Anda di halaman 1dari 10

FOTOMETRI (Bag.

1)
Posted on October 27, 2008 - Filed Under Olimpiade Astronomi |

Fotometri adalah bagian dari astrofisika yang mempelajari kuantitas, kualitas dan arah
pancaran radiasi elektromagnetik dari benda langit. Penggunaan kata ‘foto‘ yang berarti
‘cahaya‘ disebabkan pada awalnya pengamatan benda langit hanya terbatas pada panjang
gelombang visual/optik.

Fotometri didasarkan pada pemahaman atas hukum pancaran (radiation law). Kita
menghipotesakan bahwa benda langit diangggap memiliki sifat sebuah benda hitam
(black body).

Sifat benda hitam antara lain :

1) pada kesetimbangan termal, temperatur benda hanya ditentukan oleh jumlah energi
yang diserapnya per detik;

2) benda hitam tidak memancarkan radiasi pada seluruh gelombang elektromagnetik


dengan intensitas yang sama (ada yang dominan meradiasikan gelombang
elektromagnetik pada daerah biru dengan intensitas yang lebih besar dibandingkan
gelombang elektromagnetik pada panjang gelombang lainnya. Konsekuensinya, benda
tersebut akan nampak biru).

Panjang gelombang yang dipancarkan dengan intensitas maksimum (λmaks) oleh sebuah
benda hitam dengan temperatur T Kelvin adalah :

λmaks = 0,2898/ T …………………….. (pers. 1)

(λmaks dinyatakan dalam cm dan T dalam Kelvin)

Persamaan di atas disebut dengan Hukum Wien.

Fotometri Bintang
Fotometri Bintang Part I

Untuk mempelajari benda-benda langit, informasi yang diterima hanyalah berupa


seberkas cahaya. Cahaya termasuk gelombang elektromagnet.
Pancaran gelombang elektromagnet dapat dibagi dalam berbagai jenis, tergantung pada
panjang gelombangnya ( ).

1. Gelombang radio, dengan \lambda antara beberapa milimeter sampai 20 meter.


2. Gelombang inframerah dengan \lambda sekitar 7500 Angstrom hingga sekitar 1
mm (1 Angstrom = ).
3. Gelombang optik atau pancaran kasatmata dengan \lambda sekitar 3800
Angstrom sampai 7500 Angstrom.
4. Gelombang UV, sinar X dan sinar \gamma yang mempunyai \lambda < 3500
Angstrom.

Untuk mempelajari sifat pancaran suatu benda, kita hipotesiskan suatu pemancar
sempurna yang disebut black body (benda hitam).

1. Pada saat keadaan kesetimbangan termal, temperatur benda hanya ditentukan oleh
jumlah energi yang diserapnya per detik.
2. Suatu benda hitam tidak memancarkan seluruh gelombang elektromagnet secara
merata. Benda hitam bisa memancarkan cahaya biru lebih banyak daripada
cahaya merah atau sebaliknya.

Panjang gelombang maksimum ( ) pancaran benda hitam dapat ditentukan dengan


Hukum Wien yaitu :

dengan dinyatakan dalam cm dan T dinyatakan dalam Kelvin.

• Hukum ini menyatakan bahwa makin tinggi temperatur, maka makin pendek
panjang gelombangnya
• Hukum ini dapat digunakan untuk menerangkan gejalan bahwa bintang yang
temperaturnya tinggi akan tampak berwarna biru sedangkan yang temperaturnya
rendah akan tampak berwarna merah.

Pages: 1 2 3

About this entry

You’re currently reading “Fotometri Bintang,” an entry on Astronomy for dummies

Published:
September 15, 2008 / 13:06
Category:
Astronomi
Tags:
Astronomi, bintang, fotometri, modul

Contoh penggunaan hukum Wien :

(Warning : Yang perlu


diperhatikan bahwa λmaks bukan berarti panjang gelombang maksimum tetapi panjang
gelombang yang dipancarkan dengan intensitas maksimum)

Jumlah energi per satuan waktu yang dipancarkan sebuah benda hitam per satuan luas
permukaan pemancar (benda hitam) disebut fluks energi yang dipancarkan. Besarnya
fluks energi yang dipancarkan sebuah benda hitam (F) dengan temperatur T Kelvin
adalah :

