Anda di halaman 1dari 38

BAB I

PENDAHULUAN

1. LATAR BELAKANG
Sejak Juli 2005, Bank Indonesia menerapkan kerangka kerja
kebijakan moneter “Inflation Targeting Framework (ITF)” dengan
menggunakan suku bunga sebagai sasaran operasional kebijakan moneter.
Dengan ITF, arah kebijakan moneter secara konsisten ditujukan untuk
mencapai sasaran inflasi jangka menegah yang rendah dan stabil. Arah
(stance) kebijakan moneter diwakili oleh suatu suku bunga jangka pendek
(policy rate) yang ditetapkan berjangka waktu 1 bulan yang kemudian dikenal
dengan BI Rate.
Dari sisi moneter, sejak pertengahan 2005 telah terjadi perubahan
paradigma yaitu dari stabilisasi yang berbasis jumlah uang yang beredar
menjadi Inflation Targeting Framework (ITF) dengan menggunakan
instrumen suku bunga. Perkembangan perekonomian suatu negara dapat
dikatakan sedang meningkat atau menurun berdasarkan beberapa indikator
dasar makroekonominya diantaranya suku bunga, jumlah uang beredar,
inflasi, nilai tukar dan pengangguran. Bank Indonesia sebagai lembaga
otoritas moneter melakukan upaya stabilisasi melalui instrumen suku bunga
SBI, penetapan SBI dilakukan untuk mengendalikan jumlah uang beredar.
Ketika jumlah uang yang beredar di masyarakat terlalu banyak maka akan
menyebabkan terjadinya inflasi.

Sejak Juli 2005 BI menerapkan inflation targeting framework (ITF).


Kebijakan moneter diarahkan pada pencapaian target inflasi yang diumumkan
secara terbuka kepada publik pada waktu tertentu. Integrasi perekonomian
domestik ke pasar keuangan global membawa beberapa implikasi pada
kebijakan moneter. Kebijakan moneter selalu dihadapkan pada dilema antara

1
menjaga stabilitas nilai tukar dan independensi dalam mencapai tujuan
domestik, contohnya target inflasi atau pertumbuhan. Di samping itu, jika
sistem nilai tukar yang digunakan adalah fixed exchange rate, kebijakan
moneter tidak cukup efektif untuk mengelola perekonomian makro.

Sebaliknya, dengan sistem nilai tukar yang fleksibel, kebijakan


moneter cukup efektif tetapi dengan risiko nilai tukar fluktuatif.

Globalisasi keuangan juga meningkatkan kompleksitas kebijakan


moneter. Perekonomian domestik mudah sekali terekspos risiko
perekonomian global sehingga menambah kerumitan dalam menetapkan
kebijakan.

2. PERMASALAHAN

Kebijakan moneter yang dikeluarkan oleh bank sentral moneter


berperan sangat penting dalam mengarahkan perekonomian dengan sasaran
utama kesejahteraan rakyat. Krisis moneter dan ekonomi 1997 telah
memberikan pelajaran berharga, khususnya mengenai peran yang semestinya
dijalankan oleh Bank Indonesia (BI) sebagai bank sentral. Untuk itu penyusun
tertarik untuk membahas masalah-masalah di bawah ini yang meliputi :

1. Apa itu kebijakan moneter?


2. Kerangka kebijakan moneter apa yang diterapkan Bank Indonesia pada
tahun 2005 hingga sekarang?
3. Kebijakan moneter apa saja yang dibuat BI dari masa orde lama sampai
2010?

2
BAB II

KEBIJAKAN MONETER
1. Pengertian
Kebijakan Moneter adalah upaya mengendalikan atau mengarahkan
perekonomian makro ke kondisi yang lebih baik (diinginkan) dengan
mengatur jumlah uang yang beredar. Kondisi yang lebih baik yaitu
meningkatnya output keseimbangan atau stabilitas harga (inflasi yang
terkontrol).
2. Tujuan kebijakan moneter

Kebijakan moneter pada dasarnya merupakan suatu kebijakan yang


bertujuan untuk mencapai keseimbangan internal (pertumbuhan ekonomi
yang tinggi, stabilitas harga, pemerataan pembangunan) dan keseimbangan
eksternal (keseimbangan neraca pembayaran) serta tercapainya tujuan
ekonomi makro, yakni menjaga stabilisasi ekonomi yang dapat diukur dengan
kesempatan kerja, kestabilan harga serta neraca pembayaran internasional
yang seimbang. Apabila kestabilan dalam kegiatan perekonomian terganggu,
maka kebijakan moneter dapat dipakai untuk memulihkan (tindakan
stabilisasi). Pengaruh kebijakan moneter pertama kali akan dirasakan oleh
sektor perbankan, yang kemudian ditransfer pada sektor riil.

Kebijakan moneter adalah upaya untuk mencapai tingkat pertumbuhan


ekonomi yang tinggi secara berkelanjutan dengan tetap mempertahankan
kestabilan harga. Untuk mencapai tujuan tersebut Bank Sentral atau Otoritas
Moneter berusaha mengatur keseimbangan antara persediaan uang dengan
persediaan barang agar inflasi dapat terkendali, tercapai kesempatan kerja
penuh dan kelancaran dalam pasokan/distribusi barang. Kebijakan moneter
dilakukan antara lain dengan salah satu namun tidak terbatas pada instrumen
sebagai berikut yaitu suku bunga, giro wajib minimum, intervensi dipasar

3
valuta asing dan sebagai tempat terakhir bagi bank-bank untuk meminjam
uang apabila mengalami kesulitan likuiditas.

3. Jenis kebijakan moneter


Adapun jenis kebijakan moneter terdiri dari dua jenis, yakni (a)
Kebijakan moneter ekspansif (Easy Money Policy/EMP), adalah kebijakan
menambah jumlah uang yang beredar; (b) Kebijakan moneter kontraktif
(Tight Money Policy/TMP), yaitu kebijakan mengurangi jumlah uang yang
beredar.
a. Kebijakan moneter ekspansif (Easy Money Policy)
Kebijakan ini dilakukan jika bank sentral ingin menambah
jumlah uang beredar (likuiditas) untuk mencapai stabilitas dalam
perekonomian. Tujuan dari kebijakan ini adalah untuk menggiatkan
kembali kondisi perekonomian yang sedang lesu. Ketika MS naik, maka
tren suku bunga akan cenderung menurun. Rendahnya suku bunga akan
memicu investasi (karena cost of capital yang murah), dan pada akhirnya
akan menaikkan permintaan agregat.
b. Kebijakan moneter kontraktif (Tight Money Policy)

Kebijakan ini dilakukan jika bank sentral ingin mengurangi


jumlah uang beredar untuk mencapai stabilitas dalam perekonomian.
Tujuan kebijakan ini bisa untuk menurunkan inflasi ataupun
untuk memperbaiki kondisi neraca pembayaran internasional yang
defisit.

 Menurunkan inflasi. Ketika MS turun, suku bunga jangka pendek


akan cenderung naik. Naiknya suku bunga akan mendorong orang
untuk menabung, sehingga MS di perekonomian berkurang dan
inflasi dapat turun. Selain itu, ketika banyak yang menabung, maka
konsumsi juga turun. Artinya permintaan agregat ikut turun dan ini
akan menurunkan inflasi.

4
 Memperbaiki defisit neraca pembayaran internasional (Bop). TMP
membuat inflasi turun, dengan demikian tingkat harga umum juga
turun. Turunnya harga akan membuat produk dalam negeri lebih
murah bagi konsumen di dalam negeri, sehingga permintaan produk
domestik akan bertambah dan permintaan produk impor berkurang.
Sementara itu, produk domestik yang murah didalam negeri juga
murah bagi konsumen di luar negeri, sehingga
akan mendorong permintaan ekspor. Kombinasi dari kedua hal ini
akan mengurangi defisit neraca pembayaran.

