PENDAHULUAN
1. LATAR BELAKANG
Sejak Juli 2005, Bank Indonesia menerapkan kerangka kerja
kebijakan moneter “Inflation Targeting Framework (ITF)” dengan
menggunakan suku bunga sebagai sasaran operasional kebijakan moneter.
Dengan ITF, arah kebijakan moneter secara konsisten ditujukan untuk
mencapai sasaran inflasi jangka menegah yang rendah dan stabil. Arah
(stance) kebijakan moneter diwakili oleh suatu suku bunga jangka pendek
(policy rate) yang ditetapkan berjangka waktu 1 bulan yang kemudian dikenal
dengan BI Rate.
Dari sisi moneter, sejak pertengahan 2005 telah terjadi perubahan
paradigma yaitu dari stabilisasi yang berbasis jumlah uang yang beredar
menjadi Inflation Targeting Framework (ITF) dengan menggunakan
instrumen suku bunga. Perkembangan perekonomian suatu negara dapat
dikatakan sedang meningkat atau menurun berdasarkan beberapa indikator
dasar makroekonominya diantaranya suku bunga, jumlah uang beredar,
inflasi, nilai tukar dan pengangguran. Bank Indonesia sebagai lembaga
otoritas moneter melakukan upaya stabilisasi melalui instrumen suku bunga
SBI, penetapan SBI dilakukan untuk mengendalikan jumlah uang beredar.
Ketika jumlah uang yang beredar di masyarakat terlalu banyak maka akan
menyebabkan terjadinya inflasi.
1
menjaga stabilitas nilai tukar dan independensi dalam mencapai tujuan
domestik, contohnya target inflasi atau pertumbuhan. Di samping itu, jika
sistem nilai tukar yang digunakan adalah fixed exchange rate, kebijakan
moneter tidak cukup efektif untuk mengelola perekonomian makro.
2. PERMASALAHAN
2
BAB II
KEBIJAKAN MONETER
1. Pengertian
Kebijakan Moneter adalah upaya mengendalikan atau mengarahkan
perekonomian makro ke kondisi yang lebih baik (diinginkan) dengan
mengatur jumlah uang yang beredar. Kondisi yang lebih baik yaitu
meningkatnya output keseimbangan atau stabilitas harga (inflasi yang
terkontrol).
2. Tujuan kebijakan moneter
3
valuta asing dan sebagai tempat terakhir bagi bank-bank untuk meminjam
uang apabila mengalami kesulitan likuiditas.
4
Memperbaiki defisit neraca pembayaran internasional (Bop). TMP
membuat inflasi turun, dengan demikian tingkat harga umum juga
turun. Turunnya harga akan membuat produk dalam negeri lebih
murah bagi konsumen di dalam negeri, sehingga permintaan produk
domestik akan bertambah dan permintaan produk impor berkurang.
Sementara itu, produk domestik yang murah didalam negeri juga
murah bagi konsumen di luar negeri, sehingga
akan mendorong permintaan ekspor. Kombinasi dari kedua hal ini
akan mengurangi defisit neraca pembayaran.
5
ingin melakukan TMP. Sebaliknya, rr akan diturunkan jika bank sentral
ingin melakukan EMP.
3. Discount rate policy. Caranya adalah dengan menaikkan/menurunkan
suku bunga pinjaman dari bank sentral ke bank umum. Fasilitas pinjaman
ini disebut dengan fasilitas diskonto. Jika bank sentral ingin melakukan
TMP, ia akan menaikkan suku bunga pinjaman ini, sehingga suku bunga
dari bank umum ke masyarakat pun akan ikut naik. Akibatnya, kredit
akan turun (karena biaya kredit menjadi mahal) dan MS akan turun.
Sebaliknya jika bank sentral ingin melakukan EMP.
4. Selective credit control. Caranya adalah melalui pengawasan kredit.
Pengawasan kredit yang ketat mengarah ke TMP, dan sebaliknya.
