Anda di halaman 1dari 67

Seminar Internasional

“Toward a Less Cash Society in Indonesia”

SEMINAR INTERNASIONAL

Towards a Less Cash Society


in Indonesia

Direktorat Akunting dan Sistem Pembayaran

Juni 2006

1
Seminar Internasional
“Toward a Less Cash Society in Indonesia”

Kata Pengantar

Kegiatan seminar internasional sistem pembayaran tentang “Towards a Less Cash


Society in Indonesia” telah dilaksanakan selama dua hari di Bank Indonesia, Jakarta,
pada tanggal 17-18 Mei 2006. Dari kegiatan tersebut telah dapat kami rangkumkan
pokok-pokok materinya dalam buku laporan seminar, dengan harapan agar dapat
disimak pandangan dari para pembicara baik dari luar maupun dalam negeri. Dengan
latar belakang nara sumber yang beragam mulai dari praktisi, pelaku bisnis, akademisi,
anggota parlemen dan dari kalangan bank sentral sendiri serta dengan pembagian
kelompok topik diskusi yang lebih terfokus diharapkan buku laporan seminar ini dapat
memberikan gambaran utuh dan lengkap tentang peta sistem pembayaran non tunai
di masyarakat Indonesia dan berbagai peluang pengembangannya ke depan.
Materi buku laporan seminar ini dibagi dalam lima bagian. Bagian Pertama –
Pendahuluan – memuat informasi topik para pembicara, pesan penting Gubernur Bank
Indonesia dalam pembukaan seminar, dan catatan-catatan penting Bank Indonesia
dalam pelaksanaan seminar yang perlu diketahui oleh para peserta seminar yang
terangkum dalam keynote speaker Deputi Gubernur Bank Indonesia Bidang Sistem
Pembayaran. Bagian Kedua - Pokok-Pokok Materi Seminar – dirangkum butir-butir
pokok bahasan yang disampaikan oleh masing-masing pembicara dilanjutkan dengan
rangkuman hasil diskusi dan tanya jawab yang dituangkan pada Bagian Ketiga.
Sementara itu, dalam mengoptimalkan kehadiran pembicara asing di Indonesia, kami
rangkumkan hasil sesi diskusi dan tanya jawab di ruang terpisah antara tim teknis
dengan Prof. Dr. Leo van Hove dari Vrije Universiteit Brussel dan Mr Antony Morris
dari Octopus Cards Ltd Hong Kong sebagaimana dapat dilihat pada Bagian Keempat.
Bagian terakhir, Bagian Penutup, kami sarikan pokok kesimpulan seminar yang
dilengkapi dengan lampiran materi tulisan dan tayangan seminar dari para pembicara.
Kami berharap dengan laporan hasil seminar ini dapat diingat kembali
wacana dan solusi yang telah berkembang selama berlangsungnya seminar serta
sekaligus sebagai tambahan pengetahuan bagi pihak yang tidak ikut seminar.
Makin banyak pihak yang mengetahui permasalahan ini, diharapkan dapat ikut
membantu terciptanya masyarakat yang berkecenderungan pada penggunaan
alat pembayaran non tunai. Jika terdapat masukan atau komentar mengenai materi
dalam laporan hasil seminar ini, dengan senang hati kami berharap masukan dan
komentar tersebut dapat disampaikan kepada kami, Tim Pengaturan dan Perizinan
Sistem Pembayaran, Biro Pengembangan Sistem Pembayaran Nasional, Direktorat
Akunting dan Sistem Pembayaran, Bank Indonesia, melalui e-mail: pspn@bi.go.id.

Jakarta, Juni 2006


DASP

2
Seminar Internasional
“Toward a Less Cash Society in Indonesia”

Daftar Isi

Kata Pengantar ................................................................................................................. 2


Daftar Isi ............................................................................................................................. 3
Bagian Pertama .................................................................................................. 4
Pendahuluan ...................................................................................................................... 4
Penyelenggaraan Seminar Internasional Sistem Pembayaran
“Towards a Less Cash Society in Indonesia” ................................................................. 5
1. Waktu dan Tempat Seminar ........................................................................................ 5
2. Pembicara ....................................................................................................................... 5
3. Moderator. .................................................................................................................... 5
4. Peserta Seminar ............................................................................................................ 5
5. Jadwal Seminar. ............................................................................................................ 6
Sambutan Gubernur Bank Indonesia ............................................................................. 9
Keynote Speech Seminar Deputi Gubernur Bank Indonesia. .................................. 12
Bagian Kedua ..................................................................................................... 17
Pokok-Pokok Materi Seminar. ....................................................................................... 17
Pokok-Pokok Materi Seminar Hari I:
Non-Cash Payment Instruments ................................................................................... 18
A. Sesi 1: Policy Aspects on Non-Cash Payment Instruments Development ................... 18
B. Sesi 2: Oversight and Legal Aspect of Non-Cash Payment Instruments ........... 25
Pokok-Pokok Materi Seminar Hari II:
Market Collaboration and Expectations on
Non-Cash Payment Instruments Development .......................................................... 27
A. Sesi 1: National Payment Gateway from the Point of View of Practitioners .. 27
B. Sesi 2: Market Collaboration among Banks, Non Bank Issures, Billers,
Merchants and Supporting Services (Switching Companies and
Financial Acquirer) ..................................................................................................... 31
Bagian Ketiga ..................................................................................................... 37
Tanya Jawab dan Diskusi ............................................................................................... 37
I. Hari I Sesi 1 .................................................................................................................... 38
II. Hari I Sesi 2 ................................................................................................................... 40
III. Hari II Sesi 1................................................................................................................. 43
IV. Hari II Sesi 2 ................................................................................................................ 48
Bagian Keempat ................................................................................................ 52
Diskusi dengan Pembicara Asing di Luar Seminar ..................................................... 52
Bagian Kelima ....................................................................................................62
Penutup ............................................................................................................................ 62

3
Seminar Internasional
“Toward a Less Cash Society in Indonesia”

Bagian Pertama
PENDAHULUAN

4
Seminar Internasional
“Toward a Less Cash Society in Indonesia”

Penyelenggaraan Seminar Internasional


“ To w ards a Less Cash Society in Indonesia”

1 . Waktu dan Tempat Seminar


Seminar dilaksanakan pada tanggal 17 dan 18 Mei 2006 di Ruang Serbaguna, Gedung
Sjafruddin Prawiranegara, Lantai 3 Kompleks Perkantoran Bank Indonesia, Jl. M.H.
Thamrin No. 2 Jakarta 10110.
2 . Pembicara
Pembicara terdiri dari anggota parlemen, pakar ekonomi, akademisi, praktisi
perbankan dan praktisi bisnis yang sangat terkait dengan kegiatan sistem
pembayaran, serta internal Bank Indonesia, yaitu:
a. Theo L. Sambuaga, Ketua Komisi I DPR-RI;
b. Asman Abnur, Wakil Ketua Komisi XI DPR-RI;
c. Dr. Dradjad H. Wibowo, Pakar Ekonomi;
d. Prof. Dr. Leo van Hove, Vrije Universiteit Brussel;
e. Antony Morris, Executive Manager Strategic Development and Risk Management,
Octopus Cards Ltd, Hong Kong;
f. Prof. Hikmahanto Juwana, SH, LL.M, Ph.D, Dekan Fakultas Hukum Universitas
Indonesia;
g. Prof. Dr. Ahmad M. Ramli, SH, MH, Staf Ahli Bidang Hukum Menteri Komunikasi
dan Informatika;
h. Mohamad Ishak, Staf Ahli Dewan Gubernur Bank Indonesia;
i. Perry Warjiyo, Direktur Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter Bank Indonesia;
j. Bramudija Hadinoto, Deputi Direktur Akunting dan Sistem Pembayaran Bank In-
donesia;
k. D.E. Setijoso, CEO PT. Bank Central Asia, Tbk;
l. Budi S. Mulyadi, PT. Telkom (Persero), Tbk;
m. Ahmad Bambang, PT. Pertamina (Persero); dan
n. Ir. Djoko Dwidjono, Kepala Divisi Perencanaan Perusahaan Sistem Informasi dan
Pengembangan Teknologi PT. Jasa Marga (Persero).
3 . Moderator
Moderator terdiri dari akademisi dan internal Bank Indonesia, yakni:
a. Edmon Makarim, SH, S.Kom, LL.M, Lembaga Kajian Hukum dan Teknologi, Fakultas
Hukum Universitas Indonesia;
b. Halim Alamsyah, Direktur Statistik Ekonomi dan Moneter, Bank Indonesia;
c. Edi Siswanto, Direktur Akunting dan Sistem Pembayaran Bank Indonesia; dan
d. Dyah N.K. Makhijani, Kepala Biro Pengembangan Sistem Pembayaran Nasional,
Bank Indonesia.
4 . Peserta Seminar
Peserta seminar terdiri dari pakar dan praktisi perbankan, teknologi informasi, instansi
pemerintah, Bank Indonesia, merchants, perusahaan penyelenggara kliring/switch-
ing, akademisi dan wakil dari lembaga konsumen Indonesia. Dihadiri undangan sekitar

5
Seminar Internasional
“Toward a Less Cash Society in Indonesia”

200 orang yang terdiri dari:


a. Internal Bank Indonesia (± 30 orang):
1) Beberapa Pimpinan Direktorat terkait; dan
2) Pimpinan Kantor Bank Indonesia Kelas 1 (Medan, Bandung, Semarang,
Surabaya, dan Makassar).
b. Eksternal Bank Indonesia (± 170 orang ), antara lain dari:
1) Departemen Kominfo, Departemen Keuangan, dan Departemen Hukum dan
Hak Asasi Manusia;
2) Kalangan perbankan penerbit alat pembayaran dengan menggunakan kartu;
3) Anggota DPR;
4) Mahkamah Agung, Kejaksaan (Agung, Tinggi, Negeri), Pengadilan (Negeri,
Tinggi) dan Aparat Kepolisian (Mabes Polri dan Polda);
5) Akademisi (beberapa perguruan tinggi di Jakarta, Bandung dan Bogor);
6) Perusahaan Penyelenggara Switching/Kliring ATM;
7) Merchants (KADIN, Hiswana Migas, Secure Parking, Trans Jakarta, Jasa Marga,
Telkom, PLN, Carrefour, Hero dan beberapa responden utama dalam survei);
8) Operator Seluler; dan
9) Wartawan Bidang Ekonomi.
5 . Jadwal Seminar
Hari Pertama, 17 Mei 2006
Non-Cash Payment Instruments
08.00 - 09.00 Registrasi Peserta
09.00 - 09.10 Pembukaan oleh Burhanuddin Abdullah, Gubernur Bank Indone-
sia
09.10 - 09.30 Coffee Break
09.30 - 09.45 R. Maulana Ibrahim, Deputi Gubernur Bank Indonesia Bidang
Sistem Pembayaran (Keynote Speaker)The Current Condition of
Less Cash Society in Indonesia

Sesi I.
Policy and Economy Aspects on Non-Cash Payment Instruments Development
09.45 - 11.45 Theo L. Sambuaga, Ketua Komisi I DPR-RIRegulating Less Cash
Society in Relation to National Security Aspect, especially in the
Attempt of Preventing Terrorism Financing Prof. Dr. Leo van Hove,
Vrije Universiteit BrusselMacro Economic Aspects of Creating Less
Cash Society Dr. Dradjad H. Wibowo, Pakar EkonomiLess Cash
Society and its Impact for Monetary Policy from the Point of View
of Indonesian ObserverPerry Warjiyo, Direktur Riset Ekonomi dan
Kebijakan Moneter Bank IndonesiaNon-cash Payments and Mon-
etary Policy Implications in IndonesiaModerator: Halim Alamsyah,
Direktur Statistik Ekonomi dan Moneter Bank Indonesia
11.45 - 12.45 Tanya Jawab, Diskusi dan Kesimpulan Hasil Diskusi Sesi I

6
Seminar Internasional
“Toward a Less Cash Society in Indonesia”

12.45 - 14.00 Istirahat, Shalat dan Makan Siang

Sesi II. Oversight & Legal Aspect of Non-Cash Payment Instruments


14.00 - 15.30 A s m a n A b n u r, Wa k i l K e t u a K o m i s i X I D P R - R I A s p e k
Perlindungan Konsumen Dalam Less Cash SocietyProf.
Hikmahanto Juwana, SH, LL.M, Ph.D, Dekan Fakultas Hukum
Universitas Indonesia Aspek Hukum dalam Implementasi Alat
Pembayaran Non Tunai Elektronik (e-money) dan Kesiapan
Perangkat Hukum Indonesia dalam Menunjang Terciptanya
Less Cash SocietyBramudija Hadinoto, Deputi Direktur
Akunting dan Sistem Pembayaran Bank IndonesiaPeran Bank In-
donesia dalam Pengawasan Sistem PembayaranModerator: Edmon
Makarim, SH, S.Kom, LL.M, Lembaga Kajian Hukum dan Teknologi,
Fakultas Hukum UI
15.30 - 16.30 Tanya Jawab, Diskusi dan Kesimpulan Hasil Diskusi Sesi II
16.30 - 16.45 Coffee Break dan Selesai Hari I

Hari Kedua, 18 Mei 2006


Market Collaborations and Expectations on Non-Cash Payment Instruments Devel-
opment

08.00 - 08.30 Registrasi Peserta

Sesi I. National Payment Gateway from the Point of view of Practitioners


08.30 - 10.15 Antony Morris, Executive Manager Strategic Development and
Risk Management, Octopus Cards Ltd, Hong KongTowards a Less
Cash SocietyBudi S. Mulyadi, PT. Telkom (Persero), Tbk.Kesiapan
Infrastruktur Telekomunikasi dalam Mendukung Less Cash
SocietyAhmad Bambang, PT. Pertamina (Persero)Urgensi dan
Manfaat Penggunaan Non-cash Payment Instruments bagi SPBU
dan Masyarakat Moderator: Dyah N.K. Makhijani, Kepala Biro
Pengembangan Sistem Pembayaran Nasional Bank Indonesia
10.15 - 11.30 Tanya Jawab, Diskusi dan Kesimpulan Hasil Diskusi Sesi I
11.30 - 13.00 Istirahat, Shalat dan Makan Siang

Sesi II. Market Collaboration among Banks, Non Bank Issuers,


Billers, Merchants and Supporting Services
(Switching Company and Financial Acquirer)
13.00 - 15.00 Mohamad Ishak, Staf Ahli Dewan Gubernur Bank IndonesiaPeran
Bank Indonesia dalam Mendukung Pengembangan Penggunaan
Instrumen Pembayaran Non Tunai dalam Transaksi RitelProf. Dr.
Ahmad M. Ramli, SH, MH, Staf Ahli Bidang Hukum Menteri

7
Seminar Internasional
“Toward a Less Cash Society in Indonesia”

Komunikasi dan InformatikaElectronic Money dan Peran


Pemerintah dalam Transaksi Keuangan berbasis Teknologi
InformasiD.E. Setijoso, CEO PT. Bank Central Asia, Tbk.Prospek dan
Tantangan dalam Mewujudkan Less Cash Society – Case Study
BCAIr. Djoko Dwidjono, Kepala Divisi Perencanaan Perusahaan dan
Pengembangan Teknologi PT. Jasa Marga (Persero)Optimisasi dan
Efisiensi Pengelolaan Jalan Tol dengan Menggunakan Non-cash
Payment InstrumentsModerator: Edi Siswanto, Direktur Akunting
dan Sistem Pembayaran Bank Indonesia
15.00 - 16.00 Tanya Jawab, Diskusi dan Kesimpulan Hasil Diskusi Sesi II
16.00 - 16.30 Kesimpulan dan Penutupan Seminar: Edi Siswanto, Direktur
Akunting dan Sistem Pembayaran Bank Indonesia

8
Seminar Internasional
“Toward a Less Cash Society in Indonesia”

Pembukaan Seminar
oleh
Burhanuddin Abdullah, Gubernur Bank Indonesia

Dear distinguished speaker, Professor Leo van Hove,


Para Pembicara dan Moderator yang saya hormati,
Rekan-rekan Anggota Dewan Gubernur yang berbahagia,
Para peserta seminar, serta hadirin sekalian yang berbahagia.

Assalaamu’alaikum Warahmatullaahi Wabarakatuh


Marilah kita memanjatkan puji syukur ke hadirat Illahi Robbi atas segala rahmat
dan karunia-Nya, sehingga pada hari ini kita dapat berkumpul dan berdiskusi dalam
suasana yang baik, menghadiri sebuah seminar yang sangat penting bagi masa depan
kita semua. Seminar hari ini membahas salah satu masalah yang merupakan konsekuensi
dari globalisasi dan semakin terintegrasinya perekonomian dunia saat ini. Uang dan
sistem pembayaran, semakin hari semakin bekembang sepanjang zaman. Kini kita
dihadapkan pada tantangan menuju masyarakat yang diistilahkan dalam seminar ini,
“less cash society”.
Untuk itu, saya mengucapkan terima kasih kepada para pembicara baik dari luar
maupun dari dalam negeri yang akan memberikan pandangan dan pengalamannya
dalam pengembangan dan penggunaan instrumen pembayaran non tunai. On behalf
of Bank Indonesia, I would like to extend a very warm welcome to Prof Leo Van Hove.
Your presence here to share your valuable insight on the payment system, especially
those on the aspects of economy and legal of less cash society, would be essential for
us in developing more reliable and healthier payment system in the future.

Hadirin sekalian yang berbahagia,


Beberapa waktu lalu ada sebuah tayangan di stasiun televisi CNN mengenai
pertumbuhan ekonomi di China. Di sana diceritakan bahwa sekitar 15-20 tahun yang
lalu, kalau kita kehilangan credit card di China, kita tak perlu khawatir. Karena pada
saat itu di China belum ada kartu kredit. Pencurinya tak akan bisa menggunakan kartu
kredit untuk melakukan transaksi keuangan. Tapi sekarang, kemajuan perekonomian
telah mendorong secara otomatis perkembangan teknologi, termasuk dalam sistem
pembayaran. Gubernur Bank Sentral China pernah bercerita bahwa mereka saat ini
sedang mengembangkan China National Advanced Payment System (CNAPS) yang di
dalamnya sudah mencakup perkembangan teknologi dalam sistem pembayaran. Tentu
kita harus berhati-hati kalau kehilangan kartu kredit sekarang di China.
Satu hal yang jadi catatan kita dari berita tersebut adalah, Indonesia juga sedang
menuju pada arah yang sama. Saat ini perkembangan alat pembayaran di negeri ini
telah meningkat begitu pesat. Teknologi penggunaan instrumen pembayaran non tunai,
baik secara domestik maupun secara internasional, telah berkembang pesat disertai
dengan berbagai inovasi yang mengarah pada penggunaannya yang makin efisien,

9
Seminar Internasional
“Toward a Less Cash Society in Indonesia”

aman, nyaman dan cepat.


Kita melihat bahwa inovasi tersebut tidak saja pada berkembangnya penggunaan
instrumen pembayaran berbasis kertas (paper-based), penggunaan alat pembayaran
dengan menggunakan kartu (card-based), dan pembayaran secara elektronik (elec-
tronic-based) tetapi juga sudah disertai dengan makin cepatnya proses penyelesaian
setelmennya. Para pihak yang terlibatpun semakin bervariasi sehingga memerlukan
koordinasi yang baik dalam menyediakan kerangka aturannya.
Sejalan dengan itu, di lain sisi kita harus siap menghadapi berbagai
konsekuensi yang dapat timbul dari semakin pesatnya perkembangan teknologi
tersebut. Oleh karena itu, pada tahun 2005 lalu, Bank Indonesia mengeluarkan
Peraturan Bank Indonesia (PBI) yang mengatur mengenai penyelenggaraan
kegiatan alat pembayaran dengan menggunakan kartu (APMK). Dari PBI tersebut, kita
melihat respon dan minat lembaga selain bank untuk menjadi penyelenggara kegiatan
APMK, khususnya untuk penerbitan kartu pra bayar, sangat positif. Hal ini tercermin
dari banyaknya perhatian dari lembaga selain bank tersebut yang meminta konfirmasi
dan berdiskusi lebih lanjut kepada Bank Indonesia mengenai kemungkinannya untuk
menjadi penyelenggara APMK baik sebagai penerbit kartu, financial acquirer, techni-
cal acquirer, maupun switching company. Secara umum, area yang dituju lembaga
selain bank kebanyakan adalah untuk berpartisipasi dalam penerbitan kartu prabayar
guna kepentingan micro payment, seperti untuk pembayaran tarif tol, transportasi,
pembelian bahan bakar minyak, dan transaksi pembayaran retail lainnya.

