Seri Buku BRR 07 Perumahan
Seri Buku BRR 07 Perumahan
8E
PERUMAHAN
Membentang Atap Berpilar Asa
BADAN REHABILITASI DAN REKONSTRUKSI NAD–NIAS
(BRR NAD–NIAS)
16 April 2005 ‑ 16 April 2009
Penyusunan Seri Buku BRR ini didukung oleh Multi Donor Fund (MDF)
melalui United Nations Development Programme (UNDP) Technical Assistance to BRR Project
ISBN 978‑602‑8199‑38‑4
Melalui Seri Buku BRR ini, Pemerintah beserta seluruh rakyat Indonesia dan BRR
hendak menyampaikan rasa terima kasih yang mendalam atas uluran tangan yang
datang dari seluruh dunia sesaat setelah gempa bertsunami yang melanda Aceh pada
26 Desember 2004 serta gempa yang melanda Kepulauan Nias pada 28 Maret 2005.
Empat tahun berlalu, tanah yang dulu porak‑poranda kini ramai kembali seiring dengan
bergolaknya ritme kehidupan masyarakat. Capaian ini merupakan buah komitmen yang
teguh dari segenap masyarakat lokal serta komunitas nasional dan internasional yang
menyatu dengan ketangguhan dan semangat para korban yang selamat meski telah
kehilangan hampir segalanya.
Berbagai dinamika dan tantangan yang dilalui dalam upaya keras membangun kembali
permukiman, rumah sakit, sekolah, dan infrastruktur lain, seraya memberdayakan para
penyintas untuk menyusun kembali masa depan dan mengembangkan penghidupan
mereka, akan memberikan pemahaman penting terhadap proses pemulihan di Aceh dan
Nias.
Berdasarkan hal tersebut, melalui halaman‑halaman yang ada di dalam buku ini,
BRR ingin berbagi pengalaman dan hikmah ajar yang telah diperoleh sebagai sebuah
sumbangan kecil dalam mengembalikan budi baik dunia yang telah memberikan
dukungan sangat berharga dalam membangun kembali Aceh dan Nias yang lebih baik
dan lebih aman; sebagai catatan sejarah tentang sebuah perjalanan kemanusiaan yang
menyatukan dunia.
Saya bangga,
kita dapat berbagi pengalaman, pengetahuan, dan pelajaran
dengan negara‑negara sahabat. Semoga apa yang telah kita lakukan
dapat menjadi sebuah standar dan benchmark bagi upaya‑upaya serupa,
baik di dalam maupun di luar negeri.
viii Pendahuluan
Selama tiga kali dua puluh empat jam, terhitung sejak 27 Desember 2004, Sang
Saka Merah Putih berkibar setengah tiang: bencana nasional dimaklumatkan. Aceh dan
sekitarnya diguncang gempa bertsunami dahsyat. Seluruh Indonesia berkabung. Warga
dunia tercengang, pilu.
Tsunami menghantam bagian barat Indonesia dan menyebabkan kehilangan berupa
jiwa dan sarana‑prasarana dalam jumlah yang belum pernah terbayangkan sebelumnya.
Bagi yang selamat (penyintas), rumah, kehidupan, dan masa depan mereka pun turut raib
terseret ombak.
Besaran 9,1 skala Richter menjadikan gempa tersebut sebagai salah satu yang terkuat
sepanjang sejarah modern. Peristiwa alam itu terjadi akibat tumbukan dua lempeng
tektonik di dasar laut yang sebelumnya telah “jinak” selama lebih dari seribu tahun.
Namun, dengan adanya tambahan tekanan sebanyak 50 milimeter per tahun secara
perlahan, dua lempeng tersebut akhirnya mengentakkan 1.600‑an kilometer patahan
dengan keras. Patahan itu dikenal sebagai patahan megathrust Sunda.
Episentrumnya terletak di 250 kilometer barat daya Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam. Retakan yang terjadi, yakni berupa longsoran sepanjang 10 meter, telah
melentingkan dasar laut dan kemudian mengambrukkannya. Ambrukan ini mendorong
dan mengguncang kolom air ke atas dan ke bawah. Inilah yang mengakibatkan
serangkaian ombak dahsyat.
Hanya dalam waktu kurang dari setengah jam setelah gempa, tsunami langsung
menyusul, menghumbalang pesisir Aceh dan pulau‑pulau sekitarnya hingga 6 kilometer
ke arah daratan. Sebanyak 126.741 jiwa melayang dan, setelah tragedi tersebut, 93.285
orang dinyatakan hilang. Sekitar 500.000 orang kehilangan hunian, sementara 750.000‑an
orang mendadak berstatus tunakarya.
Pada sektor privat, yang mengalami 78 persen dari keseluruhan kerusakan, 139.195
rumah hancur atau rusak parah, serta 73.869 lahan kehilangan produktivitasnya.
Sebanyak 13.828 unit kapal nelayan raib bersama 27.593 hektare kolam air payau
dan 104.500 usaha kecil‑menengah. Pada sektor publik, sedikitnya 669 unit gedung
pemerintahan, 517 pusat kesehatan, serta ratusan sarana pendidikan hancur atau mandek
Pendahuluan
berfungsi. Selain itu, pada subsektor lingkungan hidup, sebanyak 16.775 hektare hutan
pesisir dan bakau serta 29.175 hektare terumbu karang rusak atau musnah.
Kerusakan dan kehilangan tak berhenti di situ. Pada 28 Maret 2005, gempa 8,7 skala ix
Richter mengguncang Kepulauan Nias, Provinsi Sumatera Utara. Sebanyak 979 jiwa
melayang dan 47.055 penyintas kehilangan hunian. Dekatnya episentrum gempa
yang sebenarnya merupakan susulan dari gempa 26 Desember 2004 itu semakin
meningkatkan derajat kerusakan bagi Kepulauan Nias dan Pulau Simeulue.
Dunia semakin tercengang. Tangan‑tangan dari segala penjuru dunia terulur untuk
membantu operasi penyelamatan. Manusia dari pelbagai suku, agama, budaya, afiliasi
politik, benua, pemerintahan, swasta, lembaga swadaya masyarakat, serta badan nasional
dan internasional mengucurkan perhatian dan empati kemanusiaan yang luar biasa besar.
Dari skala kerusakan yang diakibatkan kedua bencana tersebut, tampak bahwa sekadar
membangun kembali permukiman, sekolah, rumah sakit, dan prasarana lainnya belumlah
cukup. Program pemulihan (rehabilitasi dan rekonstruksi) harus mencakup pula upaya
membangun kembali struktur sosial di Aceh dan Nias. Trauma kehilangan handai‑taulan
dan cara untuk menghidupi keluarga yang selamat mengandung arti bahwa program
pemulihan yang ditempuh tidak boleh hanya berfokus pada aspek fisik, tapi juga nonfisik.
Pembangunan ekonomi pun harus bisa menjadi fondasi bagi perkembangan dan
pertumbuhan daerah pada masa depan.
Pada 16 April 2005, Pemerintah Republik Indonesia, melalui penerbitan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang‑Undang Nomor 2 Tahun 2005, mendirikan Badan
Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah dan Kehidupan Masyarakat Provinsi Nanggroe
Aceh Darussalam dan Kepulauan Nias, Sumatera Utara (BRR). BRR diamanahi tugas untuk
mengoordinasi dan menjalankan program pemulihan Aceh‑Nias yang dilandaskan pada
partisipasi aktif masyarakat setempat. Dalam rangka membangun Aceh‑Nias secara
lebih baik dan lebih aman, BRR merancang kebijakan dan strategi dengan semangat
transparansi, untuk kemudian mengimplementasikannya dengan pola kepemimpinan
PERUMAHAN: Membentang Atap Berpilar Asa
635.384
orang kehilangan tempat tinggal
127.720
orang meninggal dan 93.285 orang hilang
104.500 155.182
usaha kecil menengah (UKM) lumpuh tenaga kerja dilatih xi
195.726
UKM menerima bantuan
139.195 140.304
rumah rusak atau hancur rumah permanen dibangun
73.869 69.979
hektare lahan pertanian hancur hektare lahan pertanian direhabilitasi
1.927 39.663
guru meninggal guru dilatih
13.828 7.109
kapal nelayan hancur kapal nelayan dibangun atau dibagikan
1.089 3.781
sarana ibadah rusak sarana ibadah dibangun atau diperbaiki
2.618 3.696
kilometer jalan rusak kilometer jalan dibangun
3.415 1.759
sekolah rusak sekolah dibangun
517 1.115
sarana kesehatan rusak sarana kesehatan dibangun
669 996
bangunan pemerintah rusak bangunan pemerintah dibangun
119 363
jembatan rusak jembatan dibangun
22 23
pelabuhan rusak pelabuhan dibangun
8 13
bandara atau airstrip rusak bandara atau airstrip dibangun
Ketika yang
Rumah‑rumah yang tidak hancur Secara singkat, dalam melakukan rehabilitasi dan rekonstruksi, sektor perumahan
total oleh tsunami, misalnya di dan permukiman menghadapi serangkaian pekerjaan mahaberat. Mencari dan
Kampung Mulia, Banda Aceh,
26 Mei 2005 ini, temboknya banyak mempersiapkan tanah, mendata calon penerima manfaat, membangun rumah dan segala
yang dicoret‑coreti grafiti terutama prasarana, termasuk tata ruang yang dibutuhkan untuk membangun permukiman dan
untuk menandai kepemilikan menempatkan para korban bencana ke rumah‑rumah tersebut, sungguh sangat jauh dari
si empunya rumah yang telah
kata “mudah”.
meninggal atau mengungsi.
Foto: BRR/Arif Ariadi Tanah sendiri merupakan persoalan besar yang membutuhkan penanganan tersendiri.
Tercatat daerah yang terkena tsunami 13.610 hektare dari luas wilayah 5.736.577 hektare
sebelumnya. Sebagian wilayah di Kecamatan Meuraxa, Syiah Kuala, Kuta Raja, dan Jaya
Baru tenggelam. Selain itu, sebagian besar catatan terkait pertanahan di wilayah yang
tersapu gelombang tsunami hilang atau rusak.
Tak hanya itu, tsunami juga melenyapkan titik‑titik batas tanah. Banyak pemilik tanah
hilang tanpa dapat diketahui kabarnya. Badan Pertanahan Nasional, lembaga negara yang
berkewenangan di bidang pertanahan lumpuh karena sebagian besar kantornya hancur
dan 30 persen pegawainya hilang atau meninggal dunia. Belakangan juga diketahui
ternyata hanya 10 persen dari warga yang mengaku memiliki rumah sebelum tsunami
yang dapat menunjukkan sertifikat tanah seperti diatur dalam hukum pemerintah
Indonesia, sebagian besar dimiliki oleh perorangan dan diatur melalui adat.
Persoalan berikut yang cukup pelik adalah menghitung para calon penerima rumah,
Oleh karena itu, rumah yang dibangun mutlak harus memenuhi syarat paling
penting, yaitu tahan gempa. Selain itu, wilayah permukiman harus memiliki prasarana
dan sarana dasar yang dibutuhkan untuk evakuasi dan mitigasi bencana. Baik rumah
maupun perencanaan tata ruang ini pun perlu melibatkan peran serta masyarakat
guna memastikan agar masyarakat nantinya menghuni rumah yang dibangun, punya
rasa memiliki sehingga terus merawat, memelihara serta menyempurnakan rumah dan
wilayah tempat mereka bermukim.
Ketika Tanah Tak Bertuan
Tanah punya nilai penting, baik sebagai pengadaan tanah tersebut dalam bentuk
PERUMAHAN: Membentang Atap Berpilar Asa
Serangkaian tugas berat ini perlu mempertimbangkan satu tugas lagi, yaitu mengelola Idul Fitri pertama pascatsunami
bantuan yang datang dari berbagai belahan dunia yang disalurkan melalui 900 lembaga bagi para penghuni barak
Neuheun, Kabupaten Aceh Besar,
yang mengambil peran dalam rehabilitasi dan rekonstruksi. Kata orang, koordinasi adalah 3 November 2005, tidak bisa tidak,
kata yang mudah diucapkan tetapi sangat sulit untuk dilakukan. Dalam situasi seperti ini, dilalui dengan keprihatinan akibat
koordinasi sangat penting karena jika tidak, beberapa daerah akan dibanjiri bantuan dan duka mendalam bencana tsunami.
Foto: BRR/Arif Ariadi
yang lain tidak. Beberapa kawasan tuntas dalam periode waktu tertentu, yang lain belum.
Beberapa wilayah ditangani dengan pendekatan dan metode tertentu, yang lain dengan
cara dan langkah yang berbeda.
Perbedaan‑perbedaan tersebut mungkin tidak dipandang sebagai keberagaman, tetapi
justru sebagai upaya sengaja melakukan diskriminasi. Di wilayah pascakonflik seperti
Aceh, persepsi seperti ini sangat rawan memicu konflik sosial.
Maka, tak berlebihan menyebut bahwa sektor perumahan dan permukiman
menghadapi pekerjaan dengan tingkat kesulitan yang sukar dicari bandingannya —mulai
dari kesukaran di tingkat perencanaan sampai pelaksanaan, risiko aspek teknis sampai
dampak sosial yang luar biasa besar. Oleh karena itu, sektor perumahan dan permukiman
tidaklah sekadar membangun rumah atau jalan, tetapi juga memberdayakan masyarakat
agar terlibat dalam proses tersebut.
Satu lagi. Semua rehabilitasi dan rekonstruksi perumahan dan permukiman ini harus
selesai dalam waktu empat tahun.
Tak Semudah Menghitung Hidung
PERUMAHAN: Membentang Atap Berpilar Asa
Agar rumah yang dibangun sesuai dengan Secara umum pendekatan penetapan penerima
bantuan dilakukan dengan cara menjadikan korban
kebutuhan, perlu ada data yang akurat dan terkini
(dalam hal ini kepala keluarga) sebagai subjek yang
yang menghitung para calon penerima manfaat.
layak menerima bantuan perumahan. Pendataan
Penetapan penerima bantuan perumahan
calon penerima bantuan perumahan dilaksanakan
menjadi awal dari semua kegiatan rehabilitasi dan
melalui pendekatan berbasis masyarakat desa
rekonstruksi perumahan dan permukiman. Di tahap
karena merekalah pihak yang paling memahami
awal rehabilitasi dan rekonstruksi pada 2005, data
korban yang berhak menerima bantuan serta tempat
calon penerima manfaat diperoleh dari survei yang
tinggalnya sebelum terjadi bencana.
dilakukan oleh LSM Garansi yang bekerja sama
dengan Dinas Sosial Provinsi NAD, United Nations Setiap anggota masyarakat yang merasa sebagai
Development Programme (UNDP), United Nations korban bencana aktif mendaftarkan diri ke KP4D
Information Management Service (UNIMS), United untuk didata dan diverifikasi serta divalidasi. KP4D
6 Nations Humanitarian Information Centre (UNHIC), sendiri melakukan pendataan secara aktif terhadap
dan Badan Pengelola Data Elektronik (BPDE) Dinas korban dan kelayakannya untuk mendapatkan
Informasi dan Komunikasi Provinsi NAD. bantuan. Hasil akhir proses ini adalah berupa daftar
korban yang berhak menerima bantuan perumahan.