5. Moral suassion (dorongan moral). Caranya adalah melalui imbauan ke
bank-bank umum. Misalnya, imbauan agar tidak menaikkan suku bunga.
6
suku bunga kebijakan (BI Rate) yang diharapkan akan memengaruhi suku
bunga pasar uang dan suku bunga deposito dan suku bunga kredit perbankan.
Perubahan suku bunga ini pada akhirnya akan memengaruhi output dan
inflasi.
7
BAB III
( ITF )
Seperti telah kita ketahui bersama, krisis ekonomi dan moneter yang
berlangsung sejak pertengahan tahun 1997 telah menimbulkan konsekuensi
yang luar biasa terhadap ketidakstabilan perekonomian kita. Pertumbuhan
ekonomi terhenti bahkan sempat mengalami pertumbuhan yang negatif, nilai
tukar bergejolak, uang beredar tumbuh hampir tidak terkendali sebagai akibat
upaya penyelamatan perbankan yang dilanda rush. Sebagai akibatnya inflasi
meningkat tajam pada tahun 1998 mencapai angka 77,63%. Menghadapi
kondisi ketidakstabilan moneter tersebut, Bank Indonesia kemudian
menerapkan kebijakan moneter yang ketat. Kebijakan moneter ketat tersebut
tercermin pada pertumbuhan tahunan sasaran indikatif uang primer yang terus
ditekan dari level tertinggi 69,7% pada bulan September 1998 menjadi 11,2%
pada bulan Juni 1999.
8
moneter melalui penerapan kebijakan moneter ketat yang dibantu dengan
upaya pemulihan kepercayaan masyarakat kepada perbankan nasional mulai
memberikan hasil positif. Pertumbuhan uang beredar yang melambat dan
suku bunga simpanan di perbankan yang tinggi telah mengurangi peluang dan
hasrat masyarakat dalam memegang mata uang asing sehingga tekanan
depresiasi rupiah berangsur surut. Inflasi mulai terkendali pada tahun 1999.
9
2. Definisi ITF
Penerapan ITF bukan berarti bahwa bank sentral hanya menaruh perhatian
pada inflasi saja, dan tidak lagi memperhatikan pertumbuhan ekonomi maupun
kebijakan dan perkembangan ekonomi secara keseluruhan. Juga, ITF bukanlah suatu
kaidah yang kaku (rule) tetapi sebagai kerangka kerja menyeluruh (framework)
untuk perumusan dan pelaksanaan kebijakan moneter. Fokus ke inflasi tidak berarti
membawa perekonomian kepada kondisi yang sama sekali tanpa inflasi (zero
inflation).
Inflasi rendah dan stabil dalam jangka panjang, justru akan mendukung
pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan (suistanable growth). Penyebabnya,
10
karena tingkat inflasi berkorelasi positif dengan fluktuasinya. Manakala inflasi
tinggi, fluktuasinya juga meningkat, sehingga masyarakat merasa tidak pasti dengan
laju inflasi yang akan terjadi di masa mendatang. Akibatnya, suku bunga jangka
panjang akan meningkat karena tingginya premi risiko akibat inflasi. Perencanaan
usaha menjadi lebih sulit, dan minat investasi pun menurun. Ketidakpastian inflasi
ini cenderung membuat investor lebih memilih investasi asset keuangan jangka
pendek ketimbang investasi riil jangka panjang. Itulah sebabnya, otoritas moneter
seringkali berargumentasi bahwa kebijakan yang anti inflasi sebenarnya adalah
justru kebijakan yang pro pertumbuhan.
11
7. Sejalan dengan independensi bank sentral dalam melaksanakan kebijakan
moneter
12
2. Fungsi BI Rate sebagai sinyal kebijakan
13
Dalam kondisi yang luar biasa, penetapan respon kebijakan moneter
dapat dilakukan dalam RDG bulanan.