Saudara-saudara para peserta seminar yang saya hormati,


Saya berharap seminar pada hari ini dapat dimanfaatkan sebagai wahana yang
tepat untuk menggali masukan dan bertukar pikiran, dimana nanti kita mendapatkan
garis, arahan, ataupun solusi yang tepat bagi kelancaran sistem pembayaran di Indo-
nesia. Kami di Bank Indonesia, sebagai otoritas, akan tetap bertindak sebagai fasilitator
dan katalisator untuk mendukung langkah konvergen antara berbagai pihak yang
terkait dalam penyelenggaraan sistem pembayaran tersebut. Hal ini perlu dilakukan
agar tercipta harmonisasi di antara para pihak, yang pada akhirnya dapat dirasakan
manfaatnya oleh masyarakat luas yang menuntut penggunaan instrumen pembayaran
yang lebih convenience.
Saya melihat seminar kita pada hari ini juga membahas berbagai aspek kebijakan
dan aspek ekonomi dalam pengembangan instrumen pembayaran non tunai. Harapan
saya berbagai pertanyaan dan kegalauan yang ada kiranya dapat kita diskusikan
bersama.

Saudara-saudara yang saya hormati,


Demikian yang dapat saya sampaikan pada hari ini. Semoga di ujung hari nanti
seminar ini dapat menghasilkan sebuah pandangan, gagasan dan rekomendasi yang
nyata yang akan memperkuat keinginan kita untuk mewujudkan Grand Desain Upaya
Peningkatan Penggunaan Pembayaran Non Tunai.

10
Seminar Internasional
“Toward a Less Cash Society in Indonesia”

Saya juga menyampaikan penghargaan kepada panitia dan rekan-rekan yang telah
menyiapkan acara pada hari ini.
Akhirnya, saya ucapkan selamat mengikuti seminar, dan dengan mengucap
‘Bismillahirahmanirrahim’ Seminar Dua Hari ini saya nyatakan dibuka.

Sekian dan terimakasih. Wassalamu’alaikum Warahmatullaahi Wabarakatuh.

Jakarta, 17 Mei 2006


Gubernur Bank
Indonesia

Burhanuddin Abdullah

11
Seminar Internasional
“Toward a Less Cash Society in Indonesia”

Keynote Speech : The Current Condition of Less Cash Society in Indonesia


R. Maulana Ibrahim
Deputi Gubernur Bank Indonesia Bidang Sistem Pembayaran

Distinguished speaker, Professor Dr. Leo van Hove from Vrije Universiteit Brussel,
Para Pembicara dan Moderator yang saya hormati,
Rekan-rekan Anggota Dewan Gubernur yang berbahagia,
S a u d a r a - S a u d a r a Ta m u U n d a n g a n , P e s e r t a S e m i n a r d a n H a d i r i n S e k a l i a n
yang Berbahagia

Assalaamu’alaikum Warahmatullaahi Wabarakatuh


Selamat Pagi dan Salam Sejahtera untuk kita semua
Pagi ini, saya sangat berbahagia dan mengucap syukur dapat menyampaikan
keynote speech pada seminar, yang saya rasa sangat penting bagi masa depan sistem
pembayaran Indonesia.
Topik less cash society yang beberapa waktu lalu masih merupakan wacana, hari
ini telah memasuki tahapan yang lebih riil berupa kajian akademis melalui pembahasan
dan diskusi yang berkembang dalam forum seminar “Towards a Less Cash Society”
pada hari ini.
Hasil seminar ini selanjutnya akan digunakan Bank Indonesia sebagai bahan untuk
menyusun Grand Design peningkatan penggunaan instrumen pembayaran non tunai,
yang merupakan spirit dari terciptanya less cash society.

Saudara-Saudara Sekalian yang Berbahagia,


Dalam beberapa tahun terakhir ini, perkembangan sistem pembayaran yang
berbasis teknologi telah mengubah secara signifikan arsitektur sistem pembayaran
konvensional yang mengandalkan fisik uang sebagai instrumen pembayaran. Paradigma
para pelaku ekonomi dalam setelmen transaksi, juga telah mengalami pergeseran.
Meski fisik uang sampai saat ini masih banyak digunakan masyarakat dunia sebagai
alat pembayaran, namun sejalan dengan perkembangan teknologi sistem pembayaran
yang pesat, pola pembayaran tunai (cash) secara berangsur beralih menuju pembayaran
non tunai (non-cash). Setidaknya terdapat tiga basis instrumen pembayaran non tunai,
yakni:
· Paper-based: cek, bilyet giro dan nota debet
· Card-based: kartu kredit, kartu debet dan kartu ATM
· Electronic-based: e-money, internet banking dan mobile banking
Kita sadari, bahwa perkembangan menuju less cash society merupakan trend
yang tidak dapat dihindari. Perubahan tersebut antara lain didukung oleh
perkembangan infrastruktur dan teknologi sistem pembayaran seperti kartu ‘chip’
misalnya.
Dari sisi konsumen, penggunaan instrumen (non-cash payment) seperti card-based

12
Seminar Internasional
“Toward a Less Cash Society in Indonesia”

dan electronic-based saat ini sudah menjadi suatu kebutuhan karena transaksi dapat
dilakukan dengan praktis, cepat dan nyaman. Bagi masyarakat, penggunaan
pembayaran non tunai dengan menggunakan kartu mempermudah transaksi mereka
seperti penarikan tunai, transfer dana, dan pembayaran berbagai tagihan rutin lainnya.
Semua itu dilakukan tanpa harus datang ke counter atau kantor bank.
Bagi bank/penerbit, selain mengikuti trend, penggunaan instrumen non tunai
dan berbagai derivatif produknya, tidak dipungkiri menjadi salah satu jurus untuk
memperkuat daya saing bank, memperluas pasar, meningkatkan fee-based income dan
memberikan layanan plus kepada nasabah. Dari sisi operasional, penggunaan non-cash
instrument akan mempercepat dan mempermudah penyelesaian transaksi dan berbagai
kebutuhan nasabah dalam satu waktu, serta dengan biaya transaksi yang relatif lebih
rendah.
Dengan berbagai kelebihannya, e-banking dan APMK juga secara perlahan-lahan
telah menjadi bagian integral dari sistem operasional perbankan dan mengubah perilaku
pelayanan bank kepada nasabah melalui konsep ‘close to customer’.
Tidak hanya di Indonesia, perkembangan non-cash payment di kawasan Asia
Pasifik secara umum juga menunjukkan peningkatan dimana nilai transaksi pembayaran
melalui kartu kredit, kartu debet dan kartu ATM cenderung meningkat.

Saudara sekalian yang berbahagia,


Dari aspek makro, Bank Indonesia menyadari sepenuhnya bahwa fungsi sistem
pembayaran sangatlah kritikal dalam suatu perekonomian. Sistem pembayaran
diibaratkan sebagai aliran darah yang menggerakkan dan melancarkan organ-organ
perekonomian untuk menjamin kestabilan sistem keuangan. Setiap distorsi yang timbul
dalam sistem pembayaran akan mengganggu transmisi likuiditas dalam perekonomian.
Oleh karena itu, kelancaran sistem pembayaran melalui transaksi non tunai akan
merupakan faktor penentu keberhasilan terciptanya stabilitas sistem keuangan dan
efektivitas kebijakan moneter.
Peningkatan perputaran ekonomi jelas menuntut dukungan sistem pembayaran
yang cepat, aman, efisien, dan handal. Lancarnya sistem pembayaran, selain akan
memberikan kepastian masyarakat dalam bertransaksi, secara otomatis juga akan
mempercepat peredaran uang (velocity of money) dan mengurangi floating dana dalam
setelmen. Perputaran uang yang semakin cepat dalam masyarakat akan menstimulasi
kegairahan dan pertumbuhan ekonomi sebagai dampak dari money multiplier yang
diciptakannya.
Harus disadari, bahwa tingkat keberhasilan sistem pembayaran secara keseluruhan
sangat tergantung pada kehandalan instrumennya, teknologi yang digunakan dan
jaringan komunikasi. Setiap distorsi yang timbul pada jaringan komunikasi akan
menimbulkan gangguan dalam sistem pembayaran yang dapat mengganggu stabilitas
sistem keuangan secara keseluruhan.
Bank Indonesia sebagai otoritas yang berwenang mengatur dan menjaga
kelancaran sistem pembayaran, sangat concern terhadap potensi risiko tersebut. Oleh

13
Seminar Internasional
“Toward a Less Cash Society in Indonesia”

karena itu saya sangat berharap bahwa para pelaku sistem pembayaran, baik bank
maupun non bank, memiliki sistem manajemen risiko yang handal untuk menjamin
keamanan dan kepastian bertransaksi.
Lemahnya sistem keamanan dalam bertransaksi akan berdampak pada
timbulnya risiko operasional dan risiko reputasi yang dapat menyebabkan
hilangnya kepercayaan masyarakat pada sistem pembayaran secara keseluruhan.
Te r c i p t a n y a k e l a n c a r a n d a n k e a m a n a n s i s t e m i n i a k a n s a n g a t b e r p e r a n
dalam menjaga stabilitas sistem keuangan nasional, dan gangguan atas sistem
ini akan menimbulkan financial disturbances yang dapat berisiko sistemik.

Saudara sekalian yang berbahagia,


Seiring dengan pesatnya perkembangan sistem pembayaran global dan
meningkatnya tuntutan publik akan layanan yang lebih baik di bidang jasa pembayaran
dengan instrumen non tunai, berbagai penyempurnaan infrastruktur sistem
pembayaran telah dan akan terus dilakukan Bank Indonesia, baik dari sisi regulasi,
teknologi maupun kompetensi sumber daya manusianya.
Kebijakan saat ini dan ke depan diarahkan dengan mengacu pada empat prinsip
utama yakni: (i) minimalisasi risiko sistem pembayaran, (ii) optimalisasi efisiensi nasional
dalam sistem pembayaran, (iii) kesetaraan akses bagi pelaku sistem pembayaran (fair-
ness), dan (iv) prinsip perlindungan konsumen.
Terlepas dari berbagai penyempurnaan infrastruktur tersebut, perkembangan
sistem pembayaran nasional masih menyisakan beberapa isu yang perlu prioritas
penanganan intensif. Meningkatnya pertumbuhan ekonomi yang diikuti dengan
peningkatan kegiatan transaksi, turut memperbesar kemungkinan risiko dalam sistem
pembayaran yang juga perlu dicermati dan diantisipasi.
Ke depan, Bank Indonesia secara berhati-hati akan tetap konsisten untuk
menegakkan aturan tentang transaksi non tunai ini, khususnya yang berbasis kartu
dan elektronik, dalam upaya memberikan perlindungan, baik terhadap institusi
penyelenggara maupun konsumen pengguna.
Khusus untuk transaksi berbasis kartu, pada akhir tahun 2005, Bank Indonesia
telah mengeluarkan ketentuan APMK yang didalamnya telah memberikan rambu-rambu
sekaligus guidance untuk pengembangan berbagai instrumen non-cash berbasis kartu.
Pengaturan tersebut berlaku untuk seluruh penyelenggara kegiatan APMK sehingga
dapat mendukung adanya persaingan yang sehat dalam usaha ini, termasuk aspek
perlindungan nasabah, aspek pengawasan, dan aspek prudential regulation.
Selain berbagai faktor tersebut, pengaturan APMK juga didasari
pertimbangan pesatnya pertumbuhan alat pembayaran berbasis kartu
i n i d a l a m l i m a t a h u n t e r a k h i r. S e b a g a i g a m b a r a n , pertumbuhan card based
instruments seperti kartu kredit rata-rata per tahunnya telah mencapai sekitar 15-30%.
Sedangkan untuk kartu debet mencapai 25%-30% per tahun. Sementara itu,
perkembangan instrumen kartu prabayar atau stored value card juga sudah mulai
marak digunakan, seperti kartu prabayar untuk kepentingan komunikasi, layanan

14
Seminar Internasional
“Toward a Less Cash Society in Indonesia”

permainan anak-anak ataupun kartu busway.


Pengembangan dan penggunaan sistem pembayaran non tunai ini di Indonesia
potensinya masih sangat besar. Data dari World Bank menunjukkan bahwa hanya sekitar
40% penduduk usia 15-65 tahun memiliki rekening tabungan di bank.
Selain itu, statistik uang beredar mencatat bahwa rasio penggunaan uang giral
dibandingkan dengan uang kartal pada akhir tahun 2005 adalah 34% : 66%. Apabila
produk inovatif perbankan seperti layanan ATM dan kartu debet diperhitungkan, maka
rasio uang giral dan kartal mencapai 52% : 48%. Rasio tersebut menunjukkan bahwa
instrumen non tunai telah memberikan kontribusi yang besar dalam menekan jumlah
peredaran uang kartal dan mempercepat perputaran uang giral.
Mencermati perkembangan alat pembayaran berbasis kartu ini, Bank Indonesia
sebagai lembaga yang memiliki otoritas di bidang sistem pembayaran akan tetap
berperan sebagai fasilitator dan katalisator dalam pengembangan instrumen
pembayaran tersebut. Bank Indonesia juga akan terus mendorong institusi yang akan
menjadi penyelenggara dan pengembang instrumen pembayaran non tunai ini, seperti
pengelola transportasi, pengelola tol, perparkiran, dan penyedia jaringan komunikasi.
Selain itu, pada level penetapan kebijakan, kami juga telah berkoordinasi dengan
otoritas terkait pada level nasional seperti dengan Departemen Komunikasi dan
Informatika dan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia dalam rangka sinkronisasi
dan harmonisasi peraturan perundangan di bidang transfer dana dan transaksi
elektronik.

Saudara-saudara para peserta seminar yang saya hormati,


Pertumbuhan berbagai instrumen pembayaran non-cash ini tak lepas dari upaya
Bank Indonesia dalam mendorong terbentuknya less cash society dalam sistem
pembayaran dengan tetap berpegang pada aspek prudensial dan sebesar-besarnya
untuk kepentingan masyarakat.
Namun demikian, dalam beberapa hal pengembangan less cash society ini masih
menghadapi kendala, antara lain: masyarakat Indonesia masih merupakan cash soci-
ety, dan memegang uang merupakan bagian dari suatu kebiasaan apabila tidak ingin
dikatakan sebagai budaya, dimana tendensi bertransaksi dengan uang tunai masih
tinggi. Disamping itu masalah infrastruktur pengamanan, teknologi, dan kesiapan
perangkat hukum, masih membutuhkan pembenahan lebih lanjut.
Dari aspek legal, belum diakuinya bukti virtual dalam hal terjadi dispute, masih
menjadi kendala dalam pengembangan instrumen non tunai khususnya yang berbasis
elektronik (paperless). Penyalahgunaan kartu juga masih marak terjadi. Dari sisi ini,
kepastian bertransaksi dan aspek perlindungan hukum baik kepada masyarakat
pengguna instrumen maupun kepada para penerbit masih menjadi isu. Untuk
melindungi masyarakat dari penyalahgunaan instrumen berbasis kartu ini, Bank Indo-
nesia secara bertahap meminta kepada para penerbit kartu untuk beralih dari
penggunaan kartu magnetic stripe menjadi chip. Kebijakan ini semata-mata didasari
pertimbangan untuk memberikan perlindungan baik kepada bank maupun nasabah.

15
Seminar Internasional
“Toward a Less Cash Society in Indonesia”

Terkait dengan langkah pemerintah yang meratifikasi International Convention


for the Suppression of Terrorist Bombing, 1997 dan International Convention for the
Suppression of Terrorism Financing, 1999 pada tahun 2006, maka kekhawatiran sistem
pembayaran digunakan sebagai jalur lalu lintas illegal money juga perlu dicermati.
Untuk mengantisipasi hal tersebut, saat ini, melalui kerjasama dengan berbagai instansi
terkait, Bank Indonesia telah merumuskan Rancangan Undang-Undang Transfer Dana
yang antara lain mengatur mengenai kewajiban perizinan terhadap semua
penyelenggara transfer dana, termasuk non-bank money remitters. Dalam hubungan
ini, secara internal Bank Indonesia pada tahun ini pun akan mengeluarkan ketentuan
yang mengatur kegiatan money remittance.

Saudara-Saudara Sekalian yang Berbahagia,


Itulah yang dapat saya sampaikan. Menelaah topik-topik yang
akan disampaikan dan dengan kualitas pembicara yang telah memiliki
reputasi, saya optimis bahwa seminar ini akan mampu memberikan
s e b u a h p e m i k i r a n , s e b u a h p e n y e g a r a n , d a n pada akhirnya terlahir suatu
konsep strategis dalam mewujudkan less cash society.
Ke depan, saya sangat menaruh harapan bahwa pengembangan transaksi non-
cash melalui jalur elektronik dan mengingat besarnya tingkat penerimaan masyarakat
atas berbagai instrumen non-cash, akan menjadi salah satu stimulan untuk mempercepat
era less cash society tersebut di Indonesia.
Akhirul kalam, saya atas nama Bank Indonesia menyampaikan penghargaan dan
ucapan terima kasih kepada para pembicara dan hadirin sekalian yang telah meluangkan
waktu, meringankan langkah dan berkontribusi dalam seminar ini.
Demikian, semoga Tuhan Yang Maha Esa senantiasa memberikan tuntunan bagi
semua niat baik yang kita rencanakan. Amin.
Sekian dan terima kasih, Wassalaamu’alaikum Warahmatullaahi Wabarakatuh.

Jakarta, 17 Mei 2006


Deputi Gubernur
Bank Indonesia

R. Maulana Ibrahim S.

16
Seminar Internasional
“Toward a Less Cash Society in Indonesia”

Bagian Kedua
POKOK-POKOK
MATERI SEMINAR

17
Seminar Internasional
“Toward a Less Cash Society in Indonesia”

I. Pokok-Pokok Materi Seminar Hari I, Rabu, 17 Mei 2006


Non-Cash Payment Instruments

A .Sesi 1
Policy and Economy Aspects on Non-Cash Payment Instruments
Development
1. Regulating Less Cash Society in Relation to National Security Aspects, especially
in the Attempt of Preventing Terrorism Financing
(Theo L. Sambuaga, Ketua Komisi I DPR-RI)
Topik yang dipaparkan pembicara terkait dengan penggunaan transaksi yang
memanfaatkan sarana non tunai sebagai upaya untuk mencegah terjadinya aksi
teroris terkait dengan bidang keuangan dan pencucian uang. Dalam kesempatan
tersebut dikemukakan bahwa penggunaan sarana pembayaran non tunai dapat
membantu usaha pencegahan dan identifikasi kejahatan, terutama jika dilakukan
dengan melacak kegiatan pendanaannya termasuk didalamnya penggunaan
transaksi untuk kegiatan terorisme. Secara rinci materi yang disampaikan oleh
pembicara mencakup beberapa hal seperti:
a. Terdapat beberapa Undang-Undang yang telah disusun untuk mengawasi dan
mengatasi terorisme, antara lain:
1) Undang-Undang No. 1 Tahun 2002 tentang Terorisme;
2) Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Pelaksanaan Undang-Undang
No. 1 Tahun 2002 tentang Terorisme sebagaimana telah disahkan dengan
Undang-Undang No. 15 Tahun 2005 tentang Pengesahan Undang-Undang
No. 1 Tahun 2002;
3) Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 25 Tahun 2003;
4) Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Kerjasama Internasional;
5) Undang-Undang No. 1 Tahun 2006 tentang Kerjasama dalam Penanganan
Kejahatan;
6) Undang-Undang No. 5 Tahun 2006 tentang Pengesahan Kerjasama
Internasional dalam Pencegahan Terorisme Pengeboman, 1997; dan
7) Undang-Undang No. 6 Tahun 2006 tentang Pengesahan Kerjasama
Internasional dalam Pengawasan Pendanaan Terorisme, 1999.
b. Tindakan pencucian uang diartikan sebagai serangkaian kegiatan yang
dilakukan oleh seseorang atau suatu organisasi terhadap uang yang diperoleh
melalui kegiatan-kegiatan yang melanggar hukum seperti tindak kejahatan
untuk menyamarkan atau mengaburkan asal-usul uang tersebut. Tindakan
pencucian uang dilakukan untuk menutupi asal-usul uang terhadap tindakan
pelacakan yang mungkin dilakukan oleh pemerintah atau otoritas yang
berwenang dengan memasukkan uang tersebut pada sistem keuangan
sehingga seolah-olah uang tersebut menjadi uang yang diperoleh dari kegiatan
yang legal.