4. Instrumen kebijakan moneter

Ada lima instrumen utama yang digunakan  bank sentral untuk


melakukan TMP maupun EMP :

1. Open market operation (operasi pasar terbuka). Caranya adalah dengan


memperdagangkan surat berharga. Apabila kecenderungan bank sentral
ingin melakukan TMP, maka ia akan menjual surat berharga (misalnya
SBI) sehingga dana yang ada di tangan masyarakat dapat ditarik (MS di
perekonomian berkurang, masuk ke bank sentral). Sebaliknya, apabila
yang ingin dilakukan adalah EMP, maka bank sentral akan
membeli surat berharga yang dijual oleh masyarakat sehingga MS
akan bertambah.
2. Legal reserve ratio requirement / reserve ratio (rr) / kebijakan nisbah
cadangan. Caranya adalah dengan mewajibkan sejumlah tertentu
cadangan yang harus ada di bank umum. Misalnya jika rr
diwajibkan 10%, maka apabila seorang nasabah menabung
Rp.1.000.000 di bank, hanya sejumlah Rp.900.000-nya yang boleh
dipinjamkan bank ke pihak lain. Rp.900.000 ini nantinya akan menjadi
uang beredar “baru” yang dilakukan oleh bank umum. Sedangkan sisa
10%nya, atau rp.100.000, harus tetap ada di bank sebagai cadangan.
Dari sini, kita bisa melihat bahwa rr akan dinaikkan jika bank sentral

5
ingin melakukan TMP. Sebaliknya, rr akan diturunkan jika bank sentral
ingin melakukan EMP.
3. Discount rate policy. Caranya adalah dengan menaikkan/menurunkan
suku bunga pinjaman dari bank sentral ke bank umum. Fasilitas pinjaman
ini disebut dengan fasilitas diskonto. Jika bank sentral ingin melakukan
TMP, ia akan menaikkan suku bunga pinjaman ini, sehingga suku bunga
dari bank umum ke masyarakat pun akan ikut naik. Akibatnya, kredit
akan turun (karena biaya kredit menjadi mahal) dan MS akan turun.
Sebaliknya jika bank sentral ingin melakukan EMP.
4. Selective credit control. Caranya adalah melalui pengawasan kredit.
Pengawasan kredit yang ketat mengarah ke TMP, dan sebaliknya.
5. Moral suassion (dorongan moral). Caranya adalah melalui imbauan ke
bank-bank umum. Misalnya, imbauan agar tidak menaikkan suku bunga.

Pada kelima instrumen diatas, instrumen no. 1 sampai 3 adalah bersifat


kuantitatif, sedangkan no. 4 dan 5 bersifat kualitatif.

5. Kerangka kebijakan moneter


Dalam  melaksanakan kebijakan moneter, Bank Indonesia menganut
sebuah kerangka kerja yang dinamakan Inflation Targeting Framework (ITF).
Kerangka kerja ini diterapkan secara formal sejak Juli 2005, setelah
sebelumnya menggunakan kebijakan moneter yang menerapkan uang primer
(base money) sebagai sasaran kebijakan moneter.
Dengan kerangka ini, Bank Indonesia secara eksplisit mengumumkan
sasaran inflasi kepada publik dan kebijakan moneter diarahkan untuk
mencapai sasaran inflasi yang ditetapkan oleh Pemerintah tersebut. Untuk
mencapai sasaran inflasi, kebijakan moneter dilakukan secara forward
looking, artinya perubahan stance kebijakan moneter dilakukan melaui
evaluasi apakah perkembangan inflasi ke depan masih sesuai dengan sasaran
inflasi yang telah dicanangkan.  Dalam kerangka kerja ini, kebijakan moneter
juga ditandai oleh transparansi dan akuntabilitas kebijakan kepada publik. 
Secara operasional,  stance kebijakan moneter dicerminkan oleh penetapan

6
suku bunga kebijakan  (BI Rate) yang diharapkan akan memengaruhi suku
bunga pasar uang dan suku bunga deposito dan suku bunga kredit perbankan. 
Perubahan suku bunga ini pada akhirnya akan memengaruhi output dan
inflasi.

Dalam kerangka ITF, Bank Indonesia mengumumkan sasaran inflasi


ke depan pada periode tertentu.  Setiap periode Bank Indonesia mengevaluasi
apakah proyeksi inflasi ke depan masih sesuai dengan sasaran yang
ditetapkan.  Proyeksi ini dilakukan dengan sejumlah model dan sejumlah
informasi yang dapat menggambarkan kondisi inflasi ke depan.  Jika proyeksi
inflasi sudah tidak kompatibel dengan sasaran, Bank Indonesia melakukan
respon dengan menggunakan instrumen yang dimiliki.  Misalnya jika
proyeksi inflasi telah melampaui sasaran, maka Bank Indonesia akan
cenderung melakukan pengetatan moneter.

Secara reguler, Bank Indonesia menjelaskan kepada publik mengenai


asesmen terhadap kondisi inflasi dan outlook ke depan serta keputusan yang
diambil. Jika sasaran inflasi tidak tercapai maka diperlukan penjelasan kepada
publik dan langkah-langkah yang akan diambil untuk mengembalikan inflasi
sesuai dengan sasarannya.

7
BAB III

INFLATION TARGETING FRAMEWORK

( ITF )

1. Awal Mula Pemilihan Kebijakan ITF

Seperti telah kita ketahui bersama, krisis ekonomi dan moneter yang
berlangsung sejak pertengahan tahun 1997 telah menimbulkan konsekuensi
yang luar biasa terhadap ketidakstabilan perekonomian kita. Pertumbuhan
ekonomi terhenti bahkan sempat mengalami pertumbuhan yang negatif, nilai
tukar bergejolak, uang beredar tumbuh hampir tidak terkendali sebagai akibat
upaya penyelamatan perbankan yang dilanda rush. Sebagai akibatnya inflasi
meningkat tajam pada tahun 1998 mencapai angka 77,63%. Menghadapi
kondisi ketidakstabilan moneter tersebut, Bank Indonesia kemudian
menerapkan kebijakan moneter yang ketat. Kebijakan moneter ketat tersebut
tercermin pada pertumbuhan tahunan sasaran indikatif uang primer yang terus
ditekan dari level tertinggi 69,7% pada bulan September 1998 menjadi 11,2%
pada bulan Juni 1999.

Kebijakan moneter ketat terpaksa dilakukan karena pada periode itu


ekspektasi inflasi di tengah masyarakat sangat tinggi dan jumlah uang beredar
meningkat sangat pesat. Di tengah tingginya ekspektasi inflasi dan tingkat
risiko memegang rupiah, upaya memperlambat laju pertumbuhan uang
beredar telah mendorong kenaikan suku bunga domestik secara tajam. Suku
bunga yang tinggi diperlukan agar masyarakat mau memegang rupiah dan
tidak membelanjakannya untuk hal-hal yang tidak mendesak serta tidak
menggunakannya untuk membeli valuta asing. Upaya pemulihan kestabilan

8
moneter melalui penerapan kebijakan moneter ketat yang dibantu dengan
upaya pemulihan kepercayaan masyarakat kepada perbankan nasional mulai
memberikan hasil positif. Pertumbuhan uang beredar yang melambat dan
suku bunga simpanan di perbankan yang tinggi telah mengurangi peluang dan
hasrat masyarakat dalam memegang mata uang asing sehingga tekanan
depresiasi rupiah berangsur surut. Inflasi mulai terkendali pada tahun 1999.

Kerangka kebijakan moneter Bank Indonesia sebelum Juli 2005


mengacu kepada target uang primer. Kerangka tersebut cukup efektif untuk
menyerap kembali kelebihan likuiditas di perbankan yang merupakan dampak
dari bantuan likuiditas Bank Indonesia, sebagai konsekuensi fungsi Bank
Indonesia sebagai lender of the last resort. Dalam perkembangannya, peran
suku bunga pada mekanisme transmisi kebijakan moneter menjadi semakin
penting dibandingkan dengan uang primer, terutama dalam mempengaruhi
variabel ekonomi makro terutama inflasi. Hal ini disebabkan oleh
ketidakstabilan hubungan antara uang primer dengan tingkat inflasi dan
pertumbuhan ekonomi.

Selanjutnya, untuk mendukung efektifitas transmisi kebijakan


moneter secara lebih optimal, dan untuk memperkuat kerangka kebijakan
moneter yang bersifat antisipatif maka Bank Indonesia menerapkan kebijakan
moneter berbasis suku bunga. Kerangka kebijakan moneter yang baru, yaitu
inflation targeting framework (ITF) mulai di implementasikan Bank
Indonesia sejak Juli 2005. Dengan ITF, kerangka kerja kebijakan moneter
dilakukan secara transparan dan konsisten dalam rangka mencapai sasaran
inflasi beberapa tahun ke depan yang ditetapkan dan diumumkan secara
eksplisit. Guna mendukung optimalisasi pencapaian sasaran inflasi tersebut,
Bank Indonesia menetapkan policy rate (BI-Rate) yang diumumkan secara
periodik kepada publik sebagai sinyal kebijakan moneter untuk jangka waktu
tertentu. Perubahan BI-Rate mencerminkan respon bank sentral terhadap
perkembangan kondisi makroekonomi.