Survei dilakukan dengan metode sensus
yang melibatkan struktur formal pemerintahan Daftar tersebut kemudian diumumkan di
khususnya di tingkat desa dan kecamatan, tanpa tempat‑tempat tertentu sebagai bentuk awal uji
melibatkan partisipasi aktif dari masyarakat. Data publik dan selanjutnya dilakukan rembuk warga
yang disampaikan ke Kedeputian Perumahan dan dengan melibatkan sebanyak‑banyaknya warga
Permukiman BRR menunjukkan jumlah kebutuhan masyarakat. Dengan cara demikian diharapkan
rumah yang perlu dibangun dan yang perlu diperbaiki bahwa calon penerima bantuan adalah benar‑benar
per desa berdasarkan jumlah kepala keluarga—tanpa penyintas dari warga setempat yang dikenal oleh
mencantumkan nama korban. masyarakat luas di desa yang bersangkutan.
Pendekatan partisipasi masyarakat yang dilakukan
Data yang dapat digunakan sebagai bahan
dalam pendataan dan verifikasi diakhiri dengan
perencanaan dalam penentuan jumlah kebutuhan
pembuatan suatu berita acara finalisasi data yang
pembangunan atau perbaikan rumah ini tidak
disahkan oleh geuchik, tuha peut, KP4D, kepala desa
memadai untuk pelaksanaan pemberian bantuan
atau lurah, dan camat masing‑masing wilayah.
bidang perumahan. Oleh karena itu, perlu ada
unit yang mengumpulkan data nama‑nama calon Prosedur pendaftaran, pendataan, dan verifikasi
penerima bantuan sekaligus melakukan verifikasi. calon penerima bantuan pada 2006‑2007 adalah
Maka pada 2006, dibentuk Direktorat Prakarsa seperti ditunjukkan dalam gambar berikut di bawah
Pembangunan Partisipatif (P3). Direktorat P3 ini.
dilengkapi dengan suatu struktur yang terdiri atas
petugas‑petugas yang ditempatkan di daerah yaitu Finalisasi pendataan dilakukan sejak akhir
Asisten Manajer Perumahan dan Permukiman di 2006 sampai akhir Mei 2007. Melalui media
tingkat kabupaten/kota dan fasilitator kecamatan massa, diumumkan bahwa pada 20 Mei 2007
yang berhubungan langsung dengan Komite adalah hari terakhir penerimaan data dari desa.
Percepatan Pembangunan Perumahan dan Pada Oktober 2006 dibentuk Komite Verifikasi
Permukiman di Desa (KP4D) dan masyarakat korban dan Penertiban Penerima Manfaat Bantuan
di tingkat desa. KP4D adalah kelompok masyarakat Perumahan (Komvertib). Komite ini bertugas untuk
korban di tingkat desa dengan anggota dari melakukan verifikasi ulang dan penertiban terhadap
unsur‑unsur perangkat desa dan tokoh masyarakat dugaan‑dugaan adanya penyimpangan penerimaan
desa. bantuan perumahan.
Gambar 1.1. Proses Pendataan dan Verifikasi Calon Penerima Bantuan
Masyarakat
Pemohon
Bantuan rumah
Gampong/
Kelurahan KP4D Uji Publik
Penerima 7
Manfaat
Rembuk
Warga
Fascam
Pengumuman
Valid
Asperkim
Direktur
PPP
Berita Acara
Serah Terima
Direktorat
Direktorat
LSM Perencanaan
MK1, MK2, Satker
dan
Pemrograman Kantor Perwakilan
PERUMAHAN: Membentang Atap Berpilar Asa
Pengelolaan barak berada di bawah manajemen pemerintah daerah. Tanggung jawab Mengangkat rangka
operasional barak secara khusus berada di bawah muspika masing‑masing kecamatan, bongkar‑pasang hunian sementara
(huntara) secara bersama‑sama
yang terdiri atas camat, danramil, dan kapolsek. Camat melaporkan kepada bupati/ seusai dirakit, di Neuheun,
wali kota untuk hal‑hal yang tidak mampu diatasi. Gubernur sebagai kepala daerah Kabupaten Aceh Besar, 9 Juni 2006,
bertanggung jawab kepada Menteri Sosial terkait dengan penanganan barak secara menunjukkan betapa tradisi
meuseuraya (gotong‑royong) pada
keseluruhan.
masyarakat Aceh masih belum
Sering kali penghuni barak tidak sepenuhnya adalah warga yang sebelumnya tinggal luntur. Foto: BRR/Bodi CH
di desa tempat barak tersebut berada. Lokasi barak tidak selalu mencerminkan lokasi asal
penghuninya. Selain itu, terdapat barak‑barak yang tidak terletak di daerah tsunami, jauh
dari daerah bencana, seperti di Jantho, Samahani, dan Sibreh di Aceh Besar yang dihuni
sebagian besar oleh pengungsi dari Aceh Jaya.
Secara umum, pada masa tanggap darurat pengorganisasian pengungsi lebih banyak
ditangani atau dikoordinasikan satuan koordinasi dan pelaksanaan (Satkorlak), yang fokus
pada pemenuhan kebutuhan individual sehari‑hari seperti makanan, obat‑obatan, air
bersih, dan sanitasi. Satkorlak juga mengumpulkan data tetapi lebih pada jumlah jiwa,
bukan kepala keluarga, dan sering kali tidak memperhatikan asal usul daerah serta status
tempat tinggal sebelum bencana.
Selain itu, terhitung sejak Januari 2005, para pengungsi di barak mendapatkan bantuan
kehidupan dari Departemen Sosial. Bantuan yang dikenal dengan istilah jatah hidup
(jadup) ini mencakup biaya beras, lauk‑pauk, dan makanan tambahan.
PERUMAHAN: Membentang Atap Berpilar Asa
kayu sehingga lebih kuat dan permanen. Rumah sementara ini pun dapat dirakit dengan
mudah dan cepat serta hanya membutuhkan sedikit orang. Dibandingkan dengan barak
yang bersifat komunal, rumah sementara ini juga lebih baik karena merupakan unit
individual untuk satu keluarga sehingga privasi lebih terjamin.
Di akhir 2005, ditempuh kebijakan untuk memindahkan para pengungsi dari tenda
ke rumah sementara yang didukung oleh IFRC dan dilaksanakan oleh beberapa
organisasi kemanusiaan seperti Palang Merah Indonesia (PMI) dan organisasi‑organisasi
nonpemerintah misalnya Catholic Relief Service (CRS), International Organization for
Migration (IOM), dan United Nations Human Settlements Programme (UN‑HABITAT).
Rumah sementara tersebut pada umumnya didirikan di lokasi yang sama dengan tenda
12
atau di atas bekas pertapakan rumah mereka di atas tanah mereka sendiri. Namun, di
beberapa tempat rumah sementara juga didirikan di atas tanah negara atau tanah publik
untuk menampung mereka yang tidak mendapatkan tempat di barak penampungan.
BRR dan United Nations Office of the Recovery Coordinator (UNORC) terlibat dalam
koordinasi pendistribusian dan pelaksanaan pembangunan rumah sementara tersebut.
Pj. Gubernur Musthafa Abubakar saat itu sangat mendukung pengadaan rumah
sementara, yang mencanangkan bahwa per 1 Juni 2006 Aceh harus bersih dari tenda.
Setelah melalui proses realisasi bantuan, ribuan rumah sementara pun berdiri di Aceh
sejak April 2006.
Di pertengahan September 2006, terjadi demonstrasi di Kantor BRR Aceh yang
melibatkan sekitar 200‑an pengungsi yang dikoordinasikan oleh LSM Forum
Komunikasi Antarbarak (Forak). Salah satu aspirasi yang dikemukakan para demonstran
mengindikasikan perlunya diberikan perhatian lebih besar terhadap masalah perumahan
untuk para penghuni barak. Percepatan pengadaan rumah, khususnya bagi mereka yang
masih tinggal di barak, segera diprogramkan.
Secara khusus, hal ini seakan menyadarkan BRR bahwa strategi melibatkan bidang
sosial budaya dalam program perumahan ternyata kurang efektif pada tingkat
implementasi. Integrasi unsur Kedeputian Agama, Sosial, dan Budaya dalam penyelesaian
masalah transisi dari barak ke rumah perlu dan segera ditingkatkan secara signifikan
dengan dibentuknya tim penyelesaian masalah barak.
Kesadaran ini mempertajam fokus dan memperkuat komitmen BRR.
Pertimbangan‑pertimbangan ini diambil dengan mempertimbangkan kondisi Aceh, yaitu
pascakonflik puluhan tahun dan pascabencana dahsyat yang tak ada bandingnya. Dapat
dibayangkan bahwa situasi batin dan luka menahun yang dirasakan masyarakat Aceh sulit
dipulihkan dengan cepat. Intervensi yang dilakukan BRR, terutama lewat rehabilitasi dan
rekonstruksi di bidang perumahan dan permukiman ini, diharapkan bisa memberikan
Membangun Rumah Baru,
Aman terutama
terhadap gempa
Dapat dilaksanakan
dengan cepat
Dikonsultasikan
dengan warga
Logistik mudah
ditangani Hemat
Bukan rumah tenaga kerja
semi permanen
PERUMAHAN: Membentang Atap Berpilar Asa
14
Tak sedikit rumah bantuan kepada masyarakat Aceh pengalaman‑pengalaman menerima manfaat dan merasakan
telah dibangun di Desa Deah keberhasilan pembangunan. Semua ini diharapkan menjadi batu‑batu fondasi yang kuat dan
Geulumpang, Banda Aceh,
1 November 2008, belum kunjung kokoh bagi masyarakat Aceh. Di atas fondasi inilah nantinya masa depan Aceh dibangun.
dihuni. Kendala seperti ini Oleh karena itu, rehabilitasi dan rekonstruksi di bidang perumahan dan permukiman
telah dipetik hikmah ajarnya
bagi pekerjaan‑pekerjaan tidak terpaku pada penggunaan kacamata yang sempit. Walau ketegasan mandat untuk
serupa pada masa mendatang. merekonstruksi wilayah yang terkena bencana tetap dipegang sebagai pedoman utama,
Foto: BRR/Arif Ariadi fleksibilitas untuk menjangkau wilayah terkait juga dipertimbangkan. Pendekatan yang
lebih meluas dan lebih menyeluruh ini digunakan demi mengurangi kemungkinan
terjadinya kesenjangan antara wilayah‑wilayah terkena bencana dan yang tidak terkena
bencana, terutama yang berisiko tinggi menimbulkan konflik baru.
Pendekatan yang lebih meluas dan menyeluruh tersebut juga menjadi alasan mengapa
rehabilitasi dan rekonstruksi di bidang perumahan dan permukiman menjangkau
kantong‑kantong kemiskinan. Jangan sampai upaya rehabilitasi dan rekonstruksi
ini justru menanam benih‑benih yang nantinya akan tumbuh sebagai kesenjangan
sosial, sehingga berpotensi merusak apa yang sudah terbangun kembali—baik secara
fisik maupun nonfisik. Para pegiat lembaga nonpemerintah atau lembaga swadaya
masyarakat (LSM) yang terjun dan bersentuhan langsung dengan masyarakat mengambil
keputusan secara arif bersama masyarakat untuk mencegahnya.
Pendekatan seperti ini tidak berarti semuanya tidak terencana atau serba asal.
Menetapkan Pedoman
Pascabencana, Aceh rusak berat. Rumah, sekolah, gedung‑gedung, berbagai fasilitas
umum, jalan, jembatan, pelabuhan, dan infrastruktur lainnya remuk redam. Dari
semua ini, bagian paling mendesak dan vital adalah perumahan atau lebih tepatnya
permukiman.
Secara konkret, dalam pengertian kasat mata, hal‑hal di atas yang perlu direhabilitasi
dan direkonstruksi. Upaya membangun kembali wilayah, kota, kawasan dan lingkungan
permukiman yang rusak akibat bencana gempa dan tsunami ini diarahkan sehingga
masyarakat dapat segera melakukan aktivitasnya dalam kondisi lebih baik dan aman dari
bencana. Ini yang ingin dicapai dalam pemulihan tata ruang pascabencana.
Akan tetapi, aman dari bencana bukanlah tujuan satu‑satunya. Aceh ingin dibangun
sedemikian rupa sehingga kondisi lingkungan kehidupannya menjadi lebih baik.
Lebih baik di sini bukanlah diukur dari indikator fisik atau rekayasa teknik belaka. Lebih
jauh dari itu, pembangunan demi mencapai yang lebih baik ini berpegang pada prinsip Bak penampungan limbah rumah
pembangunan berkelanjutan. Prinsip pembangunan berkelanjutan ini mengutamakan tangga di Leupung, Kabupaten Aceh
Besar, 4 November 2006, salah satu
keseimbangan antarsejumlah aspek, antara lain keseimbangan antara pertimbangan
unsur prasana dan sarana dasar
ekonomi, sosial serta lingkungan dan pembangunan antar dan intragenerasi. (PSD) untuk menciptakan hunian
lebih sehat. Foto: BRR/Arif Ariadi
Dua Saku dalam Membangun
Perumahan dan Permukiman
PERUMAHAN: Membentang Atap Berpilar Asa
kepada pelaksana
Satker Pusat/Regional, Program RRHS/KfW-Gitec: 19
Hibah Luar Negeri ± 46 juta euro
(MDF, ADB, JFPR-SUHA):
± Rp 7,5 triliun
Budget
20
Deretan rumah di Kabupaten Tidak hanya itu, pelaksanaan berbagai aspek pembangunan bidang sumber daya alam
Simeulue, 2 April 2009, kini dan lingkungan hidup yang berkelanjutan ini juga perlu mempertimbangkan aspek
telah dilengkapi sarana
pendukung lainnya, antara lain penggunaan teknologi terkini, tepat guna, dan ramah
bak penampungan air
bersih. Foto: BRR/Arif Ariadi lingkungan. Keseimbangan ini acapkali tak mudah diterapkan di lapangan, tetapi inilah
yang terus‑menerus diupayakan.