18
Seminar Internasional
“Toward a Less Cash Society in Indonesia”

c. Tindakan pencucian uang diyakini dapat memiliki dampak yang relatif luas
terhadap masyarakat, antara lain:
1) Tindakan tersebut dapat memberikan kesempatan kepada pengedar
narkotika, penyelundup, dan pelanggar hukum lainnya untuk melakukan
dan bahkan memperluas ruang lingkup kegiatan illegal yang mereka
lakukan.
2) Tindakan tersebut memiliki dampak yang luas terhadap perekonomian
nasional karena melibatkan jumlah uang yang relatif besar.
3) Tindakan tersebut dapat meningkatkan rasa tidak percaya dunia
internasional karena dapat meningkatkan ancaman terhadap keamanan
internasional.
d. Dampak tindakan pencucian uang terhadap keamanan nasional antara lain:
1) Melemahkan sektor swasta yang legal;
2) Melemahkan integritas sistem keuangan;
3) Hilangnya kontrol atas kebijakan ekonomi;
4) Gangguan dan instabilitas ekonomi;
5) Hilangnya pendapatan;
6) Risiko dalam proses swastanisasi;
7) Risiko reputasi;
8) Risiko sosial.
e. Kebijakan seperti “Know Your Customer” (KYC) dapat mencegah tindakan
pencucian uang.
f. Dalam pelaksanaan sarana pembayaran non tunai, pihak perbankanlah yang
seharusnya menanggung biaya yang timbul karena pihak perbankan juga
menikmati pendapatan dari pelaksanaan sarana pembayaran non tunai
tersebut.
g. Dalam rangka mengubah budaya masyarakat yang relatif kurang memiliki
pengetahuan yang cukup mengenai sarana pembayaran non tunai, upaya yang
harus dilakukan adalah terutama memberikan edukasi yang memadai mengenai
sarana pembayaran non tunai tersebut.
h. Pemerintah Indonesia tengah mengusahakan kerjasama ekstradisi dengan
Singapura, tetapi perjanjian kerjasama tersebut sulit dicapai, terutama karena
adanya perbedaan persepsi dalam hal tindakan kejahatan yang dapat
diikutsertakan serta perbedaan hukum di kedua negara. Pemerintah Singapura
juga menginginkan agar kerjasama di bidang pertahanan juga dibicarakan
pararel dengan kerjasama ekstradisi tersebut.

2. Macro Economic Aspects of Creating Less Cash Society


(Prof. Dr. Leo van Hove, Vrije Universiteit Brussel)
Dalam topik ini dipaparkan beberapa aspek penting mengapa harus
mengupayakan less cash society (LCS) dan bagaimana caranya untuk mendorong
upaya peningkatan LCS sehingga diperoleh manfaat ekonomi yang lebih besar.

19
Seminar Internasional
“Toward a Less Cash Society in Indonesia”

Pada topik ini digambarkan oleh pembicara tentang adanya contoh kasus
penggunaan instrumen non-cash di Eropa. Berdasarkan hasil studi yang dilakukan
oleh Bank Sentral Belgia dan Belanda dijelaskan bahwa manfaat ekonomi yang
dihasilkan apabila masyarakat mengubah perilaku penggunaan instrumen cash
menjadi non-cash (dalam kasus ini lebih ditekankan pada e-purse dan kartu de-
bet). Namun demikian terdapat beberapa tantangan dalam mewujudkan suatu
LCS karena adanya pandangan bahwa penggunaan instrumen non-cash lebih
mahal dibandingkan instrumen cash. Secara rinci materi yang disampaikan oleh
Prof Leo Van Hove mencakup hal-hal sebagai berikut:
a. Pada awal presentasi telah dijelaskan perbedaan antara less cash dengan cash-
less, dimana less cash berarti upaya untuk mengurangi penggunaan instrumen
cash sedangkan cashless adalah upaya untuk menghilangkan penggunaan
instrumen cash di masyarakat. Berdasarkan definisi tersebut, menurut
pembicara, upaya menuju less cash lebih realistis dibandingkan cashless
mengingat akan sangat sulit untuk menghilangkan instrumen cash sebagai
alat bayar. Dijelaskan pula bahwa fokus upaya less cash adalah untuk mengganti
kebiasaan penggunaan instrumen cash dalam transaksi pembayaran yang
bersifat ritel (micro payment) dengan menggunakan instrumen non-cash.
b. Telah dipaparkan pula mengenai fakta penggunaan instrumen non-cash untuk
retail payment di Belgia. Pada tahun 2004, berdasarkan studi dari bank sentral
Belgia, penggunaan cek mulai berkurang bahkan cenderung menghilang
sementara penggunaan instrumen cash masih tinggi yaitu mencapai 81% dari
total volume dan 63% dari total nilai. Fenomena lainnya adalah tingginya
penetrasi pada kartu debet yang mencapai lebih dari 100% selama kurun waktu
25 tahun terakhir (54 transaksi per kapita per tahun). Sementara itu
penggunaan kartu kredit kurang begitu populer di kalangan masyarakat Eropa
karena hanya mencapai 7,1 transaksi per kapita per tahun dibandingkan dengan
Amerika yang mencapai 65,1 transaksi per kapita per tahun dan penetrasi pada
kartu kredit hanya sekitar 28%.
c. Fenomena lain yang menarik adalah penggunaan e-purse di beberapa negara
Eropa yang ternyata juga tidak terlalu sukses. Salah satu e-purse yang tergolong
relatif berhasil adalah Proton card (Belgia). Jumlah kartu yang digunakan
mencapai 9 juta kartu atau 88% dari populasi. Dilihat dari jumlah, walaupun
jumlah pengguna cukup besar namun yang secara aktif (paling tidak 1 transaksi
dalam 6 bulan terakhir) menggunakan Proton card hanya mencapai 20%.
Apabila jumlah sleeping card diabaikan dalam penghitungan frekuensi
pemakaian, maka penggunaan Proton card mencapai 4,1 transaksi per kartu
aktif per bulan.
d. Lebih lanjut, pembicara menyampaikan alasan perlunya dukungan terhadap
upaya peningkatan less cash society antara lain:
1) Tingginya biaya penggunaan cash
Biaya dihitung berdasarkan social cost yang terjadi dari setiap instrumen

20
Seminar Internasional
“Toward a Less Cash Society in Indonesia”

pembayaran yang digunakan. Perhitungan social cost dilakukan dengan


menjumlahkan seluruh biaya yang terjadi dari pihak-pihak yang terlibat
dalam suatu transaksi ekonomi (konsumen, merchant, bank umum, bank
sentral dan lain-lain).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh bank sentral Belanda dan Belgia
terhadap penghitungan social cost yang terkandung dalam penggunaan
seluruh instrumen pembayaran ditemukan bahwa penggunaan cash dalam
pembayaran memiliki proporsi yang paling besar. Social cost instrumen
pembayaran di Belanda mencapai EUR 2,9 milyar (0,65%GDP), dari jumlah
tersebut 73% berasal dari instrumen cash. Sementara itu di Belgia juga terjadi
trend yang sama yaitu social cost seluruh instrumen mencapai EUR 2 milyar
(0,74% GDP) dan 75%-nya disumbang oleh instrumen cash.
Apabila dihitung dari marginal social cost atau penambahan social cost,
setiap ada penambahan pembayaran menggunakan instrumen tertentu,
ditemukan bahwa penggunaan instrumen non-cash (e-purse dan debit card)
lebih cost efficient. Sementara penggunaan cash untuk jumlah sedikit lebih
efisien tetapi apabila penggunaannya semakin besar maka penambahan
marginal social cost juga semakin besar.
Berdasarkan hasil kesimpulan tersebut bank sentral Belanda telah
mengeluarkan statement untuk meningkatkan penggunaan debit card dan
e-purse. Statement tersebut dikeluarkan setelah dilakukan perhitungan
diperoleh penghematan cukup signifikan yaitu EUR 106 juta setiap tahunnya.
Adapun bank sentral Belgia setelah melaksanakan skenario yang sama,
penghematan yang dicapai tidak terlalu signifikan yaitu EUR 58 juta (0,02%
GDP). Namun demikian penghematan tersebut baru didasarkan pada
perhitungan variable cost saja sehingga apabila ditambah dengan fixed cost
maka akan diperoleh manfaat yang lebih besar.
2) Underground economy
Underground economy yaitu masyarakat yang melakukan transaksi
ekonomi tidak melalui banking system ataupun sistem pembayaran lain
sehingga sulit dideteksi. Hasil survai di Belgia ditemukan bahwa 60% transaksi
cash yang digunakan oleh underground economy adalah untuk transaksi
illegal. Hal ini tentunya menjadi concern bank sentral untuk melakukan
berbagai upaya guna mengurangi transaksi illegal dalam penggunaan
instrumen cash.
e. Selain itu pembicara juga menjelaskan aspek-aspek yang dapat menghambat
penggunaan instrumen non-cash yang meliputi:
1) Social exclusion
Infrastruktur pembayaran dengan menggunakan instrumen cash sudah
membudaya di seluruh lapisan masyarakat seperti telepon umum, pompa
bensin, tempat parkir dan masih banyak lagi.
2) Resistensi dari pengguna

21
Seminar Internasional
“Toward a Less Cash Society in Indonesia”

Berdasarkan survei persepsi konsumen yang dilakukan oleh Banksys (2004)


terdapat salah satu pertanyaan mengenai sikap konsumen yang sebagian
besar responden (67%) tetap akan menggunakan cash walaupun apabila
dihadapkan pada kondisi infrastruktur non-cash yang sudah terpenuhi.
3) Kondisi sosial, budaya dan demografi
Sebagian besar masyarakat Eropa masih menganggap uang adalah hal yang
terpenting dalam melakukan pembayaran sehingga kadang-kadang hanya
beberapa lapisan masyarakat saja, umumnya masyarakat kota, yang dapat
menerima pembayaran dengan selain uang.
4) Takut akan perubahan teknologi
Bagi segolongan masyarakat yang tidak terlalu mengikuti perkembangan
teknologi cenderung takut untuk mencoba hal baru yang terkait dengan
teknologi ini. Sama halnya dengan perubahan teknologi pembayaran non-
cash, bagi mereka yang tidak technology minded akan susah menerima
instrumen non-cash.
5) Privacy
Ketakutan sebagian masyarakat akan privacy karena transaksi non-cash
selalu tercatat penggunaannya dan seluruh data keuangan dapat dilihat
secara lengkap.
6) Kelangsungan penggunaan instrumen non-cash
Ketakutan apabila ternyata issuer instrumen ini mengalami kebangkrutan
sehingga tidak mampu membayar segala kewajibannya.
f. Dari sisi bank sentral, peningkatan penggunaan instrumen non-cash tentu akan
mempengaruhi perhitungan indikator makro ekonomi. Hal ini disebabkan oleh
adanya beberapa informasi yang tidak bisa diperoleh sehingga pada akhirnya
akan berpengaruh pula terhadap penetapan kebijakan yang akan diambil.
Selain itu, pendapatan dari sisi seignorage menjadi berkurang.
g. Pembicara juga menjelaskan bahwa berdasarkan pendekatan cost based pric-
ing atau penghitungan seluruh biaya dalam setiap penggunaan seluruh
instrumen pembayaran, ditemukan bahwa persepsi masyarakat mengenai
penggunaan instrumen cash adalah murah tidak sepenuhnya benar. Hal ini
didasarkan pada hasil survai di Belgia yang ternyata justru memiliki porsi so-
cial cost yang paling besar. Oleh karena itu pembicara berpendapat seharusnya
ada insentif terhadap instrumen pembayaran yang efisien (non-cash) dan
membuat instrumen cash menjadi lebih mahal.
h. Pada akhir presentasi, pembicara menyampaikan beberapa hal penting yang
perlu diperhatikan, antara lain:
1) Social cost dari cash merupakan hal yang substansial dan perlu menjadi
pertimbangan untuk mengembangkan instrumen pembayaran non tunai yang
lebih efisien.
2) Berdasarkan beberapa hasil penelitian terdapat potensi penghematan ekonomi
dari pengembangan instrumen pembayaran elektronik.

22
Seminar Internasional
“Toward a Less Cash Society in Indonesia”

3) Penggunaan metode cost based pricing sangat berguna terutama untuk melihat
keseluruhan dampak biaya dari penggunaan instrumen pembayaran.
4) Hasil penelitian tersebut tidak bisa digeneralisir di setiap negara. Untuk
menerapkan kebijakan sebagaimana hasil kajian yang telah dilakukan di atas
akan sangat berisiko karena belum tentu sesuai dengan kondisi sosial, budaya,
ekonomi dan kondisi lainnya di tiap-tiap negara.

3. Less Cash Society and its Impact for Monetary Policy from the Point of View of
Indonesian Observer
(Dr. Dradjad H. Wibowo, Pakar Ekonomi)
Berangkat dari cara pandang sebagai seorang peneliti, dipaparkan beberapa hal
terkait dengan materi yang disampaikan sebagai berikut:
a. Penggunaan sarana pembayaran non tunai akan meningkatkan transaksi
transnasional, sehingga transaksi-transaksi keuangan tidak akan mengenal
batas-batas negara. Bank sentral akan kesulitan dalam mengawasi transaksi-
transaksi keuangan yang ada.
b. Penggunaan sarana pembayaran non tunai secara tidak langsung akan
meningkatkan jumlah pemain dalam pasar uang, karena dengan adanya sarana
pembayaran non tunai terutama yang bersifat elektronis, akses masyarakat
terhadap kegiatan pasar uang menjadi lebih mudah.
c. Transaksi yang menggunakan sarana pembayaran non tunai relatif lebih mudah
dilacak karena sarana pembayaran non tunai tersebut mempersyaratkan
identitas dalam penerbitannya, sedangkan uang tunai tidak melekatkan
identitas pemiliknya sehingga relatif lebih sulit dilacak.
d. Di masa depan, sektor formal dan daerah perkotaan akan lebih mengarah pada
penggunaan sarana pembayaran non tunai, sedangkan sektor informal dan
daerah pedesaan masih mengandalkan sarana pembayaran tunai.
e. Salah satu kelemahan kartu kredit adalah bahwa kartu kredit tidak dapat
digunakan untuk transaksi antar individu serta tidak dapat digunakan untuk
transaksi-transaksi dengan nominal yang relatif kecil.
f. Penggunaan sarana pembayaran non tunai dapat meningkatkan instabilitas
perekonomian karena lalu lintas uang dapat dilakukan dengan cepat dan tidak
mengenal batas-batas negara.
g. Dampak penggunaan sarana pembayaran non tunai terhadap makro ekonomi:
1) Instabilitas nilai tukar meningkat dengan adanya kemudahan bagi
masyarakat untuk melakukan transaksi secara virtual.
2) Meningkatnya suplai uang karena adanya uang virtual.
3) Risiko terjadinya gagal bayar dalam proses penyelesaian transaksi meningkat
sehingga meningkatkan risiko terjadinya krisis keuangan.

4. Non-cash Payments and Monetary Policy Implications in Indonesia


(Perry Warjiyo, Direktur Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter Bank Indonesia)

23
Seminar Internasional
“Toward a Less Cash Society in Indonesia”

Paparan yang disampaikan terkait dengan kondisi Indonesia mencakup beberapa


hal, yaitu:
a. Penggunaan sarana pembayaran non tunai akan meningkatkan kecepatan
peredaran uang (velocity of money).
b. Beberapa indikator yang dapat dipergunakan untuk menghitung penggunaan
sarana pembayaran non tunai adalah (Markose and Loke, 2000: BIS, 1999):
1) Volume dan nilai transaksi yang dilakukan melalui kliring antar bank, ATM,
kartu debet, kartu kredit, dan kartu prabayar.
2) Rasio konsumsi terhadap uang beredar.
c. Untuk Indonesia, ada 3 indikator yang dapat dipergunakan dalam menghitung
penggunaan sarana pembayaran non tunai, yaitu: transaksi Sistem BI-RTGS;
alat pembayaran dengan menggunakan kartu; dan rasio konsumsi terhadap
uang beredar.
d. Penggunaan sarana pembayaran non tunai memberikan manfaat kepada
perekonomian, antara lain:
1) Tingkat kepuasan konsumen yang semakin bertambah dengan berkurangnya
biaya transaksi;
2) Adanya sumber pendapatan bagi penyedia jasa pembayaran non tunai;
3) Peningkatan kecepatan transaksi, pertumbuhan ekonomi, dan tingkat
kesejahteraan.
e. Penggunaan sarana pembayaran non tunai juga dapat meningkatkan risiko
pada perekonomian dan sistem pembayaran, antara lain:
1) Peningkatan risiko default terutama pada instrumen kartu kredit (dan kartu
pasca bayar). Hal tersebut dapat menimbulkan risiko sistemik dalam
penyelesaian pembayaran antar bank;
2) Peningkatan risiko teknologi informasi yang dapat menimbulkan kekeliruan
maupun kecurangan dalam proses penyelesaian transaksi;
3) Peningkatan risiko instabilitas sistem keuangan.
f. Meningkatnya penggunaan sarana pembayaran non tunai akan mengubah
cara pandang bank sentral dalam merumuskan kebijakan moneter, antara lain:
1) Perubahan indikator yang diperlukan dalam pengukuran agregat
permintaan dan penawaran nasional;
2) Meningkatnya penggunaan sarana pembayaran non tunai akan menurunkan
tingkat permintaan terhadap uang (M1);
3) Kebutuhan menjaga efektivitas pengendalian moneter dengan pengawasan
terhadap sarana pembayaran non tunai.
g. Dalam rangka mengurangi efek negatif yang mungkin timbul dari
perkembangan penggunaan sarana pembayaran non tunai, maka disarankan:
1) Penerbit sarana pembayaran non tunai dibatasi pada lembaga-lembaga yang
kredibel seperti bank;
2) Pengumpulan data pembayaran non tunai yang lebih baik, terutama dalam
mengantisipasi perkembangan -e-money;

24
Seminar Internasional
“Toward a Less Cash Society in Indonesia”

3) Pengenaan giro wajib minimum oleh bank sentral kepada penerbit sarana
pembayaran non tunai;
4) Peraturan yang jelas yang memfasilitasi hak dan kewajiban pihak-pihak yang
berkaitan dengan sarana pembayaran non tunai.

B . Sesi 2
Oversight & Legal Aspect of Non-Cash Payment Instruments
1. Aspek Perlindungan Konsumen Dalam Less Cash Society
(Asman Abnur, Wakil Ketua Komisi XI DPR-RI)
Sejalan dengan meningkatnya penggunaan alat pembayaran non tunai perlu
menjadi perhatian mengenai keamanan sistem yang dipergunakan. Berkaitan
dengan hal tersebut, dijelaskan mengenai hal-hal sebagai berikut:
a. Alat-alat pembayaran yang bersifat elektronik pada dasarnya harus
dikembangkan karena akan memberikan keuntungan bagi penggunanya.
Sebenarnya, Indonesia agak terlambat mengatur alat pembayaran elektronik
karena alat-alat pembayaran tersebut saat ini sudah merupakan kebutuhan di
negara-negara lain. Penggunaan alat-alat pembayaran elektronik diharapkan
dapat berkembang terus di masyarakat sehingga dapat tumbuh menjadi suatu
kebiasaan dan pada akhirnya menjadi budaya (social construction by technol-
ogy).
b. Seiring dengan kebutuhan adanya alat pembayaran elektronik, maka harus
diterbitkan pula peraturan-peraturan yang memberikan kepastian hukum dan
perlindungan bagi pengguna alat-alat pembayaran elektronik tersebut,
termasuk sanksi yang jelas bagi pihak yang menyalahgunakan alat pembayaran
elektronik.
c. Penegakan hukum masih merupakan isu utama. Berkembangnya alat-alat
pembayaran elektronik juga ditentukan oleh penerapan ketentuan, seperti
Undang-Undang Perlindungan Konsumen dan Peraturan Bank Indonesia serta
Surat Edaran Bank Indonesia, yang isinya melindungi kepentingan konsumen
secara baik dan konsisten oleh semua pihak yang terlibat di dalamnya.
d. Pada dasarnya yang dibutuhkan konsumen adalah perlindungan terhadap pri-
vacy konsumen, keamanan bertransaksi serta perlakuan yang tidak diskriminatif
dari penyelenggara alat pembayaran elektronik.