9
2. Definisi ITF

ITF merupakan sebuah kerangka kebijakan moneter yang ditandai


dengan pengumuman kepada publik mengenai target inflasi yang hendak
dicapai dalam beberapa periode ke depan. Secara eksplisit dinyatakan bahwa
inflasi yang rendah dan stabil merupakan tujuan utama dari kebijakan
moneter. Sesuai definisi di atas, sejak berlakunya UU No. 23/1999 Indonesia
sebenarnya dapat dikategorikan sebagai "Inflation Targeting lite countries".

3. Alasan Pemilihan ITF

Pemilihan kerangka kerja kebijakan moneter ITF didasarkan atas beberapa


pertimbangan sebagai berikut :

 Memenuhi prinsip-prinsip kebijakan moneter yang sehat (sound).

 Sesuai dengan amanat UU No. 23/1999 tentang Bank Indonesia


sebagaimana telah diubah dengan UU No. 3/2004.
 Hasil riset menunjukkan semakin sulit pengendalian besaran moneter.
 Pengalaman empiris negara lain menunjukkan bahwa negara yang
menerapkan ITF berhasil menurunkan inflasi tanpa meningkatkan volatilitas
output.
 Dapat meningkatkan kredibilitas BI sebagai pengendali inflasi melalui
komitmen pencapaian target.

Penerapan ITF bukan berarti bahwa bank sentral hanya menaruh perhatian
pada inflasi saja, dan tidak lagi memperhatikan pertumbuhan ekonomi maupun
kebijakan dan perkembangan ekonomi secara keseluruhan. Juga, ITF bukanlah suatu
kaidah yang kaku (rule) tetapi sebagai kerangka kerja menyeluruh (framework)
untuk perumusan dan pelaksanaan kebijakan moneter. Fokus ke inflasi tidak berarti
membawa perekonomian kepada kondisi yang sama sekali tanpa inflasi (zero
inflation).

Inflasi rendah dan stabil dalam jangka panjang, justru akan mendukung
pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan (suistanable growth). Penyebabnya,

10
karena tingkat inflasi berkorelasi positif dengan fluktuasinya. Manakala inflasi
tinggi, fluktuasinya juga meningkat, sehingga masyarakat merasa tidak pasti dengan
laju inflasi yang akan terjadi di masa mendatang. Akibatnya, suku bunga jangka
panjang akan meningkat karena tingginya premi risiko akibat inflasi. Perencanaan
usaha menjadi lebih sulit, dan minat investasi pun menurun. Ketidakpastian inflasi
ini cenderung membuat investor lebih memilih investasi asset keuangan jangka
pendek ketimbang investasi riil jangka panjang. Itulah sebabnya, otoritas moneter
seringkali berargumentasi bahwa kebijakan yang anti inflasi sebenarnya adalah
justru kebijakan yang pro pertumbuhan.

4. Prinsip Pokok ITF

Empat prinsip pokok rezim kebijakan moneter dengan ITF ;

1. memiliki sasaran utama, yaitu sasaran inflasi yang dijadikan sebagai


prioritas pencapaian dan acuan kebijakan moneter

2. bersifat antisipatif dengan mengarahkan respon kebijakan moneter saat


ini untuk pencapaian sasaran inflasi ke depan

3. mendasarkan pada analisis, perkiraan, dan kaidah kebijakan tertentu


dalam menetapkan pertimbangan respon kebijakan moneter

4. sesuai dengan prinsip-prinsip tata kelola yang sehat, yaitu berkejelasan


tujuan, konsisten,transparan dan berakuntabilitas

5. Manfaat Penerapan ITF


1. Kebijakan moneter lebih secara jelas terfokus
2. Komunikasi, transparansi, dan akuntabilitas diperkuat
3. Membantu dalam menurunkan/ mengarahkan ekspektasi inflasi dan lebih baik
dalam mengatasi kejutan inflasi
4. Membantu dalam menurunkan volatilitas output dalam jangka menengah
5. Teruji dalam menghadapi kejutan ekonomi yang kurang menguntungkan
6. Relative fleksibel dalam mengakomodasi kejutan inflasi temporer yang tidak
mengganggu pencapaian sasaran inflasi jangka menengah

11
7. Sejalan dengan independensi bank sentral dalam melaksanakan kebijakan
moneter

6. Indikator Kebijakan Moneter

1. Dalam merumuskan kebijakan moneter, Bank Indonesia akan selalu


melakukan analisis dan mempertimbangkan berbagai indikator ekonomi,
khususnya prakiraan inflasi, pertumbuhan ekonomi, besaran-besaran
moneter dan perkembangan sektor ekonomi dan keuangan secara
keseluruhan.

2. Demikian pula, Bank Indonesia akan selalu dan terus memperhatikan


langkah-langkah kebijakan ekonomi yang ditempuh Pemerintah. Langkah-
langkah koordinasi kebijakan yang selama ini telah berlangsung baik akan
terus diperkuat dan ditingkatkan.

3. Analisis dan prakiraan berbagai variabel ekonomi tersebut


dipertimbangkan untuk mengarahkan agar prakiraan inflasi ke depan
sejalan dengan kisaran sasaran inflasi yang telah ditetapkan.

7. Respon Kebijakan Moneter

1. Tujuan dan bentuk respon kebijakan moneter


adalah sbb:

 Respon (stance) kebijakan moneter ditetapkan untuk menjamin


agar pergerakan inflasi dan ekonomi ke depan tetap berada pada jalur
pencapaian sasaran inflasi yang telah ditetapkan (konsistensi).

 Respon kebijakan moneter dinyatakan dalam kenaikan, penurunan,


atau tidak berubahnya BI Rate.

 Perubahan (kenaikan atau penurunan) BI Rate dilakukan secara


konsisten dan bertahap.

12
2. Fungsi BI Rate sebagai sinyal kebijakan

 BI Rate adalah suku bunga instrumen sinyaling Bank Indonesia


yang ditetapkan pada RDG triwulan untuk berlaku selama triwulan
berjalan (satu triwulan), kecuali ditetapkan berbeda oleh RDG bulanan
dalam triwulan yang sama. Dengan demikian, rate rata-rate tertimbang
hasil lelang SBI pada setiap kali lelang SBI tidak lagi diinterpretasikan
oleh stakeholders sebagai sinyal kebijakan moneter Bank Indonesia.

 BI Rate diumumkan ke publik segera setelah ditetapkan dalam


RDG sebagai sinyal stance kebijakan moneter (yang lebih jelas dan
tegas) dalam merespon prospek pencapaian sasaran inflasi ke depan.

 BI Rate digunakan sebagai acuan dalam pelaksanaan operasi


pengendalian moneter untuk mengarahkan agar Rata-Rata Tertimbang
Suku Bunga SBI 1 bulan hasil lelang OPT (suku bunga instrumen
liquidity adjustment) berada di sekitar BI Rate. Selanjutnya suku
bunga SBI 1 bulan diharapkan mempengaruhi suku bunga PUAB dan
suku bunga jangka yang lebih panjang.

3. Proses penetapan respon kebijakan moneter

 Penetapan respon kebijakan moneter dilakukan dalam RDG


triwulanan.

 Respon kebijakan moneter ditetapkan untuk periode satu triwulan ke


depan.

 Penetapan respon kebijakan moneter dilakukan dengan


memperhatikan efek tunda (lag) kebijakan moneter dalam
mempengaruhi inflasi.

13
 Dalam kondisi yang luar biasa, penetapan respon kebijakan moneter
dapat dilakukan dalam RDG bulanan.

4. Dasar pertimbangan penetapan respon kebijakan

 BI Rate merupakan respon bank sentral terhadap tekanan inflasi ke


depan agar tetap berada pada sasaran yang telah ditetapkan. Perubahan
BI Rate dilakukan terutama jika deviasi proyeksi inflasi terhadap
targetnya (inflation gap) dipandang telah bersifat permanen dan
konsisten dengan informasi dan indikator lainnya.

 BI Rate ditetapkan oleh Dewan Gubernur secara diskresi dengan


mempertimbangkan:

1. Rekomendasi BI Rate yang dihasilkan oleh fungsi reaksi


kebijakan dalam model ekonomi untuk pencapaian sasaran inflasi,
dan

2. Berbagai informasi lainnya seperti leading indicators, survei,


informasi anekdotal, variabel informasi, expert opinion, asesmen
fakto risiko dan ketidakpastian serta hasil-hasil riset ekonomi dan
kebijakan moneter.