Langkah‑langkah tersebut diarahkan untuk mencapai visi rehabilitasi dan rekonstruksi,
khususnya bidang perumahan dan permukiman, yakni mewujudkan kawasan
permukiman di daerah yang terkena bencana sebagai tempat tinggal yang lebih baik
bagi keluarga korban bencana gempa bumi dan tsunami.
Sedangkan di tingkat lebih konkret dan operasional, misi yang ingin dicapai adalah
melaksanakan proses rehabilitasi dan rekonstruksi bidang perumahan dan permukiman
secara efektif dan efisien, baik melalui pelaksanaan langsung pembangunan yang
didanai secara on‑budget, yaitu melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)
maupun melalui koordinasi dan fasilitasi mitra kerja nonpemerintah Indonesia yang
dananya bersumber dan dikelola oleh mereka sendiri (non‑APBN atau off‑budget).
Semua ini ibarat bintang penunjuk arah yang dijadikan pegangan BRR dalam
menggerakkan roda proses rehabilitasi dan rekonstruksi di Aceh. Inilah yang dijadikan
pedoman demi membangun yang lebih baik.
Menyusun Kebijakan yang Bijak
Membangun Kembali
dengan Strategi Tak Ada Kayu,
Rehabilitasi dan rekonstruksi di Aceh dan Nias berjalan Baja pun Jadi
dengan berpegang pada serangkaian strategi yang
Rehabilitasi dan rekonstruksi besar‑besaran akan
dijabarkan berikut ini. Pertama, memantapkan proses
berakibat pada meroketnya kebutuhan bahan dan
pengambilan keputusan partisipatif dan berkeadilan. materi bangunan, salah satunya kayu. Jika kebutuhan
Agar proses ini bisa tercapai, dilakukanlah pemberdayaan ini tidak dipenuhi, selain harga meningkat pesat,
dan partisipasi aktif masyarakat dengan seluas‑luasnya. muncullah praktik‑praktik tercela seperti penyelundupan
atau pembalakan liar. Oleh karena itu, BRR pun perlu
Agar kelompok‑kelompok masyarakat yang rentan dan memutar otak agar rehabilitasi dan rekonstruksi di
kaum cacat tidak dimarginalkan dari proses rehabilitasi bidang perumahan dan permukiman tidak merugikan
dan rekonstruksi serta harus mendapatkan manfaat lingkungan hidup.
seluas‑luasnya. Selain itu, agar seluruh proses berlangsung Solusi yang muncul ke permukaan, selain
transparan, maka masyarakat terlibat dalam keseluruhan menetapkan syarat ketat untuk kayu yang digunakan,
adalah menggunakan rangka baja prafabrikasi. Selain
proses, antara lain melalui community self assessment.
tahan gempa, baja juga tahan api dan tahan cuaca
Kedua, rencana tata ruang disusun bersama‑sama (tidak keropos). Kelemahan potensialnya, yaitu korosi
jika kena air dan udara lembab bisa diatasi dengan
dengan masyarakat. Penyusunan rencana tata ruang ini
mudah dengan melapisinya dengan bahan antikarat di
dilakukan lewat empat langkah. Keempat langkah itu pabrik (galvanished).
meliputi pelibatan masyarakat mulai dari mengidentifikasi Solusi rekayasa teknik ini tak hanya menyelesaikan
daerah dan kawasan yang dapat ditempati kembali dan masalah rehabilitasi dan rekonstruksi secara teknis,
yang tidak dapat ditempati kembali sampai pembersihan tetapi juga masalah lingkungan hidup serta masalah
puing‑puing. sosial.
PERUMAHAN: Membentang Atap Berpilar Asa
22
Baharuddin, Geuchik Lamtutui, Selain itu, dilakukan juga fasilitasi penentuan kembali kebutuhan dan perencanaan
Kabupaten Aceh Besar, bersama prasarana dan sarana dasar pada kawasan yang terkena bencana. Bagi mereka
para fasilitator desa mendata
warganya yang selamat dari prahara yang kehilangan lahan akibat tsunami, dilakukan pengalokasian lahan dengan
tsunami terkait bantuan rumah, mempertimbangkan tata letak permukiman sementara serta preferensi mereka. Selain
7 Agustus 2006. Foto: BRR/Arif Ariadi itu, dilakukan juga pengumpulan informasi, identifikasi, dan penyusunan kembali
rencana tata ruang kawasan permukiman melalui partisipasi masyarakat dalam rangka
membangun kepercayaan masyarakat pada proses rekonstruksi.
Strategi ketiga adalah menetapkan status kepemilikan lahan dan peruntukannya.
Strategi ini juga melalui peningkatan peran masyarakat. Masyarakat terlibat dalam
penelusuran status dan pemetaan kepemilikan lahan bersama Badan Pertanahan
Nasional berdasarkan pemilik lama. Selain itu, difasilitasi juga berbagai solusi inovatif
untuk pensertifikatan, penerbitan sertifikat tanah sementara, dan penerbitan sertifikat
tanah secara kolektif, land readjustment dan konsolidasi tanah.
Selain itu, strategi keempat adalah melakukan penataan ruang kawasan permukiman
dalam rehabilitasi dan rekonstruksi dalam batas suatu ruang kawasan permukiman, yang
diharapkan bisa lebih cepat, murah, mudah, dan sederhana dalam implementasinya.
Pendekatan yang digunakan adalah perencanaan partisipatif dimulai dari penataan
Bersakit‑sakit Dahulu,
Bersenang‑senang Kemudian
Tenda Pengungsi
24
Hunian Sementara/Barak
Bagian 2. Ikhtiar Membangun Kembali menjadi Lebih Baik
Konsep Merumahkan Penyintas Bencana
Dari tenda darurat ke hunian sementara
Kemudian permukiman dengan Kelengkapan Prasarana
dan Sarana Dasar (PSD).
Infrastruktur
• Air Bersih
• Jalan dan Jembatan
• Drainase
• Sanitasi
Lahan dan Lingkungan • Listrik 25
• Pembersihan Lahan
• Rehabilitasi Lingkungan
Fasilitas Umum
• Sekolah Pengembangan Ekonomi
• Puskesmas • Pasar
• Lapangan Kerja
Permukiman Baru
skala lingkungan yang mengacu pada rencana tata ruang sebelum bencana, rencana
Perencanaan Desa
Salah satu faktor yang menyebabkan tingginya angka korban meninggal atau cedera
akibat tsunami adalah karena desa tempat mereka tinggal tidak memiliki akses yang
cepat dan lancar menuju tempat menyelamatkan diri. Oleh karena itu, rehabilitasi dan
rekonstruksi bidang perumahan dan permukiman perlu memastikan agar desa‑desa
tersebut ditata dengan baik sehingga proses evakuasi bencana bisa berjalan lancar
dengan jumlah korban seminimal mungkin. Inilah pentingnya perencanaan desa.
Lalu siapakah yang mesti merencanakan desa? Tak lain dan tak bukan adalah Peta perencanaan desa yang disusun
masyarakat setempat sendiri. Merekalah yang mengetahui situasi sebelum, pada saat dan warga Kampung Jawa, Banda Aceh,
28 Agustus 2005, salah satu upaya
setelah bencana terjadi. Mereka adalah aktor utama dalam mitigasi bencana. menumbuhkan keterlibatan proaktif
masyarakat. Foto: BRR/Bodi CH
Perencanaan desa ini tak hanya penting untuk memastikan desa mereka tahan gempa.
Perencanaan desa ini juga merupakan proses tempat warga merencanakan masa depan
mereka. Desa bukanlah sekadar tempat mereka meluruskan badan dan beristirahat
PERUMAHAN: Membentang Atap Berpilar Asa
setelah mencari nafkah, tetapi di sinilah mereka berinteraksi dengan sesama warga,
merembukkan masa depan mereka, serta membangun mimpi dan harapan mereka.
Bagaimana dan seperti apa permukiman berkembang menjadi dasar merealisasikan
angan‑angan mereka akan masa depan yang lebih baik.
Penyusunan perencanaan desa di awal masa rehabilitasi dan rekonstruksi juga diyakini
sebagai salah satu cara mengatasi trauma bagi para penyintas yang tertekan secara
psikologis karena harta hancur atau hilang, juga karena keluarga dan kerabat lenyap
atau meninggal dunia. Melibatkan mereka dalam proses perencanaan diharapkan bisa
menghindarkan perasaan meratapi secara berkepanjangan situasi akibat bencana.
30 Selain itu, perkembangan desa semestinya berkembang berbeda antara satu desa dan
desa lainnya. Perencanaan desa yang baik tentunya mempertimbangkan aspek‑aspek
kehidupan sosial dan lingkungan. Permukiman nelayan misalnya, tentu berbeda
dengan permukiman petani. Bahkan sesama permukiman nelayan pun semestinya
tak sama dengan permukiman nelayan lainnya, karena masing‑masing punya sejarah
lokal yang berbeda. Kebutuhan masing‑masing kawasan berbeda, rancangan arah
perkembangannya pun wajar berbeda.
Tak hanya itu, perencanaan desa yang dilakukan sendiri oleh warganya diyakini
mampu menghindarkan konflik antarwarga. Setiap batas, setiap patok, setiap pagar yang
didirikan direncanakan dan disepakati oleh warga sendiri. Karena ada konsensus bersama,
diharapkan proses penentuan lahan juga mengantongi legitimasi sosial yang kuat. Hal ini
menjadi bekal yang kokoh demi memastikan hubungan kohesif antarwarga.
Tambahan lagi, bersama‑sama merancang desa menjadi modal sosial. Warga yang
terbiasa untuk berembuk, bersikap terbuka satu dengan lainnya, bersedia mendengarkan
pendapat dan masukan warga lain, berupaya secara bersama‑sama mencari jalan
keluar, saling bernegosiasi dengan rasional, berkompromi demi kemaslahatan bersama,
dan mencapai konsensus yang diterima dengan lapang dada diharapkan akan
mampu mengatasi masalah bersama‑sama pula. Jika ada hal‑hal yang mempengaruhi
perkembangan desa mereka, warga akan terbiasa untuk mencari jalan keluar
bersama‑sama demi kebaikan bersama juga.
Menggunakan pendekatan berbasis pada masyarakat setempat berarti menempatkan
masyarakat sebagai subjek dalam proses perencanaan dan pelaksanaan rehabilitasi dan
rekonstruksi pascabencana. Dengan pendekatan seperti ini, masyarakat memegang
peranan penting untuk membangun kembali desanya yang rusak bahkan hancur.
Pendekatan seperti ini juga diyakini bisa memastikan agar warga punya rasa memiliki
pada desanya dan merawat hasil‑hasil pembangunan yang dihasilkan oleh desanya
sendiri.
Bagian 3. Membangun Harapan dan Masyarakat
31
32
Sebagai bagian pembangunan panduan merehabilitasi dan mengonstruksi desa yang rusak bahkan hancur. Idealnya,
berbasis masyarakat, fasilitator perencanaan desa ini memiliki visi yang jauh ke depan, yakni sampai 10‑20 tahun ke
desa turun ke lapangan mengajak
warga Desa Deah Glumpang, depan.
Kecamatan Meuraxa, Banda Secara umum, proses perencanaan desa bermula dari pemetaaan tanah. Pada proses
Aceh, 9 September 2005, untuk
membuat peta perencanaan desa pemetaan tanah inilah, batas‑batas kaveling individu, batas tanah milik bersama,
mereka. Foto: BRR/Arif Ariadi batas kawasan lindung sampai batas desa diukur dan digambar di atas peta. Proses
ini sepenuhnya bersifat partisipatif—dilakukan oleh warga. Pelibatan warga ini tidak
hanya secara normatif tetapi betul‑betul dilakukan secara teknis oleh warga yang turun
langsung ke lapangan.
Sebetulnya ada dua metode yang bisa digunakan, yakni pemetaan konvensional
(dengan standar pemetaan geodetik) dan pemetaan non‑konvensional (dengan alat
sederhana: kompas dan pita meter). Persoalannya, pemetaan konvensional memerlukan
waktu yang relatif lama dan tenaga ahli. Pemetaan non‑konvensional justru sebaliknya:
hasil cepat, namun untuk kepentingan sertifikasi memerlukan pemetaan ulang.
Setelah menimbang sejumlah kelemahan dan keunggulan di atas, diputuskan untuk
menggunakan metode pemetaan inkonvensional secara luas. Pertimbangannya, metode
ini dapat secepatnya menjangkau wilayah bencana yang luas, penyediaan tenaga
pelaksana yang relatif mudah. Persoalan sertifikasi diserahkan pada proses selanjutnya di
kemudian hari.
Nantinya, keluaran dari perencanaan desa ini adalah tersedianya dokumen
perencanaan yang bersifat spasial atau tata ruang khususnya di wilayah perumahan atau
permukiman yang terkena bencana.
Pendataan
(verifikasi)
penerima bantuan
PERUMAHAN: Membentang Atap Berpilar Asa
2 Pengadaan jasa
1
Pengorganisasian konstruksi
3
masyarakat, dan jasa
pemetaan tanah konsultan
dan village planning perencanaan/
pengawasan
Dari Masyarakat
Kembali
34
Ke Masyarakat
Serah terima
rumah
6
ke masyarakat,
4 Pelaksanaan
pembangunan/
konstruksi
dan pengawasan
5
dan PSD rumah
ke Pemda
Penyediaan
prasarana dan
sarana dasar
permukiman
Faktor lain, perencanaan desa ini belum cukup dikenal dalam khazanah perencanaan
tata ruang di Indonesia, karena ahli yang tersedia tak cukup banyak. Proses perencanaan
yang partisipatif itu membutuhkan waktu yang lama, sehingga membuat warga tidak
sabar mengikuti proses.
Selain itu, sering kali kesepakatan yang dibuat di desa tidak melibatkan seluruh warga,
karena sebagian mengungsi atau pindah sementara. Akibatnya, ketika mereka yang dulu
pergi kemudian kembali, mereka tidak selalu bisa menerima hasil konsensus yang dicapai
oleh sebagian yang tinggal di desa.
Konsensus juga berubah bukan saja karena keluar masuknya warga, tetapi karena
masuknya informasi baru. Ada sebagian desa yang awalnya telah mencapai kata sepakat
soal lahan yang dikontribusikan untuk kepentingan umum seperti jalan, sekolah, dan
sebagainya ketika ada informasi bahwa pembebasan lahan tersebut mendapatkan biaya
dengan jumlah tertentu, maka komitmen warga pun berubah.
Tambahan lagi, perencanaan dan pembangunan sering kali tidak berjalan berurutan. Di
beberapa tempat, proses perencanaan desa berlangsung pada saat pembangunan rumah
sudah berjalan. Ada juga sejumlah kontraktor yang mengabaikan perencanaan desa.
Akibatnya karena pembangunan sudah berlangsung, maka aspirasi warga sulit untuk
diakomodasi.