2. Aspek Hukum dalam Implementasi Alat Pembayaran Non Tunai Elektronik (e-
money) dan Kesiapan Perangkat Hukum Indonesia dalam Menunjang Terciptanya
Less Cash Society
(Prof. Hikmahanto Juwana, SH, LL.M, Ph.D, Dekan Fakultas Hukum Universitas
Indonesia)
Kemajuan teknologi yang mendorong inovasi dan semakin mewarnai dunia
menjadi suatu tantangan bagaimana hukum Indonesia merespon situasi tersebut.
Materi yang disajikan memaparkan beberapa hal dalam menjawab kondisi

25
Seminar Internasional
“Toward a Less Cash Society in Indonesia”

tersebut, yaitu:
a. Agar e-money dapat berjalan dengan baik dan digunakan secara luas oleh
masyarakat diperlukan infrastruktur hukum yang memadai. Pembentukan
peraturan tidak dapat dilakukan dengan mengadopsi begitu saja peraturan
dari negara lain (transplantasi hukum), karena karakteristik dan budaya masing-
masing bangsa dan negara adalah berbeda-beda.
b. Pengertian hukum tidak terbatas pada peraturan perundang-undangan saja.
Pengertian semacam ini merupakan pengertian hukum yang direduksi, karena
disamping peraturan perundang-undangan diperlukan pula infrastruktur
hukum lainnya.
c. Permasalahan terpenting dalam implementasi alat pembayaran elektronik (e-
money) adalah pada penegakan hukumnya.
d. Dari segi hukum, e-money dapat dilihat dari sisi perdata dan sisi pidana:
1) Dari sisi perdata, transaksi e-money terkait erat dengan konsepsi perjanjian,
dimana berbagai perjanjian antar pihak yang terkait dalam pelaksanaan e-
money akan didasarkan pada hukum perjanjian.
2) Dari sisi pidana, yang perlu dilakukan adalah identifikasi perbuatan yang
dianggap dapat merugikan masyarakat dan menjadi perbuatan jahat, serta
penentuan sanksi.
e. Masalah lain yang perlu mendapatkan perhatian dalam implementasi e-money
adalah masalah pembuktian. Dalam hal ini, pertanyaan yang mengemuka
adalah apakah data elektronik dapat dijadikan alat bukti dalam beracara di
pengadilan.
f. Undang-Undang Bank Indonesia memberikan dasar kewenangan bagi Bank
Indonesia untuk mengatur e-money. Pengaturan oleh Bank Indonesia terutama
adalah pengaturan secara administratif mengenai pihak-pihak yang ingin
menyelenggarakan kegiatan e-money, juga untuk mengurangi risiko dan
meningkatkan keamanan penggunaan e-money.
g. Implementasi e-money dapat dilaksanakan secara bertahap, mungkin pertama
kali di Jakarta terlebih dahulu sebagai pilot project, baru kemudian
dikembangkan di kota-kota lain.
h. Berkaca dari negara-negara lain, penyusunan Undang-Undang khusus tentang
e-money bukanlah suatu keharusan (contoh di Hong Kong tidak ada ketentuan
khusus yang mengatur e-money). Pengaturan e-money dapat dilakukan dengan
mengacu pada ketentuan yang telah ada dengan tambahan ketentuan Bank
Indonesia atau departemen-departemen terkait untuk pengaturan yang lebih
bersifat teknis.
i. Sebagai penutup, penegakan hukum yang baik dan konsisten atas peraturan e-
money merupakan hal yang utama. Apabila penegakan hukum masih tidak op-
timal, maka masyarakat tidak akan percaya terhadap e-money sebagai instrumen
pembayaran. Pada akhirnya, hal tersebut dapat menciptakan keengganan
masyarakat untuk menggunakan e-money sehingga pada gilirannya harapan

26
Seminar Internasional
“Toward a Less Cash Society in Indonesia”

terwujudnya less cash society di Indonesia akan sulit untuk dicapai.


3. Peran Bank Indonesia dalam Pengawasan Sistem Pembayaran
(Bramudija Hadinoto, Deputi Direktur Akunting dan Sistem Pembayaran Bank
Indonesia)
Materi presentasi terdiri atas 4 bagian yaitu Konsep Utama Sistem Pembayaran
(SP), Konsep Pengawasan SP, Pengawasan SP di Indonesia serta Pengembangan
dan Tantangan Masa Depan. Sehubungan dengan hal tersebut dijelaskan hal-hal
sebagai berikut:
a. Terkait dengan pengawasan sistem pembayaran, istilah “pengawasan” dalam
sistem pembayaran berbeda dengan istilah “pengawasan” dalam perbankan.
Istilah “pengawasan” dalam SP lebih mengacu pada konsep oversight,
sementara “pengawasan” dalam perbankan lebih mengacu pada konsep su-
pervision. Perbedaan mendasar antara pengawasan SP dan pengawasan
perbankan terdapat pada obyek pengawasannya.
b. Obyek pengawasan SP dititikberatkan pada sistem itu sendiri dengan tujuan untuk
meminimalisir risiko sistem pembayaran. Sementara itu, obyek pengawasan
perbankan dititikberatkan pada penilaian tingkat kesehatan Bank secara individual.
c. Pengertian payment system oversight adalah suatu rangkaian kegiatan mulai
dari proses perizinan, fasilitasi dan konsultasi pada saat pengembangan SP
oleh Penyelenggara sampai dengan proses assessment atas kepatuhan SP
tersebut terhadap ukuran-ukuran yang telah ditetapkan.
d. Pengawasan SP di Indonesia dilaksanakan oleh Bank Indonesia berdasarkan
Pasal 8 dan Pasal 15 Undang-Undang Bank Indonesia. Pada saat ini, obyek
pengawasan SP terdiri atas:
1) Sistem BI-RTGS, merupakan sistem pembayaran yang digolongkan sebagai
Systemically Important Payment System (SIPS);
2) Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI), merupakan sistem
pembayaran yang digolongkan sebagai Systemically Wide Important Pay-
ment System (SWIPS); dan
3) Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu.
e. Tujuan pengawasan SP adalah memastikan bahwa sistem pembayaran berjalan
dengan efisien, cepat, aman dan handal dan untuk mendukung penerapan
prinsip-prinsip perlindungan konsumen

II. Pokok-Pokok Materi Seminar Hari II, Kamis, 18 Mei 2006


Market Collaborations and Expectations on Non-Cash Payment Instruments Develop-
ment

A. Sesi 1
National Payment Gateway from the Point of view of Practitioners

1. Towards a Less Cash Society

27
Seminar Internasional
“Toward a Less Cash Society in Indonesia”

(Antony Morris, Executive Manager Strategic Development and Risk Manage-


ment, Octopus Cards Ltd, Hong Kong)
Pemaparan yang disampaikan dengan bercermin pada pengalaman
mengembangkan uang elektronik yang dilakukan oleh Octopus Cards Ltd., Hong
Kong, mencakup hal-hal sebagai berikut:
a. Uang tunai (cash) merupakan bagian yang terpenting dalam industri ritel.
b. Uang elektronik (e-cash) termasuk berbagai produk derivatifnya dewasa ini
tumbuh dan berkembang, terutama di Hong Kong.
c. Pada awal pengembangan e-cash (dalam bentuk stored value card) di Hong
Kong, alat pembayaran tersebut dipergunakan sebagai sarana pembayaran
transportasi. Pada tahap berikutnya, e-cash dipergunakan juga sebagai alat
pembayaran untuk transaksi ritel, seperti pembayaran transaksi di supermar-
ket dan pembayaran parkir.
d. Key success:
1) Kolaborasi antar pelaku pasar dengan memfokuskan diri pada core busi-
ness dan mengesampingkan “cash collection”, agar scheme yang
dikembangkan sesuai dengan kebutuhan konsumen dan biayanya dapat
ditekan.
2) Simplicity dan lowest cost.
3) Mengutamakan kepuasan dan kenyamanan konsumen dengan misi “mak-
ing everyday life easier for our customers”.
4) Menggunakan teknologi baru yang bersifat sederhana, konsisten, cepat dan
handal.
5) Mudah digunakan (ease of use).
6) Mendorong masyarakat untuk menggunakan instrumen non tunai dengan
memberikan informasi tentang kelebihan/keuntungannya dan tidak
membicarakan kompleksitasnya.
7) Menetapkan merchant level yang dapat menerima pembayaran.
8) Mengubah perilaku konsumen ke arah penggunaan non tunai melalui proses
yang berkesinambungan (multi years action).
e. Dalam mengembangkan e-cash atau stored value card di Indonesia perlu diperhatikan
kondisi sosial, perilaku dan preferensi konsumen, serta budaya masyarakat Indone-
sia. Hal ini didasarkan pada fakta bahwa perbedaan budaya di masing-masing negara
mempengaruhi tingkat penerimaan masyarakat masing-masing negara tersebut
terhadap penggunaan e-cash/stored value card yang dikembangkan.
f. Hal yang perlu digarisbawahi adalah pentingnya kolaborasi pasar untuk
mengetahui kebutuhan mekanisme pembayaran yang paling tepat. Untuk
dapat berkembang seperti sekarang ini, Octopus Cards Ltd. telah melalui proses
yang panjang dan bertahap. Dalam proses tersebut, hal yang sangat penting
adalah membangun “trust” masyarakat terhadap alat pembayaran, antara lain
dengan menerapkan 100% money back guarantee.
g. Pengembangan alat pembayaran non tunai di Indonesia, seperti yang telah

28
Seminar Internasional
“Toward a Less Cash Society in Indonesia”

dilakukan oleh Octopus Cards Ltd. di Hong Kong, perlu memperhatikan


beberapa aspek, antara lain: budaya, kebutuhan, perilaku dan karakter
pembayaran masyarakat Indonesia, dengan tidak mengesampingkan
kemudahan dan kenyamanan dalam penggunaan, biaya murah, dan kepuasan
konsumen, serta memperhatikan penggunaan teknologi yang aman, praktis,
cepat, dan handal.
h. Bank Indonesia perlu melakukan pengkajian mendalam dengan melibatkan
pihak-pihak terkait dalam melakukan standardisasi alat pembayaran yang akan
digunakan, serta perlu penekanan kesadaran kepada para pelaku pasar
terhadap pentingnya interoperability dan konvergensi antar operator.
2. Kesiapan Infrastruktur Telekomunikasi dalam Mendukung Less Cash Society
(Budi S Mulyadi, PT. Telkom (Persero), Tbk.)
Materi yang disajikan dalam presentasi terdiri atas 4 (empat) bagian, yaitu: Less
Cash Society and Non-Cash Payment Scheme; Telkom Group Infrastructure Exist-
ing; Micro Payment Scheme; dan Telkom Group Infrastructure in The Future.
a. Terkait dengan materi mengenai Less Cash Society and Non-Cash Payment
Scheme, pembicara memaparkan hal-hal yang berkaitan dengan:
1) Non-Cash Payment Scheme Options, dimana secara umum terdapat 4 pilihan
untuk melakukan transaksi pembayaran, yaitu: Sistem BI-RTGS; kliring/SKNBI;
kartu kredit/kartu debet dan micro payment. Keuntungan yang diperoleh
masyarakat dalam menggunakan sarana pembayaran non tunai adalah
berkurangnya biaya cash handling dan risiko, serta meningkatnya
kenyamanan bagi konsumen dalam melakukan pembayaran.
2) Non-Cash Payment Instruments, yang dipergunakan dalam transaksi
pembayaran oleh Business to Customer (B2C) dan Business to Business (B2B).
3) Typical Non-Cash Payment yang meliputi pembayaran lebih dulu (pay be-
fore, seperti micro payment yang otorisasinya dilakukan secara off-line tanpa
PIN atau tanda tangan), pembayaran sekarang (pay now, seperti kartu de-
bet dan kartu ATM yang otorisasinya dilakukan secara on-line dengan PIN)
dan pembayaran kemudian (pay later, seperti kartu kredit yang otorisasinya
dilakukan secara on-line dengan tanda tangan).
4) Sub System that Build Less Cash Society, antara lain meliputi Front end Ter-
minal Payment (EDC, ATM, Reader/Writer, POS, Kiosk, HP, PC, PDA), Access
Network Data Communications (Wireline, GPRS, CDMA,WiMax, 3G etc),
Backbone Data Communication Network (VPN IP) dan Clearing House and
Switching Payment.
5) What Are the Benefits Using Non-Cash Instrument, dimana pembicara
menjelaskan mengenai keuntungan-keuntungan menggunakan alat
pembayaran non tunai yang antara lain meliputi biaya transaksi yang lebih
murah, nyaman, mudah, cepat, handal, terkontrol, aman, style dan tidak
memerlukan uang kembalian.
b. Selanjutnya berkaitan dengan materi mengenai Telkom Group Infrastructure

29
Seminar Internasional
“Toward a Less Cash Society in Indonesia”

Existing dijelaskan konfigurasi infrastruktur Telkom yang meliputi:


1) Wireless EDC and ATM;
2) H2H Payment (Phone Bill Payment, Airline Payment);
3) SCM Payment (Suppliers and Buyers, Manufacturers and Distributors);
4) e-voucher (Top up mechanism for prepaid, Telkomsel, Flexi, iVas);
5) Mobile Payment;
6) Phone Payment;
7) Micro Payment.
c. Materi mengenai Micro Payment Scheme menguraikan mengenai konfigurasi
dari micro payment scheme yang dilakukan Telkom yang terdiri atas 4 (empat)
level sebagai berikut:
1) Level 1: menyediakan sarana Switching Payment untuk kepentingan
setelmen dan rekonsiliasi (pada saat ini telah terhubung dengan lebih dari
35 bank)
2) Level 2: menyediakan Card Management System, Service Provider Manage-
ment System dan Call Center (pada saat ini CMS Telkom telah mampu
menangani 6 juta transaksi/hari)
3) Level 3: terhubungnya Local Data Server Processor dengan Service Provider
Central Server dengan menggunakan Wireline Connection, GPRS, CDMA,
WiMax, 3G Connection (pada saat ini jaringan GSM Telkom telah tersedia di
setiap kota dan kabupaten, sedangkan CDMA tersedia di 225 kota)
4) Level 4: melaksanakan distribusi kartu dan mekanisme top up (pada saat
ini, telah didistribusikan lebih dari 30 juta kartu selular & fix wireless)
3. Urgensi dan Manfaat Penggunaan Non-Cash Payment Instruments bagi SPBU dan
Masyarakat
(Ahmad Bambang, PT. Pertamina (Persero))
PT. Pertamina telah mengembangkan sistem pembayaran non tunai dengan
penerbitan Gaz Card. Gaz Card dalam tahap awal berfungsi ganda, yaitu untuk
loyalty dan reward card, serta sebagai alat pembayaran. Dalam pengembangannya,
diharapkan Gaz Card akan dapat digunakan sebagai alat pembayaran berbagai
barang dan jasa, bukan hanya BBM saja (multi purpose prepaid card).
Berkenaan dengan hal tersebut pembicara menguraikan hal-hal sebagai berikut:
a. Penerbitan Gaz Card tersebut didorong oleh adanya kondisi-kondisi sebagai
berikut:
1) Dengan diimplementasikannya Undang-Undang Migas No. 22 Tahun 2001,
pasar migas hilir menjadi terbuka dan liberal.
2) Adanya perubahan situasi persaingan, selain menuntut perbaikan produk,
juga menuntut adanya peningkatan kualitas pelayanan kepada pelanggan,
termasuk dalam mekanisme pembayarannya.
3) Perlu adanya peningkatan citra kualitas pelayanan penjualan BBM melalui
SPBU yang selama ini dinilai kurang bagus.
4) Perlu adanya peningkatan loyalitas pelanggan baik dari kalangan retailer

30
Seminar Internasional
“Toward a Less Cash Society in Indonesia”

BBM maupun konsumen (end user) BBM.


b. Latar belakang dan tujuan yang mendasari diterbitkannya Gaz Card adalah:
1) Mengurangi transaksi tunai untuk meningkatkan keamanan SPBU dan
konsumen.
2) Meningkatkan kualitas pelayanan bagi pelanggan dan meningkatkan
kepedulian perusahaan terhadap pelanggan.
3) Langkah awal untuk mensukseskan less cash society program.
4) Meningkatkan akurasi data penjualan BBM.
c. Manfaat Gaz Card adalah sebagai berikut:
1) Bagi Pertamina: memudahkan dalam mengelola BBM, memonitor
kebutuhan SPBU, menganalisa distribusi BBM ke SPBU dan konsumen,
mengetahui penghasilan dari penjualan BBM secara menyeluruh dan cepat,
serta meningkatkan produktivitas.
2) Bagi SPBU: memudahkan dalam mengelola BBM, menyediakan dan menjual
BBM, menganalisa penjualan dan pendapatan BBM, meningkatkan loyalitas
konsumen dan meningkatkan produktivitas.
3) Bagi pelanggan: memudahkan dalam mengontrol anggaran dan konsumsi
BBM, mempercepat serta mempermudah transaksi tanpa harus menyiapkan
uang recehan.
d. Saat ini pengadaan Gaz Card dan koordinasi dengan provider sedang dilakukan
oleh Pertamina, dan diharapkan akhir Juni/awal Juli telah dapat dilakukan
soft launching.

B . Sesi 2
Market Collaboration among Banks, Non Bank Issuers, Billers,
Merchants and Supporting Services (Switching Company and
Financial Acquirer)

1. Peran Bank Indonesia dalam Mendukung Pengembangan Penggunaan Instrumen


Pembayaran Non Tunai dalam Transaksi Ritel
(Mohamad Ishak, Staf Ahli Dewan Gubernur Bank Indonesia)
Untuk mengetahui peran Bank Indonesia dalam mendukung pengembangan Less
Cash Society (LCS) di Indonesia, terdapat tiga pertanyaan pokok yang perlu
dijawab. Pertama, mengapa Bank Indonesia harus berperan dalam pengembangan
LCS di Indonesia. Tidak dapat dipungkiri bahwa upaya untuk mendorong
masyarakat menggunakan instrumen non tunai tidak sepenuhnya tergantung
oleh Bank Indonesia semata namun juga diperlukan peran serta pelaku pasar LCS
(antara lain perbankan, service provider company, merchant dan masyarakat).
Dari sisi Bank Indonesia, sangat disadari bahwa salah satu alasan mengapa Bank
Indonesia harus berperan dalam menunjang LCS adalah dalam rangka
menjalankan amanat Undang-Undang Bank Indonesia di bidang Sistem
Pembayaran yaitu mengembangkan Sistem Pembayaran Nasional yang efisien,

31
Seminar Internasional
“Toward a Less Cash Society in Indonesia”

cepat, aman dan handal. Meskipun terdapat peran Bank Indonesia dalam hal ini,
prinsip yang tetap harus dipegang adalah adanya “win-win solution” antara Bank
Indonesia dengan pelaku LCS (perbankan, service provider company, outlet/mer-
chant dan masyarakat).
Pertanyaan kedua adalah apa yang harus dilakukan oleh Bank Indonesia dalam
mengembangkan LCS. Upaya mendorong masyarakat dalam menggunakan alat
pembayaran non tunai tidak dapat dipisahkan dengan perkembangan
penggunaan uang tunai yang terjadi saat ini. Beberapa fakta yang terjadi saat ini
terkait dengan ketidakefisienan penggunaan uang tunai antara lain adalah relatif
masih tingginya biaya pengadaan dan pengelolaan uang tunai, semakin cepatnya
teknologi pemalsuan uang, dan ketersediaan uang pecahan yang masih sulit
memenuhi kebutuhan masyarakat. Di sisi lain, penggunaan alat pembayaran non
tunai sebenarnya telah banyak berkembang di masyarakat Indonesia untuk
melakukan berbagai transaksi khususnya transaksi yang bernilai besar. Selain itu
sudah mulai banyak masyarakat yang mengenal kartu prabayar. Dari sini dapat
ditarik kesimpulan bahwa hal yang harus dilakukan Bank Indonesia adalah
mengurangi penggunaan uang tunai di masyarakat atau mendorong penggunaan
alat pembayaran non tunai. Untuk melaksanakan tugas tersebut, perlu dipikirkan
segmen mana yang akan dituju oleh Bank Indonesia. Dalam hal ini kriteria
penggunaan alat pembayaran non tunai ditujukan lebih kepada pembayaran yang
memiliki kriteria antara lain: transaksi bernilai kecil (micro payment); frekuensi
penggunaannya relatif sering; dan bersifat masal.
Pertanyaan terakhir yang harus dijawab adalah bagaimana Bank Indonesia harus
berperan dalam menunjang upaya terwujudnya LCS. Berpijak pada tugas Bank
Indonesia untuk mengembangkan sistem pembayaran nasional yang efisien, cepat,
aman dan handal maka dalam memposisikan dirinya sudah seharusnya Bank In-
donesia berperan aktif tanpa harus menonjolkan diri. Dalam hal ini, Bank Indo-
nesia diharapkan agar lebih mengedepankan fungsi sebagai fasilitator dan
katalisator untuk mendorong percepatan ke arah terwujudnya LCS.
Pada akhirnya pembicara menyimpulkan bahwa upaya untuk mendorong
terwujudnya LCS tidaklah mudah sehingga tidak mungkin dilakukan hanya oleh
Bank Indonesia. Oleh karena itu, perlu dilakukan kerjasama dengan pihak-pihak
lain di luar Bank Indonesia sehingga dapat disusun suatu grand design LCS yang
komprehensif dan dapat diterapkan di Indonesia.