14
langkah ini, sinyal kebijakan moneter diharapkan dapat lebih mudah dan
lebih pasti dapat ditangkap oleh pelaku pasar dan masyarakat, dan
karenanya diharapkan pula dapat meningkat efektivitas kebijakan
moneter.
15
Indonesia menyampaikan usulan perubahan Sasaran Inflasi setelah
berkoordinasi dengan Bank Indonesia.
16
meningkatkan koordinasi antara otoritas moneter dengan Pemerintah
secara keseluruhan, sehingga sasaran inflasi menjadi tujuan bersama
yang credible dan achievable.
10. Transparansi
17
4. Komunikasi kebijakan moneter disampaikan kepada masyarakat luas
termasuk dan tidak terbatas pada media massa, pelaku ekonomi, kalangan
pakar dan akademisi.
11. Akuntabilitas
4. Dalam hal sasaran inflasi untuk suatu tahun tidak tercapai, maka Bank
Indonesia menyampaikan usulan penjelasan kepada Pemerintah sebagai
bahan penjelasan Pemerintah bersama Bank Indonesia secara terbuka
kepada DPR dan masyarakat yang dilakukan paling lambat Februari
tahun berikutnya.
18
dolarisasi kewajiban; dan (e) kerapuhan (vulnerability) terhadap terhentinya aliran
modal secara tiba-tiba (external dominance).
Kerangka kebijakan moneter merupakan suatu hal yang dinamis, yang dapat
berubah sejalan dengan perubahan pra kondisi yang diperlukan dan tantangan yang
dihadapi. Masih kuatnya dominasi fiskal dan kerapuhan sistem terhadap shock
terbukti mengganggu pencapaian target inflasi. Sebagai contoh, pada waktu BBM di
dalam negeri dinaikkan secara signifikan pada paruh kedua tahun 2005, komitmen
pencapaian target inflasi tidak dapat dipenuhi. Koordinasi kebijakan fiskal dengan
kebijakan moneter masih perlu ditingkatkan mengingat pencapaian target inflasi
sesungguhnya merupakan tanggung jawab bersama Bank Indonesia dan pemerintah.
Oleh karena itu, kredibilitas kebijakan moneter dengan ITF bukan hanya
menyangkut komitmen Bank Indonesia selaku otoritas moneter, tetapi juga
komitmen pemerintah selaku otoritas fiscal.
1. JERMAN
19
Kebijakan moneter kadang responsive untuk stabilisasi output dan
nilai tukar mata uang
2. SELANDIA BARU
3. KANADA
20
Target yang disepakati dan diumumkan bersama oleh
pemerintah dan bank sentral
4. INGGRIS
21
Memisahkan badan yang mengukur inflasi dari badan yang
membuat target inflasi
BAB IV
22
1. Kebijakan pengetatan moneter tahun 1959
Inflasi tidak akan terjadi bila ketiga sektor tersebut seimbang. Subjek
penyebab inflasi dapat dikategorikan menjadi sektor pemerintah dan sektor
swasta. Tekanan inflasi akan timbul pada sektor pemerintah bila pengeluaran
pemerintah lebih besar daripada penerimaannya, sedangkan pada sektor
swasta, tekanan inflasi timbul bila bank-bank mengucurkan kredit yang besar
guna memenuhi pinjaman sektor swasta tersebut untuk kegiatan-kegiatan,
baik lapangan investasi maupun non investasi. Untuk mengatasi inflasi, bank
sentral mengeluarkan kebijakan moneter dengan membatasi pemberian kredit
23
atau mengurangi jumlah uang beredar melalui tiga cara: kebijakan diskonto,
operasi pasar terbuka, dan menaikkan cash ratio.
