja. Keran partisipasi
tetapi keduanya, baik keberhasilan maupun kegagalan,
masyarakat lokal dibuka selebar‑lebarnya sehingga mereka
merupakan bekal yang berharga bagi masyarakat Aceh—
bisa mengajukan diri menjadi pemasok bahan material,
yang selama ini terpinggirkan dari proses pembangunan
kontraktor, tenaga tukang, tukang batu, tukang kayu, dan
akibat konflik bersenjata bertahun‑tahun dan berada
lain sebagainya. Melalui proses seleksi, dipilih mereka
di bawah garis kemiskinan. Pengalaman‑pengalaman
yang terbaik. Penting dalam mekanisme seleksi ini adalah
tersebut diharapkan menjadi batu fondasi yang kokoh
memastikan agar prosesnya transparan, akuntabel, dan
sehingga pada saat BRR mengakhiri masa tugasnya. Laju,
berlangsung adil. Intinya, yang terpilih adalah yang terbaik.
arah, serta strategi pembangunan pun bisa dikendalikan
Hal ini membuka kemungkinan‑kemungkinan lain. sendiri oleh masyarakat setempat.
Selama ini pembangunan berlangsung tidak stabil karena
Selain itu, manfaat baik pengalaman maupun
konflik berkepanjangan, maka kualitas tenaga kerja di
keuntungan dari segi finansial dirasakan langsung oleh
tingkat lokal ikut terpengaruh. Tingkat kemampuan dan
masyarakat. Dunia usaha di Aceh diharapkan tumbuh dan
keterampilan pada sebagian tingkat masyarakat setempat
pulih kembali. Selain itu perputaran dana yang lebih besar
boleh jadi berada relatif di bawah kualitas tenaga‑tenaga
juga segera terjadi di masyarakat, meningkatkan daya
terampil dari tempat lain, misalnya dari Pulau Jawa
tahan terhadap riak dan gejolak persoalan sosial ekonomi
yang selama ini menjadi konsentrasi upaya‑upaya
yang umum. Dari proses ini, diharapkan masyarakat
pembangunan. Hal ini perlu mendapatkan perhatian
yang merasa disertakan dalam proses rehabilitasi
khusus karena rehabilitasi dan rekonstruksi di wilayah
dan rekonstruksi pascabencana ini akan merawat dan
pascabencana‑pascakonflik ini berskala raksasa. Pasokan
memelihara hasil‑hasil yang diperoleh.
material yang tersendat‑sendat serta kemampuan sumber
daya manusia yang tidak terstandar dapat berdampak Disadari sepenuhnya ada risiko yang muncul akibat
pada terlambatnya upaya rehabilitasi dan rekonstruksi. mengambil pilihan itu. Tetapi BRR memilih bersakit‑sakit
dahulu, bersenang‑senang kemudian. Pada akhirnya
Dilema ini harus dipecahkan di awal masa rekonstruksi
akan ada buah manis yang manfaatnya akan dinikmati
dan rehabilitasi. Pilihan yang diambil akan mewarnai
masyarakat Aceh.
seluruh strategi, kebijakan, dan program di semua bidang
PERUMAHAN: Membentang Atap Berpilar Asa

Tenda Pengungsi

24

Fasiltas Sosial Budaya


• Balai Pertemuan Desa
• Tempat Ibadah

Hunian Sementara/Barak
Bagian 2. Ikhtiar Membangun Kembali menjadi Lebih Baik
Konsep Merumahkan Penyintas Bencana
Dari tenda darurat ke hunian sementara
Kemudian permukiman dengan Kelengkapan Prasarana
dan Sarana Dasar (PSD).

Infrastruktur
• Air Bersih
• Jalan dan Jembatan
• Drainase
• Sanitasi
Lahan dan Lingkungan • Listrik 25
• Pembersihan Lahan
• Rehabilitasi Lingkungan

Fasilitas Umum
• Sekolah Pengembangan Ekonomi
• Puskesmas • Pasar
• Lapangan Kerja

Permukiman Baru
skala lingkungan yang mengacu pada rencana tata ruang sebelum bencana, rencana

Bagian 2. Ikhtiar Membangun Kembali menjadi Lebih Baik


rekonstruksi struktur kota, dan upaya‑upaya peningkatan kualitas lingkungan perumahan
dan permukiman melalui penataan kembali (revitalisasi).
Kelima, strategi yang digunakan adalah membantu korban bencana dalam perbaikan
dan pembangunan rumah. Hal ini direncanakan melalui enam cara. Cara pertama
dengan pemberian keahlian teknis, material, serta pilihan‑pilihan arsitektur tradisional
dalam desain rumah sebagai pertimbangan awal untuk merancang dan membangun.
Cara kedua pemberian bantuan teknis untuk memfasilitasi dalam rehabilitasi dan
pembangunan rumah. Cara ketiga, peningkatan kapasitas terhadap kelompok
masyarakat melalui antara lain pelatihan tukang batu dan tukang kayu. Cara keempat,
perkuatan swadaya masyarakat dalam pembangunan dan rehabilitasi rumah. Cara kelima,
pemanfaatan teknologi baru untuk mengatasi gempa bumi dan tsunami. Cara keenam,
penetapan building code dalam pembangunan perumahan.
27
Strategi enam, yaitu meningkatkan integrasi multisektoral dalam perbaikan dan
pembangunan dan perbaikan rumah. Peningkatan tersebut untuk mencapai dua tujuan.
Tujuan pertama, terciptanya keterkaitan perbaikan dan pembangunan dan rehabilitasi
perumahan dengan sektor ekonomi lain, seperti tenaga kerja, pasar material, usaha
dan industri kecil‑menengah. Tujuan kedua, terciptanya integrasi dan koordinasi antara
perumahan dan prasarana serta sarana dasar pendukungnya (air minum, air limbah,
persampahan, dan drainase).
Sedangkan strategi ketujuh adalah meningkatkan kapasitas, penyederhanaan dan
desentralisasi pengelolaan program melalui tiga cara, yaitu peningkatan peran aparat
tingkat provinsi dan tingkat kabupaten dalam pengawasan dan pemantauan program
rehabilitasi dan rekonstruksi perumahan dan prasarana dan sarana dasar; peningkatan
pelatihan dan bantuan teknis bagi aparat daerah; peningkatan peran kontraktor setempat
dan lembaga swadaya masyarakat dalam perbaikan dan pembangunan dan rehabilitasi
perumahan swadaya.
Terakhir, strategi kedelapan adalah melakukan pemantauan dan evaluasi yang
konsisten dengan cara memantapkan mekanisme pemantauan dan evaluasi pada setiap
tingkat pemerintahan dan mengembangkan sistem pemantauan dan evaluasi secara
independen untuk menjamin keberhasilan pelaksanaan program.

Pendataan rumah bantuan


di Alue Naga, Aceh Besar,
9 Januari 2008, dilakukan dengan
memanfaatkan kecanggihan
GPS. Foto: BRR/Arif Ariadi
Bagian 3. Membangun Harapan dan Masyarakat
Membangun
Harapan dan
Masyarakat 29

Membangun kembali menjadi lebih baik, inilah intisari semangat yang


dipegang teguh bidang perumahan dan permukiman. Dalam merehabilitasi dan
merekonstruksi wilayah pascabencana, diluncurkan sederetan program dan proyek di
bidang perumahan dan permukiman. Sederetan program dan proyek tersebut tak hanya
membangun rumah maupun infrastruktur, tetapi juga membangun kembali harapan dan
mimpi akan masa depan yang jauh lebih baik dibandingkan tahun‑tahun lalu.

Perencanaan Desa
Salah satu faktor yang menyebabkan tingginya angka korban meninggal atau cedera
akibat tsunami adalah karena desa tempat mereka tinggal tidak memiliki akses yang
cepat dan lancar menuju tempat menyelamatkan diri. Oleh karena itu, rehabilitasi dan
rekonstruksi bidang perumahan dan permukiman perlu memastikan agar desa‑desa
tersebut ditata dengan baik sehingga proses evakuasi bencana bisa berjalan lancar
dengan jumlah korban seminimal mungkin. Inilah pentingnya perencanaan desa.
Lalu siapakah yang mesti merencanakan desa? Tak lain dan tak bukan adalah Peta perencanaan desa yang disusun
masyarakat setempat sendiri. Merekalah yang mengetahui situasi sebelum, pada saat dan warga Kampung Jawa, Banda Aceh,
28 Agustus 2005, salah satu upaya
setelah bencana terjadi. Mereka adalah aktor utama dalam mitigasi bencana. menumbuhkan keterlibatan proaktif
masyarakat. Foto: BRR/Bodi CH
Perencanaan desa ini tak hanya penting untuk memastikan desa mereka tahan gempa.
Perencanaan desa ini juga merupakan proses tempat warga merencanakan masa depan
mereka. Desa bukanlah sekadar tempat mereka meluruskan badan dan beristirahat
PERUMAHAN: Membentang Atap Berpilar Asa

setelah mencari nafkah, tetapi di sinilah mereka berinteraksi dengan sesama warga,
merembukkan masa depan mereka, serta membangun mimpi dan harapan mereka.
Bagaimana dan seperti apa permukiman berkembang menjadi dasar merealisasikan
angan‑angan mereka akan masa depan yang lebih baik.
Penyusunan perencanaan desa di awal masa rehabilitasi dan rekonstruksi juga diyakini
sebagai salah satu cara mengatasi trauma bagi para penyintas yang tertekan secara
psikologis karena harta hancur atau hilang, juga karena keluarga dan kerabat lenyap
atau meninggal dunia. Melibatkan mereka dalam proses perencanaan diharapkan bisa
menghindarkan perasaan meratapi secara berkepanjangan situasi akibat bencana.

30 Selain itu, perkembangan desa semestinya berkembang berbeda antara satu desa dan
desa lainnya. Perencanaan desa yang baik tentunya mempertimbangkan aspek‑aspek
kehidupan sosial dan lingkungan. Permukiman nelayan misalnya, tentu berbeda
dengan permukiman petani. Bahkan sesama permukiman nelayan pun semestinya
tak sama dengan permukiman nelayan lainnya, karena masing‑masing punya sejarah
lokal yang berbeda. Kebutuhan masing‑masing kawasan berbeda, rancangan arah
perkembangannya pun wajar berbeda.
Tak hanya itu, perencanaan desa yang dilakukan sendiri oleh warganya diyakini
mampu menghindarkan konflik antarwarga. Setiap batas, setiap patok, setiap pagar yang
didirikan direncanakan dan disepakati oleh warga sendiri. Karena ada konsensus bersama,
diharapkan proses penentuan lahan juga mengantongi legitimasi sosial yang kuat. Hal ini
menjadi bekal yang kokoh demi memastikan hubungan kohesif antarwarga.
Tambahan lagi, bersama‑sama merancang desa menjadi modal sosial. Warga yang
terbiasa untuk berembuk, bersikap terbuka satu dengan lainnya, bersedia mendengarkan
pendapat dan masukan warga lain, berupaya secara bersama‑sama mencari jalan
keluar, saling bernegosiasi dengan rasional, berkompromi demi kemaslahatan bersama,
dan mencapai konsensus yang diterima dengan lapang dada diharapkan akan
mampu mengatasi masalah bersama‑sama pula. Jika ada hal‑hal yang mempengaruhi
perkembangan desa mereka, warga akan terbiasa untuk mencari jalan keluar
bersama‑sama demi kebaikan bersama juga.
Menggunakan pendekatan berbasis pada masyarakat setempat berarti menempatkan
masyarakat sebagai subjek dalam proses perencanaan dan pelaksanaan rehabilitasi dan
rekonstruksi pascabencana. Dengan pendekatan seperti ini, masyarakat memegang
peranan penting untuk membangun kembali desanya yang rusak bahkan hancur.
Pendekatan seperti ini juga diyakini bisa memastikan agar warga punya rasa memiliki
pada desanya dan merawat hasil‑hasil pembangunan yang dihasilkan oleh desanya
sendiri.
Bagian 3. Membangun Harapan dan Masyarakat
31

Seorang warga Kahju, Kabupaten


Khusus untuk konteks Aceh, pendekatan ini merupakan refleksi penghormataan
Aceh Besar, bersama fasilitatornya
terhadap ureueng po rumoh (arti harfiah: pemilik rumah, arti kiasan: warga setempat) mendiskusikan pengimplementasian
selalu yang empunya kawasan. Ureueng lingka (arti harfiah: tetangga, arti kiasan: peta perencanaan desa di atas
pihak luar) yang datang bisa memberi bantuan atau fasilitas, akan tetapi wewenang tapak bekas bangunan rumahnya,
26 Mei 2005. Foto: BRR/Arif Ariadi
tertinggi tetap ada di tangan ureueng po rumoh, yang memegang otoritas etik untuk
menentukan seperti apa rumah yang dibangun dan seperti apa kawasan permukimannya
berkembang. Imbauan moral tentang pentingnya penghormatan terhadap ureueng po
rumoh ini disampaikan dalam Taushiyah Silaturahmi Ulama‑ulama Dayah se‑NAD pada
8‑9 April 2005.
Selain itu, perencanaan desa tersirat pula dalam Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang‑Undang No. 2/ 2005, yang kemudian dikokohkan menjadi Undang‑Undang
No. 10/ 2005, yang menekankan hal ini dalam klausul menimbang butir c: “Bahwa
penanganan rehabilitasi dan rekonstruksi ... harus dilaksanakan secara khusus,
sistematis, terarah, dan terpadu serta menyeluruh dengan melibatkan partisipasi dan
memperhatikan aspirasi serta kebutuhan masyarakat...”
Pada intinya, perencanaan desa mengidentifikasi lokasi pembangunan rumah, titik‑titik
jaringan jalan, selokan saluran air, jaringan listrik, lapangan olahraga, sekolah serta pasar
diletakkan dan hingga kejelasan batas‑batas desanya. Perencanaan ini yang dijadikan
PERUMAHAN: Membentang Atap Berpilar Asa

32

Sebagai bagian pembangunan panduan merehabilitasi dan mengonstruksi desa yang rusak bahkan hancur. Idealnya,
berbasis masyarakat, fasilitator perencanaan desa ini memiliki visi yang jauh ke depan, yakni sampai 10‑20 tahun ke
desa turun ke lapangan mengajak
warga Desa Deah Glumpang, depan.
Kecamatan Meuraxa, Banda Secara umum, proses perencanaan desa bermula dari pemetaaan tanah. Pada proses
Aceh, 9 September 2005, untuk
membuat peta perencanaan desa pemetaan tanah inilah, batas‑batas kaveling individu, batas tanah milik bersama,
mereka. Foto: BRR/Arif Ariadi batas kawasan lindung sampai batas desa diukur dan digambar di atas peta. Proses
ini sepenuhnya bersifat partisipatif—dilakukan oleh warga. Pelibatan warga ini tidak
hanya secara normatif tetapi betul‑betul dilakukan secara teknis oleh warga yang turun
langsung ke lapangan.
Sebetulnya ada dua metode yang bisa digunakan, yakni pemetaan konvensional
(dengan standar pemetaan geodetik) dan pemetaan non‑konvensional (dengan alat
sederhana: kompas dan pita meter). Persoalannya, pemetaan konvensional memerlukan
waktu yang relatif lama dan tenaga ahli. Pemetaan non‑konvensional justru sebaliknya:
hasil cepat, namun untuk kepentingan sertifikasi memerlukan pemetaan ulang.
Setelah menimbang sejumlah kelemahan dan keunggulan di atas, diputuskan untuk
menggunakan metode pemetaan inkonvensional secara luas. Pertimbangannya, metode
ini dapat secepatnya menjangkau wilayah bencana yang luas, penyediaan tenaga
pelaksana yang relatif mudah. Persoalan sertifikasi diserahkan pada proses selanjutnya di
kemudian hari.
Nantinya, keluaran dari perencanaan desa ini adalah tersedianya dokumen
perencanaan yang bersifat spasial atau tata ruang khususnya di wilayah perumahan atau
permukiman yang terkena bencana.

Bagian 3. Membangun Harapan dan Masyarakat


Awalnya, perencanaan desa merupakan prakarsa lembaga nonpemerintah maupun
lokal di wilayah‑wilayah yang rusak parah. Artinya, perencanaan desa masuk dalam
mekanisme off‑budget, sehingga peran BRR hanya sebagai koordinator. Pada 2005,
koordinasi tersebut dilakukan oleh Kedeputian Perencanaan dan Pemrograman BRR.
Sekalipun sama‑sama menggunakan pendekatan partisipatif, masing‑masing lembaga
punya metode dan teknik yang berbeda. UN‑HABITAT misalnya menggunakan metode
community action planning (CAP) sejak Maret 2005. Metode ini digunakan untuk
menyiapkan masyarakat dampingan dan menyusun perencanaan desa. Rencana desa
umumnya terbatas pada rencana tata letak rumah dan belum menjangkau hal‑hal yang
terkait dengan pengembangan permukiman dan mitigasi bencana. 33
Seiring perjalanan waktu, dirasa perlu adanya pedoman untuk mengatur spesifikasi
minimal proses dan produk perencanaan desa ini. Menanggapi kebutuhan tersebut,
maka BRR pada Juni 2005 mengeluarkan pedoman menata dan membangun desa.
Pedoman ini memberikan panduan awal tentang hal‑hal yang perlu diperhatikan dalam
perencanaan desa.
Pedoman ini kemudian disempurnakan lebih jauh lagi oleh BRR pada April 2006
menjadi pedoman perencanaan desa yang sifatnya lebih teknis melalui kerja sama
lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan lembaga internasional utama yang bergerak
dalam perencanaan desa seperti Australia Indonesia Partnership for Reconstruction and
Development (AIPRD) Local Governance and Infrastructure for Communities in Aceh
(Logica), Mercy Corps, UN‑HABITAT, dan dimotori proses penyusunannya oleh United
States Agency for International Development (USAID).
Pedoman kali ini mengandung beberapa elemen, yakni tingkatan rencana yang
dapat dihasilkan, yang terbagi atas tiga kategori: rencana perletakan rumah, rencana
permukiman minimum, dan rencana permukiman yang lebih baik; proses perencanaan
partisipatif, bertumpu pada komunitas; pemetaan partisipatif; diskusi pemanfaatan
(termasuk pemanfaatan kembali) lahan; rencana prasarana dan sarana dasar komunitas;
rencana mitigasi bencana; dan rencana lingkungan, dengan perhatian utama pada
identifikasi kawasan‑kawasan yang rentan secara ekologis.
Dalam perkembangan selanjutnya, ditambahkan kandungan tentang pengembangan
desa, seperti rencana pengembangan ekonomi (mata pencarian, pemanfaatan sumber
daya setempat) dan sosial. Berdasarkan panduan ini, maka diperoleh kualifikasi proses
dan produk yang relatif baku.
Panduan lebih teknis ini diikuti dengan pembentukan Kedeputian Bidang Perumahan
dan Permukiman pada 2006, yang juga menerapkan perencanaan desa. Kali ini, BRR tidak
hanya menjadi koordinator tetapi menjadi pelaksana dari perencanaan yang berada di
Gambar 3.1. Korelasi Perencanaan Desa dengan Pelaksanaan Rehabilitasi Rekonstruksi BRR

Pendataan
(verifikasi)
penerima bantuan
PERUMAHAN: Membentang Atap Berpilar Asa

2 Pengadaan jasa

1
Pengorganisasian konstruksi

3
masyarakat, dan jasa
pemetaan tanah konsultan
dan village planning perencanaan/
pengawasan

Dari Masyarakat
Kembali
34
Ke Masyarakat

Serah terima
rumah
6
ke masyarakat,
4 Pelaksanaan
pembangunan/
konstruksi
dan pengawasan

5
dan PSD rumah
ke Pemda

Penyediaan
prasarana dan
sarana dasar
permukiman

bawah Direktorat Penataan Ruang dengan menggunakan mekanisme on‑budget. Peran


sebagai pelaksana pembangunan tersebut dijalankan dengan bantuan konsultan. Di sini,
BRR masuk ke desa‑desa yang belum terjangkau oleh berbagai lembaga lokal maupun
internasional.
Dari gambar di bawah, tampak dari seluruh enam tahap pembangunan perumahan
dan permukiman, pemetaan dan perencanaan desa berada pada tahap I bersama dengan
pengorganisasian masyarakat.
Tahap pemetaan dan perencanaan desa menjadi tahap visualisasi awal, sekaligus
pemberian visi pada calon kawasan perumahan dan permukiman itu. Visualisasi awal
dibentuk antara lain melalui sejumlah peta dasar: peta bentang alam (topografi/ morfologi),
peta kawasan budi daya dan kawasan lindung, peta batas kawasan dan batas kaveling; peta
rencana: peta rencana tata letak, peta rencana jaringan infrastruktur, peta rencana mitigasi,
dan sebagainya. Visualisasi akan semakin jelas jika perencana dapat menampilkan atau
menambahkan, bentuk tiga dimensi peta‑peta di atas. Melalui visualisasi awal yang baik,
warga terfasilitasi menjadi perencana bagi kawasan permukimannya sendiri.
Sebagai perwujudan dari terlibatnya mereka dalam proses penyusunan perencanaan
desa, maka dalam beberapa kasus perencanaan desa, masyarakat terutama tokoh‑tokoh
atau wakil‑wakil yang terlibat, mencantumkan tanda tangan mereka pada rancangan

Bagian 3. Membangun Harapan dan Masyarakat


awal dokumen perencanaan desa. Selanjutnya berdasarkan kesepakatan yang diperoleh,
perencanaan desa tersebut dapat disempurnakan lebih lanjut, khususnya untuk
tema‑tema rencana yang lain seperti rencana mitigasi, rencana penghijauan atau rencana
infrastruktur, dengan menggunakan kaidah‑kaidah perencanaan yang berlaku.

Meskipun memberikan banyak manfaat, kenyataan menunjukkan bahwa perencanaan


desa belum menjadi pendekatan yang dominan. Hal ini karena kelemahan dasar
hukum dan aturan terkait. Perencanaan desa belum mendapatkan dukungan kebijakan
pertanahan yang sesuai. Sedangkan secara teknis, di hampir semua desa yang
direncanakan bersama, batas‑batas tanah tidak jelas. Hal ini bisa disebabkan bencana
seperti tanah tergerus dan tergenang permanen, atau bisa juga karena memang 35
batas‑batas tersebut tidak diketahui secara tertulis oleh warga setempat.

Faktor lain, perencanaan desa ini belum cukup dikenal dalam khazanah perencanaan
tata ruang di Indonesia, karena ahli yang tersedia tak cukup banyak. Proses perencanaan
yang partisipatif itu membutuhkan waktu yang lama, sehingga membuat warga tidak
sabar mengikuti proses.

Selain itu, sering kali kesepakatan yang dibuat di desa tidak melibatkan seluruh warga,
karena sebagian mengungsi atau pindah sementara. Akibatnya, ketika mereka yang dulu
pergi kemudian kembali, mereka tidak selalu bisa menerima hasil konsensus yang dicapai
oleh sebagian yang tinggal di desa.

Konsensus juga berubah bukan saja karena keluar masuknya warga, tetapi karena
masuknya informasi baru. Ada sebagian desa yang awalnya telah mencapai kata sepakat
soal lahan yang dikontribusikan untuk kepentingan umum seperti jalan, sekolah, dan
sebagainya ketika ada informasi bahwa pembebasan lahan tersebut mendapatkan biaya
dengan jumlah tertentu, maka komitmen warga pun berubah.

Sementara itu, sejumlah desa mengalami perpecahan antarkelompok atau


antarkomunitas. Konflik antarkelompok kadang‑kadang terjadi sehingga konsensus sulit
dicapai di desa‑desa semacam ini.

Tambahan lagi, perencanaan dan pembangunan sering kali tidak berjalan berurutan. Di
beberapa tempat, proses perencanaan desa berlangsung pada saat pembangunan rumah
sudah berjalan. Ada juga sejumlah kontraktor yang mengabaikan perencanaan desa.
Akibatnya karena pembangunan sudah berlangsung, maka aspirasi warga sulit untuk
diakomodasi.

Akan tetapi, lepas dari tantangan di atas, hasil pelaksanaan pemetaan dan perencanaan
desa ini cukup menggembirakan. Berdasarkan hasil pemantauan dan evaluasi yang
diadakan di BRR, 346 desa di seluruh Aceh menggunakan pendekatan perencanaan desa.
Buah manis dari jerih payah mengupayakan perencanaan desa berbasis komunitas
ini memang baru akan dirasakan jelas beberapa tahun ke depan. Akan tetapi, buah jerih
payah tersebut niscaya sungguhlah terasa manis. Angka tersebut menunjukkan hampir
PERUMAHAN: Membentang Atap Berpilar Asa

350 desa di Aceh menjalani “eksperimen” berharga, yaitu berlatih membangun komitmen
dan menentukan nasib sendiri.
Hasil dari perencanaan desa ini dimanfaatkan pula oleh unit‑unit lain seperti Direktorat
Manajemen Konstruksi/Rancang Bangun dan Direktorat Infrastruktur Permukiman
sebagai dasar untuk penempatan rumah maupun merancang detailed engineering design
(DED) prasarana atau infrastruktur di kawasan perumahan yang akan dibangun.
Hal ini sangat menggembirakan mengingat perencanaan desa menggunakan
pendekatan partisipatif seperti ini belum menjadi arus utama. Di berbagai desa di seluruh
Indonesia saja, pendekatan ini belum banyak dilakukan, apalagi di daerah pascakonflik
36 dan pascabencana seperti Aceh. Keberhasilan Aceh menerapkan perencanaan desa,
sekalipun punya sederetan pengalaman masa lalu yang pahit, patut mendapat acungan
jempol. Perencanaan desa mensyaratkan satu modal utama yang luar biasa besar, yakni
rasa percaya. Orang mudah melontarkan kata ini, tetapi sangat sukar dipegang. Lewat
rasa percaya yang terbangun, masyarakat Aceh berhasil melepaskan beban masa lalu
demi masa depan yang lebih baik.