2. Electronic Money dan Peran Pemerintah dalam Transaksi Keuangan berbasis


Teknologi Informasi
(Prof. Dr. Ahmad M. Ramli, SH, MH, Staf Ahli Bidang Hukum Menteri Komunikasi
dan Informatika)
Dukungan pemerintah dalam transaksi keuangan berbasis teknologi informasi
maupun e-money dapat dilihat dari perhatian pemerintah khususnya Depkominfo
terhadap 3C (Communication, Computing, and Content). Peran pemerintah

32
Seminar Internasional
“Toward a Less Cash Society in Indonesia”

tersebut terutama dalam bentuk kebijakan dan regulasi yang diarahkan untuk
menciptakan keadaan yang kondusif bagi perkembangan transaksi keuangan
berbasis teknologi informasi. Beberapa kebijakan dan regulasi pemerintah terkait
dengan 3C diantaranya adalah:
a. Konvergensi 3G, regulasi ini bertujuan untuk mengoptimalkan pemanfaatan
sumber daya yang ada dan merupakan potensi sumber pendapatan negara
yang besar.
b. Fasilitasi regulasi, Rancangan Undang-Undang Informasi dan Transaksi
Elektronik (RUU ITE).
c. Rancangan Undang-Undang Cyber Crime, ditujukan untuk meningkatkan
keamanan dan kenyamanan dalam berinteraksi/bertransaksi di dunia cyber.
d. Peraturan Menteri Komunikasi dan Informasi tentang certification authority
dan keamanan sistem.
e. Peningkatan penetrasi internet untuk memperluas akses internet sehingga lebih
merata.
f. Perlindungan security.
g. Lawful interception, penyadapan secara legal untuk kepentingan hukum
(diantaranya dapat dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dan
kepolisian).
h. Prepaid regulation.
Kebijakan dan regulasi di atas diharapkan dapat mendukung terwujudnya LCS
khususnya dari sisi security dan law enforcement. Untuk mewujudkan LCS
terdapat beberapa kendala seperti tingkat perekonomian, keengganan
masyarakat, masalah privasi, security, dan law enforcement. LCS sendiri
sebenarnya dapat meningkatkan keamanan dalam transaksi asalkan didukung
dengan aturan yang jelas.
Salah satu instrumen dalam rangka mewujudkan LCS adalah penggunaan e-
money. E- Money adalah suatu nilai moneter yang diterima sebagai alat
pembayaran secara elektronik dan diterbitkan oleh bank maupun badan usaha
non bank. Beberapa masalah yang perlu diantisipasi dalam penggunaan e-
money adalah pencucian uang, double spending problem, dan technological
risk. Upaya mendorong terwujudnya LCS dapat mencegah terjadinya money
laundering karena transaksi lebih tercatat otomatis secara elektronik.
Penyelenggara e-money harus memenuhi azas keterbukaan informasi, yaitu
akses dalam informasi terkait dengan transaksi. Penyelenggara jasa e-money
harus memberikan akses bagi konsumen mengenai informasi yang relevan dan
komprehensif serta panduan tentang cara kerja dan cara menggunakan produk
e-money. Di sisi lain, konsumen juga harus diinformasikan mengenai tanggung
jawabnya sebagai pemegang e-money.
Selain azas keterbukaan informasi, penyelenggara e-money harus menjaga
kerahasiaan informasi pribadi konsumen yang dimiliki oleh penyelenggara
sesuai dengan hukum mengenai privasi dan akses informasi, kecuali apabila

33
Seminar Internasional
“Toward a Less Cash Society in Indonesia”

informasi tersebut diperlukan untuk kepentingan umum dan penegakan


hukum, dimana konsumen bersangkutan telah diberitahu sebelumnya oleh
superintendent sebagai lembaga yang berfungsi untuk memberikan perizinan
dan pengawasan terhadap jasa penyelenggaraan e-money.

3. Prospek dan Tantangan dalam Mewujudkan Less Cash Society – Case Study BCA
(D.E. Setijoso, CEO PT. Bank Central Asia, Tbk.)
Sampai saat ini uang kertas dan cek sebagai alat pembayaran masih banyak
digunakan oleh masyarakat dunia. Namun sejalan dengan perkembangan
teknologi informasi dan sistem pembayaran yang semakin pesat, pola pembayaran
tunai (cash) secara berangsur beralih menuju pembayaran non tunai (non-cash)
dengan 3 basis instrumen pembayaran yakni:
· Paper-based: cek, bilyet giro dan nota debet.
· Card-based: kartu kredit, kartu debet dan kartu ATM.
· Electronic-based: e-money, internet banking dan mobile banking.
Perkembangan menuju less cash society merupakan trend yang tidak dapat
dihindari. Perubahan tersebut antara lain didukung infrastruktur, sistem dan alat
pembayaran elektronis seperti kartu magnetik dan kartu chip. Penggunaan
instrumen pembayaran card-based dan electronic-based (non-cash payment)
sebagai alat transaksi memiliki keunggulan, antara lain dapat menangani transaksi
secara lebih efisien dan menekan biaya transaksi.
Perkembangan non-cash payment di kawasan Asia Pasifik bervariasi di tiap negara
dan pada umumnya menunjukkan peningkatan untuk nilai transaksi pembayaran
melalui kartu kredit, kartu debet dan kartu ATM. Seiring dengan perkembangan
pola pembayaran tersebut, pembayaran non-cash di Indonesia juga menunjukkan
peningkatan dari tahun ke tahun.
Walaupun pembayaran non-cash di Indonesia meningkat namun masih ada
beberapa hal yang menjadi kendala dalam pengembangan lebih lanjut, antara
lain: Indonesia masih merupakan cash society dimana tendensi bertransaksi
dengan uang tunai masih tinggi; masalah infrastruktur; dan kesiapan perangkat
hukum yang masih membutuhkan pembenahan lebih lanjut.
Transaksi nilai kecil dengan frekuensi transaksi yang tinggi (skala retail) atau
dikenal dengan micro payment system, dilakukan dengan menggunakan prepaid
cash card atau microchip-based mobile/cellular phone. Beberapa contoh
penerapan sistem ini adalah pada pembayaran perparkiran, tol, entertainment
center, tiket bus, subway dan lain lain. Micro payment system telah diterapkan
dengan sukses di beberapa negara seperti: Hong Kong dengan Octopus card;
Malaysia dengan Touch n’ Go; dan Singapore dengan EZ link.
Untuk dapat mengembangkan non-cash payment system selain membutuhkan
infrastruktur dan teknologi yang memadai, bank juga harus bekerjasama dengan
perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang telekomunikasi dan switching
(operator jaringan), mengembangkan jejaring merchant dan nasabah pengguna

34
Seminar Internasional
“Toward a Less Cash Society in Indonesia”

agar dapat mencapai economics of scale yang memadai.


Micro payment system yang memanfaatkan kehandalan chip atau smart cards,
menawarkan berbagai kemudahan dan kelebihan dibandingkan dengan sistem
pembayaran lainnya. Transaksi dapat dilakukan dengan cepat, efisien dan aman
yaitu dengan memasukkan kartu pada reader (contact) atau hanya didekatkan
pada reader (contactless). Pengisian kembali nilai kartu relatif mudah dilakukan
di outlet bank penerbit maupun merchant.
Menilik keberhasilan yang diraih sistem pembayaran non-cash di Hong Kong,
Singapore maupun Malaysia, dapat diperkirakan penerapan micro payment sys-
tem di Indonesia memiliki prospek yang baik mengingat besarnya jumlah
penduduk, beragamnya jenis transaksi yang dapat diterapkan serta kemudahan
yang diperoleh.
Penyelenggaraan non-cash payment system tidak terlepas dari peran switching
companies (SC) sebagai penyedia jasa jaringan telekomunikasi bagi bank-bank
peserta. Di Indonesia terdapat empat operator SC yaitu: ATM Bersama, Prima,
Alto dan Link, yang melayani 101 bank dengan sekitar 14.712 unit mesin ATM
dimana masing-masing SC melayani sekelompok bank tertentu.
Sejak Agustus 2000, ATM BCA dapat diakses oleh 25 bank yang tergabung dalam
jaringan Prima. Data akhir Desember 2005 menunjukkan bahwa transaksi nasabah
bank lain yang menggunakan ATM BCA tercatat sejumlah 8,9 juta transaksi atau
3,6 kali lebih banyak dibanding nasabah BCA yang memanfaatkan ATM bank lain
yang berjumlah 2,5 juta transaksi. Hal ini menimbulkan masalah tambahan antrian
di ATM BCA terutama di lokasi-lokasi yang sibuk dan menambah beban logistik
uang tunai.
Di satu sisi, kegiatan Payment Settlement merupakan kegiatan yang mendapat
nilai tambah dari kerjasama antar bank, mengingat kegiatan tersebut bertumpu
pada customer convenience dan wide acceptance. Namun dari sisi lain, kerjasama
antar bank dapat mempengaruhi competitive advantage dari bank dengan
beralihnya proprietary infrastructure menjadi shared infrastructure. Oleh karena
itu dibutuhkan perimbangan yang optimal antara kerjasama dan kompetisi.
4. Optimisasi dan Efisiensi Pengelolaan Jalan Tol dengan Menggunakan Non-Cash
Payment Instruments
(Ir. Djoko Dwidjono, Kepala Divisi Perencanaan Perusahaan dan Pengembangan
Teknologi PT. Jasa Marga (Persero))
PT. Jasa Marga merupakan salah satu pengelola industri jalan tol di Indonesia.
Perusahaan ini telah mengoperasikan lebih dari 50% dari seluruh jalan tol di In-
donesia. Dalam pengelolaan sistem pembayaran tol saat ini, PT. Jasa Marga masih
menggunakan uang tunai dalam transaksinya sehingga cost untuk cash handling
menjadi beban operasional yang cukup memberatkan. Pada tahun 2006, dari to-
tal pendapatan yang mencapai Rp 6.5 milyar per hari dan volume lalu lintas 2.5
juta transaksi per hari, diperlukan penyediaan uang pecahan untuk kembalian
sebesar Rp 1 milyar/hari. Dalam 5 tahun ke depan, perusahaan ini akan terus

35
Seminar Internasional
“Toward a Less Cash Society in Indonesia”

melakukan perluasan pengembangan jalan tol baru sehingga dapat dibayangkan


berapa besar beban cash handling yang akan ditanggung oleh PT. Jasa Marga di
masa mendatang.
Berkaitan dengan hal tersebut, untuk mengurangi beban cash handling, PT. Jasa
Marga merencanakan untuk mengggunakan instrumen pembayaran tol yang
berbasis kartu (contactless smart card) single purpose. Sebelum keputusan ini
diambil, perusahaan telah melakukan survei kajian berdasarkan pengalaman
beberapa negara yang telah mengoperasikan smart card pada sistem jalan tol,
antara lain: Malaysia, Thailand dan Philippines. Pada tahun 2005 penggunaan
instrumen kartu telah diterapkan di ruas jalan tol Padalarang-Cileunyi dan
selanjutnya akan diperluas ke jalan tol lainnya sehingga diharapkan dalam 5
tahun ke depan penggunaan transaksi non-cash akan mencapai 30% dari total
pendapatan. Pengembangan bisnis smart card yang diterapkan oleh PT. Jasa Marga
memiliki beberapa alternatif pengembangan yaitu dikelola untuk fungsi transaksi
jalan tol saja (single purpose), sebagai merchant, sebagai bisnis multifungsi yang
dikelola sendiri oleh PT. Jasa Marga atau dengan bekerjasama dengan pihak lain.
Dalam hal ini PT. Jasa Marga akan mempertimbangkan beberapa hal terkait dengan
pengembangan bisnisnya yaitu: besarnya investasi, risiko, potensi bisnis/skala
ekonomi untuk business development, pilihan teknologi yang dikembangkan,
institusional serta regulasi yang berlaku.

36
Seminar Internasional
“Toward a Less Cash Society in Indonesia”

Bagian Ketiga
TANYA JAWAB DAN
DISKUSI

37
Seminar Internasional
“Toward a Less Cash Society in Indonesia”

I. Tanya Jawab dan Diskusi Hari I Sesi 1


1 . Indah Sukmaningsih (Badan Perlindungan Konsumen Nasional)
Pertanyaan:
a. Terkait dengan perlindungan kepada konsumen, apakah terdapat garansi terhadap
keamanan teknologi informasi yang digunakan dalam transaksi non-cash?
b. Dalam pengembangan sistem pembayaran non-cash, siapa yang harus
menanggung biaya pengembangan tersebut?
Jawaban:
Aspek kultural merupakan aspek yang krusial yang harus diperhatikan dalam
pengembangan Less Cash Society (LCS). Untuk itu, hal pertama yang harus
dilakukan adalah mendidik masyarakat dan memberikan penjelasan kepada
masyarakat mengenai LCS serta memberikan pemahaman kepada masyarakat
bahwa terdapat cost of cash.
Dalam pengembangan sistem yang akan digunakan dalam transaksi non-cash
maka pihak yang menanggung biaya pengembangan tersebut seharusnya adalah
pihak perbankan mengingat bank akan mendapatkan fee dari transaksi non-cash.

2 . Made Sadguna (Pusat Pelaporan dan Analisa Transaksi Keuangan)


Pertanyaan:
Dalam transaksi non-cash, terdapat risiko potensial bagi konsumen terutama
konsumen ritel. Risiko tersebut adalah kemungkinan penyalahgunaan data rahasia
konsumen oleh pihak yang tidak berwenang mengingat tingginya tingkat trace-
ability dalam transaksi non-cash. Berkaitan dengan risiko potensial tersebut,
bagaimana cara yang bisa digunakan untuk meminimalisir risiko tersebut?
Jawaban:
Untuk melihat permasalahan ini, perlu dibedakan terlebih dulu antara penggunaan
Debit card atau Credit Card dengan penggunaan electronic purse (e-purse). Terkait
tingkat kerahasiaan nasabah, misalnya penggunaan e-purse di Belgia yang dikenal
dengan nama Proton e-purse, dibedakan menjadi 2 level yaitu pada level mer-
chant dan pada level bank.
Pada level merchant, transaksi menggunakan Proton e-purse bersifat anonymous.
Sedangkan pada level bank, transaksi menggunakan Proton e-purse tidak
sepenuhnya bersifat anonymous.
Pada level bank, melalui sistem di bank dapat diperoleh informasi mengenai ac-
count number (nomor kartu) dan saldo e-purse, tetapi tidak mengetahui informasi
nama pemilik/pemegang e-purse tersebut. Disamping itu, sistem bank memelihara
rekening bayangan (shadow account) untuk pencatatan penggunaan e-purse.
Rekening tersebut digunakan untuk mendata jumlah uang (dana) yang di-load
ke dalam e-purse. Kemudian pada saat merchant mengkliringkan penggunaan e-
purse, sistem akan mendapatkan informasi dari merchant mengenai nilai yang
telah dibelanjakan oleh konsumen. Selanjutnya pengguna akan memperoleh
informasi penggunaan e-purse, namun tidak dalam waktu yang bersamaan

38
Seminar Internasional
“Toward a Less Cash Society in Indonesia”

(terdapat time lag). Berdasarkan informasi mengenai penggunaan dana e-purse


yang diperoleh dari merchant, sistem akan membandingkan antara shadow ac-
count dengan rekening jaminan (guarantee account) penerbitan e-purse.
Sedangkan untuk penggunaan Debit/Credit card, instrumen tersebut tidak
anomyous, sehingga untuk meminimalisasi risiko penyalahgunaan informasi
nasabah Debit/Credit card, sepenuhnya harus dengan membuat infrastruktur
hukum yang kuat (strong legal basis).
Dr. Drajad juga menambahkan bahwa di Indonesia saat ini masih belum terdapat
peraturan hukum yang melindungi informasi rahasia nasabah sehingga
perusahaan kartu kredit yang menyalahgunakan informasi rahasia nasabah tidak
dapat dituntut. Berkaitan dengan hal tersebut maka harus dibuat legal infra-
structure yang baik.
3 . Isnu Yuwana (Bank Indonesia)
Pertanyaan:
Terkait dengan uang hasil kegiatan ilegal yang dilarikan ke Singapura, mengapa
Indonesia mengalami kesulitan untuk menarik dana tersebut kembali ke Indone-
sia? Bagaimana dengan Extradition Treaty antara Indonesia dengan Singapura?
Jawaban:
Disadari bahwa Indonesia masih mengalami kesulitan untuk melakukan penarikan
dana hasil kegiatan ilegal yang dilarikan ke Singapura. Hal ini disebabkan oleh
belum adanya titik temu antara Indonesia dan Singapura dalam pembahasan
Extradition Treaty. Permasalahan yang sampai sekarang belum terselesaikan adalah
terkait dengan aspek yang akan tercakup dalam Extradition Treaty, seperti aspek
politik serta pertahanan keamanan.
Permasalahan lain adalah karena adanya perbedaan sistem hukum antara Indo-
nesia dan Singapura dimana Indonesia menganut sistem European Continental
sementara Singapura menganut sistem Anglo Saxon.
4 . Bambang Pramono (Bank Indonesia)
Pertanyaan:
a. Apakah di Belgia dan Belanda terdapat lembaga yang bertanggung jawab
dalam hal terjadi risiko settlement?
b. Prof Leo menyatakan bahwa pembayaran non-cash cenderung akan digunakan
untuk transaksi ritel namun Dr. Drajad menyatakan bahwa transaksi ritel
menggunakan pembayaran non-cash akan kurang menguntungkan bagi
konsumen. Bagaimana dengan perbedaan ini?
Jawaban:
a. Di Belgia tidak terdapat lembaga yang bertanggung jawab terhadap risiko
settlement, namun perbankan telah menyisihkan dana untuk kemungkinan
munculnya risiko ini tetapi sampai sekarang belum pernah digunakan. Di Belgia,
sepenuhnya tergantung pada sistem pengawasan perbankan yang baik.
b. Perbedaan pandangan tersebut disebabkan karena perbedaan definisi e-money.
Definisi e-money secara luas adalah terdiri dari electronic purses, Debit card

39
Seminar Internasional
“Toward a Less Cash Society in Indonesia”

dan Credit card. Sedangkan definisi e-money secara sempit adalah terdiri dari
smart card dan prepaid smart card
5 . Noer Azam Achsani (Institut Pertanian Bogor)
Pertanyaan:
a. Bagaimana cara menghitung underground economy?
b. Saran untuk menaikkan cost of cash kurang sesuai diterapkan di Indonesia
karena penggunaan cash di Indonesia masih lebih tinggi daripada penggunaan
non-cash. Berkenaan dengan hal tersebut bagaimana tanggapan Prof. Leo?
Jawaban:
a. Underground economy dihitung dengan menambahkan variabel tax rate dalam
persamaan permintaan uang. Latar belakang perhitungan tersebut disebabkan
oleh semakin tingginya tax rate maka semakin tinggi pula dorongan untuk
melakukan transaksi pembayaran tunai (korelasi positif). Hal ini berarti semakin
tinggi tax rate maka semakin tinggi permintaan uang kartal. Metode ini
merupakan metode yang dikembangkan oleh Vito Tamzi dari IMF.
b. Sebagaimana telah disampaikan pada presentasi saya bahwa pendekatan untuk
menaikkan cost of cash belum tentu sesuai untuk diterapkan di semua negara.
Hal ini sangat tergantung dari kondisi sosial budaya masing-masing negara.
Berkenaan dengan hal tersebut disarankan agar otoritas menjelaskan kepada
masyarakat bahwa sebenarnya penggunaan uang tunai memiliki konsekuensi
biaya tinggi misalnya biaya untuk cash handling dan biaya untuk keamanan.
Di sisi yang lain agar penggunaan alat pembayaran non tunai diterima lebih
luas di masyarakat perlu juga mendorong merchant untuk memfasilitasi
tersedianya sarana pendukung penggunaan instrumen non tunai tersebut.