Respon kebijakan moneter dinyatakan dalam perubahan BI Rate


(SBI tenor 1 bulan) secara konsisten dan bertahap dalam kelipatan 25 basis
points (bps). Dalam kondisi untuk menunjukkan intensi Bank Indonesia
yang lebih besar terhadap pencapaian sasaran inflasi, maka perubahan BI
Rate dapat dilakukan lebih dari 25 bps dalam kelipatan 25 bps.

8. Operasi Pengendalian Moneter

1. Berbeda dengan pelaksanaan selama ini yang menggunakan uang primer,


sasaran operasional pengendalian moneter adalah BI Rate. Dengan

14
langkah ini, sinyal kebijakan moneter diharapkan dapat lebih mudah dan
lebih pasti dapat ditangkap oleh pelaku pasar dan masyarakat, dan
karenanya diharapkan pula dapat meningkat efektivitas kebijakan
moneter.

2. Pengendalian moneter dilakukan dengan menggunakan instrumen: (i)


Operasi Pasar Terbuka (OPT), (ii) Instrumen likuiditas otomatis
(standing facilities), (iii) Intervensi di pasar valas, (iv) Penetapan giro
wajib minimum (GWM), dan (v) Himbauan moral (moral suassion).

3. Pengendalian moneter diarahkan pula agar perkembangan suku bunga


PUAB berada pada koridor suku bunga yang ditetapkan. Langkah ini
dilakukan untuk meningkatkan efektivitas pengendalian likuiditas
sekaligus untuk memperkuat sinyal kebijakan moneter yang ditempuh
Bank Indonesia.

9. Koordinasi dengan Pemerintah

1. Koordinasi dengan Pemerintah dimaksudkan agar kebijakan moneter


Bank Indonesia sejalan dengan kebijakan umum Pemerintah dibidang
perekonomian dengan tetap menjaga tugas dan wewenang masing-
masing.

2. Koordinasi Bank Indonesia dengan Pemerintah dalam penetapan sasaran


inflasi dilakukan sesuai dengan MoU yang telah disepakati antara
Pemerintah (cq. Menteri Keuangan) dengan Bank Indonesia, diantaranya
adalah:
* Bank Indonesia menyampaikan usulan Sasaran Inflasi kepada
Pemerintah selambat-lambatnya bulan Mei pada tahun sebelum periode
sasaran inflasi berakhir.
* Dalam hal terjadi kondisi yang luar biasa sehingga Sasaran Inflasi yang
telah ditetapkan menjadi tidak realistis dan perlu direvisa, maka Bank

15
Indonesia menyampaikan usulan perubahan Sasaran Inflasi setelah
berkoordinasi dengan Bank Indonesia.

3. Pentingnya keterlibatan Pemerintah dalam menetapkan inflasi


didasarkan pada pertimbangan beberapa faktor. Pertama, tidak semua
sumber inflasi di bawah kendali kebijakan Bank Indonesia. Kebijakan
pemerintah turut menyumbang inflasi, diantaranya adalah penetapan
administered price, upah minimum regional, gaji pegawai negeri,
kebijakan di bidang produksi sektoral, perdagangan domestik dan tata
niaga impor. Kebijakan pemerintah lainnya (misalnya di bidang politik,
keamanan, dan penegakan hukum) juga secara tidak langsung turut
mempengaruhi inflasi. Kedua, kebersamaan komitmen pengendalian
inflasi antara Pemerintah dan Bank Indonesia di atas kertas akan
menjadikan sasaran inflasi lebih kredibel, karena menjadi “milik
bersama”. Jika sasaran inflasi sangat kredibel, dalam arti Bank Indonesia
dan Pemerintah dinilai akan mampu mencapainya, para pelaku ekonomi
akan menyamakan perkiraan inflasi mereka dengan angka sasaran inflasi
tersebut. Bila kondisi ini terjadi, Pemerintah dan Bank Indonesia akan
lebih mudah menurunkan dan menstabilkan inflasi dalam jangka
menengah dan panjang, tanpa harus menelan biaya kebijakan yang terlalu
besar.

4. Sebagai tindak lanjut, Bank Indonesia bersama Pemerintah telah


membentuk tim penetapan sasaran, pemantauan, dan pengendalian inflasi
(selanjutnya disebut Tim Pengendalian Inflasi) yang beranggotakan
beberapa departemen teknis. Adapun tugas tim tersebut antara lain
mencakup pemberian usul mengenai sasaran inflasi, mengevaluasi
sumber-sumber dan potensi tekanan inflasi serta dampaknya terhadap
pencapaian sasaran inflasi, merekomendasikan pilihan kebijakan yang
mendukung pencapaian sasaran inflasi, serta melakukan diseminasi
mengenai sasaran dan upaya pencapaian sasaran inflasi kepada
masyarakat. Diharapkan pembentukan Tim Pengendalian Inflasi ini akan

16
meningkatkan koordinasi antara otoritas moneter dengan Pemerintah
secara keseluruhan, sehingga sasaran inflasi menjadi tujuan bersama
yang credible dan achievable.

5. Koordinasi Bank Indonesia dengan Pemerintah juga dilakukan dalam


penetapan asumsi-asumsi makro untuk bahan penyusunan RAPBN, baik
melalui rapat koordinasi dengan Departemen Keuangan (dan instansi
terkait) maupun dalam pembahasan dengan DPR.

6. Koordinasi Bank Indonesia dengan Pemerintah mengenai kebijakan di


bidang perekonomian lainnya dilakukan dalam Sidang Kabinet maupun
pertemuan-pertemuan lainnya sesuai dengan perkembangan dan
permasalahan yang terjadi.

10. Transparansi

1. Kebijakan moneter dikomunikasikan secara berkesinambungan kepada


masyarakat untuk meningkatkan kredibilitas kebijakan moneter dalam
membentuk ekspektasi dan pencapaian sasaran inflasi.

2. Komunikasi kebijakan moneter mencakup pengumuman dan penjelasan


pencapaian sasaran inflasi, kerangka kerja dan langkah-langkah
kebijakan moneter yang telah dan akan ditempuh, jadwal RDG, serta hal-
hal lain yang ditetapkan oleh Dewan Gubernur.

3. Komunikasi kebijakan moneter dilakukan dengan cara termasuk dan


tidak terbatas pada siaran pers, konperensi pers (terutama segera setelah
RDG Triwulanan untuk menjelasankan respon kebijakan moneter),
publikasi (termasuk penerbitan “Laporan Kebijakan Moneter” atau
“Inflation Report”), maupun penjelasan langsung kepada masyarakat.

17
4. Komunikasi kebijakan moneter disampaikan kepada masyarakat luas
termasuk dan tidak terbatas pada media massa, pelaku ekonomi, kalangan
pakar dan akademisi.

11. Akuntabilitas

1. Pertanggung-jawaban kebijakan moneter disampaikan kepada DPR untuk


meningkatkan kredibilitas Bank Indonesia dalam melaksanakan tugas
dan wewenang yang telah ditetapkan dalam UU.

2. Pertanggung-jawaban kebijakan moneter dilakukan dengan penyampaian


secara tertulis maupun penjelasan langsung atas Laporan Kebijakan
Moneter (“Monetary Policy Report” atau “Inflation Report”) secara
triwulanan dan aspek-aspek tertentu kebijakan moneter yang dipandang
perlu.

3. Laporan Kebijakan Moneter disampaikan pula kepada Pemerintah dan


masyarakat luas untuk transparansi dan koordinasi.

4. Dalam hal sasaran inflasi untuk suatu tahun tidak tercapai, maka Bank
Indonesia menyampaikan usulan penjelasan kepada Pemerintah sebagai
bahan penjelasan Pemerintah bersama Bank Indonesia secara terbuka
kepada DPR dan masyarakat yang dilakukan paling lambat Februari
tahun berikutnya.

12. Tantangan ke depan dari penerapan ITF

Kisah sukses ITF di sejumlah Negara maju didukung oleh terdapatnya


prasyarat dan pra kondisi yang diperlukan di Negara yang bersangkutan, sementara
di Negara berkembang, pra syarat tersebut tidak sepenuhnya dipenuhi. Calvo dan
Mishkin (2003) mengidentifikasi lima perbedaan antara Negara maju dengan Negara
sedang berkembang yaitu: (a) lemahnya disiplin fiscal (fiscal dominance); (b)
lemahnya kelembagaan keuangan termasuk pengaturan dan pengawasan prudential
(financial dominance); (c) rendahnya kredibilitas dari kelembagaan moneter; (d)

18
dolarisasi kewajiban; dan (e) kerapuhan (vulnerability) terhadap terhentinya aliran
modal secara tiba-tiba (external dominance).