Kerangka Kerja dan Rencana Aksi


Tata Ruang Kecamatan
Jika kita telah memiliki rencana tingkat desa, bagaimana dengan rencana tingkat
antardesa, atau tingkat kecamatan? Apa panduan untuk mendukung percepatan
rehabilitasi‑rekonstruksi di tingkat ini? Secara teknis, di titik lokasi mana jalan dan
jembatan akan dibangun kembali? Di mana lokasi infrastruktur penopang mata
pencaharian, seperti tempat pelelangan ikan dan pasar ditempatkan sehingga
mendukung percepatan normalisasi kehidupan ekonomi dan sosial warga?
Pertanyaan‑pertanyaan itulah yang pada awal 2006 mendorong munculnya terobosan
perencanaan tata ruang kedua, yaitu kecamatan action plan (KAP), yang kemudian
berkembang menjadi Kerangka Kerja dan Rencana Aksi Tata Ruang Kecamatan
(kecamatan spatial framework and action plan, KSF‑AP).
KSF‑AP merupakan dokumen usulan proyek atau program dalam ruang lingkup
kerangka kerja penataan ruang kecamatan. Dokumen ini diperlukan untuk mendukung
kegiatan pembangunan kecamatan pascarekonstruksi. Dokumen ini disusun dengan
mengaitkan substansi usulan proyek atau programnya dengan rencana dan proses
pembangunan kabupaten, kecamatan, dan desa yang ada.
Adapun format sajian proyek atau program KSF‑AP adalah project sheet yang memuat
secara cukup lengkap spesifikasi proyek atau program tersebut termasuk indikasi biaya,
Bagian 3. Membangun Harapan dan Masyarakat
37

kegiatan yang perlu dilaksanakan, manfaat pelaksanaan kegiatan, urutan prioritas Dari udara, 23 Juni 2007, terlihat
pelaksanaannya dan sebagainya. kawasan Desa Lambung, Meuraxa,
Banda Aceh, kini tertata dengan
KSF‑AP ini fokus pada kebutuhan infrastruktur, lingkungan dan ekonomi pedesaan, baik. Foto: BRR/Arif Ariadi
serta keterkaitan antarpermukiman dan pedesaan. KSF‑AP memungkinkan agar proyek
dan program yang sudah diidentifikasi dipertajam menjadi desain yang lebih detail.
Detail‑detail ini penting sebagai dasar pelaksanaan fisik nantinya.
Mengapa kecamatan? Dalam rencana tata ruang, kecamatan menjadi satuan
wilayah administratif yang penting. Ini karena kecamatan merupakan pemersatu unit
pembangunan wilayah‑wilayah pedesaan. Dengan demikian, perencanaan desa yang
dilakukan di desa satu dengan desa lainnya bisa diintegrasikan dalam satu wadah di
tingkat kecamatan. Ini yang membuat kecamatan menjadi ujung tombak pelaksanaan
rekonstruksi. Selain itu, kecamatan juga merupakan bagian dari skenario pengembangan
wilayah kabupaten.
Oleh karena itu, perlu ada panduan pelaksanaan rekonstruksi yang akurat di tingkat
kecamatan yang mengacu pada rencana tata ruang di hierarki yang lebih tinggi.
Selanjutnya, proyek dan program ini perlu dimutakhirkan untuk menyesuaikan dengan
perubahan kondisi dan kebijakan perencanaan kabupaten yang senantiasa berkembang.
PERUMAHAN: Membentang Atap Berpilar Asa

38

Rumah‑rumah baru di Alue Naga, Serupa dengan perencanaan desa, KSF‑AP dipersiapkan melalui partisipasi dari
Banda Aceh, 3 April 2009, kini masyarakat dan pihak terkait lainnya di tingkatan kecamatan dan dinas atau instansi
dikelilingi tanggul untuk melindungi
abrasi sungai. Foto: BRR/Arif Ariadi lainnya di tingkat kabupaten dan provinsi termasuk BRR.
KSF‑AP ini sendiri terus‑menerus mengalami penyempurnaan khususnya dari aspek
cakupan, bentuk, dan kedalaman. Sebelumnya pada 2006, inisiatif ini dikenal dengan
nama kecamatan action plan (KAP). KAP ini hanya mencakup wilayah kecamatan yang
terkena bencana parah. Titik berat rencana aksi ini pun sebatas mengidentiikasi proyek
rehabilitasi dan rekonstruksi di bidang infrastruktur dan mata pencaharian. Ini semua agar
kehidupan warga cepat kembali normal.
Setelah KAP ini tuntas, BRR mengalami sederetan proses pembelajaran yang
memberi kontribusi penting pada penyempurnaan rencana aksi ini. Sebagian kalangan
berpandangan bahwa perlu ada analisis yang lebih mendalam. Artinya, rencana teknis
ini tidak lagi sebatas merekomendasikan rehabilitasi dan rekonstruksi infrastruktur
yang rusak dalam jangka panjang. Rekomendasi sebaiknya diberikan pada rehabilitasi
dan rekonstruksi infrastruktur yang bernilai strategis untuk mengembangkan wilayah
dalam jangka menengah dan panjang. Karena itu, perlu analisis yang lebih mendalam
dan menyeluruh sampai ke tingkat kecamatan dan kabupaten. Dalam perjalanannya,
penyempurnaan ini diintegrasikan dalam KAP tahap II, yang kemudian disebut sebagai
KSF‑AP.
KSF‑AP menghasilkan keluaran utama berupa identifikasi proyek strategis dalam
bidang infrastruktur dan mata pencaharian pada satu kecamatan. Hal ini ditopang
dengan analisis tingkat kabupaten dengan penajaman di tingkat kecamatan, mengenai

Bagian 3. Membangun Harapan dan Masyarakat


(a) Kondisi sumber daya alam dan lingkungan (lingkungan fisik, pantai/laut dan vegetasi,
dan potensi bencana);
(b) Arah perencanaan dan
Tabel 3.1. Perkembangan KAP menjadi KSF‑AP
pembangunan ekonomi
(rencana pengembangan Kecamatan Spatial Framework and
Kecamatan Action Plan
wilayah dan tata Action Plan
(KAP)
(KSF‑AP)
ruang yang relevan,
Hanya bagian wilayah kecamatan
kependudukan, keuangan Cakupan
yang rusak terkena bencana
Seluruh wilayah kecamatan
pemerintah daerah, tata
Dilakukan analisis mendalam di
guna lahan dan tutupan tingkat kabupaten dan kecamatan,
lahan, perekonomian Penekanan pada identifikasi dan pembacaan arah pengembangan 39
wilayah); Kedalaman proyek strategis rehabilitasi/ struktur dan pola ruang kecamatan
rekonstruksi menurut Rencana Tata Ruang Wilayah
(c) Gambaran kondisi Kabupaten (RTRWK), sebagai dasar
infrastruktur (jalan, penentuan proyek strategis kecamatan
jembatan, layanan air Acuan ke
bersih, listrik, infrastruktur rencana tata Tidak ada Ditekankan
ruang yang ada
sosial dan kesehatan,
irigasi, dan drainase); dan
(d) Gambaran prospek
kabupaten/kecamatan itu untuk berkembang.

Hasil identifikasi proyek‑proyek strategis ini pun dilengkapi dengan project sheets, yang
berfungsi sebagai prastudi kelayakan.
Jadi, KSF‑AP ini pada dasarnya merupakan program yang memadukan perencanaan
bottom up yang melibatkan masyarakat melalui konsultasi publik yang ekstensif, seperti
yang diperoleh lewat perencanaan desa yang partisipatif dan berbasis komunitas.
Perencanaan dari masyarakat ini bertemu dengan pendekatan elemen top down dari
rencana pembangunan yang ada untuk mengidentifikasikan kebutuhan utama dan
meningkatkan kualitas pengambilan keputusan dalam pembangunan wilayah kecamatan.
Proses penyusunan KSF‑AP pun mebuahkan hasil yang menggembirakan. Gelombang
I berhasil menjangkau 19 kecamatan, gelombang II ada 28 kecamatan yang dijangkau,
sedangkan gelombang III dari program ini berhasil menyentuh 16 kecamatan. Total
ada 63 kecamatan yang masuk dalam cakupan program ini. Kecamatan‑kecamatan
ini kebanyakan tersebar di wilayah yang memiliki tingkat kerusakan dahsyat terkena
bencana atau memerlukan rencana teknis untuk mengganti keberadaan rencana umum
atau rencana detail tata ruang.
Inisiatif KSF‑AP yang sepenuhnya didukung dan dibiayai oleh dana hibah Bank
Pembangunan Asia melalui program Earthquake and Tsunami Emergency Support Project
(ETESP) ini memiliki nilai penting tersendiri karena menjadi basis data perencaan dan

Bagian 3. Membangun Harapan dan Masyarakat


tata ruang yang akurat. Basis data ini juga terkait erat dengan rencana aksi kebutuhan
rekonstruksi di tingkat desa, kecamatan, dan wilayah yang lebih luas lainnya.
Prosesnya yang dibuat secara partisipatif ini juga memberikan nilai tambah karena
menempatkan masyarakat menjadi aktor utama dalam perencanaan pembangunan di
daerahnya. Pendekatan partisipatif ini pun sesuai dengan amanat UU No. 10/ 2005. Selain
itu, yang terlibat pun tak hanya warga pemuka warga dan pejabat kecamatan/ kabupaten,
namun juga dengan berbagai LSM dan lembaga internasional yang bekerja di wilayah
dimaksud. Melalui proses ini, maka tumpang‑tindih kegiatan antarpihak‑pihak terkait
pun bisa dihindari. Dengan begitu, keseluruhan proses rehabilitasi dan rekonstruksi bisa
berjalan dengan lebih efektif, lebih cepat, dan menjangkau penerima manfaat secara
41
lebih luas.
Nilai tambah lain dari tersedianya dokumen KSF‑AP ini adalah setiap rencana aksi ini
dapat diusulkan oleh kecamatan untuk dibiayai oleh pemerintah kabupaten melalui
mekanisme musyawarah perencanaan pembangunan daerah (Musrenbangda). Berkat
dokumen ini, pihak kecamatan akan memiliki dokumen perencanaan pembangunan
yang sangat valid dengan deskripsi teknis dan kemanfaatan yang akurat sehingga
siap dikompetisikan dalam forum musrenbangda, baik di tingkat kecamatan maupun
kabupaten.

Proyek Rekonstruksi Tanah


dan Sistem Administrasi di Aceh
Salah satu bukti otentik yang menegaskan hak seseorang akan tanah yang dimiliknya
adalah lewat sertifikat tanah. Selembar kertas ini menjadi penegaskan akan haknya atas
sepetak tanah di kawasan tertentu yang sah jadi miliknya. Di Indonesia, segala urusan
sertifikat tanah ini sendiri dikelola oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN).
Harus diakui bahwa ada banyak sekali tanah di seluruh Indonesia yang berstatus
sebagai tanah ulayat alias milik masyarakat adat. Hal ini menyebabkan jumlah pemilik
sertifikat menjadi tak seperti apa kata teori. Situasi ini terjadi pula di Aceh. Ternyata
diketahui hanya 10 persen dari warga yang mengaku memiliki rumah sebelum tsunami
yang dapat menunjukkan sertifikat tanah sebagaimana diatur dalam hukum pemerintah
Indonesia, sebagian besar dimiliki oleh perorangan dan diatur melalui adat.
Selain itu, ada persoalan terkait tata ruang yang serba tidak transparan. Dalam Deretan beton heksagonal
tanggul pengaman pantai,
kasus‑kasus tertentu, ada orang yang membeli tanah kemudian kehilangan kesempatan 6 April 2008, tertanam melindungi
untuk memetik manfaat atas tanah tersebut karena berdasarkan tata ruang, tanah yang garis pantai Johan Pahlawan,
dimiliki ternyata masuk jalur hijau. Pengakuan hak atas tanah terutama lewat sertifikat Meulaboh, Kabupaten Aceh Barat.
Foto: BRR/Arif Ariadi
tanah masih menjadi tantangan besar.
PERUMAHAN: Membentang Atap Berpilar Asa

42

Keluarga ini adalah warga penyintas Hak atas tanah ini menjadi salah satu elemen kunci pada proses rehabilitasi dan
di Neuheun, Kabupaten Aceh Besar, rekonstruksi di Aceh dan Nias. Hal ini tertera tegas dalam Rencana Induk yang disahkan
yang menerima bantuan rumah,
11 Januari 2008. Foto: BRR/Arif Ariadi Pemerintah Indonesia melalui Perpres No. 30/2005 pada April 2005. Dokumen inilah
yang menjadi pegangan BRR dalam bekerja. Mengingat tantangan‑tantangan yang ada,
penegaskan akan hak masyarakat atas tanah milik mereka disadari tidak akan semudah
membalikkan telapak tangan.
Akan tetapi, permasalahan atas tanah justru menjadi kunci utama rehabilitasi dan
rekonstruksi pascabencana. Hal ini penting karena di atas tanah‑tanah tersebut, akan
dibangun rumah‑rumah yang diperuntukkan bagi para penyintas yang juga menjadi
penerima manfaat dari upaya rehabilitasi dan rekonstruksi ini. BRR pun meyakini bahwa
pengakuan hukum yang penuh terhadap tanah juga bangunan yang didirikan di atasnya
menjadi satu hal yang perlu dan mutlak harus dilakukan.
Namun mengeluarkan sertifikat pada penyintas yang jumlahnya mencapai angka 400
ribu hanya di Provinsi NAD ini bukan hal gampang. BPN sebagai lembaga negara yang
berkewenangan di bidang pertanahan boleh dibilang lumpuh karena sebagian besar
kantornya hancur dan 40 pegawainya hilang atau meninggal dunia. Jadi mereka yang
mestinya punya sertifikat pun tak lagi bisa memegang lembaran kertas yang dijadikan
bukti kepemilikan atas tanah lantaran berkas‑berkas di BPN rusak maupun basah.
Untuk menjamin hak atas tanah ini, negara‑negara sahabat ikut membantu.
Salah satunya adalah Jepang yang membantu dengan membangun fasilitas untuk
mengeringkan dokumen sedemikian rupa sehingga tinta maupun kertas sertifikat tidak

Bagian 3. Membangun Harapan dan Masyarakat


rusak, bisa dibaca kembali. Diharapkan dari penyelamatan dokumen ini, maka si empunya
tanah yang namanya tertera di sertifikat bisa dilacak kembali keberadaannya. Akan tetapi,
proses ini makan waktu yang cukup lama. Sedangkan, kalaupun berkas selamat, belum
tentu tanah yang tertera lokasinya di atas kertas bisa ditemukan di lapangan. Hal ini
karena bencana tsunami begitu dahsyatnya sehingga tanah pun bisa hilang, tergenang
air dan tak lagi layak untuk didiami.
BRR mengakui, tanah memiliki peran penting dalam kehidupan masyarakat Aceh,
sehingga sertifikasi tanah menjadi mutlak dilakukan. Selain memberi keuntungan
ekonomi langsung, pengakuan penuh atas kepemilikan tanah juga merupakan salah satu
bentuk alat pengaman sosial karena menjamin stabilitas ekonomi para janda, anak yatim,
43
dan kaum telantar.
Maka, pada Mei 2005, pemerintah menyusun mekanisme utama untuk merestorasi
hak atas tanah pascatsunami di Aceh. Mekanisme ini dikenal dengan nama Proyek
Rekonstruksi Tanah dan Sistem Administrasi di Aceh (Reconstruction of Aceh Land
and Administration System Project , RALAS). RALAS ini diharapkan menjadi respons
inovatif untuk mengatasi persoalan akibat ketidakpastian hak atas tanah. Mekanisme
ini mengatur sertifikasi atas tanah yang dibebaskan, baik yang sudah dipastikan
penggunaannya (misalnya untuk membangun perumahan untuk para korban bencana
atau untuk keperluan fasilitas publik) maupun yang belum—tanah ini akan diserahkan
kepada pemda setempat. Program ini mendapatkan dukungan dana sebesar US$ 28,5
juta dari Multi Donor Fund yang dikelola ReKompak dan dimulai pada Agustus 2005
sampai Desember 2008 untuk melakukan sertifikasi atas tanah seluas 600 ribu bidang.
Mekanisme RALAS sendiri mengadopsi tiga langkah berikut ini. Pertama adalah
langkah arbitrase berbasis komunitas (community driven adjudication, CDA). Dalam
proses ini, masyarakat di setiap desa bersama‑sama mendiskusikan tentang lokasi tanah
yang ada serta batas‑batasnya. Diskusi ini kemudian menghasilkan sebuah peta. Peta ini
kemudian ditandatangani oleh si pemilik tanah dan kepala desa. Dalam proses inilah,
setiap pemilih tanah menandatangani pernyataan tentang kepemilikan tanah. Pernyataan
ini mendapatkan dukungan dari tetangga dan kepala desanya. Inilah yang menjadi bukti
bahwa catatan tersebut benar adanya.
Langkah kedua adalah survei batas tanah yang telah disepakati tersebut oleh BPN.
BPN inilah yang kemudian menerbitkan surat kepemilikan tanah (sertifikat) berdasarkan
kesepakatan yang terjadi di langkah sebelumnya, yakni arbitrase berbasis komunitas
tadi. Langkah ketiga atau terakhir adalah pendaftaran atas tanah yang ditetapkan. Dalam
langkah ini, sertifikat hak milik atas tanah pun terbit secara sah.
Tiga Langkah RALAS
Langkah 1: Arbitrase Berbasis Komunitas
PERUMAHAN: Membentang Atap Berpilar Asa

• Melakukan konsultasi desa dengan pemilik tanah


tentang mekanisme pemetaan (pengisian formulir,
pemasangan batas tanah, dan penyiapan peta dasar
satelit)
• Pemilik tanah atau ahli waris atau walinya yang
sah memasang patok pembatas tanah dan mengisi
pernyataan yang membenarkan lokasi dan hak
miliknya serta disetujui oleh pemilik bidang tanah yang
berbatasan dan Geuchik
• Komunitas menyusun peta yang mengidentifikasi
kepemilikan dan batas tanah di gampong‑nya Langkah 2: Pengukuran dan Pemetaan
• Warga melaporkan pelaksanaan
44
arbitrase berbasis komunitas kepada
Badan Pertanahan Nasional (BPN)
• BPN mensurvei dan memetakan batas
tanah dan menerbitkan peta tanah
komunitas
• Peta dipasang di desa selama 30 hari
dan masyarakat dapat mengajukan
keberatan. BPN akan menindaklanjuti
keberatan dan menyelesaikan baik
melalui musyawarah gampong atau tim
penanganan pengaduan provinsi.
Bagian 3. Membangun Harapan dan Masyarakat
Langkah 3: Penerbitan Sertifikat
• Jika tidak ada keberatan, BPN menerbitkan
sertifikat tanah
45
• Jika harta bersama suami‑istri, maka sertifikat
atas nama suami‑istri
• Jika Pemilik tidak ada, maka sertifikat dibuat
atas nama ahli warisnya yang sah
• Jika ahli waris di bawah umur dibuatkan buku
tanah dan sertifikatnya, tetapi pengelolaan
tanah dilakukan oleh walinya
• Jika ahli waris belum teridentifikasi atau warisan
dipermasalahkan, dibuatkan buku tanah.
Sertifikat akan diterbitkan jika ahli waris telah
jelas
• Jika tanah bermasalah, hanya dibuat buku
tanah dan batas tanahnya dicatat sebagai
batas sementara. Jika kepemilikan tanah
telah diklarifikasi, pemilik dapat mendaftarkan
tanahnya ke BPN

SERTIFIKAT

Sumber: Keputusan Ka‑BPN No. 114‑II.2005,


tentang Manual Pendaftaran Tanah di Daerah‑daerah
Pascatsunami, hlm. 1‑27
Sertifikat Kepemilikan Bersama
atas Tanah
PERUMAHAN: Membentang Atap Berpilar Asa

Pascatsunami Aceh banyak secara formal. Banyak perempuan tidak


mengetahui adanya program ini sehingga
perempuan yang kehilangan suaminya.
keikutsertaan program ini menjadi rendah.
Sementara di Aceh, sebagian besar persil
tanah dicatatkan atas nama laki‑laki, Selain informasi, terdapat hambatan
karena laki‑lakilah yang menjadi kepala sosial ekonomi dan tradisi bagi perempuan
keluarga. Persil tanah yang dicatatkan Aceh dalam memperoleh akses hak
atas nama perempuan hanya 20‑25 atas tanah. Hambatan ini berasal dari
persen. Sedangkan jumlah sertifikat yang domestikasi peran perempuan. Di
dicatatkan atas nama suami‑istri sangat masyarakat Aceh, masalah pertanahan
sedikit. yang dianggap sebagai ranah publik
46 dianggap menjadi urusan kaum lelaki.
Perempuan yang kehilangan suami
Suamilah yang pada kenyataannya banyak
akibat bencana dikhawatirkan akan
terlibat dalam pemetaan tanah. Oleh
kehilangan haknya atas tanah. Akibatnya,
karena itu, sering terjadi tanah tersebut
anak‑anak buah perkawinan mereka
didaftar atas nama suami dan bukan istri.
menghadapi ancaman kehilangan hak
atas tanah tempat mereka tinggal. Hambatan juga bersumber dari trauma
Sebagai akibatnya, mereka juga terancam konflik dan tsunami yang menghalangi
kehilangan hak mereka sebagai penerima perempuan membuat klaim publik atas
manfaat perumahan. hak tanah mereka. Hambatan lain adalah
kenyataan bahwa perempuan Aceh
Sertifikat bersama kepemilikan tanah
memiliki sedikit waktu untuk memobilisasi
(joint land titling, JLT) adalah satu
sumber dayanya maupun menegaskan
mekanisme sertifikasi tanah, tetapi nama
hak mereka atas tanah yang dimiliki
yang dituliskan bukan hanya kepala
karena kerja domestik sebagai ibu rumah
keluarga, yang notabene laki‑laki, tetapi
tangga. Hambatan ini semakin besar bagi
nama pasangan suami‑istri. Secara
janda dan anak perempuan. Selain telah
konkret, di dalam sertifikat tanah tersebut,
termarginalisasi dalam struktur lokal,
dicantumkan nama suami, istri, atau
mereka juga mengalami kesulitan ketika
saudara laki‑laki dan saudara perempuan
keputusan patriarki dibuat oleh pemimpin
sekandung. Hak kepemilikan tanah akan
lokal.
dibagi secara sama diantara mereka.
Artinya, mekanisme ini diterapkan pada Sebetulnya, hukum Indonesia mengakui
keluarga (pasangan yang menikah secara bahwa tanah, termasuk juga semua
resmi atau saudara kandung yang yatim). harta milik, yang diperoleh setelah
pernikahan secara definitif dianggap
Dalam konteks hukum Indonesia,
sebagai milik bersama. Hukum Indonesia
syariah maupun adat, sekalipun tak ada
juga melindungi co‑owners atas tanah,
larangan, mekanisme ini sangat jarang
sekalipun namanya tidak tercantum di
digunakan. Hal ini karena mekanisme
sertifikat tanah. Hal ini karena registrasi
administratif yang siap diimplementasikan
tidak secara inheren menegaskan
belum tersedia. Rendahnya jumlah
kepemilikan karena registrasi hanya
sertifikat bersama kepemilikan tanah
merupakan bukti sertifikasi. Pemegang
dalam data di atas merefleksikan sifat JLT
hak bisa menegaskan haknya—walaupun
yang hanya menjadi pilihan. Hal ini juga
hak tersebut tidak diakui secara eksplisit
mencerminkan hambatan sosial ekonomi
di atas sertifikat tanah.
bagi akses perempuan atas tanah
Bagian 3. Membangun Harapan dan Masyarakat
47

UU Perkawinan pada 1974 misalnya, Selain itu, JLT menegaskan status Pasangan suami istri warga Leupung,
mengatur pula pembagian tanah tanah sebagai properti perkawinan. Kabupaten Aceh Besar, penyintas
perkawinan, apabila suami‑istri bercerai, JLT menjamin posisi perempuan dan tsunami yang menerima Sertifikat
tanpa memandang nama siapa—pihak semua anggota keluarga dalam proses Kepemilikan Bersama atas Tanah
suami atau pihak istri—yang tercantum pengambilan keputusan keluarga. (Joint Land Titling), 11 Januari 2008.
dalam catatan sertifikat kepemilikan Adanya pengakuan formal terhadap hak Foto: BRR/Arif Ariadi
tanah. Dalam kasus‑kasus ketika suami perempuan atas tanah berimplikasi juga
atau istri tak mampu membayar utang bagi peran perempuan yang strategis
dan terpaksa menjual tanah, maka dalam pembangunan sosial dan ekonomi
notaris atau pejabat pembuat akta tanah masyarakat.
(PPAT) yang berperan untuk melakukan Hal ini karena kepemilikan tanah
investigasi, untuk memastikan bahwa baik menyediakan keuntungan ekonomi
suami maupun istri sama‑sama setuju secara langsung sebab ia merupakan
bahwa tanah yang merupakan harta milik sumber penghasilan baik melalui
perkawinan mereka dijual. penyewaan, penjualan, atau jaminan
Jika demikian, apa yang menyebabkan kredit investasi dan konsumsi. Sering kali
JLT menjadi catatan tersendiri? Hal ini kaum perempuan tidak mampu berbagi
karena JLT secara tegas menyatakan keuntungan tersebut, jika mereka tidak
keberpihakannya yang berimbang mampu berbagi hak atas tanah secara
kepada perempuan dengan memberikan formal. Hanya dengan sertifikat bersama
perlindungan atas hak perempuan atau mandiri sajalah bahwa perempuan,
secara eksplisit. Dengan JLT ini maka hak laki‑laki, dan anak‑anak akan dapat
perempuan secara nyata dijamin. terjamin akses dan kontrolnya atas
penghasilan yang berasal dari tanah.
Kebijakan sertifikat bersama ini Kedua, BPN yang bertanggung jawab
diluncurkan secara resmi oleh BRR dan dalam implementasi program JLT dan akan
Badan Pertanahan Nasional (BPN) pada menerbitkan sertifikatnya.
19 September 2006. Sertifikat bersama
Ketiga, pengadilan Syariah yang menjadi
PERUMAHAN: Membentang Atap Berpilar Asa

sendiri hanya bersifat wajib bagi penerima


bagian tim respons sertifikat bersama,
manfaat yang menerima tanah yang
yang mendukung program ini dengan
dibeli oleh BRR atau pemerintah daerah
melakukan sosialisasi ke masyarakat.
(relokasi). Dengan sertifikat bersama
Dan keempat, mitra pelaksana yang
mereka yang berpindah lokasi ke tanah
akan menyebarkan informasi kepada
yang dibeli BRR atau pemerintah daerah
penerima manfaat ketika mereka datang
akan memperoleh sertifikat tanah yang
mencari informasi. Mitra pelaksana juga
menyebutkan nama suami dan istri, atau
melaksanakan forum diskusi dengan
saudara laki‑laki dan saudara perempuan
penerima manfaat, juga mengundang
sekandung.
tim respons untuk menjawab pertanyaan
Sedangkan untuk mereka yang masyarakat.
menerima bantuan program perumahan
BPN sendiri mendukung program ini
48 berupa perbaikan rumah (rehabilitasi)
sebab sertifikat bersama menciptakan
dan pembangunan rumah di atas tanah
kesetaraan bagi laki‑laki maupun
sendiri (rekonstruksi), program ini bersifat
perempuan dalam kepemilikan tanah dan
sukarela. BRR dan BPN sendiri mendorong
menyediakan fondasi bagi pembangunan
mereka untuk bergabung dalam program
ekonomi Aceh yang berkelanjutan.
ini.
Dukungan juga datang dari Oxfam Aceh
Secara spesifik, program ini ditujukan dan Nias.
kepada tiga kelompok penting
“Pemerintah Indonesia berhak
pascatsunami. Pertama, korban tsunami
menerima ucapan selamat dari seluruh
yang menikah secara resmi dan menerima
partner nasional dan internasional yang
bantuan tanah di wilayah relokasi yang
terlibat dalam proses pemulihan atas
dibeli BRR atau pemda. Kepemilikan tanah
diluncurkannya kebijakan dan penerbitan
tersebut dibagi secara sama antara suami
sertifikat pertama joint land titling di
dan istri. Kedua, anak yatim sekandung
Aceh,” kata Ian Small, Senior Programme
yang menerima tanah BRR di wilayah
Manager Oxfam Aceh dan Nias. Ian
relokasi, dan kepemilikan tanahnya dibagi
Small juga menjelaskan bahwa inisiatif
di antara mereka berapa pun jumlah
BRR dan BPN meretas jalan tidak hanya
mereka. Ketiga, pasangan suami‑istri dan
bagi pemulihan yang berkelanjutan
anak yatim sekandung yang menerima
dan menjamin perlindungan dan
bantuan rehabilitasi dan rekonstruksi di
pemberdayaan hukum bagi mereka yang
luar wilayah relokasi.=
rentan, tetapi juga bagi pembangunan
Dalam program ini, ada empat pihak sosial dan ekonomi generasi mendatang.
yang memegang peranan penting. Inilah contoh nyata membangun kembali
Pertama, BRR sebagai pengambil menjadi lebih baik.
inisiatif yang mengambil langkah
aktif mempromosikannya kepada
komunitas. BRR juga terlibat aktif dalam
pengumpulan, verifikasi, dan validasi
penerima manfaat. Program ini merupakan
bagian integral dari program RALAS pada
tahun anggaran 2008.
ReKompak: Partisipasi Masyarakat
dalam Rekonstruksi Perumahan

Bagian 3. Membangun Harapan dan Masyarakat


Rehabilitasi dan rekonstruksi bidang perumahan dan permukiman juga melalui
pendekatan kontraktual bersama masyarakat. Pendekatan ini dimaksudkan agar
kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi digerakkan masyarakat sendiri (community driven
approach)—mulai dari perencanaan, pelaksanaan konstruksi hingga pelaporan dan
pertanggungjawaban keuangan. Salah satu contoh bagaimana masyarakat melakukan
langkah‑langkah rehabilitasi dan rekonstruksi berbasis pada komunitas adalah program
ReKompak.
Embrio program ini sebetulnya sudah digodok pada Maret 2005, saat BRR sedang
dipersiapkan dan hendak dikukuhkan sebagai badan pemegang amanat pelaksana
rehabilitasi dan rekonstruksi di NAD dan Nias, Departemen Pekerjaan Umum 49
meluncurkan program rehabilitasi dan rekonstruksi permukiman di wilayah NAD dengan
menggunakan mekanisme Proyek Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP).
Seiring dengan perjalanan waktu, program ini kemudian dikenal sebagai
“bridging ReKompak”, yang belakangan menjadi ReKompak pada awal 2006. Secara
berangsur‑angsur, pengelolaan dan pelaksanaan program diserahkan dari tangan
Departemen Pekerjaan Umum ke bawah kendali dan kontrol BRR. Program ini secara
nasional mendapatkan dukungan dana dari Bank Dunia. Selain itu, proyek didukung juga
oleh MDF melalui hibah sebesar US$ 85 juta, dan oleh pemerintah Indonesia melalui
kontribusi hibah sebesar Rp 25,6 miliar.
Program ReKompak ini secara khusus menjangkau kelompok sasaran sebagai berikut:
keluarga, baik pemilik maupun penyewa, yang sampai dengan peristiwa gempa dan
tsunami 26 Desember 2004 tinggal menetap di wilayah yang terkena bencana; keluarga
yang saat program dimulai telah atau akan memperbaiki atau membangun kembali
rumahnya; dan keluarga yang rumahnya hancur sebagian atau hancur seluruhnya dan
belum mendapat bantuan sejenis dari pihak lain.
Program ReKompak ini mempunyai nilai yang sangat penting karena proses
perencanaan dan pelaksanaan konstruksi dilakukan oleh masyarakat sendiri. Masyarakat
mengorganisasi diri mereka sendiri ke dalam kelompok‑kelompok dan mendapatkan
pendampingan dari fasilitator.
Hal tersebut berarti seluruh sistem dan mekanisme dalam pendekatan ini mengacu
pada prinsip‑prinsip pembangunan yang berbasis pada masyarakat, seperti keterbukaan,
transparansi, akuntabilitas, solidaritas, demokratis, sepakat terhadap aturan main
bersama, menerima perbedaan dan keterbatasan masing‑masing, mengutamakan
membangun kapasitas lokal, mengutamakan kepentingan yang paling lemah,
mengutamakan kemandirian, musyawarah dan kolaborasi, menghargai nilai‑nilai lokal,
serta menggunakan sumber daya eksternal secara arif dan menempatkan pelaku eksternal
sebagai pemampu (enabler).
PERUMAHAN: Membentang Atap Berpilar Asa