F = σT4 …………………….. (pers. 2)

(σ : konstanta Stefan-Boltzman : 5,67 x 10^-8 Watt/m2K4)

Sedangkan total energi per waktu / daya yang dipancarkan sebuah benda hitam dengan
luas permukaan pemancar A dan temperatur T Kelvin disebut dengan Luminositas.
Besarnya luminositas (L) dihitung dengan persamaan :

L = A σT4 …………………….. (pers. 3)

Untuk bintang, bintang dianggap berbentuk bola sempurna sehingga luas pemancar
radiasinya (A) adalah 4πR2 ; dengan R menyatakan radius bintang. Jadi, luminositas
bintang (L) adalah :

L = 4πR2 σT4 …………………….. (pers. 4)


Benda hitam memancarkan radiasinya ke segala arah. Kita bisa menganggap pancaran
radiasi tersebut menembus permukaan berbentuk bola dengan radius d dengan fluks
energi yang sama, yaitu E. Besarnya E :

E = L/(4πd2) …………………….. (pers. 5)

Fluks energi inilah yang diterima oleh pengamat dari bintang yang berada pada jarak d
dari pengamat. Oleh karena itu, fluks energi ini sering disebut fluks energi yang diterima
pengamat. (Warning : bedakan antara besaran E dan F).

Persamaan ini disebut juga hukum kuadrat kebalikan (invers square law) untuk
kecerlangan (brightness, E) karena persamaan ini menyatakan bahwa kecerlangan (E)
berbanding terbalik dengan kuadrat jaraknya (d). Jadi, makin jauh sebuah bintang, makin
redup cahayanya.

Latihan:

1. Dari hasil pengukuran diperoleh bahwa permukaan seluas 1 cm2 di luar atmosfer
bumi menerima energi yang berasal dari Matahari sebesar 1,37 x 106 erg/cm2/s.
Apabila diketahui jarak Bumi-Matahari adalah 150 juta kilometer, tentukanlah
luminositas Matahari.
2. Bumi menerima energi dari Matahari sebesar 1380 Watt/m2. Berapakah energi
dari Matahari yang diterima oleh planet Saturnus, jika jarak Matahari-Saturnus
adalah 9,5 AU?
3. Luminositas sebuah bintang 100 kali lebih terang daripada Matahari, tetapi
temperaturnya hanya setengahnya dari temperatur Matahari. Berapakah radius
bintang tersebut dinyatakan dalam radius Matahari ?

(source : Dr. Djoni N. Dawanas

Fotometri Bintang
Fotometri Bintang Part II

Fluks adalah jumlah energi yang dipancarkan oleh setiap permukaan benda hitam per
detik ke semua arah, yaitu :

Apabila suatu benda berbentuk bola beradius dan bertemperatur memancarkan radiasi
dengan sifat-sifat benda hitam, maka energi yang dipancarkan seluruh benda itu ke semua
arah per detik disebut Luminositas yang dirumuskan sebagai :

Fluks energi yang diterima oleh pengamat yang berjarak dari suatu bintang yang
berluminositas adalah :

Energi Bintang yang diterima/melewati permukaan pada jarak per per detik (E).
Persamaan ini disebut juga hukum kuadrat kebalikan (inverse square law) untuk
kecerlangan (brightness). Karena persamaan ini menyatakan bahwa keverlangan benda
berbanding terbalik dengan kuadrat jaraknya maka makin jauh sebuah bintang, makin
redup cahayanya.

Jarak Bintang

Jarak bintang yang dekat dapat ditentukan dengan cara paralaks trigonometri.

jarak matahari – bumi (1 Astronomical Unit/AU)


jarak matahari – bintang
sudut paralaks bintang
Maksud dari sudut paralaks bintang adalah besarnya sudut perubahan posisi bintang
apabila diamati dari tempat yang berbeda 180 derajat.

maka

karena p sangat kecil, maka persamaan di atas dapat dituliskan , p dalam radian.