II. Tanya Jawab dan Diskusi Hari I Sesi 2


1 . Isnu Yuwana (Bank Indonesia)
Pertanyaan:
a. Selain melalui pengadilan, apakah dimungkinkan ada media lain untuk
menyelesaikan suatu dispute yang muncul dari perjanjian yang mendasari
transaksi e-money? Berkaca pada negara lain, ada beberapa negara yang
membentuk ombudsman program dalam menyelesaikan dispute terkait e-
money. Apakah hal ini dimungkinkan di Indonesia? Apabila dimungkinkan,
apakah dengan Peraturan Bank Indonesia atau dengan Undang-Undang?
b. Dalam hal issuer mengalami bankrupt atau insolvency, apa yang harus dilakukan
untuk menjamin pembayaran kepada merchant/pemegang? Berkaca pada
negara lain, dikenal deposit insurance dan loss sharing program, apakah di
Indonesia hal tersebut dimungkinkan? Apabila dimungkinkan, apakah cukup
dengan Peraturan Bank Indonesia atau harus dengan undang-undang?
Jawaban:
a. Dalam hal permasalahan terjadi antara konsumen pemegang kartu dengan

40
Seminar Internasional
“Toward a Less Cash Society in Indonesia”

merchant/penyelenggara, Undang-Undang Perlindungan Konsumen telah


mengatur mengenai Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) yang salah
satu tugasnya adalah menjadi arbitrator/mediator. Lembaga ini dapat menjadi
alternatif penyelesaian sengketa selain melalui lembaga peradilan atau badan
arbitrasi lainnya.
Terkait dengan penyusunan undang-undang, hal tersebut dapat saja dilakukan,
namun sebaiknya konsepsi pengaturan hal tersebut dilakukan dengan tingkatan
pengaturan yang lebih rendah terlebih dahulu seperti dengan menerbitkan
Peraturan Bank Indonesia dan untuk selanjutnya diatur dalam undang-undang.
b. Tidak semua permasalahan harus diselesaikan dengan pembentukan peraturan
perundang-undangan. Sehubungan dengan hal ini otoritas di Indonesia perlu
melakukan terobosan-terobosan yang berani, mengingat langkah-langkah
yang konvensional melalui pembentukan undang-undang sulit untuk
diaplikasikan. Terkait dengan penggunaan alat pembayaran elektronik, Bank
Indonesia harus berani berperan aktif melakukan terobosan-terobosan atas
dasar kewenangan dalam Undang-Undang Bank Indonesia.
Terkait dengan masalah bankruptcy atau insolvency, penyelenggara yang baik
pasti akan memberikan jaminan kepada konsumennya. Dalam hal ini salah satu
cara yang perlu dilakukan adalah dengan mengedepankan peran lembaga
asuransi.
2 . Dwityapoetra S. Besar (Bank Indonesia)
Pertanyaan:
a. Apa yang menjadi akar pemasalahan (root of the problem) dari penegakan
hukum di Indonesia?
b. Apakah e-money (stored-value dan multi-purpose) dapat dipersamakan
dengan simpanan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Perbankan?
Dalam hal dilakukan oleh lembaga keuangan bukan bank apakah menjadi
melanggar hukum? Apakah harus dilakukan amandemen Undang-Undang
Perbankan atau apakah harus disusun Undang-Undang Sistem Pembayaran?
Jawaban:
a. Yang menjadi root of the problem penegakan hukum adalah:
1) Pembuatan peraturan perundang-undangan yang cenderung tidak sensitif
atas keadaan Indonesia secara umum, bahkan mengarah kepada pembuatan
undang-undang sebagai komoditas untuk memperoleh uang.
2) Kecenderungan masyarakat di Indonesia adalah “pencari kemenangan”
bukan “pencari keadilan”.
3) Hal-hal yang mewarnai penegakan hukum, yaitu uang, kekuasaan dan rasa
kemanusiaan.
4) Lemahnya sumber daya manusia di sektor publik.
5) Keterbatasan anggaran.
Hal yang fundamental dalam mengatasi masalah penegakan hukum di In-
donesia adalah: Pertama, tidak menyangkal adanya masalah penegakan

41
Seminar Internasional
“Toward a Less Cash Society in Indonesia”

hukum di Indonesia; Kedua, kesabaran; Ketiga, harus dilakukan pendekatan


multi disiplin; Keempat, mengedepankan kesejahteraan penegak hukum;
Kelima, konsistensi; Keenam, pendekatan manusiawi dan Ketujuh, partisipasi
publik.
b. Stored value card tidak termasuk simpanan, karena pada prinsipnya uang
tersebut tetap “ada” namun tidak dalam bentuk konvensional (kertas atau
logam). Lembaga keuangan bukan bank pun dapat melakukan kegiatan stored
value ini. Terkait hal ini, tampaknya belum dibutuhkan amandemen Undang-
Undang Perbankan.

3 . Made Sadguna (PPATK)


Ta n g g a p a n :
Berdasarkan jawaban Prof. Leo van Hove dalam sesi sebelumnya, untuk
meminimalkan penyalahgunaan private information oleh penyelenggara sistem
pembayaran e-money, salah satu requirement yang paling dibutuhkan adalah
infrastruktur hukum yang baik.
Perlindungan konsumen merupakan upaya-upaya yang dilakukan dengan tujuan
meminimalkan risiko yang dihadapi oleh konsumen. Namun demikian, salah satu
aspek yang kurang mendapat perhatian adalah perlindungan kepada konsumen
yang memungkinkan konsumen dapat menggunakan sarana pembayaran yang
disediakan secara baik dan benar. Hal ini semakin dirasa penting pada negara-
negara berkembangnya yang masyarakatnya kurang familiar dengan produk-
produk (keuangan) yang rumit. Untuk itu, dirasa perlu adanya kewajiban bagi
Penyelenggara sistem pembayaran untuk memberikan consumer education yang
dilaksanakan tidak hanya dengan menyediakan brosur namun apabila perlu hingga
melaksanakan consumer training. Kiranya hal tersebut dapat diakomodir dalam
peraturan perundang-undangan.

4 . Puji Atmoko (Bank Indonesia)


Pertanyaan:
Apakah alat pembayaran non tunai dapat berperan pula sebagai legal tender
sebagaimana uang tunai? Bagaimana dengan dasar legalnya?
Jawaban:
a. Secara umum, masyarakat Indonesia masih belum terbiasa dengan penggunaan
alat pembayaran elektronik. Salah satu jalan yang dapat dilakukan untuk
mengatasi hal ini adalah dengan menyempurnakan pengaturan mengenai e-
money, dimana Bank Indonesia diharapkan dapat berperan secara aktif sebagai
motornya.
b. Pada prinsipnya, e-money adalah bentuk lain dari uang, sehingga apabila
konsumen ingin menguangkan e-money yang dimilikinya, hal tersebut harus
dapat diakomodir. Pada dasarnya tidak ada permasalahan dari sisi legal,
mungkin yang diperlukan adalah penguatan ketentuan-ketentuan

42
Seminar Internasional
“Toward a Less Cash Society in Indonesia”

pelaksanaannya. Penting pula untuk diatur mengenai sanksi, dimana sanksi ini
dapat bersifat administratif (pencabutan izin, penghentian kegiatan usaha,
denda, dan lain-lain) dan dapat diatur dalam Peraturan Bank Indonesia.
5 . Lili (PT. ISO)
Pertanyaan:
a. Sebenarnya transaksi dengan e-money sudah berjalan. Namun demikian
terdapat permasalahan dimana dalam transaksi melalui internet, Indonesia
termasuk sebagai salah satu negara yang di-banned. Apakah permasalahan ini
diakibatkan oleh tidak adanya ketentuan atau justru kelemahan dalam
penerapan peraturan?
b. Dalam melaksanakan suatu kegiatan bisnis, apakah mutlak diperlukan
keberadaan peraturan yang mengatur bisnis tersebut lebih dahulu, atau apakah
bisa kegiatan bisnisnya jalan dulu baru kemudian peraturannya, mengingat
dalam beberapa kasus yang terjadi adalah kegiatan bisnis berjalan terlebih
dulu dibandingkan dengan ketentuan yang mengaturnya?
Jawaban:
a. Dalam konteks alat pembayaran, Bank Indonesia berdasarkan Undang-Undang
Bank Indonesia memiliki kewenangan untuk mengatur alat pembayaran
termasuk berperan aktif dalam menentukan standar alat pembayaran termasuk
perangkat penunjangnya serta perlindungan kepada konsumen.
b. Permasalahan yang utama adalah mengenai masalah penegakan hukum.
Adapun hal yang perlu diperhatikan yaitu apakah pelaku kejahatan/fraud
tersebut berakhir di pengadilan atau tidak (dihukum dengan pantas atau tidak
terkait dengan efek jera yang ditimbulkan).
Kecenderungan yang terjadi adalah bisnis berjalan dulu baru kemudian
hukumnya dibuat dengan mempertimbangkan apakah kegiatan tersebut perlu
diatur mengenai pengenaan sanksi, syarat-syarat administratif serta standar
keamanan.
6 . Nastiti (Direktorat Perlindungan Konsumen, Departemen
Perdagangan)
Informasi:
Sesuai dengan informasi Prof. Hikmahanto, pada saat ini terdapat Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) yang melakukan penyelesaian sengketa
konsumen di luar pengadilan. Hingga saat ini sudah dibentuk di 22 daerah tingkat
II, dan 10 diantaranya sudah aktif berjalan. Di DKI Jakarta belum ada BPSK karena
terbentur Undang-Undang Otonomi Daerah.

III. Tanya Jawab dan Diskusi Hari II Sesi 1


1 . Harry (Bank Bukopin)
Pertanyaan:
a. Penggunaan uang cash oleh masyarakat masih bersifat controllable, sedangkan

43
Seminar Internasional
“Toward a Less Cash Society in Indonesia”

penggunaan e-cash akan lebih uncontrollable. Bagaimana menyikapi hal ini?


b. Apakah e-cash yang saat ini telah digunakan di Hong Kong dapat dikembangkan
untuk melakukan pembayaran tiket airlines?
Jawaban:
Antony:
a. Skim pembayaran dengan e-cash dimaksudkan untuk membuat segala
sesuatunya lebih mudah dan simple (make our life easier). Untuk itu, Octopus
Card Limited selalu menawarkan kepada masyarakat sesuatu yang lebih baik,
memberikan solusi, lebih praktis, simpel dan tidak pernah mengedepankan
kompleksitas dari e-cash yang digunakan. Untuk meyakinkan masyarakat
pengguna, perlu dibangun “trust” masyarakat pengguna terhadap e-cash
sebagai alat pembayaran, antara lain dengan memberikan 100% money back
guarantee apabila pengguna merasa tidak nyaman/tidak puas dalam
penggunaannya.
Selain money back guarantee, pada prinsipnya terdapat dua tipe produk yang
dapat/tidak dapat disertai dengan value protection, yaitu:
1) Produk yang digunakan oleh masyarakat luas (mass product)
Dilihat dari karakter dan prioritasnya, produk ini tidak disertai dengan
proteksi dana (no value protect) dalam arti produk ini dapat digunakan
oleh siapa saja. Otorisasi hanya dilakukan terhadap validitas kartu dan
kecukupan dana. Dalam hal kartu jenis ini hilang, maka pemilik kartu
tidak dapat mengklaim dana yang tersimpan pada kartu yang hilang
tersebut.
2) Produk yang terdaftar (registered product)
Produk ini disertai dengan value protect. Dalam hal kartu hilang, maka si
pemilik kartu yang terdaftar dapat melakukan pemblokiran/klaim atas dana
yang tersimpan pada kartu tersebut.
b. Octopus cards di Hong Kong digunakan untuk pembayaran transaksi mikro
yang rata-rata di bawah HKD 100. Dari sisi teknis, tidak ada kesulitan/
permasalahan sama sekali untuk mengembangkan fitur pembayaran Octopus
cards untuk pembayaran tiket airlines. Namun demikian, perlu ada penyesuaian
security system features untuk mengembangkan penggunaan Octopus cards
dari hanya untuk pembayaran mikro ke pembayaran ritel yang nilainya lebih
besar. Hal ini mengingat security system level berbeda-beda dan dibuat secara
bertahap tergantung risiko yang dikandungnya. Untuk mencegah penambahan
risiko yang akan menjadi beban Octopus Card Limited (OCL), sampai saat ini
OCL membatasi diri hanya menggunakan Octopus cards untuk transaksi mikro,
dan hal ini memang telah sesuai dengan jumlah maksimal dana yang dapat
disimpan pada kartu (HKD 1.000).
Dari apa yang dikemukakan Antony, moderator mengembangkan pertanyaan
kepada dua pembicara lain, khususnya terkait dengan permasalahan 100%
money back guarantee.

44
Seminar Internasional
“Toward a Less Cash Society in Indonesia”

PT. Pertamina:
Prinsipnya, Pertamina juga akan menerapkan prinsip value protection
sebagaimana dikemukakan Antony. Untuk kartu-kartu yang terdaftar, pemilik
kartu dapat melakukan pemblokiran/pengklaiman dana apabila kartunya hilang,
sedangkan untuk anonymous card tidak dapat diklaim apabila hilang. Mengingat
implementasi Gaz Card tahap awal akan diprioritaskan untuk transaksi antara
Pertamina dan Pengusaha (merchant), maka Gaz Card justru akan bersifat regis-
tered. Untuk Gaz Card yang akan diluncurkan pada tahap awal ini, konversi nilai
dana yang ada pada kartu menjadi uang sebagai konsekuensi money back guar-
antee, tampaknya akan sulit dipenuhi oleh PT. Pertamina.
PT. Telkom:
E-cash atau stored value card merupakan bentuk lain (elektronik) dari uang,
sehingga sudah semestinya e-cash harus bisa dicairkan kembali (konversi) ke dalam
bentuk uang apabila diinginkan oleh pemegangnya. Sehubungan dengan hal
tersebut tidak ada alasan mengenai tidak adanya money back guarantee apabila
pengguna tidak merasa nyaman dalam penggunaan e-cash tersebut.

2 . Siti Hidayati (Bank Indonesia)


Pertanyaan:
Siapakah yang harus mengeluarkan inisiatif untuk melakukan kolaborasi pasar?
Apakah pelaku pasar yang memiliki share besar (mendominasi pasar) atau
pemegang otoritas (regulator)?
Jawaban:
Antony:
Sejarah pengembangan Octopus cards di Hong Kong menunjukkan bahwa kartu
ini berawal dari dikembangkannya single purpose prepaid card yang diinisiasi
oleh perusahaan-perusahaan transportasi yang bergabung menjadi satu dalam
menciptakan alat pembayaran yang lebih praktis, efisien dan tetap murah. Untuk
itu, menurut Antony, di Indonesia pun para pelaku bisnis harus duduk bersama
dan melakukan kolaborasi pasar. Inisiasi dapat berawal dari perusahaan yang paling
besar atau juga dapat dimotori oleh bank sentral. Kolaborasi pasar ini sifatnya
wajib. Pelaku pasar harus dapat duduk bersama dan tidak membawa isu kompetisi
untuk penggunaan alat bayar. Kompetisi tetap dapat dilakukan dengan penekanan
pada kualitas barang, harga yang bersaing dan lain-lain, namun tidak untuk alat
bayar. Hal ini karena alat bayar merupakan kebutuhan luas yang sifatnya umum
dan menunjang kelancaran usaha dan bukan untuk dipersaingkan.
PT. Telkom:
Setuju bahwa permasalahan persaingan tidak terkait dengan kartu dan alat
pembayarannya namun lebih pada kualitas dan harga produk. Untuk itu, tidak
ada alasan bagi pelaku pasar di Indonesia untuk tidak berkolaborasi. Diperlukan
adanya suatu institusi, dalam hal ini mungkin Bank Indonesia sebagai pemegang
otoritas sistem pembayaran, untuk dapat menjembatani dan menjadi fasilitator

45
Seminar Internasional
“Toward a Less Cash Society in Indonesia”

maupun katalisator agar pasar berkolaborasi satu dengan yang lain, dalam
pengembangan e-cash di Indonesia. Perlu pula dicermati apakah akan ada
standardisasi produk atau tidak.
PT. Pertamina:
Pertamina mengembangkan Gaz Card salah satunya untuk loyalty rewards bagi
pelanggan, sehingga diharapkan pelanggan akan tetap loyal kepada produk
Pertamina. Meskipun sampai saat ini Pertamina masih bepikir bahwa kolaborasi
dapat saja dilakukan sepanjang dengan perusahaan-perusahaan yang memang
bukan kompetitor Pertamina, namun Pertamina tetap berpandangan sama bahwa
kolaborasi itu sangat penting.
3 . Agus Ponco (Bank Indonesia)
Pertanyaan:
Apakah stored value card seperti Octopus Card dapat dikembangkan di Indone-
sia mengingat masyarakat Indonesia sangat berbeda-beda baik dari sisi budaya,
behavior maupun religion-nya?
Jawaban:
Antony
Belajar dari pengalaman, untuk menciptakan alat pembayaran baru, jangan
mengedepankan masalah kompleksitasinya, namun selalu mengemukakan ben-
efits-nya. Hal ini untuk mencegah keengganan dan sikap skeptis dari masyarakat
calon pengguna. Perbedaan dan keanekaragaman budaya, baik dari sikap, perilaku
maupun preferensi pembayaran masyarakat harus dijadikan salah satu acuan
dalam pengembangan alat pembayaran. Dalam arti, jangan sampai dilakukan
pengembangan alat pembayaran yang memang tidak sesuai dengan kebutuhan
dan karakter masyarakat, dan bertentangan dengan budaya masyarakat. Buatlah
skim pembayaran itu sesederhana mungkin.
PT. Telkom:
Dalam setiap pengembangan produk, Telkom selalu memperhatikan budaya
masyarakat karena hal tersebut sangat berpengaruh terhadap acceptance
masyarakat atas produk yang diterbitkan. Sebagai contoh, Telkomsel, anak
perusahaan PT. Telkom pernah mengeluarkan produk kartu prabayar berupa
“Simpati Hoki” yang ternyata memang tidak laku di wilayah tertentu (Propinsi
Aceh). Hal ini mengingat di wilayah tersebut tidak mempercayai adanya hoki
(lucky) dan adat setempat menganggap bahwa percaya pada faktor hoki semata-
mata adalah tidak baik. Untuk itu, produk “Simpati Hoki” ditarik dan digantikan
dengan “Simpati Jitu”.
Sejalan dengan perilaku dan karakter masyarakat pulalah saat ini 97% produk
kartu telekomunikasi yang diterbitkan oleh Telkom Group berupa kartu prabayar.
4 . Bank Jatim
Saran/sharing:
Kiranya pengembangan non-cash payment instruments seperti stored value cards
untuk pembayaran BBM kendaraan bermotor yang sedang dijajagi oleh Pertamina

46
Seminar Internasional
“Toward a Less Cash Society in Indonesia”

dapat juga untuk:


a. Pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan, sebagai contoh di wilayah Jawa Timur
saja terdapat 25 juta orang wajib pajak.
b. Pembayaran pajak kendaraan bermotor, yang sekaligus dapat digunakan untuk
mengidentifikasi pemilik kendaraan bermotor sehingga jumlah pengguna
kendaraan bermotor di Indonesia dapat terpetakan per wilayah.
Ta n g g a p a n :
Usul yang dapat dijadikan wacana pengembangan ke depan.
5 . Trans Jakarta
Pertanyaan:
a. Apakah untuk pengembangan smart card ke depan akan ada standardisasi
format data? Mengingat saat ini di retailer (misalnya swalayan, toko elektronik)
telah ada 5-6 mesin EDC yang berbeda-beda.
b. Bagaimana security issues dalam smart cards?
Jawaban:
Akan lebih baik jika kolaborasi pasar juga sekaligus membahas format data yang
akan digunakan dalam e-cash, sehingga pengembangan ke depan dapat dilakukan
lebih baik, lebih terencana dan dapat simultan.
6 . Farida Peranginangin (Bank Indonesia)
Pertanyaan:
a. Bagaimana Pertamina mengantisipasi keengganan masyarakat terhadap
penggunaan Gaz Card, mengingat transaksi konsumen Pertamina bernilai lebih
tinggi (higher value) daripada transaksi yang biasa dilakukan dengan
menggunakan smart card (micro payments)?
b. Bagaimana Octopus Card Limited mengatasi kompleksitas dalam kliring dan
settlement untuk transaksi kartu Octopus?
c. Bagaimana tanggapan Antony terkait dengan opini bahwa satu kartu prabayar
multi purposes multi merchants jauh lebih efisien daripada banyak kartu
prabayar single purpose?
Jawaban:
Antony
a. Mengingat Octopus cards merupakan produk yang diterbitkan oleh Octopus
Cards Limited yang sekaligus berfungsi sebagai prinsipal, issuer, acquirer
maupun operator, maka tidak ada permasalahan kompleksitas kliring maupun
settlement. Namun demikian, memang tidak dapat dipungkiri bahwa
permasalahan kliring dan settlement selalu kompleks. Akan lebih baik jika di
Indonesia digunakan “open model” agar bisa terus dikembangkan.
Kompleksitas kliring dan settlement ini merupakan area yang bersifat subject
to regulate oleh otoritas.
b. Sangat benar bahwa 1 kartu prabayar multi purposes multi merchants jauh
lebih efisien daripada banyak kartu prabayar single purpose. Justru di sinilah
diperlukannya kolaborasi pasar dan kolaborasi ini sebenarnya akan sangat

47
Seminar Internasional
“Toward a Less Cash Society in Indonesia”

bagus jika dilakukan dengan bank karena memang sistem pembayaran ini
merupakan area yang menjadi nature bank.
PT. Pertamina:
Pertamina telah melakukan uji coba Gaz Card di Batam pada tanggal 5 Mei 2006,
dan hasilnya ternyata tingkat minat masyarakat terhadap Gaz Card ini sangat
besar. Dengan demikian Pertamina tidak melihat adanya keengganan pasar.
Namun demikian, untuk mengantisipasi keengganan pasar pada saat produk
diluncurkan, Pertamina akan memberikan perlakuan “khusus” bagi pelanggan
yang melakukan pembayaran Gaz Card, misalnya dengan memberikan line khusus
untuk pembelian BBM sehingga tidak antri, diberikan poin setiap mengisi dana
pada kartu bahkan sebelum dana pada kartu tersebut digunakan untuk
bertransaksi.
Untuk mempermudah akses masyarakat dalam melakukan pembelian kartu dan
top-up, termasuk proses registrasi, Pertamina akan menentukan SPBU yang dapat
dijadikan tempat untuk melakukan transaksi-transaksi tersebut.
PT. Telkom:
Isu kliring dan settlement selalu bersifat kompleks, namun bukan berarti tidak
ada jawabannya.