50

Sebuah rumah bantuan di Sebagai pelaku ReKompak, masyarakat wajib menerapkan prinsip akuntabilitas
Bayu, Kuta Makmur, Kabupaten dalam proses pengambilan keputusan serta pengelolaan kegiatan dan keuangan.
Aceh Utara, 29 November 2005,
sedang dalam proses Penerapan prinsip akuntabilitas harus ditaati secara konsisten oleh semua pelaku tanpa
pembangunan. Foto: BRR/Arif Ariadi terkecuali, dengan membuka diri terhadap audit, pertanyaan dan gugatan terhadap
pengambil keputusan yang terkait dengan kepentingan umum. Karena itu, semua proses
pengambilan keputusan harus dilakukan secara partisipatif dan demokratis dengan
melakukan beberapa kegiatan seperti konsultasi publik dan sosialisasi, proses sanggahan,
rembuk warga serta pemeriksaan atau audit dari pihak yang diberi kewenangan untuk itu.
Di Aceh sendiri, desa‑desa yang masuk dalam cakupan program ReKompak mencapai
130 desa di 42 kecamatan dan 15 kabupaten‑kota. Lingkup program ReKompak sendiri
mencakup dua bentuk bantuan kepada kelompok sasaran, yaitu berupa bantuan dana
rumah (BDR) dan bantuan dana lingkungan (BDL). BDR ini sendiri terdiri atas bantuan
dana rumah rekonstruksi (untuk mereka yang rumahnya hancur atau rusak berat)
dan bantuan dana rehabilitasi (untuk yang rumahnya rusak ringan hingga sedang).
Sedangkan bantuan dana lingkungan diberikan untuk melakukan perbaikan atau
pembangunan prasarana lingkungan. Jenis dan kegiatannya diputuskan sendiri oleh
masyarakat melalui musyawarah.
Ramai‑Ramai Membangun Kembali
Pendekatan rehabilitasi dan (2) District management consultant (DMC )

Bagian 3. Membangun Harapan dan Masyarakat


yang akan membantu PIU, terdiri atas ahli
rekonstruksi berbasis komunitas ini merupakan
perencanaan dan perancangan (arsitek),
pendekatan yang mengerahkan banyak orang
ahli sipil, ahli keuangan, dan ahli MIS yang
untuk ramai‑ramai menyingsingkan lengan baju.
wilayah kerjanya mencakup beberapa kota/
Untuk mengelola program ini, perlu ada organisasi
kabupaten. Seorang sub‑team leader DMC
yang disusun secara berjenjang mulai dari tingkat
(STL‑DMC) akan ditugaskan di tiap kota/
masyarakat penerima bantuan, tingkat desa,
kabupaten.
tingkat kecamatan hingga tingkat provinsi dan
bahkan nasional. Sedangkan di tingkat provinsi, koordinasi
dilakukan oleh BRR, dalam hal ini ditangani
Di tingkat masyarakat atau desa, beberapa
oleh Kedeputian Perumahan dan Permukiman.
organ yang diperlukan dalam proses rehabilitasi
Sedangkan pelaksanaan kegiatan operasional
dan rekonstruksi dengan pendekatan yang
ReKompak dikelola oleh PMU yang berkedudukan
berbasis komunitas adalah
di Banda Aceh. Kepala PMU diangkat oleh Menteri
(1) Kelompok Pemukim (KP): kelompok keluarga Pekerjaan Umum dan dikukuhkan kembali oleh 51
penerima hibah yang terdiri atas 5‑10 kepala Kepala Badan Pelaksana BRR.
keluarga;
Dalam melaksanakan tugasnya PMU bekerja
(2) Tim Pengelola Kegiatan (TPK) atau Komite sama dengan Satker BRR‑Pengembangan
Rehabilitasi/Rekonstruksi Permukiman Perumahan dan Permukiman selaku kuasa
(Kerap ): memimpin pelaksanaan rehabilitasi pengguna anggaran. Satker ini melaksanakan
dan rekonstruksi permukiman pada DIPA BRR. Selain itu, organ lain, yaitu provincial
tingkat kelurahan/desa, memadukan management consultant (PMC) dibentuk untuk
dan mengoordinasi berbagai masukan melakukan pengawasan, pengoordinasian dan
pembangunan untuk wilayahnya serta pengendalian DMC di berbagai kota/kabupaten.
membentuk pokja‑pokja pelaksana dan
Dalam perjalanan program ReKompak terdapat
relawan‑relawan permukiman dari warga
perubahan pengorganisasian proyek. Sejak
setempat. Dalam perkembangannya Kerap
awal 2006, operasi lapangan dilakukan melalui
kemudian menjelma menjadi Badan
empat DMC. Namun, dari saat dimulainya
Keswadayaan Masyarakat (BKM);
periode perpanjangan (21 Maret sampai
(3) Tim Relawan Permukiman: organisasi para 20 Desember 2008), DMC 1 disatukan dengan
relawan permukiman yang berasal dari warga PMC, sementara DMC 2, 3, dan 4 menjadi satu,
setempat; yang untuk kemudian disebut sebagai DMC
saja. Di bawah pengaturan baru ini, penanganan
(4) Fasilitator Perumahan (Fasrum): mendampingi
wilayah proyek diubah menjadi enam koordinator
TPK/Kerap/KP dalam berbagai tugasnya yang
wilayah (korwil) —Korwil 1 di bawah PMC dan
terkait dengan pembangunan permukiman.
Korwil 2 sampai 6 di bawah DMC.
Di tingkat kecamatan, ditunjuk penanggung
Sesuai dengan perjanjian hibah, Direktorat
jawab operasional kegiatan, yaitu perangkat
Jenderal Cipta Karya Departemen PU bertindak
kecamatan yang diangkat oleh wali kota/
sebagai project executing agency. Sementara itu,
bupati dan berperan sebagai penanggung jawab
karena program ReKompak ini tidak terpisahkan
administrasi pelaksanaan ReKompak di wilayah
dengan program P2KP dan PPK yang secara
kerjanya.
nasional dibantu pendanaannya oleh Bank Dunia,
Di tingkat kabupaten/kota, untuk menunjang pemerintah juga juga membentuk tim pengarah
pelaksanaan kegiatan, program ReKompak juga antardepartemen yang terdiri atas Bappenas,
membentuk organ‑organ yang terdiri atas: Departemen Keuangan, Departemen Dalam
Negeri, Departemen Pekerjaan Umum, Badan
(1) Project Implementation Unit (PIU), melalui
Pertanahan Nasional, Kementerian Negara
keputusan wali kota/bupati yang akan
Perumahan Rakyat, dan BRR.
berkoordinasi dengan project management
unit (PMU ) di tingkat provinsi.
Menempuh Jalan Berliku Mencari Keadilan
Pekerjaan rehabilitasi Kebijakan lain adalah seperti
yang dilakukan oleh BRR dengan
dikembangkan di Aceh dengan
membagi kedalam lima kategori, yaitu
atau perbaikan rumah memiliki
memberikan bantuan yang sama Rp 5 juta, Rp 7,5 juta, Rp 10 juta, Rp
tantangan tersendiri, antara lain
besarnya untuk semua tingkat 12,5 juta dan Rp 15 juta sesuai dengan
penentuan besarnya bantuan dana
kerusakan. Pada 2006 dan 2007 BRR tingkat kerusakan. Telah disiapkan
PERUMAHAN: Membentang Atap Berpilar Asa

untuk perbaikan rumah. Satu hal yang


memberikan bantuan dana secara suatu kriteria pengelompokan kategori
sudah jelas, baik BRR atau LSM tidak
‘flat’ sebesar RP 15 juta, melalui itu melalui bobot kerusakan dari tiga
mungkin memberikan bantuan dana
program bantuan perbaikan rumah unsur rumah: bangunan struktur,
untuk total kerusakan untuk setiap
(BPR), kepada sekitar 6.000 kepala dinding, dan atap. Penentuan ini
rumah.
keluarga di Aceh. Bagi mereka yang juga memerlukan pendamping.
Selain itu, kerusakan setiap rumah, rumahnya hanya mengalami kerusakan Pada saat itu telah disiapkan sekitar
besar dan jenis kontruksi rumah pun ringan, karena lokasinya yang jauh 200 fasilitator kecamatan dengan
sangat bervariasi, begitu juga dengan dari garis pantai misalnya, maka sisa koordinator Asperkim, untuk melakukan
kelas sosial si empunya rumah. Mereka dana tersebut harus digunakan untuk pendampingan.
yang terbilang mampu biasanya punya menambah fungsi atau memperindah
Dapat dibayangkan bahwa
rumah besar dari tembok. Untuk rumahnya dan tidak dapat dibelanjakan
penyediaan pendampingan atau
memulihkan rumah, perlu biaya dana untuk keperluan lain.
fasilitator lapangan membutuhkan
52 puluhan hingga ratusan juta rupiah.
Bantuan ini diberikan melalui biaya yang cukup besar. Untuk
Bagi mereka, bantuan belasan juta
kelompok masyarakat penerima mengatasi hal tersebut, maka di
rupiah tidak ada artinya. Di sisi lain,
bantuan secara bertahap. Kelompok pada 2007/2008 pelaksanaan
bagi mereka yang papa, dana belasan
menyusun rencana alokasi penggunaan bantuan dana rehabilitasi dicoba
juta rupiah lebih dari cukup untuk
dana untuk setiap rumah anggota untuk disederhanakan. Program
memperbaiki rumah kayu mereka. kelompok. Dana akan dikucurkan yang disebut sebagai bantuan sosial
Oleh karena itu, keadilan harus sesuai dengan progres: uang muka perbaikan rumah (BSPR) ini langsung
menjadi pertimbangan dalam 40 persen kemudian sisanya 60 diberikan kepada setiap individu kepala
memutuskan kebijakan bantuan persen diberikan setelah 40 persen keluarga yang rumahnya rusak melalui
perbaikan rumah. Ukuran apa yang fisik dilaksanakan. Kelompok juga mekanisme bank. Besarnya bantuan
dapat dipakai untuk menetapkan harus menyusun laporan. Semua ini sama untuk semua penerima bantuan,
besarnya bantuan? Besarnya dana atau membutuhkan pendampingan agar yaitu Rp 2,5 juta dibayarkan sekaligus
dampak dari bantuan sehingga rumah pemanfaatan dana tersebut dapat melalui kerja sama dengan BRI. Dari
menjadi layak huni kembali? dipertanggungjawabkan sesuai data yang ada jumlah penerima BSPR
peraturan yang ada. ini mencapai 53 ribu kepala keluarga di
Pada 2005, program ReKompak Aceh dan Nias.
memberikan bantuan dana rehabilitasi Dasar kebijakan ini adalah
disesuaikan dengan tingkat kerusakan sepenuhnya pertimbangan praktis dan Ada sedikit riak terkait dengan
setiap rumah dengan nilai maksimum mengurangi terjadinya perdebatan pelaksanaan program ini. Di Meulaboh,
bantuan sebesar Rp 15 juta per rumah. antarwarga penerima bantuan apabila Singkil dan Lhokseumawe, juga Banda
Upaya ini membutuhkan petugas besarnya bantuan berbeda‑beda, Aceh sempat terjadi demonstrasi oleh
lapangan untuk melakukan penilaian sementara batasan nilai kerusakan mereka yang memandang bahwa
(appraisal) terhadap kerusakan rumah. sangat mudah diperdebatkan. bantuan Rp 2,5 juta tak sebanding
Kebijakan ini cukup dapat memberikan dengan kerusakan yang terjadi.
Alasan lain adalah analogi dengan
rasa keadilan, karena orang yang Memperhatikan kebutuhan nyata di
kebijakan pemberian bantuan rumah
berpunya berapa pun nilai kerusakan lapangan, maka diputuskan bahwa
baru (rekonstruksi). Setiap keluarga
rumahnya tetap hanya dibantu dengan dana yang dicurahkan menjadi
yang sebelum bencana baik rumahnya
dana maksimum Rp 15 juta. sebesar Rp 7,5 juta dan dibayarkan
kecil atau besar, mewah maupun
pada 2009. Tampak jelas bahwa
Hal itu didasarkan pada asumsi sederhana, apabila hancur akan
mengupayakan keadilan memang
bahwa pemilik rumah masih hidup diberikan bantuan rumah yag relatif
terkadang perlu melalui jalan berliku.
dan punya tabungan atau aset sama besarnya, yaitu tipe‑36.
Akan tetapi, karena keadilan menjadi
lainnya, sekalipun di lapangan banyak Pola lainnya adalah seperti bagian yang tak bisa dilepaskan dari
ditemukan kasus, penyintas selaku yang dilaksanakan di Nias periode upaya membangun lebih baik, mencari
ahli waris keluarga (kedua orang tua 2006/2007. Bantuan diberikan titik keadilan bagi sebanyak mungkin
meninggal misalnya) tidak mampu dalam dua kategori, yaitu rusak pihak terkait merupakan tujuan yang
memperbaiki rumahnya sama sekali ringan sebesar Rp 3 juta, dan rusak diupayakan oleh BRR. Mencapai itu
karena memang tak lagi punya sedang sampai berat sebesar Rp semua bukan hal mudah, memang.
tabungan atau aset lain. 8 juta. Gagasan ini juga sempat
Pelaksanaan pembangunan kedua jenis bantuan tersebut ini dapat ditangani sendiri
oleh masayarakat penerima bantuan (swakarya), dilaksanakan secara bersama‑sama oleh
kelompok (swakelola) ataupun diserahkan kepada pihak ketiga. Dalam proses tersebut,

Bagian 3. Membangun Harapan dan Masyarakat


fasilitator rumah (fasrum) memberikan pendampingan guna menjamin agar bantuan
dana tersebut benar‑benar digunakan untuk keperluan tersebut.
Agar program ReKompak ini bisa berhasil baik, sudah tentu masyarakat yang akan
mendapat bantuan ReKompak haruslah bersedia melaksanakan proses rehabilitasi
dan rekonstruksi permukiman berbasis komunitas. Selain itu, tingkat kerusakan fisik
bangunan dan lingkungan di wilayah komunitas tersebut tergolong cukup tinggi. Di
kawasan tersebut, terdapat penghuni yang selamat dalam jumlah yang cukup besar
untuk membangun kembali permukiman. Selain itu, program ini juga mendapatkan
dukungan dan persetujuan dari pemerintah setempat. Apabila hal‑hal ini terpenuhi, maka
program ReKompak ini pun berjalan lancar.
53
Selain pendekatan kontraktual bersama masyarakat, BRR khususnya bidang perumahan
dan permukiman menggunakan pendekatan lain, yakni dengan menggunakan
kontraktor.
Pelaksanaan pembangunan rumah bantuan dengan bantuan kontraktor memiliki
tantangannya tersendiri. Tantangan ini bahkan sudah ada sejak saat awal mulai
dilakukannya konstruksi, yaitu pada saat mencari titik lokasi pembangunan rumah
bantuan.
Persoalan tanah yang terjadi adalah pembangunan rumah bantuan di atas lokasi
yang tak lagi bertuan karena si pemilik tak lagi ada di desa tersebut. Setelah dibangun
baru belakangan diketahui bahwa tanah tersebut ada yang punya. Demi menghindari
kemungkinan sengketa tanah, akhirnya pilihan yang diambil adalah membiarkan rumah
tersebut kosong tak berpenghuni.
Kadang‑kadang di satu desa terdapat beberapa lembaga penyedia rumah bantuan,
baik LSM maupun Satker BRR. Sedangkan paket‑paket kegiatan yang dilakukan melalui
kontraktor berskala kecil hanya mencakup 5‑15 unit rumah. Oleh karena itu, dapat
dibayangkan besar kemungkinan terdapat kesamaan lokasi dari berbagai pelaku
penyedia rumah yang berbeda.
Apabila hal tersebut terjadi di lapangan, maka BRR mengambil posisi “filling the gap”.
Maka Satker BRR pun memilih untuk menggeser atau memindahkan lokasi sebagian atau
seluruh rumah dari paket‑paket yang tumpang‑tindih tersebut. Perubahan ini tentu saja
tak semudah membalik telapak tangan. Hal ini karena perubahan tersebut membutuhkan
perbaikan maupun penambahan pada kontrak. Perubahan ini secara langsung
berdampak pada waktu. Akibatnya penyelesaian target pelaksanaan paket pembangunan
rumah pun ada yang mengalami penundaan.
Ada kalanya masyarakat setempat memaksa untuk menjadi tukang—padahal mereka
tidak punya keahlian dan pengalaman yang memadai dalam pekerjaan konstruksi. Di
sisi lain, tenaga tukang terampil mengalir masuk dari berbagai daerah seperti Sumatera
PERUMAHAN: Membentang Atap Berpilar Asa

dan Jawa. Kondisi lokasi yang terpencil juga membuat sebagian tukang kabur sebelum
kontraknya habis.
Berkaca pada hal‑hal di atas, maka pendekatan penggunaan kontraktor disadari lebih
bersifat top down ketimbang melibatkan partisipasi masyarakat. Desakan waktu dan
besarnya aspirasi masyarakat untuk segera punya atap di atas kepala menjadi salah
satu pertimbangan. Oleh karena itulah, pendekatan top down tetap dilakukan, seraya
mengombinasikannya dengan cara‑cara yang lebih bersifat bottom up dan partisipatif.
Pendekatan yang bersifat top down ini juga diambil BRR untuk melakukan rekonstruksi
dan rehabilitasi di wilayah‑wilayah dengan pihak penerima manfaat yang tidak bisa
diidentifikasi secara tegas, karena berbagai kendala seperti proses verifikasi dan mobilitas
54
di kalangan para penyintas. Maka, pada saat daftar pihak penerima manfaat lebih bersifat
“abu‑abu” daripada hitam di atas putih yang tegas, maka BRR pun mengambil sikap yang
konsisten. Dalam situasi seperti ini, pembangunan rumah dan prasarananya tak bisa
menunggu.
Menyadari bahwa dua variabel penting—jumlah penerima manfaat dan jumlah “bersih”
(seraya memperhitungkan risiko kegagalan yang mungkin dihadapi para kontraktor
“baru”) rumah yang dibangun—bergerak terus dari waktu ke waktu, maka BRR harus
mengambil sikap dalam situasi yang kritis. Di lain pihak, sasaran revisi Rencana Induk
sebesar 139.195 rumah telah tertulis.
Di lapangan, bila BRR berhadapan dengan pilihan untuk membangun rumah dalam
jumlah kurang atau lebih dari sasaran. BRR memilih tidak membangun dalam jumlah
kurang. Pilihan ini diambil mengingat risiko membangun dengan jumlah lebih banyak
dinilai lebih kecil dibanding membangun dengan membangun dalam jumlah kurang dari
perkiraan jumlah penerima manfaat.
Rehabilitasi dan rekonstruksi di bidang perumahan dan permukiman memakai
pendekatan lebih luas dan lebih menyeluruh dengan memperhatikan fakta pragmatis
besarnya bantuan. Di sisi lain, ekspektasi masyarakat atas rehabilitasi dan rekonstruksi
begitu tinggi. Kombinasi faktor‑faktor di atas lewat perwujudan rumah bantuan
dipandang sebagai batu‑batu fondasi yang kokoh menuju transformasi masyarakat yang
berkelanjutan.

Kota Baru, Harapan Baru


Akibat terjangan tsunami, ada sekurang‑kurangnya 10.000 kepala keluarga yang
kehilangan tanah karena tak layak huni lagi. Oleh karena itu, terbuka kemungkinan agar
para penyintas yang tak mungkin lagi kembali tinggal di tempat asal untuk dimukimkan
ke daerah yang baru (relokasi).
Relokasi ini sendiri bukan proses mudah
maupun cepat. Setidaknya ada tiga komponen
utama yang dibutuhkan—penyediaan tanah,
Membangun Hidup Baru

Bagian 3. Membangun Harapan dan Masyarakat


rumah, dan infrastruktur permukiman. Artinya,
selain dibangunkan rumah, para penerima
di Kota Baru
manfaat juga memperoleh tanah sekaligus Relokasi bukanlah hal yang mudah, baik bagi BRR
infrastruktur perumahan. juga lembaga internasional yang berperan mempersiapkan
rumah dan prasarana berikut infrastrukturnya. Masyarakat
Kawasan relokasi terbesar di Aceh terletak penerima manfaat pun perlu persiapan untuk pindah ke
sekitar 17 kilometer di timur laut Kota Banda wilayah baru, yang boleh jadi asing dan janggal bagi mereka.
Aceh yang dikenal dengan nama kawasan Oleh karena itu, BRR pun membentuk satu tim khusus untuk
relokasi “Kota Baru Beuramoe” di Kabupaten memuluskan proses relokasi. Tim ini dikenal dengan nama
tim Relocation Center dan mempunyai tugas sebagai berikut
Aceh Besar. Setidaknya terdapat sebelas lembaga memfasilitasi pengadaan tanah bagi kepentingan relokasi. Tim
bantuan penyedia rumah yang membangun ini sendiri terdiri atas beberapa pihak seperti
55
kawasan baru dengan lokasi saling berdekatan Project Manager, yang berperan mengoordinasikan kegiatan
antara satu dan lainnya—yaitu Saudy Charity Relocation Center ke semua pihak baik di BRR maupun di
Champaigne (336 unit), Bank Pembangunan Asia luar BRR (LSM lokal maupun internasional, serta pemerintah
daerah).
(332 unit), Islamic Relief (150 unit), Australian Red
Cross (98 unit), United Nations Environmental Implementing Manager, yang berperan melakukan
perencanaan, pemantauan dan evaluasi atas seluruh
Programme (4 unit), BRR (110 unit) di atas areal
pekerjaan, mengadakan penilaian atas kinerja, dan
seluas 52,5 hektare. Sementara dari sana, masih mengoordinasi seluruh kegiatan.
dalam wilayah Neuheun, tak jauh dari Beuramoe, Valuation Officer, yang berperan menyiapkan dan
dibangun juga perumahan Buddha Tzu Chi menstandardisasi formulir untuk keperluan pengadaan tanah,
(780 unit), China Charity Federation (606 unit), mengidentifikasi dan menganalisis kebutuhan tanah serta
Yayasan Nurani Dunia Mandiri (75 unit), Rebuild lokasi tanah yang sesuai untuk keperluan permukiman/
relokasi, memberikan referensi/basis penentuan harga
Aceh Fondation (48 unit), dan United Methodist tanah untuk pemberian kompensasi atau ganti rugi dalam
Committee on Relief (UMCOR) (28 unit). pengadaan tanah dan memberikan penilaian kelayakan lahan.

Dengan dana hibah ADB melalui program Information Liaison Officer, yang berperan mengidentifikasi
dan inventarisasi subyek penerima bantuan (korban
Earthquake and Tsunami Emergency Support
gempa bumi dan tsunami yang memenuhi syarat);
Project, pada 2007 disusunlah outline plan mengklarifikasikan dan verifikasi data subyek penerima
Kota Baru Beuramoe ini. Kota Baru Beuramoe bantuan; mengadministrasi seluruh dokumen yang berkaitan
dirancang dengan sebagai kota satelit dari Banda dengan kegiatan relokasi; melakukan koordinasi dengan
seluruh pihak terkait (pemerintah daerah, pembangun rumah)
Aceh yang memiliki sentra‑sentra pelayanannya sehingga kegiatan dapat berjalan secara terintegrasi atau
sendiri. terpadu.
Kota Baru Beuramoe ini sungguh program Data Entry Operator: yang berperan melaksanakan data
relokasi berskala raksasa. Tidak main‑main, total input dan meng‑update perubahan data.
luas areal permukiman baru di lokasi tersebut Administrasi/Keuangan, yang berfungsi
mencapai 140 hektare. Di wilayah ini, konsentrasi mengadministrasikan segala surat/memorandum/surat tugas
yang masuk/keluar dari/ke Relocation Center mengoordinasi
penduduk mencapai 2.500 kepala keluarga. Di segala keperluan masing‑masing staf; mengadministrasikan
masa mendatang, kawasan ini diperkirakan akan segala transaksi keuangan Relocation Center.
berkembang pesat menjadi salah satu pusat
permukiman baru.
Oleh karena itu, disiapkan pula daya dukung pelayanan publik yang cukup besar untuk
memenuhi kebutuhan kehidupan penduduk di kawasan tersebut seperti pengolahan
air. Fasilitas sosial lain yang telah tersedia adalah gedung Taman Kanak‑kanak, gedung
PERUMAHAN: Membentang Atap Berpilar Asa

sekolah yang dapat dimanfaatkan untuk Sekolah Dasar atau Sekolah Menengah Pertama,
los pasar (2 lokasi), Puskesmas Pembantu, ruang atau balai pertemuan (3 buah), masjid,
dan taman bermain.
Di sekitar kawasan tersebut juga terdapat sejumlah potensi mata pencaharian, baik
yang berbasis laut (tambak, perikanan tangkap) maupun darat (madu, pembuatan bata
dan gerabah, pertanian lahan sempit). Di luar kawasan namun masih dalam jarak tempuh
yang memadai, terdapat potensi lapangan kerja, seperti di Kawasan Industri Blang Ulam,
Pelabuhan Malahayati, dan Bandara Sultan Iskandar Muda.
Tak hanya itu, kawasan tersebut juga memiliki nilai historis. Di tempat ini terdapat
56 makam Tengku Panglima Nyak Makam di Lamnga, sekaligus sebagai pertanda lokasi
kota lama Labuy. Kota lama Labuy ini erat kaitannya dengan masa perang Aceh‑Belanda
(1873‑1910) dan diperkirakan telah ada sekitar 1700. Kemudian kota ini ditinggalkan pada
masa perang Aceh‑Belanda sekitar 1890‑an.
Di luar itu masih tersedia luas lahan‑lahan kosong. Lahan‑lahan ini nantinya bisa
dimanfaatkan dan dikembangkan untuk kepentingan umum di masa depan.
Beuramoe menunjukkan pada semua pihak bahwa mengembangkan kota baru
membutuhkan kerja sama yang baik dari semua pihak seperti pemerintah, investasi
swasta, dan peran serta warga sendiri. Agar masyarakat bisa memperoleh kehidupan
yang lebih baik, pembangunan lebih lanjut perlu terus digenjot pemerintah daerah, baik
kabupaten maupun provinsi.
Mengembangkan kota baru berarti memberikan awal kehidupan baru pada para
penyintas. Di kota baru inilah mereka membuka lembaran halaman baru dari sejarah
kehidupan mereka dan kemudian membangun kembali mimpi‑mimpi mereka.
Pengalaman mengembangkan kota baru atau kawasan permukiman baru yang
dilengkapi dengan berbagai fasilitas seperti dilakukan di Beuramoe ini juga dilakukan
di tempat lain pada skala yang berbeda. Di Singkil, dikembangkan kawasan perumahan
Pulau Sarok oleh BRR dengan dana hibah pemerintah Jepang, di Arongan (Lambalek)
Kabupaten Aceh Barat dikembangkan oleh Catholic Relief Services (CRS) dan BRR. Begitu
pula di beberapa desa di Kecamatan Calang dan Lamno di Kabupaten Aceh Jaya yang
dilaksanakan oleh Canadian Red Cross.