24
2. Kebijakan devaluasi rupiah
3. Kebijakan sanering
4. Kebijakan devisa untuk lalu lintas pembayaran luar negeri.
25
Kebijakan sanering
Sanering berasal dari bahasa Belanda yang berarti penyehatan,
pembersihan, reorganisasi. Kebijakan sanering, yang mulai berlaku pada
25 Agustus 1959, adalah sebagai berikut:
1. Penurunan nilai uang kertas Rp 500 dan Rp 1.000 menjadi Rp 50 dan
Rp 100 (Perpu No.2 Tahun 1959, 24 Agustus 1959). Penukaran uang
kertas ini harus dilakukan sebelum 1 Januari 1960 (Perpu No. 6 Tahun
1959, 25 Agustus 1959). Sedangkan untuk nilai uang yang hilang
akibat pemberlakuan Perpu No. 2 di atas, tidak akan diperhatikan pada
perhitungan laba maupun pajak (Perpu No. 5 Tahun 1959, 25 Agustus
1959).
2. Pembekuan sebagian simpanan pada bank-bank (giro dan deposito)
sebesar 90% dari jumlah simpanan diatas Rp 25.000, dengan
ketentuan bahwa simpanan yang dibekukan akan diganti menjadi
simpanan jangka panjang oleh Pemerintah (Perpu No.3 Tahun 1959
tanggal 24 Agustus 1959).
26
yang beredar pada tahun 1959 dan 1960 meningkat, Sehingga dapat
disimpulkan bahwa pelaksanaan kebijakan tersebut tidak efektif.
Bila dalam suatu negara terdapat beberapa jenis mata uang yang
berlaku dengan nilai tukar yang berbeda-beda,hal itu akan menyebabkan
situasi moneter negara tersebut kacau balau. Keadaan tersebut pernah dialami
Indonesia pada kurun waktu 1960-an. Dalam rangka menciptakan kesatuan
moneter, pemerintah, melalui Penetapan Presiden (Penpres) No. 27 tahun
1965, menerbitkan uang rupiah baru untuk menggantikan uang rupiah lama
dan uang rupiah khusus Daerah Provinsi Irian Barat (IB Rp).
Uang mulai digunakan pada saat kondisi perekonomian sedemikian
berkembang sehingga perekonomian barter (perekonomian yang
mensyaratkan double coincidence of want) dirasakan tidak memadai. Uang
memiliki peranan yang sangat penting dalam perekonomian. Hal ini dapat
dilihat dari fungsinya, yaitu sebagai alat tukar, alat pengukur nilai, ukuran
pembayaran di masa depan, dan penyimpan daya beli.
Uang adalah suatu benda diantara sekian banyak benda dalam
pengertian perekonomian. Uang memiliki nilai karena masyarakat
mengajukan permintaan terhadapnya. Perubahan-perubahan nilai uang
berhubungan erat dengan perubahanperubahan permintaan terhadapnya.
Dengan kata lain, naik turunnya nilai uang tidak terlepas dari hukum
permintaan dan penawaran. Sehingga, dapat dirumuskan, yang dimaksud
dengan nilai uang adalah jumlah barang-barang atau jasa-jasa yang diberikan
oleh orang lain kepada kita sebagai pengganti satu kesatuan uang yang kita
berikan kepadanya.
Naik turunnya nilai uang tergantung dari naik turunnya harga. Pada
saat keinginan masyarakat untuk menyimpan uang tunainya meningkat, hal
tersebut akan cenderung menaikan nilai uang dan menurunkan harga barang.
Sebaliknya, pada situasi di mana orang terus membelanjakan setiap uangnya,
27
hal tersebut akan menurunkan nilai uang dan akan menaikan harga.
Perubahan-perubahan nilai uang akan mempengaruhi aktivitas di lapangan
ekonomi. Naiknya nilai uang akan menyebabkan aktivitas ekonomi semakin
berkurang. Sebaliknya, turunnya nilai uang akan secara lambat laun akan
meningkatkan aktivitas ekonomi. Nilai uang yang secara terus-menerus turun
akan menyebabkan inflasi. Salah satu kebijakan yang digunakan untuk
mengatasi inflasi dalam perekonomian suatu negara adalah kebijakan
moneter.
