Anda di halaman 1dari 7

FOTOMETRI BINTANG

Fotometri adalah cabang dari Astronomi yang mempelajari tentang informasi cahaya
yang dikirim dari angkasa luar, entah itu dari bintang atau dari objek lain. Sebenarnya yang
dimaksud cahaya di sini adalah tidak selalu harus cahaya tetapi bisa juga gelombang
elektromagnetik dalam bentuk lain, seperti inframerah, sinar ultraviolet, sinar gamma, sinar X
atau gelombang radio.
Fotometri pun merupakan bagian dari astrofisika yang mempelajari kuantitas, kualitas
dan arah pancaran radiasi elektromagnetik dari benda langit. Penggunaan kata ‘foto‘ yang
berarti ‘cahaya‘ disebabkan pada awalnya pengamatan benda langit hanya terbatas pada
panjang gelombang visual/optik.
Fotometri didasarkan pada pemahaman atas hukum pancaran (radiation law). Kita
menghipotesakan bahwa benda langit diangggap memiliki sifat sebuah benda hitam (black
body).
Sifat benda hitam antara lain :
1) pada kesetimbangan termal, temperatur benda hanya ditentukan oleh jumlah energi yang
diserapnya per detik;
2) benda hitam tidak memancarkan radiasi pada seluruh gelombang elektromagnetik dengan
intensitas yang sama (ada yang dominan meradiasikan gelombang elektromagnetik pada
daerah biru dengan intensitas yang lebih besar dibandingkan gelombang elektromagnetik
pada panjang gelombang lainnya. Konsekuensinya, benda tersebut akan nampak biru).
Panjang gelombang yang dipancarkan dengan intensitas maksimum (λmaks) oleh sebuah
benda hitam dengan temperatur T Kelvin adalah :
λmaks = 0,2898/ T
(λmaks dinyatakan dalam cm dan T dalam Kelvin)

Persamaan di atas disebut dengan Hukum Wien.


• Hukum ini menyatakan bahwa makin tinggi temperatur, maka makin pendek panjang
gelombangnya
• Hukum ini dapat digunakan untuk menerangkan gejalan bahwa bintang yang temperaturnya
tinggi akan tampak berwarna biru sedangkan yang temperaturnya rendah akan tampak
berwarna merah
FLUKS PANCARAN DAN SISTEM MAGNITUDO
a. Fluks Pancaran
Kuantitas yang pertama kali langsung dapat ditentukan dari pengamatan sebuah
bintang adalah fluks pancarannya, yaitu jumlah cahaya atau energi yang diterima permukaan
kolektor (mata atau teleskop) per satuan luas per satuan waktu. Biasanya dinyatakan dalam
satuan watt per cm2 (satuan internasional) atau erg per detik per cm2 (satuan cgs).
Besarnya fluks energi yang dipancarkan sebuah benda hitam (F) dengan temperatur T Kelvin
adalah :
F = σT4
(σ : konstanta Stefan-Boltzman : 5,67 x 10^-8 Watt/m2K4)
Sedangkan total energi per waktu / daya yang dipancarkan sebuah benda hitam dengan luas
permukaan pemancar A dan temperatur T Kelvin disebut dengan Luminositas. Besarnya
luminositas (L) dihitung dengan persamaan :
L = A σT4
Untuk bintang, bintang dianggap berbentuk bola sempurna sehingga luas pemancar
radiasinya (A) adalah 4πR2 ; dengan R menyatakan radius bintang. Jadi, luminositas bintang
(L) adalah :
L = 4πR2 σT4
Benda hitam memancarkan radiasinya ke segala arah. Kita bisa menganggap pancaran radiasi
tersebut menembus permukaan berbentuk bola dengan radius d dengan fluks energi yang
sama, yaitu E. Besarnya E :
E = L/(4πd2)

Fluks energi inilah yang diterima oleh pengamat dari bintang yang berada pada jarak
d dari pengamat. Oleh karena itu, fluks energi ini sering disebut fluks energi yang diterima
pengamat. (Perhatian : bedakan antara besaran E dan F).
Persamaan ini disebut juga hukum kuadrat kebalikan (invers square law) untuk kecerlangan
(brightness, E) karena persamaan ini menyatakan bahwa kecerlangan (E) berbanding terbalik
dengan kuadrat jaraknya (d). Jadi, makin jauh sebuah bintang, makin redup cahayanya.
b. Sistem Magnitudo
1. Magnitudo Semu
Magnitudo tampak atau semu (m) dari suatu bintang, planet atau benda langit lainnya
adalah pengukuran dari kecerahan atau kecerlangan yang tampak; yaitu banyaknya cahaya
yang diterima dari objek itu..
Berdasarkan uraian di atas Ilmuwan John Herschel mendapatkan bahwa kepekaan mata
dalam menilai terang bintang bersifat logaritmik. Bintang yang bermagnitudo 1 ternyata 100
kali lebih terang dibandingkan bintang yang bermagnitudo 6. Berdasarkan fakta ini, Pogson
merumuskan skala magnitudo secara kuantitatif. Hal ini menyebabkan sistem magnitudo
semakin banyak digunakan hingga saat ini.
Skala Pogson untuk magnitudo (semu):
m1 – m2 = -2,5log(E1/E2)
dengan :
m1 : magnitudo (semu) bintang 1
m2 : magnitudo (semu) bintang 2
E1 : Fluks pancaran yang diterima pengamat dari bintang 1
E2 : Fluks pancaran yang diterima pengamat dari bintang 2