Memberikan Tempat Berlindung bagi Penyewa


Secara singkat, boleh disimpulkan bahwa mandat dari bidang perumahan dan
permukiman adalah merumahkan kembali korban bencana. Artinya mereka yang
rumahnya hancur akibat tsunami dan gempa bisa kembali punya atap di atas kepala
Bagian 3. Membangun Harapan dan Masyarakat
57

dan dinding di sekeliling sebagai tempat berlindung. Hal ini berarti rehabilitasi dan Sebuah rumah bertipe 36 di
rekonstruksi untuk bidang perumahan dan permukiman mencakup mereka yang punya Gampong Pande, Banda Aceh,
bantuan ADB yang disulap
rumah. Lalu bagaimana dengan korban yang tak punya rumah? Apakah mereka juga akan pemiliknya menjadi hunian
dibangunkan rumah baru? tropis indah dan nyaman,
27 September 2007. Kehidupan
Hal inilah yang ditemukan belakangan oleh BRR di Aceh. Dalam budaya setempat, lazim telah tumbuh dan tertata kembali.
bagi anak yang sudah menikah untuk tetap tinggal satu atap bersama orang tuanya. Foto: ETESP‑ADB/Erik Nurhikmat
Umumnya keluarga besar ini tinggal di rumah‑rumah dengan ukuran yang relatif besar.
Dalam beberapa kasus, satu rumah bahkan bisa mencakup sampai empat keluarga
sekaligus. Kelaziman ini dikenal dengan istilah “KK (kepala keluarga) gantung”.
Ketika merumuskan kategorisasi penerima manfaat, ditetapkan satu unit rumah
yang hancur akibat bencana akan diganti dengan satu unit rumah tipe‑36. Akan tetapi
timbul persoalan lanjutan, dalam banyak kasus terdapat rumah yang sebelum bencana
berukuran besar dan dihuni beberapa kepala keluarga hancur, namun sebagian besar
penghuninya tetap selamat. Rumah bantuan tipe‑36 ini tentu saja tidak akan sanggup
menampung keluarga besar yang terdiri atas orang tua, anak mantu sampai cucu di
bawah satu atap. Lalu apakah beberapa keluarga inti—yang tadinya berkumpul satu
rumah—mesti mendapatkan satu rumah untuk masing‑masing?
Selain itu, di Aceh juga ada kelaziman lain adalah mereka yang berstatus sebagai
penyewa rumah. Mereka sendiri berasal dari berbagai desa di daerah pedalaman. Karena
di desa terjadi konflik, mereka kemudian pindah ke kota demi rasa aman seraya juga
mencari penghidupan. Mereka pun menyewa rumah di daerah‑daerah padat penduduk
di kota. Karena bencana, pemilik rumah yang mereka sewa hilang atau meninggal dunia.
Akibatnya hak mereka akan rumah bantuan pun tak bisa ditunaikan. Pertanyaannya

Bagian 3. Membangun Harapan dan Masyarakat


adalah apakah mereka, yang tak punya rumah maupun lahan karena berstatus penyewa,
mendapat bantuan rumah?
Menanggapi hal ini, maka lahirlah apa yang disebut dengan skema bantuan sosial
bertempat tinggal (BSBT). BSBT ini secara khusus ditujukan untuk para korban gempa
bumi dan tsunami yang tak punya rumah maupun hak atas tanah. Konsep yang digodok
pada 2006 ini merumuskan bahwa mereka yang memenuhi kriteria akan mendapatkan
bantuan berupa uang tunai.
Secara konseptual, tujuan pemberian BSBT dengan pemberian uang tunai tersebut
adalah agar korban yang pada saat terjadinya bencana tinggal di wilayah bencana tetapi
tidak mempunyai rumah dan hak atas tanah dapat bertempat tinggal secara layak. Selain 59
itu, ketersediaan rumah tempat tinggal yang layak huni jumlahnya meningkat sehingga
pasaran harga sewa rumah turun. Tujuan lain adalah memastikan agar perumahan dan
kawasan permukiman baru menjadi lebih manusiawi dan terbuka untuk semua golongan
atau lapisan sosial masyarakat. Selain itu, diharapkan BSBT ini bisa meningkatkan
kapasitas swadaya penerima BSBT dalam membangun dan memperbaiki tempat
tinggalnya.
Kepala keluarga yang memenuhi kriteria BSBT adalah
1. Kepala keluarga sebelum bencana gempa bumi dan tsunami
2. Tempat tinggalnya hancur total sehingga KK tersebut menjadi kehilangan tempat
tinggalnya
3. Bertempat tinggal dengan cara menyewa, menumpang bersama orang tua/keluarga,
membangun tempat tinggal ilegal di atas tanah yang bukan miliknya seperti di
bantaran sungai, tanah negara
4. Belum pernah mendapatkan bantuan perumahan dengan jenis apa pun dari pihak
mana pun.
Adapun bantuan yang diterima oleh kepala keluarga yang memenuhi kriteria BSBT
adalah uang tunai. BSBT diberikan dalam bentuk dana tunai yang dapat digunakan untuk
pilihan sebagai berikut:
• Menyewa tempat tinggal; atau
• Melakukan kontrak sewa tempat tinggal; atau
• Melakukan kontrak sewa‑beli tempat tinggal; atau
• Membeli rumah dengan menggunakan BSBT sebagai uang muka untuk angsuran
Taman bermain di New Town
kredit pemilikan rumah (KPR); atau Beuramoe, Kabupaten Aceh
• Membeli tanah siap bangun untuk dipakai membangun rumahnya sendiri; atau Besar, 11 Juni 2008, ini salah satu
• Membangun rumah di atas tanahnya sendiri di tempat lain atau tanah yang prasarana dan sarana dasar (PSD)
yang dibangun untuk menghadirkan
dihibahkan pada yang bersangkutan.
lingkungan hunian lebih layak dan
ramah anak. Foto: BRR/Arif Ariadi
PERUMAHAN: Membentang Atap Berpilar Asa

60

Rumah di Kahju, Kabupaten Secara nominal, bantuan ini tergolong bantuan yang paling kecil. Secara logika, hal
Aceh Besar, bantuan sebuah ini telah tepat dan sesuai karena bila dibandingkan dengan tingkat kehilangan tempat
LSM ini, seperti permukiman
baru lain, juga dilengkapi jalan tinggal mereka dengan pemilik rumah/tanah yang juga kehilangan tempat tinggalnya,
permukiman. Gambar diambil pada maka kriteria BSBT adalah korban dengan tingkat kerugian tempat tinggal yang paling
4 Desember 2006. kecil. Mereka tidak kehilangan tempat tinggal yang mereka bangun sendiri, berbeda
Foto: BRR/Arif Ariadi
dengan mereka yang rumahnya rusak penerima dana bantuan perbaikan rumah (BPR),
atau mereka yang rumahnya hancur penerima bantuan pembangunan rumah baru
(BPRB) atau pun mereka yang harus direlokasi yang mendapatkan bantuan perumahan
dan permukiman kembali (BPPK) berupa tanah dan rumah.
Namun, agaknya masyarakat lebih cenderung memiliki rumah sendiri daripada
memperoleh uang untuk menyewa rumah. Pada 2007 BRR menyempurnakan kebijakan
BSBT. Semula bantuan yang diberikan dalam bentuk uang, berdasarkan aspirasi dan
kebutuhan dari masyarakat korban bencana gempa bumi dan tsunami, bentuk bantuan
diganti menjadi bantuan berupa barang, yaitu tanah/rumah.
BSBT pada 2007 diberikan dalam bentuk tanah/rumah meliputi:
• Bagi kepala keluarga korban yang memiliki tanah secara sah, maka mendapatkan
bantuan berupa pembangunan satu unit rumah inti dari BRR atau mitra pemberdaya;
• Bagi kepala keluarga korban yang tidak memiliki tanah namun memiliki komitmen
atau janji pembangunan rumah dari mitra pemberdaya atau dari pihak mana pun,
maka kepala keluarga korban akan mendapatkan satu kaveling tanah siap bangun
dari BRR.

Bagian 3. Membangun Harapan dan Masyarakat


• Bagi kepala keluarga korban yang tidak memiliki tanah dan tidak memiliki komitmen
atau janji pembangunan rumah dari mitra pemberdaya atau dari pihak mana pun,
maka kepala keluarga tersebut mendapatkan satu kavling tanah siap bangun di
lokasi yang ditentukan beserta satu unit rumah tipe‑21 dari BRR NAD Nias.
Sukses penyaluran bantuan perumahan bagi korban bencana dengan jenis BSBT
pertama kali terjadi pada 2007. Terdapat beberapa contoh penyaluran BSBT di beberapa
wilayah seperti Kecamatan Kuta Baro, Meunasah Mon, dan Kecamatan Krueng Raya,
Labuy.
Pelaksanaan pemberian BSBT di Kuta Baro adalah contoh sukses penyaluran BSBT
tipe‑1, yaitu kepala keluarga korban yang memiliki tanah secara sah, maka mendapatkan
61
bantuan berupa pembangunan satu unit rumah inti dari BRR atau mitra pemberdaya.
Dalam praktik pemberian BSBT di wilayah Kuta Baro ini terdapat 10 kepala keluarga
memiliki tanah secara sah dan menginginkan pembangunan rumah bantuan bagi mereka
di atas tanah yang mereka miliki.
Pada saat menunggu bantuan perumahan, mereka bertempat tinggal sementara
di barak Beurangong. Tugas BRR adalah mempertemukan kebuthan dengan pasokan
pembangunan rumah khususnya dari LSM/donor. Saat itu lembaga pelaksana yang
bernama Government Information Technology Executive Council (GITEC) yang dibiayai
dari Kreditanstalt fur Wrederaubau (KfW) atau Bank Pembangunan Jerman menjadi
penyedia pembangunan rumah di wilayah tersebut. Sebanyak 10 unit rumah inti tipe‑36
dari mitra pemberdaya, dalam hal ini adalah GITEC, berhasil dibangun sesuai jumlah yang
dibutuhkan di Kuta Baro.
Penyaluran BSBT di Desa Meunasah Mon, Kecamatan Krueng Raya, adalah contoh
keberhasilan pelaksanaan BSBT tipe‑2, yaitu kepala keluarga korban yang tidak memiliki
tanah namun memiliki komitmen atau janji pembangunan rumah dari mitra pemberdaya
atau dari pihak mana pun, maka kepala keluarga korban akan mendapatkan satu kaveling
tanah siap bangun dari BRR. Sebanyak 23 unit rumah dikomitmenkan oleh Palang Merah
Kanada bagi kepala keluarga yang memiliki tanah.
Setelah tanah yang sesuai dengan kebutuhan dapat disediakan oleh Direktorat
Pemetaan dan Administrasi Pertanahan BRR di lokasi Desa Meunasah Mon, maka
selanjutnya Palang Merah Kanada pun berhasil memenuhi komitmen mereka, yaitu
membangun sebanyak 23 unit rumah bagi para korban bencana alam dengan kategori
BSBT. Keberhasilan yang sama terjadi di Desa Lagang. BRR menyediakan tanah sesuai
dengan kebutuhan kepala keluarga korban tsunami yang saat itu tinggal di Huntara Lagang
I dan Huntara Lagang II. Untuk selanjutnya mitra pemberdaya, yaitu GenAssist (salah satu
LSM) membangun rumah inti di lokasi tersebut dengan jumlah lebih dari 100 unit rumah.
Contoh keberhasilan lain adalah di wilayah Kuta Baro. BRR menyediakan tanah bagi
sebagian kepala keluarga korban tsunami—sebanyak 19 kepala keluarga—di barak
Beurangong yang rumahnya dibangun oleh GenAssist. Pemberian bantuan perumahan
bagi para korban gempa bumi dan tsunami oleh pihak China Charity Federation yaitu
PERUMAHAN: Membentang Atap Berpilar Asa

Kampung Persahabatan Indonesia—Tiongkok di Neuheun, oleh Buddha Tzu Chi yaitu


Perumahan Cinta Kasih di Panteriek, Banda Aceh, dan Perumahan Cinta Kasih di Neuheun
juga merupakan contoh keberhasilan yang serupa dengan penerapan mekanisme
BSBT tipe‑2. Namun bedanya adalah tanah disediakan oleh BRR, setelah rumah selesai
dibangun oleh lembaga‑lembaga tersebut barulah kemudian penerima bantuan yang
sesuai disediakan dan dihunikan di rumah‑rumah tersebut.
Keberhasilan penyaluran BSBT tipe‑3 terjadi di Labuy. BRR melalui Kantor Perwakilan
I membangun 110 unit rumah di atas tanah yang juga sudah diadakan oleh BRR c.q.
Direktorat Pemetaan dan Administrasi Pertanahan. Namun karena lokasi Labuy ini adalah
62 lokasi permukiman baru, maka diperlukan semacam attraction factors agar penerima
manfaat bersedia bermukim di lokasi baru tersebut.
Bentuk daya tarik yang dibuat adalah bangunan bukan rumah tipe‑21 melainkan
tipe‑36 dan tanah yang disediakan lebih luas dari 100 m2, yaitu 150 m2 untuk tiap
kaveling. Hal ini berhasil menarik keinginan masyarakat korban tsunami yang memenuhi
kriteria BSBT untuk nantinya bermukim di wilayah ini. Sebelumnya para korban tsunami
BSBT ini terbiasa tinggal di lokasi yang dekat dengan pusat kota.

Penyediaan Infrastruktur Kawasan dan


Permukiman
Sekadar membangun rumah tidaklah cukup. Tanpa fasilitas umum serta prasarana
dan sarana dasar (PSD), rumah‑rumah tersebut tak akan dilirik. Fasilitas seperti jalan
lingkungan, drainase, sistem sanitasi dan air minum pada umumnya rusak berat atau
tersapu bersih.
Oleh karena itu, infrastuktur kawasan dan permukiman menjadi satu isu penting yang
juga masuk dalam cakupan rehabilitasi dan rekonstruksi di bidang perumahan dan
permukiman. Kebijakan ini diturunkan dalam bentuk bantuan prasarana dan sarana dasar,
yang berbeda‑beda di setiap kawasan permukiman karena masing‑masing punya tingkat
kerusakan yang berbeda‑beda, mulai dari rusak berat, rusak sedang sampai rusak ringan.
Yang termasuk dalam lingkup prasarana dan sarana dasar ini mencakup jalan
lingkungan, drainase, penyediaan air bersih dan sanitasi, dan persampahan serta dalam
tempat‑tempat tertentu juga dibuatkan lanskap atau penghijauan lingkungan sampai ke
penyediaan listrik.
Untuk desa‑desa atau kawasan yang mengalami kerusakan berat atau hancur total,
dibuatkan detailed engineering design (DED) untuk jenis‑jenis prasarana dan sarana dasar
tertentu yang diperlukan. Pembuatan DED perlu dilakukan karena pembangunan kembali
atau rekonstruksi suatu jenis prasarana dan sarana dasar tertentu perlu penghitungan
cermat sehingga aspek‑aspek teknis dan biayanya dapat dipertanggungjawabkan.
Namun, untuk jenis prasarana dan sarana dasar tertentu lainnya dapat pula dibangun

Bagian 3. Membangun Harapan dan Masyarakat


berdasarkan desain prototipe yang ada.
Untuk desa‑desa atau kawasan yang rusak sedang, pembangunan PSD cukup
didasarkan pada program umum yang disebut Rencana Induk. Pembangunan
keseluruhan sistem prasarana dan sarana dasar, khususnya di daerah perkotaan, dilakukan
bersama‑sama dengan Kedeputian Infrastruktur, khususnya Direktorat Air Bersih dan
Sanitasi. Untuk desa‑desa atau kawasan permukiman yang mengalami kerusakan ringan,
desainnya cukup didasarkan pada prototipe yang sudah ada.
Dalam menyediakan prasarana dan sarana dasar, BRR berpegang pada prinsip‑prinsip
berikut:
• Penyediaan prasarana dan sarana dasar harus didahului dengan perencanaan umum
63
atau perencanaan teknis atau detail desain untuk jenis‑jenis prasarana dan sarana
dasar yang sudah spesifik.
• Penggunaan dana pembangunan prasarana dan sarana dasar sejauh mungkin
didahulukan yang berasal dari LSM, terutama untuk kawasan‑kawasan relokasi yang
rumahnya dibangun oleh LSM terkait.
• Kebijakan “filling the gap” terhadap pekerjaan‑pekerjaan yang ditinggalkan oleh LSM/
lembaga internasional.
• Pembangunan infrastruktur mikro (skala lingkungan perumahan) harus berintegrasi
dengan sistem infrastruktur makro (skala kota atau kawasan permukiman).
• Penyediaan prasarana dan sarana dasar seperti jalan akses dan lingkungan, drainase,
air bersih, air limbah serta persampahan dan listrik, dimaksudkan agar perumahan
yang telah dibangun dapat berfungsi dengan baik dan pada gilirannya kemudian
masyarakat korban dapat tinggal kembali di tempat tersebut secara layak.
Seiring dengan selesainya pembangunan rumah, maka tingkat permintaan masyarakat
terhadap penanganan prasarana dan sarana dasar perumahan permukiman semakin
tinggi, terutama penyediaan air bersih. Di sisi lain, sejumlah prasarana dan sarana dasar,
misalnya jalan akses atau jalan lingkungan, baru bisa dibangun setelah rumah‑rumah
selesai. Jika dilakukan di awal, maka jalan tersebut justru akan jadi rusak. Pembangunan
prasarana dan sarana dasar memang membutuhkan strategi pelaksanaan di lapangan
agar bisa tepat waktu dan tepat sasaran.

Membangun Perumahan dan Permukiman


Bersama Kawan
Pelaksanaan pembangunan rumah untuk mencapai sasaran yang ditetapkan di dalam
Rencana Induk pada dasarnya dipenuhi melalui dua saluran atau pola penyediaan, yaitu
on‑budget dan off‑budget. BRR berfungsi sebagai pelaksana atau implementator dalam
pola on‑budget dan sebagai koordinator dan fasilitator dalam pola off‑budget.
Bila dilihat dari komitmen jumlah rumah yang dibangun, perbandingan antara
on‑budget dan off‑budget adalah sekitar 39 persen atau sekitar 57 ribu unit dibandingkan
dengan 61 persen atau sekitar 90 ribu unit. Dengan posisi demikian menunjukkan bahwa
PERUMAHAN: Membentang Atap Berpilar Asa

LSM dan lembaga internasional mempunyai peran dan kedudukan yang penting dalam
sektor perumahan.
Pengertian LSM dan lembaga internasional yang terlibat dalam proses rehabilitasi dan
rekonstruksi pada dasarnya mencakup lembaga‑lembaga pemberi bantuan atau donor
yang dapat dikelompokkan menjadi lembaga‑lembaga PBB, Red Cross dan Red Crescent
dari berbagai negara, LSM‑LSM asing atau internasional, LSM tingkat nasional dan LSM
lokal yang bergerak di NAD dan Sumatera Utara.
Lembaga‑lembaga tersebut melaksanakan kegiatannya melalui mekanisme off‑budget.
Kegiatan mereka dibiayai dengan dana‑dana yang mereka usahakan sendiri dan dikelola
64 oleh mereka sendiri. Dalam pengertian sehari‑hari, seluruh lembaga nonpemerintah yang
terlibat dalam rehabilitasi dan rekonstruksi di Aceh dan Nias disebut LSM.
Dari seluruh LSM dan lembaga lain yang terlibat dalam penyediaan rumah, baik di
NAD maupun di Nias, yang berjumlah 140 lembaga, untuk memberikan gambaran dan
memudahkan manajemen pelayanannya biasa dilakukan kategorisasi. LSM atau lembaga
dikatakan besar apabila memiliki komitmen lebih besar dari 1.000 unit.
Sedangkan yang dikategorikan sedang adalah yang memiliki komitmen pembangunan
rumah antara 100 sampai dengan 1.000 unit; dan dikatakan kecil apabila komitmennya
di bawah 100 unit rumah. Komposisi mengenai pengelompokan berdasarkan besarnya

Gambar 3.2. Komposisi Kontribusi On‑budget dan Off‑budget dalam Pembangunan Rumah

Pelaku,
Peran BRR dalam Sumber Dana dan Kontribusi
Pembangunan Rumah Jumlah Lembaga/ Unit Pembangunan Rumah

•UN, IFRC dan LSM


Koordinasi &
Fasilitasi •Sumber Dana Off-budget
± 61%
Pembangunan
•140 Lembaga
90.000 unit

•UN, IFRC dan LSM


Pelaksana •Sumber Dana Off-budget
± 39%
Pembangunan
•140 Lembaga
57.000 unit
Bagian 3. Membangun Harapan dan Masyarakat
65

komitmen tersebut dan dikaitkan dengan jenis lembaga LSM dapat digambarkan Pembangunan rumah dengan
sebagaimana pada tabel di atas. rangka baja untuk perumahan
Krueng Raya, Aceh Besar,
Dari tabel 3.2. tersebut dapat dilihat, 21 persen atau sejumlah 29 LSM berkategori besar 19 Juli 2006, prakarsa yang
memberikan kontribusi sebesar 72 persen atau 65.238 unit rumah dari total komitmen diambil untuk, salah satunya,
menyelamatkan kayu‑kayu hutan
sejumlah 90.815 unit rumah. Hal ini menunjukkan bahwa berdasarkan hukum “Pareto”, Aceh sebagai anasir penting
posisi LSM besar yang berjumlah relatif sedikit sangatlah strategis dalam memberikan paru‑paru dunia.
kontribusinya dalam pencapaian sasaran penyediaan rumah bantuan di NAD dan Nias. Foto: BRR/Arif Ariadi

Kedeputian Bidang Perumahan dan Permukiman memberikan perhatian khusus


terhadap lembaga‑lembaga donor ini dengan membentuk Direktorat Kemitraan seperti
yang telah dikemukakan di bagian depan. Kegiatan yang dilakukan kedeputian terhadap
LSM dan lembaga internasional ini sangat bervariasi. Dalam bentuknya yang paling
sederhana, LSM hanya melakukan pendaftaran atau pencatatan serta pelaporan terhadap
rencana dan komitmen mereka.
Sebagaimana diberlakukan untuk seluruh LSM, lembaga internasional dan donor yang
bekerja untuk rehabilitasi dan rekonstruksi di NAD dan Nias, LSM dan lembaga‑lembaga
internasional lainnya yang bekerja untuk sektor perumahan dan permukiman juga
diberlakukan mekanisme registrasi melalui project concept note (PCN).
Tabel 3.2. Jumlah Lembaga LSM/Donor Bidang Perumahan dan Besaran Komitmennya

Jumlah Lembaga dan besarnya komitmen

No Kategori Lembaga Besar Sedang Kecil


PERUMAHAN: Membentang Atap Berpilar Asa

Komitmen Komitmen Komitmen TOTAL


> 1.000 unit 100‑1.000 unit < 100 unit
2 2
1 Perserikatan Bangsa‑Bangsa (PBB)
5.166 5.166
6 7 13
2 Palang Merah, Bulan Sabit Merah
13.222 3.506 16.728
18 33 17 68
3 LSM Asing/ Internasional
39.904 13.015 895 53.814
2 18 13 33
4 LSM/ Yayasan Nasional
5.929 4.534 512 10.975
66
1 11 12 24
5 LSM/ Yayasan Lokal
1.107 2.445 670 4.132
Jumlah Lembaga 29 69 42 140
TOTAL
Jumlah Komitmen (unit rumah) 65.238 23.500 2.077 90.815

Sumber: Diolah dari RANDatabase Pusdatin BRR diambil dari data November 2008

Dengan adanya mekanisme PCN, LSM yang tidak melakukan perikatan kerja sama
langsung dengan BRR atau kedeputian melalui suatu nota kesepahaman kegiatannya
tetap dapat dipantau dari segi lokasi, besarnya komitmen (jumlah unit rumah) hingga
kemajuan pekerjaannya. PCN ini secara terpusat dikelola oleh Pusat Data dan Informasi
(Pusdatin) BRR. Untuk sektor perumahan dan permukiman kerja sama dilakukan secara
intensif dengan Kedeputian Bidang Perumahan dan Permukiman.
Dalam pola hubungan yang lebih jauh, Kedeputian Bidang Perumahan dan
Permukiman dapat memberikan kontribusi berupa perbantuan dalam perencanaan
seperti konsultasi mengenai DED, desain rumah, rencana tata letak atau desain teknis
untuk jenis‑jenis tertentu prasarana dan sarana dasar. Bantuan lain yang juga sering
diberikan adalah penyediaan calon penerima bantuan berikut verifikasinya. Dengan cara
demikian pihak LSM tidak mengalami kerepotan untuk berhubungan dengan masyarakat
korban dan sepenuhnya dapat berkonsentrasi pada pembangunan fisik rumahnya.
Untuk pembangunan kawasan relokasi serta perumahan untuk para penyewa (BSBT),
kedeputian menyediakan tanah dengan melakukan pembebasan dari masyarakat. Sesuai
dengan peraturan perundangan yang berlaku pihak asing tidak dapat membeli tanah
meskipun tanah tersebut akhirnya diserahkan kepada masyarakat. Dengan demikian,
kawasan relokasi yang rumahnya dibangun oleh LSM tanahnya disediakan oleh BRR/
kedeputian. Begitu pula untuk kasus BSBT, bila masyarakat penyewa tidak dapat
membebaskan atau tidak memiliki tanah, maka yang menyediakan tanahnya. Dalam
beberapa kasus, kedeputian juga melakukan pematangan tanah, berupa pembersihan
atau penimbunan lahan.

Bagian 3. Membangun Harapan dan Masyarakat


Selain itu, beberapa LSM juga ada yang meminta bantuan dalam proses tender atau
pemilihan kontraktor dengan cara meminta satu atau beberapa personel BRR untuk
terlibat dalam panitia tender mereka. Dalam proses pelaksanaan pembangunan, BRR
membantu penyelesaian masalah‑masalah teknis di lapangan, seperti penyiapan jalan
akses atau mengatasi genangan atau banjir yang memasuki area proyek. Melalui kerja
sama dengan bagian layanan hukum, BRR pernah membantu memediasi masalah
perselisihan kontraktual antara LSM dan kontraktor pelaksana.
Dalam beberapa kasus, BRR juga membantu mengoordinasikan dengan pemda
atau aparat setempat, seperti dalam pengurusan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dan
pengamanan pelaksanaan proyek. Menjelang akhir mandatnya, BRR juga membantu LSM 67
berhubungan dengan pemda dan memfasilitasi, agar pemda dapat menyediakan PSD
melalui anggaran APBD yang dimiliki.

Tabel 3.3. Contoh Jenis Fasilitasi kepada LSM

No Jenis Fasilitasi Contoh LSM


Bantuan perencanaan dan desain Catholic Relief Services (Arongan Lambalek, Alue Naga), Kuwait Red
1
teknis Crescent (Kayee Lheu)
GenAssist (Ulee Tuy), Buddha Tzu Chi (Panteriek, Neuheun, Paya
Penyediaan penerima bantuan dan
2 Peunaga), Australian Red Cross (Alue Naga, Labuy), China Charity
verifikasi
Federation (Neuheun)
China Charity Federation (Neuheun), Buddha Tzu Chi (Panteriek,
3 Penyediaan tanah Neuheun, Paya Peunaga), GenAssist (BSBT Ulee Tuy), Canadian RC
(Krueng Raya), Australian Red Cross (Ladong)
Saudi Charity/Isalmic Development Bank (Mireuk Lam Reudeup),
4 Pematangan lahan
UMCOR (Neuheun), Australian Red Cross (Kota Batu)
Nurani Dunia (Neuheun), Emergency Architect (Sabang), Australian
Penyediaan PSD (jalan akses, drainase,
5 Red Cross & Islamic Relief (Beuramoe), World Relief (Krueng Raya),
air bersih)
Brunei & World Vision Indonesia (Deah Mamplam)
Australian Red Cross (Lam Lheut, Ladong), Kuwait Red Crescent
6 Mediasi masalah nonteknis di lapangan (Kayee Lheu), Plan Internasional (Leupung), Bakrie Peduli (Deah
Raya)
7 Mediasi perselisihan masalah kontrak Soroptimist Internasional (Aceh Besar)
8 Penyediaan struktur rumah rangka baja CHF Internasional (Aceh Besar), German Agro Action (Simeulue)
9 Pengambilalihan manajemen United Nations High Commission for Refugees (Krueng Sabee)
10 Pengurusan IMB dengan Pemda Kuwait Red Crescent (Kayee Lheu)
Fasilitasi dan kanalisasi penyediaan Canadian Red Cross (Aceh Jaya), Kuwait Red Crescent (Kayee Lheu),
11
PSD oleh Pemda atau listrik oleh PLN Australian Red Cross (Ladong, Kuta Batu)
Menguak Fakta Lewat
Sistem Informasi Geospasial
PERUMAHAN: Membentang Atap Berpilar Asa

Ketika gelombang raksasa dan gempa dahsyat menggoyang Aceh serta Nias,
kebutuhan akan informasi spasial pun menjadi mendesak. Informasi seperti peta
rupa bumi, citra satelit atau foto udara, peta hasil pemindaian, peta administrasi serta
berbagai informasi spasial sangat dibutuhkan untuk melakukan program rehabilitasi dan
rekonstruksi. Hal inilah yang menjadi embrio penyusunan sistem informasi geospasial
perumahan. Ini karena perencanaan perumahan dan permukiman tak mungkin bisa
akurat dan tepat sasaran jika tak ada peta seperti ini.
Pada awal 2005 bermunculan berbagai inisiatif kegiatan pemetaan yang lebih teknis
untuk mengetahui perubahan spasial yang terjadi. Japan International Cooperation
68 Agency (JICA) membuat analisis perubahan tinggi di Banda Aceh dan menurunkan kontur
interval 1 meter dari reprocessing imagery foto udara; BLOM‑Norwegia melaksanakan
pemotretan udara di 60 persen tsunami affected area; AusAID melalui AIPRD‑Logica, dan
USAID melalui Yayasan Inovasi Pemerintahan Daerah (YIPD) melakukan identifikasi batas
pemilikan tanah penerima bantuan yang hilang berbasiskan pemetaan partisipasif warga.
Pada saat awal rekonstruksi berbagai pihak termasuk LSM memerlukan peta untuk
kebutuhan penyusunan site plan atau perencanaan desa, sebagai bagian awal dari
pelaksanaan programnya. Untuk keperluan itu mereka melakukan kegiatan pemetaan
secara in‑house ataupun outsourcing. Demikian juga dengan BRR dan Pemprov NAD telah
melakukan kegiatan yang sama di berbagai lokasi untuk mendukung pembebasan tanah
dan percepatan pembangunan prasarana dan perumahan pada 2006.
Pada 2006, unit yang menangani data dan peta (Manajer Unit Data Literal dan Spasial)
di bawah Direktorat Perencanaan dan Pemrograman, setelah mempelajari berbagai
peta‑peta yang ada, menemukan beberapa pengamatan penting.
Peta rupa bumi daerah bencana tidak dapat digunakan karena kondisi yang ada telah
berubah. Peta administrasi yang dikeluarkan BPS umumnya mengandung kekeliruan
posisi di lapangan. Kadang kala desa dengan nama tertentu yang berada di pinggir
pantai ditempatkan pada daerah pegunungan yang jauh. Demikian juga halnya dengan
batas wilayah administrasi yang ternyata sudah bergeser dari peta yang dibuat oleh
JICA atau Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal). Begitu pula
beberapa peta tematik yang dikeluarkan oleh UNIMS yang sebagian besar posisi wilayah
administratif dan penamaannya tidak sesuai dengan keadaan di lapangan.
Hasil kegiatan pemetaan partisipatif warga bantuan AusAID dan USAID pun sulit
memenuhi kebutuhan teknis proyek konstruksi. Peta yang dihasilkan merupakan
manuskrip dengan koordinat masing‑masing yang tidak terintegrasi satu sama lain
sehingga menjadi kendala saat dilakukan penataan kembali kawasan bencana.
Bagian 3. Membangun Harapan dan Masyarakat
69

Peta‑peta yang dihasilkan oleh LSM, konsultan yang diperbantukan pada BRR, Kesibukan para staf SIM‑C di Kantor
serta pemda pun menggunakan sistem berbeda‑beda sehingga perlu upaya untuk Gubernur Aceh, Banda Aceh,
14 Juli 2008. Foto: BRR/Arif Ariadi
mengintegrasikannya secara spasial. Di sisi lain, peta dasar untuk perencanaan masih
sangat kurang dan belum ada integrasi peta menyeluruh antara lokasi pembebasan tanah
dan lokasi proyek pembangunan. Semua berjalan secara parsial.
Akhirnya data spasial yang dapat dijadikan sebagai peta dasar hanyalah peta yang
dihasilkan oleh JICA yang berupa peta garis. Itupun hanya mencakup Banda Aceh.
Selain itu foto udara bantuan Norwegia untuk beberapa spot kawasan pantai dapat
dimanfaatkan. Data spasial tersebut baru diterbitkan pada pertengahan 2006, meskipun
pekerjaan perumahan telah berjalan sejak akhir 2005 dan berlanjut pada 2006.
Sementara itu secara umum data‑data tabulasi tekstual pada saat itu (2006) mempunyai
beberapa kondisi yang memiliki keterbatasan dalam mendukung pelaksanaan pekerjaan
pembangunan. Kondisi tersebut antara lain:
• Lokasi administrasi data proyek yang tercatat sulit diidentifikasi karena ada
nama‑nama lokasi yang tidak mengacu pada nama desa yang dikeluarkan BPS.
PERUMAHAN: Membentang Atap Berpilar Asa

70

Aktivitas sehari‑hari staf Pusdatin • Otoritas unit pemetaan terpencar, tugasnya saling tumpang‑tindih dan tidak ada
BRR di Kantor BRR, Banda Aceh, unit yang mempunyai data akurat yang lengkap. Staf yang berada pada unit kerja
25 Juli 2007. Foto: BRR/Arif Ariadi
tersebut pun beragam dengan latar belakang dan kemampuan berbeda. Tidak jarang
seorang berprofesi dokter hewan, akuntan, astronom, arsitek, atau tamatan sekolah
menengah atas dapat menjalankan peran ahli pemetaan dan GIS.
• Wawasan dan pengalaman staf terhadap kebutuhan data geospasial untuk keperluan
proyek pembangunan, khususnya bidang perumahan, tergolong kurang. Sebagai
jalan keluar, pelatihan dan pengetahuan diberikan terlebih dahulu.
• Kepekaan pengambil kebijakan terhadap perlunya peta pun masih kurang, padahal
secara teknis, peta sangat dibutuhkan sebagai instrumen perencanaan.