Kerangka kebijakan moneter merupakan suatu hal yang dinamis, yang dapat
berubah sejalan dengan perubahan pra kondisi yang diperlukan dan tantangan yang
dihadapi. Masih kuatnya dominasi fiskal dan kerapuhan sistem terhadap shock
terbukti mengganggu pencapaian target inflasi. Sebagai contoh, pada waktu BBM di
dalam negeri dinaikkan secara signifikan pada paruh kedua tahun 2005, komitmen
pencapaian target inflasi tidak dapat dipenuhi. Koordinasi kebijakan fiskal dengan
kebijakan moneter masih perlu ditingkatkan mengingat pencapaian target inflasi
sesungguhnya merupakan tanggung jawab bersama Bank Indonesia dan pemerintah.
Oleh karena itu, kredibilitas kebijakan moneter dengan ITF bukan hanya
menyangkut komitmen Bank Indonesia selaku otoritas moneter, tetapi juga
komitmen pemerintah selaku otoritas fiscal.

Perubahan kerangka kebijakan moneter juga dipengaruhi oleh


perkembangan pasar keuangan dan infrastruktur pendukungnya seperti perubahan
system pembayaran yang cukup pesat yang didukung oleh pesatnya perkembangan
teknologi informasi. Dengan perkembangan system pembayaran yang sedemikian
pesat, transaksi crossborder menjadi sulit dimonitor sehingga aliran modal masuk
dan keluar semakin tidak mungkin dikontrol. Ketika teknologi membuat pola
transaksi berubah, kebijakan moneter pun akan berubah. Ketika sistem perdagangan
berubah dengan dunia berubah, kebijakan moneter yang dibutuhkan pun berubah.

13. Pelaksanaan Inflation Targeting Pada Beberapa Negara

1. JERMAN

 Inflasi merupakan sasaran pokok dalam target kebijakan moneter

 Target moneter relative fleksibel dengan mengarah pada sasaran


jangka panjang yang dicapai secara bertahap

19
 Kebijakan moneter kadang responsive untuk stabilisasi output dan
nilai tukar mata uang

 Stabilitas harga jangka panjang didefinisikan sebagai laju inflasi


yang lebih besar dari 0

 Unsure penting adalah komitmen yang kuat pada transparansi dan


komunikasi strategi kebijakan moneter pada masyarakat luas

2. SELANDIA BARU

 Target inflasi diamanatkan oleh policy target agreement antara


pemerintah terpilih dan bank sentral berupa target bersama sasaran
inflasi yang akan dicapai.

 Target inflasi ditetapkan setelah proses disinflasi

 Menggunakan inflasi inti sebagai target, termasuk pengaruh suku


bunga terhadap harga

 Meskipun termasuk Negara yang paling kaku menerapkan target


inflasi, masih ada fleksibilitas untuk stabilisasi output

 Akuntabilitas merupakan kunci pokok dengan dimungkinkannya


gubernur bank sentral diganti oleh pemerintah apabila sasaran jauh
tidak tercapai

 Target inflasi dinyatakan dalam kisaran

 Kisaran yang sempit dan horizon waktu yang pendek


mengakibatkan kesulitan dengan instability instrumentnya antara lain
suku bunga dan nilai tukar

3. KANADA

20
 Target yang disepakati dan diumumkan bersama oleh
pemerintah dan bank sentral

 Target inflasi diterapkan setelah terjadi proses disinflasi yang


berarti

 Inflasi (IHK) sebagia target utama, namun inflasi inti juga


digunakan dan disampaikan untuk meyakinkan bahwa trend inflasi
berada pada jalur pencapaian jangka menengah

 ITF relative fleksibel dengan mempertimbangkan fluktuasi


output. Inflation target adalah salah satu cara untuk meredam fluktuasi
siklikal dalam perekonomian

 Seperti di New Zealand dan Jerman, konvergensi sasaran


jangka menengah ke jangka panjang dilakukan sevara bertahap

 Target inflasi dinyatakan dalam kisaran

 Keberhasilan bank sentral Kanada adalah komitmen yang kuat


untuk tranparansi dan komunikasi terhadap masyarakat luas

 Sebagai alat Bantu bagi penerapan target inflasi, bank sentral


menyusun indeks kondisi moneter yang dibobot rata-rata dari nilai
tukar dan suku bunga jangka pendek sebagai sasaran operasional
jangka pendek

4. INGGRIS

 Menerapkan setelah proses disinflasi setelah krisis mata uang


dalam upaya untuk mengembalikan nominal anchor

 Tidak terlalu ketat menerapkansebagai rule disbanding dengan


Selandia Baru

21
 Memisahkan badan yang mengukur inflasi dari badan yang
membuat target inflasi

 Tidak menggunakan IHK umum, tetapi semacamcore inflasi yang


tidak mengeluarkan energi dan harga bahan makanan

 Pada awalnya target denyatakan dalam bentuk kisaran, kemudian


diubah dalam bentuk point

BAB IV

KEBIJAKAN MONETER YANG PERNAH


TERJADI DI INDONESIA

22
1. Kebijakan pengetatan moneter tahun 1959

Tingkat inflasi yang tinggi akan membawa pengaruh negatif terhadap


kondisi perekonomian suatu Negara. Tingginya laju inflasi mewarnai kondisi
perekonomian Republik Indonesia tahun 1959, akibatnya pemerintah
mengeluarkan kebijakan pengetatan moneter, yaitu: kebijakan pengawasan
kredit secara kuantitatif dan kualitatif, kebijakan devaluasi rupiah, kebijakan
sanering dan kebijakan devisa untuk lalu lintas pembayaran luar negeri guna
menekan laju inflasi tersebut.
Kebijakan moneter merupakan kebijakan yang dijalankan oleh Bank
Sentral untuk mengatur jumlah uang dalam perekonomian guna mengatasi
masalah-masalah makroekonomi seperti inflasi, pengangguran dan
menciptakan pertumbuhan ekonomi. Kebijakan moneter dilakukan dengan
cara pengawasan agar jumlah dan susunan uang yang beredar dapat
membantu menciptakan kegiatan ekonomi yang tinggi dan stabil, sekaligus
mempercepat pertumbuhan ekonomi.
Inflasi adalah suatu keadaan di mana harga-harga pada umumnya
meningkat. Tiga sektor yang memungkinkan terjadinya inflasi adalah:
1. ekspor-impor;
2. tabungan dan investasi; serta
3. penerimaan dan pengeluaran negara

Inflasi tidak akan terjadi bila ketiga sektor tersebut seimbang. Subjek
penyebab inflasi dapat dikategorikan menjadi sektor pemerintah dan sektor
swasta. Tekanan inflasi akan timbul pada sektor pemerintah bila pengeluaran
pemerintah lebih besar daripada penerimaannya, sedangkan pada sektor
swasta, tekanan inflasi timbul bila bank-bank mengucurkan kredit yang besar
guna memenuhi pinjaman sektor swasta tersebut untuk kegiatan-kegiatan,
baik lapangan investasi maupun non investasi. Untuk mengatasi inflasi, bank
sentral mengeluarkan kebijakan moneter dengan membatasi pemberian kredit

23
atau mengurangi jumlah uang beredar melalui tiga cara: kebijakan diskonto,
operasi pasar terbuka, dan menaikkan cash ratio.

Kebijakan diskonto dilakukan dengan menaikkan tingkat bunga


sehingga mengurangi keinginan badan-badan pemberi kredit untuk
mengeluarkan pinjaman guna memenuhi permintaan pinjaman dari
masyarakat. Akibatnya, jumlah kredit yang dikeluarkan oleh badan-badan
kredit akan berkurang, yang pada akhirnya mengurangi tekanan inflasi.
Operasi pasar terbuka (open market operation), biasa disebut dengan
kebijakan uang ketat (tight money policy), dilakukan dengan menjual surat-
surat berharga, seperti obligasi negara, kepada masyarakat dan bank-bank.
Akibatnya, jumlah uang beredar di masyarakat dan pemberian kredit oleh
badan-badan kredit (bank) berkurang, yang pada akhirnya dapat mengurangi
tekanan inflasi.
Sedangkan cash ratio adalah perbandingan antara uang tunai bank-
bank ditambah dengan demand deposit pada bank sentral terhadap demand
deposit masyarakat pada bank yang bersangkutan. Menaikkan cash ratio dari
bank-bank merupakan tindakan anti-inflasi karena akan mengurangi
kemampuan bank untuk memberikan kredit kepada masyarakat.