IV. Tanya Jawab dan Diskusi Hari II Sesi 2


1 . Pipih D. Purusitawati (Bank Indonesia)
Pertanyaan
a. Sebagai regulator sampai sejauh mana Bank Indonesia dapat mengatur pihak-
pihak yang terlibat dalam sistem pembayaran non tunai?
b. Siapa yang berhak mengatur transaksi Digicash yang lintas negara?
c. Kebutuhan terhadap transaksi non tunai dari sisi user sudah cukup mendesak,
sebaiknya PT. Jasa Marga segera mempercepat proses pelaksanaan dari proyek
non-cash.
Jawaban
a. Saat ini, selain mengatur mengenai masalah konvergensi, Depkominfo juga
mengatur dasar-dasar terkait dengan informatika antara lain teknologi Infor-
mation, Communication and Telecommunication (ICT) dan lain-lain. Sementara
Bank Indonesia dalam Undang-Undang No.10 Tahun 2004 tidak diberi
kewenangan sebagai inisiator Undang-Undang. Hal ini menyebabkan apabila
Bank Indonesia memiliki inisiatif terhadap penerbitan Undang-Undang seperti
RUU Transfer Dana, Bank Indonesia harus melalui pemerintah atau DPR. Namun,
Bank Indonesia dapat mengatur melalui peraturan yang dikeluarkan Bank In-
donesia (PBI dan SE).
b. Untuk transaksi Digicash, penyelenggara biasanya telah membuat pernyataan
di website penyelenggara sehingga apabila terjadi masalah maka hukum yang
digunakan adalah hukum yang berlaku di negara pelaku kejahatan. Salah satu
asas yang diatur dalam RUU ITE adalah asas ekstrateritorial sehingga

48
Seminar Internasional
“Toward a Less Cash Society in Indonesia”

berdasarkan asas tersebut pelaku yang berada di luar negeri dapat diadili di
negara penyelenggara.
c. Proyek smartcard multifungsi yang direncanakan oleh PT. Jasa Marga menjadi
tertunda karena terdapat hal-hal yang berada di luar wewenang PT. Jasa Marga,
antara lain masalah regulasi e-money dan kepentingan antar institusi.

2 . Ahmad Hidayat (Bank Indonesia)


Pertanyaan
Dalam penggunaan infrastruktur oleh penyelenggara kartu non-cash (e-money)
pendekatan yang dilakukan oleh beberapa negara berbeda, misalnya Hong Kong
membangun infrastruktur sendiri sedangkan di Singapura lebih menggunakan
infrastruktur yang dimiliki oleh perbankan karena sudah relatif kuat dan stabil.
Seberapa jauh BCA akan mengizinkan infrastrukturnya digunakan untuk
kepentingan pengembangan pembayaran non-cash?
Jawaban
E-money merupakan bisnis baru sehingga harus dibangun bersama-sama dengan
beberapa provider. Kesediaan BCA untuk men-share infrastrukturnya perlu dikaji
lebih dahulu. Selama ini untuk penyelenggaraan kliring BCA, BCA sudah terbuka
untuk menerima provider lain. Namun dalam kaitannya dengan trust provider
dan distributor, BCA harus mempertimbangkan lebih dahulu aspek image dan
trust karena dalam bisnis ini terdapat risiko-risiko yang harus ditanggung oleh
BCA.
Interkoneksi di antara para pelaku pasar tidak dapat dipaksakan dan tidak bisa
diselesaikan hanya dengan regulasi. Oleh karena itu perlu dipikirkan jalan keluar
mengingat masing-masing pihak yang terkait memiliki kepentingan yang berbeda-
beda.

3 . Iwan Setiawan (Bank Indonesia)


Pertanyaan
a. Transaksi Internet Banking BCA sering menjadi obyek kejahatan cyber, misalnya
kasus typo squatting Stephen Haryanto. Namun setelah BCA menambahkan
token (keyBCA) sebagai tambahan security feature selain user-id dan pass-
word, transaksi melalui internet banking justru meningkat. Selama ini adagium
yang dikenal dalam ICT, bahwa semakin tinggi tingkat sekuriti akan
menimbulkan ketidaknyamanan bagi pengguna. Namun adagium tersebut
tidak terjadi pada Internet Banking BCA. Berkenaan dengan hal tersebut,
pelajaran apa yang dapat dipelajari oleh kita semua terkait dengan adanya
kasus tersebut?
b. Selain itu, terkait dengan kejahatan ATM, selama ini bank selalu menyatakan
bahwa ‘transaksi dianggap sah jika ada kartu dan PIN yang ‘benar’. Sejauh
mana tanggung jawab bank terhadap kartu yang unauthorized (skimming)
dan sampai sejauh mana bank melakukan investigasi karena selama ini nasabah

49
Seminar Internasional
“Toward a Less Cash Society in Indonesia”

banyak yang dirugikan.


Jawaban
a. Pilihan nasabah dipengaruhi oleh 2 hal yaitu convenience dan keamanan. PIN
dinamis (token) di satu sisi menimbulkan inconvenience bagi nasabah, karena
nasabah harus selalu membawa token dan memasukkan PIN dinamis yang di-
generate oleh token, sehingga nasabah memerlukan waktu relatif lebih lama
untuk melakukan transaksi. Namun demikian, di sisi lain penggunaan token
menimbulkan rasa percaya dan aman bagi nasabah atas penggunaan Internet
Banking BCA. Selain itu BCA juga melakukan sosialisasi untuk mengurangi rasa
ketidaknyamanan nasabah sehingga saat ini transaksi Internet banking melalui
KlikBCA semakin meningkat.
Untuk kasus typo squatting yang pernah terjadi di BCA, saat ini dalam RUU ITE
sudah diatur mengenai tindakan perdatanya sehingga dapat dilakukan
pencabutan nama domain typo squatting tersebut.
b. Fraud yang terjadi pada sarana ATM dalam kasus BCA biasanya dilakukan oleh
orang-orang yang dekat atau kenal dengan nasabah (keluarga, teman, rekan
kerja, dan sebagainya). Untuk membuktikannya, BCA akan memutar ulang
rekaman kamera yang terdapat pada ATM.
Tanggung jawab bank terhadap transaksi elektronik sudah diatur dalam RUU
ITE dimana penyelenggara wajib menyelenggarakan transaksi elektronik secara
aman dan penyelenggara juga harus bertanggung jawab terhadap sistem yang
diselenggarakannya.
7 . Isnu Yuwana (Bank Indonesia)
Pertanyaan
Terkait dengan aspek perlindungan konsumen dan mengingat Bank Indonesia
tidak berwenang mengatur sanksi pidana, sampai sejauh mana Bank Indonesia
berperan dalam mengatur penerbitan e-money khususnya yang diselenggarakan
oleh lembaga keuangan bukan bank?
Jawaban
Terkait dengan perlindungan konsumen, dalam RUU ITE diatur bahwa pelaku
usaha wajib menyediakan informasi yang benar dan lengkap tentang produk yang
dihasilkan. Untuk transaksi elektronis khususnya yang terkait dengan carding,
pengenaan sanksi pidana tidak hanya dikenakan kepada pengguna saja tetapi
juga kepada pihak yang melakukan akses.
8 . Agus Ponco (Bank Indonesia)
Pertanyaan
Trend transaksi melalui BCA secara umum meningkat. Apakah pelajaran yang
bisa di-share oleh BCA sehingga produk BCA dikenal dan banyak digunakan oleh
masyarakat di tengah persaingan yang semakit ketat?
Jawaban
Dalam hal ini BCA menjelaskan salah satu pengalaman pada saat meluncurkan
produk non tunai; internet banking dan mobile banking. Kedua produk ini

50
Seminar Internasional
“Toward a Less Cash Society in Indonesia”

merupakan produk non tunai yang sedang trend saat ini. Pada saat awal
peluncuran produk internet banking, satu hal yang menjadi pertanyaan BCA
adalah apakah produk ini akan digunakan oleh masyarakat atau tidak, mengingat
prinsip yang dipegang oleh BCA pada saat peluncuran produk baru adalah harus
mencapai tingkat economic of scale tertentu. Disadari bahwa saat ini sebagian
besar pengusaha berasal dari generasi tua yang kurang mengenal teknologi yang
digunakan. Namun dalam kenyataannya terdapat pengusaha yang berasal dari
second generation yang telah mengenal teknologi internet. Melihat kondisi
tersebut, apabila BCA hanya melihat pada market generasi terdahulu saja, maka
penetrasi pasar akan sangat lama. Oleh karena itu BCA lebih mengarahkan
produknya pada generasi muda sebagai channel delivery system sehingga produk
BCA cukup dikenal oleh masyarakat.
9 . Hari (Bank Bukopin)
Pertanyaan
a. Untuk membuat kartu yang multipurpose, permasalahan yang terjadi selama
ini adalah interoperability. Apakah ada pemikiran dari PT. Jasa Marga untuk
membuat standar terhadap kartu untuk tol sehingga bisa digunakan lintas
operator tol (selain PT. Jasa Marga)?
b. Dalam grand design PT. Jasa Marga, apakah di masa yang akan datang akan
bekerjasama dengan bank, menjadi issuer sendiri atau melakukan kerjasama
dengan pihak lain (non bank)?
Jawaban
a. Pada saat ini terdapat beberapa perusahaan yang terlibat dalam pengelolaan
industri tol antara lain PT. DMNS untuk tol ruas Tangerang-Merak, PT. Citra
Marga Nusa Pala untuk tol dalam kota. Kedua perusahaan ini dikategorikan
pada kelompok merchant yang beda tetapi tujuan yang sama (untuk membayar
tol). Terkait dengan kolaborasi antara pelaku pasar tersebut, disadari bahwa
hal tersebut akan mempercepat penggunaan kartu. Sementara itu untuk
standardisasi kartu saat ini masih terdapat tarik-menarik antara pemain
mengingat terdapat berbagai kepentingan antara lain aspek bisnis, teknologi
dan lain-lain.
Permasalahan yang dihadapi oleh PT. Jasa Marga adalah belum adanya standar
messaging untuk multipurpose. Permasalahan lain juga cukup beragam yaitu
masalah teknologi dan bisnis.
b. Untuk saat ini kemungkinan PT. Jasa Marga akan menjadi issuer sendiri dengan
memperluas layanan smartcard yang sudah diterapkan di ruas Padalarang-
Cileunyi. Ke depan tidak menutup kemungkinan untuk berkolaborasi dengan
pihak lain untuk mengembangkan multipurpose card.

51
Seminar Internasional
“Toward a Less Cash Society in Indonesia”

Bagian Keempat
DISKUSI DENGAN
PEMBICARA ASING DI
LUAR SEMINAR

52
Seminar Internasional
“Toward a Less Cash Society in Indonesia”

I. DISKUSI DENGAN PROF. LEO VAN HOVE


A .PERTANYAAN TERKAIT DENGAN ASPEK MAKRO EKONOMI DAN
KEBIJAKAN MONETER
Pertanyaan 1:
Apakah terdapat perbedaan peran bank sentral pada masyarakat yang less cash
atau cashless apabila ditinjau dari sudut pandang kebijakan moneter?
Jawaban:
Ada perbedaan tapi tidak terlalu signifikan. Secara teori kondisi cashless adalah
tidak ada penggunaan cash dalam transaksi ekonomi atau 0% menggunakan cash.
Sementara itu pada kondisi less cash masih terdapat penggunaan cash sekitar
+5%. Menurut pendapat pembicara, kondisi 0% dan 5% cash bagi bank sentral
tidak memberikan dampak kebijakan moneter yang berbeda.
Pertanyaan 2:
Bagaimana pendapat Prof. Leo terhadap pernyataan salah seorang ahli ekonomi
yang mengatakan bahwa kebijakan moneter dalam kondisi masyarakat yang cash-
less menjadi tidak relevan karena bank sentral tidak lagi melakukan pengelolaan
cash?
Jawaban:
Bagi sebagian ahli ekonomi terdapat anggapan bahwa penerapan cashless akan
menjadi masalah bagi bank sentral untuk menetapkan kebijakan makro ekonomi.
Namun hal tersebut justru tidak menjadi masalah karena dengan tidak adanya
cash maka penggunaan instrumen non-cash, yang notabene nilai uangnya
disimpan dalam sistem keuangan (perbankan), masih tetap terkontrol oleh bank
sentral melalui penetapan kebijakan reserve requirement. Dengan kata lain
terdapat perpindahan demand for money menjadi demand for reserve.
Pertanyaan 3:
Apakah di Belgia terdapat mekanisme penghitungan jumlah uang yang beredar dalam
e-money untuk memonitor jumlah uang yang beredar sehingga dapat digunakan
sebagai salah satu instrumen moneter untuk membatasi money supply?
Jawaban:
Informasi e-money diperoleh dari issuer yang secara rutin wajib melaporkan
transaksi kepada bank sentral tiap bulannya. Selain itu setiap orang di Belgia
pada umumnya memiliki 2 rekening di bank yaitu untuk keperluan tabungan
maupun yang hanya digunakan untuk ritel payment termasuk e-purse. Oleh karena
itu data monetary agregat dapat diperoleh dengan mudah yang pada akhirnya
tidak menyulitkan bank sentral dalam melakukan perhitungan money supply-
nya. Dalam proses perhitungannya e-money digolongkan ke dalam M1.
Pertanyaan 4:
Apakah terdapat model ekonometrik yang dapat memprediksi pengaruh less cash
society terhadap kebijakan moneter?
Jawaban:
Saya kira tidak, karena sangat sulit untuk memprediksi pengaruh penggunaan e-

53
Seminar Internasional
“Toward a Less Cash Society in Indonesia”

money terhadap kebijakan moneter. Sebagai contoh penelitian tentang hal


tersebut pernah dilakukan oleh Bank Sentral Belgia pada tahun 1990, namun hasil
yang diprediksikan pada penelitian tersebut tidak sesuai dengan kondisi saat ini.
Pertanyaan 5:
Sebagaimana telah disebutkan bahwa velocity of money dalam penggunaan ATM
dan penarikan uang tunai ke bank tidak berbeda jauh. Mohon dijelaskan mengenai
hal tersebut dikaitkan dengan presentasi yang disampaikan Perry Warjiyo yang
menyatakan bahwa penggunaan ATM akan mempercepat velocity of money
akibat berkurangnya waiting time.
Jawaban:
Situasi di Belgia sangat berbeda dengan di Indonesia. Di Belgia penggunaan ATM
hanya untuk penarikan uang tunai dan tidak bisa digunakan untuk transaksi
pembayaran. Dalam hal ini fungsi penarikan uang melalui ATM sama dengan
penarikan uang di kasir.
Pertanyaan 6:
Bagaimana dampak internet banking dan phone banking terhadap less cash soci-
ety?
Jawaban:
Dampaknya sangat kecil karena hanya membuat transaksi lebih nyaman saja.
Dalam hal ini internet banking dan phone banking hanya mengubah sarana
penyampaian instruksi dari sarana yang menggunakan kertas menjadi sarana yang
menggunakan telepon atau internet.
Pertanyaan 7:
Apakah penggunaan instrumen non-cash yang semakin meluas memberikan
dampak pada kebijakan moneter yang menganut suku bunga sebagai sasaran
utama?
Jawaban:
Penggunaan instrumen non-cash tidak memberikan dampak yang signifikan
terhadap kebijakan moneter yang menganut suku bunga sebagai sasaran utama.
Namun secara teoritis hal ini dimungkinkan apabila bank sentral hanya
mengandalkan pasar uang domestik untuk menarik dana. Artinya instrumen suku
bunga sebagai sasaran kebijakan moneter hanya dipengaruhi oleh reserve bank
di bank sentral, sehingga penggunaan non-cash yang tidak ada reserve-nya dapat
mempengaruhi kebijakan moneter.
Pertanyaan 8:
Apabila penerbit prepaid card adalah lembaga keuangan bukan bank yang tidak
memiliki kewajiban untuk menempatkan reserve di bank sentral, apakah
penggunaan/ekspansi float money yang dilakukan lembaga bukan bank tersebut
akan mempengaruhi efektivitas kebijakan moneter?
Jawaban:
Di Eropa penerbit prepaid card diatur secara ketat. Pertama, penerbit prepaid
card adalah bank atau lembaga keuangan bukan bank yang memiliki reputasi

54
Seminar Internasional
“Toward a Less Cash Society in Indonesia”

baik. Pada umumnya penerbit prepaid card adalah bank. Kedua, seluruh lembaga
penerbit prepaid card tersebut merupakan obyek pengawasan sistem pembayaran.
Ketiga, penerbit prepaid card diwajibkan untuk memiliki modal minimum tertentu
dan harus menempatkan dananya pada investasi tertentu yang aman. Apabila
Indonesia akan menerapkan peraturan untuk menjadi penerbit prepaid card
seyogyanya lembaga penerbit adalah bank. Selanjutnya apabila ada lembaga lain
seperti jasa transportasi atau lainnya maka lembaga tersebut harus bekerja sama
dengan bank. Berkenaan dengan hal tersebut diperlukan legal infrastructure yang
tegas dan jelas untuk mengatur aturan main penyelenggaraan prepaid card ini.
Pertanyaan 9:
Apakah Bank Sentral Belgia mengawasi bank dan lembaga keuangan bukan bank
penyelenggara e-money?
Jawaban:
Pengawasan terhadap penyelenggaraan kegiatan e-money di Eropa menjadi
tanggung jawab European Central Bank (ECB), sehingga setiap penerbit harus
melaporkan kegiatan penerbitan -e-money secara rutin. Di setiap bank sentral
yang tergabung dalam ECB juga memiliki financial stability department yang
melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan e-money.
Pertanyaan 10:
Apakah penerbit e-purse juga memberikan laporan kegiatannya kepada lembaga
yang menangani money laundering?
Jawaban:
Pada umumnya nilai uang pada e-purse dibatasi karena hanya digunakan untuk
transaksi ritel sehingga nampaknya kecil kemungkinan untuk digunakan sebagai
sarana untuk melakukan transaksi money laundering.
Pertanyaan 11:
Bagaimana penyelesaian dispute antara issuer, merchant dan konsumen, misalnya
apabila issuer bangkrut sementara konsumen masih memiliki nilai uang pada kartu
yang dibelinya?
Jawaban:
Nilai uang yang tersimpan dalam e-purse akan tetap berlaku sampai dengan
nilainya habis dan tidak terkait dengan penerbit e-purse tersebut. Oleh karena
itu apabila issuer e-purse bangkrut konsumen tetap dapat menggunakan kartu
tersebut untuk bertransaksi di merchant.
Pertanyaan 12:
Bagaimana dampak less cash society terhadap variabel-variabel makro ekonomi
seperti:
- tingkat harga (inflasi);
- surplus konsumen dan produsen; dan
- kesejahteraan masyarakat secara umum.
Jawaban:
Dilihat dari dampak terhadap tingkat harga (inflasi), tergantung dari jenis

55
Seminar Internasional
“Toward a Less Cash Society in Indonesia”

instrumen pembayaran non tunai. Untuk Debit card dan prepaid card tidak akan
mempengaruhi ekonomi makro. Tetapi untuk Credit card akan mempengaruhi
uang beredar karena adanya money multiplier effect.
Dilihat dari dampak terhadap surplus konsumen dan produsen, tergantung dari
tingkat persaingan pasar. Semakin sempurna persaingan pasar tersebut, konsumen
akan semakin diuntungkan.
Dilihat dari dampak terhadap kesejahteraan masyarakat secara umum, karena
social cost berkurang maka kesejahteraan masyarakat akan meningkat. Dengan
berkurangnya social cost dalam hal ini antara lain dengan berkurangnya cash
handling maka surplus produsen akan semakin meningkat.
Pertanyaan 13:
Apabila masyarakat memandang penggunaan instrumen non tunai akan lebih
membuat masyarakat semakin nyaman untuk bertransaksi, apakah akan kondisi
ini akan berdampak pada meningkatnya aktivitas transaksi yang pada gilirannya
akan meningkatkan tingkat harga secara umum?
Jawaban:
Kondisi tersebut tidak akan berpengaruh secara signifikan terhadap peningkatan
harga secara umum.
Pada prinsipnya kenyamanan penggunaan -e-purse sama dengan kenyamanan
penggunaan uang tunai.
Pertanyaan 14:
Bagaimana cara menghitung social cost of payment instrument?
Jawaban:
Penghitungan social cost dilakukan dengan menjumlahkan seluruh private cost
atau biaya-biaya yang dikeluarkan oleh seluruh pihak yang menggunakan
instrumen pembayaran. Misalnya penghitungan seluruh biaya yang dikeluarkan
oleh merchant, konsumen, bank, lembaga penyedia instrumen pembayaran
termasuk bank sentral terkait dengan distribusi penggunaan instrumen
pembayaran tersebut. Untuk menghindari terjadinya penghitungan ganda maka
biaya transfer dana melalui sistem perbankan tidak disertakan dalam perhitungan
tersebut.
Untuk menghitung social cost, data transaksi diperoleh dari bank umum atau
penerbit. Sementara itu data yang dikeluarkan oleh merchant maupun konsumen
dilakukan dengan survei sehingga diperoleh proksi untuk menghitung seluruh
biaya yang dikeluarkannya.
Pertanyaan 15:
Apakah dampak penggunaan instrumen non-cash terhadap pendapatan seignor-
age bank sentral?
Jawaban:
Penggunaan instrumen non-cash secara otomatis akan menurunkan pendapatan
seignorage bagi bank sentral tapi terdapat pula efisiensi terutama pengurangan
biaya cetak uang, biaya distribusi dan biaya keamanannya. Hal yang lebih penting

56
Seminar Internasional
“Toward a Less Cash Society in Indonesia”

lagi adalah pengurangan seignorage tersebut bermanfaat untuk meningkatkan


kesejahteraan ekonomi secara keseluruhan.
Pertanyaan 16:
Terkait dengan data statistik ekonomi, terdapat perbedaan konsep perhitungan
dimana untuk tunai menggunakan konsep jumlah persediaan (stock concept)
sementara untuk non tunai menggunakan perputaran (flow concept). Terhadap
isu tersebut, bagaimana cara menghitung dan membandingkan antara
perkembangan instrumen tunai dan non tunai? Adakah indikator makro ekonomi
yang dapat menggambarkan perkembangan less cash society?
Jawaban:
Untuk data statistik uang beredar baik cash maupun non-cash diperoleh melalui
ECB. ECB menghitung M1 berdasarkan total outstanding e-money dijumlahkan
dengan outstanding currency. Sedangkan untuk menghitung uang beredar dari
penggunaan e-purse saat ini hanya didasarkan pada survei kepada responden
tertentu untuk menanyakan porsi penggunaan e-purse/e-money pada hari
tertentu secara acak. Kemudian data yang diperoleh tersebut diekstrapolasikan
terhadap seluruh populasi untuk memperoleh proxy-nya. Dengan demikian
apabila ingin mencari proporsi penggunaan cash dan non-cash hanya akan
diperoleh proxy saja.
Pertanyaan 17:
Apakah di negara yang penggunaan instrumen non tunainya sudah tinggi,
penggunaan uang tunai atau permintaan uang akan berkurang secara signifikan?
Jawaban:
Hal ini tergantung pada berapa besar jumlah underground economy pada tiap
negara. Apabila underground-nya masih banyak tentunya peningkatan
penggunaan instrumen non tunai juga tidak terlalu signifikan.
Pertanyaan 18:
Menurut Saudara, negara mana yang paling banyak menggunakan instrumen
non tunai?
Jawaban:
Iceland dan negara-negara Skandinavia merupakan contoh negara di Eropa yang
banyak menggunakan instrumen non tunai.
Pertanyaan 19:
Dapatkah dijelaskan dampak penggunaan instrumen non tunai yang semakin
meluas terhadap isu stabilitas keuangan?
Jawaban:
Hal ini tergantung pada beberapa isu seperti penerbit dan legal infrastructure.
Jika penerbitnya adalah bank atau lembaga keuangan yang telah memiliki reputasi
baik serta terdapat aturan main yang jelas dan tegas maka risiko instabilitas
keuangan dapat diminimalisir.