Berdasarkan kondisi di atas, muncul suatu gagasan pengadaan data geospasial


untuk mendukung perencanaan, pemantauan dan evaluasi percepatan pembangunan
perumahan dan permukiman sebagai suatu terobosan.
Usaha untuk memperoleh data geospasial itu sudah dirintis sejak Desember 2005
dengan adanya komitmen AusAid melalui AIPRD untuk memberikan bantuan dana
pemetaan. Proses di internal BRR sendiri kemudian mengarah pada penggunaan dana
APBN untuk melakukan pengadaan data geospasial ini lewat kesempatan revisi dana
anggaran di pertengahan 2007. Data geospasial yang akan dibuat ini tidak hanya
untuk tujuan perencanaan, melainkan lebih kepada kebutuhan sebagai media untuk
pertanggungjawaban atau akuntabilitas.
Hal ini karena sistem informasi geografis sebagai pelengkap dari data yang bersifat
literal (hanya bersifat daftar, misalnya daftar jumlah rumah di suatu kabupaten) memiliki
kelebihannya tersendiri. Dengan sistem informasi geografis dapat diketahui titik posisi

Bagian 3. Membangun Harapan dan Masyarakat


rumah tersebut di dalam peta, sehingga dengan cepat dan mudah untuk dapat dilakukan
pengecekan di lapangan oleh siapa pun yang bisa mengakses data ini.
Sistem informasi geografis merupakan instrumen yang andal sebagai media
pertanggungjawaban dibandingkan dengan data literal. Informasi ini dengan mudah
menyajikan setiap rumah bantuan yang dibangun, baik melalui on‑budget maupun
off‑budget, dengan berbagai atribut seperti nama pemilik rumah, nama lembaga
penyedia atau pembangun rumah, kondisi rumah, status rumah (selesai, dalam proses
pembangunan, atau terbengkalai), ketersediaan prasarana dan sarana dasar (air bersih,
listrik, sanitasi), serta kondisi penghunian (dihuni atau tidak dihuni), dengan koordinat
lokasi sehingga diperoleh data spasial dan tekstual dengan georeferensi yang sama.
71
Terdapat empat tahap pelaksanaan dengan lingkup dan sasaran pekerjaan sebagai
berikut
1. Pembangunan kerangka pemetaan dari titik GPS Bakosurtanal/BPN dan perapatan
titik kontrol GPS baru sebanyak 735 titik ke 1.293 daerah rehabilitasi dan rekonstruksi
di NAD dan Kepulauan Nias.
2. Pemetaan situasi atas objek: rumah, jalan, saluran, dan utilitas lainnya. Pemetaan
menggunakan digital total station dan GPS. Raw data total station dan GPS diolah jadi
peta garis, diintegrasikan dengan data tekstual dan foto melalui proses pengolahan di
studio.
3. Survei pendataan tekstual rumah dan prasarana dan sarana dasar untuk memperoleh
progres rumah yang dibangun, status hunian, nama penerima bantuan dan
memastikan donor yang melakukan pembangunan. Pendataan tekstual infrastruktur
terbangun untuk memperoleh data dan status prasarana dan sarana dasarterbangun
serta kesiapan kawasan permukiman untuk bertempat tinggal. Tiap rumah dan tiap
prasarana dan sarana dasar diberi kode identifikasi dan didokumentasikan progres
fisiknya melalui foto.
4. Pembuatan basis data spasial dan basis data tekstual sehingga terbentuk basis data
geospasial. Berdasarkan basis data geospasial dilakukan beberapa query peta tematik
dan dicetak berdasarkan tema tertentu sesuai dengan kebutuhan. Dengan demikian
telah diperoleh 3.606 peta yang menggambarkan 109.950 rumah di atas lahan 5.000
hektare di 1.293 desa, 142 kecamatan di 17 kabupaten/kota.

Survei data geospasial ini dilaksanakan oleh seorang project officer bertindak sebagai
koordinator yang dibantu oleh empat orang tenaga teknis BRR. Pekerjaan konsultansi
sendiri dibagi menjadi tiga paket yang mencakup tiga kluster wilayah. Pekerjaan
lapangan dikoordinasi oleh 18 tenaga ahli, 120 tenaga surveyor pemetaan situasi dan
surveyor pendataan tektual serta dibantu oleh 240 orang masyarakat desa. Dapat dilihat
bahwa kerja ini boleh dibilang berskala raksasa.
PERUMAHAN: Membentang Atap Berpilar Asa

72

Presiden SBY, pada pembukaan acara Peralatan yang digunakan dalam melaksanakan pekerjaan ini terdiri atas 12 unit
CFAN IV di Jakarta, 13 Februari 2009, geodetic GPS, 93 unit GPS tipe navigasi, 22 unit digital total station, 135 ribu formulir
sedang mendapatkan penjelasan
tentang penggunaan dan manfaat pendataan dan deskripsi benchmark, 138 unit komputer, serta 158 kamera digital.
peranti lunak GIS Perumahan pada Survei data geospasial ini dilaksanakan hampir lima bulan dari Desember 2007 hingga
Pemulihan Aceh‑Nias. April 2008.
Foto: BRR/Arif Ariadi
Berdasarkan ketersediaan basis data geospasial ini dibentuklah sistem informasi
perumahan yang menggunakan data spasial format ESRI SHP yang dibangun berbasis
web. Sistem ini diperuntukkan sebagai alat bantu untuk melakukan pemantauan, evaluasi,
dan informasi progres pembangunan tiap rumah, tiap donor dan tiap desa area bencana
di wilayah NAD‑Nias.
Berdasarkan penelitian dari Research Center for Seismology Volcanology and Disaster
Mitigation, Nagoya University, ditemukan daratan Aceh dan Nias masih belum stabil dan
terjadi perubahan posisi dari waktu ke waktu. Dengan demikian dilakukan pembuatan
peta dasar baru berdasarkan analisis data dan integrasi peta dasar Bakosurtanal,
foto udara dan hasil pengukuran geospasial terkini sehingga rumah dan PSD dapat
ditampilkan dalam koordinat geografis.
Lewat sistem informasi geografis perumahan yang berbasis web, dengan meng‑’klik’
posisi Banda Aceh dalam peta Provinsi Aceh, misalnya, dapat diperoleh gambaran
distribusi rumah berupa titik hitam. Demikian seterusnya zooming dapat dilakukan
hingga memperoleh satu titik rumah yang berisi informasi tentang koordinat rumah,
jenis bantuan (rekonstruksi, relokasi atau BSBT), lembaga yang memberi bantuan, nama

Bagian 3. Membangun Harapan dan Masyarakat


pemilik rumah, dan status penghunian, beserta foto tampak depan rumah.
Peranan geospasial untuk keperluan audit sangat membantu karena prinsip dasar
geospasial adalah satu objek bergeorefensi, berdimensi, dan dapat diberi identitas yang
unik. Lokasi dan progres yang dilaporkan sesuai dengan keterangan yang melekat pada
indentitas tersebut suatu saat bisa diperoleh dengan mudah untuk diaudit. Dengan
demikian laporan berbasis geospasial akuntabilitasnya dapat dipertanggungjawabkan.
Dari aplikasi housing geospatial informaton system yang telah dibuat terlihat data
geospasial merupakan data kunci yang penting dalam mengintegrasikan semua
informasi secara terpusat baik bersifat tekstual maupun visual. Dalam pengertian lain
dapat dinyatakan data geospasial dapat digunakan sebagai unsur terpercaya dalam hal 73
akuntabilitas informasi.
Kepala BRR pun dapat berbangga hati atas tidak terbuktinya tuduhan kebohongan
publik yang disampaikan oleh berbagai kalangan tentang kemajuan pembangunan
perumahan pada 2007. Dengan data ini keperluan audit yang akan dilakukan oleh
berbagai pihak dapat berjalan dengan baik, apalagi jika pelaksanaannya menggunakan
teknologi GIS.
Sisi lain dari keberhasilan pengunaan data ini dibuktikan dengan diperolehnya
penghargaan “Government Technology Award 2008 on Best Practice Information
Management” dalam acara Future Government Summit 2008 pada 17 Oktober 2008 di
Bali yang diikuti oleh 450 nominasi dari 15 negara Asia‑Pasifik. Penghargaan serupa pada
kategori lain diraih oleh Kementerian Pendidikan Singapura, Kepolisian Diraja Malaysia,
Singaporean Defence Technology and Science Institute, dan lain‑lain.
Pemanfaatan data geospasial pada rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh dan Nias ini
memang disayangkan karena hanya memuat informasi sebatas proyek terbangun.
Kalaulah pengadaan data geospasial ini dari awal maka akan diperoleh data teknis
sebelum rekonstruksi, pelaksanaan rekonstruksi, dan hasil rekonstruksi. Dari ketiga data
geospasial tahap pekerjaan rehabilitasi dan rekonstruksi tersebut tentulah banyak yang
dapat diwariskan untuk bangsa, negara, dan dunia rekayasa. Hal pasti adalah dari analisis
spasial dan pembelajarannya dapat dilakukan dari data geospasial tersebut.
Namun paling tidak housing geospatial information system sudah dapat membuka mata
orang awam dan pakar‑pakar yang menentang pengadaannya bahwa mutiara rehabilitasi
rekonstruksi Aceh dan Nias ditemukan pada sistem informasi yang sudah terbangun dan
akan terus di contoh dan diterapkan diberbagai instansi dan berbagai proyek rekonstruksi
maupun pembangunan di masa mendatang.
Bagian 4. Jurus Penjawab Tantangan
Jurus Penjawab
Tantangan 75

Rehabilitasi dan rekonstruksi bidang perumahan dan permukiman di wilayah


pascabencana sedahsyat tsunami penuh dengan berbagai hambatan. Apalagi hal itu
dilakukan di wilayah pascakonflik bersenjata serta hanya diberi waktu empat tahun.
Sungguh hambatan yang menunggu bak tebing terjal yang nyaris tak mungkin didaki.
Sederetan hambatan tersebut diperas ke dalam tantangan utama yang diidentifikasi oleh
bidang perumahan dan permukiman, untuk kemudian dihadapi dan dicari jawabannya.

Ketika Rumah Harus Sekejap Dibangun


Rehabilitasi dan rekonstruksi bidang perumahan merupakan persoalan genting di
Aceh. Kebutuhan memiliki tempat berteduh yang layak merupakan kebutuhan dasar
manusia yang penting untuk segera dipenuhi.
Mengingat adanya kebutuhan yang mendesak dalam kondisi yang serba sulit,
maka pengadaan barang dan jasa dalam rangka rehabilitasi dan rekonstruksi bidang
perumahan dengan pendanaan dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN)
mendapatkan perlakuan khusus dengan diberikannya peluang untuk penunjukan Panorama kompleks perumahan
langsung (PL). Hal ini mengingat bahwa pembangunan perumahan terkait langsung relokasi New Town Beuramoe,
dengan korban bencana yang membutuhkan segera tempat tinggal agar dapat Kabupaten Aceh Besar, tampak
dari ketinggian, 3 April 2009.
secepatnya menjalankan kehidupan dengan normal kembali.
Foto: BRR/Arif Ariadi
PERUMAHAN: Membentang Atap Berpilar Asa

76

Sejumlah perusahaan dan Kebijakan mengenai hal tersebut ditunjukkan dengan adanya Peraturan Presiden
kontraktor sedang mengikuti No. 70/2005 tentang Perubahan Ketiga atas Keputusan Presiden No. 80/2003 tentang
proses tender proyek di Kantor
BRR, Banda Aceh, 2 Maret 2006. Pengadaan Barang dan Jasa. Dalam peraturan itu disebutkan bahwa untuk pembangunan
Foto: BRR/Arif Ariadi perumahan yang proses pengadaaannya dilakukan sebelum 30 Juli 2006 dapat dilakukan
melalui mekanisme penunjukan langsung. Dalam peraturan tersebut juga disebutkan hal
yang terkait dengan pelaksanaan penunjukan langsung dapat diatur melalui Peraturan
Kepala Badan Pelaksana (Perkabapel) BRR.
Dengan adanya fasilitas tersebut, diselenggarakanlah prakualifikasi untuk memilih
penyedia jasa pelaksana dan pengawasan konstruksi yang dapat dilibatkan dalam
pembangunan perumahan yang didanai melalui APBN. Prakualifikasi dilakukan oleh
sebuah tim yang terdiri dari staf Kedeputian Perumahan dan Permukiman serta
Kedeputian Infrastruktur di bawah koordinasi Pusat Layanan Pengadaan (PLP).
Oleh karena peserta prakualifikasi diperkirakan mencapai ribuan, dan sekaligus untuk
menghindari adanya subjektivitas dalam penilaian, maka sistem penilaian dilakukan
dengan bantuan suatu program komputer. Pemasukan data yang diajukan oleh calon
rekanan dalam basis data komputer melibatkan 30 orang mahasiswa yang direkrut khusus.
Bagian 4. Jurus Penjawab Tantangan
77

Mengapa semua ini perlu dipersiapkan begitu rupa? Pengerahan tenaga tambahan Dokumen lelang proyek‑proyek
(outsourcing) secara besar‑besaran tersebut sebagai antisipasi terhadap akan begitu pembangunan pascatsunami
sedang diperiksa di Kantor
besarnya minat perusahaan jasa konstruksi untuk terlibat dalam program rekonstruksi BRR, Lueng Bata, Banda Aceh,
pembangunan rumah. Hal ini terkait dengan kebijakan Kepala Badan Pelaksana (Kabapel) 14 Juni 2007. Foto: BRR/Arif Ariadi
agar pada tahap pertama pembangunan perumahan dengan target 40 ribu rumah hanya
di tahun anggaran 2006 tersebut dikhususkan untuk kontraktor kecil.
Pertanyaan selanjutnya adalah, di tengah desakan yang begitu besar untuk segera
mendirikan rumah, mengapa BRR justru mengambil langkah untuk memberikan
kesempatan pada kontraktor kecil? Jika waktu yang jadi persoalan, bukankah akan jauh
lebih cepat apabila BRR menggandeng kontraktor berskala nasional yang sanggup
mengerjakan proyek raksasa dalam waktu cepat?
Pilihan ini tidak dibuat begitu saja di dalam vakum. Berbagai hal dipertimbangkan,
sebagian besar dari pertimbangan tersebut justru di luar faktor rekayasa teknik. Kebijakan
ini dimaksudkan untuk mendorong tumbuh dan pulihnya dunia jasa konstruksi di Aceh.
Dilema di Persimpangan Jalan
Di masa sebelum tsunami, kontraktor di Aceh sebetulnya tak pernah bisa sepenuhnya
PERUMAHAN: Membentang Atap Berpilar Asa

mengembangkan diri. “Karena konflik, kondisi pengusaha Aceh sedang sakit,” begitu
sering dibahasakan wakil‑wakil rakyat di DPRD Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
(NAD).
Kondisi keamanan di Aceh akibat konflik politik berkelanjutan memang telah
membatasi gerak perusahaan jasa konstruksi. Pasalnya, dalam masa yang cukup panjang
hampir tak ada satu pun proyek pembangunan yang berarti berlangsung di Aceh. Maka,
ketika BRR memutuskan penggunaan kontraktor dalam pembangunan rumah penyintas
di Aceh, proses memilih kontraktor pun tak mudah.
DPRD NAD mendesak agar pelaksanaan pembangunan rumah itu hendaknya dilakukan
78 dengan penunjukan langsung tanpa melalui proses tender, dengan mengutamakan
pengusaha lokal. DPRD NAD malah menginginkan persyaratan bagi pengusaha jasa
konstruksi lokal diperingan.
Pilihan yang dihadapi BRR bukan pilihan mudah. Menggunakan kontraktor lokal
dengan pengalaman dan kemampuan teknis terbatas, membawa risiko. Sementara
memakai kontraktor besar dari luar Aceh, membawa risiko berlanjutnya ketidakmampuan
masyarakat setempat.
Dalam salah satu butir lampiran Perpres No. 30/2005 tentang Rencana Induk yang
menjadi buku panduan dan daftar tugas kerja dasar BRR, memang tertulis bahwa
pembangunan perumahan bagi penyintas tsunami di NAD dan Nias “harus didasarkan
pada kebutuhan lokal, memberdayakan masyarakat setempat, sejauh mungkin
mempergunakan material lokal serta memenuhi persyaratan building code setempat”.
Apalagi kemungkinan penunjukan langsung untuk penggunaan dana APBN bagi proyek
rekonstruksi Aceh‑Nias juga memang diizinkan berdasar Keppres No. 80/2003.
Tekanan dirasakan BRR ketika hingga awal Februari 2006, pembangunan rumah belum
kelihatan secara signifikan. Sebenarnya pada Tahun Anggaran 2005, telah ada Satuan
Kerja (Satker) yang mengelola Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) BRR untuk
pembangunan rumah. Di awal masa tugas BRR belum berperan sebagai implementor.
Pembangunan rumah melalui partisipasi masyarakat yang memungkinkan masyarakat
secara swadaya menetapkan proses pembangunan rumah bagi komunitasnya pun belum
tampak kemajuan fisiknya. Program itu juga ternyata memakan waktu perencanaan yang
panjang hingga enam bulan masa kerja BRR. Di tengah segala dorongan tersebut, BRR
memilih mengembangkan segala potensi sumber daya yang ada di tingkat lokal.
Ribuan Rumah, Ribuan Kontraktor
Dengan harapan dan optimisme besar, BRR akhirnya memulai gong pembangunan
rumah secara besar‑besaran di NAD‑Nias. Dalam tahap pertama, fase manajemen
konstruksi dan rancang bangun (Manajemen Konstruksi 1), direncanakan penggunaan

Bagian 4. Jurus Penjawab Tantangan


kontraktor untuk pembangunan 10 ribu rumah dengan memakai sekitar seribu kontraktor
kecil dan perkiraan waktu 15 minggu atau 105 hari kalender.
Perhitungan itu jelas memunculkan masalah baru. Pada 2006, tenggat pengajuan
anggaran adalah 30 Juni 2006. Maka sebelum tenggat itu, BRR harus sudah selesai
menyeleksi seribuan kontraktor.
Ini situasi yang sungguh luar biasa karena petunjuk teknis untuk melaksanakan proses
prakualifikasi ini baru disahkan Februari 2006.
Artinya BRR hanya punya waktu tiga bulan untuk 79
memilih dan menyeleksi seribuan kontraktor!
Kendala lain adalah belum jelasnya daftar
Ketika Rumah pun
penerima manfaat maupun lokasinya, sementara
aturan dalam Keputusan Presiden (Keppres)
Dipaketkan
No. 80/2003 menyatakan, proyek sudah harus Sebanyak tiga ribu lebih kontraktor tercatat memasukkan
dokumen prakualifikasi ke BRR. Ini jumlah yang luar biasa dan
jelas volume pekerjaan dan lokasinya pada saat tidak terduga! Sungguh antusias para kontraktor ini untuk turut
penandatanganan kontrak. berpartisipasi dalam merajut kembali kehidupan di Nanggroe
Aceh Darussalam (NAD). Desakan asosiasi kontraktor dan pihak
BRR lantas membentuk panitia prakualifikasi terkait boleh diacungi jempol karena berhasil mengundang
khusus, yang saat itu tidak terpikirkan begitu banyak calon kontraktor bersedia berkompetisi. Suasana
sebelumnya untuk masuk di dalam struktur kondusif ini tentu permulaan yang baik bagi pembangunan NAD.
organisasi BRR, dengan target pengumuman Hal ini karena BRR memberi prioritas pada kontraktor
kelulusan prakualifikasi dapat tercapai pada berskala kecil. BRR merancang paket untuk dikerjakan oleh
para kontraktor. BRR menetapkan bahwa setiap paket sebesar
12 Mei 2006. Kerja keras panitia prakualifikasi
di bawah Rp 1 miliar atau maksimum sekitar 13‑14 unit rumah
pun dimulai. Panitia inti yang hanya 10 tergantung pada lokasi. Belakangan, BRR pun mengusahakan
orang dibantu 30 orang tenaga tambahan paket yang semula berjumlah 15 sampai 20 rumah untuk tiap
harus menyeleksi 3.000 lebih dokumen calon kontraktor, menjadi hanya lima rumah untuk tiap kontraktor.
kontraktor—lokal maupun dari luar Aceh. Membangun lima rumah bagi satu kontraktor tentu bukan
soal yang berat, serta bisa menjamin makin cepatnya proses
Dengan kondisi calon kontraktor yang sangat pembangunan rumah. Keputusan memperkecil paket ini juga
beragam, panitia prakualifikasi akhirnya hanya terbukti dapat memperbesar partisipasi masyarakat calon
berhasil meloloskan 900 perusahaan kontraktor. kontraktor.
Diputuskan ada perpanjangan waktu dan Hingga masa pendaftaran berakhir, tercatat 3.088
perusahaan mengambil dokumen prakualifikasi. Dari jumlah
penurunan batas penilaian, dari 7,5 menjadi 6,
itu, 2.388 perusahan mengembalikan dokumen. Jumlah itu
berdasarkan memorandum Kabapel. Hasilnya, mencakup 2.267 kontraktor dan 121 konsultan. Dari jumlah itu,
1.200 perusahaan kontraktor yang lulus. 2.134 perusahaan atau 89 persen adalah perusahaan lokal.
Hanya 254 perusahaan atau 11 persen yang berasal dari luar
Aceh.
PERUMAHAN: Membentang Atap Berpilar Asa

80

Para utusan perusahaan/kontraktor Seleksi akhirnya menghasilkan 1.200 nama calon kontraktor, proses penetapan
sedang antre mendaftar lelang kontraktor masih belum berakhir. Panitia prakualifikasi harus menyampaikan hasil
proyek‑proyek pembangunan
pascabencana di Kantor BRR, pengumuman kelulusan kepada empat orang Kepala Satuan Kerja (Kasatker) yang
Banda Aceh, 8 Maret 2006. bertanggung jawab di empat wilayah di seluruh Provinsi NAD. Kasatker sebagai kuasa
Foto: BRR/Arif Ariadi pengguna anggaran bertanggung jawab membentuk panitia pengadaan barang dan jasa
yang kelak secara resmi akan menunjuk para kontraktor.
Dalam seleksi lanjutan terpilih 984 kontraktor yang segera dikontrak dengan
penempatan sesuai domisili mereka. Proses seleksi ini juga tidak bisa dikatakan mudah
karena setiap Satker hanya punya satu sampai dua orang sebagai panitia pengadaan
barang dan jasa. Artinya, sekitar delapan orang harus bernegosiasi dengan 984 kontraktor
dalam waktu satu bulan untuk menentukan lokasi dan besaran anggaran. Sebuah
pekerjaan yang nyaris mustahil.
Pilihan‑pilihan di atas dibuat BRR secara sadar, demi mendapatkan buah manis di ujung
jalan, yakni pemberdayaan masyarakat secara nyata di tingkat lokal. Semua pilihan tentu
ada konsekuensinya dan BRR mengupayakan dengan segala kekuatan yang dimiliki untuk
mengantisipasi hal‑hal tersebut.
Segala risiko tersebut disikapi BRR dengan melakukan pemantauan mendetail terhadap
status‑status proyek yang dikerjakan kontraktor‑kontraktor lokal tersebut. Bentuk koreksi
Mengisi Ruang Kosong,
yang dilakukan BRR antara lain melakukan
pembangunan ulang proyek‑proyek yang
Menjembatani Kebutuhan
ditinggalkan kontraktor yang terbukti tidak Dalam pembangunan rumah besar‑besaran di Aceh, BRR berpegang
pada prinsip filling the gap. Hal ini berarti bahwa paket pembangunan
mampu menuntaskan pekerjaan mereka. rumah yang dikontrakkan tidak boleh tumpang‑tindih dengan komitmen
Selain itu, sebagian kontraktor yang pembangunan rumah oleh lembaga swadaya masyarakat yang telah ada

Bagian 4. Jurus Penjawab Tantangan


di suatu daerah tertentu.
memang terbukti melanggar perjanjian
kerja pun diproses sesuai hukum yang Ini karena BRR memainkan salah satu perannya sebagai koordinator
dalam proses rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana khususnya di
berlaku umum, seperti dikenakan denda, bidang permukiman dan perumahan.
diproses secara hukum oleh aparat hukum,
Mengisi kesenjangan ini bukanlah tugas yang mudah. Kondisi
dan bahkan dibawa ke meja hijau. BRR lapangan juga harus menjadi pertimbangan di dalam pemaketan.
menyadari, ini merupakan bagian dari Banyak lokasi, khususnya di pantai barat Provinsi Nanggroe Aceh
pembelajaran yang diharapkan bisa Darussalam, situasi medannya sangat sulit dijangkau jauh dari
jalan‑jalan utama yang menjadi akses transportasi atau kondisi
meningkatkan kualitas pelaksanaan
tanahnya sangat rusak akibat diterjang tsunami. 81
maupun manajemen konstruksi di Aceh
Pembangunan rumah dengan kondisi lapangan yang demikian
pada masa depan.
tentunya menimbulkan tantangan bagi para kontraktor kecil. Di
beberapa lokasi, tidak jarang ditemui masyarakat menghendaki
kontraktor tertentu yang membangun lokasi itu.
Menghadapi Selain itu, juga ditemui banyaknya kawasan perumahan yang baru
Hambatan akan dibangun atau telah ada komitmen dari LSM, terlambat dimulai
sementara lahan sudah terlanjur dibebaskan. Dalam kasus berbeda,
Rehabilitasi dan rekonstruksi perumahan terdapat pula beberapa kawasan yang dibangun LSM namun tidak
dilengkapi dengan infrastruktur permukimannya (prasarana dan sarana
dan permukiman merupakan tugas
dasar— PSD), seperti jalan akses dan lingkungan, drainase, air bersih,
berat yang sukar dicari bandingannya. atau sanitasi yang memadai.
Salah satu tantangan tersebut adalah
Akhirnya di pertengahan 2007, Kedeputian Perumahan dan
beratnya kondisi fisik di lapangan. Permukiman mengeluarkan kebijakan yang mempertimbangkan korban
Ada wilayah‑wilayah yang sangat sulit calon penghuni akan sangat menderita dan dirugikan apabila pekerjaan
dijangkau karena jalan atau jembatan pembangunan rumah tidak dapat segera diselesaikan. Korban calon
penghuni di kawasan permukiman baru (relokasi) sudah menunggu.
menuju lokasi tersebut terputus atau
rusak berat. Ada pula lokasi‑lokasi yang Kontraktor‑kontraktor yang selama masa rehabilitasi rekonstruksi
telah terbukti dapat melakukan pekerjaan dengan baik (tepat
membutuhkan penanganan rekayasa waktu, tepat mutu, dan tepat harga) dapat ditunjuk langsung untuk
khusus, misalnya karena lahan tergenang menyelesaikan pekerjaan rumah terbengkalai ini.
air, lahan gambut, lahan butuh diuruk
terlebih dahulu atau lahan berada di
daerah lereng yang rawan longsor.
Memasok material ke wilayah pembangunan pun sering kali sulit karena jauhnya lokasi
dan butuh angkutan khusus. Selain itu, akses untuk memasukkan material pun sulit,
khususnya jika rehabilitasi dan rekonstruksi tersebut berlokasi di pulau, seperti Pulo Aceh.
Dari segi tenaga kerja, terdapat beragam tantangan yang perlu dipecahkan. Kondisi di
Aceh yang telah begitu lama berselimut konflik menyebabkan pembangunan di wilayah
ini tersendat‑sendat. Akibatnya sulit memperoleh tenaga kerja yang berkualitas dan
berdisiplin.
Dari segi kontraktor, beberapa di antaranya tidak punya alat yang memadai untuk
melaksanakan pekerjaannya. Selain itu, karena skala mereka kecil, modal mereka pun
kecil. Beberapa kontraktor bahkan kesulitan mengelola pekerjaan dan keuangan mereka
sendiri. Sementara itu, dari segi penerima manfaat, terdapat kendala yang juga perlu
diatasi, misalnya di suatu daerah ditemukan nama‑nama calon penerima bantuan yang

Bagian 4. Jurus Penjawab Tantangan


serba tumpang‑tindih, sehingga perlu pengaturan kembali.
Kondisi seperti inilah yang menjadi konteks kerja rehabilitasi dan rekonstruksi
perumahan permukiman Aceh. Proyek pembangunan fisik rehabilitasi dan rekonstruksi
perumahan dan permukiman harus memenuhi kaidah‑kaidah kegiatan konstruksi yang
terukur, seperti “tepat mutu, tepat waktu, dan tepat biaya”.
Untuk mencapai keberhasilan rehabilitasi rekonstruksi perumahan dan permukiman
dibutuhkan pengorganisasian yang mantap serta keahlian teknis, administratif,
dan nonteknis yang terpadu dan menyeluruh dalam menghadapi kompleksitas 83
yang mencakup spektrum aspek‑aspek subbidang yang begitu luas—mulai dari
pengorganisasian masyarakat korban, perencanaan desa, penanganan aspek pertanahan,
pendataan calon penerima bantuan, pemilihan jasa‑jasa konstruksi, pelaksanaan program
pembangunan dan perbaikan rumah, penyediaan infrastruktur permukiman atau
prasarana sarana dasar, fasilitasi mitra kerja baik internasional maupun lokal, penuntasan
barak dan huntara, penyusunan dokumen pengendalian lingkungan, hingga masalah
penyelesaian temuan serta penyerahan aset dan arsip.