Akan tetapi, lepas dari tantangan di atas, hasil pelaksanaan pemetaan dan perencanaan
desa ini cukup menggembirakan. Berdasarkan hasil pemantauan dan evaluasi yang
diadakan di BRR, 346 desa di seluruh Aceh menggunakan pendekatan perencanaan desa.
Buah manis dari jerih payah mengupayakan perencanaan desa berbasis komunitas
ini memang baru akan dirasakan jelas beberapa tahun ke depan. Akan tetapi, buah jerih
payah tersebut niscaya sungguhlah terasa manis. Angka tersebut menunjukkan hampir
PERUMAHAN: Membentang Atap Berpilar Asa
350 desa di Aceh menjalani “eksperimen” berharga, yaitu berlatih membangun komitmen
dan menentukan nasib sendiri.
Hasil dari perencanaan desa ini dimanfaatkan pula oleh unit‑unit lain seperti Direktorat
Manajemen Konstruksi/Rancang Bangun dan Direktorat Infrastruktur Permukiman
sebagai dasar untuk penempatan rumah maupun merancang detailed engineering design
(DED) prasarana atau infrastruktur di kawasan perumahan yang akan dibangun.
Hal ini sangat menggembirakan mengingat perencanaan desa menggunakan
pendekatan partisipatif seperti ini belum menjadi arus utama. Di berbagai desa di seluruh
Indonesia saja, pendekatan ini belum banyak dilakukan, apalagi di daerah pascakonflik
36 dan pascabencana seperti Aceh. Keberhasilan Aceh menerapkan perencanaan desa,
sekalipun punya sederetan pengalaman masa lalu yang pahit, patut mendapat acungan
jempol. Perencanaan desa mensyaratkan satu modal utama yang luar biasa besar, yakni
rasa percaya. Orang mudah melontarkan kata ini, tetapi sangat sukar dipegang. Lewat
rasa percaya yang terbangun, masyarakat Aceh berhasil melepaskan beban masa lalu
demi masa depan yang lebih baik.
kegiatan yang perlu dilaksanakan, manfaat pelaksanaan kegiatan, urutan prioritas Dari udara, 23 Juni 2007, terlihat
pelaksanaannya dan sebagainya. kawasan Desa Lambung, Meuraxa,
Banda Aceh, kini tertata dengan
KSF‑AP ini fokus pada kebutuhan infrastruktur, lingkungan dan ekonomi pedesaan, baik. Foto: BRR/Arif Ariadi
serta keterkaitan antarpermukiman dan pedesaan. KSF‑AP memungkinkan agar proyek
dan program yang sudah diidentifikasi dipertajam menjadi desain yang lebih detail.
Detail‑detail ini penting sebagai dasar pelaksanaan fisik nantinya.
Mengapa kecamatan? Dalam rencana tata ruang, kecamatan menjadi satuan
wilayah administratif yang penting. Ini karena kecamatan merupakan pemersatu unit
pembangunan wilayah‑wilayah pedesaan. Dengan demikian, perencanaan desa yang
dilakukan di desa satu dengan desa lainnya bisa diintegrasikan dalam satu wadah di
tingkat kecamatan. Ini yang membuat kecamatan menjadi ujung tombak pelaksanaan
rekonstruksi. Selain itu, kecamatan juga merupakan bagian dari skenario pengembangan
wilayah kabupaten.
Oleh karena itu, perlu ada panduan pelaksanaan rekonstruksi yang akurat di tingkat
kecamatan yang mengacu pada rencana tata ruang di hierarki yang lebih tinggi.
Selanjutnya, proyek dan program ini perlu dimutakhirkan untuk menyesuaikan dengan
perubahan kondisi dan kebijakan perencanaan kabupaten yang senantiasa berkembang.
PERUMAHAN: Membentang Atap Berpilar Asa
38
Rumah‑rumah baru di Alue Naga, Serupa dengan perencanaan desa, KSF‑AP dipersiapkan melalui partisipasi dari
Banda Aceh, 3 April 2009, kini masyarakat dan pihak terkait lainnya di tingkatan kecamatan dan dinas atau instansi
dikelilingi tanggul untuk melindungi
abrasi sungai. Foto: BRR/Arif Ariadi lainnya di tingkat kabupaten dan provinsi termasuk BRR.
KSF‑AP ini sendiri terus‑menerus mengalami penyempurnaan khususnya dari aspek
cakupan, bentuk, dan kedalaman. Sebelumnya pada 2006, inisiatif ini dikenal dengan
nama kecamatan action plan (KAP). KAP ini hanya mencakup wilayah kecamatan yang
terkena bencana parah. Titik berat rencana aksi ini pun sebatas mengidentiikasi proyek
rehabilitasi dan rekonstruksi di bidang infrastruktur dan mata pencaharian. Ini semua agar
kehidupan warga cepat kembali normal.
Setelah KAP ini tuntas, BRR mengalami sederetan proses pembelajaran yang
memberi kontribusi penting pada penyempurnaan rencana aksi ini. Sebagian kalangan
berpandangan bahwa perlu ada analisis yang lebih mendalam. Artinya, rencana teknis
ini tidak lagi sebatas merekomendasikan rehabilitasi dan rekonstruksi infrastruktur
yang rusak dalam jangka panjang. Rekomendasi sebaiknya diberikan pada rehabilitasi
dan rekonstruksi infrastruktur yang bernilai strategis untuk mengembangkan wilayah
dalam jangka menengah dan panjang. Karena itu, perlu analisis yang lebih mendalam
dan menyeluruh sampai ke tingkat kecamatan dan kabupaten. Dalam perjalanannya,
penyempurnaan ini diintegrasikan dalam KAP tahap II, yang kemudian disebut sebagai
KSF‑AP.
KSF‑AP menghasilkan keluaran utama berupa identifikasi proyek strategis dalam
bidang infrastruktur dan mata pencaharian pada satu kecamatan. Hal ini ditopang
dengan analisis tingkat kabupaten dengan penajaman di tingkat kecamatan, mengenai
Hasil identifikasi proyek‑proyek strategis ini pun dilengkapi dengan project sheets, yang
berfungsi sebagai prastudi kelayakan.
Jadi, KSF‑AP ini pada dasarnya merupakan program yang memadukan perencanaan
bottom up yang melibatkan masyarakat melalui konsultasi publik yang ekstensif, seperti
yang diperoleh lewat perencanaan desa yang partisipatif dan berbasis komunitas.
Perencanaan dari masyarakat ini bertemu dengan pendekatan elemen top down dari
rencana pembangunan yang ada untuk mengidentifikasikan kebutuhan utama dan
meningkatkan kualitas pengambilan keputusan dalam pembangunan wilayah kecamatan.
Proses penyusunan KSF‑AP pun mebuahkan hasil yang menggembirakan. Gelombang
I berhasil menjangkau 19 kecamatan, gelombang II ada 28 kecamatan yang dijangkau,
sedangkan gelombang III dari program ini berhasil menyentuh 16 kecamatan. Total
ada 63 kecamatan yang masuk dalam cakupan program ini. Kecamatan‑kecamatan
ini kebanyakan tersebar di wilayah yang memiliki tingkat kerusakan dahsyat terkena
bencana atau memerlukan rencana teknis untuk mengganti keberadaan rencana umum
atau rencana detail tata ruang.
Inisiatif KSF‑AP yang sepenuhnya didukung dan dibiayai oleh dana hibah Bank
Pembangunan Asia melalui program Earthquake and Tsunami Emergency Support Project
(ETESP) ini memiliki nilai penting tersendiri karena menjadi basis data perencaan dan
42
Keluarga ini adalah warga penyintas Hak atas tanah ini menjadi salah satu elemen kunci pada proses rehabilitasi dan
di Neuheun, Kabupaten Aceh Besar, rekonstruksi di Aceh dan Nias. Hal ini tertera tegas dalam Rencana Induk yang disahkan
yang menerima bantuan rumah,
11 Januari 2008. Foto: BRR/Arif Ariadi Pemerintah Indonesia melalui Perpres No. 30/2005 pada April 2005. Dokumen inilah
yang menjadi pegangan BRR dalam bekerja. Mengingat tantangan‑tantangan yang ada,
penegaskan akan hak masyarakat atas tanah milik mereka disadari tidak akan semudah
membalikkan telapak tangan.
Akan tetapi, permasalahan atas tanah justru menjadi kunci utama rehabilitasi dan
rekonstruksi pascabencana. Hal ini penting karena di atas tanah‑tanah tersebut, akan
dibangun rumah‑rumah yang diperuntukkan bagi para penyintas yang juga menjadi
penerima manfaat dari upaya rehabilitasi dan rekonstruksi ini. BRR pun meyakini bahwa
pengakuan hukum yang penuh terhadap tanah juga bangunan yang didirikan di atasnya
menjadi satu hal yang perlu dan mutlak harus dilakukan.
Namun mengeluarkan sertifikat pada penyintas yang jumlahnya mencapai angka 400
ribu hanya di Provinsi NAD ini bukan hal gampang. BPN sebagai lembaga negara yang
berkewenangan di bidang pertanahan boleh dibilang lumpuh karena sebagian besar
kantornya hancur dan 40 pegawainya hilang atau meninggal dunia. Jadi mereka yang
mestinya punya sertifikat pun tak lagi bisa memegang lembaran kertas yang dijadikan
bukti kepemilikan atas tanah lantaran berkas‑berkas di BPN rusak maupun basah.
Untuk menjamin hak atas tanah ini, negara‑negara sahabat ikut membantu.
Salah satunya adalah Jepang yang membantu dengan membangun fasilitas untuk
mengeringkan dokumen sedemikian rupa sehingga tinta maupun kertas sertifikat tidak
SERTIFIKAT
UU Perkawinan pada 1974 misalnya, Selain itu, JLT menegaskan status Pasangan suami istri warga Leupung,
mengatur pula pembagian tanah tanah sebagai properti perkawinan. Kabupaten Aceh Besar, penyintas
perkawinan, apabila suami‑istri bercerai, JLT menjamin posisi perempuan dan tsunami yang menerima Sertifikat
tanpa memandang nama siapa—pihak semua anggota keluarga dalam proses Kepemilikan Bersama atas Tanah
suami atau pihak istri—yang tercantum pengambilan keputusan keluarga. (Joint Land Titling), 11 Januari 2008.
dalam catatan sertifikat kepemilikan Adanya pengakuan formal terhadap hak Foto: BRR/Arif Ariadi
tanah. Dalam kasus‑kasus ketika suami perempuan atas tanah berimplikasi juga
atau istri tak mampu membayar utang bagi peran perempuan yang strategis
dan terpaksa menjual tanah, maka dalam pembangunan sosial dan ekonomi
notaris atau pejabat pembuat akta tanah masyarakat.
(PPAT) yang berperan untuk melakukan Hal ini karena kepemilikan tanah
investigasi, untuk memastikan bahwa baik menyediakan keuntungan ekonomi
suami maupun istri sama‑sama setuju secara langsung sebab ia merupakan
bahwa tanah yang merupakan harta milik sumber penghasilan baik melalui
perkawinan mereka dijual. penyewaan, penjualan, atau jaminan
Jika demikian, apa yang menyebabkan kredit investasi dan konsumsi. Sering kali
JLT menjadi catatan tersendiri? Hal ini kaum perempuan tidak mampu berbagi
karena JLT secara tegas menyatakan keuntungan tersebut, jika mereka tidak
keberpihakannya yang berimbang mampu berbagi hak atas tanah secara
kepada perempuan dengan memberikan formal. Hanya dengan sertifikat bersama
perlindungan atas hak perempuan atau mandiri sajalah bahwa perempuan,
secara eksplisit. Dengan JLT ini maka hak laki‑laki, dan anak‑anak akan dapat
perempuan secara nyata dijamin. terjamin akses dan kontrolnya atas
penghasilan yang berasal dari tanah.
Kebijakan sertifikat bersama ini Kedua, BPN yang bertanggung jawab
diluncurkan secara resmi oleh BRR dan dalam implementasi program JLT dan akan
Badan Pertanahan Nasional (BPN) pada menerbitkan sertifikatnya.
19 September 2006. Sertifikat bersama
Ketiga, pengadilan Syariah yang menjadi
PERUMAHAN: Membentang Atap Berpilar Asa
50
Sebuah rumah bantuan di Sebagai pelaku ReKompak, masyarakat wajib menerapkan prinsip akuntabilitas
Bayu, Kuta Makmur, Kabupaten dalam proses pengambilan keputusan serta pengelolaan kegiatan dan keuangan.
Aceh Utara, 29 November 2005,
sedang dalam proses Penerapan prinsip akuntabilitas harus ditaati secara konsisten oleh semua pelaku tanpa
pembangunan. Foto: BRR/Arif Ariadi terkecuali, dengan membuka diri terhadap audit, pertanyaan dan gugatan terhadap
pengambil keputusan yang terkait dengan kepentingan umum. Karena itu, semua proses
pengambilan keputusan harus dilakukan secara partisipatif dan demokratis dengan
melakukan beberapa kegiatan seperti konsultasi publik dan sosialisasi, proses sanggahan,
rembuk warga serta pemeriksaan atau audit dari pihak yang diberi kewenangan untuk itu.
Di Aceh sendiri, desa‑desa yang masuk dalam cakupan program ReKompak mencapai
130 desa di 42 kecamatan dan 15 kabupaten‑kota. Lingkup program ReKompak sendiri
mencakup dua bentuk bantuan kepada kelompok sasaran, yaitu berupa bantuan dana
rumah (BDR) dan bantuan dana lingkungan (BDL). BDR ini sendiri terdiri atas bantuan
dana rumah rekonstruksi (untuk mereka yang rumahnya hancur atau rusak berat)
dan bantuan dana rehabilitasi (untuk yang rumahnya rusak ringan hingga sedang).
Sedangkan bantuan dana lingkungan diberikan untuk melakukan perbaikan atau
pembangunan prasarana lingkungan. Jenis dan kegiatannya diputuskan sendiri oleh
masyarakat melalui musyawarah.
Ramai‑Ramai Membangun Kembali
Pendekatan rehabilitasi dan (2) District management consultant (DMC )
dan Jawa. Kondisi lokasi yang terpencil juga membuat sebagian tukang kabur sebelum
kontraknya habis.
Berkaca pada hal‑hal di atas, maka pendekatan penggunaan kontraktor disadari lebih
bersifat top down ketimbang melibatkan partisipasi masyarakat. Desakan waktu dan
besarnya aspirasi masyarakat untuk segera punya atap di atas kepala menjadi salah
satu pertimbangan. Oleh karena itulah, pendekatan top down tetap dilakukan, seraya
mengombinasikannya dengan cara‑cara yang lebih bersifat bottom up dan partisipatif.