Apabila p dinyatakan dalam detik busur (“) dan karena 1 radian = 206265″, maka

Di dalam astronomi luminositas berarti jumlah energi yang dipancarkan sebuah benda ke
segala arah per satuan waktu. Luminositas dinyatakan dalam watt atau erg per detik
dalam satuan internasional (SI).

PERHITUNGAN PARAMETER FISIK


BINTANG
Posted on October 27, 2008 - Filed Under Olimpiade Astronomi |

Penentuan terhadap parameter fisik bintang, diantaranya diameter, suhu, hingga


kerapatan, jelas berbeda dengan perhitungan serupa pada benda-benda di bumi.
Berhubung jaraknya yang sangat jauh dan tak terjangkau secara fisik, perlu metodologi
khusus untuk melakukan pengukuran semacam ini.

Untuk mengukur diameter bintang biasa digunakan beberapa cara. Dari kecerlangan dan
jarak bintang, kita bisa menghitung luminositasnya (L), sementara dari observasi
terhadap kecerlangan pada panjang gelombang yang berbeda, kita bisa menghitung
temperaturnya (T). Karena radiasi dari banyak bintang dapat diperkirakan dengan cukup
akurat melalui spektrum benda-hitam Planck, besaran yang diperoleh dapat dihubungkan
melalui persamaan:

L = 4πR2σT4

Dari sini, kita memperoleh cara untuk menghitung R, radius (jari-jari) bintang. Dalam
persamaan diatas, σ adalah konstanta Stefan yang nilainya 5,67 × 10-5 erg/cm2deg4sec.
(Radius R disini merujuk pada fotosfer bintang, daerah dimana bintang secara efektif
terlihat bulat melalui pengamatan dari luar.) Diameter sudut bintang dapat dihitung
melalui efek interferensi. Alternatif lainnya, kita bisa mengamati intensitas cahaya
bintang saat ditutupi oleh Bulan, yang menghasilkan difraksi di bagian pinggir dengan
pola yang bergantung kepada diameter sudut bintang. Diameter sudut bintang sebesar
beberapa milidetik-busur dapat diukur, namun sejauh ini terbatas pada bintang-bintang
yang relatif cemerlang dan dekat.

Banyak bintang yang membentuk sistem bintang ganda, dimana dua buah bintang secara
berpasangan mengorbit suatu pusat massa bersama. Periode (P) dari sistem bintang ganda
berhubungan dengan massa dari kedua bintang (m1 + m2), dan sumbu orbital semimayor
a melalui hukum ketiga kepler:

P2=4π2a3/G[m1 + m2]

Dimana G adalah konstanta gravitasi universal. Dari diameter dan massa, nilai rata-rata
kerapatan (densitas) bintang dapat dihitung, dan kemudian kita juga bisa mengukur
tekanan dan temperatur di pusat bintang. Sebagai contoh, Matahari kita memiliki
kerapatan di pusatnya sebesar 158 g/cm3, tekanan diperhitungkan mencapai
1.000.000.000 atmosfir, dengan suhu mencapai 15.000.000 K. Dalam suhu setinggi ini,
semua atom akan terionisasi, dan dengan demikian interior matahari terdiri dari plasma
dan gas yang terionisasi, dengan inti atom hidrogen dan helium serta elektron sebagai
penyusun utamanya. Sekelompok kecil inti hidrogen bergerak dengan kecepatan
sedemikian tinggi hingga ketika bertumbukan, terjadi tolakan elektrostatik yang
menyebabkan fusi (penggabungan) inti helium dan diikuti oleh pelepasan energi.
Sebagian energi dihantarkan oleh neutrino, namun sebagian besar dihantarkan oleh foton
ke permukaan matahari. Proses inilah yang memungkinkan Matahari memancarkan
sinarnya.

Bintang lainnya, baik yang lebih maupun kurang masif dibandingkan Matahari, memiliki
struktur yang kurang lebih sama, namun dalam hal ukuran, tekanan dan temperatur di
pusat, dan kecepatan reaksi fusi, semuanya bergantung pada massa dan komposisi
bintang bersangkutan. Bintang dan reaksi fusi didalamnya (dan luminositas resultannya)
tetap dalam keadaan stabil dan terhindar dari keruntuhan karena adanya keseimbangan
antara tekanan ke arah dalam yang dihasilkan oleh tarikan gravitasi dan tekanan ke arah
luar yang dipicu oleh foton hasil dari reaksi fusi.