Beradaptasi terhadap Kebutuhan


Sepanjang perjalanan empat tahun mandat BRR (2005‑2008), struktur organisasi bidang
perumahan dan permukiman berkali‑kali berubah. Dinamika tersebut sepenuhnya
berorientasi pada kebutuhan di lapangan, agar tujuan dan sasaran rehabilitasi dan
rekonstruksi dapat dilaksanakan lebih efektif, tepat sasaran, dan efisien.
Evolusi organisasi—termasuk kebijakan regionalisasi melalui pembentukan kantor
regional dan distrik—dilakukan agar pelaksanaan kegiatan dapat lebih dekat dengan
masyarakat dan objek kegiatan. Perubahan ini juga sejalan dengan intensitas kerja yang
meningkat.
Bukan hanya struktur organisasi yang berubah, tetapi tugas pokok dan fungsi
pelaksana bidang perumahan dan permukiman mengalami beberapa kali perubahan
mengikuti dinamika organisasi BRR.
Pengangkutan material
Periode Mei‑Desember 2005 pembangunan rumah pascatsunami
Penanganan bidang perumahan ditempatkan sebagai unit di bawah Direktorat ditempuh dengan moda transportasi
darat maupun air, seperti dengan
Perumahan, Air Minum, Sanitasi, dan Fasilitas Umum di bawah Kedeputian Infrastruktur, kapal nelayan dan truk di Krueng
Perumahan, dan Penatagunaan Lahan. Hingga Desember 2005, direktorat ini hanya Sabee, Aceh Jaya, 3 Agustus 2005.
Foto: BRR/Arif Ariadi
terdiri atas empat orang dikepalai seorang direktur. Sedangkan yang menangani bidang
perumahan adalah seorang manajer yang bertanggung jawab kepada direktur, dibantu
seorang staf.
PERUMAHAN: Membentang Atap Berpilar Asa

Pembentukan struktur organisasi yang ramping pada masa ini bukan saja karena BRR
baru saja dibentuk, melainkan juga karena fungsi BRR sebagai pelaksana masih cukup
sulit dijalankan. Sistem pendanaan terpadu di tahun anggaran 2005 menyebabkan
keterlambatan hampir di setiap bidang pembangunan di Indonesia yang bersumber dari
anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN).
Pada periode ini, BRR lebih diposisikan sebagai lembaga koordinasi. Dengan besarnya
pledge atau komitmen lembaga‑lembaga nonpemerintah atau LSM dan donor‑donor
internasional untuk membangun rumah, maka sudah sewajarnya apabila posisi BRR
hanyalah sebagai koordinator. Penanganan bidang perumahan pun ditekankan sebagai
84 fasilitator pendukung lembaga internasional dengan sumber pembiayaan non‑APBN.
Sementara itu pelaksanaan dana APBN yang dibebankan kepada BRR pada periode
ini masih dilimpahkan kepada dinas terkait Provinsi NAD. Pelaksanaan daftar isian
pelaksanaan anggaran (DIPA) pun ditangani Satker pada Dinas Permukiman dan
Perkotaan Pemerintah Provinsi NAD yang dibentuk khusus untuk menangani dana
on‑budget BRR.
Dengan demikian, fungsi Direktorat Perumahan, Air Minum, Sanitasi, dan Fasilitas
Umum hanya memonitor pelaksanaan anggaran yang ditangani Satker tersebut. Kepala
Satkernya sendiri bertanggung jawab kepada kepala dinas yang bersangkutan.

Periode Januari 2006‑Desember 2007
Menjelang akhir 2005, pimpinan BRR memutuskan membentuk kedeputian khusus
yang menangani perumahan dan permukiman, terlepas dari Kedeputian Infrastruktur.
Keputusan ini diambil mengingat beban kerja yang semakin berat, baik pada bidang
infrastruktur maupun perumahan
Perubahan tersebut juga dipengaruhi adanya perubahan kebijakan BRR dalam
menangani program dan kegiatan dengan pembiayaan APBN. Mulai Tahun Anggaran
2006 seluruh kegiatan on‑budget ditangani sendiri oleh BRR sehingga tidak dilimpahkan
lagi kepada dinas‑dinas provinsi terkait. Posisi BRR sebagai pelaksana rehabilitasi dan
rekonstruksi pun dijalankan, selain tetap mengamalkan fungsi koordinasinya.
Kedeputian Bidang Perumahan dan Permukiman mulai efektif bekerja sejak awal 2006
dengan tugas utama melaksanakan daftar isian pelaksanaan anggaran Tahun Anggaran
2006 bidang perumahan dan permukiman yang dibebankan kepada BRR. Pembentukan
Kedeputian Bidang Perumahan dan Permukiman juga didorong tuntutan terhadap BRR
untuk membangun rumah sendiri dengan sumber dana APBN lebih banyak dari tahun
sebelumnya. Keputusan ini dibuat mengingat menjelang akhir 2005 ada kecenderungan
menurunnya komitmen para mitra pemulihan dalam membangun rumah.
Bagian 4. Jurus Penjawab Tantangan
85

Pada Desember 2005, Kepala Badan Pelaksana BRR mencanangkan pembangunan Kepala Bapel BRR, Kuntoro
rumah bantuan sejumlah 40 ribu unit di Aceh dan Nias dengan dana APBN, termasuk di Mangkusubroto, bersama Deputi
Bidang Infrastruktur, Perumahan,
dalamnya hibah luar negeri melalui skema APBN (on‑budget). Pembangunan tersebut dan Penatagunaan Lahan BRR saat
akan diselesaikan selama 1,5 tahun atau setidak‑tidaknya dua Tahun Anggaran. Struktur itu, Eddy Purwanto, melakukan
organisasi pada periode ini pun disesuaikan dengan peningkatan beban misinya. kunjungan di kawasan Lampulo,
Banda Aceh, 7 September 2005,
Seluruh direktorat dilengkapi unit subdirektorat yang dikepalai manajer. Satu direktorat yang diproyeksikan sebagai
dapat terdiri atas tiga atau empat manajer. Struktur yang lebih rumit terdapat pada Pelabuhan Perikanan Samudra.
Foto: BRR/Arif Ariadi
Direktorat Prakarsa Pembangunan Partisipatif yang menangani masalah penerima
bantuan atau identifikasi dan verifikasi calon penerima bantuan perumahan. Direktorat
tersebut dilengkapi struktur hingga di tingkat kabupaten/kota, yaitu seorang Asisten
Bidang Perumahan dan Permukiman (Asperkim).
Tidak berhenti di situ. Asperkim dalam pelaksanaan tugas dibantu oleh beberapa orang
staf, yang jumlahnya disesuaikan dengan beban tugas di masing‑masing kabupaten/kota.
Misalnya, beban tugas Asperkim di Kota Banda Aceh atau Kabupaten Aceh Besar dengan
kerusakan sangat berat dan jumlah korban yang begitu besar, tentu saja berbeda dengan
di Kabupaten Aceh Selatan atau Kabupaten Aceh Timur yang jumlah korbannya tidak
mencapai seratus orang.
Selain staf, Asperkim juga dibantu personel yang bekerja di tingkat kecamatan yang
disebut fasilitator kecamatan. Bayangkan, sekitar 20 kabupaten dan kota di Aceh, dengan
masing‑masing sekitar 4‑6 kecamatan di setiap kabupaten/kota, wajarlah bila keanggotaan
PERUMAHAN: Membentang Atap Berpilar Asa

Kedeputian Perumahan Permukiman pada periode ini mencapai lebih dari 150 orang.
Roda perputaran posisi dalam kedeputian pada periode ini pun cukup signifikan. Posisi
deputi berganti pada Desember 2006. Setidaknya tiga posisi direktur berganti pemangku
jabatannya.

Periode Januari‑April 2008
Pada 2008 sejalan dengan kebijakan regionalisasi BRR, seluruh anggaran pelaksanaan
pembangunan dipindahkan pada para Satker di kantor perwakilan atau regional. Fungsi
operasional tidak lagi berada di tingkat kedeputian. Kedeputian lebih dititikberatkan
pada fungsi kebijakan dan pengendalian program secara umum. Pergeseran modus
86
operasi dari pendekatan sektoral yang ditangani kedeputian menuju pendekatan regional
yang ditangani kantor perwakilan mengalami puncaknya sejak awal 2008. Kepala kantor
perwakilan dalam pelaksanaan pekerjaannya dibantu kepala distrik yang ditempatkan
pada setiap kabupaten/kota.
Pertanggungjawaban Satker yang semula kepada direktur di tingkat kedeputian,
khususnya untuk Satker yang pekerjaannya belum selesai, pada periode ini dipindahkan
ke kantor regional. Pejabat Atasan Langsung Satker Perumahan dan Permukiman yang
semula dijabat oleh Direktur Manajemen Konstruksi dan Rancang Bangun (Manajemen
Konstruksi, MK1), misalnya, sejak 2008 dipindahkan kepada Kepala Kantor Regional I, yang
menangani wilayah dari Kota Banda Aceh, Kabupaten Aceh Besar, seterusnya menyusuri
pantai barat hingga Kabupaten Nagan Raya. Kepala Kantor Regional I berkonsentrasi dan
bertangung jawab pada penyelesaian paket‑paket MK1 yang hingga memasuki 2008
belum selesai. Kebijakan ini diambil agar pemantauan terhadap penuntasan seluruh
pekerjaan proyek menjelang berakhirnya masa tugas BRR dapat dilaksanakan oleh unit
yang lebih dekat dengan situasi di lapangan.
Sejalan dengan kebijakan tersebut, struktur organisasi Kedeputian Bidang Perumahan
dan Permukiman kembali mengerut. Direktorat menciut hingga empat dan setiap
direktur dibantu empat kepala bidang.
Direktorat Penataan Ruang dan Pertanahan pada periode ini dialihkan dalam
Kedeputian Bidang Operasi. Selain itu, Direktorat Prakarsa Pembangunan Partisipatif
(P3) pada periode ini dihapuskan sehingga fungsi yang berkaitan dengan penanganan
penerima bantuan dipindahkan ke kantor distrik dibantu satu unit di tingkat pusat, yaitu
Komite Verifikasi dan Penertiban. Unit ini sebenarnya telah dibentuk sejak semester kedua
pada 2006, namun baru efektif berfungsi sejak 2007. Kepala komite bertanggung jawab
langsung pada Kabapel BRR. Struktur dalam Direktorat P3 seperti Asperkim dan fasilitas
kecamatan juga dilebur dalam struktur kantor distrik.
Bagian 4. Jurus Penjawab Tantangan
87

Misi perubahan struktur organisasi adalah memperkuat koordinasi operasional di


Andy Siswanto dilantik menjadi
tingkat lapangan. Direktorat dalam Kedeputian Perumahan dan Permukiman lebih Deputi Bidang Perumahan dan
difokuskan untuk menangani hal terkait dengan persiapan penutupan BRR, seperti Permukiman BRR, Banda Aceh,
masalah aset, arsip, dan temuan. Penyelesaian rumah yang masih ditangani kedeputian pada 20 September 2006, di
hanya terbatas pada penyelesaian rumah yang dibiayai hibah luar negeri dalam APBN Ruang Rapat Kepala Bapel BRR.
Foto: BRR/Arif Ariadi
serta pendampingan.
Selain itu pembangunan rumah yang ditangani LSM juga masih dilakukan kedeputian,
namun untuk masalah operasional lapangan tetap bekerja sama dengan unit kemitraan
di kantor perwakilan dan kepala distrik. Lagi pula pembangunan rumah dengan bantuan
LSM di periode ini sudah berkurang dibandingkan dengan periode sebelumnya.
Dalam periode ini juga dilaksanakan program perbaikan rumah yang disebut dengan
program bantuan sosial perbaikan rumah (BSPR). Program ini ditangani bersama oleh
Direktur Perumahan Khusus, Pusat Pengendalian Program dan Proyek Wilayah (P4W)
dalam Kedeputian Bidang Operasi, serta kantor perwakilan dan kantor distrik.

Periode Mei‑Desember 2008
Pada periode ini dapat dikatakan urusan bidang perumahan dan permukiman
dileburkan dalam Kedeputian Bidang Operasi. Meskipun penetapan SK Presiden tentang
PERUMAHAN: Membentang Atap Berpilar Asa

88

Deputi Bidang Perumahan Penunjukan Deputi BRR tidak berubah dari periode sebelumnya, sehingga jabatan
dan Permukiman secara Deputi Bidang Perumahan dan Permukiman masih ada, dua direktorat lain dipindahkan
rutin menyampaikan
program‑programnya. Salah satu dalam Kedeputian Bidang Operasi, yaitu Direktorat Pembangunan Perumahan dan
cara melalui siaran radio lokal. Direktur Mitra Pembangunan. Sedangkan Direktur Penataan Ruang yang pada
Foto: Dokumentasi BRR periode sebelumnya dipindahkan dalam Kedeputian Bidang Operasi, pada periode ini
dipindahkan ke Kedeputian Bidang Infrastruktur, Lingkungan, dan Pemeliharaan.
Dengan penyerahan seluruh penyelesaian pekerjaan yang bersifat operasional
melalui Satker kepada kantor perwakilan sejak awal 2008, tugas Direktur Pembangunan
Perumahan tinggal menangani sisa urusan yang tidak dilakukan kantor perwakilan.
Sedangkan Direktur Mitra Pembangunan selain menangani hal‑hal yang terkait dengan
fasilitasi mitra kerja atau LSM, tetap menjadi pejabat atasan langsung untuk Satker yang
menangani hibah luar negeri bidang perumahan.
Dalam struktur organisasi seperti ini, Deputi Bidang Perumahan dan Permukiman
merangkap jabatan sebagai Wakil Deputi Operasi Bidang Penertiban Pembangunan, yaitu
menangani koordinasi penyelesaian masalah temuan audit serta masalah penertiban
penerimaan bantuan, khususnya bidang perumahan. Selain itu, Wakil Deputi Operasi ini
bertanggung jawab terhadap pelaksanaan unit Komite Verifikasi dan Penertiban.
Selain evolusi organisasi internal BRR, upaya kerja sama dengan berbagai pihak
di luar organisasi pun terus dijalankan. Koordinasi dan kerja sama pada tingkat desa
di Aceh tentu saja menyesuaikan dengan sistem budaya lokal. Kesatuan masyarakat
yang terendah dalam sistem administratif hukum adat di Aceh dikenal dengan istilah
gampong. Unit ini memiliki batas‑batas, perangkat, simbol adat, hak‑hak pemakaian dan

Bagian 4. Jurus Penjawab Tantangan


penguasaan (pra‑)sarana, sumber pendapatan, serta tatanan sosial lokal tertentu.
Kendati dalam beberapa hal memiliki perbedaan, strata gampong lazimnya disetarakan
dengan desa atau kelurahan dalam sistem pemerintahan Republik Indonesia. Kepala
gampong disebut geuchik dan dipilih langsung oleh masyarakat serta diangkat secara
resmi oleh pemda kabupaten/kota. Dengan dibantu wakilnya, imeum meunasah, ia
menjalankan tugasnya sebagai eksekutif gampong. Sedangkan unsur legislatifnya
dipegang oleh ulama gampong/tuha peut.
Strata kedua unsur tersebut berbeda dengan lurah/kepala desa pada sistem desa 89
yang selain menjadi pimpinan eksekutif, juga sebagai pimpinan legislatif. Ulama
gampong/tuha peut bertugas memberi nasihat dalam bidang hukum adat, adat‑istiadat,
kebiasaan‑kebiasaan masyarakat, serta keagamaan, kepada geuchik dan imeum
meukim. Ia juga bertanggung jawab menyelesaikan segala sengketa, terkait dengan
bidang‑bidang yang ditanganinya. Tuha peut terdiri atas unsur pemerintah, pimpinan
adat dan agama, cerdik pandai, petani, dan pedagang. Upaya kerja sama BRR tentu saja
harus mencakup dan mewadahi seluruh pemangku kepentingan di tingkat lokal yang
disebutkan di atas.
Kerja sama ini terutama dilakukan pada setiap tahapan pemberian keterangan
untuk dokumen tapak tanah, penentuan calon penerima bantuan, penetapan lokasi
pembangunan rumah, pembebasan lahan untuk relokasi, hingga pada saat pelaksanaan
pembangunan rumah yang dilaksanakan oleh kontraktor dan khususnya pembangunan
yang dilakukan masyarakat sendiri melalui skema Bantuan Langsung Masyarakat (BLM).
Kerja sama dengan aparat desa juga sangat bermanfaat dalam penyelesaian masalah
nonteknis yang sering menghambat atau mengganggu proses rehabilitasi dan
rekonstruksi di lapangan. Pihak‑pihak yang bermasalah, seperti masyarakat korban
maupun bukan korban, kontraktor atau LSM, dengan atau tanpa dimediasi petugas dari
BRR, seringkali dipertemukan dengan melibatkan para aparat desa.
Pada tingkat kecamatan, kerja sama dilakukan dalam perencanaan dan pelaksanaan
rehabilitasi, rekonstruksi dan pembangunan baru infrastruktur permukiman, seperti
jalan lingkungan, drainase, dan penyediaan air bersih. Koordinasi dan kerja sama
untuk program pembangunan PSD yang dilakukan melalui skema bantuan langsung
masyarakat atau lebih dikenal sebagai program pengembangan kecamatan (PPK)
penekanannya pada tingkat pemerintahan ini. Forum‑forum koordinasi pembangunan
perumahan oleh LSM, terutama pada awal rekonstruksi 2005, untuk menghindari
terjadinya tumpang‑tindih kegiatan antar‑LSM juga banyak dilakukan di tingkat
kecamatan dengan melibatkan aparat kecamatan setempat.
Terakhir, kerja sama dan koordinasi pada tingkat
Bekerja Bersama
kabupaten dan kota dilakukan khususnya untuk
pembangunan kawasan baru berskala cukup besar
Sahabat,
hingga menampung permukiman relokasi, baik yang
rumahnya didanai melalui BRR maupun oleh LSM.
Berkoordinasi dengan
Para Mitra

Bagian 4. Jurus Penjawab Tantangan


Hampir seluruh nota kesepahaman dalam kawasan
relokasi dibuat dengan melibatkan tiga pihak, yaitu
LSM yang akan menyediakan rumahnya, BRR yang Bekerja bersama mitra membutuhkan koordinasi yang
rapi. BRR menggunakan mekanisme project concept
menyediakan tanah atau PSD‑nya, serta pemerintah
note (PCN). Formulir tersebut mencakup data nama
kabupaten atau kota setempat sebagai pendukung (perseorangan atau pribadi), asal negara, sumber dana,
perizinan serta administrasi kependudukan nantinya. jenis pembangunan atau bantuan, melakukan program
apa, lokasi pembangunan, besar dana, siapa saja orang
Penyerahan aset PSD pun dilakukan melalui kerja dari luar negeri yang ingin dilibatkan (hal ini penting
sama dengan pemerintah kabupaten dan kota. karena terkait mekanisme untuk pemberian visa), serta
peralatan dan bahan baku apa saja yang akan dibawa ke 91
Apabila rumah sebagai barang privat diserahkan
Aceh.
langsung kepada masyarakat korban yang berhak
menerima, maka PSD sebagai barang milik negara Informasi ini merupakan langkah pengawalan BRR
secara teratur dan baik kepada LSM atau perorangan
diserahkan kepada pemerintah kabupaten atau kota. di pelabuhan (tanpa bea tanpa cukai). Keputusan PCN
PSD selanjutnya memerlukan dana pengelolaan dan diterbitkan sekitar dua minggu setelah pemasukan
pemeliharaan agar tetap dapat layak berfungsi, yang formulir.
merupakan tanggung jawab pemerintah kabupaten Keputusan dapat diterima, ditolak, akan dipelajari lebih
atau kota. Sedangkan kerja sama dan koordinasi lanjut atau diminta penjelasan lebih lanjut (holding bay).
Kategori holding bay adalah program‑program yang bagus
dengan pemerintah provinsi dilakukan secara umum
namun masih ditunggu ketersediaan anggaran LSM.
pada tingkat BRR dan tidak pada tingkat kedeputian. Setelah data jelas, diadakan pertemuan untuk segera
merealisasikan pembangunan dimaksud.
Sementara itu, terdapat program‑program kegiatan
yang memerlukan koordinasi dan kerja sama dengan
lembaga atau departemen di tingkat pusat. Lembaga
yang terkait erat dengan Kedeputian Perumahan dan
Permukiman adalah Departemen Pekerjaan Umum (PU) khususnya Direktorat Jenderal
Cipta Karya, Departemen Dalam Negeri (Depdagri), dan Kementerian Negara Perumahan
Rakyat, selain lembaga‑lembaga yang terkait secara umum seperti Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional dan Departemen Keuangan.
Project Management Unit untuk program ReKompak, misalnya. Karena ditetapkan
Menteri PU, seluruh proses dalam perencanaan, pelaksanaan serta pemantauan
dan evaluasi program ini tetap melibatkan Departemen PU. Hampir serupa adalah
pada program pengembangan kecamatan (PPK) yang ditangani secara nasional oleh
Depdagri. Apabila secara nasional PPK memiliki pilihan menu program yang sangat Para penerima manfaat rumah di
luas, maka khusus untuk program rehabilitasi rekonstruksi Aceh hanya diarahkan pada Alue Naga, Kecamatan Syiah Kuala,
Banda Aceh, menandatangani surat
pembangunan infrastruktur desa, dan diutamakan pada kawasan‑kawasan yang terkena
pernyataan sebelum menerima
bencana. kunci rumah baru, 19 Februari 2009.
Foto: BRR/Arif Ariadi
Bagian 5. Hikmah Ajar untuk Masa depan
Hikmah Ajar
untuk Masa Depan 93

Pengalaman adalah guru terbaik. Walau hambatan dan tantangan datang


baik dari kondisi teknis di lapangan, sumber daya manusia yang terkait, material dan
bahan bangunan sampai dari internal kelembagaan sendiri, spirit membangun dengan
lebih baik tetap menjadi api yang terus menghidupkan gairah kerja serta kegigihan untuk
mencapai yang diangan‑angankan.
Di sini diungkap capaian‑capaian dalam bidang perumahan dan permukiman, tidak
hanya memuat hasil‑hasil pembangunan fisik seperti jumlah rumah maupun prasarana
yang direhabilitasi dan dikonstruksi, tetapi juga mencakup capaian lain, yakni hikmah
ajar. Catatan berupa angka dan penjabaran teknis diharapkan bisa saling melengkapi
dengan pelajaran‑pelajaran yang dipetik dari pengalaman berharga melakukan pekerjaan
berskala raksasa di daerah pascabencana.

Capaian Empat Tahun


Visi bidang perumahan dan permukiman adalah terwujudnya kawasan permukiman
di daerah yang terkena bencana sebagai tempat tinggal yang lebih baik bagi keluarga
Muka bumi Kota Calang setelah tiga
korban bencana gempa bumi dan tsunami pada 26 Desember 2004 di Nanggroe Aceh tahun pemulihan, 14 Desember 2007,
Darussalam (NAD) Nias serta gempa bumi 28 Maret 2005 di Nias. tampak dari ketinggian udara.
Foto: BRR/Arif Ariadi
Sementara misi bidang perumahan dan permukiman adalah melaksanakan proses
rehabilitasi dan rekonstruksi bidang perumahan dan permukiman secara efektif dan
efisien, baik melalui pelaksanaan langsung pembangunan yang didanai dari anggaran
PERUMAHAN: Membentang Atap Berpilar Asa

pendapatan dan belanja negara (APBN) maupun melalui koordinasi dan fasilitasi mitra
kerja nonpemerintah yang dananya bersumber dan dikelola oleh mereka sendiri dan
tidak melalui jalur APBN.
Bidang perumahan dan permukiman telah menjalankan mandat Perpres
No. 47/2008 yang merupakan perubahan atas Perpres No. 30/2005 tentang Rencana
Induk Rehabilitasi dan Rekonstruksi NAD‑Nias. Pada Perpres No. 47/2008 diuraikan target
sasaran pencapaian program dan kegiatan yang telah terakomodasi dalam pelaksanaan
rehabilitasi rekonstruksi Aceh‑Nias, baik di subbagian penataan ruang, pertanahan,
maupun perumahan.

94 Hasil dokumen perencanaan yang dihasilkan subbagian penataan ruang selama masa
mandat BRR terdiri atas
• 670 dokumen perencanan tata ruang desa,
• Rencana detail tata ruang untuk 21 kecamatan,
• 63 dokumen kerangka tata ruang kecamatan dan rencana aksi,
• Rencana tata ruang wilayah (RTRW) untuk 14 kabupaten/kota,
• 346 dokumen pemantauan evaluasi pembangunan desa berdasarkan perencanan
tata ruang desa di atas, serta
• Sebuah dokumen revisi terhadap RTRW Provinsi NAD.