Pendekatan yang bersifat top down ini juga diambil BRR untuk melakukan rekonstruksi
dan rehabilitasi di wilayah‑wilayah dengan pihak penerima manfaat yang tidak bisa
diidentifikasi secara tegas, karena berbagai kendala seperti proses verifikasi dan mobilitas
54
di kalangan para penyintas. Maka, pada saat daftar pihak penerima manfaat lebih bersifat
“abu‑abu” daripada hitam di atas putih yang tegas, maka BRR pun mengambil sikap yang
konsisten. Dalam situasi seperti ini, pembangunan rumah dan prasarananya tak bisa
menunggu.
Menyadari bahwa dua variabel penting—jumlah penerima manfaat dan jumlah “bersih”
(seraya memperhitungkan risiko kegagalan yang mungkin dihadapi para kontraktor
“baru”) rumah yang dibangun—bergerak terus dari waktu ke waktu, maka BRR harus
mengambil sikap dalam situasi yang kritis. Di lain pihak, sasaran revisi Rencana Induk
sebesar 139.195 rumah telah tertulis.
Di lapangan, bila BRR berhadapan dengan pilihan untuk membangun rumah dalam
jumlah kurang atau lebih dari sasaran. BRR memilih tidak membangun dalam jumlah
kurang. Pilihan ini diambil mengingat risiko membangun dengan jumlah lebih banyak
dinilai lebih kecil dibanding membangun dengan membangun dalam jumlah kurang dari
perkiraan jumlah penerima manfaat.
Rehabilitasi dan rekonstruksi di bidang perumahan dan permukiman memakai
pendekatan lebih luas dan lebih menyeluruh dengan memperhatikan fakta pragmatis
besarnya bantuan. Di sisi lain, ekspektasi masyarakat atas rehabilitasi dan rekonstruksi
begitu tinggi. Kombinasi faktor‑faktor di atas lewat perwujudan rumah bantuan
dipandang sebagai batu‑batu fondasi yang kokoh menuju transformasi masyarakat yang
berkelanjutan.
Dengan dana hibah ADB melalui program Information Liaison Officer, yang berperan mengidentifikasi
dan inventarisasi subyek penerima bantuan (korban
Earthquake and Tsunami Emergency Support
gempa bumi dan tsunami yang memenuhi syarat);
Project, pada 2007 disusunlah outline plan mengklarifikasikan dan verifikasi data subyek penerima
Kota Baru Beuramoe ini. Kota Baru Beuramoe bantuan; mengadministrasi seluruh dokumen yang berkaitan
dirancang dengan sebagai kota satelit dari Banda dengan kegiatan relokasi; melakukan koordinasi dengan
seluruh pihak terkait (pemerintah daerah, pembangun rumah)
Aceh yang memiliki sentra‑sentra pelayanannya sehingga kegiatan dapat berjalan secara terintegrasi atau
sendiri. terpadu.
Kota Baru Beuramoe ini sungguh program Data Entry Operator: yang berperan melaksanakan data
relokasi berskala raksasa. Tidak main‑main, total input dan meng‑update perubahan data.
luas areal permukiman baru di lokasi tersebut Administrasi/Keuangan, yang berfungsi
mencapai 140 hektare. Di wilayah ini, konsentrasi mengadministrasikan segala surat/memorandum/surat tugas
yang masuk/keluar dari/ke Relocation Center mengoordinasi
penduduk mencapai 2.500 kepala keluarga. Di segala keperluan masing‑masing staf; mengadministrasikan
masa mendatang, kawasan ini diperkirakan akan segala transaksi keuangan Relocation Center.
berkembang pesat menjadi salah satu pusat
permukiman baru.
Oleh karena itu, disiapkan pula daya dukung pelayanan publik yang cukup besar untuk
memenuhi kebutuhan kehidupan penduduk di kawasan tersebut seperti pengolahan
air. Fasilitas sosial lain yang telah tersedia adalah gedung Taman Kanak‑kanak, gedung
PERUMAHAN: Membentang Atap Berpilar Asa
sekolah yang dapat dimanfaatkan untuk Sekolah Dasar atau Sekolah Menengah Pertama,
los pasar (2 lokasi), Puskesmas Pembantu, ruang atau balai pertemuan (3 buah), masjid,
dan taman bermain.
Di sekitar kawasan tersebut juga terdapat sejumlah potensi mata pencaharian, baik
yang berbasis laut (tambak, perikanan tangkap) maupun darat (madu, pembuatan bata
dan gerabah, pertanian lahan sempit). Di luar kawasan namun masih dalam jarak tempuh
yang memadai, terdapat potensi lapangan kerja, seperti di Kawasan Industri Blang Ulam,
Pelabuhan Malahayati, dan Bandara Sultan Iskandar Muda.
Tak hanya itu, kawasan tersebut juga memiliki nilai historis. Di tempat ini terdapat
56 makam Tengku Panglima Nyak Makam di Lamnga, sekaligus sebagai pertanda lokasi
kota lama Labuy. Kota lama Labuy ini erat kaitannya dengan masa perang Aceh‑Belanda
(1873‑1910) dan diperkirakan telah ada sekitar 1700. Kemudian kota ini ditinggalkan pada
masa perang Aceh‑Belanda sekitar 1890‑an.
Di luar itu masih tersedia luas lahan‑lahan kosong. Lahan‑lahan ini nantinya bisa
dimanfaatkan dan dikembangkan untuk kepentingan umum di masa depan.
Beuramoe menunjukkan pada semua pihak bahwa mengembangkan kota baru
membutuhkan kerja sama yang baik dari semua pihak seperti pemerintah, investasi
swasta, dan peran serta warga sendiri. Agar masyarakat bisa memperoleh kehidupan
yang lebih baik, pembangunan lebih lanjut perlu terus digenjot pemerintah daerah, baik
kabupaten maupun provinsi.
Mengembangkan kota baru berarti memberikan awal kehidupan baru pada para
penyintas. Di kota baru inilah mereka membuka lembaran halaman baru dari sejarah
kehidupan mereka dan kemudian membangun kembali mimpi‑mimpi mereka.
Pengalaman mengembangkan kota baru atau kawasan permukiman baru yang
dilengkapi dengan berbagai fasilitas seperti dilakukan di Beuramoe ini juga dilakukan
di tempat lain pada skala yang berbeda. Di Singkil, dikembangkan kawasan perumahan
Pulau Sarok oleh BRR dengan dana hibah pemerintah Jepang, di Arongan (Lambalek)
Kabupaten Aceh Barat dikembangkan oleh Catholic Relief Services (CRS) dan BRR. Begitu
pula di beberapa desa di Kecamatan Calang dan Lamno di Kabupaten Aceh Jaya yang
dilaksanakan oleh Canadian Red Cross.
dan dinding di sekeliling sebagai tempat berlindung. Hal ini berarti rehabilitasi dan Sebuah rumah bertipe 36 di
rekonstruksi untuk bidang perumahan dan permukiman mencakup mereka yang punya Gampong Pande, Banda Aceh,
bantuan ADB yang disulap
rumah. Lalu bagaimana dengan korban yang tak punya rumah? Apakah mereka juga akan pemiliknya menjadi hunian
dibangunkan rumah baru? tropis indah dan nyaman,
27 September 2007. Kehidupan
Hal inilah yang ditemukan belakangan oleh BRR di Aceh. Dalam budaya setempat, lazim telah tumbuh dan tertata kembali.
bagi anak yang sudah menikah untuk tetap tinggal satu atap bersama orang tuanya. Foto: ETESP‑ADB/Erik Nurhikmat
Umumnya keluarga besar ini tinggal di rumah‑rumah dengan ukuran yang relatif besar.
Dalam beberapa kasus, satu rumah bahkan bisa mencakup sampai empat keluarga
sekaligus. Kelaziman ini dikenal dengan istilah “KK (kepala keluarga) gantung”.
Ketika merumuskan kategorisasi penerima manfaat, ditetapkan satu unit rumah
yang hancur akibat bencana akan diganti dengan satu unit rumah tipe‑36. Akan tetapi
timbul persoalan lanjutan, dalam banyak kasus terdapat rumah yang sebelum bencana
berukuran besar dan dihuni beberapa kepala keluarga hancur, namun sebagian besar
penghuninya tetap selamat. Rumah bantuan tipe‑36 ini tentu saja tidak akan sanggup
menampung keluarga besar yang terdiri atas orang tua, anak mantu sampai cucu di
bawah satu atap. Lalu apakah beberapa keluarga inti—yang tadinya berkumpul satu
rumah—mesti mendapatkan satu rumah untuk masing‑masing?
Selain itu, di Aceh juga ada kelaziman lain adalah mereka yang berstatus sebagai
penyewa rumah. Mereka sendiri berasal dari berbagai desa di daerah pedalaman. Karena
di desa terjadi konflik, mereka kemudian pindah ke kota demi rasa aman seraya juga
mencari penghidupan. Mereka pun menyewa rumah di daerah‑daerah padat penduduk
di kota. Karena bencana, pemilik rumah yang mereka sewa hilang atau meninggal dunia.
Akibatnya hak mereka akan rumah bantuan pun tak bisa ditunaikan. Pertanyaannya
60
Rumah di Kahju, Kabupaten Secara nominal, bantuan ini tergolong bantuan yang paling kecil. Secara logika, hal
Aceh Besar, bantuan sebuah ini telah tepat dan sesuai karena bila dibandingkan dengan tingkat kehilangan tempat
LSM ini, seperti permukiman
baru lain, juga dilengkapi jalan tinggal mereka dengan pemilik rumah/tanah yang juga kehilangan tempat tinggalnya,
permukiman. Gambar diambil pada maka kriteria BSBT adalah korban dengan tingkat kerugian tempat tinggal yang paling
4 Desember 2006. kecil. Mereka tidak kehilangan tempat tinggal yang mereka bangun sendiri, berbeda
Foto: BRR/Arif Ariadi
dengan mereka yang rumahnya rusak penerima dana bantuan perbaikan rumah (BPR),
atau mereka yang rumahnya hancur penerima bantuan pembangunan rumah baru
(BPRB) atau pun mereka yang harus direlokasi yang mendapatkan bantuan perumahan
dan permukiman kembali (BPPK) berupa tanah dan rumah.
Namun, agaknya masyarakat lebih cenderung memiliki rumah sendiri daripada
memperoleh uang untuk menyewa rumah. Pada 2007 BRR menyempurnakan kebijakan
BSBT. Semula bantuan yang diberikan dalam bentuk uang, berdasarkan aspirasi dan
kebutuhan dari masyarakat korban bencana gempa bumi dan tsunami, bentuk bantuan
diganti menjadi bantuan berupa barang, yaitu tanah/rumah.
BSBT pada 2007 diberikan dalam bentuk tanah/rumah meliputi:
• Bagi kepala keluarga korban yang memiliki tanah secara sah, maka mendapatkan
bantuan berupa pembangunan satu unit rumah inti dari BRR atau mitra pemberdaya;
• Bagi kepala keluarga korban yang tidak memiliki tanah namun memiliki komitmen
atau janji pembangunan rumah dari mitra pemberdaya atau dari pihak mana pun,
maka kepala keluarga korban akan mendapatkan satu kaveling tanah siap bangun
dari BRR.
LSM dan lembaga internasional mempunyai peran dan kedudukan yang penting dalam
sektor perumahan.
Pengertian LSM dan lembaga internasional yang terlibat dalam proses rehabilitasi dan
rekonstruksi pada dasarnya mencakup lembaga‑lembaga pemberi bantuan atau donor
yang dapat dikelompokkan menjadi lembaga‑lembaga PBB, Red Cross dan Red Crescent
dari berbagai negara, LSM‑LSM asing atau internasional, LSM tingkat nasional dan LSM
lokal yang bergerak di NAD dan Sumatera Utara.
Lembaga‑lembaga tersebut melaksanakan kegiatannya melalui mekanisme off‑budget.
Kegiatan mereka dibiayai dengan dana‑dana yang mereka usahakan sendiri dan dikelola
64 oleh mereka sendiri. Dalam pengertian sehari‑hari, seluruh lembaga nonpemerintah yang
terlibat dalam rehabilitasi dan rekonstruksi di Aceh dan Nias disebut LSM.
Dari seluruh LSM dan lembaga lain yang terlibat dalam penyediaan rumah, baik di
NAD maupun di Nias, yang berjumlah 140 lembaga, untuk memberikan gambaran dan
memudahkan manajemen pelayanannya biasa dilakukan kategorisasi. LSM atau lembaga
dikatakan besar apabila memiliki komitmen lebih besar dari 1.000 unit.
Sedangkan yang dikategorikan sedang adalah yang memiliki komitmen pembangunan
rumah antara 100 sampai dengan 1.000 unit; dan dikatakan kecil apabila komitmennya
di bawah 100 unit rumah. Komposisi mengenai pengelompokan berdasarkan besarnya
Gambar 3.2. Komposisi Kontribusi On‑budget dan Off‑budget dalam Pembangunan Rumah
Pelaku,
Peran BRR dalam Sumber Dana dan Kontribusi
Pembangunan Rumah Jumlah Lembaga/ Unit Pembangunan Rumah
komitmen tersebut dan dikaitkan dengan jenis lembaga LSM dapat digambarkan Pembangunan rumah dengan
sebagaimana pada tabel di atas. rangka baja untuk perumahan
Krueng Raya, Aceh Besar,
Dari tabel 3.2. tersebut dapat dilihat, 21 persen atau sejumlah 29 LSM berkategori besar 19 Juli 2006, prakarsa yang
memberikan kontribusi sebesar 72 persen atau 65.238 unit rumah dari total komitmen diambil untuk, salah satunya,
menyelamatkan kayu‑kayu hutan
sejumlah 90.815 unit rumah. Hal ini menunjukkan bahwa berdasarkan hukum “Pareto”, Aceh sebagai anasir penting
posisi LSM besar yang berjumlah relatif sedikit sangatlah strategis dalam memberikan paru‑paru dunia.
kontribusinya dalam pencapaian sasaran penyediaan rumah bantuan di NAD dan Nias. Foto: BRR/Arif Ariadi
Dengan adanya mekanisme PCN, LSM yang tidak melakukan perikatan kerja sama
langsung dengan BRR atau kedeputian melalui suatu nota kesepahaman kegiatannya
tetap dapat dipantau dari segi lokasi, besarnya komitmen (jumlah unit rumah) hingga
kemajuan pekerjaannya. PCN ini secara terpusat dikelola oleh Pusat Data dan Informasi
(Pusdatin) BRR. Untuk sektor perumahan dan permukiman kerja sama dilakukan secara
intensif dengan Kedeputian Bidang Perumahan dan Permukiman.