Pada tahun 1965, salah satu kebijakan moneter yang diambil
pemerintah untuk menghambat laju inflasi pada saat itu adalah pemberlakuan
mata uang rupiah baru bagi seluruh wilayah Republik Indonesia (RI) melalui
Penetapan Presiden (Penpres) No. 27 Tahun 1965 tanggal 13 Desember 1965
yang menetapkan penggantian uang lama dengan uang baru dengan
perbandingan nilai Rp 1.000 (lama) menjadi Rp 1.000 (baru). Tujuan lain dari
Penpres tersebut adalah untuk mempersiapkan kesatuan moneter bagi seluruh
wilayah RI, termasuk Daerah Provinsi Irian Barat.
28
Hal ini berhasil karena selama lebih dari 30 tahun, pemerintahan
mengalami stabilitas politik sehingga menunjang stabilitas ekonomi.
Kebijakan-kebijakan ekonomi pada masa itu dituangkan pada Rencana
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN), yang pada akhirnya
selalu disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk disahkan
menjadi APBN.
APBN pada masa pemerintahan Orde Baru, disusun berdasarkan
asumsi-asumsi perhitungan dasar. Yaitu laju pertumbuhan ekonomi, tingkat
inflasi, harga ekspor minyak mentah Indonesia, serta nilai tukar rupiah
terhadap dollar Amerika. Asumsi-asumsi dasar tersebut dijadikan sebagai
ukuran fundamental ekonomi nasional. Padahal sesungguhnya, fundamental
ekonomi nasional tidak didasarkan pada perhitungan hal-hal makro. Akan
tetapi, lebih kearah yang bersifat mikro-ekonomi. Misalnya, masalah-masalah
dalam dunia usaha, tingkat resiko yang tinggi, hingga penerapan dunia swasta
dan BUMN yang baik dan bersih. Oleh karena itu pemerintah selalu
dihadapkan pada kritikan yang menyatakan bahwa penetapan asumsi APBN
tersebut tidaklah realistis sesuai keadaan yang terjadi.
Format APBN pada masa Orde baru dibedakan dalam penerimaan dan
pengeluaran. Penerimaan terdiri dari penerimaan rutin dan penerimaan
pembangunan serta pengeluaran terdiri dari pengeluaran rutin dan
pengeluaran pembangunan. Sirkulasi anggaran dimulai pada 1 April dan
berakhir pada 31 Maret tahun berikutnya. Kebijakan yang disebut tahun fiskal
ini diterapkan seseuai dengan masa panen petani, sehingga menimbulkan
kesan bahwa kebijakan ekonomi nasional memperhatikan petani.
29
pinjaman luar negeri inilah yang digunakan pemerintah untuk menutup
anggaran yang defisit.
Ini artinya pinjaman-pinjaman luar negeri tersebut ditempatkan pada
anggaran penerimaan. Padahal seharusnya pinjaman-pinjaman tersebut adalah
utang yang harus dikembalikan, dan merupakan beban pengeluaran di masa
yang akan datang. Oleh karena itu, pada dasarnya APBN pada masa itu selalu
mengalami defisit anggaran.
Penerapan kebijakan tersebut menimbulkan banyak kritik, karena
anggaran defisit negara ditutup dengan pinjaman luar negeri. Padahal, konsep
yang benar adalah pengeluaran pemerintah dapat ditutup dengan penerimaan
pajak dalam negeri. Sehingga antara penerimaan dan pengeluaran dapat
berimbang. Permasalahannya, pada masa itu penerimaan pajak saat minim
sehingga tidak dapat menutup defisit anggaran.
Namun prinsip berimbang ini merupakan kunci sukses pemerintah
pada masa itu untuk mempertahankan stabilitas, khususnya di bidang
ekonomi. Karena pemerintah dapat menghindari terjadinya inflasi, yang
sumber pokoknya karena terjadi anggaran yang defisit. Sehingga
pembangunanpun terus dapat berjalan.