Seluruh dokumen perencanaan tersebut diserahterimakan pada pemerintah daerah


setempat. Sebagai kegiatan pendukung serah terima tersebut dan merupakan amanat
Perpres No. 47/2008, juga telah dilaksanakan sosialisasi kebijakan penataan ruang untuk
11 kabupaten dan kota di Provinsi NAD.
Bahkan hasil‑hasil perencanan tata ruang desa juga telah dimanfaatkan oleh unit‑unit
lain, misalnya Direktorat Manajemen Konstruksi/Rancang Bangun dan Direktorat
Infrastruktur Permukiman, sebagai dasar untuk penempatan rumah maupun merancang
DED prasarana atau infrastruktur di kawasan perumahan yang akan dibangun. Hal
ini sangat menggembirakan karena hasil‑hasil perencanaan tata ruang desa ini
diintegrasikan dalam proses rehabilitasi dan rekonstruksi secara menyeluruh.
Sejalan dengan mandat rencana induk di subbidang pertanahan, BRR membebaskan
sekitar 514 hektare lahan untuk pengadaan kepentingan umum, 461 hektare untuk
pengadaan relokasi rumah, dan 11 hektare untuk para penyewa (penerima bantuan
sosial bertempat tinggal—BSBT). Adapun tugas lain dari subdirektorat pertanahan
yang dijalankan selama masa tugas BRR adalah pemulihan pelayanan pertanahan dan
pembangunan fisik kadastral di Provinsi NAD.
Selain itu pemulihan pelayanan pertanahan yang lebih khusus juga dilaksanakan di
18 kabupaten dan kota, sedangkan pembangunan fisik kadastral dilakukan dalam 15
kabupaten dan kota. Penyusunan peta dasar pun dilakukan terhadap 350 ribu hektare
lahan di Provinsi NAD dan Nias. Kegiatan lain subbidang pertanahan juga mencakup
ajudikasi serta pembuatan sertifikat pengganti, sertifikat perumahan relokasi, serta
kegiatan konsolidasi tanah/pemberian hak atas tanah. Seluruh kantor pertanahan/BPN

Bagian 5. Hikmah Ajar untuk Masa depan


baik tingkat di provinsi maupun kabupaten/kota di Aceh telah dilengkapi dengan sistem
komputer dan basis data digital pada akhir masa mandat BRR.
Berbagai hambatan dan tantangan yang ada di lapangan untuk subbidang perumahan
pun terlampaui pada akhir mandat BRR. Rumah merupakan masalah yang cukup pelik.
Sebagai ilustrasi kepelikan tersebut, mari tinjau tabel di bawah ini.
Data awal jumlah rumah tentu saja didapatkan dari Dinas Perumahan pada 2004 (lihat
kolom jumlah rumah total). Kemudian pada saat Rencana Induk disusun, Bappenas pun
kemudian menerbitkan jumlah kerusakan rumah yang tertera pada kolom kedua. Angka
tersebut menjadi patokan awal memulai dan 95
mengoordinasikan pembangunan rumah.
Dalam pelaksanaan proyek mana pun selalu Ruang Lingkup Kegiatan
Bidang Perumahan dan
ada deviasi dengan rencana yang telah disusun,
diperlukan kejelian serta kebijaksanaan para
pelaksana lapangan untuk tetap memegang
teguh esensi visi dari rencana yang dibuat dan Permukiman
menyeimbangkannya dengan fakta lapangan.
• Penentuan penerima manfaat melalui pendataan
Bukan hanya berpegang keras pada nominal
persil lokasi, registrasi, dan validasi.
baku di atas kertas. Maka dari itu, seiring waktu
• Perencanaan tata ruang desa dan rencana tata
pembangunan berjalan disusunlah beberapa ruang wilayah.
kajian untuk mengevaluasi dan memverifikasi
• Pengadaan tanah untuk rumah dan fasilitas
jumlah rumah yang paling tepat. penunjang.
Lebaga survey Garansi, Dinas Sosial, Badan • Perancangan (untuk rumah serta prasarana dan
Pengelola Data Elektronik (BPDE) bersama UNDP sarana dasar, PSD).
melaksanakan survei pada September 2z005, • Pelaksanaan konstruksi/pembangunan rumah
kemudian P3B Bappenas mengeluarkan evaluasi berikut pengawasannya.
angka rumah pada Agustus 2007 serta Komite • Penyusunan analisis mengenai dampak lingkungan,
Verifikasi dan Penertiban (Komvertib) pun upaya pengelolaan lingkungan, upaya pengendalian
lingkungan untuk rumah dan PSD.
mempublikasikan jumlah rumah pada April 2008.
• Penyediaan PSD permukiman.
Meninjau segala isu dan persoalan pada titik
• Serah terima aset.
evaluasi paruh waktu BRR, disimpulkan bahwa
perlu penyesuaian terhadap angka sasaran yang
tercantum pada Perpres 30/2005 yang kemudian
disahkan dalam Perpres 47/2008. Walau pada
16 April 2009 mandat BRR telah usai, masih terdapat beberapa LSM tetap bekerja hingga
akhir September 2009 untuk pembangunan rumah ini.
PERUMAHAN: Membentang Atap Berpilar Asa

96

Fasilitator desa mencocokkan satu Dalam pelaksanaannya, ada empat faktor yang diidentifikasi sebagai landasan
per satu anak kunci rumah dengan penetapan penerima bantuan perumahan sedemikian rupa, sehingga memberikan
nama pemiliknya berdasarkan
daftar penerima manfaat kontribusi terhadap peningkatan target pembangunan rumah baru di NAD dan Nias.
rumah di Neuheun, Kabupaten Pertama, karena empati petugas pendata, aparat desa atau LSM, terhadap realita
Aceh Besar, 11 September 2007.
Foto: BRR/Arif Ariadi kondisi di lapangan, terutama dengan adanya kemiskinan yang cukup luas, baik di Aceh
(sebagai daerah pascakonflik).
Bantuan memang seharusnya hanya diberikan kepada rumah hancur atau rusak yang
ternyata pada umumnya terbuat dari tembok, namun dalam banyak kasus bantuan
terpaksa diberikan juga kepada warga di dekatnya yang rumahnya hanya mengalami
sedikit kerusakan untuk menghilangkan kesenjangan di desa. Selain itu pemilik rumah
kayu yang rusak pun mendapat penggantian sebagaimana rumah tembok lain.
Kedua, karena adanya pertimbangan keadilan sosial. Ketimpangan antardaerah atau di
dalam kelompok‑kelompok masyarakat juga telah mendorong pihak donor bertoleransi
dalam pemberian bantuan yang berbeda dengan ketentuan semula. Sebagai contoh
di Aceh, program RRHS yang didanai pemerintah Jerman/KfW setelah empat tahapan
Bagian 5. Hikmah Ajar untuk Masa depan
97

bantuan diberikan untuk korban tsunami, sesuai dengan programnya bantuan tahap Di halaman rumah barunya di Desa
kelima akhirnya diarahkan untuk masyarakat korban yang terdampaki tsunami secara Bayu, Kuta Makmur, Kabupaten
Aceh Utara, 29 November 2005,
tidak langsung yang tidak lain adalah korban konflik di Kabupaten Pidie Jaya dan bocah‑bocah ini asyik bermain
Kabupaten Bener Meriah. bola. Foto: BRR/Arif Ariadi

Selain itu, fenomena begitu banyaknya penyewa yang tinggal di barak serta banyaknya
suatu keluarga yang menumpang dalam keluarga lain yang tidak mungkin tinggal lagi di
satu rumah bantuan tipe‑36 telah mendorong dikeluarkannya kebijakan BSBT.
Ketiga, karena adanya pertimbangan pengurangan risiko bencana. Dalam beberapa
kasus, bantuan diberikan pula kepada mereka yang dikhawatirkan bila terjadi bencana di
kemudian hari akan berisiko tinggi untuk menjadi korban.
Menghadapi hal‑hal tersebut di atas, bidang perumahan dan permukiman merancang
mekanisme Komvertib, organisasi independen untuk menyelesaikan masalah penetapan
atau verifikasi korban yang menerima bantuan dan melakukan penertiban terhadap
penyimpangan dalam pemberian atau penerimaan bantuan perumahan. Komvertib
kemudian membentuk tim verifikasi dan penertiban di tingkat kabupaten/kota, yang
Tabel 5.1. Jumlah Rumah di Aceh dan Kebutuhan Rekonstruksi Rumah per April 2008

Garansi
Jumlah
PERUMAHAN: Membentang Atap Berpilar Asa

Perpres / Dinsos Perpres Komitmen


Rumah Data P3 Komvertib
30/2005 / BPDE / 47/2008 BRR+ LSM
Kabupaten Total
UNDP

2004 Mar 2005 Sep 2005 Ags 2007 Apr 2008 Juli 2008 Sep 2009

Aceh Barat 27.694 3.191 15.135 16.786 15.224 15.361 15.361


Aceh Brt Daya 21.341 2.849 1.600 1.760 1.733 1.693 1.693
Aceh Besar 58.894 6.780 20.024 32.182 27.031 27.262 28.611
Aceh Jaya 16.897 2.642 13.426 14.529 14.529 15.641 15.641

98 Aceh Selatan 38.982 3.005 2.156 3.333 2.433 2.135 2.145


Aceh Singkil 30.291 2.804 3.205 3.548 3.389 2.952 3.066
Aceh Timur 66.350 2.426 1.255 1.409 1.257 1.300 1.478
Aceh Utara 97.172 8.414 6.089 4.894 3.299 5.902 6.115
Banda Aceh 38.228 20.448 17.286 22.664 17.953 18.790 19.810
Bireuen 69.683 5.319 6.193 12.638 8.371 8.684 9.054
Langsa 25.097 700 12 765
Lhokseumawe 27.199 2.147 3.131 1.458 1.277 1.232 1.384
Nagan Raya 25.592 2.500 4.391 3.327 3.086 3.588 3.725
Pidie 97.872 7.368 8.385 15.007 9.993 10.389 10.389
Sabang 5.978 947 231 560 539 611 611
Simeulue 12.421 1.863 8.467 4.621 4.621 5.641 6.829
Aceh Tamiang 1.000 200 200 200
Gayo Lues 500 100
Bener Meriah 1.000 31 622
Aceh Tengah 2.000 23 85
Aceh Tenggara 100

NAD 659.691 77.903 110.986 139.735 114.735 121.381 127.019


Bagian 5. Hikmah Ajar untuk Masa depan
99

diketuai oleh wakapolres setempat dengan anggota Kepala Distrik BRR serta wakil‑wakil Dengan melibatkan para warganya,
dari unsur‑unsur TNI (koramil), kejaksaan, KPA serta pemda pada masing‑masing Geuchik Jhon menyusun ulang
peta desanya, yakni Desa Deah
kabupaten/kota. Baro, Banda Aceh, 14 Juni 2005.
Penyimpangan penerimaan bantuan perumahan dikategorikan menjadi empat jenis: Foto: BRR/Arif Ariadi

menerima bantuan rumah baru atau bantuan dana perbaikan rumah lebih dari satu;
menerima dua atau lebih jenis bantuan, seperti bantuan rumah baru dan sekaligus
bantuan dana perbaikan rumah; menerima bantuan rumah baru atau perbaikan rumah,
padahal seharusnya tidak berhak (bukan korban); dan melakukan pungutan atau kutipan
dari penerima bantuan.
Penyelesaian masalah penyimpangan sejauh mungkin dilakukan dengan cara atau
pendekatan musyawarah. Namun, untuk hal‑hal yang dengan jelas menyangkut
pidana, seperti adanya pemalsuan data atau identitas, penipuan serta pemaksaan, tetap
diarahkan penyelesaiannya melalui jalur hukum. Komvertib membuka pengaduan dan
melakukan investigasi di lapangan untuk memperoleh informasi mengenai adanya
penyimpangan berdasarkan jenis atau pengelompokkan tersebut. Salah satu bentuk
tindakan penertiban adalah melakukan penyegelan terhadap rumah‑rumah bantuan
yang dikategorikan bermasalah, yang selanjutnya penyelesaiannya ditangani secara
musyawarah atau melalui proses hukum.
Tabel 5.2. Jumlah Kasus Penyimpangan dan Penanganannya

Jumlah Kasus
Jumlah
Temuan Total
Kategori Penyimpangan Kasus
PERUMAHAN: Membentang Atap Berpilar Asa

No. Lapangan Jumlah %


Penerimaan Bantuan berdasarkan
diluar Kasus
Pengaduan
Pengaduan
1 Menerima lebih dari 1 rumah 511 144 655 63
Menerima rumah dan dana
2 70 11 81 8
bantuan perbaikan rumah
Tidak berhak tapi menerima
3 218 30 248 24
bantuan
4 Melakukan kutipan/pungutan 43 5 48 5
Jumlah 842 190 1032 100

100

Pada Februari 2009, Deputi Perumahan dan Permukiman menyerahkan data 408


kasus penerimaan rumah ganda kepada pihak Polda NAD. Data tersebut berisi 408
nama yang telah menerima bantuan rumah lebih dari satu, disertai dengan domisili dan
jumlah rumah yang diperoleh atau kasus yang dipersoalkan. Total jumlah rumah yang
dipermasalahkan dalam 408 kasus tersebut adalah 1.042 unit, ada di antaranya yang
menguasai delapan unit rumah, tidak berhak tetapi menerima bantuan, dan sebagian
besar karena menerima bantuan antara 2‑4 unit rumah.
Secara kuantitatif, jumlah rumah yang dibangun BRR seluruhnya dapat diidentifikasi
dari kontrak yang dibuat oleh 22 Satker yang terlibat dalam pembangunan rumah sejak
Tahun Anggaran 2005 hingga Tahun Anggaran 2008. Total rumah yang dapat diselesaikan
dalam empat tahun anggaran dengan Satker BRR sebagai pelaksana pembangunan di
Aceh adalah 41.883 unit.
Banyak pihak sering kali terjebak dan menuduh BRR melakukan pembohongan publik
dalam menyampaikan jumlah rumah yang terbangun. Hal ini sebagian disebabkan
berbagai pihak tersebut tidak mampu membedakan antara tugas BRR sebagai pelaksana
pembangunan dan sebagai koordinator.
Sebagai pelaksana pembangunan, BRR membentuk satuan kerja untuk membangun
rumah dengan menggunakan dana APBN (lihat pada kolom on‑budget). Namun demi
menghindari tumpang‑tindih pekerjaan, BRR pun melakukan koordinasi pembangunan
rumah yang dilakukan di Aceh, yang dilaksanakan oleh LSM atau lembaga donor lain
(lihat pada kolom off‑budget). BRR tidak mengklaim rumah tersebut dibangun oleh BRR,
namun total dari jumlah APBN dan non‑APBN tersebut adalah total rumah bantuan
yang didapat masyarakat Aceh dalam masa rehabilitasi dan rekonstruksi periode
April 2005‑April 2009.
Jumlah komitmen dari LSM dan lembaga lain‑lain Tabel 5.3. Total Rumah Bantuan di Aceh
masih melebihi dari pencapaian tersebut. Sebagian
APBN Non‑APBN
rumah masih dalam penyelesaian dan bahkan masih ada Total
(On‑budget) (Off‑budget)
yang akan mulai dibangun. Beberapa LSM baru dapat
Rekonstruksi 36.228 72.074 108.302

Bagian 5. Hikmah Ajar untuk Masa depan


menyelesaikan pembangunan rumahnya pada 2010.
Relokasi 5.012 4.096 9.108
Sedangkan dari PSD atau infrastruktur permukiman Penyewa/ BSBT 642 2.679 3.321
di 595 desa di Aceh dan Nias, di bawah pelaksanaan Total 41.883 78.849 120.732
dan koordinasi Direktorat Infrastruktur Kawasan dan
Permukiman. Cakupan yang dilakukan baik melalui
mekanisme APBN maupun non‑APBN adalah meliputi
Tabel 5.4. Capaian Pelaksanaan Program Penyediaan PSD melalui APBN
sanitasi lingkungan, penyediaan air bersih, drainase (dalam satuan unit desa)
lingkungan, jalan lingkungan dan jalan akses ke dan dari
lingkungan perumahan, balai desa, penghijauan atau Jenis PSD TA 2006 TA 2007 TA 2008
101
landscaping lingkungan, serta talaud (retaining wall) Total Lokasi Desa 164 210 227
untuk daerah‑daerah yang rawan longsor. Sanitasi 10 40 89
Sedangkan penyaluran bantuan perbaikan rumah Air Bersih 51 65 135
atau rehabilitasi sebagian ditangani BRR, yaitu 97 Drainase 56 99 93
persen. Hal ini dilakukan secara massal oleh Satker Jalan Lingkungan 125 149 155
di bawah Kedeputian Perumahan dan Permukiman Balai Desa 2
dengan dukungan dari kantor‑kantor distrik dan Pusat Lahan hijau 2
Pengendalian Program Wilayah (P4W) memberikan Talaud 6 3 7
kontribusi yang sangat besar dalam capaian program Catatan: Total lokasi desa bukan merupakan jumlah dari
perbaikan atau rehabilitasi rumah, yakni mencapai 75 fasilitas yang dibangun, karena dalam satu desa bisa dibangun
dua jenis fasilitas atau lebih.
persen.

Hikmah Ajar dari Lapangan


Pada awalnya adalah kata. Begitu juga dengan Bidang Perumahan dan Permukiman
BRR. Seluruh daya upaya perumahan dan permukiman BRR bermula dari kata‑kata
membangun kembali menjadi lebih baik. “Lebih baik” tak lagi semata‑mata diukur dari
indikator angka maupun rekayasa teknik, tetapi juga memberi manfaat sebaik‑baiknya
dan seluas‑luasnya pada perubahan sosial dan transformasi masyarakat.

Membangun Kekuatan Lokal


Sejak awal, BRR mengambil pilihan untuk mewujudkan masyarakat yang berdaya.
Pelibatan masyarakat ini diharapkan memberikan pengalaman untuk berperan aktif
dalam proses rehabilitasi dan rekonstruksi—mulai dari perencanaan, pelaksanaan sampai
evaluasi, juga keberlanjutan industri konstruksi di masa datang, yang diharapkan diwarnai
perdamaian.
Pengalaman‑pengalaman tersebut diharapkan menjadi batu fondasi yang kokoh.
Pada saat BRR mengakhiri masa tugasnya, laju, arah serta strategi pembangunan pun
diharapkan bisa dikendalikan sendiri oleh masyarakat setempat.
PERUMAHAN: Membentang Atap Berpilar Asa

Selain itu, manfaat baik pengalaman maupun keuntungan dari segi finansial
dirasakan langsung oleh masyarakat. Dunia usaha di Aceh diharapkan tumbuh dan pulih
kembali. Selain itu perputaran dana yang lebih besar juga segera terjadi di masyarakat,
meningkatkan daya tahan terhadap riak dan gejolak persoalan persoalan sosial ekonomi
yang umum.
Dari proses ini, diharapkan pula bahwa
Tabel 5.5. Capaian Program Perbaikan atau Rehabilitasi Rumah masyarakat yang merasa disertakan dalam
rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana
Jumlah
Capaian Perbaikan Rumah % ini akan merawat dan memelihara
(KK)
102 A. On‑Budget: 69.415 96,9 hasil‑hasil yang diperoleh dari jalannya
Dinas Perumahan Permukiman, Aceh 2005 2.133 2,9
proses rehabilitasi dan rekonstruksi ini.
Bantuan Perbaikan Rumah (BPR), Aceh‑Nias 2006/2007 6.342 Oleh karena itu, hikmah ajar dari
8,8
ReKompak, Aceh 2005/2006/2007 6.952 9,7 pengalaman melakukan rehabilitasi dan
BSPR, Aceh‑Nias 2008 53.792 75,1 rekonstruksi adalah sebagai berikut.
ADB Rumah Adat Nias 2008 196 0,3 Begitu terjadi bencana, maka langkah
B. Off‑Budget (Un‑HABITAT, Care, Gitec/KfW, WVI dll) 2.176 3,1 pertama dan utama yang perlu dilakukan
Total Capaian On‑budget & Off‑budget (A+B) 71.591 100 adalah sesegera mungkin melakukan
Sasaran Rencana Induk (Perpres 47/2008) 67.850
inventarisasi kapasitas yang ada di tingkat
lokal. Benar bahwa masyarakat yang
ada di wilayah bencana adalah korban
yang perlu dibantu dan diberikan dukungan. Akan tetapi, para penyintas juga punya
kekuatan dan daya upaya yang bisa diangkat ke permukaan demi menolong sesama, juga
untuk menggerakkan kembali roda upaya menuju pemulihan pascabencana. Selain itu,
dengan mempertimbangkan skala bencana, boleh jadi tidak seluruh wilayah hancur total
sehingga sebagian dari masyarakat berada pada kondisi dan posisi yang berdaya.
Hikmah ajar dari pengalaman rehabilitasi dan rekonstruksi khususnya di bidang
perumahan dan permukiman mengungkapkan bahwa masyarakat itu sendirilah yang
paling tahu kebutuhan, seluk‑beluk, lika‑liku juga berbagai aspek yang terkait dengan
pemulihan bencana. Inventarisasi kapasitas lokal bisa menjadi titik awal pemulihan
bencana yang tepat waktu, tepat biaya, juga tepat sasaran dan membawa manfaat yang
bisa langsung dilaksanakan masyarakat di tingkat lokal.
Inventarisasi kapasitas lokal ini dapat diikuti dengan pendirian pelatihan atau
Foto udara kompleks perumahan pendidikan keterampilan dan praktik kerja yang mengajarkan kepada sumber daya di
relokasi bantuan dari China Charity tingkat lokal yang masih berdaya hal‑hal yang mendesak dibutuhkan di masa tanggap
Federation di Neuheun, Kabupaten
Aceh Besar, 4 Desember 2007.
darurat, misalnya keterampilan membangun rumah serta prasarana pendukung
Foto: BRR/Arif Ariadi permukiman.
PERUMAHAN: Membentang Atap Berpilar Asa

104

Pertemuan rutin antara staf Hal tersebut dapat dilakukan dengan menggandeng lembaga‑lembaga donor
Kedeputian Bidang Perumahan dan misalnya International Labour Organization (ILO). Dengan cara ini, diharapkan terjadi
Permukiman BRR dengan warga
penerima manfaat di Calang, kapasitas‑kapasitas yang diinventarisasi di tingkat lokal dapat ditingkatkan sedemikian
Kabupaten Aceh Jaya, 8 Mei 2007, rupa bahkan mencapai standar minimum tertentu.
forum seperti ini amat efektif sebagai
wahana menampung keluhan dan Keberpihakan pada kapasitas lokal bukan berarti bebas dari risiko. Pengalaman
mencari solusinya. Foto: Oni Imelva menggalang rekanan kontraktor lokal misalnya punya riak‑riaknya tersendiri. Tetapi
manfaat yang diperoleh dari proses ini jauh lebih besar dibandingkan segala risiko. Buah
manis dari keterlibatan langsung dalam proses membangun kembali lebih baik inilah
yang nantinya dinikmati bersama oleh masyarakat Aceh.
Membangun kekuatan lokal, khususnya dalam kasus kontraktor, dapat dihadapi
dengan melakukan serangkaian perbaikan dari proses yang terjadi, khususnya dari
segi saluran administratif yang digunakan. Ketika Aceh dilanda gelombang pekerja
kemanusiaan dari berbagai belahan dunia dalam jumlah yang mencengangkan, BRR
membentuk Tim Terpadu yang mempermudah urusan dan birokrasi—mulai dari visa,
izin tinggal, dan serangkaian pengurusan dokumen yang dibutuhkan. Pendekatan ala
Tim Terpadu ini juga dapat diterapkan untuk mempermulus saluran administrasi terkait
dengan penggunaan kontraktor lokal. Selain itu, mekanisme dan kriteria pemilihan pun
ada baiknya digunakan secara berlapis, sehingga tim evaluasi kontraktor tak perlu lagi
mewawancara ribuan kontraktor.
Berpihak pada pengembangan potensi‑potensi yang ada di tingkat lokal bukan berarti
pula memarginalkan kekuatan, pengalaman, keterampilan maupun keahlian yang datang
dari luar daerah bencana. Untuk menghasilkan sinergi yang optimal, maka kekuatan lokal
yang berdaulat ini baiknya diramu dengan dukungan dari luar. Hal ini bisa diciptakan

Bagian 5. Hikmah Ajar untuk Masa depan


melalui kreativitas maupun inovasi, misalnya dengan menerapkan sistem insentif bagi
kontraktor lokal yang mengambil tenaga ahli dari luar. Dengan cara ini, diharapkan proses
perjumpaan dan perbauran antarbudaya dan latar belakang kesukuan yang berbeda—
semuanya didudukkan dalam kerangka rehabilitasi dan rekonstruksi dengan kekuatan
lokal sebagai pemegang kendali utama.
Selain itu, pengalaman BRR secara spesifik menunjukkan bahwa keterlibatan
aparat pemerintah di tingkat paling bawah, yaitu desa dan kecamatan, tidak dapat
dihindari dalam proses rehabilitasi dan rekonstruksi khususnya bidang perumahan dan
permukiman.
105
Berdasarkan pengalaman, lembaga seperti KP4D atau BKM tidak harus ada di setiap
desa. Pembentukan lembaga tersebut sepenuhnya tergantung pada kehendak warga.
Dapat saja lembaga di tingkat desa yang ditugasi untuk mendukung proses rehabilitasi
dan rekonstruksi adalah lembaga desa yang telah ada. Faktor yang terpenting dalam
kelembagaan ini adalah penanggung jawabnya.
Tugas utama aparat atau lembaga di tingkat desa ini adalah membantu proses
pengumpulan data calon penerima bantuan dan pemantauan pelaksanaan
pembangunan rumahnya. Pada tahap awal sosialisasi dan penyampaian format dilakukan
wakil lembaga (BRR) agar data yang terkumpul terstandarisasi.
Informasi yang dibutuhkan dalam pendataan ini terutama adalah daftar nama kepala
keluarga atau ahli waris calon penerima bantuan, nama anggota keluarga yang masih
hidup (hal ini untuk menghindari penerimaan ganda dalam keluarga tersebut), dan
jenis bantuan yang diperlukan (rehabilitasi, rekonstruksi, atau relokasi), serta data pihak
yang telah menjanjikan atau akan dapat memberikan bantuan. Daftar ini dilengkapi
pula dengan rekapitulasinya. Selain itu, secara sederhana perlu dibuatkan sketsa denah
lokasi‑lokasi rumah yang rencana akan dibangun (community land mapping atau
community house plotting).
Tugas berikutnya kelembagaan di tingkat desa ini adalah melakukan pemantauan
terhadap pelaksanaan pembangunan rumahnya sehingga setiap saat dapat diketahui
berapa yang telah selesai dibangun, berapa yang telah dihuni, dan apakah terdapat
permasalahan dalam pembangunannya. Seluruh data dan informasi yang dihimpun di
tngkat desa dilaporkan kepada kelembagaan yang dibentuk pada tingkat kecamatan.
Sementara itu di tingkat kecamatan dibentuk suatu forum yang terdiri atas wakil
lembaga (BRR), camat atau aparat kecamatan, kepala desa atau lembaga desa yang
dibentuk, wakil LSM dan wakil satuan kerja atau pejabat pembuat komitmen (PPK).
Pertemuan dilakukan secara berkala atau rutin. Pada awalnya sebaiknya dilakukan
seminggu sekali, setelah proses rehabilitasi dan rekonstruksi telah berjalan dengan baik
selanjutnya dapat saja dilakukan dua minggu sekali atau sesuai dengan kebutuhan.
PERUMAHAN: Membentang Atap Berpilar Asa

Di tingkat kabupaten/kota, forum serupa perlu dibentuk dengan intensitas pertemuan


yang lebih kecil, dengan melibatkan bupati atau aparat kabupaten. Pada intinya prinsip
dari kelembagaan ini adalah terdesentralisasi tetapi dengan arahan yang tersentralisasi
dan terintegrasi.