 Kondisi Politik dan Perekonomian Tahun 1959


Dekrit Presiden 5 Juli 1959 telah membawa perubahan mendasar
pada bidang politik dan ekonomi Indonesia, termasuk pada pelaksanaan
tugas dan kebijakan Bank Indonesia (BI).
Kondisi perekonomian pada tahun 1959 diwarnai dengan tingginya
laju inflasi, yang dipengaruhi oleh pesatnya pertambahan jumlah uang
beredar sebagai akibat ekspansi dari sektor pemerintah. Untuk
mengatasinya, pemerintah mengeluarkan beberapa kebijakan pengetatan
moneter berupa:
1. Kebijakan pengawasan kredit secara kuantitatif dan kualitatif

24
2. Kebijakan devaluasi rupiah
3. Kebijakan sanering
4. Kebijakan devisa untuk lalu lintas pembayaran luar negeri.

 Kebijakan Pembatasan Kredit Secara Kuantitatif

Pembatasan kredit secara kuantitatif dilakukan dengan cara


membatasi jumlah kredit yang dapat diberikan oleh badan-badan kredit
(bank) sampai pada tingkat tertentu.Bank dilarang memberikan kredit
melebihi batas yang ditetapkan pemerintah.

 Kebijakan Pembatasan Perkreditan Secara Kualitatif

Selain pembatasan kredit secara kuantitatif, pemerintah juga


mengeluarkan ketentuan pembatasan kredit secara kualitatif. Hal ini
dilakukan dengan pembatasan pemberian kredit pada sektor-sektor tertentu
serta menjuruskan kredit pada usaha produktif dan ekspor.

Sejak September 1959, bank-bank dilarang memberikan kredit atas


semua transaksi impor, kecuali untuk barang-barang yang diimpor oleh
danmelalui Perusahaan Dagang Negara (PDN), beras oleh Jajasan Urusan
Bahan Makanan (JUBM), dan cambrics oleh Gabungan Koperasi Batik
Indonesia (GKBI).

 Kebijakan Devaluasi Mata Uang

Devaluasi adalah penurunan nilai mata uang terhadap mata uang


asing. Kebijakan ini mempengaruhi lalu lintas pembayaran luar negeri.
Angka rata-rata pendapatan ekspor tahun 1959 jauh lebih baik
dibandingkan tahun sebelumnya.

25
 Kebijakan sanering
Sanering berasal dari bahasa Belanda yang berarti penyehatan,
pembersihan, reorganisasi. Kebijakan sanering, yang mulai berlaku pada
25 Agustus 1959, adalah sebagai berikut:
1. Penurunan nilai uang kertas Rp 500 dan Rp 1.000 menjadi Rp 50 dan
Rp 100 (Perpu No.2 Tahun 1959, 24 Agustus 1959). Penukaran uang
kertas ini harus dilakukan sebelum 1 Januari 1960 (Perpu No. 6 Tahun
1959, 25 Agustus 1959). Sedangkan untuk nilai uang yang hilang
akibat pemberlakuan Perpu No. 2 di atas, tidak akan diperhatikan pada
perhitungan laba maupun pajak (Perpu No. 5 Tahun 1959, 25 Agustus
1959).
2. Pembekuan sebagian simpanan pada bank-bank (giro dan deposito)
sebesar 90% dari jumlah simpanan diatas Rp 25.000, dengan
ketentuan bahwa simpanan yang dibekukan akan diganti menjadi
simpanan jangka panjang oleh Pemerintah (Perpu No.3 Tahun 1959
tanggal 24 Agustus 1959).

Tindakan sanering ini telah membawa beberapa pengaruh di bidang


moneter. Mulai dari berkurangnya uang beredar, meningkatnya
keuntungan pemerintah yang digunakan untuk mengurangi ketekoran kas
pemerintah, sampai menurunkan tingkat likuiditas bank-bank. Akibatnya
bank tidak bisa memberikan kredit kepada perusahaan untuk kegiatan
ekspor, impor, produksi, dan distribusi, sehingga berakibat pada kenaikan
harga barang dan biaya hidup tahun 1959. Tindakan yang dianggap gagal
ini, ternyata dilakukan pemerintah tanpa berkoordinasi dengan BI,
sehingga Gubernur BI pada waktu itu, Mr. Loekman Hakim, mengajukan
pengunduran diri pada presiden.
Kebijakan pengetatan moneter tahun 1959 yang dilancarkan oleh
pemerintah tidak dapat menghambat laju inflasi malahan makin
mempertinggi laju inflasi. Hal ini terlihat dari meningkatnya jumlah uang

26
yang beredar pada tahun 1959 dan 1960 meningkat, Sehingga dapat
disimpulkan bahwa pelaksanaan kebijakan tersebut tidak efektif.

2. Kebijakan Moneter 13 Desember 1965

Bila dalam suatu negara terdapat beberapa jenis mata uang yang
berlaku dengan nilai tukar yang berbeda-beda,hal itu akan menyebabkan
situasi moneter negara tersebut kacau balau. Keadaan tersebut pernah dialami
Indonesia pada kurun waktu 1960-an. Dalam rangka menciptakan kesatuan
moneter, pemerintah, melalui Penetapan Presiden (Penpres) No. 27 tahun
1965, menerbitkan uang rupiah baru untuk menggantikan uang rupiah lama
dan uang rupiah khusus Daerah Provinsi Irian Barat (IB Rp).
Uang mulai digunakan pada saat kondisi perekonomian sedemikian
berkembang sehingga perekonomian barter (perekonomian yang
mensyaratkan double coincidence of want) dirasakan tidak memadai. Uang
memiliki peranan yang sangat penting dalam perekonomian. Hal ini dapat
dilihat dari fungsinya, yaitu sebagai alat tukar, alat pengukur nilai, ukuran
pembayaran di masa depan, dan penyimpan daya beli.
Uang adalah suatu benda diantara sekian banyak benda dalam
pengertian perekonomian. Uang memiliki nilai karena masyarakat
mengajukan permintaan terhadapnya. Perubahan-perubahan nilai uang
berhubungan erat dengan perubahanperubahan permintaan terhadapnya.
Dengan kata lain, naik turunnya nilai uang tidak terlepas dari hukum
permintaan dan penawaran. Sehingga, dapat dirumuskan, yang dimaksud
dengan nilai uang adalah jumlah barang-barang atau jasa-jasa yang diberikan
oleh orang lain kepada kita sebagai pengganti satu kesatuan uang yang kita
berikan kepadanya.
Naik turunnya nilai uang tergantung dari naik turunnya harga. Pada
saat keinginan masyarakat untuk menyimpan uang tunainya meningkat, hal
tersebut akan cenderung menaikan nilai uang dan menurunkan harga barang.
Sebaliknya, pada situasi di mana orang terus membelanjakan setiap uangnya,

27
hal tersebut akan menurunkan nilai uang dan akan menaikan harga.
Perubahan-perubahan nilai uang akan mempengaruhi aktivitas di lapangan
ekonomi. Naiknya nilai uang akan menyebabkan aktivitas ekonomi semakin
berkurang. Sebaliknya, turunnya nilai uang akan secara lambat laun akan
meningkatkan aktivitas ekonomi. Nilai uang yang secara terus-menerus turun
akan menyebabkan inflasi. Salah satu kebijakan yang digunakan untuk
mengatasi inflasi dalam perekonomian suatu negara adalah kebijakan
moneter.
Pada tahun 1965, salah satu kebijakan moneter yang diambil
pemerintah untuk menghambat laju inflasi pada saat itu adalah pemberlakuan
mata uang rupiah baru bagi seluruh wilayah Republik Indonesia (RI) melalui
Penetapan Presiden (Penpres) No. 27 Tahun 1965 tanggal 13 Desember 1965
yang menetapkan penggantian uang lama dengan uang baru dengan
perbandingan nilai Rp 1.000 (lama) menjadi Rp 1.000 (baru). Tujuan lain dari
Penpres tersebut adalah untuk mempersiapkan kesatuan moneter bagi seluruh
wilayah RI, termasuk Daerah Provinsi Irian Barat.

3. KEBIJAKAN MONETER ORDE BARU


Pada masa orde baru, pemerintah menjalankan kebijakan yang tidak
mengalami perubahan terlalu signifikan selama 32 tahun. Dikarenakan pada
masa itu pemerintah sukses menghadirkan suatu stablilitas politik sehingga
mendukung terjadinya stabilitas ekonomi. Karena itulah pemerintah jarang
sekali melakukan perubahan-perubahan kebijakan terutama dalam hal
anggaran negara. Pada masa pemerintahan orde baru, kebijakan ekonominya
berorientasi kepada pertumbuhan ekonomi. Kebijakan ekonomi tersebut
didukung oleh kestabilan politik yang dijalankan oleh pemerintah. Hal
tersebut dituangkan ke dalam jargon kebijakan ekonomi yang disebut dengan
Trilogi Pembangungan, yaitu stabilitas politik, pertumbuhan ekonomi yang
stabil, dan pemerataan pembangunan.