Prinsip lain yang diterapkan pemerintah Orde Baru adalah prinsip
fungsional. Prinsip ini merupakan pengaturan atas fungsi anggaran
pembangunan dimana pinjaman luar negeri hanya digunakan untuk
membiayai anggaran belanja pembangunan. Karena menurut pemerintah,
pembangunan memerlukan dana investasi yang besar dan tidak dapat
seluruhnya dibiayai oleh sumber dana dalam negeri.
Pada dasarnya kebijakan ini sangat bagus, karena pinjaman yang
digunakan akan membuahkan hasil yang nyata. Akan tetapi, dalam APBN
tiap tahunnya cantuman angka pinjaman luar negeri selalu meningkat. Hal ini
bertentangan dengan keinginan pemerintah untuk selalu meningkatkan
penerimaan dalam negeri. Dalam Keterangan Pemerintah tentang RAPBN
tahun 1977, Presiden menyatakan bahwa dana-dana pembiayaan yang
bersumber dari dalam negeri harus meningkat. Padahal, ketergantungan yang
30
besar terhadap pinjaman luar negeri akan menimbulkan akibat-akibat.
Diantaranya akan menyebabkan berkurangnya pertumbuhan ekonomi.
Hal lain yang dapat terjadi adalah pemerataan ekonomi tidak akan
terwujud. Sehingga yang terjadi hanya perbedaan penghasilan. Selain itu
pinjaman luar negeri yang banyak akan menimbulkan resiko kebocoran,
korupsi, dan penyalahgunaan. Dan lebih parahnya lagi ketergantungan
tersebut akan menyebabkan negara menjadi malas untuk berusaha
meningkatkan penerimaan dalam negeri.
Prinsip ketiga yang diterapakan oleh pemerintahan Orde Baru dalam
APBN adalah, dinamis yang berarti peningkatan tabungan pemerintah untuk
membiayai pembangunan. Dalam hal ini pemerintah akan berupaya untuk
mendapatkan kelebihan pendapatan yang telah dikurangi dengan pengeluaran
rutin, agar dapat dijadikan tabungan pemerintah. Oleh karena itu, pemerintah
dapat memanfaatkan tabungan tersebut untuk berinvestasi dalam
pembangunan.
Kebijakan pemerintah ini dilakukan dengan dua cara, yaitu derelgulasi
perbankan dan reformasi perpajakan. Akan tetapi, kebijakan demikian
membutuhkan waktu dan proses yang cukup lama. Akibatnya, kebijakan
untuk mengurangi bantuan luar negeri tidak dapat terjadi karena jumlah
pinjaman luar negeri terus meningkat. Padahal disaat yang bersamaan
persentase pengeluaran rutin untuk membayar pinjaman luar negeri terus
meningkat. Hal ini jelas menggambarkan betapa APBN pada masa
pemerintahan Orde Baru sangat bergantung pada pinjaman luar negeri.
Sehingga pada akhirnya berakibat tidak dapat terpenuhinya keinginan
pemerintah untuk meningkatkan tabungannya.
31
pun, belum ada tindakan yang cukup berarti untuk menyelamatkan negara
dari keterpurukan. Padahal, ada berbagai persoalan ekonomi yang diwariskan
orde baru harus dihadapi, antara lain masalah KKN (Korupsi, Kolusi dan
Nepotisme), pemulihan ekonomi, kinerja BUMN, pengendalian inflasi, dan
mempertahankan kurs rupiah. Malah presiden terlibat skandal Bruneigate
yang menjatuhkan kredibilitasnya di mata masyarakat. Akibatnya,
kedudukannya digantikan oleh presiden Megawati.