Harga acuan (pembanding standar) skala magnitudo mula-mula digunakan bintang Polaris.
Bintang Polaris ditetapkan memiliki magnitudo 2 dan bintang lainnya dibandingkan terhadap
bintang Polaris. Bintang Polaris, yang juga bintang kutub langit utara, dipilih karena bintang
ini terlihat dari seluruh observatorium yang ada di belahan bumi utara (karena pada masa itu,
belahan bumi utara lebih berkembang dan maju secara teknologi). Namun, bintang ini
ternyata memiliki kecerlangan yang berubah-ubah (Polaris ternyata adalah sebuah bintang
variabel Cepheid) sehingga kecerlangan Polaris tidak bisa digunakan sebagai patokan/standar
baku. Oleh sebab itu, astronom menentukan bintang – bintang lainnya untuk dijadikan
standar.
Untuk mengukur kecerlangan suatu bintang digunakan alat yang dinamakan fotometer.
Prinsip kerjanya adalah dengan memanfaatkan gejala fotolistrik. Efek fotolistrik inilah yang
membuat Einstein memperoleh hadiah Nobel (dan bukan karena hukum relativitas).
Penerapan efek fotolistrik ini antara lain diterapkan pada sel surya, chip CCD, dll. Cahaya
(atau gelombang elektromagnetik lainnya) ketika menyentuh kelompok bahan tertentu akan
menyebabkan elektron yang ada di permukaan bahan akan terlepas. Jumlah elektron yang
terlepas tergantung dari intensitas radiasi gelombang elektromagnetik yang diterimanya.
Jumlah elektron yang dihasilkan ini dapat menghasikan arus listrik yang dapat kita ukur.
Dengan prinsip inilah, kita dapat mengukur intensitas cahaya sebuah bintang.
Cara terbaik untuk mengukur magnitudo adalah dengan membandingkan kecerlangan
suatu bintang dengan bintang standar yang ada di dekatnya. Hal ini disebabkan perbedaan
keadaan atmosfer antara kedua bintang (bintang standar dan bintang program/yang diamati)
tidaklah besar. Atmosfer Bumi dapat menyerap sebagian cahaya bintang dan besarnya
penyerapan tergantung dari ketinggian dan kondisi atmosfer yang dilewati cahaya bintang
sebelum sampai ke detektor pengamat. Pada saat ini, sudah banyak bintang standar, baik di
langit belahan utara maupun selatan.