Dalam pola hubungan yang lebih jauh, Kedeputian Bidang Perumahan dan
Permukiman dapat memberikan kontribusi berupa perbantuan dalam perencanaan
seperti konsultasi mengenai DED, desain rumah, rencana tata letak atau desain teknis
untuk jenis‑jenis tertentu prasarana dan sarana dasar. Bantuan lain yang juga sering
diberikan adalah penyediaan calon penerima bantuan berikut verifikasinya. Dengan cara
demikian pihak LSM tidak mengalami kerepotan untuk berhubungan dengan masyarakat
korban dan sepenuhnya dapat berkonsentrasi pada pembangunan fisik rumahnya.
Untuk pembangunan kawasan relokasi serta perumahan untuk para penyewa (BSBT),
kedeputian menyediakan tanah dengan melakukan pembebasan dari masyarakat. Sesuai
dengan peraturan perundangan yang berlaku pihak asing tidak dapat membeli tanah
meskipun tanah tersebut akhirnya diserahkan kepada masyarakat. Dengan demikian,
kawasan relokasi yang rumahnya dibangun oleh LSM tanahnya disediakan oleh BRR/
kedeputian. Begitu pula untuk kasus BSBT, bila masyarakat penyewa tidak dapat
membebaskan atau tidak memiliki tanah, maka yang menyediakan tanahnya. Dalam
beberapa kasus, kedeputian juga melakukan pematangan tanah, berupa pembersihan
atau penimbunan lahan.
Ketika gelombang raksasa dan gempa dahsyat menggoyang Aceh serta Nias,
kebutuhan akan informasi spasial pun menjadi mendesak. Informasi seperti peta
rupa bumi, citra satelit atau foto udara, peta hasil pemindaian, peta administrasi serta
berbagai informasi spasial sangat dibutuhkan untuk melakukan program rehabilitasi dan
rekonstruksi. Hal inilah yang menjadi embrio penyusunan sistem informasi geospasial
perumahan. Ini karena perencanaan perumahan dan permukiman tak mungkin bisa
akurat dan tepat sasaran jika tak ada peta seperti ini.
Pada awal 2005 bermunculan berbagai inisiatif kegiatan pemetaan yang lebih teknis
untuk mengetahui perubahan spasial yang terjadi. Japan International Cooperation
68 Agency (JICA) membuat analisis perubahan tinggi di Banda Aceh dan menurunkan kontur
interval 1 meter dari reprocessing imagery foto udara; BLOM‑Norwegia melaksanakan
pemotretan udara di 60 persen tsunami affected area; AusAID melalui AIPRD‑Logica, dan
USAID melalui Yayasan Inovasi Pemerintahan Daerah (YIPD) melakukan identifikasi batas
pemilikan tanah penerima bantuan yang hilang berbasiskan pemetaan partisipasif warga.
Pada saat awal rekonstruksi berbagai pihak termasuk LSM memerlukan peta untuk
kebutuhan penyusunan site plan atau perencanaan desa, sebagai bagian awal dari
pelaksanaan programnya. Untuk keperluan itu mereka melakukan kegiatan pemetaan
secara in‑house ataupun outsourcing. Demikian juga dengan BRR dan Pemprov NAD telah
melakukan kegiatan yang sama di berbagai lokasi untuk mendukung pembebasan tanah
dan percepatan pembangunan prasarana dan perumahan pada 2006.
Pada 2006, unit yang menangani data dan peta (Manajer Unit Data Literal dan Spasial)
di bawah Direktorat Perencanaan dan Pemrograman, setelah mempelajari berbagai
peta‑peta yang ada, menemukan beberapa pengamatan penting.
Peta rupa bumi daerah bencana tidak dapat digunakan karena kondisi yang ada telah
berubah. Peta administrasi yang dikeluarkan BPS umumnya mengandung kekeliruan
posisi di lapangan. Kadang kala desa dengan nama tertentu yang berada di pinggir
pantai ditempatkan pada daerah pegunungan yang jauh. Demikian juga halnya dengan
batas wilayah administrasi yang ternyata sudah bergeser dari peta yang dibuat oleh
JICA atau Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal). Begitu pula
beberapa peta tematik yang dikeluarkan oleh UNIMS yang sebagian besar posisi wilayah
administratif dan penamaannya tidak sesuai dengan keadaan di lapangan.
Hasil kegiatan pemetaan partisipatif warga bantuan AusAID dan USAID pun sulit
memenuhi kebutuhan teknis proyek konstruksi. Peta yang dihasilkan merupakan
manuskrip dengan koordinat masing‑masing yang tidak terintegrasi satu sama lain
sehingga menjadi kendala saat dilakukan penataan kembali kawasan bencana.
Bagian 3. Membangun Harapan dan Masyarakat
69
Peta‑peta yang dihasilkan oleh LSM, konsultan yang diperbantukan pada BRR, Kesibukan para staf SIM‑C di Kantor
serta pemda pun menggunakan sistem berbeda‑beda sehingga perlu upaya untuk Gubernur Aceh, Banda Aceh,
14 Juli 2008. Foto: BRR/Arif Ariadi
mengintegrasikannya secara spasial. Di sisi lain, peta dasar untuk perencanaan masih
sangat kurang dan belum ada integrasi peta menyeluruh antara lokasi pembebasan tanah
dan lokasi proyek pembangunan. Semua berjalan secara parsial.
Akhirnya data spasial yang dapat dijadikan sebagai peta dasar hanyalah peta yang
dihasilkan oleh JICA yang berupa peta garis. Itupun hanya mencakup Banda Aceh.
Selain itu foto udara bantuan Norwegia untuk beberapa spot kawasan pantai dapat
dimanfaatkan. Data spasial tersebut baru diterbitkan pada pertengahan 2006, meskipun
pekerjaan perumahan telah berjalan sejak akhir 2005 dan berlanjut pada 2006.
Sementara itu secara umum data‑data tabulasi tekstual pada saat itu (2006) mempunyai
beberapa kondisi yang memiliki keterbatasan dalam mendukung pelaksanaan pekerjaan
pembangunan. Kondisi tersebut antara lain:
• Lokasi administrasi data proyek yang tercatat sulit diidentifikasi karena ada
nama‑nama lokasi yang tidak mengacu pada nama desa yang dikeluarkan BPS.
PERUMAHAN: Membentang Atap Berpilar Asa
70
Aktivitas sehari‑hari staf Pusdatin • Otoritas unit pemetaan terpencar, tugasnya saling tumpang‑tindih dan tidak ada
BRR di Kantor BRR, Banda Aceh, unit yang mempunyai data akurat yang lengkap. Staf yang berada pada unit kerja
25 Juli 2007. Foto: BRR/Arif Ariadi
tersebut pun beragam dengan latar belakang dan kemampuan berbeda. Tidak jarang
seorang berprofesi dokter hewan, akuntan, astronom, arsitek, atau tamatan sekolah
menengah atas dapat menjalankan peran ahli pemetaan dan GIS.
• Wawasan dan pengalaman staf terhadap kebutuhan data geospasial untuk keperluan
proyek pembangunan, khususnya bidang perumahan, tergolong kurang. Sebagai
jalan keluar, pelatihan dan pengetahuan diberikan terlebih dahulu.
• Kepekaan pengambil kebijakan terhadap perlunya peta pun masih kurang, padahal
secara teknis, peta sangat dibutuhkan sebagai instrumen perencanaan.
Survei data geospasial ini dilaksanakan oleh seorang project officer bertindak sebagai
koordinator yang dibantu oleh empat orang tenaga teknis BRR. Pekerjaan konsultansi
sendiri dibagi menjadi tiga paket yang mencakup tiga kluster wilayah. Pekerjaan
lapangan dikoordinasi oleh 18 tenaga ahli, 120 tenaga surveyor pemetaan situasi dan
surveyor pendataan tektual serta dibantu oleh 240 orang masyarakat desa. Dapat dilihat
bahwa kerja ini boleh dibilang berskala raksasa.
PERUMAHAN: Membentang Atap Berpilar Asa
72
Presiden SBY, pada pembukaan acara Peralatan yang digunakan dalam melaksanakan pekerjaan ini terdiri atas 12 unit
CFAN IV di Jakarta, 13 Februari 2009, geodetic GPS, 93 unit GPS tipe navigasi, 22 unit digital total station, 135 ribu formulir
sedang mendapatkan penjelasan
tentang penggunaan dan manfaat pendataan dan deskripsi benchmark, 138 unit komputer, serta 158 kamera digital.
peranti lunak GIS Perumahan pada Survei data geospasial ini dilaksanakan hampir lima bulan dari Desember 2007 hingga
Pemulihan Aceh‑Nias. April 2008.
Foto: BRR/Arif Ariadi
Berdasarkan ketersediaan basis data geospasial ini dibentuklah sistem informasi
perumahan yang menggunakan data spasial format ESRI SHP yang dibangun berbasis
web. Sistem ini diperuntukkan sebagai alat bantu untuk melakukan pemantauan, evaluasi,
dan informasi progres pembangunan tiap rumah, tiap donor dan tiap desa area bencana
di wilayah NAD‑Nias.
Berdasarkan penelitian dari Research Center for Seismology Volcanology and Disaster
Mitigation, Nagoya University, ditemukan daratan Aceh dan Nias masih belum stabil dan
terjadi perubahan posisi dari waktu ke waktu. Dengan demikian dilakukan pembuatan
peta dasar baru berdasarkan analisis data dan integrasi peta dasar Bakosurtanal,
foto udara dan hasil pengukuran geospasial terkini sehingga rumah dan PSD dapat
ditampilkan dalam koordinat geografis.
Lewat sistem informasi geografis perumahan yang berbasis web, dengan meng‑’klik’
posisi Banda Aceh dalam peta Provinsi Aceh, misalnya, dapat diperoleh gambaran
distribusi rumah berupa titik hitam. Demikian seterusnya zooming dapat dilakukan
hingga memperoleh satu titik rumah yang berisi informasi tentang koordinat rumah,
jenis bantuan (rekonstruksi, relokasi atau BSBT), lembaga yang memberi bantuan, nama
76
Sejumlah perusahaan dan Kebijakan mengenai hal tersebut ditunjukkan dengan adanya Peraturan Presiden
kontraktor sedang mengikuti No. 70/2005 tentang Perubahan Ketiga atas Keputusan Presiden No. 80/2003 tentang
proses tender proyek di Kantor
BRR, Banda Aceh, 2 Maret 2006. Pengadaan Barang dan Jasa. Dalam peraturan itu disebutkan bahwa untuk pembangunan
Foto: BRR/Arif Ariadi perumahan yang proses pengadaaannya dilakukan sebelum 30 Juli 2006 dapat dilakukan
melalui mekanisme penunjukan langsung. Dalam peraturan tersebut juga disebutkan hal
yang terkait dengan pelaksanaan penunjukan langsung dapat diatur melalui Peraturan
Kepala Badan Pelaksana (Perkabapel) BRR.
Dengan adanya fasilitas tersebut, diselenggarakanlah prakualifikasi untuk memilih
penyedia jasa pelaksana dan pengawasan konstruksi yang dapat dilibatkan dalam
pembangunan perumahan yang didanai melalui APBN. Prakualifikasi dilakukan oleh
sebuah tim yang terdiri dari staf Kedeputian Perumahan dan Permukiman serta
Kedeputian Infrastruktur di bawah koordinasi Pusat Layanan Pengadaan (PLP).
Oleh karena peserta prakualifikasi diperkirakan mencapai ribuan, dan sekaligus untuk
menghindari adanya subjektivitas dalam penilaian, maka sistem penilaian dilakukan
dengan bantuan suatu program komputer. Pemasukan data yang diajukan oleh calon
rekanan dalam basis data komputer melibatkan 30 orang mahasiswa yang direkrut khusus.
Bagian 4. Jurus Penjawab Tantangan
77
Mengapa semua ini perlu dipersiapkan begitu rupa? Pengerahan tenaga tambahan Dokumen lelang proyek‑proyek
(outsourcing) secara besar‑besaran tersebut sebagai antisipasi terhadap akan begitu pembangunan pascatsunami
sedang diperiksa di Kantor
besarnya minat perusahaan jasa konstruksi untuk terlibat dalam program rekonstruksi BRR, Lueng Bata, Banda Aceh,
pembangunan rumah. Hal ini terkait dengan kebijakan Kepala Badan Pelaksana (Kabapel) 14 Juni 2007. Foto: BRR/Arif Ariadi
agar pada tahap pertama pembangunan perumahan dengan target 40 ribu rumah hanya
di tahun anggaran 2006 tersebut dikhususkan untuk kontraktor kecil.
Pertanyaan selanjutnya adalah, di tengah desakan yang begitu besar untuk segera
mendirikan rumah, mengapa BRR justru mengambil langkah untuk memberikan
kesempatan pada kontraktor kecil? Jika waktu yang jadi persoalan, bukankah akan jauh
lebih cepat apabila BRR menggandeng kontraktor berskala nasional yang sanggup
mengerjakan proyek raksasa dalam waktu cepat?
Pilihan ini tidak dibuat begitu saja di dalam vakum. Berbagai hal dipertimbangkan,
sebagian besar dari pertimbangan tersebut justru di luar faktor rekayasa teknik. Kebijakan
ini dimaksudkan untuk mendorong tumbuh dan pulihnya dunia jasa konstruksi di Aceh.
Dilema di Persimpangan Jalan
Di masa sebelum tsunami, kontraktor di Aceh sebetulnya tak pernah bisa sepenuhnya
PERUMAHAN: Membentang Atap Berpilar Asa
mengembangkan diri. “Karena konflik, kondisi pengusaha Aceh sedang sakit,” begitu
sering dibahasakan wakil‑wakil rakyat di DPRD Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
(NAD).
Kondisi keamanan di Aceh akibat konflik politik berkelanjutan memang telah
membatasi gerak perusahaan jasa konstruksi. Pasalnya, dalam masa yang cukup panjang
hampir tak ada satu pun proyek pembangunan yang berarti berlangsung di Aceh. Maka,
ketika BRR memutuskan penggunaan kontraktor dalam pembangunan rumah penyintas
di Aceh, proses memilih kontraktor pun tak mudah.
DPRD NAD mendesak agar pelaksanaan pembangunan rumah itu hendaknya dilakukan
78 dengan penunjukan langsung tanpa melalui proses tender, dengan mengutamakan
pengusaha lokal. DPRD NAD malah menginginkan persyaratan bagi pengusaha jasa
konstruksi lokal diperingan.
Pilihan yang dihadapi BRR bukan pilihan mudah. Menggunakan kontraktor lokal
dengan pengalaman dan kemampuan teknis terbatas, membawa risiko. Sementara
memakai kontraktor besar dari luar Aceh, membawa risiko berlanjutnya ketidakmampuan
masyarakat setempat.