Menggalang Dukungan dari Luar


Pengalaman rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh membuka mata terhadap besarnya
gelombang dukungan, perhatian, asistensi serta bantuan yang diberikan dari beragam
lembaga juga negara di seluruh dunia. Semua ini mendapatkan apresiasi dan penerimaan
dengan tangan terbuka dari seluruh masyarakat Indonesia, khususnya di wilayah
106
pascabencana.
Hikmah yang ditarik dari pengalaman melakukan rehabilitasi dan rekonstruksi
perumahan dan permukiman pascabencana bahwa berbagai lembaga yang turun
ke wilayah bencana memiliki kapasitas serta kompetensi dengan tingkat yang
berbeda‑beda. Ada yang punya pengalaman lebih banyak dan keahlian yang lebih luas
untuk urusan rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana.
Pemahaman ini sebaiknya dibangun sejak awal mencanangkan rehabilitasi dan
rekonstruksi bersama para mitra pemulihan tersebut. Pengalaman BRR sebagai koordinator
dari bantuan berbagai lembaga internasional, nasional, maupun lokal menunjukkan adanya
kebutuhan untuk melakukan inventarisasi kapasitas‑kapasitas tersebut.
Serupa dengan argumentasi dari hikmah ajar sebelumnya, potensi‑potensi yang
dimiliki lembaga‑lembaga yang memberikan dukungan pada proses rehabilitasi
dan rekonstruksi ini juga perlu diinventarisasi serta dimanfaatkan sebesar‑besarnya.
Pemanfaatan ini baiknya dilakukan dengan cara mengkaji keahlian dan kompetensi yang
mereka bawa dengan cepat, mengujicobakannya di lapangan secara terbatas misalnya
lewat proyek percontohan. Hasil dan hikmah ajar dari uji coba tersebut dibagi secara
meluas di kalangan lembaga‑lembaga tersebut.
Di sini, peran lembaga koordinator menjadi penting bahkan krusial. Lembaga
koordinator juga ada baiknya melanjutkan perannya untuk melakukan replikasi dan
multiplikasi dari kapasitas‑kapasitas unggul yang dimiliki oleh lembaga‑lembaga yang
sudah berpengalaman luas dan memiliki kompetensi ulung.
Dengan cara tersebut diharapkan terjadi kapasitas yang beragam antarlembaga dapat
diupaya sedemikian rupa sehingga mencapai standar minimum tertentu. Pilihan untuk
membangun kembali menjadi lebih baik dengan tepat dapat dilaksanakan melalui cara
memanfaatkan sebesar‑besarnya dukungan dari berbagai mitra internasional, nasional,
maupun lokal.
Bagian 5. Hikmah Ajar untuk Masa depan
107

Memahami Keunikan di Setiap Wilayah Rumah bantuan Malteser


International diserahterimakan
Rehabilitasi dan rekonstruksi di wilayah pascabencana, apalagi untuk bidang kepada para penerima manfaat
perumahan dan permukiman, mensyaratkan sikap responsif dalam menanggapi setempat, yakni warga Desa
Bayu, Kuta Makmur, Kabupaten
kebutuhan yang disuarakan oleh masyarakat. Pengalaman BRR mengungkapkan bahwa
Aceh Utara, 29 November 2005.
menempatkan lembaga koordinasi dan implementasi langsung di wilayah bencana, dan Foto: BRR/Arif Ariadi
bukan dari kejauhan, merupakan hal yang tak bisa ditawar‑tawar lagi.
Dalam konteks Indonesia, inilah kali pertama lembaga ad hoc setingkat menteri
ditempatkan di luar Ibu Kota. Langkah seperti ini pun bahkan dilanjutkan lebih jauh lagi
dengan menerapkan pendekatan regionalisasi melalui pembentukan sejumlah kantor
regional BRR.
Kenyataan mengungkapkan bahwa keberagaman baik dari segi sosial kemasyarakatan
maupun kondisi fisik di lapangan sebetulnya tak akan cocok jika dicoba dijawab dengan
satu atau dua pendekatan saja.
Berapa pun pendekatan, metode, teknik atau alternatif yang ditawarkan, semuanya
berangkat dari pemahaman yang menyeluruh juga mendalam tentang keunikan
kondisi di setiap wilayah. BRR menjajaki hal tersebut dengan membuat kantor regional
di Nias yang fokus dalam upayanya menjawab aspirasi, kebutuhan, serta tuntutan dari
masyarakat setempat.
PERUMAHAN: Membentang Atap Berpilar Asa

108
Kemampuan memotret kondisi unik di tiap wilayah akan sangat berguna khususnya
dalam membangun kekuatan yang ada di tingkat lokal. Jika ini diikuti dengan kreativitas
dan inovasi bahkan sejak di tingkat perencanaan, maka akan diperoleh lima atau enam
bahkan lebih pendekatan yang bisa cocok untuk kebutuhan‑kebutuhan masyarakat yang

Bagian 5. Hikmah Ajar untuk Masa depan


beragam.
Pengalaman BRR melakukan rehabilitasi dan rekonstruksi bidang perumahan dan
permukiman menunjukkan penggunaan dua pendekatan dalam membangun dan
merehabilitasi rumah secara top down yang cepat tetapi tidak partisipatif maupun
top down yang berbasis komunitas tetapi butuh waktu lama. Apabila kemampuan
menangkap kondisi unik di lapangan dikombinasikan dengan fleksibilitas dan daya cipta
serta imajinasi, boleh jadi akan muncul sejumlah pendekatan yang tepat untuk daerah
yang berbeda‑beda.

Mengidentifikasi Para Penerima Manfaat 109


Penetapan data calon penerima bantuan rumah merupakan tahapan penting yang
pertama yang akan menentukan efektivitas dan efisiensi tahapan‑tahapan berikutnya.
Pengalaman, banyak persoalan, baik teknis dan terlebih nonteknis, yang muncul
disebabkan oleh tidak tepatnya dalam pendataan ini.
Berbeda dengan masa tanggap darurat yang lebih membutuhkan data “jumlah
jiwa” (untuk pemberian bantuan makanan, pakaian, selimut), dalam rehabilitasi dan
rekonstruksi bidang perumahan data yang lebih dibutuhkan adalah “jumlah kepala
keluarga”. Pendataan jumlah kepala keluarga berikut status kepemilikan rumah dan
lokasi tempat tinggal sebelum bencana harus dilakukan sedini mungkin, yaitu pada masa
tanggap darurat. Pada masa ini pendataan cukup dilakukan dengan registrasi, verifikasi
dapat dilakukan setelah memasuki masa rehabilitasi‑rekonstruksi. Hal ini sering kali
terlupakan karena pada masa tanggap darurat lebih terfokus pada pemberian bantuan
jatah hidup.
Oleh karena untuk bencana skala besar seperti di Aceh dan Nias mendata penerima
manfaat membutuhkan waktu yang panjang, maka pada masa tanggap darurat perlu
ditetapkan dan diumumkan terlebih dahulu nama‑nama desa yang terkena bencana
sebagai “desa bencana” dan menjadi wilayah sasaran dalam rehabilitasi dan rekonstruksi.
Bantuan tidak dapat diberikan kepada orang yang pada saat bencana tidak tinggal di
desa bencana tersebut.
Selain itu, salah satu prinsip pengelolaan basis data adalah diperlukannya identitas Anak dan ayah sebagai salah satu
tunggal calon penerima bantuan. Dengan perkataan lain, setiap calon penerima bantuan penerima manfaat, sesaat setelah
diberikan nomor registrasi yang mencerminkan antara lain lokasi asal mereka bertempat menerima kunci rumah baru mereka
tinggal pada saat terjadi bencana. Selanjutnya dalam database beberapa atribut data di Desa Neuheun, Kabupaten Aceh
Besar, 11 September 2007, langsung
yang perlu dimasukkan antara lain nama lengkap, tanggal lahir, nama ibu, nama ayah, membersihkan rumah tersebut.
jenis kelamin, alamat atau desa domisili saat terjadi bencana, serta klasifikasi bantuan Foto: BRR/Arif Ariadi
(rehabilitasi, rekonstruksi, relokasi, atau penyewa). Pengelolaan data ini sejak awal harus
dimasukkan dalam komputer database dan dilakukan secara terpusat, baik untuk bantuan
yang akan dilakukan oleh lembaga sendiri maupun LSM.
Tambahan pula, dalam proses pengumpulan data perlu diumumkan secara luas melalui
berbagai media massa mengenai batas‑batas waktu tahapan proses pengumpulan
data. Setelah pengumpulan data dinyatakan ditutup, tidak ada peluang lagi adanya
penambahan penerima manfaat.
Data yang sudah dinyatakan final dalam bentuk daftar penerima bantuan tetap
(DPBT) perlu disebarluaskan kepada aparat setempat, dari tingkat desa hingga tingkat
kabupaten/kota. Daftar ini selanjutnya akan menjadi pegangan bagi semua pihak dalam
memberikan bantuan.
Pengalaman BRR menunjukkan bahwa pendefinisian penerima manfaat, identifikasi,
dan verifikasi penerima manfaat menjadi salah satu kunci keberhasilan pelaksanaan
rehabilitasi dan rekonstruksi di bidang perumahan dan permukiman. Apabila hal ini bisa
dilakukan dengan efektif dan efisien, maka arus pergerakan para penyintas berpindah
dari tenda ke rumah sementara sampai akhirnya masuk dan mendiami rumah bantuan
akan berjalan dengan jauh lebih lancar.

Gambar 5.1. Konsepsi Pengorganisasian KerjaSama dengan Pemerintah Setempat

1 2
Pengumpulan data Pengkoordinasian
penerima manfaat dikonsolidasikan pelaksana di lapangan
di tingkat desa dipusatkan di tingkat
kecamatan

2 Menempatkan kecamatan sebagai focal


Mengumpulkan data calon penerima
BRR point dalam dalam koordinasi di lapangan
manfaat dengan melibatkan unsur-unsur
di tingkat desa

Menstandarkan format yang akan diisi Seluruh fasilitator dari berbagai pelaku
untuk tingkat desa dibantu oleh fasilitator KANTOR rekonstruksi/ rehabilitasi
dan petugas dari kecamatan WILAYAH dikoordinasikan di tingkat kecamatan

Setelah data terkumpul, tugas selanjutnya Membentuk forum pertemuan


adalah memantau pelaksanaannya rutin di tingkat kecamatan, dipimpin oleh
sehingga senantiasa diketahui jumlah KABUPATEN wakil lembaga (BRR), dihadiri Camat dan
yang sudah terbangun, oleh siapa, telah seluruh wakil pelaku on-budget/Satker,
dihuni atau belum, berapa yang belum dan off-budget/LSM)
terbangun, terdapat hambatan apa, dst.
Masalah yang tidak dapat diselesaikan di
Menginformasikan persoalan tersebut KECAMATAN tingkat lokal perlu dibawa di forum pada
secara tertulis (format telah ditentukan) tingkat yang lebih tinggi (kab/kota)
dan dalam forum di tingkat kecamatan

1
Untuk penanganan penyintas di hunian sementara misalnya, data penerima manfaat
sebaiknya mencakup siapa saja yang tinggal di barak beserta latar belakangnya dan
disimpan dalam sebuah basis data sehingga tidak lagi bersifat manual. Selanjutnya data
tersebut dijadikan data teregister dan diverifikasi sehingga bisa tersaring siapa yang

Bagian 5. Hikmah Ajar untuk Masa depan


berhak, siapa yang tidak, dan siapa yang bukan korban.
Pengalokasian bantuan akan menjadi jauh lebih efektif dan tepat sasaran jika telah
diketahui siapa korban yang sebenarnya. Hal ini akan memberikan ketenangan bagi
mereka yang tinggal di barak. Mereka mengetahui bahwa mereka telah teralokasikan
bantuan sehingga mereka dapat berkonsentrasi ke agenda mereka selanjutnya, seperti
mencari pekerjaan, menyekolahkan anak, tidak berpikir tentang rumah lagi karena
mereka mengetahui bahwa rumahnya sedang dibangun.
Apabila terjadi proses re‑grouping atau pemindahan dari satu barak ke barak lainnya
yang lebih besar lokasinya, penghuni yang tidak ingin lagi tinggal di barak perlu dicatat 111
dan dibukukan untuk kepentingan di kemudian hari.

Menyangkut Konsepsi dan Organisasi Penanganan


Struktur organisasi atau lembaga yang menangani rekonstruksi suatu bencana yang
menimbulkan dampak kerusakan secara luas atau masif, seperti di Aceh dan juga Nias,
sebaiknya menempatkan unit yang menanganani bidang perumahan dan permukiman
ke dalam posisi yang sentral. Pengertian sentral di sini adalah bahwa bidang‑bidang atau
sektor‑sektor lain seperti infrastruktur, pendidikan, kesehatan, bantuan ekonomi dan
perbaikan prasarana ekonomi serta bidang‑bidang sosial‑budaya‑perempuan hendaknya
terkoordinasi dengan baik dengan sektor atau bidang perumahan dan permukiman.
Sektor perumahan dan permukiman pada dasarnya merupakan sektor yang bersifat
kebutuhan dasar dan sekaligus tergolong sebagai barang privat bagi para korban yang
selamat. Dengan demikian pembangunan sektor ini sangat dibutuhkan dan menjadi
pijakan bagi setiap keluarga yang menjadi korban agar dapat pulih kembali menuju
kehidupan yang normal.
Berbeda dengan sektor lain, sektor perumahan membutuhkan suatu transisi yang
cukup panjang, yakni dari tenda, barak, atau rumah sementara baru kemudian rumah
yang lebih bersifat permanen. Para korban membutuhkan segera tempat berlindung
untuk dapat menjalankan aktivitas sehari‑harinya, tetapi membangun rumah yang
permanen membutuhkan waktu yang tidak sebentar.
Setelah rumah berdiri dan korban menempati rumah bantuan, mereka membutuhkan
prasarana dan fasilitas pendukung sebagaimana dibutuhkan dalam suatu kawasan
permukiman seperti jalan akses, air bersih, sanitasi yang baik, tenaga listrik, sekolah,
puskesmas, dan pasar. Bantuan ekonomi dan usaha juga sebaiknya difokuskan pada
wilayah‑wilayah tempat para korban terkonsentrasi, baik wilayah rekonstruksi maupun
relokasi.
Renungan Penutup
Di ulang tahun Perumnas ke‑34 pada 2008, dengan bangga Direktur Utama BUMN
itu menyatakan bahwa dalam 34 tahun usianya, Perumnas telah membangun 500 ribu

Bagian 5. Hikmah Ajar untuk Masa depan


rumah atau rata‑rata 14.700 rumah setahun, 58.800‑an dalam empat tahun. Di ekstrem
yang lain, seorang arsitek muda yang mencoba pengetahuannya untuk membangun
rumah seorang manajer senior terpaksa menyerah dalam frustrasi karena permintaan
sang manajer yang dianggapnya terlalu banyak. Padahal sang manajer merasa hanya
menjabarkan keinginannya agar rumah miliknya lebih sesuai dengan kebutuhannya
dibanding rumah sewa yang selama ini ditinggalinya.
Rumah memang sangat pribadi. Setelah tenunan benang yang terbawa ke mana‑mana
sebagai pakaian, rumah adalah kulit berikutnya yang melindungi. Rumah memang simbol
keberadaan manusia, sekaligus mengakui kedaulatan penghuninya dan merefleksikan
sikap yang ingin dibawakan dalam interaksi antarwarga.Angka yang dicapai Perumnas,
113
organisasi pembangun rumah yang profesional di atas, merefleksikan terasumsikannya
dialog intim tersebut terjadi.
Bandingkan dengan rumah rekonstruksi. Gandakan angka jumlah rumah tadi lebih
dari dua kalinya. Membangun 140.304 rumah di Aceh dan Nias dalam situasi dan suasana
pascabencana dan ditambah pasca konflik di Aceh sungguh tidak mudah. Optimisme
sering timbul tenggelam seiring waktu dan kejadian, sesaat atau berpola. Bagi sebagian
besar peserta kegiatan, baik penerima manfaat maupun pemangku kepentingan
lainnya, kombinasi faktor yang menghadang program rekonstruksi dan rehabilitasi
perumahan ini sungguh baru adanya. Pengalaman, walaupun ada, tak ada yang setara
dengan tantangan yang dihadapi. Kalau tidak dari sisi skala, mungkin dari sisi cakupan
persoalannya. Diperlukan keberanian untuk memulai sesuatu, yang kemungkinan besar
merupakan sebuah terobosan mengingat kondisi baseline yang jauh lebih tidak lengkap
dibanding situasi normal.
Apakah akan ada pendekatan lain yang dilakukan bila kejadian dan keadaan yang
hampir serupa dihadapi lagi? Bagi mereka yang mungkin akan dipanggil atau merasa
terpanggil untuk menangani masalah serupa, di mana pun terjadinya, diharapkan
agar buku ini dapat berguna sebagai acuan mengenai apa yang pernah dilakukan dan
hasil‑hasil yang dicapai. Beberapa pembelajaran dituliskan di sini, tetapi pelajaran yang
sebenarnya akan dijumpai di lapangan, dengan konteks yang sebenarnya.
Barangkali apa yang dikatakan warga Simeuleu mengenai rekan‑rekannya di daratan
Aceh patut menjadi refleksi. “Kami belajar dari tsunami yang terjadi seratus tahun yang
lalu, dan melestarikannya dalam dongeng dan perilaku. Seruan “smong” yang kami
lantunrantaikan saat air laut surut adalah hasil pelajaran itu. Masyarakat segera lari ke Warga Neuheun, Kabupaten
bukit sehingga korban jiwa sangat sedikit. Semoga rekan‑rekan di daratan mengambil Aceh Besar, mengisi rumah baru
pelajaran dari peristiwa ini bagi generasi mendatang.” dengan perabotan rumah tangga,
11 September 2007. Pemandangan
Diharapkan pula semua pelaku rekonstruksi dan rehabilitasi belajar dari analisis, serupa marak ditemui seiring dengan
kebijakan, dan tindakan yang dialami sekarang, baik yang berhasil maupun yang masih gencarnya upaya percepatan
perlu ditingkatkan. pengosongan barak.
Foto: BRR/Arif Ariadi
Daftar Singkatan
PERUMAHAN: Membentang Atap Berpilar Asa

Singkatan Indonesia Inggris


ADB Bank Pembangunan Asia Asian Development Bank
AIPRD Kemitraan Australia‑Indonesia untuk Australia‑Indonesia Partnership for
Rekonstruksi dan Pembangunan Reconstruction and Development
AKA Asosiasi Kontraktor Aceh Aceh Contractors Association
APBN Anggaran Pendapatan dan Belanja Government of Indonesia’s National
Negara Annual Budget
ARC Palang Merah Amerika American Red Cross
114
Asperkim Asisten Bidang Perumahan dan Assistant for Housing and Settlement
Pemukiman Area
AusAID Badan Australia untuk Pembangunan Australian Agency for International
Internasional Development
Bakosurtanal Badan Koordinasi Survei dan Indonesia’s National Coordinating
Pemetaan Nasional Agency for Survey and Mapping
BDL Bantuan Dana Lingkungan Environmental Fund
BDR Bantuan Dana Rumah Housing Fund
BKM Badan Keswadayaan Masyarakat Community Self‑reliance Board
BLM Bantuan Langsung Masyarakat Direct Community Assistance
BLOM Perusahaan Pemetaan asal Norwegia Norwegian Company‑Provider of
Products and Services within the
Maritime and Land based Mapping
Industry
BMG Badan Meteorologi dan Geofisika Meteorology and Geophisics Agency
BPDE Badan Pengelola Data Elektronik National Agency for Electronic Data
Management
BPN Badan Pertanahan Nasional National Land Agency
BPPK Bantuan Perumahan dan Permukiman Housing and Resettlement Assistance
Kembali
BPR Bank Perkreditan Rakyat People’s Credit Bank; An Indonesian
bank
BPRB Bantuan Pembangunan Rumah Baru Allowance to build new houses
BRR Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Agency for the Rehabilitation and
Wilayah dan Kehidupan Masyarakat Reconstruction of the Regions
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam and Community of Nanggroe Aceh
dan Kepulauan Nias Provinsi Darussalam and the Nias Island of
Sumatera Utara the Province of North Sumatra
Singkatan Indonesia Inggris
BSBT Bantuan Sosial Bertempat Tinggal Social Assistance for Settlement
BSPR Bantuan Sosial Perbaikan Rumah Social Assistance for House
Repairment

Bagian 5. Hikmah Ajar untuk Masa depan


CAP Rencana Aksi Masyarakat Community Action Plan
CCF LSM yang bergerak dalam bidang Christian Children Fund
perlindungan anak
CDA Pendaftaran tanah berbasis Community‑Driven Adjudication
masyarakat
CHF LSM Internasional yang Memberikan Community Habitat Finance
Internasional Dukungan Perbaikan Penghasilan di International
dalam Masyarakat Berpenghasilan
Rendah
CRC Palang Merah Kanada Canadian Red Cross 115
CRS Catholic Relief Services; Nama Catholic Relief Services
sebuah LSM
Danramil Komandan Rayon Militer Sub‑District Military Commander
DED Rancangan Teknis Rinci Detail Engineering Design
Dinsos Dinas Sosial Social Affairs Office; Usually of a
province/district
DIPA Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran Issuance of Spending Authority
Ditjen Direktorat Jenderal Directorate General
DMC Konsultan Manajemen Kabupaten District Management Consultant
DPBT Daftar Penerima Bantuan Tetap List of Beneficiaries
ESRI‑Shp. Environmental System Research Environmental System Research
Institute‑Shapefile, File Data dari Institute‑Shapefile, Data File from
Program ArcView GIS ArcView GIS Program
ETESP Proyek Sektor Bantuan Darurat Earthquake and Tsunami Emergency
Gempa Bumi dan Tsunami yang Sector Project funded by Asian
dibiayai oleh Bank Pembangunan Asia Development Bank (ADB)
(ADB)
Fascam Fasilitator Kecamatan Sub‑district Facilitator
Fasrum Fasilitator Perumahan Housing Facilitator
Forak Forum Komunikasi Antarbarak Inter‑barracks Communication Forum
GAA German Agro Action‑LSM German Agro Action‑NGO
GIS Sistem Informasi Geospasial Geospatial Information System
GITEC Dewan Eksekutif Teknologi Informasi Government Information Technology
Pemerintah (Jerman) Executive Council
GPS Sistem navigasi satelit Global Positioning System
ha hektare hectare
Singkatan Indonesia Inggris
IFRC Federasi Palang Merah Internasional International Federation of Red Cross
dan Komunitas Bulan Sabit Merah and Red Crescent Societies
PERUMAHAN: Membentang Atap Berpilar Asa

ILO Organisasi Buruh Internasional International Labour Organization


IMB Izin Mendirikan Bangunan Building Permit
IOM Organisasi Internasional untuk Internal Organization for Migration
Migrasi Penduduk
jadup Jatah Hidup Living Allowance
JFPR‑SUHA Dana Jepang untuk Pengentasan Japan Fund for Poverty
Kemiskinan‑Perumahan Tahan Reduction‑Seismically Upgraded
Gempa di Aceh dan Sumatera Utara Housing in Aceh Darussalam and
North Sumatra
JICA Badan Kerja Sama Internasional Japan International Cooperation
116 Jepang Agency
Badan Jepang mengenai Sistem Kerja Japan International Cooperation
Sama Internasional System
JLT Sertifikat Kepemilikan Tanah Joint Land Titling
Bersama
Kades Kepala Desa Head of Village
KAP Rencana Aksi Kecamatan Kecamatan Action Plan
Kapolsek Kepala Polisi Sektor Sectoral Police Chief
Kasatker Kepala Satuan Kerja Head of Project Implementing Unit
Keppres Keputusan Presiden Presidential Decree
Kerap Komite Rehabilitasi/Rekonstruksi Rehabilitation and Reconstruction
Permukiman Committee
KfW Kreditanstalt fur Wrederaubau adalah Kreditanstalt fur Wrederaubau is a
Bank Pembangunan Jerman yang German Development Bank acting as
berperan sebagai pengelola dana the funding management manager on
atas nama pemerintah Jerman. behalf of German Government.
KK kepala keluarga head of family, family unit
km kilometer kilometer
Komvertib Komite Verifikasi dan Penertiban Committee for Verification and
Perumahan Closure of Housing
Koramil Komando Rayon Militer Sub‑District Military Command
Korwil Koordinator Wilayah Regional Coordinator
KP Kelompok Pemukim Community Group
KP4D Komite Percepatan Pembangunan The Village Committee for Housing
Perumahan dan Permukiman Desa and Settlement Development
Acceleration
KPA Kuasa Pengguna Anggaran Budget Authority Officer
Singkatan Indonesia Inggris
KPPN‑K Kantor Pelayanan dan Special Office for State Services and
Perbendaharaan Negara‑Khusus Treasury
KPR Kredit Pemilikan Rumah Housing Loan
KSF‑AP Kerangka Tata Ruang dan Rencana Kecamatan Spatial Framework and
Aksi Kecamatan Action Plan
Logica Pemerintahan Lokal dan Infrastruktur Local Governance and Infrastructure
untuk Masyarakat di Aceh for Communities in Aceh
LSM Lembaga Swadaya Masyarakat Non‑Governmental Organization
(NGO)
m2 meter persegi meter square
MDF Dana Multi Donor Multi Donor Fund
MK1‑BRR Manajemen Konstruksi dan Construction and Building Design
117
Rancang‑Bangun BRR Management BRR
Muspika Musyawarah Pimpinan Kecamatan The Meeting of Subdistrict Heads
Musrenbangda Musyawarah Perencanaan Meeting on Regional Development
Pembangunan Daerah Planning
NAD Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nanggroe Aceh Darussalam Province
NGO Organisasi nonpemerintah/ Lembaga Non‑Governmental Organization
Swadaya Masyarakat (LSM)
NPTGA Bantuan Dana Hibah Jenis Nonproyek Non Project Type Grant Aid
P2KP Proyek Penanggulangan Kemiskinan Poorness Overcoming Project in Urban
Perkotaan
P3 (Direktorat) Prakarsa Pembangunan Participatory Development Initiative
Partisipatif
P3B‑Bappenas Perencanaan Daerah Yang Pro‑Poor Planning and Budgeting
Berorientasi Penanggulangan Program‑National Development
Kemiskinan‑Badan Perencanaan dan Planning Agency
Pembangunan Nasional
P4W Pusat Pengendalian Program dan Center of Regional Program and
Proyek Wilayah Project Controlling
PBB Perserikatan Bangsa‑Bangsa United Nations (UN)
PCN Nota Konsep Proyek Project Concept Note
Pemda Pemerintah Daerah Regional Government
Perkabapel Peraturan Kepala Badan Pelaksana Head of the Executing Agency
Regulation
Perppu Peraturan Pengganti Undang‑Undang Government Regulation in Lieu of
Legislation
Perpres Peraturan Presiden Presidential Regulation
PHLN Pinjaman/Hibah Luar Negeri Foreign Soft Loans/Grant
Singkatan Indonesia Inggris
PIU Unit Pelaksana Proyek Project Implementation Unit
Pj. Penjabat Acting Officer
PERUMAHAN: Membentang Atap Berpilar Asa

PJOK Penanggung Jawab Operasional Operational Activity Coordinator


Kegiatan
PL Penunjukan Langsung Direct Assignment
PLP Pusat Layanan Pengadaan Procurement Center
PMC Konsultan Manajemen Provinsi Province Management Consultant
PMI Palang Merah Indonesia Indonesian Red Cross
PMU Unit Manajemen Proyek Project Management Unit
PPAT Pejabat Pembuat Akta Tanah Land Deed Official
PPK Pejabat Pembuat Komitmen Contract Preparation Officer
118 PPT Panitia Pengadaan Tanah Land Acquisition Committee
PQ prakualifikasi pre‑qualification
PSD Prasarana dan Sarana Dasar Basic Infrastructure and Facilities
PU Pekerjaan Umum Public Works
Pusdatin Pusat Data dan Informasi Center for Data and Information
Pustu Puskesmas Pembantu Auxiliary Community Health Post
RALAS Sistem Administrasi Rekonstruksi Reconstruction of the Aceh Land
Pertanahan Aceh Administration System
RC Palang Merah Red Cross
RDTR Revisi Rencana Detail Tata Ruang Revision of the Spatial Planning Detail
ReKompak Rehabilitasi dan Rekonstruksi Community‑based Rehabilitation and
Permukiman Berbasis Komunitas Reconstruction of Settlements
RM Rupiah Murni Pure national budget, exculding
foreign loan/grant
Rp Rupiah Rupiah (Indonesian currency)
RRHS Rehabilitasi dan Rekonstruksi Rehabilitation And Reconstruction Of
Perumahan dan Permukiman di Aceh Housing And Settlement in Aceh
RTRW Rencana Tata Ruang Wilayah The Standardized Nomenclature of
Spatial Plans in Indonesia
Satker Satuan Kerja Project Implementing Unit
Satkorlak Satuan Koordinasi Pelaksana Unit for Coordinating Implementers
Penanggulangan Bencana dan of Disaster and Displaced Persons
Penanganan Pengungsi Management
SCC Saudi Charity Campaign‑LSM Saudi Charity Campaign‑NGO
SD Sekolah Dasar Elementary School
SDM Sumber Daya Manusia Human Resources
SMP Sekolah Menengah Pertama Junior High School
Singkatan Indonesia Inggris
STL Pemimpin Sub‑tim Sub Team Leader
TA Tahun Anggaran Fiscal Year
TNI Tentara Nasional Indonesia Indonesian National Army
TPI Tempat Pelelangan Ikan Fish Auction Market
TPK Tim Pengelola Kegiatan Activities Management Team
UKL/UPL Usaha Pengelolaan Lingkungan/ Environmental Management Effort/
Usaha Pengendalian Lingkungan Environmental Management Control
UMCOR United Methodist Committee on United Methodist Committee on
Relief; Nama sebuah LSM Relief; Name of an NGO
UNDP Program Pembangunan Perserikatan United Nations Development
Bangsa‑Bangsa Programme
UNEP Program Lingkungan Perserikatan United Nations Environmental 119
Bangsa‑Bangsa Program
UNIMS/HIC UN Information Management Service/ Badan PBB untuk Layanan
Humanitarian Information Centre Manajemen Informasi/ Pusat
Informasi Kemanusiaan
UNORC Badan Perserikatan Bangsa‑Bangsa United Nations Office of the Recovery
Koordinator Pemulihan khusus untuk Coordinator for Aceh and Nias
Aceh dan Nias
US$ Dollar Amerika Serikat American Dollars
USAID Badan Amerika Serikat untuk United States Agency for International
Pembangunan Internasional Development
UU Undang‑Undang Law
WB Bank Dunia World Bank
WFP Badan Pangan Dunia World Food Programme
WIB Waktu Indonesia Barat Western Indonesia Time
WVI World Vision Indonesia; Nama sebuah World Vision Indonesia; Name of an
LSM NGO
YIPD Yayasan Inovasi Pemerintahan Daerah Center for Local Government
Innovation

Anda mungkin juga menyukai