28
Hal ini berhasil karena selama lebih dari 30 tahun, pemerintahan
mengalami stabilitas politik sehingga menunjang stabilitas ekonomi.
Kebijakan-kebijakan ekonomi pada masa itu dituangkan pada Rencana
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN), yang pada akhirnya
selalu disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk disahkan
menjadi APBN.
APBN pada masa pemerintahan Orde Baru, disusun berdasarkan
asumsi-asumsi perhitungan dasar. Yaitu laju pertumbuhan ekonomi, tingkat
inflasi, harga ekspor minyak mentah Indonesia, serta nilai tukar rupiah
terhadap dollar Amerika. Asumsi-asumsi dasar tersebut dijadikan sebagai
ukuran fundamental ekonomi nasional. Padahal sesungguhnya, fundamental
ekonomi nasional tidak didasarkan pada perhitungan hal-hal makro. Akan
tetapi, lebih kearah yang bersifat mikro-ekonomi. Misalnya, masalah-masalah
dalam dunia usaha, tingkat resiko yang tinggi, hingga penerapan dunia swasta
dan BUMN yang baik dan bersih. Oleh karena itu pemerintah selalu
dihadapkan pada kritikan yang menyatakan bahwa penetapan asumsi APBN
tersebut tidaklah realistis sesuai keadaan yang terjadi.
Format APBN pada masa Orde baru dibedakan dalam penerimaan dan
pengeluaran. Penerimaan terdiri dari penerimaan rutin dan penerimaan
pembangunan serta pengeluaran terdiri dari pengeluaran rutin dan
pengeluaran pembangunan. Sirkulasi anggaran dimulai pada 1 April dan
berakhir pada 31 Maret tahun berikutnya. Kebijakan yang disebut tahun fiskal
ini diterapkan seseuai dengan masa panen petani, sehingga menimbulkan
kesan bahwa kebijakan ekonomi nasional memperhatikan petani.

APBN pada masa itu diberlakukan atas dasar kebijakan prinsip


berimbang, yaitu anggaran penerimaan yang disesuaikan dengan anggaran
pengeluaran sehingga terdapat jumlah yang sama antara penerimaan dan
pengeluaran. Hal perimbangan tersebut sebetulnya sangat tidak mungkin,
karena pada masa itu pinjaman luar negeri selalu mengalir. Pinjaman-

29
pinjaman luar negeri inilah yang digunakan pemerintah untuk menutup
anggaran yang defisit.
Ini artinya pinjaman-pinjaman luar negeri tersebut ditempatkan pada
anggaran penerimaan. Padahal seharusnya pinjaman-pinjaman tersebut adalah
utang yang harus dikembalikan, dan merupakan beban pengeluaran di masa
yang akan datang. Oleh karena itu, pada dasarnya APBN pada masa itu selalu
mengalami defisit anggaran.
Penerapan kebijakan tersebut menimbulkan banyak kritik, karena
anggaran defisit negara ditutup dengan pinjaman luar negeri. Padahal, konsep
yang benar adalah pengeluaran pemerintah dapat ditutup dengan penerimaan
pajak dalam negeri. Sehingga antara penerimaan dan pengeluaran dapat
berimbang. Permasalahannya, pada masa itu penerimaan pajak saat minim
sehingga tidak dapat menutup defisit anggaran.
Namun prinsip berimbang ini merupakan kunci sukses pemerintah
pada masa itu untuk mempertahankan stabilitas, khususnya di bidang
ekonomi. Karena pemerintah dapat menghindari terjadinya inflasi, yang
sumber pokoknya karena terjadi anggaran yang defisit. Sehingga
pembangunanpun terus dapat berjalan.
Prinsip lain yang diterapkan pemerintah Orde Baru adalah prinsip
fungsional. Prinsip ini merupakan pengaturan atas fungsi anggaran
pembangunan dimana pinjaman luar negeri hanya digunakan untuk
membiayai anggaran belanja pembangunan. Karena menurut pemerintah,
pembangunan memerlukan dana investasi yang besar dan tidak dapat
seluruhnya dibiayai oleh sumber dana dalam negeri.
Pada dasarnya kebijakan ini sangat bagus, karena pinjaman yang
digunakan akan membuahkan hasil yang nyata. Akan tetapi, dalam APBN
tiap tahunnya cantuman angka pinjaman luar negeri selalu meningkat. Hal ini
bertentangan dengan keinginan pemerintah untuk selalu meningkatkan
penerimaan dalam negeri. Dalam Keterangan Pemerintah tentang RAPBN
tahun 1977, Presiden menyatakan bahwa dana-dana pembiayaan yang
bersumber dari dalam negeri harus meningkat. Padahal, ketergantungan yang

30
besar terhadap pinjaman luar negeri akan menimbulkan akibat-akibat.
Diantaranya akan menyebabkan berkurangnya pertumbuhan ekonomi.
Hal lain yang dapat terjadi adalah pemerataan ekonomi tidak akan
terwujud. Sehingga yang terjadi hanya perbedaan penghasilan. Selain itu
pinjaman luar negeri yang banyak akan menimbulkan resiko kebocoran,
korupsi, dan penyalahgunaan. Dan lebih parahnya lagi ketergantungan
tersebut akan menyebabkan negara menjadi malas untuk berusaha
meningkatkan penerimaan dalam negeri.
Prinsip ketiga yang diterapakan oleh pemerintahan Orde Baru dalam
APBN adalah, dinamis yang berarti peningkatan tabungan pemerintah untuk
membiayai pembangunan. Dalam hal ini pemerintah akan berupaya untuk
mendapatkan kelebihan pendapatan yang telah dikurangi dengan pengeluaran
rutin, agar dapat dijadikan tabungan pemerintah. Oleh karena itu, pemerintah
dapat memanfaatkan tabungan tersebut untuk berinvestasi dalam
pembangunan.
Kebijakan pemerintah ini dilakukan dengan dua cara, yaitu derelgulasi
perbankan dan reformasi perpajakan. Akan tetapi, kebijakan demikian
membutuhkan waktu dan proses yang cukup lama. Akibatnya, kebijakan
untuk mengurangi bantuan luar negeri tidak dapat terjadi karena jumlah
pinjaman luar negeri terus meningkat. Padahal disaat yang bersamaan
persentase pengeluaran rutin untuk membayar pinjaman luar negeri terus
meningkat. Hal ini jelas menggambarkan betapa APBN pada masa
pemerintahan Orde Baru sangat bergantung pada pinjaman luar negeri.
Sehingga pada akhirnya berakibat tidak dapat terpenuhinya keinginan
pemerintah untuk meningkatkan tabungannya.

4. KEBIJAKAN MONETER PADA SAAT REFORMASI


Pemerintahan presiden BJ. Habibie yang mengawali masa reformasi
belum melakukan manuver-manuver yang cukup tajam dalam bidang
ekonomi. Kebijakan-kebijakannya diutamakan untuk mengendalikan
stabilitas politik. Pada masa kepemimpinan presiden Abdurrahman Wahid

31
pun, belum ada tindakan yang cukup berarti untuk menyelamatkan negara
dari keterpurukan. Padahal, ada berbagai persoalan ekonomi yang diwariskan
orde baru harus dihadapi, antara lain masalah KKN (Korupsi, Kolusi dan
Nepotisme), pemulihan ekonomi, kinerja BUMN, pengendalian inflasi, dan
mempertahankan kurs rupiah. Malah presiden terlibat skandal Bruneigate
yang menjatuhkan kredibilitasnya di mata masyarakat. Akibatnya,
kedudukannya digantikan oleh presiden Megawati.
Masa kepemimpinan Megawati Soekarnoputri mengalami masalah-
masalah yang mendesak untuk dipecahkan adalah pemulihan ekonomi dan
penegakan hukum. Kebijakan-kebijakan yang ditempuh untuk mengatasi
persoalan-persoalan ekonomi antara lain :
a) Meminta penundaan pembayaran utang sebesar US$ 5,8 milyar pada
pertemuan Paris Club ke-3 dan mengalokasikan pembayaran utang luar
negeri sebesar Rp 116.3 triliun.
b) Kebijakan privatisasi BUMN. Privatisasi adalah menjual perusahaan
negara di dalam periode krisis dengan tujuan melindungi perusahaan
negara dari intervensi kekuatan-kekuatan politik dan mengurangi beban
negara. Hasil penjualan itu berhasil menaikkan pertumbuhan ekonomi
Indonesia menjadi 4,1 %. Namun kebijakan ini memicu banyak
kontroversi, karena BUMN yang diprivatisasi dijual ke perusahaan asing.
Namun dalam singkatnya masa pemerintahan masing-masing
presiden, baik BJ Habibie, Abdurrahman Wahid, dan Megawati mampu
menorehkan prestasi misalnya , Habibie mampu mengubah pertumbuhan
ekonomi negatif menjadi positif secara signifikan dengan prestasi year on
year 12,3%. Abdurrahman Wahid mencatat pertumbuhan ekonomi tertinggi
yang pertama sejak krisis 1997. Megawati mampu menjaga pertumbuhan
ekonomi secara stabil dan menunjukkan peningkatan terus menerus tiap
tahunnya.