Bintang yang berada dalam keadaan keseimbangan hidrostatik semacam ini disebut
sebagai bintang tahapan utama (main-sequence). Dengan memanfaatkan diagram
Hertzprung-Russel (H-R), kita bisa menghitung temperatur bintang berdasarkan
magnitudo dan spektrumnya. Pengukuran terhadap magnitudo tampak pada pita spektral
B dan V (antara 4350 dan 5550 angstrom [Å]) memungkinkan kita menghitung indeks
warna (colour index), CI = mB - mV, dimana dari sana kita bisa menghitung suhu pada
bintang.

Untuk suhu yang diberikan, ada bintang yang memiliki luminositas lebih besar dari
bintang tahapan utama. Besar nilai R2T4 bergantung pada luminositasnya, makin besar
luminositas, berarti radiusnya juga lebih besar. Bintang yang radiusnya lebih besar dari
bintang-bintang tahapan utama kita golongkan sebagai bintang raksasa atau super-
raksasa. Sebaliknya, bintang yang radiusnya lebih kecil kita masukkan kedalam golongan
bintang kerdil. Bintang kerdil putih misalnya, memiliki rentang suhu berkisar 10.000
hingga 12.000 K dan secara visual terlihat berwana putih kebiruan.

Klasifikasi spektral didasarkan pada indeks warna. Seperti sudah pernah kita pelajari
disini, bintang-bintang dikelompokkan menjadi kelas-kelas spektral O, B, A, F, G, K, dan
M, yang masing-masing dibagi lagi menjadi 10 subdivisi (bagian). Kekuatan garis-garis
spektrum pada sebuah bintang menunjukkan kelimpahan elemen di atmosfer bintang
bersangkutan. Dari sini, masing-masing subdivisi untuk tiap bintang ditentukan.
Matahari, misalnya, adalah bintang tahapan utama, yang dikelompokkan sebagai bintang
tipe G2 V (V menunjukkan bintang tahapan utama), sementara Betelgeuse yang
merupakan sebuah bintang super-raksasa merah, dengan suhu di permukaan sekitar
setengah kali Matahari namun dengan luminositas sekitar 10.000 kalinya, dikelompokkan
sebagai M2 Iab.
ACHENAR
Terletak sejauh 144 tahun cahaya dari Matahari, bintang yang satu ini menandai ujung
selatan rasi Eridanus (”sungai”). Achernar, nama bintang ini berasal dari bahasa arab “Al
Akhir al Nahr” yang artinya “muara sungai”. Achernar adalah bintang paling cemerlang
nomor sembilan di langit malam. Posisi bintang ini sekitar 32 derajat dari kutub selatan
dan karenanya tidak terlalu dikenal oleh mereka yang tinggal di belahan utara katulistiwa.

Achernar adalah bintang biru-putih yang sedang berada dalam tahapan utamanya.
Berdasarkan kelas spektral dan luminositasnya, bintang ini digolongkan dalam kelas B3
Vpe. Sebelumnya, Achernar sempat diklasifikasikan secemerlang bintang sub-raksasa.
Massanya berkisar pada 6 hingga 8 kali massa Matahari, dengan diameter 14,4 (± 0,4;
polar) hingga 24,0 (± 0,8; ekuatorial) kali diameter matahari. Luminositas visualnya
setara dengan 1.070 kali matahari dengan luminositas bolometrik (bergantung pada
perkiraan radiasi ultraviolet yang dipancarkan) setidaknya 2.900 hingga 5.400 kalinya.

Bintang yang berotasi dengan sangat cepat ini tergolong bintang yang masih sangat
muda. Usianya tidak lebih dari beberapa ratus juta tahun. Sambil melontarkan massa
dengan besaran ribuan kali massa matahari, Achernar berotasi dengan kecepatan
mencapai 225 hingga 300 kilometer per detik sehingga membuatnya tergolong sebagai
bintang “Be” (B-emission), dimana ia dilingkupi oleh emisi sirkumstelar (circumstellar
emission, CSE) - gas yang melingkupi bintang - yang terus berekspansi akibat massa
yang terlontar dari bintang tersebut. Sebagai bintang bermassa besar yang usianya masih
sangat muda, Achernar berotasi dengan sangat cepat, dengan periode rotasi hanya dalam
hitungan jam.