Dalam salah satu butir lampiran Perpres No. 30/2005 tentang Rencana Induk yang
menjadi buku panduan dan daftar tugas kerja dasar BRR, memang tertulis bahwa
pembangunan perumahan bagi penyintas tsunami di NAD dan Nias “harus didasarkan
pada kebutuhan lokal, memberdayakan masyarakat setempat, sejauh mungkin
mempergunakan material lokal serta memenuhi persyaratan building code setempat”.
Apalagi kemungkinan penunjukan langsung untuk penggunaan dana APBN bagi proyek
rekonstruksi Aceh‑Nias juga memang diizinkan berdasar Keppres No. 80/2003.
Tekanan dirasakan BRR ketika hingga awal Februari 2006, pembangunan rumah belum
kelihatan secara signifikan. Sebenarnya pada Tahun Anggaran 2005, telah ada Satuan
Kerja (Satker) yang mengelola Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) BRR untuk
pembangunan rumah. Di awal masa tugas BRR belum berperan sebagai implementor.
Pembangunan rumah melalui partisipasi masyarakat yang memungkinkan masyarakat
secara swadaya menetapkan proses pembangunan rumah bagi komunitasnya pun belum
tampak kemajuan fisiknya. Program itu juga ternyata memakan waktu perencanaan yang
panjang hingga enam bulan masa kerja BRR. Di tengah segala dorongan tersebut, BRR
memilih mengembangkan segala potensi sumber daya yang ada di tingkat lokal.
Ribuan Rumah, Ribuan Kontraktor
Dengan harapan dan optimisme besar, BRR akhirnya memulai gong pembangunan
rumah secara besar‑besaran di NAD‑Nias. Dalam tahap pertama, fase manajemen
konstruksi dan rancang bangun (Manajemen Konstruksi 1), direncanakan penggunaan
80
Para utusan perusahaan/kontraktor Seleksi akhirnya menghasilkan 1.200 nama calon kontraktor, proses penetapan
sedang antre mendaftar lelang kontraktor masih belum berakhir. Panitia prakualifikasi harus menyampaikan hasil
proyek‑proyek pembangunan
pascabencana di Kantor BRR, pengumuman kelulusan kepada empat orang Kepala Satuan Kerja (Kasatker) yang
Banda Aceh, 8 Maret 2006. bertanggung jawab di empat wilayah di seluruh Provinsi NAD. Kasatker sebagai kuasa
Foto: BRR/Arif Ariadi pengguna anggaran bertanggung jawab membentuk panitia pengadaan barang dan jasa
yang kelak secara resmi akan menunjuk para kontraktor.
Dalam seleksi lanjutan terpilih 984 kontraktor yang segera dikontrak dengan
penempatan sesuai domisili mereka. Proses seleksi ini juga tidak bisa dikatakan mudah
karena setiap Satker hanya punya satu sampai dua orang sebagai panitia pengadaan
barang dan jasa. Artinya, sekitar delapan orang harus bernegosiasi dengan 984 kontraktor
dalam waktu satu bulan untuk menentukan lokasi dan besaran anggaran. Sebuah
pekerjaan yang nyaris mustahil.
Pilihan‑pilihan di atas dibuat BRR secara sadar, demi mendapatkan buah manis di ujung
jalan, yakni pemberdayaan masyarakat secara nyata di tingkat lokal. Semua pilihan tentu
ada konsekuensinya dan BRR mengupayakan dengan segala kekuatan yang dimiliki untuk
mengantisipasi hal‑hal tersebut.
Segala risiko tersebut disikapi BRR dengan melakukan pemantauan mendetail terhadap
status‑status proyek yang dikerjakan kontraktor‑kontraktor lokal tersebut. Bentuk koreksi
Mengisi Ruang Kosong,
yang dilakukan BRR antara lain melakukan
pembangunan ulang proyek‑proyek yang
Menjembatani Kebutuhan
ditinggalkan kontraktor yang terbukti tidak Dalam pembangunan rumah besar‑besaran di Aceh, BRR berpegang
pada prinsip filling the gap. Hal ini berarti bahwa paket pembangunan
mampu menuntaskan pekerjaan mereka. rumah yang dikontrakkan tidak boleh tumpang‑tindih dengan komitmen
Selain itu, sebagian kontraktor yang pembangunan rumah oleh lembaga swadaya masyarakat yang telah ada
Pembentukan struktur organisasi yang ramping pada masa ini bukan saja karena BRR
baru saja dibentuk, melainkan juga karena fungsi BRR sebagai pelaksana masih cukup
sulit dijalankan. Sistem pendanaan terpadu di tahun anggaran 2005 menyebabkan
keterlambatan hampir di setiap bidang pembangunan di Indonesia yang bersumber dari
anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN).
Pada periode ini, BRR lebih diposisikan sebagai lembaga koordinasi. Dengan besarnya
pledge atau komitmen lembaga‑lembaga nonpemerintah atau LSM dan donor‑donor
internasional untuk membangun rumah, maka sudah sewajarnya apabila posisi BRR
hanyalah sebagai koordinator. Penanganan bidang perumahan pun ditekankan sebagai
84 fasilitator pendukung lembaga internasional dengan sumber pembiayaan non‑APBN.
Sementara itu pelaksanaan dana APBN yang dibebankan kepada BRR pada periode
ini masih dilimpahkan kepada dinas terkait Provinsi NAD. Pelaksanaan daftar isian
pelaksanaan anggaran (DIPA) pun ditangani Satker pada Dinas Permukiman dan
Perkotaan Pemerintah Provinsi NAD yang dibentuk khusus untuk menangani dana
on‑budget BRR.
Dengan demikian, fungsi Direktorat Perumahan, Air Minum, Sanitasi, dan Fasilitas
Umum hanya memonitor pelaksanaan anggaran yang ditangani Satker tersebut. Kepala
Satkernya sendiri bertanggung jawab kepada kepala dinas yang bersangkutan.
Periode Januari 2006‑Desember 2007
Menjelang akhir 2005, pimpinan BRR memutuskan membentuk kedeputian khusus
yang menangani perumahan dan permukiman, terlepas dari Kedeputian Infrastruktur.
Keputusan ini diambil mengingat beban kerja yang semakin berat, baik pada bidang
infrastruktur maupun perumahan
Perubahan tersebut juga dipengaruhi adanya perubahan kebijakan BRR dalam
menangani program dan kegiatan dengan pembiayaan APBN. Mulai Tahun Anggaran
2006 seluruh kegiatan on‑budget ditangani sendiri oleh BRR sehingga tidak dilimpahkan
lagi kepada dinas‑dinas provinsi terkait. Posisi BRR sebagai pelaksana rehabilitasi dan
rekonstruksi pun dijalankan, selain tetap mengamalkan fungsi koordinasinya.
Kedeputian Bidang Perumahan dan Permukiman mulai efektif bekerja sejak awal 2006
dengan tugas utama melaksanakan daftar isian pelaksanaan anggaran Tahun Anggaran
2006 bidang perumahan dan permukiman yang dibebankan kepada BRR. Pembentukan
Kedeputian Bidang Perumahan dan Permukiman juga didorong tuntutan terhadap BRR
untuk membangun rumah sendiri dengan sumber dana APBN lebih banyak dari tahun
sebelumnya. Keputusan ini dibuat mengingat menjelang akhir 2005 ada kecenderungan
menurunnya komitmen para mitra pemulihan dalam membangun rumah.
Bagian 4. Jurus Penjawab Tantangan
85
Pada Desember 2005, Kepala Badan Pelaksana BRR mencanangkan pembangunan Kepala Bapel BRR, Kuntoro
rumah bantuan sejumlah 40 ribu unit di Aceh dan Nias dengan dana APBN, termasuk di Mangkusubroto, bersama Deputi
Bidang Infrastruktur, Perumahan,
dalamnya hibah luar negeri melalui skema APBN (on‑budget). Pembangunan tersebut dan Penatagunaan Lahan BRR saat
akan diselesaikan selama 1,5 tahun atau setidak‑tidaknya dua Tahun Anggaran. Struktur itu, Eddy Purwanto, melakukan
organisasi pada periode ini pun disesuaikan dengan peningkatan beban misinya. kunjungan di kawasan Lampulo,
Banda Aceh, 7 September 2005,
Seluruh direktorat dilengkapi unit subdirektorat yang dikepalai manajer. Satu direktorat yang diproyeksikan sebagai
dapat terdiri atas tiga atau empat manajer. Struktur yang lebih rumit terdapat pada Pelabuhan Perikanan Samudra.
Foto: BRR/Arif Ariadi
Direktorat Prakarsa Pembangunan Partisipatif yang menangani masalah penerima
bantuan atau identifikasi dan verifikasi calon penerima bantuan perumahan. Direktorat
tersebut dilengkapi struktur hingga di tingkat kabupaten/kota, yaitu seorang Asisten
Bidang Perumahan dan Permukiman (Asperkim).
Tidak berhenti di situ. Asperkim dalam pelaksanaan tugas dibantu oleh beberapa orang
staf, yang jumlahnya disesuaikan dengan beban tugas di masing‑masing kabupaten/kota.
Misalnya, beban tugas Asperkim di Kota Banda Aceh atau Kabupaten Aceh Besar dengan
kerusakan sangat berat dan jumlah korban yang begitu besar, tentu saja berbeda dengan
di Kabupaten Aceh Selatan atau Kabupaten Aceh Timur yang jumlah korbannya tidak
mencapai seratus orang.
Selain staf, Asperkim juga dibantu personel yang bekerja di tingkat kecamatan yang
disebut fasilitator kecamatan. Bayangkan, sekitar 20 kabupaten dan kota di Aceh, dengan
masing‑masing sekitar 4‑6 kecamatan di setiap kabupaten/kota, wajarlah bila keanggotaan
PERUMAHAN: Membentang Atap Berpilar Asa
Kedeputian Perumahan Permukiman pada periode ini mencapai lebih dari 150 orang.
Roda perputaran posisi dalam kedeputian pada periode ini pun cukup signifikan. Posisi
deputi berganti pada Desember 2006. Setidaknya tiga posisi direktur berganti pemangku
jabatannya.
Periode Januari‑April 2008
Pada 2008 sejalan dengan kebijakan regionalisasi BRR, seluruh anggaran pelaksanaan
pembangunan dipindahkan pada para Satker di kantor perwakilan atau regional. Fungsi
operasional tidak lagi berada di tingkat kedeputian. Kedeputian lebih dititikberatkan
pada fungsi kebijakan dan pengendalian program secara umum. Pergeseran modus
86
operasi dari pendekatan sektoral yang ditangani kedeputian menuju pendekatan regional
yang ditangani kantor perwakilan mengalami puncaknya sejak awal 2008. Kepala kantor
perwakilan dalam pelaksanaan pekerjaannya dibantu kepala distrik yang ditempatkan
pada setiap kabupaten/kota.
Pertanggungjawaban Satker yang semula kepada direktur di tingkat kedeputian,
khususnya untuk Satker yang pekerjaannya belum selesai, pada periode ini dipindahkan
ke kantor regional. Pejabat Atasan Langsung Satker Perumahan dan Permukiman yang
semula dijabat oleh Direktur Manajemen Konstruksi dan Rancang Bangun (Manajemen
Konstruksi, MK1), misalnya, sejak 2008 dipindahkan kepada Kepala Kantor Regional I, yang
menangani wilayah dari Kota Banda Aceh, Kabupaten Aceh Besar, seterusnya menyusuri
pantai barat hingga Kabupaten Nagan Raya. Kepala Kantor Regional I berkonsentrasi dan
bertangung jawab pada penyelesaian paket‑paket MK1 yang hingga memasuki 2008
belum selesai. Kebijakan ini diambil agar pemantauan terhadap penuntasan seluruh
pekerjaan proyek menjelang berakhirnya masa tugas BRR dapat dilaksanakan oleh unit
yang lebih dekat dengan situasi di lapangan.
Sejalan dengan kebijakan tersebut, struktur organisasi Kedeputian Bidang Perumahan
dan Permukiman kembali mengerut. Direktorat menciut hingga empat dan setiap
direktur dibantu empat kepala bidang.
Direktorat Penataan Ruang dan Pertanahan pada periode ini dialihkan dalam
Kedeputian Bidang Operasi. Selain itu, Direktorat Prakarsa Pembangunan Partisipatif
(P3) pada periode ini dihapuskan sehingga fungsi yang berkaitan dengan penanganan
penerima bantuan dipindahkan ke kantor distrik dibantu satu unit di tingkat pusat, yaitu
Komite Verifikasi dan Penertiban. Unit ini sebenarnya telah dibentuk sejak semester kedua
pada 2006, namun baru efektif berfungsi sejak 2007. Kepala komite bertanggung jawab
langsung pada Kabapel BRR. Struktur dalam Direktorat P3 seperti Asperkim dan fasilitas
kecamatan juga dilebur dalam struktur kantor distrik.
Bagian 4. Jurus Penjawab Tantangan
87
Periode Mei‑Desember 2008
Pada periode ini dapat dikatakan urusan bidang perumahan dan permukiman
dileburkan dalam Kedeputian Bidang Operasi. Meskipun penetapan SK Presiden tentang
PERUMAHAN: Membentang Atap Berpilar Asa
88
Deputi Bidang Perumahan Penunjukan Deputi BRR tidak berubah dari periode sebelumnya, sehingga jabatan
dan Permukiman secara Deputi Bidang Perumahan dan Permukiman masih ada, dua direktorat lain dipindahkan
rutin menyampaikan
program‑programnya. Salah satu dalam Kedeputian Bidang Operasi, yaitu Direktorat Pembangunan Perumahan dan
cara melalui siaran radio lokal. Direktur Mitra Pembangunan. Sedangkan Direktur Penataan Ruang yang pada
Foto: Dokumentasi BRR periode sebelumnya dipindahkan dalam Kedeputian Bidang Operasi, pada periode ini
dipindahkan ke Kedeputian Bidang Infrastruktur, Lingkungan, dan Pemeliharaan.
Dengan penyerahan seluruh penyelesaian pekerjaan yang bersifat operasional
melalui Satker kepada kantor perwakilan sejak awal 2008, tugas Direktur Pembangunan
Perumahan tinggal menangani sisa urusan yang tidak dilakukan kantor perwakilan.
Sedangkan Direktur Mitra Pembangunan selain menangani hal‑hal yang terkait dengan
fasilitasi mitra kerja atau LSM, tetap menjadi pejabat atasan langsung untuk Satker yang
menangani hibah luar negeri bidang perumahan.