5. KEBIJAKAN MONETER PADA MASA PEMERINTAHAN SBY

32
Pada saat awal kepemimpinan SBY-JK keadaan perekonomian
memaksa untuk mengeluarkan kebijakan mengurangi subsidi bahan bakar
minyak,atau dengan kata lain menaikan harga bahan bakar minyak,karena
harga minyak dunia yang melambung tinggi.Hal ini dilakukan untuk
mengurangi tekanan pada APBN atas lonjakan harga minyak
tersebut.Kenaikan BBM ini mendorong terjadinya inflasi.
Ketika pada Juli 2005, BI mengenalkan kebijakan Inflation Targeting
Framework (ITF), penetapan target inflasi dirumuskan bersama dengan
Pemerintah. Dengan target inflasi itu, BI dan Pemerintah harus bekerja erat
bersama untuk mencapainya. Bila target itu dipercaya pelaku ekonomi,
investor/produsen dan konsumen, maka roda perekonomian akan bergerak
sesuai rencana sehingga fungsi intermediasi perbankan bekerja secara
optimal.
Bank Indonesia juga menetapkan enam langkah lanjutan bidang moneter
untuk meredam gejolak nilai tukar rupiah terhadap dolar. Langkah-langkah
tersebut yaitu menaikkan BI rate sebesar 75 bps menjadi 9,5 persen berlaku
sejak 30 Agustus 2005. Kedua, menaikkan suku bunga FASBI (fasilitas
Simpanan Bank Indonesia)7 hari sebesar 100 bps menjadi 8,5 persen, berlaku
sejak 31 Agustus 2005. Ketiga, menyerap likuiditas secara maksimal melalui
fine tune contraction dengan variable rate tender. Keempat, menaikkan
maksimum suku bunga penjaminan simpanan untuk September 2005. Kelima,
menaikkan giro wajib minimun rupiah belaku sejak 6 September 2005.
Keenam, menaikkan imbalan jasa giro yang semula 3 persen menjadi 5,5
persen, untuk seluruh tambahan GWM (Giro Wajib Minimum) rupiah di atas
5 persen.

Untuk mengatur jumlah uang yang beredar,salah satu kebijakan yang


dilakukan adalah Operasi pasar terbuka atau Open Market Operation (OMO) yaitu
kegiatan transaksi di pasar uang yang dilakukan oleh Bank Indonesia dengan
Bank dan pihak lain dalam rangka pengendalian moneter. Dalam pelaksanaan

33
Operasi Pasar Terbuka,dikenal dengan istilah fine tune operation yaitu transaksi
dalam rangka OPT yang dilakukan sewaktu-waktu oleh Bank Indonesia apabila
diperlukan untuk mempengaruhi likuiditas perbankan secara jangka pendek pada
waktu, jumlah dan harga transaksi yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Dalam fine tune operaration di kenal dua kebijakan lagi yaitu:
1. Fine tune contraction : transaksi fine tune dalam rangka penyerapan likuiditas
perbankan secara jangka pendek.
2. Fine tune expansion: transaksi fine tune dalam rangka penambahan likuiditas
perbankan secara jangka pendek.

Penyerapan likuiditas tejadi apabila terjadi kelebihan likuiditas pada


perbankan dari nilai yang sudah ditetapkan.

KESIMPULAN

34
Kebijakan moneter pada dasarnya merupakan suatu kebijakan yang
bertujuan untuk mencapai keseimbangan internal (pertumbuhan ekonomi yang
tinggi, stabilitas harga, pemerataan pembangunan) dan keseimbangan eksternal
(keseimbangan neraca pembayaran) serta tercapainya tujuan ekonomi makro,
yakni menjaga stabilitasi ekonomi yang dapat diukur dengan kesempatan kerja.

Pada awal 2005, dalam melaksanakan kebijakan moneter, Bank Indonesia


menganut sebuah kerangka kerja yang dinamakan Inflation Targetting Framework
(ITF) yaitu secara eksplisit mengumumkan sasaran inflasi kepada public dan
kebijakan moneter diarahkan untuk mencapai sasaran inflasi yang ditetapkan oleh
pemerintah tersebut.

Pada setiap masa, kebijakan moneter yang dilakukan berbeda-beda


tergantung dari kondisi perekonomian di setiap masa.

Dalam menentukan kebijakan moneter, akan lebih efektif jika melihat


penyebab apa saja yang mengakibatkan inflasi agar kebijakan tersebut tepat
sasaran.

DAFTAR PUSTAKA

35
http://yasinta.net/permintaan-dan-penawaran-uang-money-supply-and-demand/

http://id.wikipedia.org/wiki/Kebijakan_moneter

http://www.sinarharapan.co.id/ekonomi/Keuangan/2005/0905/keu1.html

http://els.bappenas.go.id/upload/other/BI%20Targetkan%20Serap%20Likuiditas
%20Rp%2064%20Triliun-SK.htm

http://www.kadin-indonesia.or.id/en/berita_isi.php?
news_id=455&title=BI+Menetapkan+Enam+Langkah+Penjaga+Rupiah

http://www.antaranews.com/view/?i=1213803011&c=EKB&s=

http://economy.okezone.com/index.php/ReadStory/2008/07/03/20/124338/inflasi-
juni-2008-11-03

www.bps.co.id

http://www.bi.go.id/biweb/TimeSeries/tsInflasi_ID.aspx?
sdate=2005/1&edate=2010/12

LAMPIRAN

36
Indeks Harga Konsumen dan Inflasi Bulanan Indonesia,

2005, 2006, 2007, Januari - Mei 2008 ( 2002=100 ), Juni - Desember 2008, 2009, Januari - Mei 2010 ( 2007 = 100 )

2005 2006 2007 2008 2009 2010


Bulan
IHK Inflasi IHK Inflasi IHK Inflasi IHK Inflasi IHK Inflasi IHK Inflasi

Januari 118.53 1.43 138.72 1.36 147.41 1.04 158.26 1.77 113.78 -0.07 118.01 0.84

Februari 118.33 -0.17 139.53 0.58 148.32 0.62 159.29 0.65 114.02 0.21 118.36 0.30

Maret 120.59 1.91 139.57 0.03 148.67 0.24 160.81 0.95 114.27 0.22 118.19 -0.14

April 121.00 0.34 139.64 0.05 148.43 -0.16 161.73 0.57 113.92 -0.31 118.37 0.15

Mei 121.25 0.21 140.16 0.37 148.58 0.10 164.01 1.41 113.97 0.04 118.71 0.29

Juni 121.86 0.50 140.79 0.45 148.92 0.23 110.08*) 2.46*) 114.10 0.11    

Juli 122.81 0.78 141.42 0.45 149.99 0.72 111.59 1.37 114.61 0.45    

Agustus 123.48 0.55 141.88 0.33 151.11 0.75 112.16 0.51 115.25 0.56    
Septembe
r 124.33 0.69 142.42 0.38 152.32 0.80 113.25 0.97 116.46 1.05    

Oktober 135.15 8.70 143.65 0.86 153.53 0.79 113.76 0.45 116.68 0.19    

November 136.92 1.31 144.14 0.34 153.81 0.18 113.90 0.12 116.65 -0.03    

Desember 136.86 -0.04 145.89 1.21 155.50 1.10 113.86 -0.04 117.03 0.33    
Angka
Inflasi   17.11   6.60   6.59   11.06   2.78   1.44

*) Sejak Juni 2008, IHK berdasarkan pola konsumsi yang didapat dari Survei Biaya Hidup di 66 Kota (2007=100).)

GRAFIK TREND INFLASI

PADA TAHUN 2005 SAMPAI DENGAN 2010

37
18.00%

16.00%

14.00%

12.00%

10.00%

8.00%

6.00%

4.00%

2.00%

0.00%
2005 2006 2007 2008 2009 2010

38

Anda mungkin juga menyukai