Masa kepemimpinan Megawati Soekarnoputri mengalami masalah-
masalah yang mendesak untuk dipecahkan adalah pemulihan ekonomi dan
penegakan hukum. Kebijakan-kebijakan yang ditempuh untuk mengatasi
persoalan-persoalan ekonomi antara lain :
a) Meminta penundaan pembayaran utang sebesar US$ 5,8 milyar pada
pertemuan Paris Club ke-3 dan mengalokasikan pembayaran utang luar
negeri sebesar Rp 116.3 triliun.
b) Kebijakan privatisasi BUMN. Privatisasi adalah menjual perusahaan
negara di dalam periode krisis dengan tujuan melindungi perusahaan
negara dari intervensi kekuatan-kekuatan politik dan mengurangi beban
negara. Hasil penjualan itu berhasil menaikkan pertumbuhan ekonomi
Indonesia menjadi 4,1 %. Namun kebijakan ini memicu banyak
kontroversi, karena BUMN yang diprivatisasi dijual ke perusahaan asing.
Namun dalam singkatnya masa pemerintahan masing-masing
presiden, baik BJ Habibie, Abdurrahman Wahid, dan Megawati mampu
menorehkan prestasi misalnya , Habibie mampu mengubah pertumbuhan
ekonomi negatif menjadi positif secara signifikan dengan prestasi year on
year 12,3%. Abdurrahman Wahid mencatat pertumbuhan ekonomi tertinggi
yang pertama sejak krisis 1997. Megawati mampu menjaga pertumbuhan
ekonomi secara stabil dan menunjukkan peningkatan terus menerus tiap
tahunnya.
32
Pada saat awal kepemimpinan SBY-JK keadaan perekonomian
memaksa untuk mengeluarkan kebijakan mengurangi subsidi bahan bakar
minyak,atau dengan kata lain menaikan harga bahan bakar minyak,karena
harga minyak dunia yang melambung tinggi.Hal ini dilakukan untuk
mengurangi tekanan pada APBN atas lonjakan harga minyak
tersebut.Kenaikan BBM ini mendorong terjadinya inflasi.
Ketika pada Juli 2005, BI mengenalkan kebijakan Inflation Targeting
Framework (ITF), penetapan target inflasi dirumuskan bersama dengan
Pemerintah. Dengan target inflasi itu, BI dan Pemerintah harus bekerja erat
bersama untuk mencapainya. Bila target itu dipercaya pelaku ekonomi,
investor/produsen dan konsumen, maka roda perekonomian akan bergerak
sesuai rencana sehingga fungsi intermediasi perbankan bekerja secara
optimal.
Bank Indonesia juga menetapkan enam langkah lanjutan bidang moneter
untuk meredam gejolak nilai tukar rupiah terhadap dolar. Langkah-langkah
tersebut yaitu menaikkan BI rate sebesar 75 bps menjadi 9,5 persen berlaku
sejak 30 Agustus 2005. Kedua, menaikkan suku bunga FASBI (fasilitas
Simpanan Bank Indonesia)7 hari sebesar 100 bps menjadi 8,5 persen, berlaku
sejak 31 Agustus 2005. Ketiga, menyerap likuiditas secara maksimal melalui
fine tune contraction dengan variable rate tender. Keempat, menaikkan
maksimum suku bunga penjaminan simpanan untuk September 2005. Kelima,
menaikkan giro wajib minimun rupiah belaku sejak 6 September 2005.
Keenam, menaikkan imbalan jasa giro yang semula 3 persen menjadi 5,5
persen, untuk seluruh tambahan GWM (Giro Wajib Minimum) rupiah di atas
5 persen.
33
Operasi Pasar Terbuka,dikenal dengan istilah fine tune operation yaitu transaksi
dalam rangka OPT yang dilakukan sewaktu-waktu oleh Bank Indonesia apabila
diperlukan untuk mempengaruhi likuiditas perbankan secara jangka pendek pada
waktu, jumlah dan harga transaksi yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Dalam fine tune operaration di kenal dua kebijakan lagi yaitu:
1. Fine tune contraction : transaksi fine tune dalam rangka penyerapan likuiditas
perbankan secara jangka pendek.