Achernar juga merupakan bagian dari kelas bintang yang ganjil, Lambda Eridani, yang
beranggotakan bintang-bintang yang menunjukkan variasi kecerlangan yang kecil namun
sangat teratur (dengan periode 1,25 hari) yang mungkin disebabkan oleh adanya denyutan
atau oleh rotasi dan keberadaan bintik gelap (seperti sunspot pada matahari kita).
Walaupun Achernar adalah bintang yang masif, ia masih cukup muda untuk melakukan
reaksi fusi hidrogen menjadi helium pada intinya, dan ukurannya mungkin cukup kecil
untuk kelak berevolusi menjadi bintang kerdil putih semacam Sirius B.

Pada Juli 2003, suatu tim astronom dari European Southern Observatory (ESO) yang
beranggotakan Armando Domiciano de Souza, Lyu Abe, Farrokh Vakili, Pierre Kervella,
Slobodan Jankov, Emmanuel DiFolco, dan Francesco Paresce mengumumkan bahwa
Achernar lebih pepat (datar pada kutub-kutubnya) ketimbang yang sebelumnya
diprediksikan, dengan radius pada ekuator lebih dari 50 persen lebih besar daripada
kutubnya. Berdasarkan penelitian tim ini, besaran angular pada profil eliptik Archenar
adalah 0,00253 ± 0,00006 detik busur (major axis) dan 0,00162 ± 0,00001 detik busur
(minor axis). Pada jarak yang terukur, radius bintang pada ekuator diperkirakan sekitar 12
± 0.4 kali matahari sementara batas atas (upper value) radius pada kutub diperkitakan
sekitar 7,7 ± 0,2 kali matahari, atau sekitar 8,4 dan 5,4 juta kilometer. Tim ESO
memperkirakan bahwa batas atas tersebut bergantung pada sudut inklinasi (kemiringan)
dari sumbu kutub bintang tersebut terhadap garis pandang dari Bumi, sehingga ukuran
sebenarnya mungkin lebih kecil.

Di sisi lain, bentuk semacam Archenar tidak dapat direproduksi melalui model interior
bintang yang umum, kecuali apabila ada fenomena lain yang ikut ambil bagian, termasuk
sirkulasi meridional di permukaan (”aliran utara-selatan”) dan rotasi yang tidak seragam
pada kedalaman yang berbeda pada bintang ini. Salah satu efek samping dari kepepatan
yang ekstrim pada bintang ini adalah tingginya tingkat kehilangan massa dari permukaan,
yang juga turut diperbesar oleh rotasinya yang sangat kencang melalui efek sentrifugal.

Berdasarkan intensitas radiasi ultravioletnya yang tinggi, jarak dari Achernar dimana
planet setipe Bumi dapat membentuk, lengkap dengan keberadaan air dalam bentuk cair,
adalah antara 54 hingga 73 AU, atau diluar orbit Pluto di tata surya kita. Dalam jarak
sedemikian dari bintang induknya, suatu planet akan memiliki periode orbit antara 160
hingga 260 tahun Bumi. Apabila ada kehidupan di planet setipe Bumi yang mengorbit
Achernar, itu mestilah organisme primitif bersel satu, bakteri anaerobik (tidak
menghasilkan oksigen), dibawah bombardemen yang konstan dari meteorit dan komet,
seperti yang pernah dialami Bumi pada satu miliar tahun pertama terbentuknya. Karena
ketiadaan oksigen, maka planet itu mungkin tidak memiliki lapisan Ozon (O3), meskipun
Achernar melepaskan sejumlah besar radiasi (khususnya ultraviolet) ketimbang matahari.
Para astronom mungkin akan kesulitan untuk mendeteksi keberadaan planet seukuran
Bumi di sekeliling Achernar apabila menggunakan metode yang dikenal saat ini.

SUMBER ARTIKEL http://dhani.singcat.com

Anda mungkin juga menyukai