Dalam struktur organisasi seperti ini, Deputi Bidang Perumahan dan Permukiman
merangkap jabatan sebagai Wakil Deputi Operasi Bidang Penertiban Pembangunan, yaitu
menangani koordinasi penyelesaian masalah temuan audit serta masalah penertiban
penerimaan bantuan, khususnya bidang perumahan. Selain itu, Wakil Deputi Operasi ini
bertanggung jawab terhadap pelaksanaan unit Komite Verifikasi dan Penertiban.
Selain evolusi organisasi internal BRR, upaya kerja sama dengan berbagai pihak
di luar organisasi pun terus dijalankan. Koordinasi dan kerja sama pada tingkat desa
di Aceh tentu saja menyesuaikan dengan sistem budaya lokal. Kesatuan masyarakat
yang terendah dalam sistem administratif hukum adat di Aceh dikenal dengan istilah
gampong. Unit ini memiliki batas‑batas, perangkat, simbol adat, hak‑hak pemakaian dan
pendapatan dan belanja negara (APBN) maupun melalui koordinasi dan fasilitasi mitra
kerja nonpemerintah yang dananya bersumber dan dikelola oleh mereka sendiri dan
tidak melalui jalur APBN.
Bidang perumahan dan permukiman telah menjalankan mandat Perpres
No. 47/2008 yang merupakan perubahan atas Perpres No. 30/2005 tentang Rencana
Induk Rehabilitasi dan Rekonstruksi NAD‑Nias. Pada Perpres No. 47/2008 diuraikan target
sasaran pencapaian program dan kegiatan yang telah terakomodasi dalam pelaksanaan
rehabilitasi rekonstruksi Aceh‑Nias, baik di subbagian penataan ruang, pertanahan,
maupun perumahan.
94 Hasil dokumen perencanaan yang dihasilkan subbagian penataan ruang selama masa
mandat BRR terdiri atas
• 670 dokumen perencanan tata ruang desa,
• Rencana detail tata ruang untuk 21 kecamatan,
• 63 dokumen kerangka tata ruang kecamatan dan rencana aksi,
• Rencana tata ruang wilayah (RTRW) untuk 14 kabupaten/kota,
• 346 dokumen pemantauan evaluasi pembangunan desa berdasarkan perencanan
tata ruang desa di atas, serta
• Sebuah dokumen revisi terhadap RTRW Provinsi NAD.
96
Fasilitator desa mencocokkan satu Dalam pelaksanaannya, ada empat faktor yang diidentifikasi sebagai landasan
per satu anak kunci rumah dengan penetapan penerima bantuan perumahan sedemikian rupa, sehingga memberikan
nama pemiliknya berdasarkan
daftar penerima manfaat kontribusi terhadap peningkatan target pembangunan rumah baru di NAD dan Nias.
rumah di Neuheun, Kabupaten Pertama, karena empati petugas pendata, aparat desa atau LSM, terhadap realita
Aceh Besar, 11 September 2007.
Foto: BRR/Arif Ariadi kondisi di lapangan, terutama dengan adanya kemiskinan yang cukup luas, baik di Aceh
(sebagai daerah pascakonflik).
Bantuan memang seharusnya hanya diberikan kepada rumah hancur atau rusak yang
ternyata pada umumnya terbuat dari tembok, namun dalam banyak kasus bantuan
terpaksa diberikan juga kepada warga di dekatnya yang rumahnya hanya mengalami
sedikit kerusakan untuk menghilangkan kesenjangan di desa. Selain itu pemilik rumah
kayu yang rusak pun mendapat penggantian sebagaimana rumah tembok lain.
Kedua, karena adanya pertimbangan keadilan sosial. Ketimpangan antardaerah atau di
dalam kelompok‑kelompok masyarakat juga telah mendorong pihak donor bertoleransi
dalam pemberian bantuan yang berbeda dengan ketentuan semula. Sebagai contoh
di Aceh, program RRHS yang didanai pemerintah Jerman/KfW setelah empat tahapan
Bagian 5. Hikmah Ajar untuk Masa depan
97
bantuan diberikan untuk korban tsunami, sesuai dengan programnya bantuan tahap Di halaman rumah barunya di Desa
kelima akhirnya diarahkan untuk masyarakat korban yang terdampaki tsunami secara Bayu, Kuta Makmur, Kabupaten
Aceh Utara, 29 November 2005,
tidak langsung yang tidak lain adalah korban konflik di Kabupaten Pidie Jaya dan bocah‑bocah ini asyik bermain
Kabupaten Bener Meriah. bola. Foto: BRR/Arif Ariadi
Selain itu, fenomena begitu banyaknya penyewa yang tinggal di barak serta banyaknya
suatu keluarga yang menumpang dalam keluarga lain yang tidak mungkin tinggal lagi di
satu rumah bantuan tipe‑36 telah mendorong dikeluarkannya kebijakan BSBT.
Ketiga, karena adanya pertimbangan pengurangan risiko bencana. Dalam beberapa
kasus, bantuan diberikan pula kepada mereka yang dikhawatirkan bila terjadi bencana di
kemudian hari akan berisiko tinggi untuk menjadi korban.
Menghadapi hal‑hal tersebut di atas, bidang perumahan dan permukiman merancang
mekanisme Komvertib, organisasi independen untuk menyelesaikan masalah penetapan
atau verifikasi korban yang menerima bantuan dan melakukan penertiban terhadap
penyimpangan dalam pemberian atau penerimaan bantuan perumahan. Komvertib
kemudian membentuk tim verifikasi dan penertiban di tingkat kabupaten/kota, yang
Tabel 5.1. Jumlah Rumah di Aceh dan Kebutuhan Rekonstruksi Rumah per April 2008
Garansi
Jumlah
PERUMAHAN: Membentang Atap Berpilar Asa
2004 Mar 2005 Sep 2005 Ags 2007 Apr 2008 Juli 2008 Sep 2009
diketuai oleh wakapolres setempat dengan anggota Kepala Distrik BRR serta wakil‑wakil Dengan melibatkan para warganya,
dari unsur‑unsur TNI (koramil), kejaksaan, KPA serta pemda pada masing‑masing Geuchik Jhon menyusun ulang
peta desanya, yakni Desa Deah
kabupaten/kota. Baro, Banda Aceh, 14 Juni 2005.
Penyimpangan penerimaan bantuan perumahan dikategorikan menjadi empat jenis: Foto: BRR/Arif Ariadi
menerima bantuan rumah baru atau bantuan dana perbaikan rumah lebih dari satu;
menerima dua atau lebih jenis bantuan, seperti bantuan rumah baru dan sekaligus
bantuan dana perbaikan rumah; menerima bantuan rumah baru atau perbaikan rumah,
padahal seharusnya tidak berhak (bukan korban); dan melakukan pungutan atau kutipan
dari penerima bantuan.
Penyelesaian masalah penyimpangan sejauh mungkin dilakukan dengan cara atau
pendekatan musyawarah. Namun, untuk hal‑hal yang dengan jelas menyangkut
pidana, seperti adanya pemalsuan data atau identitas, penipuan serta pemaksaan, tetap
diarahkan penyelesaiannya melalui jalur hukum. Komvertib membuka pengaduan dan
melakukan investigasi di lapangan untuk memperoleh informasi mengenai adanya
penyimpangan berdasarkan jenis atau pengelompokkan tersebut. Salah satu bentuk
tindakan penertiban adalah melakukan penyegelan terhadap rumah‑rumah bantuan
yang dikategorikan bermasalah, yang selanjutnya penyelesaiannya ditangani secara
musyawarah atau melalui proses hukum.
Tabel 5.2. Jumlah Kasus Penyimpangan dan Penanganannya
Jumlah Kasus
Jumlah
Temuan Total
Kategori Penyimpangan Kasus
PERUMAHAN: Membentang Atap Berpilar Asa
100
Selain itu, manfaat baik pengalaman maupun keuntungan dari segi finansial
dirasakan langsung oleh masyarakat. Dunia usaha di Aceh diharapkan tumbuh dan pulih
kembali. Selain itu perputaran dana yang lebih besar juga segera terjadi di masyarakat,
meningkatkan daya tahan terhadap riak dan gejolak persoalan persoalan sosial ekonomi
yang umum.
Dari proses ini, diharapkan pula bahwa
Tabel 5.5. Capaian Program Perbaikan atau Rehabilitasi Rumah masyarakat yang merasa disertakan dalam
rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana
Jumlah
Capaian Perbaikan Rumah % ini akan merawat dan memelihara
(KK)
102 A. On‑Budget: 69.415 96,9 hasil‑hasil yang diperoleh dari jalannya
Dinas Perumahan Permukiman, Aceh 2005 2.133 2,9
proses rehabilitasi dan rekonstruksi ini.
Bantuan Perbaikan Rumah (BPR), Aceh‑Nias 2006/2007 6.342 Oleh karena itu, hikmah ajar dari
8,8
ReKompak, Aceh 2005/2006/2007 6.952 9,7 pengalaman melakukan rehabilitasi dan
BSPR, Aceh‑Nias 2008 53.792 75,1 rekonstruksi adalah sebagai berikut.
ADB Rumah Adat Nias 2008 196 0,3 Begitu terjadi bencana, maka langkah
B. Off‑Budget (Un‑HABITAT, Care, Gitec/KfW, WVI dll) 2.176 3,1 pertama dan utama yang perlu dilakukan
Total Capaian On‑budget & Off‑budget (A+B) 71.591 100 adalah sesegera mungkin melakukan
Sasaran Rencana Induk (Perpres 47/2008) 67.850
inventarisasi kapasitas yang ada di tingkat
lokal. Benar bahwa masyarakat yang
ada di wilayah bencana adalah korban
yang perlu dibantu dan diberikan dukungan. Akan tetapi, para penyintas juga punya
kekuatan dan daya upaya yang bisa diangkat ke permukaan demi menolong sesama, juga
untuk menggerakkan kembali roda upaya menuju pemulihan pascabencana. Selain itu,
dengan mempertimbangkan skala bencana, boleh jadi tidak seluruh wilayah hancur total
sehingga sebagian dari masyarakat berada pada kondisi dan posisi yang berdaya.
Hikmah ajar dari pengalaman rehabilitasi dan rekonstruksi khususnya di bidang
perumahan dan permukiman mengungkapkan bahwa masyarakat itu sendirilah yang
paling tahu kebutuhan, seluk‑beluk, lika‑liku juga berbagai aspek yang terkait dengan
pemulihan bencana. Inventarisasi kapasitas lokal bisa menjadi titik awal pemulihan
bencana yang tepat waktu, tepat biaya, juga tepat sasaran dan membawa manfaat yang
bisa langsung dilaksanakan masyarakat di tingkat lokal.
Inventarisasi kapasitas lokal ini dapat diikuti dengan pendirian pelatihan atau
Foto udara kompleks perumahan pendidikan keterampilan dan praktik kerja yang mengajarkan kepada sumber daya di
relokasi bantuan dari China Charity tingkat lokal yang masih berdaya hal‑hal yang mendesak dibutuhkan di masa tanggap
Federation di Neuheun, Kabupaten
Aceh Besar, 4 Desember 2007.
darurat, misalnya keterampilan membangun rumah serta prasarana pendukung
Foto: BRR/Arif Ariadi permukiman.
PERUMAHAN: Membentang Atap Berpilar Asa
104
Pertemuan rutin antara staf Hal tersebut dapat dilakukan dengan menggandeng lembaga‑lembaga donor
Kedeputian Bidang Perumahan dan misalnya International Labour Organization (ILO). Dengan cara ini, diharapkan terjadi
Permukiman BRR dengan warga
penerima manfaat di Calang, kapasitas‑kapasitas yang diinventarisasi di tingkat lokal dapat ditingkatkan sedemikian
Kabupaten Aceh Jaya, 8 Mei 2007, rupa bahkan mencapai standar minimum tertentu.
forum seperti ini amat efektif sebagai
wahana menampung keluhan dan Keberpihakan pada kapasitas lokal bukan berarti bebas dari risiko. Pengalaman
mencari solusinya. Foto: Oni Imelva menggalang rekanan kontraktor lokal misalnya punya riak‑riaknya tersendiri. Tetapi
manfaat yang diperoleh dari proses ini jauh lebih besar dibandingkan segala risiko. Buah
manis dari keterlibatan langsung dalam proses membangun kembali lebih baik inilah
yang nantinya dinikmati bersama oleh masyarakat Aceh.
Membangun kekuatan lokal, khususnya dalam kasus kontraktor, dapat dihadapi
dengan melakukan serangkaian perbaikan dari proses yang terjadi, khususnya dari
segi saluran administratif yang digunakan. Ketika Aceh dilanda gelombang pekerja
kemanusiaan dari berbagai belahan dunia dalam jumlah yang mencengangkan, BRR
membentuk Tim Terpadu yang mempermudah urusan dan birokrasi—mulai dari visa,
izin tinggal, dan serangkaian pengurusan dokumen yang dibutuhkan. Pendekatan ala
Tim Terpadu ini juga dapat diterapkan untuk mempermulus saluran administrasi terkait
dengan penggunaan kontraktor lokal. Selain itu, mekanisme dan kriteria pemilihan pun
ada baiknya digunakan secara berlapis, sehingga tim evaluasi kontraktor tak perlu lagi
mewawancara ribuan kontraktor.
Berpihak pada pengembangan potensi‑potensi yang ada di tingkat lokal bukan berarti
pula memarginalkan kekuatan, pengalaman, keterampilan maupun keahlian yang datang
dari luar daerah bencana. Untuk menghasilkan sinergi yang optimal, maka kekuatan lokal
yang berdaulat ini baiknya diramu dengan dukungan dari luar. Hal ini bisa diciptakan
108
Kemampuan memotret kondisi unik di tiap wilayah akan sangat berguna khususnya
dalam membangun kekuatan yang ada di tingkat lokal. Jika ini diikuti dengan kreativitas
dan inovasi bahkan sejak di tingkat perencanaan, maka akan diperoleh lima atau enam
bahkan lebih pendekatan yang bisa cocok untuk kebutuhan‑kebutuhan masyarakat yang
1 2
Pengumpulan data Pengkoordinasian
penerima manfaat dikonsolidasikan pelaksana di lapangan
di tingkat desa dipusatkan di tingkat
kecamatan
Menstandarkan format yang akan diisi Seluruh fasilitator dari berbagai pelaku
untuk tingkat desa dibantu oleh fasilitator KANTOR rekonstruksi/ rehabilitasi
dan petugas dari kecamatan WILAYAH dikoordinasikan di tingkat kecamatan
1
Untuk penanganan penyintas di hunian sementara misalnya, data penerima manfaat
sebaiknya mencakup siapa saja yang tinggal di barak beserta latar belakangnya dan
disimpan dalam sebuah basis data sehingga tidak lagi bersifat manual. Selanjutnya data
tersebut dijadikan data teregister dan diverifikasi sehingga bisa tersaring siapa yang