2. Fine tune expansion: transaksi fine tune dalam rangka penambahan likuiditas
perbankan secara jangka pendek.
KESIMPULAN
34
Kebijakan moneter pada dasarnya merupakan suatu kebijakan yang
bertujuan untuk mencapai keseimbangan internal (pertumbuhan ekonomi yang
tinggi, stabilitas harga, pemerataan pembangunan) dan keseimbangan eksternal
(keseimbangan neraca pembayaran) serta tercapainya tujuan ekonomi makro,
yakni menjaga stabilitasi ekonomi yang dapat diukur dengan kesempatan kerja.
DAFTAR PUSTAKA
35
http://yasinta.net/permintaan-dan-penawaran-uang-money-supply-and-demand/
http://id.wikipedia.org/wiki/Kebijakan_moneter
http://www.sinarharapan.co.id/ekonomi/Keuangan/2005/0905/keu1.html
http://els.bappenas.go.id/upload/other/BI%20Targetkan%20Serap%20Likuiditas
%20Rp%2064%20Triliun-SK.htm
http://www.kadin-indonesia.or.id/en/berita_isi.php?
news_id=455&title=BI+Menetapkan+Enam+Langkah+Penjaga+Rupiah
http://www.antaranews.com/view/?i=1213803011&c=EKB&s=
http://economy.okezone.com/index.php/ReadStory/2008/07/03/20/124338/inflasi-
juni-2008-11-03
www.bps.co.id
http://www.bi.go.id/biweb/TimeSeries/tsInflasi_ID.aspx?
sdate=2005/1&edate=2010/12
LAMPIRAN
36
Indeks Harga Konsumen dan Inflasi Bulanan Indonesia,
2005, 2006, 2007, Januari - Mei 2008 ( 2002=100 ), Juni - Desember 2008, 2009, Januari - Mei 2010 ( 2007 = 100 )
Januari 118.53 1.43 138.72 1.36 147.41 1.04 158.26 1.77 113.78 -0.07 118.01 0.84
Februari 118.33 -0.17 139.53 0.58 148.32 0.62 159.29 0.65 114.02 0.21 118.36 0.30
Maret 120.59 1.91 139.57 0.03 148.67 0.24 160.81 0.95 114.27 0.22 118.19 -0.14
April 121.00 0.34 139.64 0.05 148.43 -0.16 161.73 0.57 113.92 -0.31 118.37 0.15
Mei 121.25 0.21 140.16 0.37 148.58 0.10 164.01 1.41 113.97 0.04 118.71 0.29
Juni 121.86 0.50 140.79 0.45 148.92 0.23 110.08*) 2.46*) 114.10 0.11
Juli 122.81 0.78 141.42 0.45 149.99 0.72 111.59 1.37 114.61 0.45
Agustus 123.48 0.55 141.88 0.33 151.11 0.75 112.16 0.51 115.25 0.56
Septembe
r 124.33 0.69 142.42 0.38 152.32 0.80 113.25 0.97 116.46 1.05
Oktober 135.15 8.70 143.65 0.86 153.53 0.79 113.76 0.45 116.68 0.19
November 136.92 1.31 144.14 0.34 153.81 0.18 113.90 0.12 116.65 -0.03
Desember 136.86 -0.04 145.89 1.21 155.50 1.10 113.86 -0.04 117.03 0.33
Angka
Inflasi 17.11 6.60 6.59 11.06 2.78 1.44
*) Sejak Juni 2008, IHK berdasarkan pola konsumsi yang didapat dari Survei Biaya Hidup di 66 Kota (2007=100).)
37
18.00%
16.00%
14.00%
12.00%
10.00%
8.00%
6.00%
4.00%
2.00%
0.00%
2005 2006 2007 2008 2009 2010
38