2. Magnitudo Mutlak (Absolut)


Untuk menyatakan luminositas atau kuat sebenarnya sebuah bintang, kita definisikan
besaran magnitudo mutlak (intrinsic/absolute magnitude), yaitu magnitudo bintang yang
diandaikan diamati dari jarak 10 pc.
Skala Pogson untuk magnitudo mutlak (M) :
M1 – M2 = -2,5log(L1/L2)
dengan :
M1 : magnitudo mutlak bintang 1
M2 : magnitudo mutlak bintang 2
L1 : Luminositas bintang 1
L2 : Luminositas bintang 2
Hubungan antara magnitudo semu (m) dan magnitudo mutlak (M) disebut modulus jarak.
m – M = -5 + 5 log d
dengan d adalah jarak bintang (dalam pc) dan (m-M) disebut modulus jarak.
Persamaan modulus jarak umumnya digunakan dalam menentukan jarak bintang-bintang
yang jauh secara tidak langsung (metode indirect). Seperti yang sudah pernah dibahas
sebelumnya bahwa metode paralaks trigonometri hanya bisa menentukan jarak secara akurat
untuk beberapa bintang dengan jarak kurang dari 500 pc. Untuk bintang yang lebih jauh lagi,
perlu digunakan metode-metode tak langsung (indirect). Salah satunya adalah dengan
mengukur magnitudo semu bintang lalu memperkirakan magnitudo mutlaknya. Cara
memperkirakan magnitudo mutlak ini banyak metode/caranya.
Materi antar bintang tersebut dapat mengabsorpsi sebagian cahaya bintang. Jika
keberadaan serapan oleh materi antar bintang (MAB) tidak diabaikan, maka persamaan
modulus jaraknya :
m – M = -5 + 5 log d + AV
dengan AV : konstanta serapan materi antar bintang.
Sebelum perkembangan fotografi, magnitudo bintang ditentukan dengan mata. Kepekaan
mata untuk daerah panjang gelombang yang berbeda tidak sama. Mata terutama peka untuk
cahaya kuning hijau di daerah λ = 5 500 Å, karena itu magnitudo yang diukur pada daerah ini
disebut magnitudo visual atau mvis.
Dengan berkembangnya fotografi, magnitudo bintang selanjutnya ditentukan secara fotografi.
Pada awal fotografi, emulsi fotografi mempunyai kepekaan di daerah biru-ungu pada panjang
gelombang sekitar 4.500 Å. Magnitudo yang diukur pada daerah ini disebut magnitudo
fotografi atau mfot .
Jadi, untuk suatu bintang, mvis berbeda dari mfot. Selisih kedua magnitudo tersebut, yaitu
magnitudo fotografi dikurang magnitudo visual disebut indeks warna (Color Index – CI).
Semakin panas atau makin biru suatu bintang, semakin kecil indeks warnanya.
Dengan berkembangnya fotografi, selanjutnya dapat dibuat pelat foto yang peka terhadap
daerah panjang gelombang lainnya, seperti kuning, merah bahkan inframerah.
Pada tahun 1951, H.L. Johnson dan W.W. Morgan mengajukan sistem magnitudo yang
disebut sistem UBV, yaitu :
U = magnitudo semu dalam daerah ultraungu (λef = 3500 Å)
B = magnitudo semu dalam daerah biru ( λef = 4350 Å)
V = magnitudo semu dalam daerah visual ( λef = 5550 Å)
Berikut ini disajikan skala magnitudo tampak :
Magnitudo Tampak Benda Langit
-26,8 Matahari
-12,6 Bulan Purnama
-4.4 Kecerahan Maksimum Venus
-2.8 Kecerahan Maksimum Mars
-1.5 Bitang Tercerah : Sirius
-0.7 Bintang tercerah kedua : Canopus
0 Titik nol berdasarkan definisi : Vega
+3.0 Bintang Teredup yang terlihat di perkotaan
+6.0 Bintang terendup yang terlihat dengan mata telanjang
+12.6 Kuasar tercerah
+30 Objek teredup yang dapat diamati oleh Teleskop Hubble

Magnitudo Bolometrik

Sistem magnitudo yang sudah kita bahas di atas hanya diukur pada panjang gelombang
tertentu saja (mvis,mfot,mB,mU). Walaupun berbagai magnitudo tersebut dapat
menggambarkan sebaran energi pada spektrum bintang sehingga dapat memberikan petunjuk
mengenai temperaturnya, namun belum dapat memberikan informasi mengenai sebaran
energi pada seluruh panjang gelombang yang dipancarkan oleh suatu bintang.
Persamaan modulus jarak untuk magnitudo bolometrik (absorpsi MAB diabaikan):
mbol – Mbol = -5 + 5log d
dengan d dalam parsec.
Apabila Mbol suatu bintang dapat ditentukan, maka luminositasnya juga dapat
ditentukan (dapat dinyatakan dalan luminositas Matahari). Luminositas bintang merupakan
parameter yang sangat penting dalam teori evolusi bintang. Sayangnya, magnitudo mutlak
bolometrik sangat sukar ditentukan, karena beberapa panjang gelombang tidak dapat
menembus atmosfer bumi. Untuk bintang yang panas, sebagian energinya dipancarkan pada
daerah ultraviolet. Untuk bintang yang dingin, sebagian energinya dipancarkan pada daerah
inframerah. Oleh karena itu, pengamatan magnitudo bolometrik harus dilakukan di atas
atmosfer.
Untuk memudahkan, magnitudo bolometrik ditentukan secara teori berdasarkan pengamatan
di bumi. Atau, dapat ditentukan secara tidak langsung, yaitu dengan memberikan koreksi
pada magnitudo visualnya, yang disebut koreksi bolometrik (Bolometric Correction – BC).
mv – mbol = BC
Mv – Mbol = BC
Nilai BC tergantung pada temperatur atau warna bintang.
Untuk bintang yang dapat ditentukan magnitudo bolometriknya. Didefinisikan bahwa harga
terkecil BC adalah nol (BC ≥ 0). Untuk BC = 0 untuk (B-V) = 0,3.
Untuk Matahari, magnitudo bolometriknya (mbol¤) = -26,83, magnitudo mutlak
bolometriknya adalah Mbol¤ = 4,74 dan koreksi bolometriknya BC = 0,08. Berikut disajikan
tabel temperatur efektif dan koreksi bolometrik untuk bintang-bintang deret utama dan
bintang maharaksasa.

Anda mungkin juga menyukai