57
Seminar Internasional
“Toward a Less Cash Society in Indonesia”

B . PERTANYAAN TERKAIT E-MONEY


Pertanyaan 1:
Seberapa signifikan perputaran penggunaan e-money apabila dibandingkan
dengan penggunaan uang tunai baik dari sisi volume maupun nilai di negara
Saudara (negara lainnya)?
Jawaban:
Tidak ada data yang akurat untuk penggunaan uang tunai. Sesuai dengan paper
yang telah disampaikan, tingkat perputaran transaksi e-money di Belgia dan
Belanda kurang lebih sama, yaitu sekitar 3,7% dari cash transaction. Sementara
itu perkembangan Proton e-purse di Belgia relatif lambat.
Pertanyaan 2:
Bagaimana bank sentral di Eropa merespon dampak e-money terhadap efektivitas
kebijakan moneter?
Jawaban:
Untuk level Eropa yang merespon dampak penggunaan e-money adalah ECB
melalui pengumpulan data termasuk outstanding-nya oleh penerbit e-money
setiap bulannya.
Pertanyaan 3:
Apakah penerbit e-money mengharuskan melaporkan segala kegiatannya secara
reguler? Kepada siapa (bank sentral atau otoritas terkait lainnya)?
Jawaban:
Sebagaimana telah disebutkan laporan kegiatan diberikan ke ECB, Bank Sentral
di masing-masing negara hanya memonitor kegiatan e-money di negaranya
masing-masing yang dilakukan oleh Financial Stability Department.
Pertanyaan 4:
Apakah e-money termasuk dalam komponen perhitungan uang beredar (M1)?
Apabila termasuk M1, bagaimana cara perhitungannya? (apakah seluruh float
atau hanya sebagian yang dihitung dalam perhitungan)
Jawaban:
Ya (e-money termasuk dalam M1), seluruh penerbit e-money baik perbankan
maupun lembaga selain bank harus melaporkan seluruh kegiatannya sehingga
seluruh float dihitung sebagai komponen uang beredar.
Pertanyaan 5:
Apakah penerbit e-money mempunyai fleksibilitas untuk mengelola kelebihan
dananya (float) dalam bentuk financial asset daripada deposit (contohnya surat
berharga, surat utang negara, dan lain-lain).
Jawaban:
Seperti telah dijelaskan sebelumnya, hal tersebut merupakan obyek pengawasan
oleh bank sentral termasuk memberikan aturan yang ketat untuk
menginvestasikan float money yang hanya diperbolehkan pada secure asset.
Pertanyaan 6:
Apakah terdapat perangkat hukum yang mengatur hak dan kewajiban yang

58
Seminar Internasional
“Toward a Less Cash Society in Indonesia”

melibatkan pihak-pihak dalam penyelenggaraan instrumen non tunai untuk


menanggung risiko?
Jawaban:
Hak dan kewajiban diatur dalam setiap penyelenggaraan e-money. Pada masa
sebelum adanya ECB, di Belgia misalnya terdapat ketentuan apabila kartu dicuri
secara otomatis akan diblokir oleh penyelenggara apabila sudah dilaporkan. Hal
ini dilakukan untuk melindungi kepentingan konsumen pengguna e-money.
Sebaliknya apabila konsumen lupa atau menghilangkan kartu maka akan dikenai
denda agar konsumen lebih berhati-hati.
Pertanyaan 7:
Apakah terdapat peraturan mengenai pengenaan reserve requirement dan modal
minimum terhadap penerbit e-money?
Jawaban:
Untuk reserve requirement saya tidak tahu, tapi kalau modal minimum ada.
Apabila ya:
a. Berapa jumlah reserve dan modal minimum?
Akan dikonfirmasi lebih lanjut.
b. Dimana penempatan/penyimpanan reserve-nya?
Akan dikonfirmasi lebih lanjut.
c. Bagaimana otoritas yang akan melakukan supervisi meyakini jumlah mini-
mum reserve yang disampaikan oleh penerbit e-money?
Akan dikonfirmasi lebih lanjut.

II. DISKUSI DENGAN ANTONY MORRIS


Pertanyaan 1:
Apakah HKMA melakukan assessment terhadap penerbitan e-purse di Hong Kong,
misalnya untuk kartu Mondex dan Octopus?
Jawaban:
HKMA melakukan pendekatan assessment yang berbeda antara Mondex dan
Octopus. HKMA mewajibkan Mondex untuk diaudit oleh auditor independen,
karena Mondex memiliki nilai transaksi yang relatif lebih tinggi dan memungkinkan
dilakukannya card to card transfer. Adapun Octopus Card tidak diwajibkan untuk
diaudit oleh auditor independen karena nilai transaksi yang relatif rendah serta
bersifat terbatas pada merchant tertentu saja.
Pertanyaan 2:
Bagaimanakah aspek sekuriti yang terdapat pada kartu Octopus?
Jawaban :
Sekuriti pada Octopus Card dilakukan dengan beberapa cara antara lain dilihat
dari aspek teknis dan aspek kebijakan. Dilihat dari aspek teknis sekuriti Octopus
Card dibuat bersifat end to end, termasuk aspek sekuriti berupa enkripsi atau
penggunaan algoritma tertentu untuk mensandikan data pada Octopus Card.

59
Seminar Internasional
“Toward a Less Cash Society in Indonesia”

Kebijakan penggunaan sekuriti yang ketat dikarenakan Octopus Cards Ltd.


menyadari bahwa kepercayaan terhadap instrumen pembayaran sangat penting
agar dapat diterima secara luas oleh masyarakat.
Selanjutnya dari aspek kebijakan, Octopus Card dibuat sedemikian rupa agar tidak
menarik untuk dijadikan sasaran kejahatan, antara lain dengan jalan: a) nilai dalam
kartu tidak dapat diuangkan (redeem); b) hanya dapat digunakan di merchant
yang bersifat ritel (groceries store, transportation, dan lain-lain) dan tidak di
merchant yang umumnya menjadi incaran fraudster untuk money laundering
seperti jewelry store, electronic, dan lain-lain; c) selalu bersifat low profile dan
menghindari pernyataan-pernyataan yang bersifat provokatif (khususnya kepada
para fraudster, hackers atau crackers), misalnya pernyataan seperti :”Octopus
card unbreakable…”, dan lain-lain.
Pertanyaan 3:
Apakah terdapat Merchant Discount Rate (MDR) yang diterapkan oleh Octopus
Cards Ltd. untuk merchant yang bekerja sama?
Jawaban:
Octopus Cards Ltd. menerapkan kebijakan MDR sebesar 1% dari nilai transaksi
(rata-rata= USD 1 cent/transaction). Merchant yang bekerjasama dengan Octo-
pus Cards Ltd. pada umumnya adalah merchant yang membutuhkan transaksi
dengan cepat untuk meningkatkan volume penjualan.
Pertanyaan 4:
a. Berapakah biaya mesin-mesin EDC?
b. Apakah merchant dibebani biaya terkait dengan pengadaan mesin EDC
dimaksud?
Jawaban:
a. Biaya mesin EDC berkisar antara USD 300 sampai dengan 400 dan menjadi
beban Octopus Cards Ltd.
b. Terkait dengan pengadaan mesin EDC di merchant, merchant hanya dikenakan
biaya one time testing fee oleh Octopus Cards Ltd., terkait integrasi sistem
Octopus Cards Ltd. ke dalam merchant/cash register merchant system.
Pertanyaan 5:
Apakah faktor-faktor yang mendukung keberhasilan Octopus Cards Ltd. dalam
mengimplementasikan penggunaan Octopus Card di Hong Kong?
Jawaban:
Faktor-faktor yang mendukung keberhasilan Octopus Cards Ltd. di Hong Kong
adalah:
a. Dukungan yang diberikan oleh seluruh perusahaan transportasi di Hong Kong
dalam membangun pasar Octopus Card yang besar (critical mass);
b. Octopus Card dapat digunakan pada pasar ritel dan pembayaran tidak
memerlukan kembalian (uang receh);
c. Penggunaan contactless card dengan teknologi Radio Frequency Identifica-
tion (RFID) membuat produk tersebut menjadi praktis untuk digunakan;

60
Seminar Internasional
“Toward a Less Cash Society in Indonesia”

d. Sistem Octopus Card terintegrasikan dengan sistem merchant yang dapat


memberikan keakuratan data, kecepatan transaksi, keamanan dan kemudahan
bagi para pihak.
Pertanyaan 6:
Apakah terdapat masa daluwarsa pada Octopus Card?
Jawaban:
Pada dasarnya Octopus Card tidak memiliki masa daluwarsa. Namun demikian,
sisa uang yang terdapat pada Octopus Card akan di non-aktifkan apabila tidak
terdapat transaksi selama 3 tahun. Octopus Card yang telah dinon-aktifkan dapat
diaktifkan kembali dengan cara melaporkan kepada Octopus Cards Ltd.
Pertanyaan 7:
Bagaimana mekanisme pengkreditan Octopus Card dalam skema auto reload HKD
250?
Jawaban:
Untuk Octopus Card yang personalized dan telah mengikuti skema auto reload,
setiap kartu tersebut akan diberi tanda auto reload oleh sistem. Selanjutnya apabila
nilai setiap kartu tersebut telah mencapai “0” atau nilai dibawah “0”, maka sistem
akan melakukan verifikasi sebagai berikut:
a. Apakah kartu telah diberi tanda auto reload. Apabila kartu tidak terdapat
tanda auto reload maka sistem akan menolak transaksi.
b. Dalam hal dalam kartu terdapat tanda auto reload maka sistem akan mengecek
apakah sudah terdapat auto reload terhadap kartu pada hari yang
bersangkutan. Apabila belum terdapat auto reload pada hari yang
bersangkutan, maka sistem akan langsung mengkredit kartu sebesar HKD 250,
dan selanjutnya pengkreditan tersebut akan menjadi tagihan merchant kepada
Octopus Cards Ltd.
c. Atas pengkreditan kartu tersebut, Octopus Cards Ltd. akan membebankan
kepada pengguna.

61
Seminar Internasional
“Toward a Less Cash Society in Indonesia”

Bagian Kelima
PENUTUP

62
Seminar Internasional
“Toward a Less Cash Society in Indonesia”

Kesimpulan dan Penutup

Kesimpulan dan Penutupan Seminar: Edi Siswanto, Direktur Akunting dan Sistem
Pembayaran Bank Indonesia.

1. Pokok-pokok hasil presentasi dan diskusi


a. Hari pertama Sesi pagi (aspek makro ekonomi)
1) Dari pembicara, Ketua Komisi XI DPR, Theo L. Sambuaga, intinya meskipun
uang mempunyai posisi penting, namun unsur security atas transaksi uang
mempunyai peran yang lebih penting, seperti untuk kegiatan pencegahan anti
money laundering dan pencegahan pembiayaan untuk terorisme. Sehingga
sependapat untuk didukung dengan peraturan perundangan yang memadai.
2) Sementara dari pembicara kedua, Prof. Dr. Leo van Hove, telah mengangkat
isu adanya kecenderungan peningkatan penggunaan instrumen pembayaran
non tunai seperti terjadi di negara lain. Terdapat usulan menarik untuk
membuat cash menjadi lebih mahal agar supaya terjadi peningkatan
penggunaan non-cash. Namun hal ini, harus dilihat dengan lebih “wise” untuk
kasus Indonesia sesuai dengan kultur dan kondisi sosial masyarakat.
3) Dari pembicara ketiga, Dr. Dradjad H. Wibowo, meskipun pembicara sendiri
masih pro terhadap penggunaan uang tunai, namun sependapat agar
penggunaan sarana non tunai dapat terus dikembangkan sesuai kewenangan
yang sudah ada di Bank Indonesia.
4) Sementara dari pembicara keempat, Dr. Perry Warjiyo, mengakui bahwa
pergeseran penggunaan alat pembayaran ke arah non-cash memiliki dampak
positif terhadap perekonomian, seperti: meningkatkan kepuasan dan
kenyamanan konsumen, pengurangan biaya transaksi (“less cash” berarti
“lower cost”), adanya peluang fee-based income bagi penerbit, dan
peningkatan kecepatan transaksi yang pada akhirnya menunjang pertumbuhan
ekonomi dan kesejahteraan. Beberapa hal yang perlu memperoleh perhatian
adalah: kemungkinan terjadinya fraud, risiko gagal bayar, dan kemungkinan
gangguan terhadap stabilitas sistem keuangan.
5) Dalam sesi ini juga terdapat usulan yang menarik tentang perlunya melihat
kembali metode penghitungan uang beredar.
b. Hari pertama sesi siang (aspek legal, aspek perlindungan konsumen dan aspek
pengawasan sistem pembayaran):
1) Dari pembicara pertama, Asman Abnur, Wakil Ketua Komisi XI DPR,
berpendapat bahwa pada prinsipnya mengakui bahwa kita sudah termasuk
“terlambat” dalam pengembangan less cash jika dibandingkan dengan negara
tetangga. Namun demikian, Bank Indonesia sesuai dengan kewenangan yang
ada dalam Undang-Undang Bank Indonesia, dapat terus melakukan
pengembangan dan pengaturan melalui kerjasama dengan berbagai institusi
terkait.

63
Seminar Internasional
“Toward a Less Cash Society in Indonesia”

2) Sementara itu, dari pembicara kedua, Prof. Hikmahanto Juwana, S.H., LL.M.,
Ph.D., Dekan FH UI, sempat melontarkan fakta bahwa dalam praktek
internasional penyelenggaraan e-money tidak harus diikuti dengan
penyusunan Undang-Undang. Namun demikian, sudah tepat saatnya jika Bank
Indonesia dapat terus melanjutkan langkah-langkah dengan mengeluarkan
peraturan Bank Indonesia di bidang e-money. Hal lain yang lebih penting
setelah dikeluarkannya ketentuan adalah masalah penegakkan “hukum” yang
harus dilakukan dengan tegas.
3) Adalah menarik juga dalam sesi ini muncul usulan bahwa bisnis dapat tetap
jalan dulu tanpa harus menunggu dikeluarkannya aturan.
4) Sementara itu pembicara ketiga, Bramudija Hadinoto, melihat pentingnya peran
pengawasan sistem pembayaran oleh Bank Indonesia yang dapat dilakukan
sebagai upaya penegakan hukum untuk mewujudkan sistem pembayaran yang
cepat, aman dan handal.
c. Hari kedua sesi pagi (aspek kolaborasi dan ekspektasi pasar terhadap
pengembangan sistem pembayaran non tunai):
1) Pembicara pertama, Antony Morris dari Octopus Cards Ltd. Hong Kong,
menggarisbawahi pentingnya kolaborasi pasar untuk mengetahui kebutuhan
mekanisme pembayaran yang paling tepat. Disadari bahwa untuk dapat
berkembang seperti sekarang ini, Octopus telah melakukan perjalanan yang
panjang dan bertahap. Dalam tahap ini penting untuk membangun “trust”,
antara lain dengan menerapkan 100% money back guarantee.
2) Pengembangan yang telah dilakukan perlu terus disesuaikan dengan
memperhatikan aspek culture, needs, behavior dan karakter pembayaran
masyarakat Indonesia, seperti memperhatikan: kemudahan dan kenyamanan
dalam penggunaan, biaya yang murah, dan kepuasan konsumen, serta dilakukan
dengan menggunakan teknologi terbaru yang secure, praktis, cepat, dan reli-
able.
3) Sedangkan pembicara kedua dari PT. Telkom dan pembicara ketiga dari
Pertamina mengemukakan kesiapan kedua perusahaan tersebut dalam
mendukung pengembangan less cash society di Indonesia.
4) Hal lain yang menarik dari ketiga pembicara dalam sesi ini adalah sepakat adanya
keperluan untuk standardisasi dan menciptakan kesadaran arti pentingnya
interoperability dan konvergensi antar operator.
d. Hari kedua sesi siang. Diantara pembicara dari Bank Indonesia, Depkominfo, BCA
dan Jasa Marga telah membahas lebih rinci pentingnya peran kolaborasi dalam
memasuki pasar di Indonesia dan mengharapkan pentingnya peran sentral Bank
Indonesia sebagai fasilitator dan katalisator yang berdiri tepat di antara opera-
tor dan masyarakat sebagai konsumen.
2. Dari apa yang telah dipaparkan dalam dua hari seminar, diyakini para peserta semi-
nar bahwa pengembangan beberapa infrastruktur dan instrumen terkait dengan
less cash society di Indonesia telah dimulai. Namun demikian, agar pengembangannya

64
Seminar Internasional
“Toward a Less Cash Society in Indonesia”

secara nasional lebih efisien, seperti dikemukakan oleh Mohamad Ishak, diperlukan
peran regulasi dari Bank Indonesia untuk memfasilitasi dan menggerakkan seluruh
pihak yang terkait untuk duduk bersama dan mendiskusikan hal-hal krusial dan teknis
dalam pengembangan sistem pembayaran non tunai
3. Kiranya, hasil seminar ini bermanfaat bagi kita semua terutama bagi Bank Indonesia
dalam pengembangan sistem pembayaran yang tidak pernah henti menuju
masayarakat yang berkecenderungan less cash, dengan penggunaan instrumen
pembayaran non tunai yang handal, nyaman, aman, murah, dan efisien.

65
Seminar Internasional
“Toward a Less Cash Society in Indonesia”

Tim Perisalah/Penyusun
1. Puji Atmoko
2. Sukarelawati Permana
3. Pipih D. Purusitawati
4. Iwan Setiawan
5. Panji Achmad
6. Sri Yulia Parayudhanti
7. Butet Linda H.P.
8. Safari Kasiyanto
9. Franz Hansa
10. Trifaldi Yudistira
11. Kiptiah Riyanti
12. Himawan Kusprianto
13. Gunawan Purbowo
14. Nuryanti
15. Retno A. Soejoedono

66

Anda mungkin juga menyukai